KEJADIAN ISPA PADA BALITA DITINJAU DARI PENGETAHUAN ...
Post on 12-Jan-2017
264 Views
Preview:
Transcript
UNIVERSITAS INDONESIA
KEJADIAN ISPA PADA BALITA DITINJAU DARI PENGETAHUAN IBU, KARAKTERISTIK BALITA, SUMBER
PENCEMAR DALAM RUANG DAN LINGKUNGAN FISIK RUMAH DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS DTP CIBEBER
KABUPATEN LEBAK PROPINSI BANTEN TAHUN 2011
SKRIPSI
YUYU SRI RAHAYU0906618122
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKATPROGRAM SARJANA KESEHATAN MASYARAKAT
DEPOKJUNI 2011
Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
UNIVERSITAS INDONESIA
KEJADIAN ISPA PADA BALITA DITINJAU DARI PENGETAHUAN IBU, KARAKTERISTIK BALITA, SUMBER
PENCEMAR DALAM RUANG DAN LINGKUNGAN FISIK RUMAH DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS DTP CIBEBER
KABUPATEN LEBAK PROPINSI BANTEN TAHUN 2011
SKRIPSIDiajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kesehatan Masyarakat
YUYU SRI RAHAYU0906618122
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKATPROGRAM SARJANA KESEHATAN MASYARAKAT
PEMINATAN KEBIDANAN KOMUNITASDEPOK
JUNI 2011
Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri,
dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk
telah saya nyatakan dengan benar
Nama : YUYU SRI RAHAYU
NPM : 0906618122
Tanda Tangan :
Tanggal : 24 Juni 2011
Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
i
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : Yuyu Sri Rahayu
Tempat tanggal lahir : Lebak, 03 Mei 1979
Alamat : Kamp. Cikotok RT 02/ 03 Desa Cikotok Kecamatan
Cibeber Kabupaten Lebak Propinsi Banten 43294
Riwayat Pendidikan
1984 – 1986 : TK Pelita ANTAM Unit Pertambangan Emas Cikotok
1986 – 1992 : SD ANTAM Unit Pertambangan Emas Cikotok
1992 – 1995 : SMP Negeri 1 Cibeber
1995 – 1998 : Sekolah Menengah Umum Kornita IPB Bogor
1998 – 2001 : D III Kebidanan Depkes RI Rangkasbitung
2007– 2008 : D IV Kebidanan STIKIM Lenteng Agung Jakarta
2009 – Sekarang : S1 Peminatan Kebidanan Komunitas FKM-UI Depok
Riwayat Pekerjaan
2001–2002 : Rumah Sakit Islam Bogor
2002–2009 : Bidan Pelaksana Puskesmas DTP Cibeber Kabupaten Lebak Propinsi
Banten.
Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena berkat rahmat dan karunia-Nyalah penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Kejadian ISPA pada Balita Ditinjau Dari Pengetahuan Ibu, Karakteristik Balita, Sumber Pencemar Dalam Ruang Di Wilayah Kerja Puskesmas DTP Cibeber Kabupaten Lebak Propinsi Banten Tahun 2011” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana kesehatan masyarakat.
Proses penulisan skripsi ini penulis banyak mendapatkan bantuan dari berbagai pihak yang tak ternilai harganya. Untuk itulah dengan ketulusan hati penulis banyak mengucapkan terima kasih kepada:
1. Ibu drg. Sri Tjahyani Budi Utami, M.Kes selaku pembimbing akademik yang telah meluangkan waktu dan memberikan bimbingan dengan penuh kesabaran dalam penyelesaian skripsi ini.
2. Ibu Laila Fitria, SKM, MKM dan Ibu Rina F. Bahar, SKM. M.Kes, selaku penguji pada sidang skripsi yang telah memberi banyak masukan dan saran dalam proses skripsi ini.
3. Bapak dr. Erwan Susanto selaku Kepala Puskesmas DTP Cibeber yang telah memberikan izin kepada saya untuk melaksanakan penelitian di wilayah kerjanya.
4. Mama dan keluargaku tercinta yang telah memberi dukungan baik moril maupun materil untuk menyelesaikan pendidikan ini.
5. Teman-teman kelas D Peminatan Kebidanan Komunitas FKM UI angkatan II yang telah membantu dan memberikan dorongan dalam penyelesaian skripsi ini.
6. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah membantu penyelesaian skripsi ini.
Semoga segala bantuan dan amal ibadah mereka mendapatkan pahala dari Allah SWT. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu segala kritik dan saran yang sifatnya membangun penulis terima dengan senang hati. Akhirnya semoga skripsi ini dapat diterima dan bermanfaat bagi kita semua.
Depok, Juni 2011
Penulis
Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
iii
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan dibawah ini:
Nama : YUYU SRI RAHAYUNPM : 0906618122Program Studi : S1 EkstensiPeminatan : Kebidanan KomunitasFakultas : Kesehatan MasyarakatJenis Karya : Skripsi
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusif Royalti-Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul:
“Kejadian ISPA Pada Balita Ditinjau Dari Pengetahuan Ibu, Karakteristik Balita, Sumber Pencemar Dalam Ruang Dan Lingkungan Fisik Rumah Di Wilayah Kerja
Puskesmas DTP Cibeber Kabupaten Lebak Provinsi Banten Tahun 2011”
Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalihmedia/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan mempublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di : DepokPada tanggal : 24 Juni 2011
Yang Menyatakan
Yuyu Sri Rahayu
Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
iv
ABSTRAK
Nama : YUYU SRI RAHAYUProgram Studi : Kesehatan MasyarakatJudul : Kejadian ISPA Pada Balita Ditinjau Dari Pengetahuan Ibu,
Karakteristik Balita, Sumber Pencemar Dalam Ruang Dan Lingkungan Fisik Rumah Di Wilayah Kerja Puskesmas DTP Cibeber Kabupaten Lebak Propinsi Banten Tahun 2011
Di Indonesia, Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) selalu menempati urutan pertama penyebab kematian pada kelompok bayi dan balita. Diperkirakan, sebanyak 150.000 bayi / balita meninggal tiap tahun. Di wilayah Puskesmas DTP Cibeber dari tahun 2008 sampai 2010 yaitu 778 (24,3%), 231 (7,21%) dan 873 (27,3%) kasus ISPA pada balita.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengetahuan ibu, karakteristik balita, sumber pencemar udara dalam ruang, dan lingkungan fisik rumah dengan desain cross sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh ibu yang memiliki balita yang ada di wilayah kerja Puskesmas DTP Cibeber Kabupaten Lebak Propinsi Banten dengan jumlah sampel 106 responden. Pengumpulan data dilakukan dengan metode wawancara langsung terhadap responden dengan menggunakan kuesioner. Variabel penelitian ini adalah pengetahuan ibu, BBL balita, status ASI, status imunisasi, ventilasi, kepadatan hunian, adanya perokokdan bahan bakar memasak.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa proporsi balita yang menderita sakit ISPA 80,2%. Ada hubungan yang bermakna antara pengetahuan ibu {OR= 4,333(95% CI : 1,596-11,768)}, BBL, status ASI, ventilasi {OR= 9,726, (95 CI : 2,132- 44,373)}, kepadatan hunian dan adanya perokok dalam rumah{ OR= 40,500 (95% CI: 10,466- 156,715)} terhadap kejadian ISPA pada balita.Berdasarkan hasil penelitian disarankan agar diupayakan peningkatan pengetahuan ibu mengenai penyakit ISPA, pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan, pemeriksaan rutin kehamilan untuk mencegah bayi lahir rendah, bagi anggota keluarga perokok untuk tidak merokok dalam rumah atau dekat dengan balita, dan mengupayakan ventilasi dan penghuni rumah yang memenuhi syarat kesehatan.
Kata Kunci : ISPA, Balita, Pengetahuan Ibu, sumber pencemar dalam ruang, dan lingkungan fisik rumah.
Daftar Bacaan : 53 (1997 – 2010)
Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
v
ABSTRACT
Name : YUYU SRI RAHAYUStudy Programe : Public HealthTittle : Incident Of ARI Considered From Mother Knowledge, Child
Under Five Characteristic, Air Pollution Source Of Inside Room And Home Physical Environment In Working Area OfCibeber Community Health Centers To Care at Regency Of Lebak Banten Province 2011
In Indonesia, Acute Respiratory Infections (ISPA) always place first rank cause of infant and child death. It is estimated as much as 150,000 infants/children under five (Balita) die for each year. Number of cases of ISPA to balita in working area of Cibeber Community Health Centers to Care from 2008 up to 2010 is 778 (24.3%), 231 (7.21%), and 873 (27.3%).
This study aims to find out mother knowledge, balita characteristic, air pollution source of inside room, and home physical environment using cross sectional design. Study population are all of mothers who have child under five in there of samples are 106 respondents. Data were collected by direct interview to respondents using questionnaire. Variables in this study are mother knowledge, BBL of balita, ASI and immunization status, ventilation, population density, presence of smoker, and cooking fuel.
Study result shows that proportion of balita suffered from ISPA is 80.2%. There are meaning relationship between mother knowledge {OR= 4,333(95% CI : 1,596-11,768)}, Birth weigth, born, brestfeeding status, ventilation {OR= 9,726, (95% CI : 2,132- 44,373)} , population density, and presence of smoker inside house { OR= 40,500, 95% CI: 10,466- 156,715)} to incident of ISPA to child under five. Based on study result, it is suggested to do an efforts to increase mother knowledge regarding to ISPA disease, giving an exclusive ASI for 6 months, routine checking up of gestation to prevent low birth weight for infant, not smoke near balita or inside house for family member who is smoker, make a good ventilation and occupants which meet health requirements.
Key Words: ISPA, Balita, Mother Knowledge, Air Pollution Source, and Home Physical Environment
References : 53 (1997-2010)
Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
vi
DAFTAR ISI
Halaman
PERNYATAAN ORISINALITASPERNYATAAN BEBAS PLAGIATLEMBAR PENGESAHANDAFTAR RIWAYAT HIDUP ------------------------------------------------------ iKATA PENGANTAR ---------------------------------------------------------------- iiPERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ------------------------------- - iiiABSTRAK ------------------------------------------------------------------------- --- ivABSTRACT --------------------------------------------------------------------------- vDAFTAR ISI --------------------------------------------------------------------------- viDAFTAR TABEL -------------------------------------------------------------------- viiiDAFTAR GAMBAR ----------------------------------------------------------------- ix
BAB I PENDAHULUAN1.1 Latar Belakang------------------------------------------------------------ 11.2 Rumusan Masalah ------------------------------------------------------- 31.3 Pertanyaan Penelitian --------------------------------------------------- 31.4 Tujuan Penelitian -------------------------------------------------------- 41.5 Manfaat Penelitian ------------------------------------------------------- 51.6 Ruang Lingkup Penelitian ---------------------------------------------- 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA2.1 Infeksi Saluran Pernapasan Akut -------------------------------------- 7 2.1.1 Pengertian ----------------------------------------------------------- 7 2.1.2 Etiologi ISPA ------------------------------------------------------ 8 2.1.3 Patofisiologi ISPA ------------------------------------------------- 8 2.1.4 Tanda dan Gejala Penyakit ISPA -------------------------------- 10 2.1.5 Klasifikasi ISPA---------------------------------------------------- 11 2.1.6 Faktor Risiko ISPA ------------------------------------------------ 13 2.1.7 Penularan ISPA ---------------------------------------------------- 14 2.1.8 Pencegahan Penyakit ISPA -------------------------------------- 15 2.1.9 Cara Mengatasi Bahaya ISPA ----------------------------------- 16 2.1.10 Program Penanggulangan ISPA -------------------------------- 16 2.1.11 Permasalahan ISPA di Indonesia ----------------------------- 17 2.1.12 Penatalaksanaan ISPA ------------------------------------------- 18 2.1.13 Konsep Determinan Kelangsungan Hidup Anak ------------ 202.2 Rumah Sehat ------------------------------------------------------------- 222.3 Partikel -------------------------------------------------------------------- 242.4 Hubungan Kondisi Lingkungan Rumah dengan Gangguan Saluran Pernapasan ---------------------------------------------------------------- 252.5 Faktor-faktor risiko yang Mempengaruhi Kejadian ISPA pada Balita 25 2.5.1 Pengetahuan Ibu --------------------------------------------------- 27 2.5.2 Berat Bayi Lahir --------------------------------------------------- 30
Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
vii
2.5.3 Status ASI ----------------------------------------------------------- 31 2.5.4 Status Imunisasi -------------------------------------------------- - 32 2.5.5 Ventilasi ----------------------------------------------------------- -- 33 2.5.6 Kepadatan Hunian ----------------------------------------------- - 34 2.5.7 Adanya Perokok dalam Rumah ---------------------------------- 35 2.5.8 Bahan Bakar Memasak -------------------------------------------- 37
BAB III KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, HIPOTESIS DAN DEFINISI OPERASIONAL
3.1 Kerangka Teori ----------------------------------------------------------- 383.2 Kerangka Konsep -------------------------------------------------------- 393.3 Hipotesis ------------------------------------------------------------------ 403.4 Definisi Operasional ---------------------------------------------------- 41
BAB IV METODE PENELITIAN4.1 Desain Penelitian -------------------------------------------------------- 434.2 Tempat dan Waktu Penelitian ------------------------------------------ 434.3 Populasi dan Sampel ---------------------------------------------------- 434.4 Cara Pengambilan Sampel --------------------------------------------- 444.5 Pengumpulan Data ------------------------------------------------------ 454.6 Pengolahan dan Tehnik Analisa Data --------------------------------- 45
BAB V HASIL PENELITIAN5.1 Gambaran Umum Wilayah Kerja Puskesmas DTP Cibeber ------ 435.2 Distribusi Frekuensi Variabel Independen dan Variabel Dependen 465.3 Hubungan Variabel Independen dengan Variabel Dependen ------ 49
BAB VI PEMBAHASAN6.1 Keterbatasan Penelitian ------------------------------------------------- 556.2 Hubungan Pengetahuan Ibu dan Pencemar Udara Ruang dengan Kejadian ISPA pada Balita ---------------------------------------------- 56 6.2.1 Kejadian ISPA pada Balita --------------------------------------- 56 6.2.2 Pengetahuan Ibu dengan Kejadian ISPA ----------------------- 56 6.2.3 Berat Badan Lahir dengan Kejadian ISPA --------------------- 57 6.2.4 Status ASI dengan Kejadian ISPA ------------------------------ 58 6.2.5 Status Imunisasi dengan Kejadian ISPA ----------------------- 58 6.2.6 Ventilasi dengan Kejadian Balita ------------------------------- 59 6.2.7 Kepadatan Hunian dengan Kejadian Balita -------------------- 60 6.2.8 Adanya perokok dalam rumah dengan Kejadian ISPA ------ 60 6.2.9 Bahan Bakar Memasak dengan Kejadian ISPA ---------------- 61
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN7.1 Kesimpulan ------------------------------------------------------------------------ 627.2 Saran -------------------------------------------------------------------------------- 62
DAFTAR PUSTAKALampiran
Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
viii
DAFTAR TABEL
Tabel 5.1.4 Distribusi Kepegawaian Puskesmas DTP Cibeber ----------------- 45
Tabel 5.1.5 Pola 10 Besar Penyakit Di Wilayah Kerja Puskesmas DTP Cibeber Tahun 2010 ---------------------------------------------------- 46
Tabel 5.2.1 Distribusi Frekuensi Kejadian ISPA --------------------------------- 46
Tabel 5.2.2 Distribusi Frekuensi Pengetahuan Ibu ------------------------------- 46
Tabel 5.2.3 Distribusi Frekuensi Karakteristik Balita ----------------------- ---- 47
Tabel 5.2.4 Distribusi Frekuensi Lingkungan Fisik Rumah --------------------- 48
Tabel 5.2.5 Distribusi Frekuensi Sumber Pencemar Udara Dalam Ruang ---- 49
Tabel 5.3.1 Distribusi Responden Pengetahuan Ibu Dengan Kejadian ISPA-- 50
Tabel 5.3.2 Distribusi Responden Karakteristik Balita Dengan Kejadian ISPA 52
Tabel 5.3.3 Distribusi Responden Lingkungan Fisik Rumah Dengan Kejadian ISPA----------------------------------------------------------- 53
Tabel 5.3.4 Distribusi Responden Sumber Pencemar Dalam Ruang Dengan Kejadian ISPA----------------------------------------------------------- 54
Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
ix
DAFTAR GAMBAR
Gambar 3.1 Kerangka Teori ------------------------------------------------------- 36
Gambar 3.2 Kerangka konsep ----------------------------------------------------- 37
Gambar 5.1.2 Jumlah Penduduk ---------------------------------------------------- 44
Gambar 5.1.3 Pendidikan Terakhir Penduduk ------------------------------------ 44
Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
1 Universitas Indonesia
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) dikenal sebagai salah satu
penyebab kematian utama pada bayi dan balita, diperkirakan 13 juta anak balita di
dunia meninggal setiap tahun. Sebagian besar penelitian di Negara berkembang
menunjukkan bahwa diberbagai negara setiap tahunnya 20-30% kematian bayi
dan balita disebabkan karena menderita infeksi saluran nafas akut (ISPA).
Diperkirakan 2-5 juta bayi dan balita diberbagai negara setiap tahunnya.
Duapertiga dari kematian ini terjadi pada kelompok bayi, terutama bayi usia 2
bulan pertama sejak kelahiran. Kejadian infeksi pernapasan akut terutama bagian
atas, di Negara berkembang dilaporkan antara 4-7 kali per anak per tahun, ini
hampir sama terjadi di Amerika, Afrika dan Asia (WHO, 2008).
Di Indonesia, Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) selalu menempati
urutan pertama penyebab kematian pada kelompok bayi dan balita. Kematian
akibat ISPA terutama pneumonia di Indonesia pada akhir tahun 2000 sekitar
450.000 balita. Diperkirakan, sebanyak 150.000 bayi / balita meninggal tiap tahun
atau 12.500 korban per bulan atau 416 kasus sehari atau 17 anak per jam atau
seorang bayi / balita tiap lima menit (www.profilmedis.com, 2004).
Survei mortalitas yang dilakukan oleh Subdit ISPA tahun 2005
menempatkan ISPA/Pneumonia sebagai penyebab kematian bayi terbesar di
Indonesia dengan persentase 22,30% dari seluruh kematian balita.
Menurut hasil Riskesdas 2007 kejadian ISPA pada satu bulan terakhir
adalah 25,5% dengan prevalensi tertinggi terjadi pada usia balita yaitu 35%. Dan
menurut SDKI 2007 prevalensi ISPA tertinggi pada anak umur 24-35 bulan yaitu
sebanyak 14%.
Berdasar hasil survey, di Propinsi Banten terdapat 28,4% kasus ISPA balita,
dan untuk kabupaten Lebak terdapat sebanyak 35,0% kasus dengan gejala ISPA
Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
2
Universitas Indonesia
pada balita (Riskesdas Banten, 2007). Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA)
berada diurutan pertama dalam daftar 10 penyakit terbanyak di Wilayah Dinas
Kesehatan Kabupaten Lebak, dengan jumlah kasus ISPA balita pada tahun 2009
yaitu terdapat 31.280 (24,40%) kasus dan pada tahun 2010 sebanyak 57.051
(44,52%) kasus (Profil P2M Lebak, 2010).
Untuk dapat menanggulangi penyebaran ISPA tentu diperlukan pengetahuan
mengenai faktor-faktor risiko ISPA. Beberapa penelitian sudah banyak dilakukan
untuk mengetahui faktor pemicu maupun pencegah ISPA.
Di Negara berkembang, sekitar 24% infeksi saluran nafas kebanyakan
disebabkan oleh faktor-faktor yang berhubungan dengan lingkungan seperti polusi
udara dalam ruang maupun di luar ruangan, asap rokok (Etzel, 1997). Faktor-
faktor yang berhubungan dengan ISPA antara lain umur, jenis kelamin, status gizi,
berat badan lahir, status ASI, status imunisasi, kepadatan hunian, penggunaan anti
nyamuk bakar, bahan bakar untuk memasak dan keberadaan perokok. Selain itu
juga konsumsi vitamin A memiliki pengaruh terhadap timbulnya ISPA pada balita
( Anandari, 2007).
Sedangkan hasil dari analisis data Riskesdas 2007 diperoleh faktor-faktor
yang berhubungan signifikan dengan kejadian ISPA pada balita yaitu umur, status
gizi, pendidikan ibu, pekerjaan ibu, bahan bakar masak, perokok dalam rumah,
jenis lantai dan outdoor pollution.
Puskesmas DTP Cibeber adalah salah satu puskesmas yang berada di
bagian tenggara wilayah kabupaten Lebak Propinsi Banten. Jarak dari puskesmas
kecamatan ke kabupaten dan dinas kesehatan kabupaten sejauh ± 165 km dengan
akses yang kurang baik. Menurut data puskesmas, ISPA merupakan urutan
pertama dalam daftar 10 besar penyakit. Dan jumlah kesakitan balita dengan
kasus ISPA dari tahun 2008 terdapat 778 (24,3%) kasus, kemudian pada tahun
2009 mengalami penurunan drastis yaitu 231 (7,21%) kasus, pada tahun 2010
melonjak naik menjadi 873 (27,3%) kasus dan pada tahun 2011 sampai dengan
bulan Mei terdapat 482 (20%) kasus ISPA balita (laporan Puskesmas, 2011).
Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
3
Universitas Indonesia
Berdasarkan data di atas, masih tingginya kasus ISPA pada balita, penulis
merasa tertarik memilih Puskesmas DTP Cibeber kabupaten Lebak untuk
mengetahui pengetahuan ibu, karakteristik balita, sumber pencemar udara dalam
ruang dan lingkungan fisik rumah dengan kejadian ISPA pada balita.
I.2 Rumusan Masalah
Berangkat dari latar belakang maka rumusan masalah pada penelitian ini
adalah adakah hubungannya antara pengetahuan ibu, karakteristik balita, sumber
pencemar udara dalam ruang dan lingkungan fisik rumah dengan kejadian ISPA
pada balita di wilayah kerja Puskesmas DTP CibeberKabupaten Lebak Propinsi
Banten.
1.3 Pertanyaan Penelitian
1. Bagaimana gambaran kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas
DTP Cibeber kabupaten Lebak Propinsi Banten?
2. Bagaimana gambaran pengetahuan ibu tentang ISPA di wilayah kerja
Puskesmas DTP Cibeber Kabupaten Lebak Propinsi Banten?
3. Bagaimana gambaran karakteristik balita (berat bayi lahir, status imunisasi,
dan status ASI) di wilayah kerja Puskesmas DTP Cibeber kabupaten Lebak
Propinsi Banten?
4. Bagaimana gambaran lingkungan fisik rumah (ventilasi dan kepadatan
penghuni) di wilayah kerja Puskesmas DTP Cibeber kabupaten Lebak
Propinsi Banten?
5. Bagaimana gambaran pencemar udara dalam ruang ( adanya perokok dan
bahan bakar memasak) di wilayah kerja Puskesmas DTP Cibeber kabupaten
Lebak Propinsi Banten?
6. Adakah hubungan antara pengetahuan ibu, karakteristik balita, lingkungan
fisik rumah dan pencemar udara dalam ruang dengan kejadian ISPA pada
balita di wilayah kerja Puskesmas DTP Cibeber Kabupaten Lebak Propinsi
Banten?
Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
4
Universitas Indonesia
1.4 Tujuan Penelitian
1.4.1 Tujuan umum
Ingin mengetahui kejadian ISPA pada balita dengan faktor pengetahuan ibu,
karakteristik balita, sumber pencemar udara dalam ruang dan lingkungan fisik
rumah di wilayah kerja Puskesmas DTP Cibeber kabupaten Lebak Propinsi
Banten tahun 2011.
1.4.2 Tujuan Khusus
Tujuan khusus penelitian ini antara lain:
1. Diketahuinya gambaran kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas
DTP Cibeber Kabupaten Lebak Propinsi Banten .
2. Diketahuinya pengetahuan ibu balita tentang ISPA di wilayah kerja
Puskesmas DTP Cibeber Kabupaten Lebak Propinsi Banten.
3. Diketahuinya karakteristik balita (berat bayi lahir, status imunisasi, status
ASI) di wilayah kerja Puskesmas DTP Cibeber kabupaten Lebak Propinsi
Banten.
4. Diketahuinya pencemaran udara dalam ruang ( bahan bakar memasak dan
keberadan perokok) di wilayah kerja Puskesmas DTP Cibeber kabupaten
Lebak Propinsi Banten.
5. Diketahuinya lingkungan fisik rumah (ventilasi dan kepadatan penghuni) di
wilayah kerja Puskesmas DTP Cibeber kabupaten Lebak Propinsi Banten.
6. Diketahuinya hubungan antara pengetahuan ibu dengan kejadian ISPA pada
balita di wilayah kerja Puskesmas DTP Cibeber Kabupaten Lebak Propinsi
Banten.
7. Diketahuinya hubungan antara karakteristik balita (umur, berat bayi lahir,
status imunisasi, dan status ASI) dengan kejadian ISPA di wilayah kerja
Puskesmas DTP Cibeber Kabupaten Lebak Propinsi Banten
8. Diketahuinya hubungan antara sumber pencemar udara dalam ruang dengan
kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas DTP Cibeber
Kabupaten Lebak Propinsi Banten.
Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
5
Universitas Indonesia
9. Diketahuinya hubungan antara lingkungan fisik rumah dengan kejadian ISPA
pada balita di wilayah kerja Puskesmas DTP Cibeber kabupaten Lebak
Propinsi Banten.
1.5 Manfaat Penelitian
1.5.1 Manfaat bagi peneliti lain
Penelitian ini dapat dijadikan bahan acuan awal bagi penelitian selanjutnya,
terutama untuk penelitian sejenis yang terkait dengan kejadian ISPA.
1.5.2 Manfaat bagi puskesmas
Hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi petugas kesehatan khususnya
pengelola program KIA, program P2 ISPA dan bagian promosi kesehatan
dalam memberikan informasi guna merencanakan program pencegahan dan
penanganan terhadap kejadian ISPA.
1.5.3 Manfaat bagi masyarakat
Hasil penelitian ini dapat bermanfaat untuk masyarakat sebagai informasi
dalam mengurangi kejadian ISPA pada balita di wilayahnya.
1.5.4 Manfaat bagi peneliti
Penelitian ini dapat memberi informasi dan menambah wawasan mengenai
faktor pengetahuan ibu dan pencemaran udara dalam rumah yang
mempengaruhi kejadian ISPA pada balita di wilayah Puskesmas DTP
Cibeber Kabupaten Lebak Propinsi Banten.
1.6 Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini dilakukan untuk mengukur keadaan kondisi fisik rumah,
sumber pencemar dalam ruang, pengetahuan ibu dan karakteristik balita dengan
kejadian ISPA pada balita. Penelitian ini dilakukan di wilayah Puskesmas DTP
Cibeber Kabupaten Lebak pada bulan Mei- Juni 2011.
Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
6
Universitas Indonesia
Desain studi yang digunakan adalah Cross Sectional yaitu rancangan studi
penelitian yang bertujuan untuk mempelajari dinamika hubungan antara
pengetahuan ibu terhadap pencemaran udara dalam rumah dengan kejadian ISPA
pada balita dengan cara melakukan pengumpulan data secara bersamaan (point
time approach), menggunakan teknik wawancara dan pengamatan dengan
menggunakan kuesioner, Populasi dari penelitian ini adalah seluruh ibu balita
yang berada di wilayah kerja Puskesmas DTP Cibeber, dan sebagai sampelnya
sebanyak 106 ibu yang memiliki balita yang telah memiliki kriteria inklusi.
Adapun cara pengumpulan data diperoleh dari data sekunder, dan data
primer didapat dari hasil wawancara dan pengamatan di lapangan saat melakukan
penelitian baik terhadap KMS balita dan kondisi fisik rumah dan sumber
pencemar udara dalam ruang. Yang kemudian diolah menggunakan sistem
komputerisasi dan disajikan dalam bentuk narasi dan tabel, selanjutnya
menganalisis ada tidaknya hubungan antara pengetahuan ibu, karakteristik balita,
sumber pencemar udara dalam ruang dan lingkungan fisik rumah terhadap
kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas DTP Cibeber Kabupaten
Lebak Banten.
Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
7 Universitas Indonesia
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Infeksi Saluran Pernapasan Akut
2.1.1 Pengertian
ISPA merupakan singkatan dari infeksi saluran pernapasan akut dan mulai
diperkenalkan pada tahun 1984, dengan istilah Acute Respiratory infectious
(ARI). Infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) mengandung tiga unsur, yaitu
infeksi, saluran pernapasan dan akut. Yang dimaksud dengan infeksi adalah
masuknya mikroorganisme ke dalam tubuh manusia dan berkembang biak
sehingga menimbulkan gejala penyakit. Saluran pernapasan adalah organ yang
dimulai dari hidung sampai alveoli beserta organ adneksanya, seperti sinus-sinus,
rongga telinga tengah dan pleura. Sedangkan infeksi akut adalah infeksi yang
berlangsung sampai dengan 14 hari (Depkes, 2006)
ISPA adalah penyakit infeksi akut yang menyerang salah satu bagian dan
atau lebih dari saluran napas mulai dari hidung, hingga alveoli termasuk jaringan
adneksanya. Infeksi saluran pernapasan meliputi infeksi saluran pernapasan
bagian atas, seperti nasopharyngitis, pharyngo, dan epiglotitis, dan infeksi saluran
pernapasan bagian bawah, seperti laryngitis, tracheobronchitis dan bronchitis
pneumonia (Depkes, 2006).
Infeksi saluran napas bagian atas adalah infeksi yang disebabkan
mikroorganisme di struktur saluran napas yang tidak berfungsi saat pertukaran
gas, termasuk rongga hidung, faring, dan laring yang dikenal dengan ISPA antara
lain pilek, faringitis atau radang tenggorok, laryngitis, dan influenza tanpa
komplikasi.
Saluran pernapasan bagian atas terdiri dari hidung, faring, laring, dan
epiglotis, yang berfungsi menyaring, menghangatkan, dan melembabkan udara
yang dihirup.
Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
8
Universitas Indonesia
2.1.2 Etiologi ISPA
Etiologi ISPA terdiri lebih dari 300 jenis bakteri, virus dan ricketsia.
Bakteri penyebab ISPA antara lain adalah dari genus streptokokus, stapilokokus,
pneumokokus, hemofilus, bordetela dan korinebakterium. Virus penyebab ISPA
antara lain adalah golongan mikrovirus, adenovirus, koronavirus, pikornavirus,
mikoplasma, herpesvirus, dan lain-lain (Depkes, 2006).
Menurut Catsel, et.al. (1991), virus yang terdapat dalam saluran pernapasan
dibagi atas beberapa macam yaitu:
1. Virus respiratory syncytial, menyebabkan bronchiolitis
2. Virus parainfluenza, khususnya tipe 1 menyebabkan sebagian kasus croup,
bisa menimbulkan infeksi saluran pernapasan atas dan bronchitis.
3. Virus influenza A dan B menyebabkan infeksi saluran pernapasan atas selama
epidemic.
4. Adenovirus, menyebabkan penyakit saluran pernapasan simptomatik ringan
atau konjungtivitis, bisa menyebabkan pneumonia fatal.
5. Rhinovirus, menyebabkan infeksi koriza, infeksi virus Coxsackie terbatas pada
saluran pernapasan atas. Tipe A menyebabkan herpangina dan
tonsilopharingitis. Virus Coe (A21) menyebabkan infeksi saluran pernapasan.
2.1.3 Patofisiologi ISPA
Sebagian besar ISPA disebabkan oleh virus, meskipun bakteri juga dapat
terlibat sejak awal atau yang bersifat sekunder terhadap infeksi virus. Semua yang
infeksi mengakibatkan respon imun dan inflamasi sehingga terjadi pembengkakan
dan edema jaringan yang terinfeksi. Reaksi inflamasi menyebabkan peningkatan
produksi mukus yang berperan menimbulkan ISPA, yaitu kongesti atau hidung
tersumbat, sputum berlebih, dan rabas hidung (pilek). Sakit kepala, demam ringan
juga dapat terjadi akibat reaksi inflamasi.
Meskipun saluran napas atas secara langsung terpajan dengan lingkungan,
infeksi relative jarang meluas menjadi infeksi saluran napas bawah yang
mengenai bronchus atau alveolus. Terdapat banyak mekanismae perlindungan di
sepanjang saluran napas untuk mencegah infeksi.
Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
9
Universitas Indonesia
Range dari mikroba pathogen yang menginfeksi bervariasi sangat luas
seperti bakteri, mycobacterium, myoplasma, chlamidia, jamur dan virus. Padahal
karakteristik biologis, gambaran perilaku dan lingkungan dari organisme-
organisme ini berbeda satu sama lainnya dalam menimbulkan penyakit
pernapasan (Gwaltney, et.al., 2001 dalam Ariyanto, 2008).
Agen infeksius memasuki saluran pernapasan dapat dengan cara:
penyebaran secara homogen, atau dengan inhalasi, ataupun dengan aspirasi ke
dalam saluran tracheobronchial. Diperkirakan hanya 10-15% anak-anak dengan
pneumonia yang penyebarluasan penyakit pneumonia balita adalah melalui
mekanisme nonhematogen.
Saluran pernapasan memiliki kemampuan untuk menyaring dan menangkap
kuman pathogen yang masuk dengan cara Refleks batuk, yaitu dengan
mengeluarkan benda asing dan mikroorganisme, serta mengeluarkan mukus yang
terakumulasi dan mukosyliaris. Lapisan mukosiliaris yaitu lapisan yang terdiri
dari sel-sel yang beralokasi dari bronkus ke atas dan mempunyai produksi mukus,
serta sel-sel silia yang melapisi sel-sel penghasil mukus. Sel penghasil mukus
menangkap partikel benda asing, dan silia bergerak secara ritmik untuk
mendorong mukus dan semua partikel yang terperangkap, ke atas cabang
pernapasan ke nasofaring tempat mukus tersebut dapat dikeluarkan sebagai
sputum, dikeluarkan melalui hidung atau ditelan. Proses kompleks ini kadang
disebut sebagai system escalator mukosiliaris. Silia adalah struktur lembut yang
mudah rusak atau cedera oleh berbagai stimulus berbahaya, termasuk asap rokok.
Apabila mikroorganisme dapat lolos dari mekanisme pertahanan tersebut
dan membuat koloni di saluran pernapasan atas, bagian penting pertahanan ketiga
system imun, akan bekerja untuk mencegah mikroorganisme tersebut sampai ke
saluran napas bawah. Respon ini diperantarai oleh limfosit, tetapi melibatkan sel
darah putih lainnya (Corwin, 2009).
Seperti Kanra, et.al (1997) dalam Ariyanto (2008) mengatakan, makrophag
alveolar akan mengeliminasi organisme yang mencapai alveoli. Eliminasi
Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
10
Universitas Indonesia
organisme infeksius diperkuat oleh imununoglobulin G dan A serta faktor lainnya,
sebagai pelengkap seperti antiprotease, lysoszyme, dan fibronectin.
Kondisi yang mendukung keadaan yang menyebabkan menurunnya daya
tahan tubuh, antara lain: infeksi virus yang menyebabkan menurunnya daya tahan
pada saluran pernapasan, dilakukannya tindakan endotracheal dan traechostomy,
obat-obat yang berdampak pada reflek batuk, menghambat pergerakan
mucosiliaris (Kanra, et.al., 1997 dalam Ariyanto, 2008).
2.1.4 Tanda dan Gejala Penyakit ISPA
Penyakit infeksi saluran pernapasan meliputi infeksi pada telinga,
tenggorokan (pharynx) trachea, bronchioli, dan paru. Tanda dan gejala penyakit
infeksi saluran pernapasan: batuk, sakit tenggorokan, pilek, demam, kesulitan
bernapas dan sakit telinga. Berdasarkan tingkat keparahannya, infeksi saluran
pernapasan akut di bagi menjadi tiga kelompok yaitu:
1. ISPA ringan
Gejalanya antara lain adalah:
a. Batuk
b. Serak yaitu anak bersuara bersuara parau ketika mengeluarkan suara
(misalnya pada saat berbicara atau menangis)
c. Pilek yakni anak mengeluarkan lender/ingus dari hidung
d. Panas atau demam, suhu badan lebih dari 370C atau jika dahi anak diraba
dengan punggung tangan terasa panas.
2. ISPA sedang
Anak dinyatakan menderita ISPA sedang, bila dijumpai gejal-gejala ISPA
ringan disertai satu atau lebih gejala-gejala berikut:
a. Pernapasan lebih dari 50 kali permenit pada anak berumur kurang dari satu
tahun atau lebih dari 40 kali permanit pada anak yang berumur satu tahun
atau lebih.
b. Suhu lebih dari 390C
c. Tenggorokan berwarna merah
d. Timbul bercak-bercak pada kulit menyerupai bercak campak
Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
11
Universitas Indonesia
e. Telinga sakit atau mengeluarkan nanah dari lubang telinga
f. Pernapasan berbunyi seperti mendengkur
g. Pernapasan berbunyi menciut-ciut
3. ISPA berat
Anak dinyatakan ISPA berat, jika dijumpai gejala-gejala ISPA ringan dan
sedang disertai satu atau lebih gejala-gejala berikut:
a. Bibir atau kulit membiru
b. Lubang hidung kembang kempis (dengan cukup lebar) pada saat bernapas
c. Anak tidak sadar atau kesadarannya menurun
d. Pernapasan berbunyi seperti mengorok, menciut dan anak tampak gelisah
e. Sela iga tertarik ke dalam pada waktu bernapas
f. Nadi cepat lebih dari 60 kali permanit atau tak teraba
g. Tenggorokan berwarna merah
Pada tahun 1998 World Health Organization telah mempublikasikan pola
baru tatalaksana penderita ISPA. Kriteria untuk menggunakan pola tatalaksana
penderita ISPA adalah: balita, dengan gejala batuk dan atau kesukaran bernapas.
Pola tatalaksana penderita ini terdiri dari 4 bagian yaitu:
a) Pemeriksaan
b) Penentuan ada tidaknya tanda bahaya
c) Penentuan klasifikasi penyakit
d) Pengobatan dan tindakan
2.1.5 Klasifikasi ISPA
Dalam penentuan klasifikasi penyakit dibedakan atas dua golongan umur
yaitu gologan umur 2 bulan sampai dengan < 5 tahun dan golongan umur < 2
bulan (Depkes, 2006).
1. Golongan umur 2 bulan sampai dengan < 5 tahun klasifikasi dibagi atas:
a. Pneumonia berat
Bila disertai napas sesak yaitu adanya tarikan di dinding dada bagian bawah
ke dalam pada waktu anak menarik napas ( pada saat diperiksa anak harus
dalam keadaa tenang, tidak menangis atau meronta).
Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
12
Universitas Indonesia
b. Pneumonia
Bila disertai napas cepat. Batas napas cepat adalah:
1) Untuk usia 2 bulan -12 bulan = 50 kali per menit atau lebih
2) Untuk usia 1-4 tahun = 40 kali per menit atau lebih
c. Bukan pneumonia
Bila tidak ditemukan tarikan dinding dada bagian bawah dan tidak ada napas
cepat.
“Tanda Bahaya” untuk golongan umur 2 bulan – 5 tahun yaitu:
1) Tidak bisa minum
2) Kejang
3) Kesadaran menurun
4) Stidor
5) Gizi buruk (Depkes, 1996)
2. Untuk kelompok umur < 2 bulan klasifikasi dibagi atas:
a. Pneumonia berat
Bila disertai salah satu tanda tarikan kuat di dinding pada bagian bawah atau
napas cepat. Batas napas cepat untuk golongan umur kurang dari 2 bulan yaitu
60 kali per menit atau lebih.
b. Bukan pneumonia
Bila tidak ditemukan tanda tarikan kuat dinding dada bagian bawah atau napas
cepat.
“Tanda Bahaya” untuk golongan umur kurang dari 2 bulan, yaitu:
1) Kurang bisa minum ( kemampuan minumnya menurun sampai kurang dari
½ volume yang biasa diminum).
2) Kejang
3) Kesadaran menurun
4) Stridor
5) Wheezing
6) Demam/dingin
Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
13
Universitas Indonesia
2.1.6 Faktor Risiko ISPA
Berdasarkan hasil penelitian dari berbagai Negara termasuk Indonesia dan
berbagai publikasi ilmiah, dilaporkan berbagai faktor risiko baik yang
meningkatkan insiden (morbiditas) maupun kematian (mortalitas) akibat ISPA
terutama pneumonia:
1. Faktor risiko yang meningkatkan insiden ISPA (Depkes, 2006)
a. Umur < 2 bulan
b. Laki-laki
c. Gizi kurang
d. Berat badan lahir rendah
e. Tidak mendapat ASI memadai
f. Polusi udara
g. Kepadatan tempat tinggal
h. Imunisasi yang tidak memadai
i. Membedong anak
j. Defisiensi vitamin A
k. Pemberian makanan tambahan terlalu dini
2. Faktor risiko yang meningkatkan angka kematian ISPA (Depkes, 2006)
a. Umur < 2 bulan
b. Tingkat sosial ekonomi rendah
c. Kurang gizi
d. Berat badan lahir
e. Tingkat pendidikan ibu yang rendah
f. Tingkat jangkauan pelayanan kesehatan yang rendah
g. Kepadatan tempat tinggal
h. Imunisasi yang tidak memadai
i. Menderita penyakit kronis
j. Aspek kepercayaan setempat dalam praktek pencarian pengobatan yang
salah.
Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
14
Universitas Indonesia
Faktor risiko yang berhubungan dengan individu dan lingkungan pada
kejadian pneumonia di klinik anak pada Negara berkembang (Buletin WHO,
2008) :
1. Faktor risiko terbatas
a. Kekurangan gizi (berat menurut umur z score < –2 )
b. Berat lahir rendah (< 2500 g)
c. Tidak ASI eksklusif (selama 4 bulan pertama)
d. Tidak imunisasi campak (selama usia 12 bulan pertama)
e. Pencemaran udara dalam rumah
f. Kepadatan hunian
2. Faktor risiko mungkin
a. Keluarga yang merokok
b. Kekurangan seng
c. Pengalaman ibu dalam pemberian pengobatan
d. Penyakit penyerta (misalnya. diare, penyakit jantung, asma)
3. Faktor risiko kemungkinan
a. Pendidikan ibu
b. Pengasuh anak
c. Curah hujan (kelembaban)
d. Dataran tinggi (udara dingin)
e. Defisiensi Vitamin A
f. Jumlah paritas
g. Pencemaran udara luar
2.1.7 Penularan ISPA
Adanya ketertarikan bahwa ada penularan lewat udara yang dapat
menimbulkan penyakit pernapasan terjadi pada abad ke-19 menurut Williams
Wells. Konsep ini memperkenalkan adanya droplet nuclei, suatu partikel infeksius
yang amat kecil berukuran < 10μ, yang terdapat di udara. Modus transmisi ini
Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
15
Universitas Indonesia
menjadi hal yang penting dalam epidemiologis perkembangan riwayat pada
penyakit pernapasan. Karena beberapa hal menunjukkan bahwa tidak semua
respiratory pathogen bertransmisi dengan cara yang sama (Gwaltney, et.al., 2001).
Kuman penyakit ISPA ditularkan dari penderita ke orang lain melalui udara
pernapasan atau percikan ludah penderita. Pada prinsipnya kuman ISPA yang ada
di udara terhisap oleh pejamu baru dan masuk ke seluruh saluran pernapasan. Dari
saluran pernapasan kuman menyebar ke seluruh tubuh apabila orang yang
terinfeksi ini rentan, maka ia akan terkena ISPA (Depkes RI, 1999).
Menurut Amin (1989) dalam Mudehir (2002) proses penyebaran Infeksi
Saluran Pernafasan akut dikenal dengan 3 cara, yaitu:
1. Melalui Aerosol lembut, seperti batuk
2. Melalui Aerosol keras, seperti batuk dan bersih
3. Melalui aerosol lebih keras, seperti batuk dan bersin melalui kontak langsung/
tidak langsung dengan benda-benda yang telah terkontaminasi (hand to hand
transmission).
2.1.8 Pencegahan Penyakit ISPA
Pencegahan dilakukan agar anak bisa bebas dari serangan ISPA atau
terjadinya ISPA pada anak balita dapat berkurang.
Sesuai dengan cara terjadinya ISPA, maka cara pencegahan menurut dr. Runizar
Roesin dan dr. Indriyono (1985) dalam Ariyanto perlu dilakukan terhadap :
1. Menghindarkan anak dari kuman
a. Menghindarkan anak berdekatan dengan penderita ISPA, karena kuman
penyebab ISPA sangat mudah menular dari satu orang ke orang lain.
b. Jika seorang ibu menderita ISPA sedangkan ia butuh mengasuh anak atau
menyusui bayinya, ibu tersebut harus menutup hidung dan mulutnya
dengan sapu tangan.
2. Meningkatkan daya tahan tubuh anak
Meningkatkan daya tahan dapat dilakukan dengan jalan berikut ini :
Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
16
Universitas Indonesia
a. Menjaga gizi anak tetap baik dengan memberikan makanan yang cukup
bergizi (cukup protein, kalori, lemak, vitamin dan mineral). Bayi-bayi
sedapat mungkin mendapat air susu ibu sampai usia 2 tahun.
b. Kebersihan anak harus dijaga agar tidak mudah terserang penyakit
menular.
c. Memberikan kekebalan kepada anak dengan memberikan imunisasi.
3. Memperbaiki lingkungan
Untuk mencegah ISPA, lingkungan harus diperbaiki khususnya lingkungan
perumahan.
a. Rumah harus berjendela agar aliran dan pertukaran udara cukup baik.
b. Asap dapur dan asap rokok tidak boleh berkumpul dalam rumah. Orang
dewasa tidak boleh merokok dekat anak atau bayi.
c. Rumah harus kering tidak boleh lembab.
4. Sinar matahari pagi harus diusahakan agar dapat masuk ke rumah.
5. Rumah tidak boleh terlalu padat dengan penghuni.
6. Kebersihan di dalam dan di luar rumah harus dijaga, rumah harus mempunyai
jamban yang sehat, dan sumber air bersih.
7. Air buangan dan pembuangan sampah harus diatur dengan baik, agar nyamuk,
lalat dan tikus tidak berkeliaran di dalam dan di sekitar rumah.
2.1.9 Cara Mengatasi Bahaya ISPA
Upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah bahaya ISPA pada balita
antara lain:
1. Segera membawa balita ke tempat pelayanan kesehatan terdekat ( Puskesmas
atau Rumah Sakit) atau menghubungi kader kesehatan terdekat bila
ditemukan disertai adanya kesulitan bernafas.
2. Semua bayi umur di bawah 2 bulan yang menderita batuk pilek segera di bawa
ke tempat pelayanan kesehatan terdekat.
2.1.10 Program Penanggulngan ISPA
Pemberantasan penyakit ISPA di Indonesia dimulai pada tahun1984,
bersamaan dengan dilancarkannya Pemberantasan penyakit ISPA ditingkat global
Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
17
Universitas Indonesia
oleh WHO. Dalam tatalaksana ISPA tahun1984, dengan klsifikasi penyakit ISPA:
ISPA ringan, sedang dan berat. Pada tahun 1988, WHO mempublikasikan cara
diagnosis yang sederhana, praktis, dan tepat guna, dipisahkan antara tatalaksana
klasifikasi penyakit pneumonia dan penyakit infeksi akut telinga dan tenggorokan.
Pada lokakarya Nasional ke-3 tahun1990 disepakati pola tatalaksana yang
diadaptasisesuai dengan situasi dan kondisi setempat. Sejak tahun 1990 ini
pemberantasan ISPA dititikberatkan dan difokuskan pada pengendalian
pneumonia balita (Depkes, 2006).
Kebijakan pemerintah yang mendukung program ISPA antara lain
Keputusan Presiden No.36 tahun 1990 tentang KonvensiHak-Hak Anak dan
UNdang-Undang No. 25 tahun 2000 tentang Program Pembanguna Nasional
2000-2004. Salah satu sasaran yang akan dicapai adalah menurunkan angka
kesakitan balita akibat pneumonia pada balita menjadi 3 per 1000 kelahiran hidup.
Target dalam menurunkan angka kesakitan balita akibat pneumonia adalah dari
10-20% pada tahun 2000 menjadi 8- 16% pada tahun 2005 (Depkes, 2005).
2.1.11 Permasalahan ISPA di Indonesia
Sumber daya manusia (SDM) yang terlibat dalam program pengendalian
penyakit (P2) ISPA meliputi kader, petugas kesehatan yang memberikan
tatalaksana ISPA disarana pelayanan kesehatan (polindes, pustu, puskesmas,
Rumah Sakit, poliklinik), pengelola program ISPA di puskesmas, kabupaten/kota,
provinsi dan pusat. Upaya peningkatan kualitas SDM P2 ISPA dilaksanakan
diberbagai jenjang melalui kegiatan diantaranya; pelatihan ISPA bagi kader,
pelatihan tatalaksana penderita (diintegrasikan dalam pelatihan MTBS), pelatihan
autopsy verbal, pelatihan audit kasus, pelatihan audit manajemen, pelatihan
promosi P2 ISPA dan pelatihan tatalaksana kasus ISPA balita di sarana pelayanan
kesehatan. Pelaksanaan kegiatan ini dilakukan baik di tingkat pusat, provinsi, dan
kab/kota. Meskipun demikian hingga saat ini kuantitas dan kualitas SDM petugas
P2 ISPA dirasakan masih kurang (Depkes, 2006).
Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
18
Universitas Indonesia
2.12 Penatalaksanaan ISPA
Di Indonesia, ISPA khususnya pneumonia merupakan penyebab kematian
utama. Dari sekitar 450.000 kematian balita yang terjadi setiap tahun diperkirakan
ada 150.000kematian balita yang disebabkan oleh ISPA. Ini berarti ada 410
kematian balita oleh penyakit ISPA(pneumonia) (Depkes, 2006).
1. Program Pengendalian ISPA
Program pengendalian ISPA yang dilakukan oleh pemerintah mempunyai
tujuan utama yaitu :
a. Menekankan/ mengurangi kematian oleh pneumonia pada balita.
b. Mengurangi penggunaan antibiotika dan obat yang kurang tepat pada
pengobatan penyakit ISPA.
c. Menurunkan kesakitan pneumonia pada kelompok balita.
Strategi utama untuk menurunkan kematian akibat pneumonia adalah dengan
cara penemuan dini dan pengobatan secara tepat. Prinsip pengobatan bagi
penderita ISPA (Depkes, 2006).
a. Penderita batuk pilek biasa (batuk yang tidak disertai napas cepat/ sesak
napas) tidak perlu diberi antibiotic. Mereka memerlukan paracetamol bila
demam dan obat untuk meringankan batuk.
b. Penderita batuk yang disertai napas cepat (pneumonia) harus mendapatka
antibiotic selama 5 hari. Antibiotik jenis kotrimoksazol, amoksicillin,
ampicillin atau penicillin.
c. Penderita batuk yang disertai napas sesak (pneumonia berat) perlu dirujuk
ke Rumah Sakit atau puskesmas dengan fasilitas rawat inap.
Strategi WHO dalam penanggulangan ISPA antara lain:
a. Meningkatkan cakupan imunisasi
b. Case manajemen ISPA
c. Imbauan agar para ibu mencari pengobatan pada petugas kesehatan yang
terlatih sedini mungkin.
Kurangnya informasi yang berkaitan dengan pengetahuan dalam
menghadapi ISPA, cara pengobatan di rumah, dan pencarian pengobatan di luar
rumah. Program penanggulangan ISPA yang dilaksanakan secara nasional akan
lebih efisien bila banyak dilakukan pada peningkatan cara ibu mengenali ISPA
Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
19
Universitas Indonesia
dan cara pencarian pengobatan yang efektif dan efisien, supaya mortalitas dan
morbiditas bayi dan balita menurun secara bermakna, jika dibandingkan dengan
hanya mengandalkan petugas kesehatan saja. Maka dengan bertumpu pada
keberhasilan peningkatan pengetahuan ibu akan menurunkan angka kematian dan
kesakitan bayi dan balita khususnya dalam program penanggulangan ISPA di
Indonesia.
2. Penanggulangan ISPA
Menurut (Biddulp et.al, 1999 dalam Ariyanto,2008) cara penanggulangan
penyakit ISPA dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu :
a. Pendidikan Kesehatan
Pendidikan kesehatan terutama diarahkan kepada pencegahan penyakit
ISPA yaitu:
a) Primordial Prevention : yang bertujuan menghindari faktor risiko bila
faktor tersebut belum ditemukan dalam masyarakat, misalnya
penderita batuk, asap rokok, yang menyebabkan risiko tinggi terhadap
terjadinya ISPA perlu dihindari dengan cepat.
b) Primary Prevention yang bertujuan untuk mengurangi atau merubah
faktor risiko yang telah ada baik pada individu maupun masyarakat,
misalnya bagaimana mengurangi kepadatan penghuni, memperbaiki
ventilasi rumah,membuat system dapur sedemikian rupa sehingga
dapat membatasi penghisapan asap dari kompor. Pencegahan penyakit
ISPA khususnya pada anak-anak, maka pendidikan kesehatan
diarahkan terutama pada ibu-ibu.
b. Pengendalian Infeksi ISPA
Pengendalian ISPA yang dimaksud adalah pengobatan ISPA, baik ISPA
bagian atas maupun ISPA bagian bawah. Pengendalian diupayakan
supaya, ISPA bagian atas tidak menimbulkan komplikasi dan bagaimana
supaya ISPA bagian bawah tidak terlalu parah.
c. Imunisasi
Program imunisasi yang bertujuan untuk mencegah penyakit tertentu
seperti difteri, campak dan pertusis dapat mengurangi terjadinya
Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
20
Universitas Indonesia
pneumonia karena penyakit-penyakit tersebut dapat berkomplikasi dengan
ISPA bagian bawah.
2.13 Konsep Determinan Kelangsungan Hidup Anak
Variabel-variabel yang diidentifikasi berhubungan atau berpengaruh, baik
secara langsung maupun tidak langsung terhadap risiko kesakitan dan kematian
anak, dalam ilmu kesehatan masyarakat dan kedokteran biasanya hanya mencakup
faktor-faktor yang berkaitan dengan kesakitan (morbiditas) anak dan kematian
(mortalitas) anak. Sedangkan dalam ilmu sosial termasuk dalam ilmu demografi,
mencakup variabel-variabel secara tidak langsung. Faktor penyebab langsung
(proximate determinants) yaitu faktor ibu, faktor nutrisi, faktor lingkungan dan
faktor prilaku. Determinan tidak langsung adalah sosial ekonomi budaya, yang
mempengaruhi risiko kesakitan dan kematian anak melalui faktor-faktor langsung.
(Monsley, et.al, 1984 dalam Ariyanto, 2008).
1. Faktor Determinan Langsung
a. Faktor Lingkungan
Pencemaran lingkungan dapat terjadi di udara, air, makanan, tempat cuci, kulit
dan vector. Pencemaran tersebut dapat dideteksi dengan pemeriksaan di
laboratorium. Di dalam studi kesehatan masyarakat da indikator tertentu yang
dijadikan standar pemeriksaan, misalnya indikator fisik yang diperkirakan
munculnya penyakit infeksi seperti kepadatan anggota rumah, luas rumah, luas
lantai, jenis atap, dinding dan sebagainya.
b. Faktor Nutrisi
Nutrisi berperan penting terhadap risiko kematian bayi, dari pola makanan
dapat menggambarkan masukan bahan bergizi ke dalam tubuh balita dan
akibat dari kekurangan gizi mengakibatkan munculnya penyakit-penyakit
infeksi pada tubuh.
c. Faktor perilaku
Faktor perilaku dapat dilihat dari anak atau pengasuhnya (ibu) dalam upaya
pencegahan penyakit (imunisasi, prophylaxis atau pemeriksaan prenatal bagi
ibu). Dari segi kuratif misalnyapencarian pengibatan waktu sakit, termasuk
pengobatan tradisional. Kebiasaan hiduop anak sangat penting diperhatikan
Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
21
Universitas Indonesia
(kebiasaan mandi memakai sabun, frekuensi ganti makanan, kebiasaan
memakai alas kaki).
2. Faktor Determinan Sosial Ekonomi
Faktor ini dapat dibagi menjadi tiga tingkatan yaitu :
a. Faktor- faktor pada tingkat individu
a) Produktivitas individu, dipengaruhi oleh keterampilan (tingkat
pendidikan), kesehatan dan waktu.
b) Faktor bapak/ ibu, sangat ditentukan dengan tingkat pendidikan yang
berkaitan dengan macam pekerjaan dan kekayaan. Tingkat pendidikan
bapak/ ibu mempengaruhi sikap dalam kehidupan keluarga terhadap
tindakan/ perilaku yang dapat memperkecil risiko terhadap kematian
anak.
c) Faktor ibu, hubungan biologis yang erat antara ibu dan anak selama
hamil dan menyusui, maka kesehatan ibu dan status gizi ibu serta pola
reproduksi ibu sangat mempengaruhi kesehatan dan ketahanan anak
untuk tetap hidup. Tingkat pendidikan ibu sangat menentukan tindakan
atau pilihan-pilihan untuk menyelamatkan anak dan peningkatan
ketahanan anak.
b. Faktor- faktor pada tingkat keluarga
Faktor ini berhubungan dengan bentuk benda, jasa dan kekayaan dalam
rumah tangga yang mempengaruhi ketahanan anak untuk hidup.
a) Keteraturan mendapatkan makanan untuk memenuhi kebutuhan dari
bahan bergizi, kebersihan makanan sangat penting dalam mencegah
penyakit.
b) Kuantitas dan kualitas air untuk memenuhi kebutuhan minimal bagi
rumah tangga dan kehidupan rumah tangga.
c) Pakaian dengan jumlah yang cukup dan bersih bagi anak dan ibu sangat
berpengaruh terhadap risiko terkena penyakit infeksi pada balita.
d) Luas dan kualitas rumah tinggal sangat penting, terutama lubang-lubang
ventilasi dan lubang-lubang untuk sinar matahari berpengaruh terhadap
risiko terkena penyakit. Pembagian ruang dalam rumah, khususnya
untuk tidur dll.
Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
22
Universitas Indonesia
e) Informasi tentang hidup sehat dan tempat-tempat mendapatkan
perawatan preventif atau kuratif. Informasi dan penerangan gizi sangat
penting terhadap ketahanan bayi/ balita.
c. Faktor- faktor pada tingkat masyarakat
a) Keadaan ekologi, sangat berpengaruh terhadap risiko kesakitan dan
kematian balita, misalnya suhu, musim, curah hujan, kelembaban udara
dan sebagainya.
b) Lembaga-lembaga masyarakat
Lembaga ini menentukan sekali dalam menghadapi permasalahan
kesehatan misalnya ada dana sehat, kelompok sukarelawan dalam
pengendalian dan penanggulangan penyakit, dana sosial dan sebagainya.
c) Sistem kesehatan
Sistem ini meliputi tindakan-tindakan pemerintah untuk pencegahan
seperti imunisasi, pengendalian penyakit menular, sistem rujukan,
sistem pelayanan masyarakat serta infrastruktur kesehatan.
2.2 Rumah Sehat
Seperti tertera dalam keputusan Menteri Kesehatan RI No. 829/Menkes/
SK/ VII/ 1999, tertanggal 20 juli 1999 bahwa rumah merupakan salah satu
kebutuhan dasar manusia yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian yang
digunakan untuk berlindung dari gangguan iklim dan makhluk hidup lainnya,
serta tempat pengembangan kehidupan keluarga. Sedangakn kesehatan rumah itu
sendiri berarti adalah kondisi fisik, kimia dan biologis di dalam rumah,
lingkungan rumah dan perumahan, sehingga memungkinkan penghuni atau
masyarakat memperoleh derajat kesehatan yang optimal.
2.2.1 Persyaratan Kesehatan Lingkungan Rumah
1. Bahan Bangunan
Tidak terbuat dari bahan yang dapat melepaskan zat-zat yang dapat
membahayakan kesehatan antara lain:
a. Debu total tidak lebih dari 150 μg/m3
b. Asbes bebas tidak melebihi 0,5 fiber/m3/4 jam.
c. Timah hitam tidak melebihi 300 mg/kg.
Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
23
Universitas Indonesia
d. Tidak terbuat bahan yang menjadi tumbuh dan berkembang biaknya
mikroorganisme pathogen.
2. Komponen dan penataan Ruang Rumah
Komponen rumah harus memenuhi persyaratan fisik dan biologis sebagai
berikut:
a. Lantai kedap air dan mudah dibersihkan.
b. Dinding :
a) Di ruang tidur, ruang keluarga dilengkapi dengan sarana ventilasi
untuk pengaturan sirkulasi udara.
b) Di kamar mandi dan kamar cuci harus kedap air dan mudah
dibersihkan.
c. Langit-langit harus mudah dibersihkan dan tidak rawan kecelakaan.
d. Bumbungan rumah memiliki tinggi 10 meter atau lebih harus dilengkapi
dengan penangkal petir.
e. Ruang di dalam rumah harus ditata agar berfungsi sebagai ruang tamu,
ruang keluarga, ruang makan, ruang tidur, ruang dapur, ruang mandi,
ruang bermain anak.
f. Ruang dapur harus dilengkapi dengan sarana pembuangan asap.
3. Pencahayaan
Pencahayaan alam dan atau buatan langsung maupun tidak langsung dapat
menerangi seluruh ruangan minimal intensitasnya 60 lux dan tidak
menyilaukan.
4. Kualitas Udara
Kualitas udara di dalam rumah tidak melebihi ketentuan sebagai berikut:
a. Suhu udara nyaman berkisar sampai 180 sampai 300 celcius.
b. Kelembaban udara berkisar antara 40% sampai 70%.
c. Konsentrasi gas SO2 tidak melebihi 0,10 ppm/24 jam.
d. Pertukaran udara (air exchange rate) = 5 kaki kubik per menit per
penghuni.
e. Konsentrasi gas CO tidak melebihi 100 ppm/8 jam.
f. Konsentrasi gas CO tidak melebihi 100 ppm/8 jam.
Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
24
Universitas Indonesia
5. Ventilasi
Luas penghawaan atau ventilasi alamiah yang permanen minimal 10% dari
luas lantai.
6. Kepadatan hunian
Luas ruang tidur minimal 8 meter, atau tidak dianjurkan digunakan lebih dari
2 orang tidur dalam satu ruang tidur, kecuali anak dibawah 5 tahun.
2.3 Partikel
Parameter yang diukur dalam menentukan kualitas udara salah satunya
adalah partikulat, baik di dalam maupun di luar ruangan. Partikel dapat berupa
debu padat atau titik-titik cair. Dalam pengendalian polusi udara, maka pajanan
partikulat terhadap gangguan saluran pernapasan terutama dari dalam rumah
(indoor particles). Indoor particles ini berasal dari hasil pembakaran
mikroorganisme yang bersal dari tubuh manusia, hewan, atau tanaman dan
allergen dari debu rumah, binatang atau serangga (Sunu, 2001).
Partikulat total yang terdiri dari partikel-partikel berukuran > 10μm disebut
sebagai respiable particulate. Fraksi proporsi respirable particulat juga dapat
terdiri dari berbagai campuran komposisi partikulat, tetapi memiliki probabilitas
yang lebih tinggi untuk dapat masuk ke dalam saluran napas bagian bawah karena
diameter partikel yang lebih kecil (< 10μm ) secara potensial dapat melewati
mekanisme pertahanan saluran napas atas ( Koren, 2002).
Partikel yang berdiameter lebih dari 5 mikron akan terhenti dan berkumpul
terutama pada hidung dan tenggorokan. Meskipun partikel tersebut sebagian dapat
masuk paru-paru tetapi tidak pernah lebih jauh dari kantung-kantung udara atau
bronchi, bahkan segera dapat dikeluarkan oleh gerakan silia. Partikel dengan
diameter 0,5-5,0 mikron dapat berkumpul di paru-paru sampai bronchioli, dan
hanya sebagian kecil sampai alveoli. Partikel yang berdiameter kurang dari 0,5
mikron dapat mencapai dan tinggal dalam alveoli ( Fardiaz, 1992).
Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
25
Universitas Indonesia
2.4 Hubungan Kondisi Lingkungan Rumah Dengan Gangguan Saluran
Pernapasan
Salah satu gangguan yang mungkin disebabkan oleh pencemaran udara
dalam ruangan (indoor) adalah infeksi saluran pernapasan akut. ISPA dapat
meliputi bagian atas saja dan atau bahkan bagian bawah seperti laryngitis,
tracheobronchitis, bronchitis dan pnemonia (Depkes RI, 1993). Secara garis
besarnya, kualitas udara dalam ruangan dipengaruhi oleh asap dalam ruangan
yang bersumber dari perokok, penggunaan bahan bakar kayu / arang /minyak
tanah dan penggunaan obat nyamuk bakar. Disamping itu ditentukan oleh
ventilasi, tata ruangan dan kepadatan penghuninya.
Manusia sebagai makhluk hidup sangat bergantung pada udara untuk
kelangsungan hidupnya. Kualitas udara yang buruk akan meningkatkan terjadinya
penyakit saluran pernapasan diantaranya ; (Kusnoputranto, 2000)
1. ISPA karena ventilasi tidak adekuat dan kepadatan hunian sehingga infeksi
silang meningkat
2. Asma dan penyakit alergi lainnya terutama pada balita yang disebabkan oleh
asap rokok
3. Bronchitis kronis
4. Meningkatnya risiko kanker paru yang disebabkan asap rokok, dan polutan
dari luar rumah
5. Penyakit TBC.
2.5 Faktor- Faktor Risiko Yang Mempengaruhi Kejadian ISPA Pada Balita
Kejadian ISPA terkait erat dengan pengetahuan tentang ISPA yang dimiliki
oleh masyarakat khususnya ibu, karena ibu sebagai penanggung jawab utama
dalam pemeliharaan kesejahteraan keluarga. Mereka mengurus rumah tangga,
menyiapkan keperluan rumah tangga, merawat keluarga yang sakit, dan lain
sebagainya. Pada masa balita dimana balita masih sangat tergantung kepada
ibunya, sangatlah jelas peranan ibu dalam menentukan kualitas kesejahteraan
anaknya” (Nadesul, 2002).
Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
26
Universitas Indonesia
Kondisi udara dalam rumah yang tercemar (mengalami polusi) ini perlu
dicegah dalam rangka menurunkan kejadian ISPA pada balita. Hal ini diperkuat
hasil kajian yang dilakukan oleh UNICEF dan WHO yang menyatakan bahwa
salah satu cara mencegah kejadian ISPA pada balita adalah mengurangi
pencemaran udara dalam rumah (reducing indoor air pollution).
Salah satu faktor yang mempengaruhi ISPA adalah merokok. Satu batang
rokok dibakar maka akan mengeluarkan sekitar 4000 bahan kimia seperti nikotin,
gas karbon monoksida, nitrogen oksida, hidrogen cianida, amonia, acrolein,
acetilen, benzoldehide, urethane, methanol, conmarin, 4-ethyl cathecol, ortcresor
peryline dan lainnya.
Berdasarkan hasil penelitian Surjadi, ISPA yang terjadi pada ibu dan anak
berhubungan dengan penggunaan bahan bakar untuk memasak dan kepadatan
hunian rumah, demikian pula terdapat pengaruh pencemaran di dalam rumah
terhadap ISPA pada anak dan orang dewasa. Pembakaran pada kegiatan rumah
tangga dapat menghasilkan bahan pencemar antara lain asap, debu, grid (pasir
halus) dan gas (CO dan NO). Demikian pula pembakaran obat nyamuk,
membakar kayu di dapur mempunyai efek terhadap kesehatan manusia terutama
Balita baik yang bersifat akut maupun kronis. Gangguan akut misalnya iritasi
saluran pernafasan dan iritasi mata.
Faktor lingkungan rumah seperti ventilasi juga berperan dalam penularan
ISPA, dimana ventilasi dapat memelihara kondisi atmosphere yang
menyenangkan dan menyehatkan bagi manusia. Suatu studi melaporkan bahwa
upaya penurunan angka kesakitan ISPA berat dan sedang dapat dilakukan di
antaranya dengan membuat ventilasi yang cukup untuk mengurangi polusi asap
dapur dan mengurangi polusi udara lainnya termasuk asap rokok. Anak yang
tinggal di rumah yang padat (<10m2/orang) akan mendapatkan risiko ISPA
sebesar 1,75 kali dibandingkan dengan anak yang tinggal di rumah yang tidak
padat (Achmadi, 1993).
Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
27
Universitas Indonesia
2.5.1 Pengetahuan Ibu
Menurut Notoatmodjo (2010) pengetahuan adalah merupakan suatu hasil
dari tahu, sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui indera
penglihatan dan indera pendengaran. Apabila suatu tindakan didasari oleh
pengetahuan maka perilaku tersebut akan bersifat langgeng, sebaliknya apabila
tidak didasari oleh pengetahuan dan kesadaran maka tidak akan berlangsung lama.
Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan
seseorang. Pengetahuan mempunyai 6 tingkatan, yaitu:
1. Tahu (know)
Tahu merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah, yang diartikan
sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya dengan cara
menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, menyatakan dan sebagainya.
2. Memahami (comprehension)
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara
benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan dengan benar
pula.
3. Aplikasi (aplication)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang
telah dipelajari pada situasi dan kondisi yang sebenarnya.
4. Analisis (analysis)
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu
objek ke dalam komponen-komponen tetapi masih dalam struktur organisasi dan
masih ada kaitannya satu sama lain.
5. Sintesis (synthesis)
Sistesis menunjukkan suatu kemampuan untuk meletakkan atau
menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru
(menyusun formulasi baru dari formulasi yang sudah ada).
6. Evaluasi (evaluation)
Evaluasi berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau
penilaian terhadap suatu materi atau objek berdasarkan kriteria sendiri atau
menggunakan kriteria yang sudah ada.
Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
28
Universitas Indonesia
Menurut pendeketan konstruktivitas, pengetahuan bukanlah fakta dari suatu
kenyataan yang sedang dipelajari, melainkan sebagai konstruksi kognitif
seseorang terhadap obyek, pengalaman, maupun lingkungannya. Pengetahuan
bukanlah sesuatu yang sudah ada dan tersedia dan terus menerus oleh seseorang
yang setiap saat mengalami reorganisasi karena adanya pemahaman-pemahaman
baru.
Beberapa faktor yang mempengaruhi pengetahuan seseorang, yaitu :
1. Pendidikan
Pendidikan adalah suatu usaha untuk mengembangkan kepribadian dan
kemampuan di dalam dan di luar sekolah dan berlangsung seumur hidup.
Pendidikan mempengaruhi proses belajar, makin tinggi pendidikan seseorang
makin mudah orang tersebut menerima informasi. Dengan pendidikan tinggi maka
seseorang akan cenderung untuk mendapatkan informasi, baik dari orang lain
maupun dari media massa. Semakin banyak informasi yang masuk semakin
banyak pula pengetahuan yang didapat tentang kesehatan.
Pengetahuan sangat erat kaitannya dengan pendidikan dimana diharapkan
seseorang dengan pendidikan tinggi, maka orang tersebut akan semakin luas pula
pengetahuannya. Namun perlu ditekankan bahwa seseorang yang berpendidikan
rendah tidak berarti mutlak berpengetahuan rendah pula. Peningkatan
pengetahuan tidak mutlak diperoleh di pendidikan formal, akan tetapi juga dapat
diperoleh pada pendidikan non formal. Pengetahuan seseorang tentang sesuatu
objek juga mengandung dua aspek yaitu aspek positif dan negatif. Kedua aspek
inilah yang akhirnya akan menentukan sikap seseorang terhadap objek tertentu.
Semakin banyak aspek positif dari objek yang diketahui, akan menumbuhkan
sikap makin positif terhadap objek tersebut.
2. Mass media/ informasi
Informasi yang diperolah baik dari pendidikan formal maupun non formal
dapat memberikan pengaruh jangka pendek (immediate impact) sehingga
menghasilkan perubahan atau peningkatan pengetahuan. Majunya teknologi akan
tersedia bermacam-macam media massa yang dapat mempengaruhi pengetahuan
masyarakat tentang inovasi baru. Sebagai sarana komunikasi, berbagai bentuk
media massa seperti, televisi, radio, surat kabar, majalah, dan lain-lain mempunyai
Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
29
Universitas Indonesia
pengaruh besar terhadap pembentukkan opini dan kepercayaan orang. Dalam
penyampaian informasi sebagai tugas pokoknya, media massa membawa pula
pesan-pesan yang berisi sugesti yang dapat mengarahkan opini seseorang. Adanya
informasi baru mengenai sesuatu hal memberikan landasan kognitif baru bagi
terbentuknya pengetahuan terhadap hal tersebut.
3. Sosial budaya dan ekonomi
Kebiasaan dan tradisi yang dilakukan orang-orang tanpa melalui penalaran
apakah yang dilakukan baik atau buruk. Dengan demikian seseorang akan
bertambah pengetahuannya walaupun tidak melakukan. Status ekonomi seseorang
juga akan menentukan tersedianya suatu fasilitas yang diperlukan untuk kegiatan
tertentu, sehingga status sosial ekonomi ini akan mempengaruhi pengetahuan
seseorang.
4. Lingkungan
Lingkungan merupakan segala sesuatu yang berada di sekitar individu, baik
lingkungan fisik, biologis, maupun sosial. Lingkungan berpengaruh terhadap
proses masuknya pengetahuan ke dalam individu yang berada dalam lingkungan
tersebut. Hal ini terjadi karena adanya interaksi timbal balik maupun tidak yang
akan direspon sebagai pengetahuan oleh setiap individu.
5. Pengalaman
Pengalaman sebagai sumber pengetahuan adalah suatu cara untuk
memperoleh kebenaran pengetahuan dengan cara mengulang kembali
pengetahuan yang diperoleh dalam memecahkan masalah yang dihadapi masa
lalu. Pengalaman belajar dalam bekerja yang dikembangkan memberikan
pengetahuan dan keterampilan professional serta pengalaman belajar selama
bekerja akan dapat mengembangkan kemampuan mengambil keputusan yang
merupakan manifestasi dari keterpaduan menalar secara ilmiah dan etik yang
bertolak dari masalah nyata dalam bidang kerjanya.
6. Usia
Usia mempengaruhi daya tangkap dan pola pikir seseorang. Semakin
bertambah usia akan semakin berkembang pula daya tangkap dan pola pikirnya,
sehingga pengetahuan yang diperolehnya semakin membaik. Pada usia madya,
individu akan berperan aktif dalam masyarakat dan kehidupan sosial serta lebih
Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
30
Universitas Indonesia
banyak melakukan persiapan demi suksesnya upaya menyesuaikan diri menuju
usia tua, selain itu orang usia madya akan lebih banyak menggunakan waktu
untuk membaca. Kemampuan intelektual, pemecahan masalah, dan kemampuan
verbal dilaporkan hampir tidak ada penurunan pada usia ini. Dua sikap tradisional
mengenai jalannya perkembangan selama hidup :
1. Semakin tua semakin bijaksana, semakin banyak informasi yang dijumpai dan
semakin banyak hal yang dikerjakan sehingga menambah pengetahuannya.
2. Tidak dapat mengajarkan kepandaian baru kepada orang yang sudah tua
karena mengalami kemunduran baik fisik maupun mental. Beberapa teori
berpendapat bahwa IQ sesorang akan menurun cepat sejalan dengan
bertambahnya usia.
Suatu studi intervensi berdasarkan pendekatan budaya lokal menunjukkan
adanya peningkatan skor rerata pengetahuan tentang pneumonia pada ibu balita
yang mendapatkan pendidikan kesehatan dari kader terlatih lebih tinggi bermakna
4 kali jika di bandingkan dengan peningkatan skor rerata pengetahuan tentang
pneumonia pada ibu balita yang tidak mendapat pendidikan kesehatan (Kresno
dalam Ariyanto, 2006).
Hasil penelitian Ariyanto (2006), menunjukkan bahwa ibu balita yang
pengetahuannya kurang tentang ISPA mempunyai risiko terhadap balitanya untuk
menderita ISPA 3,67 kali lebih besar dibandingkan dengan pengetahuan ibu yang
baik tentang ISPA.
2.5.2 Berat Bayi Lahir
Berat badan lahir ditetapkan dengan berat lahir kurang dari 2500 gram. Bayi
dengan Berat Lahir Rendah (BBLR) akan meningkatkan resiko kesakitan dan
kematian karena bayi rentan terhadap kondisi-kondisi infeksi saluran pernapasan
bagian bawah.
Ibu yang sedang hamil harus mendapatkan asupan makanan yang cukup
dengan gizi seimbang, kekurangan asupan gizi pada saat hamil dapat
menyebabkan bayi yang dilahirkan berat badannya rendah. Penyakit anemia
defisiensi zat besi pada ibu yang tengah hamil juga dapat menyebabkan bayi lahir
dengan berat badan rendah atau bayi lahir prematur. Jika ibu hamil menderita
Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
31
Universitas Indonesia
anemia berat, risiko morbiditas maupun mortalitas bagi ibu dan bayinya meninggi,
kemungkinan melahirkan bayi BBLR dan premature lebih besar (Pudjiadi, 2000).
Berat badan lahir menentukan pertumbuhan dan perkembangan fisik dan
mental pada masa balita. Bayi dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) dapat
menimbulkan berbagai masalah kesehatan seperti gangguan gizi dan
kecenderungan untuk mudah menderita penyakit menular seperti ISPA, diare, dsb.
Dari hasil penelitian, didapatkan adanya hubungan bermakna antara berat lahir
rendah dengan kejadian ISPA pada balita (Ariyanto, 2006).
2.5.3 Status ASI
ASI merupakan makanan paling baik untuk bayi. Komponen ASI sudah
cukup menjaga pertumbuhan dari lahirnya bayi sampai umur 6 bulan. Bayi harus
diberikan ASI secara penuh sampai mereka berumur 4-6 bulan (Depkes, 2002).
Lebih dari 6 bulan pemberian ASI maka kebutuhan bayi harus diteruskan atau
ditambahkan dengan pemberian makanan pendamping selain ASI (proses
menyapih).
Air Susu Ibu (ASI) Ekslusif berarti hanya memberikan ASI saja, tanpa
tambahan makanan atau minuman apapun (seperti susu formula, jeruk, madu, air
teh, air putih), dan tanpa makanan tambahan (seperti pisang, pepaya, bubur susu,
biskuit, bubur nasi dan tim). Anak sampai usia enam bulan pertama hanya
membutuhkan ASI saja. ASI menyediakan segala-galanya yang dibutuhkan anak
usia ini (BKKBN, 2001).Sedangkan menurut Rusli (2004) ASI Ekslusif adalah
pemberian ASI saja kepada bayi sampai umur 6 bulan tanpa memberikan
makanan/cairan lain.
ASI mempunyai khasiat preventif secara imunologik dengan adanya
antibody dan zat-zat lain yang dikandungnya. ASI turut memberikan perlindungan
terhadap berbagai penyakit khususnya penyakit infeksi (Depkes, 2002).
ASI kaya akan faktor antibodi untuk melawan infeksi-infeksi bakteri dan
virus. Terutama selama minggu pertama (4 sampai 6 hari) payudara akan
menghasilkan kolostrum, yaitu ASI awal yang mengandung zat kekebalan
Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
32
Universitas Indonesia
(imunoglobin, komplemen, lisozim, laktoferin, dan sel-sel leukosit) yang sangat
penting untuk melindungi bayi dari infeksi. Bayi yang mendapat ASI Ekslusif
lebih tahan terhadap ISPA (lebih jarang terserang ISPA), karena dalam air susu
ibu terdapat zat anti terhadap kuman penyebab ISPA (Anonim, 2004).
Sementara itu, sel limfosit B di lamina propria payudara memproduksi IgA1
yang disekresi, berupa sIgA1. SIgA ASI mengandung antibodi terhadap virus
polio, rotavirus, influenza, Haemophilus influenzae, virus respiratory sinsisial
(RSV), streptococcus pneumoniae, shigela, salmonella dan E.coli. Oleh kaena itu,
ASI mampu mengurangi morbiditas Infeksi saluran pencernaan dan pernapasan
bagian atas. SIgA ASI meningkat pada mukosa traktus respiratorius di empat hari
pertama kehidupan, sehingga dapat mengurangi penyakit otitis media dan
pneumonia. Fakta tersebut lebih nyata pada enam bulan pertama, namun bisa
tampak hingga tahun kedua.
Svanborg dan timnya telah melakukan penyelidikan yang luas dalam
kemampuan ASI untuk melindungi lapisan usus dari bakteri pneumokokus invasif
seperti yang menyebabkan peningkatan tingkat infeksi saluran pernapasan atas
dan otitis media pada anak-anak tidak disusui . Studi meyakinkan juga
menunjukkan perlindungan yang signifikan terhadap diare, infeksi saluran
pernapasan, otitis media (infeksi telinga), atau infeksi saluran kemih, tim
Silfverdal juga menyarankan bahwa peningkatan sistem kekebalan tubuh bisa
bertahan selama tahunan, di luar periode menyusui itu sendiri (The Pediatric
Infectious Disease Journal, 2002).
Penelitian Gani (2004), menunjukkan bahwa anak balita yang menderita
ISPA 5,3 kali tidak mendapatkan ASI eksklusif dibandingkan dengan anak balita
yang tidak menderita ISPA.
2.5.4 Status Imunisasi
Imunisasi adalah salah satu bentuk intervensi kesehatan yang dapat di terima
semua kalangan dan sangat efektif dalam upaya menurunkan kematian bayi dan
balita. Tujuan pemberian imunisasi adalah memberika kekebalan pada anak balita
terhadap penyakit tertentu. Imunisasi dasar bagi balita meliputi imunisasi BCG,
DPT, Polio, dan campak sebelum balita berumur 1 tahun. Balita yang tidak
Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
33
Universitas Indonesia
mendapatkan imunisasi dasar lengkap, maka akan mudah terserang penyakit.
Imunisasi dasar yang tidak lengkap, maksimum hanya dapat memberikan
perlindungan 25%-40%, sedangkan anak yang sama sekali tidak diimunisasi,
tentu tingkat kekebalannya lebih rendah lagi (Ibrahim dalam Arianto, 2006).
Infeksi Saluran Pernapasan Akut adalah salah satu jenis penyakit yang dapat
dicegah dengan imunisasi, penyakit yang tergolong ISPA yang dapat dicegah
dengan imunisasi adalah difteri, batuk rejan dan campak.
Disisi lain penyakit ISPA pada saat ini tidak dapat dicegah secara langsung
melalui imunisasi, karena belum tersedianya vaksin yang khusus untuk mencegah
penyakit ISPA (Arthag, 1992).
Penelitian di Indramayu (Sutrisna, 1993) mengidentifikasi adanya hubungan
antara status imunisasi campak dan timbulnya kematian akibat ISPA, anak-anak
yang belum pernah menderita campak dan belum mendapatkan imunisasi campak
mempunyai resiko meninggal lebih besar.
2.5.5 Ventilasi
Ventilasi mempunyai fungsi sebagai sarana sirkulasi udara segar masuk ke
dalam rumah dan udara kotor keluar rumah. Rumah yang tidak dilengkapi sarana
ventilasi akan menyebabkan suplai udara segar dalam rumah menjadi sangat
minimal. Kecukupan udara segar dalam rumah ini sangat dibutuhkan untuk
kehidupan bagi penghuninya, karena ketidakcukupan suplai udara akan
berpengaruh pada fungsi fisiologis alat pernafasan bagi penghuninya, terutama
bagi bayi dan balita. Rumah yang tidak memiliki ventilasi yang memadai akan
menyebabkan gangguan kesehatan, karena :
- Kadar O2 menurun
- Kadar CO2 naik
- Kelembaban naik
- Ruangan jadi berbau
- Mikroorganisme berkembang biak
Luas lubang ventilasi yang permanen minimal 5% dari luas lantai, apabila
ditambah dengan lubang ventilasi incidental seperti jendela dan pintu sebesar 5%
Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
34
Universitas Indonesia
maka luas ventilasi minimal adalah 10% dari luas lantai. Kelembaban
ruang/kamar tidur akan terasa nyaman, apabila ventilasinya memenuhi syarat,
sehingga dapat menghasilkan udara yang nyaman dengan suhu 20-250C, dengan
kelembaban udara berkisar 60% (Gunawan dalam Irianto, 2006).
Udara yang masuk ke dalam ruangan sebaiknya udara bersih yang tidak
mengandung debu atau berbau, agar terjadi sirkulasi udara segar sehingga
penghuni tidak menghirup udara berdebu dan berbau. Sedangkan ventilasi yang
kurang dari 10% dari luas lantai akan menyebabkan terjadinya kepengapan,
menyebabkan bronchitis, asma kambuh, serta terjadinya penularan penyakit ISPA.
Beberapa hasil penelitian menyatakan diantaranya oleh Wattimena (2004)
menyatakan bahwa ada hubungan bermakna antara ventilasi kamar dengan
kejadian ISPA pada balita. Irianto (2006), bahwa balita yang tinggal di rumah
dengan ventilasi ruang keluarga yang tidak memenuhi syarat memiliki resiko
2,298 kali untuk menderita penyakit ISPA dibandingkan dengan balita yang
tinggal pada rumah dengan ventilasi ruang keluarga memenuhi syarat.
2.5.6 Kepadatan Hunian
Kepadatan hunian yang dimaksud adalah kepadatan hunian dalam rumah
yaitu jumlah penghuni yang tinggal bersama dengan balita. Menurut keputusan
menteri kesehatan nomor 829/MENKES/SK/VII/1999 tentang persyaratan rumah,
satu orang minimal menempati luas rumah 8m2. Dengan kriteria tersebut
diharapkan dapat mencegah penularan penyakit dan melancarkan aktivitas
(Depkes, 2001).
Untuk kamar tidur diperlukan luas lantai minimum 3m2/ orang dan untuk
mencegah penularan penyakit pernapasan jarak antara tepi tempat tidur yang satu
dengan yang lain minimum 90 cm. Sebaiknya jangan digunakan tempat tidur
bertingkat, karena tempat tidur semacam ini juga mempermudah penularan
penyakit pernapasan (droplet infection).
Kamar tidur sebaiknya tidak dihuni lebih dari 2 orang, kecuali untuk suami
istri dan anak di bawah 2 tahun yang biasanya masih sangat memerlukan
kehadiran orang tua.
Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
35
Universitas Indonesia
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan yang sangat
bermakna antara kepadatan hunian dengan terjadinya penyakit ISPA seperti
penelitian Wattimena (2004) dan Irianto (2006) menunjukkan bahwa kepadatan
hunian berpengaruh pada besarnya kejadian ISPA, yaitu besarnya anak terkena
ISPA adalah 2,45 kali lipat dan 2,27 kalinya dari rumah yang padat penghuninya
dibandingkan dengan rumah yang tidak padat penghuninya.
Hasil penelitian Tupasi (1995), juga mengemukakan bahwa kepadatan
hunian yang banyak berperan pada kejadian ISPA ialah kepadatan hunian kamar
tidur (sleeping density) yang umumnya sangat rawan di Negara yang sedang
berkembang. Jika kepadatan hunian di kamar tidur melebihi 3 orang dalam satu
kamar maka besarnya risiko anak terkena ISPA 1,2 kalinya.
2.5.7 Adanya Perokok Dalam Rumah
Merokok diketahui mengganggu efektivitas sebagian mekanisme pertahan
respirasi. Produk asap rokok diketahui merangsang produksi mukus dan
menurunkan pergerakan silia. Sehingga terjadi stimulasi stimulasi mukus yang
kental dan terperangkapnya partikel atau mikroorganisme di jalan napas, yang
dapat menurunkan pergerakan udara dan meningkatkan risiko pertumbuhan
mikroorganisme.
Bayi dan balita yang terpajan asap rokok sebelum dan sesudah kelahiran
memperlihatkan peningkatan angka ISPA, dibandingkan dengan bayi dan balita
dari orang tua yang bukan perokok. Haluaran urin yang mengandung metabolit
nikotin meningkat drastis pada anak-anak dari orang tua perokok dibandingkan
dengan anak-anak dari orang tua yang bukan perokok. Beberapa metabolit nikotin
bersifat karsinogen dan mengiritasi paru.
Kesehatan yang kian mengkhawatirkan di Indonesia adalah semakin
banyaknya jumlah perokok yang berarti semakin banyak penderita gangguan
kesehatan akibat merokok ataupun menghirup asap rokok (bagi perokok pasif)
yang umumnya adalah perempuan dan anak-anak. Perokok pasif akan mengalami
risiko lebih besar daripada perokok sesungguhnya (Dachroni, 2003).
Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
36
Universitas Indonesia
Asap rokok yang diisap oleh perokok adalah asap mainstream sedangkan
asap dari ujung rokok yang terbakar dinamakan asap sidestream. Polusi udara
yang diakibatkan oleh asap sidestream dan asap mainstream yang sudah
terekstrasi dinamakan asap tangan kedua atau asap tembakau lingkungan. Mereka
yang menghisap asap inilah yang dinamakan perokok pasif atau perokok terpaksa
(Adningsih, 2003).
Setyo Budiantoro dari Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia
(IAKMI) mengatakan, sebanyak 25 persen zat berbahaya yang terkandung dalam
rokok masuk ke tubuh perokok, sedangkan 75 persennya beredar di udara bebas
yang berisiko masuk ke tubuh orang di sekelilingnya (Noorastuti, 2010).
Terdapat seorang perokok atau lebih dalam rumah akan memperbesar risiko
anggota keluarga menderita sakit, seperti gangguan pernapasan, memperburuk
asma dan memperberat penyakit angina pectoris serta dapat meningkatkan resiko
untuk mendapat serangan ISPA khususnya pada balita. Anak-anak yang orang
tuanya perokok lebih mudah terkena penyakit saluran pernapasan seperti flu, asma
pneumonia dan penyakit saluran pernapasan lainnya (Dachroni, 2002).
Hasil studi di Italy, menyimpulkan bahwa 21% infeksi saluran pernafasan
akut pada usia 2 bulan pertama kehidupan dipengaruhi oleh adanya orang tua
perokok dalam rumah (Forastiere et al., 2002)
Menurut Kusnoputranto dalam Ariyanto (2006), bahwa asap rokok dari
orang tua maupaun dari orang lain yang tinggal dalam rumah, tidak saja
merupakan bahan pencemaran dalam ruang yang serius tapi juga akan menambah
risiko kesakitan dari bahan toksik yang lain, bahwa anak-anak terpapar asap rokok
dapat menimbulkan gangguan pernapasan terutama memperberat timbulnya
Infeksi Saluran Pernapasan Akut dan gangguan paru-paru pada waktu dewasa
nanti.
Asap rokok dan asap dapur dapat merusak mekanisme pertahanan paru
sehingga mudah menderita ISPA (Sutrisna, 1993).
Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
37
Universitas Indonesia
Hasil penelitian Ariyanto (2006) menyatakan balita yang tinggal di rumh
dengan adanya perokok mempunyai kemungkinan mendapatkan gangguan
pernapasan sebanyak 1,986 kali di banding dengan balita yang tinggal serumah
dengan tidak adanya perokok dalam rumah.
2.5.8 Bahan Bakar Memasak
Bahan bakar yang biasa dipakai masyarakat untuk kegiatan memasak sehari-
hari adalah minyak tanah, kayu, gas dan listrik. Pada daerah pedesaan masih
sering dijumpai rumah tangga yang menggunakan kayu bakar karena lebih aman
dan mudah didapat. Namun demikian sumber energi kayu bakar dan minyak tanah
sangat mencemari udara dan mengganggu kesehatan manusia, karena hasil
pembakarannya mengandung particulate (PM10, PM2,5), sulfur oksida, nitrogen
oksida, karbonmonoksida, fluoride, aldehida dan senyawa hydrocarbon
(Kusnoputranto, dalam Irianto (2006).
Apabila sarana ventilasi pada rumah tidak baik dan dapurnya tidak
dilengkapi dengan cerobong asap, maka asap dari dapur akan memenuhi ruangan
dan menyebabkan sirkulasi udara dalam ruang kurang baik, sehingga kandungan
partikulat dan kandungan bahan kimia dari asap tersebut tidak dapat keluar, hal ini
maka akan mempermudah balita terserang penyakit pernapasan. Rumah dengan
bahan bakar minyak tanah memberikan kesempatan 3,8 kali lebih besar untuk
mendapatkan ISPA pada balita dibandingakan dengan bahan bakar gas (Soesanto,
dkk, 2000).
Hasil penelitian Kendall dan Leeder (1985) dalam Soesanto, dkk (2000),
menyatakan bahwa pencemaran udara akibat penggunaan bahan bakar di dapur
mungkin berperan walaupun tidak begitu nyata apabila keadaan sosial ekonomi
penghuninya baik. Begitupula dengan hasil penelitian Handayani (1997), bahwa
terdapat hubungan yang paling kuat antara jenis bahan bakar yang digunakan
dalam rumah dengan kejadian ISPA pada balita. Rumah dengan bahan bakar
minyak tanah memberikan kesempatan 3,8 kali lebih besar untuk mendapatkan
ISPA pada anak balita dibandingkan dengan bahan bakar gas.
Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
38 Universitas Indonesia
BAB III
KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI
OPERASIONAL
3.1 Kerangka Teori
Hendrick L.Blum mengemukakan konsep tentang faktor-faktor apa yang
mempengaruhi derajat kesehatan. Terdapat empat faktor yang mempengaruhi
derajat kesehatan masyarakat yaitu genetika (keturunan), pelayanan kesehatan,
perilaku masyarakat, lingkungan. Keempat faktor tersebut saling berinteraksi yang
mempengaruhi kesehatan perorangan dan derajat kesehatan masyarakat.
Berdasarkan studi kepustakaan, maka dapat disusun kerangka teori terjadinya
ISPA pada balita sebagaimana terlihat pada gambar berikut:
Gambar 3.1Kerangka teori terjadinya ISPA pada balita
Sumber : modifikasi dari : Purawidjaja (2000), Mudehir (2002), Depkes RI (2004) dalam Irianto (2006).
Mikroorganisma
Virus, bakteri, ricketsiaISPA balita
Karakteristik ibu
Pendidikan Pekerjaan Pengetahuan Status ekonomi
Karakteritik balita
Umur Jenis Kelamin Berat badan lahir Status ASI Status imunisasi Pemberian Vit A Status gizi Pemberian MP-ASI
Lingkungan fisik rumah
Ventilasi Jenis lantai Jenis dinding Pencahayaan Suhu Kelembaban Kepadatan hunian
Sumber pencemar udara dalam ruang
Bahan bakar masak
Adanya perokok
Pemakaian Obat nyamuk bakar
Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
39
Universitas Indonesia
3.2 Kerangka Konsep
Berdasarkan pertimbangan studi kepustakaan yang seperti termasuk dalam
konsep teori pada gambar di atas, maka disusun kerangka konseptual yang
menjadi dasar pengukuran variabel, baik variabel dependen maupun variabel
independen.
Gambar 3.2
Kerangka konseptual ISPA pada balita
Variabel Independen Variabel Dependen
Pengetahuan ibu
Karakteristik balita :
BBL
Status ASI
Status imunisasi
Sumber pencemar udara ruang :
Ada perokok dalam rumah
Bahan bakar memasak
Lingkungan fisik rumah :
Ventilasi
Kepadatan hunian
ISPA pada balita
Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
40
Universitas Indonesia
3.3 Hipotesis
1. Ada hubungan antara pengetahuan ibu dengan kejadian ISPA pada balita di
wilayah kerja Puskesmas DTP Cibeber Kabupaten Lebak Propinsi Banten.
2. Ada hubungan antara karakteristik balita ( BBL, status ASI, status imunisasi )
dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas DTP Cibeber
Kabupaten Lebak Propinsi Banten.
3. Ada hubungan antara pencemaran udara dalam ruang (adanya perokok, bahan
bakar memasak ) dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja
Puskesmas DTP Cibeber Kabupaten Lebak Propinsi Banten.
4. Ada hubungan antara lingkungan fisik rumah (ventilasi, kepadatan penghuni)
dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas DTP Cibeber
Kabupaten Lebak Propinsi Banten.
Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
41
Universitas Indonesia
3.3 Definisi OperasionalTabel 3.3
Definisi Opersional Variabel Dependen Dan Variabel Independen
NO Variabel Definisi Operasional Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala
1 Kejadian ISPA pada balita
Suatu penyakit Infeksi yang menyerang saluran pernafasan mulai dari hidung sampai paru- paru dan bersifat akut dengan tanda-tanda batuk pilek, dalam kurun waktu 4 minggu terakhir, pada usia 2- 51 bulan.
Wawancara Kuesioner 0. Sakit 1. Tidak sakit
Ordinal
2. Pengetahuan ibu Pengetahuan ibu tentang penyakit ISPA ( gejala, penyebab, bahaya). Dengan nilai skor 1-2 dari setiap pertanyaan, jumlah skor terbesar 20, dan nilai mean = 32,41.
Wawancara Kuesioner 0. Kurang (< mean)1. Baik ( ≥ mean)
Ordinal
4. Berat Bayi Lahir Riwayat berat badan balita saat dilahirkan. Wawancara Kuesioner KMS
0. BBLR (< 2500 gr)1. Normal (≥ 2500 gr)
Ordinal
5. Status ASI Riwayat balita mendapatkan ASI eksklusif (0-6 bulan).
Wawancara Kuesioner 0. Tidak eksklusif1. ASI eksklusif
Ordinal
6. Status Imunisasi Keadaan kelengkapan imunisasi balitasesuai umur saat dilakukan wawancara.
Wawancara KuesionerKMS
0. Tidak lengkap1. Lengkap
Ordinal
Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
42
Universitas Indonesia
No Variabel Definisi Operasional Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala
7. Ventilasi kamar Sarana sirkulasi udara alamiah dari/ke dalam kamar balita berupa jendela yang dapat dibuka tutup Tidak memenuhi syarat bila luasnya < 10% dari luas lantai dan memenuhi syarat bila luasnya >= 10% dari luas lantai.
WawancaraPengamatan
Kuesionermeteran
0. Tidak memenuhi syarat1.Memenuhi syarat
Ordinal
8. Kepadatan penghuni
Jumlah orang yang tinggal dengan balita dalam satu rumah maupun saat tidur. Tidak memenuhi syarat bila 1 orang mendapat ruang , 8 m2 dan memenuhi syarat bila 1 orang mendapat ruang >= 8 m2.
WawancaraPengamatan
Kuesioner 0. Tidak memenuhi syarat1.Memenuhi syarat
Ordinal
9. Keberadaan perokok di rumah
Adanya salah satu penghuni rumah yang mempunyai kebiasaan merokok di dalam rumah
Wawancara Kuesioner 0. Ada1. Tidak ada
Ordinal
10. Bahan bakar memasak
Jenis bahan bakar yang biasa di pakai saat memasak dalam rumah.
Wawancara Kuesioner 0. Kayu bakar, minyak tanah
1. Gas, listrik
Ordinal
Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
38 Universitas Indonesia
Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
43 Universitas Indonesia
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1 Desain Penelitian
Penelitian yang dilakukan merupakan penelitian kuantitatif dengan
menggunakan rancangan penelitian potong lintang (cross sectional). Penelitian
dengan desain cross sectional merupakan sebuah penelitian yang dilakukan
dengan cara mengamati status paparan dan penyakit secara serentak dan pada saat
atau periode yang sama. Dimana dalam penelitian ini data dikumpulkan secara
bersamaan antara paparan/ faktor pengetahuan ibu, karakteristik balita ( BBL,
status ASI, status Imunisasi), lingkungan fisik rumah (ventilasi , kepadatan
hunian), dan sumber pencemar udara dalam ruang ( adanya perokok, bahan bakar
masak), serta penyakit yaitu ada tidaknya kasus kejadian penyakit ISPA pada
balita.
4.2 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan di wilayah kerja Puskesmas DTP Cibeber
Kabupaten Lebak Provinsi Banten yang terdiri dari 6 desa yang telah terpilih yaitu
Cibeber, Cikotok, Neglasari, Warungbanten, Cihambali, Citorek Kidul.
Sedangkan waktu penelitiannya dilaksanakan pada bulan Mei 2011.
4.3 Populasi dan Sampel
4.3.1 Populasi
Populasi dari penelitian ini adalah seluruh ibu yang memiliki balita yang
berada di wilayah kerja Puskesmas DTP Cibeber.
4.3.2 Sampel
Sampel dari penelitian ini merupakan bagian dari populasi yang memenuhi
kriteria inklusi. Adapun kriteria inklusi yang dimaksud dalam penelitian ini
adalah:
1. Bayi/ balita laki-laki dan perempuan yang berusia 0 sampai 59 bulan.
2. Ibu bayi bersedia menjadi sampel dalam penelitian ini.
Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
44
Universitas Indonesia
Adapun kriteria eksklusi yaitu kriteria yang menghilangkan kemungkinan
populasi untuk menjadi sampel penelitian meliputi:
1. Bayi/ balita laki-laki dan perempuan yang berusia 0 sampai 59 bulan namun
tidak berdomosili di wilayah kerja Puskesmas DTP Cibeber.
2. Ibu bayi tidak bersedia menjadi sampel dalam penelitian ini.
4.3.3 Besar Sampel
Sampel yang diambil dalam penelitian ini dari populasi menggunakan
rumus penghitungan besar sampel sebagai berikut (Lemeshow, Hosmer, dan Klar,
1997):
n = Z21-α/2.p(1-p)
d2
diketahui:
Z21-α/2 : 1,96 (CI= 95%, α = 0,05)
P : Proporsi kejadian ISPA pada balita di Kecamatan Cibeber
Kabupaten Lebak = 0.5
q : 1-0.5 = 0.5
d : presisi 10% = 0.1
sesuai rumus diatas, maka jumlah sampel yang dibutuhkan dalam penelitian ini
adalah:
n = (1,96)2 x 0,5 x 0,5 = 96
(0,1)2
Untuk memperhitungkan adanya kesalahan dan sebagainya, maka pengambilan
sampel diperbesar sebanyak 10%, sehingga diperoleh sampel yang dibutuhkan
adalah sebanyak 96 + 10 = 106 sampel.
4.4 Cara Pengambilan Sampel
Pengambilan sampel dilakukan secara acak bertahap (Multistage Random
Sampling). Setiap unsur di dalam populasi memiliki kesempatan (peluang) yang
sama untuk dipilih, dengan mengambil serangkaian sampel acak sederhana secara
bertahap. Dalam sebuah sampel acak multistage, area besar, dibagi dulu menjadi
daerah yang lebih kecil, dan sampel acak dari daerah ini dikumpulkan. Cara ini
Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
45
Universitas Indonesia
digunakan karena, populasinya cukup homogen, jumlah populasi besar, populasi
menempati wilayah yang luas, dan biaya penelitian kecil.
Dari 12 desa yang ada di wilayah kerja Puskesmas Cibeber terpilih 6 desa
yang dianggap mewakili dengan cara pengundian. Kemudian dari keenam desa
tersebut diundi lagi berdasarkan posyandu yang berada di desa terpilih yang
memiliki sejumlah balita yang diacak kembali sehingga didapatkan jumlah sampel
yang diharapkan (empat desa terpilih (Cikotok, Cibeber, Warungbanten,
Neglasari) mempunyai jatah sampel 18 responden dan dua desa lainnya
(Cihambali, Citorek Kidul) 17 responden).
4.5 Pengumpulan Data
4.5.1 Cara dan Alat Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini dilakukan pengumpulan data baik data primer maupun
data sekunder. Data sekunder didapatkan dari dinas kesehatan kabupaten, berupa
laporan tahunan, dan profil kesehatan dari Puskesmas. Sedangkan data primer
dikumpulkan dengan cara wawancara terhadap responden yaitu ibu balita dengan
menggunakan daftar pertanyaan (kuesioner).
4.5.2 Petugas Pengumpul Data
Pada penelitian ini, peneliti dibantu oleh 4 orang petugas kesehatan
Puskesmas DTP Cibeber dan kader, dimana dari keempat enumerator tersebut
telah mendapatkan penjelasan terlebih dahulu tentang metode dan teknik
pengumpulan data yang sesuai dengan tujuan penelitian agar mereka memiliki
persepsi yang sama.
4.6 Pengolahan dan Teknik Analisa Data
4.6.1 Pengolahan Data
Pengolahan data adalah suatu proses untuk memperoleh data dan atau
ringkasan berdasarkan suatu kelompok data mentah untuk menghasilkan
informasi yang diperlukan (Setiadi, 2007). Ada beberapa kegiatan yang dilakukan
oleh peneliti dalam penolahan data diantaranya:
Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
46
Universitas Indonesia
1. Pemeriksaan data (Editing)
Editing data adalah memeriksa daftar pertanyaan yang telah diisi sesuai
dengan jawaban responden. Pemeriksaan daftar pertanyaan yang telah selesai diisi
ini diantaranya:
a. Kelengkapan jawaban, apakah tiap pertanyaan sudah ada jawabannya,
meskipun jawaban hanya berupa tidak tahu atau tidak mau menjawab.
b. Keterbacaan tulisan, tulisan yang tidak terbaca akan mempersulit pengolahan
data sehingga dapat mengakibatkan bias terhadap jawaban responden.
c. Relevansi jawaban, bila ada jawaban yang kurang atau tidak relevan maka
editor harus menolaknya.
2. Pengkodean (Coding)
Coding adalah mengklasifikasikan jawaban-jawaban dari responden ke
dalam kategori yang telah ditetapkan. Biasanya klasifikasi dilakukan dengan cara
memberikan tanda/kode berbentuk angka pada masing-masing jawaban.
Tanda/kode ini dapat disesuaikan dengan pengertian yang lebih menguntungkan
peneliti, jadi tanda-tanda tersebut dapat dibuat sendiri oleh peneliti. Tujuan dari
coding ini adalah untuk mempermudah pada saat entry data dan analisa data.
3. Scoring
Skoring dilakukan terhadap jawaban responden tentang pengetahuan.
Jawaban yang benar atas pertanyaan tentang pengetahuan mendapatkan skor 1
setiap pernyataan benar, dan untuk jawaban yang menggunakan alasan
mendapatkan skor 2 jika jawaban dan alasannya tepat.
4. Memasukkan data ke program komputer (Entry data)
Jawaban-jawaban yang sudah diberikan kode kategori kemudian
dimasukkan ke dalam tabel untuk menghitung frekuensi data. Entry data dapat
dilakukan dengan bantuan komputer, serta menggunakan program statistik
tertentu.
5. Membersihkan data (Cleaning data)
Cleaning data/pembersihan data merupakan kegiatan memeriksa kembali
apakan ada data yang sudah dimasukkan tersebut ada yang tidak sesuai dengan
Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
47
Universitas Indonesia
ketentuan. Kesalahan dapat terjadi pada saat entry data maupun pada saat coding.
Cleaning data dapat dilakukan dengan cara melihat distribusi frekuensi dari
variabel-variabel dan menilai kelogisannya.
4.6.2 Teknik Analisis Data
Teknik analisis data merupakan langkah selanjutnya dari data mentah
untuk memperoleh makna yang bermanfaat bagi pemecahan masalah penelitian.
Dalam tahap ini data diolah dan dianalisis dengan teknik-teknik tertentu. Dalam
pengolahan ini mencakup tabulasi data dan perhitungan-perhitungan statistik, bila
diperlukan uji statistik. Analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Analisis univariat
Analisis yang dilakukan terhadap setiap variabel dari hasil penelitian. Pada
umumnya dalam analisis ini hanya menghasilkan distribusi dan persentase dari
tiap variabel. Analisis univariat dalam penelitian ini dilakukan untuk mengetahui
distribusi frekuensi dari pengetahuan ibu, karakteristik balita, sumber pencemar
dalam ruang dan lingkungan fisik rumah di wilayah kerja Puskesmas DTP
Cibeber Kabupaten Lebak.
2. Analisis Bivariat
Untuk mengetahui hubungan dari masing-masing variabel, maka dilakukan
analisis bivariat. Analisis bivariat yang dilakukan dalam penelitian ini adalah uji
Chi Square (X²). Uji Chi Square (X²) dilakukan untuk mengetahui besarnya
hubungan antara pengetahuan ibu, karakteristik balita, sumber pencemar dalam
ruang dan lingkungan fisik rumah terhadap kejadian ISPA pada balita. Untuk
mengetahui hasil kemaknaan perhitungan statistik, dalam penelitian ini digunakan
tingkat kepercayaan 95% sehingga α=5%.
Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
48 Universitas Indonesia
BAB V
HASIL PENELITIAN
5.1. Gambaran Umum Wilayah Kerja Puskesmas DTP Cibeber
5.1.1. Keadaan Geografis
Puskesmas DTP Cibeber berada di wilayah Kecamatan Cibeber. Secara
Geografis Kecamatan Cibeber terletak di Sebelah Tenggara ibu kota Kabupaten
Lebak yaitu Rangkasbitung dengan jarak tempuh sekitar 165 km. Adapun batas-
batas wilayah Kecamatan Cibeber sebagai berikut :
1. Sebelah Utara : berbatasan dengan Kecamatan Muncang
2. Sebelah Timur : berbatasan dengan Wilayah Puskesmas Cisungsang
3. Sebelah Barat : berbatasan dengan Kecamatan Panggarangan
4. Sebelah Selatan: berbatasan dengan Kecamatan Cilograng dan Kecamatan
Bayah
Kondisi alam Kecamatan Cibeber secara umum adalah berbukit-bukit dan
pemukiman penduduknya menyebar. Keadaan geografis yang demikian
menyebabkan sebagian wilayah yang merupakan wilayah binaan Puskesmas
Cibeber sulit dijangkau dalam keadaan darurat terutama pada saat musim
penghujan.
Luas wilayah kecamatan Cibeber adalah 36.967,24 Ha. Wilayah kerja
Puskesmas Cibeber meliputi 12 desa yaitu Cibeber, Cikotok, Ciherang,
Warungbanten, Neglasari, Hegarmanah, Cihambali, Sukamulya, Citorek Timur,
Citorek Barat, Citorek Tengah, Citorek Kidul.
5.1.2 Keadaan Demografi
Jumlah penduduk yang termasuk wilayah Puskesmas DTP Cibeber pada
tahun 2010 seluruhnya berjumlah 34.556 jiwa dengan jumlah penduduk
perempuan sebanyak 16.892 jiwa dan penduduk laki-laki sebanyak 17.664 jiwa.
Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
49
Universitas Indonesia
Gambar 5.1.2Jumlah penduduk di wilayah kerja Puskesmas DTP Cibeber
kabupaten Lebak tahun 2010
Sumber : Profil Kecamatan Cibeber, 2010
5.1.3 Data Penduduk berdasarkan Pendidikan Terakhir
Sebagian besar penduduk di wilayah kerja Puskesmas DTP Cibeber
berpendidikan tamat SD (6. 703 orang), ada 3.632 orang lulusan SMP, dan yang
menamatkan pendidikan di tingkat menengah atas sebanyak 2.298 orang
sedangkan yang lulusan dari diploma/ sarjana dan pascasarjana hanya ada 495
orang.
Gambar 5.1.3Data Penduduk berdasarkan Pendidikan Terakhir di wilayah kerja
Puskesmas DTP Cibeber tahun 2010
Sumber : Profil Kecamatan Cibeber, 2010
Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
50
Universitas Indonesia
5.1.4 Data Kepegawaian
Hingga saat ini jumlah pegawai yang ada di Puskesmas Cibeber sebanyak
47 orang dengan berbagai latar belakang pendidikan diantaranya dokter,
keperawatan, kesehatan masyarakat, kesehatan lingkungan, kesehatan gigi, bidan,
SMA, SMEA, dan SMP. Adapun distribusi pegawai dapat dilihat pada tabel
berikut :
Tabel 5.1.4
Distribusi Kepegawaian Puskesmas DTP Cibeber tahun 2010
No Jenis ketenagaan Jumlah (orang)
1. Kesehatan Masyarakat 1
2. Dokter/ Dokter Gigi 3
3. Perawat 25
4 Sanitasi 1
5. Bidan 13
6. Administrasi 2
7. Perawat Gigi 1
8 Penatalaksana RT 1
Jumlah 47
Sumber : profil Puskesmas DTP Cibeber, 2010
5.1.5 Data 10 Penyakit Terbanyak
Berdasarkan laporan 10 besar penyakit dari bulan Januari sampai dengan
bulan Desember 2010 , ISPA menempati peringkat teratas yaitu sebanyak 4.546
kasus kemudian Dermatitis sebanyak 3.751 kasus , dan terendah yaitu Faringitis
sebanyak 123 Secara lengkap dapat dilihat pada tabel dibawah ini :
Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
51
Universitas Indonesia
Tabel. 5.1.5Pola 10 Besar Penyakit di wilayah kerja Puskesmas DTP Cibeber
Tahun 2010
No Jenis Penyakit Jumlah1 ISPA 45462 Dermatitis 37513 Arthritis 29234 Gastritis 17775 Hypertensi 11676 Diare 9787 Konjungtivitis 7568 Diabetes Melitus 1819 OMSK 172
10 Faringitis/Tonsilitis 12311 Lain-lain 1236
Jumlah 17610 Sumber: profil puskesmas Cibeber 2011
5.2 Distribusi Responden Variabel Independen Dan Variabel Dependen
Kejadian ISPA Pada Balita Ditinjau dari Pengetahuan Ibu,
Karakteristik Balita, Sumber Pencemar Dalam Ruang Dan
Lingkungan Fisik Rumah .
5.2.1. Gambaran kejadian ISPA
Distribusi kasus ISPA pada balita dapat dilihat pada tabel 5.2. Hasil
penelitian bahwa balita yang terkena ISPA pada 2- 4 minggu terakhir sebanyak 85
(80,2%) dan 21 balita (19,8%) tidak ISPA. Hal ini berarti kasus ISPA pada balita
di wilayah kerja puskesmas Cibeber Kabupaten Lebak masih tinggi.
Tabel 5.2.1Disribusi Responden berdasarkan Kejadian ISPA Balita
di wilayah kerja Puskesmas DTP Cibeber
Variabel Frekuensi Persentase
Kejadian ISPA
Sakit
Tidak sakit
85
21
80,2
19,8
Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
52
Universitas Indonesia
5.2.2 Gambaran Pengetahuan Ibu
Dari hasil penelitian pada semua responden (106 ibu balita), pada tabel 5.3
menunjukkan bahwa ibu yang memiliki pengetahuan kurang tentang ISPA
sebanyak 74 (69,8%), sedangkan 32 (30,2%) ibu lainnya berpengetahuan baik
tentang penyakit ISPA. Artinya ibu-ibu balita di wilayah kerja Puskesmas Cibeber
masih kurang terpapar dengan informasi mengenai penyakit ISPA.
Tabel 5.2.2
Distribusi Responden berdasarkan Pengetahuan Ibu
di wilayah kerja Puskesmas DTP Cibeber
Variabel Frekuensi Persentase
Pengetahuan Ibu Kurang Baik
7432
69,830,2
5.2.3 Gambaran Karakteristik Balita
Hasil penelitian dari 106 responden ibu, terdapat 29 balita (27,4%) yang
lahir dengan berat badan lahir rendah, dan 77 balita (72,6%) lainnya lahir dengan
berat badan normal. Ada 31 balita (29,2%) yang tidak mendapatkan ASI Eksklusif
sedangkan 75 balita (70,8%) mendapat ASI eksklusif. Dan proporsi balita yang
tidak mendapat imunisasi lengkap sebanyak 25 (23,6%) sedangkan balita yang
telah imunisasi lengkap adalah 81 (76,4%).
Tabel 5.2.3Distribusi Responden berdasarkan Karakteristik Balita
di wilayah kerja Puskesmas DTP CibeberVariabel Frekuensi Persentase
1. BBL BBLR (< 2500 gr) Normal (>=2500 gr)
2977
27,472,6
2. Status ASI Tidak Eksklusif ASI eksklusif
3175
29,270,8
3. Status Imunisasi Tidak lengkap Lengkap
2581
23,676,4
Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
53
Universitas Indonesia
5.2.4 Gambaran Lingkungan Fisik Rumah
Dari 106 responden ibu yang diteliti, pada tabel 5.5 menunjukkan bahwa
45 (42,5%) diantaranya memiliki rumah dengan ventilasi yang tidak memenuhi
syarat kesehatan, sedangkan 61 (57,5%) ibu lainnya memiliki rumah dengan
ventilasi yang memenuhi syarat kesehatan.
Dari hasil penelitian dan pengamatan diketahui bahwa 45 balita (42,5%)
tinggal dengan kepadatan penghuni yang tidak memenuhi syarat kesehatan,
sedangkan 61 (57,5%) balita lainnya tinggal dengan kepadatan penghuni yang
telah memenuhi syarat kesehatan.
Tabel 5.2.4
Distribusi Responden berdasarkan Lingkungan Fisik Rumah
di wilayah kerja Puskesmas DTP Cibeber
Variabel Frekuensi Persentase
1.Ventilasi Tidak memenuhi
syarat Memenuhi syarat
4561
42,557,5
2. Kepadatan Hunian Tidak memenuhi
syarat Memenuhi syarat
4561
42,557,5
5.2.5 Gambaran Sumber Pencemar dalam Ruang
Hasil penelitian diketahui terdapat 88 balita (83%) yang tinggal serumah
dengan perokok, dan hanya 18 (17%) balita lainnya tinggal di rumah tidak
terdapat perokok.
Hasil penelitian dan pengamatan tentang jenis bahan bakar yang
digunakan saat memasak didapatkan ibu balita yang menggunakan bahan bakar
kayu/ minyak tanah sebanyak 57 (53,8%) sedangkan 49 (46,2%) ibu balita yang
lain menggunakan gas/ listrik sebagai bahan bakar untuk memasak.
Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
54
Universitas Indonesia
Tabel 5.2.5
Distribusi Responden berdasarkan Sumber Pencemar Udara dalam Ruang
di wilayah kerja Puskesmas DTP Cibeber
Variabel Frekuensi Persentase
1. Adanya perokok Ya Tidak
8818
83,017,0
2. Bahan bakar memasak Kayu bakar/ minyak
tanah Gas/ listrik
5749
53,846,2
5.3 Hubungan Variabel Independen Dengan Variabel Dependen
Kejadian ISPA Pada Balita Ditinjau dari Pengetahuan Ibu,
Karakteristik Balita, Sumber Pencemar Dalam Ruang Dan
Lingkungan Fisik Rumah
Uji statistik menggunakan uji beda proporsi chi square, untuk menjelaska
hubungan antara variabel dependen dan independen dengan batas kemaknaan p-
value 0,005, yang artinya bila p-value ≥ 0,05 maka hubungan antara variabel
dependen dan independen tidak bermakna, tetapi jika p-value < 0,05 bermakna.
Selain menguji tingkat kemaknaan dapat dilihat pula nilai OR (odds ratio), jika
OR < 1 berarti sifatnya protektif OR=1 berarti tidak mempunyai resiko sedangkan
OR> 1 berarti mempunyai resiko.
.
5.3.1 Hubungan Pengetahuan Ibu Dengan Kejadian ISPA Pada Balita
Hasil penelitian tentang variabel pengetahuan didapatkan bahwa dari 21 ibu
yang balitanya tidak sakit ISPA, terdapat 9 (42,9%) ibu yang memiliki
pengetahuan tentang ISPA kurang, dan 12 (57,1%) ibu balita lainnya
berpengetahuan baik. Sedangkan dari 85 ibu yang balitanya sakit ISPA, ada 65
ibu balita (76,5%) mempunyai pengetahuan yang kurang tentang ISPA. Dari hasil
tersebut secara persentase anak balita yang sakit ISPA dan pengetahuan ibunya
kurang lebih banyak dibandingkan dengan anak balita yang sakit ISPA yang
ibunya memiliki pengetahuan baik tentang ISPA.
Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
55
Universitas Indonesia
Hasil uji statistik didapat p= 0,006 berarti (< 0,05) dapat disimpulkan bahwa
ada hubungan yang bermakna antara ibu balita yang mempunyai pengetahuan
kurang dengan kejadian ISPA. Dengan nilai OR= 4.333 (95% CI : 1,596-11,768)
ini berarti pada ibu yang berpengetahuan kurang, anak balitanya mempunyai
risiko 4,33 kali lebih besar untuk terkena ISPA daripada ibu yang mempunyai
pengetahuan yang baik.
Tabel 5.3.1
Distribusi Responden berdasarkan Pengetahuan Ibu Dengan Kejadian ISPA
Pada Balita di wilayah kerja Puskesmas DTP Cibeber
Variabel ISPA TidakISPA
Total p-value OR(95%CI)
Pengetahuan ibu
Kurang
Baik
65(76,5%)
20(23,5%)
9(42,9%)
12 (57,15)
74
32
0,006*4,333
(1,596-11,768)
5.3.2 Hubungan Berat Badan Lahir dengan kejadian ISPA
Hasil penelitian variabel berat badan lahir pada tabel 5.3.2, menunjukkan
bahwa dari 21 ibu yang balitanya tidak terkena ISPA, keseluruhannya lahir
dengan berat badan yang normal (≥ 2500 gram). Sedangkan 29 (34,1%) balita
yang ISPA lahir dengan berat badan rendah (< 2500 gr)
Pada hasil uji statistik didapatkan p-value sebesar 0,004 (< 0,05), sehingga
dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara berat badan
lahir dengan kejadian ISPA pada balita.
5.3.3 Hubungan Status ASI dengan kejadian ISPA
Hasil penelitian mengenai variabel status ASI, diperoleh data bahwa dari 21
ibu yang balitanya tidak terkena ISPA, keseluruhannya mendapat ASI eksklusif,
sedangakan 31 (36,5%) balita yang sakit ISPA tidak mendapatkan ASI secara
eksklusif selama 6 bulan pertama setelah lahir.
Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
56
Universitas Indonesia
Hasil uji statistik chi square didapatkan p-value sebesar 0,003 (<0,05) yang
artinya secara statistik terdapat hubungan yang bermakna antara status ASI
dengan kejadian ISPA pada balita.
5.3.4 Hubungan status imunisasi dengan kejadian ISPA
Hasil penelitian mengenai variabel status imunisasi, diperoleh data dari 85
ibu yang balitanya terkena ISPA, sebanyak 22 balita (25,9%) tidak mendapat
imunisasi secara lengkap, sedangkan 21 ibu yang balitanya tidak sakit ISPA, 18
(85,7%) balita mendapat imunisasi lengkap.
Hasil uji statistik chi square didapatkan p-value sebesar 0,391 (>0,05) dan
OR= 2,095 (95% CI : 0,562-7,805), yang artinya secara statistik tidak ada
hubungan yang bermakna antara kelengkapan imunisasi dengan sakit ISPA.
Tabel 5.3.2
Distribusi Responden berdasarkan Karakteristik Balita Dengan Kejadian ISPA
di wilayah kerja Puskesmas DTP Cibeber
Variabel ISPA TidakISPA
Total p-value OR(95%CI)
1. BBL
BBLR 29(34,1%)
0(0%)
290,004* -
Normal 56(65,9%)
21(100%)
71
2. Status ASI
Tidak Eksklusif
31(36,5%)
0(0 %)
310,003* -
Eksklusif 54(63,5%)
21(100%)
75
3. Status Imunisasi
Tidak Lengkap
22(25,9%)
3(14,3 %)
250,391
2,095(0,562-7,805)
Lengkap 63(74,1%)
18(85,7%)
81
Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
57
Universitas Indonesia
5.3.5 Hubungan ventilasi kamar balita dengan kejadian ISPA balita
Hasil penelitian mengenai variabel ventilasi kamar balita, diperoleh data
bahwa pada kelompok ibu yang balitanya tidak terkena ISPA, 19 (90,5%)
diantaranya telah memiliki ventilasi kamar yang memenuhi syarat kesehatan, dan
kelompok ibu yang balitanya sakit ISPA terdapat 43 (50,6%) yang tidak memiliki
ventilasi yang memenuhi syarat kesehatan (< 10 % luas lantai).
Dan hasil uji statistik menunjukkan p-value sebesar 0,002 (<0,05) dan OR=
9,726 ( 95% CI : 2,132- 44,373) , yang artinya terdapat hubungan yang bermakna
antara ventilasi kamar balita dengan kejadian ISPA pada balita, dan pada
kelompok ibu balita yang tidak memiliki ventilasi kamar yang memenuhi syarat
kesehatan mempunyai risiko balitanya terkena ISPA 9-10 kali daripada kelompok
ibu yang memiliki ventilasi kamar balita yang memenuhi syarat kesehatan.
5.3.6 Hubungan kepadatan penghuni dengan kejadian ISPA
Hasil penelitian mengenai variabel kepadatan hunian rumah balita,
diperoleh data bahwa dari kelompok ibu yang balitanya tidak terkena ISPA,
kesemuanya tinggal dalam rumah dengan kepadatan hunian yang memenuhi
syarat (8m2/ per orang), sedangkan pada kelompok ibu yang balitanya sakit
terdapat 45 (52,9%)balita yang sakit ISPA.
Berdasar hasil uji statistik chi square p-value sebesar 0,001 (<0,05) dapat
disimpulkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara kepadatan hunian
dengan kejadian ISPA pada balita.
Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
58
Universitas Indonesia
Tabel 5.3.3
Distribusi Responden berdasarkan Lingkungan Fisik Rumah Dengan Kejadian
ISPA di wilayah kerja Puskesmas DTP Cibeber
Variabel ISPA TidakISPA
Total p-value OR(95%CI)
1. Ventilasi
Tidak memenuhi syarat
43(50,6%)
2(14,3 %)
45 0,002*9,726
(2,132-44,373)
Memenuhi syarat
42(49,4%)
19(90,5%)
61
2. Kepadatan penghuni
Tidak memenuhi syarat
45(52,9%)
0(0%)
45 0.000*-
Memenuhi syarat
40(47,1%)
21(100%) 61
5.3.7 Hubungan adanya perokok dalam rumah dengan kejadian ISPA
Hasil penelitian mengenai variabel ada perokok dalam rumah balita,
diperoleh data bahwa pada kelompok balita yang terkena ISPA, sebanyak 81
(3,5%) balita tinggal dengan perokok, dan pada kelompok balita yang sehat 14
(44,7%) balita tidak tinggal dengan perokok.
Hasil uji statistik didapatkan p-value= 0,000 (<0,05) dan OR= 40, 500 (95%
CI : 10,466-156,715), sehingga dapat disimpulkan ada hubungan yang bermakna
antara keberadaan perokok dalam rumah dengan kejadian ISPA pada balita, dan
balita yang tinggal dengan perokok mempunyai risiko 40-41 kali untuk menderita
penyakit ISPA dibandingkan balita yang tinggal tanpa perokok dalam rumah.
5.3.8 Hubungan Bahan bakar masak dengan kejadian ISPA pada balita
Hasil penelitian mengenai variabel bahan bakar memasak, diperoleh data
bahwa pada kelompok balita yang terkena ISPA sebanyak 50 (58,8%) ibu balita
memasak dengan kayu bakar/ minyak tanah, dan pada balita yang tidak sakit
terdapat 14 (66,7%) ibu balita yang memasak dengan menggunakan bahan bakar
gas/ listrik.
Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
59
Universitas Indonesia
Pada uji statistik chi square didapatkan p-value= 0,064 (>0,05) dan OR=
2,857 (95% CI : 1,046-7,804), artinya tidak ada hubungan yang bermakna antara
bahan bakar masak dengan sakit ISPA pada balita.
Tabel 5.3.4
Distribusi Responden berdasarkan sumber Pencemar Udara Dalam Ruang Dengan
Kejadian ISPA di wilayah kerja Puskesmas DTP Cibeber
Variabel ISPA TidakISPA
Total p-value OR(95%CI)
1. Adanya perokok
Ada 81(95,3%)
7(33,3 %)
880,000*
40,5(10,466-156,715)
Tidak 4(4,7%)
14(66,7%)
18
2. Bahan bakar memasak
Kayu bakar/minyak tanah
50(58,8%)
7(33,3%)
570,064
2,857(1,046-7,804)
Gas/listrik 35(41,2%)
14(66,7%)
49
Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
60 Universitas Indonesia
BAB VI
PEMBAHASAN
6.1 Keterbatasan Penelitian
Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini bersifat cross sectional
(potong lintang), dimana rancangan ini mempunyai kelemahan yaitu kesulitan
dalam membedakan variabel yang menjadi penyebab dan variabel yang menjadi
akibat, karena kedua variabel ini diukur pada saat yang bersamaan. Hubungan
yang bisa digambarkan melalui rancangan ini hanya menunjukkan keterkaitan
saja, bukan menunjukkan hubungan kausalitas atau hubungan sebab akibat.
Kelemahan dalam pemilihan sampel penelitian (responden) terjadi manakala
responden yang sudah ditetapkan tidak ditemukan di lapangan karena sedang
bepergian, sehingga diambil responden pengganti yang alamatnya masih sama
dengan responden terpilih. Ini dilakukan karena waktu penelitian yang terbatas
dan keadaan geografis lapangan (tempat responden cukup jauh dari tempat satu
dan lainnya) serta musim penghujan yang tidak memungkinkan untuk datang dua
kali pada satu tempat yang sama.
Instrument yang dipakai dalam penelitian ini berupa kuesioner dan alat ukur
meteran. Kelemahan kuesioner, karena sudah disediakan alternatif jawabannya
(bersifat tertutup), sehingga jawaban yang didapat dari responden terpaku pada
jawaban yang sudah ada dan tidak bisa mengembangkan jawaban yang lebih luas,
lengkap dan mendalam. Pertanyaan dalam kuesioner juga masih kurang dapat
menggali jawaban responden. Sehingga jawaban yang diberikan responden yang
sangat terbatas ini dirasa masih kurang menggambarkan keadaan responden yang
sebenarnya.
Pengukuran ventilasi yang menggunakan alat ukur meteran masih banyak
mengandung kelemahan, diantaranya ketelitian dalam pembacaan sangat
mempengaruhi hasil ukur apalagi saat dibandingkan dengan luas lantai rumah
Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
61
Universitas Indonesia
dimana kami tidak melakukan pengukuran langsung namun hanya berdasar
keterangan dari responden saja.
Bias informasi yang terjadi saat pengukuran adalah berupa recall bias,
dimana responden tidak dapat menjawab dengan tepat pertanyaan-pertanyaan
yang terjadi di masa yang lampau. Bias dari responden juga terjadi pada saat
wawancara dimana responden tidak memberikan jawaban sebenarnya, atau
responden kurang memahami pertanyaan yang disampaikan pewawancara.
6.2 Hubungan Pengetahuan Ibu, Karakteristik Balita, Sumber Pencemar
Udara Dalam Ruang Dan Lingkungan Fisik Rumah Dengan Kejadian
ISPA Pada Balita
6.2.1 Kejadian ISPA pada Balita
Kejadian penyakit ISPA pada balita dalam penelitian ini berdasarkan gejala
penyakit balita yang diderita 2 – 4 minggu terakhir, apabila ada gejala batuk dan
pilek disertai atau tidak dengan gejala lain maka dikategorikan sakit ISPA,
sedangkan tidak sakit ISPA apabila tidak ada gejala batuk atau pilek dan disertai
atau tidak dengan gejala lainnya.
Tingginya balita yang terserang ISPA di wilayah kerja Puskesmas Cibeber
yaitu sebesar 80,2%, angka kesakitan ISPA ini berkaitan dengan kurangnya,
pengetahuan ibu tentang faktor- faktor risiko pada ISPA, sanitasi perumahan
penduduk ditandai dengan masih banyaknya keadaan perumahan penduduk yang
fasilitas sanitasinya tidak memenuhi syarat, hal ini berkaitan dengan tingkat
pendidikan penduduk yang sebagian besar hanya tamat SD. Salah satu cara untuk
menanggulanginya dengan memberikan banyak informasi khususnya mengenai
kesehatan sehingga pengetahuan masyarakat meningkat.
6.2.2 Hubungan Pengetahuan Ibu dengan Kejadian ISPA pada Balita
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar ibu balita
berpengetahuan kurang dan hanya sebagian kecil ibu balita yang memiliki
pengetahuan baik tentang ISPA. Hal ini disebabkan karena masih banyak ibu-ibu
Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
62
Universitas Indonesia
balita yang pendidikannya rendah dan kurangnya mendapatkan informasi
mengenai ISPA.
Hasil analisis bivariat dengan menggunakan Chi Square menunjukkan
adanya hubungan yang bermakna antara pengetahuan ibu dengan kejadian ISPA
pada balita. Untuk ibu yang berpengetahuan kurang, balitanya mempunyai risiko
terhadap penyakit ISPA 4,33 kali dibandingkan dengan yang mempunyai
pengetahuan baik. Hasil ini membuktikan hipotesis bahwa ada hubungan antara
pengetahuan ibu dengan kejadian ISPA pada balita.
Menurut Sutrisna, B (1993), ditemukan adanya hubungan antara
pengetahuan ibu tentang mengatasi dalam kejadian balita sakit ISPA. Tingkat
pengetahuan sangat penting dimiliki oleh seseorang, Karena tingkat pengetahuan
merupakan suatu wawasan yang akan menyebabkan perubahan seseorang dalam
bersikap dan bertindak dalam mengatasi permasalahan yang timbul dalam
kehidupan.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Ariyanto, Y (2008) bahwa
dampak pengetahuan terhadap kejadian ISPA pada balita cukup besar, yang
berarti jika pengetahuan ibu tentang faktor risiko ISPA ditingkatkan maka
kejadian ISPA pada balita akan berkurang. Begitupula dengan hasil penelitian
Nurjazuli, dkk,(2009), menyimpulkan adanya hubungan antara pengetahuan ibu
dengan kejadian ISPA-pneumonia pada balita.
6.2.3 Hubungan Berat Badan Lahir Balita dengan Kejadian ISPA
Hasil penelitian menunjukkan bahwa 27,4% balita yang sakit ISPA
memiliki riwayat berat badan lahir rendah (< 2500 gr). Kemungkinan besar itu
terjadi karena saat hamil, ibu balita tersebut menderita anemia, kurang gizi, atau
sedang menderita suatu penyakit.
Berdasarkan hasil analisis bivariat, menunjukkan adanya hubungan yang
bermakna antara berat badan saat lahir dengan kejadian ISPA, khususnya bagi
balita dengan riwayat BBLR memiliki peluang lebih besar untuk terkena ISPA.
Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
63
Universitas Indonesia
Hasil ini sejalan dengan penelitian Abdullah (2003), bahwa bayi umur 0-4
bulan yang dilahirkan dengan BBLR memiliki risiko terserang ISPA. Begitu juga
dengan penelitian Kumar di India yang dipublikasikan oleh WHO (1996), yang
menemukan adanya hubungan antara berat lahir dengan ISPA. Hal ini didukung
pula dengan penelitian Ariyanto (2008) yang membuktikan adanya hubungan
berat lahir dengan kejadian ISPA pada balita.
6.2.4 Hubungan Status ASI Balita dengan Kejadian ISPA
Pada hasil penelitian didapatkan, dari keseluruhan balita yang tidak sakit
ISPA mendapatkan ASI eksklusif pada masa 6 bulan awal kehidupannya. Dan
36% balita yang sakit ISPA telah diberikan MP-ASI sebelum usia 6 bulan setelah
lahir. Hal ini terjadi karena kandungan gizi yang terdapat dalam ASI mengandung
antibodi yang dapat memperkecil risiko terkena penyakit infeksi.
Dari hasil uji analisis bivariat dengan menggunakan chi square,
menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara status ASI dengan kejadian
ISPA pada balita, dan balita yang tidak mendapatkan ASI eksklusif mempunyai
risiko lebih besar terserang ISPA daripada balita dengan ASI eksklusif.
Hasil ini sejalan dengan penelitian Abdullah (2003) yang menyatakan ada
pengaruh pemberian ASI terhadap kasus ISPA. Demikian juga dengan penelitian
Naim (2001), juga membuktikan adanya hubungan bermakna antara pemberian
ASI dengan kejadian ISPA-pneumonia.
6.2.5 Hubungan Status Imunisasi Balita dengan Kejadian ISPA
Status imunisasi balita diukur berdasarkan jenis imunisasi yang telah
didapatkan oleh balita sesuai umurnya. Termasuk status imunisasi tidak lengkap
apabila balita tidak mendapat imunisasi lengkap sesuai umurnya, dan termasuk
imunisasi lengkap apabila balita telah mendapatkan imunisasi lengkap sesuai
umurnya. Bayi yang mendapatkan imunisasi lengkap seharusnya mempunyai
kekebalan terhadap beberapa penyakit sesuai dengan jenis imunisasi yang
diberikan. Semakin lengkap imunisasi, semakin tinggi daya tahan tubuhnya
terhadap penyakit.
Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
64
Universitas Indonesia
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa sebagian besar balita yang
tidak sakit ISPA telah mendapatkan imunisasi lengkap, namun balita yang ISPA
dengan mendapatkan imunisasi lengkap masih cukup tinggi.
Menurut hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa tidak ada hubungan
yang bermakna antara status Imunisasi dengan kejadian ISPA pada balita. Semua
mempunyai peluang yang sama untuk terkena ISPA. Balita yang status imunisasi
lengkap maupun tidak sama-sama mempunyai kemungkinan terkena ISPA.
Kemungkinan hal ini terjadi karena rantai dingin vaksin kurang baik saat dibawa
ke posyandu yang jaraknya cukup jauh dari puskesmas, yang mengakibatkan
keefektifan vaksin menurun.
Hal ini tidak sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Dewi, dkk., di
kabupaten Klaten (1993), yang menyatakan bahwa ada hubungan antara
kelengkapan status Imunisasi dengan kejadian ISPA-pneumonia pada balita.
6.2.6 Hubungan Ventilasi Kamar Balita dengan Kejadian ISPA
Hasil penelitian didapatkan, balita yang tidak sakit ISPA yaitu sebagian
besar tinggal di rumah yang memiliki ventilasi yang memenuhi syarat, dan hanya
sebagian balita yang terkena ISPA tinggal di rumah yang ventilasinya tidak
memenuhi syarat.
Berdasarkan hasil analisis bivariat, bahwa ada hubungan yang bermakna
antara kepemilikan ventilasi dengan kejadian ISPA pada balita, dan balita yang
tinggal di rumah dengan ventilasi yang tidak memenuhi syarat mempunyai
peluang yang lebih besar untuk terjadi ISPA. Ventilasi merupakan tempat keluar
masuknya udara dari dan keluar ruangan/ rumah, sehingga kualitas udara dalam
rumah tetap stabil.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Muhedir (2002), yang
menyatakan ada hubungan yang bermakna antara ventilasi dengan kejadian ISPA
pada balita. Begitu juga penelitian Nurjazuli dan Widyaningtyas (2009),
menyatakan balita yang tinggal di rumah dengan ventilasi yang tidak memenuhi
syarat mempunyai risiko menderita ISPA-pneumonia 23,889 kali lebih besar
Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
65
Universitas Indonesia
dibanding dengan balita yang tinggal di rumah dengan luas ventilasi yang
memenuhi syarat.
6.2.7 Hubungan Kepadatan Penghuni Balita dengan Kejadian ISPA
Pada hasil penelitian, didapatkan bahwa proporsi balita tidak sakit
keseluruhannya tinggal di rumah yang tidak padat penghuni atau memenuhi syarat
tinggal, sedangkan balita lainnya yang menderita ISPA tinggal di rumah yang
kepadatan huniannya tidak memenuhi syarat.
Dan pada uji analisis bivariat didapatkan hasil adanya hubungan yang
bermakna antara kepadatan hunian dengan kejadian ISPA pada balita. Artinya
balita yang tinggal di tempat dimana kepadatan huniannya tidak memenuhi syarat
mempunyai risiko lebih besar terkena ISPA dibandingkan balita yang tinggal di
rumah dengan kepadatan hunian yang memenuhi syarat. Pada hunian rumah yang
padat akan memudahkan penularan penyakit khususnya penyakit saluran napas.
Penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Irianto, B (2006), ada
hubungan yang bermakna antara kepadatan hunian rumah balita dengan kejadian
penyakit ISPA pada balita.. Kemudian didukung penelitian oleh Nurjazuli dkk
(2009), yang menyatakan balita yang tinggal dengan kepadatan hunian yang
kurang baik mempunyai risiko menderita ISPA-pneumonia 45,156 kali lebih besar
disbanding dengan balita yang tinggal di rumah dengan kepadatan hunian yang
baik.
6.2.8 Hubungan Adanya Perokok dengan Kejadian ISPA pada Balita
Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan proporsi balita yang tidak ISPA
dan tidak serumah dengan perokok sebanyak 66,7%, sedangkan pada balita yang
ISPA yaitu hampir seluruhnya tinggal serumah dengan perokok.
Hasil penelitian yang dilakukan berdasar analisis bivariat dengan chi
square menunjukkan bahwa adanya hubungan yang bermakna antara keberadaan
perokok dalam rumah dengan kejadian ISPA pada balita. Dan balita yang tinggal
serumah dengan perokok mempunyai peluang lebih besar terkena ISPA daripada
tinggal di rumah yang tidak ada anggota keluarga yang perokok.
Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
66
Universitas Indonesia
Ribuan bahan kimia yang terdapat dalam asap rokok, dapat merusak
jaringan mukosa dalam hidung, sehingga mikroorganisme akan mudah masuk dan
berkembangbiak.
Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Mudehir (2002) dan
Irianto, B (2006) yang sama-sama menyatakan ada hubungan yang bermakna
antara asap rokok di dalam rumah dengan kejadian penyakit ISPA pada balita.
6.2.9 Hubungan Bahar Bakar Memasak dengan Kejadian ISPA pada Balita
Hasil penelitian menggambarkan bahwa proporsi ibu yang memasak
dengan menggunakan bahan bakar gas/ listrik 66,7% balitanya tidak sakit ISPA,
sedangkan ibu yang memasak menggunakan bahan bakar kayu/ minyak tanah,
58,8% menderita sakit ISPA.
Pada hasil uji analisis bivariat didapatkan bahwa tidak ada hubungan yang
bermakna antara bahan bakar yang digunakan ibu saat memasak dengan kejadian
ISPA pada balita. Hal ini terjadi karena hampir semua rumah penduduk memiliki
dapur yang terpisah dari ruang keluarga.
Asap sisa pembakaran memasak dengan kayu bakar/ minyak tanah yang
berupa partikulat dapat mencemari udara dalam rumah hal ini akan mempermudah
terserang penyakit saluran pernapasan, akan tetapi jika letak dapur dikondisikan/
terpisah dari ruangan rumah maka akan mengurangi risiko terkena penyakit
saluran pernapasan.
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Mudehir
(2002) dan Irianto, B (2006), yang sama-sama menyatakan tidak ada hubungan
yang bermakna antara bahan bakar memasak dengan kejadian ISPA pada balita.
Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
67 Universitas Indonesia
BAB VII
KESIMPULAN DAN SARAN
7.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan pada bab
sebelumnya, maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut :
1. Masih tingginya angka kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja
puskesmas Cibeber Kabupaten Lebak.
2. Pengetahuan ibu tentang penyakit ISPA masih rendah. Masih banyak ibu
balita yang tidak mengetahui faktor-faktor risiko dan bahaya dari penyakit
ISPA, kebanyakan ibu menyatakan ISPA merupakan suatu penyakit biasa
yang bisa sembuh dengan sendirinya.
3. Balita yang mendapatkan ASI eksklusif memiliki risiko lebih kecil untuk
terserang ISPA, sedangkan pada balita dengan riwayat berat lahir rendah
mempunyai risiko yang lebih besar untuk terserang ISPA. Meskipun
cakupan imunisasi sudah cukup baik namun angka kejadian ISPA pada
balita yang mendapat imunisasi lengkap masih tinggi.
4. Keberadaan perokok dalam rumah terbukti sangat mempengaruhi
kesehatan balita, terutama untuk terserang penyakit ISPA (OR= 40,5),
begitupula dengan kepemilikan ventilasi dalam rumah dan kepadatan
hunian yang tidak memenuhi syarat mempunyai andil terhadap balita
untuk terkena ISPA.
7.2 Saran
7.2.1 Saran bagi Masyarakat
1. Kepada anggota keluarga yang merokok khususnya para bapak, untuk
tidak merokok dalam rumah, atau sedapat mungkin berhenti
mengkonsumsi rokok yang terbukti bahwa asap rokok dapat menyebabkan
penyakit pada saluran pernapasan terutama ISPA.
Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
68
Universitas Indonesia
2. Perlu diupayakan peningkatan pengetahuan bagi Kepala Keluarga atau
bapak tentang pentingnya menciptakan lingkungan sehat dalam keluarga.
Seperti dengan menjadi anggota KBPPKS (Kelompok Bapak Pemerhati
Dan Peduli Keluarga Sehat) baik di tingkat kecamatan maupun desa.
3. Bagi ibu hamil dianjurkan menjaga kesehatannya dengan memeriksakan
kehamilannya secara rutin ke petugas kesehatan agar dapat melahirkan
bayi yang sehat dengan berat badan normal.
4. Kepada masyarakat agar selalu mendukung ibu menyusui untuk
memberikan ASI eksklusif kepada bayinya sampai dengan usia 6 bulan
pertama.
5. Masyarakat diharapkan selalu memperhatikan dan berusaha agar
lingkungan rumahnya memenuhi syarat kesehatan salah satunya
kepemilikan ventilasi kamar (>10% luas lantai), kepadatan hunian (8m2/
per orang), jendela harus dibuka setiap hari (terutama pagi hari).
7.2.2 Saran bagi Petugas Kesehatan
1. Memprioritaskan upaya preventif seperti membentuk wadah untuk sarana
penyuluhan khususnya untuk para bapak. Seperti KBPPKS (Kelompok
Bapak Pemerhati Dan Peduli Keluarga Sehat), dimana pada saat
pertemuannya petugas dapat memberikan penyuluhan kepada bapak-bapak
mengenai kesehatan lingkungan rumah, keluarga maupun untuk dirinya
sendiri. Dengan harapan apa yang disampaikan dalam pertemuan dapat
diterapkan di lingkungannya masing-masing, berdasar pertimbangan
bahwa bapak adalah pemegang keputusan dalam rumah tangga.
2. Perlu dilakukan upaya untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat
khususnya ibu tentang gejala dan tanda bahaya, penyebab, penularan, cara
mencegah dan mengatasi balita yang sakit ISPA.
3. Menjalin kerjasama dengan sektor lain dan para tokoh di masyarakat
khususnya pendekatan mengenai diadakannya KBPPKS.
Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
69
Universitas Indonesia
7.2.3 Saran Penelitian Lanjut
Hasil penelitian ini masih banyak kelemahannya, walaupun demikian
harapannya hasil yang didapatkan bisa dipakai sebagai bahan bagi peneliti lain
untuk melakukan penelitian lebih lanjut tentang penyakit ISPA dengan desain
berbeda dan variabel-variabel lain yang tidak diteliti.
Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
Universitas Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
Achmadi, Umar, F. (2010). Manajemen Penyakit Berbasis Wilayah. Penerbit Buku Kompas, Jakarta.
Badan Pusat Statistik, BKKBN, Depkes RI. (2008). Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2007, Calverton, Maryland, USA : BPS dan Macro International.
Bruce, Nigel et.al. (2007). Bulletin of the WHO: Respiratory Infection in Guatemala. The International Journal Of Public Health, WHO.
Burroughs, H.E, CIAQP (et.al). (2008). Managing Indoor Air Quality, Fourth Edition. The Fairmont Press, inc.USA.
Chandra, Budiman, Dr. (2006). Pengantar Kesehatan Lingkungan. EGC, Jakarta.
Chin, James, MD, MPH. (2006). Manual Pemberantasan Penyakit Menular. Infomedika, Jakarta.
Corwin, Elizabeth, J. (2009). Buku saku patofisiologi, edisi revisi 3. EGC, Jakarta.
CR, Simpson et.al. (2000). Health Bulletin vol 58 no.6 issued by Chief Medical Officer. Scottish Executive.
Depkes RI. (2004). Kajian riset operasional intensifikasi pemberantasan penyakit menular. Dirjen P2M Balitbangkes, Jakarta.
Depkes RI. (2009). Media Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Vol. XIX. Depkes RI Balitbangkes, Jakarta.
Depkes RI. (2009). Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar Riskesdas Provinsi Banten Tahun 2007, Depkes RI, Jakarta.
Depkes RI. (2009). Pedoman Pengendalian Penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut. Depkes RI Dirjen P2PL, Jakarta.
Depkes RI. (2010). Riset Kesehatan Dasar 2010. Balitbangkes Kementrian Kesehatan RI Tahun 2010, Jakarta.
Djaja, Sarimawar. (1999). Buletin, Penelitian Kesehatan. Depkes RI Balitbangkes, Jakarta.
Djojodibroto, Darmanto, R, Dr, Sp.P, FCCP. (2009). Respiratologi (Respiratory Medicine). EGC, Jakarta.
Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
Universitas Indonesia
Erfandi. (2009). Pengetahuan Dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi. http://forbetterhealth.wordpress.com/2009/04/19/pengetahuan-dan-faktor-faktor-yang-mempengaruhi/ . Pro-Health. Kamis 2 juni 2011.
Evenhouse, Eirik dan Reilly Siobhan. (2005). Peningkatan Perkiraan Manfaat Menyusui Menggunakan Perbandingan saudara untuk Mengurangi Bias Seleksi. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1361236/26062011/10.30 wib
Hastono, Sutanto Priyo. (2007). Analisis Data Kesehatan. FKM UI, Depok.
Hendarwan, Harimat. (2005). Artikel, Media Litbang Kesehatan Vol XV No 3. Puslitbangkes, Jakarta.
Hidayat, Alimul Aziz, A. (2008). Pengantar Ilmu Kesehatan Anak Untuk Pendidikan Kebidanan. Salemba Medika, Jakarta.
http://www.askep-askeb.cz.cc/2010/05/pengetahuan-tentang-ispa-pada-ibu-yang.html/ 25-2-2011.
http://elearning.gunadarma.ac.id/docmodul/statistika_probilitas/bab1-teknik_penarikan_sampel.pdf/ kamis,9/6/2011/9.52 wib.
Irianto, Bambang. (2006). Hubungan Faktor Lingkungan Rumah Dan Karakteristik Balita Dengan Kejadian Penyakit ISPA Pada Balita Di Wilayah Kecamatan Lemahwungkuk Kota Cirebon. Program Pascasarjana IKM UI.
Johanes. (2006). Particulate Matter (PM10) Dalam Rumah Sebagai Faktor Kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) Balita Di Kecamatan Payakumbuh Kabupaten Lima Puluh Kota. Program Pascasarjana IKM UI.
Kasjono, Heru Subaris dan Yasril. (2009). Teknik Sampling untuk Penelitian Kesehatan. Graha Ilmu, Yogyakarta.
Klein, Susan et.al. (2004). A book for Midwives, care for pregnancy, birth, and women’s health. The Hesperian Foundation Berkeley, California, USA.
Kresno, Sudarti. (2000). Makara Jurnal Penelitian Universitas Indonesia, No. 4, Seri A. Jakarta.
Lindawaty. (2010). Particulat (Pm10) Udara Rumah Tinggal Yang Mempengaruhi Kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) Pada Balita (Penelitian Di Kecamatan Mampang Prapatan, Jakarta Selatan Tahun 2009-2010). Program Pacsasarjana IKM UI.
Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
Universitas Indonesia
Lemesyow, S et al. ( 1997). Besar Sampel Dalam Penelitian Kesehatan. Gajah Mada University Press, Yogyakarta.
Mudehir, Muridi. (2002). Hubungan Faktor-faktor Lingkungan Rumah dengan kejadian penyakit ISPA pada anak balita di kecamatan Jambi Selatan. Program Pasca Sarjana IKM UI.
Maryunani, Anik. (2010). Ilmu Kesehatan Anak dalam Kebidanan. Trans Info Media, Jakarta.
Murphy, Elaine M. (2004). Health Bulletin: Promoting Healthy Behavior. Population Reference Bureau.
Muttaqin, Arif. (2008). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan system Pernapasan. Salemba Medika, Jakarta.
Ngastiyah. (2005). Perawatan Anak Sakit, edisi 2. EGC, Jakarta.
Notoatmodjo, Soekidjo, Prof. Dr. (2010). Metodologi Penelitian Kesehatan. Rineka Cipta, Jakarta
Nurmiati dan Besral. (2008). Makara : Seri Kesehatan, Vol. 12, No. 2.Universitas Indonesia, Depok.
Nursalam, DR, M.Nurs (Hons) et.al. (2005). Asuhan Keperawatan Bayi dan Anak (untuk Perawat dan Bidan). Salemba Medika, Jakarta.
Nurjazuli dan Retno Widyaningtyas. (2009). Jurnal Respirologi Indonesia, Majalah resmi perhimpunan dokter paru Indonesia, Vol. 29, No. 2.
Pratiknya, Ahmad Watik, Dr. (2007). Dasar-dasar Metodologi Penelitian Kedokteran dan Kesehatan. Rajawali Pers, Jakarta.
Price, Sylvia, A (et.al). (2005). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6 Volume 2. EGC, Jakarta.
Profil Kecamatan Cibeber. (2010). Cibeber, Banten.
Profil Puskesmas DTP Cibeber. (2010). Cibeber, Banten.
Purawidjaja, Sudirman. (2000). Hubungan Praktek Penanganan ISPA Oleh Ibu Ditingkat Keluarga Dengan Kejadian Pneumonia Balita Di Puskesmas Kabupaten Bandung.Program Pasca Sarjana, IKM UI
Putro, Gurendro dan Priyo Santoso. (2006). Artikel, Medika Jurnal Kedokteran Indonesia, vol XXXII, No. 9. Jakarta.
Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
Universitas Indonesia
Robertson, Susan E. (2004). Bulletin of the WHO, The International Journal of Public Health. WHO, USA.
Sugiyono, Prof, Dr. (2009). Metode Penelitian Kuntitatif Kualitatif dan R&D. Alfabeta, Bandung.
Soesanto, Sri Soewasti dkk. (2000). Artikel, Media Litbang Kesehatan Vol X No 2. Balitbangkes, Jakarta.
The World Health Report. (2002). Reducing Risks, Promoting Healthy Life. WHO.
Ustun, A. Pruss and C. Corvalan. (2006). Preventing Disease Through Healthy Environments : Toward an estimate of the environmental burden of disease. WHO.
Utomo, Budi. (2007). Tantangan Pencapaian Millenium Development Goals (MDGs) Bidang Kesehatan di Indonesia. Lokakarya pembangunan Bangsa dan Negara Indonesia, Depok .
Weber, W. Martin, et.al.(1998). Respiratory syncytial virus infection in tropical and developing countries. Tropical Medicine and International Health, vol. 3 no. 4 PP 268-280.WHO. Geneva, Switzerland.
Widagdo dkk. (2007). Univers a Medicina, Vol. 26, No.4. Jakarta.
Widyaastuti, Harwina, Ns, S.Kep. (2010). Asuhan Keperawatan Anak Dengan Gangguan System Pernapasan. Trans Info Media, Jakarta.
Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
PANDUAN KUESIONER PENELITIAN
PENGETAHUAN IBU DAN PENCEMAR UDARA DALAM RUANG DENGAN
KEJADIAN ISPA PADA BALITA DI PUSKESMAS CIBEBER
KABUPATEN LEBAK PROVINSI BANTEN TAHUN 2011
Hari/tanggal :
Nama Pewawancara :
No responden :
I. Karakteristik Ibu Balita
1. Nama ibu :………………………
2. Alamat :………………………
3. Umur :………………………
(Lingkari jawaban yang disebutkan responden)
4. Pendidikan :
1. Tidak sekolah 4. Tamat SLTP
2. Tidak tamat 5. Tamat SMU/ Diploma
3. Tamat SD 6. Tamat D3/ PT
5. Pekerjaan ibu (yang menghasilkan uang) :
1. Ibu Rumah Tangga 4. Karyawan/ buruh
2. PNS/ ABRI 5. Wiraswasta
3. Pegawai swasta 6. Pedagang
II. Karakteristik balita
1. Nama Anak : …………
2. Umur : ………..bulan
3. Jenis Kelamin : 1. Laki-laki 2. Perempuan
Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
4. Berat badan saat lahir :
1. < 2500 gr
2. ≥ 2500 gr
5. Apakah balita Ibu mempunyai KMS/ Buku KIA?
1. Ya 2. Tidak
6. Apakah berat badan balita ibu pernah berada di bawah garis merah?
1. Ya 2. Tidak
7. Berapakah berat badan balita ibu saat ini?...........Kg
8. Apakah balita ibu pernah diimunisasi DPT?
1. Ya 2. Tidak
9. Bila ya, berapa kali?............
10. Apakah balita ibu pernah diimunisasi campak?
1. Ya 2. Tidak
11. Kapan diberikan tanggal/ bulan/ tahun : ……./……/……
12. Apakah sejak lahir balita ibu diberi ASI?
1. Ya 2. Tidak
13. Pada usia berapa ibu memberikan MP-ASI?
1. < 6 bulan 2. ≥ 6 bulan
14. Apakah ibu membawa balita datang ke puskesmas untuk berobat?
1. Ya 2. Tidak
15. Kapan terakhir balita ibu menderita penyakit panas, batuk, pilek?
1. Sebulan yang lalu
2. 2 minggu yang lalu
3. Saat ini
4. Lainnya, sebutkan……………..
Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
III. Pengetahuan Ibu tentang ISPA
16. Apakah ibu pernah mendengar penyakit ISPA (batuk, pilek, napas sesak/ cepat)?
1. Pernah 2. Tidak
17. Menurut ibu, apa saja tanda-tanda (gejala) penyakit ISPA?
(jawaban bisa lebih dari satu)
1. Batuk
2. Sesak napas
3. Napas cepat
4. Tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam
5. Lain-lain, sebutkan :…….
6. Tidak tahu
18. Menurut ibu penyakit ini disebabkan oleh apa?
(jawaban bisa lebih dari satu)
1. Bakteri
2. Virus
3. Kuman
4. Cuaca buruk
5. Debu
6. Takdir
7. Tidak tahu
8. Lain-lain, sebutkan……
19. Menurut ibu, apakah penyakit ISPA termasuk penyakit yang berbahaya?
1. Ya 2. Tidak
20. Bila ya, sebutkan alasannya…………
Bila tidak, sebutkan alasannya………
Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
21. Apa saja yang menyebabkan balita mudah terkena ISPA?
(jawaban bisa lebih dari satu)
1. Tertular oleh penderita batuk
2. Imunisasi yang tidak lengkap
3. Kurang gizi serta pemberian ASI yang tidak memadai
4. Menghirup asap atau debu secara berulang-ulang
5. Tinggal di lingkungan yang tidak sehat
22. Bagaimana cara ibu untuk mencegah agar balita tidak terkena penyakit ISPA?
(jawaban bisa lebih dari satu)
1. Menjauhkan balita dari penderita batuk
2. Imunisasi lengkap
3. Memberikan ASI pada bayi/balita dari usia 0-2 tahun
4. Lingkungan dan ruangan yang bebas dari pencemaran udara
5. Menjauhkan bayi dari asap ( rokok, kendaraan, dll) dan debu
23. Apa yang ibu lakukan, apabila anak balita mengalami batuk dan sesak?
1. Diobati sendiri lebih dulu
2. Di bawah ke dokter/ perawat/ bidan/ Rumah Sakit
3. Dibiarkan
4. Lain-lain, sebutkan : ……..
IV. Kondisi Lingkungan Rumah
24. Berapa jumlah yang tinggal dalam rumah?...............orang
25. Berapa luas bangunan rumah?........x……cm
26. Berapa luas kamar tidur balita?.......x…….cm
27. Berapa jumlah kamar tidur di rumah ibu? (lingkari satu jawaban)
1. 1 buah 3. 3 buah
2. 2 buah 4. 4 buah
Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
28. Berapa banyak jumlah orang yang tidur satu kamar dengan balita?
(lingkari satu jawaban)
1. 1 orang
2. 2 orang
3. 3 orang
4. 4 orang
29. Apakah kamar balita ibu memiliki jendela?
1. Ya 2. Tidak
30. Apakah jendela di rumah ibu selalu dibuka tiap hari?
1. Ya 2. Tidak
31. Apakah ibu memiliki dapur?
1. Ya 2. Tidak
32. Apa jenis bahan bakar yang paling sering digunakan untuk memasak di rumah :
1. Gas
2. Listrik
3. Minyak tanah
4. Kayu bakar
33. Apakah dalam keluarga Ibu ada yang merokok di dalam rumah :
1. Ya 2. Tidak
Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
LAMPIRAN
Skor Pengetahuan Ibu
Statistics
peng_ibu106
0
32.4151
32.0000
32.00
4.07751
16.626
20.00
43.00
Valid
Missing
N
Mean
Median
Mode
Std. Deviation
Variance
Minimum
Maximum
peng_ibu
1 .9 .9 .9
2 1.9 1.9 2.8
7 6.6 6.6 9.4
2 1.9 1.9 11.3
7 6.6 6.6 17.9
9 8.5 8.5 26.4
15 14.2 14.2 40.6
31 29.2 29.2 69.8
5 4.7 4.7 74.5
6 5.7 5.7 80.2
3 2.8 2.8 83.0
1 .9 .9 84.0
5 4.7 4.7 88.7
1 .9 .9 89.6
2 1.9 1.9 91.5
4 3.8 3.8 95.3
3 2.8 2.8 98.1
2 1.9 1.9 100.0
106 100.0 100.0
20.00
26.00
27.00
28.00
29.00
30.00
31.00
32.00
33.00
34.00
35.00
36.00
37.00
38.00
40.00
41.00
42.00
43.00
Total
ValidFrequency Percent Valid Percent
CumulativePercent
Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
Output Analisis Univariat
ISPA
85 80,2 80,2 80,2
21 19,8 19,8 100,0
106 100,0 100,0
sakit
tidak sakit
Total
ValidFrequency Percent Valid Percent
CumulativePercent
PENGETAHUAN_IBU
74 69.8 69.8 69.8
32 30.2 30.2 100.0
106 100.0 100.0
Kurang
Baik
Total
ValidFrequency Percent Valid Percent
CumulativePercent
Beratbadan_Lahir
29 27.4 27.4 27.4
77 72.6 72.6 100.0
106 100.0 100.0
BBLR
Normal
Total
ValidFrequency Percent Valid Percent
CumulativePercent
Status_ASI
31 29.2 29.2 29.2
75 70.8 70.8 100.0
106 100.0 100.0
tidak eksklusif
eksklusif
Total
ValidFrequency Percent Valid Percent
CumulativePercent
ST_imun
25 23,6 23,6 23,6
81 76,4 76,4 100,0
106 100,0 100,0
tidak lengkap
lengkap
Total
ValidFrequency Percent Valid Percent
CumulativePercent
Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
ventilasi
45 42,5 42,5 42,5
61 57,5 57,5 100,0
106 100,0 100,0
tidak memenuhi syarat
memenuhi syarat
Total
ValidFrequency Percent Valid Percent
CumulativePercent
kepadtn_penghuni
45 42.5 42.5 42.5
61 57.5 57.5 100.0
106 100.0 100.0
tdk memenuhi syarat
memenuhi syarat
Total
ValidFrequency Percent Valid Percent
CumulativePercent
perokok
88 83,0 83,0 83,0
18 17,0 17,0 100,0
106 100,0 100,0
ya
tidak ada
Total
ValidFrequency Percent Valid Percent
CumulativePercent
bahanbakar_masak
57 53.8 53.8 53.8
49 46.2 46.2 100.0
106 100.0 100.0
kayubakar/minyak tanah
gas/listrik
Total
ValidFrequency Percent Valid Percent
CumulativePercent
Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
Output Analisis Bivariat
1. Pengetahuan → signifikan
PENGETAHUAN_IBU * ISPA Crosstabulation
65 9 74
87.8% 12.2% 100.0%
76.5% 42.9% 69.8%
20 12 32
62.5% 37.5% 100.0%
23.5% 57.1% 30.2%
85 21 106
80.2% 19.8% 100.0%
100.0% 100.0% 100.0%
Count
% withinPENGETAHUAN_IBU
% within ISPA
Count
% withinPENGETAHUAN_IBU
% within ISPA
Count
% withinPENGETAHUAN_IBU
% within ISPA
Kurang
Baik
PENGETAHUAN_IBU
Total
sakit tidak sakit
ISPA
Total
Chi-Square Tests
9.028b 1 .003
7.503 1 .006
8.407 1 .004
.006 .004
8.943 1 .003
106
Pearson Chi-Square
Continuity Correctiona
Likelihood Ratio
Fisher's Exact Test
Linear-by-LinearAssociation
N of Valid Cases
Value dfAsymp. Sig.
(2-sided)Exact Sig.(2-sided)
Exact Sig.(1-sided)
Computed only for a 2x2 tablea.
0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 6.34.
b.
Risk Estimate
4.333 1.596 11.768
1.405 1.061 1.862
.324 .152 .692
106
Odds Ratio forPENGETAHUAN_IBU(.00 / 1.00)
For cohort ISPA = sakit
For cohort ISPA = tidaksakit
N of Valid Cases
Value Lower Upper
95% ConfidenceInterval
Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
2. BBL → signifikan
Beratbadan_Lahir * ISPA Crosstabulation
29 0 29
100.0% .0% 100.0%
34.1% .0% 27.4%
56 21 77
72.7% 27.3% 100.0%
65.9% 100.0% 72.6%
85 21 106
80.2% 19.8% 100.0%
100.0% 100.0% 100.0%
Count
% withinBeratbadan_Lahir
% within ISPA
Count
% withinBeratbadan_Lahir
% within ISPA
Count
% withinBeratbadan_Lahir
% within ISPA
BBLR
Normal
Beratbadan_Lahir
Total
sakit tidak sakit
ISPA
Total
Chi-Square Tests
9.863b 1 .002
8.221 1 .004
15.292 1 .000
.001 .001
9.770 1 .002
106
Pearson Chi-Square
Continuity Correctiona
Likelihood Ratio
Fisher's Exact Test
Linear-by-LinearAssociation
N of Valid Cases
Value dfAsymp. Sig.
(2-sided)Exact Sig.(2-sided)
Exact Sig.(1-sided)
Computed only for a 2x2 tablea.
0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 5.75.
b.
Risk Estimate
1.375 1.199 1.577
106
For cohort ISPA = sakit
N of Valid Cases
Value Lower Upper
95% ConfidenceInterval
Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
3. Status ASI → signifikan
Status_ASI * ISPA Crosstabulation
31 0 31
100.0% .0% 100.0%
36.5% .0% 29.2%
54 21 75
72.0% 28.0% 100.0%
63.5% 100.0% 70.8%
85 21 106
80.2% 19.8% 100.0%
100.0% 100.0% 100.0%
Count
% within Status_ASI
% within ISPA
Count
% within Status_ASI
% within ISPA
Count
% within Status_ASI
% within ISPA
tidak eksklusif
eksklusif
Status_ASI
Total
sakit tidak sakit
ISPA
Total
Chi-Square Tests
10,824b 1 ,001
9,134 1 ,003
16,585 1 ,000
,000 ,000
10,722 1 ,001
106
Pearson Chi-Square
Continuity Correctiona
Likelihood Ratio
Fisher's Exact Test
Linear-by-LinearAssociation
N of Valid Cases
Value dfAsymp. Sig.
(2-sided)Exact Sig.(2-sided)
Exact Sig.(1-sided)
Computed only for a 2x2 tablea.
0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is6,14.
b.
Risk Estimate
1,389 1,206 1,599
106
For cohort ISPA = sakit
N of Valid Cases
Value Lower Upper
95% ConfidenceInterval
Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
4. Status Imunisasi
ST_imun * ISPA Crosstabulation
22 3 25
88,0% 12,0% 100,0%
25,9% 14,3% 23,6%
63 18 81
77,8% 22,2% 100,0%
74,1% 85,7% 76,4%
85 21 106
80,2% 19,8% 100,0%
100,0% 100,0% 100,0%
Count
% within ST_imun
% within ISPA
Count
% within ST_imun
% within ISPA
Count
% within ST_imun
% within ISPA
tidak lengkap
lengkap
ST_imun
Total
sakit tidak sakit
ISPA
Total
Chi-Square Tests
1,257b 1 ,262
,695 1 ,404
1,370 1 ,242
,391 ,205
1,245 1 ,265
106
Pearson Chi-Square
Continuity Correction a
Likelihood Ratio
Fisher's Exact Test
Linear-by-LinearAssociation
N of Valid Cases
Value dfAsymp. Sig.
(2-sided)Exact Sig.(2-sided)
Exact Sig.(1-sided)
Computed only for a 2x2 tablea.
1 cells (25,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is4,95.
b.
Risk Estimate
2,095 ,562 7,805
1,131 ,940 1,362
,540 ,173 1,683
106
Odds Ratio for ST_imun(tidak lengkap / lengkap)
For cohort ISPA = sakit
For cohort ISPA = tidaksakit
N of Valid Cases
Value Lower Upper
95% ConfidenceInterval
Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
5. Ventilasi → signifikan
ventilasi * ISPA Crosstabulation
43 2 45
95,6% 4,4% 100,0%
50,6% 9,5% 42,5%
42 19 61
68,9% 31,1% 100,0%
49,4% 90,5% 57,5%
85 21 106
80,2% 19,8% 100,0%
100,0% 100,0% 100,0%
Count
% within ventilasi
% within ISPA
Count
% within ventilasi
% within ISPA
Count
% within ventilasi
% within ISPA
tidak memenuhi syarat
memenuhi syarat
ventilasi
Total
sakit tidak sakit
ISPA
Total
Chi-Square Tests
11,623b 1 ,001
10,003 1 ,002
13,491 1 ,000
,000 ,000
11,514 1 ,001
106
Pearson Chi-Square
Continuity Correction a
Likelihood Ratio
Fisher's Exact Test
Linear-by-LinearAssociation
N of Valid Cases
Value dfAsymp. Sig.
(2-sided)Exact Sig.(2-sided)
Exact Sig.(1-sided)
Computed only for a 2x2 tablea.
0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is8,92.
b.
Risk Estimate
9,726 2,132 44,373
1,388 1,159 1,662
,143 ,035 ,582
106
Odds Ratio for ventilasi(tidak memenuhi syarat/ memenuhi syarat)
For cohort ISPA = sakit
For cohort ISPA = tidaksakit
N of Valid Cases
Value Lower Upper
95% ConfidenceInterval
Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
6. kepadatan hunian→ signifikan
kepadtn_penghuni * ISPA Crosstabulation
45 0 45
100.0% .0% 100.0%
52.9% .0% 42.5%
40 21 61
65.6% 34.4% 100.0%
47.1% 100.0% 57.5%
85 21 106
80.2% 19.8% 100.0%
100.0% 100.0% 100.0%
Count
% within kepadtn_penghuni
% within ISPA
Count
% within kepadtn_penghuni
% within ISPA
Count
% within kepadtn_penghuni
% within ISPA
tdk memenuhi syarat
memenuhi syarat
kepadtn_penghuni
Total
sakit tidak sakit
ISPA
Total
Chi-Square Tests
19.319b 1 .000
17.213 1 .000
26.982 1 .000
.000 .000
19.137 1 .000
106
Pearson Chi-Square
Continuity Correctiona
Likelihood Ratio
Fisher's Exact Test
Linear-by-LinearAssociation
N of Valid Cases
Value dfAsymp. Sig.
(2-sided)Exact Sig.(2-sided)
Exact Sig.(1-sided)
Computed only for a 2x2 tablea.
0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 8.92.
b.
Risk Estimate
1.525 1.271 1.829
106
For cohort ISPA = sakit
N of Valid Cases
Value Lower Upper
95% ConfidenceInterval
Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
7. Perokok → signifikan
perokok * ISPA Crosstabulation
81 7 88
92,0% 8,0% 100,0%
95,3% 33,3% 83,0%
4 14 18
22,2% 77,8% 100,0%
4,7% 66,7% 17,0%
85 21 106
80,2% 19,8% 100,0%
100,0% 100,0% 100,0%
Count
% within perokok
% within ISPA
Count
% within perokok
% within ISPA
Count
% within perokok
% within ISPA
ya
tidak ada
perokok
Total
sakit tidak sakit
ISPA
Total
Chi-Square Tests
45,859b 1 ,000
41,569 1 ,000
37,591 1 ,000
,000 ,000
45,426 1 ,000
106
Pearson Chi-Square
Continuity Correction a
Likelihood Ratio
Fisher's Exact Test
Linear-by-LinearAssociation
N of Valid Cases
Value dfAsymp. Sig.
(2-sided)Exact Sig.(2-sided)
Exact Sig.(1-sided)
Computed only for a 2x2 tablea.
1 cells (25,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is3,57.
b.
Risk Estimate
40,500 10,466 156,715
4,142 1,742 9,852
,102 ,048 ,217
106
Odds Ratio for perokok(ya / tidak ada)
For cohort ISPA = sakit
For cohort ISPA = tidaksakit
N of Valid Cases
Value Lower Upper
95% ConfidenceInterval
Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
8. bahan bakar masak
bahanbakar_masak * ISPA Crosstabulation
50 7 57
87.7% 12.3% 100.0%
58.8% 33.3% 53.8%
35 14 49
71.4% 28.6% 100.0%
41.2% 66.7% 46.2%
85 21 106
80.2% 19.8% 100.0%
100.0% 100.0% 100.0%
Count
% withinbahanbakar_masak
% within ISPA
Count
% withinbahanbakar_masak
% within ISPA
Count
% withinbahanbakar_masak
% within ISPA
kayubakar/minyak tanah
gas/listrik
bahanbakar_masak
Total
sakit tidak sakit
ISPA
Total
Chi-Square Tests
4.402b 1 .036
3.436 1 .064
4.435 1 .035
.050 .032
4.360 1 .037
106
Pearson Chi-Square
Continuity Correction a
Likelihood Ratio
Fisher's Exact Test
Linear-by-LinearAssociation
N of Valid Cases
Value dfAsymp. Sig.
(2-sided)Exact Sig.(2-sided)
Exact Sig.(1-sided)
Computed only for a 2x2 tablea.
0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 9.71.
b.
Risk Estimate
2.857 1.046 7.804
1.228 1.003 1.503
.430 .189 .979
106
Odds Ratio forbahanbakar_masak(kayubakar/minyaktanah / gas/listrik)
For cohort ISPA = sakit
For cohort ISPA = tidaksakit
N of Valid Cases
Value Lower Upper
95% ConfidenceInterval
Kejadian ISPA..., Yuyu Sri Rahayu, FKM UI, 2011
top related