Top Banner
KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PENGATURAN PERTANAHAN Disusun Guna Memenuhi UKD 2 Mata Kuliah Hukum Agraria Dosen Pengampu : Rahayu Subekti, SH, M.Hum Oleh : Aan Efendhi ( E0013002 ) Aguita Bintang M.S ( E0013026 ) Resti Fouziah ( E0013333 ) Sarah Meilita I ( E0013375 ) Siti Aminah ( E0013380 ) FAKULTAS HUKUM
29

KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PENGATURAN PERTANAHAN

Feb 20, 2023

Download

Documents

Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PENGATURAN PERTANAHAN

KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PENGATURAN

PERTANAHAN

Disusun Guna Memenuhi UKD 2 Mata Kuliah Hukum Agraria

Dosen Pengampu : Rahayu Subekti, SH, M.Hum

Oleh :

Aan Efendhi ( E0013002 )Aguita Bintang

M.S

( E0013026 )

Resti Fouziah ( E0013333 )Sarah Meilita I ( E0013375 )Siti Aminah ( E0013380 )

FAKULTAS HUKUM

Page 2: KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PENGATURAN PERTANAHAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

2014

DAFTAR ISI

Halaman Judul…………………………………………………………....

Daftar

Isi.........................................................

.............................................2

BAB I Pendahuluan

A. Latar Belakang

Masalah................................................

.................. 3

B. Rumusan

Masalah……..............................................

...................... 6

C. Tujuan

Penulisan..............................................

................................ 6

D. Manfaat penulisan ………………………………………………… 6

BAB II Tinjauan Pustaka

A. Pengertian Hak Menguasai Negara

……….................................... 7

2

Page 3: KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PENGATURAN PERTANAHAN

B. Pengertian Pengadaan

Tanah……................................................

.. 9

BAB III Pembahasan

A. Pembahasan

1………………………….........................................

10

B. Pembahasan

2......................................................

................... …... 13

BAB IV Penutup

A. Kesimpulan ............................................

....................................... 16

B. Saran………...............................................

................................... 18

DAFTAR PUSTAKA

3

Page 4: KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PENGATURAN PERTANAHAN

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Bagi masyarakat Indonesia tanah merupakan factor kehidupan

yang vital. Tanah tidak hanya merupakan factor produksi dalam

arti ekonomi, namun juga mengandung arti social, politik, dan

budaya secara menyeluruh, bahkan cenderung mempunyai arti

reigius. Betapa pentingnya penguasaan sumber-sumber agrarian bagi

kehidupan.

Perkembangan gagasan tentang politik agrarian Indonesia

pasca-kolonial menemukan bentuk dengan dirumuskannya Undang-

Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Undang-undang Pokok Agraria.

Niat formal UUPA 1960 adalah sebagai undang-undang organic dan

induk di bidang agrarian, dan merupakan implementasi dari Pasal

33 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945 (UUD 1945). Dengan mulai

berlakunya UUPA (Undang-undang Pokok Agraria) terjadi perubahan

fundamental pada Hukum Agraria di Indonesia, terutama hukum

dibidang pertanahan, yang sering kita sebut sebagi Hukum

Pertanahan yang dikalangan pemerintahan dan umum juga dikenal

sebagai Hukum Agraria. UUPA bukan hanya memuat ketentuan-

ketentuan mengenai perombakan hukum agrarian, sesuai dengan

namanya Peraturan dasar pokok-pokok Agraria, UUPA memuat juga

lain-lain pokok persoalan agrarian serta penyelesaiannya. Ruang

lingkup bumi menurut UUPA adalah permukaan bumi dan tubuh bumi

4

Page 5: KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PENGATURAN PERTANAHAN

dibawahnya serta yang berada dibawah air. permukaan bumi sebagai

bagian dari bumi juga disebut tanah. Tanah yang dimaksudkan

disini bukan mengatur tanah dalam segala aspeknya, melainkan

hanya mengatur salah satu aspeknya, yaitu tanah dalam pengertian

yuridis yang disebut hak-hak penguasaan atas tanah. Dalam hak

penguasaan atas tanah terdapat kewenangan, kewajiban, dan atau

larangan bagi pemegang haknya untuk berbuat sesuatu mengenai

tanah yang dihaki. Sesuatu yang boleh, wajib, atau dilarang untuk

diperbuat yang merupakan isi hak penguasaan itulah yang menjadi

kriteria atau tolok ukur pembeda diantara hak-hak penguasaan atas

tanah yang diatur dalam Hukum Tanah. Kewenangan negara yang

berkaitan dengan tanah diatur dalam Undang Undang Dasar Negara

Republik Indonesia tahun 1945 Pasal 33 ayat (3) yang menentukan:

bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai

negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran

rakyat. Tanah adalah bagian dari bumi, oleh sebab itu tanah

dikuasai oleh negara. Berdasarkan uraian di atas, dapat dirinci

bahwa konsep ’dikuasai negara’ artinya negara mengatur,

negaralah yang mempunyai kewenangan mengelola dan mengatur tanah

guna sebesar-besarnya kemakmuran rakyat; dengan kata lain, pada

tingkatan tertinggi negara yang berhak mengatur peruntukan dan

pemanfaatannya.[1] Pengaturan oleh negara diperlukan karena

kekhawatiran bahwa tanpa campur tangan negara akan terjadi

ketidakadilan dalam akses terhadap perolehan dan pemanfaatan

sumber daya alam oleh masyarakat. Ketegasan kewenangan demikian

adalah wewenang yang didistribusikan dalam Undang-Undang Dasar,

5

Page 6: KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PENGATURAN PERTANAHAN

sehingga negara berhak untuk menuntut kepatuhan. Kewenangan

inilah yang melahirkan otoritas negara atas tanah secara hukum

publik; dengan demikian kewenangan negara dalam bidang

pertanahan baru dapat diketemukan apabila didasarkan pada

perluasan tafsir dari Pasal 33 ayat (3) UUD tahun 1945.

Berdasarkan ketentuan Pasal 16 ayat (1) UUPA dan pasal 3

UUPA, hak atas tanah yang dapat dikuasai oleh Pemerintah Daerah

adalah hak pakai yang diatur dalam Pasal 41 sampai dengan Pasal

43 UUPA. Selain hak pakai atas tanah, hak penguasaan atas tanah

yang dapat dikuasai oleh Pemerintah Daerah adalah hak

pengelolaan.1 UUPA secara tersurat tidak menyebut Hak Pengelolaan

tetapi hanya menyebut pengelolaan dalam Penjelasan Umum Angka II

Nomor 2 UUPA yaitu negara dapat memberikan tanah yang demikian

itu kepada seseorang atau badan hukum dengan sesuatu hak menurut

peruntukan dan keperluannya. Pengetian hak pengelolaan diatur

dalam Pasal 1 angka 2 Peraturan Pemerintah Nomor 41 tahun 1966 jo

Pasal 1 angka 4 Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997, yaitu

Hak Pengelolaan adalah hak menguasai negara yang kewenangan

pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegangnya. Ada

beberapa ketentuan yang menunjukkan bahwa pemerintah daerah dapat

mempunyai tanah hak pengelolaan, yaitu (1) Pasal 5 Peraturan

Menteri Agraria No. 9 Tahun 1965; (2) Pasal 1 huruf b Peraturan

Menteri Agraria No. 1 Tahun 1966; (3) Pasal 5 dan Pasal 6

Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 5 Tahun 1974 tentang Ktentuan-

ketentuan Mengenai Penyediaan dan Pemberian Tanah Untuk Keperluan

1 Santoso, Urip,  Hukum Agraria dan Hak-hak Atas Tanah, Jakarta: Prenada Media Group

6

Page 7: KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PENGATURAN PERTANAHAN

Perusahaan; (4) Pasal 2 Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 1997

tentang Pengenaan Bea Perolehan Hak Atas dan Bangunan Karena

Pemberian Hak Pengelolaan; dan (5) Pasal 67 Peraturan Menteri

Negara Agararia/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 9 Tahun

1999. Ada dua cara perolehan hak pakai atau Hak Pengelolaan oleh

Pemerintah Daerah. Pertama, Penegasan Konversi. Konversi adalah

perubahan status hak atas tanah menurut hukum yang lama sebelum

berlakunya UUPA, yaitu hak atas tanah yang tunduk pada hukum

barat, hukum adat dan Daerah Swatantra menjadi hak atas tanah

menurut UUPA. Kedua, pemberian hak. Pemberian Hak menurut Pasal 1

ayat (8) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan

Nasional No. 9 Tahun 1999, adalah penetapan pemerintah yang

memberikan sesuatu hak atas tanah negara, perpanjangan jangka

waktu hak, pembaharuan hak, perubahan hak, termasuk pemberian hak

di atas hak pengelolaan. Hak penguasaan atas tanah yang dapat

dikuasai oleh pemerintah daerah adalah hak pakai dan hak

pengelolaan. Wewenang pemerintah daerah terhadap hak pakainya

adalah menggunakan tanah hak pakai untuk kepentingan pelaksanaan

tugasnya. Wewenang pemerintah daerah terhadap hak pengelolaannya

adalah merencanakan peruntukan dan penggunaan tanah,

mempergunakan tanah untuk kepentingan pelaksanaan tugasnya dan

menyerahkan bagian-bagian tanah hak pengelolaan kepada pihak

ketiga dan atau bekerja sama dengan pihak ketiga. Oleh karena

itu, kami menuliskan judul dalam makalah ini yaitu “Kewenangan

Pemerintah Daerah Dalam Pengaturan Pertanahan”

7

Page 8: KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PENGATURAN PERTANAHAN

A. Rumusan Masalah

Untuk memberikan arah dan panduan yang mengerucut

mengenai bahasan yang dikaji, Perumusan masalah sebagai

sebuah konsepsi permasalahan yang akan di cari jawabannya

perlu ditentukan terlebih dahulu. Adapaun permasalahan yang

diangkat dalam makalah ini adalah :

1. Bagaimana Wewenang Pemerintah Daerah Dalam Mengatur

Pertanahan?

8

Page 9: KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PENGATURAN PERTANAHAN

2. Bagaimana Kendala-Kendala Pemerintah Daerah Dalam

Mengatur Pertanahan?

B. Tujuan Penulisan

1. Tujuan Objektif

a. Untuk mengetahui Wewenang Pemerintah Daerah Dalam

Mengatur Pertanahan

b. Untuk mengetahui Kendala-Kendala Pemerintah Daerah

Dalam Mengatur Pertanahan

2. Tujuan Subjektif

a. Menambah pengetahuan penulis mengenai Wewenang

Pemerintah Daerah Dalam Mengatur Pertanahan

b. Melatih kemampuan penulis dalam mengetahui Kendala-

Kendala Pemerintah Daerah Dalam Mengatur Pertanahan

C. Manfaat Penulisan

1. Dapat memberi pengetahuan lebih mengenai Hak Menguasai

Negara

2. Dapat mengetahui dan memahami Wewenang Pemerintah Daerah

Dalam Mengatur Pertanahan

9

Page 10: KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PENGATURAN PERTANAHAN

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Penguasaan dan Menguasai Atas Tanah

Secara etimologis, menguasai dapat diartikan sebagai

“proses, cara, perbuatan menguasai atau mengusahakan”. Jadi

penguasaan adalah suatu tindakan yang mencakup dari segi proses

sampai cara menguasainya. Menurut undang-undang pokok agraria

Penguasaan oleh negara adalah suatu proses yang dilakukan oleh

negara untuk menguasai atau mengusahakan sesuatu yang sesuai

dengan kepentingan.2 Pengertian “penguasaan” dan “menguasai dapat

dipakai dalam arti fisik, juga dalam arti yuridis. Dan juga

beraspek perdata dan beraspek publik. Penguasaan dalam arti

yuridis adalah penguasaan yang dilandasi hak, yang dilindungi

oleh hukum dan pada umumnya memberi kewenangan kepada pemegang

hak untuk menguasai secara fisik tanah yang dihaki, misalnya

pemilik tanah mempergunakan atau mengambil manfaat dari tanah

yang dihaki, tidak diserahkan kepada pihak lain.3 Ada penguasaan

yuridis, biarpun memberi kewenangan untuk menguasai tanah yang

dihaki secara fisik, pada kenyataannya penguasaan fisik dilakukan

oleh pihak lain. Misalnya, seseorang memiliki tanah tidak

mempergunakan tanahnya sendiri melainkan disewakan kepada pihak

2 Humam Balya. Hak Menguasai Negara yang menggila http://humambalya.wordpress.com/2011/02/12/hak-menguasai-negara-yang-menggila/> diakses pada Minggu,12 Oktober 2014 pukul 10.13

3 Moekijat,1996. Kamus Agraria,.Bandung : Mandar Maju.

10

Page 11: KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PENGATURAN PERTANAHAN

lain, dalam hal ini secara yuridis tanah tersebut dimiliki oleh

pemilik tanah, akan tetapi secara fisik dilakukan oleh penyewa

tanah. Ada juga penguasaan secara yuridis yang tidak memberi

kewenangan untuk menguasai tanah yang bersangkutan secara fisik.

Misalnya, kreditor (bank) memegang jaminan atas tanah mempunyai

hak penguasaan yuridis atas tanah yang dijadikan agunan

(jaminan), akan tetapi secara fisik penguasaan tanahnya tetap ada

pada pemegang hak atas tanah. Penguasaan yuridis dan fisik  atas

tanah ini dipakai dalam aspek privat, sedangkan penguasaan

yuridis yang beraspek publik, yaitu penguasaan atas tanah 

sebagaimana yang disebutkan dalam  Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan

Pasal 2 UUPA.4 Hak penguasaan atas tanah berisi serangkaian

wewenang, kewajiban, dan atau larangan bagi pemegang haknya untuk

berbuat sesuatu mengenai tanh yang di hakinya. Sesuatu yang

boleh, wajib atau dilarang untuk diperbuat, yang merupakan isi

hak penguasaan itulah yang menjadi kriteria atau tolak ukur

pembeda di antara hak-hak penguasaan atas tanah yang diatur dalam

Hukum Tanah.

Hak penguasaan atas tanah berisi serangkaian wewenang,

kewajiban, dan atau larangan bagi pemegang haknya untuk berbuat

sesuatu mengenai tanah yang menjadi haknya. Sesuatu yang boleh,

wajib atau dilarang untuk diperbuat, yang merupakan isi hak

penguasaan itulah yang menjadi kriteria atau tolok ukur pembeda

di antara hak-hak penguasaan atas tanah yang diatur dalam Hukum

Tanah. Penguasaan dapat ditafsirkan melalui beberapa aspek

4 Maria S.W. Sumardjono.2005.Kebijakan Pertanahan, antara Regulasi dan Implementasi.Jakarta : Kompas

11

Page 12: KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PENGATURAN PERTANAHAN

seperti aspek fisik, yuridis, privat, maupun publik. Yang masing-

masing mencakup:

1. Penguasaaan dalam arti yuridis, merupakan penguasaan yang

dilandasi hak, yang dilindungi oleh hukum dan pada umumnya

memberi kewenangan kepada pemegang hak untuk menguasai

secara fisik tanah yang dihaki, misalnya pemilik tanah

mempergunakan atau mengambil mamfaat dari tanah yang dihaki,

tidak diserahkan kepada pihak lain.

2. Penguasaan fisik, penguasaan yang pada kenyataanya atau

realita yang ada. siapa pengguna atau pemanfaat tanah itulah

yang disebut sebagai penguasa fisik.

3. Penguasaan privat, penguasan dalam kepentingan privat, yaitu

untuk beberapa maupun sekelompok orang tertentu.

4. Penguasaan public, yaitu penguasaan demi kepentingan umum

atau bersama. Dimana tanah tidak hanya untuk sekelompok

orang tertentu tapi untuk masyarakat secara keseluruhan.

Contohnya penggunaan tanah untuk pembangunan jalan tol.

Right to control the state is The condition of landlessness

threatens the enjoyment of a number of fundamental human rights.

access to land is important for development and poverty

reduction, but also often necessary for acces to numerous

economic, social and cultural rights, and as a gateway for many

civil and political rights. however, there is no right to land

codified n internasional human rights law. land is cross-cutting

issue, and is not simply a resource for one human right in the

12

Page 13: KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PENGATURAN PERTANAHAN

intrnasional legal framework. and yet, while rights have been

established in the international legal framework that relate to

land access for particular groups, numerous rights areaffected by

access to land and general principles.5

B. Pengaturan Hak Penguasaan Atas Tanah Oleh Pemerintah

Dalam tiap hukum tanah terdapat pengaturan mengenai

berbagai  hak penguasaan atas tanah. Dalam UUPA misalnya diatur

dan sekaligus ditetapkan tata jenjang atau hierarki hak-hak

penguasaan atas tanah dalam Hukum Tanah Nasional, Hak ini

merupakan hak penguasaan atas tanah yang tertinggi dan meliputi

semua tanah yang ada dalam wilayah Negara, yang merupakan tanah

bersama, bersifat abadi dan menjadi induk bagi hak-hak penguasaan

yang lain atas tanah. pengaturan ini termuat dalam Pasal 1 ayat

(1)-(3) UUPA.

Hak Bangsa Indonesia atas tanah mempunyai sifat

komunalistik, artinya semua tanah yang ada dalam wilayah NKRI

merupakan tanah bersama rakyat Indonesia, yang telah bersatu

sebagai Bangsa Indonesia (Pasal 1 ayat (1) UUPA). selain itu juga

mempunyai sifat religius, artinya seluruh tanah yang ada dalam

wilayah NKRI merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa (Pasal 1 ayat

(2) UUPA). Hubungan antara Bangsa Indonesia dengan tanah bersifat

abadi, atinya selama rakyat Indonesia masih bersatu sebagai

Bangsa Indonesia dan selama tanah tersebut masih ada pula, dalam

5 Elisabeth wicker and anil kahlan. Land rights issues in international human rights law. Malaysian Journal on human rights law.Malaysia,2010 hal 2-3

13

Page 14: KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PENGATURAN PERTANAHAN

keadaan yang bagaimanapun tidak ada sesuatu kekuasaan yang akan

dapat memutuskan atau meniadakan hubungan tersebut (Pasal 1 ayat

(3).6

Hak ini bersumber pada hak bangsa Indonesia atas tanah, yang

hakikatnya merupakan penugasan pelaksanaan tugas kewenangan

bangsa yang mengandung hukum publik. Tugas mengelola seluruh

tanah bersama ini dikuasakan sepenuhnya kepada NKRI sebagai

organisasi kekuasaan seluruh rakyat (Pasal 2 ayat (1) UUPA).

Isi wewenang hak menguasai dari Negara Atas Tanah sebagai

mana dimuat di dalam Pasal 2 ayat (2) UUPA adalah:

a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan,

persediaan dan pemeliharaan tanah.

b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara

orang-orang dengan tanah.

c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara

orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai

tanah.

BAB III

PEMBAHASAN

1. Kewenangan Bidang Pertanahan

6 Christiana Sri Murni.2011.”Eksistensi hukum adat dan pertanahan dan uupanomor 5 tahun 1960 dalam kerangka penertiban administrasi pertanahan” vol13.jakarta : Majalah Ilmiah INDIKATOR

14

Page 15: KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PENGATURAN PERTANAHAN

A. Kewenangan Pemerintah Pusat

Pengelolaan pertanahan di Indonesia didasarkan pada arah dan

kebijakan dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 di

mana sampai dengan Amandemen yang ke IV. Pasal 33 ayat (3)

Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa :”...bumi dan air dan kekayaan

alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk

sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Berdasarkan landasan ini kemudian

diundangkan pada Undang-Undang No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan

Dasar Pokok-Pokok Agraria. Pasal 2 UUPA menyebutkan: Atas dasar

ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan hal-hal sebagaimana

dimaksud Pasal 1, bumi,air dan ruang angkasa termasuk kekayaan

alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi

dikuasai oleh negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh

rakyat.7

Tanah merupakan komponen terpenting dalam sebuah pembangunan

di dalam suatu Negara. Maka, dengan adanya Hak Menguasai Negara

atas Tanah diharapkan dapat membuat keadilan bagi semua rakyat

Indonesia terutama yang berkaitan dengan Pengadaan Tanah. Untuk

menjamin keadilan bagi rakyat, negara memberikan berbagai macam

Hak baik itu milik perseorang maupun milik bersama. Namun,

terdapat kepentingan yang lebih tinggi yang dapat menghapuskan

semua hak yang dimiliki baik secara perorangan maupun dimiliki

bersama yaitu Kepentingan Umum. Dengan itu, maka diharapkan semua

rakyat dapat secara sukarela dan setuju apabila tanah mereka

7 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD 1945)

15

Page 16: KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PENGATURAN PERTANAHAN

dipakai untuk melaksanakan pembangunan untuk umum.8 Dalam konteks

ini, Hak Menguasai Negara sebagai pemegang kekuasaan tertinggi

yang memiliki kewenangan yang sudah diatur dalam Pasal 2 Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok- Pokok

Agraria, menyebutkan :

a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukkan, penggunaan,

persediaan, dan pemeliharaan bumi, air, dan ruang angkasa

tersebut;

b. Menentukan dan mengatur hubungan- hubungan hukum antara

orang-orang dengan bumi, air, ruang angkasa;

c. Menetukan dan mengatur hubungan- hubungan hukum antara

orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai

bumi, air, dan ruang angkasa.

B. Kewenangan Pemerintah Daerah Di Bidang Pertanahan

1) Pasal 18 ayat 5 UUD 1945 merumuskan :

Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya,

kecuali urusan pemerintahan yang oleh Undang-Undang

ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat.

2) Pasal 2 ayat (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA)

menyebutkan :

Hak menguasai negara tersebut di atas pelaksanaannya

dapat dikuasakan kepada daerah-daerah swatantra dan

masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan

8 Harsono, Boedi, 2008. Hukum Agraria Indonesia, Jakarta: Djambatan.

16

Page 17: KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PENGATURAN PERTANAHAN

tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut

ketentuan-ketentuan peraturan pemerintah.

Penjelasan Pasal 2 menyebutkan :

Dengan demikian maka pelimpahan wewenang untuk

melaksanakan hak penguasaandari negara atas tanah itu

adalah medebewind. Segala sesuatunya akan

diselenggarakaan menurut keperluannya dan sudah barang

tentu tidak boleh bertentangan dengan kepentingan

nasional. Wewenang dalam bidang agraria dapat merupakan

sumber keuangan dbagi daerah itu.

3) Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004

tentang Pemerintahan Daerah menyebutkan :

Pemerintah daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan

yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan

yang oleh undang-undang ini ditentukan menjadi urusan

pemerintah.

4) Sedangkan yang sebenarnya urusan wajib dari Pemerintah

Daerah sudah ditentukan juga dalam Undang-Undang menurut

Pasal 14 ayat (1) huruf k menyebutkan :

Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah

untuk kabupaten/kota merupakan urusan yang berskala

kabupaten/kota meliputi: huruf k yaitu Pelayanan

Pertanahan.

Berdasarkan paparan peraturan perundang-undangan tersebut

diatas maka dapat disimpulkan bahwa bumi, air dan kekayaan alam

yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara, artinya

17

Page 18: KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PENGATURAN PERTANAHAN

kekuasaan negara disini dijalankan oleh pemerintah berdasarkan

hak yang disebut hak menguasai negara atas tanah yang ada di

wilayah Republik Indonesia. Hak Menguasai Negara dalam UUPA

adalah memberi hak kepada Negara untuk menguasai tanah sementara

kemudian mendistribusikannya kepada rakyat sesuai dengan prinsip-

prinsip kepentingan umum dan tidak merugikan kepentingan rakyat.

Dalam melaksanakan hak menguasai ini dapat dikuasakan kepada

daerah-daerah swatantra dan masyarakat hukum adat. Jadi walaupun

pada asasnya tidak dapat diotonomkan tapi dapat di medebewind.

Berdasarkan Pasal 2 ayat (4) UUPA, Pasal 14 huruf k Undang-

Undang Nomor 32 Tahun 2006 dan Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun

2003 maka menurut ketentuan Pasal 2 ayat (4) UUPA hak menguasai

dari negara dapat di medewind kan ke daerah swatantra . Jadi

berdasarkan pelimpahan wewenang pertanahan dari Pemerintah

tentunya kabupaten/kota secara yuridis sebenarnya mempunyai

alasan yang kuat untuk mendapatkan otonomi di bidang pertanahan.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 sebagai pengganti Undang-

Undang Nomor 22 Tahun 1999, terlahir sebagai respon terhadap

perubahan konstitusi Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 yang telah diamandemen empat kali. Di

samping itu juga dengan memperhatikan Ketetapan MPR No.

IV/MPR/2000, mengenai Rekomendasi Kebijakan dalam Penyelenggaraan

Otonomi Daerah. Desentralisasi dalam undang-undang ini,

memberikan otonomi seluas-luasnya kepada daerah otonom concurrent

untuk mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan di luar

18

Page 19: KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PENGATURAN PERTANAHAN

bidang yang menjadi urusan pemerintah. Berdasarkan prinsip

otonomi luas tersebut dalam pelaksanaannya dilakukan secara nyata

dan bertanggung jawab yaitu bahwa urusan pemerintahan dimaksud

dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang dan kewajiban yang

senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup dan

berkembang sesuai potensi dan kekhasan daerah. Setiap bidang

urusan pemerintahan yang bersifat senantiasa terdapat bagian

urusan yang menjadi kewenangan pemerintah, pemerintah daerah

provinsi, dan pemerintah daerah kabupaten/kota. Pembagian urusan

pemerintahan yang bersifat concurrent tersebut dibagi secara

proporsional antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan

Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, maka ditetapkan kriteria

pembagian urusan yang meliputi eksternalitas, akuntabilitas dan

efisiensi.9

Eksternalitas, adalah pendekatan dalam pembagian urusan

pemerintahan dengan mempertimbangkan dampak atau akibat yang

ditimbulkan dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan tersebut.

Apabila dampak yang ditimbulkan bersifat lokal, maka urusan

pemerintahan tersebut menjadi kewenangan kabupaten/kota, apabila

berdampak regional menjadi kewenangan provinsi, dan apabila

berdampak nasional menjadi kewenangan Pemerintah. Akuntabilitas,

adalah pendekatan dalam pembagian urusan pemerintahan dengan

pertimbangan bahwa tingkat pemerintahan yang menangani sesuatu

bagian urusan adalah tingkat pemerintahan yang lebih langsung

9 Eddy Ruchiyat, S.H. 1999.Politik Pertanahan Nasional sampai Orde Reformasi,.Bandung :

Alumni

19

Page 20: KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PENGATURAN PERTANAHAN

atau dekat dengan dampak atau akibat dari urusan yang ditangani

tersebut. Artinya akuntabilitas (pertanggungjawaban)

penyelenggaraan bagian urusan pemerintahan tersebut kepada

masyarakat akan lebih terjamin.

Efisiensi, adalah pendekatan dalam pembagian urusan

pemerintahan dengan mempertimbangkan tersedianya sumber daya

(personil, dana, dan peralatan) untuk mendapatkan ketepatan,

kepastian, dan kecepatan hasil yang harus dicapai dalam

penyelenggaraan bagian urusan. Artinya apabila suatu bagian

urusan dalam penanganannya dipastikan akan lebih berdayaguna dan

berhasil guna dilaksanakan oleh daerah Provinsi dan/atau Daerah

Kabupaten/Kota dibandingkan apabila ditangani oleh Pemerintah

maka bagian urusan tersebut diserahkan kepada Daerah Provinsi

dan/atau Daerah Kabupaten/Kota. Sebaliknya apabila suatu bagian

urusan akan lebih berdayaguna dan berhasilguna bila ditangani

oleh Pemerintah maka bagian urusan tersebut tetap ditangani oleh

Pemerintah.

2. Kendala-kendala yang Dihadapi Pemerintah dalam Melaksanakan

Kewenangan di Bidang Pertanahan.

Pengelolaan pertanahan di Indonesia didasarkan pada arah dan

kebijakan dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 di mana sampai dengan amandemen

yang ke 4 (empat) secara redaksional tidak mengalami perubahan.

Pasal tersebut menyatakan bahwa: Bumi dan air dan kekayaan alam

20

Page 21: KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PENGATURAN PERTANAHAN

yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan

untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Bidang pertanahan merupakan wewenang dari Badan Pertanahan

Nasional yang mempunyai Kantor Wilayah di provinsi (regional) dan

mempunyai Kantor Pertanahan di kabupaten/kota (sektoral).

Berdasarkan Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang Pokok Agraria, hak

menguasai dari negara dapat di medebewind ke daerah

swatantra.10 Berdasarkan Pasal 13 dan 14 huruf (k) Undang Undang

Nomor 32 Tahun 2004, urusan pelayanan pertanahan merupakan

wewenang wajib dari kabupaten/kota. Perincian wewenang pertanahan

dari kabupaten/kota kemudian diatur dalam Keputusan Presiden

Nomor 34 Tahun 2003. Jadi berdasarkan pelimpahan wewenang

pertanahan dari pemerintah tentunya kabupaten/kota secara yuridis

sebenarnya mempunyai alasan yang kuat untuk mendapatkan otonomi

di bidang pertanahan. Apalagi kemudian diperkuat lagi dengan

dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007, yang

pada bagian lampirannya lebih menegaskan tentang pembagian

kewenangan di bidang pertanahan antara pusat dan daerah.

Mencermati ketentuan Pasal 13 ayat (1) dan Pasal 14 ayat (1)

Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 berikut peraturan

pelaksanaannya, apabila dihubungkan dengan ketentuan Pasal 2 ayat

(1) dan ayat (4) UndangUndang Pokok Agraria, Peraturan Presiden

Nomor 10 Tahun 2006 beserta peraturan pelaksanaannya, maka di

bidang pertanahan telah terjadi ketidaksinkronan peraturan

10 Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria

21

Page 22: KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PENGATURAN PERTANAHAN

perundang-undangan. Dipihak pemerintah menganggap bahwa wewenang

pertanahan secara yuridis adalah sudah sesuai dengan amanat Pasal

2 Undang-Undang Pokok Agraria tetapi dilain pihak pemerintah

daerah juga menganggap bahwa dengan berlakunya Undang Undang

Nomor 22 Tahun 1999 yang kemudian diganti dengan UndangUndang

Nomor 32 Tahun 2004, maka secara yuridis pemerintah daerah

mempunyai wewenang juga di bidang pertanahan. Dissinkronisasi

demikian dapat menimbulkan benturan antara kedua undang-undang

tersebut sehingga memunculkan adanya problema dan konflik norma

serta konflik kepentingan dalam pelaksanaan otonomi daerah di

bidang pertanahan. Kondisi yang demikian dapat terjadi karena

Undang-Undang Pemerintahan Daerah hanya mengatur tanah dalam arti

sempit, yaitu kewenangan pemanfaatan tanah dan pengelolaan bidang

oleh kabupaten/kota, sedangkan menurut Undang-Undang Pokok

Agraria konsep tanah diartikan secara luas, meliputi penataan

ruang, hak atas tanah, pendaftaran tanah, landreform dan lain

sebagainya. Urusan pertanahan yang dapat dilimpahkan dalam rangka

otonomi daerah hanyalah urusan agraria (pertanian), sedangkan

urusan kepemilikan tanah harus tetap berada pada kewenangan

pemerintah pusat. Kewenangan mengurus bidang pertanahan menurut

Undang-Undang Pokok Agraria ada pada negara yang dalam

pelaksanaannya dilakukan oleh pemerintah pusat. Ketentuan dalam

Undang-Undang Pokok Agraria tersebut bersumber pada Pasal 33 ayat

(3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945,

yang telah menentukan bahwa semua tanah adalah merupakan hak

ulayat Bangsa Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang

22

Page 23: KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PENGATURAN PERTANAHAN

penguasannya ditugaskan kepada negara dalam hal ini adalah

pemerintah pusat. Kesemuanya itu dimaksudkan untuk menuju pada

pencapaian sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Berdasarkan hak

menguasai negara sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 Undang-

Undang Pokok Agraria, maka pemerintah pusat berwenang mengatur

dan menetapkan berbagai segi peruntukan dan penguasaan tanah.

Penetapan dan pengaturan tersebut meliputi perencanaan peruntukan

tanah, penguasaan dan perbuatan hukum mengenai tanah serta

pendaftaran tanah, yang pada kenyataannya selalu dilaksanakan

oleh pemerintah pusat. Memang dimungkinkan dilakukan pelimpahan

wewenang kepada pemerintah daerah atau daerah swatantra, namun

pelimpahan tersebut dilakukan dalam rangka dekonsentrasi kepada

pejabat-pejabat pemerintah pusat yang ada di daerah. Bisa juga

pelimpahan wewenang tersebut diberikan kepada pemerintah daerah

sebagai daerah otonom, tetapi hanya dalam rangka tugas pembantuan

(medebewind), bukan desentralisasi atau otonomi daerah.

Otonomi daerah sebagaimana ditentukan Undang-Undang Nomor

22 Tahun 1999 yang kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 32

Tahun 2004, urusan pertanahan dapat didesentralisasikan kepada

pemerintah daerah. Undang-undang tersebut telah menentukan bahwa

bidang pertanahan merupakan salah satu urusan wajib yang harus

dilaksanakan oleh pemerintah daerah (Provinsi dan

Kabupaten/Kota), namun ketentuan tersebut tidak harus dicerna

secara mentah atau dimaknai bahwa wewenang tersebut secara utuh

berada pada pemerintah daerah. Arie Sukanti Hutagalung,

mengatakan bahwa wewenang yang dipunyai oleh pemerintah daerah di

23

Page 24: KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PENGATURAN PERTANAHAN

bidang pertanahan hanya sebatas yang bersifat lokalitas, dan

tidak bersifat nasional.

BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Tanah merupakan komponen terpenting dalam sebuah pembangunan

di dalam suatu Negara. Maka, dengan adanya Hak Menguasai Negara

atas Tanah diharapkan dapat membuat keadilan bagi semua rakyat

Indonesia. Hak Menguasai Negara sebagai pemegang kekuasaan

tertinggi yang memiliki kewenangan yang sudah diatur dalam Pasal

2 Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar

Pokok- Pokok Agraria, menyebutkan :

Mengatur dan menyelenggarakan peruntukkan, penggunaan,

persediaan, dan pemeliharaan bumi, air, dan ruang

angkasa tersebut;

Menentukan dan mengatur hubungan- hubungan hukum antara

orang-orang dengan bumi, air, ruang angkasa;

Menetukan dan mengatur hubungan- hubungan hukum antara

orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai

bumi, air, dan ruang angkasa.

Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya

dikuasai oleh negara, artinya kekuasaan negara disini dijalankan

oleh pemerintah berdasarkan hak yang disebut hak menguasai negara

atas tanah yang ada di wilayah Republik Indonesia. Hak Menguasai

24

Page 25: KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PENGATURAN PERTANAHAN

Negara dalam UUPA adalah memberi hak kepada Negara untuk

menguasai tanah sementara kemudian mendistribusikannya kepada

rakyat sesuai dengan prinsip-prinsip kepentingan umum dan tidak

merugikan kepentingan rakyat.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 sebagai pengganti Undang-

Undang Nomor 22 Tahun 1999, terlahir sebagai respon terhadap

perubahan konstitusi Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 yang telah diamandemen empat kali. Di

samping itu juga dengan memperhatikan Ketetapan MPR No.

IV/MPR/2000, mengenai Rekomendasi Kebijakan dalam Penyelenggaraan

Otonomi Daerah. Desentralisasi dalam undang-undang ini,

memberikan otonomi seluas-luasnya kepada daerah otonom concurrent

untuk mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan di luar

bidang yang menjadi urusan pemerintah. Pembagian urusan

pemerintahan yang bersifat concurrent tersebut dibagi secara

proporsional antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan

Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, maka ditetapkan kriteria

pembagian urusan yang meliputi eksternalitas, akuntabilitas dan

efisiensi.

Pengelolaan pertanahan di Indonesia didasarkan pada arah

dan kebijakan dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 di mana sampai dengan amandemen

yang ke 4 (empat) secara redaksional tidak mengalami perubahan.

Mencermati ketentuan Pasal 13 ayat (1) dan Pasal 14 ayat (1)

Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 berikut peraturan

25

Page 26: KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PENGATURAN PERTANAHAN

pelaksanaannya, apabila dihubungkan dengan ketentuan Pasal 2 ayat

(1) dan ayat (4) UndangUndang Pokok Agraria, Peraturan Presiden

Nomor 10 Tahun 2006 beserta peraturan pelaksanaannya, maka di

bidang pertanahan telah terjadi ketidaksinkronan peraturan

perundang-undangan. Dipihak pemerintah menganggap bahwa wewenang

pertanahan secara yuridis adalah sudah sesuai dengan amanat Pasal

2 Undang-Undang Pokok Agraria tetapi dilain pihak pemerintah

daerah juga menganggap bahwa dengan berlakunya Undang Undang

Nomor 22 Tahun 1999 yang kemudian diganti dengan UndangUndang

Nomor 32 Tahun 2004, maka secara yuridis pemerintah daerah

mempunyai wewenang juga di bidang pertanahan.

Kewenangan mengurus bidang pertanahan menurut Undang-Undang

Pokok Agraria ada pada negara yang dalam pelaksanaannya dilakukan

oleh pemerintah pusat. Ketentuan dalam Undang-Undang Pokok

Agraria tersebut bersumber pada Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, yang telah

menentukan bahwa semua tanah adalah merupakan hak ulayat Bangsa

Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang penguasannya

ditugaskan kepada negara dalam hal ini adalah pemerintah pusat.

Kesemuanya itu dimaksudkan untuk menuju pada pencapaian sebesar-

besarnya kemakmuran rakyat. Memang dimungkinkan dilakukan

pelimpahan wewenang kepada pemerintah daerah atau daerah

swatantra, namun pelimpahan tersebut dilakukan dalam rangka

dekonsentrasi kepada pejabat-pejabat pemerintah pusat yang ada

di daerah. Bisa juga pelimpahan wewenang tersebut diberikan

kepada pemerintah daerah sebagai daerah otonom, tetapi hanya

26

Page 27: KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PENGATURAN PERTANAHAN

dalam rangka tugas pembantuan (medebewind), bukan desentralisasi

atau otonomi daerah. Wewenang yang dipunyai oleh pemerintah

daerah di bidang pertanahan hanya sebatas yang bersifat

lokalitas, dan tidak bersifat nasional.

B. Saran

1. Sebaiknya pembagian wewenang antara pemerintah pusat

dengan pemerintah daerah lebih ditegaskan kembali agar

dapat berjalan lancar tanpa ada kesalahpahaman yang dapat

menimbulkan konflik dan mengganggu berjalannya

pembangunan.

2. Pemahaman pada setiap peraturan perundang-undangan harus

disamakan dan diberi titik terang agar lebih memperjelas

maksud dari peraturan perundang-undangan itu sendiri dan

mempermudah jalannya proses pembangunan serta memperjelas

dan mempermudah tugas baik pemerintah pusat maupun

pemerintah daerah.

27

Page 28: KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PENGATURAN PERTANAHAN

DAFTAR PUSTAKA

Dari Buku :

Harsono, Boedi, 2008. Hukum Agraria Indonesia, Jakarta: Djambatan.

Eddy Ruchiyat, S.H. 1999.Politik Pertanahan Nasional sampai Orde

Reformasi,.Bandung : Alumni

Maria S.W. Sumardjono.2005.Kebijakan Pertanahan, antara Regulasi dan Implementasi.Jakarta : Kompas

Moekijat,1996. Kamus Agraria,.Bandung : Mandar Maju.

Santoso, Urip,  Hukum Agraria dan Hak-hak Atas Tanah, Jakarta: Prenada

Media Group.

28

Page 29: KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PENGATURAN PERTANAHAN

Dari Internet :

Humam Balya. Hak Menguasai Negara yang menggila

http://humambalya.wordpress.com/2011/02/12/hak-menguasai-negara-

yang-menggila/> diakses pada Minggu,12 Oktober 2014 pukul 10.13

Dari Jurnal :

Elisabeth wicker and anil kahlan.2010.” Land rights issues in

international human rights law”. vol 4. Malaysia: MalaysiaN

Journal on human rights law.

Christiana Sri Murni.2011.”Eksistensi hukum adat dan pertanahan

dan uupa nomor 5 tahun 1960 dalam kerangka penertiban

administrasi pertanahan” vol 13.jakarta : Majalah Ilmiah

INDIKATOR

Dari Undang-Undang :

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD 1945)

Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-

Pokok Agraria

29