I Gusti Kade Siladana, S.Pd.T Pengantarsimposium.gtk.kemdikbud.go.id/karya/files/dikmen_2/... · Framework Re-enginering Struktur Kompetensi dan Pedagogi Pendidikan ... kewirausahaan
Post on 18-Jul-2018
221 Views
Preview:
Transcript
1
Revitalisasi SMK Untuk Meningkatkan Daya Saing Ketenagakerjaan: Framework Re-enginering Struktur Kompetensi dan Pedagogi Pendidikan
Kejuruan Yang Sesuai Kebutuhan dan Tuntutan Pasar
I Gusti Kade Siladana, S.Pd.T Guru SMK Negeri 3 Tabanan Bali Email: gk_siladana@yahoo.co.id
Pengantar
Faktor determinan yang mempengaruhi daya saing suatu bangsa
saat ini telah mengalami pergeseran dari keunggulan komparatif menuju
keunggulan kompetitif. Keunggulan komparatif salah satunya terlihat
dari melimpahnya sumber daya alam yang dimiliki, dan juga
melimpahnya jumlah tenaga kerja yang murah (Dirjen Dikti, 2008:
17). Sedangkan keunggulan kompetitif salah satunya ditentukan oleh
kualitas sumber daya manusia yang tercermin dari keunggulan inovasi
teknologi (engineering-technology) dan ilmu pengetahuan
(science), bahkan bila perlu kemampuan mengkombinasikan
keduanya (Trilling & Fadel, 2009: 91-93). Untuk itu sekolah dalam hal
ini guru perlu membentuk mindset siswa dengan konsep berpikir
seorang engineer (teknokrat) sekaligus juga sebagai scientist
(ilmuwan). Seperti diilustrasikan dalam bagan berikut ini.
Hubungan Science dan Teknologi dalam Menghasilkan Karya (Sumber: Trilling & Fadel, 2009 : 92)
2
Kedua perspektif berpikir tersebut bila dipadukan akan menghasilkan
sebuah karya yang tidak hanya berguna bagi penyelesaian masalah di
kehidupan sehari-hari (proposed solutions), tetapi juga mampu
menjelaskan konsep atau hal-hal yang mendasari penciptaan sebuah
karya secara ilmiah (proposed explanations).
Berkaitan dengan upaya dalam mengembangkan keunggulan
kompetitif, maka keberadaan SMK memegang peranan yang sangat
penting. Pendidikan kejuruan di SMK berorientasi pada penyiapan tenaga-
tenaga kerja terampil yang nantinya diharapkan dapat menjadi motor
penggerak penguatan ekonomi lokal bahkan nasional, baik itu melalui
sektor formal maupun informal. Untuk itu ukuran keberhasilan program
pendidikan kejuruan di SMK memiliki standar ganda, yaitu: : (1) in-school
success standards dan (2) out-school success standards (Finch &
Crunkilton, 1999: 15-16).
Pespektif in-school success standards lebih menekankan pada
keberhasilan jangka pendek yang dipotret dari capaian hasil belajar dan
kompetensi lulusan pada akhir program pendidikan kejuruan. Sementara
itu, perspektif out-school success standards lebih menekankan pada
keberhasilan jangka panjang, seperti: (1) tingginya angka keterserapan
lulusan oleh lapangan kerja pada sektor yang relevan; (2) masa tunggu
diterima bekerja yang semakin cepat; (3) aspek kesejahteraan (gaji) yang
layak sesuai kualifikasi yang dimiliki; (4) perkembangan karir di tempat
kerja yang semakin meningkat; (5) kemampuan beradaptasi dan belajar
dengan cepat dalam dinamika lingkungan pekerjaannya; dan masih
banyak lagi tuntutan lain dalam konteks dinamika ketenagakerjaan.
Konsekuensi logis dari kedua ukuran keberhasilan tersebut mutlak
memerlukan kemampuan untuk menterjemahkan dua filosofi pendidikan
kejuruan yaitu education for earn a living (for work) dan education for life
dalam tataran implementasi program pendidikan kejuruan (SMK). Filosofi
education for earn a living (for work) yang bermakna pendidikan kejuruan
harus mampu membekali lulusannya dengan kompetensi kerja pada
3
bidang keahlian tertentu. Selanjutnya filosofi education for life bermakna
pendidikan kejuruan juga harus bisa membekali lulusannya dengan
kemampuan beradaptasi, belajar dengan cepat, menemukan pola dan
mengembangkan kapabilitas diri dalam dinamika karirnya.
Untuk memenuhi tuntutan pengejawantahan kedua filosofi tersebut
diperlukan sebuah rumusan ideal tentang struktur hierarki bangunan
kompetensi yang harus diberikan kepada peserta didik dari tingkat bawah
(kelas X) sampai tingkat akhir (kelas XII). Dengan terbentuknya struktur
hierarki bangunan kompetensi tersebut, diharapkan akan memudahkan
guru dalam menyusun sekuen bahan ajar dan sistematika penyampaian
materi kepada siswanya. Hal ini dimulai dari materi yang tingkat
kesulitannya rendah kemudian meningkat ke materi dengan kesulitan
yang lebih tinggi. Dengan demikian siswa akan lebih mudah
mengkonstruksi konsep pemahamannya sendiri, dan juga memiliki
kemampuan memberdayakan konsep yang telah dikuasainya untuk
memecahkan permasalahan belajar atau pun masalah pekerjaan (karir)
dalam konteks yang berbeda (transferable ability).
Permasalahan Yang Menjadi Sorotan
Beberapa permasalahan pendidikan kejuruan yang menjadi sorotan
dalam karya tulis ini, meliputi :
1. Kesenjangan pertumbuhan daya serap lapangan kerja yang tidak
sebanding dengan pertumbuhan jumlah pencari kerja, termasuk di
dalamnya pencari kerja lulusan SMK. Sementara itu, kecenderungan
orientasi kerja mayoritas siswa SMK adalah bekerja pada pihak lain
atau bukan sebagai wirausaha. Hal ini tentu berdampak pada semakin
meningkatnya tingkat pengangguran terbuka (TPK) lulusan SMK.
2. Belum optimalnya peran bursa kerja khusus (BKK) dalam hal
menginkubasi program kewirausahaan (program pendampingan).
3. Re-engineering struktur kompetensi keahlian SMK orientasinya
cenderung masih sebatas melayani social demand (animo masyarakat).
4
Dengan kata lain, belum menyentuh pertimbangan aspek manpower
demand berdasarkan peta proyeksi kebutuhan tenaga kerja dan
pemetaan potensi ekonomi lingkungan sekitar SMK, sehingga
keberadaan lulusan belum dapat berkontribusi pada penguatan
ekonomi lokal/daerah.
4. Re-engineering struktur kompetensi keahlian juga belum mengacu
pada data occupational and prerequisites analysis. Data hasil analisis
ini seharusnya menjadi dasar pertimbangan pemilihan item-item
kompetensi apa saja yang harus dimiliki calon tenaga kerja agar dapat
mengerjakan suatu pekerjaan kejuruan sesuai standar yang benar atau
dunia usaha dan industri (Blank, 1982: 29-38).
5. Data kualitatif di lapangan memperlihatkan bahwa masih banyak SMK
yang belum mengoptimalkan feedback data tracer study (penelusuran
lulusan), meliputi: (a) sudah bekerja atau belum; (b) studi lanjut dan
alasannya; (c) pendapat lulusan terkait relevansi program dengan
kompetensi yang digunakan di tempatnya bekerja; (d) riwayat
pengalaman kerja sejak tamat sampai saat ini (Finch & Crunkilton,
1999: 88). Hal tersebut sangat penting untuk menakar tingkat relevansi
program yang telah dan sedang diselenggarakan.
6. Masih banyak guru SMK yang terjebak oleh miskonsepsi dalam
pemilihan pedagogi pembelajaran kejuruan antara “student centered
learning” atau “teacher centered learning”.
7. Masih banyak guru SMK terjebak dalam pemahaman sempit bahwa
pembelajaran dengan menggunakan dukungan ICT akan selalu lebih
baik dari pada pembelajaran dengan media konvensional (benda
aslinya).
8. Minimnya inisiatif pembelajaran kolaboratif antara mata diklat kejuruan,
kewirausahaan, ataupun mata diklat relevan lainnya ditinjau dari aspek
perencanaan, pelaksanaan dan strategi penilaian hasil belajar siswa
dalam perspektif “hands on learning experience”.
5
Pembahasan dan Solusi
Permasalahan pertama yaitu kesenjangan pertumbuhan daya serap
lapangan kerja yang tidak sebanding dengan pertumbuhan jumlah pencari
kerja, termasuk pencari kerja lulusan SMK. Sementara itu kecenderungan
orientasi kerja mayoritas siswa SMK adalah sebagai karyawan atau bukan
sebagai wirausaha, sehingga tingkat pengangguran terbuka (TPT) lulusan
SMK semakin tinggi. Hal ini semakin dikuatkan oleh data statistik indikator
kesejateraan rakyat (2015: 95) yang memperlihatkan bahwa tingkat
pengangguran terbuka (TPT) berdasarkan tingkat pendidikan yaitu:
(1)lulusan SMK sebanyak 9,05%; (2)lulusan SMA sebanyak 8,17%;
(3)diploma I/II/III sebanyak 7,49%; (4)lulusan SMP sebanyak 7,14%;
(5)lulusan diploma IV dan universitas sebanyak 5,34%; dan terakhir
(6)lulusan SD ke bawah sebanyak 3,22%.
Beberapa solusi yang dapat dijadikan alternatif pemecahan
permasalahan tersebut, yaitu: revitalisasi peran program bimbingan dan
konseling (BK), tidak hanya sebatas pembinaan siswa bermasalah
(pelanggaran disiplin). Sasaran revitalisasi terutama pada bidang :
1. Bimbingan karir dengan cara melibatkan figur yang dinilai sukses
sebagai pelaku sektor wirausaha, sehingga memotivasi dan membuka
wawasan siswa bahwa sektor wirausaha juga memiliki prospek
kesuksesan yang tidak kalah dengan karir di perusahaan.
2. Bidang bimbingan belajar dengan cara menginisiasi ide pembelajaran
kewirausahaan terintegrasi pembelajaran produktif sampai kepada
level hands on learning experience. Hal tersebut meliputi : (a) survey
potensi pasar; (b) penentuan salah satu bidang garapan dari hasil
survey; (c) perencanaan model produk/jasa; (d) penentuan harga
produk/jasa; (e) pemasaran produk/jasa; dan (f) simulasi layanan
purna jual produk/jasa pada konsumen.
Permasalahan kedua yaitu belum optimalnya peran bursa kerja
khusus (BKK) SMK dalam hal inkubasi kewirausahaan. Hal ini dapat
dipahami bahwa dasar pemikiran awal dibentuknya bursa kerja khusus di
6
SMK umumnya bersifat sebagai penyalur tenaga kerja lulusan SMK ke
industri atau perusahaan rekanan (mitra) SMK yang membuka lowongan
pekerjaan. Sementara peran sebagai inkubator program kewirausahaan
bagi lulusannya yang memilih sektor wirausaha belum tersentuh.
Beberapa solusi alternatif yang dapat dilakukan melalui pemberdayaan
bursa kerja khusus (BKK), yaitu:
1. Revitalisasi peran bursa kerja khusus (BKK) sebagai konsultan
program kewirausahaan yang bertugas membimbing dan membina
lulusan SMK yang sedang merintis bisnis wirausaha.
2. Terkadang lulusan SMK mengurungkan niatnya untuk berwirausaha
karena terbentur oleh masalah modal awal. Dalam hal ini bursa kerja
khusus (BKK) dapat berperan sebagai mediator finacial intermediary
bagi lulusan SMK yang ingin memulai bisnis wirausaha. Peran
financial intermediary sebagai pihak penjamin peminjaman kredit
modal usaha bagi lulusan atau pun siswa SMK yang masih aktif
dengan syarat membentuk usaha patungan (berkelompok minimal 4
orang). Mengapa harus berkelompok? Karena dengan berkelompok,
jika satu orang macet angsurannya dan menjadi non performing
loan, masih ada anggota lain yang bertanggungjawab terhadap
pengembalian pinjaman dengan cara terus menjalankan usahanya.
3. Saat ini banyak bermunculan para philanthropist yang tentunya
bergerak pada sektor coorporate social responsibility (CSR). Hal ini
dapat diarahkan untuk menstimulasi tumbuhnya wirausaha-wirausaha
muda lulusan SMK. Dalam konteks ini, bursa kerja khusus dapat
menjembatani komunikasi antara pihak pemilik modal dengan lulusan
SMK atau siswa SMK yang masih aktif untuk memulai bisnis
wirausahanya. Untuk menjaga kepercayaan pihak pemberi modal,
bursa kerja khusus (BKK) juga harus melaksanakan program
pendampingan untuk mengkondisikan bahwa bisnis wirausaha yang
dikelola lulusan atau siswa SMK berjalan dengan kinerja yang terbaik.
7
Masalah ketiga, keempat dan kelima yaitu belum konsistennya
pelaksanaan upaya sistematis re-engineering struktur kompetensi
keahlian di tingkat sekolah dengan mempertimbangkan: (a) aspek
manpower demand (profil kebutuhan tenaga kerja) bukan hanya social
demand (animo masyarakat); (b) data occupational and prerequisites
analysis; (c) feed back tracer study; dan (d) pemetaan potensi ekonomi
lingkungan sekitar SMK. Masalah ini akan berdampak pada lulusan-
lulusan SMK tidak disiapkan untuk mampu memberikan kontribusi pada
penguatan sektor ekonomi lokal/daerah dan ekonomi nasional.
Solusi alternatif yang dapat dijadikan jalan keluar untuk memecahkan
permasalahan tersebut, yaitu pergeseran paradigma re-engineering
struktur kompetensi keahlian di tingkat sekolah dari hanya mengandalkan
pendekatan social demand (berdasarkan animo masyarakat) ke
pendekatan man power demand. Argumentasinya adalah pendekatan
social demand (berdasarkan animo masyarakat) dikhawatirkan akan
menghasilkan lulusan dengan profil kompetensi yang sebenarnya tidak
dibutuhkan oleh lapangan kerja yang tersedia. Pihak penyelenggara
pendidikan kejuruan (SMK) harus menyadari bahwa tanggungjawab
lembaga tidak sebatas metafora pendidikan sistem terminal bus. Metafora
ini menyiratkan bahwa sopir bus jangan hanya mengantar penumpangnya
sampai di terminal (tamat SMK) dan membiarkannya terkatung-katung
tidak jelas mau kemana tujuan selanjutnya. Akan lebih baik jika semuanya
dilaksanakan by design, tersistem dan indikator keberhasilannya terukur.
Untuk itu diperlukan sebuah framework re-engineering yang jelas
tentang apa saja yang menjadi bahan pertimbangan. Framework dari
proses re-enginering tersebut dapat dipahami melalui ilustrasi berikut.
8
SCANNING DATA LINGKUNGAN EKSTERNAL SEKOLAH
Data Kekuatan Ekonomi & Industri * Data Penelusuran Lulusan
Data Peta Politik dan Birokrasi * Data Kekuatan Sosio‐kultural
Data Peta Ketenagakerjaan * Data lingkungan ekternal lainnya
LINGKUNGAN EKSTERNAL SEKOLAH
5 1
Proses Internal Organisasi Sekolah Outputs Inputs
Design Develop Implement
2
3
4
Evaluate Analyze
(PROSES RE‐ENGINEERING KOMPETENSI KEAHLIAN)
Organisasi; visi-misi sekolah
Kurikulum; data hasil belajar
Dukungan Infrastruktur & Finansial
Dukungan Sumber Daya Manusia, dsb
SCANNING DATA LINGKUNGAN INTERNAL SEKOLAH
Sumber : gambar diadaptasi dari Finch & Crunkilton, 1999 : 31
Selanjutnya big picture struktur kompetensi keahlian yang sesuai
dengan dinamika kebutuhan dan tuntutan pasar (dunia usaha dan industri)
dapat dipahami hierarkinya melalui ilustrasi berikut.
Structure Development of Vocational Education and Training Skills
Sumber: Dr. Barry Stern (2003) dalam Sudira (2013: 12).
Ilustrasi tersebut dapat dijadikan acuan untuk melakukan pemetaan
kelompok kompetensi mana akan lebih efektif diberikan di sekolah atau
Education for Work
Education for Life
9
diberikan di dunia usaha dan industri (DU/DI). Untuk kelompok kompetensi
fundamental skills dan generic work skills lebih cocok diberikan di sekolah
karena karakteristiknya yang bersifat transferable atau tidak terpengaruh
dengan perubahan trend dunia kerja. Kelompok fundamental skills ini
terdiri dari: (1) keterampilan menyimak, membaca, menulis dan
menyampaikan informasi; (2) keterampilan berpikir (creative thinking,
critical thinking, problem solving and deccission making, dan keterampilan
berpikir lainnya); dan (3) kualitas kepribadian (bertanggungjawab,
berintegritas, percaya diri, berkarakter, memiliki loyalitas dan kompetensi
kepribadian lainnya).
Selanjutnya kelompok generic work skills terdiri dari: (1)
keterampilan menggunakan sumberdaya; (2) keterampilan mengolah
informasi; (3) penguasaan teknologi; (4) kemampuan memahami sistem;
(5) kemampuan berkolaborasi dengan orang lain dalam sebuah tim (baik
secara nyata maupun secara virtual); dan (6) kemampuan pemahaman
lintas budaya (cross cultural understanding); dan kemampuan kerja
generik lainnya (education for life demand).
Sementara itu kelompok industry specific-skills dan employer
specific-skills akan lebih efektif jika diberikan di dunia usaha dan dunia
industri (DU/DI). Argumentasi yang mendasari bahwa proses penempaan
kedua kelompok kompetensi tersebut adalah karakteristik hands on
learning experience yang menjadi syarat utama keberhasilan
pembelajaran. Sesuai dengan teori Prosser 1, 2 dan 3 terkait dengan
pembelajaran kejuruan bahwa pembelajaran akan efektif bila dilakukan
dengan setting lingkungan kerja (work environment), fasilitas latihan
bekerja (learning facilities) dan sikap atau kebiasaan kerja (work habbits)
yang sama dengan setting dunia kerja aslinya (tempat keterampilan
tersebut digunakan) (Prosser, 1950: 217-220). Dengan alasan biaya
investasi peralatan yang cenderung mahal jika harus menyediakan
fasilitas yang sama dengan industri dan keterbatasan sekolah dalam
mengikuti perkembangan trend teknologi, maka kedua kelompok
10
kompetensi tersebut lebih tepat diberikan di industri. Hanya saja perlu
dilakukan kesepahaman secara tertulis (MoU) mengenai teknis
pelaksanaan dan cost-sharing atau minimal win-win solution antara pihak
sekolah dengan pihak industri (education for work demand).
Masalah keenam adalah masih banyak guru SMK yang terjebak
oleh miskonsepsi pemilihan pedagogi pembelajaran kejuruan antara
“student centered learning” atau “teacher centered learning”. Sering
dijumpai di sekolah (SMK) guru mata diklat produktif dalam mengajar
praktikum, langsung melepas siswanya praktek dengan menggunakan
trainer (misalnya: over-houl engine) yang memiliki resiko kerusakan tinggi
bila dilakukan dengan prosedur yang salah. Akan lebih baik bila guru
mendemonstrasikan prosedur praktek yang benar, kemudian secara
bertahap memberikan kesempatan kepada siswa untuk menirukan
prosedur kerja di bawah bimbingan guru atau instruktur. Setelah dirasakan
sudah menguasainya, maka ukuran keberhasilan belajar siswa adalah
kemampuan melakukan semua prosedur praktek secara benar tanpa
bimbingan guru atau pun rekan sekelasnya (hands on performance
assessment). Jadi ada saatnya teacher centered learning itu lebih baik
dari pada student centered learning, tergantung faktor kontekstualitasnya,
meliputi: karakteristik materi, peserta didik, fasilitas belajar dan lain
sebagainya.
Akan tetapi saat fokus pembelajaran tertumpu pada proses
mengkonstruksi pemahaman dengan alur berpikir masing-masing siswa
(thinking skills), maka guru harus memposisikan diri sebagai partner guide
yang mengkondisikan pengalaman belajar siswa berlangsung secara
efektif dan optimal dengan prinsip individualitas (student centered
learning). Singkatnya untuk mengatasi permasalahan miskonsepsi
tersebut perlu dilakukan pergeseran paradigma berpikir dalam memilih
pedagogi pembelajaran kejuruan.
Bentuk pergeseran paradigma pembelajaran tersebut dirumuskan
dengan baik oleh Cheng (2012 : 31-34) dalam buku New Paradigm for Re-
11
engineering Education: Globalization, Localization and Individualization.
Kata kuncinya adalah kustomisasi metode pembelajaran kejuruan yang
efektif ditinjau dari proporsi peran guru dan siswa dalam proses
pembelajaran. Seperti diilustrasikan pada gambar dan tabel berikut.
The Ecological Relationship between Roles of Teachers and Students
Sumber: Cheng, 2012 : 33
Tabel.Teachers’ Roles and Corresponding Students’ Roles and Outcomes
*) Sumber: Cheng, 2012 : 33
Terlihat jelas reposisi peran guru dan siswa dalam proses pembelajaran
yang sangat situasional dan kontekstual dengan tetap mengedepankan
aspek kualitas pengalaman belajar terbaik bagi siswa secara individu.
Untuk masalah ketujuh yaitu miskonsepsi bahwa pembelajaran
dengan menggunakan dukungan ICT akan selalu lebih baik dari pada
pembelajaran dengan media konvensional (benda aslinya). Oleh karena
begitu gencarnya kampanye pentingnya penguasaan skills abad 21
tentang “digital literacy” termasuk di dalamnya “ICT litercy”, bukan berarti
semua masalah pembelajaran akan beres dengan hanya mengandalkan
12
pembelajaran berbasis ICT. Untuk meluruskan miskonsepsi ini perlu
dilakukan pencerahan tentang esensi media pembelajaran terkait
pengaruhnya terhadap kualitas pengalaman belajar siswa secara individu.
Rumusan tahapan pertimbangan pemilihan vocational pedagogy
secara eklektik terdiri dari 5 tahapan, meliputi: (1) be clear about the goal
of vocational education; (2) understand the nature of your subject; (3) be
clear about the breadth of desired outcomes; (4) understand the range of
learning methods that may taken together and provide the best blend; and
(5) bear in mind any contextual factors: the nature of learners, the
expertise of the teacher and the setting for learning (Lucas, Spencer &
Claxton, 2012: 108).
Tahap pertama, guru harus paham benar esensi tujuan pendidikan
kejuruan. Selanjutnya, guru juga hendaknya memahami karakteristik
materi ajar yang diampunya. Kemudian, guru harus paham benar cakupan
hasil belajar yang dikehendaki. Apakah hanya sampai thinking skills atau
hands on expertise, atau keduanya? Setelah itu, guru harus memahami
hubungan antara karakteristik materi ajar dengan beberapa metode
penyampaian materi ajar. Ini akan lebih baik bila mampu memadukan
secara eklektik beberapa metode (blending methods) untuk menghasilkan
kualitas pengalaman belajar terbaik bagi siswa secara individu. Terakhir,
pertimbangkan dengan cermat aspek kontekstualitas pembelajaran yang
diampu, meliputi: (1) karakteristik peserta didik; (2) kapabilitas guru terkait
keterampilan teknis/praktek (teaching literacy), penguasaan metode &
penggunaan media, kemanfaatan materi terhadap karir siswa kelak; dan
(3) situasi lingkungan belajar saat materi diberikan, apakah pada jam
awal, pertengahan atau menjelang pulang? Jika semua tahapan dipahami
dengan baik maka kualitas pengalaman belajar yang terbaik bagi siswa
akan tercapai secara optimal.
Selanjutnya masalah kedelapan yaitu minimnya inisiatif
pembelajaran kolaboratif antara mata diklat kejuruan, kewirausahaan, dan
mata diklat relevan lainnya. Kolaborasi ditinjau dari aspek perencanaan,
13
pelaksanaan dan strategi penilaian hasil belajar siswa dalam perspektif
“hands on learning experience”. Apabila ditinjau dari filosofi pragmatisme
John Dewey bahwa sebuah konsep dikatakan baik apabila mampu
menunjukkan kemanfaatan praktis secara nyata, bukan hanya baik secara
teoritis. Materi diklat kejuruan akan bermanfaat bila guru mampu
menunjukkan manfaat ekonomis dari penguasaan kompetensi tersebut.
Materi kewirausahaan akan lebih membumi apabila mampu mengantarkan
penguasaan kompetensi keahlian menjadi sesuatu yang layak jual dan
prospek bisnisnya feasible. Mata diklat seni budaya dan budi pekerti akan
bermanfaat apabila mampu memberikan nilai tambah (added value) dari
sebuah produk penguasaan kompetensi keahlian, baik dari sisi tampilan,
penghayatan esensi human relationship, empati, atau merangkai narasi
yang indah pada sebuah jargon pemasaran, dan sebagainya.
Rumusan tahapan kolaborasi mata diklat kejuruan, kewirausahaan
dan mata diklat relevan lainnya, meliputi: (1) menyatukan visi dan misi
bersama di antara guru-guru mata diklat yang terlibat; (2) membuat tabel
atau daftar kompetensi dari mata diklat yang terlibat; (3) menyusun
matriks kemungkinan kolaborasi atau integrasi di antara kompetensi-
kompetensi mata diklat yang terlibat; (4) menemukan kompetensi generik
hasil kolaborasi atau integrasi pada tahap sebelumnya; (5) merancang
metode pembelajaran dan pendekatan evaluasi hasil belajar yang sesuai
dengan karakteristik materi, karakteristik siswa, setting lokasi belajar
(kelas, lab/workshop, atau out door study); (6) mengimplementasikan
skenario pembelajaran secara kontekstual, baik di kelas, lab/workshop,
atau out door study, berserta evaluasi proses dan produk/hasil belajar; (7)
menganalisa dan melakukan refleksi terhadap temuan data proses dan
evaluasi hasil belajar; (8)merevisi program pembelajaran dan mengujicoba
kembali sampai diperoleh format atau model yang paling ideal;
(9)mendokumentasikan semua proses, skenario pembelajaran (RPP),
semua evident/artifact transkrip pengamatan, tes, interview, rekaman
audio atau video, foto dan sebagainya dalam bentuk laporan utuh sebuah
14
best practise pembelajaran; dan (10) diseminasi hasil best practise dalam
lingkup forum ilmiah guru tingkat internal sekolah atau juga eksternal
sekolah.
Kesimpulan dan Harapan Penulis
Berdasarkan uraian-uraian pada bagian sebelumnya, beberapa
simpulan yang dapat diambil yaitu:
1. Untuk membentuk orientasi karir yang ideal pada siswa, sekolah harus
merevitasilasi peran program bimbingan konseling terutama bidang
bimbingan karir melalui kolaborasi dengan figur wirausahawan sukses,
kolaborasi dengan guru produktif/kejuruan dan kewirausahaan.
2. Sekolah harus merevitalisasi peran bursa kerja khusus (BKK) selain
sebagai penyalur lulusan, juga sebagai pendamping program
kewirausahaan, financial intermediary, dan mediator coorporate social
responsibility dalam hal pemberian modal usaha baik bagi lulusan
atau bisa juga bagi siswa yang masih aktif untuk belajar berwirausaha.
3. Revitalisasi sistem re-engineering struktur kompetensi keahlian SMK,
dari hanya melayani social demand (animo masyarakat) menjadi man
power demand (mengacu pada profil kebutuhan tenaga kerja).
4. Framework re-engineering struktur kompetensi keahlian SMK harus
didasarkan pada dua orentasi utama yaitu: (a) education for life dan
(b) education for work. Hal tersebut dilakukan melalui: (a) pembekalan
fundamental skills dan generic work skills oleh sekolah dan (b)
pembekalan industry specific work skills dan employer specific work
skills oleh sekolah dan juga industri pasangan.
5. Guru harus mampu melepaskan diri dari miskonsepsi pemilihan
vocational pedagogy. Caranya dengan memahami esensi pendidikan
kejuruan, aspek kontekstualitas pembelajaran: tujuan dan karakteristik
materi ajar, peserta didik, situasi lingkungan belajar, metode evaluasi,
kapabilitas guru (teaching literacy).
15
6. Guru-guru SMK hendaknya mampu menyelenggarakan pembelajaran
kolaboratif interdisipliner (produktif-kewirausahaan-seni budaya, dan
sebagainya) dalam bentuk materi dan pembelajaran generik yang
dievaluasi secara autentik (by process and by product).
Harapan penulis terkait potret permasalahan pendidikan kejuruan
dalam kaitannya dengan sumbangan ide pemecahan masalah dalam
tulisan ini, yaitu:
1. Re-engineering struktur kompetensi keahlian SMK pada masa-masa
mendatang benar-benar didasarkan pada man power demand
(berorientasi pada profil kebutuhan tenaga kerja), tidak hanya atas
dasar kepentingan melayani animo masyarakat (social demand).
2. Diberikannya ruang gerak yang lebih luas dan apresiasi bagi guru-
guru SMK yang penuh ide kreatif dalam rangka menghasilkan solusi
alternatif untuk mengurai permasalahan pendidikan kejuruan baik
secara lokal/daerah maupun nasional.
DAFTAR PUSTAKA
1. Badan Pusat Statistik. (2015). Indikator Kesejahteraan Rakyat 2015.Jakarta: BPS
2. Blank, W.E. (1982). Handbook for Developing Competency-BasedTraining Programs. London: Prentice-Hall, Inc.
3. Cheng, Y.C. (2005). New Paradigm For Re-Engineering Education,Globalization, Localization and Individualization. Dordrecht: Springer.
4. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. (2008). Technopreneurship.Jakarta: Kemendikbud
5. Finch, C.R & Crunkilton, J.R. (1999). Curriculum Development inVocational and Technical Education. Boston: Allyn & Bacon
6. Lucas.B., Spencer.,E., Claxton.G. (2012). How to Teach VocationalEducation, A Theory of Vocational Pedagogy. London: Centre forSkills Development
7. Putu Sudira. (2013). Kurikulum dan Pembelajaran BerbasisKompetensi Menyongsong Skill Masa Depan. Yogyakarta: AAKM
8. Prosser. C.A & Quigley. T.H (1950). Vocational Education in aDemocracy. Great Britain: American Technical Society.
9. Trilling, B. dan Fadel, C. (2009). 21st Century Skills Learning for Life inOur Times. Sanfrancisco: Jossey Bass
BIO DATA PESERTA SIMPOSIUM GURU NASIONAL 2016
1. Nama I Gusti Kade Siladana, S.Pd.T 2. NIP 19810416 200804 1 001 3. NUPTK 4748-7596-6020-0042 4. NPWP 79.845.271.0-908.000 5. Pangkat/Gol. Ruang Penata. III/c 6. Tempat / Tanggal Lahir Tabanan Bali, 16 April 19817. Jenis Kelamin Laki-Laki 8. Agama Hindu 9. Mata Diklat/ Pelajaran Mata Diklat Produktif Otomotif 10. Judul Karya Tulis Revitalisasi SMK Untuk Meningkatkan Daya
Saing Ketenagakerjaan: Framework Re-enginering Struktur Kompetensi dan Pedagogi Pendidikan Kejuruan Yang Sesuai Kebutuhan dan Tuntutan Pasar
11. Pendidikan Terakhir S1 Pendidikan Teknik Mesin (K.K Otomotif) 12. Fakultas / Perguruan
TinggiFakultas Teknik/ Universitas Negeri Yogyakarta
13. Status Perkawinan Kawin 14. Sekolah :
a. Kepala Sekolahb. Nama Sekolahc. Jaland. Kelurahan / Desae. Kecamatanf. Kabupateng. Propinsih. Teleponi. Email (Surel)
Drs. I Ketut Suardana, MM SMK Negeri 3 Tabanan Jln. Kahyangan, Bunut Puhun Bantas Selemadeg Timur Tabanan Bali 08123692575 smkn3_tabanan@yahoo.com
15. Alamat Rumah:a. Jalanb. Kelurahan/Desac. Kecamatand. Kabupatene. Propinsif. Telepong. Email (Surel)
Jln. Pura Dalem Jelijih Desa Megati Selemadeg Timur Tabanan Bali 0821 4704 3518 gk_siladana@yahoo.co.id
16. Kegiatan Peningkatan Profesionalitas Guru Yang Pernah Diikuti
a. SEAMOLEC Sea-Cyber Class di bidangpemanfaatan TIK dalam prosespembelajaran
b. Diklat Keselamatan Kerja dan Fundamental Hydrolic di P4TK-VEDC Malang
c. Diklat Manajemen Pembelajaran Otomotifdan Penelitian Tindakan Kelas di BMTI-TEDC Bandung
top related