Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengaturan Pertanahan
Post on 27-Jan-2016
228 Views
Preview:
DESCRIPTION
Transcript
KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PENGATURAN
PERTANAHAN
Disusun Guna Memenuhi UKD 2 Mata Kuliah Hukum Agraria
Dosen Pengampu : Rahayu Subekti, SH, M.Hum
Oleh :
Aan Efendhi ( E0013002 )
Aguita Bintang M.S ( E0013026 )
Resti Fouziah ( E0013333 )
Sarah Meilita I ( E0013375 )
Siti Aminah ( E0013380 )
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
2014
DAFTAR ISI
Halaman Judul…………………………………………………………....
Daftar Isi...................................................................................................... 2
BAB I Pendahuluan
A. Latar Belakang Masalah.................................................................. 3
B. Rumusan Masalah…….................................................................... 6
C. Tujuan Penulisan.............................................................................. 6
D. Manfaat penulisan ………………………………………………… 6
BAB II Tinjauan Pustaka
A. Pengertian Hak Menguasai Negara ……….................................... 7
B. Pengertian Pengadaan Tanah…….................................................. 9
BAB III Pembahasan
A. Pembahasan 1…………………………......................................... 10
B. Pembahasan 2......................................................................... …... 13
BAB IV Penutup
A. Kesimpulan ................................................................................... 16
B. Saran……….................................................................................. 18
DAFTAR PUSTAKA
2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bagi masyarakat Indonesia tanah merupakan factor kehidupan yang vital. Tanah tidak
hanya merupakan factor produksi dalam arti ekonomi, namun juga mengandung arti social,
politik, dan budaya secara menyeluruh, bahkan cenderung mempunyai arti reigius. Betapa
pentingnya penguasaan sumber-sumber agrarian bagi kehidupan.
Perkembangan gagasan tentang politik agrarian Indonesia pasca-
kolonial menemukan bentuk dengan dirumuskannya Undang-Undang Nomor
5 tahun 1960 tentang Undang-undang Pokok Agraria. Niat formal UUPA 1960
adalah sebagai undang-undang organic dan induk di bidang agrarian, dan
merupakan implementasi dari Pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945
(UUD 1945). Dengan mulai berlakunya UUPA (Undang-undang Pokok Agraria)
terjadi perubahan fundamental pada Hukum Agraria di Indonesia, terutama
hukum dibidang pertanahan, yang sering kita sebut sebagi Hukum
Pertanahan yang dikalangan pemerintahan dan umum juga dikenal sebagai
Hukum Agraria. UUPA bukan hanya memuat ketentuan-ketentuan mengenai
perombakan hukum agrarian, sesuai dengan namanya Peraturan dasar
pokok-pokok Agraria, UUPA memuat juga lain-lain pokok persoalan agrarian
serta penyelesaiannya. Ruang lingkup bumi menurut UUPA adalah
permukaan bumi dan tubuh bumi dibawahnya serta yang berada dibawah
air. permukaan bumi sebagai bagian dari bumi juga disebut tanah. Tanah
yang dimaksudkan disini bukan mengatur tanah dalam segala aspeknya,
melainkan hanya mengatur salah satu aspeknya, yaitu tanah dalam
pengertian yuridis yang disebut hak-hak penguasaan atas tanah. Dalam hak
penguasaan atas tanah terdapat kewenangan, kewajiban, dan atau larangan
bagi pemegang haknya untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang dihaki.
Sesuatu yang boleh, wajib, atau dilarang untuk diperbuat yang merupakan
3
isi hak penguasaan itulah yang menjadi kriteria atau tolok ukur pembeda
diantara hak-hak penguasaan atas tanah yang diatur dalam Hukum Tanah.
Kewenangan negara yang berkaitan dengan tanah diatur dalam Undang
Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 Pasal 33 ayat (3) yang
menentukan: bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran
rakyat. Tanah adalah bagian dari bumi, oleh sebab itu tanah dikuasai oleh
negara. Berdasarkan uraian di atas, dapat dirinci bahwa konsep ’dikuasai
negara’ artinya negara mengatur, negaralah yang mempunyai kewenangan
mengelola dan mengatur tanah guna sebesar-besarnya kemakmuran rakyat;
dengan kata lain, pada tingkatan tertinggi negara yang berhak mengatur
peruntukan dan pemanfaatannya.[1] Pengaturan oleh negara diperlukan
karena kekhawatiran bahwa tanpa campur tangan negara akan terjadi
ketidakadilan dalam akses terhadap perolehan dan pemanfaatan sumber
daya alam oleh masyarakat. Ketegasan kewenangan demikian adalah
wewenang yang didistribusikan dalam Undang-Undang Dasar, sehingga
negara berhak untuk menuntut kepatuhan. Kewenangan inilah yang
melahirkan otoritas negara atas tanah secara hukum publik; dengan
demikian kewenangan negara dalam bidang pertanahan baru dapat
diketemukan apabila didasarkan pada perluasan tafsir dari Pasal 33 ayat (3)
UUD tahun 1945.
Berdasarkan ketentuan Pasal 16 ayat (1) UUPA dan pasal 3 UUPA, hak atas tanah yang
dapat dikuasai oleh Pemerintah Daerah adalah hak pakai yang diatur dalam Pasal 41 sampai
dengan Pasal 43 UUPA. Selain hak pakai atas tanah, hak penguasaan atas tanah yang dapat
dikuasai oleh Pemerintah Daerah adalah hak pengelolaan.1 UUPA secara tersurat tidak menyebut
Hak Pengelolaan tetapi hanya menyebut pengelolaan dalam Penjelasan Umum Angka II Nomor
2 UUPA yaitu negara dapat memberikan tanah yang demikian itu kepada seseorang atau badan
hukum dengan sesuatu hak menurut peruntukan dan keperluannya. Pengetian hak pengelolaan
diatur dalam Pasal 1 angka 2 Peraturan Pemerintah Nomor 41 tahun 1966 jo Pasal 1 angka 4
Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997, yaitu Hak Pengelolaan adalah hak menguasai
1 Santoso, Urip, Hukum Agraria dan Hak-hak Atas Tanah, Jakarta: Prenada Media Group
4
negara yang kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegangnya. Ada
beberapa ketentuan yang menunjukkan bahwa pemerintah daerah dapat mempunyai tanah hak
pengelolaan, yaitu (1) Pasal 5 Peraturan Menteri Agraria No. 9 Tahun 1965; (2) Pasal 1 huruf b
Peraturan Menteri Agraria No. 1 Tahun 1966; (3) Pasal 5 dan Pasal 6 Peraturan Menteri Dalam
Negeri No. 5 Tahun 1974 tentang Ktentuan-ketentuan Mengenai Penyediaan dan Pemberian
Tanah Untuk Keperluan Perusahaan; (4) Pasal 2 Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 1997
tentang Pengenaan Bea Perolehan Hak Atas dan Bangunan Karena Pemberian Hak Pengelolaan;
dan (5) Pasal 67 Peraturan Menteri Negara Agararia/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 9
Tahun 1999. Ada dua cara perolehan hak pakai atau Hak Pengelolaan oleh Pemerintah Daerah.
Pertama, Penegasan Konversi. Konversi adalah perubahan status hak atas tanah menurut hukum
yang lama sebelum berlakunya UUPA, yaitu hak atas tanah yang tunduk pada hukum barat,
hukum adat dan Daerah Swatantra menjadi hak atas tanah menurut UUPA. Kedua, pemberian
hak. Pemberian Hak menurut Pasal 1 ayat (8) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan
Pertanahan Nasional No. 9 Tahun 1999, adalah penetapan pemerintah yang memberikan sesuatu
hak atas tanah negara, perpanjangan jangka waktu hak, pembaharuan hak, perubahan hak,
termasuk pemberian hak di atas hak pengelolaan. Hak penguasaan atas tanah yang dapat dikuasai
oleh pemerintah daerah adalah hak pakai dan hak pengelolaan. Wewenang pemerintah daerah
terhadap hak pakainya adalah menggunakan tanah hak pakai untuk kepentingan pelaksanaan
tugasnya. Wewenang pemerintah daerah terhadap hak pengelolaannya adalah merencanakan
peruntukan dan penggunaan tanah, mempergunakan tanah untuk kepentingan pelaksanaan
tugasnya dan menyerahkan bagian-bagian tanah hak pengelolaan kepada pihak ketiga dan atau
bekerja sama dengan pihak ketiga. Oleh karena itu, kami menuliskan judul dalam makalah ini
yaitu “Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengaturan Pertanahan”
5
A. Rumusan Masalah
Untuk memberikan arah dan panduan yang mengerucut mengenai bahasan yang
dikaji, Perumusan masalah sebagai sebuah konsepsi permasalahan yang akan di cari
jawabannya perlu ditentukan terlebih dahulu. Adapaun permasalahan yang diangkat
dalam makalah ini adalah :
1. Bagaimana Wewenang Pemerintah Daerah Dalam Mengatur Pertanahan?
2. Bagaimana Kendala-Kendala Pemerintah Daerah Dalam Mengatur Pertanahan?
B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Objektif
a. Untuk mengetahui Wewenang Pemerintah Daerah Dalam Mengatur Pertanahan
b. Untuk mengetahui Kendala-Kendala Pemerintah Daerah Dalam Mengatur
Pertanahan
2. Tujuan Subjektif
a. Menambah pengetahuan penulis mengenai Wewenang Pemerintah Daerah Dalam
Mengatur Pertanahan
b. Melatih kemampuan penulis dalam mengetahui Kendala-Kendala Pemerintah
Daerah Dalam Mengatur Pertanahan
6
C. Manfaat Penulisan
1. Dapat memberi pengetahuan lebih mengenai Hak Menguasai Negara
2. Dapat mengetahui dan memahami Wewenang Pemerintah Daerah Dalam Mengatur
Pertanahan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Penguasaan dan Menguasai Atas Tanah
Secara etimologis, menguasai dapat diartikan sebagai “proses, cara, perbuatan menguasai
atau mengusahakan”. Jadi penguasaan adalah suatu tindakan yang mencakup dari segi proses
sampai cara menguasainya. Menurut undang-undang pokok agraria Penguasaan oleh negara
adalah suatu proses yang dilakukan oleh negara untuk menguasai atau mengusahakan sesuatu
yang sesuai dengan kepentingan.2 Pengertian “penguasaan” dan “menguasai dapat
dipakai dalam arti fisik, juga dalam arti yuridis. Dan juga beraspek perdata
dan beraspek publik. Penguasaan dalam arti yuridis adalah penguasaan yang
dilandasi hak, yang dilindungi oleh hukum dan pada umumnya memberi
kewenangan kepada pemegang hak untuk menguasai secara fisik tanah
yang dihaki, misalnya pemilik tanah mempergunakan atau mengambil
manfaat dari tanah yang dihaki, tidak diserahkan kepada pihak lain.3 Ada
penguasaan yuridis, biarpun memberi kewenangan untuk menguasai tanah
yang dihaki secara fisik, pada kenyataannya penguasaan fisik dilakukan oleh
pihak lain. Misalnya, seseorang memiliki tanah tidak mempergunakan
2 Humam Balya. Hak Menguasai Negara yang menggila http://humambalya.wordpress.com/2011/02/12/hak-menguasai-negara-yang-menggila/> diakses pada Minggu,12 Oktober 2014 pukul 10.13
3 Moekijat,1996. Kamus Agraria,.Bandung : Mandar Maju.
7
tanahnya sendiri melainkan disewakan kepada pihak lain, dalam hal ini
secara yuridis tanah tersebut dimiliki oleh pemilik tanah, akan tetapi secara
fisik dilakukan oleh penyewa tanah. Ada juga penguasaan secara yuridis
yang tidak memberi kewenangan untuk menguasai tanah yang
bersangkutan secara fisik. Misalnya, kreditor (bank) memegang jaminan atas
tanah mempunyai hak penguasaan yuridis atas tanah yang dijadikan agunan
(jaminan), akan tetapi secara fisik penguasaan tanahnya tetap ada pada
pemegang hak atas tanah. Penguasaan yuridis dan fisik atas tanah ini
dipakai dalam aspek privat, sedangkan penguasaan yuridis yang beraspek
publik, yaitu penguasaan atas tanah sebagaimana yang disebutkan dalam
Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan Pasal 2 UUPA.4 Hak penguasaan atas tanah berisi
serangkaian wewenang, kewajiban, dan atau larangan bagi pemegang haknya untuk berbuat
sesuatu mengenai tanh yang di hakinya. Sesuatu yang boleh, wajib atau dilarang untuk diperbuat,
yang merupakan isi hak penguasaan itulah yang menjadi kriteria atau tolak ukur pembeda di
antara hak-hak penguasaan atas tanah yang diatur dalam Hukum Tanah.
Hak penguasaan atas tanah berisi serangkaian wewenang, kewajiban, dan atau larangan
bagi pemegang haknya untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang menjadi haknya. Sesuatu
yang boleh, wajib atau dilarang untuk diperbuat, yang merupakan isi hak penguasaan itulah yang
menjadi kriteria atau tolok ukur pembeda di antara hak-hak penguasaan atas tanah yang diatur
dalam Hukum Tanah. Penguasaan dapat ditafsirkan melalui beberapa aspek seperti aspek fisik,
yuridis, privat, maupun publik. Yang masing-masing mencakup:
1. Penguasaaan dalam arti yuridis, merupakan penguasaan yang dilandasi hak, yang
dilindungi oleh hukum dan pada umumnya memberi kewenangan kepada pemegang hak
untuk menguasai secara fisik tanah yang dihaki, misalnya pemilik tanah mempergunakan
atau mengambil mamfaat dari tanah yang dihaki, tidak diserahkan kepada pihak lain.
2. Penguasaan fisik, penguasaan yang pada kenyataanya atau realita yang ada. siapa
pengguna atau pemanfaat tanah itulah yang disebut sebagai penguasa fisik.
3. Penguasaan privat, penguasan dalam kepentingan privat, yaitu untuk beberapa maupun
sekelompok orang tertentu.
4 Maria S.W. Sumardjono.2005.Kebijakan Pertanahan, antara Regulasi dan Implementasi.Jakarta : Kompas
8
4. Penguasaan public, yaitu penguasaan demi kepentingan umum atau bersama. Dimana
tanah tidak hanya untuk sekelompok orang tertentu tapi untuk masyarakat secara
keseluruhan. Contohnya penggunaan tanah untuk pembangunan jalan tol.
Right to control the state is The condition of landlessness threatens the enjoyment of a
number of fundamental human rights. access to land is important for development and poverty
reduction, but also often necessary for acces to numerous economic, social and cultural rights,
and as a gateway for many civil and political rights. however, there is no right to land codified n
internasional human rights law. land is cross-cutting issue, and is not simply a resource for one
human right in the intrnasional legal framework. and yet, while rights have been established in
the international legal framework that relate to land access for particular groups, numerous rights
areaffected by access to land and general principles.5
B. Pengaturan Hak Penguasaan Atas Tanah Oleh Pemerintah
Dalam tiap hukum tanah terdapat pengaturan mengenai berbagai hak
penguasaan atas tanah. Dalam UUPA misalnya diatur dan sekaligus
ditetapkan tata jenjang atau hierarki hak-hak penguasaan atas tanah dalam
Hukum Tanah Nasional, Hak ini merupakan hak penguasaan atas tanah yang
tertinggi dan meliputi semua tanah yang ada dalam wilayah Negara, yang
merupakan tanah bersama, bersifat abadi dan menjadi induk bagi hak-hak
penguasaan yang lain atas tanah. pengaturan ini termuat dalam Pasal 1 ayat
(1)-(3) UUPA.
Hak Bangsa Indonesia atas tanah mempunyai sifat komunalistik,
artinya semua tanah yang ada dalam wilayah NKRI merupakan tanah
bersama rakyat Indonesia, yang telah bersatu sebagai Bangsa Indonesia
(Pasal 1 ayat (1) UUPA). selain itu juga mempunyai sifat religius, artinya
seluruh tanah yang ada dalam wilayah NKRI merupakan karunia Tuhan Yang
Maha Esa (Pasal 1 ayat (2) UUPA). Hubungan antara Bangsa Indonesia
dengan tanah bersifat abadi, atinya selama rakyat Indonesia masih bersatu
5 Elisabeth wicker and anil kahlan. Land rights issues in international human rights law. Malaysian Journal on human rights law.Malaysia,2010 hal 2-3
9
sebagai Bangsa Indonesia dan selama tanah tersebut masih ada pula, dalam
keadaan yang bagaimanapun tidak ada sesuatu kekuasaan yang akan dapat
memutuskan atau meniadakan hubungan tersebut (Pasal 1 ayat (3).6
Hak ini bersumber pada hak bangsa Indonesia atas tanah, yang
hakikatnya merupakan penugasan pelaksanaan tugas kewenangan bangsa
yang mengandung hukum publik. Tugas mengelola seluruh tanah bersama
ini dikuasakan sepenuhnya kepada NKRI sebagai organisasi kekuasaan
seluruh rakyat (Pasal 2 ayat (1) UUPA).
Isi wewenang hak menguasai dari Negara Atas Tanah sebagai mana
dimuat di dalam Pasal 2 ayat (2) UUPA adalah:
a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan,
persediaan dan pemeliharaan tanah.
b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-
orang dengan tanah.
c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-
orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai tanah.
BAB III
PEMBAHASAN
1. Kewenangan Bidang Pertanahan
A. Kewenangan Pemerintah Pusat
Pengelolaan pertanahan di Indonesia didasarkan pada arah dan kebijakan dalam Pasal 33
ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 di mana sampai dengan Amandemen yang ke IV. Pasal 33
ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa :”...bumi dan air dan kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar
6 Christiana Sri Murni.2011.”Eksistensi hukum adat dan pertanahan dan uupa nomor 5 tahun 1960 dalam kerangka penertiban administrasi pertanahan” vol 13.jakarta : Majalah Ilmiah INDIKATOR
10
kemakmuran rakyat”. Berdasarkan landasan ini kemudian diundangkan pada Undang-Undang
No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Pasal 2 UUPA menyebutkan:
Atas dasar ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan hal-hal sebagaimana dimaksud Pasal 1,
bumi,air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada
tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.7
Tanah merupakan komponen terpenting dalam sebuah pembangunan di dalam suatu
Negara. Maka, dengan adanya Hak Menguasai Negara atas Tanah diharapkan dapat membuat
keadilan bagi semua rakyat Indonesia terutama yang berkaitan dengan Pengadaan Tanah. Untuk
menjamin keadilan bagi rakyat, negara memberikan berbagai macam Hak baik itu milik
perseorang maupun milik bersama. Namun, terdapat kepentingan yang lebih tinggi yang dapat
menghapuskan semua hak yang dimiliki baik secara perorangan maupun dimiliki bersama yaitu
Kepentingan Umum. Dengan itu, maka diharapkan semua rakyat dapat secara sukarela dan
setuju apabila tanah mereka dipakai untuk melaksanakan pembangunan untuk umum.8 Dalam
konteks ini, Hak Menguasai Negara sebagai pemegang kekuasaan tertinggi yang memiliki
kewenangan yang sudah diatur dalam Pasal 2 Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang
Peraturan Dasar Pokok- Pokok Agraria, menyebutkan :
a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukkan, penggunaan, persediaan, dan
pemeliharaan bumi, air, dan ruang angkasa tersebut;
b. Menentukan dan mengatur hubungan- hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi,
air, ruang angkasa;
c. Menetukan dan mengatur hubungan- hubungan hukum antara orang-orang dan
perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air, dan ruang angkasa.
B. Kewenangan Pemerintah Daerah Di Bidang Pertanahan
1) Pasal 18 ayat 5 UUD 1945 merumuskan :
Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan
pemerintahan yang oleh Undang-Undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah
Pusat.
2) Pasal 2 ayat (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA) menyebutkan :
7 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD 1945)8 Harsono, Boedi, 2008. Hukum Agraria Indonesia, Jakarta: Djambatan.
11
Hak menguasai negara tersebut di atas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada
daerah-daerah swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan
dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan
peraturan pemerintah.
Penjelasan Pasal 2 menyebutkan :
Dengan demikian maka pelimpahan wewenang untuk melaksanakan hak
penguasaandari negara atas tanah itu adalah medebewind. Segala sesuatunya akan
diselenggarakaan menurut keperluannya dan sudah barang tentu tidak boleh
bertentangan dengan kepentingan nasional. Wewenang dalam bidang agraria dapat
merupakan sumber keuangan dbagi daerah itu.
3) Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah menyebutkan :
Pemerintah daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ini
ditentukan menjadi urusan pemerintah.
4) Sedangkan yang sebenarnya urusan wajib dari Pemerintah Daerah sudah ditentukan
juga dalam Undang-Undang menurut Pasal 14 ayat (1) huruf k menyebutkan :
Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah untuk kabupaten/kota
merupakan urusan yang berskala kabupaten/kota meliputi: huruf k yaitu Pelayanan
Pertanahan.
Berdasarkan paparan peraturan perundang-undangan tersebut diatas maka dapat
disimpulkan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh
negara, artinya kekuasaan negara disini dijalankan oleh pemerintah berdasarkan hak yang disebut
hak menguasai negara atas tanah yang ada di wilayah Republik Indonesia. Hak Menguasai
Negara dalam UUPA adalah memberi hak kepada Negara untuk menguasai tanah sementara
kemudian mendistribusikannya kepada rakyat sesuai dengan prinsip-prinsip kepentingan umum
dan tidak merugikan kepentingan rakyat. Dalam melaksanakan hak menguasai ini dapat
dikuasakan kepada daerah-daerah swatantra dan masyarakat hukum adat. Jadi walaupun pada
asasnya tidak dapat diotonomkan tapi dapat di medebewind.
12
Berdasarkan Pasal 2 ayat (4) UUPA, Pasal 14 huruf k Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2006 dan Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 2003 maka menurut ketentuan Pasal 2 ayat (4)
UUPA hak menguasai dari negara dapat di medewind kan ke daerah swatantra . Jadi berdasarkan
pelimpahan wewenang pertanahan dari Pemerintah tentunya kabupaten/kota secara yuridis
sebenarnya mempunyai alasan yang kuat untuk mendapatkan otonomi di bidang pertanahan.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 22
Tahun 1999, terlahir sebagai respon terhadap perubahan konstitusi Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang telah diamandemen empat kali. Di samping itu
juga dengan memperhatikan Ketetapan MPR No. IV/MPR/2000, mengenai Rekomendasi
Kebijakan dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah. Desentralisasi dalam undang-undang ini,
memberikan otonomi seluas-luasnya kepada daerah otonom concurrent untuk mengurus dan
mengatur semua urusan pemerintahan di luar bidang yang menjadi urusan pemerintah.
Berdasarkan prinsip otonomi luas tersebut dalam pelaksanaannya dilakukan secara nyata dan
bertanggung jawab yaitu bahwa urusan pemerintahan dimaksud dilaksanakan berdasarkan tugas,
wewenang dan kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup dan
berkembang sesuai potensi dan kekhasan daerah. Setiap bidang urusan pemerintahan yang
bersifat senantiasa terdapat bagian urusan yang menjadi kewenangan pemerintah, pemerintah
daerah provinsi, dan pemerintah daerah kabupaten/kota. Pembagian urusan pemerintahan yang
bersifat concurrent tersebut dibagi secara proporsional antara Pemerintah, Pemerintah Daerah
Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, maka ditetapkan kriteria pembagian urusan
yang meliputi eksternalitas, akuntabilitas dan efisiensi.9
Eksternalitas, adalah pendekatan dalam pembagian urusan pemerintahan dengan
mempertimbangkan dampak atau akibat yang ditimbulkan dalam penyelenggaraan urusan
pemerintahan tersebut. Apabila dampak yang ditimbulkan bersifat lokal, maka urusan
pemerintahan tersebut menjadi kewenangan kabupaten/kota, apabila berdampak regional
menjadi kewenangan provinsi, dan apabila berdampak nasional menjadi kewenangan
Pemerintah. Akuntabilitas, adalah pendekatan dalam pembagian urusan pemerintahan dengan
pertimbangan bahwa tingkat pemerintahan yang menangani sesuatu bagian urusan adalah tingkat
pemerintahan yang lebih langsung atau dekat dengan dampak atau akibat dari urusan yang
9 Eddy Ruchiyat, S.H. 1999.Politik Pertanahan Nasional sampai Orde Reformasi,.Bandung : Alumni
13
ditangani tersebut. Artinya akuntabilitas (pertanggungjawaban) penyelenggaraan bagian urusan
pemerintahan tersebut kepada masyarakat akan lebih terjamin.
Efisiensi, adalah pendekatan dalam pembagian urusan pemerintahan dengan
mempertimbangkan tersedianya sumber daya (personil, dana, dan peralatan) untuk mendapatkan
ketepatan, kepastian, dan kecepatan hasil yang harus dicapai dalam penyelenggaraan bagian
urusan. Artinya apabila suatu bagian urusan dalam penanganannya dipastikan akan lebih
berdayaguna dan berhasil guna dilaksanakan oleh daerah Provinsi dan/atau Daerah
Kabupaten/Kota dibandingkan apabila ditangani oleh Pemerintah maka bagian urusan tersebut
diserahkan kepada Daerah Provinsi dan/atau Daerah Kabupaten/Kota. Sebaliknya apabila suatu
bagian urusan akan lebih berdayaguna dan berhasilguna bila ditangani oleh Pemerintah maka
bagian urusan tersebut tetap ditangani oleh Pemerintah.
2. Kendala-kendala yang Dihadapi Pemerintah dalam Melaksanakan Kewenangan di
Bidang Pertanahan.
Pengelolaan pertanahan di Indonesia didasarkan pada arah dan kebijakan dalam Pasal 33
ayat (3) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 di mana sampai dengan
amandemen yang ke 4 (empat) secara redaksional tidak mengalami perubahan. Pasal tersebut
menyatakan bahwa: Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai
oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Bidang pertanahan merupakan wewenang dari Badan Pertanahan Nasional yang
mempunyai Kantor Wilayah di provinsi (regional) dan mempunyai Kantor Pertanahan di
kabupaten/kota (sektoral). Berdasarkan Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang Pokok Agraria, hak
menguasai dari negara dapat di medebewind ke daerah swatantra.10 Berdasarkan Pasal 13 dan
14 huruf (k) Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004, urusan pelayanan pertanahan merupakan
wewenang wajib dari kabupaten/kota. Perincian wewenang pertanahan dari kabupaten/kota
kemudian diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 2003. Jadi berdasarkan pelimpahan
wewenang pertanahan dari pemerintah tentunya kabupaten/kota secara yuridis sebenarnya
mempunyai alasan yang kuat untuk mendapatkan otonomi di bidang pertanahan. Apalagi
10 Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
14
kemudian diperkuat lagi dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007,
yang pada bagian lampirannya lebih menegaskan tentang pembagian kewenangan di bidang
pertanahan antara pusat dan daerah.
Mencermati ketentuan Pasal 13 ayat (1) dan Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32
tahun 2004 berikut peraturan pelaksanaannya, apabila dihubungkan dengan ketentuan Pasal 2
ayat (1) dan ayat (4) UndangUndang Pokok Agraria, Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006
beserta peraturan pelaksanaannya, maka di bidang pertanahan telah terjadi ketidaksinkronan
peraturan perundang-undangan. Dipihak pemerintah menganggap bahwa wewenang pertanahan
secara yuridis adalah sudah sesuai dengan amanat Pasal 2 Undang-Undang Pokok Agraria tetapi
dilain pihak pemerintah daerah juga menganggap bahwa dengan berlakunya Undang Undang
Nomor 22 Tahun 1999 yang kemudian diganti dengan UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004,
maka secara yuridis pemerintah daerah mempunyai wewenang juga di bidang pertanahan.
Dissinkronisasi demikian dapat menimbulkan benturan antara kedua undang-undang tersebut
sehingga memunculkan adanya problema dan konflik norma serta konflik kepentingan dalam
pelaksanaan otonomi daerah di bidang pertanahan. Kondisi yang demikian dapat terjadi karena
Undang-Undang Pemerintahan Daerah hanya mengatur tanah dalam arti sempit, yaitu
kewenangan pemanfaatan tanah dan pengelolaan bidang oleh kabupaten/kota, sedangkan
menurut Undang-Undang Pokok Agraria konsep tanah diartikan secara luas, meliputi penataan
ruang, hak atas tanah, pendaftaran tanah, landreform dan lain sebagainya. Urusan pertanahan
yang dapat dilimpahkan dalam rangka otonomi daerah hanyalah urusan agraria (pertanian),
sedangkan urusan kepemilikan tanah harus tetap berada pada kewenangan pemerintah pusat.
Kewenangan mengurus bidang pertanahan menurut Undang-Undang Pokok Agraria ada pada
negara yang dalam pelaksanaannya dilakukan oleh pemerintah pusat. Ketentuan dalam Undang-
Undang Pokok Agraria tersebut bersumber pada Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia tahun 1945, yang telah menentukan bahwa semua tanah adalah merupakan
hak ulayat Bangsa Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang penguasannya
ditugaskan kepada negara dalam hal ini adalah pemerintah pusat. Kesemuanya itu dimaksudkan
untuk menuju pada pencapaian sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Berdasarkan hak
menguasai negara sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 Undang-Undang Pokok Agraria, maka
pemerintah pusat berwenang mengatur dan menetapkan berbagai segi peruntukan dan
penguasaan tanah. Penetapan dan pengaturan tersebut meliputi perencanaan peruntukan tanah,
15
penguasaan dan perbuatan hukum mengenai tanah serta pendaftaran tanah, yang pada
kenyataannya selalu dilaksanakan oleh pemerintah pusat. Memang dimungkinkan dilakukan
pelimpahan wewenang kepada pemerintah daerah atau daerah swatantra, namun pelimpahan
tersebut dilakukan dalam rangka dekonsentrasi kepada pejabat-pejabat pemerintah pusat yang
ada di daerah. Bisa juga pelimpahan wewenang tersebut diberikan kepada pemerintah daerah
sebagai daerah otonom, tetapi hanya dalam rangka tugas pembantuan (medebewind), bukan
desentralisasi atau otonomi daerah.
Otonomi daerah sebagaimana ditentukan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang
kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, urusan pertanahan dapat
didesentralisasikan kepada pemerintah daerah. Undang-undang tersebut telah menentukan
bahwa bidang pertanahan merupakan salah satu urusan wajib yang harus dilaksanakan oleh
pemerintah daerah (Provinsi dan Kabupaten/Kota), namun ketentuan tersebut tidak harus dicerna
secara mentah atau dimaknai bahwa wewenang tersebut secara utuh berada pada pemerintah
daerah. Arie Sukanti Hutagalung, mengatakan bahwa wewenang yang dipunyai oleh pemerintah
daerah di bidang pertanahan hanya sebatas yang bersifat lokalitas, dan tidak bersifat nasional.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Tanah merupakan komponen terpenting dalam sebuah pembangunan di dalam suatu
Negara. Maka, dengan adanya Hak Menguasai Negara atas Tanah diharapkan dapat membuat
keadilan bagi semua rakyat Indonesia. Hak Menguasai Negara sebagai pemegang kekuasaan
tertinggi yang memiliki kewenangan yang sudah diatur dalam Pasal 2 Undang- Undang Nomor 5
Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok- Pokok Agraria, menyebutkan :
Mengatur dan menyelenggarakan peruntukkan, penggunaan, persediaan, dan
pemeliharaan bumi, air, dan ruang angkasa tersebut;
Menentukan dan mengatur hubungan- hubungan hukum antara orang-orang
dengan bumi, air, ruang angkasa;
16
Menetukan dan mengatur hubungan- hubungan hukum antara orang-orang dan
perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air, dan ruang angkasa.
Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara, artinya
kekuasaan negara disini dijalankan oleh pemerintah berdasarkan hak yang disebut hak
menguasai negara atas tanah yang ada di wilayah Republik Indonesia. Hak Menguasai Negara
dalam UUPA adalah memberi hak kepada Negara untuk menguasai tanah sementara kemudian
mendistribusikannya kepada rakyat sesuai dengan prinsip-prinsip kepentingan umum dan tidak
merugikan kepentingan rakyat.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 22
Tahun 1999, terlahir sebagai respon terhadap perubahan konstitusi Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang telah diamandemen empat kali. Di samping itu
juga dengan memperhatikan Ketetapan MPR No. IV/MPR/2000, mengenai Rekomendasi
Kebijakan dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah. Desentralisasi dalam undang-undang ini,
memberikan otonomi seluas-luasnya kepada daerah otonom concurrent untuk mengurus dan
mengatur semua urusan pemerintahan di luar bidang yang menjadi urusan pemerintah.
Pembagian urusan pemerintahan yang bersifat concurrent tersebut dibagi secara proporsional
antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, maka
ditetapkan kriteria pembagian urusan yang meliputi eksternalitas, akuntabilitas dan efisiensi.
Pengelolaan pertanahan di Indonesia didasarkan pada arah dan kebijakan dalam Pasal
33 ayat (3) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 di mana sampai
dengan amandemen yang ke 4 (empat) secara redaksional tidak mengalami perubahan.
Mencermati ketentuan Pasal 13 ayat (1) dan Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 tahun
2004 berikut peraturan pelaksanaannya, apabila dihubungkan dengan ketentuan Pasal 2 ayat (1)
dan ayat (4) UndangUndang Pokok Agraria, Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 beserta
peraturan pelaksanaannya, maka di bidang pertanahan telah terjadi ketidaksinkronan peraturan
perundang-undangan. Dipihak pemerintah menganggap bahwa wewenang pertanahan secara
yuridis adalah sudah sesuai dengan amanat Pasal 2 Undang-Undang Pokok Agraria tetapi dilain
pihak pemerintah daerah juga menganggap bahwa dengan berlakunya Undang Undang Nomor
22 Tahun 1999 yang kemudian diganti dengan UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004, maka
secara yuridis pemerintah daerah mempunyai wewenang juga di bidang pertanahan.
17
Kewenangan mengurus bidang pertanahan menurut Undang-Undang Pokok Agraria ada
pada negara yang dalam pelaksanaannya dilakukan oleh pemerintah pusat. Ketentuan dalam
Undang-Undang Pokok Agraria tersebut bersumber pada Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, yang telah menentukan bahwa semua tanah
adalah merupakan hak ulayat Bangsa Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang
penguasannya ditugaskan kepada negara dalam hal ini adalah pemerintah pusat. Kesemuanya itu
dimaksudkan untuk menuju pada pencapaian sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Memang
dimungkinkan dilakukan pelimpahan wewenang kepada pemerintah daerah atau daerah
swatantra, namun pelimpahan tersebut dilakukan dalam rangka dekonsentrasi kepada pejabat-
pejabat pemerintah pusat yang ada di daerah. Bisa juga pelimpahan wewenang tersebut
diberikan kepada pemerintah daerah sebagai daerah otonom, tetapi hanya dalam rangka tugas
pembantuan (medebewind), bukan desentralisasi atau otonomi daerah. Wewenang yang dipunyai
oleh pemerintah daerah di bidang pertanahan hanya sebatas yang bersifat lokalitas, dan tidak
bersifat nasional.
B. Saran
1. Sebaiknya pembagian wewenang antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah
lebih ditegaskan kembali agar dapat berjalan lancar tanpa ada kesalahpahaman yang
dapat menimbulkan konflik dan mengganggu berjalannya pembangunan.
2. Pemahaman pada setiap peraturan perundang-undangan harus disamakan dan diberi
titik terang agar lebih memperjelas maksud dari peraturan perundang-undangan itu
sendiri dan mempermudah jalannya proses pembangunan serta memperjelas dan
mempermudah tugas baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.
18
DAFTAR PUSTAKA
Dari Buku :
Harsono, Boedi, 2008. Hukum Agraria Indonesia, Jakarta: Djambatan.
Eddy Ruchiyat, S.H. 1999.Politik Pertanahan Nasional sampai Orde Reformasi,.Bandung :
Alumni
Maria S.W. Sumardjono.2005.Kebijakan Pertanahan, antara Regulasi dan Implementasi.Jakarta : Kompas
Moekijat,1996. Kamus Agraria,.Bandung : Mandar Maju.
Santoso, Urip, Hukum Agraria dan Hak-hak Atas Tanah, Jakarta: Prenada Media Group.
Dari Internet :
19
Humam Balya. Hak Menguasai Negara yang menggila
http://humambalya.wordpress.com/2011/02/12/hak-menguasai-negara-yang-menggila/> diakses
pada Minggu,12 Oktober 2014 pukul 10.13
Dari Jurnal :
Elisabeth wicker and anil kahlan.2010.” Land rights issues in international human rights law”.
vol 4. Malaysia: MalaysiaN Journal on human rights law.
Christiana Sri Murni.2011.”Eksistensi hukum adat dan pertanahan dan uupa nomor 5 tahun 1960
dalam kerangka penertiban administrasi pertanahan” vol 13.jakarta : Majalah Ilmiah
INDIKATOR
Dari Undang-Undang :
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD 1945)
Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
20
top related