KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PENGATURAN PERTANAHAN Disusun Guna Memenuhi UKD 2 Mata Kuliah Hukum Agraria Dosen Pengampu : Rahayu Subekti, SH, M.Hum Oleh : Aan Efendhi ( E0013002 ) Aguita Bintang M.S ( E0013026 ) Resti Fouziah ( E0013333 ) Sarah Meilita I ( E0013375 ) Siti Aminah ( E0013380 ) FAKULTAS HUKUM
29
Embed
KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PENGATURAN PERTANAHAN
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PENGATURAN
PERTANAHAN
Disusun Guna Memenuhi UKD 2 Mata Kuliah Hukum Agraria
A. Kesimpulan ............................................
....................................... 16
B. Saran………...............................................
................................... 18
DAFTAR PUSTAKA
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bagi masyarakat Indonesia tanah merupakan factor kehidupan
yang vital. Tanah tidak hanya merupakan factor produksi dalam
arti ekonomi, namun juga mengandung arti social, politik, dan
budaya secara menyeluruh, bahkan cenderung mempunyai arti
reigius. Betapa pentingnya penguasaan sumber-sumber agrarian bagi
kehidupan.
Perkembangan gagasan tentang politik agrarian Indonesia
pasca-kolonial menemukan bentuk dengan dirumuskannya Undang-
Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Undang-undang Pokok Agraria.
Niat formal UUPA 1960 adalah sebagai undang-undang organic dan
induk di bidang agrarian, dan merupakan implementasi dari Pasal
33 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945 (UUD 1945). Dengan mulai
berlakunya UUPA (Undang-undang Pokok Agraria) terjadi perubahan
fundamental pada Hukum Agraria di Indonesia, terutama hukum
dibidang pertanahan, yang sering kita sebut sebagi Hukum
Pertanahan yang dikalangan pemerintahan dan umum juga dikenal
sebagai Hukum Agraria. UUPA bukan hanya memuat ketentuan-
ketentuan mengenai perombakan hukum agrarian, sesuai dengan
namanya Peraturan dasar pokok-pokok Agraria, UUPA memuat juga
lain-lain pokok persoalan agrarian serta penyelesaiannya. Ruang
lingkup bumi menurut UUPA adalah permukaan bumi dan tubuh bumi
4
dibawahnya serta yang berada dibawah air. permukaan bumi sebagai
bagian dari bumi juga disebut tanah. Tanah yang dimaksudkan
disini bukan mengatur tanah dalam segala aspeknya, melainkan
hanya mengatur salah satu aspeknya, yaitu tanah dalam pengertian
yuridis yang disebut hak-hak penguasaan atas tanah. Dalam hak
penguasaan atas tanah terdapat kewenangan, kewajiban, dan atau
larangan bagi pemegang haknya untuk berbuat sesuatu mengenai
tanah yang dihaki. Sesuatu yang boleh, wajib, atau dilarang untuk
diperbuat yang merupakan isi hak penguasaan itulah yang menjadi
kriteria atau tolok ukur pembeda diantara hak-hak penguasaan atas
tanah yang diatur dalam Hukum Tanah. Kewenangan negara yang
berkaitan dengan tanah diatur dalam Undang Undang Dasar Negara
Republik Indonesia tahun 1945 Pasal 33 ayat (3) yang menentukan:
bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai
negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran
rakyat. Tanah adalah bagian dari bumi, oleh sebab itu tanah
dikuasai oleh negara. Berdasarkan uraian di atas, dapat dirinci
bahwa konsep ’dikuasai negara’ artinya negara mengatur,
negaralah yang mempunyai kewenangan mengelola dan mengatur tanah
guna sebesar-besarnya kemakmuran rakyat; dengan kata lain, pada
tingkatan tertinggi negara yang berhak mengatur peruntukan dan
pemanfaatannya.[1] Pengaturan oleh negara diperlukan karena
kekhawatiran bahwa tanpa campur tangan negara akan terjadi
ketidakadilan dalam akses terhadap perolehan dan pemanfaatan
sumber daya alam oleh masyarakat. Ketegasan kewenangan demikian
adalah wewenang yang didistribusikan dalam Undang-Undang Dasar,
5
sehingga negara berhak untuk menuntut kepatuhan. Kewenangan
inilah yang melahirkan otoritas negara atas tanah secara hukum
publik; dengan demikian kewenangan negara dalam bidang
pertanahan baru dapat diketemukan apabila didasarkan pada
perluasan tafsir dari Pasal 33 ayat (3) UUD tahun 1945.
Berdasarkan ketentuan Pasal 16 ayat (1) UUPA dan pasal 3
UUPA, hak atas tanah yang dapat dikuasai oleh Pemerintah Daerah
adalah hak pakai yang diatur dalam Pasal 41 sampai dengan Pasal
43 UUPA. Selain hak pakai atas tanah, hak penguasaan atas tanah
yang dapat dikuasai oleh Pemerintah Daerah adalah hak
pengelolaan.1 UUPA secara tersurat tidak menyebut Hak Pengelolaan
tetapi hanya menyebut pengelolaan dalam Penjelasan Umum Angka II
Nomor 2 UUPA yaitu negara dapat memberikan tanah yang demikian
itu kepada seseorang atau badan hukum dengan sesuatu hak menurut
peruntukan dan keperluannya. Pengetian hak pengelolaan diatur
dalam Pasal 1 angka 2 Peraturan Pemerintah Nomor 41 tahun 1966 jo
Pasal 1 angka 4 Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997, yaitu
Hak Pengelolaan adalah hak menguasai negara yang kewenangan
pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegangnya. Ada
beberapa ketentuan yang menunjukkan bahwa pemerintah daerah dapat
mempunyai tanah hak pengelolaan, yaitu (1) Pasal 5 Peraturan
Menteri Agraria No. 9 Tahun 1965; (2) Pasal 1 huruf b Peraturan
Menteri Agraria No. 1 Tahun 1966; (3) Pasal 5 dan Pasal 6
Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 5 Tahun 1974 tentang Ktentuan-
ketentuan Mengenai Penyediaan dan Pemberian Tanah Untuk Keperluan
1 Santoso, Urip, Hukum Agraria dan Hak-hak Atas Tanah, Jakarta: Prenada Media Group
6
Perusahaan; (4) Pasal 2 Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 1997
tentang Pengenaan Bea Perolehan Hak Atas dan Bangunan Karena
Pemberian Hak Pengelolaan; dan (5) Pasal 67 Peraturan Menteri
Negara Agararia/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 9 Tahun
1999. Ada dua cara perolehan hak pakai atau Hak Pengelolaan oleh
Pemerintah Daerah. Pertama, Penegasan Konversi. Konversi adalah
perubahan status hak atas tanah menurut hukum yang lama sebelum
berlakunya UUPA, yaitu hak atas tanah yang tunduk pada hukum
barat, hukum adat dan Daerah Swatantra menjadi hak atas tanah
menurut UUPA. Kedua, pemberian hak. Pemberian Hak menurut Pasal 1
ayat (8) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan
Nasional No. 9 Tahun 1999, adalah penetapan pemerintah yang
memberikan sesuatu hak atas tanah negara, perpanjangan jangka
waktu hak, pembaharuan hak, perubahan hak, termasuk pemberian hak
di atas hak pengelolaan. Hak penguasaan atas tanah yang dapat
dikuasai oleh pemerintah daerah adalah hak pakai dan hak
pengelolaan. Wewenang pemerintah daerah terhadap hak pakainya
adalah menggunakan tanah hak pakai untuk kepentingan pelaksanaan
tugasnya. Wewenang pemerintah daerah terhadap hak pengelolaannya
adalah merencanakan peruntukan dan penggunaan tanah,
mempergunakan tanah untuk kepentingan pelaksanaan tugasnya dan
menyerahkan bagian-bagian tanah hak pengelolaan kepada pihak
ketiga dan atau bekerja sama dengan pihak ketiga. Oleh karena
itu, kami menuliskan judul dalam makalah ini yaitu “Kewenangan
Pemerintah Daerah Dalam Pengaturan Pertanahan”
7
A. Rumusan Masalah
Untuk memberikan arah dan panduan yang mengerucut
mengenai bahasan yang dikaji, Perumusan masalah sebagai
sebuah konsepsi permasalahan yang akan di cari jawabannya
perlu ditentukan terlebih dahulu. Adapaun permasalahan yang
diangkat dalam makalah ini adalah :
1. Bagaimana Wewenang Pemerintah Daerah Dalam Mengatur
Pertanahan?
8
2. Bagaimana Kendala-Kendala Pemerintah Daerah Dalam
Mengatur Pertanahan?
B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Objektif
a. Untuk mengetahui Wewenang Pemerintah Daerah Dalam
Mengatur Pertanahan
b. Untuk mengetahui Kendala-Kendala Pemerintah Daerah
Dalam Mengatur Pertanahan
2. Tujuan Subjektif
a. Menambah pengetahuan penulis mengenai Wewenang
Pemerintah Daerah Dalam Mengatur Pertanahan
b. Melatih kemampuan penulis dalam mengetahui Kendala-
Kendala Pemerintah Daerah Dalam Mengatur Pertanahan
C. Manfaat Penulisan
1. Dapat memberi pengetahuan lebih mengenai Hak Menguasai
Negara
2. Dapat mengetahui dan memahami Wewenang Pemerintah Daerah
Dalam Mengatur Pertanahan
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Penguasaan dan Menguasai Atas Tanah
Secara etimologis, menguasai dapat diartikan sebagai
“proses, cara, perbuatan menguasai atau mengusahakan”. Jadi
penguasaan adalah suatu tindakan yang mencakup dari segi proses
sampai cara menguasainya. Menurut undang-undang pokok agraria
Penguasaan oleh negara adalah suatu proses yang dilakukan oleh
negara untuk menguasai atau mengusahakan sesuatu yang sesuai
dengan kepentingan.2 Pengertian “penguasaan” dan “menguasai dapat
dipakai dalam arti fisik, juga dalam arti yuridis. Dan juga
beraspek perdata dan beraspek publik. Penguasaan dalam arti
yuridis adalah penguasaan yang dilandasi hak, yang dilindungi
oleh hukum dan pada umumnya memberi kewenangan kepada pemegang
hak untuk menguasai secara fisik tanah yang dihaki, misalnya
pemilik tanah mempergunakan atau mengambil manfaat dari tanah
yang dihaki, tidak diserahkan kepada pihak lain.3 Ada penguasaan
yuridis, biarpun memberi kewenangan untuk menguasai tanah yang
dihaki secara fisik, pada kenyataannya penguasaan fisik dilakukan
oleh pihak lain. Misalnya, seseorang memiliki tanah tidak
mempergunakan tanahnya sendiri melainkan disewakan kepada pihak
2 Humam Balya. Hak Menguasai Negara yang menggila http://humambalya.wordpress.com/2011/02/12/hak-menguasai-negara-yang-menggila/> diakses pada Minggu,12 Oktober 2014 pukul 10.13
lain, dalam hal ini secara yuridis tanah tersebut dimiliki oleh
pemilik tanah, akan tetapi secara fisik dilakukan oleh penyewa
tanah. Ada juga penguasaan secara yuridis yang tidak memberi
kewenangan untuk menguasai tanah yang bersangkutan secara fisik.
Misalnya, kreditor (bank) memegang jaminan atas tanah mempunyai
hak penguasaan yuridis atas tanah yang dijadikan agunan
(jaminan), akan tetapi secara fisik penguasaan tanahnya tetap ada
pada pemegang hak atas tanah. Penguasaan yuridis dan fisik atas
tanah ini dipakai dalam aspek privat, sedangkan penguasaan
yuridis yang beraspek publik, yaitu penguasaan atas tanah
sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan
Pasal 2 UUPA.4 Hak penguasaan atas tanah berisi serangkaian
wewenang, kewajiban, dan atau larangan bagi pemegang haknya untuk
berbuat sesuatu mengenai tanh yang di hakinya. Sesuatu yang
boleh, wajib atau dilarang untuk diperbuat, yang merupakan isi
hak penguasaan itulah yang menjadi kriteria atau tolak ukur
pembeda di antara hak-hak penguasaan atas tanah yang diatur dalam
Hukum Tanah.
Hak penguasaan atas tanah berisi serangkaian wewenang,
kewajiban, dan atau larangan bagi pemegang haknya untuk berbuat
sesuatu mengenai tanah yang menjadi haknya. Sesuatu yang boleh,
wajib atau dilarang untuk diperbuat, yang merupakan isi hak
penguasaan itulah yang menjadi kriteria atau tolok ukur pembeda
di antara hak-hak penguasaan atas tanah yang diatur dalam Hukum
Tanah. Penguasaan dapat ditafsirkan melalui beberapa aspek
4 Maria S.W. Sumardjono.2005.Kebijakan Pertanahan, antara Regulasi dan Implementasi.Jakarta : Kompas
11
seperti aspek fisik, yuridis, privat, maupun publik. Yang masing-
masing mencakup:
1. Penguasaaan dalam arti yuridis, merupakan penguasaan yang
dilandasi hak, yang dilindungi oleh hukum dan pada umumnya
memberi kewenangan kepada pemegang hak untuk menguasai
secara fisik tanah yang dihaki, misalnya pemilik tanah
mempergunakan atau mengambil mamfaat dari tanah yang dihaki,
tidak diserahkan kepada pihak lain.
2. Penguasaan fisik, penguasaan yang pada kenyataanya atau
realita yang ada. siapa pengguna atau pemanfaat tanah itulah
yang disebut sebagai penguasa fisik.
3. Penguasaan privat, penguasan dalam kepentingan privat, yaitu
untuk beberapa maupun sekelompok orang tertentu.
4. Penguasaan public, yaitu penguasaan demi kepentingan umum
atau bersama. Dimana tanah tidak hanya untuk sekelompok
orang tertentu tapi untuk masyarakat secara keseluruhan.
Contohnya penggunaan tanah untuk pembangunan jalan tol.
Right to control the state is The condition of landlessness
threatens the enjoyment of a number of fundamental human rights.
access to land is important for development and poverty
reduction, but also often necessary for acces to numerous
economic, social and cultural rights, and as a gateway for many
civil and political rights. however, there is no right to land
codified n internasional human rights law. land is cross-cutting
issue, and is not simply a resource for one human right in the
12
intrnasional legal framework. and yet, while rights have been
established in the international legal framework that relate to
land access for particular groups, numerous rights areaffected by
access to land and general principles.5
B. Pengaturan Hak Penguasaan Atas Tanah Oleh Pemerintah
Dalam tiap hukum tanah terdapat pengaturan mengenai
berbagai hak penguasaan atas tanah. Dalam UUPA misalnya diatur
dan sekaligus ditetapkan tata jenjang atau hierarki hak-hak
penguasaan atas tanah dalam Hukum Tanah Nasional, Hak ini
merupakan hak penguasaan atas tanah yang tertinggi dan meliputi
semua tanah yang ada dalam wilayah Negara, yang merupakan tanah
bersama, bersifat abadi dan menjadi induk bagi hak-hak penguasaan
yang lain atas tanah. pengaturan ini termuat dalam Pasal 1 ayat
(1)-(3) UUPA.
Hak Bangsa Indonesia atas tanah mempunyai sifat
komunalistik, artinya semua tanah yang ada dalam wilayah NKRI
merupakan tanah bersama rakyat Indonesia, yang telah bersatu
sebagai Bangsa Indonesia (Pasal 1 ayat (1) UUPA). selain itu juga
mempunyai sifat religius, artinya seluruh tanah yang ada dalam
wilayah NKRI merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa (Pasal 1 ayat
(2) UUPA). Hubungan antara Bangsa Indonesia dengan tanah bersifat
abadi, atinya selama rakyat Indonesia masih bersatu sebagai
Bangsa Indonesia dan selama tanah tersebut masih ada pula, dalam
5 Elisabeth wicker and anil kahlan. Land rights issues in international human rights law. Malaysian Journal on human rights law.Malaysia,2010 hal 2-3
13
keadaan yang bagaimanapun tidak ada sesuatu kekuasaan yang akan
dapat memutuskan atau meniadakan hubungan tersebut (Pasal 1 ayat
(3).6
Hak ini bersumber pada hak bangsa Indonesia atas tanah, yang
hakikatnya merupakan penugasan pelaksanaan tugas kewenangan
bangsa yang mengandung hukum publik. Tugas mengelola seluruh
tanah bersama ini dikuasakan sepenuhnya kepada NKRI sebagai
organisasi kekuasaan seluruh rakyat (Pasal 2 ayat (1) UUPA).
Isi wewenang hak menguasai dari Negara Atas Tanah sebagai
mana dimuat di dalam Pasal 2 ayat (2) UUPA adalah:
a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan,
persediaan dan pemeliharaan tanah.
b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara
orang-orang dengan tanah.
c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara
orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai
tanah.
BAB III
PEMBAHASAN
1. Kewenangan Bidang Pertanahan
6 Christiana Sri Murni.2011.”Eksistensi hukum adat dan pertanahan dan uupanomor 5 tahun 1960 dalam kerangka penertiban administrasi pertanahan” vol13.jakarta : Majalah Ilmiah INDIKATOR
14
A. Kewenangan Pemerintah Pusat
Pengelolaan pertanahan di Indonesia didasarkan pada arah dan
kebijakan dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 di
mana sampai dengan Amandemen yang ke IV. Pasal 33 ayat (3)
Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa :”...bumi dan air dan kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Berdasarkan landasan ini kemudian
diundangkan pada Undang-Undang No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Agraria. Pasal 2 UUPA menyebutkan: Atas dasar
ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan hal-hal sebagaimana
dimaksud Pasal 1, bumi,air dan ruang angkasa termasuk kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi
dikuasai oleh negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh
rakyat.7
Tanah merupakan komponen terpenting dalam sebuah pembangunan
di dalam suatu Negara. Maka, dengan adanya Hak Menguasai Negara
atas Tanah diharapkan dapat membuat keadilan bagi semua rakyat
Indonesia terutama yang berkaitan dengan Pengadaan Tanah. Untuk
menjamin keadilan bagi rakyat, negara memberikan berbagai macam
Hak baik itu milik perseorang maupun milik bersama. Namun,
terdapat kepentingan yang lebih tinggi yang dapat menghapuskan
semua hak yang dimiliki baik secara perorangan maupun dimiliki
bersama yaitu Kepentingan Umum. Dengan itu, maka diharapkan semua
rakyat dapat secara sukarela dan setuju apabila tanah mereka
7 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD 1945)
15
dipakai untuk melaksanakan pembangunan untuk umum.8 Dalam konteks
ini, Hak Menguasai Negara sebagai pemegang kekuasaan tertinggi
yang memiliki kewenangan yang sudah diatur dalam Pasal 2 Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok- Pokok
Agraria, menyebutkan :
a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukkan, penggunaan,
persediaan, dan pemeliharaan bumi, air, dan ruang angkasa
tersebut;
b. Menentukan dan mengatur hubungan- hubungan hukum antara
orang-orang dengan bumi, air, ruang angkasa;
c. Menetukan dan mengatur hubungan- hubungan hukum antara
orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai
bumi, air, dan ruang angkasa.
B. Kewenangan Pemerintah Daerah Di Bidang Pertanahan
1) Pasal 18 ayat 5 UUD 1945 merumuskan :
Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya,
kecuali urusan pemerintahan yang oleh Undang-Undang
ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat.
2) Pasal 2 ayat (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA)
menyebutkan :
Hak menguasai negara tersebut di atas pelaksanaannya
dapat dikuasakan kepada daerah-daerah swatantra dan
masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan
8 Harsono, Boedi, 2008. Hukum Agraria Indonesia, Jakarta: Djambatan.
16
tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut
ketentuan-ketentuan peraturan pemerintah.
Penjelasan Pasal 2 menyebutkan :
Dengan demikian maka pelimpahan wewenang untuk
melaksanakan hak penguasaandari negara atas tanah itu
adalah medebewind. Segala sesuatunya akan
diselenggarakaan menurut keperluannya dan sudah barang
tentu tidak boleh bertentangan dengan kepentingan
nasional. Wewenang dalam bidang agraria dapat merupakan
sumber keuangan dbagi daerah itu.
3) Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah menyebutkan :
Pemerintah daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan
yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan
yang oleh undang-undang ini ditentukan menjadi urusan
pemerintah.
4) Sedangkan yang sebenarnya urusan wajib dari Pemerintah
Daerah sudah ditentukan juga dalam Undang-Undang menurut
Pasal 14 ayat (1) huruf k menyebutkan :
Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah
untuk kabupaten/kota merupakan urusan yang berskala
kabupaten/kota meliputi: huruf k yaitu Pelayanan
Pertanahan.
Berdasarkan paparan peraturan perundang-undangan tersebut
diatas maka dapat disimpulkan bahwa bumi, air dan kekayaan alam
yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara, artinya
17
kekuasaan negara disini dijalankan oleh pemerintah berdasarkan
hak yang disebut hak menguasai negara atas tanah yang ada di
wilayah Republik Indonesia. Hak Menguasai Negara dalam UUPA
adalah memberi hak kepada Negara untuk menguasai tanah sementara
kemudian mendistribusikannya kepada rakyat sesuai dengan prinsip-
prinsip kepentingan umum dan tidak merugikan kepentingan rakyat.
Dalam melaksanakan hak menguasai ini dapat dikuasakan kepada
daerah-daerah swatantra dan masyarakat hukum adat. Jadi walaupun
pada asasnya tidak dapat diotonomkan tapi dapat di medebewind.
Berdasarkan Pasal 2 ayat (4) UUPA, Pasal 14 huruf k Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2006 dan Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun
2003 maka menurut ketentuan Pasal 2 ayat (4) UUPA hak menguasai
dari negara dapat di medewind kan ke daerah swatantra . Jadi
berdasarkan pelimpahan wewenang pertanahan dari Pemerintah
tentunya kabupaten/kota secara yuridis sebenarnya mempunyai
alasan yang kuat untuk mendapatkan otonomi di bidang pertanahan.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 sebagai pengganti Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 1999, terlahir sebagai respon terhadap
perubahan konstitusi Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 yang telah diamandemen empat kali. Di
samping itu juga dengan memperhatikan Ketetapan MPR No.
IV/MPR/2000, mengenai Rekomendasi Kebijakan dalam Penyelenggaraan
Otonomi Daerah. Desentralisasi dalam undang-undang ini,
memberikan otonomi seluas-luasnya kepada daerah otonom concurrent
untuk mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan di luar
18
bidang yang menjadi urusan pemerintah. Berdasarkan prinsip
otonomi luas tersebut dalam pelaksanaannya dilakukan secara nyata
dan bertanggung jawab yaitu bahwa urusan pemerintahan dimaksud
dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang dan kewajiban yang
senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup dan
berkembang sesuai potensi dan kekhasan daerah. Setiap bidang
urusan pemerintahan yang bersifat senantiasa terdapat bagian
urusan yang menjadi kewenangan pemerintah, pemerintah daerah
provinsi, dan pemerintah daerah kabupaten/kota. Pembagian urusan
pemerintahan yang bersifat concurrent tersebut dibagi secara
proporsional antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, maka ditetapkan kriteria
pembagian urusan yang meliputi eksternalitas, akuntabilitas dan
efisiensi.9
Eksternalitas, adalah pendekatan dalam pembagian urusan
pemerintahan dengan mempertimbangkan dampak atau akibat yang
ditimbulkan dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan tersebut.
Apabila dampak yang ditimbulkan bersifat lokal, maka urusan
pemerintahan tersebut menjadi kewenangan kabupaten/kota, apabila
berdampak regional menjadi kewenangan provinsi, dan apabila
berdampak nasional menjadi kewenangan Pemerintah. Akuntabilitas,
adalah pendekatan dalam pembagian urusan pemerintahan dengan
pertimbangan bahwa tingkat pemerintahan yang menangani sesuatu
bagian urusan adalah tingkat pemerintahan yang lebih langsung
9 Eddy Ruchiyat, S.H. 1999.Politik Pertanahan Nasional sampai Orde Reformasi,.Bandung :
Alumni
19
atau dekat dengan dampak atau akibat dari urusan yang ditangani
tersebut. Artinya akuntabilitas (pertanggungjawaban)
penyelenggaraan bagian urusan pemerintahan tersebut kepada
masyarakat akan lebih terjamin.
Efisiensi, adalah pendekatan dalam pembagian urusan
pemerintahan dengan mempertimbangkan tersedianya sumber daya
(personil, dana, dan peralatan) untuk mendapatkan ketepatan,
kepastian, dan kecepatan hasil yang harus dicapai dalam
penyelenggaraan bagian urusan. Artinya apabila suatu bagian
urusan dalam penanganannya dipastikan akan lebih berdayaguna dan
berhasil guna dilaksanakan oleh daerah Provinsi dan/atau Daerah
Kabupaten/Kota dibandingkan apabila ditangani oleh Pemerintah
maka bagian urusan tersebut diserahkan kepada Daerah Provinsi
dan/atau Daerah Kabupaten/Kota. Sebaliknya apabila suatu bagian
urusan akan lebih berdayaguna dan berhasilguna bila ditangani
oleh Pemerintah maka bagian urusan tersebut tetap ditangani oleh
Pemerintah.
2. Kendala-kendala yang Dihadapi Pemerintah dalam Melaksanakan
Kewenangan di Bidang Pertanahan.
Pengelolaan pertanahan di Indonesia didasarkan pada arah dan
kebijakan dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 di mana sampai dengan amandemen
yang ke 4 (empat) secara redaksional tidak mengalami perubahan.
Pasal tersebut menyatakan bahwa: Bumi dan air dan kekayaan alam
20
yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan
untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Bidang pertanahan merupakan wewenang dari Badan Pertanahan
Nasional yang mempunyai Kantor Wilayah di provinsi (regional) dan
mempunyai Kantor Pertanahan di kabupaten/kota (sektoral).
Berdasarkan Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang Pokok Agraria, hak
menguasai dari negara dapat di medebewind ke daerah
swatantra.10 Berdasarkan Pasal 13 dan 14 huruf (k) Undang Undang
Nomor 32 Tahun 2004, urusan pelayanan pertanahan merupakan
wewenang wajib dari kabupaten/kota. Perincian wewenang pertanahan
dari kabupaten/kota kemudian diatur dalam Keputusan Presiden
Nomor 34 Tahun 2003. Jadi berdasarkan pelimpahan wewenang
pertanahan dari pemerintah tentunya kabupaten/kota secara yuridis
sebenarnya mempunyai alasan yang kuat untuk mendapatkan otonomi
di bidang pertanahan. Apalagi kemudian diperkuat lagi dengan
dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007, yang
pada bagian lampirannya lebih menegaskan tentang pembagian
kewenangan di bidang pertanahan antara pusat dan daerah.