MAKALAH Orentasi kerja dan karier Farmasi.docx
Post on 29-Nov-2015
136 Views
Preview:
Transcript
“ORIENTASI KERJA DAN KARIR FARMASI”
OLEH:
AKMAL
N111 12 253
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2013
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
I. 1 LATAR BELAKANG
I. 2 RUMUSAN MASALAH
BAB II ISI
BAB III PENUTUP
III. 1 KESIMPULAN
III. 2 SARAN
DAFTAR PUSTAKA
AUTOBIOGRAFI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Farmasi didefinisikan sebagai profesi yang menyangkut seni dan ilmu
penyediaan bahan obat, dari sumber alam atau sintetik yang sesuai, untuk
disalurkan dan digunakan pada pengobatan dan pencegahan penyakit.
Farmasi mencakup pengetahuan mengenai identifikasi, pemilahan
(selection), aksi farmakologis, pengawetan, penggabungan, analisis, dan
pembakuan bahan obat (drugs) dan sediaan obat (medicine). Pengetahuan
kefarmasian mencakup pula penyaluran dan penggunaan obat yang sesuai
dan aman, baik melalui resep (prsecription) dokter berizin, dokter gigi, dan
dokter hewan, maupun melalui cara lain yang sah, misalnya dengan cara
menyalurkan atau menjual langsung kepada pemakai [2].
B. Rumusan Masalah
Masalah yang dibahas pada makalah ini adalah:
1. Bagaimana perkembangan orientasi farmasi ?
2. Bagaimana farmasi sebagai ilmu dan profesi ?
3. Bagaimana karir dan dunia kerjaan farmasi ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Perkembangan Farmasi
Sejak dahulu nenek moyang bangsa Indonesia telah mengenal
penggunaan obat tradisional (jamu) dan pengobatan secara tradisional
(dukun). Pada zaman itu sebenarnya dukun melaksanakan dua profesi
sekaligus, yaitu profesi kedokteran, (mendiagnose penyakit) dan profesi
kefarmasian (meramu dan menyerahkan obat kepada yang
membutuhkannya).
Penggunaan obat dapat ditelusuri sejak tahun 2000 S.M. pada zaman
kebudayaan Mesir dan Babilonia telah dikenal obat dalam bentuk tablet tanah
liat (granul), dan bentuk sediaan obat lain. Saat itu juga sudah dikenal
ratusan jenis bahan alam yang digunakan sebagai obat.Pengetahuan tentang
obat dan pengobatan selanjutnya berkembang lebih rasional pada zaman
Yunani, ketika Hippocrates (460 S.M.) memperkenalkan metode dasar ilmiah
dalam pengobatan. Dalam zaman Yunani itu dikenal pula Asklepios atau
Aesculapius (7 S.M.) dan puterinya Hygeia. Lambang tongkat Asklepios yang
dililiti ular saat ini dijadikan lambang penyembuhan (kedokteran), sedangkan
cawan atau mangkok Hygeia yang dililiti ular dijadikan lambang kefarmasian.
Perkembangan profesi kefarmasian pada abad selanjutnya dilakukan
dalam biara, yang telah menghasilkan berbagai tulisan tentang obat dan
pengobatan dalam bahasa latin yang hampir punah itu, sampai saat ini
dijadikan tradisi dalam penulisan istilah di bidang kesehatan. Perkembangan
kefarmasian yang pesat pula telah terjadi dalam zaman kultur Arab dengan
terkenalnya seorang ahli yang bernama al-Saidalani pada abad ke-9.
Namun demikian tonggak sejarah yang penting bagi farmasi ialah tahun
1240 di Sisilia, Eropa, ketika dikeluarkan surat perintah raja (edict) yang
secara legal (menurut undang-undang) mengatur pemisahan farmasi dari
pengobatan. Surat perintah yang kemudian dinamakan ”Magna Charta”
dalam bidang farmasi itu juga mewajibkan seorang Farmasis melalui
pengucapan sumpah, untuk menghasilkan obat yang dapat diandalkan
sesuai keterampilan dan seni meracik, dalam kualitas yang sesuai dan
seragam. ”Magna Charta” kefarmasian ini dikembangkan sampai saat ini
dalam bentuk Kode Etik Apoteker Indonesia dan Sumpah Apoteker [2].
B. Perubahan Orientasi Farmasi
Mengikuti perkembangan zaman, telah terjadi pula perubahan
penekanan pada pengertian dan orientasi farmasi. Pada awalnya profesi
farmasi itu dikatakan merupakan seni (arts) dan pengetahuan (science). Hal
ini dapat dilihat pada buku teks yang digunakan di perguruan tinggi farmasi
pada awal pertengahan abad ke-20, yang antara lain berjudul “Scoville’s The
Art of Compounding “ (Seni Meracik Obat), dan “Recepteerkunde” (Ilmu
Resep) karangan van Duin, dan van der Wielen. Definisi obat menurut
Undang-Undang No. 7 Tahun 1960 tentang Farmasi :
.. obat yang dibuat dari bahan yang berasal dari binatang, tumbuh-tumbuhan,
mineral, dan obat sintetis.
Definisi ini lebih menekankan sumber atau asal diperolehnya obat.
Perkembangan farmasi setelah itu berorientasi pada teknologi seperti
tergambar oleh buku teks yang populer pada saat itu, dan masih digunakan
sampai sekarang : “ Pharmaceutical Technology” oleh Lachman. Dalam
Kebijaksanaan Obat Nasional (KONAS, 1980) : …… obat ialah bahan atau
paduan bahan yang digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem
fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosa,
pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan
kontrasepsi.
Definisi obat ini lebih ditekankan pada tujuan penggunaannya
Perkembangan farmasi sangat dipengaruhi pula oleh perkembangan
orientasi di bidang kesehatan. “World Health Organization” (WHO) yang
beranggotakan negara-negara di dunia, termasuk Indonesia, pada tahun 80-
an mencanangkan semboyan “Health for All by the year 2000”, yang
merupakan tujuan sekaligus proses yang melibatkan seluruh negara untuk
meningkatkan derajat kesehatan masyarakatnya, suatu derajat kesehatan
yang memungkinkan seluruh anggota masyarakat memperoleh kehidupan
yang produktif secara sosial maupun ekonomis. Semboyan tadi dirumuskan
melalui suatu konsep bernama “Primary Health Care” dalam konperensi
internasional di Alma Atta 1978, sehingga konsep itu dikenal dengan nama
Deklarasi Alma Atta. Deklarasi ini merupakan kunci dalam pencapaian tujuan
pengembangan sosio-ekonomi masyarakat dengan semangat persamaan hal
dan keadilan sosial. Perkembangan terakhir pengembangan di bidang
kesehatan pada milenium baru ini ialah konsep “Paradigma Sehat”.
Paradigma sehat, bukan paradigma sakit, berorientasi pada bagaimana
mempertahankan keadaan sehat, bukan menekankan pada manusia sakit
yang sudah menjadi tugas rutin bidang kesehatan. Jadi jelas perkembangan
farmasi yang menjadi bagian dari bidang kesehatan, juga harus mengikuti
perkembangan yang terjadi di bidang kesehatan.
The American Society of Colleges of Pharmacy (AACP) [1]
mendefinisikan farmasi sebagai ”suatu sistem pengetahuan (knowledge
system) yang merupakan bagian dari pelayanan kesehatan (health service)”.
Memang agak sulit untuk mendefinisikan farmasi secara lengkap, yang bukan
saja melihatnya dari aspek asal atau sumber obat, atau tujuan pemakaian
obat. Pada Ekspose Perkembangan Ilmu Kesehatan oleh ISFI/IDI di Jakarta
bulan Maret 1986 [7] oleh suatu Tim dari Institut Teknologi Bandung telah
dikemukakan definisi Farmasi sebagai berikut :
Farmasi pada dasarnya merupakan sistem pengetahaun (ilmu, teknologi
dan sosial budaya) yang mengupayakan dan menyelenggarakan jasa
kesehatan dengan melibatkan dirinya dalam mendalami, memperluas,
menghasilkan dan mengembangkan pengetahuan tentang obat dalam arti
dan dampak obat yang seluas-luasnya serta efek dan pengaruh obat pada
manusia dan hewan.
Untuk menumbuhkan kompetensi dalam sistem pengetahuan seperti
diuraikan di atas, farmasi menyaring dan menyerap pengetahuan yang
relevan dari ilmu biologi, kimia, fisika, matematika, perilaku dan teknologi;
pengetahuan ini dikaji, diuji, diorganisir, ditransformasi dan diterapkan.
Sebagian besar kompetensi farmasi ini diterjemahkan menjadi produk
yang dikelola dan didistribusikan secara profesional bagi yang
membutuhkannya.
Pengetahuan farmasi disampaikan secara selektif kepada tenaga
profesional dalam bidang kesehatan dan kepada orang awam dan
masyarakat umum agar pengetahuan mengenai obat dan produk obat dapat
memberikan sumbangan nyata bagi kesehatan perorangan dan
kesejahteraan umum masyarakat.
Tidak dapat disangkal bahwa sistem pengetahuan farmasi, karena
penerapannya untuk tujuan kesehatan, merupakan bagian yang berarti
secara kuantitatif maupun kualitatif dalam setiap upaya kesehatan.
B. Pengetahuan, Ilmu dan Profesi
Semua ilmu adalah pengetahuan, tetapi tidak semua pengetahuan
dapat disebut ilmu. Manusia mempunyai perasaan, pikiran, pengalaman,
panca indera, intuisi, dan mampu menangkap gejala alam lalu
mengabstraksikannya dalam bentuk ketahuan atau pengetahuan; misalnya
kebiasaan, akal sehat, seni, sejarah dan filsafat. Apa yang diperoleh dalam
proses mengetahui itu dilakukan tanpa memperhatikan obyek, cara (ways of
knowing) dan kegunaannya, maka ini dikategorikan dalam ketahuan atau
pengetahuan, dalam bahasa Inggris disebut ”knowledge”. Ilmu atau
”Science” ialah pengetahuan yang diperoleh melalui ”metode ilmiah”, yaitu
suatu cara yang menggunakan syarat-syarat tertentu, melalui serangkaian
langkah yang dilakukan dengan penuh disiplin [6].
B. 1. Farmasi Sebagai Sains
Semua bentuk pengetahuan dapat dibeda-bedakan atau
dikelompokkan dalam berbagai kategori atau bidang, sehingga terjadi
diversifikasi bidang ilmu pengetahuan atau disiplin ilmu, yang berakar dari
kajian filsafat, yaitu Seni (Arts), Etika (Ethics), dan Sains (Science). Di satu
pihak Farmasi tergolong seni teknis (technical arts) apabila ditinjau dari segi
pelayanan dalam penggunaan obat (medicine); di lain pihak Farmasi dapat
pula digolongkan dalam ilmu-ilmu pengetahuan alam (natural science).
Dalam tinjauan pengelompokan bidang ilmu atau kategori di atas
digunakan kriteria :
1. Obyek ontologis. Di sini ditinjau obyek apa yang ditelaah sehingga
menghasilkan pengetahuan tersebut. Sebagai contoh, obyek ontologis
dalam bidang Ekonomi ialah hubungan manusia dan benda atau jasa
dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup; obyek telaah pada
Manajemen ialah kerja sama manusia dalam mencapai tujuan yang telah
disetujui bersama; obyek ontologis pada Farmasi ialah obat dari segi
kimia dan fisis, segi terapetik, pengadaan, pengolahan sampai pada
penyerahannya kepada yang memerlukan.
2. Landasan epistemologis, yaitu cara atau metode apa yang digunakan
untuk memperoleh pengetahuan tersebut. Contoh landasan
Epistemologis Matematika ialah logika deduktif; landasan epistemologis
kebiasaan sehari-hari ialah pengalaman dan akal sehat; landasan
epitemologis Farmasi ialah logika deduktif dan logika induktif dengan
pengajuan hipotesis, yang dinamakan pula metode logiko-hipotetiko-
verifikatif.
3. Landasan aksiologis, yaitu mempertanyakan apa nilai kegunaan
pengetahuan tersebut. Nilai kegunaan pencak silat, matematika dan
farmasi sudah jelas berbeda. Dalam hal ini nilai kegunaan atau landasan
aksiologis Farmasi dan Kedokteran itu sama karena kedua-duanya
bertujuan untuk kesehatan manusia [6].
Sebagai ilmu, Farmasi menelaah obat sebagai ”materi”, baik yang berasal
dari alam maupun sintesis (sama dengan bidang Kimia dan Fisika) dan
menggunakan metode logiko-hipotetiko-verifikatif sebagai metode telaah
yang sama seperti digunakan pada bidang Ilmu Pengetahuan Alam. Oleh
karena itu, Farmasi merupakan ilmu yang dapat dikelompokkan dalam bidang
Sains.
B. 2 Farmasi Sebagai Profesi
Dari kajian filsafat di atas terlihat bahwa di samping sebagai Ilmu atau
Sains, Farmasi meliputi pula pelayanan obat secara profesional. Istilah
Profesi dan Profesional saat ini semakin dikaburkan karena banyak
digunakan secara salah kaprah. Semua pekerjaan (job, vacation, occupation)
dan keahlian (skill) dikategorikan sebagai profesi. Demikian pula istilah
profesional sering digunakan sebagai lawan kata amatir. Menurut Hughes,
E.C. [2] :
…..Profesion profess to know better than other the nature of certain matters,
and to know better than their clients what ails them or their affairs.
Definisi ini menggambarkan suatu hubungan pelayanan antar-manusia,
sehingga tidak semua pekerjaan atau keahlian dapat dikategorikan sebagai
profesi.
Menurut Schein, F.H. [2] :…The profession are a set of occupation that have
developed a very special set or norms deriving from their special role in
society .
Kelompok profesional dapat dibedakan dari yang bukan profesional menurut
kriteria berikut :
1. Memiliki Pengetahuan Khusus , yang berhubungan dengan kepentingan
sosial. Pengetahuan khusus ini dipelajari dalam waktu yang cukup lama
untuk kepentingan masyarakat umum.
2. Sikap dan Prilaku Profesional . Seorang profesional memiliki seperangkat
sikap yang mempengaruhi prilakunya. Komponen dasar sikap ini ialah
mendahulukan kepentingan orang lain (altruisme) di atas kepentingan diri
sendiri. Menurut Marshall, seorang profesional bukan bekerja untuk dibayar,
tetapi ia dibayar agar supaya ia dapat bekerja.
3. Sanksi Sosial . Pengakuan atas suatu profesi tergantung pada masyarakat
untuk menerimanya. Bentuk penerimaan masyarakat ini ialah dengan
pemberian hak atau lisensi (lincense) oleh negara untuk melaksanakan
praktek suatu profesi. Lisensi ini dimaksudkan untuk menghindarkan
masyarakat dari oknum yang tidak berkompetensi untuk melakukan praktek
profesional.
Apabila kriteria di atas diperinci lebih lanjut maka diperoleh sikap dan
sifat sebagai berikut :
1. Profesi itu sendiri yang menentukan standar pendidikan dan
pelatihannya.
2. Mahasiswa yang mengikuti pendidikan profesi tertentu harus
memperoleh pengalaman sosialisasi menuju kedewasaan yang lebih
intensif dibanding mahasiswa pada bidang pekerjaan lain.
3. Praktek profesional secara legal (menurut hukum) diakui dengan
pemberian lisensi.
4. Pemberian lisensi dan dewan penilai dikendalikan oleh anggota profesi.
5. Umumnya peraturan yang berkaitan dengan profesi dibentuk dan
dirumuskan oleh profesi itu sendiri.
6. Okupasi ini akan berkembang dari segi pendapatannya, kekuasaan, dan
tingkat prestise, sehingga dapat menetapkan persyaratan yang lebih
tinggi bagi calon mahasiswanya.
7. Praktisi profesi secara relatif tidak dievaluasi dan dikontrol oleh orang
awam.
8. Norma-norma praktek yang dikeluarkan profesi itu lebih mengikat
dibanding kontrol legal.
9. Anggota profesi sangat erat terikat dan terafiliasi dengan profesinya
dibanding dengan anggota okupasi lain.
10. Profesi ini biasanya merupakan terminal, dalam arti tidak ada yang akan
beralih ke profesi lain. [2]
C. Vokasi dan Karir dalam Farmasi
Perhatian utama para dokter, dokter gigi dan dokter hewan yang
menulis resep ialah pada efek obat pada penderita, nilai terapetika, dan
toksiologinya. Para perawat bertugas untuk memberikan obat, tanggap
terhadap bentuk sediaan obat, dan terhadap manifestasi toksisnya. Maka ahli
Farmasi (Farmasis) itulah satu-satunya ahli mengenai obat. Ia diberikan
tanggung jawab legal untuk menangani obat dan pengetahuan segala
sesuatu mengenai obat itu adalah tanggung jawab profesinya. Tidak ada
program studi lain selain Farmasi yang memberikan dasar-dasar
pengetahuan lengkap mengenai segala sesuatu yang perlu diketahui tentang
obat. Jadi hanya seorang Farmasis yang mempunya kompetensi keahlian
obat secara lengkap.
Farmasis Komunitas (Community Pharmacist)
Farmasis atau Apoteker memberikan kesan umum bahwa tempat kerja
seorang farmasi hanyalah di Apotik, yaitu salah satu tempat pengabdian
profesi seorang Apoteker. Seorang Farmasis di Apotik langsung berhadapan
dengan masyarakat sehingga fungsi tersebut dikelompokkan dalam Farmasi
Masyarakat (Community Pharmacy). Fungsi Farmasis Masyarakat di Apotik
merupakan kombinasi seorang profesional dan wiraswastawan. Dengan
dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No. 25/80 tentang Apotik, bahwa
Apotik adalah tempat pengabdian profesi seorang Apoteker, maka makin
besar harapan yang diberikan pemerintah kepada para Farmasis, baik dari
segi jumlah tenaga farmasi maupun dari segi kemampuan profesionalnya.
Farmasi Rumah Sakit (Hospital Pharmacy)
Farmasi Rumah Sakit ialah pekerjaan kefarmasiaan yang
dilakukan di rumah sakit pemerintah maupun swasta. Fungsi kefarmasian ini
yang sudah sangat berkembang di negara maju, juga sudah mulai dirintis di
Indonesia dengan pembukaan program spesialisasi Farmasi Rumah Sakit.
Jumlah kebutuhan Farmasis di rumah sakit di masa depan akan semakin
meningkat karena 3 hal :
1. Faktor pertambahan penduduk.
2. Meningkatnya kebutuhan untuk perawatan yang lebih baik di rumah sakit.
3. Fungsi dan peranan Farmasis Rumah Sakit akan lebih meningkat dalam
berbagai aspek mengenai penggunaan dan pemantauan obat.
Pedagang Besar Farmasi (PBF)
Mata rantai sebagai perantara industri farmasi dan masyarakat dalam
hal penyaluran obat ialah Pedagang Besar Farmasi (PBF). Di luar negeri PBF
ini mempunyai tenaga Farmasis terdaftar sebagai supervisor disebabkan oleh
sifat khas produk yang ditanganinya itu sehubungan dengan peraturan
perundang-undangan. Di Indonesia hanya dipersyaratkan tenaga menengah
farmasi (Asisten Apoteker = AA) sebagai penanggungjawab, mengingat
belum cukup tersedianya tenaga ahli berpendidikan tinggi.
PBF sangat berperanan sebagai sumber penyalur obat dari berbagai
industri farmasi yang secara cepat dapat melayani kebutuhan Farmasis
Komunitas (Apoteker) untuk secara cepat pula melayani kebutuhan penderita
akan obat. PBF juga mengurangi beban finansial Apoteker dalam hal
menyimpan stok obat dalam jumlah besar dan menjembatani kerumitan
negosiasi dengan ratusan industri farmasi sebagai produsen obat.
Industri Farmasi
Farmasis di industri farmasi terlibat pula dalam fungsi pemasaran
produk, riset dan pengembangan produk, pengendalian kualitas, produksi
dan administrasi atau manajemen. Fungsi perwakilan pelayanan medis
(medical service representative) atau ”detailman” yang bertugas dan
langsung berhubungan dengan Dokter dan Apoteker untuk memperkenalkan
produk yang dihasilkan industri farmasi mungkin juga dijabat seorang
Farmasis atau tenaga ahli lain. Namun paling ideal apabila fungsi itu
dipegang seorang Farmasis atau tenaga ahli lain. Namun paling ideal apabila
fungsi itu dipegang seorang Farmasis karena latar belakang
pengetahuannya. Saat ini memang tidak banyak Farmasis yang mengisi
jabatan ini karena jumlahnya belum mencukupi, dan lebih dibutuhkan di
tempat pengabdian profesi yang lain. Peningkatan karir jabatan ini dapat
mencapai tingkat supervisor dalam pemasaran produk, dan direktur
pemasaran produk dalam organisasi industri farmasi.
Pada unit produksi dan pengendalian kualitas (quality control) industri
dipersyaratkan seorang Apoteker. Untuk bidang riset dan pengembangan (R
& D = Research and Development) biasanya diperlukan lulusan pendidikan
pascasarjana, meskipun bukan merupakan persyaratan.
Instansi Pemerintah
Departemen Kesehatan adalah instansi pemerintah yang paling banyak
menyerap tenaga Farmasis, terutama Direktorat Jenderal Pengawasan Obat
dan Minuman (DitJen POM) dan jajaran Pusat Pemeriksaan Obat (PPOM)
dan Balai Pemeriksaan Obat dan Makanan (Balai POM) di daerah. Demikian
pula Bidang Pengendalian Farmasi dan Makanan pada setiap Kantor Wilayah
Dep.Kes dan jajaran Dinas Kesehatan sampai ke Daerah Tingkat II dan
Gudang Farmasi. Fungsi utama Farmasis pada instansi pemerintah ialah
administrastif, pemeriksaan, bimbingan dan pengendalian. Sejak tahun 2000,
telah terjadi perubahan struktur, Direktorat Jendral POM tidak lagi bernaung
di bawah Departemen Kesehatan, tetapi menjadi Badan POM yang
bertanggungjawab langsung kepada Presiden RI. Demikian pula struktur
Balai (besar,kecil) POM di daerah tingkat I, yang langsung berada di bawah
Badan POM, tidak berada di dalam Dinas Kesehatan Propinsi. Departemen
HANKAM, juga memerlukan Farmasis yang terutama berfungsi pada bagian
logistik dan penyaluran obat dan alat kesehatan. Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan merekrut Farmasis untuk jabatan dosen di perguruan tinggi.
Sesuai Tri Dharma Perguruan Tinggi, maka fungsi seorang Farmasis ialah
dalam bidang pendidikan dan pengajaran, penelitian dan pengabdian kepada
masyarakat. Persyaratan untuk diterima menjadi dosen akan ditingkatkan
menjadi lulusan Pascasarjana, atau mempunyai Sertifikat Mengajar Program
PEKERTI/AA (Pengembangan Keterampilan Dasar Teknik
Instruksional/Applied Approach), yaitu program penataran dosen dalam
aktivitas instruksional atau proses belajar mengajar.
Sebagai tenaga kesehatan, seorang Farmasis atau Apoteker diwajibkan
untuk mengabdi pada negara selama 3 tahun setelah lulus ujian Apoteker
sebelum dapat berpraktek swasta perorangan. Wajib kerja sarjana ini dikenal
sebagai Masa Bakti Apoteker (MBA) yang dapat dilaksanakan pada instansi
pemerintah seperti tersebut di atas atau penugasan khusus dari Kepala
Kantor Wilayah Departemen Kesehatan sebagai wakil Menteri Kesehatan di
daerah. Dengan dihapuskannya Kantor Wilayah, tugas ini diambil alih Kepala
Dinas Kesehatan Propinsi.
Wartawan Farmasi (Pharmaceutical Journalism)
Profesi ini mulai berkembang di luar negeri bagi Farmasis yang
memperoleh latihan khusus dalam kewartawanan dan mempunyai bakat
menulis dan mengedit. Pekerjaan ini diperlukan oleh instansi pemerintah atau
industri farmasi untuk publikasi, mengedit atau menulis tulisan yang berlatar
belakang kefarmasian.
Manajemen Perusahaan
Khususnya instansi swasta banyak memerlukan tenaga ahli berlatar
belakang kefarmasian dengan berkembangnya organisasi pelayanan
kesehatan kepada masyarakat. Untuk ini diperlukan pendidikan tambahan,
misalnya Magister Manajemen (MBA = Master of Business Administration).
BAB III
PENUTUP
III.1 Kesimpulan
1. sistem pengetahuan farmasi, karena penerapannya untuk tujuan
kesehatan, merupakan bagian yang berarti secara kuantitatif
maupun kualitatif dalam setiap upaya kesehatan.
2. Farmasi bukan hanya sebagai ilmu atau sains semata tetapi
merupakan suatu profesi pelayanan obat secara professional.
3. Keahlian dan dunia karir Farmasis sangat luas, antara lain: Farmasis
Komunitas (Community Pharmacist), Farmasi Rumah Sakit (Hospital
Pharmacy), Pedagang Besar Farmasi (PBF), Industri Farmasi,
Instansi Pemerintah, Manajemen perusahaan, Wartawan Farmasi
(Pharmaceutical Journalism) dan lain-lain.
III.2 Saran
Dengan adanya tulisan diatas diharapkan agar para mahasiswa
farmasi lebih dapat mengenal lebih jauh tentang orientasi dan peluang karier
seorang farmasis.
DAFTAR PUSTAKA
1. Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia, Keputusan Kongres Nasional XIII,
N0.XIII/Kongres XIII/ISFI/1989 tentang Standar Profesi Apoteker dalam
Pengabdian Profesi di Apotik.
2. Ketut Patra dkk. (1988) “ 60 Tahun Dr. Midian Sirait, Pilar-Pilar Penopang
Pembangunan di Bidang Obat”, Penerbit P.T.Priastu, Jakarta.
3. Suryasumantri, Y.S (1985) “ Filsafat Ilmu, Suatu Pengantar Populer”,
Penerbit Sinar Harapan, Jakarta.
4. Wattimena, J.R. dkk. (1986) makalah dalam Ekspose Perkembangan Ilmu
Kesehatan oleh IDI/ISFI, Jakarta.
top related