Top Banner
KEMISKINAN DAN REFORMA AKSES AGRARIA DI DESA PERKEBUNAN (Kasus: Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar, Dusun Cigarehong, Desa Purwabakti, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor) VIDYA HARTINI SIMARMATA I34051442 DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
184
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: I09vhs

KEMISKINAN DAN REFORMA AKSES AGRARIA

DI DESA PERKEBUNAN

(Kasus: Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar, Dusun Cigarehong, Desa Purwabakti, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor)

VIDYA HARTINI SIMARMATA

I34051442

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN

MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2009

Page 2: I09vhs

ABSTRACT Local poverty definition in Padajaya Village and Padajembar Village are

an inability to attain a minimum standard of living and having no house. Agrarian problems of upland village are contour and fertility of land, relation between peasants and Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH), small land ownership by peasants, environment damages, low access of transportation access, credit, cooperation, and agriculture extension. Agrarian reform consists of landreform and access reform. Access reforms that must be done in Padajaya Village and Padajembar Village are: developing peasant organisation, infrastructure, increasing capacity of agent of change and research, creating credit incentives. Key Word : Agrarian reform, upland poverty, agrarian problem and access.

Page 3: I09vhs

RINGKASAN VIDYA HARTINI SIMARMATA. Kemiskinan Dan Reforma Akses Agraria Di Desa Perkebunan. Kasus: Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar, Dusun Cigarehong, Desa Purwabakti, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor (di bawah bimbingan IVANOVICH AGUSTA).

Berdasarkan data kemiskinan yang dikeluarkan oleh BPS per Maret 2008, menunjukkan jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada dibawah Garis Kemiskinan) di Indonesia sebesar 34,96 juta orang (15,42%), dan sebagian besar penduduk miskin berada di daerah perdesaaan (63,47%). Kemiskinan di pedesaan mempunyai hubungan dengan masalah-masalah agraria khususnya tanah. Menurut Syahyuti (2006), asumsi dasar yang melandasinya adalah karena sebagian besar rakyatnya masih menggantungkan hidupnya pada tanah.

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif yang digunakan untuk memetakan dan menganalisis kontruksi kemiskinan, masalah agraria yang masyarakat hadapi dan kegiatan reforma akses agraria apa saja yang relevan diterapkan di Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar. Peneliti memilih Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar dikarenakan keunikan dari kedua kampung tersebut, yang masih termasuk ke dalam daerah perkebunan Cianten, akan tetapi memiliki karakteristik yang berbeda dari kampung lainnya. Pada Kampung Padajaya, sebagian besar masyarakatnya tidak menopangkan hidupnya pada perkebunan, sedangkan pada Kampung Padajembar, sebaliknya sebagian besar penduduknya menopangkan hidupnya pada perkebunan.

Definisi kemiskinan lokal Kampug Padajaya dan Kampung Padajembar adalah kondisi dimana seseorang tidak memiliki rumah dan tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya selayaknya orang biasa, yaitu tidak dapat makan dua kali sehari dan tidak dapat menyekolahkan anaknya sampai jenjang SMP. Tangga kehidupan masyarakat di Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar yaitu: fakir miskin, fakir, miskin, sedang, standar dan mampu. Pembuatan indikator dari tangga kehidupan ini dibuat berdasarkan tingkat penghasilan yang dimiliki oleh warga masyarakat di dusun tersebut, yang kemudian dikembangkan.

Hasil pertanian yang terdapat di Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar adalah padi, cabe, kacang panjang, jagung, pisang, sayur-sayuran dan tanaman rempah-rempah yang digunakan untuk memasak. Masyarakat pada umunya menanam padi sebagai komoditas utama, karena padi adalah kebutuhan utama pangan mereka. Masalah agraria yang dihadapi oleh petani di Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar yaitu penguasaan yang sempit oleh petani, degradasi tanah, akses transportasi yang sulit, tidak adanya penyuluhan, tidak adanya penyaluran kredit, tidak adanya koperasi. Reforma akses agraria yang harus dilakukan di Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar yaitu: pembangunan infrastruktur, peningkatan produktivitas tanah, perbaikan sistem pajak tanah, pemberian kredit, adanya penyuluhan dan penelitian di yang terakhir yaitu perlu adanya pemerataan akses agaria di Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar sesuai dengan tingkat kesejahteraan yang dapat dilihat melalui tangga kehidupan warga dan luas lahan pertanian yang mereka miliki.

Page 4: I09vhs

KEMISKINAN DAN REFORMA AKSES AGRARIA

DI DESA PERKEBUNAN

(Kasus: Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar, Dusun Cigarehong, Desa Purwabakti, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor)

VIDYA HARTINI SIMARMATA

I34051442

SKRIPSI

Sebagai Prasyarat untuk Mendapatkan Gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada

Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN

MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2009

Page 5: I09vhs

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN

MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Dengan ini menyatakan bahwa Skripsi yang ditulis oleh:

Nama : Vidya Hartini Simarmata

Nomor Pokok : I34051442

Judul : Kemiskinan dan Reforma Akses Agraria di Desa Perkebunan

(Kasus: Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar, Dusun

Cigarehong, Desa Purwabakti, Kecamatan Pamijahan,

Kabupaten Bogor).

Dapat diterima sebagai syarat kelulusan KPM 499 pada Departemen Sains

Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut

Pertanian Bogor.

Menyetujui,

Dosen Pembimbing

Ivanovich Agusta SP, MSi NIP. 19700816 199702 1 001

Mengetahui,

Ketua Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

Dr. Ir. Lala M. Kolopaking, MS NIP. 19580827 198303 1 001

Tanggal Lulus Ujian: ___________________

Page 6: I09vhs

PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL

“KEMISKINAN DAN REFORMA AKSES AGRARIA DI DESA

PERKEBUNAN. Kasus: Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar,

Dusun Cigarehong, Desa Purwabakti, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten

Bogor” INI BENAR-BENAR MERUPAKAN HASIL KARYA YANG BELUM

PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI KARYA ILMIAH PADA SUATU

PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN DAN JUGA BENAR-

BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI TIDAK MENGANDUNG BAHAN-

BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK

LAIN KECUALI SEBAGAI BAHAN RUJUKAN YANG DINYATAKAN

DALAM NASKAH. DEMIKIAN PERNYATAAN INI SAYA BUAT DENGAN

SESUNGGUHNYA DAN SAYA BERSEDIA MEMPERTANGGUNG-

JAWABKAN PERNYATAAN INI.

Page 7: I09vhs

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bogor, 20 April 1987 sebagai anak kedua dari

pasangan suami istri Janson P. Simarmata, MSc dan Norma Siahaan, BA. Pada

tahun 1993 penulis masuk Sekolah Dasar Budhi Bhakti Bogor. Tahun 1999

meneruskan ke Sekolah Menengah Pertama Negeri I Darmaga Bogor dan tahun

2002 melanjutkan ke Sekolah Menengah Atas Kornita Bogor. Pada tahun 2005,

penulis diterima masuk ke IPB melalui jalur USMI (Usulan Masuk IPB) dan

tercatat sebagai Mahasiswa Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan

Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Disamping belajar, penulis aktif sebagai panitia penyelenggara pada

beberapa kegiatan di luar dan di dalam kampus dan sebagai anggota beberapa

organisasi dalam kampus diantaranya sebagai divisi Multimedia And Advertising

(MUSELSI) pada Himpunan Mahasiswa Peminat Komunikasi dan Pengembangan

Masyarkat (HIMASIERA), Humas Onigiri Japan Club IPB, dan Komisi

Pelayanan Khusus (KoPelKhu) Persekutuan Mahasiswa Kristen (PMK) IPB.

Pengalaman kerja penulis adalah sebagai penyiar di Radio Pertanian Ciawi dan

notulen seminar.

Page 8: I09vhs

KATA PENGANTAR

Puji Syukur penulis panjatkan atas kasih dan pernyertaan Tuhan Yesus

Kristus sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Kemiskinan

dan Reforma Akses Agraria di Desa Perkebunan. Kasus: Kampung Padajaya dan

Kampung Padajembar, Dusun Cigarehong, Desa Purwabakti, Kecamatan

Pamijahan, Kabupaten Bogor” sebagai syarat kelulusan pada Departemen

Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut

Pertanian Bogor.

Penekanan skripsi ini terletak pada kemiskinan sebagai dampak dari

masalah-masalah agraria yang ada di desa perkebunan. Masalah-masalah yang

penulis uraikan merupakan masalah yang umum terjadi di desa perkebunan

Indonesia. Dalam tulisan ini juga, penulis menjabarkan kemiskinan yang terjadi di

Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar dan penanggulangan kemiskinan

melalui reforma akses agraria.

Skripsi ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi mahasiswa lain yang

juga tertarik dalam membahas kajian agraria. Penulis mengetahui bahwa karya ini

belumlah sempurna, maka dari itu kritik dan saran yang membangun sangat

penulis harapkan.

Bogor, September 2009

Penulis

Page 9: I09vhs

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur penulis panjatkan kepada Bapa yang di Surga yang telah

memberikan kasih, kekuatan dan berkatNya, sehingga penulis dapat

menyelesaikan skripsi ini. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tulisan ini tidak

dapat penulis selesaikan tanpa mendapat bantuan. Oleh sebab itu, pada

kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada :

1. Ivanovich Agusta, SP, MSi selaku dosen pembimbing studi pustaka

sekaligus dosen pembimbing skripsi, yang telah mengajarkan banyak hal

mengenai penulisan, mengembangkan pola pikir dan membimbing penulis

dengan penuh kesabaran dan pengertian selama proses belajar menulis

skripsi ini.

2. Ir. Said Rusli, MA atas kesediaan menjadi dosen penguji utama pada

sidang dan masukan-masukan berharga yang telah diberikan.

3. Martua Sihaloho, SP, MSi atas kesediaan menjadi dosen penguji

perwakilan departemen pada sidang skripsi, masukan-masukan yang

membangun dan bimbingan selama penulis menempuh pendidikan di

KPM.

4. Orang tua penulis, Bapak Janson P. Simarmata, MSc dan Ibu Norma

Siahaan, BA atas dukungan doa selama penulis menyelesaikan skripsi ini.

5. Saudara dan saudari penulis, Posmalini Simarmata, SE, Astrid Rahayu

Kristi, SKPM, Doris Martugiana, dan Richard Simarmata atas motivasi

dan doa selama penulis menyelesaikan skripsi ini.

6. Pangihutan Sutan Sugondo Samosir, STp, atas dukungan yang selalu

diberikan.

7. Mas Sohib ‘Sayogyo Inside’ atas bimbingan, saran, diskusi-diskusi, jurnal

dan bahan-bahan agraria serta pinjaman buku yang diberikan.

8. Mas Eko ‘Sayogyo Inside’, Cici, Fahroji dan Yayan, atas transfer ilmu

pengetahuan yang diberikan kepada penulis.

9. Aditya Rahman, teman sebimbingan penulis, yang selalu memberi

semangat, dan selalu berjuang bersama baik suka dan duka.

Page 10: I09vhs

10. M. Iqbal Banna, partner kerja penulis, atas teguran halus dan teguran

kerasnya, yang membuat penulis belajar banyak hal selama penulis bekerja

sambil mengerjakan skripsi ini.

11. Teman-teman Perwira 45 Teresia Tandean, STp, Veronica Gunawan, STp,

Mervina, SGz, Franz Sahidi, Stella A.G, STp yang selalu mengerti

keadaan penulis dan memberi semangat.

12. Teman-teman KPM 42 Wina, Ficha, Lidia, Mora, Palupi, Tamimi, Edu,

Dito, Bibob, Rio, Yuda, Rizal, Anvina, Fahmi yang selalu membantu

penulis dalam suka dan duka.

13. Sahabat penulis Narendra, Rifan, Kiki, Lina, Wanya, Fitri, dan Wani.

14. Keluarga kelompok kecil penulis Ci uke, Nina, Melda, Vania, dan Nikita

atas doanya.

Page 11: I09vhs

DAFTAR ISI

Halaman DAFTAR ISI ............................................................................................... x DAFTAR TABEL ....................................................................................... xiii DAFTAR GAMBAR ................................................................................... xiv DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................ xv BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang .................................................................................... 1 1.2 Perumusan Masalah ............................................................................. 3 1.3 Tujuan Penelitian ................................................................................ 5 1.4 Kegunaan Penelitian ........................................................................... 5 BAB II PENDEKATAN TEORITIS 2.1 Kemiskinan ......................................................................................... 6 2.1.1 Konsep Kemiskinan .................................................................... 6 2.1.2 Indikator Kemiskinan : Aset dan Pendapatan .............................. 8 2.1.3 Penanggulangan Kemiskinan ...................................................... 12 2.2 Kehidupan Sosial-Ekonomi Masyarakat Perkebunan ........................... 14 2.3 Masalah-masalah Agraria di Perkebunan ............................................. 16 2.3.1 Ketimpangan Penguasaan dan Pemilikan ..................................... 18 2.3.2 Penguasaan yang Sempit oleh Petani .......................................... 19 2.3.3 Kerusakan Lingkungan ............................................................... 20 2.4 Reforma Agraria ................................................................................. 21 2.4.1 Konsep Reforma Agraria ............................................................. 21 2.4.2 Reforma Akses Agraria .............................................................. 24 2.4.3 Dampak Reforma Agraria ........................................................... 26 2.5 Kerangka Pemikiran ............................................................................ 28 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian ............................................................................... 30 3.2 Waktu dan Tempat Penelitian .............................................................. 31 3.3 Pemilihan Tineliti dan Informan .......................................................... 36 3.4 Metode Pengambilan Data .................................................................. 38 3.4.1 Wawancara Mendalam ................................................................ 39 3.4.2 Pengamatan Berperan Serta ........................................................ 41 3.4.3 Penelusuran Dokumen ................................................................ 42 3.5 Teknik Analisis Data ........................................................................... 42 3.6 Bias Penelitian .................................................................................... 43

Page 12: I09vhs

BAB IV GAMBARAN UMUM DESA, DUSUN, KAMPUNG DAN PERKEBUNAN

4.1 Desa Purwabakti ................................................................................. 45 4.1.1 Kondisi Geografis Desa Purwabakti ........................................... 45 4.1.2 Kependudukan Desa Purwabakti ................................................ 46 4.1.3 Pendidikan Desa Purwabakti ...................................................... 48 4.2 Dusun Cigarehong .............................................................................. 49 4.3 Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar .................................... 50 4.3.1 Keadaan Geografi Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar50 4.3.2 Pendidikan di Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar ..... 52 4.4 PTP. Nusantara VIII Perkebunan Cianten ............................................ 55 4.4.1 Keadaan Geografi ....................................................................... 55 4.4.2 Pekerja Perkebunan .................................................................... 57 4.4.3 Sejarah Perkebunan .................................................................... 59 4.4.4 Visi, Misi dan Kontribusi Perkebunan ........................................ 61 4.4.5 Penggunaan Lahan Perkebunan .................................................. 62 BAB V KONSTRUKSI KEMISKINAN LOKAL 5.1 Sejarah Penduduk Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar ....... 64 5.2 Masyarakat sebagai Pekerja Perkebunan ............................................. 65 5.3 Merekonstruksi Ulang Arti dan Indikator Kemiskinan Lokal ............... 72 5.4 Kemiskinan Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar ................ 78 5.5 Mobilitas Sosial .................................................................................. 84 5.5.1 Warga kampung Padajaya dan Kampung Padajembar yang Tetap Miskin ............................................................................ 93 5.5.2 Warga kampung Padajaya dan Kampung Padajembar yang Jatuh Miskin ............................................................................. 95 5.5.3 Warga kampung Padajaya dan Kampung Padajembar yang Tetap Kaya ......................................................................................... 98 5.5.4 Warga Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar yang Jadi Kaya ........................................................................................ 99 5.6 Modal Sosial Masyarakat .................................................................... 101 BAB VI MASALAH AGRARIA 6.1 Kontur Wilayah Perkebunan dan Kesuburan Tanah ............................. 103 6.2 Hubungan Petani dengan TNGH ......................................................... 107 6.3 Penguasaan yang Sempit oleh Petani .................................................... 109 6.4 Kerusakan Lingkungan ....................................................................... 114 6.5 Sulitnya Akses Transportasi ................................................................ 115 6.6 Tidak Adanya Penyuluhan .................................................................. 118 6.7 Tidak Adanya Penyaluran Kredit ........................................................ 121 6.8 Tidak Adanya Koperasi ....................................................................... 124

Page 13: I09vhs

BAB VII REFORMA AKSES AGRARIA 7.1 Pengembangan Keorganisasian Petani ................................................ 128 7.2 Pembangunan Infrastruktur ................................................................ 129 7.3 Penyuluhan dan Penelitian ................................................................. 130 7.4 Pemberian Kredit ............................................................................... 131 7.5 Pemerataan Akses .............................................................................. 131 BAB VIII KESIMPULAN DAN SARAN 8.1 Kesimpulan .......................................................................................... 137 8.2 Saran .................................................................................................... 138 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 139 LAMPIRAN .............................................................................................. 141

Page 14: I09vhs

DAFTAR TABEL

No. Teks Halaman

1. Struktur permasalahan agraria di Indonesia ........................................... 17 2. Topik Wawancara Penelitian ................................................................. 40 3. Luas dan Penggunaan Lahan Desa Purwabakti ...................................... 46 4. Struktur Umur dan Jenis Kelamin Penduduk Desa Purwabakti ............... 47 5. Mata Pencaharian Penduduk Desa Puwabakti ......................................... 48 6. Tingkat Pendidikan Penduduk Desa Purwabakti ..................................... 49 7. Jenjang Kepegawaian dan Jumlah Karyawan PTPN VIII Kebun Cianten 57 8. Penggunaan Lahan Perkebunan ............................................................... 63 9. Mobilitas sosial Masyarakat ................................................................... 91 10. Sebaran Masyarakat Berdasarkan Posisi Tangga Kehidupan Masyarakat pada Tahun 1999 dan Tahun 2009 .......................................................... 93 11. Jumlah Pemilik Sawah Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar .. 123

Page 15: I09vhs

DAFTAR GAMBAR

No. Teks Halaman

1. Kerangka Pemikiran .............................................................................. 29 2. Waktu Penelitian ................................................................................... 35 3. Peta Desa .............................................................................................. 45 4. SDN Ciasmara IV ................................................................................. 52 5. Tempat Penitipan Anak (TPA) .............................................................. 53 6. Pemetik Teh Mengantri Giliran untuk Penimbangan ............................. 66 7. Juru Tulis Perkebunan ........................................................................... 67 8. Tangga Kehidupan, Indikator Kemiskinan Lokal Kampung Padajaya

dan Kampung Padajembar .................................................................... 74 9. Grafik Keluarga Miskin Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar 79 10. Indikator Mobilitas sosial ....................................................................... 86 11. Sebaran Masyarakat Berdasarkan Posisi Tangga Kehidupan Masyarakat

pada Tahun 1999 dan Tahun 2009 ......................................................... 92 12. Sawah yang Sesuai dengan Kontur Tanah Daerah Perkebunan ............... 104 13. Sayuran yang di Tanam Sesuai Kontur Tanah ....................................... 105 14. Tanaman Rempah dan Pohon Pisang Warga ........................................ 105 15. Padi Komoditas Utama Pertanian Masyarakat ....................................... 106 16. Grafik Luas Sawah Masyarakat Kampung Padajaya dan Kampung

Padajembar .......................................................................................... 112 17. Batu Kali di Tengah Sawah Masyarakat ................................................ 115 18. Sebaran Sawah Masyarakat Di Kampung Padajaya Dan Kampung

Padajembar ........................................................................................... 124

Page 16: I09vhs

DAFTAR LAMPIRAN

No. Teks Halaman

1. Pedoman Pertanyaan Penelitian ............................................................. 141 2. Daftar Pengkategorian Keluarga Miskin Kampung Padajaya dan

Kampung Padajembar ........................................................................... 160 3. Karaksteristik Rumah Tangga Miskin Menurut BPS ............................. 166

Page 17: I09vhs

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Studi mengenai pedesaan di Indonesia tidak lepas dari permasalahan

kemiskinan. Berdasarkan data kemiskinan yang dikeluarkan oleh BPS per Maret

20081, jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada dibawah Garis

Kemiskinan) di Indonesia sebesar 34,96 juta orang (15,42%), dan sebagian besar

penduduk miskin berada di daerah perdesaaan (63,47%).

Kemiskinan di pedesaan mempunyai hubungan dengan masalah-masalah

agraria khususnya tanah. Menurut Syahyuti (2006), asumsi dasar yang

melandasinya adalah karena sebagian besar penduduk desa masih

menggantungkan hidupnya pada tanah. Dalam kondisi demikian, penataan

penguasaan tanah yang lebih adil dan pemerataan akses terkait pengelolaan tanah

tersebut kepada masyarakat merupakan instrumen yang esensial untuk

menanggulangi kemiskinan dan ketimpangan penghasilan di pedesaan.

Upaya untuk menanggulangi kemiskinan di pedesaan salah satunya

dengan implementasi dari program reforma agraria, yang pada tahun 2007

dicanangkan kembali oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Agrarian

reform, atau adakalanya disebut reforma agraria dan pembaruan agraria (istilah

resmi sebagaimana tercantum dalam Tap MPR No. IX tahun 2001), memiliki

pengertian yang lebih luas, yang mencakup dua tujuan pokok yaitu bagaimana

mencapai produksi dari tanah yang lebih tinggi, dan bagaimana agar lebih dicapai

keadilan (Cohen, 1978 dalam Pangkurian, 2008).

1 http://www.bps.go.id/releases/Other_Press_Releases/Bahasa_Indonesia/more3.html

Page 18: I09vhs

Selain itu, urgensi dari reforma agraria tidak hanya untuk menanggulangi

kemiskinan, menahan laju urbanisasi, menciptakan lapangan pekerjaan di desa,

tetapi tujuan-tujuan ekonomis dari pelaksanaan reforma agraria juga akan

mendukung pembangunan nasional yang kokoh. Melalui kokohnya pertanian,

diharapkan Indonesia mempunyai kemadirian pangan dan dapat berdikari “Berdiri

diatas kaki sendiri” sehingga dari pola perekonomian yang berbasis pertanian

berubah menuju perekonomian yang berbasis industri dan tetap diperkuat oleh

bidang pertanian (Wiradi, 2000).

Sasaran reforma agraria bukan hanya tanah pertanian, tetapi juga tanah-

tanah kehutanan, perkebunan, pertambangan, pengairan, kelautan, dan sumber-

sumber agraria lainnya, temasuk hak atas air, proteksi dari perubahan iklim, dan

keanekaragaman hayati (Wiradi, 2006). Desa perkebunan adalah salah satu

sasaran dari reforma agraria.

Menurut Mubyarto (1992), terutama pada perkebunan-perkebunan besar,

banyak ditemui kasus rendahnya kesejahteraan buruh perkebunan karena upah

yang diterima rendah. Rendahnya upah pada masyarakat perkebunan memaksa

mereka untuk mencari tambahan penghasilan yaitu salah satunya dengan bertani

menggunakan tanah-tanah yang tidak digunakan oleh perkebunan. Akan tetapi

hasil yang didapatkan masyarakat dari bertani tidaklah banyak, bahkan tidak

mencukupi untuk mencukupi kebutuhan pangannya sendiri. Selain disebabkan

oleh sempitnya lahan pertanian, masalah pertanian yang dihadapi oleh masyarakat

perkebunan yaitu sulitnya akses terhadap “dunia luar” sehingga mereka sulit

dalam mendapatkan fasilitas-fasilitas dari pemerintah dalam hal pertanian, baik

Page 19: I09vhs

penyuluhan, pemberian bibit unggul, irigasi, maupun peningkatan inovasi

teknologi dalam pertanian.

Reforma agraria dapat dilancarkan dengan titik berat yang berbeda-beda.

Ada yang titik beratnya pada pembangunan ekonomi, di mana redistribusi tanah

tidak diutamakan. Ada pula dengan menitikberatkan kepada perombakan struktur

sosial dan asas pemerataan, dengan sasaran utama adalah redistribusi tanah.

Redistribusi tanah seringkali disebut sebagai aspek landreform yaitu penataan

ulang struktur penguasaan dan pemilikan tanah. Sementara itu, aspek non-

landreform adalah bentuk-bentuk dan cara mengolah tanah dengan menerapkan

teknologi baru, perbaikan infrastruktur, bantuan kredit, dukungan penyuluhan

pertanian, pengembangan pasar komoditas pertanian dan lain-lain (Syahyuti,

2006).

1.2 Perumusan Masalah

Kemiskinan di pedesaan dapat disebabkan oleh masalah pertanian maupun

non-pertanian. Akan tetapi penelitian ini akan lebih difokuskan pada masalah

pertanian yang terdapat di daerah pedesaan, khususnya desa perkebunan, yaitu di

Desa Purwabakti. Menurut Mubyarto (1992), kemiskinan di pedesaan, khususnya

pada desa perkebunan, terjadi karena bekerjanya sistem “kapitalistik” pada

perkebunan tersebut. Perkebunan dianggap sebagai “pabrik” pertanian sehingga

dibutuhkan efisiensi dan efektifitas dalam setiap kegiatan produksi untuk

menghasilkan untung yang sebesar-besarnya bagi pengelola pabrik tersebut, salah

satunya yaitu dengan menekan upah dari karyawannya.

Page 20: I09vhs

Penduduk yang menjadi karyawan dari perkebunan mengusahakan lahan

yang ada disekitarnya untuk mencukupi kebutuhannya sehari-hari karena

kurangnya gaji yang didapatkan dari perkebunan. Di desa-desa perkebunan

ditemukan petak-petak tanah pertanian penduduk yang menggunakan lereng-

lereng yang tidak digunakan oleh perusahaan perkebunan karena ketinggiannya

yang tidak layak untuk penanaman komoditas perkebunan itu sendiri.

Reforma akses agraria diharapkan dapat memberikan solusi bagi penduduk

di pedesaan untuk keluar dari kemiskinan yang mereka alami. Reforma akses

agraria ini berupa pemberian akses kepada masyarakat terkait pengelolaan tanah

yang mereka gunakan agar dapat memaksimalkan produktivitas tanah mereka,

untuk mendapatkan kualitas dan kuantitas hasil panen yang maksimal, dengan

tidak merusak alam.

Berdasarkan hal tersebut diatas, maka pertanyaan penelitian ialah:

1. Bagaimana konstruksi kemiskinan di Kampung Padajaya dan Kampung

Padajembar, Dusun Cigarehong, Desa Purwabakti, Kecamatan Pamijahan,

Kabupaten Bogor?

2. Bagaimana masalah agraria memberikan kontribusi terhadap kemiskinan

di Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar, Dusun Cigarehong,

Desa Purwabakti, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor?

3. Bagaimana masalah agraria di Kampung Padajaya dan Kampung

Padajembar, Dusun Cigarehong, Desa Purwabakti, Kecamatan Pamijahan,

Kabupaten Bogor dapat diselesaikan dengan reforma akses agraria?

Page 21: I09vhs

1.3 Tujuan Penelitian

Sesuai dengan perumusan masalah tersebut, maka penelitian ini bertujuan

untuk menjawab pertanyaan pada perumusan masalah. Adapun tujuan dari

penelitian ini yaitu:

1. Memahami konstruksi kemiskinan di Kampung Padajaya dan Kampung

Padajembar, Dusun Cigarehong, Desa Purwabakti, Kecamatan Pamijahan,

Kabupaten Bogor.

2. Menganalisis masalah agraria yang memberikan kontribusi terhadap

kemiskinan di Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar, Dusun

Cigarehong, Desa Purwabakti, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor.

3. Menganalisis masalah agraria di Kampung Padajaya dan Kampung

Padajembar, Dusun Cigarehong, Desa Purwabakti, Kecamatan Pamijahan,

Kabupaten Bogor yang dapat diselesaikan dengan reforma akses agraria.

1.4 Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan data kuantitatif mengenai

kemiskinan, masalah agraria dan reforma agraria khususnya pada desa

perkebunan. Hasil analisis data tersebut dapat menjadi bahan pertimbangan dalam

penerapan program-program kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan upaya

penanggulangan kemiskinan di daerah tersebut, dan masukan bagi lembaga

pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat yang hendak melaksanakan reforma

agraria di Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar.

Page 22: I09vhs

BAB II PENDEKATAN TEORITIS

2.1 Kemiskinan

2.1.1 Konsep Kemiskinan

Pada hakikatnya, kemiskinan merupakan persoalan yang selalu ada, dari

dulu, dan mungkin akan selalu ada sampai kapanpun. Belum ada upaya

penanggulangan kemiskinan yang berhasil dengan sempurna. Akan tetapi

memahami konsep kemiskinan tetap penting, yaitu untuk menemukan indikator

kemiskinan dan strategi penanggulangan kemiskinan yang tepat. Kemiskinan

diartikan secara berbeda-beda oleh para pakar kemiskinan. Hal ini dikarenakan

sudut pandang yang berbeda dalam melihat akar dari kemiskinan tersebut.

Menurut Sudibyo (1995), kemiskinan adalah kondisi deprivasi terhadap

sumber-sumber pemenuhan kebutuhan dasar, seperti pangan, sandang, papan,

kesehatan, pendidikan dasar, sedangkan kesenjangan adalah ketidakmerataan

akses terhadap sumber ekonomi yang dimiliki. Dari kelima deprivation trap

tersebut, kerentaan dan ketidakberdayaan merupakan penyebab yang perlu

mendapatkan perhatian. Kerentaan dan ketidakberdayaan tersebut mengakibatkan

perbedaan kepemilikan faktor produksi. Perbedaan tersebut dicerminkan oleh

ketidakmerataan akses terhadap sumber daya ekonomi, dan masing-masing pelaku

ekonomi hanya akan memperoleh penghasilan yang sebanding dengan apa yang

dikorbankan dan faktor produksi apa yang dimiliki. Menurut Syahyuti (2006),

miskin adalah suatu keadaan di mana seseorang tidak sanggup memelihara dirinya

sendiri sesuai dengan taraf kehidupan kelompoknya, dan tak mampu

memanfaatkan tenaga, mental, dan pikirannya dalam kelompok tersebut.

Page 23: I09vhs

Soedjatmoko pada seminar ilmiah HIPIIS2 menyatakan terdapat dua

hubungan antara kemiskinan dan ketidakadilan. Ketidakadilan pada pemerataan

terhadap pengadaan sumber-sumber daya maupun pelayanan sosial yang

menyebabkan terjadinya kemiskinan mutlak. Adanya ketidakadilan ini juga

berkaitan dengan pola organisasi sosial dan dengan pola pengaturan institusional.

Sedangkan menurut Amartya Sen dalam Syahyuti (2006), “orang menjadi miskin

karena mereka tidak bisa melakukan sesuatu, bukan karena tidak memiliki

sesuatu”. Maka kunci pemberantasan kemiskinan menurutnya adalah “akses”,

yaitu akses ke lembaga pendidikan, kesehatan dan infrastruktur.

Dapat dikatakan bahwa kemiskinan adalah kondisi dimana seseorang

hidup dengan kondisi yang berbeda dengan orang lain dalam hal aset yang

berdampak pada akses mereka terhadap sumber daya yang ada dalam memenuhi

kebutuhan dasar hidupnya. Ketidaksamaan aset dan akses pada sumber daya

tertentu pada tiap kelompok ataupun individu dalam masyarakat menyebabkan

lahirnya ketidakadilan dalam struktur sosial yang akan menghasilkan kesenjangan

dan kecemburuan sosial.

Menurut Syahyuti (2006), kemiskinan dapat diukur secara absolute

ataupun secara relative. Kemiskinan absolute terlihat dari kehidupan di bawah

garis minimum, atau di bawah standar yang diterima secara sosial, dan adanya

kekurangan nutrisi. Sementara kemiskinan relative dilihat dalam perbandingan

dengan segmen masyarakat yang lebih atas. Kemiskinan juga didekati dari sisi

objektif dan subyektif. Sisi objektif merupakan pendekatan tradisional ilmiah

2 Seminar Ilmiah HIPIIS (Himpunan Indonesia untuk Pengembangan Ilmu-Ilmu Sosial) yang berlangsung pada bulan November 1979 di Malang.

Page 24: I09vhs

didasarkan kepada pendekatan kesejahteraan (the welfare approach), sedangkan

sisi subyektif berasal dari penilaian masyarakat setempat

Kemiskinan dapat dilihat pada level individu, keluarga, komunitas,

maupun negara. Kemiskinan pada level individu dipercaya muncul karena

perilaku, pilihan, atau kemampuan dari si miskin itu sendiri dalam hidupnya.

Penyebab kemiskinan dapat terjadi karena faktor keluarga dimana si miskin

hidup, faktor kultural (subcultural causes) yang membentuk pola hidup, serta pola

pembelajaran dan prinsip berbagi dari komunitasnya, faktor luar misalnya karena

peran kebijakan pemerintah atau karena struktur ekonomi yang tidak adil, dan

penyebab struktural dimana kemiskinan merupakan hasil dari struktur sosial yang

tidak adil. Pada sebagian kalangan, yang melihatnya sebagai isu politik,

kemiskinan disebabkan karena kebijakan politik yang salah selanjutnya

melahirkan ketidakadilan sosial, dan lemahnya kesempatan untuk memperoleh

pendudukan (Syahyuti, 2006).

2.1.2 Indikator Kemiskinan: Aset dan Penghasilan

Terdapat perbedaan pandangan dalam melihat kemiskinan yaitu

berdasarkan kepemilikan aset dan tingkat penghasilan. Menurut Sherraden (2006),

aset merujuk pada jumlah kekayaan yang ada dalam keluarga. Sebaliknya,

penghasilan (income) merujuk pada arus sumber daya dalam sebuah keluarga,

sebuah konsep yang diasosiasikan dengan konsumsi terhadap barang dan jasa atau

pelayanan serta terhadap standar hidup. Alasan utamanya adalah bahwa

penghasilan hanya akan mempertahankan budaya konsumtif, sedangkan aset

dapat mengubah cara berpikir masyarakat dan cara mereka berinteraksi dengan

Page 25: I09vhs

dunia. Aset akan membuat orang berpikir untuk tujuan-tujuan jangka panjang dan

mewujudkan tujuan-tujuan tersebut menjadi kenyataan. Dengan kata lain,

penghasilan berfungsi untuk mengisi “kebutuhan perut”, sedangkan aset

“merubah pola pikir masyarakat”. Selain itu, menurut Grobakken (2005),

pengurangan tingkat kemiskinan melalui peningkatan aset dasar dapat membuat

penduduk miskin sadar akan kemampuannya, sehingga dapat memimpin hidup

mereka sendiri lewat peningkatkan rasa pemberdayaan yang lebih baik serta

pemenuhan "kebutuhan dasar".

Berdasarkan Sherraden (2006), aset terdiri dari modal investasi yang pada

gilirannya akan menghasilkan laju pemasukan di masa depan. Aset dibagi menjadi

aset nyata (tangible) dan tidak nyata (intangible).

A. Aset-aset yang Nyata (Tangible Asset)

Aset yang nyata adalah sesuatu yang sah dimiliki termasuk di dalamnya

properti fisik sebagaimana hak milik dan berfungsi sama seperti properti fisik,

meliputi:

1. Tabungan uang yang pemasukannya dalam bentuk bunga.

2. Saham, surat tanggungan, dan semua bentuk jaminan finansial yang

bentuk pemasukannya seperti saham, bunga, dan/atau keuntungan modal

(atau kerugiannya).

3. Properti nyata, seperti bangunan atau tanah, dengan pemasukan dalam

bentuk pembayaran sewa beserta keuntungan (juga kerugiannya).

4. Aset-aset “berat” selain real estate, dengan pemasukan dalam bentuk

keuntungan modal (juga kerugiannya).

Page 26: I09vhs

5. Mesin, alat-alat dan komponen produksi nyata lainnya, dengan bentuk

keuntungan penjualan dari produk yang dihasilkan (juga kerugiannya).

6. Barang keluarga yang kuat dan tahan lama, dengan keuntungan lewat

meningkatnya efisiensi tugas keluarga.

7. Sumber alam, seperti perkebunan, minyak, mineral dan kayu hutan dengan

keuntungan penjualan panen atau komoditas yang diambil (juga

kerugiannya).

8. Hak cipta dan hak paten dengan keuntungannya dalam bentuk royalti dan

biaya penggunaan lainnya.

B. Aset tidak Nyata (Intangible Asset)

Aset yang tidak nyata lebih bersifat tidak pasti, tidak secara legal diatur

dan seringkali diatur secara tidak jelas oleh karakter individu atau hubungan sosial

dan ekonomi.

1. Akses pada kredit (kapital yang dimiliki oleh orang lain) dengan

keuntungan tergantung dari penggunaan kredit tersebut (layaknya dalam

investasi).

2. Modal manusia (human capital), yang secara umum memiliki intelegensia,

latar belakang pendidikan, pengalaman kerja, pengetahuan, keterampilan

dan kesehatan, dan juga energi, visi, harapan dan imaginasi, dengan

bentuk pemasukannya adalah gaji dan kompensasi lainnya setelah

melakukan pekerjaan, layanan, dan ide.

3. Modal budaya (cultural capital), dalam bentuk pengetahuan dari subyek

yang secara kultural signifikan, kemampuan untuk menghadapi situasi

sosial dan birokrasi formal, termasuk kosa kata, aksen, cara berpakaian,

Page 27: I09vhs

penampilan dengan bentuk keuntungan mendapatkan penerimaan dari pola

asosiasi.

4. Modal sosial informal (informal social capital) dalam bentuk keluarga,

teman, koneksi yang kadang disebut dengan “jaringan sosial” dengan

bentuk keuntungan dukungan material, dukungan emosional, informasi

dan akses yang lebih mudah pada pekerjaan, kredit, perumahan dan tipe

aset lainnya.

5. Modal sosial formal, atau modal organisasi yang artinya adalah strukur

atau teknik organisasi formal yang berlaku pada modal nyata,

penanamannya dalam bentuk peningkatan efisiensi keuntungan.

6. Modal politis dengan bentuk partisipasi, kekuatan dan pengaruh dengan

keuntungan peraturan dan keputusan yang menguntungkan serta

diinginkan pada level pemerintahan negara juga lokal.

Menurut Grobakken (2005), tanah merupakan aset yang dapat digunakan

oleh penduduk miskin untuk mendapatkan akses ke aset lainnya. Akses terhadap

tanah dapat memenuhi kebutuhan pangan dan kebutuhan dasar lain yang

diperlukan oleh masyarakat. Selain itu, tanah dapat dijual atau digunakan sebagai

jaminan untuk berinvestasi dalam proyek-proyek yang produktif, bisnis atau usaha

yang dapat membantu petani miskin untuk meningkatkan tingkat ekonominya.

Bila diasumsikan panen yang diproduksi mencapai tingkat produktivitas yang

tinggi, hal ini dapat meningkatkan kemampuan petani untuk menyimpan bibit,

uang atau aset lainnya selain pengeluaran biaya hidup sehari-hari.

Page 28: I09vhs

2.1.3 Penanggulangan Kemiskinan

Menurut Syahyuti (2006), setidaknya ada dua paradigma atau teori besar

(grand theory) mengenai kemiskinan, yaitu: paradigma neo-liberal dan sosial

demokrat. Secara garis besar, para pendukung neo-liberal berargumen bahwa

kemiskinan merupakan persoalan individual yang disebabkan oleh kelemahan-

kelemahan, atau karena pilihan-pilihan individu yang bersangkutan. Negara hanya

turun tangan apabila keluarga, kelompok-kelompok swadaya, atau lembaga-

lembaga keagamaan tidak mampu lagi menangani. Secara langsung, strategi

penanggulangan kemiskinan harus bersifat “residual” atau sementara. Sebaliknya,

menurut kaum sosial demokrat, kemiskinan bukanlah persoalan individual,

melainkan struktural. Kemiskinan disebabkan ketidakadilan dan ketimpangan

dalam masyarakat akibat tersumbatnya akses-akses kelompok tertentu terhadap

berbagai sumber-sumber kemasyarakatan. Pencapaian kebebasan hanya

dimungkinkan jika setiap orang memiliki atau mampu menjangkau sumber-

sumber, seperti pendidikan, kesehatan yang baik dan penghasilan yang cukup.

Negara harus berperan dalam menjamin bahwa setiap orang dapat berpartisipasi

dalam transaksi-transaksi kemasyarakatan yang memungkinkan mereka

menentukan pilihan-pilihannya dan memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Untuk

itu, strategi kemiskinan haruslah bersifat institusional atau melembaga (Syahyuti,

2006).

Dalam UU No.5 tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional

(Propenas), terdapat empat strategi penanggulangan kemiskinan, yaitu:

1. Penciptaan kesempatan (create opportunity) melalui pemulihan ekonomi

makro, pembangunan, dan peningkatan pelayanan umum.

Page 29: I09vhs

2. Pemberdayaan masyarakat (people empowerment) dengan peningkatan

akses kepada sumber daya ekonomi dan politik.

3. Peningkatan kemampuan (increasing capacity) melalui pendidikan dan

perumahan.

4. Perlindungan sosial (social protection) untuk mereka yang menderita cacat

fisik, fakir miskin, keluarga terisolir, terkena PHK, dan korban konflik

sosial.

Pada proses perumusan Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan,

kurangnya akses pertanahan juga diidentifikasi sebagai salah satu permasalahan

yang dihadapi oleh orang miskin. Berbagai hasil kajian yang telah dilakukan,

menunjukkan bahwa bagi orang miskin tanah menjadi aset yang sangat berharga

dan seringkali menjadi satu-satunya sumber penghidupan. Ini terjadi terutama

pada masyarakat yang hidup di daerah pertanian, hutan dan perkebunan (Godril

dalam, Yuwono 2005).

Pilot project PPAN (Program Pembaruan Agraria Nasional) telah berjalan

di tahun anggran 2007, umumnya terdiri dari dua bentuk yakni pendaftran tanah

perorangan atas tanah-tanah yang dahulu pernah ditegaskan sebagai tanah obyek

landreform, dan penyelesain konflik antara petani dengan perkebunan swasta

dengan cara sebagian tanah diredistribusi secara perorangan pada petani dan

sebagian lagi diberikan perpanjangan Hak Guna Usaha (HGU) pada perusahan

perkebunan. Kedua bentuk ini sama sekali tidak dapat dianggap bentuk yang

dapat diandalkan (adequate solution) untuk menghadapi masalah-masalah agraria

(agrarian questions), yang secara fenomenal ditandai oleh kemiskinan dan

keterbelakangan agraria yang kronis, kesenjangan atau ketidakadilan kepemilikan

Page 30: I09vhs

aset yang tajam, pengangguran terbuka dan terselubung yang besar, kerusakan

lingkungan yang mengguncang, kekurangan bahan makanan, konflik agraria yang

meledak-ledak, ketidakmampuan rakyat pedesan memiliki tabungan (domestic

capital) dan mengembangkan teknologi untuk memperbaiki produksi, dan

kondisi-kondisi keberlangsungan hidupnya (Fauzi, 2008).

2.2 Kehidupan Sosial-Ekonomi Masyarakat Perkebunan

Perkebunan sering disebut “pabrik” pertanian karena proses produksi

output komoditas perkebunan melalui perpaduan aneka faktor produksi (input)

(tanah, tenaga kerja, dan modal serta manajemen) laksana sebuah pabrik saja.

Tanah dan tenaga kerja yang murah adalah unsur pokok sistem perkebunan

(Mubyarto, 1992). Hal ini menyebabkan perkebunan berusaha menekan upah

buruhnya seminimal mungkin yang menyebabkan buruh perkebunan hidup dalam

kemiskinan karena upah yang diberikan oleh perkebunan tidak mencukupi untuk

kebutuhan mereka sehari-hari.

Tingkat upah buruh3, yang berlaku secara umum adalah Rp 7.000,00 per

“beduk” untuk tenaga kerja pria dan Rp 6.000,00 untuk tenaga kerja wanita.

Sebedug adalah kerja dari pukul 07.00 sampai dengan pukul 12.00 dengan waktu

istirahat selama satu jam. Kegiatan memanen pucuk teh biasanya dikerjakan oleh

tenaga kerja wanita, karena dipandang hasil kerjanya lebih bersih, lebih rapih dan

telaten. Sistem pengupahannya dengan cara penimbangan hasil petikan yakni

seharga Rp 250,00 per kilogram. Seorang pemetik teh yang terampil bisa

3 Penelitian dilakukan di Perkebunan Ciwangi, yaitu salah satu perkebunan swasta di Cianjur

Page 31: I09vhs

memperoleh upah kerja sekitar Rp 18.000,00 sampai dengan Rp 20.000,00 per

hari (Herlina, 2002).

Selain upah, kemiskinan di perkebunan terkait juga dengan akses yang

berbeda antara buruh dan kelompok manajemen perkebunan. Menurut Mubyarto

(1992), perbedaan antara kelompok manjemen dan buruh tidak hanya terletak

pada kekuasaan dalam pengambilan kekuasaan tetapi juga dalam hal gaji dan

fasilitas lain yang menyangkut kesejahteraan sosial mereka masing-masing.

Perbedaan dalam mengakses fasilitas dan juga gaji menyebabkan masyarakat

miskin di pedesaan tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya seperti masyarakat

lainnya dalam desa tersebut. Kemiskinan di perkebunan ini bersifat struktural,

karena terjadi ketimpangan akses ekonomi, kesehatan dan pelayanan lainnya

antara kelompok buruh dengan kelompok manajemen.

Kemiskinan yang bersifat struktural tersebut memaksa pekerja perkebunan

mencari tambahan penghasilan di luar pekerjaan di perkebunan (Mubyarto, 1992).

Dalam Herlina (2002) yang meneliti di desa perkebunan teh di Desa Sukajembar,

Kabupaten Cianjur, pekerjaan yang banyak ditekuni oleh masyarakat adalah usaha

perkebunan tehPer. Sebagian lagi berusaha tani padi dan holtikultura. Tanaman

holtikultura yang banyak dibudidayakan adalah tomat, sayur putih (sampo),

bakung, cabe dan kacang panjang. Namun pengelolaan usaha tani padat modal ini

tidak dilakukan secara optimal, karena kurangnya pengetahuan teknik bercocok

tanam serta akses terhadap modal yang rendah. Selain usaha tani dan buruh tani,

terdapat beberapa aktivitas perekonomian sebagai sumber penghasilan

masyarakat, di antaranya berdagang kebutuhan sehari-hari, tengkulak hasil

Page 32: I09vhs

pertanian, industri pengolahan teh dan pembuatan gula aren, serta sebagai jasa

angkutan.

Hubungan masing-masing tingkat kepegawaian tersebut dipisah dengan

tegas dan kaku oleh status dan sistem upah. Status dan sistem upah yang ada di

perkebunan menyebabkan timbulnya stratifikasi sosial di daerah perkebunan yang

sesuai dengan jabatannya dalam perkebunan. Menurut Mubyarto (1992)

perbedaan dalam kehidupan sosial ekonomi terjadi pula antara kelompok staf dan

non-staf perkebunan dengan masyarakat sekeliling perkebunan. Rumah-rumah

yang besar dengan fasilitas yang lengkap yang ada dalam perkebunan serta

kehidupan yang serba mewah sangat kontras dengan kehidupan yang sangat pas-

pasan dari masyarakat yang ada di perkebunan. Dalam situasi tersebut tidak dapat

dihindari lagi munculnya rasa kecemburuan sosial di kalangan masyarakat

perkebunan itu sendiri maupun di kalangan masyarakat yang ada di sekitarnya.

2.3 Masalah-Masalah Agraria di Perkebunan

Secara etimologis, istilah ”agraria” berasal dari sebuah kata dalam bahasa

Latin, ”ager”, yang artinya: (a) lapangan; (b) pedusunan (sebagai lawan

perkotaan); (c) wilayah; (d) tanah negara. Kata-kata ”pedusunan”, ”bukit”,

”wilayah” dan lain-lain itu jelas menunjukkan arti yang lebih luas, karena di

dalamnya tercakup segala sesuatu yang terwadahi olehnya (Wiradi, 2000).

Menurut Syahyuti (2006) dari pengertian etimologis ini tampak bahwa

yang dicakup oleh istilah agraria bukanlah sekadar ”tanah” atau ”pertanian” saja.

Kata-kata ”pedusunan”, ”bukit” dan ”wilayah” jelas menunjukkan arti yang lebih

luas karena di dalamnya tercakup segala sesuatu yang terwadahi olehnya. Di

Page 33: I09vhs

”pedusunan” terdapat berbagai macam tumbuhan, air, sungai, mungkin juga

tambang, perumahan, dan masyarakat manusia.

Menurut Syahyuti (2006), istilah agraria tidak seperti yang dibayangkan

oleh kebanyakan orang pada umumnya, yang hanya menyangkut tanah saja,

melainkan mencakup banyak hal, baik fisik maupun non-fisik. Hubungan antara

aspek landreform dan aspek non-landreform, masalah yang dihadapi dan aktivitas

pembaruan agraria yang dapat dilakukan dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Struktur Permasalahan Agraria di Indonesia

Aspek dan Faktor-faktor pembentuknya

Masalah yang dihadapi saat ini

Aktivitas pembaharuan agraria yang relevan

Aspek Landreform Dibentuk oleh faktor tatanan hukum (negara dan ada), tekanan demografis, kondisi ekonomi (mis.lapangan kerja non-pertanian), kelembagaan lokal, dan lain-lain

1. Konflik penguasaan dan pemilikan secara vertikal dan horizontal.

2. Inkosistensi hukum (antara UUPA dan “turunannya”)

3. Ketimpangan penguasaan dan pemilikan

4. Penguasaan yang sempit oleh petani, sehingga tidak ekonomis

5. Ketidaklengkapan dan inkosistensi data

1. Penetapan objek tanah landreform

2. Penetapan petani penerima 3. Penetapan harga tanah dan cara

pembayaran 4. Pendistribusian tanah kepada

penerima 5. Perbaikan penguasaan,

(mis.perbaikan sistem penyakapan)

6. Penertiban tanah guntay (absentee)

Aspek Non-Land reform Dibentuk oleh faktor geografi, topografi, kesuburan tanah, infrastruktur, kondisi ekonomi lokal-global, tekanan demografis, ketersediaan teknologi, ketersediaan kredit, keuntungan usaha pertanian, dan lain-lain.

1. Degradasi tanah akibat pemanfaatan berlebih atau karena ketidaktepatan secara teknis

2. Konflik penggunaan/ pemanfaatan secara vertikal dan horizontal

3. Tanah semakin menjadi komoditas pasar dengan maraknya jual-beli tanah

1. Berbagai bentuk pengelolaan dan penguasaan tanah

2. Pembangunan infrastruktur 3. Peningkatan produkvifitas

tanah 4. Perbaikan sistem pajak tanah 5. Pemberian kredit usaha tani 6. Penyuluhan dan penelitian 7. Penyediaan pasar pertanian 8. Pengembangan keorganisasian

petani

Sumber: Syahyuti (2006)

Page 34: I09vhs

Aspek fisik dapat berupa tanah, baik yang digunakan sebagai perumahan,

perkebunan, pertanian, daerah hutan ataupun pertambangan. Aspek non-fisik

terdiri dari hubungan-hubungan yang terkait dengan tanah tersebut, baik hukum

yang berlaku atas kepemilikan tanah tersebut, struktur agraria yang

mempengaruhi akses setiap subyeknya terhadap sumber-sumber agraria dan

berpengaruh besar terhadap keadilan dan tingkat kesejahteraan masing-masing

subyek agraria, maupun politik yang mempengaruhi pasar dari hasil tanah tersebut

(bidang pertanian).

2.3.1 Ketimpangan Penguasaan dan Pemilikan

Pada masyarakat di desa perkebunan, pemilikan atau penguasaan lahan

sangat penting sebagai pembuka peluang untuk meningkatkan produksi dan

memaksimalkan keuntungan. Petani di sini berperan sebagai manajer yang dalam

dirinya lekat kekayaan lahan sebagai merupakan sumberdaya ekonomi sekaligus

lambang status sosial di pedesaan. Ada perasaan bangga yang mengikat kuat dan

memotivasi untuk berusaha (Herlina, 2002).

Selain itu, penguasaan dan pemilikan pada masyarakat perkebunan

menjadi penting dikarenakan buruh perkebunan membutuhkan tanah untuk diolah

sebagai tambahan penghasilan dari upah rendah yang mereka dapatkan dari

perkebunan. Berdasarkan kajian Wijarnako (2005) upah rata-rata buruh petik pada

perkebunan teh yaitu Rp 100.000,00 sampai dengan Rp 250.000,00 per bulan.

Ketimpangan penguasaan dan pemilikan yang terjadi di desa perkebunan

yang melahirkan sengketa agraria, menurut Wijarnako (2005), bersumber dari

dominasi sistem pengelolaan tanah dan kekayaan alam termasuk perkebunan,

Page 35: I09vhs

yang datang atau berasal dari negara, yang secara sepihak memberikan porsi

kesempatan begitu besar pada pemilik-pemilik modal dalam mengelola sumber

agraria. Isu kesenjangan ekonomi antara pihak perkebunan dengan desa

perkebunan sekitarnya merupakan akibat dari tindakan eksploitasi terhadap

sumber daya dan memanfaatkannya secara sepihak demi peningkatan produksi.

Pemilik modal dalam perkebunan yang menekankan pada keuntungan

semata membuat posisi masyarakat di desa perkebunan terdominasi. Pemberian

harga sewa tanah yang mahal membuat masyarakat di desa perkebunan yang

memiliki akses kepada penguasaan dan pemilikan tanah di desa perkebunan

adalah masyarakat yang memiliki posisi dalam perkebunan, karena mereka

memiliki modal yang berasal dari upah dari perkebunan untuk membayar sewa

dan memenuhi kebutuhan dengan mengolah tanah tersebut. Sementara itu buruh

perkebunan yang membutuhkan tanah untuk tambahan penghasilan tidak dapat

menikmati akses dari tanah karena keterbatasan modal. Buruh hanya menjadi

petani yang tidak memiliki tanah, sedangkan akumulasi pemilikan dan

penguasaan tanah hanya terletak pada masyarakat yang memiliki modal

(Wijarnako, 2005).

2.3.2 Penguasaan yang Sempit oleh Petani

Sempitnya penguasaan oleh petani di desa perkebunan dikarenakan

sebagian besar wilayah pertanian yang digunakan merupakan Hak Guna Usaha

yang dikuasai perkebunan. Berdasarkan studi Alfiasari (2004), lahan yang

digunakan oleh masyarakat desa perkebunan untuk budidaya pertanian adalah

lahan-lahan yang tidak digunakan oleh perkebunan. Lahan-lahan yang tidak

Page 36: I09vhs

digunakan ini merupakan lahan-lahan di lereng-lereng gunung yang tidak

digunakan karena kemiringannya tidak cocok untuk tanaman teh. Pada lahan

pertanian masyarakat, tanaman yang biasanya ditanami antara lain, padi, pisang,

singkong, cabe, tomat, kacang panjang, dan bawang daun. Hasil sawah dan ladang

biasanya mereka pergunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Untuk dikomersialkan banyak hambatannya, baik dari kuantitas produksi yang

sedikit serta sarana transportasi yang masih sulit.

Menurut Mubyarto (1992), konsekuensi dari fenomena ini terlihat pada

rendahnya tingkat produktivitas maupun kualitas dari hasil produksi perkebunan

rakyat. Hal ini merupakan implikasi dari kesulitan petani dalam menerapkan

kultur teknis yang benar, yang memerlukan pengetahuan dan ketrampilan tinggi

serta dukungan modal yang besar.

2.3.3 Kerusakan Lingkungan

Menurut Godril dalam Yuwono (2005), persoalan sumber daya alam juga

dihadapi oleh masyarakat miskin dan berpengaruh terhadap kualitas kehidupan

mereka: yaitu persoalan air, terjadinya degradasi lingkungan di daerah pesisir

pantai yang merusak terumbu karang, terjadinya polusi, tingginya biaya saprodi,

banyaknya hama, jauhnya pasar atau buruknya akses ke pasar, terjadinya banjir

dan longsor, sulitnya bagi masyarakat miskin untuk meminjam modal di lembaga

keuangan karena adanya persyaratan dimana harus memiliki agunan (yang tidak

bisa dipenuhi petani dan nelayan miskin) yang prosedurnya berbelit-belit,

mekanisasi pertanian berdampak terhadap hilangnya ruang pekerjaan bagi petani

miskin, juga program peningkatan keterampilan kebanyakan ditujukan kepada

Page 37: I09vhs

masyarakat desa secara umum dan tidak spesifik pada merek yang miskin

akibatnya.

Terdesak oleh keadaan, lapisan bawah terpaksa melakukan pekerjaan apa

saja yang dapat memperpanjang hidupnya, termasuk menebang pohon di hutan

lindung atau menambang di bawah bumu maupun di bawah permukaan laut.

Akibatnya, tanah menjadi tandus atau kemudian terjadi tanah longsor, banjir,

pendangkalan sungai, hancurnya terumbu karang, dan perusakan lingkungan

lainnya (Tjondronegoro, 2008a).

Masalah-masalah agraria dapat diselesaikan dengan reforma agraria. Akan

tetapi pendekatan dan cara penyelesaian untuk masing-masing permasalahan

tidaklah sama, dan tidak semua hal yang tercakup dalam reforma agraria harus

dilaksanakan untuk mengatasi permasalahan agraria di tiap daerah. Landreform

yang merupakan bagian dari agraria reform dapat dilakukan di daerah yang

mempunyai permasalahan kemiskinan yang terkait dengan banyaknya jumlah

petani gurem yang tidak mempunyai lahan, sedangkan open access agraria untuk

mengatasi ketidakadilan dalam penguasaan sumber-sumber agraria, dan gabungan

dari keduanya dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan-permasalahan

agraria.

2.4 Reforma Agraria

2.4.1 Konsep Reforma Agraria

Reforma sgraria hakekat maknanya adalah penataan kembali (atau

pembaruan) struktur pemilikan, penguasaan dan penggunaan tanah/wilayah, demi

kepentingan petani kecil, penyakap dan buruh tani tak bertanah. Dalam pasal 2

Page 38: I09vhs

Tap MPR IX/2001, Pembaharuan Agraria didefinisikan sebagai ”suatu proses

yang berkesinambungan berkenaan dengan penataan kembali penguasaan,

pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan sumber daya agraria...” (Wiradi, 2000).

Ben Cousin (2007) dalam Noer Fauzi (2008) membuat enam golongan

land reform berdasarkan pada landasan teoritik yang mendasarinya:

1. Pendekatan neo-liberal terobsesi pada efisiensi produksi, sehingga

mengagendakan kebijakan-kebijakan yang mempromosikan penggunaan

optimal dari tanah, tenaga kerja dan modal tanah, dimana “kekuatan pasar”

adalah sandaran pokok untuk pembentuk kekayaan dan kesejahteraan.

2. Pendekatan neo-populis yang mengasumsikan bahwa bentuk dan skala

produksi merupakan pokok terpenting dalam berbagai kebijakan dan

program. Umumnya mereka percaya adanya hubungan berkebalikan

(inverse relationship) antara skala dan efisiensi. Usaha ekonomi skala

kecil lebih produktif dan efisien dari pada usaha ekonomi skala besar.

3. Pendekatan sustainable livelihood mengutamakan beragam sumber

penghasilan orang miskin (the multiple livelihood sources of poor people),

dan menghindari pemahaman yang sempit hanya pada aktivitas pertanian

saja atau pada lokasi pedesaan saja.

4. Pendekatan welfarist menjadikan ketersediaan makanan di unit rumah

tangga (household food security) dan pengurangan ancaman-ancaman

terhadap ketersediaan makanan ini sebagai maksud utama dari program

land reform.

5. Pendekatan radical populist mengedepankan keharusan perubahan struktur

agraria baik di wilayah, nasional maupun internasional, baik berupa

Page 39: I09vhs

redistribusi sumber daya maupun badan usaha, yang diukur dengan

kepemilikan tanah dan kekayaan lain maupun penghasilan kelompok

miskin yang dipersatukan dalam berbagai pengelompokan yang dibagi

berdasar gender, etnik maupun kedudukan sosial atau geografi lainnya.

6. Pendekatan marxist yang mengevaluasi praktek land reform dengan

memperluas konsep efisiensi produksi, keberlanjutan hidup atau

kesejahteraan keluarga petani, atau perubahan struktur agraria ke dalam

fokus perubahan bentuk-bentuk eksploitasi kelas maupun gender yang

mendasari bentuk-bentuk organisasi produksi, distribusi hingga akumulasi

kekayaan

Menurut Tjondronegoro (2008), syarat sektor industri sebagai sektor

penting dalam proses pembangunan dan modernisasi yang harus memajukan

pertanian yaitu:

1. Realokasi sumber daya di sektor pertanian yang bukan saja merangsang

produksi tetapi merubah struktur masyarakat pedesaan dari yang feodal

atau setengah feodal ke struktur yang lebih demokratis, artinya juga

lembaga-lembaga yang menghambat emansipasi petani kecil disisihkan

dan diganti dengan orang lain.

2. Realokasi sumber daya tadi sekaligus juga mengurangi jumlah tenaga

kerja di sekitar pertanian yang menganggur atau tidak dimanfaatkan

(underutilized). Setelah sumber daya tanah sebagai faktor produksi diatas

lebih efisien dan berimbang dengan tenaga kerja, kelebihannya disalurkan

ke industri pengolah pertanian, pembangunan prasarana dan lain-lain

usaha pembangunan yang bersifat padat karya.

Page 40: I09vhs

3. Kelebihan dari peningkatan produksi pertanian yang merupakan

“tabungan” dapat ditanam sebagai modal dalam sektor industri. Dalam

rangka ini memang produksi pangan bukan saja mencukupi tetapi

melampaui kebutuhan penduduk. Surplus lain di sektor pertanian yang

menghasilkan devisa dapat mempercepat proses industrialisasi.

4. Perusahaan, pemerintah dan wiraswasta sudah mampu dikelola oleh

pengusaha-pengusaha di dalam negeri secara efisien. Tidak perlu

diperjelas lebih lanjut bahwa gejala-gejala birokrasi yang menghambat

korupsi dan sebagainya pada tahap ini sudah dapat diatasi dengan cukup

baik dan tidak lagi menjerat jalannya perusahaan.

2.4.2 Reforma Akses Agraria

Menurut Syahyuti (2006), reforma agraria terdiri dari dua pokok

permasalahan yaitu ”penguasaan dan pemilikan” di satu sisi, dan ”penggunaan

dan pemanfaatan” di sisi lainnya. Landreform adalah penataan ulang struktur

penguasaan dan pemilikan tanah. Sementara, komponen ”non-landreform” adalah

bentuk-bentuk dan cara mengolah tanah (dalam pengertian ”soil”), yaitu dengan

menerapkan teknologi baru, perbaikan infrasturuktur, bantuan kredit, dukungan

penyuluhan pertanian, pengembangan pasar komoditas pertanian, dan lain-lain.

Sedangkan menurut Fauzi (2008), reforma agraria adalah politik redistribusi asset

produktif bagi kaum miskin di pedesaan, yang pada gilirannya, setelah diberikan

suatu asistensi modal, pendidikan dan teknologi, maka akan sampai juga pada

pembentukan modal didalam pedesaan. Selain itu, menurut Tjondronegoro

(2008), konsolidasi tanah karena itu bukan semata-mata perubahan fisik tata

Page 41: I09vhs

ruang, tetapi sebenarnya juga memerlukan pengaturan kembali peran sosio-

ekonomi penghuni golongan lemah.

Sehingga dapat dikatakan landreform dan reforma agraria adalah dua hal

yang berbeda. Akan tetapi orang sering salah mengartikan dengan menyatakan

landreform adalah reforma agraria, padahal landreform hanya sebagian kecil dari

reforma agraria, karena reforma agraria adalah landreform ditambah dengan hal-

hal lain yang membuat redistribusi tanah tersebut menjadi hal yang lebih

bermanfaat dibandingkan hanya sebagai bagi-bagi tanah saja. Landreform tanpa

akses reform akan membuat petani yang telah mendapatkan tanah tetap menjadi

miskin karena ketidakberdayaaan mereka dalam mengolah dan memanfaatkan

lahan tersebut, bahkan petani mungkin akan menjual kembali lahan tersebut.

Sehingga yang dibicarakan dalam reforma agraria tidak hanya penggunaan dan

pemanfaatannya saja tanpa membahas hal yang paling dibutuhkan oleh

masyarakat (Syahyuti, 2006).

Menurut Wiradi (2006), pengalaman sejarah memberi pelajaran bahwa

suatu pembaruan agraria yang hanya berhenti pada masalah redistribusi tanah

ternyata justru menyebabkan produksi menurun untuk beberapa tahun. Hal ini

disebabkan karena infrastruktur yang menunjang pembaruan itu semula belum

dipikirkan sejak awal. Karena itu kemudian disadari bahwa program-program

penunjang itu harus menjadi satu paket dengan program pembaruan secara

keseluruhan, termasuk ke dalamnya program-program pasca redistribusi (antara

lain: perkreditan, penyuluhan, pendidikan, dan latihan, teknologi, pemasaran, dan

lain-lain).

Page 42: I09vhs

Faktor-faktor yang sering hilang dalam reforma agraria adalah

infrastruktur, akses terhadap air, akses terhadap pasar, dan bantuan teknis

ekstensif untuk pemilik tanah. Hal ini adalah faktor yang sama pentingnya dengan

memberi tanah kepada masyarakat dan jika tidak dilakukan akan membuat

masyarakat menjual kembali tanahnya dan kembali tidak mempunyai tanah

(Grobakken, 2005). Menurut Tjondronegoro (2008) redistribusi harus dibarengi

dengan tindakan-tindakan penunjang seperti mengembangkan sistem kredit untuk

petani kecil, penyatuan usaha ke dalam koperasi, perlindungan terhadap petani

dengan hukum, tetapi juga dengan subsidi bila perlu dan lain-lain usaha, bahkan

termasuk mendirikan organisasi petani-petani kecil agar usaha pemerintah dapat

didukung dengan kekuatan sosial politik dari golongan yang berkepentingan

(interest group).

2.4.3 Dampak Reforma Agraria

Menurut Wiradi (2006)4, dampak positif dari reforma agraria secara umum

adalah:

1. Aspek hukum: akan tercipta kepastian hukum mengenai hak-hak rakyat

terutama kaum tani,

2. Aspek sosial: akan tercipta suatu struktur sosial yang dirasakan lebih adil,

3. Aspek psikologis: kedua hal tersebut pada gilirannya akan menimbulkan

socialeuphoria dan familly security sehingga para petani termotivasi untuk

mengelola usahataninya dengan lebih baik,

4 Http://rumahkiri.net/index.php. Gunawan Wiradi. Dampak Land Reform Terhadap Perekonomian Negara. 2002. Di unduh pada tanggal 22 Maret 2008.

Page 43: I09vhs

4. Aspek politik: semua itu akhirnya dapat meredam keresahan sehingga

gejolak kekerasan dapat terhindari. Terciptalah stabilitas yang genuine,

bukan stabilitas semu akibat represi (seperti masa Orde Baru).

5. Semuanya itu akhirnya bermuara kepada ketahanan ekonomi.

Sedangkan dampaknya terhadap perekonomian masyarakat/nasional5:

1. Dalam beberapa kasus, memang untuk beberapa tahun produksi pertanian

menurun (misalnya, di Taiwan), namun sesudah itu meningkat pesat.

Sejumlah besar rakyat desa yang semula tunakisma atau buruh tani lalu

menjadi petani pemilik penggarap, mula-mula canggung. Namun dalam

jangka panjang mereka malahan berkembang menjadi pengelola usahatani

yang rasional dan bertanggung jawab (justru karena bangga atas terjadinya

perubahan status).

2. Anak-anak dari para petani pemilik tanah luas (yang kemudian tanahnya

dipotong oleh “land reform”) terpaksa tidak lagi bisa menikmati kekayaan

orang tuanya yang berasal dari tanah luas itu, dan tidak lagi bisa

meneruskan profesi orang tuanya. Namun mereka justru beralih ke profesi

lain (melalui pendidikan tinggi, yang biayanya dimungkinkan oleh sisa-

sisa kekayaan orang tuanya), dan menjadi tenaga-tenaga ahli yang

kompeten. Dalam jangka panjang, hal ini sangat menyumbang bagi

perkembangan perekonomian negaranya. (Contoh: Meksiko, Mesir, dan

negara-negara di sektiar Timur Tengah).

5 Mosher, A.T., 1976. Thinking About Rural Development. New York: Agricultural Development Council, Inc.

Page 44: I09vhs

3. Pemilik/Penguasa tanah luas yang sebagian tanahnya terpangkas oleh

‘land reform’ itu kemudian mengalihkan investasinya ke luar desa, yang

pada gilirannya menopang proses industrialisasi.

2.5 Kerangka Pemikiran

Permasalahan kemiskinan di pedesaan dibagi menjadi dua yaitu masalah

agraria dan non-agraria. Masalah agraria meliputi masalah pertanian yang terdapat

di desa tersebut, sedangkan masalah non-agraria meliputi masalah

ketenagakerjaan, pendidikan, kesehatan, kependudukan, komunikasi dan peranan

wanita. Masalah agraria paling ditonjolkan pada penelitian ini, dikarenakan dalam

konteks pembangunan pedesaan, masalah agraria merupakan bagian paling

penting untuk masyarakat pedesaan yang sebagian besar penduduknya

menopangkan hidup pada sektor pertanian.

Berdasarkan Syahyuti (2006) ada empat permasalahan agraria di Indonesia

secara umum, yaitu ketidakkonsistenan hukum dan perundang-undangan6, serta

degradasi sumber daya alam7. Khusus untuk pertanian, permasalahan agraria yang

dihadapi adalah penguasaan yang sempit dan cenderung semakin kecil, konflik

penguasaan, lahan kritis dan marjinal tingginya alih fungsi lahan pertanian ke

nonpertanian, sulitnya mewujudkan konsolidasi usahatani, dan semakin besarnya

ketimpangan penguasaan lahan antar petani.

6 Salah satu konflik yang ramai adalah konflik penguasaan antara petani dengan pihak swasta. Keterlibatan swasta besar dimulai dari lahirnya Undang-Undang Agraria 1870 (Agrarische Wet) yang mengundang pihak swasta kolonial menanamkan modalnya terutama dalam bidang perkebunan. 7 Permasalahan ini tercantum dalam Tap MPR Bo.IX/2001 tentang pembaruan agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.

Page 45: I09vhs

Reforma agraria adalah salah satu program penanggulangan kemiskinan

yang dilakukan oleh pemerintah. Reforma agraria terbagi menjadi dua titik berat,

yaitu aspek landreform dan aspek non-landreform atau yang disebut juga reforma

akses agraria. Kedua aspek ini dilakukan sesuai dengan urgensi masing-masing.

Pada desa perkebunan, aspek yang harus dilakukan pertama kali adalah aspek

non-landreform. Dengan peningkatan akses masyarakat terhadap pengolahan

tanah mereka sendiri, diharapkan masyarakat dapat semakin mengembangkan

dirinya sendiri, meningkatkan produktifitas dari lahannya dan yang terpenting

adalah masyarakat dapat mengetahui permasalahan agraria yang mereka hadapi

dan cara mengatasinya. Sehingga bila aspek landreform dilakukan, masyarakat

sudah siap, dan tidak menjual kembali tanah yang mereka dapatkan, ataupun

membiarkan lahan tersebut dikelola oleh orang lain karena ketudaktahuan mereka

dalam menggunakan lahan tersebut. Kerangka pemikiran penelitian ini dapat

dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Kerangka Pemikiran

Masalah Agraria

Ø Kontur wilayah perkebunan dan keseburan tanah

Ø Hubungan petani dengan perkebunan dan TNGH

Ø Penguasaan yang sempit oleh petani

Ø Kerusakan lingkungan Ø Sulitnya askes transportasi Ø Tidak adanya penyuluhan Ø Tidak adanya penyaluran

kerdit Ø Tidak adanya koperasi

Kemiskinan di Desa Perkebunan

Reforma Akses Agraria

Ø Pembangunan Infrastruktur Ø Peningkatan produktifitas

tanah Ø Pemberian kredit usaha tani Ø Penyuluhan dan

Page 46: I09vhs

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif yang digunakan

untuk memetakan dan menganalisis kontruksi kemiskinan di Kampung Padajaya

dan Kampung Padajembar. Pendekatan kualitatif ini digunakan untuk

mengembangkan pemahaman yang rinci tentang pemaknaan mengenai

kemiskinan, indikator kesejahteraan dan tangga kehidupan dari masyarakat

Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar. Analisis penyebab dari

kemiskinan di dua kampung ini dipersempit kepada permasalahan agraria yang

masyarakat hadapi saja. Melalui permasalahan agraria yang dihadapi oleh

masyarakat, didapat upaya menanggulangi kemiskinan yang terdapat baik di

Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar, salah satunya yaitu penyusunan

usulan aktivitas reforma akses agraria yang relevan untuk diterapkan di Kampung

Padajaya dan Kampung Padajembar.

Metode kualitatif juga digunakan untuk mengidentifikasi sejauh mana

masalah agraria memberikan kontribusi terhadap kemiskinan di Kampung

Padajaya dan Kampung Padajembar. Dengan mengetahui akar kemiskinan dan

masalah-masalah lain yang dihadapi oleh masyarakat, peneliti dapat menggali

peluang sejauh mana peran masalah agraria menciptakan kemiskinan di dua

kampung di Dusun Cigarehong ini. Dengan metode ini pula, akan diketahui

aktivitas reforma akses agraria yang perlu dilakukan dan sesuai dengan kondisi

masyarakat di Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar.

Page 47: I09vhs

Strategi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus.

Studi kasus merupakan salah satu strategi dalam penelitian kualitatif yang

mempunyai pengertian memilih lebih dari satu kejadian atau gejala sosial untuk

diteliti dengan menerapkan serumpun metode penelitian (Sitorus, 1998). Studi

kasus pada penelitian ini yaitu kasus kemiskinan di Kampung Padajaya dan

Kampung Padajembar. Pemilihan kasus ini dikarenakan peneliti ingin memahami

lebih dalam mengenai kemiskinan yang ditelaah melalui jumlah penghasilan,

pemilikan tanah maupun barang lainnya yang dimiliki oleh warga. Dengan

memahami kemiskinan dan penyebabnya, dapat diketahui hal-hal apa saja yang

perlu dilakukan untuk menanggulangi kemiskinan tersebut.

Tipe penelitian ini bersifat eksplanatif, dimana diharapkan penelitian ini

memberi gambaran mengenai kemiskinan dari sudut pandang tineliti dan

menjelaskan masalah-masalah agraria yang menyebabkan kemiskinan sehingga

dapat disusun usulan aktivitas reforma akses agraria apa saja yang dapat

dilaksanakan di dusun tersebut. Penelitian ini dilakukan melalui interaksi

langsung antara peneliti dengan tineliti, karena peneliti ingin mengetahui dan

memahami pandangan tineliti mengenai kemiskinan, masalah-masalah agraria

yang menyebabkan kemiskinan, dan kebutuhan-kebutuhan mereka untuk bisa

keluar dari kemiskinan.

3.2 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan di Kampung Padajaya dan Kampung

Padajembar yang termasuk kedalam Dusun Cigarehong, Desa Purwabakti,

Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan

Page 48: I09vhs

secara sengaja (purposif). Sebelum menentukan lokasi penelitian, peneliti telah

melakukan observasi melalui penelusuran kepustakaan hasil penelitian dari

peneliti lain, serta narasumber yang memberikan informasi mengenai kemiskinan

dan masalah agraria yang terdapat di Dusun Cigarehong pada umumnya. Pustaka

hasil penelitian dari peneliti lain yaitu tesis dari Alfiasari yang berjudul “Analisis

Modal Sosial pada Kelompok Usaha Berbasis Komunitas” yang studi kasusnya

adalah Kebun Cianten. Setelah dilakukan observasi awal, akhirnya peneliti

memililih Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar sebagai tempat

penelitian.

Peneliti memilih Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar

dikarenakan keunikan dari kedua kampung tersebut, yang masih termasuk ke

dalam daerah Kebun Cianten, akan tetapi memiliki karakteristik yang berbeda dari

kampung lainnya. Pada Kampung Padajaya (RT 01 dan RT 02), sebagian besar

masyarakatnya tidak bertumpu pada perkebunan, sedangkan pada Kampung

Padajembar (RT 03 dan RT 04), sebaliknya sebagian besar penduduknya

bertumpu pada perkebunan.

Letak dari Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar juga berbeda.

Kampung Padajaya yang bersejajar dengan jalan utama yang menghubungkan

dengan jalan alternatif menuju Sukabumi, menyebabkan masyarakatnya banyak

bertumpu pada perdagangan dan sedikit yang mempunyai sawah. Letak dari

Kampung Padajembar yang mengumpul dan masuk ke dalam daerah perkebunan,

menyebabkan kampung ini jauh dari akses jalan, sehingga sebagian besar

masyarakat yang bekerja di perkebunan mempunyai sampingan sebagai petani

dan sebagian besar memiliki sawah.

Page 49: I09vhs

Penduduk Dusun Cigarehong umumnya tidak mempunyai kepemilikan

resmi atas tanah, begitu pula penduduk di Kampung Padajaya dan Kampung

Padajembar. Karena tanah di wilayah tersebut merupakan Hak Guna Usaha

(HGU) milik perkebunan teh PTPN VIII Kebun Cianten, atau sebagian wilayah di

bawah penguasaan Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH). TNGH sendiri

mengelilingi wilayah Kebun Cianten. Tanah kosong yang tidak digunakan oleh

perkebunan digunakan oleh masyarakat untuk bersawah atau berladang,

sedangkan bagian lahan dari perkebunan teh yang kosong dimanfaatkan untuk

kandang ternak kambing. Hutan dari TNGH yang berdekatan dengan sungai

Cianten, digunakan warga sebagian areal persawahan mereka. Hutan tersebut

dibuka dan dijadikan persawahan.

Tanah di Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar adalah milik

perkebunan dan milik TNGH, maka semua aktivitas yang menyangkut

pemanfaatan lahan baik untuk prasarana umum, tempat tinggal maupun untuk

pertanian, perikanan dan peternakan harus mendapat persetujuan dari PTPN VIII

Kebun Cianten maupun TNGH. Kondisi keterbatasan lahan mengakibatkan

kepemilikan lahan di kampung ini ditinjau dari luas tanah yang dimiliki masih

relatif merupakan lahan sempit. Selain itu pemanfaatan lahan pertanian di Dusun

Cigarehong biasanya tidak diusahakan untuk orientasi komersial namun untuk

kebutuhan sehari-hari (subsisten).

Proses penelitian berlangsung mulai bulan Mei sampai dengan bulan

September 2009. Penyusunan proposal penelitian dilaksanakan pada bulan Mei,

sedangkan kolokium dilaksanakan pada bulan Juni. Studi lapang atau

pengambilan data di lapang dilaksanakan pada bulan Juli. Proses penulisan

Page 50: I09vhs

laporan hasil penelitian dilaksanakan pada bulan Juli dan pada bulan Agustus

adalah pelaksanaan ujian skripsi. Rincian waktu penelitian dapat dilihat pada

Gambar 2.

Proses pengambilan data di lapangan sendiri sudah dimulai sejak observasi

awal yang berlangsung selama dua hari pada bulan Mei. Peneliti mendatangi

Kampung Padajaya, Kampung Cigarehong, Kampung Padajembar, dan Kampung

Legog Makam, penulis kemudian tinggal dirumah salah satu warga. Pada awal

bulan Juni, peneliti sudah mengambil data sekunder perkebunan dan data sekuder

Desa Purwabakti. Pengambilan data ini sekaligus peneliti lakukan sebagai bagian

dari pendamping mahasiswa angkatan 43 dan angkatan 44 yang melakukan

kegiatan turun lapang bersama. Setelah mengantar kepulangan mahasiswa

dampingan, penulis kembali ke lapang dan mewawancarai Hasanudin dan Odang

sebagai perwakilan dari perkebunan, dan Mahrop sebagai Kepala Desa

Purwabakti.

Tanggal 23 Juni 2009 penulis melakukan kolokium untuk mendapatkan

masukan dan perbaikan dari proposal penelitian yang penulis buat. Tanggal 25

Juni 2009-13 Juli 2009 penulis tinggal bersama warga masyarakat, mewawancarai

dan ikut serta dalam kegiatan masyarakat.

Page 51: I09vhs
Page 52: I09vhs

No Kegiatan Mei Juni Juli Agustus September

1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 I Proposal dan Kolokium

1. Penyusunan Darft Proposal

2. Konsultasi Proposal dan Revisi

3. Observasi Lapangan

4. Kolokium II Studi Lapangan

1. Pengumpulan Data

2. Analisis Data III Penulisan Laporan

1. Analisis Lanjutan

2. Penyusunan Draft Skripsi

3. Konsultasi dan Revisi Draft

4. Penyelesaian Skripsi IV Ujian Skripsi

1. Sidang Skripsi

2. Perbaikan Pasca Sidang

3. Skripsi Selesai Catatan : Penelitian dilakukan pada tahun 2009 Gambar 2. Waktu Penelitian

Page 53: I09vhs

3.3 Pemilihan Tineliti dan Informan

Peneliti membutuhkan bantuan dari tineliti dan informan dalam

memberikan data dan informasi. Informan merupakan pihak yang memberikan

keterangan tentang pihak lain dan lingkungannya, sedangkan tineliti merupakan

pihak yang memberi keterangan tentang diri dan kegiatan yang dilaksanakan.

Tineliti dipilih secara purposif (sengaja) berdasarkan pada kebutuhan data untuk

menjawab permasalahan penelitian.

Informan awal penelitian ini adalah Kepala Desa Purwabakti yaitu Mahrop

yang memberikan data sekunder mengenai keadaan desa. Sedangkan informan

mengenai perkebunan diambil dari Bagian Umum PTPN VIII Kebun Cianten

yaitu Hasanudin dan informan mengenai perkebunan, pekerja, dan keadaan

lingkungan dari sektor delapan (daerah Dusun Cigarehong) ialah mandor besar

sektor delapan, Odang.

Tineliti dalam penelitian ini dipilih oleh peneliti berdasarkan pengamatan

peneliti di lapangan, maupun dari rujukan warga masyarakat dari dua kampung

tersebut. Tangga kehidupan (Ladder of Life) beserta indikator kemiskinan lokal

dibuat peneliti bersama dengan masyarakat di rumah warga. Diskusi ini dihadiri

oleh sembilan orang masyarakat yang terdiri dari ketua RT, tokoh intelektual dan

tokoh tetua di Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar. Masyarakat yang

hadir pada diskusi ini adalah: Ketua RT 01 Anas (47 tahun), Ketua RT 02 Atma

(47 tahun), Ketua RT 03 Torik (51 Tahun), Ketua RT 04 Odih (39 tahun), tokoh

tetua Saleh (58 tahun), tokoh tetua Aep (47 tahun), tokoh tetua Kamim (58 tahun),

tokoh intelektual Ajat (33 tahun) dan tokoh intelektual Asep (33 tahun).

Page 54: I09vhs

Penentuaan warga masyarakat yang masuk kedalam tangga kehidupan

dilakukan melalui diskusi peneliti dengan ketua RT 01 dan dua orang perwakilan

dari masyarakat untuk menempatkan masyarakat dari Kampung Padajaya pada

masing-masing tangga kehidupan yang telah mempunyai indikator kesejahteraan

masing-masing, dan menanyakan posisi warga tersebut pada 10 tahun

sebelumnya. Begitupula dengan Kampung Padajembar, penelilti melakukan

diskusi dengan ketua RT 04 dan dua orang perwakilan dari masyarakat untuk

menempatkan masyarakat dari Kampung Padajembar pada masing-masing tangga

kehidupan yang telah memiliki indikator kesejahteraan masing-masing, dan

menanyakan posisi warga tersebut pada 10 tahun sebelumnya.

Melalui tangga kehidupan ini, diketahui tingkat kesejahteraan masyarakat

saat ini dan keadaanya pada 10 tahun yang lalu, sehingga diketahui kelompok

masyarakat yang tetap miskin sejak dari 10 tahun yang lalu, masyarakat yang

jatuh miskin, masyarakat yang menjadi kaya dan masyarakat yang tetap kaya

sejak 10 tahun yang lalu. Lewat hasil ini, diambil satu rumah tangga yang masuk

ke dalam masing-masing kategori, yaitu rumah tangga Apul yang masuk ke dalam

kategori tetap miskin sejak 10 tahun yang lalu, rumah tangga Tatang yang masuk

ke dalam kategori jatuh miskin, rumah tangga Emis yang menjadi kaya

dibandingkan 10 tahun yang lalu, dan rumah tangga Uci yang tetap kaya sejak 10

tahun yang lalu.

Keempat orang rumah tangga ini dipilih, selain karena mereka masuk ke

dalam kategori tersebut, juga karena masing-masing memiliki hubungan dengan

bidang pertanian. Peneliti ingin mengetahui hubungan antara kepemilikan

terhadap lahan pertanian maupun pekerjaan yang terkait dengan pertanian, dengan

Page 55: I09vhs

status kesejaheraan mereka masing-masing. Wawancara mendalam dan

pengamatan berperan-serta dilakukan pada empat rumah tangga ini yaitu yang

menyangkut masalah agraria yang dihadapinya, hubungan mereka dengan pihak

perkebunan dan TNGH, pandangannya terhadap perkebunan maupun TNGH, dan

harapan-harapannya terkait dengan reforma akses agraria.

3.4 Metode Pengumpulan Data

Peneliti menggunakan beberapa metode pengumpulan data untuk

memperoleh informasi dan pemahaman mengenai kemiskinan serta struktur

penguasaan dan pemilikan tanah di Dusun Cigarehong. Pendekatan pengumpulan

data yang digunakan adalah triangulasi. Menurut Denzim (1970) dalam Sitorus

(1998), triangulasi adalah kombinasi sumber data, tenaga peneliti, teori dan

metodologi dalam suatu penelitian tentang suatu gejala sosial. Pada penelitian ini,

peneliti menggunakan triangulasi metodologi. Triangulasi metodologi yaitu

penggunaan sejumlah metode dalam suatu penelitian (Denzim 1970, dalam

Sitorus, 1998). Triangulasi diperlukan karena setiap metode memiliki kelemahan

dan keunggulannya sendiri. Dengan memadukan tiga metode, yaitu pengamatan

berperanserta, wawancara mendalam, dan analisis dokumen, maka satu dan lain

metode akan saling menutup kelemahan sehingga tanggapan atas realitas sosial

menjadi lebih valid.

Metode pengumpulan data ini digunakan untuk memperoleh data

kualitatif. Menurut Patton (1990) dalam Sitorus (1998) data kualitatif dapat

dipilah kedalam tiga kategori yaitu hasil pengamatan, hasil pembicaraan, dan

bahan tertulis. Penelitian ini akan mengumpulkan data baik data sekunder maupun

Page 56: I09vhs

data primer. Data primer didapat dari wawancara mendalam dan pengamatan

berperan-serta dengan tineliti dan informan. Data sekunder didapat dari dokumen-

dokumen yang terkait dengan struktur organisasi desa, kepemilikan lahan, dan

informasi mengenai jumlah penduduk serta tingkat kemiskinan di daerah tersebut.

Tahap-tahap yang dilakukan dalam pengambilan data, yaitu penelusuran

melalui buku dan penelitian terdahulu mengenai Kampung Padajaya, Kampung

Padajembar, Dusun Cigarehong, Desa Purwabakti, PTPN VIII melalui e-jurnal,

artikel, buku mengenai perkebunan, kemiskinan dan reforma agraria, wawancara

mendalam terhadap pihak aparat pemerintahan dan pihak perkebunan. Kemudian

dilakukan diskusi dengan warga untuk menentukan indikator kesejahteraan, dan

batas kemiskinan, selanjutnya peneliti melakukan diskusi dengan perwakilan dari

ketua RT dari masing-masing kampung untuk mengkategorikan masyarakat sesuai

dengan indikator yang telah dibuat sebelumnya. peneliti kemudian melakukan

wawancara mendalam terhadap masyarakat yang masuk ke dalam masing-masing

kategori tersebut. Tahap terakhir yaitu pengamatan berperan-serta terhadap empat

orang yang sudah diwawancara mendalam sebelumnya. Peneliti mengikuti

kegiatan tineliti agar lebih memahami dan merasakan berbagai gejala sosial yang

terjadi pada tineliti. Selain itu, melalui teknik berperan-serta ini, peneliti dapat

melihat langsung validitas data yang telah tineliti berikan pada peneliti

sebelumnya.

3.4.1 Wawancara Mendalam

Wawancara mendalam merupakan percakapan dua arah dalam suasana

kesetaraan, akrab dan informal, serta bersifat luwes, terbuka, tidak terstruktur dan

Page 57: I09vhs

tidak baku (Sitorus, 1998). Wawancara mendalam bertujuan untuk mengetahui

pemaknaan kemiskinan menurut tineliti, sumber penghasilan, jumlah penghasilan,

kepemilikan atas tanah, dan aset berharga lainnya yang dijadikan indikator

kemiskinan lokal di Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar. Panduan

pertanyaan penelitian dapat dilihat pada Lampiran 1, yang digunakan oleh peneliti

untuk mengetahui masalah-masalah agraria yang terdapat di Kampung Padajaya

dan Kampung Padajembar dan kebutuhan-kebutuhan yang diinginkan oleh tineliti

untuk dapat keluar dalam kemiskinan yang ia rasakan melalui program reforma

akses agraria.

Tabel 2. Topik Wawancara Penelitian

Topik Informan Deskripsi Profil PTPN VIII Kebun Cianten

Hasanudin (Bagian Umum PTPN VIII Kebun Cianten) dan Odang (Mandor Besar Sektor 8/ Dusun Cigarehong)

Mengetahui profil PTPN VIII Kebun Cianten, sejarah Kebun Cianten, pendapat perusahaan mengenai masyarakat yang memiliki sawah di daerah HGU perkebunan, gaji dan pekerjaan dari para karyawan baik karyawan lepas maupun karyawan tetap, hak dari karyawan lepas dan karyawan tetap.

Indikator kemiskinan di Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar

Diskusi Bersama Perwakilan Masyarakat dari Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar

Mengetahui definisi kemiskinan menurut masyarakat, indikator kemiskinan, tangga kehidupan, dan batas kemiskinan lokal

Tangga kehidupan Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar

Salah Satu Ketua RT dari Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar

Mengetahui masyarakat dari masing-masing kampung yang termasuk kedalam masing-masing tangga kehidupan

Hubungan Masyarakat dengan perkebunan

Perwakilan warga dari masing-masing kategori yang telah didapat sebelumnya

Mengetahui pandangan masyarakat terhadap kebijakan perkebunan mengenai sewa rumah maupun lahan pertanian, hak yang mereka dapatkan dengan bekerja di pekerbunan

Masalah Agraria Perwakilan warga dari masing-masing kategori yang telah didapat sebelumnya

Mengetahui luas tanah yang digunakan untuk pertanian dan masalah-masalah agraria yang dihadapinya

Masalah agraria yang dapat diselesaikan dengan reforma akses agraria

Perwakilan warga dari masing-masing kategori yang telah ditemukan sebelumnya

Mengetahui kebutuhan masyarakat yang terkait dengan masalah agrarian yang mereka hadapi, dan dapat diatasi oleh reforma akses agrarian yang dapat diterapkan di Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar

Sumber: Simarmata (2009)

Page 58: I09vhs

Teknik wawancara mendalam dan topik penelitian yang dapat dilihat pada

Tabel 2, peneliti dapat memahami pandangan tineliti mengenai hidupnya

khususnya kemiskinan, pengalamannya ataupun situasi dan pilihan-pilihan yang

dibuat oleh tineliti dalam hidupnya baik yang berkaitan dengan kemiskinan dan

masalah agraria yang dihadapinya maupun yang tidak berkaitan dengan masalah

tersebut.

3.4.2 Pengamatan Berperanserta

Pengamatan berperanserta adalah proses penelitian yang mensyaratkan

interaksi sosial antara peneliti dan tineliti dalam lingkungan sosial tineliti (Taylor

dan Boglan, 1984 dalam Sitorus, 1998). Metode pengamatan berperan serta

merupakan pengamatan langsung di lapangan. Menurut Molneng (1989)

sebagaimana dikutip Sitorus (1998) pengamatan ini dilakukan agar peneliti dapat

melihat, merasakan dan memaknainya, serta memungkinkan pembentukan

pengetahuan secara bersama oleh peneliti dan tineliti. Melalui metode ini penulis

dapat menganalisis kemiskinan yang terjadi di Kampung Padajaya dan Kampung

Padajembar tidak saja dari satu sudut pandang saja, yaitu lewat pengamatan dari

segi fisik tineliti, akan tetapi juga dari segi sosial melalui kegiatan-kegiatan dan

pertemuan-pertemuan yang tineliti hadiri, sehingga dapat memahami cara

pandang tineliti dalam menghadapi kemiskinan yang dialaminya.

Peneliti melihat kondisi kemiskinan dari segi aset yang dimiliki oleh

tineliti, kepemilikan tineliti terhadap lahan pertanian atau pekerjaan yang terkait

dengan pertanian, dan penghasilan total yang dimiliki oleh tineliti yang

merupakan unit keluarga. Peneliti melakukan pengamatan berperan serta, dengan

Page 59: I09vhs

tinggal bersama tineliti dan mengamati bagaimana cara tineliti melakukan

aktivitasnya dan juga pekerjaan, aset yang dimiliki oleh tineliti.

3.4.3 Penelusuran Dokumen

Penelusuran dokumen dilakukan dengan mengumpulkan literatur yang

terkait dengan masalah kemiskinan, agraria dan reforma agraria yang didapat

melalui e-jurnal, buku, artikel dan skripsi. Selain itu literatur berasal dari data

monografi desa untuk mendapatkan gambaran umum lokasi penelitian.

Penelusuran dokumen bertujuan untuk membantu peneliti dalam memperoleh

informasi yang nantinya akan membantu peneliti dalam memahami mengenai

masalah penelitian ini.

3.5 Teknik Analisis Data

Analisis data ditujukan untuk menjelaskan hasil dari penelitian. Teknik

pengolahan dan analisis data dilakukan melalui tiga jalur analisis data kualitatif

yaitu reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan. Menurut Sitorus

(1998), reduksi data adalah proses pemilihan, pemusatan perhatian pada

penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data “kasar” yang muncul dari

catatan-catatan tertulis di lapangan. Reduksi data pada penelitian ini diambil dari

catatan harian penulis dan rekaman yang didapat dari hasil analisis wawancara

mendalam dan pengamatan berperan-serta. Reduksi dilakukan dengan menulis

ulang catatan harian dan rekaman waancara dengan mengelompokannya sesuai

dengan topik wawancara penelitian. Hasil wawancara yang tidak sesuai dengan

topik wawancara penelitian tidak peneliti masukkan.

Page 60: I09vhs

Setelah ditulis ulang, penulis menyajikan data berupa tabel, grafik dan

gambar, untuk memudahkan penulis dalam menarik kesimpulan dan meringkas

hasil penelitian agar lebih mudah dipahami dan dibaca oleh orang lain. Kemudian,

penulis menarik kesimpulan dari data yang telah penulis kumpulkan dengan

memikirkan ulang kejadian dilapangan dan menghubungkan kejadian satu dengan

yang lainnya, melakukan transfer ilmu dengan teman sekelas penulis dan

mengikuti pelatihan metode penulisan agraria dan seminar yang terkait dengan

agraria.

3.6 Bias Penelitian

Selama melakukan penelitian, peneliti merasakan adanya bias penelitian.

Posisi peneliti sebagai mahasiswa yang menanyakan tentang kemiskinan,

hubungan dengan perkebunan, maupun mengenai status kepemilikan lahan

pertanian menyebabkan masyarakat tidak jujur sepenuhnya kepada peneliti.

Mempertanyakan mengenai kemiskinan merupakan hal yang tidak

menyenangkan, karena menyangkut masalah internal dari warga dan sensitif.

Warga tertutup dan curiga terhadap pertanyaan peneliti. Terkadang terdapat

kesalahpahaman dari warga masyarakat yang mengira peneliti merupakan suruhan

pemerintah yang ingin melihat siapa saja yang warga yang tidak berhak

mendapatkan BLT akan tetapi mendapatkan BLT di daerah tersebut.

Masyarakat juga sulit terbuka mengenai masalah yang mereka hadapi

dengan perkebunan, karena mereka menyadari bahwa perkebunan merupakan

tempat mereka untuk hidup. Pada awalnya beberapa pertanyaan yang

dikemukakan peneliti terhadap warga dijawab dengan memutar-mutar

Page 61: I09vhs

pembicaraan, ataupun jawaban tidak sesuai dengan pertanyaan peneliti. Selain itu,

masyarakat takut data penelitian ini jatuh ke tangan pihak perkebunan, yang dapat

membahayakan status mereka di perkebunan di masa datang.

Pertanyaan yang sulit untuk masyarakat utarakan jawabannya, salah

satunya yaitu bagaimana masyarakat mendapatkan lahan pertanian mereka selain

dari hasil pembagian warisan. Masyarakat sulit menjawab pertanyaan ini

dikarenakan masyarakat menyembunyikan adanya pelebaran lahan ke daerah

perkebunan atau TNGH, serta adanya praktek jual beli lahan pertanian yang

merupakan HGU dari perkebunan ataupun TNGH. Bila TNGH dan perkebunan

mengetahui adanya jual-beli dan pelebaran lahan ini, masyarakat akan

mendapatkan sanksi, sehingga masyarakat sulit untuk mengeluarkan informasi

sebenarnya terkait masalah ini kepada peneliti.

Masyarakat mulai terbuka dan menceritakan berbagai hal pada peneliti

setelah peneliti tinggal satu minggu bersama masyarakat. Tercipta kedekatan

antara masyarakat dengan peneliti, menyebabkan masyarakat tidak sungkan-

sungkan lagi kepada peneliti, dan menceritakan keadaan dirinya tanpa ditutup-

tutupi lagi. Selain itu, karena adanya proses mengenal satu sama lainnya,

masyarakat yakin bahwa peneliti tidak akan memberikan hasil penelitian ini

kepada pihak perkebunan dan TNGH.

Page 62: I09vhs

BAB IV GAMBARAN UMUM DESA, DUSUN, KAMPUNG

DAN PERKEBUNAN

4.1 Desa Purwabakti

4.1.1 Kondisi Geografis Desa Purwabakti

Desa Purwabakti merupakan salah satu desa di wilayah Kecamatan

Pamijahan, Kabupaten Bogor dengan curah hujan sebanyak 250/300 m3 dan

berada di 650/1000 meter diatas permukaan laut. Luas Desa Purwabakti yaitu

1.662 hektar yang dapat dilihat pada peta Desa Purwabakti pada Gambar 3.

Gambar 3. Peta Desa Purwabakti

Page 63: I09vhs

Desa Purwabakti terbagi dalam 5 Dusun 12 Rukun Warga (RW) serta 39

Rukun Tangga (RT). Penggunaan lahan di desa purwabakti mempunyai banyak

macam, yang didasarkan pada pemanfaatan atau penggunaan tanah tersebut.

Penggunaan tanah dan luas lahan adalah sebagai berikut:

Tabel 3. Luas dan Penggunaan Lahan Desa Purwabakti

No. Penggunaan Lahan Luas (Hektar) Persentase (%) 1 Perumahan/Pemukiman dan Pekarangan 10 2.5 2 Sawah 162 40.4 3 Ladang 200 49.9 4 Jalan 15 3.7 5 Pemakaman/Kuburan 3 0.7 6 Perkantoran 0.1 0.0 7 Tanah/Bangunan Pendidikan 1 0.2 8 Tanah/Bangunan Pribadi 10 2.5

Jumlah 401.1 100 Sumber: Monografi Desa Purwabakti 2008

Masyarakat Desa Purwabakti menopangkan hidupnya pada sektor

pertanian, yang dilihat dari besarnya penggunaan lahan sebesar 90,3 persen pada

sawah dan ladang yang dapat dilihat pada Tabel 3. Melalui alokasi penggunaan

tanah di Desa Purwabakti, dapat disimpulkan Desa Purwabakti mempunyai lahan

yang kering, karena sebagian besar lahannya digunakan sebagai ladang yaitu

sebesar 49,9 persen.

4.1.2 Kependudukan Desa Purwabakti

Jumlah penduduk Desa Purwabakti adalah 7330 jiwa, dengan rincian laki-

laki sebanyak 3676 jiwa, dan perempuan sebanyak 3654 jiwa. Jumlah kepala

keluarga yaitu sebanyak 1795 jiwa. Data kependudukan Desa Purwabakti sampai

30 Desember 2007 dapat dilihat pada Tabel 4.

Page 64: I09vhs

Tabel 4. Struktur Umur dan Jenis Kelamin Penduduk Desa Purwabakti

Kelompok Jumlah Jiwa Jumlah (Orang) Persentase (%)

Umur Laki-Laki Perempuan 0-4 330 326 656 9.0 5-9 255 253 508 6.9

10-14 383 384 767 10.5 15-19 309 311 620 8.5 20-24 227 225 452 6.2 25-29 221 221 442 6.0 30-34 229 218 447 6.1 35-39 224 220 444 6.1 40-49 226 227 453 6.2 50-54 227 231 458 6.3 55-59 225 223 448 6.1 60-64 220 221 441 6.0 65-69 205 206 411 5.6

70-Keatas 391 388 779 10.6 Jumlah 3672 3654 7326 100

Sumber: Monografi Desa Purwabakti 2008

Dilihat dari perkembangan penduduk Desa Purwabakti, rasio angka

kelahiran dan kematian terlihat berbeda cukup tinggi, angka kelahiran penduduk

pada bulan April 2009 yaitu sebesar 53 orang, sementara angka kematian 14

orang. Kepadatan penduduk di Desa Purwabakti sebanyak 7.530 orang pada bulan

April 2009 dengan gerak mobilitas yang tergolong cukup rendah, yaitu pendatang

sebanyak dua orang dan jumlah penduduk yang pindah sebanyak dua orang.

Sebagian besar penduduk Desa Purwabakti beragama Islam.

Mata pencaharian utama penduduk Desa Purwabakti didominasi oleh

sektor swasta dengan persentase 61,1 persen (lihat Tabel 5). Sektor swasta ini

merupakan masyarakat yang bekerja sebagai karyawan di Kebun Cianten. Selain

swasta, mata pencaharian utama penduduk juga sebagai petani yaitu sebesar 16

Page 65: I09vhs

persen dan pengrajin 11,7 persen. Penduduk yang bekerja sebagai pengrajin,

merupakan pengrajin kayu rotan, yang letaknya jauh dari Kebun Cianten.

Tabel 5. Mata Pencaharian Penduduk Desa Puwabakti

No. Mata Pencaharian Jumlah (Orang) Persentase (%) 1 Tani 653 16.0 2 Pedagang 300 7.3 3 Pegawai Negri 8 0.2 4 TNI/POLRI 0 0.0 5 Pensiunan/Purnawirawan 2 0.0 6 Swasta 2500 61.1 7 Buruh Pabrik 20 0.5 8 Pengrajin 480 11.7 9 Tukang Bangunan 30 0.7

10 Penjahit 5 0.1 11 Tukang Las 1 0.0 12 Tukang Ojek 65 1.6 13 Bengkel 1 0.0 14 Sopir Angkutan 15 0.4 15 Lain-lain 10 0.2

Total 4090 100 Sumber: Monografi Desa Purwabakti 2008

4.1.3 Pendidikan Desa Purwabakti

Tingkat pendidikan Desa Purwabakti (lihat Tabel 6) termasuk kedalam

rendah, karena sebagian besar masyarakatnya yaitu 43 persen hanya lulus Sekolah

Dasar, dan 25,8 persen yang tidak lulus Sekolah Dasar. Tingkat pendidikan yang

rendah ini akan berdampak terhadap rendahnya tingkat kemajuan desa tersebut

dibandingkan wilayah perkotaan. Kurangnya kualitas Sumber Daya Manusia

(SDM) sebagai aktor pembangunan di Desa Purwabakti berdampak pada laju

pembangunan dan tingkat kemiskinan di desa tersebut.

Page 66: I09vhs

Tabel 6. Tingkat Pendidikan Masyarakat Desa Purwabakti

No. Tingkat Pendidikan Jumlah (Orang) Persentase (%) 1 Tidak Tamat SD/Sederajat 275 25.8 2 Tamat SD/Sederajat 458 43.0 3 Tamat SLTP/Sederajat 256 24.1 4 Tamat SLTA/Sederajat 75 7.0

Total 1064 100 Sumber: Monografi Desa Purwabakti 2008

4.2 Dusun Cigarehong

Dusun Cigarehong adalah salah satu tempat permukiman di Kebun

Cianten. Dusun Cigarehong memiliki dua RW yaitu RW 08 dan RW 07. Dusun

ini terletak paling ujung dari Kebun Cianten, dan memiliki enam kampung.

Kampung tersebut yaitu: Cigarehong (RW 07/RT 01), Cikandang (RW 7/ RT 02),

Babakan Salim (RW 07/RT 03), Legog Makam (RW 07/RT 04), Padajaya (RW

08/RT 01 dan RT 02) dan Padajembar (RW 08/RT 03 dan RT 04).

Dusun Cigarehong pada awalnya hanya terdiri dari rumah karyawan tetap

perkebunan, yang merupakan rumah dinas dari perkebunan yang dibuat di

Kampung Cigarehong. Tapi pada akhirnya, karena pertambahan penduduk dan

bertambahnya pendatang yang datang untuk bekerja baik pada perkebunan

maupun PT.Cevron LTD, masyarakat pendatang tersebut membuat

pemukimannya sendiri-sendiri, dan membuat koloni yang menjadi sebuah

kampung.

Wilayah Dusun Cigarehong terbagi menjadi dua, yaitu wilayah

perkebunan dan wilayah yang masuk Taman Nasional Gunung Halimun, selain itu

di Dusun Cigarehong terdapat beberapa titik yang merupakan tempat pengeboran

Page 67: I09vhs

minyak dari PT.Cevron LTD. Dusun ini adalah dusun terakhir dari wilayah Kebun

Cianten yang berbatasan dengan wilayah Sukabumi.

Fasilitas perkebunan yang terdapat di Dusun Cigarehong, yaitu SDN

Ciasmara IV, Madrasah Aliyah Tarbiyatul Aftal 2 dan Tempat Penitipan Anak

(TPA). Berdasarkan wawancara terhadap kepala sekolah SDN Ciasmara IV,

perkebunan tidak pernah memberikan bantuan kepada SDN ini. Perkebunan hanya

memberikan bantuan pada tahun 1981 berupa makanan (minyak dan gula) kepada

murid kelas enam yang hendak melaksanakan ujian, dan juga memberikan

bantuan pada guru. Sejak itu perkebunan tidak pernah lagi memberikan bantuan.

Menurut kepala sekolah juga, perkebunan hanya memberikan bantuan kepada

Madrasah Aliyah. Karena Madrasah Aliyah termasuk kedalam program bantuan

perkebunan, sedangkan SDN Ciasmara IV tidak termasuk kedalamnya.

4.3 Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar

4.3.1 Keadaan Geografis Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar

Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar adalah Kampung terujung

dari Dusun Cigarehong. Jumlah rumah tangga di dua kampung tersebut yaitu 152

kepala yang dapat dilihat pada Lampiran 2. Kampung Padajaya dan Kampung

padajembar memiliki lokasi yang berbeda satu sama lainnya. Kampung Padajaya

berada di paling ujung dan bentuk kampung ini terbagi menjadi dua, RT 01

berbentuk memanjang sesuai dengan jalan utama yang menghubungkan Sukabumi

dan Leuwiliang, sedangkan RT 02 berbentuk koloni. Pada Kampung Padajembar,

baik RT 03 maupun RT 04, memiliki bentuk yang sama, yaitu bentuk koloni, dan

berbaur satu sama lain dan tidak terpisah.

Page 68: I09vhs

Kampung di Dusun Cigarehong identik dengan tali persaudaraan.

Penduduk dalam satu kampung, biasanya memiliki saudara baik kakak atau adik,

menantu, orang tua dan anak, akan tetapi pada kampung lain di Dusun

Cigarehong, penduduk tersebut tidak memiliki saudara dekat, hanya saudara jauh.

Contohnya adalah Ida warga dari RT 03 Kampung Padajembar, ibunya tinggal di

RT 04 di kampung yang sama, sedangkan adik-adiknya tinggal tidak jauh dari

kediamannya, hanya berbeda satu atau dua rumah saja. Akan tetapi Ida tidak

memiliki saudara dekat di Kampung Padajaya.

Mata pencaharian dan jumlah penghasilan antara masyarakat di Kampung

Padajaya dan Padajembar berbeda. Masyarakat Kampung Padajaya, sebagian

besar tidak menopangkan hidupnya pada perkebunan, mereka bekerja sebagai

pedagang dan karyawan pada PT.Cevron LTD, jarang yang memiliki tanah

pertanian. Masyarakat di Padajembar sebagian besar menopangkan hidupnya pada

perkebunan dan memiliki tanah pertanian. Wilayah pertanian dan rumahnya

merupakan bagian dari wilayah perkebunan.

Perbedaan ini dikarenakan lokasi kedua kampung tersebut yang berbeda

satu sama lain. Kampung Padajaya merupakan kampung yang berada di tepi jalan,

jalan tersebut sering dilintasi truk atau mobil yang Bogor-Sukabumi, karena jalan

tersebut merupakan jalan alternatif menuju daerah sukabumi dan pelabuhan ratu,

dan sering dilewati oleh wisatawan lokal yang ingin menikmati suasana

perkebunan. Sedangkan untuk memasuki Kampung Padajembar, harus melewati

jalan kecil, berbatu dan terjal, sehingga geliat ekonomi di Kampung Padajembar

kurang ’hidup” dibandingkan dengan geliat ekonomi di Kampung Padajaya.

Page 69: I09vhs

4.3.2 Pendidikan di Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar

Fasilitas pendidikan yang terdapat di daerah Kebun Cianten yaitu: Satu

unit Taman Kanak-Kanak Tunas Karya, Tiga Unit Sekolah Dasar, Tiga Unit unit

Madrasah Diniyah, dan satu unit Sekolah Menengah Pertama. Fasilitas

perkebunan yang dapat digunakan oleh warga masyarakat Kampung Padajaya dan

Kampung Padajembar yaitu sekolah SDN IV Ciasmara (lihat Gambar 4), Tempat

Penitipan Anak (TPA) (lihat Gambar 5.), dan juga Madrasah Aliyah yang

semuanya terletak di Kampung Cigarehong. Pada Dusun Cigarehong, anak-anak

bersekolah dari pukul 7.00 sampai dengan pukul 12.00 di sekolah formal, dan

melanjutkan sekolah pukul 14.00 sampai dengan pukul 16.00 sekolah madrasah.

Gambar 4. SDN Ciasmara IV

Page 70: I09vhs

Gambar 5. Tempat Penitipan Anak (TPA)

Fasilitas lain yang diberikan oleh perkebunan yaitu satu unit balai

pengobatan, delapan unit masjid, 22 unit mushola, lima unit Tempat Penitipan

Anak (TPA). Bantuan yang diberikan perkebunan kepada STK (Rp 500,00 per

anak), TPA (Rp 500,00 per anak), posyandu (Rp 500,00 per anak), pakaian kerja,

pengobatan, dua rit per hari jemputan anak sekolah Tunjangan Hari Raya (THR)

dan tunjangan jasa produksi kepada karyawan.

Anak perempuan dan laki-laki di Kampung Padajaya dan Kampung

Padajembar hanya bersekolah sampai dengan Sekolah Menegah Pertama (SMP)

dan akan dinikahkan setelah tamat SMP. Hal ini dikarenakan, adanya pandangan

dari masyarakat yaitu untuk apa sekolah tinggi-tinggi karena pekerjaannya hanya

akan seperti orangtuanya juga. Selain itu, masyarakat Kampung Padajaya dan

Kampung Padajembar tidak menyekolahkan anaknya ke jenjang pendidikan yang

lebih tinggi dikarenakan Sekolah Menengah Atas (SMA) letaknya jauh dari

Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar. Sekolah tersebut berada di

Page 71: I09vhs

Leuwiliang dan Sukabumi yang jaraknya 25 kilometer dari Kampung Padajaya

dan Kampung Padajembar. Pulang-pergi setiap hari membutuhkan waktu dan

biaya Rp 26.000,00. Hal ini merupakan jawaban dari rendahnya tingkat

pendidikan di Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar.

Warga Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar yang mengenyam

pendidikan sampai dengan tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA) “bisa dihitung

dengan jari”. Warga masyarakat yang bersekolah sampai tingkat SMA ini adalah

warga yang berprofesi sebagai guru dan mandor. Mereka adalah warga yang

dituntut oleh pekerjaannya untuk mendapatkan ijazah yang lebih tinggi. Selain itu,

mereka yang bersekolah sampai dengan jenjang SMA karena orangtuanya

menuntut anak-anaknya terus bersekolah setinggi-tingginya agar bisa

memperbaiki kehidupan keluarga. Salah satu contohnya yaitu Asep (30 tahun)

yang bersekolah sampai ke tingkat Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dan

merupakan mandor petik perkebunan. Ia bersekolah karena orangtuanya yang

merupakan karyawan pemetik teh perkebunan, menginginkan Asep memiliki

kehidupan yang lebih baik dari pada kehidupan orantuanya, sehingga orangtua

Asep menyekolahkan Asep ke jenjang yang lebih tinggi dibandingkan anak-anak

lainnya di kampung tersebut. Untuk menjadi mandor di perkebunan, selain

keahlian, yang dibutuhkan adalah ijazah setingkat SMK/SLTA. Masyarakat yang

sudah lama menjadi karyawan tidak bisa langsung menjadi mandor, akan tetapi

dibutuhkan keahlian tertentu. Contohnya mandor petik dan mandor besar di sektor

delapan memiliki tingkat pendidikan yang tinggi. Mandor petik sektor delapan

Asep merupakan lulusan SMK Pertanian, sedangkan mandor mesar sektor delapan

Odang mempunyai gelar Diploma Satu Informatika Teknologi.

Page 72: I09vhs

4.4 PTP Nusantara VIII Kebun Cianten

4.4.1 Keadaan Geografi

PTPN VIII Kebun Cianten memiliki luas areal konsensi 857.74 hektar.

Pada umumnya topografi bergelombang dan terletak pada ketinggian 800 meter

sampai 1000 meter diatas permukaan laut wilayah ini berpenduduk sekitar 4.000

jiwa. Sepenuhnya bekerja pada perkebunan teh, mulai dari pembibitan,

persemaian, pemeliharaan, panen sampai pengolahan teh.

Kebun Cianten berada di Propinsi Jawa Barat tepatnya di Kabupaten

Bogor. Kebun Cianten berjarak 25 Kilometer dari Kecamatan Leuwiliang dan

termasuk dalam dua wilayah kerja Kecamatan Leuwiliang dan Kecamatan

Pamijahan. Kebun Cianten juga terbagi kedalam dua desa yaitu Desa Purasari

Kecamatan Leuwiliang (Afdeling I) dan Desa Purwabakti Kecamatan Pamijahan

(Afdeling II) dan kebun berbatasan dengan Kabupaten Sukabumi yang dikelilingi

Gunung Gagak, Gunung Keneng, dan Gunung Tanjungsari yang merupakan anak

Gunung Halimun.

Kondisi iklim tergolong daerah tipe B menurut perhitungan Sekmidt dan

Ferguson. Temperatur rata-rata berkisar antara 19°C sampai 30°C dengan

kelembaban nisbi antara 38 sampai 80 persen curah hujan lima tahun terakhir rata-

rata 5,238 milimeter per tahun. Kebun Cianten relatif jauh dari perkampungan

penduduk. Jarak terdekat dengan perkampungan penduduk kurang lebih tujuh

kilometer, yaitu kampung Tanjungsari, sedangkan jarak dengan kantor Desa

Purasari kuranglebih 11 kilometer, dengan Desa Purwabakti kurang lebih 12

Kilometer.

Page 73: I09vhs

4.4.2 Pekerja Perkebunan

Kebun Cianten yang dipimpin langsung oleh seorang administratur dan

wakilnya atau lazimnya disebut kepala tanaman. Kebun dibagi menjadi lima

bagian atau divisi, yaitu bagian administrasi dikepalai seorang kepala administrasi

bagian teknik dikepalai oleh kepala teknik, bagian pengolahan dikepalai oleh

kepala pengolahan, bagian afdeling Cianten I dikepalai kepala afdeling Cianten I,

dan bagian afdeling Cianten II dikepalai oleh kepala afdeling Cianten II. Masing-

masing sinder atau kepala bagian membawahi beberapa petugas. Setiap mandor

besar membawahi beberapa mandor yang memiliki 20 sampai 40 orang anak

buah. Khusus untuk kelancaran administrasi masing-masing sinder dibantu oleh

JTU kepala. Guna membantu administrasi dalam pengawasan terhadap kinerja

seluruh bagian administratur dibantu oleh bagian Pengawas Intern Kebun (PIK).

Jumlah karyawan borongan perkebunan lebih banyak dari pada karyawan

tetap perkebunan yang dapat dilihat pada Tabel 7, dengan persentase 58 persen

sedangkan karyawan pelaksana sebesar 32,6 persen. Banyaknya karyawan

borongan, dikarenakan sudah beberapa tahun terakhir perkebunan tidak

mengadakan perekrutan karyawan borongan menjadi karyawan tetap. Menurut

mandor sektor delapan, hal ini dikarenakan perkebunan sedang mengalami

penurunan hasil panen setiap tahun, yang disebabkan oleh cuaca dan umur

tanaman yang sudah tua. Berdasarkan mitos yang didapat dari para leluhur,

masyarakat percaya bahwa suatu saat perkebunan akan bangkrut sehingga

masyarakat tidak memaksakan dirinya menjadi karyawan perkebunan. Menurut

masyarakat dengan dapat hidup saja bagi mereka kerja sudah cukup.

Page 74: I09vhs

Tabel 7. Jenjang Kepegawaian dan Jumlah Karyawan PTPN VIII Kebun Cianten

No. Uraian Jumlah (Orang) Persentase (%) 1 Karyawan pimpinan golongan IIIA-IVD 6 0.5 2 Karyawan pelaksana I Golongan IB-IID 101 8.9 3 Karyawan pelaksana II Golongan A 368 32.6 4 Karyawan borong/PKWT 655 58.0

Total 1130 100 Sumber: PTPN VIII Kebun Cianten 1 April 2009

Perumahan dinas karyawan perkebunan tersebar di beberapa komplek:

1. Emplasemen: Pondok Pia, Pondok Asmara, Bunisari dan Sindang Resmi

2. Afdeling Cianten I: Pematang/Sarkawi/Taman Saat, Cirohani, Kampung

Baru, Kampung Limus, Cianten Herang, Pel Girang, Pel Tengah, Pel Hilir,

Sindang Sari, Kampung Saung, Pondok Lapang, Pondok Pasar, Pondok

Cau dan Pondok Pensiun.

3. Afdeling Cianten II: Sindang Reret, Cimapag, Pasirpari, Cisurupan,

Garehong, Emplasement, Padajembar, Padajaya, dan Cikandang.

Total penduduk yang bertempat tinggal di Kebun Cianten kurang lebih

4000 penduduk. Sebagian besar penduduk tersebut bekerja di perkebunan,

sedangkan sisanya menjadi guru, petani, pedagang dan supir.

Pekerja dari perkebunan terbagi menjadi dua yaitu karyawan tetap dan

karyawan lepas. Karyawan tetap mendapatkan fasilitas perusahaan, gaji hari libur

dan gaji dari hasil pekerjaannya (pemetikan teh, pemeliharaan atau penyemprotan

tanaman). Sedangkan karyawan lepas hanya mendapatkan gaji dari hasil

pekerjaannya saja. Pada karyawan pemetikan, harga teh yang di petik sesuai

dengan kualitas hasil petikan tersebut yaitu kurang lebih Rp 400,00 sampai

Page 75: I09vhs

dengan Rp 460,00 per kilogram. Harga ini berbeda untuk setiap mandor, karena

mandor mempunyai otoritas untuk menetapkan harga kepada pemetik.

Administartur PTPN VIII Kebun Cianten yang menjabat sekarang bari

diangkat pada bulan Februari 2009. Setelah adanya pergantian administatur,

terjadi beberapa perubahan kebijakan pada peraturan PTPN VIII Kebun Cianten.

Salah satu kebijakan perkebunan yang berubah yaitu mengenai penggunaan lahan

pertanian oleh masyarakat di daerah PTPN VIII Kebun Cianten. Pada beberapa

kepemimpinan administatur yang lalu, masyarakat tidak diperbolehkan membuat

sawah yang berdekatan dengan kebun teh. Bahkan pada periode kepemimpinan

administratur sebelumnya, pernah ada kebijakan perkebunan yang melarang

warga menanam tanaman (pisang, pepaya, padi sayur-sayuran, dll) di sekitar

tanaman teh perkebunan, sehingga pohon yang ditanam oleh masyarakat

dirubuhkan oleh pihak perkebunan. Akan tetapi pada kepemimpinan administratur

yang baru, masyarakat diperbolehkan bertanam di areal perkebunan dan

diharapkan dapat membantu perkebunan dengan mengambil rumput pada tanaman

teh, atau melaporkan tanaman teh yang rusak, dan sebagainya.

Jarak dari perkebunan ke Kecamatan Leuwiliang kurang lebih 25

kilometer, sedangkan jarak dari perkebunan menuju Desa Purwabakti yaitu 15

kilometer. Hal ini menyebabkan akses masyarakat menuju pasar sangat terbatas.

Hanya ada pasar kaget yang muncul setiap satu bulan sekali pada tanggal gajian

yaitu tanggal empat tiap bulan yang didirikan di dekat pabrik perusahaan. Jarak

yang jauh antara Kantor Desa dan kampung di Kebun Cianten menyebabkan

Kepala Desa Purwabakti jarang berkunjung ke kampung-kampung di Kebun

Page 76: I09vhs

Cianten. Menurut masyarakat Padajembar, terhitung baru dua kali Kepala Desa

Purwabakti Mahrop datang ke kampung mereka selama masa kepemimpinannya.

Transportasi menuju dan dari Kebun Cianten, yaitu mobil L300 milik

warga Kampung Cigarehong, yang beroperasi hanya satu kali setiap hari. Mobil

tersebut berangkat dari Dusun Cigarehong ke pasar Leuwiliang pukul 04.00 dan

pulang ke Dusun Cigarehong dari pasar Leuwiliang pukul 09.00 dengan tarif Rp

13.000,00. Selain mobil L300, alat transportasi lain menuju pasar Leuwiliang

yaitu ojek dengan tarif Rp 30.000,00 sedangkan ojek dari pasar Leuwiliang

menuju Dusun Cigarehong tarifnya Rp 50.000,00. Perbedaan harga ini karena

pengojek dari Leuwiliang bukanlah warga Dusun Cigarehong, sehingga pengojek

tersebut akan menaikkan tarifnya. Transportasi lokal di dalam Kebun Cianten,

khusus untuk karyawan perkebunan, disediakan oleh perusahaan PTPN VIII

Kebun Cianten. Transportasi ini berupa truk yang membawa pulang dan pergi

karyawan dari rumah menuju lokasi pemetikan dan sebaliknya. Perkebunan juga

menyediakan transportasi antar jemput anak-anak sekolah di daerah Kebun

Cianten dari rumah mereka ke Sekolah Menengah Pertama (SMP) yang terletak

dekat pabrik perkebunan.

4.4.3 Sejarah Perkebunan

Pada tahun 1981 dilakukan pembukaan hutan oleh Pemerintah Hindia

Belanda di Kampung Cipacet untuk pembuatan lahan perkebunan. Pekerja

didatangkan dari daerah di sekitar perkebunan yaitu Desa Puraseda, Desa Cisarua

dan Desa Muara. Pembukaan lahan tersebut dilanjutkan dengan penanaman benih

(biji) teh. Tahun 1912 Pemerintah Hindia Belanda mendirikan bangunan pabrik

Page 77: I09vhs

serta prasarana lainnya termasuk pemukiman untuk para pekerja, dan Kampung

Cipacet berubah menjadi “ondernoming” atau masyarakat setempat sering

menyebutnya “Kontrak Cianten”. Pada saat itu, pemimpin tertinggi di Kontrak

Cianten lazim disebut Juragan Kawasa. Juragan kawasa yang pertama adalah

Juragan Kawasa Harja Aurata” kemudian digantikan oleh Juragan Kawasa Hasan.

Tahun 1943 Pemerintah Jepang melakukan agresi terhadap Pemerintah

Belanda yang menduduki Indonesia dan Belanda menyerah tanpa syarat kepada

Jepang. Otomatis seluruh aset Republik Indonesia yang diakui Belanda jatuh ke

tangan Jepang, tetapi sayang Jepang tidak melakukan sistem yang sama seperti

yang dikelola oleh Belanda. Kontrak Cianten tidak beroperasi lagi. Selama kurun

waktu tahun 1943 sampai dengan tahun 1948 Kontrak Cianten digarap oleh rakyat

secara tradisional. Pertengahan tahun 1948 Kontrak Cianten kembali dibuka dan

dikelola kembali oleh Pemerintah Indonesia dengan nama PPH, tahun 1964

namanya berubah menjadi PPN Cianten dan pada tahun yang sama dirubah

menjadi PPN Kesatuan. Pada tahun 1971 PPN Kesatuan kemudian digabungan

dengan PMP yang berasal dari beberapa perkebunan yang lain dalam naungan

PTP XII sampai tahun 1994.

Pada tahun 1994 beberapa perkebunan yang bernaung dibawah PTP XI,

PTP XII, PTP XIII yang berada di Provinsi Jawa Barat digabungkan menjadi PTP

Group Jabar. Sejak tahun 1996 sampai sekarang seluruh perkebunan yang

merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) digabungkan ke dalam wadah

PTP. Nusantara I-XIV, dan PTP. Nusantara VIII dengan 46 perkebunan yang ada

tersebar di Jawa Barat. Kebun Cianten termasuk kedalam PT Perkebunan

Nusantara VIII (Persero) yang berkantor di Jalan Sindangsirna No.4 Bandung.

Page 78: I09vhs

Pada tahun 1986, pabrik Kebun Cianten beralih fungsi dari pengolahan teh

Ortodok menjadi pengolahan teh CTC, dengan pertimbangan bahwa pasar dunia

saat ini banyak meminati hasil olahan pabrik teh CTC.

4.4.4 Visi, Misi dan Kontribusi Perkebunan

PTPN VIII Kebun Cianten memiliki visi yaitu : menjadikan perusahaan

agribisnis global yang dipercaya, mengutamakan kepuasan pelanggan dan

kepedulian lingkungan dengan berlandaskan kepada mutu dan produktivitas

tinggi, serta didukung oleh Sumber Daya Manusia (SDM) yang profesional. Misi

perusahaan mengelola perusahaan sesuai prinsip Good Coorporate Governance

untuk menghasilkan produk yang bermutu tinggi dan ramah lingkungan yang

senantiasa berkembang dan lestari sebagai karya SDM yang handal dalam upaya

memuaskan pihak-pihak yang berkepentingan.

Kontribusi perkebunan terhadap lingkungan terbagi menjadi beberapa

bagian, yaitu: bidang ekologi, ekonomi, fungsi sosial dan lain-lain (Multifier-

Effect). Pada bidang ekologi, kontribusi perkebunan terhadap kelestarian Sumber

Daya Alam (SDA) antara lain: tata air (hidrologi), perlindungan sumber atau mata

air, penanaman pohon lindung, konservasi kesuburan lahan terutama lahan

pertanian seperti pemupukan organik atau anorganik, kenyamanan iklim

(atmosfir) sebagai akibat akitivitas hidup pohon-pohonan. Kontribusi perkebunan

pada bidang ekonomi memberikan penghasilan ekonomis yang dapat

dimanfaatkan untuk kemakmuran rakyat berupa deviden, pajak, retribusi,

perusahaan memberikan karyawan dan batihnya berupa upah atau gaji untuk

Page 79: I09vhs

penghidupan dan kehidupan, dan perusahaan memberikan kemitraan atau

pembinaan usaha kecil dan koperasi kepada masyarakat sekitar.

Penciptakan lapangan kerja, dan bina lingkungan melalui Community

Development (CD) merupakan kontribusi perkebunan dalam bidang sosial.

Kontribusi perkebunan yang lainnya yaitu membangun dan meningkatkan

perekonomian masyarakat sebagai Agent Of Development.

4.4.5 Penggunaan Lahan Perkebunan

Lahan dari perkebunan mempunyai bentuk seperti jari, dengan bagian luar

dari jari tersebut merupakan milik dari Taman Nasional Gunung Halimun

(TNGH). Alokasi penggunaan lahan perkebunan dapat dilihat pada Tabel 8.

Lahan tidak produktif di perkebunan yang dapat dilihat pada Tabel 8

paling banyak dipakai oleh pihak ketiga dalam bentuk sawah yaitu 3,8 persen, hal

ini membuktikan bahwa perkebunan mendata tanah perkebunan yang digunakan

oleh masyarakat sebagai perkebunan. Alokasi lahan yang digunakan pada bidang

pertanian yang digunakan oleh pihak ketiga lebih banyak digunakan untuk sawah

dari pada perikanan (kolam), hal ini dikarenakan debit air yang sulit didapatkan

didaerah lereng-lereng gunung.

Page 80: I09vhs

Tabel 8. Penggunaan Lahan Perkebunan

No. Uraian Luas (Hektar) Persentase (%) 1 Areal Tanaman Teh: - Tanaman Menghasilkan (TM) 647.14 75.4

- Tanaman Belum Menghasilkan (TBM) 0 0.0

- Persemaian/Kebun Entrys 0 0.0 - Lancuran 93.45 10.9

Total 740.59 86.3 2 Areal Cadangan: - Cadangan dari Lancuran 0 0.0

Total 0 0.0 3 Lahan Tidak Produktif: - Situ/Rawa 11.08 1.3 - Hutan/Jurang/Sungai 8.86 1.0 - Dipakai Pihak Ketiga (Bangunan) 3.89 0.5 - Dipakai Pihak Ketiga (Sawah) 32.93 3.8 - Dipakai Pihak Ketiga (Daratan) 15.12 1.8 - Dipakai Pihak Ketiga (Kolam) 2.7 0.3 - Dipakai Pihak Ketiga (Chevron LTD) 4.63 0.5

Total 79.21 9.2 4 Areal Lain-Lain - Emplasemen 15.2 1.8 - Jalan PTPN, VIII 18.24 2.1 - Jalan Umum 0 0.0 - Lapangan Olahraga 1 0.1 - Kuburan 3.5 0.4

Total 37.94 4.4 Total Area 857.74 100

Sumber: PTPN VIII Kebun Cianten 1 April 2009

Page 81: I09vhs

BAB V KONSTRUKSI KEMISKINAN LOKAL

5.1 Sejarah Penduduk Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar

Sebagian besar penduduk Cianten merupakan masyarakat pendatang.

Mereka datang dari desa-desa di sekitar perkebunan, karena mendengar adanya

lapangan pekerjaan di perkebunan. Pada Kampung Padajembar, diperkirakan

terdapat pemukiman karena masyarakat yang merupakan pekerja dari perkebunan

membuat saung di dekat sungai. Wilayah ini dipilih karena nyaman dan

masayarakat bisa sambil memancing ikan di sungai. Warga kemudian membuat

rumah yang tidak jauh dari saungnya tersebut agar jaraknya lebih dekat. Rumah

ini menjadi awal mula dari pemukiman yang terdapat di Kampung Padajembar,

sedangkan saung ini merupakan awal mula dari banyaknya sawah di Kampung

Padajembar yang mengikuti aliran sungai.

Sejarah dari Kampung Padajaya berbeda dengan Kampung Padajembar.

Kampung Padajaya adalah kampung yang dibentuk oleh pendatang yang

membuka warung di sekitar jalan. Pendatang tersebut melihat potensi

mendapatkan keuntungan dengan membuka warung di daerah tersebut. Jalan

tembus menuju Sukabumi ini sudah ada sejak lama, akan tetapi baru pada tahun

1999 yaitu sejak adanya pengaspalan jalan, mulai banyak dilewati oleh

masyarakat dari Leuwiliang yang menuju Sukabumi dan sebaliknya. Kampung

Padajaya dipenuhi oleh masyarakat pendatang yang bekerja di PT Cevron LTD,

yang dulunya adalah PT Unocal.

Perpindahan penduduk dari desa diluar Kebun Cianten ke daerah Cianten,

khususnya Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar terus menerus terjadi

Page 82: I09vhs

sampai sekarang, akan tetapi dalam bentuk yang berbeda. Datangnya masyarakat

luar ke Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar ini ditandai dengan

pernikahan antara warga masyarakat diluar Kampung Padajaya dan Kampung

Padajembar dengan masyarakat dari kampung tersebut. Penduduk dari luar

Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar merasa Dusun Cigarehong

mempunyai daya tarik tersendiri, selain suasananya yang dingin dan tenang,

wilayah Dusun Cigarehong juga dekat dengan dua perusahaan besar yang

membutuhkan tenaga kerja, yaitu PT Cevron LTD dan PTPN VIII Kebun Cianten,

dan didukung oleh wilayah hutan yang dapat digunakan masyarakat untuk

bersawah yang dimiliki oleh Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH).

Mobilitas penduduk dari Kampung Padajembar dan Kampung Padajaya

ke desa lain jarang terjadi, kebanyakan masyarakat tetap bertahan di kampungnya

karena mereka nyaman dengan suasana kampung yang kekeluargaan, seperti yang

diutarakan oleh Tatang RT 03, yang menyatakan dirinya lebih senang bekerja di

kampung, walaupun gaji yang ia terima dari perkebunan sedikit, akantetapi di

kampung ia mempunyai tetangga dan teman yang baik yang dapat membantu bila

ia sedang kesusahan, selain itu kampung juga mempunyai suasana yang tenang

dan sejuk.

5.2 Masyarakat sebagai Pekerja Perkebunan

Panen teh yang ”bagus” yaitu pucuk teh yang terbaik yang dapat diekspor

tidak teratur beberapa tahun belakangan ini, menurut mandor besar sektor

delapan. Hal ini dikarenakan pengaruh dari global warming. Sehingga terjadi

perubahan cuaca yang berdampak pada hasil panen teh. Tahun 2009, panen teh

Page 83: I09vhs

yang ”bagus” adalah pada bulan April sampai dengan Mei. Akan tetapi, pada

tahun 2008, panen teh yang bagus terjadi pada bulan Agustus sampai dengan

November. Tanaman teh mengalami panen yang baik bila bulan-bulan

sebelumnya adalah musim hujan, dan setelah musim hujan tersebut sinar matahari

datang dengan sinar yang ”cukup” yaitu sinar matahari yang tidak terlalu panas

yang menyinari daun untuk proses fotosintesa tanpa merusak tanah dengan

menguapkan air dalam tanah, yang menyebabkan tanah kekurangan air dan

gersang, yang berdampak pada kualitas pucuk teh.

Gambar 6. Pemetik Teh Mengantri Giliran untuk Penimbangan

Bila sedang panen teh yang ”bagus”, satu orang pemetik teh bisa mendapat

1,2 ton per bulan atau 40 sampai 50 kilogram per harinya. Sedangkan bila panen

teh sedang ”tidak bagus”, sebulan pemetik teh hanya mendapatkan 700 kilogram,

atau sekitar 20 sampai 30 kilogram per harinya. Gaji pemetik teh di hitung

berdasarkan berapa kilogram hasil petikan yang ia dapatkan. Satu kilogram hasil

Page 84: I09vhs

petikan teh dihargai Rp 400,00 sampai dengan Rp 460,00, sehingga pemetik teh

bisa mendapatkan penghasilan Rp 200.000,00 sampai dengan Rp 300.000,00 per

bulannya.

Harga teh per kilogramnya tergantung kualitas petikan tanaman teh.

Semakin bagus kualitasnya, maka harganya akan semakin tinggi. Harga ini sama

untuk semua pemetik dalam satu mandor petik. Penimbangan dilakukan setiap

hari pukul 10.00, pukul 12.00, dan sore hari tergantung kedatangan dari truk

perkebunan yaitu sekitar pukul 15.00 sampai dengan pukul 14.00. Kegiatan

pemetik teh yang menunggu penimbangan teh dapat dilihat pada Gambar 6. Orang

yang mencatat dari hasil timbangan merupakan pekerja dari perkebunan yang

disebut sebagai juru tulis yang dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7. Juru Tulis Perkebunan

Pekerja pada bidang pemeliharaan dibayar per patok yang berhasil ia

pangkas. Begitu pula pada bidang pengendalian hama dibayar per patok. Untuk

Page 85: I09vhs

satu patok dibayar Rp 20.000,00 sampai dengan Rp 22.000,00. Satu orang pekerja

pemeliharaan dapat mengerjakan 15 sampai 25 patok per bulan, sehingga

penghasilan perbulannya bisa mencapai Rp 330.000,00 sampai dengan Rp

550.000,00. Tidak semua pekerja dapat mengerjakan bagian pemeliharaan dan

pengendalian hama. Dibutuhkan keterampilan dan juga ketahanan terhadap

pestisida dari tanaman teh, sehingga karyawan yang bekerja pada bagian

pemeliharaan dan pengendalian hama sedikit dibandingkan dengan karyawan

bidang pemetikan teh.

Ketua RT 04, Odih yang merupakan salah satu orang dari dua orang di

Kampung Padajembar yang menopangkan hidupnya pada pertanian, yaitu

bersawah, masyarakat yang tidak mau menggantungkan hidupnya pada

perkebunan dikarenakan penghasilan dari perkebunan yang kecil. Penghasilan

Odih dari perkebunan termasuk kecil karena Odih adalah karyawan lepas

perkebunan bagian pemetikan teh, sehingga penghasilan yang didapatnya hanya

dari hasil petikan teh yaitu Rp 100.000,00 sampai dengan Rp 300.000,00. Odih

bekerja di perkebunan selama dua tahun menjadi karyawan lepas perkebunan, dan

akhirnya menjadi wiraswasta karena gaji yang didapat dari perkebunan sedikit dan

tidak mencukupi untuk hidup keluarganya, membayar uang sekolah anak.

Menurutnya gaji dari perkebunan hanya akan mencukupi kebutuhan makannya

sendiri saja.

PTPN VIII memiliki banyaknya pemetik teh perempuan dibandingkan

pemetik teh laki-laki. Menurut Odang dari pihak perkebunan, hal ini dikarenakan

perempuan lebih telaten dari laki-laki, sehingga mutu kualitas tanaman teh yang

didapatkan lebih baik pada petikan perempuan dibandingkan dengan petikan laki-

Page 86: I09vhs

laki. Laki-laki di perkebunan bekerja sebagai karyawan pemeliharaan dan

penyemprotan hama pada tanaman teh.

Pekerja dari perkebunan mendapatkan gaji setiap awal bulan pada tanggal

empat atau lima. Aktivitas yang sering terjadi pada tanggal tersebut adalah adanya

pasar kaget di dekat pabrik perusahaan yang menjual berbagai macam, barang

kebutuhan dapur, sampai kebutuhan yang lainnya..

Pada PTPN VIII Kebun Cianten, satu mandor besar mengurus satu sektor

ini, memiliki bawahan tiga mandor petik dan dua mandor rawat. Kelimanya

merupakan karyawan tetap perkebunan, yang masing-masing memiliki

bawahannya masing-masing juga. Selain mandor-mandor tersebut, mandor besar

juga memiliki mandor yang merupakan karyawan lepas dari perkebunan, yang

akan dipanggil untuk bekerja secara borongan, bila buruh petik yang merupakan

karyawan tetap tidak cukup untuk bekerja. Mandor tidak tetap ini juga memiliki

karyawan petik lepas yang bergantung padanya untuk mata pencaharian.

Karyawan dari perkebunan dibagi menjadi dua secara umum yaitu

karyawan tetap dan karyawan lepas. Karyawan tetap mempunyai hak-hak sebagai

berikut:

1. Mendapatkan upah sosial, yaitu upah yang dibayarkan bila karyawan tetap

perkebunan tidak bekerja karena hari libur nasional, yang pembayarannya

tergantung golongan dari karyawan tersebut. Golongan karyawan tetap

perkebunan didapat dari prestasi karyawan tersebut, kualitas pekerjaan,

dan kehadiran. Karyawan perkebunan bekerja dari hari Senin sampai

dengan hari Sabtu, sehingga setiap hari Minggu. Karyawan tetap dari

perkebunan mendapatkan upah sosial yang besarnya sekitar Rp 22.500,00.

Page 87: I09vhs

2. Karyawan tetap perkebunan mendapatkan jatah cuti, yang lamanya

tergantung jenis cuti. Cuti tahunan diperoleh selama 12 hari, sedangkan

cuti panjang, yaitu enam tahun sekali diperoleh selama satu bulan.

3. Karyawan tetap juga mendapatkan fasilitas kesehatan, yaitu bila mereka

sakit “ringan” yaitu sakit yang perawatannya harus menginap di rumah

sakit, mendapatkan pengobatan gratis di klinik dan bila sakitnya “berat”

yaitu sakit yang pengobatannya harus dilakukan dengan perawatan

menginap di rumah sakit, mendapatkan biaya penggantian pengobatan.

Akan tetapi peraturan perusahaan tersebut tidak diketahui oleh kebanyakan

karyawan perkebunan, sehingga ada beberapa pegawai yang menyatakan

tunjangan kesehatan hanya akan didapat oleh orang yang bekerja di

perkebunan saja yang berstatus pegawai tetap. Akan tetapi ada juga

pegawai yang mengetahui bahwa tunjangan kesehatan dapat digunakan

oleh seluruh keluarga yang salah satu orangnya bekerja sebagai karyawan

tetap diperusahaan. Keluarga tersebut termasuk didalamnya ayah/ibu dan

dua orang anak.

4. Santunan kematian. Perusahaan juga memberikan santunan kematian bagi

pekerja perkebunan yang meninggal ketika masih aktif bekerja di

perkebunan, bukan pensiunan.

5. Pekerja perkebunan juga mendapatkan uang pensiun, Untuk pekerja

dengan pengabdian kurang lebih 30 tahun kerja, kurang lebih 30 sampai

50 juta rupiah, tergantung golongan dari pekerja tersebut.

Karyawan lepas perkebunan tidak mendapatkan hak-hak seperti karyawan

tetap perkebunan. Mereka hanya mendapatkan penghasilan per bulan saja sesuai

Page 88: I09vhs

dengan pekerjaan mereka yaitu Rp 300.000,00 untuk karyawan bagian pemetikan

teh dan Rp 500.000,00 untuk karyawan bagian pemeliharaan teh.

Menjadi karyawan tetap perkebunan prosesnya tergolong sangat sulit.

Terdapat seleksi untuk pemilihan karyawan tetap perkebunan. Pada pemilihan

karyawan tetap perkebunan posisi mandor, terdapat tes tertulis, tes wawancara dan

tes psikotes. Pada posisi pemetik teh, terdapat tes tertulis dan tes pemetikan di

lapangan yang langsung diawasi oleh tim penilai yang menilai kualitas petikan

dan kecepatan pemetikan tanpa melukai tanaman yang akan tumbuh selanjutnya.

Sejak tahun 2003 tidak ada pengangkatan karyawan lepas menjadi

karyawan tetap. Menurut Mang odang, mandor besar dari sektor delapan Dusun

Cigarehong, hal ini dikarenakan kondisi perusahaan yang semakin lama semakin

menurun, dan juga tanaman teh yang sudah lama, melebihi 30 tahun sudah tidak

berproduktifitas dengan baik lagi.

Bekerja di PT Cevron LTD lebih besar penghasilannya dibandingkan

bekerja di perkebunan. Penghasilan di PT Cevron LTD Rp 2.000.000,00 sampai

dengan Rp 4.000.000,00 perbulannya, sudah termasuk uang lembur. Akan tetapi

menurut masyarakat yang pernah bekerja di PT Cevron LTD, bekerja di PT

Cevron LTD memang menghasilkan banyak uang, akan tetapi uang tersebut akan

habis dengan gaya hidup para pekerjanya yang berbeda dengan masyarakat

lainnya, sehingga mereka yang bekerja di PT Cevron LTD mengaku tidak

mempunyai tabungan. Selain gaya hidup, masyarakat yang bekerja di PT Cevron

LTD juga sebagian memiliki istri dua, sehingga pengeluaran yang dikeluarkan

lebih besar dibandingkan dengan masyarakat lainnya.

Page 89: I09vhs

5.3 Merekonstruksi Ulang Arti dan Indikator Kemiskinan Lokal

Diskusi dalam merekonstruksi ulang kemiskinan, indikator kemiskinan

local, dan tangga kehidupan dilakukan beserta dengan perwakilan masyarakat dari

dua kampung yaitu Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar. Diskusi ini

dihadiri oleh ketua RT dari masing-masing kampung, yaitu ketua RT 1 Anas (47

tahun), ketua RT 2 Atma (47 tahun), ketua RT 3 Torik (51 tahun), ketua RT 4

Odih (39 tahun), selain itu terdapat beberapa orang yang dipilih karena mereka

adalah tokoh dari kedua kampung tersebut yaitu kamim (58 tahun), saleh (58

tahun), Aep (47 tahun), asep (33 tahun) dan Ajat (33 tahun). Asep dan ajat dipilih

karena mereka berdua di hormati oleh warga karena keduanya memiliki jenjang

pendidikan yang tinggi. Asep lulusan SMK pertanian, sedangkan ajat lulusan D1

dan berprofesi sebagai guru di SDN Cianten. Melalui hasil diskusi, didapat

definisi kemiskinan, tangga kehidupan dan batas kemiskinan lokal. Menurut

masyarakat, kemiskinan adalah kondisi dimana seseorang tidak memiliki rumah

dan tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya selayaknya orang biasa, yaitu

tidak dapat makan dua kali sehari dan tidak dapat menyekolahkan anaknya sampai

jenjang SMP. Dari definisi ini, perwakilan yang hadir dalam diskusi memiliki

kesimpulan yang sama bahwa semua keluarga yang terdapat di Kampung

Padajaya dan Kampung Padajembar termasuk kedalam keluarga miskin karena

tidak ada keluarga yang mempunyai kepemilikan yang resmi atas tanah maupun

sawah.

Definisi kemiskinan lokal di Kampung Padajaya dan Kampung

Padajembar sesuai dengan definisi kemiskinan dari Sudibyo (1995) yaitu

kemiskinan adalah kondisi depriviasi terhadap sumber-sumber pemenuhan

Page 90: I09vhs

kebutuhan dasar, seperti pangan, sandang, papan, kesehatan, pendidikan dasar.

Karena masyarakat melihat kemiskinan dari bagaimana mereka memenuhi

pangan, papan dan pendidikan dasar mereka.

Dalam penentuan indikator kemiskinan untuk setiap tangga kehidupan,

masyarakat menentukannya berdasarkan penghasilan dan mata pencaharian dari

masyarakat tersebut. Tangga kehidupan di dua kampung ini dibagi menjadi enam

tingkatan (Gambar 8).

Tingkat paling bawah disebut fakir miskin, yang ditempati oleh keluarga

yang tidak memiliki penghasilan dan sudah lanjut usia. Pada tingkatan ini,

penduduk yang sudah lanjut usia ini selain tidak mempunyai pekerjaan,

keluarganya tidak memperhatikan atau keluarganya tidak dapat memberikan

bantuan karena memiliki masalah ekonomi. Sehingga penghasilan yang ia

dapatkan hanya bantuan dari masyarakat ataupun dengan mendapatkan Bantuan

Langsung Tunai (BLT).

Tangga kehidupan kedua dari bawah disebut fakir oleh anggota diskusi.

Pada tangga ini dihuni oleh keluarga yang memiliki penghasilan di bawah Rp

100.000,00. Jenis penghasilan ini adalah penghasilan yang tidak tetap, yang

kadang bisa di dapatkan dan kadang tidak bisa di dapatkan. Pada tangga ini,

penduduk yang sudah lanjut usia juga masuk ke dalam kategori ini. Akan tetapi,

penduduk yang sudah lanjut usia ini masih dapat bekerja, ataupun memiliki anak

yang dapat memberikan uang kepada dia.

Page 91: I09vhs
Page 92: I09vhs

Gambar 8. Tangga Kehidupan, Indikator Kemiskinan Lokal Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar

Mampu Standar

Sedang Miskin

Fakir Fakir Miskin

- > Rp 800.000 - PT Cevron LTD - Rp 300.000-

500.000 - Suami+Istri KLP - Buruh Tani - Pedagang

- Rp 100.000-300.000 - Banyak tanggungan - Suami/Istri KLP -Penghasilan tidak tetap

- Pekerjaan tidak tetap - Lanjut Usia - Memiliki keluarga

- Tidak mempunyai pekerjaan - Lanjut usia - Tidak punya keluarga

- Rp 500.000-800.000 - Suami dan Istri KTP - Suami/Istri KTP dan Suami/Istri KLP - Karyawan PT Cevron LTD

Page 93: I09vhs

Tangga kehidupan selanjutnya adalah tangga ketiga dari bawah dimana

tangga yang disebut miskin oleh masyarakat di dua kampung ini diisi oleh

penduduk yang memiliki penghasilan dari Rp 100.000,00 sampai dengan Rp

300.000,00. Penduduk pada tangga ini mempunyai penghasilan, akan tetapi

mempunyai banyak tanggungan, sehingga penghasilannya tidak mencukupi.

Penduduk yang menempati tangga ini adalah penduduk yang suami atau istrinya

bekerja di perkebunan sebagai karyawan lepas perkebunan. Selain itu pekerjaan

penduduk yang masuk ke dalam tangga ini juga adalah penghasilan yang tidak

tetap dan menghasilkan sedikit uang, seperti pengrajin gendongan teh untuk buruh

petik perkebunan, karena pekerjaan ini hanya terkadang dilakukan bila ada yang

memesan saja, sedangkan yang memesan hanya sedikit, karena tidak adanya

pertambahan pekerja pada perkebunan secara signifikan.

Tangga kehidupan yang berada di posisi ketiga dari atas adalah penduduk

yang mempunyai penghasilan Rp 300.000,00 sampai dengan Rp 500.000,00. Pada

tangga ini, penduduk adalah rumah tangga dengan suami dan istrinya bekerja di

perkebunan sebagai karyawan lepas dari perkebunan, menjadi buruh tani, dan

berdagang. Buruh tani yang masuk ke dalam kategori ini adalah buruh tani yang

bekerja sebagai buruh di lahan orang lain, walaupun ia sendiri mempunyai lahan

sendiri. Penduduk yang bekerja sebagai pedagang pada tangga ini adalah

penduduk yang berdagang secara kecil-kecilan, yang hanya menjual kebutuhan

rumah tangga, makanan anak kecil dan rokok secara kecil-kecilan.

Tangga kehidupan yang berada ke dua dari atas adalah penduduk dengan

penghasilan Rp 500.000,00 sampai dengan Rp 800.000,00. Penduduk dengan

penghasilan ini adalah rumah tangga yang suami atau istri nya bekerja di

Page 94: I09vhs

perkebunan sebagai karyawan tetap perkebunan dan salah satunya juga bekerja di

perkebunan, selain itu mata pencaharian penduduk yang berada dalam tangga ini

adalah penduduk yang suaminya bekerja di PT Cevron LTD, ataupun berdagang,

dengan warung yang sudah cukup besar. Tangga kehidupan yang berada paling

atas diisi oleh penduduk dengan penghasilan diatas Rp 800.000,00 yang rata-rata

diisi oleh penduduk yang bekerja di PT Cevron LTD.

Keluarga yang dianggap miskin menurut perwakilan masyarakat adalah

keluarga yang menduduki tangga kehidupan fakir miskin, fakir, miskin, dan

sedang. Sedangkan keluarga yang dianggap sudah mampu untuk memenuhi

kehidupannya secara layak adalah keluarga yang menempati tangga kehidupan

standar, dan juga mampu.

Perwakilan dari masyarakat yang mengikuti diskusi mengatakan sepakat

bahwa mereka semua yang tinggal di daerah perkebunan dan taman nasional

adalah keluarga miskin. Karena bila mereka diusir dari tempat tinggal mereka

yang sekarang, mereka tidak memiliki tempat tinggal lain, dan mereka akan

langsung menjadi gelandangan. Hal ini dikarenakan semua keluarga yang berada

baik di Kampung Padajembar maupun Kampung Padajaya tidak memiliki rumah

pribadi, rumah yang mereka dirikan berada di atas tanah perkebunan dan taman

nasional, sehingga mereka tidak memiliki kepemilikan resmi dari rumah.

Begitupula dengan mata pencaharian, bila perkebunan dan PT Cevron LTD tidak

ada, maka masyarakat akan kesulitan dalam mendapatkan penghasilan. Karena

rata-rata penduduk di dua kampung tersebut menopangkan dirinya pada dua

perusahaan tersebut, adapun kegiatan lainnya seperti berdagang merupakan

aktivitas mata pencaharian yang tidak langsung bergantung pada PT Cevron LTD

Page 95: I09vhs

dan juga perkebunan, karena mereka dapat berjualan karena masyarakat yang

bekerja di dua perusahaan tersebut. Hanya kegiatan bertani yang merupakan mata

pencaharian yang paling aman, karena tidak bertopang pada kedua perusahaan

tersebut, akan tetapi lahan pertanian yang digunakan oleh masyarakat adalah

lahan pertanian dari tanah milik perkebunan dan taman nasional.

Indikator kemiskinan lokal Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar

berbeda dengan karakteristik rumah tangga menurut BPS (Lampiran 3), yang

memasukkan luas lantai bangunan tempat tinggal, jenis lantai bangunan tempat

tinggal, jenis dinding bangunan tempat tinggal, fasilitas tempat buang air besar,

sumber penerangan rumah tangga, sumber air minum, bahan bakar untuk

memasak, konsumsi daging/ayam/susu/per minggu, pembelian pakaian baru

setiap anggota rumah tangga setiap tahun, frekuensi makan dalam sehari,

kemampuan membayar untuk berobat ke puskesmas atau dokter, lapangan

pekerjaan utama kepala rumah tangga, pendidikan tertinggi kepala rumah tangga,

dan pemilikan aset/harga bergerak maupun tidak bergerak. Sedangkan pada dua

kampung ini, jenis rumah (bahan pembentuknya yaitu dari semen atau dari

bambu) bukan merupakan indikator kemiskinan karena rumah tidak menjadi hal

penting bagi masyarakat. Rumah hanya dibuat untuk kenyamanan saja, dan

bentuk rumah tidak menjadi suatu kebanggaan tersendiri bagi masyarakat di dua

kampung tersebut. Begitupula dengan motor, kepemilikan motor bukanlah

indikator kemiskinan di dua kampung tersebut. Karena orang yang termasuk kaya

di kampung tersebut belum tentu memiliki motor. Penggunaan motor bukan untuk

prestise, akan tetapi lebih kepada kepentingan dan kebutuhan dalam

menggunakannya. Masyarakat yang bekerja diperkebunan, akan lebih memilih

Page 96: I09vhs

untuk berjalan kaki ke tempat bekerjanya (baik perkebunan maupun PT Cevron

LTD) ataupun menggunakan truk yang disediakan oleh perkebunan untuk

aktivitas perkebunan. Menurut masyarakat, dengan adanya kepemilikan motor,

tidak memberikan akses yang lebih kepada masyarakat dalam mengangkut hasil

pertanian mereka ke pasar. Karena hasil pertanian yang mereka dapatkan tidak

dijual ke luar, hanya sekitar Dusun Cigarehong saja.

Persamaan dari indikator kemiskinan lokal dan karakteristik menurut BPS

yaitu frekuensi makan dalam sehari, lapangan pekerjaan, dan pendidikan. Akan

tetapi pada lapangan pekerjaan, pada indikator karakteristik BPS yang dapat

dilihat pada lammpiran 5, penghasilan rumah tangga dibawah Rp 600.000,00 per

bulan, sedangkan di Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar, keluarga yang

termasuk ke dalam kategori miskin masuk ke dalam penghasilan di bawah Rp

500.000,00, dan pendidikan pada kategori BPS berdasarkan pendidikan dari

kepala rumah tangga, sedangkan kemiskinan pada kategori kemiskinan lokal

berdasarkan tingkat pendidikan dari anak keluarga tersebut.

5.4 Kemiskinan Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar

Pada Kampung Padajaya terdapat ketimpangan penghasilan yang dapat

dilihat dari adanya dua gunung pada grafik keluarga miskin Kampung Padajaya

dan Kampung Padajembar (lihat Gambar 9). Pada Kampung Padajaya, gunung

pertama tercipta pada tangga kehidupan mampu, lembah pada tangga kehidupan

standar, kembali naik pada tangga kehidupan sedang, relatif sama pada tangga

kehidupan miskin, kemudian menurun membuat lembah lagi di tangga kehidupan

fakir dan naik lagi pada tangga kehidupan fakir miskin. Kampung Padajembar

Page 97: I09vhs

juga memiliki dua gunung. Lembah pada tangga mampu, naik pada tangga

standar, turun lagi pada tangga sedang kemudian naik lagi pada tangga miskin,

lembah pada tangga fakir dan fakir miskin. Dua gunung pada Gambar 9

memperlihatkan adanya ketimpangan struktur sosial di Kampung Padajaya dan

Kampung Padajembar. Ketimpangan ini dikarenakan perbedaan penghasilan dan

perbedaan akses masyarakat terhadap mata pencaharian dan informasi. Program

penanggulangan kemiskinan di dua kampung ini harus memperhatikan

kesenjangan tersebut, agar program yang diimplementasikan dapat dibagi merata

tidak hanya dinikmati oleh masyarakat yang sudah mampu, akan tetapi dinikmati

oleh semua masyarakat yang membutuhkan.

Gambar 9. Grafik Keluarga Miskin Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar

Page 98: I09vhs

Terdapat perbedaan jumlah penduduk pada masing-masing tangga di

Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar. Kampung Padajaya memiliki

keluarga yang masuk ke dalam tangga kehidupan mampu lebih banyak

dibandingkan Kampung Padajembar. Keluarga yang masuk ke dalam kategori

mampu di Kampung Padajaya dan Padajembar rata-rata adalah keluarga yang

bekerja di PT Cevron LTD, selebihnya adalah keluarga yang menopangkan

hidupnya pada pertanian.

Keluarga mampu lebih banyak di Kampung Padajaya dibandingkan

dengan keluarga di Kampung Padajembar dikarenakan ketua Forum Empat Desa

merupakan warga dari Kampung Padajaya, sehingga kebanyakan pekerja yang

diambil adalah keluarga atau tetangga dari ketua tersebut. Seperti Uci dari RT 2,

yang mendapatkan pekerjaan di PT Cevron LTD karena Tatang, ketua Forum

Empat Desa adalah mertua dari beliau. Sehingga ini dapat menjelaskan fenomena

adanya perbedaan yang signifikan tingkat kesejahteraan pada kategori mampu di

Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar.

Forum Empat Desa adalah forum yang diketuai oleh Tatang dari RT 2.

Forum ini dibentuk dengan inisiatif warga dari empat desa di sekitar wilayah PT

Cevron LTD yaitu desa cibunian, desa ciasmara, desa purwabakti dan desa

purasari. Tujuan dari forum ini adalah sebagai wadah PT Cevron LTD untuk

memberikan timbal balik kepada masyarakat yang wilayahnya terusik karena

adanya PT Cevron LTD. Lewat Forum Empat Desa ini, PT Cevron LTD

mengambil masyarakat disekitar wilayahnya untuk bekerja di PT Cevron LTD.

Akan tetapi pada prakteknya, masyarakat harus membayar sejumlah uang kepada

Forum Empat Desa untuk menjadi dapat bekerja di PT Cevron LTD. Untuk dapat

Page 99: I09vhs

bekerja di PT Cevron LTD, masyarakat harus memberikan uang sekitar Rp

1.000.000,00 dan dipotong Rp 50.000,00 per bulannya untuk biaya administrasi.

Tangga kehidupan standar (Lihat Gambar 9) Kampung Padajembar

memiliki jumlah yang lebih banyak dibandingkan dengan tangga kehidupan

standar Kampung Padajaya dikarenakan pada Kampung Padajembar, keluarga

yang masuk ke dalam kategori ini adalah keluarga yang bekerja di perkebunan

sebagai karyawan tetap baik suami maupun istri, sedangkan pada Kampung

Padajaya, tidak adanya mata pencaharian lain yang dapat dikerjakan selain

bekerja pada PT Cevron LTD ataupun berdagang, yang membutuhkan modal,

membuat masyarakat di Kampung Padajaya sulit untuk masuk kedalam tangga

kehidupan ini.

Penghasilan dari berdagang Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar

memiliki perbedaan. Penghasilan dari hasil berdagang di Kampung Padajaya lebih

besar dibandingkan Kampung Padajembar, karena letak geografis dari kedua

kampung yang sangat berbeda. Kampung Padajaya adalah kampung yang

memanjang dan sebagian (khususnya RT 1) berada di tepi jalan. Sehingga warga

yang berjualan disekitar jalan warungnya dikunjungi oleh orang-orang yang

sedang berekreasi ke daerah perkebunan atau TNGH, maupun orang yang menuju

Sukabumi atau menuju Leuwiliang. Karena jalan besar yang melintasi kampung

ini adalah jalan alternatif menuju sukabumi. Warung di Kampung Padajembar

adalah warung untuk warga yang berada di kampung tersebut. Selain itu, letak

geografis Kampung Padajembar yang jauh dari jalan utama dan mengumpul pada

satu titik, tidak memanjang sesuai dengan jalan dan adanya perbedaan tingkat

penghasilan di dua kampung juga mempengaruhi hasil berdagang. Kampung

Page 100: I09vhs

Padajaya yang merupakan wilayah dari pekerja PT Cevron LTD memiliki tingkat

konsumsi yang lebih tinggi dibandingkan dengan Kampung Padajembar yang

masyarakatnya hanya mempunyai uang yang pas-pasan untuk hidup.

Pada tangga kehidupan sedang, Kampung Padajaya memiliki jumlah yang

lebih besar dibandingkan dengan Kampung Padajembar. Karena banyaknya buruh

tani, pedagang, buruh bangunan di Kampung Padajaya di bandingkan dengan

Kampung Padajembar. Hal ini dikarenakan Kampung Padajaya memiliki

alternatif pekerjaan yang lebih variatif dibandingkan dengan Kampung

Padajembar, dimana Kampung Padajembar hanya diisi oleh karyawan

perkebunan.

Jumlah orang pada tangga kehidupan miskin dan tangga fakir di Kampung

Padajaya dan kampung Padajembar relatif sama. Pada Kampung Padajaya,

kategori ini diisi oleh buruh tani, pedagang sedangkan pada Kampung Padajembar

diisi oleh keluarga yang menopangkan hidupnya pada perkebunan termasuk di

dalamnya pensiunan dari perkebunan.

Karyawan tetap perkebunan menerima uang pensiun yang berbeda-beda.

Karyawan yang telah pensiun sejak lama, hanya mendapatkan uang pensiun yang

kecil, yaitu kurang lebih 10 juta. Sedangkan untuk karyawan yang baru saja

pensiun, lima sampai enam tahun kebelakang, uang pensiunnya bisa lebih besar

yaitu sekitar 30 sampai 50 juta. Sehingga mereka yang telah pensiun juga masuk

kedalam kategori yang berbeda pula dalam penelitian ini, tergantung besarnya

uang pensiun. Pada tangga kehidupan fakir miskin, Kampung Padajaya dan

Kampung Padajembar memiliki perbedaan yang sangat besar. Hal ini dikarenakan

pada Kampung Padajaya masyarakat yang sudah lanjut usia tidak ada yang masih

Page 101: I09vhs

bekerja pada perkebunan, sedangkan pada Kampung Padajembar, warga

masyarakat yang sudah usia lanjut tetap bekerja di perkebunan sebagai pemetik

teh.

Total jumlah antara keluarga miskin dan tidak miskin antara dua kampung

tidak jauh berbeda, karena masing-masing kampung memiliki jumlah keluarga

miskin yang berbeda-beda satu sama lainnya pada tiap tangga kehidupannya. Hal

ini dikarenakan tidak semua masyarakat di Kampung Padajaya yang

menopangkan hidupnya pada PT Cevron LTD dan berdagang, banyak masyarakat

yang tidak bekerja di PT Cevron LTD dan tidak berdagang dikarenakan tidak

adanya modal, menyebabkan mereka harus menjadi buruh tani atau pekerjaan lain

yang tingkat pendatannya berbeda jauh dengan bekerja sebagai pekerja di PT

Cevron LTD. Sedangkan pada Kampung Padajembar memiliki kemerataan,

dikarenakan hampir semua masyarakatnya bekerja di perkebunan dan mempunyai

penghasilan yang relatif sama.

Masyarakat di Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar dapat

dikatakan sebagai daerah yang miskin, karena sebagian besar masyarakatnya yaitu

110 keluarga (71%) berada pada kondisi miskin baik menurut masyarakat maupun

berdasarkan standar BPS. Pada Kampung Padajaya, kemiskinan terjadi karena

banyak masyarakat di kampung ini yang tidak bekerja pada PT Cevron LTD,

berdagang maupun sebagai pekerja di perkebunan. Mereka tidak bekerja pada PT

Cevron LTD terkait dengan modal dan koneksi pada Forum Empat Desa, tidak

berdagang karena tidak mempunyai modal, sedangkan tidak bekerja di

perkebunan dikarenakan sebagian besar warga di Kampung Padajaya menanggap

Page 102: I09vhs

pekerjaan di perkebunan memakan banyak tenaga sedangkan hasil yang

didapatkan sedikit.

Kemiskinan di Kampung Padajembar terjadi karena gaji dari perkebunan

yang sedikit, sehingga masyarakat tidak dapat menabung dan berinvestasi

sehingga tidak ada peningkatan kesejahteraan pada hidup masyarakat.

Kemiskinan karena upah yang desikit di perkebunan ini mempunyai korelasi

dengan yang dinyatakan oleh Mubyarto (1992), bahwa perkebunan adalah ”pabrik

pertanian” karena memproduksi hasil berupa output komoditi perkebunan adalah

melalui proses memadukan aneka faktor produksi (input) ”modem” (tanah, tenaga

kerja, dan modal serta manajemen) laksana sebuah pabrik saja, sehingga tanah

dan tenaga kerja yang murah adalah unsur pokok sistem perkebunan. Sehingga

penekanan upah untuk mendapatkan tenaga kerja yang murah merupakan bagian

dari perkebunan yang tidak dapat pisahkan, karena itu merupakan suatu hal yang

mustahil menaikkan upah dari buruh karena dapat mempengaruhi harga komoditi

dari teh.

Kemiskinan yang struktural ini memaksa pekerja perkebunan mencari

tambahan penghasilan di luar pekerjaan di perkebunan (Mubyarto, 1992).

Sehingga pada Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar dibutuhkan

suntikan modal, ilmu pengetahuan dan akses-akses lainnya untuk

mengembangkan diri dan memulai usaha lain yang dapat membuat mereka tidak

menggantungkan hidupnya pada perkebunan.

5.5 Mobilitas sosial

Indikator mobilitas sosial (lihat Gambar 10) di Kampung Padajaya dan

Kampung Padajembar didapat dari hasil diskusi peneliti dengan perwakilan

Page 103: I09vhs

masyarakat dari Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar. Melalui indikator

mobilitas sosial ini, diketahui penyebab-penyebab masyarakat turun dari tangga

kehidupan, naik tangga kehidupannya ataupun tetap pada tangga kehidupannya

dari 10 tahun yang lalu sampai dengan sekarang.

Masyarakat Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar yang tetap

berada pada tangga kehidupan fakir miskin dan tangga kehidupan fakir sejak 10

tahun yang lalu karena warga tersebut sudah memasuki usia lanjut sejak 10 tahun

yang lalu, sehingga tidak ada perubahan pada tangga kehidupan mereka. Pembeda

pada tangga kehidupan fakir miskin dan fakir yaitu, pada warga yang tetap pada

fakir sejak 10 tahun yang lalu masih memiliki penghasilan walaupun penghasilan

ini tidak berubah sampai sekarang jumlahnya.

Masyarakat yang berada tetap pada tangga kehidupan miskin, sedang dan

standar memiliki persamaan yaitu memiliki warisan dari orangtuanya, baik tanah

untuk rumah, kambing, sawah dan alat elektronik yang dapat digunakan warga

tersebut untuk tambahan penghasilannya. Sawah dapat digunakan warga untuk

memenuhi kebutuhan pangannya sendiri sehingga mengurangi pengeluaran untuk

kebutuhan pangannya. Kambing digunakan untuk membiayai pengeluaran-

pengeluaran yang tidak terduga seperti slametan dan sakit. Rumah dan alat

elektornik mengurangi beban warga untuk membeli peralatan dan membangun

rumah, sehingga dapat menyimpan penghasilannya untuk hal yang lain, ataupun

menabung dengan membeli kambing, atau tidak menjualnya.

Page 104: I09vhs

Gambar 10. Indikator Mobilitas sosial

- Pernah bekerja di PT Cevron LTD - Pernah bekerja di luar kampong - Mempunyai

Mampu Standar

Sedang Miskin

Fakir Fakir Miskin

- Pernah Bekerja di luar kampung - Sudah lama bekerja di PT Cevron LTD - Mempunyai “networking” dengan Forum Empat Desa, dan aparat desa - Memiliki warisan dan Orangtua yang kaya - Pertanian sukses

- Tidak ada perubahan penghasilan sejak 10 tahun lalu - Tidak adanya variasi pekerjaan - Tidak memiliki modal - Bertambah tanggungan - Memiliki warisan

- Tidak ada perubahan penghasilan sejak 10 tahun lalu - Bertambah Tanggungan - Tidak adanya kenaikan jabatan sejak 10 tahun yang lalu - Memiliki warisan

- Sudah Lanjut usia sejak 10 tahun lalu - Tidak adanya perubahan penghasilan sejak 10 tahun lalu

- Sudah lanjut usia sejak 10 tahun yang lalu

- Tidak ada perubahan penghasilan sejak 10 tahun lalu - Tidak adanya kenaikan jabatan - Memiliki warisan

1

2

3

4

5

6

7 8 9 - Terkena

sakit - Tidak mendapatkan warisan - Orangtua “Gulung Tikar”

- Terkena sakit - Masuk penjara

- Kondisi fisik semakin lemah

- Dari mengagur berubah menjadi memiliki

- Memiliki dua penghasilan

- Bekerja di PT Cevron

- Bekerja di PT Cevron LTD - Pernah bekerja di luar kampung

- Pernah bekerja di PT Cevron LTD - Pernah bekerja di luar kampong - Mempunyai modal - Orangtua Mampu

Page 105: I09vhs

Persamaan pada masyarakat yang tetap berada pada tangga kehidupan

miskin, sedang dan standar yaitu tidak adanya kenaikan jabatan, hal ini

dikarenakan pada ketingga tangga tersebut rata-rata diisi oleh masyarakat yang

bekerja pada perkebunan. Sudah beberapa tahun terakhir, perkebunan tidak

menaikkan harga petikan teh dari para karyawannya, kalaupun ada kenaikan harga

petikan hanya beberapa puluh perak saja yang berubah. Sejak tahun 1999 sampai

dengan tahun 2009, perubahan harga teh per kilogram yaitu dari harga Rp 350,00

sampai Rp 450,00. Selain tidak adanya kenaikan penghasilan, perkebunan juga

tidak mengadakan ”open recruitmen” terhadap karyawan lepas perkebunan

menjadi karyawan tetap perkebunan.

Tidak adanya alternatif pekerjaan lain juga menyebabkan masyarakat tetap

berada pada tangga kehidupan miskin. Masyarakat yang tidak bekerja baik pada

PT Cevron LTD, perkebunan maupun tidak mempunyai modal untuk berdagang,

terpakasa menjadi bisnis bangunan, penghulu dan pekerja lainnya yang

penghasilannya tidak tetap. Bertambahnya tanggungan bagi pasangan yang sudah

menikah pada tangga kehidupan miskin dan sedang juga menyebabkan warga

pada tangga kehidupan miskin tidak dapat menaiki tangga kehidupan yang lebih

tinggi, karena penghasilan yang didapatkan tetap sama, sedangkan pengeluaran

bertambah.

Masyarakat yang berada tetap pada tangga kehidupan mampu, merupakan

warga masyarakat yang selama hidupnya tidak bekerja lama di perkebunan yaitu

dua kali bulan sampai dua tahun. Warga masyarakat ini mencari jalan lain untuk

dapat menghidupi dirinya, baik dari pertanian, maupun bekerja di luar kampung,

sehingga sejak dahulu warga ini termasuk kedalam tangga kehidupan mampu, dan

Page 106: I09vhs

setelah kembali ke desa, mereka bekerja di PT Cevron LTD atau yang dulunya

disebut PT Unocal, yang penghasilannya termasuk kedalam tangga mampu di

kampung ini. Warga masyarakat yang tetap berada pada tangga kehidupan mampu

ini juga rata-rata adalah warga dari Kampung Padajaya yang memiliki koneksi

dengan Forum Empat Desa sehingga dapat dengan mudah bekerja di PT Cevron

LTD. Pertanian yang sukses di kampung menyebabkan warga tetap berada pada

tangga kehidupan mampu.

Hal yang paling utama yang menyebabkan masyarakat tetap berada pada

tangga kehidupan mampu yaitu warga tersebut memiliki orang tua yang masuk

kedalam tangga kehidupan mampu juga, sehingga mereka mendapatkan warisan

yang lebih banyak dibandingkan warga masyarakat lainnya, selain harta warisan

dalam bentuk material, warga ini juga mendapatkan warisan koneksi dari

orangtuanya, sehingga orangtua yang sebelumnya memiliki koneksi dengan aparat

desa ataupun dengan PT Unocal mewariskan koneksi tersebut kepada anaknya.

Hal inilah yang membedakan masyarakat yang masuk kedalam tangga kehidupan

mampu sejak dulu dengan masyarakat lain yang tetap berada pada posisi tangga

kehidupannya.

Warga masyarakat yang tangga kehidupannya naik satu tangga kehidupan

sejak 10 tahun yang lalu dikarenakan:

1. warga tersebut berubah status pekerjaannya dari menganggur menjadi

memilki pekerjaan,

2. memiliki dua penghasilan yaitu dari berdagang dan pertanian. Warga ini

awalnya hanya bertani, kemudian hasil dari pertaniannya ini dijadikan

modal untuk berdagang dan menambah luas dari sawahnya,

Page 107: I09vhs

3. karena bekerja di PT Cevron LTD, warga menaiki tangga kehidupan

setingkat lebih tinggi dari sebelumnya,

4. warga juga naik tangga kehidupannya dikarenakan pernah bekerja di luar

kampung, sehingga memiliki modal, untuk memperbanyak lahan

sawahnya dan membeli penggilingan padi.

Warga yang naik satu tangga kehidupan lebih tinggi pada tangga

kehidupan sedang ke tangga kehidupan standar dan pada tangga kehidupan

standar ke tangga kehidupan mampu memiliki persamaan yaitu bekerja di PT

Cevron LTD, yang membedakan keduanya adalah upah yang diterima dari PT

Cevron LTD, sehingga mereka menempati tangga kehidupan sekarang yang

berbeda pula.

Warga yang naik dua tangga sekaligus hanya sedikit. Kenaikan ini

dikarenakan warga tersebut pernah bekerja di luar kampung sehingga mempunyai

modal untuk membuka usaha peternakan dan berladang cabai, selain itu keluarga

warga tersebut merupakan keluarga yang termasuk tangga kehidupan standar,

sehingga uang yang dihasilkan dari bekerja diluar tidak digunakan, melainkan

ditabungkan dalam bentuk pembelian kambing.

Warga yang turun tangga kehidupannya sejak 10 tahun yang lalu terbagi

menjadi tiga yaitu yang menurun tangga kehidupannya dari tangga kehidupan

mampu menjadi tangga kehidupan miskin, dari tangga kehidupan sedang menjadi

miskin, dari tangga kehidupan sedang menjadi tangga kehidupan fakir miskin.

Warga yang 10 tahun lalu berada pada tangga kehidupan mampu menurun

menjadi tangga kehidupan miskin dikarenakan sebelumnya orangtuanya

merupakan salah satu warga yang masuk kedalam tangga kehidupan mampu, akan

Page 108: I09vhs

tetapi karena orangtua warga tersebut ”gulung tikar” maka tidak ada harta yang

diwariskan, sehingga warga tersebut menjadi jatuh miskin. Selain itu, warga yang

10 tahun lalu berada pada tangga kehidupan mampu dan mengalami penurunasn

ke tangga kehidupan miskin dikarenakan terkena sakit, yang menyebabkan

penghasilan yang ia dapatkan harus ia gunakan untuk perawatan rumah sakit.

Warga yang turun satu tangga dari tangga kehidupan sedang menjadi

miskin adalah warga yang sudah semakin tua, sehingga kondisi fisik melemah,

dan hasil petikan yang ia dapatkan tidak banyak, yang berpengaruh pada

penghasilannya. Terakhir, warga yang turun dari tangga kehidupan sedang

menjadi fakir miskin, dikarenakan warga tersebut masuk penjara, sehingga tidak

ada yang membiayai pengeluaran dari keluarganya.

Jumlah masyarakat yang tetap berada pada posisi tangga kehidupannya

sejak 10 tahun yang lalu, ataupun mengalami perubahan baik naik atau turun pada

tangga kehidupannya, dapat dilihat pada Tabel 9. Sebagian besar masyarakat di

Kampung Padajaya dan Kampung Padajaya tidak memiliki perubahan status

kesejahteraan (tidak berubah posisi dalam tangga kehidupan) sejak sepuluh tahun

yang lalu. Warga yang menempati kategori tetap kaya maupun tetap miskin

(89,5%) lebih banyak dibandingkan warga yang menempati kategori jatuh miskin

dan jadi kaya (10,5%). Sehingga dapat disimpulkan bahwa pada Kampung

Padajaya dan Kampung Padajembar jarang terjadi perubahan posisi pada tangga

kehidupan, kehidupan di dua kampung tersebut selalu tetap dari 10 tahun yang

lalu sampai dengan sekarang.

Page 109: I09vhs

Tabel 9. Mobilitas sosial Masyarakat

Tahun Jumlah Persentase 1999 2009 (Orang) (%)

Sedang Mampu 10 6.6 Mampu Mampu 3 2.0 Standar Mampu 3 2.0 Sedang Standar 4 2.6 Standar Standar 22 14.5 Miskin Sedang 1 0.7 Sedang Sedang 30 19.7 Miskin Miskin 45 29.6 Fakir Miskin 2 1.3

Sedang Miskin 1 0.7 Mampu Miskin 2 1.3

Fakir Fakir 7 4.6 Fakir Miskin Fakir Miskin 20 13.2

Sedang Fakir Miskin 2 1.3 Total 152 100

Sumber: data primer (2009)

Melalui tangga kehidupan, diketahui tangga kehidupan keluarga yang

sekarang dan keadaanya pada sepuluh tahun yang lalu. Dari data ini, rumah

tangga dikelompokkan berdasarkan garis kemiskinan lokal menjadi empat

kategori yaitu: tetap miskin, jatuh miskin, tetap kaya, jadi kaya (lihat Gambar 11).

Warga masyarakat yang menempati kategori tetap miskin pada Tabel 10

lebih banyak dibandingkan dengan masyarakat yang masuk ke dalam kategori

lainnya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa sebagian besar warga masyarakat

Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar, merupakan masyarakat miskin

yang sejak 10 tahun yang lalu sampai dengan sekarang berada pada status miskin.

Page 110: I09vhs
Page 111: I09vhs

Gambar 11. Sebaran Masyarakat Berdasarkan Posisi Tangga Kehidupan Masyarakat pada Tahun 1999 dan Tahun 2009

Page 112: I09vhs

Tabel 10. Sebaran Masyarakat Berdasarkan Posisi Tangga Kehidupan Masyarakat

pada Tahun 1999 dan Tahun 2009

No. Mobilisasi Kemiskinan Jumlah (Orang) Persentase (%) 1 Tetap Miskin 108 71,1 2 Tetap Kaya 28 18,4 3 Jatuh Miskin 2 1,3 4 Jadi Kaya 14 9,2

Jumlah 152 100 Sumber: data primer (2009)

Lewat hasil ini, diambil satu orang warga yang masuk kedalam masing-

masing kategori, yaitu Apul yang masuk kedalam kategori tetap miskin sejak

sepuluh tahun yang lalu, Tatang yang masuk kedalam kategori jatuh miskin, Emis

yang menjadi kaya dibandingkan sepuluh tahun yang lalu, dan Uci yang tetap

kaya sejak sepuluh tahun yang lalu.

5.5.1 Warga Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar yang Tetap

Miskin

Apul (30 Tahun) adalah karyawan lepas perkebunan sebagai pemetik teh.

Gaji Apul Rp 200.000,00 per bulan. Pekerjaan lain yang dilakukan oleh Apul

selain memetik teh, yaitu mengurus kambingnya yang berjumlah dua ekor dengan

mengambil rumput setiap habis memetik teh untuk kambing tersebut, selain itu

Apul bekerja sambilan di sawah dengan luas tiga gedeng, yang dikerjakan setelah

mengambil rumput, dan pada hari libur perkebunan yaitu hari minggu. Dari hasil

memetik teh digunakan oleh Apul untuk resiko dapur, yaitu istilah dalam

perkebunan untuk kredit sembako, yang langsung dipotong pada saat apul

menerima gaji, sehingga gaji bersih yang didapatkannya per bulan Rp 50.000,00

Page 113: I09vhs

yang digunakan untuk jajan anaknya, dari hasil memelihara kambing, digunakan

oleh Apul untuk membiayai hal-hal yang diluar pengeluaran sehari-hari, seperti

biaya melahirkan anak, nujuh bulan, dan slametan. Biaya ini didapatkan dari hasil

jual anak kambing, yaitu Rp 100.000,00 per ekornya. Sedangkan dari hasil kerja

sambilan disawah, hasil panen beras dapat digunakan untuk makan keluarga

selama menunggu masa panen berikutnya.

Apul memiliki tanggungan istri, anak pertama (4,5 tahun), anak kedua

(tiga bulan), istri tidak bekerja karena harus mengurus anak yang masih Balita.

Apul memiliki rumah, sawah dan TV. Ketiganya didapat dari orangtua setelah

Apul menikah, selain itu harta lain yang dimiliki Apul adalah ayam lima ekor dan

dua kali ekor kambing milik sendiri.

Apul mulai bekerja di perkebunan sejak umur 12 tahun (tahun 1991).

Tahun 2000, Apul pernah bekerja di kota, akan tetapi hanya bertahan paling lama

dua bulan selama tiga kali keberangkatan ke kota. Apul di kota bekerja sebagai

pembantu rumah tangga dengan gaji Rp 75.000,00 per bulan bersih, akan tetapi

gaji ini tidak dapat ditabung karena hanya cukup untuk membeli keperluan Apul

saja, sehingga tidak ada peningkatan ekonomi pada tahun tersebut. Pada Tahun

2004 Apul menikah. Pada tahun 2004 tersebut Apul bekerja sebagai pekerja

perkebunan bagian perawatan yang menyemprot tanaman teh, akan tetapi hanya

berlangsung satu setengah tahun, karena Apul terkena sakit, sehingga tidak

diperbolehkan untuk menghirup semprotan pestisida. Gaji yang didapat dari

penyemprotan tanaman teh ini lebih dari cukup untuk kebutuhan sehari-hari,

sehingga Apul dapat menyisihkan uang yang digunakan untuk slametan anak

nujuh bulan dan membeli kambing. Pertengahan tahun 2006, Apul kembali

Page 114: I09vhs

menjadi pemetik teh. Pada tahun-tahun berikutnya apul merasa tidak ada

perubahan dalam hidupnya, malah lebih sulit karena tanggungan bertambah lagi

satu.

Apul, memiliki sawah dengan luas tiga gedeng yang merupakan warisan

dari orangtuanya dan didapat setelah menikah. Hasil panen hanya cukup untuk

menunggu sampai ke jarak panen selanjutnya. Apul tidak memperluas lahannya,

karena tidak mampu mengurus dan tidak adanya modal, bila sawah diperluas,

maka jam kerjanya akan meningkat, sedangkan Apul tidak sanggup bekerja

sendirian dan tidak mempunyai cukup waktu bila harus bekerja di lahan yang

lebih luas.

5.5.2 Warga Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar yang Jatuh

Miskin

Tatang (31 tahun) bekerja di perkebunan sebagai karyawan lepas bagian

pemetikan teh. Selain bekerja di perkebunan, Tatang juga bekerja sebagai

pemelihara kambing yang diparo-paro oleh pemiliknya kepada Tatang. Sistem

paro-paro kambing ini adalah sistem bagi hasil ternak, dimana pemilik ternak

akan memberikan kambingnya untuk diurus kepada orang lain, dan orang tersebut

akan memelihara kambing, bila kambing melahirkan, anak kambing akan dibagi

dua antara pemilik dan pemeliharanya. Selain itu, Tatang juga bekerja sebagai

buruh, buruh ini meliputi berbagai hal, dari memotong kayu, buruh di sawah, atau

apapun yang disuruhkan kepada Tatang.

Gaji yang didapat Tatang dan istrinya dari perkebunan yaitu sebesar Rp

300.000,00. Istri Tatang ikut membantu memetik teh sebagai karyawan lepas

Page 115: I09vhs

perkebunan. Hasil yang didapat Tatang lebih kecil dibandingkan karyawan

lainnya karena Tatang sangat mematuhi peraturan dari perkebunan, Tatang tidak

menggunakan sarung tangan pada saat memetik, agar tidak merusak tanaman teh

yang akan dipanen selanjutnya, hal ini menyebabkan hasil yang didapatkan

Tatang sedikit. Gaji dari perkebunan ini digunakan oleh Tatang untuk kebutuhan

sehari-hari keluarganya, akan tetapi gaji ini tetap tidak cukup, sehingga Tatang

harus berhutang kepada tetangganya dan dibayarkan dengan cara menjadi buruh

mereka yaitu membantu bila masyarakat membutuhkan Tatang di sawah, ataupun

memperbaiki rumah, dll. Hasil dari paro-paro kambing digunakan oleh Tatang

untuk kebutuhan diluar keperluan sehari-hari seperti slametan, keperluan sekolah

anak, dll.

Tahun 1993-1998, Tatang pergi dari kampungnya dan bekerja di Jakarta.

Tatang kesulitan mencari pekerjaan di Jakarta, bila dapat pekerjaan, gaji yang

didapat sangat sedikit dan hanya cukup untuk kebutuhannya sendiri, bahkan

terkadang kurang. Hal ini mungkin dikarenakan kondisi fisik Tatang yang kecil,

kurus dan ada luka di bagian matanya. Pada tahun 1998, Tatang kembali ke

kampungnya dan mulai bekerja di perkebunan sebagai pemetik teh. Tahun 2000

Tatang menikah dan mempunyai anak. Pada tahun 2002, ayah Tatang meninggal

dan tidak memberikan warisan pada Tatang dan tidak lagi memberikan bantuan

ekonomi pada Tatang. Pada tahun ini Tatang diusir dari rumahnya dan tidak

memiliki rumah lagi, tetangga dan seluruh masyarakat dari Kampung Padajembar

membantu Tatang membuat rumah, mereka bergotong royong membuat rumah

Tatang baik dari segi tenaga maupun bantuan uang, sehingga untuk membuat

rumah yang sekarang Tatang tempati, Tatang hanya mengeluarkan uang Rp

Page 116: I09vhs

100.000,00 sisa kebutuhan pembuatan rumahnya ditanggung bersama oleh

masyarakat Kampung Padajembar. Pada tahun 2003 Tatang memiliki anak lagi,

dan Tatang merasa hidupnya semakin sulit karena memiliki tambahan tanggungan

tanpa adanya tambahan penghasilan.

Tanggungan Tatang yaitu istri, anak pertama (8 tahun), anak kedua (4

tahun), Tatang memiliki TV yang dibeli pada tahun 2007 dengan cara kredit.

Tatang membeli TV walaupun tidak mampu, karena malu anaknya harus

menonton di rumah tetangga sampai malam. Tatang tidak memiliki harta lainnya,

termasuk sawah, karena ayah Tatang bangkrut sehingga tidak mewariskannnya

apapun pada Tatang, selain itu ayah Tatang memiliki dua orang istri dan dari

sebelum sampai akhirnya ayah Tatang bangkrut, semua harta ayahnya dikuasai

oleh ibu tirinya. Rumah yang ditempati Tatang sekarang adalah rumah yang

dibuat oleh masyarakat dengan cara bergotong-royong, baik dalam hal dana

maupun tenaga. Tatang memiliki kambing yang diparo sebanyak lima ekor.

Perbedaan antara Apul dan Tatang yaitu, Apul memiliki orangtua yang

dapat mewarisinya harta dan membantu perekonomian Apul pada saat kesulitan,

sehingga Apul memiliki jaminan. Sedangkan Tatang tidak memiliki orangtua

ataupun saudara yang memberikannya harta untuk modal dan membantu

perekonomian Tatang pada saat kesulitan ekonomi. Begitupula dengan gaji, gaji

yang diterima Tatang lebih besar Rp 100.000,00 dibandingkan Apul, akan tetapi

Tatang tetap tidak bisa memenuhi kebutuhan hidupnya, hal ini dikarenakan

Tatang tidak memiliki sawah, sehingga Tatang harus mengeluarkan uang untuk

membeli beras, sedangkan Apul memiliki sawah, selain itu anak Tatang umurnya

Page 117: I09vhs

lebih besar daripada anak Apul, sehingga kebutuhan anak juga lebih besar anak

Tatang dibandingkan anak Apul yang masih Balita.

5.5.3 Warga Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar yang Tetap

Kaya

Uci (47 tahun) mempunyai pekerjaan sebagai pegawai PT Cevron LTD

sejak tahun 2007 dengan penghasilan Rp 2.500.000,00 per bulan. Selain bekerja

di PT Cevron LTD, Uci memiliki sawah seluas delapan gedeng yang diurus oleh

istri dan dua pekerjanya. Uci juga memiliki enam ekor kambing yang juga diurus

oleh istri dan 30 ekor ayam. Dari hasil bekerja di PT Cevron LTD, sudah lebih

dari cukup untuk membiayai pengeluaran Uci dan keluarganya. Jumlah

tanggungan Uci yaitu: dua orang istri, anak terakhir dari istri pertama (17 tahun)

dan anak dari istri kedua (7 tahun), anak-anak Uci yang lainnya sudah menikah.

Sebelum tahun 1985, Uci pernah bekerja di perkebunan sebagai karyawan

lepas pada bidang pemetikan teh. Akan tetapi, Uci memutuskan untuk berhenti,

karena merasa bekerja di perkebunan capai dan tidak menghasilkan penghasilan

yang setimpal dengan pekerjaan yang dilakukan. Tahun 1985 sampai tahun

2000an Uci mulai bekerja pada sektor pertanian, awal mulanya bersawah, akan

tetapi Uci mulai belajar dan menyadari bahwa tanah didaerahnya tidak cocok

ditanami oleh padi, sehingga Uci beralih ke tanaman cabai, kacang panjang,

jagung, pisang dan sayur-sayuran. Tanaman selain padi ternyata lebih baik

hasilnya dari pada padi. Pada saat Uci bertanam cabai, kacang panjang, jagung,

pisang dan sayur-sayuran, hasil panennya dijual sampai ke Leuwiliang dan

komersil, sehingga mendapatkan untung yang besar. Selain bekerja di bidang

Page 118: I09vhs

pertanian, pada tahun 1988-1998 Uci juga bekerja sambilan di Perum Perhutani

sebagai kader konservasi.

Uci dapat mempertahankan posisi tangga kehidupannya, karena Uci sejak

awal sudah tidak bekerja di perkebunan dan menopangkan hidupnya pada

pertanian yang lebih menghasilkan, sehingga Uci dapat menabung dan

menginvestasikan uangnya pada bidang lain, yang sedikit demi sedikit

memberikan hasil pada Uci dan memperbanyak hartanya.

5.5.4 Warga Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar yang Jadi

Kaya

Emis (30 tahun) bekerja sebagai petani dan pedagang. Dari hasil dagang,

Emis dapat memenuhi kebutuhan sehari-harinya, warung dijaga oleh istri sambil

menjaga anaknya di rumah. Emis bertani cabe, kacang panjang, dan bawang. Dari

hasil bertani ini ditabung untuk memperluas lahan kebunnya dan juga untuk

modal membuat ternak ayam di samping rumahnya. Luas lahan Emis yaitu 125

meter yang dibantu oleh dua orang pekerja. Emis memiliki tanggungan yaitu: istri

dan seorang anak (5 tahun). Emis memiliki kebun, warung, TV, motor, emas,

kerbau dan ayam.

Tahun 1994 sampai tahun 2001, sejak lulus SMP, Emis bekerja di kota

Bogor yaitu di pasar Warung Jambu). Emis memutuskan untuk kembali ke

kampung karena tidak tahan dengan persaingan yang semakin sulit di pasar, yang

ditandai dengan semakin banyaknya orang yang berdagang dan persaingan harga

yang semakin ketat, sehingga untung yang didapat semakin sedikit. Setelah berada

di kampung, Emis sempat menganggur dan bekerja sambilan, kambing miliknya

Page 119: I09vhs

dijual sebagai modal dan kebutuhan hidup. Selama bekerja di pasar, Emis sering

mengirimkan uang kepada orangtuanya. Karena orangtua Emis cukup berada, dan

dapat memenuhi kebutuhan mereka sendiri, maka uang Emis ditabungkan oleh

orangtua Emis dalam bentuk kambing. Selama bekerja di pasar juga, Emis

mengkredit motor, dua tahun setelah Emis tidak bekerja di pasar, motor tersebut

telah habis masa kreditnya dan menjadi milik Emis.

Tahun 2004 Emis menikah dan mulai membuka warung dari hasil jual

kambing. Dari modal yang Emis kumpulkan sejak bekerja di pasar, Emis

berbisnis jualan ayam yang dijual secara kredit kepada masyarakat di Dusun

Cigarehong dan sekitarnya. Akan tetapi bisnis jualan ayam ini tidak berhasil,

bahkan merugi, karena orang yang membeli ayam secara kredit tidak membayar

lunas pada Emis. Sehingga Emis merugi dari usaha ini. Pada tahun 2005, Emis

dan temannya bekerja sama bertani cabe. Emis sebagai orang yang menanamkan

modal, sedangkan temannya yang mengelola cabe tersebut. Hasil dari bertani cabe

ini yaitu Rp 1.000.000,00. Tahun 2007 Emis bekerja di PT Cevron LTD, selama

enam bulan, gaji dari PT Cevron LTD habis begitu saja, akan tetapi tersisa sebesar

Rp 2.000.000,00 yang dibelikan ladang untuk bertanam cabe dan kacang panjang

yang sekarng sedang Emis lakukan.

Pekerja PT Cevron LTD mendapatkan penghasilan yang cukup besar,

berkisar Rp 2.000.000,00 sampai dengan Rp 4.000.000,00 per bulannya. Akan

tetapi sebagian besar dari pekerja yang bekerja di Cevron tidak dapat

menabungkan hasil kerjanya, uang tersebut akan habis dengan gaya hidup

berfoya-foya, dan juga memiliki istri lebih dari satu orang. Sehingga banyak

ditemukan di Kampung Padajaya yang memiliki istri lebih dari satu orang dan

Page 120: I09vhs

beberapa orang yang memiliki suami, akan tetapi tidak diketahui siapa suami

warga tersebut.

5.6 Modal Sosial Masyarakat

Menurut Agung (2007), satu hal yang masih bisa diharapkan dan menjadi

semacam roh untuk mempertahankan hidup komunitas-komunitas di pedesaan

adalah budaya gotong-royong. Praktek gotong-royong, yang dalam istilah

akademis sering disebut sebagai social capital ini, terjadi dalam hampir semua

segi kehidupan masyarakat. Pada masyarakat di Kampung Padajembar dan

Kampung Padajaya, kegiatan gotong-royong ini masih terasa sangat kental.

Gotong-royong tidak hanya dalam hal memperbaiki atau membuat fasilitas umum

akan tetapi dalam berbagai hal, mulai dari kegiatan tandur, panen peanian, saling

membantu bila ada yang sakit, slametan, kawinan, nujuh bulan. Pola gotong-

royong ini banyak menanggulangi kebutuhan-kebutuhan yang seharusnya keluar

dalam bentuk uang tunai, dan menanggulangi beban masyarakat yang tidak

memiliki uang pada saat tersebut.

Pemenuhan kebutuhan pangan sehari-hari juga merupakan bagian dari

gotong-royong ini, karena masyarakat yang sudah tidak memiliki beras dapat

meminjam beras kepada tetangga atau saudaranya yang masih memiliki cadangan

beras hasil panennya. Orang yang meminjam beras dapat mengembalikan beras

tersebut baik dalam bentuk beras ataupun membantu di sawah ataupun buruh bila

tetangganya tersebut membutuhkan bantuan tenaga.

Selain beras, modal sosial masyarakat juga dalam bentuk kambing.

Kambing yang cukup merupakan tabungan yang dirasa lebih nyata bagi petani.

Page 121: I09vhs

Masyarakat yang memiliki uang akan menyimpan uangnya dalam bentuk

kambing, kemudian kambing diparo-paro, yang dimaksud adalah kambing dibeli

akan tetapi diurus oleh orang lain, bila kambing melahirkan, anak dari kambing

tersebut adalah milik si pembeli dan yang mengurus dari kambing tersebut.

Page 122: I09vhs

BAB VI MASALAH AGRARIA

Perkebunan dan pegunungan selalu dibayangkan sebagai tempat yang

sejuk dengan suasanan pedesaan yang kental dan terasa damai. Bagi orang kota

suasana seperti itu merupakan tempat yang tepat untuk melepaskan rasa bosan dan

lelah karena rutinitas harian. Kekaguman yang mendalam akan keindahan alam

lereng pegunungan dan kebun teh yang terhampar luas mengesan bagi orang kota.

Namun tidak demikian halnya dengan masyarakat setempat. Mereka menyimpan

problemanya sendiri. Hijaunya hutan dan perkebunan bukanlah tolak ukur

kemakmuran oleh sebagaian besar orang, khususnya orang-orang kota, bahwa di

balik tirai pegunungan yang hijau dan segar itu sedang terjadi proses pemiskinan

yang telah berlangsung dan masih berlangsung sampai sekarang.

Beberapa permasalahan agraria yang dihadapi oleh petani di Kampung

Padajaya dan Kampung Padajembar ialah sebagai berikut:

6.1 Kontur Wilayah Perkebunan dan Kesuburan Tanah

Bila dilihat dari atas perkebunan, maka deretan dari persawahan di

Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar tidak akan terlihat, karena letaknya

yang mengikuti kontur (lembah) sehingga tidak terlihat adanya aktivitas pertanian

di kampung tersebut. Bentuk sawah di Kampung Padajaya dan Kampung

Padajembar berbentuk terasering yang disesuaikan dengan kontur tanah daerah

perkebunan (lihat Gambar 12). Lahan yang digunakan oleh masyarakat ini adalah

Hak Guna Usaha dari perkebunan yang tidak digunakan oleh perkebunan karena

ketinggiannya tidak sesuai dengan tanaman teh yang perkebunan budidayakan.

Page 123: I09vhs

Gambar 12. Sawah yang Sesuai dengan Kontur Tanah Daerah Perkebunan

Sawah di Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar dibuat sesuai

dengan kontur tanah sehingga warga tidak menggunakan kerbau untuk

pembajakan lahan pertanian mereka, karena letak dan bentuk sawah ini. Hal ini

menyebabkan warga Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar harus

melakukan pembajakan sendiri terhadap lahan mereka. Warga harus

mengeluarkan biaya, waktu dan tenaga yang lebih untuk mengerjakan hal ini.

Hasil pertanian yang terdapat di Kampung Padajaya dan Kampung

Padajembar adalah padi, cabe, kacang panjang, jagung, pisang, sayur-sayuran dan

tanaman rempah-rempah yang digunakan untuk memasak (lihat Gambar 13 dan

Gambar 14). Masyarakat pada umumnya menanam padi sebagai komoditas

utama, karena padi adalah kebutuhan utama pangan mereka (lihat Gambar 15).

Karena kontur wilayah yang berbukit-bukit, maka warga memanfaatkan lahan

kosong sebaik mungkin.

Page 124: I09vhs

Gambar 13. Sayuran yang di Tanam Sesuai Kontur Tanah

Karena kontur wilayah yang berbukit-bukit, maka warga memanfaatkan

lahan kosong sebaik mungkin. Pada Gambar 13, masyarakat tetap menggunakan

lahan kosong yang ada, walaupun lahan tersebut cukup miring.

Gambar 14. Tanaman Rempah dan Pohon Pisang Warga

Page 125: I09vhs

Gambar 15. Padi Komoditas Utama Pertanian Masyarakat

Topografi wilayah Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar yang

berada pada dataran tinggi menyebabkan produktivitas tanaman padi di kampung

ini lebih rendah dibandingkan dengan kampung-kampung lain di luar Kebun

Cianten. Pada Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar, satu gedeng dapat

menghasilkan 150 liter beras (luas satu gedeng sawah setara dengan 1500 m2)

dengan masa panen empat bulan sampai dengan lima bulan. Sedangkan di desa

lain, satu gedeng dapat menghasilkan 300 liter beras. Perbedaan hasil ini menurut

warga dikarenakan tanah pada desa lain di luar perkebunan dengan tanah di

Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar berbeda tingkat kesuburannya.

Berdasarkan wawancara dengan masyarakat yang memiliki sawah, sawah dengan

luas dua gedeng sampai dengan tiga gedeng dapat memenuhi kebutuhan pangan

keluarga sampai dengan musim panen berikutnya yaitu empat sampai dengan lima

Page 126: I09vhs

bulan mendatang. Dengan asumsi empat orang dewasa dengan tingkat konsumsi

beras 10 liter sampai 12 liter per minggunya.

6.2 Hubungan Petani dengan Perkebunan dan TNGH

Berdasarkan informasi baik dari mandor besar Sektor delapan dan Bagian

Umum PTPN VIII Kebun Cianten, perkebunan memberikan ijin kepada

masyarakat yang membuat sawah maupun perumahan di dalam wilayah

perkebunan, dan mengenakan sewa atas sawah dan rumah tersebut. Syaratnya

masyarakat tidak diperbolehkan menjadikan rumah tersebut menjadi bangunan

permanen, yaitu menggunakan batu bata dan semen, dan sawah tidak boleh

diperluas ke areal tanaman teh. Akan tetapi terkadang ada beberapa masyarakat

yang tidak mematuhi peraturan tersebut. Tanpa sepengetahuan pihak perkebunan,

warga sedikit demi sedikit memperluas areal sawah dan rumah mereka baik ke

daerah perkebunan maupun daerah Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH).

Hal ini dikarenakan tidak adanya data dari perkebunan mengenai luas sawah dari

masyarakat secara detail. Administrasi ini tidak lengkap dikarenakan setiap

administratur memiliki kebijakan sendiri-sendiri mengenai hal ini, sehingga ada

yang memungut biaya untuk sawah dan rumah warga yang berada di dalam

Kebun Cianten, dan ada pula yang tidak memungut biaya.

Salah satu penduduk yang memperluas lahannya adalah Odih. Odih

memperluas lahan rumahnya kearah tanaman perkebunan. Selama lima tahun

belakang rumahnya menjadi bertambah empat meter. Tanaman teh yang ada

didepan rumahnya di potong dan dibongkar tanahnya untuk memperluas rumah.

Pihak perkebunan tidak mengetahu pelebaran ini, karena tidak ada bagian khusus

Page 127: I09vhs

dari perkebunan yang mengawasi areal lahan baik rumah ataupun sawah untuk

masyarakat. Selain itu, orang-orang yang bekerja di perkebunan di daerah rumah

Odih tidak menegur Odih karena hal ini sudah menjadi hal yang biasa bagi

masyarakat Kampung Padajembar.

Pemilikan dan penguasaan tanah di Kampung Padajaya dan Kampung

Padajembar, dilakukan dengan cara jual beli tanah. Jual-beli tanah di Kampung

Padajaya dan Kampung Padajembar berbeda dengan desa lain di luar Kebun

Cianten. Jual-beli tanah di kampung ini, hanya perpindahan penggunaan sawah

saja dari orang yang sebelumnya menguasai sawah tersebut kepada orang lain.

Hal ini dikarenakan lahan yang masyarakat gunakan bukan milik, melainkan

tanah dari perkebunan maupun dari TNGH, yang tidak diperbolehkan untuk

diperjual belikan.

Pergantian pengelolaan dari Perum Perhutani menjadi TNGH di Dusun

Cigarehong baru terjadi pada bulan Februari. Setelah adanya pergantian, pihak

TNGH memberitahukan kepada warga Kampung Padajaya dan Kampung

Padajembar bahwa mereka diperbolehkan untuk tetap bersawah atau berladang

dan memiliki perumahan di daerah TNGH, akan tetapi baik sawah, ladang

maupun perumahan tersebut tidak diperbolehkan untuk diperluas, bila diperluas

akan mendapatakan sangsi. Masyarakat juga tidak diperbolehkan untuk menebang

hutan di daerah TNGH. Pada tahun 2006 seorang warga Padajaya yang bernama

Ahdi ditangkap karena menebang pohon di hutan TNGH dan mendapat hukuman

penjara. Hal ini menyebabkan masyarakat mulai enggan untuk menebang pohon,

Menurut Uci yang merupakan sukarelawan dari TNGH sejak lima belas tahun

yang lalu, orang yang menebang hutan TNGH adalah warga yang berasal dari luar

Page 128: I09vhs

Dusun Cigarehong. Karena penduduk dusun ini sudah mengetahui sanksi yang

terjadi bila melanggar peraturan dari TNGH, seperti yang terjadi pada tetangga

mereka. Akan tetapi masih ada beberapa pihak yang ”nakal” dan melanggar

peraturan dari TNGH dengan memperlebar lahan sawah mereka perlahan-lahan,

tanpa diketahui pihak TNGH.

6.3 Penguasaan yang Sempit oleh Petani

Penguasaan sawah baik di Kampung Padajaya maupun Kampung

Padajembar berdasarkan sistem warisan yang diberikan secara turun-temurun dari

orang tua kepada anak atau menantunya. Pada wanita, tanah diberikan setelah

mereka menikah, sedangkan pada laki-laki tanah diberikan sejak mereka dianggap

telah bisa mengurus tanah itu sendiri. Karena adanya sistem warisan ini,

masyarakat miskin yang tidak memiliki tanah tidak dapat menurunkan tanah

kepada anaknya, sehingga anak mereka tidak memiliki sawah.

Penguasaan sawah berdasarkan sistem warisan ini menjadi jawaban

mengapa petani di Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar memiliki lahan

pertanian yang sempit. Karena setiap orangtua tidak hanya memiliki satu anak

saja. Sehingga tanah yang ia miliki akan dibagi-bagikan kepada semua anaknya

dan anak-anaknya mendapatkan lahan orangtua yang sudah semakin kecil karena

dibagi-bagikan tersebut.

Penguasaan lahan pertanian yang sempit di Kampung Padajaya dan

Kampung Padajembar mendorong masyarakat mengadakan perluasan lahan,

untuk meningkatkan produktivitas dari hasil pertanian mereka. Perluasan ini

dilakukan baik ke tanah perkebunan maupun ke tanah TNGH. Akan tetapi,

Page 129: I09vhs

perluasan ini memakan biaya yang besar. Berdasarkan wawancara dengan Asep,

biaya yang dikeluarkan untuk memperluas lahan yaitu kurang lebih Rp

1.000.000,00. Biaya ini digunakan untuk membayar orang untuk membuka lahan

hutan TNGH maupun perkebunan sebesar dua sampai tiga gedeng. Tanah

sebelumnya harus ”diurug”, tanaman-tanaman diatas tanah tersebut dicabut

sampai akarnya. Kemudian tanah dicangkul agar gembur, kemudian dibuat irigasi

dari sungai yang terdekat dengan sawah. Karena biaya perluasan lahan sangat

mahal bagi masyarakat Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar, maka

biasanya hanya masyarakat yang termasuk kedalam tangga kehidupan mampu dan

tangga kehidupan standar saja yang dapat memperluas lahan pertanianny, karena

mereka mempunyai modal.

Tindakan perluasan oleh Warga Kampung Padajaya dan Kampung

Padajembar, dilakukan dengan cara sembunyi-bunyi yang disebut resistensi kecil

dari petani. Perluasan ini dilakukan sedikit demi sedikit sehingga tidak diketahui

oleh pihak perkebunan, karena tidak adanya kontrak tertulis dan juga tindakan

administratif dari perkebunan untuk menunjukkan luas dari wilayah perkebunan

yang digunakan oleh masyarakat. Kalaupun ada data dari perkebunan, data itu

merupakan data yang sudah lama, karena masyarakat sudah selama dua tahun

terakhir tidak dimintai sewa tanah dan sawah mereka, dan tidak adanya yang

mendata jumlah dari sawah dan rumah mereka.

Odih misalnya, yang melakukan perluasan rumahnya tiga meter kearah

perkebunan teh selama lima tahun terakhir dan juga melakukan perluasan sawah

dengan cara membuka hutan TNGH sebesar tiga gedeng. Menurut Odih, tidak

hanya dirinya yang melakukan perluasan tanah tersebut, hampir seluruh

Page 130: I09vhs

masyarakat di Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar melakukan

perluasan area baik sawah maupun rumah, dan perluasan ini sudah merupakan

suatu hal yang umum dilakukan. Asep juga menyatakan hal yang sama, bahwa

areal tanah untuk pertanian di dua kampung ini masih banyak yang bisa

digunakan, khususnya hutan TNGH, perluasan sawah ataupun pembuatan sawah

baru di lahan TNGH masih dapat dilakukan karena wilayahnya yang luas dan

TNGH tidak akan mengetahui adanya perluasan tersebut.

Berdasarkan Gambar 16 rata-rata luas sawah masyarakat Kampung

Padajaya dan Kampung Padajembar yaitu tiga gedeng. Dengan luas dua gedeng,

rumah tangga dengan jumlah empat orang sudah dapat memenuhi kebutuhan

pangannya sehari-sehari sampai menunggu masa panen berikutnya. Luas tiga

gedeng selain dapat memenuhi kebutuhan pangan rumah tangga dengan jumlah

empat orang, dapat juga memberikan pinjaman beras dan menggunakan berasnya

untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran lain, diantaranya perelek dan

slametan. Karena di Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar, lazimnya bila

datang ke slametan membawa beras.

Usahatani adalah proses pengorganisasian faktor-faktor produksi yaitu,

alam, tenaga kerja, modal dan pengelola yang diusahakan oleh perseorangan

ataupun sekumpulan orang untuk menghasilkan output yang dapat memenuhi

kebutuhan konsumen (Soeharjo dan Patong, 1973). Kegiatan usahatani

berdasarkan coraknya dapat dibagi menjadi dua, yaitu usahatani subsisten dan

usahatani komersial. Usahatani subsisten bertujuan memenuhi konsumsi keluarga,

sedangkan usahatani komersial adalah usaha dengan tujuan untuk mendapatkan

keuntungan.

Page 131: I09vhs

Gambar 16. Grafik Luas Sawah Masyarakat Kampung Padajaya dan Kampung

Padajembar

Pada dua kampung ini, masyarakat yang luas lahannya lebih dari dua

sampai empat gedeng adalah masyarakat yang mampu menjual atau

meminjamkan beras yang dimilikinya pada tetangga. Warga ini termasuk

kedalam usaha tani subsisten karena hanya memilki sawah kurang dari satu hektar

yang hasilnya hanya dapat digunakan untuk kebutuhan sehari-hari. Warga

masyarakat yang memilki luas sawah lima sampai sembilan gedeng termasuk

kedalam warga yang berusaha tani komersial. Dengan luas sawah lebih dari

satuhektar, mereka memiliki hasil panen yang berlebih bila digunakan hanya

untuk kebutuhan sendiri. Kemudian, warga tersebut menjual hasil panennya ke

tetangganya di Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar akan tetapi tidak

dijual ke pasar. Karena hasil panen mereka hanya mencukupi kebutuhan pangan

Page 132: I09vhs

di dua kampung tersebut, sehingga hasil panen tidak perlu dibawa keluar

kampung untuk dijual.

Kebutuhan keluarga dimana satu keluarga terdiri dari empat orang selama

lima bulan yaitu 200 liter. Satu gedeng tanah di Kampung Padajaya dan Kampung

Padajembar setara dengan 1500 m2 tanah, hasil satu gedeng tersebut selama lima

bulan adalah 150 liter beras. Sehingga warga masyarakat yang memilki lahan dua

sampai empat gedeng dapat memenuhi kebutuhan keluarganya akan tetapi tidak

untuk dijual. Sehingga masyarakat yang memiliki sawah lebih dari empat gedeng,

adalah masyarakat yang dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dan menjual hasil

panennya.

Total masyarakat yang memiliki lahan sempit yaitu dua sampai empat

gedeng atau kurang dari 6000 m2 yaitu 36 orang, sedangkan total masyarakat yang

memiliki lahan yang tidak termasuk sempit yaitu lima sampai sembilan gedeng

atau lebih dari 7500 m2 yaitu 17 orang. Sehingga sebagian besar masyarakat di

Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar termasuk kedalam penguasaan

lahan yang sempit. Menurut Mubyarto (1992), konsekuensi dari fenomena

sempitnya lahan pertanian terlihat pada rendahnya tingkat produktivitas maupun

kualitas dari hasil produksi perkebunan rakyat yang sebenarnya merupakan

implikasi dari kesulitan petani menerapkan kultur teknis yang benar yang di

samping memerlukan pengetahuan dan keterampilan yang tinggi juga perlu

dukungan modal yang besar. Pada Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar,

hal ini terjadi pada bidang pertanian sawah yang ditekuni oleh masyarakat sebagai

usaha sambilan, akibat sempitnya lahan pertanian yang dimiliki oleh petani,

Page 133: I09vhs

mereka kesulitan menerapkan kultur teknis yang benar, karena kurangnya

pengetahuan dan keterampilan serta kurangnya modal.

6.4 Kerusakan Lingkungan

Sawah yang dibuat oleh warga Kampung Padajaya dan Kampung

Padajembar berada di daerah lereng-lereng bukit. Untuk mendapatkan air yang

mengairi sawah, maka sawah dibuat sejajar atau berdekatan dengan sungai.

Sungai utama yang mengalir di Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar

adalah Sungai Cianten dan anak-anak sungainya. Dalam membuat sawah, warga

masyarakat ”menguruk” sungai. Pengurukan ini terjadi karena menurut warga,

tanah sungai lebih subur dibandingkan tanah yang jauh dari sungai. Pengurukan

ini juga memudahkan warga untuk pengairan sawah mereka, karena dekat dengan

sumber mata air. Karena adanya pengurukan ini, maka akan sering dijumpai batu

kali besar hasil pengurukan sungai yang masih terdapat di sawah masyarakat

(lihat Gambar 17). Batu ini tetap ada karena masyarakat sulit untuk memindahkan

dan menghancurkannya, sehingga tetap dibiarkan di sawah mereka. Pengurukan

sungai di Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar terjadi karena masyrakat

tidak memiliki pengetahuan yang cukup mengenai irigasi sawah. Cara irigasi yang

didapatkan hanya ilmu dari turun-temurun dari orangtua ke anak. Irigasi

sederhana yang dibuat oleh masyarakat hanya menggunakan bambu yang

menghubungkan sawah dengan sawah lainnya untuk pengairan, dan bambu juga

digunakan untuk menyambungkan sungai dengan sawah.

Page 134: I09vhs

Gambar 17. Batu Kali di Tengah Sawah Masyarakat

Menurut Tjondronegoro (2008), terdesak oleh keadaan, lapisan bawah

terpaksa melakukan pekerjaan apa saja yang dapat memperpanjang hidupnya,

termasuk menebang pohon di hutan lindung atau menambang di bawah bumi

maupun di bawah permukaan laut yang menyebabkan terjadinya kerusakan alam.

Hal ini terjadi di Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar, karena

masyarakat tidak memiliki pengetahuan akan dampak ”pengurukan” sungai dan

tidak ada yang dapat dilakukan lagi selain ”menguruk” sungai untuk membuat

pengairan, berdampak pada aliran sungai yang semakin kecil ke hilir.

Rusaknya lingkungan alam di Kampung Padajaya dan Kampung

Padajembar yang disebabkan oleh warga masyarakat perlu diperhatikan lebih

lanjut, agar tidak terjadi kerusakan yang lebih parah lagi. Perlu penyadaran

kepada warga agar warga mengetahui dampak dari apa yang mereka perbuat,

sehingga masyarakat menghentikan aktivitas perusakan tersebut.

Page 135: I09vhs

6.5 Sulitnya Akses Transportasi

Trayek kendaraan umum dari dan ke Kampung Padajaya dan Kampung

Padajembar belum ada. Akan tetapi di Kampung Cigarehong terdapat warga yang

memiliki mobil L300 Colt yang digunakan sebagai angkutan umum setiap harinya

bagi masyarakat dari Dusun Cigarehong yang hendak pergi ke Pasar Leuwiliang.

Dalam sehari, mobil hanya melakukan satu kali rute yang berangkat dari Dusun

Cigarehong pukul 04.00 dan pulang dari Pasar Leuwiliang pukul 10.00. Tarif per

orang dari Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar ke Pasar Leuwiliang

ataupun sebaliknya adalah Rp 13.000,00. Masyarakat yang akan pergi

menggunakan mobil ini, harus memesan dulu sebelumnya agar mobil menunggu

kedatanggannya atau menjemput langsung ke rumahnya, karena kondisi Kampung

Padajaya dan Kampung Padajembar pada pukul 04.00 masih cukup gelap dan

berangin kencang.

Harga tarif angkutan ini cukup mahal untuk masyarakat. Sehingga warga

tidak terlalu sering pergi meninggalkan Kampung Padajaya dan Kampung

Padajembar. Hanya beberapa orang yang pergi belanja ke Pasar Leuwiliang

untuk membeli keperluan bertani (pupuk, pestisida) ataupun membeli barang-

barang untuk keperluan warung bagi warga yang berdagang. Perjalanan dari pasar

Leuwiliang menuju Dusun Cigarehong memakan waktu satu setengah jam sampai

dengan dua jam. Untuk sampai ke Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar,

warga harus melewati beberapa desa dan memasuki kawasan hutan TNGH.

Kawasan hutan TNGH cukup luas, sehingga sebelum masuk ke dalam wilayah

Kebun Cianten, warga harus melewati pohon-pohon yang sangat rimbun disebelah

Page 136: I09vhs

kiri jalan dan lereng yang terjal di sebelah kanan jalan. Selain wilayah yang sulit

untuk dilewati, jalan menuju Kebun Cianten, sudah rusak. Terdapat longsor di

berbagai tempat dan aspal yang bolong-bolong dan longsor ke lereng sangat

mengkhawatirkan.

Kondisi ini menyebabkan wilayah perkebunan semakin terisolir dari

wilayah luar, selain karena sedikitnya angkutan umum yang menuju Kampung

Padajaya dan Kampung Padajembar, lokasi yang jauh dari pasar, jarak tempuh

yang lama, dan kondisi jalan yang tidak bagus, menyebabkan masyarakat sulit

untuk mendapatkan akses infomasi dan membawa hasil pertanian mereka ke luar

Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar. Sehingga masyarakat tidak

memiliki motivasi yang kuat untuk meningkatkan hasil produktivitas pertanian

mereka, karena kendala dalam memasarkan hasil pertanian mereka. Akses

transportasi dan terisolirnya Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar juga

menyebabkan warga tidak akses terhadap informasi. Dalam bidang pertanian,

kurangnya akses masyarakat terhadap informasi menyebabkan masyarakat masih

menggunakan bibit yang sudah lama digunakan dan tidak menggunakan bibit

unggul karena ketidaktahuan mereka, begitupula dengan irigasi yang masih sangat

sederhana dengan menggunakan bambu yang dihubungkan dengan sungai untuk

pengairan sawah.

Sulitnya transportasi yang disebabkan juga oleh infrastruktur jalan yang

kurang memadai menyebabkan Kepala Desa Purwabakti jarang berkunjung ke

Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar. Sehingga aspirasi masyarakat

terkait kebutuhan mereka terhadap penyuluhan dan tidak adanya bantuan

pemerintah terkait pertanian di Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar

Page 137: I09vhs

yang sebenarnya sangat dibutuhkan oleh masyarakat Kampung Padajaya dan

Kampung Padajembar.

6.6 Tidak adanya Penyuluhan

Penyuluhan di Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar jarang

terjadi, kalaupun ada penyuluhan adalah penyuluhan tentang pelestarian

lingkungan, tidak ada penyuluhan khusus tentang pertanian. Penyuluhan yang

pernah ada yaitu penyuluhan yang diadakan oleh JAICA yang memberikan

penyuluhan tentang pelestarian alam, agar masyarakat tidak menebang hutan di

TNGH. Akibat tidak adanya penyuluhan pertanian, pengetahuan masyarakat

tentang pertanian hanya didapat dari turun-temurun.

Kurangnya akses informasi kepada warga masyarakat di Kampung

Padajaya dan Kampung Padajembar menyebabkan masyarakat mempunyai

pandangan yang masing-masing mengenai kurang produktivitasnya sawah mereka

di dibandingkan sawah lain di kampung lain di luar Kebun Cianten, seperti desa

Cibunian dan Desa Ciasmara.

Kampung Padajaya menganggap kurang produtivitasnya sawah mereka

karena daerah mereka yang dingin, sehingga tanaman seperti padi tidak cocok

ditanam disini karena airnya yang dingin, sehingga banyak dari warga Kampung

Padajaya yang tidak mengusahakan sawah karena warga mengetahui kesia-siaan

usaha yang mereka lakukan bila warga menanam padi. Karena hasilnya tidak

sesuai dengan tenaga yang dikeluarkan. Warga Padaya menyadari, tanaman yang

paling berkembang di daerah mereka adalah cabe, kacang panjang, dan sayur-

sayuran.

Page 138: I09vhs

Warga Kampung Padajembar menganggap rendahnya produktivitasnya

lahan pertanian mereka karena tanah di daerah mereka berkapur, sehingga tidak

cocok untuk padi. Akan tetapi, warga Padajembar tetapmengolah sawah mereka

tidak seperti warga pada Kampung Padajaya, karena warga Kampung Padajembar

membutuhkan hasil panen padi untuk kebutuhan pangan sehari-hari. Warga

Kampung Padajembar yang rata-rata adalah pekerja dari perkebunan tidak dapat

memenuhi bertahan hidup tanpa sawah, karena penghasilan yang mereka dapatkan

dari perkebunan hanya cukup untuk kebutuhan diluar beras, dan beras untuk

makan sehari-hari, warga dapatkan dengan mengolah sawah mereka. Warga

Padajembar juga tidak dapat beralih menjadi pedagang warung, karena

wilayahnya yang tidak dekat dengan akses jalan, dan tidak dapat bekerja di PT

Cevron LTD karena mereka tidak punya modal dan tidak mempunyai koneksi di

Forum Empat Desa. Adanya perbedaan ilmu pengetahuan antara Kampung

Padajembar dan Kampung Padajaya ini juga disebutkan oleh seorang tokoh,

dikarenakan warga yang berhasil dalam bidang pertanian pada masing-masing

kampung tidak mau membagikan rahasia kesuksesan pertanian mereka masing-

masing. Sehingga perbedaan ini semakin mencolok.

Akibat tidak adanya penyuluhan, masyarakat tidak menggunakan bibit

yang terbaru dan masih menggunakan bibit yang lama yaitu: morneng, segong,

riau, serenet dan goli. Dengan masa tanam yaitu empat sampai lima bulan. Bibit

ini digunakan setiap tahun, yang membedakan adalah, bibit diputar setiap kali

musim tanam, hal ini dikarenakan penduduk belajar dari pengalaman, dengan

menggunakan bibit yang sama pada setiap musim panen akan menyebabkan hama

tetap hidup dan tidak mengalami siklus kematian dan malah berkembang. Karena

Page 139: I09vhs

masa tanam yang cukup lama ini, menyebabkan hasil panen yang masyarakat

dapatkan hanya cukup dikonsumsi selama menunggu masa panen selanjutnya.

Bahkan bagi keluarga yang memiliki jumlah tanggungan yang besar, hasil panen

ini kurang untuk dikonsumsi selama menunggu masa panen tersebut, sehingga

masyarakat terpaksa harus membeli beras ataupun meminjam untuk konsumsi

sehari-harinya.

Tidak adanya penyuluh menyebabkan masyarakat tetap menggunakan

pupuk dan pestisida kimia pada tanamannya, tanpa mengetahui bahaya

penggunaan pupuk dan pestisida kimia bagi kesehatan dan kesuburan tanah.

Pupuk yang digunakan oleh masyarakar di dua kampung ini adalah pupuk urea.

Melalui pengalaman selama berpuluh-puluh tahun, penduduk menyadari dengan

menggunakan pupuk urea yang berlebihan akan menyebabkan hasil panen tidak

bagus, yaitu daun menjadi bagus dan hijau, tetapi isi dari gabah kosong. Hal ini

menyebabkan penduduk tidak lagi menggunakan pupuk urea secara berlebihan.

Akan tetapi, pengunaan pupuk tetap digunakan dikarenakan bila tidak

menggunakan pupuk, kuantitas hasil panen akan menurun.

Hama yang merusak sawah di Kampung Padajaya dan Kampung

Padajembar yaitu babi hutan, burung pipit, kungkang atau wereng, dan ulet. Hama

yang ada ini di atasi dengan cara tradisional. Babi yang memakan padi dan

merusak tanaman dengan menginjak-injak tanaman sayur-sayuran warga diusir

dengan teriakan warga ataupun menyalakan api bila babi datang. Sehingga warga

harus melakukan ronda pada saat musim panen untuk menghalau babi masuk ke

daerah persawahan mereka. Hama babi tidak boleh dibunuh, karena babi adalah

hewan peliharaan dari TNGH, yang juga menguntungkan bagi perkebunan karena

Page 140: I09vhs

dapat menggemburkan tanah dari tanaman teh. Hama tikus dibasmi dengan cara

memberi racun tikus pada singkong, hama burung pipit diusir dengan cara

menaruh orang-orangan sawah dan berganti-gantian menjaga sawah, sedangkan

ulet dan wereng di basmi dengan insektisida. Karena tidak adanya penyuluhan,

cara bertani masyarakat Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar masih

tradisional yang berdampak pada kualitas dan kuantitas dari hasil panen.

6.7 Tidak Adanya Penyaluran Kredit

Pada Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar biaya untuk membuat

sawah dengan luas dua sampai tiga gedeng yaitu Rp 1.000.000,00 sampai dengan

Rp 2.000.000,00. Harga jual sawah seluas dua gedeng sampai tiga gedeng yaitu

Rp 2.000.000,00 sampai dengan Rp 3.000.000,00. Biaya untuk satu kali tanam

bervariasi. Bila sawah diurus sendiri, dengan luas tiga gedeng dibutuhkan modal:

Rp 200.000,00 untuk pupuk dan insektisida, dan Rp 100.000,00, sehingga modal

yang dibutuhkan untuk satu kali tanam yaitu Rp 300.000,00 dengan perhitungan

untuk orang yang membantu menyangkul dan tandur, sedangkan orang-orang lain

yang membantu baik orang tua atau istri tidak dihitung biayanya. Sedangkan

modal untuk sawah yang dengan bantuan orang lain dengan luas tiga gedeng,

membutuhkan modal: Rp 200.000,00 untuk pupuk dan insektisida, dan untuk

orang yang membantu dari menyangkul, agon, benih, tandur, dan ngarembet

mencapai Rp 500.000,00 sehingga total sekali tanam untuk model ini yaitu Rp

700.000,00.

Besarnya modal untuk pembuatan, pembelian sawah dan biaya untuk

sekali masa tanam ini, menyebabkan hanya sebagian masyarakat saja yang bisa

Page 141: I09vhs

tetap bertani. Masyarakat yang tidak memiliki modal, biasanya hanya akan

mengusahakan satu gedeng dari tiga gedeng tanahnya, bahkan karena tidak dapat

mengusahakan tanahnya, ada masyarakat yang menjual tanahnya. Sehingga

dibutuhkan adanya penyaluran kredit lunak bagi masyarakat yang hendak bertani,

khususnya masyarakat yang bertani untuk dikomersialkan.

Selain itu, pada Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar, mengenal

adanya sistem sewa. Warga yang tidak memiliki sawah dapat menyewa sawah

warga lainnya. Sistem pembayaran sewa yaitu 4:1 dari hasil panen, dimana empat

bagian yang paling besar diberikan kepada penyewa dan satu bagian diberikan

kepada pemilik dari lahan tersebut, dengan biaya pupuk, pestisida ditanggungkan

kepada penyewa. Akan tetapi sistem sewa ini jarang dilakukan oleh masyarakat,

karena rata-rata masyarakat mengolah sawah mereka sendiri. Sistem yang umum

adalah buruh tani, dimana buruh tersebut dibayar Rp 20.000,00 per hari, dan

makan sehari selama disawah akan ditanggung oleh pemilik sawah. Sistem sewa

ini juga membutuhkan tidak hanya modal yang sedikit, sehingga perlu adanya

bantuan modal bagi masyarakat untuk dapat mengembangkan pertanian mereka.

Modal yang dibutuhkan masyarakat untuk bertani mempengaruhi jumlah

warga yang mampu membuat sawah ataupun mengolah sawah hasil dari warisan

orantuanya. Dari jumlah warga masyarakat Kampung Padajaya dan Kampung

Padajembar 152 orang yang yang memiliki sawah hanya 54 orang (35%). Jumlah

warga masyarakat yang memiliki sawah di Kampung Padajaya (lihat Tabel 11)

yaitu 13 orang (24,1%) dan Kampung Padajembar 41 orang (75,9%).

Sebagian besar warga Kampung Padajembar masyarakatnya memiliki

sawah baik dari orangtua maupun dari hasil jual-beli. Warga masyarakat

Page 142: I09vhs

Kampung Padajembar yang tidak memiliki tanah merupakan masyarakat miskin

yang tidak memiliki tanah karena sudah dijual untuk kehidupan sehari-hari

ataupun karena tidak mendapatkan tanah warisan dari orangtuanya. Sebaliknya, di

Kampung Padajaya hanya sembilan orang yang memiliki sawah, hal ini

dikarenakan sebagian besar masyarakat Kampung Padajaya tidak

menggantungkan hidupnya pada pertanian.

Tabel 11. Jumlah Pemilik Sawah Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar

RT Masyrakat (Orang) Persentase (%) 1 9 16.7 2 4 7.4 3 24 44.4 4 17 31.5

Total 54 100 Sumber: Data Primer 2009

Warga Kampung Padajembar lebih banyak yang memiliki sawah

dibandingkan dengan warga Kampung Padajaya. Menurut masyarakat, hal ini

dikarenakan banyak masyarakat Kampung Padajaya yang tidak mampu untuk

membuat sawah, sehingga mereka hanya bisa menjadi buruh tani dan buruh

bangunan. Hal ini dikarenakan banyaknya warga masyarakat Kampung Padajaya

yang masuk kedalam tangga kehidupan sedang dan tangga kehidupan miskin,

yang menyebabkan mereka tidak memiliki modal untuk membuat sawah dan tidak

mendapatkan warisan dari orangtuanya karena sebagian besar warga masyarakat

di Kampung Padajaya adalah warga pendatang, yang berbeda dengan warga

masyarakat dari Kampung Padajembar yang merupakan penduduk asli dan

beberapa warganya mendapatkan warisan sawah dan tanah dari orangtuanya

masing-masing. Oo Salah satu warga dari Kampung Padajaya mengatakan bahwa

ia menginginkan sawah agar bisa memenuhi kebutuhan berasnya sendiri, akan

Page 143: I09vhs

tetapi karena ketiadaan modal, menyebabkan ia tidak dapat membuat sawah

mereka sendiri, dan harus bekerja dilahan orang lain dan membeli beras dari

orang lain. Sebaran sawah masyarakat di Kampung Padajaya dan Kampung

Padajembar dapat dilihat pada Gambar 18.

Gambar 18. Sebaran Sawah Masyarakat Di Kampung Padajaya Dan Kampung

Padajembar

6.8 Tidak adanya Koperasi

Koperasi Usaha Tani (KUT) pernah ada sebelumnya di Kampung

Padajembar yang dikelola oleh ayah Tatang. Koperasi ini bangkrut pada tahun

2002, yang disusul dengan kematian dari ayah Tatang. Sebelumnya KUT ini tidak

berjalan dengan baik karena adanya korupsi di tubuh KUT yang melibatkan aparat

Page 144: I09vhs

desa dan ayah Tatang. KUT tidak berjalan sebagaimana mestinya, yaitu

kurangnya penyuluhan pertanian, tidak adanya kredit usaha tani, tidak lancarnya

penyediaan pupuk dan pestisida untuk tanaman.

Koperasi petani yang kuat adalah koperasi yang mampu mengelola

kebutuhan keuangan anggotanya baik untuk kebutuhan sehari-hari, kebutuhan

saprodi pertanian, pusat penyediaan bibit, menampung produksi, sebagai pusat

informasi (harga, kegiatan dan teknologi pertanian), bahkan kemampuan untuk

memasarkan produksi ke berbagai pasar dengan harga bersaing untuk mengatasi

kejamnya mekanisme pasar yang selama ini dirasakan. Orientasi semacam ini

disadari oleh masyarakat, perlunya dukungan berbagai stakeholders yang

memiliki concern dan keprihatinan terhadap petani (Agung, 2007).

Tidak adanya KUT di Kampung Padajembar dan Kampung Padajaya

memberikan dampak yang besar pada pertanian di dua kampung tersebut, yaitu

tidak adanya pendukung usaha pertanian di daerah tersebut yang menyebabkan

pertanian Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar kurang kokoh. Setiap

petani berdiri sendiri dan tidak terorganisasir usaha taninya satu sama lain,

sehingga tetap mempertahankan pola pertanian subsisten dan tidak dapat berubah

menjadi pola pertanian komersil. Di Kampung Padajaya dan Kampung

Padajembar, perubahan pola pertanian dari subsisten menjadi komersil sangat

dibutuhkan untuk menambah penghasilan dari masyarakat di kedua kampung

tersebut. Sehingga pertanian tidak lagi hanya mencukupi kebutuhan pangan

sehari-hari dari petani, tapi pertanian dapat menjadi salah satu usaha sampingan

petani yang menguntungkan.

Page 145: I09vhs

Penguatan pertanian di Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar

dapat dilakukan dengan penguatan kelembagaan koperasi di kampung tersebut.

Penguatan kelembagaan koperasi dapat meningkatkan kemandirian dan

kemampuan masyarakat dalam bidang pertanian sehingga terjadi peningkatan

kualitas maupun kuantitas produk hasil pertanian petani.

Page 146: I09vhs

BAB VII REFORMA AKSES AGRARIA

....

Jalan keluar dari kemiskinan menurut masyarakat yaitu melalui kemauan

dan kerja keras. Orang miskin di Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar

dapat memenuhi kebutuhan makannya sendiri dengan membuka lahan dari areal

taman nasional yang masih luas menurut mereka, untuk mencukupi kebutuhan

pangan keluarga mereka, setidaknya tidak ada masyarakat disini yang akan

kelaparan bila orang tersebut mau berusaha. Selain itu banyaknya tetangga dan

saudara di sekitar kampung dapat membantu orang tersebut untuk tetap dapat

bertahan hidup dengan keluarganya, asalkan mereka dapat bersosialiasi dengan

baik dengan masyarakat.

Permasalahan agraria yang dihadapi masyarakat Kampung Padajaya dan

Kampung Padajembar yaitu: kontur wilayah perkebunan dan kesuburan tanah,

hubungan petani dengan perkebunan dan TNGH, penguasaan yang sempit oleh

petani, kerusakan lingkungan, sulitnya akses transportasi, tidak adanya

penyuluhan, tidak adanya penyaluran kredit, , tidak adanya koperasi. Beberapa

masalah agraria yang terdapat di Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar

tersebut termasuk kedalam aspek non-landreform. Menurut Syahyuti (2006),

reforma agraria terdiri dari Landreform adalah penataan ulang struktur

penguasaan dan pemilikan tanah. Sementara, komponen ”non-landreform” adalah

bentuk-bentuk dan cara mengolah tanah (dalam pengertian ”soil”), yaitu dengan

menerapkan teknologi baru, perbaikan infrasturuktur, bantuan kredit, dukungan

Page 147: I09vhs

penyuluhan pertanian, pengembangan pasar komoditas pertanian, dan lain-lain.

Sehingga dalam menyelesaikan masalah agraria di Kampung Padajaya dan

Kampung Padajembar dapat dilakukaan dengan beberapa kegiatan reforma akses

agraria berikut: pengembangan keorganisasian petani, pembangunan infrastruktur,

penyuluhan dan penelitian, dan pemberian kredit usaha tani.

7.1 Pengembangan Keorganisasian Petani

Petani membuat kelompok-kelompok tani atau paguyuban petani sebagai

wadah membagi beban kehidupan. Jika memungkinkan untuk mengubah hidup

kearah yang lebih baik (Agung, 2007). Dibutuhkan penguatan keorganisasian

petani pada Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar. Melalui

keorganisasian petani, petani dapat mengembangkan dirinya sendiri,

meningkatkan kerjasama antar petani di dua kampung tersebut, menjadi wadah

pertukaran informasi antar petani, suplai kebutuhan pertanian (pupuk, bibit, obat-

obatan), menyelenggarakan penyuluhan pertanian bagi petani dan menguatkan tali

kekeluargaan di dua kampung tersebut.

Kelompok tani atau paguyuban tani ini bisa dalam bentuk Koperasi Usaha

Tani. Koperasi Usaha Tani di Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar

sudah tidak ada sejak tahun 2002. Pendirian kembali koperasi ini sangat

diperlukan untuk meningkatkan kemampuan petani. Perlu adanya bantuan dari

pihak ketiga baik pemerintah ataupun Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang

membantu mengkoordinir masyarakat untuk pembentukan koperasi, memberikan

dana awal, dan memantau jalannya koperasi. Hal ini dikarenakan kondisi

masyarakat Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar yang terpecah dalam

Page 148: I09vhs

hal pertanian, yaitu tidak saling memberikan informasi tentang pertanian

menyebabkan butuhnya bantuan pihak ketiga untuk menyatukan kedua

masyarakat ini. Penyatuan keduanya diperlukan, agar kedepannya tidak terjadi

ketimpangan baik informasi maupun akses terhadap koperasi baru bentukan

bersama ini.

7.2 Pembangunan Infrastruktur

Kondisi jalan menuju Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar yang

rusak dan waktu perjalanan yang cukup lama menuju pasar hasil pertanian

menyebabkan masyarakat kesulitan dalam memasarkan hasil pertanian mereka.

Terdapat beberapa hal yang harus dilakukan untuk meningkatkan akses

masyarakat terhadap pasar hasil pertanian, yaitu dengan perbaikan infrastruktur

jalan, dan pencarian alternative pasar hasil pertanian lain perlu dilakukan untuk

pemasaran hasil pertanian dari masyarakat. Dengan adanya peningkatan akses

masyarakat pada pasar, dapat meningkatkan hasil jual dari hasil pertanian mereka,

selain itu juga dapat meningkatkan motivasi dari masyarakat untuk merubah pola

sistem pertanian dari subsisten menjadi pertanian komersil.

Sulit dijangkaunya Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar juga

menyebakan Kepala Desa Purwabakti jarang datang ke dua kampung ini, yang

menyebabkan kebutuhan-kebutuhan Kampung Padajaya dan Kampung

Padajembar terkait pertanian tidak dibantu untuk dipenuhi oleh pemerintah baik

penyuluhan pertanian maupun pembuatan irigasi sawah.

Infrastruktur berupa pembuatan irigasi sawah diperlukan oleh masyarakat,

agar masyarakat tidak melakukan pengurukan sungai lagi yang merusak

Page 149: I09vhs

lingkungan alam sekitarnya. Pemerintah harus membantu dalam hal ini, karena

bila pembangunan Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar akan

ditingkatkan pada bidang pertanian, maka yang harus dilakukan adalah

memperbaiki dan membuat prasarana dan sarana terkait bidang pertanian yang

lebih lagi di dua kampung ini.

7.3 Penyuluhan dan Penelitian

Karakteristik utama Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar yaitu

pertanian sawah, akan tetapi hasil dari pertanian sawah kurang maksimal karena

baik ketinggian maupun kondisi tanah di daerah tersebut tidak sesuai dengan

tanaman padi. Perlu adanya penelitian lebih lanjut mengenai tingkat kesuburan

tanah dan ketinggian tempat di Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar,

sehingga dapat diketahui tanaman apa yang paling cocok untuk ditanam di

wilayah tersebut, maupun hal-hal apa saja yang diperlukan oleh masyarakat untuk

meningkatkan kesuburan tanah.

Tanaman yang paling cocok ditanam di Kampung Padajaya dan Kampung

Padajembar adalah tanaman cabe, jagung, kacang panjang dan pisang. Perlu

adanya peningkatan produktivitas pertanian sesuai dengan karakteristik dua

kampung ini untuk meningkatkan hasil produksi pertanian mereka, yang dapat

meningkatkan tarf hidup masyarakat juga. Penyuluhan hasil penelitian dan

teknologi pertanian yang terbaru perlu dilakukan di Kampung Padajaya dan

Kampung Padajembar, karena masyarakat yang masih menggunakan bibit lokal

dan tidak menggunakan bibit unggul dapat mempengaruhi kualitas dan kuantitas

dari hasil panen warga masyarakat itu sendiri.

Page 150: I09vhs

7.4 Pemberian Kredit

Pada Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar, terdapat kesulitan

dalam hal kredit dan arisan, karena pengembalian masyarakat yang macet karena

gaji yang didapatkan masyarakat dari perkebunan sedikit dan tidak mencukupi

untuk kebutuhan lain selain kebutuhan sehari-hari mereka. Perlu adanya upaya

pemberian modal kredit dari luar kampung ini yang disuntikkan kepada kampung

tersebut, dengan pendampingan agar pengembalian kredit lancar. Salah satu

bentuk pendampingan ini yaitu mengambil langsung uang kredit ke rumah

masyarakat dan juga uang kredit yang diberikan jumlahnya tidak terlalu besar,

sehingga dalam pengembalian beberapa minggu atau bulan masyarakat dapat

mengembalikannya lagi. Pemberian kredit usaha tani ini juga dapat dalam bentuk

Lembaga Keuangan Mikro (LMK).

LKM sebagai lembaga penyedia jasa keuangan alternative perlu

memperhatikan sustainabilitas usahanya agar mampu memberikan manfaat yang

optimal bagi masyarkat miskin dan usaha mikro dalam jangka panjang. Tujuan ini

hanya dapat dicapai apabila layanan jasa keuangan LKM sesuai dengan waktu,

tempat, jenis kegiatan ekonomi, dan tingkat perkembangan ekonomi masyarakat.

LKM secara internal juga harus mulai menerapkan standar tata kelola perusahaan

yang sesuai dengan perkembangan usahanya (Kusmoljono, 2009).

7.5 Pemerataan Akses

Pemerataan akses bagi warga masyarakat Kampung Padajaya dan

Kampung Padajembar merupakan hal yang paling utama dalam implementasi

reforma akses agraria di dua kampung ini. Tanpa adanya pemerataan yang

Page 151: I09vhs

memperhatikan kondisi struktur sosial, akan terjadi ketimpangan sosial yang lebih

tajam di dua kampung tersebut. Perlu adanya perbedaan dalam implementasi

reforma akses agraria di dua kampung tersebut, agar yang menikmati kegiatan

kegiatan reforma akses agraria tidak hanya masyarakat yang memiliki luas sawah

yang luas, akan tetapi juga masyarakat berlahan sempit dan masyarakat tidak

bertanah, yang karena kondisi kemiskinannya tidak dapat mengakses kegiatan

reforma agraria yang ditujukan padanya.

Perbedaan dalam pemberian akses kepada warga masyarakat di Kampung

Padajaya dan Kampung Padajembar membutuhkan hal-hal berikut: kemudahan

mengakses kegiatan reforma akses agraria bagi seluruh warga masyarakat,

pemberian akses-akses khusus kepada warga masyarakat yang dikhawatirkan

tidak dapat menjangkau program-program pengelolaan tanah yang telah

disediakan dan diharapkan pemberian program ini langsung diberikan pada

masyarakat yang membutuhkan oleh pemerintah secara langsung dengan

pengawasan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang netral dan tidak

memihak, agar tidak terjadi lagi ketimpangan penghasilan karena adanya lembaga

yang melakukan KKN dalam penyalurannya seperti Forum Empat Desa.

Warga di Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar rata-rata tidak

memiliki sawah yang sebarannya dapat dilihat pada Gambar 19. Pada tangga

kehidupan miskin, jumlah masyarakat yang tidak memiliki sawah yaitu 20 orang,

dan masyarakat yang memiliki sawah dengan luas dibawah empat gedeng

sejumlah dua orang. Seluruh masyarakat di tangga kehidupan ini semuanya tidak

memiliki lahan yang mencukupi untuk dikomersilkan hasil pertaniannya. Akan

tetapi pada tangga ini, warga masyarakatnya adalah masyarakat yang sudah lanjut

Page 152: I09vhs

usia, dengan pemberian akses agraria ataupun pemberian tanah kepada

masyarakat tidak akan menaikkan pendapatan dari warga di tangga kehidupan

fakir miskin ini. Pada tangga ini, yang dibutuhkan adalah penguatan modal sosial,

baik dalam ranah keluarga maupun ranah masyarakat, sehingga masyarakat pada

tangga kehidupan fakir miskin mendapatkan bantuan dari masyarakat sekitarnya,

karena mereka sudah tidak dapat menghidupi hidupnya sendiri. Selain itu, butuh

bantuan pemerintah pada warga di tangga kehidupan fakir miskin yang dapat

diberikan dalam bentuka Bantuan Tunai Langsung. Pemberian tanah bagi

masyarakat pada tangga kehidupan ini tidak akan efektif meningkatkan

penghasilan warsga. Karena warga pada tangga kehidupan fakir miskin tidak

dapat menggunakan tanah dan mengakses agraria akibat kondisi fisik yang

semakin lemah dikarenakan usia yang sudah lanjut.

Gambar 19. Tangga Kehidupan dan Luas Sawah Masyarakat

Page 153: I09vhs

Seluruh warga pada tangga kehidupan fakir tidak memiliki lahan

pertanian. Warga pada tangga ini sudah mengalami penurunan kesehatan,

sehingga untuk mengolah tanah yang luas, warga tidak mampu untuk

mengolahnya secara maksimal. Akan tetapi pada tangga ini, masyarakat tetap

membutuhkan tanah dan akses terhadap agraria untuk mencukupi kebutuhan

pangannya sehari-hari, sehingga tidak menambah beban keluarga ataupun

tetangga mereka.

Pada tangga kehidupan miskin, warga yang tidak memiliki sawah yaitu 25

orang, sedangkan warga yang memiliki lahan pertanian dibawah empat gedeng

yaitu 19 orang dan warga yang memiliki lahan pertanian di atas empat gedeng

yaitu enam orang. Warga masyarakat yang tidak memiliki tanah pada tangga

kehidupan sedang yaitu 22 orang, warga yang memiliki tanah dengan luas

dibawah empat gedeng yaitu empat orang, dan warga yang memiliki lahan diatas

empat gedeng yaitu lima orang. Pada tangga kehidupan standar, masyarakat yang

tidak memiliki lahan 13 orang, masyarakat yang memiliki lahan dengan luas

dibawah empat gendeng yaitu delapan orang, dan masyarakat yang memiliki

lahan dengan luas diatas empat gedeng yaitu lima orang. Terakhir masyarakat

pada tangga kehidupan mampu, warga yang tidak memiliki lahan pertanian

memiliki jumlah yang hampir sama dengan jumlah masyarakat pada tangga

kehidupan standar yaitu 12 orang, masyarakat yang memilki lahan dengan luas

dibawah empat gedeng yaitu satu orang dan masyarakat yang tidak memiliki

lahan pertanian diatas empat gedeng yaitu tiga orang.

Dari data ini, warga masyarakat pada tangga kehidupan miskin dan lebih

banyak yang memiliki sawah dibandingkan masyarakat pada tangga kehidupan

Page 154: I09vhs

lainnya. Akan tetapi jumlah lahan yang dimiliki masyarakat pada tangga

kehidupan miskin dan sedang lebih merata luasnya, dan pada tangga kehidupan

standar dan mampu, masyarakat yang memiliki sawah sedikit dan luas lahannya

tergolong cukup besar.

Pada tangga kehidupan miskin, sedang dan standar, warga tidak dapat naik

tangga kehidupan yang lebih tinggi yaitu dikarenakan tidak adanya modal,

bertambahnya tanggungan dan tidak memiliki warisan. Warga dapat naik

ketangga berikutnya bila warga masyarakat tersebut melakukan mobilitas keluar

kampung dan mendapatkan dua penghasilan (yaitu melalui hasil panen). Mobilitas

masyarakat diperlukan agar masyarakat dapat mengakumulasikan modal dari luar

dan pengetahuan yang didapat semakin luas.

Perlu pemberian tanah dan akses agraria pada warga di tangga kehidupan

miskin. Melalui pemberian tanah, masyarakat pada tangga ini dapat memberikan

warisan kepada anak mereka, sehingga warga dapat naik tangga kehidupan, dan

pemberian tanah dapat meningkatkan penghasilan masyarakat, sehingga

masyarakat dapat menabung dan meningkatkan produktifitas pertaniannya melalui

pembelian faktor-faktor produksi lainnya. Luas lahan yang diberikan kepada

masyarakat harus diperhitungkan dulu sebelumnya. Pembagian tanah harus

disesuaikan dengan kemampuan warga dalam mengelola tanah dan disesuaikan

dengan luas tanah yang dimiliki oleh masyarakat sekarang. Pembagian tanah bagi

masyarakat yang tidak memiliki tanah, masyarakat yang memiliki sawah dibawah

empat gedeng dan masyarakat yang memiliki sawah diatas empat gedeng harus

disesuaikan masing-masing, sehingga tidak ada masyarakat yang mendapatkan

total tanah (luas tanah awal ditambah pemberian tanah yang baru) lebih besar

Page 155: I09vhs

dibandingkan masyarakat lainnya, yang dapat menyebabkan ketimpangan pada

masyarakat semakin melebar. Pemberian tanah kepada masyarakat juga harus

disesuaikan dengan kemampuan warga dalam mengelola tanah, sehingga tanah

yang diberikan dapat digunakan sebaik-baiknya dan tidak ditelantarkan.

Page 156: I09vhs

BAB VIII KESIMPULAN

8.1 Kesimpulan

Hasil diskusi dengan perwakilan masyarakat dari Kampung Padajaya dan

Kampung Padajembar, didapat definisi kemiskinan, indikator kemiskinan, tangga

kehidupan dan warga yang masuk kedalam setiap tangga kehidupan tersebut.

Menurut masyarakat, kemiskinan adalah kondisi dimana seseorang tidak memiliki

rumah dan tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya selayaknya orang biasa,

yaitu tidak dapat makan dua kali sehari dan tidak dapat menyekolahkan anaknya

sampai jenjang SMP. Tangga kehidupan masyarakat di Kampung Padajaya dan

Kampung Padajembar yaitu: fakir miskin, fakir, miskin, sedang, standar dan

mampu. Pembuatan indikator dari tangga kehidupan ini dibuat berdasarkan

tingkat penghasilan yang dimiliki oleh warga masyarakat di dusun tersebut, yang

kemudian dikembangkan.

Hasil pertanian yang terdapat di Kampung Padajaya dan Kampung

Padajembar adalah padi, cabe, kacang panjang, jagung, pisang, sayur-sayuran dan

tanaman rempah-rempah yang digunakan untuk memasak. Masyarakat pada

umunya menanam padi sebagai komoditas utama, karena padi adalah kebutuhan

utama pangan mereka. Masalah agraria yang dihadapi oleh petani di Kampung

Padajaya dan Kampung Padajembar yaitu kontur wilayah perkebunan dan

kesuburan tanah, hubungan petani dengan TNGH, penguasaan yang sempit oleh

petani, kerusakan lingkungan, akses transportasi yang sulit, tidak adanya

penyuluhan, tidak adanya penyaluran kredit dan tidak adanya koperasi.

Page 157: I09vhs

Reforma akses agraria yang harus dilakukan di Kampung Padajaya dan

Kampung Padajembar yaitu: pengembangan keorganisasian petani, pembangunan

infrastruktur, penyuluhan dan penelitian, pemberian kredit, dan yang terakhir

yaitu perlu adanya pemerataan akses agaria di Kampung Padajaya dan Kampung

Padajembar sesuai dengan tingkat kesejahteraan yang dapat dilihat melalui tangga

kehidupan warga dan luas lahan pertanian yang mereka miliki.

8.2 Saran

Reforma agraria, baik landreform maupun reforma akses agraria yang

akan dilakukan di Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar harus

memperhatikan tingkat kesejahteraan dari penerima reforma agraria tersebut, agar

tidak terjadi ketimpangan yang semakin tajam setelah adanya pelaksanaan dari

reforma agraria ini. Selain itu, perlu adanya pihak ketiga yang memantau

pelaksanaan reforma agraria yang dilakukan oleh pemerintah, agar semua

masyarakat dapat mengakses, tidak sebagian kecil saja. Perlu adanya pengukuran

luas tanah yang efisien diberikan kepada masyarakat yang sesuai dengan tingkat

produktifitas tanah di Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar.

Page 158: I09vhs

DAFTAR PUSTAKA

Alfiasari. 2004. Analisis Modal Sosial pada Kelompok Usaha Berbasis Komunitas. Tesis. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Fauzi, Noer. 2008. Gelombang Baru Reforma Agraria: Telaah Perkembangan

Gerakan-Gerakan Rakyat di Dunia Ketiga. Makalah Paparan Tim Reforma Agraria-BPN.

Grobakken, Ida Annete. 2005. Poverty and Empowerment of Women In

Guatemala. University of Oslo: Master’s Thesis in Political Science Department of Political Science.

Hardjono, Joan. 1990. Tanah, Pekerjaan dan nafkah di Pedesaan Jawa Barat.

Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Herlina. 2002. Orientasi Nilai Kerja Pemuda pada Keluarga Petani Perkebunan.

Tesis. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Jayanti, Utari. 2007. Pemaknaan Masyarakat Miskin Mengenai Kemiskinan dan

Keberhasilkan Program Penanggulangan Kemiskinan. Skripsi. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Kurnia, Kiki. 2003. Analisi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produktivitas

Kerja Pemetik Teh. Tesis. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Nasoetion, Lutfi I. 2002. Konflik Pertanahan (Agraria). Bandung: Yayasan

AKATIGA Mubyarto. 1992. Tanah dan Tenaga Kerja Perkebunan: Kajian Sosial Ekonomi.

Yogyakarta: Aditya Media. Pangkurian, Nurina. 2008. Strategi Resistensi dan Organisasi Petani dalam

Menyoal Hak Atas Tanah: Suatu Tinjauan untuk Memahami Gerakan Sosial Petani di Jawa. Http:/rukip.wordpress.com/resistensi/petani. Tanggal akses 5 Mei 2009.

Reyes, Celia M. 2002. Impact of Agrarian Reform on Poverty. Philippine Journal

of Development. Makaty City: Vol.29, Iss.2; pg.63,69 pgs Sherraden, Michektarel. 2006. Aset Untuk Orang Miskin. Jakarta: PT Raja

Grafindo Persada. Sitorus, MT Felix. 1998. Penelitian Kulaitatif Suatu Perkenalan. Bogor:

Kelompok Dokumentasi Ilmu-Ilmu Sosial.

Page 159: I09vhs

Syahyuti. 2006. 30 Konsep Penting dalam Pembangunan dan Pertanian. Jakarta: PT. Bina Rena Pariwara.

Tauchid, Mochektarmmad. 1952. Masalah Agraria Sebagai Masalah

Penghidupan dan Kemakmuran Rakyat Indonesia (Bagian Kedua). Jakarta: Tjakrawala.

Tjondronegoro, S.M.P. 2008a. Ranah Kajian Sosiologi Pedesaan. Bogor: KPM

IPB. Tjondronegoro, S.M.P. 2008b. Negara Agraris Ingkari Agraria: Pembangunan

Desa dan Kemiskinan di Indonesia (Kumpulan Tulisan Prof.Dr.Sediono M.P. Tjondronegoro). Bandung: Yayasan AKATIGA.

Wiradi, Gunawan. 2000. Reforma Agraria: Perjalanan yang Belum Berakhir.

Yogyakarta: Insist, KPA, dan Pustaka Pelajar. Yuwono, G.D, Mursalin, ling. Setiawan D.A, Manembu, Angel. 2005.

Kepengurusan Tanah dan Kekayaan Alam: Penyebab Kemiskinan. dalam Tanah Masih di Langit: Penyelesaian Masalah Penguasaan Tanah dan Kekayaan Alam di Indonesia yang Tak Kunjung Tuntas di Era Reformasi. Jakarta: Yayasan Kemala.

Page 160: I09vhs

Lampiran 1. Panduan Pertanyaan Penelitian PEDOMAN WAWANCARA MENDALAM MASYARAKAT

KAMPUNG PADAJAYA DAN KAMPUNG PADAJEMBAR

Tujuan : Mengetahui Profil PTPN VIII Kebun Cianten

Informan : Bapak Hektarsanudin (Bagian Umum PTPN VIII Kebun

Cianten)

Hektarri/Tanggal :

Lokasi Wawancara :

Nama/Umur responden :

Pekerjaan :

Pendidikan :

Pertanyaan penelitian :

• Bagaimana sejarah PTPN VIII Kebun Cianten ?

• Bagaimana awal mula dibukany perkebunan ?

• Sebelum menjadi wilayah perkebunan, bagaimanakah daerah ini

sebelumnya ?

• Bagaimana hubungan perkebunan dengan stakeholder lainnya (masyarakat,

Taman Nasional, dan Cevron) ?

• Bagaimana kerjasama yang terjadi antara perkebunan dan stakeholder ?

• Kapan terjadi konflik dengan stakeholder ?

• Apa tanaman yang diusahakan oleh PTPN VIII Kebun Cianten ?

• Tanaman unggulan yang diusahakan oleh PTPN VIII Kebun Cianten ?

• Selain tanaman, unit usaha apa saja yang diusahakn oleh PTPN VIII Kebun

Cianten ?

• Berapa gaji dari buruh petik, mandor petik, dan mandor besar PTPN VIII

Kebun Cianten sebelum krisis moneter?

Page 161: I09vhs

• Berapa bonus per tahun dari buruh petik, mandor petik, dan mandor besar

PTPN VIII Kebun Cianten sebelum krisis moneter?

• Berapa gaji dari buruh petik, mandor petik, dan mandor besar PTPN VIII

Kebun Cianten sekarang?

• Berapa bonus per tahun dari buruh petik, mandor petik, dan mandor besar

PTPN VIII Kebun Cianten sebelum krisis moneter?

• Apa saja fasilitas yang diberikan oleh perusahaan terhadap karyawan tetap ?

• Apa saja fasilitas yang diberikan oleh perusahaan terhadap karyawan

musiman?

• Bagaimana cara menjadi karyawan tetap PTPN VIII Kebun Cianten?

• Berapa sewa tanah yang diberikan pihak perkebunan bagi masyarakat yang

menggunakan lahan baik untuk pertanian maupun perumahan ?

• Bagaimana hubungan kerjasama perkebunan terhadap masyarakat yang

membuka lahan untuk pertanian di wilayah perkebunan ?

• Kapan konflik yang terjadi antara masyarakat yang membuka lahan dengan

perusahaan terjadi ? bagaimana solusinya ?

• Berapa persen masyarakat yang menggantungkan hidupnya dari

perkebunan?

• Berapa persen masyarakat yang secara tidak langsung menggantungkan

hidupnya dari perkebunan ?

Page 162: I09vhs

PEDOMAN WAWANCARA MENDALAM MASYARAKAT

KAMPUNG PADAJAYA DAN KAMPUNG PADAJEMBAR

Tujuan : Mengetahui Tingkat Kesejahteraan Kampung Padajaya Dan

Kampung Padajembar dan Indikatornya

Responden : 4 Orang Masyarakat Kampung Padajaya Dan Kampung

Padajembar

Hari/Tanggal :

Lokasi Wawancara :

Nama/Umur responden :

Pekerjaan :

Pendidikan :

Pertanyaan penelitian :

• Sekarang tolong diceritakan tentang warga desa yang menduduki status

paling bawah dan status paling atas di desa ini:

Kita mulai dengan tangga terbawah

a. Apa sajakah tanda-tanda warga yang berada di tempat paling bawah ini

(paling tidak sejahtera/mampu)

b. Bagaimana menjelaskan kehidupan seseorang yang berada di tempat

paling bawah ini? Biasanya dinamai golongan apakah warga yang

berada di tempat paling bawah ini?

c. Bagaimana kehidupan mereka sehari-hari?

Sekarang kita berpindah ke tangga teratas:

d. Apa sajakah tanda-tanda warga yang berada di tempat paling atas ini

(paling sejahtera)

e. Bagaimana menjelaskan kehidupan seseorang yang berada di tempat

paling atas ini? Biasanya dinamai golongan apakah warga yang berada

di tempat paling atas ini?

Page 163: I09vhs

f. Bagaimana kehidupan mereka sehari-hari?

Sekarang kita naik ke status persis di atas warga yang berada di tangga paling

bawah:

g. Apa sajakah tanda-tanda warga yang menempati status ini?

h. Bagaimana kehidupan mereka sehari-hari?

Sekarang kita naik lagi ke status persis di atasnya. (Akan ditanyakan terus

golongan-golongan di atasnya, sampai golongan paling atas dicapai. Untuk setiap

golongan, tanyakan):

i. Apa sajakah tanda-tanda warga yang menempati status ini?

j. Bagaimana kehidupan mereka sehari-hari?

• Bagaimana keadaan warga desa ini dibandingkan dengan warga desa

tetangga?

k. Apakah warga desa ini lebih baik atau lebih buruk kesejahteraannya dari

warga desa tetangga?

l. Apakah Bapak/Ibu merasa perlu menambah nama golongan atau status

sosial baru dalam pembicaraan kita? Jika ya, dimana dan apa tanda-

tanda golongan atau status sosial tambahan itu?

• Nah, sekarang Bapak/Ibu telah menjelaskan sejumlah golongan atau status

sosial warga desa ini dan desa-desa di sekitarnya. Sekarang, jika

dibandingkan 10 tahun yang lalu, apakah ada golongan atau status sosial

yang terlewat dan belum masuk dalam pembicaraan kita?

• Apakah kita perlu menambah status sosial itu dalam pembicaraan ini? Jika

ya:

m. Apa tanda-tanda golongan atau status sosial tambahan itu?

n. Supaya saya yakin bahwa saya benar-benar mengerti yang anda

maksud, saya akan menggambar semua kategori yang anda sebutkan

dalam suatu tangga kehidupan

Memilah-milah rumahtangga ke dalam tangga kehidupan di desa ini

• Sebutkan nama tiap-tiap keluarga yang ada di daftar dan tanyakan pada

peserta diskusi:

Page 164: I09vhs

a. Dimana letak rumah tangga itu saat ini di tangga kehidupan yang telah

dibuat?

b. Dimana posisi rumah tangga itu 10 tahun yang lalu di tangga kehidupan

yang telah dibuat?

Mobilitas masyarakat

• Mari kita mulai diskusi ini dengan keadaan desa ini, dan hal-hal yang

terjadi selama ini. Bisakah Bapak/Ibu ceritakan tentang kekuatan atau hal-

hal yang positif dari desa ini? Dibandingkan 10 tahun yang lalu, apakah

menurut Bapak/Ibu desa ini lebih sejahtera?

i. sama saja?

ii. atau justru menurun kesejahteraannya?

• Mengapa dikatakan demikian?

• Bagaimana perubahan kehidupan masyarakatnya?

• Apa sajakah hal-hal yang berbeda saat ini?

• Apakah kini warga desa semakin sulit mencari penghasilan dan

meningkatkan kesejahteraan hidupnya, atau sebaliknya semakin mudah?

Mengapa dikatakan demikian?

• Apa sajakah peristiwa, kejadian atau faktor-faktor yang paling menolong

desa ini untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya selama 10 tahun

terakhir? Mengapa dikatakan demikian?

• Apa sajakah peristiwa, kejadian atau faktor-faktor yang menyebabkan

penurunan kesejahteraan desa selama 10 tahun terakhir? Mengapa

dikatakan demikian?

• Dibandingkan sekarang, untuk 10 tahun ke depan apakah desa ini akan

a. lebih sejahtera?

b. Sama saja ?

c. atau sebaliknya menurun kesejahteraannya?

Page 165: I09vhs

Mengapa dikatakan demikian?

• Apa alasan-alasan yang paling umum yang dialami warga desa sehingga

meninggalkan desa ini selamanya?

• Apakah umumnya mereka yang meninggalkan desa menjadi lebih sejahtera

atau menurun kesejahteraanya?

Perubahan dalam Hal Kesenjangan di Desa

• Ada kesenjangan yang besar antara golongan warga (rumahtangga) yang

paling atas/sejahtera dan paling bawah/tidak sejahtera di desa ini

[Tunjukkan tangga yang telah dibuat, tunjuk tangga terbawah dan teratas].

Menurut Bapak/Ibu, apakah selama 10 tahun terakhir ini kesenjangan

(jarak) antara yang paling atas dengan yang paling bawah itu:

a. Meningkat?

b. Sama saja? Menurun?

• Mengapa dikatakan demikian?

• Apakah ada perubahan tanda-tanda rumahtangga pada setiap tangga selama

10 tahun terakhir?

• Apa sajakah perbedaan tanda-tanda rumahtangga miskin tersebut saat ini

dan 10 tahun yang lalu?

• Bisa saja ada perbedaan penting antara rumahtangga dalam satu golongan

atau status sosial.

c. Apakah ada perbedaan pada setiap golongan/tangga-tangga tersebut?

Tangga yang mana saja dan apa perbedaan sifat-sifat dan tanda-

tandanya?

d. Apakah keadaan di golongan/tangga itu mengalami perubahan jika

dibandingkan dengan 10 tahun yang lalu?

Faktor- faktor yang menyebabkan peningkatan atau kemandekan kesejahteraan

• Apa sajakah faktor-faktor yang membantu suatu rumah tangga untuk naik

ke anak tangga lebih atas?

a. Bagaimana hal ini bisa terjadi di desa ini?

Page 166: I09vhs

b. Apakah di antara penyebab yang membantu rumahtangga itu muncul

bersama-sama, atau satu per satu – yaitu satu faktor dulu diikuti faktor

yang lain? Apa sajakah faktor tersebut?

c. Jika satu per satu, bagaimana urutan kejadiannya? Atau

d. Jika bersama-sama, apakah faktor-faktor tersebut? Bagaimana hal ini

terjadi, jelaskan!

• Selain itu, apa sajakah faktor-faktor yang menghalangi suatu rumahtangga

untuk naik ke anak tangga yang lebih tinggi?

e. Mengapa dikatakan demikian?

• Apa sajakah faktor-faktor yang mendorong suatu rumahtangga untuk turun

ke anak tangga yang lebih bawah?

f. Bagaimana hal ini bisa terjadi di desa ini?

g. Apakah di antara penyebab yang mendorong turunnya rumahtangga itu

muncul bersama-sama, atau satu per satu, yaitu satu faktor dulu diikuti

faktor yang lain? Apa sajakah faktor tersebut?

h. Jika satu per satu, bagaimana urutan kejadiannya? Atau

i. Jika bersama-sama, apakah faktor-faktor tersebut? Bagaimana hal ini

terjadi, jelaskan!

• Manakah status sosial atau anak tangga yang tidak lagi dianggap sebagai

golongan miskin?

j. Selama ini bagaimana cara mencapai golongan ini?

k. Apakah tangga ini mudah atau sulit dicapai? Mengapa dikatakan

demikian? [Tandai dengan jelas golongan ini berada pada anak tangga

yang mana di dalam tangga kehidupan]

• Apakah ada rumahtangga yang naik beberapa tangga sekaligus? Jika ada,

faktor-faktor apa sajakah yang membuat hal itu terjadi?

• Dalam golongan manakah sebagian besar warga desa berada?

l. Bagi golongan ini, apa sajakah faktor-faktor yang membantu suatu

rumah tangga untuk naik ke anak tangga berikutnya? Mengapa

dikatakan demikian?

Page 167: I09vhs

m. Bagi golongan ini, apa sajakah faktor-faktor yang menyulitkan suatu

rumah tangga untuk naik ke anak tangga berikutnya? Mengapa

dikatakan demikian?

• Di dalam golongan atau anak tangga manakah warga desa paling mudah

naik ke anak tangga atau golongan lebih atas?

n. Mengapa dikatakan demikian? [Bandingkan dengan pengalaman

Bapak/Ibu sendiri atau warga desa lain yang Bapak/Ibu ketahui].

• Di dalam golongan atau anak tangga manakah warga desa paling sulit naik

ke anak tangga atau golongan lebih atas?

o. Mengapa dikatakan demikian? [Bandingkan dengan pengalaman

Bapak/Ibu sendiri atau warga desa lain yang Bapak/Ibu ketahui].

• Manakah status sosial atau anak tangga yang dianggap sebagai golongan

menengah [samakan persepsi dulu antara peneliti dan partisipan diskusi

tentang arti golongan/kelas menengah: relatif lebih bebas, bisa mengontrol

golongan atas/pemerintah]?

p. Apakah golongan ini mudah atau sulit dicapai?

Faktor-faktor yang mendorong warga desa jatuh ke kemiskinan dan membuat

mereka terjebak dalam kemiskinan

• Mungkin saja ada rumahtangga yang naik dari satu golongan/anak tangga

ke golongan/anak tangga di atasnya, tapi kemudian kembali lagi ke

golongan semula. [Gunakan visualisiasi dengan menunjuk anak tangga

yang telah dibuat]:

a. Mana sajakah golongan atau anak tangga yang paling mudah turun

kembali ke golongan atau anak tangga di bawahnya?

- Bagaimana hal ini bisa terjadi?

b. Mana sajakah golongan atau anak tangga yang paling mudah turun

kembali ke anak tangga di bawahnya tetapi bukan turun menjadi

miskin (meluncur jatuh miskin?

- Bagaimana agar mereka tidak lagi turun ke tingkat lebih bawah?

Page 168: I09vhs

• Mari kita kembali ke golongan atau anak tangga di mana rumahtangga pada

golongan ini tidak lagi dianggap miskin.

c. Bagaimana bisa terjadi rumah tangga pada golongan ini (sudah tidak

miskin lagi), tapi kemudian jatuh miskin?

d. Bagaimana bisa terjadi sekelompok rumahtangga lainnya di golongan

ini lebih mampu bertahan untuk tidak jatuh miskin?

• Apa sajakah hal yang paling penting, yang dapat membantu rumah tangga

agar tidak jatuh miskin?

Hubungan antara anaktangga dimana rumah tangga tidak lagi dianggap miskin

dengan garis kemiskinan pemerintah

[Di Indonesia, garis kemiskinan yang resmi di daerah pedesaan yang

digunakan menyatakan seseorang miskin itu hanya memiliki penghasilan

sekitar Rp 150.000 per orang per bulan, atau Rp 5.000 per hari. Kalau dalam

satu rumahtangga Indonesia rata-rata ada sekitar 4,5 orang, maka penghasilan

rumahtangga itu hanya Rp 1.000.000. Penghasilan juga diartikan sebagai

barang-barang yang dibuat untuk digunakan sendiri, atau pemberian tetangga

dan kerabat]

a. Apakah garis kemiskinan ini sudah pas untuk digunakan di desa ini?

b. Mengapa dikatakan demikian?

c. Dimanakan tempat rumahtangga yang mempunyai penghasilan sebesar

itu dalam golongan atau tangga kehidupan di desa ini?

• Jika golongan atau anak tangga yang ditempati oleh rumah tangga yang

tidak lagi dianggap miskin, dibandingkan dengan garis kemiskinan resmi

pemerintah, apakah golongan atau anak tangga tersebut terletak:

d. Di atas garis kemiskinan pemerintah?

e. Sama dengan garis kemiskinan pemerintah?

f. Di bawah garis kemiskinan pemerintah?

Page 169: I09vhs

PEDOMAN WAWANCARA MENDALAM MASYARAKAT

KAMPUNG PADAJAYA DAN KAMPUNG PADAJEMBAR

Tujuan : Mengetahui Struktur Kemiskinan di Kampung Padajaya dan

Kampung Padajembar

Responden : Masyarakat Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar

Hari/Tanggal :

Lokasi Wawancara :

Nama/Umur responden :

Pekerjaan :

Pendidikan :

Tingkat kesejahteraan responden:

• Berapa tanggungan bapak/ibu? (anak atau orang tua)

• Berapa penghasilan bapak/ibu perbulan?

• Berapa lama bapak/ibu bekerja dalam sehari untuk pekerjaan tersebut ?

• Apakah penghasilan tersebut cukup untuk membiayai pengeluran per

bulan?

• Apakah bapak/ibu mempunyai tambahan penghasilan lain ? Berapa

penghasilan tersebut ?

• Berapa lama bapak/ibu bekerja dalam sehari untuk tambaahan pekerjaan

tersebut ?

• Dengan penghasilan total, apakah telah mencukupi kebutuhan hidup

bapak/ibu ?

• Bila tidak mencukupi, bagaimana bapak/ibu memenuhi kebutuhan tersebut?

• Berapa pengeluaran bapak/ibu? Sebutkan ?

• Apakah bapak/ibu mempunyai tabungan atau barang berharga lainnya?

darimana tabungan atau barang tersebut berasal?

Kepemilikan aset nyata

Page 170: I09vhs

• Apakah bapak/ibu mempunyai tabungan? darimana tabungan atau barang

tersebut berasal?

• Apakah bapak mempunyai kambing/ternak lainnya?

• Apakah bapak/ibu mempunyai tanah/rumah/sawah di tempat lain ?

• Barang elektronik apa sajakah yang bapak/ibu miliki?

• Apakah bapak mempunyai alat/mesin untuk berproduksi?

• Apakah bapak mempunyai usaha lainnya?

Kepemilikan aset tidak nyata

• Apakah bapak pernah mendapatkan kredit untuk usaha bapak? Dari mana ?

• Apakah bapa pernah mencoba untuk mencari kredit tersebut?

• Apakah ada pihak-pihak yang pernah menawarkan kredit kepada bapak?

• Sebelum bekerja seperti sekarag, apakah pekerjaan bapak sebelumnya?

• Apakah bapak pernah mengikuti pelatihan-pelatihan ?

• Apakah pernah ada sebelumnya pihak-pihak yang mengadakan pelatihan?

• Apakah bapak bisa berbaur dengan masyarakat yang lain?

• Bagaimana pemilihan tokoh di desa ini?

• Apakah dengan menjadi tooh desa dapat mengakses sumber daya yang

tidak bisa diakses oleh masyarakat biasa ?

• Apakah pekerjaan (bekerja di perkebunan/diluar perkebunan) dapat

memberikan perbedaan pada kemampuan bapa untuk mengakses hal-hal

yang tidak bisa dilakukan oleh masyarakat biasa?

• Apakah status pekerjaan bapak di perkebunan (tetap/musiman) dapat

memberikan perbedaan pada kemampuan bapa untuk mengakses hal-hal

yang tidak bisa dilakukan oleh masyarakat biasa?

• Apakah posisi pekerjaan bapak di perkebunan (mandor/buruh) dapat

memberikan perbedaan pada kemampuan bapa untuk mengakses hal-hal

yang tidak bisa dilakukan oleh masyarakat biasa?

• Apakah dengan menjadi ketua RT bapak bisa lebih leluasa untuk

mengakses sumber daya agraria ?

Page 171: I09vhs
Page 172: I09vhs

PEDOMAN WAWANCARA MENDALAM MASYARAKAT

KAMPUNG PADAJAYA DAN KAMPUNG PADAJEMBAR

Tujuan : Mengetahui Hubungan Masyarakat dengan Perkebunan

Responden : Masyarakat Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar

Hari/Tanggal :

Lokasi Wawancara :

Nama/Umur responden :

Pekerjaan Utama :

Pendidikan :

Pertanyaan penelitian:

• Kapan pencatatan lahan dari perkebunan terhadap lahan bapak/ibu terjadi?

• Apakah pernah ada perjanjian baik tertulis maupun lisan dari perkebunan

terhadap masyarakat yang mempunyai lahan pertanian di daerah

perkebunan ?

• Berapa sewa tanah pertanian dan tempat tinggal bapak/ibu ?

• Apakah sewa tersebut memberatkan bagi bapak/ibu ? Mengapa ?

• Sejauh mana hubungan kedekatan bapak dengan mandor sektor 8 ? apakah

bapak pernah berhutang ? apakah mandor tersebut pernah menjenguk bapa

bila bapak sakit ?

• Apakah yang membedakan antara mandor dan pegawai di daerah ini?

• Fasilitas apa yang diberikan oleh perkebunan yag dapat digunakan bersama

oleh warga Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar ini ?

• Apa pendapat bapak/ibu terhadap warga yang bekerja di perkebunan dan

berwirausaha sendiri ?

• Bagaimana pemilihan orang yang bisa mendapatkan fasilitas, baik dari

perkebunan maupun pemerintah di dusun ini? Apakah ada hubungannya hal

tersebut dengan pekerjaan orang tersebut di dalam perkebunan?

Page 173: I09vhs

PEDOMAN WAWANCARA MENDALAM MASYARAKAT

KAMPUNG PADAJAYA DAN KAMPUNG PADAJEMBAR

Tujuan : Mengetahui Masalah Agraria yang terjadi di Kampung Padajaya

dan Kampung Padajembar

Informan : Masyarakat Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar

Hari/Tanggal :

Lokasi Wawancara :

Nama/Umur responden :

Pekerjaan Utama :

Pendidikan :

Pertanyaan penelitian:

• Apakah bapak mempunyai sawah ?

• Berapa luas lahan bapa tersebut ?

• Bagaimana bapak mendapatkan lahan tersebut ?

• Berapa luas awal lahan yang bapa miliki ?

• Siapakah yang mengolah lahan tersebut ? Bila ada yang mengolah, berapa

bapak bayar orang tersebut ? dengan jam kerja mulai sampai dengan jam

berapa ? dan kapan saja orang tersebut bekerja di lahan bapak ?

• Bagaimana hasil panen dari lahan ini mencukupi untuk kebutuhan pangan

bapak sehari-hari ? Apakah mencukupi/tidak mencukupi ?

• Jenis padi apa yang bapak tanam ?

• Hama apa saja yang bapak hadapi ?

• Masalah pertanian apa yang bapak hadapi ?

Konflik Penggunaan/Pemanfaatan secara Vertikal dan Horizontal

• Milik siapakah tanah ini ?

• Bagaimana bapak mendapatkan tanah ini dan sejak kapan ?

Page 174: I09vhs

• Apakah perkebunan mengetahui tanah bapak tersebut ? Apakah sudah ada

pencatatan sebelumnya?

• Apakah sudah ada perjanjian dengan perkebunan mengenai tanah yang

bapak kelola ini ? Bagaimana sistem perjanjian tersebut ? Apakah terdapat

perjanjian tertulis ?

• Bagaimana sistem sewa tanah dengan perkebunan ? Berapa sewa yang

perkebunan berikan per meter?

• Apakah bapak keberatan dengan sewa tersebut ? mengapa ?

• Bagaimana sejarah penggunaan tanah disini ?

• Bagaimana sistem pembagian hasil di dusun ini ?

• Bagaimana gaji yang diberikan oleh tuan tanah dapat mencukupi kebutuhan

bapak sehari-hari ?

• Bagaimana hubungan kedekatan antara tuan tanah dan penggarap di dusun

ini?

• Mengapa bapak tidak mempunyai lahan di dusun ini ?

Ketimpangan Penguasaan dan Pemilikan

• Di dusun ini, siapakah yang memiliki lahan paling luas ? Berapa luasnya ?

• Bagaimana orang tersebut mendapatkan lahan tersebut ?

• Apakah penguasaan lahan yang luas itu berkaitan dengan status orang

tersebut dalam perkebunan ? Mengapa ?

• Apakah penguasaan lahan yang luas itu berkaitan dengan kedudukan orang

tuanya sebelumnya ? Mengapa?

• Apakah orang tersebut mengolah tanahnya sendiri ? Mengapa?

Penguasaan yang Sempit oleh Petani

• Berapa luas tanah pertanian bapak ?

• Berapa hasil setiap panen dari tanah tersebut ?

• Berapa modal yang bapak keluarkan untuk membuat sawah ini

sebelumnya?

• Berapa modal untuk menanam padi ? (pupuk, saprotan, bibit) ?

Page 175: I09vhs

• Bagaimana bapak mendapatkan pupuk, saprotan, dan bibit tersebut ?

• Apakah hasil panen dapat bapak jual dan mencukupi untuk kebutuhan

pangan bapak sendiri ?

• Bagaimana irigasi dari sawah bapak dilakukan ?

• Tanaman apa saja yang bapak tanam ?

Degradasi Tanah

• Menurut bapak apakah tanah ini sudah memberikan hasil panen yang

terbaik ? mengapa ?

• Bagaimana kaitannya kerusakan tanah di dusun ini dengan penggunaan

pupuk atau penyemprotan hama yang salah ?

• Apa bapak mengetahui adanya pertanian organik ? apakah bapak mau

mengganti cara bertani bapak menjadi pertanian organik?

• Sudah berapa lama bapak menggunakan lahan ini ?

• Bagaimana aktifitas menebang hutan di sekitar tanah bapak ini ?

• Bagaimana kaitan antara hasil panen bapak dengan kondisi wilayah yang

berada di atas bukit ?

Page 176: I09vhs

PEDOMAN WAWANCARA MENDALAM MASYARAKAT

KAMPUNG PADAJAYA DAN KAMPUNG PADAJEMBAR

Tujuan : Menganalisis masalah agraria di Kampung Padajaya dan

Kampung Padajembar yang dapat diselesaikan dengan reforma akses

agraria

Informan : Masyarakat Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar

Hari/Tanggal :

Lokasi Wawancara :

Nama/Umur responden :

Pekerjaan Utama :

Pendidikan :

Pertanyaan penelitian:

Kebutuhan masyarakat terkait access reform

• Menurut bapak/ibu apa yang paling dibutuhkan oleh bapak/ibu terkait

dengan masalah agraria yang bapak/ibu hadapi?

• Menurut bapak/ibu apakah kebutuhan tersebut akan membuat bapak/ibu

keluar dari kemiskinan?

• Bagaimana cara agar kebutuhan tersebut agar bisa sampai langsung

kepada bapak/ibu?

Pembangunan Infrastruktur

• Menurut bapak/ibu apakah terdapat kendala dalam membawa hasil

pertanian ke daerah penjualan?

• Menurut bapak/ibu apakah jalan menuju dan dari dusun ini harus

diperbaiki?

• Bagaimana pengaruh jalan terhadap hasil jual dari hasil pertanian

bapak/ibu?

Page 177: I09vhs

• Apa harapan bapak/ibu terkait dengan pembangunan di dusun ini?apa yang

paling penting untuk diperbaharui atau di bangun?

Bantuan kredit

• Apakah bapak/ibu pernah mendapatkan bantuan kredit?

• Dari siapakah bantuan kredit tersebut?

• Cukup kah bantuan kredit tersebut untuk memenuhi kebutuhan modal

bapak/ibu?

• Bagaimana bapak/ibu menggunakan bantuan kredit tersebut? Bagaimana

pengembaliannya?

• Apa harapan bapak/ibu untuk bantuan kredit kedepannya?

• Bagaimana bantuan kredit mempengaruhi bapak/ibu mengurangi

kemiskinan yang bapak/ibu alami?

Penyuluhan pertanian

• Apakah bapak/ibu pernah mendapatkan penyuluhan pertanian? Dari siapa?

• Apakah penyuluhan tersebut bermanfaat bagi bapak/ibu?

• Bagaimana penyuluhan tersebut tepat mengatasi masalah agraria yang

bapak/ibu hadapi?

• Apa harapan bapak/ibu kepada penyuluhan pertanian?

Page 178: I09vhs

Lampiran 2. Daftar Pengkategorian Keluarga Miskin Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar

No. Nama KK Kampung RT Mata Sawah 1999 2009 Mobilitas Ket Pencaharian

1 Kandi 1 1 1 4 6 4 2 Uci Sanusi 1 1 1 3 6 6 2 3 Ending 1 2 1 4 6 4 4 Urji 1 2 1 4 6 4 5 Juli 1 2 1 4 6 4 6 Obar 1 2 1 6 6 2 7 Emis 1 2 2 7 4 6 4 8 Enceh 1 2 7 4 6 4 9 Bambang 1 2 1 4 6 4

10 Ajat 1 2 1 4 6 4 11 Pena 1 2 1 4 6 4 12 Eruk 1 2 1 6 6 2 13 Dani 1 2 1 4 6 4 14 Aja 2 3 1 6 6 2 15 Odih 2 3 3 8 5 6 2 16 Apeng 2 4 1 5 5 6 2 17 Dana 1 1 1 4 5 4 18 Anas 1 1 3 7 5 5 2 19 Yusuf Yani 1 1 7 5 5 2 20 Rosad 1 2 9 4 5 4 21 Suma 1 2 9 4 5 4 22 Iyos 1 2 1 4 5 4 23 Ali 2 3 12 5 5 2 24 Asep 2 3 14 2 5 5 2 25 Tori 2 3 12 9 5 5 2 26 Maman 2 3 12 5 5 5 2 27 Rawan 2 3 12 5 5 5 2 28 Nanan 2 3 14 5 5 2 29 Duki 2 3 12 2 5 5 2 30 Saad 2 3 12 4 5 5 2 31 Ajum 2 3 7 5 5 2 32 Aleh 2 3 12 5 5 2 33 Ading 2 4 12 5 5 2 34 Ibin 2 4 4 11 5 5 2 11 35 Saca 2 4 12 5 5 2 36 Rahmat 2 4 14 4 5 5 2

Page 179: I09vhs

No. Nama KK Kampung RT Mata Sawah 1999 2009 Mobilitas Ket Pencaharian

37 Rahman 2 4 5 4 5 5 2 8 38 Madhawi 2 4 13 5 5 2 8 39 Sukarma 2 4 12 5 5 2 40 Juanas 2 4 12 4 5 5 2 41 Uceng 2 4 13 3 5 5 2 8 42 Daden 2 4 13 3 5 5 2 10 43 Yusuf Erna 1 1 7 3 4 1 44 Sairin 1 2 6 3 4 4 1 45 Suganda 1 2 6 4 4 1 46 Ganda 1 2 23 4 4 1 47 Minong 1 2 26 4 4 1 3 48 Atar 1 2 6 4 4 1 49 Uda 1 2 6 4 4 1 50 Ading 1 2 13 4 4 1 9 51 Isak 1 2 13 4 4 1 9 52 Ali 1 2 6 4 4 1 53 Ajid 1 2 13 4 4 1 9 54 Sama 1 2 19 4 4 1 55 Anwar 1 2 6 4 4 1 56 Acun 1 2 7 4 4 1 57 Pepen 1 2 7 4 4 1 58 Herman 1 2 6 4 4 1 59 Dedi 1 2 18 4 4 1 60 Isak 1 2 7 4 4 1 61 Sarmin 1 2 4 3 4 4 1 62 Ma Isur 1 2 10 4 4 1 5 63 Bu Dede 1 2 26 4 4 1 2 64 Bu Yana 1 2 26 4 4 1 2 65 Oting 2 3 9 5 4 4 1 66 Pudin 2 3 15 4 4 1 67 Odi 2 3 13 4 4 4 1 68 Shohib 2 3 13 5 4 4 1 69 Santa 2 3 4 7 4 4 1 70 Ajat 2 3 17 3 4 4 1 71 Daman 2 3 16 5 4 4 1 72 Emis 2 4 4 4 4 1 73 Ini 2 4 13 9 4 4 1 74 Nana 1 1 6 3 3 1 75 Otang 1 1 6 3 3 3 1

Page 180: I09vhs

No. Nama KK Kampung RT Mata Sawah 1999 2009 Mobilitas Ket Pencaharian

76 Udin 1 1 6 3 3 1 77 Samin 1 1 6 5 3 3 1 78 Oleh 1 1 6 3 3 1 79 Idim 1 1 6 3 3 1 80 Saleh 1 1 6 3 2 3 1 81 Adang 1 1 17 2 3 1 82 Nanang 1 1 27 3 3 3 1 83 Haman 1 1 18 3 3 1 84 Hendra 1 1 27 3 3 1 85 Suri 1 1 7 3 3 1 86 Diding 1 1 6 3 3 3 1 87 Yono 1 1 23 3 3 1 4 88 Marna 1 1 7 3 3 1 4 89 Una 1 2 7 3 3 1 90 Atma 1 2 20 3 3 1 91 Hamim 1 2 21 3 3 3 1 92 Aep 1 2 22 3 3 1 9 93 Sairin 1 2 4 3 3 1 94 Acang 1 2 20 3 3 1 95 Oji 2 3 13 3 3 3 1 96 Saron 2 3 11 5 4 3 1 97 Hadi 2 3 9 2 3 3 1 98 Usup 2 3 13 2 3 3 1 99 Apul 2 3 13 3 3 3 1

100 Ihsan 2 3 13 5 3 3 1 101 Jaja 2 3 11 3 3 3 1 102 Oman 2 3 4 3 3 3 1 103 Heri 2 3 13 3 3 1 104 Aris 2 3 13 3 3 1 105 Tatang 2 3 13 6 3 3 106 Kanta 2 3 13 3 3 3 1 107 Nukman 2 3 13 6 3 3 1 108 Ade 2 3 13 3 3 3 1 109 Mujid 2 3 25 3 3 1 110 Ma Iyat 2 4 10 3 3 1 111 Ma Anih 2 4 13 6 3 3 7 112 Nata 2 4 13 4 3 3 1 113 Karma 2 4 6 3 3 1 114 Ading 2 4 13 5 3 3 1

Page 181: I09vhs

No. Nama KK Kampung RT Mata Sawah 1999 2009 Mobilitas Ket Pencaharian

115 Diding 2 4 13 4 3 3 1 116 Suhanta 2 4 6 2 3 3 1 117 Ma Ae 2 4 10 3 3 1 118 Asik 2 4 11 3 3 1 119 Rahman B 2 4 6 3 3 3 1 120 Arja 2 4 13 2 3 3 1 121 Djunaedi 2 4 13 3 3 1 122 Ija 2 4 11 5 3 3 1 123 Hamim 2 4 13 2 3 3 1 124 Odik 1 1 6 2 2 1 125 Nermi 1 1 6 2 2 1 126 Bu Iis 1 2 7 2 2 1 6 127 Linda 1 2 7 2 2 1 1 128 Ma Emis 2 3 13 2 2 1 129 Ma Omoh 2 3 13 2 2 1 130 Ma Oob 2 4 16 2 2 1 131 Ali 1 1 26 3 1 1 1 5 132 Adul 1 1 26 4 1 1 1 5 133 Pitok 1 1 26 1 1 1 5 134 Ma Acih 1 1 26 1 1 1 5 135 Ma Fatimah 1 1 26 1 1 1 5 136 Ma Anah 1 1 26 1 1 1 5 137 Ma Eli 1 1 26 1 1 1 5 138 Ma Ami 1 1 26 1 1 1 5 139 Ma Ika 1 1 26 1 1 1 5 140 Ahdi 1 1 26 3 1 1 5 141 Engkom 1 2 26 1 1 1 5 142 Malen 1 2 26 1 1 1 5 143 Sanen 1 2 26 1 1 1 5 144 Ma Anah 1 2 26 1 1 1 5 145 Suhad 1 2 26 1 1 1 5 146 Ma Yayah 1 2 26 1 1 1 5 147 Ma Onih 1 2 26 4 1 1 5 148 Hada 2 3 26 1 1 1 5 149 Ma Marhati 2 3 26 1 1 1 5 150 Ma Onoy 2 4 26 1 1 1 5 151 Ma Mbanah 2 4 26 1 1 1 5 152 Ma Emot 2 4 26 1 1 1 5

Page 182: I09vhs

Keterangan :

No Keterangan Kode 1 Kampung Padajaya 1 Padajembar 2 2 Mata Pencaharian Cevron 1 Tani dan Dagang 2 Tani 3 Tani dan Pensiunan 4 Tanid, dagang, Pensiunan 5 Buruh Tani 6 Dagang 7 Ketua Forum 4 Desa 8 Buruh Bangunan 9 Pensiunan Perkebunan Baru 10 Pensiunan Perkebunan Lama 11 Karyawan Tetap Perkebunan 12 Karyawan Lepas Perkebunan 13 Mandor Tetap Perkebunan 14 Mandor Lepas Perkebunan 15 Karyawan Lepas Perkebunan, Pensiunan Lama 16 Guru 17 Ojeg 18 Bisnis Kayu 19 Bisnis Bambu 20 Penghulu 21 Mancing 22 Supir Batu 23 Pengamen 24 Sales Kompor 25 Tidak Memiliki Pekerjaan 26 Buruh Panggilan 27 3 Sawah Memiliki Sawah 0 Tidak Memiliki Sawah 1 4 Tangga Kehidupan Fakir Miskin 1 Fakir 2 Miskin 3 Sedang 4 Standar 5 Mampu 6 5 Mobilitas Tetap Miskin 1 Tetap Kaya 2 Jatuh Miskin 3 Jadi Kaya 4 6 Keterangan Pendatang 1

Page 183: I09vhs

Suami Kaya 2 Istri Kaya 3 Bekerja di Luar Kampung 4 Jompo 5 Janda 6 Punya Penyakit Asma 7 Istri Karyawan Tetap Perkebunan 8 Istri Karyawan Lepas Perkebunan 9 Ustad 10 Sawah Besar 11

Page 184: I09vhs

Lampiran 3. Karakteristik Rumah Tangga Miskin menurut BPS No. Variabel Kemiskinan Karakteristik Kemiskinan 1 Luas lantai bangunan tempat tinggal Kurang dari 8 m2 per orang 2 Jenis lantai bangunan tempat tinggal Tanah/bambu/kayu murahan 3 Jenis dinding bangunan tempat tinggal Bambu/rumbai/kayu kualitas

rendah/tembok tanpa plester 4 Fasilitas tempat buang air besar Tidak ada, menumpang rumah

lain 5 Sumber penerangan rumah tangga Bukan listrik 6 Sumber air minum Sumur, mata air tidak

terlindung/sungai/air hujan 7 Bahan bakar untuk memasak Kayu bakar/arang/minyak tanah 8 Konsumsi daging/ayam/susu/per minggu Satu kali atau dua kali seminggu 9 Pembelian pakaian baru setiap anggota

rumah tangga setiap tahun Tidak pernah membeli/satu stel

10 Frekuensi makan dalam sehari Satukali/dua kali sehari 11 Kemampuan membayar untuk berobat ke

puskesmas atau dokter Tidak mampu membayar

12 Lapangan pekerjaan utama kepala rumah tangga

Petani dengan luas lahan kurang dari 0,5 Ha/buruh tani/nelayan/buruh bangunan/pekerjaan lainnya dengan penghasilan rumah tangga dibawah Rp 600.000 per bulan

13 Pendidikan tertinggi kepala rumah tangga Tidak sekolah/tidak tamat SD/ hanya tamatan SD

14 Pemilikan aset/harta bergerak maupun tidak bergerak

Tidak punya tabungan/barang yang mudah dijual dengan nilai minimal Rp 500.000 seperti sepeda motor (kredit maupun bukan kredit), emas, perhiasan, perahu motor dan barang modal lainnya.

Sumber BPS 2005