Dominasi Teknologi Informasi Pada Masyarakat Modern III

Post on 23-Dec-2015

12 Views

Category:

Documents

1 Downloads

Preview:

Click to see full reader

DESCRIPTION

Metode kritis dalam teknologi informasi saat ini

Transcript

Metode Kritis Terhadap Televisi : Dominasi Teknologi

Informasi Pada Masyarakat Modern

Pendahuluan

Peradapan manusia seketika berubah tatkala suatu masa yang disebut

dengan aufklarung hadir. Peristiwa abad ke 18 tersebut telah membawa dampak

besar terhadap ilmu pengetahuan modern, peristiwa itu mengantarkan manusia

pada peradapan yang mutahir. Aufklarung atau yang biasa kita sebut pencerahan

adalah pintu masuk bagi manusia untuk membuka selubung misteri alam raya.

Manusia dengan adanya pencerahan itu telah menelanjangi misteri jagat raya yang

sebelumnya terlihat mengerikan dan menakutkan hingga tak berani menjamahnya.

Melalui pencerahan manusia dengan rasionya telah berhasil membuka selubung

misteri jagad raya. Manusia mematahkan selubung mistis yang membelenggu

dirinya. Manusia mulai mengontrol jagat raya dengan akal budinya dan penelitian

empiris. Manusia menundukkan Alam dengan angka-angka dengan kalkulasi

yaitu secara matematis ilmu pasti.

Manusia mendaulatkan diri sebagai penguasa alam, memang benar kiranya

bahwa alam raya ini diciptakan untuk manusia, itu sebabnya kenapa Adam

dilempar ke dunia ini. Sang rasul aliran rasionalisme Rene Descartes dengan

lantang berkikrar bahwa “Cogito ergo sum” (aku berfikir maka aku ada), jika

ditafsirkan bahwasanya betapa berkuasanya akal pikiran manusia untuk mengatur

diri dan dunia di sekelilingnya. Lalu disusul sang rasul aliran empirisme Hobbes

yang mengatakan bahwa pengetahuan sejati dapat diperoleh hanya melalui

pengamatan empiris. Manusia bisa melakukan apapun terhadap alam bahkan

menerjang kehendak Tuhan. Seakan tiada sabda yang tak terbantahkan, semua

bisa dijadikan objek untuk dimanipulasi.

Menurut Adorno dan Horkheimer, pencerahan itu telah menelanjangi

misteri alam raya yang sebelumya menakutkan dan membuat manusia tidak berani

menyentuhnya dengan pengetahuan rasionalnya. Justru melalui pencerahan,

pengetahuan manusia membuka selubung misteri itu. Dewa-dewi, roh, jin, dan

1

berbagai bentuk kekuatan gaib lainya, sebagaimana yang diceritakan dalam mitos,

tak lain sebagai usaha manusia untuk memahami alam dan masyarakat, akan

tetapi dengan pemahaman mistis seperti itu manusia justru membelenggu dirinya

sendiri. Melalui pencerahan, belenggu itu dipatahkan dan sebagai gantinya rasio

manusia bangkit memerintah alam. Begitu momok mitologis dijauhkan dari alam,

alam menjadi barang yang netral dan bersamaan dengan itu manusia mampu

menghadapinya sebagai objek yang dimanipulasi. Rasionalitas menjadikan

masyarakat modern dalam menghadapi kehidupanya.1

Peradaban manusia berkembang begitu mutahir, diawali dengan revolusi

industri yaitu beralihnya sistem pertanian ke sistem industri, kemudian hingga

saat ini muncul ciber society yang merupakan perwujudan dari teknologi canggih

seperti handphone, komputer, televisi, internet yang pada akhirnya menciptakan

dunia tanpa sekat yang disebut globalisasi. Kalau dulu bulan hanya dianggap

sebagai bulatan cahaya yang jauh di atas sana maka sekarang manusia dengan

pengetahuannya dapat menapakan kakinya di sana, bahkan rencananya manusia

bakal migrasi kesana kalau bumi kelak akan hancur. Peradaban manusia tidak

berhenti sampai disini, permainan menjadi Tuhan pun dimulai dengan mencoba

mereproduksi ras manusia dengan teknologi cloning walaupun belum digunakan

untuk manusia. Sungguh manusia telah menjadi manusia yang berdaulat penuh

atas alam. Disini Tuhan seakan-akan sedang sekarat, bahkan telah dibunuh oleh

Nietzsche, di mana konsep tetang Tuhan dianggap tidak mampu lagi untuk

berperan sebagai sumber dari semua aturan teleologi. Manusia diposisikan sebagai

manusia purna dengan kehendak berkuasa dan mencintai kehidupan.

Masyarakat modern dengan pemujaan atas rasionalitas, telah berhasil

mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi sedemikian jauh, hingga

Teknologi Informasi saat ini telah mendominasi semua elemen kehidupan

masyarakat. Salah satu kemajuan teknologi yang dihasilkan masyarakat modern

adalah televisi. Televisi adalah salah satu sarana hiburan yang paling banyak di

pakai oleh masyarakat di dunia. Selain sebagai sarana hiburan Televisi juga

1 F. Budi Hardiman. 2008. Kritik Ideologi : Menyingkap Pengetahuan dan Kepentingan Bersama Jurgen Hebermas. Kanisius : Yogjakarta. Hlm 68.

2

sebagai salah satu sarana penyampai informasi di dunia. Dengan Televisi kita bisa

mengetahui kejadian yang terjadi di daerah bahkan di negara lain secara langsung.

Televisi adalah sumber daya yang terbuka bagi semua orang dalam

masyarakat industri, dan semakin mengalami pertumbuhan di negara-negara

berkembang. Televisi juga merupakan sumber bagi pengetahuan popular tentang

dunia dan semakin membuat kita menjalin kontak, meskipun melalui perantara,

dengan cara hidup orang selain yang tinggal di tempat kita dilahirkan. Televisi

berdampak pada ketentuan dan konstruksi selektif pengetahuan sosial, imajinasi

sosial, dimana kita mempersepsikan dunia realitas yang dijalani orang lain, dan

secara imajiner merekonstruksi kehidupan mereka dan kehidupan kita melalui

dunia secara keseluruhan yang dapat difahami. (Hall dalam Becker)2. Di sinilah

televisi yang awalnya dimaksudkan untuk menyejahterakan manusia, di mana

televisi merupakan hasil dari kekuatan rasional masyarakat modern pada akhirnya

teknologi berbalik menguasai manusia. Televisi mengendalikan, mengontrol dan

mendominasi kehidupan masyarakat modern.

Tulisan ini mencoba untuk membahas tentang dominasi teknologi

informasi dari perspektif teori kritis. Teori kritis yang tergabung dalam kelompok

Frankfurt School adalah kelompok intelektual yang pertama kali melihat gejala

akan dominasi teknologi informasi pada masyarakat modern. Televisi merupakan

salah satu contohnya, dengan mengambil contoh televisi sebagai salah satu media

yang sangat familiar dalam masyarakat. Televisi telah berkembang menjadi alat

kontrol tersendiri bagi masyarakat modern. Melalui tayangan-tayangan yang

disajikan ia telah mengkonstruksi realitas sosial masyarakat. Masyarakat modern

dengan hukum positivistik, di mana segala sesuatu dapat dikalkulasikan telah

memunculkan kapitalisme sebagai dewa-dewa pencipta realita dengan hukum

komoditi. Kapitalisme menciptakan industri budaya massa melalui tayangan-

tayangan televisi yang merupakan penipuan massa. Iklan menjadi salah satu

bagaimana masyarakat modern dikontrol oleh kebutuhan-kebutuhan semu.

2 Barker, Chris. 2011. Cultural Studies :Teori dan Praktek. Kreasi wacana : Yogyakarta. Hlm 275.

3

Televisi menjadi media hiburan yang paling digemari oleh masyarakat.

dengan keunggulan melalui visual (gambar) dan audio (suara) memberikan kesan

realistic (kesan nyata). Televisi mempunyai karakteristik khusus yaitu kombinasi

gambar, suara dan gerak. Oleh karena itu pesan yang disampaikan sangat menarik

perhatian penonton. Dengan perkembangan teknologi informasi, yaitu dengan

didukung oleh grafis komputer yang canggih, televisi menjadi hidup. Hal itulah

yang membawa masyarakat tenggelam dalam dominasi televisi memalui program

tayangan, iklan yang pada akhirnya menyeret masyarakat pada pengorganisasian

secara umum dalam industri budaya yang penuh manipulasi.

Pembahasan

Kritik Frankfurt School Atas Masyarakat Modern

Sebelum membahas bagaimana dominasi teknologi terhadap masyarakat

modern, terlebih dahulu perlu kita ketahui tentang teori kritik dari kelompok

Frankfurt School. Kelompok ini sangatlah aktif dalam mengkritisi perkembangan

masyarakat modern. Teori kritis adalah sebutan untuk orientasi teoritis tertentu

yang bersumber dari Hegel dan Marx, disistematisasi oleh Horkheimer dan

sejawatnya di Institut Penelitian Sosial di Frankfurt, dan dikembangkan oleh

Habermas. Secara umum istilah ini merujuk pada elemen kritik dalam filsafat

Jerman yang dimulai dengan pembacaan kritis Hegel terhadap Kant. Secara lebih

khusus, teori kritis terkait dengan orientasi tertentu terhadap filsafat yang

dilahirkan di Frankfurt.

Sekelompok intelektual yang kemudian dikenal sebagai anggota Mazhab

Frankfurt adalah teoritisi yang mengembangkan analisis tentang perubahan dalam

masyarakat kapitalis Barat, yang merupakan kelanjutan dari teori klasik Marx.

Mereka yang bekerja institut penelitian ini diantaranya Max Horkheimer, Theodor

Adorno, Herbert Marcuse dan Erich Fromm di akhir tahun 20-an dan awal tahun

30-an. Setelah berpindah ke Amerika Serikat karena tekanan Nazi, para anggota

Mazhab Frankfurt menyaksikan secara langsung budaya media yang mencakup

film, musik, radio, televisi, dan budaya massa lainnya. Di Amerika saat itu,

produksi media hiburan dikontrol oleh korporasi-korporasi besar tanpa ada

4

campur tangan negara. Hal ini memunculkan budaya massa komersial, yang

merupakan ciri masyarakat kapitalis dan, kemudian, menjadi fokus studi budaya

kritis. Horkheimer dan Adorno mengembangkan diskusi tentang apa yang disebut

”industri kebudayaan” yang merupakan sebutan untuk industrialisasi dan

komersialisasi budaya di bawah hubungan produksi kapitalis.

Teoritisi kritis pada permulaanya memusatkan perhatian terhadap filsafat

yang diagungkan oleh masyarakat modern, yaitu positivistime. Failsafat yang

mendukung rasionalitas masyarakat modern dalam melakukan penelitian ilmiah.

Aliran kritis menentang positivisme karena berbagai alasan. Pertama, positivisme

cenderung melihat kehidupan sosial sebagai proses alamiah. Teoritisi kritis lebih

menyukai memusatkan perhatian pada aktifitas manusia maupun pada cara-cara

aktivitas tersebut mempengaruhi struktur sosial yang lebih luas. Singkatnya

positivisme dianggap mengabaikan aktor, menurunkan aktor ke derajat yang pasif

yang ditentukan oleh kekuatan alamiah. Karena mereka yakin akan kekhasan sifat

aktor, teoritisi kritis tak dapat menerima gagasan bahwa hukum umum sains dapat

diterapkan terhadap tindakan manusia begitu saja. Positivisme diserang karena

berpuas diri hanya dengan menilai alat untuk mencapai tujuan tertentu, dan karena

tak membuat penilaian serupa terhadap tujuan. Kritik ini mengarah ke pandangan

bahwa positivisme berwatak konservatif, tak mampu menantang sistem yang ada.

Ilmu pengetahuan dengan wujudnya yaitu teknologi memang telah

menimbulkan dampak positif yang luar biasa bagi peradaban manusia akan tetapi

ketika semua peradaban itu diawali dengan berkuasanya akal pikiran manusia,

maka sampailah kita pada akal pikiran yang mulai kehilangan kontrolnya.

Manusia justru dikendalikan oleh ilmu pengetahuan teknologi. Melihat kondisi

seperti ini Herbert Marcuse dalam One Dimensional man bahwasanya manusia

tidak lagi ditindas oleh manusia lainya namun manusia ditindas oleh sistem

teknologi. Hukum teknologi telah mencengkram kuat yang mengatur dan

memaksa manusia untuk tuntutan ekonomis dan politis kepada manusia3. Marcuse

juga mengkritik masyarakat modern yang hanya bersifat One Dimensional dan hal

ini tampak dalam semua aspek, yakni ilmu pengetahuan, seni, filsafat, pemikiran

3 Loc Cit. hlm 73 5

sehari-hari, sistem politik, ekonomi dan teknologi. Manusia modern kehilangan

daya dan prinsip kritis. Masyarakat modern, baik manusia maupun benda

direduksi menjadi sesuatu yang fungsional saja, terlepas dari substansi dan

otonomi. Prinsip kritis tersebut diambil dari konsep-konsep filsafat yang

memungkinkan orang memahami kebebasan, keindahan, akal budi, kegembiraan

hidup dan lain sebagainya .

Meski kehidupan modern kelihatan rasional, aliran kritis memandang

masyarakat modern penuh dengan ketidakrasionalan. Gagasan ini dapat diberi

nama “irrasionalitas dari rasionalitas formal”. Menurut pandangan marcuse, meski

tampaknya rasionalitas diwujudkan, masyarakat ini secara keseluruhan.

Masyarakat adalah tak rasional karena dunia rasional merusak individu, serta

kebutuhan dan kemampuan mereka, bahwa perdamaian dipertahankan melalui

ancaman terus menerus dan bahwa meski sarana yang ada sudah cukup, rakyat

tetap miskin, tertindas, tereksploitasi dan tak mampu memenuhi kebutuhan hidup

mereka sendiri. Aliran kritis terutama memusatkan perhatian pada satu bentuk

rasionalitas formal teknologi modern, misalnya mengecam keras teknologi

modern setidaknya seperti yang digunakan dalam kapitalisme. Sebenarnya ia

memandang teknologi modern berperan penting sebagai metode pengendalian

eksternal terhadap individu yang baru, lebih efektif, dan bahkan lebih

menyenangkan.

Sistem kapitalisme di mata Marcuse cenderung bersifat represif dan

totaliter. Sistem kapitalisme dalam detailnya memang terkesan serba rasional,

menawarkan kemakmuran dan kehidupan yang makin enak bagi para warganya,

memberikan kekuasaan yang lebih besar, serta pengaturan yang lebih efektif,

efisiensi dan produktif. Tetapi bila dipandang secara keseluruhan, menurut

Marcuse kehidupan masyarakat industri modern sesungguhnya irrasional, penuh

dengan kepalsuan, dan manipulasi4. Di mata teoritisi kritis, perkembangan industri

kebudayaan yang melahirkan produk-produk industri budaya dan budaya massa

atau budaya popular, bukan hanya dinilai sebagai hasil rekayasa kekuatan

komersial yang kapitalistik, tetapi juga berdampak mengendalikan, menciptakan

4 Bagong Suyanto dan M. Khusna Amal.2010. Anatomi dan Perkembangan Teori Sosial. Aditya Media : Malang. Hlm 122.

6

yang serba palsu dari pada sesuatu yang riil. Menurutnya industri-industri

kebudayaan merupakan organ-organ penipu massa yang memanipulasi individu-

individu untuk menerima pengorganisasian masyarakat secara umum. Dalam

pandangan mereka, industri kebudayaan sedang melibatkan diri dalam bentuk

indoktrinasi ideologi yang canggih dengan menggunakan hiburan untuk

mempermanis penindasan sambil menggerogoti standart kebudayaan dengan

tujuan menekan setiap bentuk ekspresi yang menentang tatanan yang ada5.

Televisi : Dominasi Teknologi Pada Masyarakat Modern

Kemajuan teknologi televisi dewasa ini berkembang begitu cepat. Televisi

telah menjadi jendala dunia, televisi telah menjadi media yang menembus ruang

dan waktu. Dunia ibarat daun kelor, menjadi sempit karena adanya teknologi

televisi. Dengan memanfaatkan teknologi satelit, saat ini televisi dapat digunakan

di rumah-rumah, saat ini telah diproduksi juga televisi mobil yang bisa dibawa

kemana-mana, dengan demikian orang dapat menyaksikan siaran televisi di

manapun berada. Produksi seperti ini seperti televisi yang ada pada handphone,

televisi genggam, televisi mobil. Selain televisi satelit, sekarang ini juga sudah

berkembang televisi kabel yang juga digunakan di rumah-rumah dengan teknologi

digital. Televisi jenis ini sudah melampaui teknologi televisi anolog yang sudah

dianggap ketinggalan zaman. Saat ini televisi sudah dapat digabungkan dengan

internet. Sehingga televisi sudah mengalami perkembangan yang begitu canggih,

tidak lagi menggunakan teknologi satelit dan radio.

Televisi yang membawa kepada kemajuan teknologi informasi pada

manusia. Ia menjadi semacam pencapaian tertinggi dalam peradapan manusia.

Televisi memberikan informasi, hiburan kepada masyarakat. Tetapi di balik segala

kemajuan yang ditawarkan televisi, di satu sisi televisi membawa manusia pada

ketertundukan demi kepentingan ekonomi. Keterpihakan media massa termasuk

televisi kepada kapitalisme, telah membawa masyarakat modern hidup dalam

dominasi teknologi. Televisi digunakan untuk kekuatan-kekuatan kapital yang

menjadikanya sebagai mesin penghasil uang dan pelipatgandaan modal.

Keperpihakan media terhadap kapitalisme tersebut menyebabkan televisi hanya

5 Ibid. hlm 123.7

memberikan keterpihakan semu kepada masyarakat. Keterpihakan semu tersebut

adalah rasa simpati dan empati yang pada ujung-ujungnya untuk kepentingan

ekonomi dengan menjual siaran. Keterpihakan televisi kepada kapitalisme ini

pada akhirnya menjadikanya sebagai alat penundukan dan dominasi yang ampuh

dalam masyarakat.

1. Narasi Fasisme Pada Layar Kaca

Teknologi dalam wujudnya media telah menjadi imperealis baru.

Schiller (1969), mengulas kasus bahwa media cocok dengan sistem kapitalisme

dunia dengan menyediakan dukungan ideologis bagi kapitalisme, dan korporasi

transnasional khususnya. Media dilihat sebagai kendaraan bagi pemasaran

korporat, memanipulasi penonton dan menjadikan mereka sebagai pemasang

iklan. Ini beriringan dengan pengakuan atas efek ideologis secara umum di

mana pesan-pesan media menciptakan dan memaksa keterikatan penonton

pada status quo6. Masyarakat modern secara sosial-politik dalam pandangan

teoritis kritis, cenderung mengarah kepada bentuk totaliterisme, di mana

teknologi manjadi alat pengendalian sosial, bahkan menjadi alat penindas yang

ampuh.

Sistem kapitalisme di mata Marcuse cenderung bersifat represif dan

totaliter. Sistem kapitalisme dalam detailnya memang terkesan serba rasional,

menawarkan kemakmuran dan kehidupan yang makin enak bagi para

warganya, memberikan kekuasaan yang lebih besar, serta pengaturan yang

lebih efektif, efisiensi dan produktif. Tetapi bila dipandang secara keseluruhan,

menurut Marcuse kehidupan masyarakat industri modern sesungguhnya

irrasional, penuh dengan kepalsuan, dan manipulasi.7 Di mata teoritisi kritis,

perkembangan industry kebudayaan yang melahirkan produk-produk industri

budaya dan budaya massa atau budaya popular, bukan hanya dinilai sebagai

hasil rekayasa kekuatan komersial yang kapitalistik, tetapi juga berdampak

mengendalikan, menciptakan yang serba palsu dari pada sesuatu yang riil.

Menurutnya industri-industri kebudayaan merupakan organ-organ penipu 6 Loc cit. Bekcer Cris. Hlm 275.

7 Loc Cit. Bagong Suyanto. Hlm 122. 8

massa yang memanipulasi individu-individu untuk menerima pengorganisasian

masyarakat secara umum. Dalam pandangan mereka, industri kebudayaan

sedang melibatkan diri dalam bentuk indoktrinasi ideologi yang canggih

dengan menggunakan hiburan untuk mempermanis penindasan sambil

menggerogoti standar kebudayaan dengan tujuan menekan setiap bentuk

ekspresi yang menentang tatanan yang ada8.

Televisi sebagai wujud dari teknologi informasi telah menjadi satu alat

pengendalian masyarakat. Iklan sebagai alat-alat kapitalisme telah

mengendalikan masyarakat dalam budaya konsumerisme. Televisi menunjukan

sifat-sifat fasismenya, sosok fasisme dalam diri kapitalisme cenderung

menciptakan kebudayaan massa berdasarkan mekanisme kekuasaan totaliter.

Di mana masyarakat dikomando dalam budaya konsumerisme. Adalah Adorno

yang menyamakan sitem kapitalisme dan fasisme tersebut. Keduanya menurut

Adorno memiliki kesamaan yaitu merayakan insting primitif, penolakan akal

sehat dan pesona akan tanda-tanda kemegahan. Hal ini identik dengan fasisme

yang diamalkan oleh Hitler dan Mussolini.

Sebagai sosok fasisme dalam layar kaca, kapitalisme seakan

mengontrol masyarakat secara totaliter melalui budaya konsumerisme. Dalam

pemahamanya konsumerisme adalah paham, aliran atau ideologi di mana

seseorang, kelompok melakukan atau menjalankan proses konsumsi atau

pemakaian barang-barang hasil produksi secara berlebihan atau tidak

sepantasnya secara sadar dan berkelanjutan. Bisa juga disebut konsumtif dan

gampangnya lagi apabila konsumtif tersebut dijadikan sebagai gaya hidup.

Kemudian sangat ironis, bahwasanya konsumerisme cenderung mewabah di

negara-negara berkembang seperti Indonesia.

Kapitalisme melalui televisi ini terjadi akibat derasnya persaingan

industri pertelevisian dewasa ini. Kompetisi tersebut memiliki imbas ke

khalayak (konsumen) ketika kemudian khalayak dibentuk oleh televisi (baca:

industri) menjadi segmen-segmen yang kemudian akhirnya dijual kepada

advertiser. Fenomena ini juga menunjukkan bahwa kebebasan yang dimiliki

8 Ibid. Bagong Suyanto. Hlm 123.9

oleh khalayak pada awal tumbuhnya televisi sifatnya menjadi semu, terutama

karena justru posisi publik menjadi “terkontrol” oleh kepentingan dalam

bentuk lain yang lebih kompleks yaitu ekonomi politik.9 Masyarakat modern

menurut mereka, merupakan masyarakat yang irrasional. Dalam masyarakat

seperti ini, produksi sebenarnya tidak diciptakan untuk memenuhi kebutuhan

manusia, malainkan kebutuhan manusia yang diciptakan, dimanupulasi dan

diproduksi.

Melalui televisi, kapitalisme memanfaatkan hasrat manusia yang tanpa

batas. Iklan sepeda motor merupakan contoh yang bagus sebagai penjelasaan

nyata tentang apa yang sedang menjangkit dalam masyarakat kita. Hampir

setiap rumah dipastikan sudah memiliki televisi. Dalam setiap tayangannya

televisi selalu menayangkan iklan dengan pengulangan yang begitu padat.

Aktis Koming menjadi familiar dengan iklan sepeda motor Jupiter karena ia

bisa muncul berkali-kali setiap hari. Ia menawarkan tentang suatu produk

sepeda motor yang ideal bagi masyarakat terkini. Beberapa bulan kemudian ia

muncul dengan iklan yang lain tetapi masih dengan produk yang sama. Di sini

mayarakat setiap harinya dijejali dengan iklan-iklan yang terus menjajah dan

mengeksploitasi masyarakat. Belum selesai produk yang awal, sudah muncul

lagi produk yang baru.

Iklan menawarkan berbagai kebutuhan-kebutuhan semu, kebutuhan

yang diciptakan, dibuat seakan-akan masyarakat memang membutuhkan

produk tersebut. Masyarakat dibuat harus meng-up date kebutuhanya, ketika

produk-produk yang terbaru muncul dengan keungulan-keungulan terbaru.

Meskipun produk yang lama masih memadai untuk dipakai. Seperti juga

kegilaan masyarakat akan handphone. Belum habis apa yang ditawarkan oleh

Dedy Corbuzer tentang handphone merk Mito yang terdahulu, sudah muncul

lagi produk-produk yang terbaru yang menuntut konsumer untuk segera

membelinya, karena kebutuhan itu dibuat seakan-akan menjadi kebutuhan

yang mendesak. Kata “ketinggalan zaman” menjadi momok yang menakutkan

bagi masyarakat modern. Kita dibuat seakan-akan ketinggalan zaman jika kita

9 Setyo Budi H. 2004. Industri Televisi Swasta Dalam Prespektif Ekonomi Politik. FISIP Universitas Atmajaya : Yogjakarta. Hlm 3.

10

tidak memiliki produk-produk terbaru dengan keunggulan yang terbaru juga.

Hal ini menciptakan suatu kebutuhan semu. Kebutuhan yang tidak didasarkan

atas nilai guna (use value) tetapi lebih kepada nilai tanda (sigh value).

Hasrat manusia adalah sasaran ampuh, ia menjadi bidikan kapitalisme

melalui iklan. Dewa baru yang dipuja namanya “wellness”. Industri

mensugestikan bahwa kita berhak atas perasaan “well”, berhak atas

kebahagiaan, lalu kita dimanipulasi untuk merasa butuh produk-produk agar

bisa bahagia. Hal ini oleh Franz Magnis Susesno disebut semacam fancy desire

(keinginan yang bukan-bukan)10. Kebudayaan konsumerisme yang

dikendalikan sepenuhnya oleh hukum komoditi, yang menjadikan konsumer

sabagai raja, yang menghormati nilai-nilai individu, yang memenuhi

selengkapnya dan sebaik-baiknya kebutuhan, aspirasi, keinginan hasrat, telah

memberi peluang bagi setiap orang untuk asik dengan dirinya sendiri. Maka di

sini masyarakat modern telah termanipulasi dan tertindas secara psikis oleh

teknologi informasi televisi.

2. Nyanyian “Nina Bobo” Yang Melelapkan

Masih berlanjut tentang sosok fasisme di layar kaca yang menawarkan

yaitu merayakan insting primitif (kesenangan hasrat), penolakan akal sehat dan

pesona akan tanda-tanda kemegahan (komsumerisme). Dalam bidang sosio-

politik, terjadi penundukan atas para oposan yang menjadikanya oposan yang

hidup “dalam status quo”. Televisi memiliki wajah ganda, di satu sisi ia

menawarkan tentang kesejahteraan, di sisi yang lain justru menjerumuskan

masyarakat kepada mindset dari media televisi dan kepentingan ekonomi

politiknya yang hegemonik.

Televisi menjadi alat kontrol yang ampuh terhadap segala bentuk

perlawanan-perlawanan akan realitas sosial yang ada. Televisi seperti yang

telah dipaparkan di atas dengan berbagai bujuk rayu iklan yang disajikan telah

membuat satu generasi yang pasif/pragmatis. Budaya industri kapitalisme yang

disuguhkan kapitalisme televisi melahirkan komsumerisme-hedonisme telah

10 Magniz-Suseno, Franz. 2008: Etika Kebangsaan, Etika Kemanusiaan. Kanisius : Yogyakarta. Hlm 20-21

11

menciptakan massa diam (the silent mayority). Di mana ketika massa sudah

terbuai dalam budaya konsumerisme-hedonisme, maka masa hanya akan

berdimensi tunggal (Meminjam istilah Adorno), dimensi yang lainnya dimensi

kritis/perlawanan menjadi hilang. Segala jenis hiburan serta kesenangan-

kesenangan yang ditawarkan oleh televisi, menyebabkan tumpulnya satu

generasi idealis. Mereka telah terbuai dalam kehidupan yang menyenangkan

dan cenderung pragmatis.

Hal ini menjadi nyanyian“nina bobo” bagi para oposan (baca :

kekritisan). Televisi menjadi alat kekuasaan di mana, “status quo”

dipertahankan. Terjaminnya konsumsi produk/jasa para kapitalis, yang nota

bene juga menjadi bagian kepemilikan saham di media televisi, maupun juga

bentuk hegemoni baru dari penguasa dalam membentuk komunitas masyarakat

“baru” yang bersifat konsumtif, hedonis, dan barangkali apolitis, yang sangat

mungkin diposisikan untuk tidak mengganggu kepentingan ekonomi politik

penguasa. Di sisi lainnya televisi menjadi alat ampuh untuk menundukan bibit-

bibit perlawanan terhadap kekuasaan.

Herbert Marcuse dalam tulisanya “A Criticque of Pure Tolerance”

(Kritik Toleransi Murni, 1965), melukiskan bagaimana kebebasan dapat

menjadi alat dominasi. Dalam bidang politik, masyarakat menempatkan dirinya

sebagai masyarakat toleran. Di dalamnya tersedia kebebasan mimbar,

kebebasan pers, kebebasan berkumpul, kebebasan beroposisi atau bahkan

kebebasan seks. Dengan demikian masayarakat menujukan sifat yang bebas

dan toleran. Akan tetapi, menurut Marcuse, di bawah hukum yang keseluruhan

represif, kebebasan dapat dibuat menjadi alat dominasi yang kuat.11 Kontrol

teknologi seperti televisi yang menyugukan kebebasan berekspresi ternyata

berbalik menjadi alat dominasi, di mana kekuatan perlawanan pada akhirnya

kehilangan sifatnya, malah kemudian membela status quo.

Televisi melalui bentuk kehadiranya sendiri, merupakan kontrol sosial

yang ampuh. Situasi sebagaimana ia hadir lebih efisien dari seorang intel

11 Loc. Cit .F Budi Hardiman. Hlm 76.12

pemerintah dalam mengawasi dan mengontrol kehidupan pribadi orang.12

Televisi memiliki kekuasaan mengontrol seseorang untuk memastikan jadwal

kegiatan mereka sehari-hari. Ia mengendalikan manusia lewat penjadwalan

program-program yang dibuat. Inilah yang membuat bagaimana seseorang bisa

betah bertahan berjam-jam di depan televisi. Hal tersebut bisa mematikan

simpul sikap kritis seseorang, membuat malas, sehingga seseorang cenderung

asyik dengan kesenangannya sendiri.

Sikap kesenangan yang disuguhkan televisi ini membuat seseorang

tidak peduli dengan lingkungan sekitarnya, atau lupa untuk melakukan hal-hal

yang lebih penting dari sekedar melihat tontonan televisi. Konsumerisme-

hedonisme yang disosialisasikan oleh televisi, yang dijejalkan setiap hari, di

mana pemenuhan hasrat menjadi utama sehingga seorang individu akan lupa

dengan saudara-saudaranya yang kekurangan. Sikap individulistik yang kian

marak pada akhirnya mematikan sikap sosial kita, sikap di mana kita dibuat

untuk tidak peduli dengan yang lain, yang berarti di sini kita turut

melanggengkan kemiskinan (status quo).

Sikap konsumerisme-hedonisme yang dijejalkan televisi ini yang

kemudian membuat suatu generasi menjadi pragmatis. Maraknya perilaku

korupsi ini juga disinyalir karena tuntutan gaya hidup mewah tersebut. Gaya

hidup yang lebih mengutamakan kesenangan tersebut membuat orang akan

melakukan apa saja untuk memenuhi hasrat tentang kesenangnya, antara lain

dengan cara korupsi. Pada kasus-kasus korupsi, bisa kita lihat betapa para

pelaku kesemuanya adalah orang-orang yang berselera tinggi, orang-orang

yang mendewakan “wellness”. Generasi muda juga tak luput dari perilaku

pragmatis ini, bagaimana gaya hidup konsumerisme-hedonisme yang

disuguhkan televisi pada akhirnya mempengaruhi psikis mereka untuk suatu

tuntutan bergaya hidup. Sehingga hal ini membuat dimensi kekritisan tentang

kenyataan sosial (ketidakadilan, kemiskinan, dominasi, keserakahan) menjadi

tumpul, serta individualisme yang semakin tinggi. Sehingga televisi hanya

meyuguhkan nyanyian “nina bobo” bagi para oposan, untuk ikut larut dalam

12 Yasraf Amir Piliang. 2011. Dunia Yang Dilipat : Tamasya Melampaui Batas-batas Kebudayaan. Matahari : Bandung. Hlm 167.

13

dunia penuh bujuk rayu. Serangkaian tontonan yang disuguhkan oleh media

massa kapitalisme menurut Baulldirad telah menjadikan individu-individu

sebagai massa yang diam, massa yang tertunduk pada hasrat kesenangan.

Pada kasus politik-kekuasaan bisa kita lihat, bagaimana ketika televisi

dimiliki oleh politikus. Ambilah contoh TV ONE, salah satu televisi swasta di

Negara kita yang dimiliki oleh seorang politikus bernama Abu Rizal Bakrie.

Nampak bahwa persinggungan antara media dan politik telah menghasilkan

kontrol kekuasaan pada masyarakat. Maka televisi semacam ini sebagai media

massa ia tidak akan bisa menjadi netral. Ia akan berkembang menjadi alat

dominasi kekuasaan, yang mengontrol dan mengendalikan massa kritis untuk

dinyanyikan “nina bobo” agar mereka terdiam dan terlelap sehingga tidak

mengganggu jalannya kekuasaan. Bibit-bibit pengganggu itu semisal kelompok

korban Lapindo akan di tundukkan melalui pemberitaan. Masih segar dalam

ingatan kita tentang peristiwa seorang korban Lapindo bernama Hari Suwandi,

yang malakukan aksi jalan kaki Sidorajo-Surabaya untuk menuntut keadilan.

Akan tetapi sungguh mengejutkan beberapa hari kemudian setelah sampai di

Jakarta, justru ia berbalik mengingkari tuntutanya dan meminta maaf atas

perbuatanya kepada Abu Rizal Bakrie.

Berita itu disiarkan berulang-ulang oleh stasiun televisi TV One.

Sehingga membuat massa percaya bahwa Abu Rizal Bakrie memang bersih

adanya. Kemudian tentang pemberitaan lumpur Lapindo, TV One cenderung

men-setting situasi bahwa PT. Lapindo Brantas tidak bersalah dalam kasus

tersebut. Pemberitaan tentang Lumpur lapindo mem-frame bahwa masalah itu

sudah diselesaikan dengan baik. Satu catatan bahwa pemberitaan tentang

lumpur lapindo oleh TV One tidak pernah menyebut “Lumpur Lapindo” tetapi

“Lumpur Sidoarjo”. Hal ini memberikan kesan bahwa bencana tersebut tidak

ada sangkut pautnya dengan PT. Minarak Lapindo Jaya. Di sini berarti televisi

telah menjadi “nyanyian nina bobo” untuk oposan, yang pada akhirnya tetap

mempertahankan status quo.

3. Dewa Pencipta Realitas Sosial

14

Televisi disyarati oleh muatan-muatan makna ideologis tersembunyi,

yang menurut Theodore Adorno muncul semata-mata melalui cara suatu acara

atau iklan memandang manusia. Pemirsa dalam hal ini, diundang untuk melihat

satu karakter dengan cara yang sama ia melihat dirinya, tanpa menyadari

bahwa sebenarnya telah terjadi indoktrinasi.13 Televisi dengan visualisinya

teknologi garfis yang sempurna, telah menjadikan suatu realitas semu seakan-

akan menjadi nyata. Hal ini yang disebut oleh Bauldillard sebagai hiperreality.

Penonton dibuat percaya bahwa apa yang ditampilkan di televisi merupakan

realita sosial yang ada dalam kehidupan mereka.

Realitas sosial yang dimaksud adalah sebuah konstruksi pengetahuan

dan/atau wacana dalam dunia kognitif yang hanya hidup dalam pikiran

individu dan simbol-simbol masyarakat, namun sebenarnya tidak ditemukan

dalam dunia nyata. Refeleksi realitas sosial itu baru terlihat saat individu

menidentifikasikan dirinya dengan lingkungan sosialnya, dalam bentuk-bentuk

yang lebih kongkret terlihat di saat mereka menentukan pilihan-pilihan mereka

terhadap sebuah produk untuk dicapai. Koridor inilah yang dimaksud dengan

realitas yang dicitrakan media, artinya realitas citra itu hanya ada dalam

media14.

Kita bisa lihat gejala mimesis (peniruan) yang dilakukan anak muda

terhadap para akris yang tampil ditelevisi. Ambillah contoh tentang sebuah

film drama anak muda yang menyuguhkan cerita cinta, kemewahan,

kesenangan yang diperankan oleh aktris-aktrisnya. Diperankan bahwa seorang

mahasiswa atau bahkan anak SMA pergi ke kampus dengan mobil mewah. Di

kampus hanya menceritakan seputar cinta remaja, shoping mall, serta gaya

hidup lainya yang jauh dari kenyataan sosial anak muda di masyarakat kita.

Hal inilah yang kemudian mengkonstruksi suatu realita sosial tentang anak

muda. Seakan televisi muncul sebagai Dewa pencerahan, yang berbicara dan

menyampaikan suatu sabda kepada penontonya bahwa ”Hai anak muda

13 Idi Subandy Ibrahim.1997. Lifestyle Ecstasy: Kebudayaan Pop Dalam Masyarakat Komoditas Indonesia. Jalasutra : Yogjakarta. Hlm 180.

14 Burhan Bungin. 2006. Sosiologi Kominukasi ; Teori Paradigma dan Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat. Kencana : Jakarta. Hlm 214.

15

beginilah seharusnya kalian hidup sehari-hari, beginilah kehidupan yang ideal

bagi kalian”.Atau mungkin iklan-iklan yang ditayangkan berulang-ulang,

menyuguhkan berbagai produk dengan memakai aktris yang tampan atau pun

cantik.

Salah satu cotoh pada iklan susu L-Men yang memberikan kesan bahwa

tubuh seorang laki-laki itu harus kekar, perut berbentuk, macho dan gagah.

Iklan pelangsing tubuh perempuan memberikan kesan bahwa tubuh perempuan

itu harus seksi, berpayudara membuncang tinggi, perut langsing, kaki tinggi

nan ramping. Kembali televisi di sini akan muncul sebagai Dewa,

mengkonstruksi suatu realitas sosial tentang fisik yang ideal, dan seakan ia

berbicara dan menyampaikan sabdanya bahwa “Hai laki-laki tubuh yang bagus

itu seperti ini lo atau hai perempuan, tubuh yang bagus ini seperti ini lo”.

Pada akhirnya dengan tayangan-tayangan yang disuguhkan oleh televisi

tersebut, secara bersamaan ia menjadi Dewa pencipta konstruksi realita sosial

yang secara nyata jauh dari kehidupan masyarakat. Relaitas semu tersebut pada

akhirnya membuat masyarakat terbawa arus untuk bergaya hidup seperti yang

digambarkan oleh televisi. Suatu realita semu yang dibumbuhi dengan

kesenangan-kesenangan, sehingga akan diiukuti serta merta oleh penotonnya.

Selain perilaku remaja, perilaku anak-pun bisa dibentuk malaui televisi ini.

Televisi yang menyuguhkan berbagai film kartun atau film-film anak-anak

yang terkadang syarat akan kekerasan juga menjadikan suatu yang negatif

terhadap perkembangan anak. Ketika film kartun yang popular seperti Naruto

ditayangkan, ia akan menarik penggemarnya tersendiri. Si-anak akan

melakukan peniruan akan sifat-sifat kekerasan yang diperagakan dalam film

laga tersebut. Jika si-anak dibiarkan melihat tontonan televisi tanpa bimbingan,

tentu itu akan berbahaya bagi perkembangan perilaku anak-anak.

Televisi telah menjadi berhala yang disembah oleh masyarakat

tontonan. Berbagai acara yang penuh akan pesona yang memabukkan hasrat,

kesenangan, kecabulan hingga kekerasan disugguhkan oleh televisi. Berbagai

acara reality show, acara musik, olahraga, film-film menjadi terik tersendiri

bagi perusahaan pertelevisian untuk menjaring pemirsa. Masyarakat disuguhi

16

akan realita semu yang terus merengsek ke dalam sendi-sendi kehidupan.

Tontonan gossip yang mengumbar aib para artis, tontonan relity show seperti

Silet yang menyuguhkan realita secara berlebihan, acara musik seperti Dhasyat

yang menyuguhkan bagaimana seharusnya dunia sosial anak muda. Semua

disajikan penuh manipulasi dan pembohongan masal demi keuntungan

ekonomis kapitalis. Ketika realita sosial yang dikonstruksikan televisi baik

film, tontonan maupun lainya sudah teresap dalam pemikiran massa, maka

otomatis keuntungan ekonomi juga akan mereka raup. Di sini televisi telah

menjadi semacam alat indokrinasi, semacam alat yang menanamkan suatu

kehidupan yang bersifat semu.

Televisi telah memanipulasi suatu realita sosial dengan mengeksploitasi

moment yang sedang terjadi. Kemudian menyakinkan penonton bahwa apa

yang dilihatnya merupakan suatu kenyataan sosial yang harus diikuti. Seperti

yang dikatakan Schlesinger, Berita televisi bukanlah cerminan relitas,

melainkan meletakkan realitas secara bersama-sama. Maksudnya berita bukan

merupakan “jendela dunia” yang tanpa perantara, melainkan suatu representasi

hasil seleksi dan konstruksian yang membentuk realitas. Pemilihan berbagai

hal yang akan dimasukan ke dalam berita dan cara-cara khusus di mana suatu

berita telah dipilih, maka cerita yang hasil konstruksi itu tidak pernah netral

lagi. Berita itu merupakan versi tertentu dari suatu peristiwa15. Dalam dunia

pers, dikenal istilah “Bad News and Good News”. Good News di sini berarti

adalah pemberitaan yang cenderung baik atau dibaik-baikan, dengan

menimbulkan kesan kebaikan dari sesuatu yang diberitakan. Kemudian Bad

News berarti kebalikanya, yaitu berita yang cenderung dijelek-jelekan, atau

menimbulkan kesan kejelekan pada sesuatu yang diberitakan.

Istilah ini sering dipakai oleh para wartawan untuk mencari berita atau

memberitakan sesuatu. Tuntunan dalam mencari berita adalah “Bad News Is

Good News”, sehingga pemberitaan lebih condong kepada pemberian bumbu-

bumbu tentang kejelekan. Berita tentang kriminal misalnya, maka akan

memberikan kesan atau citraan yang sejelek-jeleknya. Meskipun mungkin

15 Barker, Chris. 2011. Cultural Studies. Kreasi wacana : Yogyakarta. Halm 276.17

objek yang menjadi pemberitaan tidak sejelek yang digambarkan, namun

karena “Bad news is Good news” menjadi daya tarik berita, maka wartawan

akan cenderung memperparah kesan jelek yang melekat pada perilaku kriminal

tersebut. Seorang John Key yang tertangkap dan tertuduh dalang pembunuhan,

maka yang disorot berita adalah kesan jeleknya. Untuk menambah kesan

menyakinkan kepada pemirsa, maka televisi membentuk suatu realita sosial

dengan gambar visual yang meyakinkan dengan diiringi bumbu-bumbu

dramatisasi.

Berbeda halnya dengan prinsip “Bad News Is Good News”, televisi

juga membentuk realita sosial secara “Good News”. Seperti iklan, dengan

segala cara maka televisi akan menimbulkan kesan yang bagus-bagus menurut

pesanan pemasan iklan. Televisi akan menayangkan sebaik mungkin citra baik

dari iklan tersebut. Karena iklan merupakan sumber penghasilan dari televisi

tersebut. Dari kedua perbandingan tersebut, terlihat jelas bahwa televisi

menampilkan suatu realitas sosial yang telah tersetting, termanipulasi untuk

suatu kepentingan tertentu. Sehingga realitas sosial yang ditampilkan oleh

televisi tidak bisa netral. Televisi berusaha menggambarkan suatu realita yang

meyakinkan kepada khalayak bahwa hal tersebut merupakan suatu realitas

sosial yang nyata.

Penutup

Masyarakat modern dengan pengagungan atas rasionalitasnya, telah

membawanya pada peradapan yang mutahir. Hal itu ditandai dengan

perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK). Berbagai teknologi

dikembangkan untuk menundukkan alam, mengeksploitasi untuk kepentingan

manusia. Dengan kecanggihanya teknologi masyarakat modern berharap pada

suatu kesejarteraan hidup. Teknologi informasi berkembang secara pesat di abad

ini, mulai dari ditemukanya komputer, televisi, radio, internet dan lainya yang

merupakan tingkat kemutahiran manusia dalam teknologi informasi.

18

Perkembangan peradapan yang pada awalnya diperuntukan untuk

kesejahteraan manusia, di mana manusia mampu mentahklukan hambatan-

hambatan kehidupanya dengan mengendalikannya melalui teknologi. Akan tetapi

sampailah manusia pada titik nadir yang oleh para teoritisi kritis disebut sebagai

“irrasionalitas masyarakat rasional”,yang mana masyarakat modern yang

menyatakan dirinya sebagai manusia rasional, dianggap kembali kepada

irrasionlitas. Manusia mulai dikuasai oleh hasil ciptaanya sendiri, yaitu teknologi.

Salah satun wujudnya adalah televisi. Televisi sebagai media massa telah menjadi

alat dominasi pada masyarakat modern. Manusia mulai kehilangan kekritisanya

dan cenderung di dominasi oleh teknologi itu sendiri. Hukum positivistik

memnciptkan daya nalar manusia dengan serba kalkulasi. Kehidupan ditundukan

dengan angka-angka, sehingga melahirkan suatu system dengan hukum komoditi

yang disebut “kapitalisme”. Masyarakat modern dengan kuasa kapitalisme telah

mengembangkan apa yang disebut ”industri kebudayaan” yang merupakan

sebutan untuk industrialisasi dan komersialisasi budaya di bawah hubungan

produksi kapitalis.

Televisi sebagai teknologi informasi telah mengendalikan masyarakat

modern secara ekonomi-politik. Televisi memiliki wajah ganda, di satu sisi ia

menawarkan tentang kesejahteraan, di sisi yang lain justru menjerumuskan

masyarakat kepada mindset dari media televisi dan kepentingan ekonomi

politiknya yang hegemonik. Televisi berkembang menjadi semacam kekuasaan

Fasisme, yaitu faham yang menawarkan insting primitive , penolakan akal sehat

dan pesona akan tanda-tanda kemegahan (konsumerisme-hedonisme). Dengan

iklan ia mengendalikan manusia melalui eksploitasi dan manipulasi hasrat

kesenangan. Kemudian televisi juga telah menjadi nyanyian “nina bobo” bagi

bibit-bibit oposisi. Manusia yang seharusnya kritis terhadap lingkungan

kehidupanya, menjadi tumpul karena gaya hidup yang ditawarkan televisi.

Kemudian televisi menjadi semacam “Dewa” yang menciptakan realitas sosial

pada masyarakat modern. Realitas sosial semu yang ditampilkan televisi, yang

tidak sesuai dengan realitas nyata, menjadi masyarakat modern irrasional dalam

rasionalitasannya.

19

Daftar Pustaka

Barker, Chris. 2011. Cultural Studies : Teori dan Praktek. Kreasi wacana :

Yogyakarta.

Bungin, Burhan. 2006. Sosiologi Komunikasi ; Teori Paradigma dan Diskursus

Teknologi Komunikasi di Masyarakat. Kencana : Jakarta.

Budi H, Setyo. 2004. Industri Televisi Swasta Dalam Prespektif Ekonomi Politik.

FISIP Universitas Atmajaya : Yogjakarta.

20

Hardiman, F. Budi. 2008. Kritik Ideologi: Menyingap Pengetahuan dan

Kepentingan Bersama Jurgen Hebermas . Kanisius : Yogjakarta

Ibrahim, Idi Subandy.1997. Lifestyle Ecstasy: Kebudayaan Pop Dalam

Masyarakat Komoditas Indonesia. Jalasutra : Yogjakarta.

Magniz-Suseno, Franz. 2008: Etika Kebangsaan, Etika Kemanusiaan. Kanisius :

Yogyakarta.

Piliang, Yasraf Amir. 2011. Dunia Yang Dilipat : Tamasya Melampaui Batas-

batas Kebudayaan. Matahari : Bandung.

Suyanto , Bagong dan Amal , M. Khusna .2010. Anatomi dan Perkembangan

Teori Sosial. Aditya Media : Malang.

21

top related