Transcript
KEMISKINAN DAN REFORMA AKSES AGRARIA
DI DESA PERKEBUNAN
(Kasus: Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar, Dusun Cigarehong, Desa Purwabakti, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor)
VIDYA HARTINI SIMARMATA
I34051442
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN
MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2009
ABSTRACT Local poverty definition in Padajaya Village and Padajembar Village are
an inability to attain a minimum standard of living and having no house. Agrarian problems of upland village are contour and fertility of land, relation between peasants and Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH), small land ownership by peasants, environment damages, low access of transportation access, credit, cooperation, and agriculture extension. Agrarian reform consists of landreform and access reform. Access reforms that must be done in Padajaya Village and Padajembar Village are: developing peasant organisation, infrastructure, increasing capacity of agent of change and research, creating credit incentives. Key Word : Agrarian reform, upland poverty, agrarian problem and access.
RINGKASAN VIDYA HARTINI SIMARMATA. Kemiskinan Dan Reforma Akses Agraria Di Desa Perkebunan. Kasus: Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar, Dusun Cigarehong, Desa Purwabakti, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor (di bawah bimbingan IVANOVICH AGUSTA).
Berdasarkan data kemiskinan yang dikeluarkan oleh BPS per Maret 2008, menunjukkan jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada dibawah Garis Kemiskinan) di Indonesia sebesar 34,96 juta orang (15,42%), dan sebagian besar penduduk miskin berada di daerah perdesaaan (63,47%). Kemiskinan di pedesaan mempunyai hubungan dengan masalah-masalah agraria khususnya tanah. Menurut Syahyuti (2006), asumsi dasar yang melandasinya adalah karena sebagian besar rakyatnya masih menggantungkan hidupnya pada tanah.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif yang digunakan untuk memetakan dan menganalisis kontruksi kemiskinan, masalah agraria yang masyarakat hadapi dan kegiatan reforma akses agraria apa saja yang relevan diterapkan di Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar. Peneliti memilih Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar dikarenakan keunikan dari kedua kampung tersebut, yang masih termasuk ke dalam daerah perkebunan Cianten, akan tetapi memiliki karakteristik yang berbeda dari kampung lainnya. Pada Kampung Padajaya, sebagian besar masyarakatnya tidak menopangkan hidupnya pada perkebunan, sedangkan pada Kampung Padajembar, sebaliknya sebagian besar penduduknya menopangkan hidupnya pada perkebunan.
Definisi kemiskinan lokal Kampug Padajaya dan Kampung Padajembar adalah kondisi dimana seseorang tidak memiliki rumah dan tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya selayaknya orang biasa, yaitu tidak dapat makan dua kali sehari dan tidak dapat menyekolahkan anaknya sampai jenjang SMP. Tangga kehidupan masyarakat di Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar yaitu: fakir miskin, fakir, miskin, sedang, standar dan mampu. Pembuatan indikator dari tangga kehidupan ini dibuat berdasarkan tingkat penghasilan yang dimiliki oleh warga masyarakat di dusun tersebut, yang kemudian dikembangkan.
Hasil pertanian yang terdapat di Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar adalah padi, cabe, kacang panjang, jagung, pisang, sayur-sayuran dan tanaman rempah-rempah yang digunakan untuk memasak. Masyarakat pada umunya menanam padi sebagai komoditas utama, karena padi adalah kebutuhan utama pangan mereka. Masalah agraria yang dihadapi oleh petani di Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar yaitu penguasaan yang sempit oleh petani, degradasi tanah, akses transportasi yang sulit, tidak adanya penyuluhan, tidak adanya penyaluran kredit, tidak adanya koperasi. Reforma akses agraria yang harus dilakukan di Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar yaitu: pembangunan infrastruktur, peningkatan produktivitas tanah, perbaikan sistem pajak tanah, pemberian kredit, adanya penyuluhan dan penelitian di yang terakhir yaitu perlu adanya pemerataan akses agaria di Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar sesuai dengan tingkat kesejahteraan yang dapat dilihat melalui tangga kehidupan warga dan luas lahan pertanian yang mereka miliki.
KEMISKINAN DAN REFORMA AKSES AGRARIA
DI DESA PERKEBUNAN
(Kasus: Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar, Dusun Cigarehong, Desa Purwabakti, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor)
VIDYA HARTINI SIMARMATA
I34051442
SKRIPSI
Sebagai Prasyarat untuk Mendapatkan Gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada
Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN
MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2009
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN
MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini menyatakan bahwa Skripsi yang ditulis oleh:
Nama : Vidya Hartini Simarmata
Nomor Pokok : I34051442
Judul : Kemiskinan dan Reforma Akses Agraria di Desa Perkebunan
(Kasus: Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar, Dusun
Cigarehong, Desa Purwabakti, Kecamatan Pamijahan,
Kabupaten Bogor).
Dapat diterima sebagai syarat kelulusan KPM 499 pada Departemen Sains
Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut
Pertanian Bogor.
Menyetujui,
Dosen Pembimbing
Ivanovich Agusta SP, MSi NIP. 19700816 199702 1 001
Mengetahui,
Ketua Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
Dr. Ir. Lala M. Kolopaking, MS NIP. 19580827 198303 1 001
Tanggal Lulus Ujian: ___________________
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL
“KEMISKINAN DAN REFORMA AKSES AGRARIA DI DESA
PERKEBUNAN. Kasus: Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar,
Dusun Cigarehong, Desa Purwabakti, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten
Bogor” INI BENAR-BENAR MERUPAKAN HASIL KARYA YANG BELUM
PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI KARYA ILMIAH PADA SUATU
PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN DAN JUGA BENAR-
BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI TIDAK MENGANDUNG BAHAN-
BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK
LAIN KECUALI SEBAGAI BAHAN RUJUKAN YANG DINYATAKAN
DALAM NASKAH. DEMIKIAN PERNYATAAN INI SAYA BUAT DENGAN
SESUNGGUHNYA DAN SAYA BERSEDIA MEMPERTANGGUNG-
JAWABKAN PERNYATAAN INI.
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bogor, 20 April 1987 sebagai anak kedua dari
pasangan suami istri Janson P. Simarmata, MSc dan Norma Siahaan, BA. Pada
tahun 1993 penulis masuk Sekolah Dasar Budhi Bhakti Bogor. Tahun 1999
meneruskan ke Sekolah Menengah Pertama Negeri I Darmaga Bogor dan tahun
2002 melanjutkan ke Sekolah Menengah Atas Kornita Bogor. Pada tahun 2005,
penulis diterima masuk ke IPB melalui jalur USMI (Usulan Masuk IPB) dan
tercatat sebagai Mahasiswa Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan
Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.
Disamping belajar, penulis aktif sebagai panitia penyelenggara pada
beberapa kegiatan di luar dan di dalam kampus dan sebagai anggota beberapa
organisasi dalam kampus diantaranya sebagai divisi Multimedia And Advertising
(MUSELSI) pada Himpunan Mahasiswa Peminat Komunikasi dan Pengembangan
Masyarkat (HIMASIERA), Humas Onigiri Japan Club IPB, dan Komisi
Pelayanan Khusus (KoPelKhu) Persekutuan Mahasiswa Kristen (PMK) IPB.
Pengalaman kerja penulis adalah sebagai penyiar di Radio Pertanian Ciawi dan
notulen seminar.
KATA PENGANTAR
Puji Syukur penulis panjatkan atas kasih dan pernyertaan Tuhan Yesus
Kristus sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Kemiskinan
dan Reforma Akses Agraria di Desa Perkebunan. Kasus: Kampung Padajaya dan
Kampung Padajembar, Dusun Cigarehong, Desa Purwabakti, Kecamatan
Pamijahan, Kabupaten Bogor” sebagai syarat kelulusan pada Departemen
Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut
Pertanian Bogor.
Penekanan skripsi ini terletak pada kemiskinan sebagai dampak dari
masalah-masalah agraria yang ada di desa perkebunan. Masalah-masalah yang
penulis uraikan merupakan masalah yang umum terjadi di desa perkebunan
Indonesia. Dalam tulisan ini juga, penulis menjabarkan kemiskinan yang terjadi di
Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar dan penanggulangan kemiskinan
melalui reforma akses agraria.
Skripsi ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi mahasiswa lain yang
juga tertarik dalam membahas kajian agraria. Penulis mengetahui bahwa karya ini
belumlah sempurna, maka dari itu kritik dan saran yang membangun sangat
penulis harapkan.
Bogor, September 2009
Penulis
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur penulis panjatkan kepada Bapa yang di Surga yang telah
memberikan kasih, kekuatan dan berkatNya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tulisan ini tidak
dapat penulis selesaikan tanpa mendapat bantuan. Oleh sebab itu, pada
kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada :
1. Ivanovich Agusta, SP, MSi selaku dosen pembimbing studi pustaka
sekaligus dosen pembimbing skripsi, yang telah mengajarkan banyak hal
mengenai penulisan, mengembangkan pola pikir dan membimbing penulis
dengan penuh kesabaran dan pengertian selama proses belajar menulis
skripsi ini.
2. Ir. Said Rusli, MA atas kesediaan menjadi dosen penguji utama pada
sidang dan masukan-masukan berharga yang telah diberikan.
3. Martua Sihaloho, SP, MSi atas kesediaan menjadi dosen penguji
perwakilan departemen pada sidang skripsi, masukan-masukan yang
membangun dan bimbingan selama penulis menempuh pendidikan di
KPM.
4. Orang tua penulis, Bapak Janson P. Simarmata, MSc dan Ibu Norma
Siahaan, BA atas dukungan doa selama penulis menyelesaikan skripsi ini.
5. Saudara dan saudari penulis, Posmalini Simarmata, SE, Astrid Rahayu
Kristi, SKPM, Doris Martugiana, dan Richard Simarmata atas motivasi
dan doa selama penulis menyelesaikan skripsi ini.
6. Pangihutan Sutan Sugondo Samosir, STp, atas dukungan yang selalu
diberikan.
7. Mas Sohib ‘Sayogyo Inside’ atas bimbingan, saran, diskusi-diskusi, jurnal
dan bahan-bahan agraria serta pinjaman buku yang diberikan.
8. Mas Eko ‘Sayogyo Inside’, Cici, Fahroji dan Yayan, atas transfer ilmu
pengetahuan yang diberikan kepada penulis.
9. Aditya Rahman, teman sebimbingan penulis, yang selalu memberi
semangat, dan selalu berjuang bersama baik suka dan duka.
10. M. Iqbal Banna, partner kerja penulis, atas teguran halus dan teguran
kerasnya, yang membuat penulis belajar banyak hal selama penulis bekerja
sambil mengerjakan skripsi ini.
11. Teman-teman Perwira 45 Teresia Tandean, STp, Veronica Gunawan, STp,
Mervina, SGz, Franz Sahidi, Stella A.G, STp yang selalu mengerti
keadaan penulis dan memberi semangat.
12. Teman-teman KPM 42 Wina, Ficha, Lidia, Mora, Palupi, Tamimi, Edu,
Dito, Bibob, Rio, Yuda, Rizal, Anvina, Fahmi yang selalu membantu
penulis dalam suka dan duka.
13. Sahabat penulis Narendra, Rifan, Kiki, Lina, Wanya, Fitri, dan Wani.
14. Keluarga kelompok kecil penulis Ci uke, Nina, Melda, Vania, dan Nikita
atas doanya.
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR ISI ............................................................................................... x DAFTAR TABEL ....................................................................................... xiii DAFTAR GAMBAR ................................................................................... xiv DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................ xv BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang .................................................................................... 1 1.2 Perumusan Masalah ............................................................................. 3 1.3 Tujuan Penelitian ................................................................................ 5 1.4 Kegunaan Penelitian ........................................................................... 5 BAB II PENDEKATAN TEORITIS 2.1 Kemiskinan ......................................................................................... 6 2.1.1 Konsep Kemiskinan .................................................................... 6 2.1.2 Indikator Kemiskinan : Aset dan Pendapatan .............................. 8 2.1.3 Penanggulangan Kemiskinan ...................................................... 12 2.2 Kehidupan Sosial-Ekonomi Masyarakat Perkebunan ........................... 14 2.3 Masalah-masalah Agraria di Perkebunan ............................................. 16 2.3.1 Ketimpangan Penguasaan dan Pemilikan ..................................... 18 2.3.2 Penguasaan yang Sempit oleh Petani .......................................... 19 2.3.3 Kerusakan Lingkungan ............................................................... 20 2.4 Reforma Agraria ................................................................................. 21 2.4.1 Konsep Reforma Agraria ............................................................. 21 2.4.2 Reforma Akses Agraria .............................................................. 24 2.4.3 Dampak Reforma Agraria ........................................................... 26 2.5 Kerangka Pemikiran ............................................................................ 28 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian ............................................................................... 30 3.2 Waktu dan Tempat Penelitian .............................................................. 31 3.3 Pemilihan Tineliti dan Informan .......................................................... 36 3.4 Metode Pengambilan Data .................................................................. 38 3.4.1 Wawancara Mendalam ................................................................ 39 3.4.2 Pengamatan Berperan Serta ........................................................ 41 3.4.3 Penelusuran Dokumen ................................................................ 42 3.5 Teknik Analisis Data ........................................................................... 42 3.6 Bias Penelitian .................................................................................... 43
BAB IV GAMBARAN UMUM DESA, DUSUN, KAMPUNG DAN PERKEBUNAN
4.1 Desa Purwabakti ................................................................................. 45 4.1.1 Kondisi Geografis Desa Purwabakti ........................................... 45 4.1.2 Kependudukan Desa Purwabakti ................................................ 46 4.1.3 Pendidikan Desa Purwabakti ...................................................... 48 4.2 Dusun Cigarehong .............................................................................. 49 4.3 Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar .................................... 50 4.3.1 Keadaan Geografi Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar50 4.3.2 Pendidikan di Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar ..... 52 4.4 PTP. Nusantara VIII Perkebunan Cianten ............................................ 55 4.4.1 Keadaan Geografi ....................................................................... 55 4.4.2 Pekerja Perkebunan .................................................................... 57 4.4.3 Sejarah Perkebunan .................................................................... 59 4.4.4 Visi, Misi dan Kontribusi Perkebunan ........................................ 61 4.4.5 Penggunaan Lahan Perkebunan .................................................. 62 BAB V KONSTRUKSI KEMISKINAN LOKAL 5.1 Sejarah Penduduk Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar ....... 64 5.2 Masyarakat sebagai Pekerja Perkebunan ............................................. 65 5.3 Merekonstruksi Ulang Arti dan Indikator Kemiskinan Lokal ............... 72 5.4 Kemiskinan Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar ................ 78 5.5 Mobilitas Sosial .................................................................................. 84 5.5.1 Warga kampung Padajaya dan Kampung Padajembar yang Tetap Miskin ............................................................................ 93 5.5.2 Warga kampung Padajaya dan Kampung Padajembar yang Jatuh Miskin ............................................................................. 95 5.5.3 Warga kampung Padajaya dan Kampung Padajembar yang Tetap Kaya ......................................................................................... 98 5.5.4 Warga Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar yang Jadi Kaya ........................................................................................ 99 5.6 Modal Sosial Masyarakat .................................................................... 101 BAB VI MASALAH AGRARIA 6.1 Kontur Wilayah Perkebunan dan Kesuburan Tanah ............................. 103 6.2 Hubungan Petani dengan TNGH ......................................................... 107 6.3 Penguasaan yang Sempit oleh Petani .................................................... 109 6.4 Kerusakan Lingkungan ....................................................................... 114 6.5 Sulitnya Akses Transportasi ................................................................ 115 6.6 Tidak Adanya Penyuluhan .................................................................. 118 6.7 Tidak Adanya Penyaluran Kredit ........................................................ 121 6.8 Tidak Adanya Koperasi ....................................................................... 124
BAB VII REFORMA AKSES AGRARIA 7.1 Pengembangan Keorganisasian Petani ................................................ 128 7.2 Pembangunan Infrastruktur ................................................................ 129 7.3 Penyuluhan dan Penelitian ................................................................. 130 7.4 Pemberian Kredit ............................................................................... 131 7.5 Pemerataan Akses .............................................................................. 131 BAB VIII KESIMPULAN DAN SARAN 8.1 Kesimpulan .......................................................................................... 137 8.2 Saran .................................................................................................... 138 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 139 LAMPIRAN .............................................................................................. 141
DAFTAR TABEL
No. Teks Halaman
1. Struktur permasalahan agraria di Indonesia ........................................... 17 2. Topik Wawancara Penelitian ................................................................. 40 3. Luas dan Penggunaan Lahan Desa Purwabakti ...................................... 46 4. Struktur Umur dan Jenis Kelamin Penduduk Desa Purwabakti ............... 47 5. Mata Pencaharian Penduduk Desa Puwabakti ......................................... 48 6. Tingkat Pendidikan Penduduk Desa Purwabakti ..................................... 49 7. Jenjang Kepegawaian dan Jumlah Karyawan PTPN VIII Kebun Cianten 57 8. Penggunaan Lahan Perkebunan ............................................................... 63 9. Mobilitas sosial Masyarakat ................................................................... 91 10. Sebaran Masyarakat Berdasarkan Posisi Tangga Kehidupan Masyarakat pada Tahun 1999 dan Tahun 2009 .......................................................... 93 11. Jumlah Pemilik Sawah Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar .. 123
DAFTAR GAMBAR
No. Teks Halaman
1. Kerangka Pemikiran .............................................................................. 29 2. Waktu Penelitian ................................................................................... 35 3. Peta Desa .............................................................................................. 45 4. SDN Ciasmara IV ................................................................................. 52 5. Tempat Penitipan Anak (TPA) .............................................................. 53 6. Pemetik Teh Mengantri Giliran untuk Penimbangan ............................. 66 7. Juru Tulis Perkebunan ........................................................................... 67 8. Tangga Kehidupan, Indikator Kemiskinan Lokal Kampung Padajaya
dan Kampung Padajembar .................................................................... 74 9. Grafik Keluarga Miskin Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar 79 10. Indikator Mobilitas sosial ....................................................................... 86 11. Sebaran Masyarakat Berdasarkan Posisi Tangga Kehidupan Masyarakat
pada Tahun 1999 dan Tahun 2009 ......................................................... 92 12. Sawah yang Sesuai dengan Kontur Tanah Daerah Perkebunan ............... 104 13. Sayuran yang di Tanam Sesuai Kontur Tanah ....................................... 105 14. Tanaman Rempah dan Pohon Pisang Warga ........................................ 105 15. Padi Komoditas Utama Pertanian Masyarakat ....................................... 106 16. Grafik Luas Sawah Masyarakat Kampung Padajaya dan Kampung
Padajembar .......................................................................................... 112 17. Batu Kali di Tengah Sawah Masyarakat ................................................ 115 18. Sebaran Sawah Masyarakat Di Kampung Padajaya Dan Kampung
Padajembar ........................................................................................... 124
DAFTAR LAMPIRAN
No. Teks Halaman
1. Pedoman Pertanyaan Penelitian ............................................................. 141 2. Daftar Pengkategorian Keluarga Miskin Kampung Padajaya dan
Kampung Padajembar ........................................................................... 160 3. Karaksteristik Rumah Tangga Miskin Menurut BPS ............................. 166
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Studi mengenai pedesaan di Indonesia tidak lepas dari permasalahan
kemiskinan. Berdasarkan data kemiskinan yang dikeluarkan oleh BPS per Maret
20081, jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada dibawah Garis
Kemiskinan) di Indonesia sebesar 34,96 juta orang (15,42%), dan sebagian besar
penduduk miskin berada di daerah perdesaaan (63,47%).
Kemiskinan di pedesaan mempunyai hubungan dengan masalah-masalah
agraria khususnya tanah. Menurut Syahyuti (2006), asumsi dasar yang
melandasinya adalah karena sebagian besar penduduk desa masih
menggantungkan hidupnya pada tanah. Dalam kondisi demikian, penataan
penguasaan tanah yang lebih adil dan pemerataan akses terkait pengelolaan tanah
tersebut kepada masyarakat merupakan instrumen yang esensial untuk
menanggulangi kemiskinan dan ketimpangan penghasilan di pedesaan.
Upaya untuk menanggulangi kemiskinan di pedesaan salah satunya
dengan implementasi dari program reforma agraria, yang pada tahun 2007
dicanangkan kembali oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Agrarian
reform, atau adakalanya disebut reforma agraria dan pembaruan agraria (istilah
resmi sebagaimana tercantum dalam Tap MPR No. IX tahun 2001), memiliki
pengertian yang lebih luas, yang mencakup dua tujuan pokok yaitu bagaimana
mencapai produksi dari tanah yang lebih tinggi, dan bagaimana agar lebih dicapai
keadilan (Cohen, 1978 dalam Pangkurian, 2008).
1 http://www.bps.go.id/releases/Other_Press_Releases/Bahasa_Indonesia/more3.html
Selain itu, urgensi dari reforma agraria tidak hanya untuk menanggulangi
kemiskinan, menahan laju urbanisasi, menciptakan lapangan pekerjaan di desa,
tetapi tujuan-tujuan ekonomis dari pelaksanaan reforma agraria juga akan
mendukung pembangunan nasional yang kokoh. Melalui kokohnya pertanian,
diharapkan Indonesia mempunyai kemadirian pangan dan dapat berdikari “Berdiri
diatas kaki sendiri” sehingga dari pola perekonomian yang berbasis pertanian
berubah menuju perekonomian yang berbasis industri dan tetap diperkuat oleh
bidang pertanian (Wiradi, 2000).
Sasaran reforma agraria bukan hanya tanah pertanian, tetapi juga tanah-
tanah kehutanan, perkebunan, pertambangan, pengairan, kelautan, dan sumber-
sumber agraria lainnya, temasuk hak atas air, proteksi dari perubahan iklim, dan
keanekaragaman hayati (Wiradi, 2006). Desa perkebunan adalah salah satu
sasaran dari reforma agraria.
Menurut Mubyarto (1992), terutama pada perkebunan-perkebunan besar,
banyak ditemui kasus rendahnya kesejahteraan buruh perkebunan karena upah
yang diterima rendah. Rendahnya upah pada masyarakat perkebunan memaksa
mereka untuk mencari tambahan penghasilan yaitu salah satunya dengan bertani
menggunakan tanah-tanah yang tidak digunakan oleh perkebunan. Akan tetapi
hasil yang didapatkan masyarakat dari bertani tidaklah banyak, bahkan tidak
mencukupi untuk mencukupi kebutuhan pangannya sendiri. Selain disebabkan
oleh sempitnya lahan pertanian, masalah pertanian yang dihadapi oleh masyarakat
perkebunan yaitu sulitnya akses terhadap “dunia luar” sehingga mereka sulit
dalam mendapatkan fasilitas-fasilitas dari pemerintah dalam hal pertanian, baik
penyuluhan, pemberian bibit unggul, irigasi, maupun peningkatan inovasi
teknologi dalam pertanian.
Reforma agraria dapat dilancarkan dengan titik berat yang berbeda-beda.
Ada yang titik beratnya pada pembangunan ekonomi, di mana redistribusi tanah
tidak diutamakan. Ada pula dengan menitikberatkan kepada perombakan struktur
sosial dan asas pemerataan, dengan sasaran utama adalah redistribusi tanah.
Redistribusi tanah seringkali disebut sebagai aspek landreform yaitu penataan
ulang struktur penguasaan dan pemilikan tanah. Sementara itu, aspek non-
landreform adalah bentuk-bentuk dan cara mengolah tanah dengan menerapkan
teknologi baru, perbaikan infrastruktur, bantuan kredit, dukungan penyuluhan
pertanian, pengembangan pasar komoditas pertanian dan lain-lain (Syahyuti,
2006).
1.2 Perumusan Masalah
Kemiskinan di pedesaan dapat disebabkan oleh masalah pertanian maupun
non-pertanian. Akan tetapi penelitian ini akan lebih difokuskan pada masalah
pertanian yang terdapat di daerah pedesaan, khususnya desa perkebunan, yaitu di
Desa Purwabakti. Menurut Mubyarto (1992), kemiskinan di pedesaan, khususnya
pada desa perkebunan, terjadi karena bekerjanya sistem “kapitalistik” pada
perkebunan tersebut. Perkebunan dianggap sebagai “pabrik” pertanian sehingga
dibutuhkan efisiensi dan efektifitas dalam setiap kegiatan produksi untuk
menghasilkan untung yang sebesar-besarnya bagi pengelola pabrik tersebut, salah
satunya yaitu dengan menekan upah dari karyawannya.
Penduduk yang menjadi karyawan dari perkebunan mengusahakan lahan
yang ada disekitarnya untuk mencukupi kebutuhannya sehari-hari karena
kurangnya gaji yang didapatkan dari perkebunan. Di desa-desa perkebunan
ditemukan petak-petak tanah pertanian penduduk yang menggunakan lereng-
lereng yang tidak digunakan oleh perusahaan perkebunan karena ketinggiannya
yang tidak layak untuk penanaman komoditas perkebunan itu sendiri.
Reforma akses agraria diharapkan dapat memberikan solusi bagi penduduk
di pedesaan untuk keluar dari kemiskinan yang mereka alami. Reforma akses
agraria ini berupa pemberian akses kepada masyarakat terkait pengelolaan tanah
yang mereka gunakan agar dapat memaksimalkan produktivitas tanah mereka,
untuk mendapatkan kualitas dan kuantitas hasil panen yang maksimal, dengan
tidak merusak alam.
Berdasarkan hal tersebut diatas, maka pertanyaan penelitian ialah:
1. Bagaimana konstruksi kemiskinan di Kampung Padajaya dan Kampung
Padajembar, Dusun Cigarehong, Desa Purwabakti, Kecamatan Pamijahan,
Kabupaten Bogor?
2. Bagaimana masalah agraria memberikan kontribusi terhadap kemiskinan
di Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar, Dusun Cigarehong,
Desa Purwabakti, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor?
3. Bagaimana masalah agraria di Kampung Padajaya dan Kampung
Padajembar, Dusun Cigarehong, Desa Purwabakti, Kecamatan Pamijahan,
Kabupaten Bogor dapat diselesaikan dengan reforma akses agraria?
1.3 Tujuan Penelitian
Sesuai dengan perumusan masalah tersebut, maka penelitian ini bertujuan
untuk menjawab pertanyaan pada perumusan masalah. Adapun tujuan dari
penelitian ini yaitu:
1. Memahami konstruksi kemiskinan di Kampung Padajaya dan Kampung
Padajembar, Dusun Cigarehong, Desa Purwabakti, Kecamatan Pamijahan,
Kabupaten Bogor.
2. Menganalisis masalah agraria yang memberikan kontribusi terhadap
kemiskinan di Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar, Dusun
Cigarehong, Desa Purwabakti, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor.
3. Menganalisis masalah agraria di Kampung Padajaya dan Kampung
Padajembar, Dusun Cigarehong, Desa Purwabakti, Kecamatan Pamijahan,
Kabupaten Bogor yang dapat diselesaikan dengan reforma akses agraria.
1.4 Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan data kuantitatif mengenai
kemiskinan, masalah agraria dan reforma agraria khususnya pada desa
perkebunan. Hasil analisis data tersebut dapat menjadi bahan pertimbangan dalam
penerapan program-program kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan upaya
penanggulangan kemiskinan di daerah tersebut, dan masukan bagi lembaga
pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat yang hendak melaksanakan reforma
agraria di Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar.
BAB II PENDEKATAN TEORITIS
2.1 Kemiskinan
2.1.1 Konsep Kemiskinan
Pada hakikatnya, kemiskinan merupakan persoalan yang selalu ada, dari
dulu, dan mungkin akan selalu ada sampai kapanpun. Belum ada upaya
penanggulangan kemiskinan yang berhasil dengan sempurna. Akan tetapi
memahami konsep kemiskinan tetap penting, yaitu untuk menemukan indikator
kemiskinan dan strategi penanggulangan kemiskinan yang tepat. Kemiskinan
diartikan secara berbeda-beda oleh para pakar kemiskinan. Hal ini dikarenakan
sudut pandang yang berbeda dalam melihat akar dari kemiskinan tersebut.
Menurut Sudibyo (1995), kemiskinan adalah kondisi deprivasi terhadap
sumber-sumber pemenuhan kebutuhan dasar, seperti pangan, sandang, papan,
kesehatan, pendidikan dasar, sedangkan kesenjangan adalah ketidakmerataan
akses terhadap sumber ekonomi yang dimiliki. Dari kelima deprivation trap
tersebut, kerentaan dan ketidakberdayaan merupakan penyebab yang perlu
mendapatkan perhatian. Kerentaan dan ketidakberdayaan tersebut mengakibatkan
perbedaan kepemilikan faktor produksi. Perbedaan tersebut dicerminkan oleh
ketidakmerataan akses terhadap sumber daya ekonomi, dan masing-masing pelaku
ekonomi hanya akan memperoleh penghasilan yang sebanding dengan apa yang
dikorbankan dan faktor produksi apa yang dimiliki. Menurut Syahyuti (2006),
miskin adalah suatu keadaan di mana seseorang tidak sanggup memelihara dirinya
sendiri sesuai dengan taraf kehidupan kelompoknya, dan tak mampu
memanfaatkan tenaga, mental, dan pikirannya dalam kelompok tersebut.
Soedjatmoko pada seminar ilmiah HIPIIS2 menyatakan terdapat dua
hubungan antara kemiskinan dan ketidakadilan. Ketidakadilan pada pemerataan
terhadap pengadaan sumber-sumber daya maupun pelayanan sosial yang
menyebabkan terjadinya kemiskinan mutlak. Adanya ketidakadilan ini juga
berkaitan dengan pola organisasi sosial dan dengan pola pengaturan institusional.
Sedangkan menurut Amartya Sen dalam Syahyuti (2006), “orang menjadi miskin
karena mereka tidak bisa melakukan sesuatu, bukan karena tidak memiliki
sesuatu”. Maka kunci pemberantasan kemiskinan menurutnya adalah “akses”,
yaitu akses ke lembaga pendidikan, kesehatan dan infrastruktur.
Dapat dikatakan bahwa kemiskinan adalah kondisi dimana seseorang
hidup dengan kondisi yang berbeda dengan orang lain dalam hal aset yang
berdampak pada akses mereka terhadap sumber daya yang ada dalam memenuhi
kebutuhan dasar hidupnya. Ketidaksamaan aset dan akses pada sumber daya
tertentu pada tiap kelompok ataupun individu dalam masyarakat menyebabkan
lahirnya ketidakadilan dalam struktur sosial yang akan menghasilkan kesenjangan
dan kecemburuan sosial.
Menurut Syahyuti (2006), kemiskinan dapat diukur secara absolute
ataupun secara relative. Kemiskinan absolute terlihat dari kehidupan di bawah
garis minimum, atau di bawah standar yang diterima secara sosial, dan adanya
kekurangan nutrisi. Sementara kemiskinan relative dilihat dalam perbandingan
dengan segmen masyarakat yang lebih atas. Kemiskinan juga didekati dari sisi
objektif dan subyektif. Sisi objektif merupakan pendekatan tradisional ilmiah
2 Seminar Ilmiah HIPIIS (Himpunan Indonesia untuk Pengembangan Ilmu-Ilmu Sosial) yang berlangsung pada bulan November 1979 di Malang.
didasarkan kepada pendekatan kesejahteraan (the welfare approach), sedangkan
sisi subyektif berasal dari penilaian masyarakat setempat
Kemiskinan dapat dilihat pada level individu, keluarga, komunitas,
maupun negara. Kemiskinan pada level individu dipercaya muncul karena
perilaku, pilihan, atau kemampuan dari si miskin itu sendiri dalam hidupnya.
Penyebab kemiskinan dapat terjadi karena faktor keluarga dimana si miskin
hidup, faktor kultural (subcultural causes) yang membentuk pola hidup, serta pola
pembelajaran dan prinsip berbagi dari komunitasnya, faktor luar misalnya karena
peran kebijakan pemerintah atau karena struktur ekonomi yang tidak adil, dan
penyebab struktural dimana kemiskinan merupakan hasil dari struktur sosial yang
tidak adil. Pada sebagian kalangan, yang melihatnya sebagai isu politik,
kemiskinan disebabkan karena kebijakan politik yang salah selanjutnya
melahirkan ketidakadilan sosial, dan lemahnya kesempatan untuk memperoleh
pendudukan (Syahyuti, 2006).
2.1.2 Indikator Kemiskinan: Aset dan Penghasilan
Terdapat perbedaan pandangan dalam melihat kemiskinan yaitu
berdasarkan kepemilikan aset dan tingkat penghasilan. Menurut Sherraden (2006),
aset merujuk pada jumlah kekayaan yang ada dalam keluarga. Sebaliknya,
penghasilan (income) merujuk pada arus sumber daya dalam sebuah keluarga,
sebuah konsep yang diasosiasikan dengan konsumsi terhadap barang dan jasa atau
pelayanan serta terhadap standar hidup. Alasan utamanya adalah bahwa
penghasilan hanya akan mempertahankan budaya konsumtif, sedangkan aset
dapat mengubah cara berpikir masyarakat dan cara mereka berinteraksi dengan
dunia. Aset akan membuat orang berpikir untuk tujuan-tujuan jangka panjang dan
mewujudkan tujuan-tujuan tersebut menjadi kenyataan. Dengan kata lain,
penghasilan berfungsi untuk mengisi “kebutuhan perut”, sedangkan aset
“merubah pola pikir masyarakat”. Selain itu, menurut Grobakken (2005),
pengurangan tingkat kemiskinan melalui peningkatan aset dasar dapat membuat
penduduk miskin sadar akan kemampuannya, sehingga dapat memimpin hidup
mereka sendiri lewat peningkatkan rasa pemberdayaan yang lebih baik serta
pemenuhan "kebutuhan dasar".
Berdasarkan Sherraden (2006), aset terdiri dari modal investasi yang pada
gilirannya akan menghasilkan laju pemasukan di masa depan. Aset dibagi menjadi
aset nyata (tangible) dan tidak nyata (intangible).
A. Aset-aset yang Nyata (Tangible Asset)
Aset yang nyata adalah sesuatu yang sah dimiliki termasuk di dalamnya
properti fisik sebagaimana hak milik dan berfungsi sama seperti properti fisik,
meliputi:
1. Tabungan uang yang pemasukannya dalam bentuk bunga.
2. Saham, surat tanggungan, dan semua bentuk jaminan finansial yang
bentuk pemasukannya seperti saham, bunga, dan/atau keuntungan modal
(atau kerugiannya).
3. Properti nyata, seperti bangunan atau tanah, dengan pemasukan dalam
bentuk pembayaran sewa beserta keuntungan (juga kerugiannya).
4. Aset-aset “berat” selain real estate, dengan pemasukan dalam bentuk
keuntungan modal (juga kerugiannya).
5. Mesin, alat-alat dan komponen produksi nyata lainnya, dengan bentuk
keuntungan penjualan dari produk yang dihasilkan (juga kerugiannya).
6. Barang keluarga yang kuat dan tahan lama, dengan keuntungan lewat
meningkatnya efisiensi tugas keluarga.
7. Sumber alam, seperti perkebunan, minyak, mineral dan kayu hutan dengan
keuntungan penjualan panen atau komoditas yang diambil (juga
kerugiannya).
8. Hak cipta dan hak paten dengan keuntungannya dalam bentuk royalti dan
biaya penggunaan lainnya.
B. Aset tidak Nyata (Intangible Asset)
Aset yang tidak nyata lebih bersifat tidak pasti, tidak secara legal diatur
dan seringkali diatur secara tidak jelas oleh karakter individu atau hubungan sosial
dan ekonomi.
1. Akses pada kredit (kapital yang dimiliki oleh orang lain) dengan
keuntungan tergantung dari penggunaan kredit tersebut (layaknya dalam
investasi).
2. Modal manusia (human capital), yang secara umum memiliki intelegensia,
latar belakang pendidikan, pengalaman kerja, pengetahuan, keterampilan
dan kesehatan, dan juga energi, visi, harapan dan imaginasi, dengan
bentuk pemasukannya adalah gaji dan kompensasi lainnya setelah
melakukan pekerjaan, layanan, dan ide.
3. Modal budaya (cultural capital), dalam bentuk pengetahuan dari subyek
yang secara kultural signifikan, kemampuan untuk menghadapi situasi
sosial dan birokrasi formal, termasuk kosa kata, aksen, cara berpakaian,
penampilan dengan bentuk keuntungan mendapatkan penerimaan dari pola
asosiasi.
4. Modal sosial informal (informal social capital) dalam bentuk keluarga,
teman, koneksi yang kadang disebut dengan “jaringan sosial” dengan
bentuk keuntungan dukungan material, dukungan emosional, informasi
dan akses yang lebih mudah pada pekerjaan, kredit, perumahan dan tipe
aset lainnya.
5. Modal sosial formal, atau modal organisasi yang artinya adalah strukur
atau teknik organisasi formal yang berlaku pada modal nyata,
penanamannya dalam bentuk peningkatan efisiensi keuntungan.
6. Modal politis dengan bentuk partisipasi, kekuatan dan pengaruh dengan
keuntungan peraturan dan keputusan yang menguntungkan serta
diinginkan pada level pemerintahan negara juga lokal.
Menurut Grobakken (2005), tanah merupakan aset yang dapat digunakan
oleh penduduk miskin untuk mendapatkan akses ke aset lainnya. Akses terhadap
tanah dapat memenuhi kebutuhan pangan dan kebutuhan dasar lain yang
diperlukan oleh masyarakat. Selain itu, tanah dapat dijual atau digunakan sebagai
jaminan untuk berinvestasi dalam proyek-proyek yang produktif, bisnis atau usaha
yang dapat membantu petani miskin untuk meningkatkan tingkat ekonominya.
Bila diasumsikan panen yang diproduksi mencapai tingkat produktivitas yang
tinggi, hal ini dapat meningkatkan kemampuan petani untuk menyimpan bibit,
uang atau aset lainnya selain pengeluaran biaya hidup sehari-hari.
2.1.3 Penanggulangan Kemiskinan
Menurut Syahyuti (2006), setidaknya ada dua paradigma atau teori besar
(grand theory) mengenai kemiskinan, yaitu: paradigma neo-liberal dan sosial
demokrat. Secara garis besar, para pendukung neo-liberal berargumen bahwa
kemiskinan merupakan persoalan individual yang disebabkan oleh kelemahan-
kelemahan, atau karena pilihan-pilihan individu yang bersangkutan. Negara hanya
turun tangan apabila keluarga, kelompok-kelompok swadaya, atau lembaga-
lembaga keagamaan tidak mampu lagi menangani. Secara langsung, strategi
penanggulangan kemiskinan harus bersifat “residual” atau sementara. Sebaliknya,
menurut kaum sosial demokrat, kemiskinan bukanlah persoalan individual,
melainkan struktural. Kemiskinan disebabkan ketidakadilan dan ketimpangan
dalam masyarakat akibat tersumbatnya akses-akses kelompok tertentu terhadap
berbagai sumber-sumber kemasyarakatan. Pencapaian kebebasan hanya
dimungkinkan jika setiap orang memiliki atau mampu menjangkau sumber-
sumber, seperti pendidikan, kesehatan yang baik dan penghasilan yang cukup.
Negara harus berperan dalam menjamin bahwa setiap orang dapat berpartisipasi
dalam transaksi-transaksi kemasyarakatan yang memungkinkan mereka
menentukan pilihan-pilihannya dan memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Untuk
itu, strategi kemiskinan haruslah bersifat institusional atau melembaga (Syahyuti,
2006).
Dalam UU No.5 tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional
(Propenas), terdapat empat strategi penanggulangan kemiskinan, yaitu:
1. Penciptaan kesempatan (create opportunity) melalui pemulihan ekonomi
makro, pembangunan, dan peningkatan pelayanan umum.
2. Pemberdayaan masyarakat (people empowerment) dengan peningkatan
akses kepada sumber daya ekonomi dan politik.
3. Peningkatan kemampuan (increasing capacity) melalui pendidikan dan
perumahan.
4. Perlindungan sosial (social protection) untuk mereka yang menderita cacat
fisik, fakir miskin, keluarga terisolir, terkena PHK, dan korban konflik
sosial.
Pada proses perumusan Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan,
kurangnya akses pertanahan juga diidentifikasi sebagai salah satu permasalahan
yang dihadapi oleh orang miskin. Berbagai hasil kajian yang telah dilakukan,
menunjukkan bahwa bagi orang miskin tanah menjadi aset yang sangat berharga
dan seringkali menjadi satu-satunya sumber penghidupan. Ini terjadi terutama
pada masyarakat yang hidup di daerah pertanian, hutan dan perkebunan (Godril
dalam, Yuwono 2005).
Pilot project PPAN (Program Pembaruan Agraria Nasional) telah berjalan
di tahun anggran 2007, umumnya terdiri dari dua bentuk yakni pendaftran tanah
perorangan atas tanah-tanah yang dahulu pernah ditegaskan sebagai tanah obyek
landreform, dan penyelesain konflik antara petani dengan perkebunan swasta
dengan cara sebagian tanah diredistribusi secara perorangan pada petani dan
sebagian lagi diberikan perpanjangan Hak Guna Usaha (HGU) pada perusahan
perkebunan. Kedua bentuk ini sama sekali tidak dapat dianggap bentuk yang
dapat diandalkan (adequate solution) untuk menghadapi masalah-masalah agraria
(agrarian questions), yang secara fenomenal ditandai oleh kemiskinan dan
keterbelakangan agraria yang kronis, kesenjangan atau ketidakadilan kepemilikan
aset yang tajam, pengangguran terbuka dan terselubung yang besar, kerusakan
lingkungan yang mengguncang, kekurangan bahan makanan, konflik agraria yang
meledak-ledak, ketidakmampuan rakyat pedesan memiliki tabungan (domestic
capital) dan mengembangkan teknologi untuk memperbaiki produksi, dan
kondisi-kondisi keberlangsungan hidupnya (Fauzi, 2008).
2.2 Kehidupan Sosial-Ekonomi Masyarakat Perkebunan
Perkebunan sering disebut “pabrik” pertanian karena proses produksi
output komoditas perkebunan melalui perpaduan aneka faktor produksi (input)
(tanah, tenaga kerja, dan modal serta manajemen) laksana sebuah pabrik saja.
Tanah dan tenaga kerja yang murah adalah unsur pokok sistem perkebunan
(Mubyarto, 1992). Hal ini menyebabkan perkebunan berusaha menekan upah
buruhnya seminimal mungkin yang menyebabkan buruh perkebunan hidup dalam
kemiskinan karena upah yang diberikan oleh perkebunan tidak mencukupi untuk
kebutuhan mereka sehari-hari.
Tingkat upah buruh3, yang berlaku secara umum adalah Rp 7.000,00 per
“beduk” untuk tenaga kerja pria dan Rp 6.000,00 untuk tenaga kerja wanita.
Sebedug adalah kerja dari pukul 07.00 sampai dengan pukul 12.00 dengan waktu
istirahat selama satu jam. Kegiatan memanen pucuk teh biasanya dikerjakan oleh
tenaga kerja wanita, karena dipandang hasil kerjanya lebih bersih, lebih rapih dan
telaten. Sistem pengupahannya dengan cara penimbangan hasil petikan yakni
seharga Rp 250,00 per kilogram. Seorang pemetik teh yang terampil bisa
3 Penelitian dilakukan di Perkebunan Ciwangi, yaitu salah satu perkebunan swasta di Cianjur
memperoleh upah kerja sekitar Rp 18.000,00 sampai dengan Rp 20.000,00 per
hari (Herlina, 2002).
Selain upah, kemiskinan di perkebunan terkait juga dengan akses yang
berbeda antara buruh dan kelompok manajemen perkebunan. Menurut Mubyarto
(1992), perbedaan antara kelompok manjemen dan buruh tidak hanya terletak
pada kekuasaan dalam pengambilan kekuasaan tetapi juga dalam hal gaji dan
fasilitas lain yang menyangkut kesejahteraan sosial mereka masing-masing.
Perbedaan dalam mengakses fasilitas dan juga gaji menyebabkan masyarakat
miskin di pedesaan tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya seperti masyarakat
lainnya dalam desa tersebut. Kemiskinan di perkebunan ini bersifat struktural,
karena terjadi ketimpangan akses ekonomi, kesehatan dan pelayanan lainnya
antara kelompok buruh dengan kelompok manajemen.
Kemiskinan yang bersifat struktural tersebut memaksa pekerja perkebunan
mencari tambahan penghasilan di luar pekerjaan di perkebunan (Mubyarto, 1992).
Dalam Herlina (2002) yang meneliti di desa perkebunan teh di Desa Sukajembar,
Kabupaten Cianjur, pekerjaan yang banyak ditekuni oleh masyarakat adalah usaha
perkebunan tehPer. Sebagian lagi berusaha tani padi dan holtikultura. Tanaman
holtikultura yang banyak dibudidayakan adalah tomat, sayur putih (sampo),
bakung, cabe dan kacang panjang. Namun pengelolaan usaha tani padat modal ini
tidak dilakukan secara optimal, karena kurangnya pengetahuan teknik bercocok
tanam serta akses terhadap modal yang rendah. Selain usaha tani dan buruh tani,
terdapat beberapa aktivitas perekonomian sebagai sumber penghasilan
masyarakat, di antaranya berdagang kebutuhan sehari-hari, tengkulak hasil
pertanian, industri pengolahan teh dan pembuatan gula aren, serta sebagai jasa
angkutan.
Hubungan masing-masing tingkat kepegawaian tersebut dipisah dengan
tegas dan kaku oleh status dan sistem upah. Status dan sistem upah yang ada di
perkebunan menyebabkan timbulnya stratifikasi sosial di daerah perkebunan yang
sesuai dengan jabatannya dalam perkebunan. Menurut Mubyarto (1992)
perbedaan dalam kehidupan sosial ekonomi terjadi pula antara kelompok staf dan
non-staf perkebunan dengan masyarakat sekeliling perkebunan. Rumah-rumah
yang besar dengan fasilitas yang lengkap yang ada dalam perkebunan serta
kehidupan yang serba mewah sangat kontras dengan kehidupan yang sangat pas-
pasan dari masyarakat yang ada di perkebunan. Dalam situasi tersebut tidak dapat
dihindari lagi munculnya rasa kecemburuan sosial di kalangan masyarakat
perkebunan itu sendiri maupun di kalangan masyarakat yang ada di sekitarnya.
2.3 Masalah-Masalah Agraria di Perkebunan
Secara etimologis, istilah ”agraria” berasal dari sebuah kata dalam bahasa
Latin, ”ager”, yang artinya: (a) lapangan; (b) pedusunan (sebagai lawan
perkotaan); (c) wilayah; (d) tanah negara. Kata-kata ”pedusunan”, ”bukit”,
”wilayah” dan lain-lain itu jelas menunjukkan arti yang lebih luas, karena di
dalamnya tercakup segala sesuatu yang terwadahi olehnya (Wiradi, 2000).
Menurut Syahyuti (2006) dari pengertian etimologis ini tampak bahwa
yang dicakup oleh istilah agraria bukanlah sekadar ”tanah” atau ”pertanian” saja.
Kata-kata ”pedusunan”, ”bukit” dan ”wilayah” jelas menunjukkan arti yang lebih
luas karena di dalamnya tercakup segala sesuatu yang terwadahi olehnya. Di
”pedusunan” terdapat berbagai macam tumbuhan, air, sungai, mungkin juga
tambang, perumahan, dan masyarakat manusia.
Menurut Syahyuti (2006), istilah agraria tidak seperti yang dibayangkan
oleh kebanyakan orang pada umumnya, yang hanya menyangkut tanah saja,
melainkan mencakup banyak hal, baik fisik maupun non-fisik. Hubungan antara
aspek landreform dan aspek non-landreform, masalah yang dihadapi dan aktivitas
pembaruan agraria yang dapat dilakukan dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Struktur Permasalahan Agraria di Indonesia
Aspek dan Faktor-faktor pembentuknya
Masalah yang dihadapi saat ini
Aktivitas pembaharuan agraria yang relevan
Aspek Landreform Dibentuk oleh faktor tatanan hukum (negara dan ada), tekanan demografis, kondisi ekonomi (mis.lapangan kerja non-pertanian), kelembagaan lokal, dan lain-lain
1. Konflik penguasaan dan pemilikan secara vertikal dan horizontal.
2. Inkosistensi hukum (antara UUPA dan “turunannya”)
3. Ketimpangan penguasaan dan pemilikan
4. Penguasaan yang sempit oleh petani, sehingga tidak ekonomis
5. Ketidaklengkapan dan inkosistensi data
1. Penetapan objek tanah landreform
2. Penetapan petani penerima 3. Penetapan harga tanah dan cara
pembayaran 4. Pendistribusian tanah kepada
penerima 5. Perbaikan penguasaan,
(mis.perbaikan sistem penyakapan)
6. Penertiban tanah guntay (absentee)
Aspek Non-Land reform Dibentuk oleh faktor geografi, topografi, kesuburan tanah, infrastruktur, kondisi ekonomi lokal-global, tekanan demografis, ketersediaan teknologi, ketersediaan kredit, keuntungan usaha pertanian, dan lain-lain.
1. Degradasi tanah akibat pemanfaatan berlebih atau karena ketidaktepatan secara teknis
2. Konflik penggunaan/ pemanfaatan secara vertikal dan horizontal
3. Tanah semakin menjadi komoditas pasar dengan maraknya jual-beli tanah
1. Berbagai bentuk pengelolaan dan penguasaan tanah
2. Pembangunan infrastruktur 3. Peningkatan produkvifitas
tanah 4. Perbaikan sistem pajak tanah 5. Pemberian kredit usaha tani 6. Penyuluhan dan penelitian 7. Penyediaan pasar pertanian 8. Pengembangan keorganisasian
petani
Sumber: Syahyuti (2006)
Aspek fisik dapat berupa tanah, baik yang digunakan sebagai perumahan,
perkebunan, pertanian, daerah hutan ataupun pertambangan. Aspek non-fisik
terdiri dari hubungan-hubungan yang terkait dengan tanah tersebut, baik hukum
yang berlaku atas kepemilikan tanah tersebut, struktur agraria yang
mempengaruhi akses setiap subyeknya terhadap sumber-sumber agraria dan
berpengaruh besar terhadap keadilan dan tingkat kesejahteraan masing-masing
subyek agraria, maupun politik yang mempengaruhi pasar dari hasil tanah tersebut
(bidang pertanian).
2.3.1 Ketimpangan Penguasaan dan Pemilikan
Pada masyarakat di desa perkebunan, pemilikan atau penguasaan lahan
sangat penting sebagai pembuka peluang untuk meningkatkan produksi dan
memaksimalkan keuntungan. Petani di sini berperan sebagai manajer yang dalam
dirinya lekat kekayaan lahan sebagai merupakan sumberdaya ekonomi sekaligus
lambang status sosial di pedesaan. Ada perasaan bangga yang mengikat kuat dan
memotivasi untuk berusaha (Herlina, 2002).
Selain itu, penguasaan dan pemilikan pada masyarakat perkebunan
menjadi penting dikarenakan buruh perkebunan membutuhkan tanah untuk diolah
sebagai tambahan penghasilan dari upah rendah yang mereka dapatkan dari
perkebunan. Berdasarkan kajian Wijarnako (2005) upah rata-rata buruh petik pada
perkebunan teh yaitu Rp 100.000,00 sampai dengan Rp 250.000,00 per bulan.
Ketimpangan penguasaan dan pemilikan yang terjadi di desa perkebunan
yang melahirkan sengketa agraria, menurut Wijarnako (2005), bersumber dari
dominasi sistem pengelolaan tanah dan kekayaan alam termasuk perkebunan,
yang datang atau berasal dari negara, yang secara sepihak memberikan porsi
kesempatan begitu besar pada pemilik-pemilik modal dalam mengelola sumber
agraria. Isu kesenjangan ekonomi antara pihak perkebunan dengan desa
perkebunan sekitarnya merupakan akibat dari tindakan eksploitasi terhadap
sumber daya dan memanfaatkannya secara sepihak demi peningkatan produksi.
Pemilik modal dalam perkebunan yang menekankan pada keuntungan
semata membuat posisi masyarakat di desa perkebunan terdominasi. Pemberian
harga sewa tanah yang mahal membuat masyarakat di desa perkebunan yang
memiliki akses kepada penguasaan dan pemilikan tanah di desa perkebunan
adalah masyarakat yang memiliki posisi dalam perkebunan, karena mereka
memiliki modal yang berasal dari upah dari perkebunan untuk membayar sewa
dan memenuhi kebutuhan dengan mengolah tanah tersebut. Sementara itu buruh
perkebunan yang membutuhkan tanah untuk tambahan penghasilan tidak dapat
menikmati akses dari tanah karena keterbatasan modal. Buruh hanya menjadi
petani yang tidak memiliki tanah, sedangkan akumulasi pemilikan dan
penguasaan tanah hanya terletak pada masyarakat yang memiliki modal
(Wijarnako, 2005).
2.3.2 Penguasaan yang Sempit oleh Petani
Sempitnya penguasaan oleh petani di desa perkebunan dikarenakan
sebagian besar wilayah pertanian yang digunakan merupakan Hak Guna Usaha
yang dikuasai perkebunan. Berdasarkan studi Alfiasari (2004), lahan yang
digunakan oleh masyarakat desa perkebunan untuk budidaya pertanian adalah
lahan-lahan yang tidak digunakan oleh perkebunan. Lahan-lahan yang tidak
digunakan ini merupakan lahan-lahan di lereng-lereng gunung yang tidak
digunakan karena kemiringannya tidak cocok untuk tanaman teh. Pada lahan
pertanian masyarakat, tanaman yang biasanya ditanami antara lain, padi, pisang,
singkong, cabe, tomat, kacang panjang, dan bawang daun. Hasil sawah dan ladang
biasanya mereka pergunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Untuk dikomersialkan banyak hambatannya, baik dari kuantitas produksi yang
sedikit serta sarana transportasi yang masih sulit.
Menurut Mubyarto (1992), konsekuensi dari fenomena ini terlihat pada
rendahnya tingkat produktivitas maupun kualitas dari hasil produksi perkebunan
rakyat. Hal ini merupakan implikasi dari kesulitan petani dalam menerapkan
kultur teknis yang benar, yang memerlukan pengetahuan dan ketrampilan tinggi
serta dukungan modal yang besar.
2.3.3 Kerusakan Lingkungan
Menurut Godril dalam Yuwono (2005), persoalan sumber daya alam juga
dihadapi oleh masyarakat miskin dan berpengaruh terhadap kualitas kehidupan
mereka: yaitu persoalan air, terjadinya degradasi lingkungan di daerah pesisir
pantai yang merusak terumbu karang, terjadinya polusi, tingginya biaya saprodi,
banyaknya hama, jauhnya pasar atau buruknya akses ke pasar, terjadinya banjir
dan longsor, sulitnya bagi masyarakat miskin untuk meminjam modal di lembaga
keuangan karena adanya persyaratan dimana harus memiliki agunan (yang tidak
bisa dipenuhi petani dan nelayan miskin) yang prosedurnya berbelit-belit,
mekanisasi pertanian berdampak terhadap hilangnya ruang pekerjaan bagi petani
miskin, juga program peningkatan keterampilan kebanyakan ditujukan kepada
masyarakat desa secara umum dan tidak spesifik pada merek yang miskin
akibatnya.
Terdesak oleh keadaan, lapisan bawah terpaksa melakukan pekerjaan apa
saja yang dapat memperpanjang hidupnya, termasuk menebang pohon di hutan
lindung atau menambang di bawah bumu maupun di bawah permukaan laut.
Akibatnya, tanah menjadi tandus atau kemudian terjadi tanah longsor, banjir,
pendangkalan sungai, hancurnya terumbu karang, dan perusakan lingkungan
lainnya (Tjondronegoro, 2008a).
Masalah-masalah agraria dapat diselesaikan dengan reforma agraria. Akan
tetapi pendekatan dan cara penyelesaian untuk masing-masing permasalahan
tidaklah sama, dan tidak semua hal yang tercakup dalam reforma agraria harus
dilaksanakan untuk mengatasi permasalahan agraria di tiap daerah. Landreform
yang merupakan bagian dari agraria reform dapat dilakukan di daerah yang
mempunyai permasalahan kemiskinan yang terkait dengan banyaknya jumlah
petani gurem yang tidak mempunyai lahan, sedangkan open access agraria untuk
mengatasi ketidakadilan dalam penguasaan sumber-sumber agraria, dan gabungan
dari keduanya dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan-permasalahan
agraria.
2.4 Reforma Agraria
2.4.1 Konsep Reforma Agraria
Reforma sgraria hakekat maknanya adalah penataan kembali (atau
pembaruan) struktur pemilikan, penguasaan dan penggunaan tanah/wilayah, demi
kepentingan petani kecil, penyakap dan buruh tani tak bertanah. Dalam pasal 2
Tap MPR IX/2001, Pembaharuan Agraria didefinisikan sebagai ”suatu proses
yang berkesinambungan berkenaan dengan penataan kembali penguasaan,
pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan sumber daya agraria...” (Wiradi, 2000).
Ben Cousin (2007) dalam Noer Fauzi (2008) membuat enam golongan
land reform berdasarkan pada landasan teoritik yang mendasarinya:
1. Pendekatan neo-liberal terobsesi pada efisiensi produksi, sehingga
mengagendakan kebijakan-kebijakan yang mempromosikan penggunaan
optimal dari tanah, tenaga kerja dan modal tanah, dimana “kekuatan pasar”
adalah sandaran pokok untuk pembentuk kekayaan dan kesejahteraan.
2. Pendekatan neo-populis yang mengasumsikan bahwa bentuk dan skala
produksi merupakan pokok terpenting dalam berbagai kebijakan dan
program. Umumnya mereka percaya adanya hubungan berkebalikan
(inverse relationship) antara skala dan efisiensi. Usaha ekonomi skala
kecil lebih produktif dan efisien dari pada usaha ekonomi skala besar.
3. Pendekatan sustainable livelihood mengutamakan beragam sumber
penghasilan orang miskin (the multiple livelihood sources of poor people),
dan menghindari pemahaman yang sempit hanya pada aktivitas pertanian
saja atau pada lokasi pedesaan saja.
4. Pendekatan welfarist menjadikan ketersediaan makanan di unit rumah
tangga (household food security) dan pengurangan ancaman-ancaman
terhadap ketersediaan makanan ini sebagai maksud utama dari program
land reform.
5. Pendekatan radical populist mengedepankan keharusan perubahan struktur
agraria baik di wilayah, nasional maupun internasional, baik berupa
redistribusi sumber daya maupun badan usaha, yang diukur dengan
kepemilikan tanah dan kekayaan lain maupun penghasilan kelompok
miskin yang dipersatukan dalam berbagai pengelompokan yang dibagi
berdasar gender, etnik maupun kedudukan sosial atau geografi lainnya.
6. Pendekatan marxist yang mengevaluasi praktek land reform dengan
memperluas konsep efisiensi produksi, keberlanjutan hidup atau
kesejahteraan keluarga petani, atau perubahan struktur agraria ke dalam
fokus perubahan bentuk-bentuk eksploitasi kelas maupun gender yang
mendasari bentuk-bentuk organisasi produksi, distribusi hingga akumulasi
kekayaan
Menurut Tjondronegoro (2008), syarat sektor industri sebagai sektor
penting dalam proses pembangunan dan modernisasi yang harus memajukan
pertanian yaitu:
1. Realokasi sumber daya di sektor pertanian yang bukan saja merangsang
produksi tetapi merubah struktur masyarakat pedesaan dari yang feodal
atau setengah feodal ke struktur yang lebih demokratis, artinya juga
lembaga-lembaga yang menghambat emansipasi petani kecil disisihkan
dan diganti dengan orang lain.
2. Realokasi sumber daya tadi sekaligus juga mengurangi jumlah tenaga
kerja di sekitar pertanian yang menganggur atau tidak dimanfaatkan
(underutilized). Setelah sumber daya tanah sebagai faktor produksi diatas
lebih efisien dan berimbang dengan tenaga kerja, kelebihannya disalurkan
ke industri pengolah pertanian, pembangunan prasarana dan lain-lain
usaha pembangunan yang bersifat padat karya.
3. Kelebihan dari peningkatan produksi pertanian yang merupakan
“tabungan” dapat ditanam sebagai modal dalam sektor industri. Dalam
rangka ini memang produksi pangan bukan saja mencukupi tetapi
melampaui kebutuhan penduduk. Surplus lain di sektor pertanian yang
menghasilkan devisa dapat mempercepat proses industrialisasi.
4. Perusahaan, pemerintah dan wiraswasta sudah mampu dikelola oleh
pengusaha-pengusaha di dalam negeri secara efisien. Tidak perlu
diperjelas lebih lanjut bahwa gejala-gejala birokrasi yang menghambat
korupsi dan sebagainya pada tahap ini sudah dapat diatasi dengan cukup
baik dan tidak lagi menjerat jalannya perusahaan.
2.4.2 Reforma Akses Agraria
Menurut Syahyuti (2006), reforma agraria terdiri dari dua pokok
permasalahan yaitu ”penguasaan dan pemilikan” di satu sisi, dan ”penggunaan
dan pemanfaatan” di sisi lainnya. Landreform adalah penataan ulang struktur
penguasaan dan pemilikan tanah. Sementara, komponen ”non-landreform” adalah
bentuk-bentuk dan cara mengolah tanah (dalam pengertian ”soil”), yaitu dengan
menerapkan teknologi baru, perbaikan infrasturuktur, bantuan kredit, dukungan
penyuluhan pertanian, pengembangan pasar komoditas pertanian, dan lain-lain.
Sedangkan menurut Fauzi (2008), reforma agraria adalah politik redistribusi asset
produktif bagi kaum miskin di pedesaan, yang pada gilirannya, setelah diberikan
suatu asistensi modal, pendidikan dan teknologi, maka akan sampai juga pada
pembentukan modal didalam pedesaan. Selain itu, menurut Tjondronegoro
(2008), konsolidasi tanah karena itu bukan semata-mata perubahan fisik tata
ruang, tetapi sebenarnya juga memerlukan pengaturan kembali peran sosio-
ekonomi penghuni golongan lemah.
Sehingga dapat dikatakan landreform dan reforma agraria adalah dua hal
yang berbeda. Akan tetapi orang sering salah mengartikan dengan menyatakan
landreform adalah reforma agraria, padahal landreform hanya sebagian kecil dari
reforma agraria, karena reforma agraria adalah landreform ditambah dengan hal-
hal lain yang membuat redistribusi tanah tersebut menjadi hal yang lebih
bermanfaat dibandingkan hanya sebagai bagi-bagi tanah saja. Landreform tanpa
akses reform akan membuat petani yang telah mendapatkan tanah tetap menjadi
miskin karena ketidakberdayaaan mereka dalam mengolah dan memanfaatkan
lahan tersebut, bahkan petani mungkin akan menjual kembali lahan tersebut.
Sehingga yang dibicarakan dalam reforma agraria tidak hanya penggunaan dan
pemanfaatannya saja tanpa membahas hal yang paling dibutuhkan oleh
masyarakat (Syahyuti, 2006).
Menurut Wiradi (2006), pengalaman sejarah memberi pelajaran bahwa
suatu pembaruan agraria yang hanya berhenti pada masalah redistribusi tanah
ternyata justru menyebabkan produksi menurun untuk beberapa tahun. Hal ini
disebabkan karena infrastruktur yang menunjang pembaruan itu semula belum
dipikirkan sejak awal. Karena itu kemudian disadari bahwa program-program
penunjang itu harus menjadi satu paket dengan program pembaruan secara
keseluruhan, termasuk ke dalamnya program-program pasca redistribusi (antara
lain: perkreditan, penyuluhan, pendidikan, dan latihan, teknologi, pemasaran, dan
lain-lain).
Faktor-faktor yang sering hilang dalam reforma agraria adalah
infrastruktur, akses terhadap air, akses terhadap pasar, dan bantuan teknis
ekstensif untuk pemilik tanah. Hal ini adalah faktor yang sama pentingnya dengan
memberi tanah kepada masyarakat dan jika tidak dilakukan akan membuat
masyarakat menjual kembali tanahnya dan kembali tidak mempunyai tanah
(Grobakken, 2005). Menurut Tjondronegoro (2008) redistribusi harus dibarengi
dengan tindakan-tindakan penunjang seperti mengembangkan sistem kredit untuk
petani kecil, penyatuan usaha ke dalam koperasi, perlindungan terhadap petani
dengan hukum, tetapi juga dengan subsidi bila perlu dan lain-lain usaha, bahkan
termasuk mendirikan organisasi petani-petani kecil agar usaha pemerintah dapat
didukung dengan kekuatan sosial politik dari golongan yang berkepentingan
(interest group).
2.4.3 Dampak Reforma Agraria
Menurut Wiradi (2006)4, dampak positif dari reforma agraria secara umum
adalah:
1. Aspek hukum: akan tercipta kepastian hukum mengenai hak-hak rakyat
terutama kaum tani,
2. Aspek sosial: akan tercipta suatu struktur sosial yang dirasakan lebih adil,
3. Aspek psikologis: kedua hal tersebut pada gilirannya akan menimbulkan
socialeuphoria dan familly security sehingga para petani termotivasi untuk
mengelola usahataninya dengan lebih baik,
4 Http://rumahkiri.net/index.php. Gunawan Wiradi. Dampak Land Reform Terhadap Perekonomian Negara. 2002. Di unduh pada tanggal 22 Maret 2008.
4. Aspek politik: semua itu akhirnya dapat meredam keresahan sehingga
gejolak kekerasan dapat terhindari. Terciptalah stabilitas yang genuine,
bukan stabilitas semu akibat represi (seperti masa Orde Baru).
5. Semuanya itu akhirnya bermuara kepada ketahanan ekonomi.
Sedangkan dampaknya terhadap perekonomian masyarakat/nasional5:
1. Dalam beberapa kasus, memang untuk beberapa tahun produksi pertanian
menurun (misalnya, di Taiwan), namun sesudah itu meningkat pesat.
Sejumlah besar rakyat desa yang semula tunakisma atau buruh tani lalu
menjadi petani pemilik penggarap, mula-mula canggung. Namun dalam
jangka panjang mereka malahan berkembang menjadi pengelola usahatani
yang rasional dan bertanggung jawab (justru karena bangga atas terjadinya
perubahan status).
2. Anak-anak dari para petani pemilik tanah luas (yang kemudian tanahnya
dipotong oleh “land reform”) terpaksa tidak lagi bisa menikmati kekayaan
orang tuanya yang berasal dari tanah luas itu, dan tidak lagi bisa
meneruskan profesi orang tuanya. Namun mereka justru beralih ke profesi
lain (melalui pendidikan tinggi, yang biayanya dimungkinkan oleh sisa-
sisa kekayaan orang tuanya), dan menjadi tenaga-tenaga ahli yang
kompeten. Dalam jangka panjang, hal ini sangat menyumbang bagi
perkembangan perekonomian negaranya. (Contoh: Meksiko, Mesir, dan
negara-negara di sektiar Timur Tengah).
5 Mosher, A.T., 1976. Thinking About Rural Development. New York: Agricultural Development Council, Inc.
3. Pemilik/Penguasa tanah luas yang sebagian tanahnya terpangkas oleh
‘land reform’ itu kemudian mengalihkan investasinya ke luar desa, yang
pada gilirannya menopang proses industrialisasi.
2.5 Kerangka Pemikiran
Permasalahan kemiskinan di pedesaan dibagi menjadi dua yaitu masalah
agraria dan non-agraria. Masalah agraria meliputi masalah pertanian yang terdapat
di desa tersebut, sedangkan masalah non-agraria meliputi masalah
ketenagakerjaan, pendidikan, kesehatan, kependudukan, komunikasi dan peranan
wanita. Masalah agraria paling ditonjolkan pada penelitian ini, dikarenakan dalam
konteks pembangunan pedesaan, masalah agraria merupakan bagian paling
penting untuk masyarakat pedesaan yang sebagian besar penduduknya
menopangkan hidup pada sektor pertanian.
Berdasarkan Syahyuti (2006) ada empat permasalahan agraria di Indonesia
secara umum, yaitu ketidakkonsistenan hukum dan perundang-undangan6, serta
degradasi sumber daya alam7. Khusus untuk pertanian, permasalahan agraria yang
dihadapi adalah penguasaan yang sempit dan cenderung semakin kecil, konflik
penguasaan, lahan kritis dan marjinal tingginya alih fungsi lahan pertanian ke
nonpertanian, sulitnya mewujudkan konsolidasi usahatani, dan semakin besarnya
ketimpangan penguasaan lahan antar petani.
6 Salah satu konflik yang ramai adalah konflik penguasaan antara petani dengan pihak swasta. Keterlibatan swasta besar dimulai dari lahirnya Undang-Undang Agraria 1870 (Agrarische Wet) yang mengundang pihak swasta kolonial menanamkan modalnya terutama dalam bidang perkebunan. 7 Permasalahan ini tercantum dalam Tap MPR Bo.IX/2001 tentang pembaruan agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.
Reforma agraria adalah salah satu program penanggulangan kemiskinan
yang dilakukan oleh pemerintah. Reforma agraria terbagi menjadi dua titik berat,
yaitu aspek landreform dan aspek non-landreform atau yang disebut juga reforma
akses agraria. Kedua aspek ini dilakukan sesuai dengan urgensi masing-masing.
Pada desa perkebunan, aspek yang harus dilakukan pertama kali adalah aspek
non-landreform. Dengan peningkatan akses masyarakat terhadap pengolahan
tanah mereka sendiri, diharapkan masyarakat dapat semakin mengembangkan
dirinya sendiri, meningkatkan produktifitas dari lahannya dan yang terpenting
adalah masyarakat dapat mengetahui permasalahan agraria yang mereka hadapi
dan cara mengatasinya. Sehingga bila aspek landreform dilakukan, masyarakat
sudah siap, dan tidak menjual kembali tanah yang mereka dapatkan, ataupun
membiarkan lahan tersebut dikelola oleh orang lain karena ketudaktahuan mereka
dalam menggunakan lahan tersebut. Kerangka pemikiran penelitian ini dapat
dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Kerangka Pemikiran
Masalah Agraria
Ø Kontur wilayah perkebunan dan keseburan tanah
Ø Hubungan petani dengan perkebunan dan TNGH
Ø Penguasaan yang sempit oleh petani
Ø Kerusakan lingkungan Ø Sulitnya askes transportasi Ø Tidak adanya penyuluhan Ø Tidak adanya penyaluran
kerdit Ø Tidak adanya koperasi
Kemiskinan di Desa Perkebunan
Reforma Akses Agraria
Ø Pembangunan Infrastruktur Ø Peningkatan produktifitas
tanah Ø Pemberian kredit usaha tani Ø Penyuluhan dan
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif yang digunakan
untuk memetakan dan menganalisis kontruksi kemiskinan di Kampung Padajaya
dan Kampung Padajembar. Pendekatan kualitatif ini digunakan untuk
mengembangkan pemahaman yang rinci tentang pemaknaan mengenai
kemiskinan, indikator kesejahteraan dan tangga kehidupan dari masyarakat
Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar. Analisis penyebab dari
kemiskinan di dua kampung ini dipersempit kepada permasalahan agraria yang
masyarakat hadapi saja. Melalui permasalahan agraria yang dihadapi oleh
masyarakat, didapat upaya menanggulangi kemiskinan yang terdapat baik di
Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar, salah satunya yaitu penyusunan
usulan aktivitas reforma akses agraria yang relevan untuk diterapkan di Kampung
Padajaya dan Kampung Padajembar.
Metode kualitatif juga digunakan untuk mengidentifikasi sejauh mana
masalah agraria memberikan kontribusi terhadap kemiskinan di Kampung
Padajaya dan Kampung Padajembar. Dengan mengetahui akar kemiskinan dan
masalah-masalah lain yang dihadapi oleh masyarakat, peneliti dapat menggali
peluang sejauh mana peran masalah agraria menciptakan kemiskinan di dua
kampung di Dusun Cigarehong ini. Dengan metode ini pula, akan diketahui
aktivitas reforma akses agraria yang perlu dilakukan dan sesuai dengan kondisi
masyarakat di Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar.
Strategi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus.
Studi kasus merupakan salah satu strategi dalam penelitian kualitatif yang
mempunyai pengertian memilih lebih dari satu kejadian atau gejala sosial untuk
diteliti dengan menerapkan serumpun metode penelitian (Sitorus, 1998). Studi
kasus pada penelitian ini yaitu kasus kemiskinan di Kampung Padajaya dan
Kampung Padajembar. Pemilihan kasus ini dikarenakan peneliti ingin memahami
lebih dalam mengenai kemiskinan yang ditelaah melalui jumlah penghasilan,
pemilikan tanah maupun barang lainnya yang dimiliki oleh warga. Dengan
memahami kemiskinan dan penyebabnya, dapat diketahui hal-hal apa saja yang
perlu dilakukan untuk menanggulangi kemiskinan tersebut.
Tipe penelitian ini bersifat eksplanatif, dimana diharapkan penelitian ini
memberi gambaran mengenai kemiskinan dari sudut pandang tineliti dan
menjelaskan masalah-masalah agraria yang menyebabkan kemiskinan sehingga
dapat disusun usulan aktivitas reforma akses agraria apa saja yang dapat
dilaksanakan di dusun tersebut. Penelitian ini dilakukan melalui interaksi
langsung antara peneliti dengan tineliti, karena peneliti ingin mengetahui dan
memahami pandangan tineliti mengenai kemiskinan, masalah-masalah agraria
yang menyebabkan kemiskinan, dan kebutuhan-kebutuhan mereka untuk bisa
keluar dari kemiskinan.
3.2 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan di Kampung Padajaya dan Kampung
Padajembar yang termasuk kedalam Dusun Cigarehong, Desa Purwabakti,
Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan
secara sengaja (purposif). Sebelum menentukan lokasi penelitian, peneliti telah
melakukan observasi melalui penelusuran kepustakaan hasil penelitian dari
peneliti lain, serta narasumber yang memberikan informasi mengenai kemiskinan
dan masalah agraria yang terdapat di Dusun Cigarehong pada umumnya. Pustaka
hasil penelitian dari peneliti lain yaitu tesis dari Alfiasari yang berjudul “Analisis
Modal Sosial pada Kelompok Usaha Berbasis Komunitas” yang studi kasusnya
adalah Kebun Cianten. Setelah dilakukan observasi awal, akhirnya peneliti
memililih Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar sebagai tempat
penelitian.
Peneliti memilih Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar
dikarenakan keunikan dari kedua kampung tersebut, yang masih termasuk ke
dalam daerah Kebun Cianten, akan tetapi memiliki karakteristik yang berbeda dari
kampung lainnya. Pada Kampung Padajaya (RT 01 dan RT 02), sebagian besar
masyarakatnya tidak bertumpu pada perkebunan, sedangkan pada Kampung
Padajembar (RT 03 dan RT 04), sebaliknya sebagian besar penduduknya
bertumpu pada perkebunan.
Letak dari Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar juga berbeda.
Kampung Padajaya yang bersejajar dengan jalan utama yang menghubungkan
dengan jalan alternatif menuju Sukabumi, menyebabkan masyarakatnya banyak
bertumpu pada perdagangan dan sedikit yang mempunyai sawah. Letak dari
Kampung Padajembar yang mengumpul dan masuk ke dalam daerah perkebunan,
menyebabkan kampung ini jauh dari akses jalan, sehingga sebagian besar
masyarakat yang bekerja di perkebunan mempunyai sampingan sebagai petani
dan sebagian besar memiliki sawah.
Penduduk Dusun Cigarehong umumnya tidak mempunyai kepemilikan
resmi atas tanah, begitu pula penduduk di Kampung Padajaya dan Kampung
Padajembar. Karena tanah di wilayah tersebut merupakan Hak Guna Usaha
(HGU) milik perkebunan teh PTPN VIII Kebun Cianten, atau sebagian wilayah di
bawah penguasaan Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH). TNGH sendiri
mengelilingi wilayah Kebun Cianten. Tanah kosong yang tidak digunakan oleh
perkebunan digunakan oleh masyarakat untuk bersawah atau berladang,
sedangkan bagian lahan dari perkebunan teh yang kosong dimanfaatkan untuk
kandang ternak kambing. Hutan dari TNGH yang berdekatan dengan sungai
Cianten, digunakan warga sebagian areal persawahan mereka. Hutan tersebut
dibuka dan dijadikan persawahan.
Tanah di Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar adalah milik
perkebunan dan milik TNGH, maka semua aktivitas yang menyangkut
pemanfaatan lahan baik untuk prasarana umum, tempat tinggal maupun untuk
pertanian, perikanan dan peternakan harus mendapat persetujuan dari PTPN VIII
Kebun Cianten maupun TNGH. Kondisi keterbatasan lahan mengakibatkan
kepemilikan lahan di kampung ini ditinjau dari luas tanah yang dimiliki masih
relatif merupakan lahan sempit. Selain itu pemanfaatan lahan pertanian di Dusun
Cigarehong biasanya tidak diusahakan untuk orientasi komersial namun untuk
kebutuhan sehari-hari (subsisten).
Proses penelitian berlangsung mulai bulan Mei sampai dengan bulan
September 2009. Penyusunan proposal penelitian dilaksanakan pada bulan Mei,
sedangkan kolokium dilaksanakan pada bulan Juni. Studi lapang atau
pengambilan data di lapang dilaksanakan pada bulan Juli. Proses penulisan
laporan hasil penelitian dilaksanakan pada bulan Juli dan pada bulan Agustus
adalah pelaksanaan ujian skripsi. Rincian waktu penelitian dapat dilihat pada
Gambar 2.
Proses pengambilan data di lapangan sendiri sudah dimulai sejak observasi
awal yang berlangsung selama dua hari pada bulan Mei. Peneliti mendatangi
Kampung Padajaya, Kampung Cigarehong, Kampung Padajembar, dan Kampung
Legog Makam, penulis kemudian tinggal dirumah salah satu warga. Pada awal
bulan Juni, peneliti sudah mengambil data sekunder perkebunan dan data sekuder
Desa Purwabakti. Pengambilan data ini sekaligus peneliti lakukan sebagai bagian
dari pendamping mahasiswa angkatan 43 dan angkatan 44 yang melakukan
kegiatan turun lapang bersama. Setelah mengantar kepulangan mahasiswa
dampingan, penulis kembali ke lapang dan mewawancarai Hasanudin dan Odang
sebagai perwakilan dari perkebunan, dan Mahrop sebagai Kepala Desa
Purwabakti.
Tanggal 23 Juni 2009 penulis melakukan kolokium untuk mendapatkan
masukan dan perbaikan dari proposal penelitian yang penulis buat. Tanggal 25
Juni 2009-13 Juli 2009 penulis tinggal bersama warga masyarakat, mewawancarai
dan ikut serta dalam kegiatan masyarakat.
No Kegiatan Mei Juni Juli Agustus September
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 I Proposal dan Kolokium
1. Penyusunan Darft Proposal
2. Konsultasi Proposal dan Revisi
3. Observasi Lapangan
4. Kolokium II Studi Lapangan
1. Pengumpulan Data
2. Analisis Data III Penulisan Laporan
1. Analisis Lanjutan
2. Penyusunan Draft Skripsi
3. Konsultasi dan Revisi Draft
4. Penyelesaian Skripsi IV Ujian Skripsi
1. Sidang Skripsi
2. Perbaikan Pasca Sidang
3. Skripsi Selesai Catatan : Penelitian dilakukan pada tahun 2009 Gambar 2. Waktu Penelitian
3.3 Pemilihan Tineliti dan Informan
Peneliti membutuhkan bantuan dari tineliti dan informan dalam
memberikan data dan informasi. Informan merupakan pihak yang memberikan
keterangan tentang pihak lain dan lingkungannya, sedangkan tineliti merupakan
pihak yang memberi keterangan tentang diri dan kegiatan yang dilaksanakan.
Tineliti dipilih secara purposif (sengaja) berdasarkan pada kebutuhan data untuk
menjawab permasalahan penelitian.
Informan awal penelitian ini adalah Kepala Desa Purwabakti yaitu Mahrop
yang memberikan data sekunder mengenai keadaan desa. Sedangkan informan
mengenai perkebunan diambil dari Bagian Umum PTPN VIII Kebun Cianten
yaitu Hasanudin dan informan mengenai perkebunan, pekerja, dan keadaan
lingkungan dari sektor delapan (daerah Dusun Cigarehong) ialah mandor besar
sektor delapan, Odang.
Tineliti dalam penelitian ini dipilih oleh peneliti berdasarkan pengamatan
peneliti di lapangan, maupun dari rujukan warga masyarakat dari dua kampung
tersebut. Tangga kehidupan (Ladder of Life) beserta indikator kemiskinan lokal
dibuat peneliti bersama dengan masyarakat di rumah warga. Diskusi ini dihadiri
oleh sembilan orang masyarakat yang terdiri dari ketua RT, tokoh intelektual dan
tokoh tetua di Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar. Masyarakat yang
hadir pada diskusi ini adalah: Ketua RT 01 Anas (47 tahun), Ketua RT 02 Atma
(47 tahun), Ketua RT 03 Torik (51 Tahun), Ketua RT 04 Odih (39 tahun), tokoh
tetua Saleh (58 tahun), tokoh tetua Aep (47 tahun), tokoh tetua Kamim (58 tahun),
tokoh intelektual Ajat (33 tahun) dan tokoh intelektual Asep (33 tahun).
Penentuaan warga masyarakat yang masuk kedalam tangga kehidupan
dilakukan melalui diskusi peneliti dengan ketua RT 01 dan dua orang perwakilan
dari masyarakat untuk menempatkan masyarakat dari Kampung Padajaya pada
masing-masing tangga kehidupan yang telah mempunyai indikator kesejahteraan
masing-masing, dan menanyakan posisi warga tersebut pada 10 tahun
sebelumnya. Begitupula dengan Kampung Padajembar, penelilti melakukan
diskusi dengan ketua RT 04 dan dua orang perwakilan dari masyarakat untuk
menempatkan masyarakat dari Kampung Padajembar pada masing-masing tangga
kehidupan yang telah memiliki indikator kesejahteraan masing-masing, dan
menanyakan posisi warga tersebut pada 10 tahun sebelumnya.
Melalui tangga kehidupan ini, diketahui tingkat kesejahteraan masyarakat
saat ini dan keadaanya pada 10 tahun yang lalu, sehingga diketahui kelompok
masyarakat yang tetap miskin sejak dari 10 tahun yang lalu, masyarakat yang
jatuh miskin, masyarakat yang menjadi kaya dan masyarakat yang tetap kaya
sejak 10 tahun yang lalu. Lewat hasil ini, diambil satu rumah tangga yang masuk
ke dalam masing-masing kategori, yaitu rumah tangga Apul yang masuk ke dalam
kategori tetap miskin sejak 10 tahun yang lalu, rumah tangga Tatang yang masuk
ke dalam kategori jatuh miskin, rumah tangga Emis yang menjadi kaya
dibandingkan 10 tahun yang lalu, dan rumah tangga Uci yang tetap kaya sejak 10
tahun yang lalu.
Keempat orang rumah tangga ini dipilih, selain karena mereka masuk ke
dalam kategori tersebut, juga karena masing-masing memiliki hubungan dengan
bidang pertanian. Peneliti ingin mengetahui hubungan antara kepemilikan
terhadap lahan pertanian maupun pekerjaan yang terkait dengan pertanian, dengan
status kesejaheraan mereka masing-masing. Wawancara mendalam dan
pengamatan berperan-serta dilakukan pada empat rumah tangga ini yaitu yang
menyangkut masalah agraria yang dihadapinya, hubungan mereka dengan pihak
perkebunan dan TNGH, pandangannya terhadap perkebunan maupun TNGH, dan
harapan-harapannya terkait dengan reforma akses agraria.
3.4 Metode Pengumpulan Data
Peneliti menggunakan beberapa metode pengumpulan data untuk
memperoleh informasi dan pemahaman mengenai kemiskinan serta struktur
penguasaan dan pemilikan tanah di Dusun Cigarehong. Pendekatan pengumpulan
data yang digunakan adalah triangulasi. Menurut Denzim (1970) dalam Sitorus
(1998), triangulasi adalah kombinasi sumber data, tenaga peneliti, teori dan
metodologi dalam suatu penelitian tentang suatu gejala sosial. Pada penelitian ini,
peneliti menggunakan triangulasi metodologi. Triangulasi metodologi yaitu
penggunaan sejumlah metode dalam suatu penelitian (Denzim 1970, dalam
Sitorus, 1998). Triangulasi diperlukan karena setiap metode memiliki kelemahan
dan keunggulannya sendiri. Dengan memadukan tiga metode, yaitu pengamatan
berperanserta, wawancara mendalam, dan analisis dokumen, maka satu dan lain
metode akan saling menutup kelemahan sehingga tanggapan atas realitas sosial
menjadi lebih valid.
Metode pengumpulan data ini digunakan untuk memperoleh data
kualitatif. Menurut Patton (1990) dalam Sitorus (1998) data kualitatif dapat
dipilah kedalam tiga kategori yaitu hasil pengamatan, hasil pembicaraan, dan
bahan tertulis. Penelitian ini akan mengumpulkan data baik data sekunder maupun
data primer. Data primer didapat dari wawancara mendalam dan pengamatan
berperan-serta dengan tineliti dan informan. Data sekunder didapat dari dokumen-
dokumen yang terkait dengan struktur organisasi desa, kepemilikan lahan, dan
informasi mengenai jumlah penduduk serta tingkat kemiskinan di daerah tersebut.
Tahap-tahap yang dilakukan dalam pengambilan data, yaitu penelusuran
melalui buku dan penelitian terdahulu mengenai Kampung Padajaya, Kampung
Padajembar, Dusun Cigarehong, Desa Purwabakti, PTPN VIII melalui e-jurnal,
artikel, buku mengenai perkebunan, kemiskinan dan reforma agraria, wawancara
mendalam terhadap pihak aparat pemerintahan dan pihak perkebunan. Kemudian
dilakukan diskusi dengan warga untuk menentukan indikator kesejahteraan, dan
batas kemiskinan, selanjutnya peneliti melakukan diskusi dengan perwakilan dari
ketua RT dari masing-masing kampung untuk mengkategorikan masyarakat sesuai
dengan indikator yang telah dibuat sebelumnya. peneliti kemudian melakukan
wawancara mendalam terhadap masyarakat yang masuk ke dalam masing-masing
kategori tersebut. Tahap terakhir yaitu pengamatan berperan-serta terhadap empat
orang yang sudah diwawancara mendalam sebelumnya. Peneliti mengikuti
kegiatan tineliti agar lebih memahami dan merasakan berbagai gejala sosial yang
terjadi pada tineliti. Selain itu, melalui teknik berperan-serta ini, peneliti dapat
melihat langsung validitas data yang telah tineliti berikan pada peneliti
sebelumnya.
3.4.1 Wawancara Mendalam
Wawancara mendalam merupakan percakapan dua arah dalam suasana
kesetaraan, akrab dan informal, serta bersifat luwes, terbuka, tidak terstruktur dan
tidak baku (Sitorus, 1998). Wawancara mendalam bertujuan untuk mengetahui
pemaknaan kemiskinan menurut tineliti, sumber penghasilan, jumlah penghasilan,
kepemilikan atas tanah, dan aset berharga lainnya yang dijadikan indikator
kemiskinan lokal di Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar. Panduan
pertanyaan penelitian dapat dilihat pada Lampiran 1, yang digunakan oleh peneliti
untuk mengetahui masalah-masalah agraria yang terdapat di Kampung Padajaya
dan Kampung Padajembar dan kebutuhan-kebutuhan yang diinginkan oleh tineliti
untuk dapat keluar dalam kemiskinan yang ia rasakan melalui program reforma
akses agraria.
Tabel 2. Topik Wawancara Penelitian
Topik Informan Deskripsi Profil PTPN VIII Kebun Cianten
Hasanudin (Bagian Umum PTPN VIII Kebun Cianten) dan Odang (Mandor Besar Sektor 8/ Dusun Cigarehong)
Mengetahui profil PTPN VIII Kebun Cianten, sejarah Kebun Cianten, pendapat perusahaan mengenai masyarakat yang memiliki sawah di daerah HGU perkebunan, gaji dan pekerjaan dari para karyawan baik karyawan lepas maupun karyawan tetap, hak dari karyawan lepas dan karyawan tetap.
Indikator kemiskinan di Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar
Diskusi Bersama Perwakilan Masyarakat dari Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar
Mengetahui definisi kemiskinan menurut masyarakat, indikator kemiskinan, tangga kehidupan, dan batas kemiskinan lokal
Tangga kehidupan Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar
Salah Satu Ketua RT dari Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar
Mengetahui masyarakat dari masing-masing kampung yang termasuk kedalam masing-masing tangga kehidupan
Hubungan Masyarakat dengan perkebunan
Perwakilan warga dari masing-masing kategori yang telah didapat sebelumnya
Mengetahui pandangan masyarakat terhadap kebijakan perkebunan mengenai sewa rumah maupun lahan pertanian, hak yang mereka dapatkan dengan bekerja di pekerbunan
Masalah Agraria Perwakilan warga dari masing-masing kategori yang telah didapat sebelumnya
Mengetahui luas tanah yang digunakan untuk pertanian dan masalah-masalah agraria yang dihadapinya
Masalah agraria yang dapat diselesaikan dengan reforma akses agraria
Perwakilan warga dari masing-masing kategori yang telah ditemukan sebelumnya
Mengetahui kebutuhan masyarakat yang terkait dengan masalah agrarian yang mereka hadapi, dan dapat diatasi oleh reforma akses agrarian yang dapat diterapkan di Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar
Sumber: Simarmata (2009)
Teknik wawancara mendalam dan topik penelitian yang dapat dilihat pada
Tabel 2, peneliti dapat memahami pandangan tineliti mengenai hidupnya
khususnya kemiskinan, pengalamannya ataupun situasi dan pilihan-pilihan yang
dibuat oleh tineliti dalam hidupnya baik yang berkaitan dengan kemiskinan dan
masalah agraria yang dihadapinya maupun yang tidak berkaitan dengan masalah
tersebut.
3.4.2 Pengamatan Berperanserta
Pengamatan berperanserta adalah proses penelitian yang mensyaratkan
interaksi sosial antara peneliti dan tineliti dalam lingkungan sosial tineliti (Taylor
dan Boglan, 1984 dalam Sitorus, 1998). Metode pengamatan berperan serta
merupakan pengamatan langsung di lapangan. Menurut Molneng (1989)
sebagaimana dikutip Sitorus (1998) pengamatan ini dilakukan agar peneliti dapat
melihat, merasakan dan memaknainya, serta memungkinkan pembentukan
pengetahuan secara bersama oleh peneliti dan tineliti. Melalui metode ini penulis
dapat menganalisis kemiskinan yang terjadi di Kampung Padajaya dan Kampung
Padajembar tidak saja dari satu sudut pandang saja, yaitu lewat pengamatan dari
segi fisik tineliti, akan tetapi juga dari segi sosial melalui kegiatan-kegiatan dan
pertemuan-pertemuan yang tineliti hadiri, sehingga dapat memahami cara
pandang tineliti dalam menghadapi kemiskinan yang dialaminya.
Peneliti melihat kondisi kemiskinan dari segi aset yang dimiliki oleh
tineliti, kepemilikan tineliti terhadap lahan pertanian atau pekerjaan yang terkait
dengan pertanian, dan penghasilan total yang dimiliki oleh tineliti yang
merupakan unit keluarga. Peneliti melakukan pengamatan berperan serta, dengan
tinggal bersama tineliti dan mengamati bagaimana cara tineliti melakukan
aktivitasnya dan juga pekerjaan, aset yang dimiliki oleh tineliti.
3.4.3 Penelusuran Dokumen
Penelusuran dokumen dilakukan dengan mengumpulkan literatur yang
terkait dengan masalah kemiskinan, agraria dan reforma agraria yang didapat
melalui e-jurnal, buku, artikel dan skripsi. Selain itu literatur berasal dari data
monografi desa untuk mendapatkan gambaran umum lokasi penelitian.
Penelusuran dokumen bertujuan untuk membantu peneliti dalam memperoleh
informasi yang nantinya akan membantu peneliti dalam memahami mengenai
masalah penelitian ini.
3.5 Teknik Analisis Data
Analisis data ditujukan untuk menjelaskan hasil dari penelitian. Teknik
pengolahan dan analisis data dilakukan melalui tiga jalur analisis data kualitatif
yaitu reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan. Menurut Sitorus
(1998), reduksi data adalah proses pemilihan, pemusatan perhatian pada
penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data “kasar” yang muncul dari
catatan-catatan tertulis di lapangan. Reduksi data pada penelitian ini diambil dari
catatan harian penulis dan rekaman yang didapat dari hasil analisis wawancara
mendalam dan pengamatan berperan-serta. Reduksi dilakukan dengan menulis
ulang catatan harian dan rekaman waancara dengan mengelompokannya sesuai
dengan topik wawancara penelitian. Hasil wawancara yang tidak sesuai dengan
topik wawancara penelitian tidak peneliti masukkan.
Setelah ditulis ulang, penulis menyajikan data berupa tabel, grafik dan
gambar, untuk memudahkan penulis dalam menarik kesimpulan dan meringkas
hasil penelitian agar lebih mudah dipahami dan dibaca oleh orang lain. Kemudian,
penulis menarik kesimpulan dari data yang telah penulis kumpulkan dengan
memikirkan ulang kejadian dilapangan dan menghubungkan kejadian satu dengan
yang lainnya, melakukan transfer ilmu dengan teman sekelas penulis dan
mengikuti pelatihan metode penulisan agraria dan seminar yang terkait dengan
agraria.
3.6 Bias Penelitian
Selama melakukan penelitian, peneliti merasakan adanya bias penelitian.
Posisi peneliti sebagai mahasiswa yang menanyakan tentang kemiskinan,
hubungan dengan perkebunan, maupun mengenai status kepemilikan lahan
pertanian menyebabkan masyarakat tidak jujur sepenuhnya kepada peneliti.
Mempertanyakan mengenai kemiskinan merupakan hal yang tidak
menyenangkan, karena menyangkut masalah internal dari warga dan sensitif.
Warga tertutup dan curiga terhadap pertanyaan peneliti. Terkadang terdapat
kesalahpahaman dari warga masyarakat yang mengira peneliti merupakan suruhan
pemerintah yang ingin melihat siapa saja yang warga yang tidak berhak
mendapatkan BLT akan tetapi mendapatkan BLT di daerah tersebut.
Masyarakat juga sulit terbuka mengenai masalah yang mereka hadapi
dengan perkebunan, karena mereka menyadari bahwa perkebunan merupakan
tempat mereka untuk hidup. Pada awalnya beberapa pertanyaan yang
dikemukakan peneliti terhadap warga dijawab dengan memutar-mutar
pembicaraan, ataupun jawaban tidak sesuai dengan pertanyaan peneliti. Selain itu,
masyarakat takut data penelitian ini jatuh ke tangan pihak perkebunan, yang dapat
membahayakan status mereka di perkebunan di masa datang.
Pertanyaan yang sulit untuk masyarakat utarakan jawabannya, salah
satunya yaitu bagaimana masyarakat mendapatkan lahan pertanian mereka selain
dari hasil pembagian warisan. Masyarakat sulit menjawab pertanyaan ini
dikarenakan masyarakat menyembunyikan adanya pelebaran lahan ke daerah
perkebunan atau TNGH, serta adanya praktek jual beli lahan pertanian yang
merupakan HGU dari perkebunan ataupun TNGH. Bila TNGH dan perkebunan
mengetahui adanya jual-beli dan pelebaran lahan ini, masyarakat akan
mendapatkan sanksi, sehingga masyarakat sulit untuk mengeluarkan informasi
sebenarnya terkait masalah ini kepada peneliti.
Masyarakat mulai terbuka dan menceritakan berbagai hal pada peneliti
setelah peneliti tinggal satu minggu bersama masyarakat. Tercipta kedekatan
antara masyarakat dengan peneliti, menyebabkan masyarakat tidak sungkan-
sungkan lagi kepada peneliti, dan menceritakan keadaan dirinya tanpa ditutup-
tutupi lagi. Selain itu, karena adanya proses mengenal satu sama lainnya,
masyarakat yakin bahwa peneliti tidak akan memberikan hasil penelitian ini
kepada pihak perkebunan dan TNGH.
BAB IV GAMBARAN UMUM DESA, DUSUN, KAMPUNG
DAN PERKEBUNAN
4.1 Desa Purwabakti
4.1.1 Kondisi Geografis Desa Purwabakti
Desa Purwabakti merupakan salah satu desa di wilayah Kecamatan
Pamijahan, Kabupaten Bogor dengan curah hujan sebanyak 250/300 m3 dan
berada di 650/1000 meter diatas permukaan laut. Luas Desa Purwabakti yaitu
1.662 hektar yang dapat dilihat pada peta Desa Purwabakti pada Gambar 3.
Gambar 3. Peta Desa Purwabakti
Desa Purwabakti terbagi dalam 5 Dusun 12 Rukun Warga (RW) serta 39
Rukun Tangga (RT). Penggunaan lahan di desa purwabakti mempunyai banyak
macam, yang didasarkan pada pemanfaatan atau penggunaan tanah tersebut.
Penggunaan tanah dan luas lahan adalah sebagai berikut:
Tabel 3. Luas dan Penggunaan Lahan Desa Purwabakti
No. Penggunaan Lahan Luas (Hektar) Persentase (%) 1 Perumahan/Pemukiman dan Pekarangan 10 2.5 2 Sawah 162 40.4 3 Ladang 200 49.9 4 Jalan 15 3.7 5 Pemakaman/Kuburan 3 0.7 6 Perkantoran 0.1 0.0 7 Tanah/Bangunan Pendidikan 1 0.2 8 Tanah/Bangunan Pribadi 10 2.5
Jumlah 401.1 100 Sumber: Monografi Desa Purwabakti 2008
Masyarakat Desa Purwabakti menopangkan hidupnya pada sektor
pertanian, yang dilihat dari besarnya penggunaan lahan sebesar 90,3 persen pada
sawah dan ladang yang dapat dilihat pada Tabel 3. Melalui alokasi penggunaan
tanah di Desa Purwabakti, dapat disimpulkan Desa Purwabakti mempunyai lahan
yang kering, karena sebagian besar lahannya digunakan sebagai ladang yaitu
sebesar 49,9 persen.
4.1.2 Kependudukan Desa Purwabakti
Jumlah penduduk Desa Purwabakti adalah 7330 jiwa, dengan rincian laki-
laki sebanyak 3676 jiwa, dan perempuan sebanyak 3654 jiwa. Jumlah kepala
keluarga yaitu sebanyak 1795 jiwa. Data kependudukan Desa Purwabakti sampai
30 Desember 2007 dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Struktur Umur dan Jenis Kelamin Penduduk Desa Purwabakti
Kelompok Jumlah Jiwa Jumlah (Orang) Persentase (%)
Umur Laki-Laki Perempuan 0-4 330 326 656 9.0 5-9 255 253 508 6.9
10-14 383 384 767 10.5 15-19 309 311 620 8.5 20-24 227 225 452 6.2 25-29 221 221 442 6.0 30-34 229 218 447 6.1 35-39 224 220 444 6.1 40-49 226 227 453 6.2 50-54 227 231 458 6.3 55-59 225 223 448 6.1 60-64 220 221 441 6.0 65-69 205 206 411 5.6
70-Keatas 391 388 779 10.6 Jumlah 3672 3654 7326 100
Sumber: Monografi Desa Purwabakti 2008
Dilihat dari perkembangan penduduk Desa Purwabakti, rasio angka
kelahiran dan kematian terlihat berbeda cukup tinggi, angka kelahiran penduduk
pada bulan April 2009 yaitu sebesar 53 orang, sementara angka kematian 14
orang. Kepadatan penduduk di Desa Purwabakti sebanyak 7.530 orang pada bulan
April 2009 dengan gerak mobilitas yang tergolong cukup rendah, yaitu pendatang
sebanyak dua orang dan jumlah penduduk yang pindah sebanyak dua orang.
Sebagian besar penduduk Desa Purwabakti beragama Islam.
Mata pencaharian utama penduduk Desa Purwabakti didominasi oleh
sektor swasta dengan persentase 61,1 persen (lihat Tabel 5). Sektor swasta ini
merupakan masyarakat yang bekerja sebagai karyawan di Kebun Cianten. Selain
swasta, mata pencaharian utama penduduk juga sebagai petani yaitu sebesar 16
persen dan pengrajin 11,7 persen. Penduduk yang bekerja sebagai pengrajin,
merupakan pengrajin kayu rotan, yang letaknya jauh dari Kebun Cianten.
Tabel 5. Mata Pencaharian Penduduk Desa Puwabakti
No. Mata Pencaharian Jumlah (Orang) Persentase (%) 1 Tani 653 16.0 2 Pedagang 300 7.3 3 Pegawai Negri 8 0.2 4 TNI/POLRI 0 0.0 5 Pensiunan/Purnawirawan 2 0.0 6 Swasta 2500 61.1 7 Buruh Pabrik 20 0.5 8 Pengrajin 480 11.7 9 Tukang Bangunan 30 0.7
10 Penjahit 5 0.1 11 Tukang Las 1 0.0 12 Tukang Ojek 65 1.6 13 Bengkel 1 0.0 14 Sopir Angkutan 15 0.4 15 Lain-lain 10 0.2
Total 4090 100 Sumber: Monografi Desa Purwabakti 2008
4.1.3 Pendidikan Desa Purwabakti
Tingkat pendidikan Desa Purwabakti (lihat Tabel 6) termasuk kedalam
rendah, karena sebagian besar masyarakatnya yaitu 43 persen hanya lulus Sekolah
Dasar, dan 25,8 persen yang tidak lulus Sekolah Dasar. Tingkat pendidikan yang
rendah ini akan berdampak terhadap rendahnya tingkat kemajuan desa tersebut
dibandingkan wilayah perkotaan. Kurangnya kualitas Sumber Daya Manusia
(SDM) sebagai aktor pembangunan di Desa Purwabakti berdampak pada laju
pembangunan dan tingkat kemiskinan di desa tersebut.
Tabel 6. Tingkat Pendidikan Masyarakat Desa Purwabakti
No. Tingkat Pendidikan Jumlah (Orang) Persentase (%) 1 Tidak Tamat SD/Sederajat 275 25.8 2 Tamat SD/Sederajat 458 43.0 3 Tamat SLTP/Sederajat 256 24.1 4 Tamat SLTA/Sederajat 75 7.0
Total 1064 100 Sumber: Monografi Desa Purwabakti 2008
4.2 Dusun Cigarehong
Dusun Cigarehong adalah salah satu tempat permukiman di Kebun
Cianten. Dusun Cigarehong memiliki dua RW yaitu RW 08 dan RW 07. Dusun
ini terletak paling ujung dari Kebun Cianten, dan memiliki enam kampung.
Kampung tersebut yaitu: Cigarehong (RW 07/RT 01), Cikandang (RW 7/ RT 02),
Babakan Salim (RW 07/RT 03), Legog Makam (RW 07/RT 04), Padajaya (RW
08/RT 01 dan RT 02) dan Padajembar (RW 08/RT 03 dan RT 04).
Dusun Cigarehong pada awalnya hanya terdiri dari rumah karyawan tetap
perkebunan, yang merupakan rumah dinas dari perkebunan yang dibuat di
Kampung Cigarehong. Tapi pada akhirnya, karena pertambahan penduduk dan
bertambahnya pendatang yang datang untuk bekerja baik pada perkebunan
maupun PT.Cevron LTD, masyarakat pendatang tersebut membuat
pemukimannya sendiri-sendiri, dan membuat koloni yang menjadi sebuah
kampung.
Wilayah Dusun Cigarehong terbagi menjadi dua, yaitu wilayah
perkebunan dan wilayah yang masuk Taman Nasional Gunung Halimun, selain itu
di Dusun Cigarehong terdapat beberapa titik yang merupakan tempat pengeboran
minyak dari PT.Cevron LTD. Dusun ini adalah dusun terakhir dari wilayah Kebun
Cianten yang berbatasan dengan wilayah Sukabumi.
Fasilitas perkebunan yang terdapat di Dusun Cigarehong, yaitu SDN
Ciasmara IV, Madrasah Aliyah Tarbiyatul Aftal 2 dan Tempat Penitipan Anak
(TPA). Berdasarkan wawancara terhadap kepala sekolah SDN Ciasmara IV,
perkebunan tidak pernah memberikan bantuan kepada SDN ini. Perkebunan hanya
memberikan bantuan pada tahun 1981 berupa makanan (minyak dan gula) kepada
murid kelas enam yang hendak melaksanakan ujian, dan juga memberikan
bantuan pada guru. Sejak itu perkebunan tidak pernah lagi memberikan bantuan.
Menurut kepala sekolah juga, perkebunan hanya memberikan bantuan kepada
Madrasah Aliyah. Karena Madrasah Aliyah termasuk kedalam program bantuan
perkebunan, sedangkan SDN Ciasmara IV tidak termasuk kedalamnya.
4.3 Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar
4.3.1 Keadaan Geografis Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar
Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar adalah Kampung terujung
dari Dusun Cigarehong. Jumlah rumah tangga di dua kampung tersebut yaitu 152
kepala yang dapat dilihat pada Lampiran 2. Kampung Padajaya dan Kampung
padajembar memiliki lokasi yang berbeda satu sama lainnya. Kampung Padajaya
berada di paling ujung dan bentuk kampung ini terbagi menjadi dua, RT 01
berbentuk memanjang sesuai dengan jalan utama yang menghubungkan Sukabumi
dan Leuwiliang, sedangkan RT 02 berbentuk koloni. Pada Kampung Padajembar,
baik RT 03 maupun RT 04, memiliki bentuk yang sama, yaitu bentuk koloni, dan
berbaur satu sama lain dan tidak terpisah.
Kampung di Dusun Cigarehong identik dengan tali persaudaraan.
Penduduk dalam satu kampung, biasanya memiliki saudara baik kakak atau adik,
menantu, orang tua dan anak, akan tetapi pada kampung lain di Dusun
Cigarehong, penduduk tersebut tidak memiliki saudara dekat, hanya saudara jauh.
Contohnya adalah Ida warga dari RT 03 Kampung Padajembar, ibunya tinggal di
RT 04 di kampung yang sama, sedangkan adik-adiknya tinggal tidak jauh dari
kediamannya, hanya berbeda satu atau dua rumah saja. Akan tetapi Ida tidak
memiliki saudara dekat di Kampung Padajaya.
Mata pencaharian dan jumlah penghasilan antara masyarakat di Kampung
Padajaya dan Padajembar berbeda. Masyarakat Kampung Padajaya, sebagian
besar tidak menopangkan hidupnya pada perkebunan, mereka bekerja sebagai
pedagang dan karyawan pada PT.Cevron LTD, jarang yang memiliki tanah
pertanian. Masyarakat di Padajembar sebagian besar menopangkan hidupnya pada
perkebunan dan memiliki tanah pertanian. Wilayah pertanian dan rumahnya
merupakan bagian dari wilayah perkebunan.
Perbedaan ini dikarenakan lokasi kedua kampung tersebut yang berbeda
satu sama lain. Kampung Padajaya merupakan kampung yang berada di tepi jalan,
jalan tersebut sering dilintasi truk atau mobil yang Bogor-Sukabumi, karena jalan
tersebut merupakan jalan alternatif menuju daerah sukabumi dan pelabuhan ratu,
dan sering dilewati oleh wisatawan lokal yang ingin menikmati suasana
perkebunan. Sedangkan untuk memasuki Kampung Padajembar, harus melewati
jalan kecil, berbatu dan terjal, sehingga geliat ekonomi di Kampung Padajembar
kurang ’hidup” dibandingkan dengan geliat ekonomi di Kampung Padajaya.
4.3.2 Pendidikan di Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar
Fasilitas pendidikan yang terdapat di daerah Kebun Cianten yaitu: Satu
unit Taman Kanak-Kanak Tunas Karya, Tiga Unit Sekolah Dasar, Tiga Unit unit
Madrasah Diniyah, dan satu unit Sekolah Menengah Pertama. Fasilitas
perkebunan yang dapat digunakan oleh warga masyarakat Kampung Padajaya dan
Kampung Padajembar yaitu sekolah SDN IV Ciasmara (lihat Gambar 4), Tempat
Penitipan Anak (TPA) (lihat Gambar 5.), dan juga Madrasah Aliyah yang
semuanya terletak di Kampung Cigarehong. Pada Dusun Cigarehong, anak-anak
bersekolah dari pukul 7.00 sampai dengan pukul 12.00 di sekolah formal, dan
melanjutkan sekolah pukul 14.00 sampai dengan pukul 16.00 sekolah madrasah.
Gambar 4. SDN Ciasmara IV
Gambar 5. Tempat Penitipan Anak (TPA)
Fasilitas lain yang diberikan oleh perkebunan yaitu satu unit balai
pengobatan, delapan unit masjid, 22 unit mushola, lima unit Tempat Penitipan
Anak (TPA). Bantuan yang diberikan perkebunan kepada STK (Rp 500,00 per
anak), TPA (Rp 500,00 per anak), posyandu (Rp 500,00 per anak), pakaian kerja,
pengobatan, dua rit per hari jemputan anak sekolah Tunjangan Hari Raya (THR)
dan tunjangan jasa produksi kepada karyawan.
Anak perempuan dan laki-laki di Kampung Padajaya dan Kampung
Padajembar hanya bersekolah sampai dengan Sekolah Menegah Pertama (SMP)
dan akan dinikahkan setelah tamat SMP. Hal ini dikarenakan, adanya pandangan
dari masyarakat yaitu untuk apa sekolah tinggi-tinggi karena pekerjaannya hanya
akan seperti orangtuanya juga. Selain itu, masyarakat Kampung Padajaya dan
Kampung Padajembar tidak menyekolahkan anaknya ke jenjang pendidikan yang
lebih tinggi dikarenakan Sekolah Menengah Atas (SMA) letaknya jauh dari
Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar. Sekolah tersebut berada di
Leuwiliang dan Sukabumi yang jaraknya 25 kilometer dari Kampung Padajaya
dan Kampung Padajembar. Pulang-pergi setiap hari membutuhkan waktu dan
biaya Rp 26.000,00. Hal ini merupakan jawaban dari rendahnya tingkat
pendidikan di Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar.
Warga Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar yang mengenyam
pendidikan sampai dengan tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA) “bisa dihitung
dengan jari”. Warga masyarakat yang bersekolah sampai tingkat SMA ini adalah
warga yang berprofesi sebagai guru dan mandor. Mereka adalah warga yang
dituntut oleh pekerjaannya untuk mendapatkan ijazah yang lebih tinggi. Selain itu,
mereka yang bersekolah sampai dengan jenjang SMA karena orangtuanya
menuntut anak-anaknya terus bersekolah setinggi-tingginya agar bisa
memperbaiki kehidupan keluarga. Salah satu contohnya yaitu Asep (30 tahun)
yang bersekolah sampai ke tingkat Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dan
merupakan mandor petik perkebunan. Ia bersekolah karena orangtuanya yang
merupakan karyawan pemetik teh perkebunan, menginginkan Asep memiliki
kehidupan yang lebih baik dari pada kehidupan orantuanya, sehingga orangtua
Asep menyekolahkan Asep ke jenjang yang lebih tinggi dibandingkan anak-anak
lainnya di kampung tersebut. Untuk menjadi mandor di perkebunan, selain
keahlian, yang dibutuhkan adalah ijazah setingkat SMK/SLTA. Masyarakat yang
sudah lama menjadi karyawan tidak bisa langsung menjadi mandor, akan tetapi
dibutuhkan keahlian tertentu. Contohnya mandor petik dan mandor besar di sektor
delapan memiliki tingkat pendidikan yang tinggi. Mandor petik sektor delapan
Asep merupakan lulusan SMK Pertanian, sedangkan mandor mesar sektor delapan
Odang mempunyai gelar Diploma Satu Informatika Teknologi.
4.4 PTP Nusantara VIII Kebun Cianten
4.4.1 Keadaan Geografi
PTPN VIII Kebun Cianten memiliki luas areal konsensi 857.74 hektar.
Pada umumnya topografi bergelombang dan terletak pada ketinggian 800 meter
sampai 1000 meter diatas permukaan laut wilayah ini berpenduduk sekitar 4.000
jiwa. Sepenuhnya bekerja pada perkebunan teh, mulai dari pembibitan,
persemaian, pemeliharaan, panen sampai pengolahan teh.
Kebun Cianten berada di Propinsi Jawa Barat tepatnya di Kabupaten
Bogor. Kebun Cianten berjarak 25 Kilometer dari Kecamatan Leuwiliang dan
termasuk dalam dua wilayah kerja Kecamatan Leuwiliang dan Kecamatan
Pamijahan. Kebun Cianten juga terbagi kedalam dua desa yaitu Desa Purasari
Kecamatan Leuwiliang (Afdeling I) dan Desa Purwabakti Kecamatan Pamijahan
(Afdeling II) dan kebun berbatasan dengan Kabupaten Sukabumi yang dikelilingi
Gunung Gagak, Gunung Keneng, dan Gunung Tanjungsari yang merupakan anak
Gunung Halimun.
Kondisi iklim tergolong daerah tipe B menurut perhitungan Sekmidt dan
Ferguson. Temperatur rata-rata berkisar antara 19°C sampai 30°C dengan
kelembaban nisbi antara 38 sampai 80 persen curah hujan lima tahun terakhir rata-
rata 5,238 milimeter per tahun. Kebun Cianten relatif jauh dari perkampungan
penduduk. Jarak terdekat dengan perkampungan penduduk kurang lebih tujuh
kilometer, yaitu kampung Tanjungsari, sedangkan jarak dengan kantor Desa
Purasari kuranglebih 11 kilometer, dengan Desa Purwabakti kurang lebih 12
Kilometer.
4.4.2 Pekerja Perkebunan
Kebun Cianten yang dipimpin langsung oleh seorang administratur dan
wakilnya atau lazimnya disebut kepala tanaman. Kebun dibagi menjadi lima
bagian atau divisi, yaitu bagian administrasi dikepalai seorang kepala administrasi
bagian teknik dikepalai oleh kepala teknik, bagian pengolahan dikepalai oleh
kepala pengolahan, bagian afdeling Cianten I dikepalai kepala afdeling Cianten I,
dan bagian afdeling Cianten II dikepalai oleh kepala afdeling Cianten II. Masing-
masing sinder atau kepala bagian membawahi beberapa petugas. Setiap mandor
besar membawahi beberapa mandor yang memiliki 20 sampai 40 orang anak
buah. Khusus untuk kelancaran administrasi masing-masing sinder dibantu oleh
JTU kepala. Guna membantu administrasi dalam pengawasan terhadap kinerja
seluruh bagian administratur dibantu oleh bagian Pengawas Intern Kebun (PIK).
Jumlah karyawan borongan perkebunan lebih banyak dari pada karyawan
tetap perkebunan yang dapat dilihat pada Tabel 7, dengan persentase 58 persen
sedangkan karyawan pelaksana sebesar 32,6 persen. Banyaknya karyawan
borongan, dikarenakan sudah beberapa tahun terakhir perkebunan tidak
mengadakan perekrutan karyawan borongan menjadi karyawan tetap. Menurut
mandor sektor delapan, hal ini dikarenakan perkebunan sedang mengalami
penurunan hasil panen setiap tahun, yang disebabkan oleh cuaca dan umur
tanaman yang sudah tua. Berdasarkan mitos yang didapat dari para leluhur,
masyarakat percaya bahwa suatu saat perkebunan akan bangkrut sehingga
masyarakat tidak memaksakan dirinya menjadi karyawan perkebunan. Menurut
masyarakat dengan dapat hidup saja bagi mereka kerja sudah cukup.
Tabel 7. Jenjang Kepegawaian dan Jumlah Karyawan PTPN VIII Kebun Cianten
No. Uraian Jumlah (Orang) Persentase (%) 1 Karyawan pimpinan golongan IIIA-IVD 6 0.5 2 Karyawan pelaksana I Golongan IB-IID 101 8.9 3 Karyawan pelaksana II Golongan A 368 32.6 4 Karyawan borong/PKWT 655 58.0
Total 1130 100 Sumber: PTPN VIII Kebun Cianten 1 April 2009
Perumahan dinas karyawan perkebunan tersebar di beberapa komplek:
1. Emplasemen: Pondok Pia, Pondok Asmara, Bunisari dan Sindang Resmi
2. Afdeling Cianten I: Pematang/Sarkawi/Taman Saat, Cirohani, Kampung
Baru, Kampung Limus, Cianten Herang, Pel Girang, Pel Tengah, Pel Hilir,
Sindang Sari, Kampung Saung, Pondok Lapang, Pondok Pasar, Pondok
Cau dan Pondok Pensiun.
3. Afdeling Cianten II: Sindang Reret, Cimapag, Pasirpari, Cisurupan,
Garehong, Emplasement, Padajembar, Padajaya, dan Cikandang.
Total penduduk yang bertempat tinggal di Kebun Cianten kurang lebih
4000 penduduk. Sebagian besar penduduk tersebut bekerja di perkebunan,
sedangkan sisanya menjadi guru, petani, pedagang dan supir.
Pekerja dari perkebunan terbagi menjadi dua yaitu karyawan tetap dan
karyawan lepas. Karyawan tetap mendapatkan fasilitas perusahaan, gaji hari libur
dan gaji dari hasil pekerjaannya (pemetikan teh, pemeliharaan atau penyemprotan
tanaman). Sedangkan karyawan lepas hanya mendapatkan gaji dari hasil
pekerjaannya saja. Pada karyawan pemetikan, harga teh yang di petik sesuai
dengan kualitas hasil petikan tersebut yaitu kurang lebih Rp 400,00 sampai
dengan Rp 460,00 per kilogram. Harga ini berbeda untuk setiap mandor, karena
mandor mempunyai otoritas untuk menetapkan harga kepada pemetik.
Administartur PTPN VIII Kebun Cianten yang menjabat sekarang bari
diangkat pada bulan Februari 2009. Setelah adanya pergantian administatur,
terjadi beberapa perubahan kebijakan pada peraturan PTPN VIII Kebun Cianten.
Salah satu kebijakan perkebunan yang berubah yaitu mengenai penggunaan lahan
pertanian oleh masyarakat di daerah PTPN VIII Kebun Cianten. Pada beberapa
kepemimpinan administatur yang lalu, masyarakat tidak diperbolehkan membuat
sawah yang berdekatan dengan kebun teh. Bahkan pada periode kepemimpinan
administratur sebelumnya, pernah ada kebijakan perkebunan yang melarang
warga menanam tanaman (pisang, pepaya, padi sayur-sayuran, dll) di sekitar
tanaman teh perkebunan, sehingga pohon yang ditanam oleh masyarakat
dirubuhkan oleh pihak perkebunan. Akan tetapi pada kepemimpinan administratur
yang baru, masyarakat diperbolehkan bertanam di areal perkebunan dan
diharapkan dapat membantu perkebunan dengan mengambil rumput pada tanaman
teh, atau melaporkan tanaman teh yang rusak, dan sebagainya.
Jarak dari perkebunan ke Kecamatan Leuwiliang kurang lebih 25
kilometer, sedangkan jarak dari perkebunan menuju Desa Purwabakti yaitu 15
kilometer. Hal ini menyebabkan akses masyarakat menuju pasar sangat terbatas.
Hanya ada pasar kaget yang muncul setiap satu bulan sekali pada tanggal gajian
yaitu tanggal empat tiap bulan yang didirikan di dekat pabrik perusahaan. Jarak
yang jauh antara Kantor Desa dan kampung di Kebun Cianten menyebabkan
Kepala Desa Purwabakti jarang berkunjung ke kampung-kampung di Kebun
Cianten. Menurut masyarakat Padajembar, terhitung baru dua kali Kepala Desa
Purwabakti Mahrop datang ke kampung mereka selama masa kepemimpinannya.
Transportasi menuju dan dari Kebun Cianten, yaitu mobil L300 milik
warga Kampung Cigarehong, yang beroperasi hanya satu kali setiap hari. Mobil
tersebut berangkat dari Dusun Cigarehong ke pasar Leuwiliang pukul 04.00 dan
pulang ke Dusun Cigarehong dari pasar Leuwiliang pukul 09.00 dengan tarif Rp
13.000,00. Selain mobil L300, alat transportasi lain menuju pasar Leuwiliang
yaitu ojek dengan tarif Rp 30.000,00 sedangkan ojek dari pasar Leuwiliang
menuju Dusun Cigarehong tarifnya Rp 50.000,00. Perbedaan harga ini karena
pengojek dari Leuwiliang bukanlah warga Dusun Cigarehong, sehingga pengojek
tersebut akan menaikkan tarifnya. Transportasi lokal di dalam Kebun Cianten,
khusus untuk karyawan perkebunan, disediakan oleh perusahaan PTPN VIII
Kebun Cianten. Transportasi ini berupa truk yang membawa pulang dan pergi
karyawan dari rumah menuju lokasi pemetikan dan sebaliknya. Perkebunan juga
menyediakan transportasi antar jemput anak-anak sekolah di daerah Kebun
Cianten dari rumah mereka ke Sekolah Menengah Pertama (SMP) yang terletak
dekat pabrik perkebunan.
4.4.3 Sejarah Perkebunan
Pada tahun 1981 dilakukan pembukaan hutan oleh Pemerintah Hindia
Belanda di Kampung Cipacet untuk pembuatan lahan perkebunan. Pekerja
didatangkan dari daerah di sekitar perkebunan yaitu Desa Puraseda, Desa Cisarua
dan Desa Muara. Pembukaan lahan tersebut dilanjutkan dengan penanaman benih
(biji) teh. Tahun 1912 Pemerintah Hindia Belanda mendirikan bangunan pabrik
serta prasarana lainnya termasuk pemukiman untuk para pekerja, dan Kampung
Cipacet berubah menjadi “ondernoming” atau masyarakat setempat sering
menyebutnya “Kontrak Cianten”. Pada saat itu, pemimpin tertinggi di Kontrak
Cianten lazim disebut Juragan Kawasa. Juragan kawasa yang pertama adalah
Juragan Kawasa Harja Aurata” kemudian digantikan oleh Juragan Kawasa Hasan.
Tahun 1943 Pemerintah Jepang melakukan agresi terhadap Pemerintah
Belanda yang menduduki Indonesia dan Belanda menyerah tanpa syarat kepada
Jepang. Otomatis seluruh aset Republik Indonesia yang diakui Belanda jatuh ke
tangan Jepang, tetapi sayang Jepang tidak melakukan sistem yang sama seperti
yang dikelola oleh Belanda. Kontrak Cianten tidak beroperasi lagi. Selama kurun
waktu tahun 1943 sampai dengan tahun 1948 Kontrak Cianten digarap oleh rakyat
secara tradisional. Pertengahan tahun 1948 Kontrak Cianten kembali dibuka dan
dikelola kembali oleh Pemerintah Indonesia dengan nama PPH, tahun 1964
namanya berubah menjadi PPN Cianten dan pada tahun yang sama dirubah
menjadi PPN Kesatuan. Pada tahun 1971 PPN Kesatuan kemudian digabungan
dengan PMP yang berasal dari beberapa perkebunan yang lain dalam naungan
PTP XII sampai tahun 1994.
Pada tahun 1994 beberapa perkebunan yang bernaung dibawah PTP XI,
PTP XII, PTP XIII yang berada di Provinsi Jawa Barat digabungkan menjadi PTP
Group Jabar. Sejak tahun 1996 sampai sekarang seluruh perkebunan yang
merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) digabungkan ke dalam wadah
PTP. Nusantara I-XIV, dan PTP. Nusantara VIII dengan 46 perkebunan yang ada
tersebar di Jawa Barat. Kebun Cianten termasuk kedalam PT Perkebunan
Nusantara VIII (Persero) yang berkantor di Jalan Sindangsirna No.4 Bandung.
Pada tahun 1986, pabrik Kebun Cianten beralih fungsi dari pengolahan teh
Ortodok menjadi pengolahan teh CTC, dengan pertimbangan bahwa pasar dunia
saat ini banyak meminati hasil olahan pabrik teh CTC.
4.4.4 Visi, Misi dan Kontribusi Perkebunan
PTPN VIII Kebun Cianten memiliki visi yaitu : menjadikan perusahaan
agribisnis global yang dipercaya, mengutamakan kepuasan pelanggan dan
kepedulian lingkungan dengan berlandaskan kepada mutu dan produktivitas
tinggi, serta didukung oleh Sumber Daya Manusia (SDM) yang profesional. Misi
perusahaan mengelola perusahaan sesuai prinsip Good Coorporate Governance
untuk menghasilkan produk yang bermutu tinggi dan ramah lingkungan yang
senantiasa berkembang dan lestari sebagai karya SDM yang handal dalam upaya
memuaskan pihak-pihak yang berkepentingan.
Kontribusi perkebunan terhadap lingkungan terbagi menjadi beberapa
bagian, yaitu: bidang ekologi, ekonomi, fungsi sosial dan lain-lain (Multifier-
Effect). Pada bidang ekologi, kontribusi perkebunan terhadap kelestarian Sumber
Daya Alam (SDA) antara lain: tata air (hidrologi), perlindungan sumber atau mata
air, penanaman pohon lindung, konservasi kesuburan lahan terutama lahan
pertanian seperti pemupukan organik atau anorganik, kenyamanan iklim
(atmosfir) sebagai akibat akitivitas hidup pohon-pohonan. Kontribusi perkebunan
pada bidang ekonomi memberikan penghasilan ekonomis yang dapat
dimanfaatkan untuk kemakmuran rakyat berupa deviden, pajak, retribusi,
perusahaan memberikan karyawan dan batihnya berupa upah atau gaji untuk
penghidupan dan kehidupan, dan perusahaan memberikan kemitraan atau
pembinaan usaha kecil dan koperasi kepada masyarakat sekitar.
Penciptakan lapangan kerja, dan bina lingkungan melalui Community
Development (CD) merupakan kontribusi perkebunan dalam bidang sosial.
Kontribusi perkebunan yang lainnya yaitu membangun dan meningkatkan
perekonomian masyarakat sebagai Agent Of Development.
4.4.5 Penggunaan Lahan Perkebunan
Lahan dari perkebunan mempunyai bentuk seperti jari, dengan bagian luar
dari jari tersebut merupakan milik dari Taman Nasional Gunung Halimun
(TNGH). Alokasi penggunaan lahan perkebunan dapat dilihat pada Tabel 8.
Lahan tidak produktif di perkebunan yang dapat dilihat pada Tabel 8
paling banyak dipakai oleh pihak ketiga dalam bentuk sawah yaitu 3,8 persen, hal
ini membuktikan bahwa perkebunan mendata tanah perkebunan yang digunakan
oleh masyarakat sebagai perkebunan. Alokasi lahan yang digunakan pada bidang
pertanian yang digunakan oleh pihak ketiga lebih banyak digunakan untuk sawah
dari pada perikanan (kolam), hal ini dikarenakan debit air yang sulit didapatkan
didaerah lereng-lereng gunung.
Tabel 8. Penggunaan Lahan Perkebunan
No. Uraian Luas (Hektar) Persentase (%) 1 Areal Tanaman Teh: - Tanaman Menghasilkan (TM) 647.14 75.4
- Tanaman Belum Menghasilkan (TBM) 0 0.0
- Persemaian/Kebun Entrys 0 0.0 - Lancuran 93.45 10.9
Total 740.59 86.3 2 Areal Cadangan: - Cadangan dari Lancuran 0 0.0
Total 0 0.0 3 Lahan Tidak Produktif: - Situ/Rawa 11.08 1.3 - Hutan/Jurang/Sungai 8.86 1.0 - Dipakai Pihak Ketiga (Bangunan) 3.89 0.5 - Dipakai Pihak Ketiga (Sawah) 32.93 3.8 - Dipakai Pihak Ketiga (Daratan) 15.12 1.8 - Dipakai Pihak Ketiga (Kolam) 2.7 0.3 - Dipakai Pihak Ketiga (Chevron LTD) 4.63 0.5
Total 79.21 9.2 4 Areal Lain-Lain - Emplasemen 15.2 1.8 - Jalan PTPN, VIII 18.24 2.1 - Jalan Umum 0 0.0 - Lapangan Olahraga 1 0.1 - Kuburan 3.5 0.4
Total 37.94 4.4 Total Area 857.74 100
Sumber: PTPN VIII Kebun Cianten 1 April 2009
BAB V KONSTRUKSI KEMISKINAN LOKAL
5.1 Sejarah Penduduk Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar
Sebagian besar penduduk Cianten merupakan masyarakat pendatang.
Mereka datang dari desa-desa di sekitar perkebunan, karena mendengar adanya
lapangan pekerjaan di perkebunan. Pada Kampung Padajembar, diperkirakan
terdapat pemukiman karena masyarakat yang merupakan pekerja dari perkebunan
membuat saung di dekat sungai. Wilayah ini dipilih karena nyaman dan
masayarakat bisa sambil memancing ikan di sungai. Warga kemudian membuat
rumah yang tidak jauh dari saungnya tersebut agar jaraknya lebih dekat. Rumah
ini menjadi awal mula dari pemukiman yang terdapat di Kampung Padajembar,
sedangkan saung ini merupakan awal mula dari banyaknya sawah di Kampung
Padajembar yang mengikuti aliran sungai.
Sejarah dari Kampung Padajaya berbeda dengan Kampung Padajembar.
Kampung Padajaya adalah kampung yang dibentuk oleh pendatang yang
membuka warung di sekitar jalan. Pendatang tersebut melihat potensi
mendapatkan keuntungan dengan membuka warung di daerah tersebut. Jalan
tembus menuju Sukabumi ini sudah ada sejak lama, akan tetapi baru pada tahun
1999 yaitu sejak adanya pengaspalan jalan, mulai banyak dilewati oleh
masyarakat dari Leuwiliang yang menuju Sukabumi dan sebaliknya. Kampung
Padajaya dipenuhi oleh masyarakat pendatang yang bekerja di PT Cevron LTD,
yang dulunya adalah PT Unocal.
Perpindahan penduduk dari desa diluar Kebun Cianten ke daerah Cianten,
khususnya Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar terus menerus terjadi
sampai sekarang, akan tetapi dalam bentuk yang berbeda. Datangnya masyarakat
luar ke Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar ini ditandai dengan
pernikahan antara warga masyarakat diluar Kampung Padajaya dan Kampung
Padajembar dengan masyarakat dari kampung tersebut. Penduduk dari luar
Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar merasa Dusun Cigarehong
mempunyai daya tarik tersendiri, selain suasananya yang dingin dan tenang,
wilayah Dusun Cigarehong juga dekat dengan dua perusahaan besar yang
membutuhkan tenaga kerja, yaitu PT Cevron LTD dan PTPN VIII Kebun Cianten,
dan didukung oleh wilayah hutan yang dapat digunakan masyarakat untuk
bersawah yang dimiliki oleh Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH).
Mobilitas penduduk dari Kampung Padajembar dan Kampung Padajaya
ke desa lain jarang terjadi, kebanyakan masyarakat tetap bertahan di kampungnya
karena mereka nyaman dengan suasana kampung yang kekeluargaan, seperti yang
diutarakan oleh Tatang RT 03, yang menyatakan dirinya lebih senang bekerja di
kampung, walaupun gaji yang ia terima dari perkebunan sedikit, akantetapi di
kampung ia mempunyai tetangga dan teman yang baik yang dapat membantu bila
ia sedang kesusahan, selain itu kampung juga mempunyai suasana yang tenang
dan sejuk.
5.2 Masyarakat sebagai Pekerja Perkebunan
Panen teh yang ”bagus” yaitu pucuk teh yang terbaik yang dapat diekspor
tidak teratur beberapa tahun belakangan ini, menurut mandor besar sektor
delapan. Hal ini dikarenakan pengaruh dari global warming. Sehingga terjadi
perubahan cuaca yang berdampak pada hasil panen teh. Tahun 2009, panen teh
yang ”bagus” adalah pada bulan April sampai dengan Mei. Akan tetapi, pada
tahun 2008, panen teh yang bagus terjadi pada bulan Agustus sampai dengan
November. Tanaman teh mengalami panen yang baik bila bulan-bulan
sebelumnya adalah musim hujan, dan setelah musim hujan tersebut sinar matahari
datang dengan sinar yang ”cukup” yaitu sinar matahari yang tidak terlalu panas
yang menyinari daun untuk proses fotosintesa tanpa merusak tanah dengan
menguapkan air dalam tanah, yang menyebabkan tanah kekurangan air dan
gersang, yang berdampak pada kualitas pucuk teh.
Gambar 6. Pemetik Teh Mengantri Giliran untuk Penimbangan
Bila sedang panen teh yang ”bagus”, satu orang pemetik teh bisa mendapat
1,2 ton per bulan atau 40 sampai 50 kilogram per harinya. Sedangkan bila panen
teh sedang ”tidak bagus”, sebulan pemetik teh hanya mendapatkan 700 kilogram,
atau sekitar 20 sampai 30 kilogram per harinya. Gaji pemetik teh di hitung
berdasarkan berapa kilogram hasil petikan yang ia dapatkan. Satu kilogram hasil
petikan teh dihargai Rp 400,00 sampai dengan Rp 460,00, sehingga pemetik teh
bisa mendapatkan penghasilan Rp 200.000,00 sampai dengan Rp 300.000,00 per
bulannya.
Harga teh per kilogramnya tergantung kualitas petikan tanaman teh.
Semakin bagus kualitasnya, maka harganya akan semakin tinggi. Harga ini sama
untuk semua pemetik dalam satu mandor petik. Penimbangan dilakukan setiap
hari pukul 10.00, pukul 12.00, dan sore hari tergantung kedatangan dari truk
perkebunan yaitu sekitar pukul 15.00 sampai dengan pukul 14.00. Kegiatan
pemetik teh yang menunggu penimbangan teh dapat dilihat pada Gambar 6. Orang
yang mencatat dari hasil timbangan merupakan pekerja dari perkebunan yang
disebut sebagai juru tulis yang dapat dilihat pada Gambar 7.
Gambar 7. Juru Tulis Perkebunan
Pekerja pada bidang pemeliharaan dibayar per patok yang berhasil ia
pangkas. Begitu pula pada bidang pengendalian hama dibayar per patok. Untuk
satu patok dibayar Rp 20.000,00 sampai dengan Rp 22.000,00. Satu orang pekerja
pemeliharaan dapat mengerjakan 15 sampai 25 patok per bulan, sehingga
penghasilan perbulannya bisa mencapai Rp 330.000,00 sampai dengan Rp
550.000,00. Tidak semua pekerja dapat mengerjakan bagian pemeliharaan dan
pengendalian hama. Dibutuhkan keterampilan dan juga ketahanan terhadap
pestisida dari tanaman teh, sehingga karyawan yang bekerja pada bagian
pemeliharaan dan pengendalian hama sedikit dibandingkan dengan karyawan
bidang pemetikan teh.
Ketua RT 04, Odih yang merupakan salah satu orang dari dua orang di
Kampung Padajembar yang menopangkan hidupnya pada pertanian, yaitu
bersawah, masyarakat yang tidak mau menggantungkan hidupnya pada
perkebunan dikarenakan penghasilan dari perkebunan yang kecil. Penghasilan
Odih dari perkebunan termasuk kecil karena Odih adalah karyawan lepas
perkebunan bagian pemetikan teh, sehingga penghasilan yang didapatnya hanya
dari hasil petikan teh yaitu Rp 100.000,00 sampai dengan Rp 300.000,00. Odih
bekerja di perkebunan selama dua tahun menjadi karyawan lepas perkebunan, dan
akhirnya menjadi wiraswasta karena gaji yang didapat dari perkebunan sedikit dan
tidak mencukupi untuk hidup keluarganya, membayar uang sekolah anak.
Menurutnya gaji dari perkebunan hanya akan mencukupi kebutuhan makannya
sendiri saja.
PTPN VIII memiliki banyaknya pemetik teh perempuan dibandingkan
pemetik teh laki-laki. Menurut Odang dari pihak perkebunan, hal ini dikarenakan
perempuan lebih telaten dari laki-laki, sehingga mutu kualitas tanaman teh yang
didapatkan lebih baik pada petikan perempuan dibandingkan dengan petikan laki-
laki. Laki-laki di perkebunan bekerja sebagai karyawan pemeliharaan dan
penyemprotan hama pada tanaman teh.
Pekerja dari perkebunan mendapatkan gaji setiap awal bulan pada tanggal
empat atau lima. Aktivitas yang sering terjadi pada tanggal tersebut adalah adanya
pasar kaget di dekat pabrik perusahaan yang menjual berbagai macam, barang
kebutuhan dapur, sampai kebutuhan yang lainnya..
Pada PTPN VIII Kebun Cianten, satu mandor besar mengurus satu sektor
ini, memiliki bawahan tiga mandor petik dan dua mandor rawat. Kelimanya
merupakan karyawan tetap perkebunan, yang masing-masing memiliki
bawahannya masing-masing juga. Selain mandor-mandor tersebut, mandor besar
juga memiliki mandor yang merupakan karyawan lepas dari perkebunan, yang
akan dipanggil untuk bekerja secara borongan, bila buruh petik yang merupakan
karyawan tetap tidak cukup untuk bekerja. Mandor tidak tetap ini juga memiliki
karyawan petik lepas yang bergantung padanya untuk mata pencaharian.
Karyawan dari perkebunan dibagi menjadi dua secara umum yaitu
karyawan tetap dan karyawan lepas. Karyawan tetap mempunyai hak-hak sebagai
berikut:
1. Mendapatkan upah sosial, yaitu upah yang dibayarkan bila karyawan tetap
perkebunan tidak bekerja karena hari libur nasional, yang pembayarannya
tergantung golongan dari karyawan tersebut. Golongan karyawan tetap
perkebunan didapat dari prestasi karyawan tersebut, kualitas pekerjaan,
dan kehadiran. Karyawan perkebunan bekerja dari hari Senin sampai
dengan hari Sabtu, sehingga setiap hari Minggu. Karyawan tetap dari
perkebunan mendapatkan upah sosial yang besarnya sekitar Rp 22.500,00.
2. Karyawan tetap perkebunan mendapatkan jatah cuti, yang lamanya
tergantung jenis cuti. Cuti tahunan diperoleh selama 12 hari, sedangkan
cuti panjang, yaitu enam tahun sekali diperoleh selama satu bulan.
3. Karyawan tetap juga mendapatkan fasilitas kesehatan, yaitu bila mereka
sakit “ringan” yaitu sakit yang perawatannya harus menginap di rumah
sakit, mendapatkan pengobatan gratis di klinik dan bila sakitnya “berat”
yaitu sakit yang pengobatannya harus dilakukan dengan perawatan
menginap di rumah sakit, mendapatkan biaya penggantian pengobatan.
Akan tetapi peraturan perusahaan tersebut tidak diketahui oleh kebanyakan
karyawan perkebunan, sehingga ada beberapa pegawai yang menyatakan
tunjangan kesehatan hanya akan didapat oleh orang yang bekerja di
perkebunan saja yang berstatus pegawai tetap. Akan tetapi ada juga
pegawai yang mengetahui bahwa tunjangan kesehatan dapat digunakan
oleh seluruh keluarga yang salah satu orangnya bekerja sebagai karyawan
tetap diperusahaan. Keluarga tersebut termasuk didalamnya ayah/ibu dan
dua orang anak.
4. Santunan kematian. Perusahaan juga memberikan santunan kematian bagi
pekerja perkebunan yang meninggal ketika masih aktif bekerja di
perkebunan, bukan pensiunan.
5. Pekerja perkebunan juga mendapatkan uang pensiun, Untuk pekerja
dengan pengabdian kurang lebih 30 tahun kerja, kurang lebih 30 sampai
50 juta rupiah, tergantung golongan dari pekerja tersebut.
Karyawan lepas perkebunan tidak mendapatkan hak-hak seperti karyawan
tetap perkebunan. Mereka hanya mendapatkan penghasilan per bulan saja sesuai
dengan pekerjaan mereka yaitu Rp 300.000,00 untuk karyawan bagian pemetikan
teh dan Rp 500.000,00 untuk karyawan bagian pemeliharaan teh.
Menjadi karyawan tetap perkebunan prosesnya tergolong sangat sulit.
Terdapat seleksi untuk pemilihan karyawan tetap perkebunan. Pada pemilihan
karyawan tetap perkebunan posisi mandor, terdapat tes tertulis, tes wawancara dan
tes psikotes. Pada posisi pemetik teh, terdapat tes tertulis dan tes pemetikan di
lapangan yang langsung diawasi oleh tim penilai yang menilai kualitas petikan
dan kecepatan pemetikan tanpa melukai tanaman yang akan tumbuh selanjutnya.
Sejak tahun 2003 tidak ada pengangkatan karyawan lepas menjadi
karyawan tetap. Menurut Mang odang, mandor besar dari sektor delapan Dusun
Cigarehong, hal ini dikarenakan kondisi perusahaan yang semakin lama semakin
menurun, dan juga tanaman teh yang sudah lama, melebihi 30 tahun sudah tidak
berproduktifitas dengan baik lagi.
Bekerja di PT Cevron LTD lebih besar penghasilannya dibandingkan
bekerja di perkebunan. Penghasilan di PT Cevron LTD Rp 2.000.000,00 sampai
dengan Rp 4.000.000,00 perbulannya, sudah termasuk uang lembur. Akan tetapi
menurut masyarakat yang pernah bekerja di PT Cevron LTD, bekerja di PT
Cevron LTD memang menghasilkan banyak uang, akan tetapi uang tersebut akan
habis dengan gaya hidup para pekerjanya yang berbeda dengan masyarakat
lainnya, sehingga mereka yang bekerja di PT Cevron LTD mengaku tidak
mempunyai tabungan. Selain gaya hidup, masyarakat yang bekerja di PT Cevron
LTD juga sebagian memiliki istri dua, sehingga pengeluaran yang dikeluarkan
lebih besar dibandingkan dengan masyarakat lainnya.
5.3 Merekonstruksi Ulang Arti dan Indikator Kemiskinan Lokal
Diskusi dalam merekonstruksi ulang kemiskinan, indikator kemiskinan
local, dan tangga kehidupan dilakukan beserta dengan perwakilan masyarakat dari
dua kampung yaitu Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar. Diskusi ini
dihadiri oleh ketua RT dari masing-masing kampung, yaitu ketua RT 1 Anas (47
tahun), ketua RT 2 Atma (47 tahun), ketua RT 3 Torik (51 tahun), ketua RT 4
Odih (39 tahun), selain itu terdapat beberapa orang yang dipilih karena mereka
adalah tokoh dari kedua kampung tersebut yaitu kamim (58 tahun), saleh (58
tahun), Aep (47 tahun), asep (33 tahun) dan Ajat (33 tahun). Asep dan ajat dipilih
karena mereka berdua di hormati oleh warga karena keduanya memiliki jenjang
pendidikan yang tinggi. Asep lulusan SMK pertanian, sedangkan ajat lulusan D1
dan berprofesi sebagai guru di SDN Cianten. Melalui hasil diskusi, didapat
definisi kemiskinan, tangga kehidupan dan batas kemiskinan lokal. Menurut
masyarakat, kemiskinan adalah kondisi dimana seseorang tidak memiliki rumah
dan tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya selayaknya orang biasa, yaitu
tidak dapat makan dua kali sehari dan tidak dapat menyekolahkan anaknya sampai
jenjang SMP. Dari definisi ini, perwakilan yang hadir dalam diskusi memiliki
kesimpulan yang sama bahwa semua keluarga yang terdapat di Kampung
Padajaya dan Kampung Padajembar termasuk kedalam keluarga miskin karena
tidak ada keluarga yang mempunyai kepemilikan yang resmi atas tanah maupun
sawah.
Definisi kemiskinan lokal di Kampung Padajaya dan Kampung
Padajembar sesuai dengan definisi kemiskinan dari Sudibyo (1995) yaitu
kemiskinan adalah kondisi depriviasi terhadap sumber-sumber pemenuhan
kebutuhan dasar, seperti pangan, sandang, papan, kesehatan, pendidikan dasar.
Karena masyarakat melihat kemiskinan dari bagaimana mereka memenuhi
pangan, papan dan pendidikan dasar mereka.
Dalam penentuan indikator kemiskinan untuk setiap tangga kehidupan,
masyarakat menentukannya berdasarkan penghasilan dan mata pencaharian dari
masyarakat tersebut. Tangga kehidupan di dua kampung ini dibagi menjadi enam
tingkatan (Gambar 8).
Tingkat paling bawah disebut fakir miskin, yang ditempati oleh keluarga
yang tidak memiliki penghasilan dan sudah lanjut usia. Pada tingkatan ini,
penduduk yang sudah lanjut usia ini selain tidak mempunyai pekerjaan,
keluarganya tidak memperhatikan atau keluarganya tidak dapat memberikan
bantuan karena memiliki masalah ekonomi. Sehingga penghasilan yang ia
dapatkan hanya bantuan dari masyarakat ataupun dengan mendapatkan Bantuan
Langsung Tunai (BLT).
Tangga kehidupan kedua dari bawah disebut fakir oleh anggota diskusi.
Pada tangga ini dihuni oleh keluarga yang memiliki penghasilan di bawah Rp
100.000,00. Jenis penghasilan ini adalah penghasilan yang tidak tetap, yang
kadang bisa di dapatkan dan kadang tidak bisa di dapatkan. Pada tangga ini,
penduduk yang sudah lanjut usia juga masuk ke dalam kategori ini. Akan tetapi,
penduduk yang sudah lanjut usia ini masih dapat bekerja, ataupun memiliki anak
yang dapat memberikan uang kepada dia.
Gambar 8. Tangga Kehidupan, Indikator Kemiskinan Lokal Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar
Mampu Standar
Sedang Miskin
Fakir Fakir Miskin
- > Rp 800.000 - PT Cevron LTD - Rp 300.000-
500.000 - Suami+Istri KLP - Buruh Tani - Pedagang
- Rp 100.000-300.000 - Banyak tanggungan - Suami/Istri KLP -Penghasilan tidak tetap
- Pekerjaan tidak tetap - Lanjut Usia - Memiliki keluarga
- Tidak mempunyai pekerjaan - Lanjut usia - Tidak punya keluarga
- Rp 500.000-800.000 - Suami dan Istri KTP - Suami/Istri KTP dan Suami/Istri KLP - Karyawan PT Cevron LTD
Tangga kehidupan selanjutnya adalah tangga ketiga dari bawah dimana
tangga yang disebut miskin oleh masyarakat di dua kampung ini diisi oleh
penduduk yang memiliki penghasilan dari Rp 100.000,00 sampai dengan Rp
300.000,00. Penduduk pada tangga ini mempunyai penghasilan, akan tetapi
mempunyai banyak tanggungan, sehingga penghasilannya tidak mencukupi.
Penduduk yang menempati tangga ini adalah penduduk yang suami atau istrinya
bekerja di perkebunan sebagai karyawan lepas perkebunan. Selain itu pekerjaan
penduduk yang masuk ke dalam tangga ini juga adalah penghasilan yang tidak
tetap dan menghasilkan sedikit uang, seperti pengrajin gendongan teh untuk buruh
petik perkebunan, karena pekerjaan ini hanya terkadang dilakukan bila ada yang
memesan saja, sedangkan yang memesan hanya sedikit, karena tidak adanya
pertambahan pekerja pada perkebunan secara signifikan.
Tangga kehidupan yang berada di posisi ketiga dari atas adalah penduduk
yang mempunyai penghasilan Rp 300.000,00 sampai dengan Rp 500.000,00. Pada
tangga ini, penduduk adalah rumah tangga dengan suami dan istrinya bekerja di
perkebunan sebagai karyawan lepas dari perkebunan, menjadi buruh tani, dan
berdagang. Buruh tani yang masuk ke dalam kategori ini adalah buruh tani yang
bekerja sebagai buruh di lahan orang lain, walaupun ia sendiri mempunyai lahan
sendiri. Penduduk yang bekerja sebagai pedagang pada tangga ini adalah
penduduk yang berdagang secara kecil-kecilan, yang hanya menjual kebutuhan
rumah tangga, makanan anak kecil dan rokok secara kecil-kecilan.
Tangga kehidupan yang berada ke dua dari atas adalah penduduk dengan
penghasilan Rp 500.000,00 sampai dengan Rp 800.000,00. Penduduk dengan
penghasilan ini adalah rumah tangga yang suami atau istri nya bekerja di
perkebunan sebagai karyawan tetap perkebunan dan salah satunya juga bekerja di
perkebunan, selain itu mata pencaharian penduduk yang berada dalam tangga ini
adalah penduduk yang suaminya bekerja di PT Cevron LTD, ataupun berdagang,
dengan warung yang sudah cukup besar. Tangga kehidupan yang berada paling
atas diisi oleh penduduk dengan penghasilan diatas Rp 800.000,00 yang rata-rata
diisi oleh penduduk yang bekerja di PT Cevron LTD.
Keluarga yang dianggap miskin menurut perwakilan masyarakat adalah
keluarga yang menduduki tangga kehidupan fakir miskin, fakir, miskin, dan
sedang. Sedangkan keluarga yang dianggap sudah mampu untuk memenuhi
kehidupannya secara layak adalah keluarga yang menempati tangga kehidupan
standar, dan juga mampu.
Perwakilan dari masyarakat yang mengikuti diskusi mengatakan sepakat
bahwa mereka semua yang tinggal di daerah perkebunan dan taman nasional
adalah keluarga miskin. Karena bila mereka diusir dari tempat tinggal mereka
yang sekarang, mereka tidak memiliki tempat tinggal lain, dan mereka akan
langsung menjadi gelandangan. Hal ini dikarenakan semua keluarga yang berada
baik di Kampung Padajembar maupun Kampung Padajaya tidak memiliki rumah
pribadi, rumah yang mereka dirikan berada di atas tanah perkebunan dan taman
nasional, sehingga mereka tidak memiliki kepemilikan resmi dari rumah.
Begitupula dengan mata pencaharian, bila perkebunan dan PT Cevron LTD tidak
ada, maka masyarakat akan kesulitan dalam mendapatkan penghasilan. Karena
rata-rata penduduk di dua kampung tersebut menopangkan dirinya pada dua
perusahaan tersebut, adapun kegiatan lainnya seperti berdagang merupakan
aktivitas mata pencaharian yang tidak langsung bergantung pada PT Cevron LTD
dan juga perkebunan, karena mereka dapat berjualan karena masyarakat yang
bekerja di dua perusahaan tersebut. Hanya kegiatan bertani yang merupakan mata
pencaharian yang paling aman, karena tidak bertopang pada kedua perusahaan
tersebut, akan tetapi lahan pertanian yang digunakan oleh masyarakat adalah
lahan pertanian dari tanah milik perkebunan dan taman nasional.
Indikator kemiskinan lokal Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar
berbeda dengan karakteristik rumah tangga menurut BPS (Lampiran 3), yang
memasukkan luas lantai bangunan tempat tinggal, jenis lantai bangunan tempat
tinggal, jenis dinding bangunan tempat tinggal, fasilitas tempat buang air besar,
sumber penerangan rumah tangga, sumber air minum, bahan bakar untuk
memasak, konsumsi daging/ayam/susu/per minggu, pembelian pakaian baru
setiap anggota rumah tangga setiap tahun, frekuensi makan dalam sehari,
kemampuan membayar untuk berobat ke puskesmas atau dokter, lapangan
pekerjaan utama kepala rumah tangga, pendidikan tertinggi kepala rumah tangga,
dan pemilikan aset/harga bergerak maupun tidak bergerak. Sedangkan pada dua
kampung ini, jenis rumah (bahan pembentuknya yaitu dari semen atau dari
bambu) bukan merupakan indikator kemiskinan karena rumah tidak menjadi hal
penting bagi masyarakat. Rumah hanya dibuat untuk kenyamanan saja, dan
bentuk rumah tidak menjadi suatu kebanggaan tersendiri bagi masyarakat di dua
kampung tersebut. Begitupula dengan motor, kepemilikan motor bukanlah
indikator kemiskinan di dua kampung tersebut. Karena orang yang termasuk kaya
di kampung tersebut belum tentu memiliki motor. Penggunaan motor bukan untuk
prestise, akan tetapi lebih kepada kepentingan dan kebutuhan dalam
menggunakannya. Masyarakat yang bekerja diperkebunan, akan lebih memilih
untuk berjalan kaki ke tempat bekerjanya (baik perkebunan maupun PT Cevron
LTD) ataupun menggunakan truk yang disediakan oleh perkebunan untuk
aktivitas perkebunan. Menurut masyarakat, dengan adanya kepemilikan motor,
tidak memberikan akses yang lebih kepada masyarakat dalam mengangkut hasil
pertanian mereka ke pasar. Karena hasil pertanian yang mereka dapatkan tidak
dijual ke luar, hanya sekitar Dusun Cigarehong saja.
Persamaan dari indikator kemiskinan lokal dan karakteristik menurut BPS
yaitu frekuensi makan dalam sehari, lapangan pekerjaan, dan pendidikan. Akan
tetapi pada lapangan pekerjaan, pada indikator karakteristik BPS yang dapat
dilihat pada lammpiran 5, penghasilan rumah tangga dibawah Rp 600.000,00 per
bulan, sedangkan di Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar, keluarga yang
termasuk ke dalam kategori miskin masuk ke dalam penghasilan di bawah Rp
500.000,00, dan pendidikan pada kategori BPS berdasarkan pendidikan dari
kepala rumah tangga, sedangkan kemiskinan pada kategori kemiskinan lokal
berdasarkan tingkat pendidikan dari anak keluarga tersebut.
5.4 Kemiskinan Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar
Pada Kampung Padajaya terdapat ketimpangan penghasilan yang dapat
dilihat dari adanya dua gunung pada grafik keluarga miskin Kampung Padajaya
dan Kampung Padajembar (lihat Gambar 9). Pada Kampung Padajaya, gunung
pertama tercipta pada tangga kehidupan mampu, lembah pada tangga kehidupan
standar, kembali naik pada tangga kehidupan sedang, relatif sama pada tangga
kehidupan miskin, kemudian menurun membuat lembah lagi di tangga kehidupan
fakir dan naik lagi pada tangga kehidupan fakir miskin. Kampung Padajembar
juga memiliki dua gunung. Lembah pada tangga mampu, naik pada tangga
standar, turun lagi pada tangga sedang kemudian naik lagi pada tangga miskin,
lembah pada tangga fakir dan fakir miskin. Dua gunung pada Gambar 9
memperlihatkan adanya ketimpangan struktur sosial di Kampung Padajaya dan
Kampung Padajembar. Ketimpangan ini dikarenakan perbedaan penghasilan dan
perbedaan akses masyarakat terhadap mata pencaharian dan informasi. Program
penanggulangan kemiskinan di dua kampung ini harus memperhatikan
kesenjangan tersebut, agar program yang diimplementasikan dapat dibagi merata
tidak hanya dinikmati oleh masyarakat yang sudah mampu, akan tetapi dinikmati
oleh semua masyarakat yang membutuhkan.
Gambar 9. Grafik Keluarga Miskin Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar
Terdapat perbedaan jumlah penduduk pada masing-masing tangga di
Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar. Kampung Padajaya memiliki
keluarga yang masuk ke dalam tangga kehidupan mampu lebih banyak
dibandingkan Kampung Padajembar. Keluarga yang masuk ke dalam kategori
mampu di Kampung Padajaya dan Padajembar rata-rata adalah keluarga yang
bekerja di PT Cevron LTD, selebihnya adalah keluarga yang menopangkan
hidupnya pada pertanian.
Keluarga mampu lebih banyak di Kampung Padajaya dibandingkan
dengan keluarga di Kampung Padajembar dikarenakan ketua Forum Empat Desa
merupakan warga dari Kampung Padajaya, sehingga kebanyakan pekerja yang
diambil adalah keluarga atau tetangga dari ketua tersebut. Seperti Uci dari RT 2,
yang mendapatkan pekerjaan di PT Cevron LTD karena Tatang, ketua Forum
Empat Desa adalah mertua dari beliau. Sehingga ini dapat menjelaskan fenomena
adanya perbedaan yang signifikan tingkat kesejahteraan pada kategori mampu di
Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar.
Forum Empat Desa adalah forum yang diketuai oleh Tatang dari RT 2.
Forum ini dibentuk dengan inisiatif warga dari empat desa di sekitar wilayah PT
Cevron LTD yaitu desa cibunian, desa ciasmara, desa purwabakti dan desa
purasari. Tujuan dari forum ini adalah sebagai wadah PT Cevron LTD untuk
memberikan timbal balik kepada masyarakat yang wilayahnya terusik karena
adanya PT Cevron LTD. Lewat Forum Empat Desa ini, PT Cevron LTD
mengambil masyarakat disekitar wilayahnya untuk bekerja di PT Cevron LTD.
Akan tetapi pada prakteknya, masyarakat harus membayar sejumlah uang kepada
Forum Empat Desa untuk menjadi dapat bekerja di PT Cevron LTD. Untuk dapat
bekerja di PT Cevron LTD, masyarakat harus memberikan uang sekitar Rp
1.000.000,00 dan dipotong Rp 50.000,00 per bulannya untuk biaya administrasi.
Tangga kehidupan standar (Lihat Gambar 9) Kampung Padajembar
memiliki jumlah yang lebih banyak dibandingkan dengan tangga kehidupan
standar Kampung Padajaya dikarenakan pada Kampung Padajembar, keluarga
yang masuk ke dalam kategori ini adalah keluarga yang bekerja di perkebunan
sebagai karyawan tetap baik suami maupun istri, sedangkan pada Kampung
Padajaya, tidak adanya mata pencaharian lain yang dapat dikerjakan selain
bekerja pada PT Cevron LTD ataupun berdagang, yang membutuhkan modal,
membuat masyarakat di Kampung Padajaya sulit untuk masuk kedalam tangga
kehidupan ini.
Penghasilan dari berdagang Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar
memiliki perbedaan. Penghasilan dari hasil berdagang di Kampung Padajaya lebih
besar dibandingkan Kampung Padajembar, karena letak geografis dari kedua
kampung yang sangat berbeda. Kampung Padajaya adalah kampung yang
memanjang dan sebagian (khususnya RT 1) berada di tepi jalan. Sehingga warga
yang berjualan disekitar jalan warungnya dikunjungi oleh orang-orang yang
sedang berekreasi ke daerah perkebunan atau TNGH, maupun orang yang menuju
Sukabumi atau menuju Leuwiliang. Karena jalan besar yang melintasi kampung
ini adalah jalan alternatif menuju sukabumi. Warung di Kampung Padajembar
adalah warung untuk warga yang berada di kampung tersebut. Selain itu, letak
geografis Kampung Padajembar yang jauh dari jalan utama dan mengumpul pada
satu titik, tidak memanjang sesuai dengan jalan dan adanya perbedaan tingkat
penghasilan di dua kampung juga mempengaruhi hasil berdagang. Kampung
Padajaya yang merupakan wilayah dari pekerja PT Cevron LTD memiliki tingkat
konsumsi yang lebih tinggi dibandingkan dengan Kampung Padajembar yang
masyarakatnya hanya mempunyai uang yang pas-pasan untuk hidup.
Pada tangga kehidupan sedang, Kampung Padajaya memiliki jumlah yang
lebih besar dibandingkan dengan Kampung Padajembar. Karena banyaknya buruh
tani, pedagang, buruh bangunan di Kampung Padajaya di bandingkan dengan
Kampung Padajembar. Hal ini dikarenakan Kampung Padajaya memiliki
alternatif pekerjaan yang lebih variatif dibandingkan dengan Kampung
Padajembar, dimana Kampung Padajembar hanya diisi oleh karyawan
perkebunan.
Jumlah orang pada tangga kehidupan miskin dan tangga fakir di Kampung
Padajaya dan kampung Padajembar relatif sama. Pada Kampung Padajaya,
kategori ini diisi oleh buruh tani, pedagang sedangkan pada Kampung Padajembar
diisi oleh keluarga yang menopangkan hidupnya pada perkebunan termasuk di
dalamnya pensiunan dari perkebunan.
Karyawan tetap perkebunan menerima uang pensiun yang berbeda-beda.
Karyawan yang telah pensiun sejak lama, hanya mendapatkan uang pensiun yang
kecil, yaitu kurang lebih 10 juta. Sedangkan untuk karyawan yang baru saja
pensiun, lima sampai enam tahun kebelakang, uang pensiunnya bisa lebih besar
yaitu sekitar 30 sampai 50 juta. Sehingga mereka yang telah pensiun juga masuk
kedalam kategori yang berbeda pula dalam penelitian ini, tergantung besarnya
uang pensiun. Pada tangga kehidupan fakir miskin, Kampung Padajaya dan
Kampung Padajembar memiliki perbedaan yang sangat besar. Hal ini dikarenakan
pada Kampung Padajaya masyarakat yang sudah lanjut usia tidak ada yang masih
bekerja pada perkebunan, sedangkan pada Kampung Padajembar, warga
masyarakat yang sudah usia lanjut tetap bekerja di perkebunan sebagai pemetik
teh.
Total jumlah antara keluarga miskin dan tidak miskin antara dua kampung
tidak jauh berbeda, karena masing-masing kampung memiliki jumlah keluarga
miskin yang berbeda-beda satu sama lainnya pada tiap tangga kehidupannya. Hal
ini dikarenakan tidak semua masyarakat di Kampung Padajaya yang
menopangkan hidupnya pada PT Cevron LTD dan berdagang, banyak masyarakat
yang tidak bekerja di PT Cevron LTD dan tidak berdagang dikarenakan tidak
adanya modal, menyebabkan mereka harus menjadi buruh tani atau pekerjaan lain
yang tingkat pendatannya berbeda jauh dengan bekerja sebagai pekerja di PT
Cevron LTD. Sedangkan pada Kampung Padajembar memiliki kemerataan,
dikarenakan hampir semua masyarakatnya bekerja di perkebunan dan mempunyai
penghasilan yang relatif sama.
Masyarakat di Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar dapat
dikatakan sebagai daerah yang miskin, karena sebagian besar masyarakatnya yaitu
110 keluarga (71%) berada pada kondisi miskin baik menurut masyarakat maupun
berdasarkan standar BPS. Pada Kampung Padajaya, kemiskinan terjadi karena
banyak masyarakat di kampung ini yang tidak bekerja pada PT Cevron LTD,
berdagang maupun sebagai pekerja di perkebunan. Mereka tidak bekerja pada PT
Cevron LTD terkait dengan modal dan koneksi pada Forum Empat Desa, tidak
berdagang karena tidak mempunyai modal, sedangkan tidak bekerja di
perkebunan dikarenakan sebagian besar warga di Kampung Padajaya menanggap
pekerjaan di perkebunan memakan banyak tenaga sedangkan hasil yang
didapatkan sedikit.
Kemiskinan di Kampung Padajembar terjadi karena gaji dari perkebunan
yang sedikit, sehingga masyarakat tidak dapat menabung dan berinvestasi
sehingga tidak ada peningkatan kesejahteraan pada hidup masyarakat.
Kemiskinan karena upah yang desikit di perkebunan ini mempunyai korelasi
dengan yang dinyatakan oleh Mubyarto (1992), bahwa perkebunan adalah ”pabrik
pertanian” karena memproduksi hasil berupa output komoditi perkebunan adalah
melalui proses memadukan aneka faktor produksi (input) ”modem” (tanah, tenaga
kerja, dan modal serta manajemen) laksana sebuah pabrik saja, sehingga tanah
dan tenaga kerja yang murah adalah unsur pokok sistem perkebunan. Sehingga
penekanan upah untuk mendapatkan tenaga kerja yang murah merupakan bagian
dari perkebunan yang tidak dapat pisahkan, karena itu merupakan suatu hal yang
mustahil menaikkan upah dari buruh karena dapat mempengaruhi harga komoditi
dari teh.
Kemiskinan yang struktural ini memaksa pekerja perkebunan mencari
tambahan penghasilan di luar pekerjaan di perkebunan (Mubyarto, 1992).
Sehingga pada Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar dibutuhkan
suntikan modal, ilmu pengetahuan dan akses-akses lainnya untuk
mengembangkan diri dan memulai usaha lain yang dapat membuat mereka tidak
menggantungkan hidupnya pada perkebunan.
5.5 Mobilitas sosial
Indikator mobilitas sosial (lihat Gambar 10) di Kampung Padajaya dan
Kampung Padajembar didapat dari hasil diskusi peneliti dengan perwakilan
masyarakat dari Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar. Melalui indikator
mobilitas sosial ini, diketahui penyebab-penyebab masyarakat turun dari tangga
kehidupan, naik tangga kehidupannya ataupun tetap pada tangga kehidupannya
dari 10 tahun yang lalu sampai dengan sekarang.
Masyarakat Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar yang tetap
berada pada tangga kehidupan fakir miskin dan tangga kehidupan fakir sejak 10
tahun yang lalu karena warga tersebut sudah memasuki usia lanjut sejak 10 tahun
yang lalu, sehingga tidak ada perubahan pada tangga kehidupan mereka. Pembeda
pada tangga kehidupan fakir miskin dan fakir yaitu, pada warga yang tetap pada
fakir sejak 10 tahun yang lalu masih memiliki penghasilan walaupun penghasilan
ini tidak berubah sampai sekarang jumlahnya.
Masyarakat yang berada tetap pada tangga kehidupan miskin, sedang dan
standar memiliki persamaan yaitu memiliki warisan dari orangtuanya, baik tanah
untuk rumah, kambing, sawah dan alat elektronik yang dapat digunakan warga
tersebut untuk tambahan penghasilannya. Sawah dapat digunakan warga untuk
memenuhi kebutuhan pangannya sendiri sehingga mengurangi pengeluaran untuk
kebutuhan pangannya. Kambing digunakan untuk membiayai pengeluaran-
pengeluaran yang tidak terduga seperti slametan dan sakit. Rumah dan alat
elektornik mengurangi beban warga untuk membeli peralatan dan membangun
rumah, sehingga dapat menyimpan penghasilannya untuk hal yang lain, ataupun
menabung dengan membeli kambing, atau tidak menjualnya.
Gambar 10. Indikator Mobilitas sosial
- Pernah bekerja di PT Cevron LTD - Pernah bekerja di luar kampong - Mempunyai
Mampu Standar
Sedang Miskin
Fakir Fakir Miskin
- Pernah Bekerja di luar kampung - Sudah lama bekerja di PT Cevron LTD - Mempunyai “networking” dengan Forum Empat Desa, dan aparat desa - Memiliki warisan dan Orangtua yang kaya - Pertanian sukses
- Tidak ada perubahan penghasilan sejak 10 tahun lalu - Tidak adanya variasi pekerjaan - Tidak memiliki modal - Bertambah tanggungan - Memiliki warisan
- Tidak ada perubahan penghasilan sejak 10 tahun lalu - Bertambah Tanggungan - Tidak adanya kenaikan jabatan sejak 10 tahun yang lalu - Memiliki warisan
- Sudah Lanjut usia sejak 10 tahun lalu - Tidak adanya perubahan penghasilan sejak 10 tahun lalu
- Sudah lanjut usia sejak 10 tahun yang lalu
- Tidak ada perubahan penghasilan sejak 10 tahun lalu - Tidak adanya kenaikan jabatan - Memiliki warisan
1
2
3
4
5
6
7 8 9 - Terkena
sakit - Tidak mendapatkan warisan - Orangtua “Gulung Tikar”
- Terkena sakit - Masuk penjara
- Kondisi fisik semakin lemah
- Dari mengagur berubah menjadi memiliki
- Memiliki dua penghasilan
- Bekerja di PT Cevron
- Bekerja di PT Cevron LTD - Pernah bekerja di luar kampung
- Pernah bekerja di PT Cevron LTD - Pernah bekerja di luar kampong - Mempunyai modal - Orangtua Mampu
Persamaan pada masyarakat yang tetap berada pada tangga kehidupan
miskin, sedang dan standar yaitu tidak adanya kenaikan jabatan, hal ini
dikarenakan pada ketingga tangga tersebut rata-rata diisi oleh masyarakat yang
bekerja pada perkebunan. Sudah beberapa tahun terakhir, perkebunan tidak
menaikkan harga petikan teh dari para karyawannya, kalaupun ada kenaikan harga
petikan hanya beberapa puluh perak saja yang berubah. Sejak tahun 1999 sampai
dengan tahun 2009, perubahan harga teh per kilogram yaitu dari harga Rp 350,00
sampai Rp 450,00. Selain tidak adanya kenaikan penghasilan, perkebunan juga
tidak mengadakan ”open recruitmen” terhadap karyawan lepas perkebunan
menjadi karyawan tetap perkebunan.
Tidak adanya alternatif pekerjaan lain juga menyebabkan masyarakat tetap
berada pada tangga kehidupan miskin. Masyarakat yang tidak bekerja baik pada
PT Cevron LTD, perkebunan maupun tidak mempunyai modal untuk berdagang,
terpakasa menjadi bisnis bangunan, penghulu dan pekerja lainnya yang
penghasilannya tidak tetap. Bertambahnya tanggungan bagi pasangan yang sudah
menikah pada tangga kehidupan miskin dan sedang juga menyebabkan warga
pada tangga kehidupan miskin tidak dapat menaiki tangga kehidupan yang lebih
tinggi, karena penghasilan yang didapatkan tetap sama, sedangkan pengeluaran
bertambah.
Masyarakat yang berada tetap pada tangga kehidupan mampu, merupakan
warga masyarakat yang selama hidupnya tidak bekerja lama di perkebunan yaitu
dua kali bulan sampai dua tahun. Warga masyarakat ini mencari jalan lain untuk
dapat menghidupi dirinya, baik dari pertanian, maupun bekerja di luar kampung,
sehingga sejak dahulu warga ini termasuk kedalam tangga kehidupan mampu, dan
setelah kembali ke desa, mereka bekerja di PT Cevron LTD atau yang dulunya
disebut PT Unocal, yang penghasilannya termasuk kedalam tangga mampu di
kampung ini. Warga masyarakat yang tetap berada pada tangga kehidupan mampu
ini juga rata-rata adalah warga dari Kampung Padajaya yang memiliki koneksi
dengan Forum Empat Desa sehingga dapat dengan mudah bekerja di PT Cevron
LTD. Pertanian yang sukses di kampung menyebabkan warga tetap berada pada
tangga kehidupan mampu.
Hal yang paling utama yang menyebabkan masyarakat tetap berada pada
tangga kehidupan mampu yaitu warga tersebut memiliki orang tua yang masuk
kedalam tangga kehidupan mampu juga, sehingga mereka mendapatkan warisan
yang lebih banyak dibandingkan warga masyarakat lainnya, selain harta warisan
dalam bentuk material, warga ini juga mendapatkan warisan koneksi dari
orangtuanya, sehingga orangtua yang sebelumnya memiliki koneksi dengan aparat
desa ataupun dengan PT Unocal mewariskan koneksi tersebut kepada anaknya.
Hal inilah yang membedakan masyarakat yang masuk kedalam tangga kehidupan
mampu sejak dulu dengan masyarakat lain yang tetap berada pada posisi tangga
kehidupannya.
Warga masyarakat yang tangga kehidupannya naik satu tangga kehidupan
sejak 10 tahun yang lalu dikarenakan:
1. warga tersebut berubah status pekerjaannya dari menganggur menjadi
memilki pekerjaan,
2. memiliki dua penghasilan yaitu dari berdagang dan pertanian. Warga ini
awalnya hanya bertani, kemudian hasil dari pertaniannya ini dijadikan
modal untuk berdagang dan menambah luas dari sawahnya,
3. karena bekerja di PT Cevron LTD, warga menaiki tangga kehidupan
setingkat lebih tinggi dari sebelumnya,
4. warga juga naik tangga kehidupannya dikarenakan pernah bekerja di luar
kampung, sehingga memiliki modal, untuk memperbanyak lahan
sawahnya dan membeli penggilingan padi.
Warga yang naik satu tangga kehidupan lebih tinggi pada tangga
kehidupan sedang ke tangga kehidupan standar dan pada tangga kehidupan
standar ke tangga kehidupan mampu memiliki persamaan yaitu bekerja di PT
Cevron LTD, yang membedakan keduanya adalah upah yang diterima dari PT
Cevron LTD, sehingga mereka menempati tangga kehidupan sekarang yang
berbeda pula.
Warga yang naik dua tangga sekaligus hanya sedikit. Kenaikan ini
dikarenakan warga tersebut pernah bekerja di luar kampung sehingga mempunyai
modal untuk membuka usaha peternakan dan berladang cabai, selain itu keluarga
warga tersebut merupakan keluarga yang termasuk tangga kehidupan standar,
sehingga uang yang dihasilkan dari bekerja diluar tidak digunakan, melainkan
ditabungkan dalam bentuk pembelian kambing.
Warga yang turun tangga kehidupannya sejak 10 tahun yang lalu terbagi
menjadi tiga yaitu yang menurun tangga kehidupannya dari tangga kehidupan
mampu menjadi tangga kehidupan miskin, dari tangga kehidupan sedang menjadi
miskin, dari tangga kehidupan sedang menjadi tangga kehidupan fakir miskin.
Warga yang 10 tahun lalu berada pada tangga kehidupan mampu menurun
menjadi tangga kehidupan miskin dikarenakan sebelumnya orangtuanya
merupakan salah satu warga yang masuk kedalam tangga kehidupan mampu, akan
tetapi karena orangtua warga tersebut ”gulung tikar” maka tidak ada harta yang
diwariskan, sehingga warga tersebut menjadi jatuh miskin. Selain itu, warga yang
10 tahun lalu berada pada tangga kehidupan mampu dan mengalami penurunasn
ke tangga kehidupan miskin dikarenakan terkena sakit, yang menyebabkan
penghasilan yang ia dapatkan harus ia gunakan untuk perawatan rumah sakit.
Warga yang turun satu tangga dari tangga kehidupan sedang menjadi
miskin adalah warga yang sudah semakin tua, sehingga kondisi fisik melemah,
dan hasil petikan yang ia dapatkan tidak banyak, yang berpengaruh pada
penghasilannya. Terakhir, warga yang turun dari tangga kehidupan sedang
menjadi fakir miskin, dikarenakan warga tersebut masuk penjara, sehingga tidak
ada yang membiayai pengeluaran dari keluarganya.
Jumlah masyarakat yang tetap berada pada posisi tangga kehidupannya
sejak 10 tahun yang lalu, ataupun mengalami perubahan baik naik atau turun pada
tangga kehidupannya, dapat dilihat pada Tabel 9. Sebagian besar masyarakat di
Kampung Padajaya dan Kampung Padajaya tidak memiliki perubahan status
kesejahteraan (tidak berubah posisi dalam tangga kehidupan) sejak sepuluh tahun
yang lalu. Warga yang menempati kategori tetap kaya maupun tetap miskin
(89,5%) lebih banyak dibandingkan warga yang menempati kategori jatuh miskin
dan jadi kaya (10,5%). Sehingga dapat disimpulkan bahwa pada Kampung
Padajaya dan Kampung Padajembar jarang terjadi perubahan posisi pada tangga
kehidupan, kehidupan di dua kampung tersebut selalu tetap dari 10 tahun yang
lalu sampai dengan sekarang.
Tabel 9. Mobilitas sosial Masyarakat
Tahun Jumlah Persentase 1999 2009 (Orang) (%)
Sedang Mampu 10 6.6 Mampu Mampu 3 2.0 Standar Mampu 3 2.0 Sedang Standar 4 2.6 Standar Standar 22 14.5 Miskin Sedang 1 0.7 Sedang Sedang 30 19.7 Miskin Miskin 45 29.6 Fakir Miskin 2 1.3
Sedang Miskin 1 0.7 Mampu Miskin 2 1.3
Fakir Fakir 7 4.6 Fakir Miskin Fakir Miskin 20 13.2
Sedang Fakir Miskin 2 1.3 Total 152 100
Sumber: data primer (2009)
Melalui tangga kehidupan, diketahui tangga kehidupan keluarga yang
sekarang dan keadaanya pada sepuluh tahun yang lalu. Dari data ini, rumah
tangga dikelompokkan berdasarkan garis kemiskinan lokal menjadi empat
kategori yaitu: tetap miskin, jatuh miskin, tetap kaya, jadi kaya (lihat Gambar 11).
Warga masyarakat yang menempati kategori tetap miskin pada Tabel 10
lebih banyak dibandingkan dengan masyarakat yang masuk ke dalam kategori
lainnya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa sebagian besar warga masyarakat
Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar, merupakan masyarakat miskin
yang sejak 10 tahun yang lalu sampai dengan sekarang berada pada status miskin.
Gambar 11. Sebaran Masyarakat Berdasarkan Posisi Tangga Kehidupan Masyarakat pada Tahun 1999 dan Tahun 2009
Tabel 10. Sebaran Masyarakat Berdasarkan Posisi Tangga Kehidupan Masyarakat
pada Tahun 1999 dan Tahun 2009
No. Mobilisasi Kemiskinan Jumlah (Orang) Persentase (%) 1 Tetap Miskin 108 71,1 2 Tetap Kaya 28 18,4 3 Jatuh Miskin 2 1,3 4 Jadi Kaya 14 9,2
Jumlah 152 100 Sumber: data primer (2009)
Lewat hasil ini, diambil satu orang warga yang masuk kedalam masing-
masing kategori, yaitu Apul yang masuk kedalam kategori tetap miskin sejak
sepuluh tahun yang lalu, Tatang yang masuk kedalam kategori jatuh miskin, Emis
yang menjadi kaya dibandingkan sepuluh tahun yang lalu, dan Uci yang tetap
kaya sejak sepuluh tahun yang lalu.
5.5.1 Warga Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar yang Tetap
Miskin
Apul (30 Tahun) adalah karyawan lepas perkebunan sebagai pemetik teh.
Gaji Apul Rp 200.000,00 per bulan. Pekerjaan lain yang dilakukan oleh Apul
selain memetik teh, yaitu mengurus kambingnya yang berjumlah dua ekor dengan
mengambil rumput setiap habis memetik teh untuk kambing tersebut, selain itu
Apul bekerja sambilan di sawah dengan luas tiga gedeng, yang dikerjakan setelah
mengambil rumput, dan pada hari libur perkebunan yaitu hari minggu. Dari hasil
memetik teh digunakan oleh Apul untuk resiko dapur, yaitu istilah dalam
perkebunan untuk kredit sembako, yang langsung dipotong pada saat apul
menerima gaji, sehingga gaji bersih yang didapatkannya per bulan Rp 50.000,00
yang digunakan untuk jajan anaknya, dari hasil memelihara kambing, digunakan
oleh Apul untuk membiayai hal-hal yang diluar pengeluaran sehari-hari, seperti
biaya melahirkan anak, nujuh bulan, dan slametan. Biaya ini didapatkan dari hasil
jual anak kambing, yaitu Rp 100.000,00 per ekornya. Sedangkan dari hasil kerja
sambilan disawah, hasil panen beras dapat digunakan untuk makan keluarga
selama menunggu masa panen berikutnya.
Apul memiliki tanggungan istri, anak pertama (4,5 tahun), anak kedua
(tiga bulan), istri tidak bekerja karena harus mengurus anak yang masih Balita.
Apul memiliki rumah, sawah dan TV. Ketiganya didapat dari orangtua setelah
Apul menikah, selain itu harta lain yang dimiliki Apul adalah ayam lima ekor dan
dua kali ekor kambing milik sendiri.
Apul mulai bekerja di perkebunan sejak umur 12 tahun (tahun 1991).
Tahun 2000, Apul pernah bekerja di kota, akan tetapi hanya bertahan paling lama
dua bulan selama tiga kali keberangkatan ke kota. Apul di kota bekerja sebagai
pembantu rumah tangga dengan gaji Rp 75.000,00 per bulan bersih, akan tetapi
gaji ini tidak dapat ditabung karena hanya cukup untuk membeli keperluan Apul
saja, sehingga tidak ada peningkatan ekonomi pada tahun tersebut. Pada Tahun
2004 Apul menikah. Pada tahun 2004 tersebut Apul bekerja sebagai pekerja
perkebunan bagian perawatan yang menyemprot tanaman teh, akan tetapi hanya
berlangsung satu setengah tahun, karena Apul terkena sakit, sehingga tidak
diperbolehkan untuk menghirup semprotan pestisida. Gaji yang didapat dari
penyemprotan tanaman teh ini lebih dari cukup untuk kebutuhan sehari-hari,
sehingga Apul dapat menyisihkan uang yang digunakan untuk slametan anak
nujuh bulan dan membeli kambing. Pertengahan tahun 2006, Apul kembali
menjadi pemetik teh. Pada tahun-tahun berikutnya apul merasa tidak ada
perubahan dalam hidupnya, malah lebih sulit karena tanggungan bertambah lagi
satu.
Apul, memiliki sawah dengan luas tiga gedeng yang merupakan warisan
dari orangtuanya dan didapat setelah menikah. Hasil panen hanya cukup untuk
menunggu sampai ke jarak panen selanjutnya. Apul tidak memperluas lahannya,
karena tidak mampu mengurus dan tidak adanya modal, bila sawah diperluas,
maka jam kerjanya akan meningkat, sedangkan Apul tidak sanggup bekerja
sendirian dan tidak mempunyai cukup waktu bila harus bekerja di lahan yang
lebih luas.
5.5.2 Warga Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar yang Jatuh
Miskin
Tatang (31 tahun) bekerja di perkebunan sebagai karyawan lepas bagian
pemetikan teh. Selain bekerja di perkebunan, Tatang juga bekerja sebagai
pemelihara kambing yang diparo-paro oleh pemiliknya kepada Tatang. Sistem
paro-paro kambing ini adalah sistem bagi hasil ternak, dimana pemilik ternak
akan memberikan kambingnya untuk diurus kepada orang lain, dan orang tersebut
akan memelihara kambing, bila kambing melahirkan, anak kambing akan dibagi
dua antara pemilik dan pemeliharanya. Selain itu, Tatang juga bekerja sebagai
buruh, buruh ini meliputi berbagai hal, dari memotong kayu, buruh di sawah, atau
apapun yang disuruhkan kepada Tatang.
Gaji yang didapat Tatang dan istrinya dari perkebunan yaitu sebesar Rp
300.000,00. Istri Tatang ikut membantu memetik teh sebagai karyawan lepas
perkebunan. Hasil yang didapat Tatang lebih kecil dibandingkan karyawan
lainnya karena Tatang sangat mematuhi peraturan dari perkebunan, Tatang tidak
menggunakan sarung tangan pada saat memetik, agar tidak merusak tanaman teh
yang akan dipanen selanjutnya, hal ini menyebabkan hasil yang didapatkan
Tatang sedikit. Gaji dari perkebunan ini digunakan oleh Tatang untuk kebutuhan
sehari-hari keluarganya, akan tetapi gaji ini tetap tidak cukup, sehingga Tatang
harus berhutang kepada tetangganya dan dibayarkan dengan cara menjadi buruh
mereka yaitu membantu bila masyarakat membutuhkan Tatang di sawah, ataupun
memperbaiki rumah, dll. Hasil dari paro-paro kambing digunakan oleh Tatang
untuk kebutuhan diluar keperluan sehari-hari seperti slametan, keperluan sekolah
anak, dll.
Tahun 1993-1998, Tatang pergi dari kampungnya dan bekerja di Jakarta.
Tatang kesulitan mencari pekerjaan di Jakarta, bila dapat pekerjaan, gaji yang
didapat sangat sedikit dan hanya cukup untuk kebutuhannya sendiri, bahkan
terkadang kurang. Hal ini mungkin dikarenakan kondisi fisik Tatang yang kecil,
kurus dan ada luka di bagian matanya. Pada tahun 1998, Tatang kembali ke
kampungnya dan mulai bekerja di perkebunan sebagai pemetik teh. Tahun 2000
Tatang menikah dan mempunyai anak. Pada tahun 2002, ayah Tatang meninggal
dan tidak memberikan warisan pada Tatang dan tidak lagi memberikan bantuan
ekonomi pada Tatang. Pada tahun ini Tatang diusir dari rumahnya dan tidak
memiliki rumah lagi, tetangga dan seluruh masyarakat dari Kampung Padajembar
membantu Tatang membuat rumah, mereka bergotong royong membuat rumah
Tatang baik dari segi tenaga maupun bantuan uang, sehingga untuk membuat
rumah yang sekarang Tatang tempati, Tatang hanya mengeluarkan uang Rp
100.000,00 sisa kebutuhan pembuatan rumahnya ditanggung bersama oleh
masyarakat Kampung Padajembar. Pada tahun 2003 Tatang memiliki anak lagi,
dan Tatang merasa hidupnya semakin sulit karena memiliki tambahan tanggungan
tanpa adanya tambahan penghasilan.
Tanggungan Tatang yaitu istri, anak pertama (8 tahun), anak kedua (4
tahun), Tatang memiliki TV yang dibeli pada tahun 2007 dengan cara kredit.
Tatang membeli TV walaupun tidak mampu, karena malu anaknya harus
menonton di rumah tetangga sampai malam. Tatang tidak memiliki harta lainnya,
termasuk sawah, karena ayah Tatang bangkrut sehingga tidak mewariskannnya
apapun pada Tatang, selain itu ayah Tatang memiliki dua orang istri dan dari
sebelum sampai akhirnya ayah Tatang bangkrut, semua harta ayahnya dikuasai
oleh ibu tirinya. Rumah yang ditempati Tatang sekarang adalah rumah yang
dibuat oleh masyarakat dengan cara bergotong-royong, baik dalam hal dana
maupun tenaga. Tatang memiliki kambing yang diparo sebanyak lima ekor.
Perbedaan antara Apul dan Tatang yaitu, Apul memiliki orangtua yang
dapat mewarisinya harta dan membantu perekonomian Apul pada saat kesulitan,
sehingga Apul memiliki jaminan. Sedangkan Tatang tidak memiliki orangtua
ataupun saudara yang memberikannya harta untuk modal dan membantu
perekonomian Tatang pada saat kesulitan ekonomi. Begitupula dengan gaji, gaji
yang diterima Tatang lebih besar Rp 100.000,00 dibandingkan Apul, akan tetapi
Tatang tetap tidak bisa memenuhi kebutuhan hidupnya, hal ini dikarenakan
Tatang tidak memiliki sawah, sehingga Tatang harus mengeluarkan uang untuk
membeli beras, sedangkan Apul memiliki sawah, selain itu anak Tatang umurnya
lebih besar daripada anak Apul, sehingga kebutuhan anak juga lebih besar anak
Tatang dibandingkan anak Apul yang masih Balita.
5.5.3 Warga Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar yang Tetap
Kaya
Uci (47 tahun) mempunyai pekerjaan sebagai pegawai PT Cevron LTD
sejak tahun 2007 dengan penghasilan Rp 2.500.000,00 per bulan. Selain bekerja
di PT Cevron LTD, Uci memiliki sawah seluas delapan gedeng yang diurus oleh
istri dan dua pekerjanya. Uci juga memiliki enam ekor kambing yang juga diurus
oleh istri dan 30 ekor ayam. Dari hasil bekerja di PT Cevron LTD, sudah lebih
dari cukup untuk membiayai pengeluaran Uci dan keluarganya. Jumlah
tanggungan Uci yaitu: dua orang istri, anak terakhir dari istri pertama (17 tahun)
dan anak dari istri kedua (7 tahun), anak-anak Uci yang lainnya sudah menikah.
Sebelum tahun 1985, Uci pernah bekerja di perkebunan sebagai karyawan
lepas pada bidang pemetikan teh. Akan tetapi, Uci memutuskan untuk berhenti,
karena merasa bekerja di perkebunan capai dan tidak menghasilkan penghasilan
yang setimpal dengan pekerjaan yang dilakukan. Tahun 1985 sampai tahun
2000an Uci mulai bekerja pada sektor pertanian, awal mulanya bersawah, akan
tetapi Uci mulai belajar dan menyadari bahwa tanah didaerahnya tidak cocok
ditanami oleh padi, sehingga Uci beralih ke tanaman cabai, kacang panjang,
jagung, pisang dan sayur-sayuran. Tanaman selain padi ternyata lebih baik
hasilnya dari pada padi. Pada saat Uci bertanam cabai, kacang panjang, jagung,
pisang dan sayur-sayuran, hasil panennya dijual sampai ke Leuwiliang dan
komersil, sehingga mendapatkan untung yang besar. Selain bekerja di bidang
pertanian, pada tahun 1988-1998 Uci juga bekerja sambilan di Perum Perhutani
sebagai kader konservasi.
Uci dapat mempertahankan posisi tangga kehidupannya, karena Uci sejak
awal sudah tidak bekerja di perkebunan dan menopangkan hidupnya pada
pertanian yang lebih menghasilkan, sehingga Uci dapat menabung dan
menginvestasikan uangnya pada bidang lain, yang sedikit demi sedikit
memberikan hasil pada Uci dan memperbanyak hartanya.
5.5.4 Warga Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar yang Jadi
Kaya
Emis (30 tahun) bekerja sebagai petani dan pedagang. Dari hasil dagang,
Emis dapat memenuhi kebutuhan sehari-harinya, warung dijaga oleh istri sambil
menjaga anaknya di rumah. Emis bertani cabe, kacang panjang, dan bawang. Dari
hasil bertani ini ditabung untuk memperluas lahan kebunnya dan juga untuk
modal membuat ternak ayam di samping rumahnya. Luas lahan Emis yaitu 125
meter yang dibantu oleh dua orang pekerja. Emis memiliki tanggungan yaitu: istri
dan seorang anak (5 tahun). Emis memiliki kebun, warung, TV, motor, emas,
kerbau dan ayam.
Tahun 1994 sampai tahun 2001, sejak lulus SMP, Emis bekerja di kota
Bogor yaitu di pasar Warung Jambu). Emis memutuskan untuk kembali ke
kampung karena tidak tahan dengan persaingan yang semakin sulit di pasar, yang
ditandai dengan semakin banyaknya orang yang berdagang dan persaingan harga
yang semakin ketat, sehingga untung yang didapat semakin sedikit. Setelah berada
di kampung, Emis sempat menganggur dan bekerja sambilan, kambing miliknya
dijual sebagai modal dan kebutuhan hidup. Selama bekerja di pasar, Emis sering
mengirimkan uang kepada orangtuanya. Karena orangtua Emis cukup berada, dan
dapat memenuhi kebutuhan mereka sendiri, maka uang Emis ditabungkan oleh
orangtua Emis dalam bentuk kambing. Selama bekerja di pasar juga, Emis
mengkredit motor, dua tahun setelah Emis tidak bekerja di pasar, motor tersebut
telah habis masa kreditnya dan menjadi milik Emis.
Tahun 2004 Emis menikah dan mulai membuka warung dari hasil jual
kambing. Dari modal yang Emis kumpulkan sejak bekerja di pasar, Emis
berbisnis jualan ayam yang dijual secara kredit kepada masyarakat di Dusun
Cigarehong dan sekitarnya. Akan tetapi bisnis jualan ayam ini tidak berhasil,
bahkan merugi, karena orang yang membeli ayam secara kredit tidak membayar
lunas pada Emis. Sehingga Emis merugi dari usaha ini. Pada tahun 2005, Emis
dan temannya bekerja sama bertani cabe. Emis sebagai orang yang menanamkan
modal, sedangkan temannya yang mengelola cabe tersebut. Hasil dari bertani cabe
ini yaitu Rp 1.000.000,00. Tahun 2007 Emis bekerja di PT Cevron LTD, selama
enam bulan, gaji dari PT Cevron LTD habis begitu saja, akan tetapi tersisa sebesar
Rp 2.000.000,00 yang dibelikan ladang untuk bertanam cabe dan kacang panjang
yang sekarng sedang Emis lakukan.
Pekerja PT Cevron LTD mendapatkan penghasilan yang cukup besar,
berkisar Rp 2.000.000,00 sampai dengan Rp 4.000.000,00 per bulannya. Akan
tetapi sebagian besar dari pekerja yang bekerja di Cevron tidak dapat
menabungkan hasil kerjanya, uang tersebut akan habis dengan gaya hidup
berfoya-foya, dan juga memiliki istri lebih dari satu orang. Sehingga banyak
ditemukan di Kampung Padajaya yang memiliki istri lebih dari satu orang dan
beberapa orang yang memiliki suami, akan tetapi tidak diketahui siapa suami
warga tersebut.
5.6 Modal Sosial Masyarakat
Menurut Agung (2007), satu hal yang masih bisa diharapkan dan menjadi
semacam roh untuk mempertahankan hidup komunitas-komunitas di pedesaan
adalah budaya gotong-royong. Praktek gotong-royong, yang dalam istilah
akademis sering disebut sebagai social capital ini, terjadi dalam hampir semua
segi kehidupan masyarakat. Pada masyarakat di Kampung Padajembar dan
Kampung Padajaya, kegiatan gotong-royong ini masih terasa sangat kental.
Gotong-royong tidak hanya dalam hal memperbaiki atau membuat fasilitas umum
akan tetapi dalam berbagai hal, mulai dari kegiatan tandur, panen peanian, saling
membantu bila ada yang sakit, slametan, kawinan, nujuh bulan. Pola gotong-
royong ini banyak menanggulangi kebutuhan-kebutuhan yang seharusnya keluar
dalam bentuk uang tunai, dan menanggulangi beban masyarakat yang tidak
memiliki uang pada saat tersebut.
Pemenuhan kebutuhan pangan sehari-hari juga merupakan bagian dari
gotong-royong ini, karena masyarakat yang sudah tidak memiliki beras dapat
meminjam beras kepada tetangga atau saudaranya yang masih memiliki cadangan
beras hasil panennya. Orang yang meminjam beras dapat mengembalikan beras
tersebut baik dalam bentuk beras ataupun membantu di sawah ataupun buruh bila
tetangganya tersebut membutuhkan bantuan tenaga.
Selain beras, modal sosial masyarakat juga dalam bentuk kambing.
Kambing yang cukup merupakan tabungan yang dirasa lebih nyata bagi petani.
Masyarakat yang memiliki uang akan menyimpan uangnya dalam bentuk
kambing, kemudian kambing diparo-paro, yang dimaksud adalah kambing dibeli
akan tetapi diurus oleh orang lain, bila kambing melahirkan, anak dari kambing
tersebut adalah milik si pembeli dan yang mengurus dari kambing tersebut.
BAB VI MASALAH AGRARIA
Perkebunan dan pegunungan selalu dibayangkan sebagai tempat yang
sejuk dengan suasanan pedesaan yang kental dan terasa damai. Bagi orang kota
suasana seperti itu merupakan tempat yang tepat untuk melepaskan rasa bosan dan
lelah karena rutinitas harian. Kekaguman yang mendalam akan keindahan alam
lereng pegunungan dan kebun teh yang terhampar luas mengesan bagi orang kota.
Namun tidak demikian halnya dengan masyarakat setempat. Mereka menyimpan
problemanya sendiri. Hijaunya hutan dan perkebunan bukanlah tolak ukur
kemakmuran oleh sebagaian besar orang, khususnya orang-orang kota, bahwa di
balik tirai pegunungan yang hijau dan segar itu sedang terjadi proses pemiskinan
yang telah berlangsung dan masih berlangsung sampai sekarang.
Beberapa permasalahan agraria yang dihadapi oleh petani di Kampung
Padajaya dan Kampung Padajembar ialah sebagai berikut:
6.1 Kontur Wilayah Perkebunan dan Kesuburan Tanah
Bila dilihat dari atas perkebunan, maka deretan dari persawahan di
Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar tidak akan terlihat, karena letaknya
yang mengikuti kontur (lembah) sehingga tidak terlihat adanya aktivitas pertanian
di kampung tersebut. Bentuk sawah di Kampung Padajaya dan Kampung
Padajembar berbentuk terasering yang disesuaikan dengan kontur tanah daerah
perkebunan (lihat Gambar 12). Lahan yang digunakan oleh masyarakat ini adalah
Hak Guna Usaha dari perkebunan yang tidak digunakan oleh perkebunan karena
ketinggiannya tidak sesuai dengan tanaman teh yang perkebunan budidayakan.
Gambar 12. Sawah yang Sesuai dengan Kontur Tanah Daerah Perkebunan
Sawah di Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar dibuat sesuai
dengan kontur tanah sehingga warga tidak menggunakan kerbau untuk
pembajakan lahan pertanian mereka, karena letak dan bentuk sawah ini. Hal ini
menyebabkan warga Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar harus
melakukan pembajakan sendiri terhadap lahan mereka. Warga harus
mengeluarkan biaya, waktu dan tenaga yang lebih untuk mengerjakan hal ini.
Hasil pertanian yang terdapat di Kampung Padajaya dan Kampung
Padajembar adalah padi, cabe, kacang panjang, jagung, pisang, sayur-sayuran dan
tanaman rempah-rempah yang digunakan untuk memasak (lihat Gambar 13 dan
Gambar 14). Masyarakat pada umumnya menanam padi sebagai komoditas
utama, karena padi adalah kebutuhan utama pangan mereka (lihat Gambar 15).
Karena kontur wilayah yang berbukit-bukit, maka warga memanfaatkan lahan
kosong sebaik mungkin.
Gambar 13. Sayuran yang di Tanam Sesuai Kontur Tanah
Karena kontur wilayah yang berbukit-bukit, maka warga memanfaatkan
lahan kosong sebaik mungkin. Pada Gambar 13, masyarakat tetap menggunakan
lahan kosong yang ada, walaupun lahan tersebut cukup miring.
Gambar 14. Tanaman Rempah dan Pohon Pisang Warga
Gambar 15. Padi Komoditas Utama Pertanian Masyarakat
Topografi wilayah Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar yang
berada pada dataran tinggi menyebabkan produktivitas tanaman padi di kampung
ini lebih rendah dibandingkan dengan kampung-kampung lain di luar Kebun
Cianten. Pada Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar, satu gedeng dapat
menghasilkan 150 liter beras (luas satu gedeng sawah setara dengan 1500 m2)
dengan masa panen empat bulan sampai dengan lima bulan. Sedangkan di desa
lain, satu gedeng dapat menghasilkan 300 liter beras. Perbedaan hasil ini menurut
warga dikarenakan tanah pada desa lain di luar perkebunan dengan tanah di
Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar berbeda tingkat kesuburannya.
Berdasarkan wawancara dengan masyarakat yang memiliki sawah, sawah dengan
luas dua gedeng sampai dengan tiga gedeng dapat memenuhi kebutuhan pangan
keluarga sampai dengan musim panen berikutnya yaitu empat sampai dengan lima
bulan mendatang. Dengan asumsi empat orang dewasa dengan tingkat konsumsi
beras 10 liter sampai 12 liter per minggunya.
6.2 Hubungan Petani dengan Perkebunan dan TNGH
Berdasarkan informasi baik dari mandor besar Sektor delapan dan Bagian
Umum PTPN VIII Kebun Cianten, perkebunan memberikan ijin kepada
masyarakat yang membuat sawah maupun perumahan di dalam wilayah
perkebunan, dan mengenakan sewa atas sawah dan rumah tersebut. Syaratnya
masyarakat tidak diperbolehkan menjadikan rumah tersebut menjadi bangunan
permanen, yaitu menggunakan batu bata dan semen, dan sawah tidak boleh
diperluas ke areal tanaman teh. Akan tetapi terkadang ada beberapa masyarakat
yang tidak mematuhi peraturan tersebut. Tanpa sepengetahuan pihak perkebunan,
warga sedikit demi sedikit memperluas areal sawah dan rumah mereka baik ke
daerah perkebunan maupun daerah Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH).
Hal ini dikarenakan tidak adanya data dari perkebunan mengenai luas sawah dari
masyarakat secara detail. Administrasi ini tidak lengkap dikarenakan setiap
administratur memiliki kebijakan sendiri-sendiri mengenai hal ini, sehingga ada
yang memungut biaya untuk sawah dan rumah warga yang berada di dalam
Kebun Cianten, dan ada pula yang tidak memungut biaya.
Salah satu penduduk yang memperluas lahannya adalah Odih. Odih
memperluas lahan rumahnya kearah tanaman perkebunan. Selama lima tahun
belakang rumahnya menjadi bertambah empat meter. Tanaman teh yang ada
didepan rumahnya di potong dan dibongkar tanahnya untuk memperluas rumah.
Pihak perkebunan tidak mengetahu pelebaran ini, karena tidak ada bagian khusus
dari perkebunan yang mengawasi areal lahan baik rumah ataupun sawah untuk
masyarakat. Selain itu, orang-orang yang bekerja di perkebunan di daerah rumah
Odih tidak menegur Odih karena hal ini sudah menjadi hal yang biasa bagi
masyarakat Kampung Padajembar.
Pemilikan dan penguasaan tanah di Kampung Padajaya dan Kampung
Padajembar, dilakukan dengan cara jual beli tanah. Jual-beli tanah di Kampung
Padajaya dan Kampung Padajembar berbeda dengan desa lain di luar Kebun
Cianten. Jual-beli tanah di kampung ini, hanya perpindahan penggunaan sawah
saja dari orang yang sebelumnya menguasai sawah tersebut kepada orang lain.
Hal ini dikarenakan lahan yang masyarakat gunakan bukan milik, melainkan
tanah dari perkebunan maupun dari TNGH, yang tidak diperbolehkan untuk
diperjual belikan.
Pergantian pengelolaan dari Perum Perhutani menjadi TNGH di Dusun
Cigarehong baru terjadi pada bulan Februari. Setelah adanya pergantian, pihak
TNGH memberitahukan kepada warga Kampung Padajaya dan Kampung
Padajembar bahwa mereka diperbolehkan untuk tetap bersawah atau berladang
dan memiliki perumahan di daerah TNGH, akan tetapi baik sawah, ladang
maupun perumahan tersebut tidak diperbolehkan untuk diperluas, bila diperluas
akan mendapatakan sangsi. Masyarakat juga tidak diperbolehkan untuk menebang
hutan di daerah TNGH. Pada tahun 2006 seorang warga Padajaya yang bernama
Ahdi ditangkap karena menebang pohon di hutan TNGH dan mendapat hukuman
penjara. Hal ini menyebabkan masyarakat mulai enggan untuk menebang pohon,
Menurut Uci yang merupakan sukarelawan dari TNGH sejak lima belas tahun
yang lalu, orang yang menebang hutan TNGH adalah warga yang berasal dari luar
Dusun Cigarehong. Karena penduduk dusun ini sudah mengetahui sanksi yang
terjadi bila melanggar peraturan dari TNGH, seperti yang terjadi pada tetangga
mereka. Akan tetapi masih ada beberapa pihak yang ”nakal” dan melanggar
peraturan dari TNGH dengan memperlebar lahan sawah mereka perlahan-lahan,
tanpa diketahui pihak TNGH.
6.3 Penguasaan yang Sempit oleh Petani
Penguasaan sawah baik di Kampung Padajaya maupun Kampung
Padajembar berdasarkan sistem warisan yang diberikan secara turun-temurun dari
orang tua kepada anak atau menantunya. Pada wanita, tanah diberikan setelah
mereka menikah, sedangkan pada laki-laki tanah diberikan sejak mereka dianggap
telah bisa mengurus tanah itu sendiri. Karena adanya sistem warisan ini,
masyarakat miskin yang tidak memiliki tanah tidak dapat menurunkan tanah
kepada anaknya, sehingga anak mereka tidak memiliki sawah.
Penguasaan sawah berdasarkan sistem warisan ini menjadi jawaban
mengapa petani di Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar memiliki lahan
pertanian yang sempit. Karena setiap orangtua tidak hanya memiliki satu anak
saja. Sehingga tanah yang ia miliki akan dibagi-bagikan kepada semua anaknya
dan anak-anaknya mendapatkan lahan orangtua yang sudah semakin kecil karena
dibagi-bagikan tersebut.
Penguasaan lahan pertanian yang sempit di Kampung Padajaya dan
Kampung Padajembar mendorong masyarakat mengadakan perluasan lahan,
untuk meningkatkan produktivitas dari hasil pertanian mereka. Perluasan ini
dilakukan baik ke tanah perkebunan maupun ke tanah TNGH. Akan tetapi,
perluasan ini memakan biaya yang besar. Berdasarkan wawancara dengan Asep,
biaya yang dikeluarkan untuk memperluas lahan yaitu kurang lebih Rp
1.000.000,00. Biaya ini digunakan untuk membayar orang untuk membuka lahan
hutan TNGH maupun perkebunan sebesar dua sampai tiga gedeng. Tanah
sebelumnya harus ”diurug”, tanaman-tanaman diatas tanah tersebut dicabut
sampai akarnya. Kemudian tanah dicangkul agar gembur, kemudian dibuat irigasi
dari sungai yang terdekat dengan sawah. Karena biaya perluasan lahan sangat
mahal bagi masyarakat Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar, maka
biasanya hanya masyarakat yang termasuk kedalam tangga kehidupan mampu dan
tangga kehidupan standar saja yang dapat memperluas lahan pertanianny, karena
mereka mempunyai modal.
Tindakan perluasan oleh Warga Kampung Padajaya dan Kampung
Padajembar, dilakukan dengan cara sembunyi-bunyi yang disebut resistensi kecil
dari petani. Perluasan ini dilakukan sedikit demi sedikit sehingga tidak diketahui
oleh pihak perkebunan, karena tidak adanya kontrak tertulis dan juga tindakan
administratif dari perkebunan untuk menunjukkan luas dari wilayah perkebunan
yang digunakan oleh masyarakat. Kalaupun ada data dari perkebunan, data itu
merupakan data yang sudah lama, karena masyarakat sudah selama dua tahun
terakhir tidak dimintai sewa tanah dan sawah mereka, dan tidak adanya yang
mendata jumlah dari sawah dan rumah mereka.
Odih misalnya, yang melakukan perluasan rumahnya tiga meter kearah
perkebunan teh selama lima tahun terakhir dan juga melakukan perluasan sawah
dengan cara membuka hutan TNGH sebesar tiga gedeng. Menurut Odih, tidak
hanya dirinya yang melakukan perluasan tanah tersebut, hampir seluruh
masyarakat di Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar melakukan
perluasan area baik sawah maupun rumah, dan perluasan ini sudah merupakan
suatu hal yang umum dilakukan. Asep juga menyatakan hal yang sama, bahwa
areal tanah untuk pertanian di dua kampung ini masih banyak yang bisa
digunakan, khususnya hutan TNGH, perluasan sawah ataupun pembuatan sawah
baru di lahan TNGH masih dapat dilakukan karena wilayahnya yang luas dan
TNGH tidak akan mengetahui adanya perluasan tersebut.
Berdasarkan Gambar 16 rata-rata luas sawah masyarakat Kampung
Padajaya dan Kampung Padajembar yaitu tiga gedeng. Dengan luas dua gedeng,
rumah tangga dengan jumlah empat orang sudah dapat memenuhi kebutuhan
pangannya sehari-sehari sampai menunggu masa panen berikutnya. Luas tiga
gedeng selain dapat memenuhi kebutuhan pangan rumah tangga dengan jumlah
empat orang, dapat juga memberikan pinjaman beras dan menggunakan berasnya
untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran lain, diantaranya perelek dan
slametan. Karena di Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar, lazimnya bila
datang ke slametan membawa beras.
Usahatani adalah proses pengorganisasian faktor-faktor produksi yaitu,
alam, tenaga kerja, modal dan pengelola yang diusahakan oleh perseorangan
ataupun sekumpulan orang untuk menghasilkan output yang dapat memenuhi
kebutuhan konsumen (Soeharjo dan Patong, 1973). Kegiatan usahatani
berdasarkan coraknya dapat dibagi menjadi dua, yaitu usahatani subsisten dan
usahatani komersial. Usahatani subsisten bertujuan memenuhi konsumsi keluarga,
sedangkan usahatani komersial adalah usaha dengan tujuan untuk mendapatkan
keuntungan.
Gambar 16. Grafik Luas Sawah Masyarakat Kampung Padajaya dan Kampung
Padajembar
Pada dua kampung ini, masyarakat yang luas lahannya lebih dari dua
sampai empat gedeng adalah masyarakat yang mampu menjual atau
meminjamkan beras yang dimilikinya pada tetangga. Warga ini termasuk
kedalam usaha tani subsisten karena hanya memilki sawah kurang dari satu hektar
yang hasilnya hanya dapat digunakan untuk kebutuhan sehari-hari. Warga
masyarakat yang memilki luas sawah lima sampai sembilan gedeng termasuk
kedalam warga yang berusaha tani komersial. Dengan luas sawah lebih dari
satuhektar, mereka memiliki hasil panen yang berlebih bila digunakan hanya
untuk kebutuhan sendiri. Kemudian, warga tersebut menjual hasil panennya ke
tetangganya di Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar akan tetapi tidak
dijual ke pasar. Karena hasil panen mereka hanya mencukupi kebutuhan pangan
di dua kampung tersebut, sehingga hasil panen tidak perlu dibawa keluar
kampung untuk dijual.
Kebutuhan keluarga dimana satu keluarga terdiri dari empat orang selama
lima bulan yaitu 200 liter. Satu gedeng tanah di Kampung Padajaya dan Kampung
Padajembar setara dengan 1500 m2 tanah, hasil satu gedeng tersebut selama lima
bulan adalah 150 liter beras. Sehingga warga masyarakat yang memilki lahan dua
sampai empat gedeng dapat memenuhi kebutuhan keluarganya akan tetapi tidak
untuk dijual. Sehingga masyarakat yang memiliki sawah lebih dari empat gedeng,
adalah masyarakat yang dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dan menjual hasil
panennya.
Total masyarakat yang memiliki lahan sempit yaitu dua sampai empat
gedeng atau kurang dari 6000 m2 yaitu 36 orang, sedangkan total masyarakat yang
memiliki lahan yang tidak termasuk sempit yaitu lima sampai sembilan gedeng
atau lebih dari 7500 m2 yaitu 17 orang. Sehingga sebagian besar masyarakat di
Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar termasuk kedalam penguasaan
lahan yang sempit. Menurut Mubyarto (1992), konsekuensi dari fenomena
sempitnya lahan pertanian terlihat pada rendahnya tingkat produktivitas maupun
kualitas dari hasil produksi perkebunan rakyat yang sebenarnya merupakan
implikasi dari kesulitan petani menerapkan kultur teknis yang benar yang di
samping memerlukan pengetahuan dan keterampilan yang tinggi juga perlu
dukungan modal yang besar. Pada Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar,
hal ini terjadi pada bidang pertanian sawah yang ditekuni oleh masyarakat sebagai
usaha sambilan, akibat sempitnya lahan pertanian yang dimiliki oleh petani,
mereka kesulitan menerapkan kultur teknis yang benar, karena kurangnya
pengetahuan dan keterampilan serta kurangnya modal.
6.4 Kerusakan Lingkungan
Sawah yang dibuat oleh warga Kampung Padajaya dan Kampung
Padajembar berada di daerah lereng-lereng bukit. Untuk mendapatkan air yang
mengairi sawah, maka sawah dibuat sejajar atau berdekatan dengan sungai.
Sungai utama yang mengalir di Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar
adalah Sungai Cianten dan anak-anak sungainya. Dalam membuat sawah, warga
masyarakat ”menguruk” sungai. Pengurukan ini terjadi karena menurut warga,
tanah sungai lebih subur dibandingkan tanah yang jauh dari sungai. Pengurukan
ini juga memudahkan warga untuk pengairan sawah mereka, karena dekat dengan
sumber mata air. Karena adanya pengurukan ini, maka akan sering dijumpai batu
kali besar hasil pengurukan sungai yang masih terdapat di sawah masyarakat
(lihat Gambar 17). Batu ini tetap ada karena masyarakat sulit untuk memindahkan
dan menghancurkannya, sehingga tetap dibiarkan di sawah mereka. Pengurukan
sungai di Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar terjadi karena masyrakat
tidak memiliki pengetahuan yang cukup mengenai irigasi sawah. Cara irigasi yang
didapatkan hanya ilmu dari turun-temurun dari orangtua ke anak. Irigasi
sederhana yang dibuat oleh masyarakat hanya menggunakan bambu yang
menghubungkan sawah dengan sawah lainnya untuk pengairan, dan bambu juga
digunakan untuk menyambungkan sungai dengan sawah.
Gambar 17. Batu Kali di Tengah Sawah Masyarakat
Menurut Tjondronegoro (2008), terdesak oleh keadaan, lapisan bawah
terpaksa melakukan pekerjaan apa saja yang dapat memperpanjang hidupnya,
termasuk menebang pohon di hutan lindung atau menambang di bawah bumi
maupun di bawah permukaan laut yang menyebabkan terjadinya kerusakan alam.
Hal ini terjadi di Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar, karena
masyarakat tidak memiliki pengetahuan akan dampak ”pengurukan” sungai dan
tidak ada yang dapat dilakukan lagi selain ”menguruk” sungai untuk membuat
pengairan, berdampak pada aliran sungai yang semakin kecil ke hilir.
Rusaknya lingkungan alam di Kampung Padajaya dan Kampung
Padajembar yang disebabkan oleh warga masyarakat perlu diperhatikan lebih
lanjut, agar tidak terjadi kerusakan yang lebih parah lagi. Perlu penyadaran
kepada warga agar warga mengetahui dampak dari apa yang mereka perbuat,
sehingga masyarakat menghentikan aktivitas perusakan tersebut.
6.5 Sulitnya Akses Transportasi
Trayek kendaraan umum dari dan ke Kampung Padajaya dan Kampung
Padajembar belum ada. Akan tetapi di Kampung Cigarehong terdapat warga yang
memiliki mobil L300 Colt yang digunakan sebagai angkutan umum setiap harinya
bagi masyarakat dari Dusun Cigarehong yang hendak pergi ke Pasar Leuwiliang.
Dalam sehari, mobil hanya melakukan satu kali rute yang berangkat dari Dusun
Cigarehong pukul 04.00 dan pulang dari Pasar Leuwiliang pukul 10.00. Tarif per
orang dari Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar ke Pasar Leuwiliang
ataupun sebaliknya adalah Rp 13.000,00. Masyarakat yang akan pergi
menggunakan mobil ini, harus memesan dulu sebelumnya agar mobil menunggu
kedatanggannya atau menjemput langsung ke rumahnya, karena kondisi Kampung
Padajaya dan Kampung Padajembar pada pukul 04.00 masih cukup gelap dan
berangin kencang.
Harga tarif angkutan ini cukup mahal untuk masyarakat. Sehingga warga
tidak terlalu sering pergi meninggalkan Kampung Padajaya dan Kampung
Padajembar. Hanya beberapa orang yang pergi belanja ke Pasar Leuwiliang
untuk membeli keperluan bertani (pupuk, pestisida) ataupun membeli barang-
barang untuk keperluan warung bagi warga yang berdagang. Perjalanan dari pasar
Leuwiliang menuju Dusun Cigarehong memakan waktu satu setengah jam sampai
dengan dua jam. Untuk sampai ke Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar,
warga harus melewati beberapa desa dan memasuki kawasan hutan TNGH.
Kawasan hutan TNGH cukup luas, sehingga sebelum masuk ke dalam wilayah
Kebun Cianten, warga harus melewati pohon-pohon yang sangat rimbun disebelah
kiri jalan dan lereng yang terjal di sebelah kanan jalan. Selain wilayah yang sulit
untuk dilewati, jalan menuju Kebun Cianten, sudah rusak. Terdapat longsor di
berbagai tempat dan aspal yang bolong-bolong dan longsor ke lereng sangat
mengkhawatirkan.
Kondisi ini menyebabkan wilayah perkebunan semakin terisolir dari
wilayah luar, selain karena sedikitnya angkutan umum yang menuju Kampung
Padajaya dan Kampung Padajembar, lokasi yang jauh dari pasar, jarak tempuh
yang lama, dan kondisi jalan yang tidak bagus, menyebabkan masyarakat sulit
untuk mendapatkan akses infomasi dan membawa hasil pertanian mereka ke luar
Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar. Sehingga masyarakat tidak
memiliki motivasi yang kuat untuk meningkatkan hasil produktivitas pertanian
mereka, karena kendala dalam memasarkan hasil pertanian mereka. Akses
transportasi dan terisolirnya Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar juga
menyebabkan warga tidak akses terhadap informasi. Dalam bidang pertanian,
kurangnya akses masyarakat terhadap informasi menyebabkan masyarakat masih
menggunakan bibit yang sudah lama digunakan dan tidak menggunakan bibit
unggul karena ketidaktahuan mereka, begitupula dengan irigasi yang masih sangat
sederhana dengan menggunakan bambu yang dihubungkan dengan sungai untuk
pengairan sawah.
Sulitnya transportasi yang disebabkan juga oleh infrastruktur jalan yang
kurang memadai menyebabkan Kepala Desa Purwabakti jarang berkunjung ke
Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar. Sehingga aspirasi masyarakat
terkait kebutuhan mereka terhadap penyuluhan dan tidak adanya bantuan
pemerintah terkait pertanian di Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar
yang sebenarnya sangat dibutuhkan oleh masyarakat Kampung Padajaya dan
Kampung Padajembar.
6.6 Tidak adanya Penyuluhan
Penyuluhan di Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar jarang
terjadi, kalaupun ada penyuluhan adalah penyuluhan tentang pelestarian
lingkungan, tidak ada penyuluhan khusus tentang pertanian. Penyuluhan yang
pernah ada yaitu penyuluhan yang diadakan oleh JAICA yang memberikan
penyuluhan tentang pelestarian alam, agar masyarakat tidak menebang hutan di
TNGH. Akibat tidak adanya penyuluhan pertanian, pengetahuan masyarakat
tentang pertanian hanya didapat dari turun-temurun.
Kurangnya akses informasi kepada warga masyarakat di Kampung
Padajaya dan Kampung Padajembar menyebabkan masyarakat mempunyai
pandangan yang masing-masing mengenai kurang produktivitasnya sawah mereka
di dibandingkan sawah lain di kampung lain di luar Kebun Cianten, seperti desa
Cibunian dan Desa Ciasmara.
Kampung Padajaya menganggap kurang produtivitasnya sawah mereka
karena daerah mereka yang dingin, sehingga tanaman seperti padi tidak cocok
ditanam disini karena airnya yang dingin, sehingga banyak dari warga Kampung
Padajaya yang tidak mengusahakan sawah karena warga mengetahui kesia-siaan
usaha yang mereka lakukan bila warga menanam padi. Karena hasilnya tidak
sesuai dengan tenaga yang dikeluarkan. Warga Padaya menyadari, tanaman yang
paling berkembang di daerah mereka adalah cabe, kacang panjang, dan sayur-
sayuran.
Warga Kampung Padajembar menganggap rendahnya produktivitasnya
lahan pertanian mereka karena tanah di daerah mereka berkapur, sehingga tidak
cocok untuk padi. Akan tetapi, warga Padajembar tetapmengolah sawah mereka
tidak seperti warga pada Kampung Padajaya, karena warga Kampung Padajembar
membutuhkan hasil panen padi untuk kebutuhan pangan sehari-hari. Warga
Kampung Padajembar yang rata-rata adalah pekerja dari perkebunan tidak dapat
memenuhi bertahan hidup tanpa sawah, karena penghasilan yang mereka dapatkan
dari perkebunan hanya cukup untuk kebutuhan diluar beras, dan beras untuk
makan sehari-hari, warga dapatkan dengan mengolah sawah mereka. Warga
Padajembar juga tidak dapat beralih menjadi pedagang warung, karena
wilayahnya yang tidak dekat dengan akses jalan, dan tidak dapat bekerja di PT
Cevron LTD karena mereka tidak punya modal dan tidak mempunyai koneksi di
Forum Empat Desa. Adanya perbedaan ilmu pengetahuan antara Kampung
Padajembar dan Kampung Padajaya ini juga disebutkan oleh seorang tokoh,
dikarenakan warga yang berhasil dalam bidang pertanian pada masing-masing
kampung tidak mau membagikan rahasia kesuksesan pertanian mereka masing-
masing. Sehingga perbedaan ini semakin mencolok.
Akibat tidak adanya penyuluhan, masyarakat tidak menggunakan bibit
yang terbaru dan masih menggunakan bibit yang lama yaitu: morneng, segong,
riau, serenet dan goli. Dengan masa tanam yaitu empat sampai lima bulan. Bibit
ini digunakan setiap tahun, yang membedakan adalah, bibit diputar setiap kali
musim tanam, hal ini dikarenakan penduduk belajar dari pengalaman, dengan
menggunakan bibit yang sama pada setiap musim panen akan menyebabkan hama
tetap hidup dan tidak mengalami siklus kematian dan malah berkembang. Karena
masa tanam yang cukup lama ini, menyebabkan hasil panen yang masyarakat
dapatkan hanya cukup dikonsumsi selama menunggu masa panen selanjutnya.
Bahkan bagi keluarga yang memiliki jumlah tanggungan yang besar, hasil panen
ini kurang untuk dikonsumsi selama menunggu masa panen tersebut, sehingga
masyarakat terpaksa harus membeli beras ataupun meminjam untuk konsumsi
sehari-harinya.
Tidak adanya penyuluh menyebabkan masyarakat tetap menggunakan
pupuk dan pestisida kimia pada tanamannya, tanpa mengetahui bahaya
penggunaan pupuk dan pestisida kimia bagi kesehatan dan kesuburan tanah.
Pupuk yang digunakan oleh masyarakar di dua kampung ini adalah pupuk urea.
Melalui pengalaman selama berpuluh-puluh tahun, penduduk menyadari dengan
menggunakan pupuk urea yang berlebihan akan menyebabkan hasil panen tidak
bagus, yaitu daun menjadi bagus dan hijau, tetapi isi dari gabah kosong. Hal ini
menyebabkan penduduk tidak lagi menggunakan pupuk urea secara berlebihan.
Akan tetapi, pengunaan pupuk tetap digunakan dikarenakan bila tidak
menggunakan pupuk, kuantitas hasil panen akan menurun.
Hama yang merusak sawah di Kampung Padajaya dan Kampung
Padajembar yaitu babi hutan, burung pipit, kungkang atau wereng, dan ulet. Hama
yang ada ini di atasi dengan cara tradisional. Babi yang memakan padi dan
merusak tanaman dengan menginjak-injak tanaman sayur-sayuran warga diusir
dengan teriakan warga ataupun menyalakan api bila babi datang. Sehingga warga
harus melakukan ronda pada saat musim panen untuk menghalau babi masuk ke
daerah persawahan mereka. Hama babi tidak boleh dibunuh, karena babi adalah
hewan peliharaan dari TNGH, yang juga menguntungkan bagi perkebunan karena
dapat menggemburkan tanah dari tanaman teh. Hama tikus dibasmi dengan cara
memberi racun tikus pada singkong, hama burung pipit diusir dengan cara
menaruh orang-orangan sawah dan berganti-gantian menjaga sawah, sedangkan
ulet dan wereng di basmi dengan insektisida. Karena tidak adanya penyuluhan,
cara bertani masyarakat Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar masih
tradisional yang berdampak pada kualitas dan kuantitas dari hasil panen.
6.7 Tidak Adanya Penyaluran Kredit
Pada Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar biaya untuk membuat
sawah dengan luas dua sampai tiga gedeng yaitu Rp 1.000.000,00 sampai dengan
Rp 2.000.000,00. Harga jual sawah seluas dua gedeng sampai tiga gedeng yaitu
Rp 2.000.000,00 sampai dengan Rp 3.000.000,00. Biaya untuk satu kali tanam
bervariasi. Bila sawah diurus sendiri, dengan luas tiga gedeng dibutuhkan modal:
Rp 200.000,00 untuk pupuk dan insektisida, dan Rp 100.000,00, sehingga modal
yang dibutuhkan untuk satu kali tanam yaitu Rp 300.000,00 dengan perhitungan
untuk orang yang membantu menyangkul dan tandur, sedangkan orang-orang lain
yang membantu baik orang tua atau istri tidak dihitung biayanya. Sedangkan
modal untuk sawah yang dengan bantuan orang lain dengan luas tiga gedeng,
membutuhkan modal: Rp 200.000,00 untuk pupuk dan insektisida, dan untuk
orang yang membantu dari menyangkul, agon, benih, tandur, dan ngarembet
mencapai Rp 500.000,00 sehingga total sekali tanam untuk model ini yaitu Rp
700.000,00.
Besarnya modal untuk pembuatan, pembelian sawah dan biaya untuk
sekali masa tanam ini, menyebabkan hanya sebagian masyarakat saja yang bisa
tetap bertani. Masyarakat yang tidak memiliki modal, biasanya hanya akan
mengusahakan satu gedeng dari tiga gedeng tanahnya, bahkan karena tidak dapat
mengusahakan tanahnya, ada masyarakat yang menjual tanahnya. Sehingga
dibutuhkan adanya penyaluran kredit lunak bagi masyarakat yang hendak bertani,
khususnya masyarakat yang bertani untuk dikomersialkan.
Selain itu, pada Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar, mengenal
adanya sistem sewa. Warga yang tidak memiliki sawah dapat menyewa sawah
warga lainnya. Sistem pembayaran sewa yaitu 4:1 dari hasil panen, dimana empat
bagian yang paling besar diberikan kepada penyewa dan satu bagian diberikan
kepada pemilik dari lahan tersebut, dengan biaya pupuk, pestisida ditanggungkan
kepada penyewa. Akan tetapi sistem sewa ini jarang dilakukan oleh masyarakat,
karena rata-rata masyarakat mengolah sawah mereka sendiri. Sistem yang umum
adalah buruh tani, dimana buruh tersebut dibayar Rp 20.000,00 per hari, dan
makan sehari selama disawah akan ditanggung oleh pemilik sawah. Sistem sewa
ini juga membutuhkan tidak hanya modal yang sedikit, sehingga perlu adanya
bantuan modal bagi masyarakat untuk dapat mengembangkan pertanian mereka.
Modal yang dibutuhkan masyarakat untuk bertani mempengaruhi jumlah
warga yang mampu membuat sawah ataupun mengolah sawah hasil dari warisan
orantuanya. Dari jumlah warga masyarakat Kampung Padajaya dan Kampung
Padajembar 152 orang yang yang memiliki sawah hanya 54 orang (35%). Jumlah
warga masyarakat yang memiliki sawah di Kampung Padajaya (lihat Tabel 11)
yaitu 13 orang (24,1%) dan Kampung Padajembar 41 orang (75,9%).
Sebagian besar warga Kampung Padajembar masyarakatnya memiliki
sawah baik dari orangtua maupun dari hasil jual-beli. Warga masyarakat
Kampung Padajembar yang tidak memiliki tanah merupakan masyarakat miskin
yang tidak memiliki tanah karena sudah dijual untuk kehidupan sehari-hari
ataupun karena tidak mendapatkan tanah warisan dari orangtuanya. Sebaliknya, di
Kampung Padajaya hanya sembilan orang yang memiliki sawah, hal ini
dikarenakan sebagian besar masyarakat Kampung Padajaya tidak
menggantungkan hidupnya pada pertanian.
Tabel 11. Jumlah Pemilik Sawah Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar
RT Masyrakat (Orang) Persentase (%) 1 9 16.7 2 4 7.4 3 24 44.4 4 17 31.5
Total 54 100 Sumber: Data Primer 2009
Warga Kampung Padajembar lebih banyak yang memiliki sawah
dibandingkan dengan warga Kampung Padajaya. Menurut masyarakat, hal ini
dikarenakan banyak masyarakat Kampung Padajaya yang tidak mampu untuk
membuat sawah, sehingga mereka hanya bisa menjadi buruh tani dan buruh
bangunan. Hal ini dikarenakan banyaknya warga masyarakat Kampung Padajaya
yang masuk kedalam tangga kehidupan sedang dan tangga kehidupan miskin,
yang menyebabkan mereka tidak memiliki modal untuk membuat sawah dan tidak
mendapatkan warisan dari orangtuanya karena sebagian besar warga masyarakat
di Kampung Padajaya adalah warga pendatang, yang berbeda dengan warga
masyarakat dari Kampung Padajembar yang merupakan penduduk asli dan
beberapa warganya mendapatkan warisan sawah dan tanah dari orangtuanya
masing-masing. Oo Salah satu warga dari Kampung Padajaya mengatakan bahwa
ia menginginkan sawah agar bisa memenuhi kebutuhan berasnya sendiri, akan
tetapi karena ketiadaan modal, menyebabkan ia tidak dapat membuat sawah
mereka sendiri, dan harus bekerja dilahan orang lain dan membeli beras dari
orang lain. Sebaran sawah masyarakat di Kampung Padajaya dan Kampung
Padajembar dapat dilihat pada Gambar 18.
Gambar 18. Sebaran Sawah Masyarakat Di Kampung Padajaya Dan Kampung
Padajembar
6.8 Tidak adanya Koperasi
Koperasi Usaha Tani (KUT) pernah ada sebelumnya di Kampung
Padajembar yang dikelola oleh ayah Tatang. Koperasi ini bangkrut pada tahun
2002, yang disusul dengan kematian dari ayah Tatang. Sebelumnya KUT ini tidak
berjalan dengan baik karena adanya korupsi di tubuh KUT yang melibatkan aparat
desa dan ayah Tatang. KUT tidak berjalan sebagaimana mestinya, yaitu
kurangnya penyuluhan pertanian, tidak adanya kredit usaha tani, tidak lancarnya
penyediaan pupuk dan pestisida untuk tanaman.
Koperasi petani yang kuat adalah koperasi yang mampu mengelola
kebutuhan keuangan anggotanya baik untuk kebutuhan sehari-hari, kebutuhan
saprodi pertanian, pusat penyediaan bibit, menampung produksi, sebagai pusat
informasi (harga, kegiatan dan teknologi pertanian), bahkan kemampuan untuk
memasarkan produksi ke berbagai pasar dengan harga bersaing untuk mengatasi
kejamnya mekanisme pasar yang selama ini dirasakan. Orientasi semacam ini
disadari oleh masyarakat, perlunya dukungan berbagai stakeholders yang
memiliki concern dan keprihatinan terhadap petani (Agung, 2007).
Tidak adanya KUT di Kampung Padajembar dan Kampung Padajaya
memberikan dampak yang besar pada pertanian di dua kampung tersebut, yaitu
tidak adanya pendukung usaha pertanian di daerah tersebut yang menyebabkan
pertanian Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar kurang kokoh. Setiap
petani berdiri sendiri dan tidak terorganisasir usaha taninya satu sama lain,
sehingga tetap mempertahankan pola pertanian subsisten dan tidak dapat berubah
menjadi pola pertanian komersil. Di Kampung Padajaya dan Kampung
Padajembar, perubahan pola pertanian dari subsisten menjadi komersil sangat
dibutuhkan untuk menambah penghasilan dari masyarakat di kedua kampung
tersebut. Sehingga pertanian tidak lagi hanya mencukupi kebutuhan pangan
sehari-hari dari petani, tapi pertanian dapat menjadi salah satu usaha sampingan
petani yang menguntungkan.
Penguatan pertanian di Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar
dapat dilakukan dengan penguatan kelembagaan koperasi di kampung tersebut.
Penguatan kelembagaan koperasi dapat meningkatkan kemandirian dan
kemampuan masyarakat dalam bidang pertanian sehingga terjadi peningkatan
kualitas maupun kuantitas produk hasil pertanian petani.
BAB VII REFORMA AKSES AGRARIA
....
Jalan keluar dari kemiskinan menurut masyarakat yaitu melalui kemauan
dan kerja keras. Orang miskin di Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar
dapat memenuhi kebutuhan makannya sendiri dengan membuka lahan dari areal
taman nasional yang masih luas menurut mereka, untuk mencukupi kebutuhan
pangan keluarga mereka, setidaknya tidak ada masyarakat disini yang akan
kelaparan bila orang tersebut mau berusaha. Selain itu banyaknya tetangga dan
saudara di sekitar kampung dapat membantu orang tersebut untuk tetap dapat
bertahan hidup dengan keluarganya, asalkan mereka dapat bersosialiasi dengan
baik dengan masyarakat.
Permasalahan agraria yang dihadapi masyarakat Kampung Padajaya dan
Kampung Padajembar yaitu: kontur wilayah perkebunan dan kesuburan tanah,
hubungan petani dengan perkebunan dan TNGH, penguasaan yang sempit oleh
petani, kerusakan lingkungan, sulitnya akses transportasi, tidak adanya
penyuluhan, tidak adanya penyaluran kredit, , tidak adanya koperasi. Beberapa
masalah agraria yang terdapat di Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar
tersebut termasuk kedalam aspek non-landreform. Menurut Syahyuti (2006),
reforma agraria terdiri dari Landreform adalah penataan ulang struktur
penguasaan dan pemilikan tanah. Sementara, komponen ”non-landreform” adalah
bentuk-bentuk dan cara mengolah tanah (dalam pengertian ”soil”), yaitu dengan
menerapkan teknologi baru, perbaikan infrasturuktur, bantuan kredit, dukungan
penyuluhan pertanian, pengembangan pasar komoditas pertanian, dan lain-lain.
Sehingga dalam menyelesaikan masalah agraria di Kampung Padajaya dan
Kampung Padajembar dapat dilakukaan dengan beberapa kegiatan reforma akses
agraria berikut: pengembangan keorganisasian petani, pembangunan infrastruktur,
penyuluhan dan penelitian, dan pemberian kredit usaha tani.
7.1 Pengembangan Keorganisasian Petani
Petani membuat kelompok-kelompok tani atau paguyuban petani sebagai
wadah membagi beban kehidupan. Jika memungkinkan untuk mengubah hidup
kearah yang lebih baik (Agung, 2007). Dibutuhkan penguatan keorganisasian
petani pada Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar. Melalui
keorganisasian petani, petani dapat mengembangkan dirinya sendiri,
meningkatkan kerjasama antar petani di dua kampung tersebut, menjadi wadah
pertukaran informasi antar petani, suplai kebutuhan pertanian (pupuk, bibit, obat-
obatan), menyelenggarakan penyuluhan pertanian bagi petani dan menguatkan tali
kekeluargaan di dua kampung tersebut.
Kelompok tani atau paguyuban tani ini bisa dalam bentuk Koperasi Usaha
Tani. Koperasi Usaha Tani di Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar
sudah tidak ada sejak tahun 2002. Pendirian kembali koperasi ini sangat
diperlukan untuk meningkatkan kemampuan petani. Perlu adanya bantuan dari
pihak ketiga baik pemerintah ataupun Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang
membantu mengkoordinir masyarakat untuk pembentukan koperasi, memberikan
dana awal, dan memantau jalannya koperasi. Hal ini dikarenakan kondisi
masyarakat Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar yang terpecah dalam
hal pertanian, yaitu tidak saling memberikan informasi tentang pertanian
menyebabkan butuhnya bantuan pihak ketiga untuk menyatukan kedua
masyarakat ini. Penyatuan keduanya diperlukan, agar kedepannya tidak terjadi
ketimpangan baik informasi maupun akses terhadap koperasi baru bentukan
bersama ini.
7.2 Pembangunan Infrastruktur
Kondisi jalan menuju Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar yang
rusak dan waktu perjalanan yang cukup lama menuju pasar hasil pertanian
menyebabkan masyarakat kesulitan dalam memasarkan hasil pertanian mereka.
Terdapat beberapa hal yang harus dilakukan untuk meningkatkan akses
masyarakat terhadap pasar hasil pertanian, yaitu dengan perbaikan infrastruktur
jalan, dan pencarian alternative pasar hasil pertanian lain perlu dilakukan untuk
pemasaran hasil pertanian dari masyarakat. Dengan adanya peningkatan akses
masyarakat pada pasar, dapat meningkatkan hasil jual dari hasil pertanian mereka,
selain itu juga dapat meningkatkan motivasi dari masyarakat untuk merubah pola
sistem pertanian dari subsisten menjadi pertanian komersil.
Sulit dijangkaunya Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar juga
menyebakan Kepala Desa Purwabakti jarang datang ke dua kampung ini, yang
menyebabkan kebutuhan-kebutuhan Kampung Padajaya dan Kampung
Padajembar terkait pertanian tidak dibantu untuk dipenuhi oleh pemerintah baik
penyuluhan pertanian maupun pembuatan irigasi sawah.
Infrastruktur berupa pembuatan irigasi sawah diperlukan oleh masyarakat,
agar masyarakat tidak melakukan pengurukan sungai lagi yang merusak
lingkungan alam sekitarnya. Pemerintah harus membantu dalam hal ini, karena
bila pembangunan Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar akan
ditingkatkan pada bidang pertanian, maka yang harus dilakukan adalah
memperbaiki dan membuat prasarana dan sarana terkait bidang pertanian yang
lebih lagi di dua kampung ini.
7.3 Penyuluhan dan Penelitian
Karakteristik utama Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar yaitu
pertanian sawah, akan tetapi hasil dari pertanian sawah kurang maksimal karena
baik ketinggian maupun kondisi tanah di daerah tersebut tidak sesuai dengan
tanaman padi. Perlu adanya penelitian lebih lanjut mengenai tingkat kesuburan
tanah dan ketinggian tempat di Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar,
sehingga dapat diketahui tanaman apa yang paling cocok untuk ditanam di
wilayah tersebut, maupun hal-hal apa saja yang diperlukan oleh masyarakat untuk
meningkatkan kesuburan tanah.
Tanaman yang paling cocok ditanam di Kampung Padajaya dan Kampung
Padajembar adalah tanaman cabe, jagung, kacang panjang dan pisang. Perlu
adanya peningkatan produktivitas pertanian sesuai dengan karakteristik dua
kampung ini untuk meningkatkan hasil produksi pertanian mereka, yang dapat
meningkatkan tarf hidup masyarakat juga. Penyuluhan hasil penelitian dan
teknologi pertanian yang terbaru perlu dilakukan di Kampung Padajaya dan
Kampung Padajembar, karena masyarakat yang masih menggunakan bibit lokal
dan tidak menggunakan bibit unggul dapat mempengaruhi kualitas dan kuantitas
dari hasil panen warga masyarakat itu sendiri.
7.4 Pemberian Kredit
Pada Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar, terdapat kesulitan
dalam hal kredit dan arisan, karena pengembalian masyarakat yang macet karena
gaji yang didapatkan masyarakat dari perkebunan sedikit dan tidak mencukupi
untuk kebutuhan lain selain kebutuhan sehari-hari mereka. Perlu adanya upaya
pemberian modal kredit dari luar kampung ini yang disuntikkan kepada kampung
tersebut, dengan pendampingan agar pengembalian kredit lancar. Salah satu
bentuk pendampingan ini yaitu mengambil langsung uang kredit ke rumah
masyarakat dan juga uang kredit yang diberikan jumlahnya tidak terlalu besar,
sehingga dalam pengembalian beberapa minggu atau bulan masyarakat dapat
mengembalikannya lagi. Pemberian kredit usaha tani ini juga dapat dalam bentuk
Lembaga Keuangan Mikro (LMK).
LKM sebagai lembaga penyedia jasa keuangan alternative perlu
memperhatikan sustainabilitas usahanya agar mampu memberikan manfaat yang
optimal bagi masyarkat miskin dan usaha mikro dalam jangka panjang. Tujuan ini
hanya dapat dicapai apabila layanan jasa keuangan LKM sesuai dengan waktu,
tempat, jenis kegiatan ekonomi, dan tingkat perkembangan ekonomi masyarakat.
LKM secara internal juga harus mulai menerapkan standar tata kelola perusahaan
yang sesuai dengan perkembangan usahanya (Kusmoljono, 2009).
7.5 Pemerataan Akses
Pemerataan akses bagi warga masyarakat Kampung Padajaya dan
Kampung Padajembar merupakan hal yang paling utama dalam implementasi
reforma akses agraria di dua kampung ini. Tanpa adanya pemerataan yang
memperhatikan kondisi struktur sosial, akan terjadi ketimpangan sosial yang lebih
tajam di dua kampung tersebut. Perlu adanya perbedaan dalam implementasi
reforma akses agraria di dua kampung tersebut, agar yang menikmati kegiatan
kegiatan reforma akses agraria tidak hanya masyarakat yang memiliki luas sawah
yang luas, akan tetapi juga masyarakat berlahan sempit dan masyarakat tidak
bertanah, yang karena kondisi kemiskinannya tidak dapat mengakses kegiatan
reforma agraria yang ditujukan padanya.
Perbedaan dalam pemberian akses kepada warga masyarakat di Kampung
Padajaya dan Kampung Padajembar membutuhkan hal-hal berikut: kemudahan
mengakses kegiatan reforma akses agraria bagi seluruh warga masyarakat,
pemberian akses-akses khusus kepada warga masyarakat yang dikhawatirkan
tidak dapat menjangkau program-program pengelolaan tanah yang telah
disediakan dan diharapkan pemberian program ini langsung diberikan pada
masyarakat yang membutuhkan oleh pemerintah secara langsung dengan
pengawasan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang netral dan tidak
memihak, agar tidak terjadi lagi ketimpangan penghasilan karena adanya lembaga
yang melakukan KKN dalam penyalurannya seperti Forum Empat Desa.
Warga di Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar rata-rata tidak
memiliki sawah yang sebarannya dapat dilihat pada Gambar 19. Pada tangga
kehidupan miskin, jumlah masyarakat yang tidak memiliki sawah yaitu 20 orang,
dan masyarakat yang memiliki sawah dengan luas dibawah empat gedeng
sejumlah dua orang. Seluruh masyarakat di tangga kehidupan ini semuanya tidak
memiliki lahan yang mencukupi untuk dikomersilkan hasil pertaniannya. Akan
tetapi pada tangga ini, warga masyarakatnya adalah masyarakat yang sudah lanjut
usia, dengan pemberian akses agraria ataupun pemberian tanah kepada
masyarakat tidak akan menaikkan pendapatan dari warga di tangga kehidupan
fakir miskin ini. Pada tangga ini, yang dibutuhkan adalah penguatan modal sosial,
baik dalam ranah keluarga maupun ranah masyarakat, sehingga masyarakat pada
tangga kehidupan fakir miskin mendapatkan bantuan dari masyarakat sekitarnya,
karena mereka sudah tidak dapat menghidupi hidupnya sendiri. Selain itu, butuh
bantuan pemerintah pada warga di tangga kehidupan fakir miskin yang dapat
diberikan dalam bentuka Bantuan Tunai Langsung. Pemberian tanah bagi
masyarakat pada tangga kehidupan ini tidak akan efektif meningkatkan
penghasilan warsga. Karena warga pada tangga kehidupan fakir miskin tidak
dapat menggunakan tanah dan mengakses agraria akibat kondisi fisik yang
semakin lemah dikarenakan usia yang sudah lanjut.
Gambar 19. Tangga Kehidupan dan Luas Sawah Masyarakat
Seluruh warga pada tangga kehidupan fakir tidak memiliki lahan
pertanian. Warga pada tangga ini sudah mengalami penurunan kesehatan,
sehingga untuk mengolah tanah yang luas, warga tidak mampu untuk
mengolahnya secara maksimal. Akan tetapi pada tangga ini, masyarakat tetap
membutuhkan tanah dan akses terhadap agraria untuk mencukupi kebutuhan
pangannya sehari-hari, sehingga tidak menambah beban keluarga ataupun
tetangga mereka.
Pada tangga kehidupan miskin, warga yang tidak memiliki sawah yaitu 25
orang, sedangkan warga yang memiliki lahan pertanian dibawah empat gedeng
yaitu 19 orang dan warga yang memiliki lahan pertanian di atas empat gedeng
yaitu enam orang. Warga masyarakat yang tidak memiliki tanah pada tangga
kehidupan sedang yaitu 22 orang, warga yang memiliki tanah dengan luas
dibawah empat gedeng yaitu empat orang, dan warga yang memiliki lahan diatas
empat gedeng yaitu lima orang. Pada tangga kehidupan standar, masyarakat yang
tidak memiliki lahan 13 orang, masyarakat yang memiliki lahan dengan luas
dibawah empat gendeng yaitu delapan orang, dan masyarakat yang memiliki
lahan dengan luas diatas empat gedeng yaitu lima orang. Terakhir masyarakat
pada tangga kehidupan mampu, warga yang tidak memiliki lahan pertanian
memiliki jumlah yang hampir sama dengan jumlah masyarakat pada tangga
kehidupan standar yaitu 12 orang, masyarakat yang memilki lahan dengan luas
dibawah empat gedeng yaitu satu orang dan masyarakat yang tidak memiliki
lahan pertanian diatas empat gedeng yaitu tiga orang.
Dari data ini, warga masyarakat pada tangga kehidupan miskin dan lebih
banyak yang memiliki sawah dibandingkan masyarakat pada tangga kehidupan
lainnya. Akan tetapi jumlah lahan yang dimiliki masyarakat pada tangga
kehidupan miskin dan sedang lebih merata luasnya, dan pada tangga kehidupan
standar dan mampu, masyarakat yang memiliki sawah sedikit dan luas lahannya
tergolong cukup besar.
Pada tangga kehidupan miskin, sedang dan standar, warga tidak dapat naik
tangga kehidupan yang lebih tinggi yaitu dikarenakan tidak adanya modal,
bertambahnya tanggungan dan tidak memiliki warisan. Warga dapat naik
ketangga berikutnya bila warga masyarakat tersebut melakukan mobilitas keluar
kampung dan mendapatkan dua penghasilan (yaitu melalui hasil panen). Mobilitas
masyarakat diperlukan agar masyarakat dapat mengakumulasikan modal dari luar
dan pengetahuan yang didapat semakin luas.
Perlu pemberian tanah dan akses agraria pada warga di tangga kehidupan
miskin. Melalui pemberian tanah, masyarakat pada tangga ini dapat memberikan
warisan kepada anak mereka, sehingga warga dapat naik tangga kehidupan, dan
pemberian tanah dapat meningkatkan penghasilan masyarakat, sehingga
masyarakat dapat menabung dan meningkatkan produktifitas pertaniannya melalui
pembelian faktor-faktor produksi lainnya. Luas lahan yang diberikan kepada
masyarakat harus diperhitungkan dulu sebelumnya. Pembagian tanah harus
disesuaikan dengan kemampuan warga dalam mengelola tanah dan disesuaikan
dengan luas tanah yang dimiliki oleh masyarakat sekarang. Pembagian tanah bagi
masyarakat yang tidak memiliki tanah, masyarakat yang memiliki sawah dibawah
empat gedeng dan masyarakat yang memiliki sawah diatas empat gedeng harus
disesuaikan masing-masing, sehingga tidak ada masyarakat yang mendapatkan
total tanah (luas tanah awal ditambah pemberian tanah yang baru) lebih besar
dibandingkan masyarakat lainnya, yang dapat menyebabkan ketimpangan pada
masyarakat semakin melebar. Pemberian tanah kepada masyarakat juga harus
disesuaikan dengan kemampuan warga dalam mengelola tanah, sehingga tanah
yang diberikan dapat digunakan sebaik-baiknya dan tidak ditelantarkan.
BAB VIII KESIMPULAN
8.1 Kesimpulan
Hasil diskusi dengan perwakilan masyarakat dari Kampung Padajaya dan
Kampung Padajembar, didapat definisi kemiskinan, indikator kemiskinan, tangga
kehidupan dan warga yang masuk kedalam setiap tangga kehidupan tersebut.
Menurut masyarakat, kemiskinan adalah kondisi dimana seseorang tidak memiliki
rumah dan tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya selayaknya orang biasa,
yaitu tidak dapat makan dua kali sehari dan tidak dapat menyekolahkan anaknya
sampai jenjang SMP. Tangga kehidupan masyarakat di Kampung Padajaya dan
Kampung Padajembar yaitu: fakir miskin, fakir, miskin, sedang, standar dan
mampu. Pembuatan indikator dari tangga kehidupan ini dibuat berdasarkan
tingkat penghasilan yang dimiliki oleh warga masyarakat di dusun tersebut, yang
kemudian dikembangkan.
Hasil pertanian yang terdapat di Kampung Padajaya dan Kampung
Padajembar adalah padi, cabe, kacang panjang, jagung, pisang, sayur-sayuran dan
tanaman rempah-rempah yang digunakan untuk memasak. Masyarakat pada
umunya menanam padi sebagai komoditas utama, karena padi adalah kebutuhan
utama pangan mereka. Masalah agraria yang dihadapi oleh petani di Kampung
Padajaya dan Kampung Padajembar yaitu kontur wilayah perkebunan dan
kesuburan tanah, hubungan petani dengan TNGH, penguasaan yang sempit oleh
petani, kerusakan lingkungan, akses transportasi yang sulit, tidak adanya
penyuluhan, tidak adanya penyaluran kredit dan tidak adanya koperasi.
Reforma akses agraria yang harus dilakukan di Kampung Padajaya dan
Kampung Padajembar yaitu: pengembangan keorganisasian petani, pembangunan
infrastruktur, penyuluhan dan penelitian, pemberian kredit, dan yang terakhir
yaitu perlu adanya pemerataan akses agaria di Kampung Padajaya dan Kampung
Padajembar sesuai dengan tingkat kesejahteraan yang dapat dilihat melalui tangga
kehidupan warga dan luas lahan pertanian yang mereka miliki.
8.2 Saran
Reforma agraria, baik landreform maupun reforma akses agraria yang
akan dilakukan di Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar harus
memperhatikan tingkat kesejahteraan dari penerima reforma agraria tersebut, agar
tidak terjadi ketimpangan yang semakin tajam setelah adanya pelaksanaan dari
reforma agraria ini. Selain itu, perlu adanya pihak ketiga yang memantau
pelaksanaan reforma agraria yang dilakukan oleh pemerintah, agar semua
masyarakat dapat mengakses, tidak sebagian kecil saja. Perlu adanya pengukuran
luas tanah yang efisien diberikan kepada masyarakat yang sesuai dengan tingkat
produktifitas tanah di Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar.
DAFTAR PUSTAKA
Alfiasari. 2004. Analisis Modal Sosial pada Kelompok Usaha Berbasis Komunitas. Tesis. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Fauzi, Noer. 2008. Gelombang Baru Reforma Agraria: Telaah Perkembangan
Gerakan-Gerakan Rakyat di Dunia Ketiga. Makalah Paparan Tim Reforma Agraria-BPN.
Grobakken, Ida Annete. 2005. Poverty and Empowerment of Women In
Guatemala. University of Oslo: Master’s Thesis in Political Science Department of Political Science.
Hardjono, Joan. 1990. Tanah, Pekerjaan dan nafkah di Pedesaan Jawa Barat.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Herlina. 2002. Orientasi Nilai Kerja Pemuda pada Keluarga Petani Perkebunan.
Tesis. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Jayanti, Utari. 2007. Pemaknaan Masyarakat Miskin Mengenai Kemiskinan dan
Keberhasilkan Program Penanggulangan Kemiskinan. Skripsi. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Kurnia, Kiki. 2003. Analisi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produktivitas
Kerja Pemetik Teh. Tesis. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Nasoetion, Lutfi I. 2002. Konflik Pertanahan (Agraria). Bandung: Yayasan
AKATIGA Mubyarto. 1992. Tanah dan Tenaga Kerja Perkebunan: Kajian Sosial Ekonomi.
Yogyakarta: Aditya Media. Pangkurian, Nurina. 2008. Strategi Resistensi dan Organisasi Petani dalam
Menyoal Hak Atas Tanah: Suatu Tinjauan untuk Memahami Gerakan Sosial Petani di Jawa. Http:/rukip.wordpress.com/resistensi/petani. Tanggal akses 5 Mei 2009.
Reyes, Celia M. 2002. Impact of Agrarian Reform on Poverty. Philippine Journal
of Development. Makaty City: Vol.29, Iss.2; pg.63,69 pgs Sherraden, Michektarel. 2006. Aset Untuk Orang Miskin. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada. Sitorus, MT Felix. 1998. Penelitian Kulaitatif Suatu Perkenalan. Bogor:
Kelompok Dokumentasi Ilmu-Ilmu Sosial.
Syahyuti. 2006. 30 Konsep Penting dalam Pembangunan dan Pertanian. Jakarta: PT. Bina Rena Pariwara.
Tauchid, Mochektarmmad. 1952. Masalah Agraria Sebagai Masalah
Penghidupan dan Kemakmuran Rakyat Indonesia (Bagian Kedua). Jakarta: Tjakrawala.
Tjondronegoro, S.M.P. 2008a. Ranah Kajian Sosiologi Pedesaan. Bogor: KPM
IPB. Tjondronegoro, S.M.P. 2008b. Negara Agraris Ingkari Agraria: Pembangunan
Desa dan Kemiskinan di Indonesia (Kumpulan Tulisan Prof.Dr.Sediono M.P. Tjondronegoro). Bandung: Yayasan AKATIGA.
Wiradi, Gunawan. 2000. Reforma Agraria: Perjalanan yang Belum Berakhir.
Yogyakarta: Insist, KPA, dan Pustaka Pelajar. Yuwono, G.D, Mursalin, ling. Setiawan D.A, Manembu, Angel. 2005.
Kepengurusan Tanah dan Kekayaan Alam: Penyebab Kemiskinan. dalam Tanah Masih di Langit: Penyelesaian Masalah Penguasaan Tanah dan Kekayaan Alam di Indonesia yang Tak Kunjung Tuntas di Era Reformasi. Jakarta: Yayasan Kemala.
Lampiran 1. Panduan Pertanyaan Penelitian PEDOMAN WAWANCARA MENDALAM MASYARAKAT
KAMPUNG PADAJAYA DAN KAMPUNG PADAJEMBAR
Tujuan : Mengetahui Profil PTPN VIII Kebun Cianten
Informan : Bapak Hektarsanudin (Bagian Umum PTPN VIII Kebun
Cianten)
Hektarri/Tanggal :
Lokasi Wawancara :
Nama/Umur responden :
Pekerjaan :
Pendidikan :
Pertanyaan penelitian :
• Bagaimana sejarah PTPN VIII Kebun Cianten ?
• Bagaimana awal mula dibukany perkebunan ?
• Sebelum menjadi wilayah perkebunan, bagaimanakah daerah ini
sebelumnya ?
• Bagaimana hubungan perkebunan dengan stakeholder lainnya (masyarakat,
Taman Nasional, dan Cevron) ?
• Bagaimana kerjasama yang terjadi antara perkebunan dan stakeholder ?
• Kapan terjadi konflik dengan stakeholder ?
• Apa tanaman yang diusahakan oleh PTPN VIII Kebun Cianten ?
• Tanaman unggulan yang diusahakan oleh PTPN VIII Kebun Cianten ?
• Selain tanaman, unit usaha apa saja yang diusahakn oleh PTPN VIII Kebun
Cianten ?
• Berapa gaji dari buruh petik, mandor petik, dan mandor besar PTPN VIII
Kebun Cianten sebelum krisis moneter?
• Berapa bonus per tahun dari buruh petik, mandor petik, dan mandor besar
PTPN VIII Kebun Cianten sebelum krisis moneter?
• Berapa gaji dari buruh petik, mandor petik, dan mandor besar PTPN VIII
Kebun Cianten sekarang?
• Berapa bonus per tahun dari buruh petik, mandor petik, dan mandor besar
PTPN VIII Kebun Cianten sebelum krisis moneter?
• Apa saja fasilitas yang diberikan oleh perusahaan terhadap karyawan tetap ?
• Apa saja fasilitas yang diberikan oleh perusahaan terhadap karyawan
musiman?
• Bagaimana cara menjadi karyawan tetap PTPN VIII Kebun Cianten?
• Berapa sewa tanah yang diberikan pihak perkebunan bagi masyarakat yang
menggunakan lahan baik untuk pertanian maupun perumahan ?
• Bagaimana hubungan kerjasama perkebunan terhadap masyarakat yang
membuka lahan untuk pertanian di wilayah perkebunan ?
• Kapan konflik yang terjadi antara masyarakat yang membuka lahan dengan
perusahaan terjadi ? bagaimana solusinya ?
• Berapa persen masyarakat yang menggantungkan hidupnya dari
perkebunan?
• Berapa persen masyarakat yang secara tidak langsung menggantungkan
hidupnya dari perkebunan ?
PEDOMAN WAWANCARA MENDALAM MASYARAKAT
KAMPUNG PADAJAYA DAN KAMPUNG PADAJEMBAR
Tujuan : Mengetahui Tingkat Kesejahteraan Kampung Padajaya Dan
Kampung Padajembar dan Indikatornya
Responden : 4 Orang Masyarakat Kampung Padajaya Dan Kampung
Padajembar
Hari/Tanggal :
Lokasi Wawancara :
Nama/Umur responden :
Pekerjaan :
Pendidikan :
Pertanyaan penelitian :
• Sekarang tolong diceritakan tentang warga desa yang menduduki status
paling bawah dan status paling atas di desa ini:
Kita mulai dengan tangga terbawah
a. Apa sajakah tanda-tanda warga yang berada di tempat paling bawah ini
(paling tidak sejahtera/mampu)
b. Bagaimana menjelaskan kehidupan seseorang yang berada di tempat
paling bawah ini? Biasanya dinamai golongan apakah warga yang
berada di tempat paling bawah ini?
c. Bagaimana kehidupan mereka sehari-hari?
Sekarang kita berpindah ke tangga teratas:
d. Apa sajakah tanda-tanda warga yang berada di tempat paling atas ini
(paling sejahtera)
e. Bagaimana menjelaskan kehidupan seseorang yang berada di tempat
paling atas ini? Biasanya dinamai golongan apakah warga yang berada
di tempat paling atas ini?
f. Bagaimana kehidupan mereka sehari-hari?
Sekarang kita naik ke status persis di atas warga yang berada di tangga paling
bawah:
g. Apa sajakah tanda-tanda warga yang menempati status ini?
h. Bagaimana kehidupan mereka sehari-hari?
Sekarang kita naik lagi ke status persis di atasnya. (Akan ditanyakan terus
golongan-golongan di atasnya, sampai golongan paling atas dicapai. Untuk setiap
golongan, tanyakan):
i. Apa sajakah tanda-tanda warga yang menempati status ini?
j. Bagaimana kehidupan mereka sehari-hari?
• Bagaimana keadaan warga desa ini dibandingkan dengan warga desa
tetangga?
k. Apakah warga desa ini lebih baik atau lebih buruk kesejahteraannya dari
warga desa tetangga?
l. Apakah Bapak/Ibu merasa perlu menambah nama golongan atau status
sosial baru dalam pembicaraan kita? Jika ya, dimana dan apa tanda-
tanda golongan atau status sosial tambahan itu?
• Nah, sekarang Bapak/Ibu telah menjelaskan sejumlah golongan atau status
sosial warga desa ini dan desa-desa di sekitarnya. Sekarang, jika
dibandingkan 10 tahun yang lalu, apakah ada golongan atau status sosial
yang terlewat dan belum masuk dalam pembicaraan kita?
• Apakah kita perlu menambah status sosial itu dalam pembicaraan ini? Jika
ya:
m. Apa tanda-tanda golongan atau status sosial tambahan itu?
n. Supaya saya yakin bahwa saya benar-benar mengerti yang anda
maksud, saya akan menggambar semua kategori yang anda sebutkan
dalam suatu tangga kehidupan
Memilah-milah rumahtangga ke dalam tangga kehidupan di desa ini
• Sebutkan nama tiap-tiap keluarga yang ada di daftar dan tanyakan pada
peserta diskusi:
a. Dimana letak rumah tangga itu saat ini di tangga kehidupan yang telah
dibuat?
b. Dimana posisi rumah tangga itu 10 tahun yang lalu di tangga kehidupan
yang telah dibuat?
Mobilitas masyarakat
• Mari kita mulai diskusi ini dengan keadaan desa ini, dan hal-hal yang
terjadi selama ini. Bisakah Bapak/Ibu ceritakan tentang kekuatan atau hal-
hal yang positif dari desa ini? Dibandingkan 10 tahun yang lalu, apakah
menurut Bapak/Ibu desa ini lebih sejahtera?
i. sama saja?
ii. atau justru menurun kesejahteraannya?
• Mengapa dikatakan demikian?
• Bagaimana perubahan kehidupan masyarakatnya?
• Apa sajakah hal-hal yang berbeda saat ini?
• Apakah kini warga desa semakin sulit mencari penghasilan dan
meningkatkan kesejahteraan hidupnya, atau sebaliknya semakin mudah?
Mengapa dikatakan demikian?
• Apa sajakah peristiwa, kejadian atau faktor-faktor yang paling menolong
desa ini untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya selama 10 tahun
terakhir? Mengapa dikatakan demikian?
• Apa sajakah peristiwa, kejadian atau faktor-faktor yang menyebabkan
penurunan kesejahteraan desa selama 10 tahun terakhir? Mengapa
dikatakan demikian?
• Dibandingkan sekarang, untuk 10 tahun ke depan apakah desa ini akan
a. lebih sejahtera?
b. Sama saja ?
c. atau sebaliknya menurun kesejahteraannya?
Mengapa dikatakan demikian?
• Apa alasan-alasan yang paling umum yang dialami warga desa sehingga
meninggalkan desa ini selamanya?
• Apakah umumnya mereka yang meninggalkan desa menjadi lebih sejahtera
atau menurun kesejahteraanya?
Perubahan dalam Hal Kesenjangan di Desa
• Ada kesenjangan yang besar antara golongan warga (rumahtangga) yang
paling atas/sejahtera dan paling bawah/tidak sejahtera di desa ini
[Tunjukkan tangga yang telah dibuat, tunjuk tangga terbawah dan teratas].
Menurut Bapak/Ibu, apakah selama 10 tahun terakhir ini kesenjangan
(jarak) antara yang paling atas dengan yang paling bawah itu:
a. Meningkat?
b. Sama saja? Menurun?
• Mengapa dikatakan demikian?
• Apakah ada perubahan tanda-tanda rumahtangga pada setiap tangga selama
10 tahun terakhir?
• Apa sajakah perbedaan tanda-tanda rumahtangga miskin tersebut saat ini
dan 10 tahun yang lalu?
• Bisa saja ada perbedaan penting antara rumahtangga dalam satu golongan
atau status sosial.
c. Apakah ada perbedaan pada setiap golongan/tangga-tangga tersebut?
Tangga yang mana saja dan apa perbedaan sifat-sifat dan tanda-
tandanya?
d. Apakah keadaan di golongan/tangga itu mengalami perubahan jika
dibandingkan dengan 10 tahun yang lalu?
Faktor- faktor yang menyebabkan peningkatan atau kemandekan kesejahteraan
• Apa sajakah faktor-faktor yang membantu suatu rumah tangga untuk naik
ke anak tangga lebih atas?
a. Bagaimana hal ini bisa terjadi di desa ini?
b. Apakah di antara penyebab yang membantu rumahtangga itu muncul
bersama-sama, atau satu per satu – yaitu satu faktor dulu diikuti faktor
yang lain? Apa sajakah faktor tersebut?
c. Jika satu per satu, bagaimana urutan kejadiannya? Atau
d. Jika bersama-sama, apakah faktor-faktor tersebut? Bagaimana hal ini
terjadi, jelaskan!
• Selain itu, apa sajakah faktor-faktor yang menghalangi suatu rumahtangga
untuk naik ke anak tangga yang lebih tinggi?
e. Mengapa dikatakan demikian?
• Apa sajakah faktor-faktor yang mendorong suatu rumahtangga untuk turun
ke anak tangga yang lebih bawah?
f. Bagaimana hal ini bisa terjadi di desa ini?
g. Apakah di antara penyebab yang mendorong turunnya rumahtangga itu
muncul bersama-sama, atau satu per satu, yaitu satu faktor dulu diikuti
faktor yang lain? Apa sajakah faktor tersebut?
h. Jika satu per satu, bagaimana urutan kejadiannya? Atau
i. Jika bersama-sama, apakah faktor-faktor tersebut? Bagaimana hal ini
terjadi, jelaskan!
• Manakah status sosial atau anak tangga yang tidak lagi dianggap sebagai
golongan miskin?
j. Selama ini bagaimana cara mencapai golongan ini?
k. Apakah tangga ini mudah atau sulit dicapai? Mengapa dikatakan
demikian? [Tandai dengan jelas golongan ini berada pada anak tangga
yang mana di dalam tangga kehidupan]
• Apakah ada rumahtangga yang naik beberapa tangga sekaligus? Jika ada,
faktor-faktor apa sajakah yang membuat hal itu terjadi?
• Dalam golongan manakah sebagian besar warga desa berada?
l. Bagi golongan ini, apa sajakah faktor-faktor yang membantu suatu
rumah tangga untuk naik ke anak tangga berikutnya? Mengapa
dikatakan demikian?
m. Bagi golongan ini, apa sajakah faktor-faktor yang menyulitkan suatu
rumah tangga untuk naik ke anak tangga berikutnya? Mengapa
dikatakan demikian?
• Di dalam golongan atau anak tangga manakah warga desa paling mudah
naik ke anak tangga atau golongan lebih atas?
n. Mengapa dikatakan demikian? [Bandingkan dengan pengalaman
Bapak/Ibu sendiri atau warga desa lain yang Bapak/Ibu ketahui].
• Di dalam golongan atau anak tangga manakah warga desa paling sulit naik
ke anak tangga atau golongan lebih atas?
o. Mengapa dikatakan demikian? [Bandingkan dengan pengalaman
Bapak/Ibu sendiri atau warga desa lain yang Bapak/Ibu ketahui].
• Manakah status sosial atau anak tangga yang dianggap sebagai golongan
menengah [samakan persepsi dulu antara peneliti dan partisipan diskusi
tentang arti golongan/kelas menengah: relatif lebih bebas, bisa mengontrol
golongan atas/pemerintah]?
p. Apakah golongan ini mudah atau sulit dicapai?
Faktor-faktor yang mendorong warga desa jatuh ke kemiskinan dan membuat
mereka terjebak dalam kemiskinan
• Mungkin saja ada rumahtangga yang naik dari satu golongan/anak tangga
ke golongan/anak tangga di atasnya, tapi kemudian kembali lagi ke
golongan semula. [Gunakan visualisiasi dengan menunjuk anak tangga
yang telah dibuat]:
a. Mana sajakah golongan atau anak tangga yang paling mudah turun
kembali ke golongan atau anak tangga di bawahnya?
- Bagaimana hal ini bisa terjadi?
b. Mana sajakah golongan atau anak tangga yang paling mudah turun
kembali ke anak tangga di bawahnya tetapi bukan turun menjadi
miskin (meluncur jatuh miskin?
- Bagaimana agar mereka tidak lagi turun ke tingkat lebih bawah?
• Mari kita kembali ke golongan atau anak tangga di mana rumahtangga pada
golongan ini tidak lagi dianggap miskin.
c. Bagaimana bisa terjadi rumah tangga pada golongan ini (sudah tidak
miskin lagi), tapi kemudian jatuh miskin?
d. Bagaimana bisa terjadi sekelompok rumahtangga lainnya di golongan
ini lebih mampu bertahan untuk tidak jatuh miskin?
• Apa sajakah hal yang paling penting, yang dapat membantu rumah tangga
agar tidak jatuh miskin?
Hubungan antara anaktangga dimana rumah tangga tidak lagi dianggap miskin
dengan garis kemiskinan pemerintah
[Di Indonesia, garis kemiskinan yang resmi di daerah pedesaan yang
digunakan menyatakan seseorang miskin itu hanya memiliki penghasilan
sekitar Rp 150.000 per orang per bulan, atau Rp 5.000 per hari. Kalau dalam
satu rumahtangga Indonesia rata-rata ada sekitar 4,5 orang, maka penghasilan
rumahtangga itu hanya Rp 1.000.000. Penghasilan juga diartikan sebagai
barang-barang yang dibuat untuk digunakan sendiri, atau pemberian tetangga
dan kerabat]
a. Apakah garis kemiskinan ini sudah pas untuk digunakan di desa ini?
b. Mengapa dikatakan demikian?
c. Dimanakan tempat rumahtangga yang mempunyai penghasilan sebesar
itu dalam golongan atau tangga kehidupan di desa ini?
• Jika golongan atau anak tangga yang ditempati oleh rumah tangga yang
tidak lagi dianggap miskin, dibandingkan dengan garis kemiskinan resmi
pemerintah, apakah golongan atau anak tangga tersebut terletak:
d. Di atas garis kemiskinan pemerintah?
e. Sama dengan garis kemiskinan pemerintah?
f. Di bawah garis kemiskinan pemerintah?
PEDOMAN WAWANCARA MENDALAM MASYARAKAT
KAMPUNG PADAJAYA DAN KAMPUNG PADAJEMBAR
Tujuan : Mengetahui Struktur Kemiskinan di Kampung Padajaya dan
Kampung Padajembar
Responden : Masyarakat Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar
Hari/Tanggal :
Lokasi Wawancara :
Nama/Umur responden :
Pekerjaan :
Pendidikan :
Tingkat kesejahteraan responden:
• Berapa tanggungan bapak/ibu? (anak atau orang tua)
• Berapa penghasilan bapak/ibu perbulan?
• Berapa lama bapak/ibu bekerja dalam sehari untuk pekerjaan tersebut ?
• Apakah penghasilan tersebut cukup untuk membiayai pengeluran per
bulan?
• Apakah bapak/ibu mempunyai tambahan penghasilan lain ? Berapa
penghasilan tersebut ?
• Berapa lama bapak/ibu bekerja dalam sehari untuk tambaahan pekerjaan
tersebut ?
• Dengan penghasilan total, apakah telah mencukupi kebutuhan hidup
bapak/ibu ?
• Bila tidak mencukupi, bagaimana bapak/ibu memenuhi kebutuhan tersebut?
• Berapa pengeluaran bapak/ibu? Sebutkan ?
• Apakah bapak/ibu mempunyai tabungan atau barang berharga lainnya?
darimana tabungan atau barang tersebut berasal?
Kepemilikan aset nyata
• Apakah bapak/ibu mempunyai tabungan? darimana tabungan atau barang
tersebut berasal?
• Apakah bapak mempunyai kambing/ternak lainnya?
• Apakah bapak/ibu mempunyai tanah/rumah/sawah di tempat lain ?
• Barang elektronik apa sajakah yang bapak/ibu miliki?
• Apakah bapak mempunyai alat/mesin untuk berproduksi?
• Apakah bapak mempunyai usaha lainnya?
Kepemilikan aset tidak nyata
• Apakah bapak pernah mendapatkan kredit untuk usaha bapak? Dari mana ?
• Apakah bapa pernah mencoba untuk mencari kredit tersebut?
• Apakah ada pihak-pihak yang pernah menawarkan kredit kepada bapak?
• Sebelum bekerja seperti sekarag, apakah pekerjaan bapak sebelumnya?
• Apakah bapak pernah mengikuti pelatihan-pelatihan ?
• Apakah pernah ada sebelumnya pihak-pihak yang mengadakan pelatihan?
• Apakah bapak bisa berbaur dengan masyarakat yang lain?
• Bagaimana pemilihan tokoh di desa ini?
• Apakah dengan menjadi tooh desa dapat mengakses sumber daya yang
tidak bisa diakses oleh masyarakat biasa ?
• Apakah pekerjaan (bekerja di perkebunan/diluar perkebunan) dapat
memberikan perbedaan pada kemampuan bapa untuk mengakses hal-hal
yang tidak bisa dilakukan oleh masyarakat biasa?
• Apakah status pekerjaan bapak di perkebunan (tetap/musiman) dapat
memberikan perbedaan pada kemampuan bapa untuk mengakses hal-hal
yang tidak bisa dilakukan oleh masyarakat biasa?
• Apakah posisi pekerjaan bapak di perkebunan (mandor/buruh) dapat
memberikan perbedaan pada kemampuan bapa untuk mengakses hal-hal
yang tidak bisa dilakukan oleh masyarakat biasa?
• Apakah dengan menjadi ketua RT bapak bisa lebih leluasa untuk
mengakses sumber daya agraria ?
PEDOMAN WAWANCARA MENDALAM MASYARAKAT
KAMPUNG PADAJAYA DAN KAMPUNG PADAJEMBAR
Tujuan : Mengetahui Hubungan Masyarakat dengan Perkebunan
Responden : Masyarakat Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar
Hari/Tanggal :
Lokasi Wawancara :
Nama/Umur responden :
Pekerjaan Utama :
Pendidikan :
Pertanyaan penelitian:
• Kapan pencatatan lahan dari perkebunan terhadap lahan bapak/ibu terjadi?
• Apakah pernah ada perjanjian baik tertulis maupun lisan dari perkebunan
terhadap masyarakat yang mempunyai lahan pertanian di daerah
perkebunan ?
• Berapa sewa tanah pertanian dan tempat tinggal bapak/ibu ?
• Apakah sewa tersebut memberatkan bagi bapak/ibu ? Mengapa ?
• Sejauh mana hubungan kedekatan bapak dengan mandor sektor 8 ? apakah
bapak pernah berhutang ? apakah mandor tersebut pernah menjenguk bapa
bila bapak sakit ?
• Apakah yang membedakan antara mandor dan pegawai di daerah ini?
• Fasilitas apa yang diberikan oleh perkebunan yag dapat digunakan bersama
oleh warga Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar ini ?
• Apa pendapat bapak/ibu terhadap warga yang bekerja di perkebunan dan
berwirausaha sendiri ?
• Bagaimana pemilihan orang yang bisa mendapatkan fasilitas, baik dari
perkebunan maupun pemerintah di dusun ini? Apakah ada hubungannya hal
tersebut dengan pekerjaan orang tersebut di dalam perkebunan?
PEDOMAN WAWANCARA MENDALAM MASYARAKAT
KAMPUNG PADAJAYA DAN KAMPUNG PADAJEMBAR
Tujuan : Mengetahui Masalah Agraria yang terjadi di Kampung Padajaya
dan Kampung Padajembar
Informan : Masyarakat Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar
Hari/Tanggal :
Lokasi Wawancara :
Nama/Umur responden :
Pekerjaan Utama :
Pendidikan :
Pertanyaan penelitian:
• Apakah bapak mempunyai sawah ?
• Berapa luas lahan bapa tersebut ?
• Bagaimana bapak mendapatkan lahan tersebut ?
• Berapa luas awal lahan yang bapa miliki ?
• Siapakah yang mengolah lahan tersebut ? Bila ada yang mengolah, berapa
bapak bayar orang tersebut ? dengan jam kerja mulai sampai dengan jam
berapa ? dan kapan saja orang tersebut bekerja di lahan bapak ?
• Bagaimana hasil panen dari lahan ini mencukupi untuk kebutuhan pangan
bapak sehari-hari ? Apakah mencukupi/tidak mencukupi ?
• Jenis padi apa yang bapak tanam ?
• Hama apa saja yang bapak hadapi ?
• Masalah pertanian apa yang bapak hadapi ?
Konflik Penggunaan/Pemanfaatan secara Vertikal dan Horizontal
• Milik siapakah tanah ini ?
• Bagaimana bapak mendapatkan tanah ini dan sejak kapan ?
• Apakah perkebunan mengetahui tanah bapak tersebut ? Apakah sudah ada
pencatatan sebelumnya?
• Apakah sudah ada perjanjian dengan perkebunan mengenai tanah yang
bapak kelola ini ? Bagaimana sistem perjanjian tersebut ? Apakah terdapat
perjanjian tertulis ?
• Bagaimana sistem sewa tanah dengan perkebunan ? Berapa sewa yang
perkebunan berikan per meter?
• Apakah bapak keberatan dengan sewa tersebut ? mengapa ?
• Bagaimana sejarah penggunaan tanah disini ?
• Bagaimana sistem pembagian hasil di dusun ini ?
• Bagaimana gaji yang diberikan oleh tuan tanah dapat mencukupi kebutuhan
bapak sehari-hari ?
• Bagaimana hubungan kedekatan antara tuan tanah dan penggarap di dusun
ini?
• Mengapa bapak tidak mempunyai lahan di dusun ini ?
Ketimpangan Penguasaan dan Pemilikan
• Di dusun ini, siapakah yang memiliki lahan paling luas ? Berapa luasnya ?
• Bagaimana orang tersebut mendapatkan lahan tersebut ?
• Apakah penguasaan lahan yang luas itu berkaitan dengan status orang
tersebut dalam perkebunan ? Mengapa ?
• Apakah penguasaan lahan yang luas itu berkaitan dengan kedudukan orang
tuanya sebelumnya ? Mengapa?
• Apakah orang tersebut mengolah tanahnya sendiri ? Mengapa?
Penguasaan yang Sempit oleh Petani
• Berapa luas tanah pertanian bapak ?
• Berapa hasil setiap panen dari tanah tersebut ?
• Berapa modal yang bapak keluarkan untuk membuat sawah ini
sebelumnya?
• Berapa modal untuk menanam padi ? (pupuk, saprotan, bibit) ?
• Bagaimana bapak mendapatkan pupuk, saprotan, dan bibit tersebut ?
• Apakah hasil panen dapat bapak jual dan mencukupi untuk kebutuhan
pangan bapak sendiri ?
• Bagaimana irigasi dari sawah bapak dilakukan ?
• Tanaman apa saja yang bapak tanam ?
Degradasi Tanah
• Menurut bapak apakah tanah ini sudah memberikan hasil panen yang
terbaik ? mengapa ?
• Bagaimana kaitannya kerusakan tanah di dusun ini dengan penggunaan
pupuk atau penyemprotan hama yang salah ?
• Apa bapak mengetahui adanya pertanian organik ? apakah bapak mau
mengganti cara bertani bapak menjadi pertanian organik?
• Sudah berapa lama bapak menggunakan lahan ini ?
• Bagaimana aktifitas menebang hutan di sekitar tanah bapak ini ?
• Bagaimana kaitan antara hasil panen bapak dengan kondisi wilayah yang
berada di atas bukit ?
PEDOMAN WAWANCARA MENDALAM MASYARAKAT
KAMPUNG PADAJAYA DAN KAMPUNG PADAJEMBAR
Tujuan : Menganalisis masalah agraria di Kampung Padajaya dan
Kampung Padajembar yang dapat diselesaikan dengan reforma akses
agraria
Informan : Masyarakat Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar
Hari/Tanggal :
Lokasi Wawancara :
Nama/Umur responden :
Pekerjaan Utama :
Pendidikan :
Pertanyaan penelitian:
Kebutuhan masyarakat terkait access reform
• Menurut bapak/ibu apa yang paling dibutuhkan oleh bapak/ibu terkait
dengan masalah agraria yang bapak/ibu hadapi?
• Menurut bapak/ibu apakah kebutuhan tersebut akan membuat bapak/ibu
keluar dari kemiskinan?
• Bagaimana cara agar kebutuhan tersebut agar bisa sampai langsung
kepada bapak/ibu?
Pembangunan Infrastruktur
• Menurut bapak/ibu apakah terdapat kendala dalam membawa hasil
pertanian ke daerah penjualan?
• Menurut bapak/ibu apakah jalan menuju dan dari dusun ini harus
diperbaiki?
• Bagaimana pengaruh jalan terhadap hasil jual dari hasil pertanian
bapak/ibu?
• Apa harapan bapak/ibu terkait dengan pembangunan di dusun ini?apa yang
paling penting untuk diperbaharui atau di bangun?
Bantuan kredit
• Apakah bapak/ibu pernah mendapatkan bantuan kredit?
• Dari siapakah bantuan kredit tersebut?
• Cukup kah bantuan kredit tersebut untuk memenuhi kebutuhan modal
bapak/ibu?
• Bagaimana bapak/ibu menggunakan bantuan kredit tersebut? Bagaimana
pengembaliannya?
• Apa harapan bapak/ibu untuk bantuan kredit kedepannya?
• Bagaimana bantuan kredit mempengaruhi bapak/ibu mengurangi
kemiskinan yang bapak/ibu alami?
Penyuluhan pertanian
• Apakah bapak/ibu pernah mendapatkan penyuluhan pertanian? Dari siapa?
• Apakah penyuluhan tersebut bermanfaat bagi bapak/ibu?
• Bagaimana penyuluhan tersebut tepat mengatasi masalah agraria yang
bapak/ibu hadapi?
• Apa harapan bapak/ibu kepada penyuluhan pertanian?
Lampiran 2. Daftar Pengkategorian Keluarga Miskin Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar
No. Nama KK Kampung RT Mata Sawah 1999 2009 Mobilitas Ket Pencaharian
1 Kandi 1 1 1 4 6 4 2 Uci Sanusi 1 1 1 3 6 6 2 3 Ending 1 2 1 4 6 4 4 Urji 1 2 1 4 6 4 5 Juli 1 2 1 4 6 4 6 Obar 1 2 1 6 6 2 7 Emis 1 2 2 7 4 6 4 8 Enceh 1 2 7 4 6 4 9 Bambang 1 2 1 4 6 4
10 Ajat 1 2 1 4 6 4 11 Pena 1 2 1 4 6 4 12 Eruk 1 2 1 6 6 2 13 Dani 1 2 1 4 6 4 14 Aja 2 3 1 6 6 2 15 Odih 2 3 3 8 5 6 2 16 Apeng 2 4 1 5 5 6 2 17 Dana 1 1 1 4 5 4 18 Anas 1 1 3 7 5 5 2 19 Yusuf Yani 1 1 7 5 5 2 20 Rosad 1 2 9 4 5 4 21 Suma 1 2 9 4 5 4 22 Iyos 1 2 1 4 5 4 23 Ali 2 3 12 5 5 2 24 Asep 2 3 14 2 5 5 2 25 Tori 2 3 12 9 5 5 2 26 Maman 2 3 12 5 5 5 2 27 Rawan 2 3 12 5 5 5 2 28 Nanan 2 3 14 5 5 2 29 Duki 2 3 12 2 5 5 2 30 Saad 2 3 12 4 5 5 2 31 Ajum 2 3 7 5 5 2 32 Aleh 2 3 12 5 5 2 33 Ading 2 4 12 5 5 2 34 Ibin 2 4 4 11 5 5 2 11 35 Saca 2 4 12 5 5 2 36 Rahmat 2 4 14 4 5 5 2
No. Nama KK Kampung RT Mata Sawah 1999 2009 Mobilitas Ket Pencaharian
37 Rahman 2 4 5 4 5 5 2 8 38 Madhawi 2 4 13 5 5 2 8 39 Sukarma 2 4 12 5 5 2 40 Juanas 2 4 12 4 5 5 2 41 Uceng 2 4 13 3 5 5 2 8 42 Daden 2 4 13 3 5 5 2 10 43 Yusuf Erna 1 1 7 3 4 1 44 Sairin 1 2 6 3 4 4 1 45 Suganda 1 2 6 4 4 1 46 Ganda 1 2 23 4 4 1 47 Minong 1 2 26 4 4 1 3 48 Atar 1 2 6 4 4 1 49 Uda 1 2 6 4 4 1 50 Ading 1 2 13 4 4 1 9 51 Isak 1 2 13 4 4 1 9 52 Ali 1 2 6 4 4 1 53 Ajid 1 2 13 4 4 1 9 54 Sama 1 2 19 4 4 1 55 Anwar 1 2 6 4 4 1 56 Acun 1 2 7 4 4 1 57 Pepen 1 2 7 4 4 1 58 Herman 1 2 6 4 4 1 59 Dedi 1 2 18 4 4 1 60 Isak 1 2 7 4 4 1 61 Sarmin 1 2 4 3 4 4 1 62 Ma Isur 1 2 10 4 4 1 5 63 Bu Dede 1 2 26 4 4 1 2 64 Bu Yana 1 2 26 4 4 1 2 65 Oting 2 3 9 5 4 4 1 66 Pudin 2 3 15 4 4 1 67 Odi 2 3 13 4 4 4 1 68 Shohib 2 3 13 5 4 4 1 69 Santa 2 3 4 7 4 4 1 70 Ajat 2 3 17 3 4 4 1 71 Daman 2 3 16 5 4 4 1 72 Emis 2 4 4 4 4 1 73 Ini 2 4 13 9 4 4 1 74 Nana 1 1 6 3 3 1 75 Otang 1 1 6 3 3 3 1
No. Nama KK Kampung RT Mata Sawah 1999 2009 Mobilitas Ket Pencaharian
76 Udin 1 1 6 3 3 1 77 Samin 1 1 6 5 3 3 1 78 Oleh 1 1 6 3 3 1 79 Idim 1 1 6 3 3 1 80 Saleh 1 1 6 3 2 3 1 81 Adang 1 1 17 2 3 1 82 Nanang 1 1 27 3 3 3 1 83 Haman 1 1 18 3 3 1 84 Hendra 1 1 27 3 3 1 85 Suri 1 1 7 3 3 1 86 Diding 1 1 6 3 3 3 1 87 Yono 1 1 23 3 3 1 4 88 Marna 1 1 7 3 3 1 4 89 Una 1 2 7 3 3 1 90 Atma 1 2 20 3 3 1 91 Hamim 1 2 21 3 3 3 1 92 Aep 1 2 22 3 3 1 9 93 Sairin 1 2 4 3 3 1 94 Acang 1 2 20 3 3 1 95 Oji 2 3 13 3 3 3 1 96 Saron 2 3 11 5 4 3 1 97 Hadi 2 3 9 2 3 3 1 98 Usup 2 3 13 2 3 3 1 99 Apul 2 3 13 3 3 3 1
100 Ihsan 2 3 13 5 3 3 1 101 Jaja 2 3 11 3 3 3 1 102 Oman 2 3 4 3 3 3 1 103 Heri 2 3 13 3 3 1 104 Aris 2 3 13 3 3 1 105 Tatang 2 3 13 6 3 3 106 Kanta 2 3 13 3 3 3 1 107 Nukman 2 3 13 6 3 3 1 108 Ade 2 3 13 3 3 3 1 109 Mujid 2 3 25 3 3 1 110 Ma Iyat 2 4 10 3 3 1 111 Ma Anih 2 4 13 6 3 3 7 112 Nata 2 4 13 4 3 3 1 113 Karma 2 4 6 3 3 1 114 Ading 2 4 13 5 3 3 1
No. Nama KK Kampung RT Mata Sawah 1999 2009 Mobilitas Ket Pencaharian
115 Diding 2 4 13 4 3 3 1 116 Suhanta 2 4 6 2 3 3 1 117 Ma Ae 2 4 10 3 3 1 118 Asik 2 4 11 3 3 1 119 Rahman B 2 4 6 3 3 3 1 120 Arja 2 4 13 2 3 3 1 121 Djunaedi 2 4 13 3 3 1 122 Ija 2 4 11 5 3 3 1 123 Hamim 2 4 13 2 3 3 1 124 Odik 1 1 6 2 2 1 125 Nermi 1 1 6 2 2 1 126 Bu Iis 1 2 7 2 2 1 6 127 Linda 1 2 7 2 2 1 1 128 Ma Emis 2 3 13 2 2 1 129 Ma Omoh 2 3 13 2 2 1 130 Ma Oob 2 4 16 2 2 1 131 Ali 1 1 26 3 1 1 1 5 132 Adul 1 1 26 4 1 1 1 5 133 Pitok 1 1 26 1 1 1 5 134 Ma Acih 1 1 26 1 1 1 5 135 Ma Fatimah 1 1 26 1 1 1 5 136 Ma Anah 1 1 26 1 1 1 5 137 Ma Eli 1 1 26 1 1 1 5 138 Ma Ami 1 1 26 1 1 1 5 139 Ma Ika 1 1 26 1 1 1 5 140 Ahdi 1 1 26 3 1 1 5 141 Engkom 1 2 26 1 1 1 5 142 Malen 1 2 26 1 1 1 5 143 Sanen 1 2 26 1 1 1 5 144 Ma Anah 1 2 26 1 1 1 5 145 Suhad 1 2 26 1 1 1 5 146 Ma Yayah 1 2 26 1 1 1 5 147 Ma Onih 1 2 26 4 1 1 5 148 Hada 2 3 26 1 1 1 5 149 Ma Marhati 2 3 26 1 1 1 5 150 Ma Onoy 2 4 26 1 1 1 5 151 Ma Mbanah 2 4 26 1 1 1 5 152 Ma Emot 2 4 26 1 1 1 5
Keterangan :
No Keterangan Kode 1 Kampung Padajaya 1 Padajembar 2 2 Mata Pencaharian Cevron 1 Tani dan Dagang 2 Tani 3 Tani dan Pensiunan 4 Tanid, dagang, Pensiunan 5 Buruh Tani 6 Dagang 7 Ketua Forum 4 Desa 8 Buruh Bangunan 9 Pensiunan Perkebunan Baru 10 Pensiunan Perkebunan Lama 11 Karyawan Tetap Perkebunan 12 Karyawan Lepas Perkebunan 13 Mandor Tetap Perkebunan 14 Mandor Lepas Perkebunan 15 Karyawan Lepas Perkebunan, Pensiunan Lama 16 Guru 17 Ojeg 18 Bisnis Kayu 19 Bisnis Bambu 20 Penghulu 21 Mancing 22 Supir Batu 23 Pengamen 24 Sales Kompor 25 Tidak Memiliki Pekerjaan 26 Buruh Panggilan 27 3 Sawah Memiliki Sawah 0 Tidak Memiliki Sawah 1 4 Tangga Kehidupan Fakir Miskin 1 Fakir 2 Miskin 3 Sedang 4 Standar 5 Mampu 6 5 Mobilitas Tetap Miskin 1 Tetap Kaya 2 Jatuh Miskin 3 Jadi Kaya 4 6 Keterangan Pendatang 1
Suami Kaya 2 Istri Kaya 3 Bekerja di Luar Kampung 4 Jompo 5 Janda 6 Punya Penyakit Asma 7 Istri Karyawan Tetap Perkebunan 8 Istri Karyawan Lepas Perkebunan 9 Ustad 10 Sawah Besar 11
Lampiran 3. Karakteristik Rumah Tangga Miskin menurut BPS No. Variabel Kemiskinan Karakteristik Kemiskinan 1 Luas lantai bangunan tempat tinggal Kurang dari 8 m2 per orang 2 Jenis lantai bangunan tempat tinggal Tanah/bambu/kayu murahan 3 Jenis dinding bangunan tempat tinggal Bambu/rumbai/kayu kualitas
rendah/tembok tanpa plester 4 Fasilitas tempat buang air besar Tidak ada, menumpang rumah
lain 5 Sumber penerangan rumah tangga Bukan listrik 6 Sumber air minum Sumur, mata air tidak
terlindung/sungai/air hujan 7 Bahan bakar untuk memasak Kayu bakar/arang/minyak tanah 8 Konsumsi daging/ayam/susu/per minggu Satu kali atau dua kali seminggu 9 Pembelian pakaian baru setiap anggota
rumah tangga setiap tahun Tidak pernah membeli/satu stel
10 Frekuensi makan dalam sehari Satukali/dua kali sehari 11 Kemampuan membayar untuk berobat ke
puskesmas atau dokter Tidak mampu membayar
12 Lapangan pekerjaan utama kepala rumah tangga
Petani dengan luas lahan kurang dari 0,5 Ha/buruh tani/nelayan/buruh bangunan/pekerjaan lainnya dengan penghasilan rumah tangga dibawah Rp 600.000 per bulan
13 Pendidikan tertinggi kepala rumah tangga Tidak sekolah/tidak tamat SD/ hanya tamatan SD
14 Pemilikan aset/harta bergerak maupun tidak bergerak
Tidak punya tabungan/barang yang mudah dijual dengan nilai minimal Rp 500.000 seperti sepeda motor (kredit maupun bukan kredit), emas, perhiasan, perahu motor dan barang modal lainnya.
Sumber BPS 2005