ilmu kesehatan Masyarakat pbl
Post on 14-Feb-2015
92 Views
Preview:
DESCRIPTION
Transcript
KESEHATAN DAN KESELAMATAN KERJA
NOFRIS MANTO
102008170
Fakultas Kedokteran UKRIDA Jakarta 2012
Jl. Arjuna Utara No.6 Jakarta Barat 11510
Email : nofriz_xfile@yahoo.com
Skenario 1
PENDAHULUAN
Di era globalisasi menuntut pelaksanaan kesehatan dan kesalamatan kerja di setiap tempat
kerja termasuk disektor kesehatan. Untuk itu kita perlu mengembangkan dan meningkatkan
K3 disektor kesehatan dalam rangka menekan serendah mungkin resiko kecelakaan dan
penyakit yang timbul akibat hubungan kerja, serta meningkatkan produktivitas dan efisiensi.
Dalam pelaksanaan pekerjaan sehari-hari karyawan/pekerja disektor kesehatan tidak
terkecuali dirumah sakit maupun perkantoran, akan terpajan dengan resiko bahaya
ditempat kerjanya. Resiko ini bervariasi mulai dari yang paling ringan sampai yang paling
berat tergantung jenis pekerjaannya.
ALUR PRODUKSI
Produksi Alas Kaki
Pembuatan alas kaki dapat terdiri dari beberapa langkah, alur produksi yang sederhana
dapat digambarkan seperti dalam gambar di bawah ini.
Penyiapan Bahan Showroom/ penyimpanan
Biasanya, alas kaki dirancang sesuai dengan kebutuhan pelanggan. Suatu model akan
digambarkan penuh warna dan rinci. Pembuatan alas kaki pada sektor informal mungkin
memiliki berbagai model rancangan untuk dipasarkan dan memenuhi keinginan konsumen
baru. Suatu pola menunjukkan bentuk dan ukuran bagian atas alas kaki; pola tersebut dapat
diproduksi oleh pembuat alas kaki atau dipesan dari luar. Gaya bagian atas digambarkan
pada bahan (misal kulit, polyurethane, PVC) menurut pola yang ada, kemudian bagian
tersebut digunting.
Setelah digunting, bagian luar bahan seringkali disisit menggunakan mesin sisit. Bagian atas
dan lapisan dalam dijahit bersama; kemudian pembuatan lubang tali, lubang kancing, dan
asesoris dapat dilaksanakan. Penyatuan bagian atas dan bawah pada umumnya dilakukan
dengan proses pengeleman, tetapi juga ada yang dilakukan melalui proses penjahitan,
pemakuan, atau penyekrupan. Sebelum disatukan, bagian sol dihaluskan dengan
menggunakan gerinda. Pada sol-sol tersebut diberikan primer, bahan kimia berbasis pelarut
agar sol tersebut bersih dan dapat melekatkan lem secara efektif. Sesudah dilakukan
pengelaman pada bagian sol, kemudian bagian yang sudah dilem tersebut dipanaskan
dalam suatu pemanas (biasanya oven) agar lem bertambah kuat. Lalu, agar pengelaman
lebih kuat lagi, alas kaki tersebut dimampatkan/ditekan dengan mesin press. Proses akhir
dapat terdiri dari beberapa kerja seperti: pembersihan, penyemiran, pemberian lilin,
pewarnaan, dan penyemprotan dengan cat. Akhirnya, alas kaki dikemas dalam kotak atau
Pembuatan Pola/
bahan alas kaki
Persiapan bagian atas
Persiapan bagian bawah
Pemotongan bahan
Penyatuan bag. Atas dan
bawah
Penyelesaian
tas plastik dan siap dipasarkan kepada para konsumen.8
MANAGEMEN RESIKO
Penilaian resiko
Gangguan kesehatan dan daya tahan kerja
Agar seorang tenaga kerja berada dalam keserasian sebaik-baiknya, yang berarti bahwa
yang bersangkutan dapat terjamin keadaan kesehatan dan produktifitas kerjanya secara
optimal, maka perlu ada keseimbangan yang positif-konstruktif, antara lain unsur-unsur:
1. Beban kerja
2. Beban tambahan akibat dari perkerjaan dan lingkungan kerja
3. Kapasitas kerja1
Beban kerja
Setiap pekerjaan merupakan beban bagi pelakunya. Beban tersebut mungkin fisik, mental
dan sosial. Seorang tenaga kerja yang secara fisik bekerja berat sepertinya halnya buruh
bongkar muat barang, memikul lebih banyak beban fisik dari pada beban mental dan sosial.
Berlainan dari itu adalah beban kerja seorang pengusaha atau manajemen, tanggung
jawabnya merupakan beban mental yang relatif jauh lebih besar dari beban fisik yang
dituntut oleh pekerjaannya. Adapun petugas sosial misalnya penggerak lembaga swadaya
masyarakat atau gerakan mengentaskan kemiskinan, mereka lebih menghadapi dan
memikul beban kerja sosial kemasyarakatan.
Seorang tenaga kerja memiliki kemampuan tersendiri dalam hal kapasitas menanggung
beban kerjanya. Mungkin diantara mereka lebih cocok untuk beban fisik, mental atau sosial.
Namun demikian, terdapat kesamaan yang berlaku umum yaitu mereka memiliki
keterbatasan hanya mampu untuk memikul beban sampai suatu tingkat tertentu. Selain dari
batas maksimal beban, bagi masing-masing tenaga kerja terdapat bembebanan kerja yang
paling optimal bagi tenaga kerja yang bersangkutan. Prinsip ini sebenarnya yang mendasari
maksud penempatan seoran tenaga kerja yang tepat pada pekerjaan yang tepat pula. 1
Beban tambahan akibat lingkungan kerja
Sebagai tambahan kepada beban kerja yang merupakan beban langsung akibat pekerjaan
atau beban pekerjaan yang sebenarnya, pekerjaan biasanya dilakukan dalam suatu
lingkungan atau situasi, yang menyebabkan adanya beban tambahan kepada tenaga kerja
baik jasmaniah maupun rohaniah. Terdapat 5 faktor penyebab beban tambahan dimakasud:
1. Faktor fisis yang meliputi keadaan fisik seperti bangunan gedung atau volume udara
per kapita atau luas lantai kerja maupun hal-hal yang bersifat fisis seperti peneran-
gan, suhu udara, kelembapan udara, tekanan udara, kecepatan aliran udara, kebisin-
gan.
2. Faktor kimia yaitu semua zat kimia anorganis dan organis yang mungkin wujud
fisiknya yang merupakan salah satu atau lebih dari bentuk gas, uap, debu, kabut,
cairan dan atau zat padat.
3. Faktor biologis, yaitu semua mahluk hidup baik dari golongan tumbuhan maupun
hewan. Dari yang paling sederhana bersel tunggal sampai yang paling tinggi
tingkatannya.
4. Faktor fisiologis/ergonomis, yaitu interaksi antara faal kerja manusia dengan peker-
jaan dan lingkungan kerjanya seperti konstruksi mesin yang disesuaikan dengan
fungsi indera manusia, postur dan cara kerja yang mempertimbangkan aspek
antropometris dan fisiologis manusia.
5. Faktor mental dan psikologis, yaitu reaksi mental dan kejiwaan terhadap suasana
kerja, hubungan antara pengusaha dan tenaga kerja, struktur dan prosedur organ-
isasi pelaksanaan kerja.
Kemampuan kerja seorang tenaga kerja berbeda dari satu kepada yang lainnya dan sangat
tergantung kepada motivasi kerja, pengalaman, latar belakang pendidikan, keahlian,
keterampilan terhadapa pekerjaan, kondisi kesehatan, keadaan gizi, jenis kelamin dan usia.
Semakin tinggi mutu keterampilan kerja yang dimiliki, kian efisien tenaga kerja bekerja
sehingga beban kerja menjadi relatif jauh lebih ringan. Tidak mengherankan apabila angka
sakit sangat kurang pada mereka yang memiliki keterampilan tinggi, lebih-lebih jika mereka
cukup termotivasi untuk mendedikasikan hidupnya kepada pekerjaannya.1
Penyebab Penyakit Akibat Kerja
Dalam ruang atau ditempat kerja biasanya terdaoat faktor-faktor yahng menjadi penyebab
penyakit akibat kerja sebagai berikut:
1. Faktor fisis seperti:
a. Suara yang dapat mengakibatkan tuli akibat kerja
b. Radiasi sinar radioaktif, infra merah, dan ultra violet
c. Suhu yang terlalu tinggi menyebabkan heat stroke (pukulan panas), kejang panas
(heat cramps), atau hiperpireksia. Sedangkan suhu terlalu rendah antara lain
menimbulkan frostbite.
d. Tekanan udara tinggi menyebabkan penyakit kaison (caisson disease)
e. Penerangan lampu yang buruk dapat menyebabkan kelainan kepada indera
penglihatan atau kesilauan yang memudahkan terjadinya kecelakaan.
2. Faktor kimiawi, yaitu antara lain:
a. Debu yang menyebabkan pnemokoniasis, diantaranya silikosis, dan asbestosis.
b. Uap yang diantaranya menyebabkan demam uap logam (metal fume fever), der-
matosis akibat kerja, atau keracunan akibat zat toksis uap formaldehida.
c. Gas, misalnya keracunan oleh CO,
d. Larutan zat kimia yang misalnya menyebabkan iritasi kepada kulit
3. Faktor biologis, misalnya bibit penyakit antraks atau brusella yang menyebabkan
penyakit akibat kerja.
4. Faktor fisiologis/ergonomis, yaitu antara lain kesalahan konstruksi mesin, sikap
badan yahng tidak benar dalam melakukan pekerjaan dan lain-lain yang kesemuaan
menimbulkan kelelahan fisik dan gangguan kesehatan bahkan lambat laun terjadi
perubahan fisik tubuh pekerja atau kecacatan.
5. Faktor mental-psikologis yang terlihat misalnya pada hubungan kerja atau hubungan
industrial yang tidak baik, dengan timbulnya misalnya depresi atau penyakit psikoso-
matis.1
Faktor fisis
Kebisingan
Pengukuran kebisingan
Maksud pengukuran kebisingan adalah:
Memperoleh data tentang frekuensi dan insensitas kebisingan di tempat perusahaan
Menggunakan data hasil pengukuran kebisingan untuk mengurangi intensitas ke-
bisingian tersebut.
Alat utama dalam pengukuran kebisingan adalah soundlevel meter. Alat ini mengukur
kebisingan diantara 30-130 dB dan dari frekuensi 20-20.000 Hz.
Gangguan kebisingan pada kesehatan
Mula-mula efek kebisingan pada pendengaran bersifat sementara dan pemulihan terjadi
secara cepat sesudah dihentikan kerja ditempat kerja bising. Hilangnya daya dengar yang
permanen biasanya dimulai pada prekuensi sekitar 4.000 Hz
Di indonesia intensitas kebisingan yang disepakati sebagai pedoman bagi perlindungan alat
pendengaran agar tidak kehilangan daya dengar untuk pemaparan selama 8 jam sehari dan
5 hari kerja atau 40 jam kerja seminggu adalah 85dB.
Nilai ambang batas kebisingan
Nilai ambang batas (NAB) kebisinga nsebagai faktor bahaya ditempat kerja adalah standar
sebagai pedoman pengendalian agar tenaga kerja masih dapat menghadapinya tanpa
mengakibatkan penyakit atau gangguan kesehatan dalam pekerjaan sehari-hari untuk waktu
tidak melebihi 8 jam sehari dan lima hari kerja seminggu atau 40 jam seminggu. NAB
kebisingan adalah 85 dB (A).
Iklim (cuaca) kerja
Suhu tubuh dipertahankan hampir menetap (homoeotermis) oleh suatu sistem pengatur
suhu (thermoregulatory system). Suhu menetap ini adalah akibat keseimbangan antara
panas yang dihasilkan dalam tubuh sebagai akibat metabolisme dengan pertukaran panas
antara tubuh dengan lingkungan sekitar. Faktor-faktor yang menyebabkan pertukaran panas
antara tubuh dengan lingkungan sekitarnya adalah konduksi, konveksi, radiasi dan evaporasi
(penguapan keringat).
Iklim kerja mempengaruhi daya kerja. Produktivitas, efisiensi dan efektivitas kerja sangat
dipengaruhi oleh kondisi iklim kerja. Iklim kerja yang termonetral (suhu netral), tidak dingin
dan tidak panas biasanya kondusif tidak hanya untuk melaksanakan pekerjaan tetapi juga
untuk memperoleh hasil karya yang baik. Suhu nyaman bagi orang indonesia adalah 24-
26oC.
Penerangan di Tempat Kerja
Penerangan yang baik memungkinkan tenaga kerja melihat objek yang dikerjakannya secara
jelas, cepat dan tanpa upaya yang tidak perlu.
Dalam ruang lingkup pekerjaan, faktor yang menentukan visibilitas guna memudahkan
dilakukannya pekerjaan adalah ukuran objek, derajat kontras diantara objek dan
sekelilingnya, luminensi (brightness) lapangan penglihatan, serta lamanya waktu melihat.
Faktor-faktor demikian dapat saling mengimbangi satu denga yang lainnya, misalnya suatu
objek dengan kontras yang kurang dapat dilihat, apabila objek tersebut cukup besar.
Upaya mata yang berlebihan menjadi sebab kelelahan psikis/mental. Gejala-gejalanya
meliputi sakit kepala, penurunan kemampuan intelektual, berkurangnya daya konsentrasi,
dan melambatnya kecepatan berfikir.1
Faktor kimia
Debu yang menyebabkan pnemokoniasis, diantaranya silikosis, dan asbestosis.
Uap yang diantaranya menyebabkan demam uap logam (metal fume fever), der-
matosis akibat kerja, atau keracunan akibat zat toksis uap formaldehida.
Gas, misalnya keracunan oleh CO,
Larutan zat kimia yang misalnya menyebabkan iritasi kepada kulit7
Faktor biologi
Faktor biologis pemyebab penyakit akibat kerja banyak ragamnya, yaitu virus, bakteria,
protozoa, jamur, dll. Penyakit virus atau misalnya penyakit kuku dan mulut dpat pindah dari
ternak menulari pekerja ternaknya. Penyebab penyakit yang tergolong protozoa antara lain
adalah parasit plasmodium malaria. Ternyata terdapat jenis pekerjaan yang oleh karena
sifat pekerjaannya yang memudahkan pekerja menderita penyakit tuberculosis (TBC) paru,
contohnya:
1. pekerjaan yang terlalu banyak sehingga luar biasa melelahkan
2. pekerjaan yang jumlah pekerjanya banyak sehingga bekerjanya berdesak-desakkan
3. pekerjaan yang ventilasi dan penerangannya sangat buruk
4. dan lain-lainnya.
Demikian pula penyakit radang paru yang sangat mudah terjadi di kalangan pekerja yang
pekerjaan dilakukan pada lingkungan yang terlalu berdebu. Berbeda dari faktor penyakit
akibat kerja lainnya, faktor biologis dapat menular dari satu pekerja ke pekerja lainnya. Dari
itu, selain upaya yang biasa harus pula ditempuh cara pencegahan dan penanggulangan
terhadap penyakit menular. Diantaranya dengan diselenggarakan imunisasi dengan
melakukan vaksinasi.dengan pelaksanaan vaksinasi, kecil kemungkinan akan berulang
terjadinya wabah. Selanjutnya sebai upaya minimum, adalah imunisasi dengan vaksin
terhadap tifes dan kolera. Juga imunisasi terhadap dipteri, batuk rejan dan tetanus
khususnya untuk anak-anak kalangan pekerja. Selain itu juga diberikan vaksinasi terhadap
TBC dengan BCG.
Penyakit infeksi akibat kerja atau penyakit yang timbul karena hubungan kerja jika
penyebabnya dalah pekerjaan atau lingkungan kerja. Hal ini berarti penyebabnya terdapat
dalam pekerjaan dan atau lingkungan pekerjaannya.3
Faktor fisiologis/ergonomis
Kata ergonomi berasal dari bahasa Yunani: ergon (kerja) dan nomos (peraturan, hukum).
Ergonomi adalah penerapan ilmu-ilmu biologis tentang manusia bersama-sama dengan
ilmu-ilmu teknik dan teknologi untuk mencapai penyesuaian satu sama lain secara optimal
dan manusia terhadap pekerjaannya, yang manfaat dari padanya diukur dengan efisiensi
dan kesejahteraan kerja. Ergonomi merupakan perpaduan dari berbagai lapangan ilmu.
Namun kekhususan utamanya adalah perencanaan tata kerja yang dilaksanakan dengan
cara yang baik dalam hal metoda kerja dan peralatan serta perlengkapannya.
Program ergonomi meliputi identifikasi problema yang dihadapi, pengambilan kebijakan
pemecahan masalah, implementasi rumusan jalan keluar dengan memulainya pada skala
kecil untuk dievaluasi efektivitasnya dan selanjutnya pelaksanaan hasil uji yang positif pada
lingkup yang luas. Penentuan problema ergonomi dilakukan antara lain pengamatan
terhadap gejala atau tanda absenteisme, kebiasaan sering pindah atau ganti kerja dan lain-
lain yang mungkin merupakan akibat dari beban kerja yang berlebihan dan tidak terpikulkan
oleh tenaga kerja, organisasi kerja yang sistemnya tidak memperhatikan kapasitas faktor
manusia, kesulitan melakukan pekerjaan sebagai akibat buruknya desain mesin dan
pengaturan tata kerja. Kelanjutan dari pengamatan adalah dibuatnya analisis pekerjaan,
yang meliputi sistem kerja. Observasi langsung atau telemetris dari cara melakukan
pekerjaan atau juga terhadap parameter fisiologis faktor manusia, analisis potensi dan risiko
bahaya atau kecelakaan yang sumbernya karakteristika fisik atau kejiwaan. Atas dasar setiap
temuan yang sifatnya non-ergonomis misalnya penggunaan alat kerja yang tidak cocok
untuk suatu pekerjaan, waktu kerja yang mengabaikan waktu istirahat dan waktu untuk
makan, beban kerja yang melebihi kemampuan tenaga kerja, pekerjaan pada posisi berdiri
tanpa kesempatan untuk duduk,dan sebagainya senantiasa harus diikuti upaya koreksi, yang
hasilnya tercermin dalam perbaikan pelaksanaan pekerjaan kearah pencapaian tujuan
efisiensi dan kesejahteraan yang optimal.
Ergonomi mempunyai peranan penting dalam mengawal proses industrialisasi. Ergonomi
dapat membuat beban kerja suatu pekerjaan menjadi berkurang. Tujuan utamanya adalah
untuk menjamin keselamatan, kesehatan, dan kepuasan kerja, tetapi dengan itu
produktivitas dan juga efisiensi serta efektivitas pekerjaan dapat ditingkatkan. Suatu
lapangan penting dalam ergonomi adalah posisi tubuh dan gerakan seluruh dan aggota
badan, yang menentukan besarnya pemakaian energy dan aktivitas sensorimotoris.
Di bawah ini dikemukakan beberapa pedoman penerapan ergonomi sebagai pegangan:
sikap tubuh dalam melakukan pekerjaan sangat dipengaruhi oleh bentuk, ukuran,
susunan dan penempatan mesin dan peralatan serta perlengkapan kerja, cara kerja
mengoperasikan mesin dan peralatan yang merinci macam gerak, arah dan keku-
atannya yang harus dilakukan.
untuk standarisasi bentuk dan ukuran mesin dan peralatan kerja, harus diambil uku-
ran terbesar sebagai dasar serta diatur suatu cara, sehingga dengan ukuran tersebut
mesin dan peralatan kerja dapat dioperasikn oleh tenaga kerja yang ukuran
antropometrisnya kurang dari standar. Sebagai contoh kursi yang tingginya dapat di-
naik turunkan sesuai angka antropometris tenaga kerja yang duduk di kursi tersebut.
ukuran antropometris statis terpenting sebagai dasar desain dan pengoperasian
mesin dan peralatan kerja.
standar ukuran meja kerja bagi pekerjaan yang dilakukan dengan berdiri:
pada pekerjaan tangan (manual) yang dilakukan dengan cara berdiri, tinggi meja
kerja sebaiknya 5-10 cm di bawah tinggi siku.
apabila bekerja dilakukan dengan berdiri dan pekerjaan dikerjakan diatas meja dan
jika dataran tinggi siku dinyatakan sebagai dataran 0 maka bidang kerja:
untuk pekerjaan memerlukan ketelitian 0 + (5-10) cm;
untuk pekerjaan ringan 0 – (5-10) cm;
untuk bekerja berat yang perlu mengangkat barang berat dan memerlukan beker-
janya otot punggung 0 – (10-20) cm
dari segi otot, posisi duduk yang paling baik adalah sedikit membungkuk, sedangkan
dari aspek tulang, terbaik adalah duduk yang tegak, agar punggung tidak bungkuk
dan otot perut tidak berada pada keadaan yang lemas. Sebagai jalan keluar, dian-
jurkan agar digunakan posisi duduk yang tegak dengan diselingi istirahat dalam ben-
tuk sedikit membungkuk.
Tempat duduk yang baik memenuhi persyaratan sebagai berikut:
o tinggi dataran duduk dapat diatur dengan papan injakan kaki sehingga sesuai
dengan tinggi lutut, sedangkan paha berada dalam keadaan datar
o tinggi papan sandaran punggung dapat diatur dan menekan dengan baik
kepada punggung
o lebar alas duduk tidak kurang dari lebar terbesar ukuran antropometris
pinggul
Pekerjaan berdiri sedapat mungkin diubah menjadi pekerjaan yang dilakukan dengan
posisi duduk. Bagi tenaga kerja, disediakan tempat duduk dan diberi kesempatan un-
tuk duduk.
Arah penglihatan untuk berdiri adalah 23-370 ke bawah, sedangkan untuk duduk 32-
440 ke bawah sesuai posisi kepala yang pada keadaan istirahat.
Kemampuan seseorang bekerja seharian adalah 8-10 jam, lebih dari itu efisiensi dan
kulitas kerja akan menurun.
Pemeliharaan penglihtan dilakukan sebaik-baiknya terutama penyelenggaraan penc-
ahayaan dan penerangan yang baik terutama berkaitan dengan kepentingan pelak-
sanaan pekerjaan.
Batas kemampuan atau kesanggupan bekerja sudah tercapai, apabila bilangan nadi
kerja mencapai angka 30/menit di atas bilangan nadi istirahat, dan kembali normal
setelah istirahat sesudah 15 menit.
Untuk menentukan sejauh mana prinsip-prinsip ergotomi telah diterapkan, biasanya
disusun kuesioner.2,4,5
Gambar 1. Posisi mengangkat barang yang benar (kiri) dan (kanan) jangkauan dari
lengan saat bekerja.
Gambar 2. Posisi duduk pada ergonomi
Faktor psikologis
Manusia memiliki rasa suka dan benci, gembira dan sedih, berani dan takut, dan lain
sebagainya. Kesemua hal tersebut penyebabkan pengaruh sangat dominan terhadap
keadaan pekerja dalam pekerjaan dalam melakukan pekerjaannyaatau pengusaha dalam
usaha dan menjalankan usahanya.
Misalnya rasa suka dan benci, kebencian dan ketidakcocokan kepada atasan atau sesama
pekerjamenimbulkan berbagai akibat yang terlihat sebagai seringnya ketidak hadiran
seorang pekerja dengan alasan sakit, atau sering terlambat atau cepat pulang.
Tidak jarang manusia penyedih, perkataan sedikit keras saja yang dilontarkan atasan
kepadanya dirasa sebagai suatu hal yang luar biasa.
Kehendak kemauan dan cita-cita seorang pekerja berpengaruh pula pada pekerjaan.
Mungkin pekerjaannya yang sekarang itu sama sekali bukan kehendak atau cita-citanya,
sehingga yabng bersangkutan bekerja sekadarnya.1
Deteksi Dini Penyakit Akibat Kerja
Seperti halnya berlaku untuk semua penyakit, akibat akibat kerja bermula dari efek ringan
pekerjaan atau lingkungan kerja kepada tenaga kerja (efek ringan demikian merupakan
pengaruh awal dan belum termasuk keadaan sakit). Kemudian efek tersebut bertambah
sehingga terjadi penyakit dini, dan selanjutnya efek pekerjaan atau lingkungan kerja
berkembang menjadi penyakit berat atau lanjut bahkan sering kali disertai kecacatan.
Deteksi dini diartikan sebagai upaya mengetahui atau membuat diagnosis penyakit akibat
kerja dan tingkat awal atau permulaan sakit.
Deteksi dini adalah deteksi gangguan mekanisme homeostasi dan kompensasi pada waktu
perubahan biokimiawi, morfologis, dan fungsional masih dapat pulih. Perubahan demikian
terjadinya sebelum timbulnya gejala dan tanda penyakit akibat kerja, perubahan tersebut
bebrbentuk: perubahan biokimiawi dan morfologis yang dapat diukur kadarnya dengan
analisis laboratoris, perubahan keadaan fisik dan atau fungsi tubuh yang dievaluasi dengan
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium, dan perubahan kesehatan yang dinilai dari
riwayat medis dan data yang diperoleh dari tenaga kerja misalnya dengan menggunakan
kuisioner. Untuk mendeteksi dini penyakit akibat kerja dilakukan pemantauan kesehatan
yang dikaitkan dengan kemungkinan pengaruh pekerjaan dan lingkungan kerja kepada
tenaga kerja, pemeriksaan kesehatan sebelum kerja.1,4
Surveilance
Secara garis besar ruang lingkup surveilans K3 terbagi dua, yaitu :
1. Surveilans Efek Kesehatan dan Keselamatan
Pengumpulan, analisis & diseminasi/komunikasi data kesehatan (data penyakit) dan data
keselamatan (data kecelakaan) spesifik untuk populasi pekerja berisiko dengan cara
sitematik dan berksinabungan yang dapat digunakan bagi perencanaan, pelaksanaan dan
evaluasi program K3 di dunia usaha dan dunia kerja
2. Surveilans Hazard Kesehatan dan Keselamatan
Identifikasi hazard, pengukuran pajanan, analisis dan diseminasi atau komunikasi hazard
kesehatan dan keselamatan yang spesifik bagi populasi pekerja berisiko dengan cara
sistematik dan berkesinambungan digunakan bagi perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi
program K3 di dunia usaha dan dunia kerja
3. Metode Surveilans K3
Dalam rangka pemantauan hazard dan risiko yang ada di tempat kerja, maka hal penting
yang harus dilakukan adalah melakukan Surveilans Keselamatan dan Kesehatan Kerja.
Surveilans K3 terdiri dari strategi-strategi dan metode untuk mendeteksi dan menilai secara
sistematis dampak dari suatu pekerjaan terhadap kesehatan dan keselamatan pekerja.
Dengan surveilans maka dilakukanlah pengumpulan, analisis, interpretasi data, dan
penyebaran informasi agar dapat diambil tindakan segera yang diyakini dapat mencegah
pekerja dari penyakit dan kecelakaan.
langkah awal dalam kegiatan ini adalah dengan melakukan rekognisi faktor risiko, kemudian
melakukan analisis, dan komunikasi yang nantinya diharapkan dapat dikembangkannya
sistem pengumpulan, analisis dan diseminasi serta komunikasi data kesehatan dan
keselamatan di tempat kerja
Kegiatan Program meliputi rekognisi, analisis data kesehatan seluruh pekerja berisiko, dan
komunikasi pada seluruh pihak yang berkepentingan.
Metode yang digunakan untuk pelaksanaan Program Occupational Health surveilans adalah
dengan melakukan identifikasi faktor risiko di tempat kerja dan identifikasi pekerja di
populasi yang berisiko
Data Faktor Risiko Lingkungan Kerja
Data Pemantauan Higiene Industri
Data Pemantauan Ergonomi
Data Pemantauan Stres Kerja
Data Pemeriksaan Kesehatan Sebelum Bekerja, Berkala, Khusus, Return to Work,
PHK/Pensiun
Analisis & Komunikasi Trend Faktor Risiko & Status Kesehatan, Hubungan Antara
Faktor Risiko & Efek Kesehatan
Objek Surveilans Kesehatan Kerja adalah sebagai berikut;
Pekerja
Lingkungan kerja
Pekerjaan
Pengukuran Pajanan pada Pekerja
Noise dosimeter
Personal dust sampler
Pengukuran dengan Spirometer
Pengukuran logam berat di urine & darah
Pengukuran Pajanan pada Lingkungan Kerja
Kebisingan di lingkungan kerja
Debu di lingkungan kerja
Temperatur di lingkungan kerja
Logam berat di lingkungan kerja
Berdasarkan pekerjaan, tergantung lama pajanan orang pada pekerjaan tersebut, dijelaskan
dalam bentuk hitungan atau fungsi dari pajanan dan tahun;
pajanan x tahun = person-years
Adapun pengukuran Pajanan juga ada dua macam, yakni
Pajanan sesaat
Pajanan kumulatif
Pajanan rata2 berdasarkan:
Sampel area
Sampel individu (toksikan, BEI mis: azide iodide pd urine krn karbondisulfida asam t-t
mukonat dalam urine karena benzene)
Persyaratan dan Teknik Pelaksanaan
Persyaratan untuk Mengadakan Surveilans K3 di Tempat Kerja adalah sebagai berikut.
1. Ada penyakit maupun cedera yang dapat diidentifikasi atau adanya dampak negatif
pada pekerja lain yang dinilai dapat merugikan
2. Efek penyakit dan/atau cedera tersebut terkait dengan eksposur/pajanan di tempat
kerjanya.
3. Ada kemungkinan atau probability bahwa efek penyakit dan/atau cedera tersebut
berpotensi dapat terjadi
4. Ada beberapa teknik yang berlaku untuk mendeteksi indikasi dari efek penyakit
dan/atau cedera tersebut.
Teknik Surveilans kesehatan harus:
Sensitif
Spesifik
Mudah untuk dilakukan dan diinterpretasikan
Aman
Non-invasif
Dapat diterima
Data yang tersedia atau didapat, digunakan untuk mengatasi masalah K3 berdasarkan
evidence, dengan menyusun upaya promotif, prevetif, kebijakan, perencanaan program
antara lain seperti berikut.
1. Mengolah data sebagai alat/metode guna pemantauan penyakit atau masalah K3 di
wilayah setempat
2. Memantau kemajuan pelayanan K3 dan cakupan indikator K3 secara teratur (bulanan)
dan terus menerus.
3. Menilai kesenjangan pelayanan K3 terhadap standar pelayanan K3.
4. Menilai kesenjangan pencapaian cakupan indikator K3 terhadap target yang
ditetapkan, antara lain seperti beriku.
a. Konsentrasi debu, pelarut organik, pestisida, uap logam atau bahan kimia lainnya di
udara lingkuan kerja dibandingkan dengan nilai ambang batas yang diperkenankan
b. Tingkat pajanan bising, panas, atau getaran pada individu kelompok pekerja berisiko
dibandingkan dengan nilai ambang batas yang diperkenankan.
c. Hasil pantauan biomarker timah hitam, benzene, aseton, inhibitor kolinesterase atau
bahan kimia lainnya dalam spesimen cairan tubuh pekerja dibandingkan dengan
indeks pajanan biologik
d. Tingkat kekerapan dan tingkat keparahan absenteisme yang terekam dibandingkan
dengan standar atau target yang ditetapkan
e. Tingkat kekerapan dan tingkat keparahan kecelakaan yang terekan dibandingkan
dengan stanar atau target yang ditetapkan
5. Menilai Prevalens dan insiden penyakit spesifik yang diduga berkaitan dengan
pajanan hazard di tempat kerja
6. Menentukan sasaran individu, kelompok kerja, jenis pekerjaan dan wilayah prioritas
yang akan ditangani secara intensif berdasarkan besarnya kesenjangan.
7. Menilai keberhasilan pencapaian target, mengevaluasi dan menyusun strategi
perbaikan secara terus menerus3
Persiapan Pelaksanaan Surveillans Kesehatan Kerja
1. Penilaian risiko kesehatan atau HRA yang dilakukan berdasarkan hazard yang
teridentifikasi oleh tim HI. Apabila belum ada, proses identifikasi hazard dan penilaian risiko
serta HRA dilakukan oleh tim multidisiplin yang anggotanya terdiri dari wakil pimpinan dan
pelaksana dari unit kerja terkait bagian kesehatan, keselamatan, HI ataupun lingkungan dan
ergonomis.
2. Perencanaan program
Setelah mendapatkan HRA, penaggungjawab surveilans Kesja yang adalah Dokter Kesehatan
kerja Dan HI yang akan menyusun program awalan hingga menetapkan pekerja yang
berisiko, penetapan jenis hazard dan efek kesehatan.
3. Penetapan pekerja yang beresiko
4. Penetapan jenis Hazard dan efek kesehatan yang dipantau
Tabel 1 Cara penyajian data mengenai jenis Hazard yang dipantau.
Aktivitas Hazard
Teridentifikasi
Hazard yang
dipantau
Antisipasi efek
kesehatan
Survei dan
pembukaan
hutan
Racun flora fauna
Debu dari kerak
bumi
Vibrasi kendaraan
Bising kendaraan
Ergonomik
Racun flora
Debu
Vibrasi
Bising
Postur Janggal
Iritasi kulit
Pneumokoniosis
Gangguan syaraf tepi
Penurunan
pendengaran
CTD
Pengupasa
n kerak
bumi
Debu
Vibrasi
Pneumokoniosis
Gangguan syaraf tepi
Penurunan
Bising
Postur janggal
pendengaran
CTD
5. Penetapan Jenis pemeriksaan kesehatan
Tabel 2. Contoh Jenis pemeriksaan kesehatan berdasarkan hazard spesifik
Hazard Jenis pemeriksaan
Bising Audiometri, kuesioner
Debu Spirometri. Foto toraks dan kuesioner
Ultra Violet Mata dan kuit
Virus Hepatitis B HBsAg, HBcAg, SGOT dan SGPT
Pelarut organik Nerologic, iritasi mata dan saluran pernafasan, fungsi
ginjal dan hati, spirometri, dan pemantauan biologic
Tabel 3. Contoh Jenis pemeriksaan kesehatan berdasarkan hazard spesifik
Jabatan Jenis pemeriksaan
Pengguna
respirator
Fungsi paru
Off shore Audiogram, Fungsi paru, drugs dan alcohol
Supir Visus, audiogram, drugs dan alcohol
Welders Urinalisis dan Biomonitoring
Fire fighter Audiogram dan fungsi paru
6. Komunikasi untuk mendapatkan dukungan dan komitmen
Melibatkan seluruh pemangku kepentingan khusunya pemimpin tertinggi dan pekerja.
Sebelum penyusunan proposal program, hendaknya dilakukan komunikasi berjenjang.
7. Pembentukan tim surveilans
Profesi utama yang bertanggungjawab dalah doketr, perawat kesja, HI dan ergonomis. Dan
membutuhkan keterlibatan manajer SDM untuk menentukan penempatan SDM. Supervisor
untuk mengawas hazard dan pekerja serta memastikan pekerja terlibat aktif dalam
surveilans kesehatan kerja.
8. Hasil pemeriksaan kesehatan dan informed concern
Tahapan Pelaksanaan Surveillans Kesehatan Kerja
1. Tahap pengumpulan data
a. Data Faktor Risiko
Dikumpulkan dengan survey jalan selintas, interview, chemical inventory, tinjauan dokumen
seperti safet data sheet.
b. Data gangguan kesehatan
Dikumpulkan dengan survey jalan selintas, notulen rapat P2K3 dan data pemeriksaan
kesehatan pekerja.
c. Data pemantauan biologic
Biasanaynya data ini didapat dari HI atau pengukuran dengan melibatkan Laboratorium
Provider. Sedangkan Informasi penanda kimia didapat dari ACGIH dan NIOSH
2. Tahap analisis data dan surveilans PAK
Dilakukan analisis trend dan interaksi pajanan, hasil pemantaun biologic dan efek kesehatan
yang ditimbulkan, baik perorangan maupun kelompok.
Analisis hasil surveilans hazard adalah membandingkan dengan nilai ambang batas.
Analisi hasil surveilans efek kesehatan akan didapat apa, siapa, di mana,
bilamana gangguan kesehatan terjadi sehingga didapat data distribusi frekuensi penyakit
berdasarkan beberapa factor risiko.
Surveilans hazard kesehatan di lingkungan dapat menjawab intensitas, pajanan dan
surveilans efek kesehatan pada pekerja menyediakan data status kesehatan pekerja.
Menggabungkan data surveilans hazard dan surveilans efek kesehatan dapat dilakukan
analisis epidemiologi untuk menjelaskan mengapa danbagaiman suatu gangguan kesehatan
timbul.
Lebih lanjut dapat dilakukan pebandigan risiko relative pada pekerja terpajan dan tidak
terpajan maka akan lebih jelas hubungan atau asosiasi antara factor risiko dan efek yang
ditimbulkan.
3. Tahap pelaporan dan pemanfaatan hasil surveilans untuk perbaikan
Pelaporan ini dilakukan pada forum yang melibatkan semua manajemen.
Hasil analisis dikomunikasikan dalam bentuk agregat dengan kode etik dan menjunjung
privasi.
Penyampaian manfaat yang tinggi dan menguntungkan banyak pihak harus dilakukan
untuk kesuksesan pelaksanaan rekomendasi, terkait program kesehatan yang
diencanakan.3,4,9
Medical Check Up
Peranan tenaga kerja sebagai sumber daya manusia, merupakan salah satu hal penting
dalam sebuah perusahaan. Perlu disadari bahwa setiap pekerja dihadapkan dengan berba-
gai bahaya potensial di tempat kerja. Sebaik apa pun lingkungan tempat kerja, potensi ba-
haya yang mengancam senantiasa ada, baik terhadap kesehatan maupun keselamatan
pekerja yang menjadi salah satu faktor penentu produktivitas dan profitabilitas suatu pe-
rusahaan. Bila terjadi kecelakaan atau penyakit akibat hubungan kerja, tentunya akan
menyebabkan kerugian yang tidak kecil bagi semua pihak, baik pihak pengusaha, tenaga
kerja maupun masyarakat yang memerlukan produk atau hasil kerjanya. Oleh karena itu,
perlindungan serta kenyamanan dan ketenangan terhadap tenaga kerja menjadi suatu ke-
butuhan yang mendasar untuk dipenuhi. Pemerintah melalui undang-undang tentang kese-
lamatan dan kesehatan kerja, mewajibkan setiap perusahaan untuk memberikan perlindun-
gan atas keselamatan dan kesehatan tenaga kerjanya. Pekerja berhak mendapatkan pe-
meriksaan kesehatan berkala minimal satu tahun sekali sesuai dengan pajanan di tempat
kerja. Pekerja juga berkewajiban melakukan pemeriksaan kesehatan berkala untuk memper-
tahankan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya sehingga produktivitas kerja pun terjaga
dengan baik.
Adapun tujuan dari Medical Check Up berkala terhadap tenaga kerja adalah :
1. Untuk mendapatkan pekerja yang sehat dan produktif, serta mencegah terjadinya
penyakit dan kecelakaan akibat kerja
2. Deteksi dini berbagai penyakit terutama untuk penyakit akibat kerja
3. Data dasar dan pembanding untuk mendeteksi adanya kemungkinan penyakit akibat
hubungan kerja
4. Data dasar untuk pengembangan kegiatan promosi kesehatan perusahaan
Perusahaan, instansi atau institusi yang hendak mencapai provider untuk pemeriksa kese-
hatan hendaknya memperhatikan beberapa hal penting berikut :
1. Legalitas provider pemeriksa
2. Kompetensi dokter pemeriksa kesehatan
3. Kualitas pemeriksaan dan layanan provider
4. Kompetensi sumber daya manusia yang mengerjakan pemeriksaan
Pemeriksaan Kesehatan Sebelum Bekerja
Merupakan pemeriksaan kesehatan yang dilakukan sebelum seorang tenaga kerja diterima
untuk melakukan pekerjaannya. Tujuannya untuk memastikan bahwa calon tenaga kerja be-
rada dalam kondisi kesehatan yang baik dan tidak berpotensi membahayakan diri sendiri,
rekan kerja, dan juga lingkungan kerjanya, serta memiliki kapasitas yang dibutuhkan dalam
pekerjaannya sehingga keselamatan dan kesehatannya selama bekerja akan terjamin.
Pemeriksaan Kesehatan Berkala
Merupakan pemeriksaan kesehatan yang dilakukan terhadap tenaga kerja pada waktu –
waktu tertentu. Pemeriksaan ini bertujuan untuk mendeteksi sedini mungkin setiap gang-
guan kesehatan yang terjadi dan berpotensi menjadi gangguan kesehatan dan berhubungan
dengan pajanan bahaya kesehatan di tempat kerja.
Pemeriksaan Kesehatan Khusus
Merupakan pemeriksaan yang dilakukan secara khusus berdasarkan riwayat penyakit dan
atau status kesehatan pekerja pada saat tertentu.3
Usaha Peningkatan Kesehatan Pekerja
Penyuluhan
Peningkatan Kebersihan Lingkungan
Penyediaan kantin
Kalau waktu bekerja menghendekai bahwa pekerja haru mkaan siang dalam lingkungan
pekerjaan, maka harus disediakan ruang mkana yang cukup luas sehingga semua pekerja
dapat makan sekaligus atau bergantian. Pekerja tidak diperbolehkan makan diruang kerja
sebab tempat itu biasanya terdapat bahan beracun atau bahan yang dapat membahayakan
kesehatan. Pada tiap perusahaan yang pekerjaanya terkena debu atau bahan beracun harus
disediakan tempat makan yang terpisah keculia kapau perkerja lebih menyukai makan diluar
perusahaan. Ruang makan juga harus mendapt cukup penerangan dan juga ventilasi yang
memadi serta udara yang cukup sejuk. Kalau dalam perusahaab diadakan kantin makan,
kantin itu harus dibuat, dirawat dan dijalankan sesuai dengan peraturan untuk kebersihan
pada tempat makan umum. Dapur, tempat makan, dan alat-alat untuk keperluan makan
harus bersih dan memenuhi syarat kesehatan. Air minum dan makanan yang dihidangkan
harus bersih dan sehat. Semua personil yang melayani kantin harus diperiksa kesehatannya
pada waktu-waktu tertentu menurut peraturan yang berlaku. Semua personil harus selalu
bebas dari penyakit menular dan selalu menjaga kesehatan dan kebersihan, alat makan atau
mask sesudah dipakai harus dibersihkan dengan sabun dan air panas serta dikeringkan. Alat
tersebut haru dibuat dari bahan yang mudah dibersihkan.9
Pencegahan dan Keselamatan Kerja
Gangguan pada kesehatan dan daya kerja akubat berbagai faktor dalam pekerjaan dan
lingkungan kerja bisa dihindarkan, asal saja perusahaan, pimpinan atau manajemen
perusahaan dan pekerja serta serikat pekerja ada kemauan yang kokoh-kuat untuk
mencegahnya. Peraturan perundang-undangan tidak akan ada faedahnya, apabila
perusahaan tidak melaksanakan ketetapan yang berlaku sebagaimana diatur oleh
perundang-undangan, juga sama halnya apabila pengurus perusahaan dan pekerja tidak
mengambil peranan proaktif dalam menghindarkan terjadinya gangguan terhadap kesehata,
daya kerja dan produktivitas tenaga kerja.
Pencegahan utama terhadap timbulnya gangguan pada kesehatan dan daya kerja dengan
akibat negatif bagi efisiensi dan produktivitas kerja adalah 2(dua) hal berikut:
1. Manajerial, yang meliputi unsur-unsur:
a. Manajemen perusahaan mempunyai kebijakan yag tegas dan jelas dalam upaya
mencegah terjadinya gangguan kepada kesehatan dan daya kerja; atas dasar ke-
bijakan tersebut disusun program yang rinci tentang identifikasi, evaluasi dan
pengendalian faktor-faktor yang menjadi penyebab gangguan tersebut lengkap
dengan rencana kerja, sumber daya manusia, pembiayaan, dan sebagainya; dan
program tersebut dilaksanakan dengan dilakukan penilaian mengenai hasil kerja
yang dicapai untuk kemudian dipergunakan untuk perencanaan program selan-
jutnya.
b. Pekerja dan serikat pekerja tidak sekadar mendukung melainkan aktif berpartisi-
pasi dalam pelaksanaan program tersebut mengingat bahwa keberhasilan pro-
gram pada akhirnya adalah untuk mewujudkan kesejahteraan semua pihak yang
menjadi pelaksana proses produksi. Pekerja menurut kelompok unit produksi
melaksanakan dengan motivasi penuh upaya menungkatkan mutu terpadu den-
gan melakukan identifikasi, mengevaluasi prioritas dan menetapkan serta melak-
sanakan upaya korektif guna meniadakan hambatan dari gangguan kesehatan
dan daya kerja untuk meraih efisiensi dan produktivitas kerja yang diupayakan
selalu menjadi lebih baik.
c. Banyak ketentuan perundang-undangan yang mengatur standar minimal menge-
nai higiene perusahaan (industri), ergonomi dan kesehatan kerja seperti tentang
pelayanan kesehatan kerja, pemeriksaan kesehatan tenaga kerja, diagnosis
penyakit akibat kerja, kewajiban melaporkan penyakit akibat kerja, pengendalian
intensitas atau kadar aneka faktor gangguan kesehatan dan daya kerja pada
pekerjaan dan lingkungan kerja ditempat kerja, dan lainnya. Penerapan standar
minimum demikian adalah awal dari upaya ke arah realisasi pencegahan gang-
guan kesehatan dan daya kerja serta menjadi pintu masuk bagi program selanjut-
nya dalam menarik manfaat guna mewujudkan tingkat kesehatan tenaga kerja
dan produktivitas kerja yang optimal.
2. Teknis operasional yang mencakup unsur-unsur:
a. Identifikasi faktor yang potensial dapat menimbulkan gangguan pada kesehatan
tenaga kerja dan produktivitas kerja serta mengevaluasi kuantitatif besarnya fak-
tor tersebut. Faktor demikian mungkin fisis, kimiawi, biologis, fisiologis/er-
gonomis dan atau mental psikologis. Setelah dilakukan identifikasi, faktor terse-
but dinilai bobotnya melalui evaluasi yang hasilnya digunakan untuk upaya pen-
gendalian.
b. Pengendalian faktor penyebab gangguan kesehatan tenaga kerja dan produktivi-
tas kerja tergantung kepada faktor yang menjadi penyebab gangguan tersebut
dan pendekatan yang ditempuh sangat berbeda untuk masing-masing faktor fisis,
kimiawi, biologis, fisiologis/ergonomis dan mental psikologis. Dasar keilmuan dan
teknologi yang digunakan serta sumber daya manusia untuk menangani faktor
yang bersangkutan harus benar-benar sesuai dengan problematik yang dihadapi.
c. Faktor apapun yang menjadi penyebab gangguan kesehatan tenaga kerja dan
produtivitas kerja hanya akan dapat ditangani dengan baik apabila dilakukan
penyuluhan, pendidikan, pelatihan tentang tujuan dan cara mengendalikan fak-
tor tersebut; kegiatan- kegiatan demikian tidak hanya sekedar merubah penge-
tahuan, sikap dan perilaku saja melainkan membuat semua orang mampu
berbuat sesuai dengan peran yang dituntut kepada masing-masing serta meng-
gerakkan partisipasi aktif setiap orang dalam aktivitas program. Perlu diper-
hatikan bahwa penerangan tentang hiperkes sebelum kerja bertujuan agar
pekerja mengetahui dan menaati peraturan-peraturan, dan agar mereka lebih
berhati-hati dalam melakukan pekerjaannya.
d. Pemeriksaan kesehatan tenaga kerja, pengukuran dan evaluasi tingkat paparan
serta monitoring biologis masing-masing atau diselengarakan secara serentak
sesuai dengan kegunaannya sangat penting artinya bagi pengendalian faktor fisis,
kimiawi, dan biologis.
e. Untuk pengendalian faktor kimiawi terhadap aneka pendekatan teknis yang bi-
asanya cukup handal sebagai cara pengendalian terhadap resiko terjadinya gan-
guaan kesehatan tenaga kerja dan produktivitas kerja. Teknik dan teknologi pen-
gendalian faktor kimiawi tersebut antara lain:
1. Substitusi, yaitu mengganti bahan yang lebih berbahaya dengan bahan yang
kurang bahayanya atau tidak berbahaya sama sekali, misalnya karbontetrak-
lorida diganti dengan triklor etilen.
2. Ventilasi umum, yaitu mengalirkan udara sebanyak menurut perhitungan
kedalam ruang tempat kerja agar kadar zat kimia berbahaya oleh masuknya
udara ini menjadi lebih rendah dari pada kadar yang membahayakan yaitu
dibawah kadar nilai ambang batas (NAB).
3. Ventilasi keluar setempat (local exhausters) ialah instalasi yang mengisap
udara disuatu tempat kerja tertentu melalui kanopi, agar zat-zat kimia dari
tempat tertentu yang membahayakan dihisap dan dialirkan keluar ruang tem-
pat kerja.
4. Isolasi, yaitu mengisolasi operasi atau proses dalam perusahaan yang mem-
bahayakan. Misalnya isolasi mesin yang sangat hiruk pikuk, agar intensitas ke-
bisingan tidak menjadi gangguan lagi.
5. Pakaian pelindung sesuai dengan keperluannya, misalnya massker, kacamata,
sarung tangan, sepatu, topi, pakaian kerja dan lain-lain biasanya sangat
berguna untuk melindungi kesehatan dan keselamatan tenaga kerja serta
memungkinkan tenaga kerja dapat dengan aman melakukan pekerjaan se-
hingga produktif oleh karena dilindungi oleh alat pelindung diri (APD) yang di-
pakainya.
Jelas bahwa kecelakaan kerja menelan biaya yang luar biasa tinggi. Dari segi biaya saja dapat
dipahami, bahwa terjadinya kecelakaan dalam kerja harus dicegah. Pencegahan kecelakaan
berdasarkan tentang penyebab kecelakaan. Sebab-sebab kecelakaan yang terjadi di
perusahaan diketahuai dengan mengadakan analisis setiap kecelakaan yang terjadi. Selai
dengan analisis, sangat penting dilakukan adanya identifikasi bahaya yang terdapat dan
dapat menimbulkan insiden kecelakaan diperusahaan serta mengasses (assesment) besar
risiko bahaya. Resiko kecelakaan kerja adalah perpaduan antara kemungkinan terjadinya
kecelakaan (probabiltas) danakibat (konsekuensi, keparahan. Baik kemungkinan maupun
akibat dapat dinyatakan dan dibuat kategori kualitatif ataupun kuantitatif. Contoh kategori
kualitatif kemungkinan dari yang paling rendah ke kategori paling tinggi adalah :
1. Kemungkinan tidak terjadi
2. Kemungkinan terjadi tapi sangat kecil
3. Kemungkinan terjadi kadang-kadang saja
4. Kemungkinan terjadi pasti tetapi jarang
5. Dan kemungkinan terjadi berulang
Pencegahan ditujukan kepda lingkungan, mesin,peralatan kerja, perlenglapan kerja, dan
terutama faktor manusia. Lingkuan harus memenuhi syarat lingkuan kerja yang aman serta
memenuhi persyaratan keselamatan, penyelenggaraan kerumahtanggan yang baik, kondisi
gedung yang memenuhi syrat keselamatan, dan perencanaan yang sepenuhnya
memperhatikan faktor keselamatan, syarat-syarat lingkungan kerja meliputi higene umum,
sanitasi, ventilasi udara, pencahayaan dan penerangan ditempat kerja, dan pengaturan suhu
udara diruang kerja. Setiap upaya pencegehaan kecelakaan denagn cara menghilangkan
atau mengurangi sebab-musababnya selalu akan disertai menurunnya angka frekuensi
kecelakaan (injury frequency rate) yaitu jumlah kecelakaan yang membawa korban dikalikan
1.000.000 (sejuta) dibagi dengan jumlah jam orang yang bekerja dalam perusahaan yang
bersangkutan dan angka keparahan kecelakaan (injury severity rate) yaitu jumlah hari kerja
yang hilang dialikan 1.000 dibagi dengan sejumlah jam orang yang bekerja dalam
perusahaan yang bersangkutan. Selain itu keberhasialan upaya pencegahan dapat dinilai
dari panjangya waktu tidak terjadinya kecelakaan misalnya yang tidak menyebabkan
hilangnya hari kerja (zero accident). Namu pada sewaktu-waktu penurunan angka
kecelakaan ni tidak terjadi demikian pesat, tidak speerti penurunan pada keadaan awal
program. Penyebab dari tidak pesatnya angak kecelakaan tersebut ialah faktor manusia
yang tidak dapat dikoreksi labih jauh lagi.1
Alat Pelindung Diri
Perlindungan keselamatan pekerja melalui upaya teknis pengamanan tempat,
mesin,peralatan dan lingkungan kerja wajib diutamakan, namun kadang-kadang risiko
terjadinya kecelakaan masih belum spenuhnya dapat dikendalikan, sehingga digunakan alat
pelindung diri (alat proteksi diri) (personal protective device) . jadi penggunaan APD adalah
alternatif terakhir yaitu oerlengkapan dari sgenap upaya teknis pencegahan kecelakaan.
APD harus memenuhi persyratan :
1. Enak (nyaman) dipakai
2. Tidak menggangu pelaksanaan pekerjaan
3. Memberingan perlindungan efektif terhadap macam bahaya yang dihadapi
Pakaian kerja harus dianggap sebagai lat perlindungan terhadap nahaya kecelkaan. Pakaian
kerja pria yang bekerja melayani mesin seharusnya berlangan pendek, pas (tidak longgar)
pada dada atau pungguan, tidak ada dasi tidak ada lipatan atau kerutan yang mungkin
mendatangka bahaya. Wanita sebaiknya mengenakan celana panjang, jala atau ikat rambut,
baju yang pas dan tidak mengenakan perhiasan. Pakaian kerja sintetis hanya baik terhadap
bahan kimi korosif, tetapi justru bahaya pada lingkunan kerja dengan bahan yang dapat
meledak oleh aliran listrik statis.Alat proteksi diri beaneka ragam. Jika digolongkan menurut
bagian tubuh yang dilindunginya, maka jenis alat proteksi diri dapat dilihat pada daftar sbb :
1. Kepala : pengikat rambut, penutup rambut, topi dari berbagai jenis yaitu topi
pengaman (safety helmet) topi atau tudung kepala, tutup kepala
2. Mata : kacamata pelindung (protective goggles)
3. Muka : Pelindung muka (face shields)
4. Tangan dan jari: sarung tangan ( sarung tangan dengan ibujari terpisah), sarung
tangan biasa ( gloves) pelindung telapak tanga (hand pad) dan sarung tangan yang
menutupi pergelanan tangan sampai lengan (sleeve).
5. Kaki : sepatu pengaman (safety shoes)
6. Alat pernafasan: Respirator, masker alat bantu pernafasan.
7. Telinga : Sumbat telinga (ear plug), tutup telinga (ear muff)
8. Tubuh : pakaian kerja menurut keperluan yaitu pakaian kerja yang tahan
panasm tahan dingin, pakaian kerja lainnya
9. Lainnya : sabuk pengaman1
GIZI KERJA
Istilah gizi kerja berarti nutrisi yang diperlukan oleh tenaga kerja untuk memenuhi
kebutuhan sesuai dengan jenis pekerjaan. Gizi kerja ditujukan untuk memelihara dan
meningkatkan derajat kesehatan serta mengupayakan daya kerja tenaga kerja yang optimal.
Kesehatan dan daya kerja sangat erat hubungannya dengan tingkat gizi seseorang. Tubuh
memerlukan zat-zat dari makanan untuk pemeliharaan tubuh, perbaikan kerusakan sel dan
jaringan dan juga untuk pertumbuhan, yang banyak sedikitnya kebutuhan akan zat makanan
ini sangat tergantung pada usia, jenis kelamin, beban kerja dan keadaan lingkungan yang
berkaitan dengan individu bersangkutan. Bahan makanan dapat digolongkan menurut
makanan pokok (nasi,jagung, roti) lauk pauk (daging, ikan, tahu, tempe), sayur mayur, buah-
buahan dan susu. Bahan makanan mengandung pada umumnya zat-zat yang dibutuhkan
tubuh yaitu karbohidrat, protein, lemak, vitamin, garam mineral, dan air.
Karena zat makanan yang diperlukan tubuh meliputi keseluruhan zat-zat tersebut, maka
makanan yang cocok adalah makanan berimbang (balanxed diet). Makanan berimbang
adalah makanan yang komposisi gizinya terdiri atas karbohidrat (65-70%) protein (10-15%),
lemak (15-20%), cukup vitamin dan juga cukup mineral.
Tabel 4. Kebutuhan zat makanan
Pemenuhan kebutuhan akan zat makanan menentukan status gizi seseorang termasuk
tenaga kerja. Unsur terpenting bagi penilaian status gizi adalah tinggi badan dan berat
badan yang menentukan besarnya indeks massa tubuh (IMT) yaitu berat badan (BB) dibagi
kuadrat tinggi badan (TB) atau IMT=BB/TB2 dengan satuan kg per m2.
Tabel 5. IMT
Selain dengan memakai rumus tersebut, berat badan ideal dan normal dapat ditentukan
dengan rumus:
1. Berat badan ideal = tinggi badan (cm)-100
2. Berat badan normal tinggi badan (cm)-100 ±10%
Kebutuhan kalori orang dewasa termasuk tenaga kerja ditentukan oleh:
1. Metabolisme basal
2. Pengaruh makanan atas kegiatan tubuh (10% dari metabolisme basal)
3. Aktivitas otot
Tabel 6. Kalori yang dihasilkan per gram zat makanan
Zat makanan Kilokalori/gram
Karbohidrat 4
Lemak 9
Protein 4
Tabel 7. Pengerahan energi per jam per orang dengan berat badan 70 kg dan per kg berat
badan pada berbagai jenis kegiatan
Tabel 8. Pemakaian energi per jam
Jenis kelamin Berat badan Kilokalori (kilokal)
Laki-laki 65 (ideal) 3000
60
55
2780
2540
Perempuan 55 (ideal)
50
45
2600
2360
2130
Standar ini untuk seorang tenaga kerja perorangan masih perlu dikoreksi dengan faktor-
faktor sebagai berikut:
1. Faktor usia menurut presentasi
Usia (tahun) Persentasi (%)
20-30 100
30-40 97
40-50 94
50-60 86,5
60-70 79
>70 69
2. Tingkat aktivitas (termasuk pekerjaan) yang untuk orang standar rinciannya
meliputi:
Laki-laki Perempuan
Istirahat ditempat tidur 8 jam 8 jam
Bekerja (aktivitas ringan) 8 jam 8 jam
Berjalan 1 ½ jam 1 ½ jam
Aktivitas ringan pribadi 1 ½ jam 1 ½ jam
Duduk 4 jam 4 jam
Rekreasi 1 jam 1 jam
Tabel 9. Penyesuaian kebutuhan kalori berdasarkan tingkat kegiatan tanpa atau dengan
pekerjaan ringan, sedang, dan berat menurut jenis kelamin dan berat badan
3. Keadaan hamil dan menyusui bagi wanita. Biasanya kalori ditambah 10%
Dalam hubungan pekerjaan, bahan makanan yang dibutuhkan oleh tenaga kerja adalah
bahan makanan yang memenuhi kebutuhan gizi masyarakat pada umumnya ditambah
dengan tambahan kebutuhan kalori untuk keperluan melaksanakan pekerjaan.
Atas dasar antrpometris tahun 1980an yang menyatakan tinggi badan rata-rata dan berat
badan rata-rata tenaga kerja laki-laki 161,3 cm dan 52,2 kg serta perempuan 151,6 cm dan
45,4 kg, maka kebutuhan kalori tenaga kerja laki-laki utnuk pekerjaan ringan, sedang sampai
berat adalah 2350, 2610 dan 3130 kilokalori dan tenaga kerja perempuan adalah 2040,
2270, dan 2720 kilokalori.
Pada upaya menerapkan gizi kerja beberapa hal khusus perlu mendapat perhatian:
1. Pengaruh frekuensi makan dan komposisi makanan:
a. Pengalaman dari pelaksanaan gizi kerja diperusahaan menunjukan bahwa pem-
berian kesempatan untuk makan pada saat-saat istirahat kerja membantu
pemmperbaiki produktifitas dan dapat mengurangi timbulnya kelelahan kerja.
b. Makin pagi mempunyai pengaruh penting kepada produktifitas kerja. Makan pagi
merupakan salah satu aspek dari kebiasaan atau cara hidup sehat.
c. Makanan yang diberikan dalam pekerjaan harus bersifat ringan, mudah dicerna
dan berfungsi menambah kalori yang dibutuhkan.
d. Jika nilai gizi makanan dipenuhi untuk kebutuhan kalori termasuk kalori kerja
maka tidak perlu ditambah frekuensi makan. Kecuali makanan selingan pada saat
istirahat kerja.
2. Untuk pekerjaan pada tempat kerja yang bersuhu tinggi, harus diperhatikan secara
khusus kebutuhan akan air dan gara msebagai pengganti cairan untuk penguapan
keringat.1
PENUTUP
KESIMPULAN
perlu mengembangkan dan meningkatkan K3 disektor kesehatan dalam rangka menekan
serendah mungkin resiko kecelakaan dan penyakit yang timbul akibat hubungan kerja, serta
meningkatkan produktivitas dan efisiensi.
Dalam pelaksanaan pekerjaan sehari-hari karyawan/pekerja disektor kesehatan tidak
terkecuali dirumah sakit maupun perkantoran, akan terpajan dengan resiko bahaya
ditempat kerjanya. Resiko ini bervariasi mulai dari yang paling ringan sampai yang paling
berat tergantung jenis pekerjaannya. Dan meningkatnya absensi dan kecelakaan kerja
karena penurunan kesehatan kerja dapat dilakukan pemeriksaan assesement.
DAFTAR PUSTAKA
1. R.K, Suma’mur. Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja (Hiperkes). Jakarta: CV
Sagung Seto; H. 272-579.
2. Escuderol, H.G., Chen, M.L., Leo, Y.S. Surveillance of Severe Acute Respiratory
Syndrome (SARS) in the Postoutbreak Period. Singapore Medical Journal. 2005: 165.
3. Kurniawidjaja LM. Teori dan Aplikasi Kesehatan Kerja. Jakarta: UI Press: 2010.
4. Ridley, John. Kesehatan dan Keselamatan Kerja. Edisi ketiga. Jakarta: Erlangga; 2008.
h. 39-144.
5. Lauwerys, R.R., Hoet, P. Industrial Chemical Exposure Guidelines for Biological
Monitoring 3rd Edition. USA: CRC Press LLC; 2001.
6. Suardi R. Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja: Manajemen Risiko.
Jakarta: Penerbit PPM; 2007. h. 1,8,88-90.
7. M Soeripto. Higiene Industri: Pengenalan Bahaya Faktor Kimia di Lingkungan Kerja.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2008. h. 28.
8. Team ILO-IPEC Programme kesehatan dan lingkungan di sector informal alas kaki dan
pia markkannen. Meningkatkan keselamatan, kesehatan dan lingkungan kerja di
sector informal alas kaki. Kantor pemburuhan Internasional. 2005.
9. Kesehatan kerja. 12 Oktober 2012. Diunduh dari: http://prodia.co.id/layanan-
khusus/cup-okupasi.
top related