Distribusi Fluks Energi Gempabumi Sesar Palukoro dan sekitarnya
Post on 12-Mar-2023
0 Views
Preview:
Transcript
Distribusi Fluks Energi Gempabumi Sesar Palukoro dan sekitarnya
Abdul Rosid
Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi & Geofisika
Abstrak
Besarnya energi gempabumi yang pernah dilepaskan pada suatu daerah perlu dihitung
dan dipetakan dari waktu ke waktu untuk mengetahui karakteristik dan dinamika fluks energi
dari daerah tersebut. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui karakteristik
dan dinamika fluks energi dari Sesar Palukoro dan sekitarnya yang terletak 0,3 - 2,3° LS dan
119.3 – 120.9° BT, sebab Sesar Palukoro merupakan salah satu sesar dengan aktifitas tinggi
yang ada di Indonesia. Penelitian ini dilakukan dengan mengkonversi data magnitudo
gempabumi dari USGS ke dalam Energi (Joule) dengan terlebih dahulu mengkonversi data
magnitudo tersebut ke dalam Magnitude Surface ( ). Selanjutnya distribusi fluks energi
dihitung di setiap titik grid kemudian dipetakan setiap periode 5 tahun dan dianalisa.
Dengan menganalisa hasil distribusi fluks energi pada daerah penelitian, didapatkan
bahwa fluks energi terbesar setiap periodenya memiliki pola berpindah-pindah, namun
didominasi oleh zona Sesar Palukoro dengan fluks energi terbesar 73 Giga Joule. Selain itu
berdasarkan analisa a dan b didapati bahwa pada daerah penelitian terjadi peningkatan
aktivitas yang disertai dengan perapuhan batuan yang diindikasikan dari peningkatan nilai a
dan b dulu hingga sekarang. Serta gempabumi besar pada daerah penelitian memiliki periode
ulang sekitar 4 tahun, 9 bulan, dan 29 hari.
Abstract
The amount of earthquake energy released in an area needs to be calculated and
mapped from time to time to determine the characteristics and dynamics of the energy flux of
the area. Therefore, this study was conducted to determine the characteristics and dynamics
of the energy flux and the surrounding Palukoro Fault located 0.3 to 2.3 ° latitude and 119.3 -
120.9 ° E, because Palukoro Fault is one fault with the existing high activity in Indonesia.
This research was carried out by converting the data from the USGS earthquake magnitude in
energy (Joules) by first converting the data into the magnitude of the Magnitude Surface
(M_S). Furthermore, the distribution of the energy flux is calculated at each grid point is then
mapped each 5-year period and analyzed.
By analyzing the results of the energy flux distribution in the study area, it was found
that the largest energy flux of each period has a moving pattern, but is dominated by Palukoro
Fault zone with the largest energy flux 73 Giga Joule. In addition, based on the analysis of a
and b is found that in the study area increased activity is accompanied by weakening of the
rock which indicated an increase in the value of a and b used until now. As well as a large
earthquake in the area of research has a return period of about 4 years, 9 months, and 29 days.
1. Pendahuluan
Bencana gempabumi di Indonesia
bagaikan tamu langganan penting yang
bisa memberikan banyak dampak negatif
jika tidak segera kita kenali dan kita
persiapkan kedatangannya. Karena
mengingat posisi Indonesia yang
merupakan zona pertemuan tiga lempeng
utama yang masing-masing secara aktif
bergerak relatif terhadap yang lain.
Dimana Lempeng Eurasia bergerak relatif
ke arah Timur-Tenggara, Lempeng Indo-
Australia bergerak relatif ke Utara-Timur
Laut, dan Lempeng Pasifik yang bergerak
relatif ke arah Barat Daya. Pergerakan
lempeng-lempeng utama yang bergerak
seakan saling menunjam ini berpengaruh
besar terhadap tingginya aktifitas
kegempaan dan juga kondisi tektonik
intra-plate, dimana akumulasi stress akibat
gaya tumbukan antar lempeng ini
diteruskan pada tiap-tiap bagian lempeng
yang menimbulkan patahan-patahan di
dalam lempeng utama tersebut yang juga
melepaskan energi berupa gempabumi dan
kemudian kita kenal dengan sebutan sesar.
Dan salah satu sesar yang baru-baru ini
menjadi perhatian para peneliti ternama
adalah Sesar Palukoro.
Sesar Palukoro merupakan sesar
yang aktif dan terletak di daratan Pulau
Sulawesi sekitar 0,3 - 2,3° LS dan 119.3 –
120.9° BT. Sesar yang berjenis strike slip
dan berarah mengiri ini telah beberapa kali
mencatatkan namanya dalam sejarah
kegempaan di Indonesia dengan kekuatan
yang cukup besar. Di antaranya adalah
gempa dengan kekuatan 6,2 SR (Mw)
yang mengguncang Palu pada 24 Januari
2005 dini hari. Gempa ini telah
mengakibatkan 100 rumah warga rusak, 1
orang tewas, dan 4 orang lainnya luka-
luka. Selain itu juga terjadi gempa
berkekuatan 6,3 SR (Mw) yang berpusat di
pegunungan Parigi Moutong pada 18
Agustus 2012 yang tak lain adalah akibat
aktifitas sesar Palukoro yang bergerak
sekitar 3 cm/tahun.
Dengan tingginya aktifitas
kegempaan akibat pergerakan sesar
Palukoro ini, maka perlu adanya usaha
mengenali karakteristik gempabumi yang
terjadi karenanya. Untuk memberikan
pertimbangan persiapan agar tak banyak
lagi kerugian dan jatuh korban. Salah satu
aspek yang perlu kita kaji adalah besarnya
fluks energi yang dilepaskan oleh
gempabumi-gempabumi dari sistem sesar
tersebut.
Gempabumi merupakan peristiwa
bergetarnya bumi akibat adanya pelepasan
energi secara tiba-tiba dari suatu daerah
kuncian pada bidang patahan yang tidak
sanggup lagi menahan akumulasi stress
yang bekerja akibat pergerakan lempeng
tektonik pada kerak bumi yang bersifat
kaku. Energi yang dilepaskan berupa
gelombang gempabumi memancar ke
segala arah yang dampaknya dirasakan
hingga ke permukaan bumi. Semakin dekat
sumber gempabumi dengan permukaan,
maka dampak yang dirasakan di
permukaan akan semakin besar.
Kekuatan gempabumi dinyatakan
dengan besaran Magnitudo dalam skala
logaritma basis 10. Konsep Magnitudo
Gempabumi pertama kali diperkenalkan
oleh K. Wadati dan C. Richter sekitar
tahun 1930 (Lay. T and Wallace. T.C,
1995).
Suatu harga magnitudo diperoleh
sebagai hasil analisis tipe gelombang
seismik yang berupa rekaman getaran
tanah yang tercatat paling besar dengan
memperhitungkan koreksi jarak stasiun
pencatat ke epicenter.
Fluks Energi adalah total radiasi
energi yang mengalir melewati beberapa
daerah dari permukaan tertentu. Dimana
besarnya energi yang mengalir pada suatu
permukaan berbeda dengan energi di
sumbernya bergantung terhadap jarak.
Berikut ini merupakan rumusan tentang
fluks energi :
J =
. E.................................(1)
Dimana :
E = Energi di sumber
1/4π = Sebaran secara geometri (Haruo Sato, 1976)
Gambar 1
Nilai a dan b didapatkan melalui hubungan frekuensi dan magnitudo seperti
yang diturunkan oleh Gutenberg dan Richter (1945) sebagai berikut :
Log N = a – bM...............................................................................(2)
dimana:
N = Frekuensi Gempabumi.
M = Magnitudo
a,b = Konstanta
Dengan cara statistik yang ada, gempabumi yang pernah terjadi di suatu
daerah tertentu dapat di perkirakan kapan waktu terjadinya gempa dengan kekuatan
yang sama akan terulang lagi, sehingga dapat ditekan sekecil mungkin kerusakan
yang mungkin terjadi. Untuk mendapatkan rata-rata periode ulang gempa dapat
dihitung dengan menggunakan persamaan berikut :
θ (M ≥ M0) =
................................................................(3)
dengan :
θ (M ≥ M0) : Periode ulang gempa untuk magnitudo M ≥ M0
N1 (M ≥ M0) : Indeks seismisitas untuk magnitudo M ≥ M0
J7 J1
D R1
R7
7 6 5 4 2 1 3
E
2. Data dan Metode
Proses penghitungan besarnya
energi pada penulisan tugas akhir ini
menggunakan data yang diunduh dari
website resmi United States Geological
Survey (USGS) untuk daerah di sekitar
sistem sesar Palukoro, meliputi batas
koordinat rektangular 119.3 – 120.9 BT
dan 0.3 – 2.3 LS. Data gempabumi yang
digunakan merupakan katalog gempabumi
dari tanggal 1 Januari 1974 - 31 Desember
2013, karena penelitian berdasarkan pola
tahunan dari energi gempabumi dan
membutuhkan data tahunan yang bulat,
sehingga data tahun 2014 yang masih
belum genap satu tahun tidak digunakan.
Berikut ini merupakan diagram alir
dari penelitian distribusi flux energi
gempabumi sesar Palukoro dan sekitarnya.
Mulai
Data sekunder gempabumi berupa
magnitudo (𝑚𝐵, 𝑀𝑊, 𝑀𝑆)
Konversi magnitudo ke 𝑀𝑆 𝑀𝑆 ?
Konversi 𝑀𝑆 menjadi Energi
Menghitung fluks energi di
masing-masing titik grid
Membuat peta distribusi fluks
energi
Selesai
Peta distribusi energi, periode
ulang serta nilai a dan b
Ya
Tidak
Menentukan grid daerah penelitian
Interpretasi
Menghitung periode ulang
serta nilai a dan b
3. Hasil dan Pembahasan
Distribusi fluks energi pada wilayah penelitian dalam masing-masing periode akan dibahas
secara lengkap pada masing-masing subbab berikut :
4.1 Periode 1974-1978.
Gambar 4.1.a.
Peta Fluks Energi
Periode 1.
Gambar 4.1.b.
Peta Gempabumi
Periode 1.
Pada periode pertama yaitu tahun 1974 hingga 1978, energi terbesar menyebar di
sekitar G.Intu, Talpa, dan sekitar Danau Poso yang merupakan daerah transisi atau
perpotongan antara sesar Palukoro yang berada di sebelah barat dengan Sesar Matano yang
letaknya lebih kearah timur. Daerah tersebut merupakan tempat yang mengalami energi
tertinggi dalam periode pertama dengan energy sebesar 3,1 Giga Joule. Energi tersebut
disebabkan oleh beberapa gempabumi yang berada di sekitar lokasi dengan Magnitudo
Surface (Ms) rata-rata sebesar 5.3 SR.
Selain itu konsentrasi energi juga terjadi di sekitar daerah Sausu hingga Pabengko
dengan sebaran energi sebesar 2,3 Giga Joule. Konsentrasi energi tersebut dipengaruhi oleh
beberapa gempa yang terjadi di lepas pantai Sausu yang kemudian terakumulasi dengan
energi dari gempabumi yang berlokasi di sekitar daerah Panggai dengan Ms rata-rata sebesar
4,3 SR. Gempabumi-gempabumi di sekitar daerah Sausu dan Pabengko ini kemungkinan
besar di sebabkan oleh Patahan Minor Median Line yang memang terletak di daerah tersebut.
4.2 Periode 1979-1983.
Gambar 4.2.a.
Peta Fluks Energi
Periode 2.
Gambar 4.2.b.
Peta Gempabumi
Periode 2
Selanjutnya pada periode ke dua yaitu selama rentang tahun 1979-1983, energi di
daerah penelitian hampir terpusat di sekitar Pegunungan Fenne tepatnya di bujur 120.4° BT
dan lintang 1.4° LS. Selama periode ke dua penelitian, besarnya energi yang dialami oleh
daerah tersebut sebesar 1.4 Giga Joule dan besarnya energi tersebut berangsur-angsur
berkurang pada daerah-daerah sekitarnya sesuai dengan yang ditunjukkan oleh gambar 4.2.a
di atas.
Jika ditinjau dari aktivitas seismik pada daerah penelitian, sebenarnya jumlah
gempabumi selama periode kedua penelitian cenderung meningkat. Namun sebaliknya
besarnya energi yang dihasilkan pada periode kedua ini cenderung menurun. Meskipun
frekuensi gempa selama periode kedua sebanyak 16 kali, namun energi terbesar yang
dihasilkan hanya sebesar 1.4 Giga Joule. Tentu ini lebih kecil jika dibandingkan dengan
periode pertama yang menghasilkan energi terbesar sebesar 3.1 Giga Joule hanya dengan
frekuensi sejumlah 8 gempabumi. Jika kita lihat lagi pada sebaran lokasi terjadinya
gempabumi dan besarnya, maka terlihat bahwa lokasi gempabumi-gempabumi besar di
periode pertama letaknya lebih mengumpul dan hampir seluruhnya memiliki kekuatan lebih
dari 5 SR (Ms). Sedangkan gempabumi-gempabumi di periode dua hampir seluruhnya hanya
memiliki kekuatan 4 SR dan letaknya juga menyebar. Sehingga energi yang dihasilkan tidak
terakumulasi pada satu titik.
Dalam periode ini sebenarnya beberapa gempabumi juga terjadi di sekitar Sesar
Palukoro, tepatnya di sekitar Kota Palu. Namun kekuatan gempabumi dari Median Line lebih
mendominasi, sehingga fluks energi terbesar lebih terpusat ke daerah dimana Median Line
berada.
4.3 Periode 1984-1988.
Gambar 4.3.a.
Peta Fluks Energi
Periode 3.
Gambar 4.3.b.
Peta Gempabumi
Periode 3.
Kemudian pada periode ke tiga dari penelitian ini yaitu dalam rentang tahun 1984-
1988, terjadi pelepasan energi yang sangat besar di daerah penelitian. Tepatnya di sekitar
Gunung Kabirituru bagian Utara dari Sulawesi Selatan dengan koordinat 119.6° BT dan 2°
LS. Energi terbesar yang sampai ke permukaan di sekitar daerah tersebut mencapai 73 Giga
Joule. Tentu ini merupakan pelepasan energi yang sangat besar. Dan merupakan pelepasan
energi terbesar sepanjang periode penelitian di dalam daerah penelitian ini. Jika dibandingkan
dengan energi pada periode pertama dan kedua, maka energi pada periode ketiga ini besarnya
hampir 15 kali lipat. Dengan demikian bisa kita katakan bahwa daerah tersebut merupakan
zona merah pada penelitian ini.
Jika kita lihat pada gambar 4.3.b, di sekitar zona merah memang telah terjadi
beberapa gempabumi dengan magnitudo yang besar dengan lokasi yang sangat berdekatan.
Setidaknya ada dua gempabumi dengan kekuatan di atas 6 SR (Ms) dan beberapa gempabumi
dengan kekuatan sekitar 5 SR (Ms) di sekitar zona merah tersebut. Hal inilah yang
menyebabkan terjadinya akumulasi fluks energi yang sangat besar di daerah tersebut selama
5 tahun dalam periode ke tiga penelitian ini. Selain itu dalam periode ke tiga penelitian ini
juga terjadi beberapa gempabumi dengan lokasi yang tersebar di beberapa titik lain dalam
wilayah penelitian, namun kekuatan gempabumi tersebut tidak cukup besar jika dibandingkan
dengan gempabumi-gempabumi yang terjadi di zona merah dalam penelitian ini.
Kemungkinan besar gempabumi-gempabumi besar yang terjadi di zona merah
tersebut disebabkan oleh aktivitas Sesar Palukoro yang memang berada di sekitar zona
merah. Meskipun letak zona merah tidak benar-benar berada di tengah garis khayal utama
Sesar Palukoro, namun perlu diingat bahwa Sesar Palukoro tidak hanya terdiri oleh satu sesar
tunggal. Namun juga terdiri oleh patahan-patahan yang berada di sekitarnya sebagai suatu
system ( lihat gambar 2.7 dan 2.8 ).
4.4 Periode 1989-1993
Selama rentang tahun 1989 hingga 1993 atau tepatnya pada periode ke empat
penelititian, distribusi fluks energi kembali memiliki pola yang hampir sama dengan periode
pertama penelitian. Dimana terjadi dua konsentrasi energi di tempat yang berbeda dengan
besar yang berbeda pula. Dimana konsentrasi tertinggi berada di bagian Barat Gunung
Lompopana dengan puncak energi tertinggi yang diterima oleh permukaan sebesar 0.85 Giga
Joule. Dimana pola puncak energinya tidak meruncing pada satu titik atau daerah yang
sempit seperti yang terjadi pada periode kedua, namun meluas. Puncak selanjutnya terjadi
pada daerah Pegunungan Fenne yang memanjang hingga Tiwaa di sebelah Timur Laut.
Namun puncak kedua ini memiliki energi yang berbeda dengan puncak pertama, yaitu
sebesar 0.6 Giga Joule. Atau selisih 0.2 Giga Joule dari puncak tertinggi pada periode ke
empat penelitian ini.
Pada periode ke empat ini pola kegempaan didominasi oleh aktivitas Sesar Palukoro
dengan beberapa gempabumi berpusat di sekitar Kota Palu. Namun energi terbesar dihasilkan
oleh beberapa gempabumi yang berpusat di bagian Barat Gunung Lompopana dengan
magnitudo tertinggi sekitar 5.7 SR (Ms) Selanjutnya asosiasi gempabumi juga terjadi si
sekitar Median Line yang mengakibatkan akumulasi pada daerah yang bersangkutan. Ini lah
yang membangun energi pada puncak kedua.
4.5 Periode 1994-1998.
Gambar 4.5.a.
Peta Fluks Energi
Periode 5.
Gambar 4.5.b.
Peta Gempabumi
Periode 5.
Pada Periode ke 5 penelitian yaitu tahun 1994 hingga 1998, distribusi fluks energi
secara umum meningkat daripada periode sebelumnya atau tahun 1989 hingga 1993.
Akumulasi terjadi di kedua patahan yang memang merupakan sumber energi utama di daerah
penelitian ini. Namun energi terbesar yang sampai di permukaan berada di sekitar daerah
Toaya dengan koordinat 119.8° BT dan 0.4° LS yang besarnya hingga 8.5 Giga Joule.
Pelepasan energy yang cukup besar juga terjadi di daerah Median Line tepatnya di sekitar
Torue dengan koordinat 120.4° BT dan 1°LS yang besarnya hingga 7 Giga Joule.
Peta seismisitas atau gambar 4.5.b menunjukkan bahwa sebaran gempabumi di daerah
penelitian secara umum meningkat selama periode 5. Namun tampak jelas bahwa daerah
Median Line mengalami peningkatan seismisitas yang cukup signifikan dibanding periode-
periode sebelumnya. Beberapa gempabumi tampak mengumpul hampir di sepanjang patahan
tersebut. Namun jika kita kaji kembali peta fluks energi atau gambar 4.5.a, puncak energi
tertinggi justru dilepaskan di daerah Toaya yang masih termasuk dalam sekitar sistem Sesar
Palukoro. Ini berarti bahwa dalam rentang periode yang bersangkutan telah terjadi
gempabumi dengan kekuatan yang cukup besar di daerah Toaya sehingga energi yang
dilepaskan dapat mendominasi fluks energi di daerah penelitian dalam rentang tahun 1994-
1998. Daerah Toaya sendiri terbilang cukup dekat dengan Kota Palu yang merupakan ibukota
provinsi Sulawesi Tengah. Berdasarkan gambar 4.5.a bisa kita ketahui bahwa di Kota Palu
sendiri energi yang sampai di permukaan tanah mencapai 3.5 Giga Joule.
Gambar 4.9.a.
Peta Fluks Energi
Total.
Gambar 4.9.b.
Peta Fluks Energi
Rata-rata.
Sesuai dengan yang ditunjukkan oleh gambar 4.9.a, pelepasan energi maksimum
selama periode penelitian terjadi pada sekitar Gunung Kabirituru bagian Utara dari Sulawesi
Selatan dengan koordinat 119.6° BT dan 2° LS. Tingginya energi total yang dilepaskan pada
daerah ini berkorelasi sangat kuat dengan fluks energi pada periode ketiga penelitian dimana
memang terjadi pelepasan energi yang besar pada daerah tersebut yang disebabkan oleh
gempabumi besar dengan magnitude 6.7 SR (Ms) selama peiode ketiga ( 1984 – 1988 ).
Energi total yang dilepaskan selama periode penelitian pada zona merah tersebut hingga
mencapai 73 Giga Joule. Selain itu pelepasan energi yang besar juga terjadi di daerah lain
selama periode penelitian, yaitu di sekitar Lengko dan Danau Lindu dimana pada daerah
tersebut telah melepaskan energi total sebesar 35 Giga Joule selama periode penelitian.
Besarnya energi total pada daerah tersebut bersesuain dengan pelepasan energi terbesar pada
periode 2, 7, dan 8.
Tak jauh berbeda dengan hasil pemetaan fluks energi total pada wilayah penelitian,
hasil pemetaan fluks energi rata-rata setiap periode ( 5 tahun ) juga menunjukkan hasil yang
serupa. Pelepasan energi rata-rata terbesar masih didominasi oleh kedua daerah yang telah
disebutkan di atas. Dengan energi rata-rata pada zona merah sebesar 9.5 Giga Joule dan
energi rata-rata pada daerah Lengko dan Danau Lindu sebesar 4.5 Giga Joule. Kota Palu
sendiri yang merupakan ibukota Provinsi dari Sulawesi Tengah memiliki nilai fluks energi
total berkisar antara 15 – 20 Giga Joule dan fluks energi rata-rata sekitar 2 – 2.5 Giga Joule
setiap periodenya.
Setelah dilakukan penghitungan terhadap nilai a dan b pada daerah penelitian, dengan
cara menghitung nilai a dan b sebanyak 2 kali yaitu pada masa awal ( 1974 – 1993 ) dan masa
akhir penelitian ( 1994 – 2013 ) dengan tujuan untuk mengetahui perubahan aktivitas seismik
dan tingkat kerapuhan batuan pada wilayah penelitian di masa awal dan sekarang. Dimana
nilai a berkorelasi dengan seismisitas daerah penelitian dan nilai b berkorelasi dengan tingkat
kerapuhan batuan.
Dari proses penghitungan nilai a dan b pada masa awal, didapatkan nilai a sebesar
2.450011 dan nilai b sebesar 0.31638 pada daerah penelitian. Sedangkan pada masa akhir
didapatkan nilai a sebesar 4.451958 dan nilai b sebesar 0.66425 pada daerah penelitian. Jika
dibandingkan antara hasil penghitungan nilai a dan b pada masa awal dan masa akhir, maka
didapati bahwa nilai a pada wilayah penelitian mengalami peningkatan hampir 2 kalinya,
begitu pula dengan nilai b pada wilayah penelitian yang juga mengalami peningkatan sebesar
2 kali lipat.
Gutenberg dan Richter (1942) mengatakan bahwa besarnya nilai a berkorelasi dengan
tingginya seismisitas dan besarnya nilai b berkorelasi dengan heterogenitas atau rapuhnya
suatu batuan. Dengan demikian, berdasarkan perubahan nilai a pada daerah penelitian
menunjukkan bahwa daerah penelitian mengalami peningkatan tingkat seismisitas dari masa
awal hingga sekarang. Selain itu meningkatnya nilai b pada daerah penelitian juga
mengindikasikan peningkatan tingkat kerapuhan batuan. Bisa dikatakan bahwa pada masa
sekarang, kondisi batuan pada wilayah penelitian menjadi lebih rapuh daripada masa awal.
Hal ini sesuai dengan kondisi tektonik Sulawesi sendiri yang memang merupakan zona
tumbukan dari beberapa lempeng tektonik, maka sangat dimungkinkan bahwa dalam kondisi
ini sebagai akibat dari banyaknya gaya dari beberapa lempeng tektonik, maka batuan di
daerah penelitian mengalami proses perapuhan. Namun tentu perlu dilakukan penelitian atau
survey lapangan yang lebih mendetail pada wilayah penelitian untuk benar-benar
membuktikan bahwa kondisi batuannya telah mengalami perapuhan dari kondisi awalnya.
Penghitungan periode ulang dari gempabumi besar yang terjadi di wilayah penelitian
merupakan upaya untuk mengetahui berapa lama kisaran waktu bagi suatu gempabumi besar
untuk terjadi kembali. Karena besarnya energi yang dilepaskan pada wilayah penelitian
sangat dipengaruhi oleh kekuatan gempabumi itu sendiri.
Berdasarkan penghitungan terhadap periode ulang dari gempabumi besar yang terjadi
pada wilayah penelitian, didapati bahwa gempabumi besar dengan magnitudo di atas 5.5 SR
pada wilayah penelitian akan terjadi kembali sekitar 4 tahun, 9 bulan, dan 29 hari dari
kejadian gempabumi besar yang terakhir kali terjadi. Hal ini bersesuaian dengan hasil
observasi bahwa selama 40 tahun, telah terjadi sekitar 11 kali kejadian gempabumi besar
dengan magnitude di atas 5.5 SR pada wilayah penelitian. Namun tentu gempabumi besar
yang telah terjadi pada wilayah penelitian tidak terjadi secara tepat dengan selang waktu 4
tahun 9 bulan, karena tergantung pada tingkat elastisitas batuan pada saat itu untuk menahan
stress hingga terjadi gempabumi besar.
4. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisa distribusi
flux energy pada daerah penelitian, maka
dapat disimpulkan bahwa:
a. Pola distribusi fluks energi terbesar di
daerah penelitian pada setiap
periodenya memiliki lokasi yang
berpindah-pindah dan sangat
dipengaruhi oleh besarnya kekuatan
gempabumi yang terjadi pada suatu
daerah, bukan banyaknya gempabumi
yang terjadi pada daerah tersebut. Dan
secara umum pelepasan energi hampir
di setiap periodenya didominasi oleh
daerah yang berada di sekitar Sesar
Palukoro.
b. Energi terbesar yang dilepaskan pada
daerah penelitian berasal dari aktivitas
Sesar Palukoro dengan fluks energi
sebesar 73 Giga Joule yang berlokasi
di sekitar Gunung Kabirituru dengan
koordinat 119.6° BT dan 2° LS yang
diakibatkan oleh beberapa gempabumi
besar pada daerah tersebut selama
periode ke tiga penelitian ( 1984 –
1988 ). Sehingga daerah tersebut
merupakan daerah yang berpotensi
melepaskan energi terbesar di waktu
mendatang.
c. Tingkat seismisitas daerah penelitian
pada masa sekarang mengalami
peningkatan jika dibandingkan dengan
masa awal penelitian ( 1974 – 1993 ).
Sedangkan kondisi batuan di wilayah
penelitian mengalami proses
perapuhan dimana kondisi batuan
pada masa sekarang lebih rapuh
dibandingkan dengan masa awal
penelitian. Hal ini didukung oleh
meningkatnya jumlah kejadian
gempabumi setiap periodenya namun
memiliki kekuatan yang relatif kecil
hingga sedang. Selain itu juga
didukung oleh perubahan nilai a dan b
pada daerah penelitian. Dimana nilai a
dan b pada daerah penelitian
mengalami peningkatan.
d. Gempabumi besar yang pernah terjadi
di wilayah penelitian selama 40 tahun
yakni dengan magnitudo lebih dari 5.5
SR memiliki periode ulang sekitar 4
tahun, 9 bulan, dan 29 hari. Sehingga
dimungkinkan bahwa gempabumi
besar akan terjadi dengan jeda waktu
tersebut.
Daftar Pustaka
Ardiansyah, Sabar. 2012.Studi Energi Gempabumi Daerah Bengkulu dan Sekitarnya (2.0
LS-5.5 LS, 100.0 BT-104 BT). Buletin Bulanan Balai Besar Meteorologi dan
Geofisika Wilayah 2 Ciputat.
Calvert, S.J. dan Hall, R. 2003. The Cenozoic Geology Of The Lariang and Karama
Regions, Western Sulawesi : New Insight Into The Evolution Of The Makassar
Straits Region. Proceedings Indonesian Petroleum Assosiation 29th Annual
Convention 501-517
Gutenberg, B. dan Richter, C. F. 1944. Frequency of earthquakes in California, Bull.
Seismol. Soc. Am. 34,hal. 185– 188.
Ibrahim, Gunawan dan Subardjo. 2004. Pengetahuan Seismologi. Badan Meteorologi dan
Geofisika. Jakarta, Indonesia.
Lentini, M.R., dan Darman, H., 1996, Aspects Of The Neogen Tectonic History And
Hydrocarbon Geplogy Of Tarakan Basin, Proceedings Indonesian Petroleum
Association, Annual Convention, 241-251.
Parkinson, C.D. 1991. The Petrologi, Structure and Geological Histori Of The Metamorphic
Rocks Of Central Sulawesi, Indonesia, PhD Thesis, University Of London.
Sato, Haruo. 1976. Energy Propagation Including Scattering Effects Single Isotropic
Scattering Approximation. National Research Center for Disaster Prevention,
Ibaraki. Japan.
Suckale, J. dkk. 2004. Probabilistic Seismic HAzard Assessment for Vanuatu, GFZ.
Sukamto, dan Simandjuntak T.O. 1981. Tectonic Relationship Between Geologi Aspect Of
Western Sulawesi, Eastern Sulawesi dan Banggai-Sula in The Lake Of
Sedimentological Aspect, GRDC Bandung. Indonesia.
Sulaiman, R. dkk. 2003. Perbandingan Nilai b Menggunakan Metoda Kuadrat Terkecil dan
Likelihood Maksimum dari Data BMG dan USGS untuk Daerah Aceh dan
Sekitarnya. Pusat Gempa Nasional BMG, Jakarta. Indonesia.
www.usgs.gov, diakses pada tanggal 3 Juni 2014.
www.inatews.bmkg.go.id, diakses pada tanggal 3 Juni 2014.
top related