IMPLEMENTASI HIDROGRAFI UNTUK MENDUKUNG …
Post on 22-Oct-2021
9 Views
Preview:
Transcript
MARKAS BESAR ANGKATAN LAUT
DINAS HIDRO-OSEANOGRAFI
IMPLEMENTASI HIDROGRAFI UNTUK MENDUKUNG PERTAHANAN
NEGARA DALAM RANGKA MEWUJUDKAN INDONESIA
SEBAGAI POROS MARITIM DUNIA
DIAJUKAN SEBAGAI SALAH SATU NASKAH DALAM
LOMBA KARYA TULIS ILMIAH
OLEH
SUCIPTO, A.MD
MAYOR LAUT (P) NRP 13445/P
NASKAH DALAM LOMBA KARYA TULIS ILMIAH PRAJURIT/PNS TNI
DALAM RANGKA HARI HIDROGRAFI DUNIA
2016
MARKAS BESAR ANGKATAN LAUT
DINAS HIDRO-OSEANOGRAFI
ABSTRAK
Dihadapkan pada aspek geografi dan luas wilayah Indonesia, implementasi hidrografi guna
mendukung pertahanan negara dalam rangka mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim
dunia dapat diwujudkan melalui penerapan strategui, kebijakan, dan upaya yang diarahkan
untuk mendorong terwujudnya desentralisasi organisasi Dishidros TNI Angkatan Laut dan pemenuhan kebutuhan peralatan survei hidrografi secara ideal guna dapat melaksanakan, khususnya
kegiatan survei dan pemetaan di seluruh wilayah Indonesia.
---------------
Kata Kunci: lingkungan strategis, hidrografi, pertahanan negara, dan poros maritim.
ABSTRACT
Challenging the geography aspect and vast of Indonesia territory, the implementation of hydrography
in order to support national defense to establish Indonesia maritime fulcrum vision can be realized
through the implementation of strategy , policies, and efforts that directed to promote the establishment
of a decentralized organization of Dishidros and ideally fulfillment of hydrographic survey equipment’s.
-------------
Keywords: hydrography, defense, and maritime fulcrum.
MARKAS BESAR ANGKATAN LAUT
DINAS HIDRO-OSEANOGRAFI
DAFTAR ISI
ISI HALAMAN
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang …………………………………….......................... 1
1.2 Rumusan Masalah …………………………………………………. 3
1.3 Tujuan ……………………………………………………………... 3
1.4 Manfaat ……………………………………………………………. 3
BAB II KERANGKA TEORI
2.1 Teori Kedaulatan Negara Atas Wilayah ………………………….. 4
2.2 Teori Penentuan Batas Laut dan Maritim ………………………… 4
2.3 Teori dan Praktek Penentuan Garis Batas Laut Maritim …………. 4
2.4 Prinsip Dasar Klaim ZEE dan Landas Kontinen …………………. 4
2.5 Prinsip Penetapan Batas Laut dan Maritim antar Negara ………… 5
2.6 Teori dan Prinsip Zonasi Maritim Berdasarkan UNCLOS 1982 … 5
2.7 Teori Organisasi ………………………………………………...... 6
BAB III METODELOGI PENELITIAN
3.1 Jenis dan Tipe …………………………………………………….. 8
3.2 Fokus Penelitian/Penulisan ……………………………………….. 9
3.3 Subyek Penelitian/Penulisan ……………………………………… 9
3.4 Pengumpulan Data dan Informasi ……………………………….... 10
3.5 Teknik Analisis Data dan Informasi ……………………………… 10
BAB IV PEMBAHASAN
4.1 Gambaran Umum Keadaan Laut dan Maritim Indonesia ………… 11
4.2 Peranan Hidrografi dalam Tata Kelola Keamanan Laut dan Maritim
Indonesia ………………………………………………………….. 12
4.2.1 Sentralisasi dan Fungsi Jamak ……………………………… 13
4.2.2 Dukungan Peralatan Survei Hidrografi …………………….. 13
4.3 Analisis …………………………………………………………… 13
4.3.1 Analisis Terhadap Sentralisasi dan Fungsi Jamak Dishidros... 13
4.3.2 Analisis Terhadap Dukungan Peralatan Survei Hidrografi….. 15
4.3.3 Implikasi …………………………………………………….. 16
4.4 Pembahasan ………………………………………………………. 17
4.4.1 Kebijakan …………………………………………………… 20
4.4.2 Strategi ……………………………………………………… 20
4.4.3 Upaya ……………………………………………………….. 21
BAB V KESIMPULAN
5.1 Kesimpulan ………………………………………………………. 22
5.2 Saran ……………………………………………………………... 22
MARKAS BESAR ANGKATAN LAUT
DINAS HIDRO-OSEANOGRAFI
DAFTAR GAMBAR
GAMBAR HALAMAN
2.1 Zona Maritim Berdasarkan UNCLOS 1982 …………………………………… 6
2.2 Pelaksanaan Survei dan Pemetaan TA. 2014 – 2015 …………………………... 14
DATA PRIBADI
NRP : 13445/P
NAMA : SUCIPTO
PANGKAT : MAYOR
KORPS : P
AGAMA : ISLAM
TEMPAT/TGL LAHIR : CIMAHI, 14 JULI 1974
JABATAN : MABESAL/DISHIDROS/SUBDISRAPLINGLA/SI
NAUTIKA/SUBSI BRANAUTIKA/KA
ALAMAT : KOMPLEK PERMANA INDAH JL. JANGKRIK I NO. 44
CITEUREUP CIMAHI
TLP : 081226663010/081573197004
E Mail : sucipto98@gmail.com
JAKARTA, 16 Juli 2016 SUCIPTO MAYOR LAUT (P) NRP.13445/P
IMPLEMENTASI HIDROGRAFI UNTUK MENDUKUNG PERTAHANAN NEGARA
DALAM RANGKA MEWUJUDKAN INDONESIA SEBAGAI
POROS MARITIM DUNIA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang.
Pembangunan kemaritiman di Indonesia saat ini telah memasuki babak baru dengan hadirnya
pemimpin dan pemerintahan dengan wawasan maritim, yang mengusung cita-cita besar untuk
menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia (maritime fulcrum). Konsep tersebut memiliki lima
pilar, sebagai berikut:1 (a) Indonesia akan membangun kembali budaya maritim. Dimana sebagai negara
yang terdiri dari ribuan pulau, bangsa Indonesia harus menyadari dan melihat dirinya sebagai bangsa
yang identitasnya, kemakmurannya, dan masa depannya sangat ditentukan oleh kemampuannya untuk
dapat mengelola samudera; (b) Indonesia akan menjaga dan mengelola sumber daya laut, dengan fokus
membangun kedaulatan pangan laut, melalui pengembangan industri perikanan, dengan menempatkan
nelayan sebagai pilar utama; (c) Indonesia akan memberi prioritas pada pengembangan infrastruktur dan
konektivitas maritim dengan membangun tol laut, deep sea port, logistik, industri perkapalan, serta
pariwisata maritim; (d) Indonesia akan melakukan kerjasama maritim melalui peningkatan kapasitas
diplomasi untuk menghilangkan sumber konflik di laut, seperti pencurian ikan, pelanggaran kedaulatan,
sengketa wilayah, perompakan, dan pencemaran laut, serta (e) Indonesia akan membangun kekuatan
pertahanan maritim, sebagai wujud tanggung jawab Indonesia dalam menjaga serta menjamin
keselamatan pelayaran dan keamanan maritim.
Mencermati dinamika perkembangan lingkungan strategis, dalam perspektif politik internasional
yang telah memprediksi abad-21 sebagai abad Pasifik, dan ditandai dengan terjadinya pergeseran geo-
politik, geo-strategis, dan geo-ekonomi dari kawasan Eropa (trans-Altantik) ke kawasan Asia Pasifik
(trans-Pasifik). Perkembangan dari kondisi tersebut telah menjadikan kawasan Asia Pasifik semakin
dinamis dalam rangka persaingan kepentingan negara-negara maju dan persaingan kepentingan negara-
negara di kawasan ini, yang berinter-relasi dengan kepentingan negara-negara pemangku kekuatan
global (major powers). Berkembangnya persaingan ekonomi yang diprediksi akan bermuara pada
kompetisi penguasaan sumber-sumber energi yang semakin terbatas, pada gilirannya dapat menjadi
faktor pemicu konflik di kawasan ini. Isu-isu kontemporer seperti globalisasi dan keamanan lintas batas
1 Pidato Presiden RI Joko Widodo pada 9th East Asia Summit, Plenary Seasons, Nay Pyi Taw, Myanmar, 13
November 2014, diakses pada tanggal 25 Juni 2016, Pukul 11.21 WIB, http://setkab.go.id/pidato-presiden-ri-joko-
widodo-pada-ktt-ke-9-asia-timur-di-nay-pyi-taw-myanmar-13-november-2014/
2
negara telah turut pula menambah kompleksitas dan dinamika lingkungan strategis di kawasan Asia
Pasifik. Kepentingan negara-negara di kawasan Asia Pasifik diprediksi akan lebih banyak muncul dan
berasal dari domain maritim, sehingga dinamika dan interaksi militer serta perkembangan kekuatan
militer di kawasan ini akan diletakkan pula dalam konteks tersebut. Dimensi maritim akan memberikan
banyak pilihan strategis bagi negara-negara di kawasan ini untuk memproyeksikan kemampuan
pertahanan mereka hingga ke luar batas teritori nasionalnya.
Lebih dari itu, pembangunan dan pengembangan kekuatan militer di kawasan ini juga dipicu oleh
isu perbatasan negara, sebagai isu yang sangat sensitif dalam percaturan dunia. Perlindungan Hukum
Internasional terhadap kedaulatan suatu negara di wilayah maritim tidaklah sama dengan perlindungan
kedaulatan di darat.2 Hukum internasional sama sekali tidak memberi toleransi pada intervensi atau
penetrasi militer asing terhadap negara lainnya,3 namun pelanggaran-pelanggaran wilayah laut dan/atau
maritim tidak mendapat perlindungan serupa dari PBB. Mengalir dari berbagai uraian di atas, berbagai
fakta empirik telah memperlihatkan bahwa tujuan setiap bangsa membentuk sistem pertahanan,
khususnya sistem pertahanan laut dan maritim, adalah untuk memberdayakan kekuatannya dalam rangka
melindungi kepentingan nasionalnya di laut. Oleh karenanya jika ditinjau dari perspektif pertahanan,
cita-cita besar untuk menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia, dapat dijadikan sebagai
momentum untuk membangun sistem pertahanan negara berbasis kemaritiman secara komprehensif, dan
tersebut sejalam dengan ayat (2) pasal 3; Undang-undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan
Negara yang menyatakan bahwa pertahanan negara disusun dengan memperhatikan kondisi geografis
Indonesia sebagai negara kepulauan.
Pemerintah melalui Peraturan Presiden Nomor 97 Tahun 2015 tentang Kebijakan Umum
Pertahanan Negara Tahun 2015-2019, telah menetapkan visi nasional untuk mewujudkan Indonesia yang
berdaulat, mandiri, dan berkepribadian berlandaskan gotong royong. Dimana untuk mewujudkan visi
tersebut, terdapat tujuh misi yang harus dilaksanakan oleh jajaran Kementerian Pertahanan dan
kementerian lainnya yang terkait dengan aspek pertahanan.4 Secara lugas, misi pembangunan pertahanan
negara memberikan titik berat pada pencapaian visi Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia, yakni
mewujudkan keamanan nasional yang menopang kemandirian ekonomi dengan mengamankan sumber
daya maritim dan mencerminkan kepribadian Indonesia sebagai negara kepulauan, memperkuat jati diri
2 Anwar, Dewi Fortuna. (2000). Wawasan Masa Depan Tentang Sishankamneg: Antara Harapan dan
Kemungkinan. Jakarta: The Habibie Center, hal 1. 3 Seperti dapat dilihat dari reaksi keras PBB terhadap tindakan pasukan perang Iraq di Kuwait, namun tidak
terhadap klaim China di Laut China Selatan. 4 Makajak: LKTI Prajurit/PNS TNI dan Masyarakat Umum Dalam Rangka Hari Hidrografi Dunia 2016. Jakarta:
Dishidros, hal 2.
3
sebagai negara maritim, dan mewujudkan Indonesia menjadi negara maritim yang mandiri, maju, kuat,
dan berbasiskan kepentingan nasional.5
Dihubungkan dengan masalah delimitasi atau penetapan perbatasan laut dan maritim yang
memiliki kompleksitas akibat rumitnya persoalan yang berhubungan dengan konvensi atau praktek-
praktek hukum internasional yang belum dapat digunakan untuk mendukung penyelesaian berbagai
kasus batas laut dan maritim. Dimana salah satu faktor yang mendorong kompleksitas penyelesaian
masalah perbatasan adalah adanya prinsip-prinsip hukum laut internasional tentang perjanjian batas
maritim antar negara bersifat final binding atau tidak dapat diubah, sehingga salah satu pihak tidak dapat
menuntut perubahan garis batas negara setelah batas negara tersebut disepakati. Hal tersebut pada
akhirnya mendorong banyak negara sangat berhati-hati dalam menyelesaikan permasalahan perbatasan
laut dan maritim. Berbagai kondisi yang telah diuraikan di atas, salah satunya akan bermuara pada
urgensi untuk mengimplementasikan hidrografi melalui pedekatan yang lebih komprehensif sebagai
salah satu acuan strategi dalam pengamanan wilayah laut nasional mendukung misi pembangunan
pertahanan negara pada pencapaian visi Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia.
1.2. Rumusan Masalah. Mencermati berbagai aspek yang berhubungan dengan eksistensi
potensi konflik di Laut China Selatan (South China Sea) yang terlait dengan klaim China atas Laut China
Selatan, dan putusan Mahkamah Arbitrase Internasional (12/07/2016) yang telah memutuskan bahwa
tidak ada dasar hukum apapun bagi China untuk mengklaim hak historis terkait sumber daya alam di
lautan yang disebut masuk di dalam sembilan garis batas (the nine dash lines) serta ketegangan antara
Indonesia dan China di Perairan Natuna (ZEEI) beberapa waktu lalu, maka rumusan masalahnya adalah
bagaimana dinamika kondisi lingkungan strategis yang terjadi dan cenderung untuk senantiasa
berfluktuasi tersebut dapat dijadikan sebagai momentum dan memberi dorongan kepada bangsa
Indonesia untuk mengimplementasikan hidrografi melalui pedekatan yang lebih komprehensif sebagai
salah satu acuan strategi dalam pengamanan wilayah laut nasional mendukung misi pembangunan
pertahanan negara pada pencapaian visi Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia.
1.3. Tujuan. Merujuk pada latar belakang dan rumusan masalah yang telah diuraikan
sebelumnya, tujuan dari penulisan karya tulis ilmiah ini memberikan deskripsi dan analisis untuk
mengimplementasikan hidrografi melalui pedekatan yang lebih komprehensif sebagai salah satu acuan
strategi dalam pengamanan wilayah laut nasional mendukung misi pembangunan pertahanan negara
pada pencapaian visi Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia.
5 Ibid.
4
1.4. Manfaat. Penulisan karya tulis ilmiah ini diharapkan dapat memberikan manfaat teoritis
untuk menambah khasanah keilmuan yang berhubungan dengan hidrografi di Indonesia.
Sedangkan secara praktis harapannya adalah dapat digunakan sebagai referensi akademis dan
masukan bagi para pemangku kewenangan bidang hidrografi di Indonesia.
5
BAB II
KERANGKA TEORI
2.1. Teori Kedaulatan Negara Atas Wilayah.6 Sebuah negara dikatakan merdeka hanya jika ia
dapat menjalankan apa yang disebut sebagai otoritas tertinggi dalam batas-batas wilayah. Kepemilikan
dan penguasaan wilayah kemudian menjadi syarat berdirinya suatu negara dalam interaksi politik antar
bangsa atau pergaulan internasional. Kedaulatan negara atas suatu wilayah merupakan salah satu prinsip
dasar bagi terciptanya hubungan internasional yang damai. Prinsip-prinsip kedaulatan negara bersifat
fundamental yang dapat diaktualisasikan dengan perkembangan kontemporer hukum Internasional
dewasa ini. Kedaulatan dapat dimaknai dengan pengertian yang dikandung oleh konsep domestic
jurisdiction. Klaim yurisdiksi nasional yang bersifat unilateral oleh masing-masing negara-negara dalam
sengketa perbatasan laut dan maritim dimaksud, telah mengakibatkan munculnya masalah perbatasan
laut dan maritim yang cukup rumit dan sulit untuk diselesaikan, karena masing-masing pihak
menggunakan argumen dan sudut pandang yang sangat berbeda.
2.2. Teori Penentuan Batas Laut dan Maritim. Untuk menentukan batas maritim suatu negara,
digunakan titik pangkal atau titik dasar maupun garis pangkal dengan memperhatikan kondisi pasang
surut kawasan tersebut. Letak titik pangkal atau titik dasar maupun garis pangkal tersebut akan selalu
dan harus berada pada air rendah. Pada peta laut, kedudukan air rendah digambarkan dengan garis
kedalaman nol meter dan selalu diberi warna hijau untuk daerah inter tidal (kawasan gerakan pasang
surut) sebagai referensi vertikal (vertical references), baik untuk peta darat maupun peta laut
menggunakan muka air laut (sea level).
2.3. Teori dan Praktek Penentuan Garis Perbatasan Wilayah Maritim. Perjanjian untuk
menentukan garis perbatasan wilayah maritim dengan negara lain, dilakukan dalam beberapa tahap, di
antaranya dengan menentukan titik dasar dan garis pangkal yang akan dipergunakan dalam penentuan
batas maritim tersebut. Pada prakteknya tidak semua titik dasar dan garis pangkal yang sudah ditentukan
oleh suatu negara dapat diterima oleh negara lain, sehingga perlu atau akan dibuat titik dasar dan garis
pangkal baru yang khusus berlaku untuk mendukung perjanjian dimaksud, yang masih harus
dirundingkan lebih intensif sesuai dengan tahapan agenda pembahasan dalam perundingan untuk
menentukan garis perbatasan wilayah maritim baik secara bilateral maupun trilateral.
6 Thantowi, Jawahir. (2006). Hukum Internasional Kontemporer. hal. 169-185.
6
2.4. Prinsip Dasar Klaim Zona Ekonomi Eksklusif dan Landas Kontinen. Antara klaim ZEE
dan Landas Kontinen dapat saling melengkapi sebagai dua konsepsi dalam penetapan batas klaim
yurisdiksi eksklusif. Di sisi lain, maka dalam penetapan delimitasi Landas Kontinen dan ZEE dapat
mempertimbangkan hasil-hasil konvensi maupun praktek-praktek yang berlaku (customary rules)
dengan memperhatikan berbagai hasil putusan International Court of Justice (ICJ), seperti halnya
keputusan ICJ terhadap kasus Landas Kontinen Laut Utara pada tahun 1965 (The North Sea Continental
Shelf Case 1965) antara Jerman dengan Denmark dan Jerman dengan Belanda ataupun keputusan ICJ
terhadap kasus Landas Kontinen Selat Channel pada tahun 1965 (The Channel Continental Shelf Case
1969), antara Inggris dengan Perancis, serta keputusan Mahkamah Arbitrase internasional terhadap kasus
klaim China atas Laut China Selatan antara China dengan Philippina pada tahun 2016 (South China Sea
Arbitration Case 2016)
2.5. Prinsip Penetapan Batas Laut dan Maritim Antar Negara. Penetapan batas wilayah suatu
negara yang berhadapan ataupun berdampingan harus dilakukan melalui suatu perjanjian yang bersifat
mengikat. Akan tetapi jika belum terdapat kesepakatan terhadap perbatasan wilayah suatu negara, maka
negara yang bersangkutan dapat melakukan persetujuan sementara (temporary agreement) baik berupa
penetapan Zona Pengembangan (Joint Development Zone, JDZ) maupun Zona Kerjasama (Joint
Cooperation Zone, JCZ). Selanjutnya, penetapan perbatasan laut dan maritim secara unilateral tersebut,
harus memperhatikan atau memiliki kewajiban terhadap hak-hak internasional, dengan kata lain tidak
boleh mengakibatkan terganggunya atau bahkan menghilangkan hak-hak masyarakat internasional.
Dalam kasus penetapan perbatasan laut dan maritim antara Indonesia dengan beberapa negara tetangga
secara unilateral, maka prinsip-prinsip penetapan perbatasan laut dan maritim antar negara tersebut dapat
digunakan sebagai bahan acuan dalam penyelesaian permasalahan perbatasan maritim melalui
perundingan. Selain itu, maka secara politis dan diplomatis, negara tetangga akan lebih mudah
mengetahui posisi Indonesia dalam rangka penyelesaian masalah perbatasan laut dan maritim.
2.6. Teori dan Prinsip Zonasi Maritim Berdasarkan UNCLOS 1982. The United Nations
Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) Tahun 1982, mengatur kewenangan suatu negara akan
laut. Disebutkan bahwa sebuah negara pantai (coastal state) berhak atas laut teritorial sejauh 12 mil laut,
zona tambahan sejauh 24 mil laut, zona ekonomi eksklusif sejauh 200 mil laut, dan landas kontinen
(dasar laut) sejauh 350 mil laut atau lebih (lihat Gambar 2.1).7 Selain itu diatur juga apa yang dimaksud
7 United Nations. (1982). United Nations Convention on the Law of the Sea, diakses pada tanggal 25 Juni 2016,
Pukul 15.35 WIB, http://www.un.org/Depts/los/convention_agreements/texts/unclos/unclos_e.pdf
7
laut bebas dan Kawasan (the Area). Lebar masingmasing zona ini diukur dari garis pangkal (baselines)
yang dalam keadaan biasa merupakan garis pantai saat air surut terendah.8
Gambar 2.1 Zona maritim berdasarkan UNCLOS. Diadaptasi dari Arsana dan Schofield (2009).9
2.7. Teori Organisasi. Teori organisasi adalah disiplin ilmu yang mempelajari struktur dan
perancangan (disain) organisasi.10 Teori ini menunjuk aspek-aspek deskriptif maupun preskriptif dari
disiplin ilmu tersebut, tentang bagaimana organisasi sebenarnya distruktur dan/atau dikonstruksi guna
meningkatkan efektifitasnya.11 Sedangkan organisasi itu sendiri dapat didefinisikan sebagai suatu
kesatuan atau entitas sosial yang dikoordinasikan dengan sebuah batasan yang secara relatif dapat
diidentifikasi untuk mencapai suatu tujuan bersama.12 Dari definisi tersebut, maka dapat ditarik suatu
pemahaman, bahwa secara garis besar organisasi dibentuk oleh tiga unsur utama, yaitu orang sebagai
8 Ibid, pasal 5. 9 I Made Andi Arsana. (2009) Berbagi Laut dengan Tetangga: Melihat Kasus Indonesia dan Malaysia di
Perairan Tanjung Brakit, diakses pada tanggal 25 Juni 2016, Pukul 09.25 WIB,
http://madeandi.staff.ugm.ac.id/files/berbagilaut-arsana.pdf 10 Robbins, Stephen P. (1983). Teori Organisasi: Struktur, Desain, dan Aplikasi. (Jusuf Udayana, Lic., Ec.,
Penerjemah), Jakarta: Penerbit Arcan, hal. 7. 11 Ibid, hal. 7. 12 Ibid, hal. 4.
8
entitas sosial, koordinasi atau kerjasama, dan tujuan bersama. Ketiganya merupakan unsur yang bersifat
interdependensi, namun memiliki interrelasi sebagai sebuah kesatuan. Dalam perjalanannya suatu
organisasi dapat dikembangkan, dimana proses pengembangannya dapat dipahami sebagai suatu proses
yang terencana untuk mengembangkan kemampuannya.13 Implementasi hidrografi untuk mendukung
pertahanan negara dalam rangka mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia, memiliki
keterkaitan dengan kebutuhan untuk senantiasa menyempurnakan dan/atau mengembangkan konsep
organisasi melalui penataan organisasi sebagai wujud dari proses adaptasi terhadap perkembangan
lingkungan strategis. Penataan organisasi dimaksud, secara prinsip akan membutuhkan beberapa hal
diantaranya: (a) kompetensi orang sebagai salah satu unsur di dalamnya, selaku pengawak organisasi;
(b) alat dan peralatan untuk mendukung peran dan fungsinya; serta (c) sinergitas berupa kerjasama
dengan berbagai instansi terkait lainnya, dalam rangka mengaktualisasikan visi dan misi organisasi.
13 McGill, Michael E. (1980). Buku Pedoman Pengembangan Organisasi, (Rochmulyati Hamzah, Penerjemah),
Jakarta: PT. Binaman Pressindo dan Institut Pendidikan dan Pembinaan Manajemen (IPPM), hal. 6.
9
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Jenis dan Tipe.
Penelitian merupakan kegiatan ilmiah yang bermaksud menerangkan kebenaran ilmiah. Pada
prinsipnya kegiatan penelitian dapat dilakukan melalui dua pendekatan, yaitu pendekatan kualitatif dan
pendekatan kuantitatif. Pendekatan yang digunakan dalam penulisan karya tulis ilmiah ini, adalah
pendekatan kualitatif deskriptif, yaitu pendekatan yang menghasilkan data dan/atau informasi yang
bersifat deskriptif yang digambarkan melalui data dan/atau informasi tertulis, lisan melalui orang-orang
(kompetensi individu yang terkait dengan subyek penelitian), serta pengamatan terhadap perilaku
organisasi. Berbeda dengan metode penelitian kuantitatif yang menekankan kepada cara berpikir
positivis dengan titik tolak fakta sosial yang ditarik dari realitas obyektif.14 Metode penelitian kualitatif
bertitik tolak dari paradigma fenomenologis yang obyektivitasnya dibangun atas rumusan tentang situasi
tertentu, sebagaimana yang dihayati oleh individu atau kelompok sosial tertentu dan relevan dengan
tujuan dari penelitian itu.15 Perbedaan lainnya terletak pada tujuan penelitian metode penelitian kualitatif
yang tidak selalu dilakukan untuk mencari suatu sebab akibat, tetapi lebih berupaya untuk memahami
situasi tertentu.16
Oleh karena itu, penelitian kuantitatif (dalam ilmu sosial) memiliki internal validity atau linking
power, sehingga harus ditafsirkan atau dipahami sebagai pendekatan akademik yang menekankan
keakuratan deskripsi pada setiap variabel dan keakuratan hubungan antara satu variabel dengan variabel
lainnya.17 Selanjutnya, beberapa alasan dari digunakannya metode pendekatan atau penelitian kuantitatif
ini antara lain adalah:
3.1.1 Penulis atau peneliti didorong untuk melakukan penelitian atau pembuktian secara
ilmiah, dengan membandingkan kesesuaian antara berbagai teori akademis terkait dengan
berbagai kondisi, temuan, fakta, maupun hasil studi di lapangan; dan
3.1.2 Penulis atau peneliti dapat mempercayai fenomena yang terjadi maupun fakta-fakta yang
ditemukannya dalam proses penelitian, sehingga memiliki netralitas dalam menyusun hasil
penelitiannya atau tidak memiliki apriori terhadap subyek penelitian.
14 Moleong, Lexy, J. (2007). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, hal. 2-6. 15 Ibid. 16 Ibid. 17 Krathwohl, David R. (1993). Methods of Educational and Social Science Research: An Integrated Approach
dalam Prasetya, Irawan, (2006). Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif untuk Ilmu-Ilmu Sosial, Jakarta: Departemen
Ilmu Administrasi FISIP-UI.
10
3.2. Fokus Penelitian/Penulisan.
Posisi geografis Indonesia sangatlah strategis, karena terletak dipersilangan dua samudera, Pasifik
dan Hindia, serta dua benua, Asia dan Australia. Selain memberikan competitive advantage, ternyata
juga menjadi daya tarik kepentingan global, yang jika tidak dapat dikelola dengan baik, akan dapat
menjadi sumber kerawanan dan ancaman, khususnya terhadap terhadap lingkungan hidup, sumber daya
alam, serta keamanan perairan yurisdiksi nasional Indonesia. Tata kelola keamanan laut di Indonesia saat
ini, dihadapkan pada kepentingan untuk mewujudkan visi dan misi Indonesia sebagai poros maritim
dunia akan berinterseksi dengan keterbatasan kemampuan dan kapasitas aset keamanan laut yang belum
sebanding dengan luasnya wilayah perairan, laut, dan maritim Indonesia, sehingga berpotensi
memunculkan berbagai kerawanan terhadap terjadinya pelanggaran kedaulatan dan hukum di seluruh
wilayah perairan yurisdiksi nasional Indonesia.
Salah satu aset keamanan laut dimaksud, adalah Dinas Hidro-Oseanografi (Dishidros) yang
merupakan Badan Pelaksana Pusat (Balakpus) Mabes TNI Angkatan Laut (Mabesal). Sebagaiman
disebutkan dalam Perpres RI Nomor 10 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi Tentara Nasional
Indonesia (Pasal 109), Dishidros bertugas sebagai pembina fungsi Hidro-Oseanografi (Hidros) dalam
rangka mendukung keselamatan navigasi di laut untuk kepentingan TNI, maupun kepentingan umum
(publik). Tugas tesebut meliputi aktivitas survei, pemetaan, penelitian, dan informasi kenautikaan, dalam
rangka mendukung keamanan dan keselamatan pelayaran di laut, baik bagi kepentingan TNI/TNI
Angkatan Laut maupun kepentingan umum (publik).
Tugas dan fungsi Dishidros, selanjutnya diarahkan untuk menghasilkan produk-produk berupa
peta laut dan buku-buku nautika, serta publikasi nautis lainnya. Kegiatan survei dan pemetaan hidrografi
memiliki nilai penting dan strategis untuk mendukung kepentingan aspek militer, maupun kepentingan
umum (nasional), utamanya demi terselenggaranya pembangunan sektor kelautan. Dalam
implementasinya, peran Dishidros sebagai lembaga hidrografi militer untuk mendukung fungsi
pertahanan dirasakan belum optimal. Oleh karenanya, fokus penelitian atau penulisan karya tulis Ilmiah
akan mendiskusikan dan mencoba mencari jawaban tentang urgensi dalam mengimplementasikan aspek
hidrografi untuk mendukung pertahanan negara dalam rangka mewujudkan Indonesia sebagai poros
maritim dunia
3.3. Subyek Penelitian/Penulisan. Subjek penelitian atau penulisan merupakan seseorang
atau sesuatu mengenai yang mengenainya ingin diperoleh keterangan.18 Sedangkan pendapat lainnya
18 Amirin, Tatang M. (986). Menyusun Rencana Penelitian. Jakarta: Penerbit Rajawali, hal. 111.
11
memberi batasan subjek penelitian atau penulisan sebagai benda, hal atau orang, tempat data untuk
variabel penelitian melekat, dan yang dipermasalahkan. Dalam sebuah penelitian, subjek penelitian atau
penulisan memiliki peran yang sangat strategis karena pada subjek penelitian atau penulisan, itulah data
tentang variabel yang penelitian akan diamati. Kesimpulan dari beberapa pendapat di atas adalah, bahwa
subjek penelitian atau penulisan dapat merupakan individu, benda, atau organisme yang bisa dijadikan
sebagai sumber informasi yang dibutuhkan dalam pengumpulan data penelitian atau penulisan. Pada
penelitian kualitatif, responden atau subjek penelitian disebut dengan istilah informan, yaitu orang
memberi informasi tentang data yang diinginkan peneliti berkaitan dengan penelitian yang sedang
dilaksanakannya. Lebih jauh lagi, subyek penelitian dalam penelitian kualitatif biasa disebut sebagai
situasi sosial yang terdiri atas tiga elemen, yaitu: (a) tempat (place); (b) pelaku (actors); dan aktivitas
(activity) yang berinteraksi secara sinergi. Dalam penulisan karya tulis ilmiah ini, subyek penelitian atau
penulisan yang dijadikan sebagai situasi sosial adalah aspek atau bidang yang memiliki hubungan atau
terkait dengan hidrografi. Peneliti dalam hal ini merupakan instrumen utama. Instrumen dalam penelitian
ini adalah lingkungan kemaritiman atau lebih tepatnya di lembaga, badan, atau institusi pemangku
kebijakan dan/atau kewenangan bidang hidrografi, utamanya yang berhubungan dengan aspek kelautan
serta keamanan laut dan maritim.
3.4. Pengumpulan Data dan Informasi. Dalam penulisan karya tulis ilmiah ini pengumpulan
datadan informasi dilakukan melalui dua kegiatan utama yaitu: (a) studi kepustakaan (litterature study)
yang dilakukan dengan cara membaca, mempelajari, dan membuat kesimpulan-kesimpulan dari berbagai
buku-buku cetak atau referensi digital yang berkaitan dengan penulisan karya tulis ilmiah ini untuk
mendapatkan berbagai teori maupun pemahaman akademik pendukung terhadap variabel yang diteliti;
dan (b) studi lapangan (field research) yang dilaksanakan dengan tujuan untuk membandingkan dan/atau
menguatkan temuan dan kesimpulan dari hasil studi kepustakaan. Kegiatan ini dilaksanakan dengan cara
atau teknik kegiatan wawancara (interview), pengamatan (observation), dan dokumentasi
(documentation).
3.5. Teknik Analisis Data dan Informasi. Teknik analisis yang digunakan untuk
menginterprestasikan dan menganalisis data dan/atau informasi dalam penulisan karya tulis ilmiah ini,
merujuk atau mengacu pada model interaktif yang dirumuskan dan dikembangkan oleh Miles dan
Huberman. Analisis model interaktif terdiri dari tiga alur kegiatan yang terjadi secara bersamaan yaitu
12
reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan atau verifikasi, dengan tujuan untuk
menyederhanakannya ke dalam bentuk yang mudah dimengerti agar dapat diambil suatu kesimpulan.19
19 Miles, Matthew B. dan Huberman, Michael A.. (1992). Analisis Data Kualitatif: Buku Tentang Sumber-sumber
Tentang Metode-metode Baru, Terjemahan dari Analyzing Qualitative Data: A Sourcer Book For New Methods.
Jakarta: Universitas Indonesia Press, hal. 14-6.
13
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1 Gambaran Umum Keamanan Laut dan Maritim Indonesia.
Pada masa lampau, penaklukan dan perluasan wilayah di daratan Eropa, Asia dan Afrika semasa
Imperium/Kekaisaran Romawi yang pada akhirnya berbenturan dengan Pemerintahan Kartago
(Phoenician) telah memicu terjadinya Perang Punisian (264 s.d 41 SM). Hegemoni kekuasaan Sparta
atas wilayah serta penduduk Athena dan sekitarnya surut, seiring dengan menguatnya perlawanan Thebe
terhadap Sparta pasca Perang Corinthian (379 SM) dan berakhir pada kekalahan Sparta dalam Perang
Peloponnesian (371 s.d 362 SM). Pertengahan abad ke-20, invasi Third Reich Jerman atas Polandia
(1939) telah memicu terjadinya Perang Dunia II (1939 s.d 1945). Selanjutnya, okupasi wilayah Palestina
oleh Israel, berakhir dengan terjadinya Perang Arab-Israel (1967). Berbagai catatan sejarah tentang
konflik-konflik tersebut di atas, kesemuanya memuat unsur-unsur konflik perbatasan negara. Ditinjau
dari konsep eksistensi kedaulatan sebuah negara, maka terdapat salah satu kualifikasi utama dalam
konsep eksistensi sebuah negara tersebut, yaitu memiliki batas-batas wilayah kedaulatan yang jelas.
Perjalanan panjang sejarah konflik perbatasan, bermuara pada besarnya perhatian dan
perlindungan yang diberikan oleh hukum internasional terhadap batas teritorial kedaulatan suatu negara,
di mana hukum tersebut sama sekali tidak memberikan toleransi pada intervensi atau penetrasi militer
asing terhadap teritorial negara lainnya di suatu wilayah kontinental. Berbanding terbalik dengan uraian
di atas, maka perlindungan hukum internasional terhadap batas teritorial kedaulatan suatu negara di
wilayah maritim tidaklah sama dengan perlindungan yang diberikan terhadap batas teritorial kedaulatan
di wilayah kontinental.20 Sebagaimana kita melihat perlindungan hukum internasional terhadap praktek
penguasaan laut oleh Tiongkok terhadap Laut China Selatan.21
Wilayah laut dan maritim Indonesia berbatasan dengan 10 negara, yang meliputi Batas Laut
Teritorial (BLT), Batas ZEE, Batas Landas Kontinen (BLK), Batas Zona Tambahan (BZT) dan Batas
Zona Perikanan Khusus (Special Fisheries Zone/SFZ, yaitu Australia, Papua Nugini, Palau, Philippina,
Malaysia, Vietnam, Singapura, Thailand, India dan Timor Leste. Terkait dengan ZEE, maka Indonesia
berbatasan dengan India, Singapura, Thailand, Malaysia, Philippina, Palau, Papua Nugini dan Timor
20 Khususnya yang terkait dengan batas eksplorasi wilayah laut. Lihat, Prof. (RIS) Dr. Dewi Fortuna Anwar, APU.
Wawasan Masa Depan Tentang Sishankamneg (5-10 Tahun ke Depan) Antara Harapan dan Kemungkinan.
Jakarta: LIPI, hal. 2. 21 Walaupun hasil keputusan Mahkamah Arbitrase Internasional yang telah diputuskan pada tanggal 12 Juli 2016,
terkait sengketa pulau antara Philippina dengan Tiongkok di kawasan Laut China Selatan dapat dijadikan sebagai
referensi hukum internasional, namun tidak serta merta dapat mengikat dan digunakan dunia internasional untuk
‘menghakimi’ Tiongkok, sebagaimana tindakan negara-negara koalisi terhadap Iraq atas invasi militer terhadap
wilayah darat Kuwait (2001).
14
Leste. Selanjutnya terkait dengan Landas Kontinen, maka Indonesia berbatasan dengan Vietnam,
Philippina, Palau dan Timor Leste. Sedangkan terkait dengan Laut Teritorial, maka Indonesia berbatasan
dengan Singapura, Malaysia dan Timor Leste. Sampai dengan saat ini seluruh perbatasan laut dan
maritim Indonesia tersebut belum seluruhnya dapat diselesaikan melalui meja perundingan.22
Persoalan perbatasan menyentuh dimensi yang beragam, mulai dari aspek teknis penetapan
perbatasan, legitimasi, hingga persoalan yang terjadi di kawasan perbatasan menyangkut seluruh aspek
kehidupan bangsa. Persoalan perbatasan tersebut tidak hanya menyangkut batas fisik yang telah
disepakati namun juga menyangkut cara hidup masyarakat di daerah tersebut. Beberapa persoalan pokok
yang berhubungan dengan wilayah perbatasan laut dan maritim Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI) dapat dikelompokkan ke dalam tiga aspek, yaitu demarkasi dan delimitasi garis batas, politik,
hukum dan keamanan serta masih terdapatnya celah kesenjangan pembangunan. Sedangkan ekses dari
persoalan pokok tersebut adalah rawan okupasi dan pengaruh Ipoleksosbud negara lain dalam konteks
ruang dan frontier, rawan akan kegiatan dan aktifitas illegal dan rawan tindak kejahatan yang
berhubungan dengan perompakan dan penyelundupan. Perkembangan lingkungan strategis saat ini
menuntut adanya kewaspadaan tinggi bagi Indonesia yang memiliki konstelasi geografis sebagai negara
kepulauan dengan wilayah yang sangat terbuka. Kurang optimalnya pemberdayaan dan pengamanan
wilayah perbataan laut, dapat mengarah pada hilangnya suatu wilayah, berupa bergesernya wilayah
peratasan laut dan pulau-pulau terdepan/terluat, baik hilang secara fisik, hilang karena status
kepemilikannya, hilang karena adanya penguasaan secara bertahap (effective occupation), maupun
hilang secara sosial-ekonomi.
4.2. Peranan Hidrografi dalam Tata kelola keamanan laut dan maritim di Indonesia.
Tata kelola keamanan laut dan maritim di Indonesia saat ini, dihadapkan pada kepentingan untuk
mewujudkan visi dan misi Indonesia sebagai poros maritim dunia akan bersinggungan atau memiliki
interseksi dengan keterbatasan kemampuan dan kapasitas aset keamanan laut yang tidak sebanding
dengan luasnya wilayah perairan, laut, dan maritim Indonesia, sehingga berpotensi memunculkan
berbagai kerawanan terhadap terjadinya pelanggaran kedaulatan dan hukum di seluruh wilayah perairan
yurisdiksi nasional Indonesia. Upaya untuk mewujudkan tata kelola keamanan laut dan maritim
Indonesia yang merupakan negara kepulauan tersebut, tidak dapat dilepaskan dari aspek hidrografi.
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, bahwa salah satu aset penting yang bernilai strategis dalam
tata kelola keamanan laut dan maritim Indonesia, adalah Dishidros yang mengemban peran dan fungsi
sebagai lembaga hidrografi militer dan nasional. Namun dalam implementasinya, peran Dishidros
22 Edy Presetyono, Ph.D. Masalah Perbatasan, Keamanan Maritim dan Pembangunan Kekuatan Maritim Yang
Komprehensif. Makalah Seminar Keamanan Maritim. Jakarta: Mabesal, 2008.
15
sebagai lembaga hidrografi militer untuk mendukung fungsi pertahanan dirasakan belum optimal. Hal
tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya:
4.2.1. Sentralisasi dan Fungsi Jamak. Dengan peran, fungsi, dan tugas bidang hidrografi
yang sangat kompleks, saat ini masih merupakan lembaga yang bersifat tersentralisasi sebagai
Badan Pelaksana Pusat (Balakpus) TNI Angkatan Laut yang berkedudukan langsung di
bawah Kepala Staf Angkatan Laut (Kasal) melalui kewasgiatan Staf Operasi Kasal (Sopsal). Lebih
dari itu, sebagai lembaga hidrografi, Dishidros memiliki fungsi jamak dengan tidak hanya
berfungsi sebagai lembaga hidrografi militer, namun sekaligus berfungsi sebagai lembaga
hidrografi nasional. Kondisi tersebut semakin kompleks manakala dukungan terhadap Dishodros
masih sangat terbatas, sehingga tidak dapat melaksanakan tugas, peran, dan fungsinya secara
optimal.
4.2.1. Dukungan Alat dan Peralatan Survey Hidrografi. Peran Dishidros sebagai lembaga
hidrografi militer dan nasional belum didukung kebutuhan peralatan yang memadai untuk dapat
menjalankan peran dan fungsinya secara maksimal. Dihadapkan kepada luasnya wilayah teritorial
dan perairan Indonesia dengan konstelasi geografis sebagai negara kepulauan, maka keterbatasan
peralatan hidrografi untuk mendukung kebutuhan survei, pemetaan, penelitian, dan informasi
kenautikaan dalam rangka menjamin keamanan serta keselamatan pelayaran merupakan salah satu
permasalahan yang memiliki urgensi untuk mendapatkan solusi pemecahan masalah.
4.3. Analisis.
4.3.1. Analisis Terhadap Sentralisasi dan Fungsi Jamak Dishidros.
Sebagaimana Keppres RI Nomor 164 Tahun 1960 tentang Penggabungan dua
Pejabatan/Kantor Hidrografi di Indonesia ke dalam satu organisasi Djawatan Hidrografi ALRI
(Djahidral), terdapat empat fungsi pokok yang melekat dengan tugas dan kewenangan Dishidros
saat ini. Adapun empat fungsi asasi yang melekat dengan tugas dan kewenangan yang diemban
Dishidros tersebut, adalah:
4.3.1.1. Melaksanakan survei dan pemetaan hidro-oseanografi dalam rangka
penerbitan, penyebarluasan, dan peremajaan seluruh informasi hidro-oseanografi yang
telah ada bagi kepentingan keselamatan pelayaran;
4.3.1.2. Melaksanakan survei dan pemetaan hidro-oseanografi dalam rangka
kegiatan pembangunan pelabuhan, pengawasan, dan pengendalian erosi pantai,
reklamasi pantai, pembangunan konstruksi di pantai, fasilitas budi daya laut serta proyek
pembangunan infrastruktur bagi kepentingan manajemen dan rekayasa wilayah pesisir;
16
4.3.1.3. Melaksanakan survei dan pemetaan hidro-oseanografi dalam rangka
kegiatan pembangunan peta dasar kelautan bagi kepentingan eksplorasi sumber daya di
laut; dan
4.3.1.4. Melaksanakan survei dan pemetaan hidro-oseanografi dalam rangka
kegiatan pembangunan peta dasar untuk kepentingan peperangan hidrografi, peperangan
kapal selam, peperangan anti kapal selam, dan operasi amfibi bagi kepentingan
pertahanan laut serta ilmu pengetahuan dan untuk kepentingan pembangunan lainnya.
Djahidral kemudian disempurnakan fungsi serta organisasinya menjadi Lembaga
Hidrografi ALRI pada tahun 1960, dan kembali bermetamorfosa menjadi Dinas Hidro-
Oseanografi TNI Angkatan Laut (Dishidrosal) di bawah kendali Mabes TNI Angkatan Laut
melalui Surat Keputusan Kasal Nomor Kep/20/VII/1997 tanggal 31 Juli 1997. Sebagai
Balakpus TNI Angkatan Laut, tugas Dishidros dalam menyelenggarakan pembinaan fungsi dan
pelaksanaan kegiatan hidro-oseanografi yang meliputi survei, penelitian, pemetaan laut, publikasi,
penerapan lingkungan laut, dan keselamatan navigasi pelayaran; baik untuk kepentingan TNI, jika
dihadapkan pada luasnya wilayah perairan Indonesia dengan berbagai permasalahan tata kelola
keamanan laut dan maritim di Indonesia serta dinamika perkembangan lingkungan strategis yang
sangat kompleks dan bersifat fluktuatif, tentunya sangat kurang memadai, sehingga tidak dapat
melaksanakan tugas, peran, dan fungsinya secara optimal.
Gambar 2.2 Pelaksanaan Survei dan Pemetaan TA. 2014 – 2015. (Sumber: Dishidros).
Seperti dapat dilihat pada gambar 4.1 di atas, dengan harus membagi fungsi dalam
melaksanakan kegiatan survey dan pemetaan sebagai lembaga hidrografi militer dan nasional;
serta dilakukan secara terpusat, maka dapat dipastikan tidak akanmampu melaksanakan tugas,
2014 PROGRAM APBN19%
2014 PROGRAM KEMENKOKESRA
1%
2014 PROGRAM MABES TNI
2% 2014 PROGRAM PIHAK III
3%
2014 PROGRAM PNBP11%
2015 PROGRAM APBN31%
2015 PROGRAM MABES TNI
2%
2015 PROGRAM PIHAK III
6%
2015 PROGRAM PNBP25%
17
peran, dan fungsinya secara optimal, utamanya untuk mendukung misi pembangunan pertahanan
negara pada pencapaian visi Indonesia sebagai poros maritim dunia.
4.3.2. Analisis Terhadap Dukungan Alat dan Peralatan Survei Hidrografi.
Untuk mendukung kebutuhan pengumpulan data dan informasi hidro-oseanografi secara
lengkap dari seluruh wilayah perairan Indonesia, terdapat kebutuhan peralatan hidrografi guna
mendukung kebutuhan survei, pemetaan, penelitian, dan informasi kenautikaan. Berbagai
peralatan tersebut yang mutlak dibutuhkan. Namun berbagai kebutuhan alat dan peralatan yang
diperlukan tersebut, belum dapat dipenuhi. Beberapa kapal hidro-oseanografi yang dimiliki dan
digunakan saat ini umurnya sudah tergolong tua dengan kemampuan terbatas. Kapal-kapal hidro-
oseanografi tersebut, diantaranya adalah KRI Dewa Kembar - 932 yang dibangun tahun 1960 dan
KRI Leuser - 924 tahun 2002, serta tiga buah kapal survei pantai yakni KRI Pulau Rote - 721, KRI
Pulau Romang - 723, dan KRI Pulau Rempang - 729, eks Jerman Timur yang dibangun tahun
1970-an, serta dua kapal latih yang dapat difungsikan untuk melaksankan kegiatan survei terbatas,
yaitu KAL Aries – 0101, eks Rusia yang dibangun tahun 1960 dan KAL Vega - 0102 yang
dibangun tahun 2007 oleh Fasharkan Jakarta.23 Dengan hadirnya kapal jenis Oceanographic
Offshore Support Vessel (OSV), yakni KRI Rigel - 933 dan KRI Spica - 934, tidak serta merta
dapat menambah kemampuan hidro-oseanografi, karena hanya merupakan salah satu upaya untuk
menggantikan secara bertahap beberapa kapal hidro-oseanografi yang umurnya sudah tergolong
tua dengan kemampuan terbatas.
Hanya dengan dua kapal jenis OSV, yakni KRI Rigel - 933 dan KRI Spica - 934 yang
secara asasi merupakan kapal survei dengan teknologi canggih di kelasnya saat ini, ditambah
dengan kapal-kapal dengan faktor usia dan standar kualifikasi kapal BHO terbatas lainnya, yakni
KRI DKB - 932 belum mampu untuk mendukung kegiatan survei secara maksimal sekalipun telah
dilakukan revitalisasi kemampuannya. Sedangkan unsur BHO lainnya merupakan alut alih fungsi
yang terdiri dari satu jenis kapal Tunda Samudera (TDS), yakni KRI LSR - 923 dan tiga jenis
Condor atau kapal penyapu ranjau, yakni KRI PRO - 721, KRI PRN - 723, dan KRI PRM - 729,
yang secara asasi bukan merupakan kapal survei, sehingga tidak dapat melakukan kegiatan survei
secara maksimum. Memperhatikan kondisi unsur-unsur BHO tersebut, kegiatan survei hidro-
oseanografi tidak dapat dilaksanakan secara optmal. Oleh karenanya, sebagaiman diutarakan oleh
Kasal, Laksamana TNI Ade Supandi, setidaknya TNI Angkatan Laut masih membutuhkan empat
23 Dishidrosal, 2010, Peran Strategis Dinas Hidro-Oseanografi Angakatan Laut Sebagai Lembaga Hidrografi Nasional, Jakarta: Dishidros, hal.19
18
KRI kelas Rigel/Spica, khususnya untuk melakukan penguatan aktivitas kemaritiman dalam
rangka mendukung upaya menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia.24
Demikian pula halnya dengan unit survei hidro-oseanografi (survei pesisir) yang
memiliki kemampuan sama dengan tim survei yang menggunakan unsur-unsur KRI. Satu tim unit
survei hidro-oseanografi berjumlah 15 personel dengan fungsi melaksanakan berbagai kegiatan
survei, khususnya di wilayah pesisir dan pantai yang pada prinsipnya sulit dijangkau oleh unsur
KRI. Jumlah unit survei ini sangat kurang dihadapkan dengan wilayah laut dan maritim yang
begitu luas. Kondisi tersebut semakin kompleks, ketika faktor keterkinian teknologi menjadi salah
satu titik kunci kegiatan survei, pemetaan, penelitian, dan informasi kenautikaan. Kemampuan
peralatan survei dan pemetaan yang dimiliki Dishidros saat ini, meskipun sudah mulai
mengadaptasi konsep keterkinian teknologi survei dan pemetaan. Namun secara kuantitas maupun
kualitas masih sangat kurang untuk dapat secara maksimal mendukung pelaksanaan berbagai
aktivitas atau kegiatan survei, pemetaan, dan penelitian hidrografi. Peralatan Dishidros yang ada
dan dimiliki baru mampu mendukung sebagian kecil kebutuhan kegiatan survei secara bersamaan,
baik dengan menggunakan unsur KRI maupun terhadap beberapa tim unit survei yang dimiliki.
4.3.3. Implikasi.
Implikasi belum optimalnya peran hidrografi untuk mendukung pertahanan negara,
adalah:
4.3.3.1 Jika organisasi Dishidros tidak dikembangkan guna mendesentralisasi
peran dan fungsinya yang bersifat sentralistik saat ini, maka upaya untuk mendukung
misi pembangunan pertahanan negara pada pencapaian visi Indonesia sebagai poros
maritim dunia akan sulit diwujudkan; dan
4.3.3.2 Melaksanakan survei dan pemetaan hidro-oseanografi dalam rangka
kegiatan pembangunan pelabuhan, pengawasan, dan pengendalian erosi pantai,
reklamasi pantai, pembangunan konstruksi di pantai, fasilitas budi daya laut serta proyek
pembangunan infrastruktur bagi kepentingan manajemen dan rekayasa wilayah pesisir.
Sedangkan implikasi dari belum optimalnya peran hidrografi dalam rangka mewujudkan
Indonesia sebagai poros maritim dunia, adalah jika terjadi inkonsistensi terhadap fungsi jamak dan
ketidakmampuan menjaga komitmen untuk membagi peran secara seimbang dan proporsional
yang berhubungan dengan peran Dishidros sebagai lembaga hidrografi nasional, maupun sebagai
24 KRI Rigel 933 dan KRI Spica 934 Resmi Perkuat TNI AL, Epicentrum Magazine: Forum Militer,
http://epicentrum.my.id/indonesia-defense/kri-rigel-933-kri-spica-934-resmi-perkuat-tni-al/,diakses pada tanggal
11 Juli 2016, pukul 20.55.
19
lembaga hidrografi militer akan membuatnya sulit dalam mengembangkan kerjasama dengan
berbagai instansi terkait pada tataran global maupun domestik. Kondisi tersebut semakin
kompleks dengan terbatasnya dukungan terhadap tugas, peran, dan fungsi Dishidros yang sangat
penting, khususnya yang ditujukan untuk menjamin keamanan dan keselamatan pelayaran di
segenap wilayah perairan Indonesia. Tidak dapat terjaminnya keamanan dan keselamatan
pelayaran di segenap wilayah perairan Indonesia tersebut, pada gilirannya dapat menjadi
hambatan dan kendala serta kontra produktif dengan ambisi besar dan kebijakan pemerintah saat
ini untuk menjadikan Indonesia dalam konteks kemaritiman, sebagai poros maritim dunia.
4.4. Pembahasan.
United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982 yang telah diratifikasi oleh
Pemerintah melalui Undang-undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan
Bangsa Bangsa Tentang Hukum Laut, berimplikasi terhadap kegiatan survei dan pemetaan Hidro-
oseanografi berupa diperlukannya peta-peta yang berkaitan dengan penegasan batas wilayah antar
negara, batas wilayah Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI), batas landas kontinen, Alur Laut
Kepulauan Indonesia (ALKI), dan pendataan lainnya yang berkaitan dengan konsekuensi Indonesia
sebagai negara kepulauan (Achipelagic State). Kaitannya dengan perkembangan teknologi, khususnya
teknologi survei dan pemetaan hidro-oseanografi yang begitu pesat sejalan dengan perkembangan
teknologi di bidang telekomunikasi, komputer, elektronika, dan informatika. Teknologi maju di bidang
survei dan pemetaan tersebut tentrunya berpengaruh terhadap metodologi dan cara kerja baik dalam
perolehan, pemrosesan, penyajian, dan desiminasi data.
Sejak teknologi pemetaan memasuki era digital, IMO mensyaratkan produk standard peta digital
yang digunakan untuk kapal-kapal berupa, Electronic navigational Chart (ENC) dan Electronic Chart
Display and Information System (ECDIS). Sejalan dengan hal tersebut, standard produksi peta digital
juga telah ditetapkan oleh IHO melalui Specification for Chart Content and Display Aspects of ECDIS
(IHO SP – 52) serta Transfer Standard for Hydrographic Digital Data (IHO SP - 57, Third Edition).
Bersamaan dengan perkembangan teknologi maju di bidang produksi peta digital, GIS dan teknologi
geospasial juga berkembang dengan pesat hampir di semua sektor kegiatan terutama bidang survei dan
pemetaan. Dasar ilmu dan model berkaitan dengan geodesi, fotogrametri, topologi, polygon overlay,
routing, dan lainnya masih belum banyak berubah sejak 1960-an, namun yang berkembang adalah
algoritma dan teknologi yang digunakan untuk kemampuan implementasinya. Beberapa negara besar
telah mengembangkan teknologi ini dengan sangat pesat sebagaimana integrated data spasial baik yang
berbasis pada data citra satelit maupun data-data pendukung lainnya untuk melengkapi sistem informasi
geospasialnya yang berbasis Geographic Information System (GIS). Tuntutan terhadap kualitas produksi
20
survei dan pemetaan hidro-oseanografi secara digital yang harus memenuhi persyaratan baku
internasional yang ditetapkan oleh IHO agar dapat digunakan oleh masyarakat internasiona tersebut, dan
sejalan dengan tuntutan keselamatan navigasi serta kebutuhan dalam hal environmental protection ini,
merupakan salah satu faktor kunci untuk dapat mengimplementasikan hidrografi guna mendukung
pertahanan negara dalam rangka mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia.
Pada saat bersamaan, pembangunan kelautan dan kemaritiman di Indonesia saat ini telah
memasuki babak baru dengan hadirnya pemimpin berwawasan maritim yang mengusung cita-cita besar
menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia. Sejalan dengan cita-cita tersebut, terdapat fenomena
tentang peningkatan aktifitas pemetaan wilayah laut oleh beberapa instansi pemerintah di luar Dishidros,
seperti yang dilakukan oleh BPPT, LIPI, BIG, DKP, DEPHUB, dan berbagai instansi lainnya. Kondisi
tersebut tentunya menjadi indikasi keterbatasan Dishidros yang merupakan lembaga resmi nasional di
bidang hidrografi, dengan fungsi jamak tidak hanya sebagai lembaga hidrografi militer, namun juga
merupakan lembaga hidrografi nasional. Dimana salah satu tugasnya adalah melaksanakan aktivitas
pemetaan wilayah laut. Aktivitas pemetaan wilayah laut yang melingkupi seluruh perairan Indonesia,
dihadapkan dengan upaya membangkitkan aktivitas kemaritiman di Indonesia secara signifikan
diantaranya dilaksanakan melalui kegiatan pemetaan wilayah baru atau updating peta yang sudah ada.
Kaitannya dengan peningkatan aktifitas pemetaan wilayah laut oleh beberapa instansi pemerintah di luar
Dishidros, maka apabila prestasi pemetaan laut Indonesia yang dikelola Dishidros saat ini dinilai tidak
dapat mengimbangi atau tidak dapat mendukung cita-cita untuk menjadikan Indonesia sebagai poros
maritim dunia, maka bukan merupakan sebuah kemustahilan jika salah satu instansi pemerintah di luar
Dishidros yang telah disebutkan di atas memiliki kemungkinan dan peluang serta ditunjuk untuk
menggantikan peran dan fungsi Dishidros sebagai lembaga hidrografi nasional dan menjadikan
Dishidros hanya sebagai lembaga hidrografi militer semata.
Di sisi lain, pasca Reformasi 1998 tuntutan terhadap perimbangan antara pusat dan daerah menjadi
salah satu agenda reformasi itu sendiri. Dalam perkembangannya, melalui Ketetapan MPR RI Nomor
XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Pengaturan, pembagian, dan Pemanfaatan
Sumber Daya Nasional yg Berkeadilan, serta perimbangan keuangan Pusat dan Daerah dalam Kerangka
NKRI, yang kemudian didukung oleh Ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi
Kebijakan dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah, pada gilirannya menjadi salah satu dasar penetapan
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang selanjutnya diikuti dengan
diterbitkannya Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, serta disahkannya Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang pemerintah daerah (sebagai revisi atas Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004).
21
Berbagai regulasi di atas, secara langsung maupun tidak langsung memiliki dampak terhadap kebijakan
survei dan pemetaan Hidro-Oseanografi berupa perubahan kuantitatif dan kaualitatif instansi-instansi
teknis di pusat yang selama ini menangani kegiatan survei dan pemetaan. Di sisi lain organisasi Dishidros
yang bersifat terpusat atau tersentralisasi pada satu titik tentunya menjadikan pelaksanaan tugas dan
peran Dishidros sebagai lembaga hidrografi nasional untuk dapat mengimbangi perkembangan atau
dinamika yang berhubungan dengan perkembangan kebutuhan sebagai hasil dari implementasi otonomi
daerah menjadi sulit untuk dilaksanakan. Hal tersebut juga sangat terkait dengan peningkatan laju
pembangunan di daerah, dimana salah satunya adalah pembangunan bidang atau sektor kelautan dan
kemaritiman yang tentunya memerlukan dukungan kegiatan survei dan pemetaan Hidro-Oseanografi.
Merujuk dari berbagai kompleksitas di atas, adalah harapan kita semua sebagai solusi
permasalahan yang ada, bahwa ke depan dalam rangka mendukung kebutuhan pengumpulan data dan
informasi hidro-oseanografi secara lengkap dari seluruh wilayah perairan Indonesia, seluruh kebutuhan
peralatan hidrografi guna melaksanakan kebutuhan survei, pemetaan, penelitian, dan informasi
kenautikaan diharapkan dapat terdukung, lebih dari yang telah dimiliki saat ini, baik secara kuantitas
maupun kualitasnya. Demikian pula dengan organisasi Dishidros yang bersifat terpusat atau
tersentralisasi pada satu titik, diharapkan dapat didesentralisasi melalui pembentukan dinas-dinas
hidrografi pada tingkat Kotama, bahkan Lantamal. Melalui upaya tersebut diharapkan pelaksanaan tugas
dan peran Dishidros sebagai lembaga hidrografi nasional yang ideal, maupun untuk mengoptimalkan
peran hidrografi guna mendukung pertahanan negara, dapat secara realistis diwujudkan. Sebagaimana
telah dijabarkan dalam teori organisasi, maka perumusan serta penyusunan strategi serta kebijakan yang
tepat dalam mengimplementasikan hidrografi guna mendukung pertahanan negara dalam rangka
mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia, akan sangat memiliki keterkaitan dengan
kebutuhan untuk senantiasa menyempurnakan dan/atau mengembangkan konsep organisasi sebagai
wujud dari proses adaptasi terhadap perkembangan lingkungan strategis yang berhubungan dengan
terjadinya paradigma baru pada bidang pertahanan atau keamanan nasional dalam konteks luas.
Harapan untuk dapat mendesentralisasi organisasi Dishidros, tentunya memiliki konsekuensi logis
berupa perubahan atau validasi organisasi Dishidros dengan kewenangan maupun struktur organisasi
yang lebih besar dan luas dari yang disandangnya saat ini. Lebih dari itu, maka kebutuhan untuk
mengoptimalkan peran Dishidros sebagai lembaga hidrografi nasional melalui penataan organisasi
dimaksud (desentralisasi), tentunya akan membutuhkan: (a) kompetensi orang sebagai salah satu unsur
di dalamnya, selaku pengawak organisasi; (b) alat dan peralatan untuk mendukung peran dan fungsinya;
serta (c) sinergi berupa kerjasama dengan berbagai instansi terkait lainnya, dalam rangka
mengaktualisasikan visi dan misi organisasi. Oleh karenanya konsekuensi logis tersebut akan berdampak
pula kepada kebutuhan anggaran, infrastruktur, SDM, dan lain sebagainya. Dimana pada akhirnya,
22
hidrografi guna mendukung pertahanan negara dalam rangka mewujudkan Indonesia sebagai poros
maritim dunia akan dapat diimplementasikan apabila organisasi Dishidros dapat didesentralisasi dan
peran Dishidros sebagai lembaga hidrografi nasional dapat didukung secara simetris atau linear dengan
berbagai peralatan pokok yang diperlukan untuk melaksanakan berbagai kegiatan survei, pemetaan,
penelitian, dan informasi kenautikaan, maka keamanan dan keselamatan (navigasi) pelayaran disegenap
wilayah perairan Indonesia akan semakin terjamin. Selanjutnya, sebagai pemecahan masalah untuk
mengimplementasikan hidrografi guna mendukung pertahanan negara dalam rangka mewujudkan
Indonesia sebagai poros maritim dunia perlu kiranya dirumuskan, serta disusun kebijakan dan
strategi sebagai berikut:
4.4.1 Kebijakan. Dinamika perkembangan lingkungna strategis yang bersifat sangat
dinamis serta senantiasa berfluktuasi, memberikan tantangan tersendiri untuk
mengimplementasikan hidrografi guna mendukung pertahanan negara dalam rangka
mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia. Untuk itu perlu dirumuskan suatu
kebijakan yaitu:
“Terimplementasikannya hidrografi melalui terdesentralisasinya organisasi Dishidros dan
pemenuhan kebutuhan peralatan survei hidrografi guna mendukung pertahanan negara dalam
rangka mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia“.
4.4.2 Strategi. Kebijakan yang telah ditetapkan, selanjutnya perlu dijabarkan ke dalam
suatu rumusan strategi yang tepat. Strategi-strategi tersebut merupakan tindak lanjut kebijakan
yang telah dirumuskan, diwujudkan melalui suatu langkah atau cara (ways) menggunakan daya,
dana, sarana, dan prasarana (means) dalam mencapai sasaran (ends) dengan mengatur skala
prioritas terhadap sasaran yang ingin dicapai. Mengalir dari uraian di atas, maka strategi yang
dapat menjadi acuan dalam mengimplementasikan hidrografi guna mendukung pertahanan negara
dalam rangka mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia, secara garis besar
adalah:
4.4.2.1 Mendorong terwujudnya desentralisasi organisasi Dishidros TNI Angkatan
Laut melalui penyusunan suatu naskah akademik secara komprehensif tentang
kepentingan Dishidros sebagai leading sector bidang hidrografi militer dan nasional
guna memenuhi tuntutan kebutuhan pelaksanaan operasi militer, meningkatnya
pembangunan di daerah, utamanya guna menjamin keamanan dan keselamatan
pelayaran di seluruh wilayah perairan Indonesia, dalam rangka mengimplementasikan
23
hidrografi guna mendukung pertahanan negara dalam rangka mewujudkan
Indonesia sebagai poros maritim dunia; dan
4.4.2.2 Memenuhi kebutuhan peralatan survei hidrografi secara ideal untuk dapat
melaksanakan, khususnya kegiatan survei dan pemetaan di seluruh wilayah perairan
Indonesia melalui penyusunan perencanaan strategis (Renstra) yang bersifat jangka
pendek, jangka sedang, dan jangka panjang serta melaksanakannya secara konsisten
dengan dilandasi komitmen yang tinggi dan berintegritas untuk menjamin keamanan dan
keselamatan pelayaran guna mengimplementasikan hidrografi guna mendukung
pertahanan negara dalam rangka mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim
dunia.
4.4.3 Upaya. Untuk mewujudkan serta mengimplementasikan beberapa strategi di atas,
perlu adanya penjabaran yang merupakan cara atau tindakan nyata yang berisi siapa yang berbuat
(subjek), terhadap apa (objek), dan dengan cara apa (metode), dalam bentuk upaya-upaya berupa
perumusan regulasi dan/atau kebijakan bidang hidrografi terkait dalam rangka penyempurnaan
maupun untuk melengkapinya melaksanakan berbagai proses edukasi SDM bidang dirografi
dalam rangka peningkatan kompetensi dan pembangunan human capital hidrografi Indonesia,
melaksanakan validasi organisasi Dishidros agar dapat mewujudkan desentralisasi organisasi
sesuai dengan kebutuhan, mendorong dan menjalin kerjasama yang bersifat sinergi dengan
berbagai lembaga atau institusi terkait baik pada tataran nasional maupun internasional, serta
melaksanakan berbagai sosialisasi guna mengimplementasikan hidrografi guna mendukung
pertahanan negara dalam rangka mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia.
24
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan.
5.1.1 Implementasi hidrografi melalui pedekatan yang lebih komprehensif merupakan salah
satu acuan strategi dalam pengamanan wilayah laut nasional guna mendukung misi pembangunan
pertahanan negara pada pencapaian visi Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia.
5.1.2 Implementasi hidrografi guna mendukung pertahanan negara dalam rangka
mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia dapat diwujudkan melalui penerapan
strategui, kebijakan, dan upaya yang diarahkan untuk mendorong terwujudnya desentralisasi
organisasi Dishidros TNI Angkatan Laut dan pemenuhan kebutuhan peralatan survei hidrografi
secara ideal guna dapat melaksanakan, khususnya kegiatan survei dan pemetaan di seluruh
wilayah perairan Indonesia.
5.2. Saran.
5.2.1 Untuk dapat merealisasikan mengimplementasikan hidrografi guna mendukung
pertahanan negara dalam rangka mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia,
utamanya guna mengoptimalkan peran hidrografi untuk mendukung pertahanan negara adalah
dengan membentuk Kelompok Kerja (Pokja) di lingkungan TNI Angkatan Laut untuk mengkaji
dan menghasilkan produk kajian akademik yang berfokus kepada perluasan peran dan
kewenangan Dishidros secara komprehensif dengan menjadikannya sebagai Badan Hidrografi
Nasional.
5.2.2 Fase awal untuk dapat mewujudkan Dishidros sebagai Badan Hidrografi Nasional adalah
dengan meningkatkan status organisasi Dishidros sebagai Balakpus Mabesal, yang setara dengan
Kotama (Seskoal dan/atau AAL) serta dipimpin oleh Perwira Tinggi TNI Angkatan Laut
berpangkat Laksamana Muda TNI.
Demikian karya tulis ilmiah ini dibuat untuk dilombakan pada Lomba Karya Tulis Ilmiah/LKTI,
yang diperuntukkan bagi kalangan militer/PNS TNI dan masyarakat umum guna memperingati Hari
Hidrografi Dunia (World Hydrography Day), dalam rangka memberikan masukan tentang penguatan
fungsi Lembaga Hidrografi di Indonesia khususnya Dishidros TNI Angkatan Laut, agar tercapai optimasi
pelayanan hidrografi di Indonesia sesuai dengan yang diamanahkan dalam National Maritime Policies
and Hydrographic Services, International Hydrographic Bureau tahun 2004, yaitu mendukung
25
kepentingan perlindungan lingkungan laut, keselamatan bernavigasi di laut, pertahanan laut, maupun
topik lain yang sedang mengemuka saat ini, yakni keamanan maritim dan penetapan batas maritim antar
negara.
Jakarta, 17 Juli 2016
Penulis,
Sucipto, A.Md.
Mayor Laut (P) NRP 13445/P
26
DAFTAR PUSTAKA
1. Buku atau Barang Cetakan.
Anwar, Dewi Fortuna. (2000). Wawasan Masa Depan Tentang Sishankamneg: Antara Harapan
dan Kemungkinan. Jakarta: The Habibie Center.
Amirin, Tatang M. (986). Menyusun Rencana Penelitian. Jakarta: Penerbit Rajawali.
Krathwohl, David R. (1993). Methods of Educational and Social Science Research: An Integrated
Approach dalam Prasetya, Irawan, (2006). Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif untuk Ilmu-
Ilmu Sosial, Jakarta: Departemen Ilmu Administrasi FISIP-UI.
McGill, Michael E. (1980). Buku Pedoman Pengembangan Organisasi, (Rochmulyati Hamzah,
Penerjemah), Jakarta: PT. Binaman Pressindo dan Institut Pendidikan dan Pembinaan
Manajemen (IPPM).
Miles, Matthew B. dan Huberman, Michael A.. (1992). Analisis Data Kualitatif: Buku Tentang
Sumber-sumber Tentang Metode-metode Baru, Terjemahan dari Analyzing Qualitative
Data: A Sourcer Book For New Methods. Jakarta: Universitas Indonesia Press.
Moleong, Lexy, J. (2007). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Robbins, Stephen P. (1983). Teori Organisasi: Struktur, Desain, dan Aplikasi. (Jusuf Udayana,
Lic., Ec., Penerjemah), Jakarta: Penerbit Arcan.
Thantowi, Jawahir. (2006). Hukum Internasional Kontemporer.
2. Makalah atau Sumber/Referensi Ilmiah Lainnya.
a. Edy Presetyono, Ph.D. Masalah Perbatasan, Keamanan Maritim dan Pembangunan
Kekuatan Maritim Yang Komprehensif. Makalah Seminar Keamanan Maritim. Jakarta: Mabesal,
2008.
b. Makajak: LKTI Prajurit/PNS TNI dan Masyarakat Umum Dalam Rangka Hari Hidrografi
Dunia 2016. Jakarta: Dishidros.
c. Prof. (RIS) Dr. Dewi Fortuna Anwar, APU. Wawasan Masa Depan Tentang Sishankamneg
(5-10 Tahun ke Depan) Antara Harapan dan Kemungkinan. Jakarta: LIPI.
3. Internet.
a. I Made Andi Arsana. (2009) Berbagi Laut dengan Tetangga: Melihat Kasus Indonesia dan
Malaysia di Perairan Tanjung Brakit, diakses pada tanggal 25 Juni 2016, Pukul 09.25 WIB,
http://madeandi.staff.ugm.ac.id/files/berbagilaut-arsana.pdf
b. Pidato Presiden RI Joko Widodo pada 9th East Asia Summit, Plenary Seasons, Nay Pyi
Taw, Myanmar,m13 November 2014, diakses pada tanggal 25 Juni 2016, Pukul 11.21 WIB,
http://setkab.go.id/pidato-presiden-ri-joko-widodo-pada-ktt-ke-9-asia-timur-di-nay-pyi-
taw-myanmar-13-november-2014/
c. United Nations. (1982). United Nations Convention on the Law of the Sea, diakses pada
tanggal 25 Juni 2016, Pukul 15.35 WIB,
http://www.un.org/Depts/los/convention_agreements/texts/unclos/unclos_e.pdf
top related