DINAMIKA STRUKTUR AGRARIA DAN PERUBAHAN PRODUKSI PERTANIAN MASYARAKAT (Kasus Unit Pemukiman Transmigrasi Simpang Nungki, Kecamatan Cerbon, Kabupaten Barito Kuala, Provinsi Kalimantan
Post on 23-Feb-2023
0 Views
Preview:
Transcript
DINAMIKA STRUKTUR AGRARIA DAN PERUBAHAN PRODUKSI
PERTANIAN MASYARAKAT
(Kasus Unit Pemukiman Transmigrasi Simpang
Nungki, Kecamatan Cerbon, Kabupaten Barito Kuala,
Provinsi Kalimantan Selatan)
Oleh
Ayu Candra Kusumastuti
I34070072
DEPARTEMEN SAINS
KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
ABSTRACT
AYU CANDRA. DYNAMICS OF AGRARIAN STRUCTURE AND CHANGE
IN AGRICULTURAL COMMUNITY PRODUCTION . Case Of Simpang Nungki
Transmigration Settlement Unit, District Of Cerbon, Barito Kuala Residence,
South of Kalimantan Province. Under guidance of MARTUA SIHALOHO.
Palm oil is a superior commodity. Development of oil palm plantations in
Indonesia became a superior progam of local government who has a wide
area such as Barito Kuala District, South of Kalimantan. Changes in
communities agricultural production into oil palm plantations will affect the
mode of production and agrarian structure. This research has it purpose to
determine the process of agricultural community production change into
palm oil and the dinamic of agrarian structures that occur as the process of
change in agricultural production. This research also aims to identify the
factors that influence changes in agricultural production. The research was
conducted in Simpang Nungki Transmigrasion Settlement Unit, Cerbon
District, Barito Kuala Regency, South of Kalimantan by qualitative and
quantitative approaches. Changes in agricultural community production into
oil palm are affected by external and internal communities factors. External
factors consist of government policies that support the development of oil
palm plantations. While internal factors are the level of public knowledge and
level of ownership capital for construction and maintenance the garden.The
inclusion process of new capitalist commodities are linked to the dinamics
agrarian structure of community. Agrarian structure wich consist of
ownership, tenure, and land use has it changes in commodity and production
system community. Government, private, and community are expected to
cooperate in finding the best solution to the problems which rised in the
process of change.
RINGKASAN
AYU CANDRA KUSUMASTUTI. DINAMIKA STRUKTUR AGRARIA DAN
PERUBAHAN PRODUKSI PERTANIAN MASYARAKAT. Kasus Unit
Pemukiman Transmigrasi Simpang Nungki, Kecamatan Cerbon,
Kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan. Dibawah
bimbingan MARTUA SIHALOHO.
Kelapa sawit adalah komoditi unggulan saat ini.
Permintaan Crude Palm Oil (CPO) yang selalu tinggi baik di
pasaran domestik maupun internasional dan serapan tenaga
kerja yang tinggi di sektor perkebunan menjadi daya tarik
bagi pemerintah dan swasta untuk mengembangkan usaha di
bidang perkebunan kelapa sawit. Program pengembangan
masyarakat yang berhasil meningkatkan kualitas hidup
masyarakat sekitar perkebunan melalui program plasma-inti
membuat pemerintah semakin mendukung program pengembangan
perkebunan kelapa sawit. Program pengembangan kelapa
sawit ini berakibat pada perubahan komoditas pertanian
masyarakat yang menjadi penanda perubahan moda produksi
masyarakat sekitar perkebunan. Proses perubahan produksi
pertanian yang meliputi perubahan komoditas dan moda
produksi masyarakat akan menimbulkan dinamika struktur
agraria masyarakat yang terdiri dari perubahan tingkat
kepemilikan, penguasaan dan pemanfaatan lahan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proses
perubahan produksi pertanian masyarakat menjadi kelapa
sawit dan proses perubahan tingkat kepemilikan, tingkat
penguasaan dan pengusahaan lahan sebagai dinamika
struktur agraria yang terjadi seiring dengan proses
perubahan produksi pertanian masyarakat menjadi kelapa
sawit. Penelitian ini juga bertujuan untuk
mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi
perubahan produksi pertanian masyarakat menjadi kelapa
sawit baik faktor eksternal masyarakat maupun internal.
Penelitian ini dilakukan di Unit Pemukiman
Transmigrasi Desa Simpang Nungki, Kecamatan Cerbon,
Kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan dengan
menggunakan pendekatan kulitatif dan kuantitatif.
Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja (puposive) dengan
alasan: 1) UPT Simpang Nungki merupakan daerah sekitar
perusahaan kelapa sawit yang menjadi wilayah plasma
perusahaan. Selain itu, masyarakat sudah memulai mengenal
dan menanam komoditas sawit sebelum menjadi plasma
perusahaan yang akan di bangun pada akhir 2011; 2)
masyarakat transmigran memiliki lahan awal yang sama dan
status kepemilikan yang jelas sehingga data lebih mudah
didapat; dan 3) lokasi tersebut terjangkau transportasi
dan dekat dengan kabupaten sehingga memudahkan peneliti
untu memperoleh data.
Dinamika struktur agraria dan proses perubahan
produksi masyarakat Unit Pemukiman Transmigrasi (UPT)
Simpang Nungki dijelaskan dalam periodisasi jenis
komoditi masyarakat. Periode pertama adalah periode pra
masuknya komoditi kelapa sawit ke UPT Simpang Nungki yang
terjadi sekitar tahun 2005 sampai 2006. Pada masa ini
moda produksi masyarakat masih subsisten-komersial yang
ditandai dengan komoditi pertanian berupa padi, palawija,
dan jeruk. Proses transfer kepemilikan lahan melalui
ganti rugi masih jarang terjadi. Sistem kelembagaan yang
berlaku adalah sistem bagi hasil yang mengatur sistem
lahan garapan yang banyak dilakukan oleh transmigran dan
masyarakat local.
Periode kedua adalah periode proses masuknya
komoditi kelapa sawit yang dimulai pada akhir 2006 sampai
2011. Periode ini ditandai dengan masuknya dua perusahaan
swasta di sekitar Desa Simpang Nungki dan adanya program
pemerintah terkait pengembangan perkebunan kelapa sawit.
Pada peride ini, perubahan komoditas pertanian masyarakat
menjadi kelapa sawit mulai terjadi. Proses transfer
kepemilikan mulai terjadi pada masa ini. Harga lahan pun
semakin tinggi. Kelembagaan baru yang muncul adalah
kelembagaan koperasi sebagai pendukung program plasma
yang akan di realisasikan pada akhir tahun 2011. Struktur
agraria masyarakat telah terdiferensiasi ke dalam
beberapa lapisan yakni petani pemilik, pemilik +
penggarap, pemilik + buruh tani, dan pemilik + penggarap
+ buruh tani. Periode ini adalah periode pengenalan
terhadap moda produksi kapitalis yang akan berlaku pada
periode selanjutnya.
Periode ketiga adalah periode pasca masuknya
komoditi kelapa sawit. Periode dimulai pada akhir tahun
2011 saat disepakatinya peraturan dan perjanjian terkait
kebun plasma masyarakat. Jeda waktu antara pembagian
sertifikat transmigran dengan penetapan peserta program
plasma adalah peluang bagi pemodal untuk masuk dengan
membeli lahan masyarakat. Harga lahan yang tinggi tidak
menghilangkan minat pemodal untuk ikut serta dalam
program plasma di UPT Simpang Nungki. Oleh karena itu,
proses transfer kepemilikan lahan banyak terjadi pada
periode ini. Pendatang mulai berdatangan untuk menjadi
buruh-buruh perkebunan di UPT Simpang Nungki. Profesi-
profesi non petani juga mulai bermunculan di wilayah ini
seperti penyedia jasa, pedagang saprotan dan sebagainya
yang memiliki andil besar dalam hubungan produksi petani.
Hal tersebut membuat struktur agraria masyarakat akan
terdiferensiasi dalam lebih banyak lapisan. Lapisan-
lapisan baru yang akan muncul adalah kategori non petani
dan status tunggal sebagai buruh yang tidak lain adalah
tunakisma. Pada masa ini moda produksi masyarakat adalah
moda produksi kapitalis.
Faktor internal yang terdiri dari tingkat
kepemilikan modal dan tingkat pengetahuan masyarakat
tentang perkebunan kelapa sawit dengan keputusan
membangun kebun dan keberlanjutan kebun memiliki hubungan
yang kuat dan positif. Hasil tersebut menunjukkan
hubungan yang signifikan. Faktor eksternal yang terdiri
dari kebijakan pemerintah terkait pengembangan perkebunan
kelapa sawit juga sangat berpengaruh terhadap perubahan
komoditi dalam perubahan produksi masyarakat UPT Simpang
Nungki.
DINAMIKA STRUKTUR AGRARIA DAN PERUBAHAN PRODUKSI
PERTANIAN MASYARAKAT
(Kasus Unit Pemukiman Transmigrasi Simpang
Nungki, Kecamatan Cerbon, Kabupaten Barito Kuala,
Provinsi Kalimantan Selatan)
Oleh:
Ayu Candra Kusumastuti
I34070072
SKRIPSISebagai Bagian Persyaratan untuk Memperoleh GelarSarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
padaFakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian
Bogor
DEPARTEMEN SAINS
KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
DEPARTEMEN SAINS
KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh:
Nama Mahasiswa : Ayu Candra KusumastutiNIM : I34070072Judul Proposal
Skripsi
: Dinamika Struktur Agraria dan
Perubahan Produksi Pertanian
Masyarakat (Kasus Unit Pemukiman
Transmigrasi Simpang Nungki,
Kecamatan Cerbon, Kabupaten Barito
Kuala, Provinsi Kalimantan Selatan)Dapat diterima sebagai syarat kelulusan untuk memperoleh
gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada
Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.
Menyetujui,
Dosen Pembimbing
Martua Sihaloho, SP., M.SiNIP 19770417 200604 1 007
Mengetahui
Ketua Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan
Masyarakat
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL
“DINAMIKA STRUKTUR AGRARIA DAN PERUBAHAN PRODUKSI
PERTANIAN MASYARAKAT” BELUM PERNAH DIAJUKAN PADA
PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA TINGGI MANAPUN UNTUK TUJUAN
MEMPEROLEH GELAR AKADEMIK TERTENTU. SAYA JUGA MENYATAKAN
BAHWA SKRIPSI INI BENAR-BENAR KARYA SAYA SENDIRI DAN
TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU
DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI RUJUKAN YANG
DINYATAKAN DALAM NASKAH.
Bogor, Juli 2011
Ayu Candra K
I34070072
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kediri, Jawa Timur pada tanggal 18
Oktober 1989. Penulis merupakan anak pertama dari dua
bersaudara dari Bapak Dedy Indaryanto, BA dan Dra. Rijani
Dana Subekti. Penulis menamatkan pendidikan Taman Kanak-
Kanak di TK RA Kusuma Mulia (1994-1995), SD Negeri Keling
III (1995-2001), Sekolah Menengah Pertama di SMP Negeri
2 Pare (2001-2004), dan Sekolah Menengah Atas di SMA
Negeri 2 Pare (2004-2007). Kemudian pada tahun 2007,
penulis diterima sebagai mahasiswi Institut Pertanian
Bogor (IPB) melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk
IPB) di departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan
Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia.
Selama di IPB, penulis tergabung dalam Leadership and
Entrepreneurship School (2007-2008) sebagai siswa. Kemudian
pada periode 2008-2009 penulis bergabung pada kementrian
Pengembangan Sumber Daya Mahasiswa (PSDM) Badan Eksekutif
Mahasiswa Keluarga Mahasiswa Institut Pertanian Bogor
(BEM KM IPB) kabinet IPB Gemilang sebagai staf sekaligus
sebagai staf ahli acara manajemen Leadership and
Entrepreneurship School (LES). Pada periode yang sama penulis
juga menjadi pengurus Forum Silaturahmi Mahasiswa Alumni
ESQ 165 (FOSMA ESQ 165) se-Bogor Raya sebagai staf
Kominfo dan FOSMA Komisariat IPB sebagai staf Olahraga
dan Seni. Pada periode 2009-2010 penulis kembali
tergabung dalam Kementrian PSDM BEM KM IPB kabinet
Generasi Inspirasi sebagai staff dan Manajer Akademik
Leadership and Entrepreneurship School (LES). Penulis juga aktif
mengikuti berbagai kegiatan kepanitian dalam beberapa
event di IPB antara lain JAPAS tahun 2007 yang diadakan
oleh Institut Pertanian Bogor, Politik Cerdas oleh BEM
FEMA tahun 2008, kepanitiaan dalam Masa Perkenalan
Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
tahun 2009, dan kepanitiaan beberapa training ESQ di IPB
baik sebagai koordinator divisi maupun sebagai anggota.
Pada tahun 2010, penulis juga melakukan Kuliah Kerja
Profesi di PT. Bakrie Sumatera Plantation (BSP) unit
Jambi pada bagian Community Development.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan ke hadirat Tuhan
Yang Maha Esa atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi berjudul
Dinamika Struktur Agraria dan Perubahan Produksi
Pertanian Masyarakat (Kasus Unit Pemukiman Transmigrasi
Simpang Nungki, Kecamatan Cerbon, Kabupaten Barito Kuala,
Provinsi Kalimantan Selatan). Skripsi ini ditujukan
sebagai bagian persyaratan untuk mendapatkan gelar
sarjana pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan
Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian
Bogor.
Penelitian yang ditulis dalam skripsi ini bertujuan
untuk mengkaji proses perubahan produksi pertanian
masyarakat beserta faktor yang mempengaruhinya. Tujuan
lainnya ialah mengidentifikasi dinamika agraria yang
terjadi di wilayah tersebut seperti perubahan
kepemilikan, penguasaan serta pengusahaan sumber agraria
yang ada di wilayah tersebut.
Akhir kata semoga skripsi ini dapat menjadi laporan
yang bermanfaat bagi banyak pihak.
Bogor, Juli 2011
Ayu Candra Kusumastuti
NIM I34070072
UCAPAN TERIMA KASIH
Penyelesaian penulisan skripsi ini tidak terlepas daribantuan dan dukungan berbagai pihak. Oleh karena itu,pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang telahmembantu, baik secara langsung maupun tidak langsungdalam penyelesaian skipsi ini, antara lain:1. Allah SWT yang selalu memberikan rahmat dan karuniaNya
yang luar biasa dan tiada habisnya, sehingga penulisdapat menyelesaikan penulisan skripsi ini;
2. Ayahanda dan Ibunda tercinta yang selalu memberikandukungan moril maupun materiil serta doa yang tiadahenti, serta Adikku tersayang Hardyasa Prasetyawan;
3. Martua Sihaloho, SP. M.Si. sebagai dosen pembimbingskripsi atas kesabarannya telah membimbing, memberikankritik dan saran yang membangun serta memberikanmotivasi pada penulis dalam penulisan skripsi ini;
4. Prof. Dr. Endriatmo Sutanto sebagai dosen pembimbingakademik yang telah memberikan dukungan, semangat danselalu membantu penulis dalam menghadapi permasalahanakademik;
5. Dr. Satyawan Sunito selaku penguji akademik atasmasukan dalam skripsi;
6. Pemerintah Kabupaten Barito Kuala, Kecamatan Cerbon,Desa Simpang Nungki, Dinas Sosial, Tenaga Kerja, danTransmigrasi, Dinas Perkebunan, dan Badan PertanahanNasional Kabupaten Barito Kuala atas bantuan dankemudahan memperoleh informasi selama penelitian;
7. teman sebimbingan Eka Ariwijayanti, teman seperjuanganLaras Sirly Safitri, Karina Swedianti, Turasih,Titania Aulia, Risma Junita, dan teman-teman KPM 44yang selalu menjadi teman diskusi saat menghadapimasalah penelitian;
8. sahabat-sahabat tercinta di Bateng 23 Desi Munggarani,Elok Puspitarini, dan Ambar Melati Ramadhani, Lusi,dan Winda yang selalu mendengarkan keluh-kesah penulisserta tidak pernah berhenti untuk memberikan semangat,
doa dan dukungan kepada penulis dalam penulisanskripsi;
9. teman-teman seperjuangan di FOSMA IPB: Echa, Tika,Fina, Nurul, Nia, Lujeng, Rinal, Agus, dan lainnyayang selalu memberikan semangat dan doa;
10. teman-teman PSDM BEM KM Kabinet Gemilang danGenerasi Inspirasi atas kebersamaan dan pelajaran yangberharga. Juga Dean dan Otri yang telah membantumemberikan solusi terhadap masalah teknis yangdihadapi penulis; dan
11. semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatuyang telah membantu dan mendukung dalam penyelesaianskripsi ini.
DAFTAR ISI
Halama
nDAFTAR
ISI ...........................................
...............................................
xii
DAFTAR
TABEL .........................................
.........................................
xv
DAFTAR
GAMBAR ........................................
.....................................
xvi
DAFTAR
LAMPIRAN ......................................
....................................
xvii
1.
PENDAHULUAN ...................................
..........................................
1
1.1. Latar
Belakang ...................................
......................................
1
1.2. Masalah
Penelitian .................................
..................................
3
1.3. Tujuan
Penelitian .................................
4
.....................................1.4. Kegunaan
Penelitian .................................
................................
4
2. PENDEKATAN
TEORETIS ......................................
.......................
6
2.1. Tinjauan
Pustaka ....................................
..................................
6
2.1.1 Konsep
Perkebunan .................................
........................
2.1.2 Perubahan Produksi
Pertanian ..................................
.......
2.1.3 Konsep
Agraria ....................................
...........................
2.1.4 Konsep Dinamika Struktur
Agraria..................................
2.1.4.1 Perubahan Pola
Penguasaan dan Pemilikan
Lahan............................
.................................
........
6
7
9
11
12
2.2. Kerangka
Pemikiran ..................................
13
..............................2.3.
Hipotesis ..................................
............................................
....
15
2.4. Definisi Operasional dan
Konseptual .................................
.....
15
3. PENDEKATAN
LAPANGAN.......................................
..................
18
3.1. Metode
Penelitian .................................
...................................
18
3.2. Lokasi dan Waktu
Penelitian..................................
..................
18
3.3. Teknik Pengumpulan
Data........................................
...............
19
3.4. Teknik Pengolahan dan Analisis
Data.....................................
20
4. GAMBARAN UMUM
LOKASI.........................................
............
21
4.1. Kondisi Umum
Desa .......................................
21
.........................4.2. Kondisi
Agronomi ...................................
.................................
22
4.3. Kondisi
Demografi ..................................
.................................
23
4.4. Sarana dan
Prasarana ..................................
..............................
25
4.5. Konteks UPT Simpang
Nungki......................................
...........
26
5. DINAMIKA STRUKTUR AGRARIA UNIT PEMUKIMAN
TRANSMIGRASI (UPT) SIMPANG
NUNGKI ..............................
29
5.1 Masa Pra Masuknya Komoditi Kelapa
Sawit ............................
29
5.1.1 Sejarah Unit Pemukiman
Transmigrasi Simpang Nungki
29
5.1.2 Sistem Kepemilikan dan Penguasaan
Lahan .....................
30
5.1.2.1 Status Kepemilikan dan
Penguasaan Lahan ...........
30
5.1.2.2 Sistem Transfer
Kepemilikan Lahan Pertanian ......
32
5.1.3 Sistem
Kelembagaan ................................
33
......................... 5.1.4 Pemanfaatan
Lahan ......................................
.....................
34
5.2 Proses Masuknya Komoditi Kelapa
Sawit ................................
35
5.2.1 Sejarah Masuknya Komoditi Kelapa
Sawit .......................
35
5.2.2 Sistem Kepemilikan dan Penguasaan
Lahan .....................
37
5.2.2.1 Status Kepemilikan dan
Penguasaan Lahan ...........
37
5.2.2.2 Sistem Transfer
Kepemilikan Lahan Pertanian ......
41
5.2.3 Sistem
Kelembagaan ................................
.........................
41
5.2.4 Pemanfaatan
Lahan ......................................
.....................
43
5.3 Pasca Masuknya Komoditi Kelapa Sawit dan
Perubahan Agraria
Lokal ....................................
.........................................
45
5.3.1 Sistem Kepemilikan dan Penguasaan
Lahan .....................
45
5.3.1.1 Status Kepemilikan dan
Penguasaan Lahan ...........
45
5.3.1.2 Sistem Transfer
Kepemilikan Lahan Pertanian ......
46
5.3.2 Sistem
Kelembagaan ................................
.........................
47
5.3.3 Pemanfaatan
Lahan ......................................
.....................
48
Ihktisar ...................................
............................................
........
49
6. FAKTOR – FAKTOR PENDUKUNG PERUBAHAN PRODUKSI
PERTANIAN .....................................
...............................................
...
51
6.1 Faktor
Eksternal ..................................
......................................
51
6.2 Faktor Internal
Masyarakat .................................
......................
54
6.2.1 Tingkat
Pengetahuan ................................
.........................
54
6.2.2 Tingkat Kepemilikan
Modal ......................................
.......
56
6.3 Hubungan antara Tingkat Pengetahuan
dengan Keputusan Membangun Kebun Kelapa
Sawit ....................................
.........
58
6.4 Hubungan antara Tingkat Kepemilikan
Modal dengan Keputusan Membangun Kelapa
Sawit ....................................
...
60
Ikhtisar ...................................
..........................................
...........
63
7.
PENUTUP ....................................
............................................
.........
65
7.1
Kesimpulan ...............................
..........................................
......
65
7.1
Saran ....................................
..........................................
............
66
DAFTAR
PUSTAKA .......................................
.....................................
6
DAFTAR TABEL
Nomor Halama
nTabel
4.1
Transmigran UPT Simpang Nungki Tahun
2011 ...
26
Tabel
5.1.
Komoditi Pertanian Masyarakat UPT
Simpang Nungki Tahun 2005-
2006...................................
.............................
35
Tabel
5.2
Jumlah Petani Berdasarkan Kategori
Petani ......................
38
Tabel
5.3
Jumlah Transmigran Berdasarkan Luas
Lahan ...................
39
Tabel
5.4
Jumlah Pendatang Berdasarkan Luas
Lahan........................
40
Tabel
5.5
Jumlah Petani Kelapa Sawit Berdasarkan
Tahun Perubahan Komoditi
Pertanian .............................
...............
43
Tabel
6.1
Rumah Tangga Peserta Program
Pengembangan Perkebunan Kelapa Sawit
Berdasarkan Keputusan Membangun Kebun
Kelapa
Sawit .................................
....
53
Tabel
6.2
Rumah Tangga Menurut Tingkat
Pengetahuan Petani UPT Simpang 55
Nungki ................................
.................................Tabel
6.3
Rumah Tangga Menurut Tingkat
Kepemilikan Modal Pembangunan dan
Perawatan Kebun Kelapa
Sawit ...........
57
Tabel
6.4
Hubungan antara Tingkat Pengetahuan
dengan Keputusan Membangung Kebun
Kelapa
Sawit .................................
...
58
Tabel
6.5
Hubungan antara Kepemilikan Modal
dengan Keputusan Membangun Kebun Kelapa
Sawit .................................
..
61
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halama
nGambar
1.
Kerangka Pemikiran
.....................................
..................
14
Gambar
2.
Perkembangan Jumlah Penduduk
Kecamatan Cerbon Tahun 2005 –
2009.................................
....................
23
Gambar
3.
Mata Pencaharian Penduduk Kecamatan
Cerbon Tahun
2010.................................
.....................................
.........
24
Gambar
4.
Minat Petani Plasma Terhadap Program
Plasma ..........
44
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halama
nLampiran
1.
Peta Kecamatan
Cerbon ..............................
...................
70
Lampiran
2.
Hasil Uji Korelasi Rank
Spearman ............................
....
71
Lampiran
3.
Pelaksanaan Penelitian dan
Skripsi .............................
...
72
Lampiran
4.
Peraturan
Transmgrasi .........................
...........................
73
Lampiran Daftar Nama
Responden ...........................
......................
78
Lampiran Daftar Nama
Informan ............................
......................
80
Lampiran
7.
Kuesioner ...........................
.....................................
.......
81
Lampiran
8.
Panduan
Pertanyaan ..........................
..............................
85
Lampiran Dokumentasi ......................... 86
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kelapa sawit merupakan komoditas yang diunggulkan
saat ini. Permintaan CPO (crude palm oil) atau minyak
kelapa sawit yang tinggi di pasar domestik maupun
internasional membawa daya tarik tersendiri.
Pemasukan devisa dan terbukanya lapangan pekerjaan
dalam jumlah besar merupakan keunggulan lain
sektor perkebunan khususnya perkebunan kelapa
sawit. Pada periode 1979-1980, Departemen
Penerangan mencatat bahwa perkebunan kelapa sawit
menduduki peringkat kedua penyumbang devisa
terbesar dari sektor perkebunan. Fakta-fakta
tersebut membuat pemerintah mendukung pengembangan
industri kelapa sawit. Beragam kebijakan dan
aturan yang mendukung pengembangan perkebunan
kelapa sawit dibuat untuk meningkatkan iklim yang
kondusif bagi investor dalam upaya pengembangan
perkebunan terutama sawit.
Pengembangan perkebunan khususnya kelapa sawit
terus berlangsung dari waktu ke waktu sejak
diperkenalkan oleh kolonial Belanda pada abad ke-19
(Bahari 2004). Perkebunan dibedakan menjadi beberapa
jenis menurut Marcus Colchester, Norman Jiwan, Andiko,
Martua Sirait, Asep Yunan Sirait, A. Surombo, Herbert
Pane (2006). Pertama adalah perkebunan skala besar
yakni perkebunan Negara ataupun swasta yang disebut
Perseroan Terbatas Perkebunan Nasional (PTPN) yang
merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan dimiliki
sepenuhnya oleh negara. Perkebunan ini beroperasi
diseluruh wilayah di Indonesia. Di sektor swasta,
perkebunan khususnya kelapa sawit terbagi dalam dua
tipe besar yakni perusahaan yang lebih dari 50 persen
sahamnya dimiliki oleh orang Indonesia dan perusahaan
yang lebih dari 50 persen sahamnya dimiliki oleh
investor asing. Seluruh jenis perusahaan berskala besar
beroperasi di atas “Tanah Negara” dan diatur melalui
berbagai perizinan di tingkat nasional maupun lokal.
Jenis kedua adalah perusahaan skala menengah.
Perusahaan ini biasanya berbentuk koperasi yang
dimiliki bersama atau perseorangan dan beroperasi di
“Tanah Negara” maupun tanah pribadi. Operasi perusahaan
ini berdekatan dengan operasi skala besar dimana
produknya dijual untuk pengolahan lebih lanjut atau
ekspor. Jenis ketiga adalah perusahaan skala kecil,
yaitu perusahaan yang memiliki luas kurang dari 25
hektar dan biasanya dimiliki satu orang petani/keluarga
dan disebut sebagai perkebunan rakyat.
Pemerintah terus berupaya untuk mengembangkan
perkebunan sawit. Pengembangan perkebunan kemudian
dilakukan melalui berbagai program PIR (Perusahaan Inti
Rakyat) sejak tahun 1977, seperti NES (Nucleus Estate
Smallholder) yang dibiayai world bank, PIR Khusus
(1980), dan PIR Trans (1985). Saat ini, Indonesia
merupakan negara penghasil sawit terbesar di dunia,
yakni sekitar 44,5 persen dari jumlah produksi sawit
dunia. Upaya pengembangan perkebunan kelapa sawit
hingga menjadi penghasil sawit terbesar di dunia
membutuhkan lahan yang luas. Saat ini Indonesia
memiliki 6 juta hektar lahan yang sudah ditanami, dan
telah membuka hutan tiga kali lipat lahan yang telah
ditanami. Pemerintah daerah sendiri telah menetapkan 20
juta hektar lahan untuk rencana pembangunan perkebunan
kelapa sawit terutama di wilayah Sumatra, Kalimantan,
Sulawesi dan Papua Barat (Colchester M, Jiwan N,
Andiko, Sirait M, Sirait A Y, Surombo A, Pane H 2006).
Pemerintah daerah di luar jawa yang sebagian besar
memiliki lahan luas seakan berlomba-lomba meningkatkan
Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan mengembangkan
perkebunan sawit. Selain pemasukan untuk pemerintah
daerah, komoditi kelapa sawit dianggap mampu
meningkatkan kesejahteraan masyarakat dibandingkan
dengan komoditi lain. Oleh karena itu, pemerintah
mewajibkan seluruh Perkebunan Besar Swasta (PBS) untuk
membangun kebun plasma1. Kebijakan tersebut seperti
tertuang pada Peraturan Menteri Pertanian No.26 Tahun
2007 tentang pengembangan perkebunan melalui program
revitalisasi perkebunan bahwa setiap perusahaan yang1 Kebun Plasma adalah areal wilayah plasma yang dibangun oleh perusahaan Inti dengan tanaman perkebunan.
bergerak di bidang perkebunan kelapa sawit wajib
memiliki plasma minimal 20% dari luas HGU. Program
plasma ini dilakukan dalam beberapa tipe program,
seperti KKPA dan program revitalisasi perkebunan.
Program-program tersebut melibatkan masyarakat secara
langsung sebagai pemilik tanah. Keuntungan yang
dijanjikan dalam program inti-plasma ini tentu menjadi
daya tarik bagi masyarakat luas untuk ikut serta
didalamnya. Sehingga nilai tanah sebagai sumber daya
utama meningkat. Proses masuknya sistem baru
(perkebunan kelapa sawit) ke dalam masyarakat akan
mempengaruhi kehidupan masyarakat petani. Komoditas
yang berbeda memerlukan proses produksi yang berbeda
pula, sehingga masyarakat harus menggunakan moda
produksi yang berbeda. Hal tersebut mempengaruhi
perubahan hubungan produksi diantara masyarakat.
Perubahan moda produksi dapat dilihat dari perubahan
kekuatan produksi dan hubungan sosial produksi di
kalangan masyarakat petani yang akan menimbulkan gerak
perubahan dalam struktur agraria. Widiono (2008)
menjelaskan melalui penelitiannya bahwa pembangunan
perkebunan kelapa sawit berdampak penegasan sampai
polarisasi lapisan sosial dan dualistik strategi nafkah
yakni sawah dan kebun. Penelitian lain menyebutkan
bahwa dampak yang ditimbulkan adalah stratifikasi
sosial dalam banyak lapisan (Sihaloho M, Purwandari H,
dan Supriyadi A 2009). Proses masuknya komoditas baru
berupa kelapa sawit menjadi lebih unik saat dilihat
pada wilayah transmigrasi. Perubahan struktur agraria
yang terjadi karena faktor-faktor lain, memiliki
hubungan baik langsung maupun tidak langsung dengan
proses masuknya komoditi kelapa sawit. Stratifikasi
yang terbentuk pada stuktur agraria masyarakat yang
awalnya memiliki kepemilikan lahan yang merata akan
mempengaruhi proses masuknya komoditi tersebut. Oleh
karena itu, proses perubahan produksi pertanian yang
awalnya beragam menjadi mayoritas kelapa sawit serta
gerak perubahan struktur agraria yang terjadi menarik
untuk diuji.
1.2. Masalah Penelitian
Pengembangan perkebunan kelapa sawit dalam skala besar
sedang berlangsung di beberapa wilayah di Indonesia.
Hal ini menjadi salah satu program unggulan pemerintah
daerah dalam bidang perkebunan. Beberapa wilayah yang
lebih dulu membangun perkebunan kelapa sawit telah
menunjukkan keberhasilannya dengan meningkatnya luas
areal perkebunan kelapa sawit. Pengaruhnya terhadap
kehidupan sosial masyarakat perkebunan pun terlihat
jelas. Oleh karena itu, penting halnya untuk mengetahui
proses perubahan produksi pertanian masyarakat menjadi
kelapa sawit. Proses tersebut dipengaruhi oleh beberapa
aspek. Sehingga akan dikaji apa saja faktor yang
mempengaruhi perubahan produksi menjadi kelapa sawit.
Merujuk latar belakang di atas, yang menyatakan bahwa
proses masuknya perkebunan sawit memiliki hubungan
dengan perubahan struktur agraria masyarakat ternyata
ditemui di lokasi yang akan dijadikan tempat
penelitian. Wilayah ini merupakan daerah pengembangan
perkebunan kelapa sawit yang baru sehingga proses
perubahan produksi pertanian masyarakat dapat terlihat.
Perubahan-perubahan struktur agraria yang mengiringi
proses perubahan produksi menjadi kelapa sawit juga
sangat terlihat. Saat ini, perencanaan pembukaan kebun
baru di beberapa wilayah Kabupaten Barito Kuala telah
dibuat dan akan direalisasikan beberapa waktu ke depan.
Oleh karena itu penting untuk mengkaji bagaimana proses
dinamika struktur agraria yang terjadi pada daerah
tersebut seiring dengan masuknya perkebunan kelapa
sawit.
1.3. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proses
perubahan produksi pertanian masyarakat menjadi kelapa
sawit. Penelitian ini juga bertujuan untuk
mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi
perubahan produksi pertanian masyarakat menjadi kelapa
sawit baik faktor eksternal masyarakat maupun internal.
Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk
mengetahui proses perubahan tingkat kepemilikan,
tingkat penguasaan dan pengusahaan lahan sebagai
dinamika struktur agraria yang terjadi seiring dengan
proses perubahan produksi pertanian masyarakat menjadi
kelapa sawit.
1.4. Kegunaan Penelitian
Kegunaan dari penelitian ini adalah:
1) bagi masyarakat, khususnya masyarakat UPT Simpang
Nungki yang berada di wilayah yang mengalami
perubahan produksi pertanian diharapkan dapat
menambah wawasan bagaimana proses perubahan produksi
pertanian beserta faktor-faktor yang mempengaruhinya
yang dikaitkan dengan dinamika struktur agraria yang
terjadi di wilayah tersebut seiring dengan perubahan
produksi pertanian tersebut;
2) bagi peneliti, penelitian ini diharapkan juga
menambah literatur, wawasan, serta ilmu pengetahuan
terkait dengan kajian agraria bagi para peneliti
bidang yang sama sehingga diharapkan dapat memberi
sumbangan bagi pengembangan studi; dan
3) bagi pemerintah dan swasta, informasi dan data dari
hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan
rujukan ilmiah tentang peergeseran dan perubahan yang
terjadi. Sehingga dapat dijadikan masukan dalam
membuat kebijakan maupun program-program pemberdayaan
masyarakat.
BAB II
PENDEKATAN TEORITIS2.1. Tinjauan Pustaka
2.1.1 Konsep Perkebunan
Perkebunan adalah salah satu subsektor pertanian
non pangan yang tidak asing di Indonesia.
Pengertian perkebunan2 dalam Undang-undang No. 8
Tahun 2004 tentang perkebunan adalah segala
kegiatan yang mengusahakan tanaman tertentu pada
tanah dan/atau media tumbuh lainnya dalam
ekosistem yang sesuai, mengolah, dan memasarkan
barang dan jasa hasil tanaman tersebut, dengan
bantuan ilmu pengetahuan dan teknologi, permodalan
serta manajemen untuk mewujudkan kesejahteraan
bagi pelaku usaha perkebunan dan masyarakat.
Pendekatan pengembangan komoditas perkebunan di
Indonesia adalah “perkebunan rakyat” yang diusahakan
oleh petani dan “perkebunan besar” yang diusahakan oleh
perusahaan (Sitorus, et.al 2008). Pada proses pembukaan
maupun pengembangan, pengusaha perkebunan akan
melakukan ekspansi. Secara harfiah ekspansi berarti
tindakan aktif untuk memperluas dan memperbesar cakupan
usaha yang telah ada. Ekspansi dalam bidang perkebunan
besar dapat berarti perluasan areal atau lahan
perkebunan baik yang dikelola oleh perusahaan sebagai
2 http://www.yousaytoo.com/pengertian-perkebunan-menurut-undang-undang/338977, diakses pada 18 November 2010
kebun inti maupun lahan yang akan di plasmakan. Pada
perkebunan rakyat proses ekspansi dapat dilihat pada
peningkatan jumlah lahan yang dikonversi menjadi areal
perkebunan.
Pengembangan perkebunan kelapa sawit dimulai tahun
1900 dan perkebunan diusahakan berorientasi pada pasar
ekspor. Pada tahun 1978, pemerintah mengambil kebijakan
untuk mengalokasikan sebagian besar produksi minyak
sawit ke pasar domestik karena adanya kekurangan
penawaran minyak nabati yang disebabkan turunnya
produksi kelapa.
Pemerintah mengembangkan usaha perkebunan rakyat
di daerah baru dengan menggunakan jasa perkebunan besar
atau negara dalam bentuk keterkaitan antara kedua usaha
tersebut pada tahun 1974/1975. Bentuk kerjasama macam
ini disebut Perusahaan inti Rakyat Perkebunan Besar
(PIR BUN) yang merupakan terjemahan dari Nucleus Estate
Smallholder Development Project (NES Project). Pola
inti rakyat ini tercipta berdasarkan Keppres Nomor 11
tahun 1974, yang merupakan suatu pola unuk mewujudkan
sistem kerjasama yang saling menguntungkan antara
perusahaan perkebunan besar dengan usahatani yang
berada di sekitarnya.
Khusus untuk pengembangan kelapa sawit, pola
pengembangannya adalah pola PIR (Ditjen Perkebunan-
TKPIR,1987). Sampai saat ini terdapat 4 jenis PIR:
1. PIR-BUN lokal: PIRBUN tersebut dilaksanakan
disekitar perkebunan yang telah ada sebagai inti,
sumber dana dari dalam negeri dan petani pesertanya
dari petani setempat (lokal).
2. PIR Bun khusus: PIR-BUN tersebut dibangun dengan
dana dalam negeri dan petani peserta sebagian besar
transmigran dan petani lokal.
3. PIR-BUN Berbantuan: PIR-BUN tersebut dibangun dengan
dana pinjaman kredit luarnegeri, dengan petani
pesertanya dari transmigrasi dan petani lokal.
4. PIR-TRANS: Pir BUN tersebut dibangun dengan dana
pinjaman bank oleh perusahaan inti, petani peserta
dari transmigrasi dan penduduk lokal. DI masa
mendatang semua pembangunan PIR BUN diarahkan pada
pola PIR TRANS, sesuai INPRES tahun 1986.
2.1.2 Perubahan Produksi Pertanian
Perubahan produksi pertanian masyarakat dari komoditi
non-kebun menjadi komoditi perkebunan merupakan proses
perubahan dalam skala yang besar. Karena perubahan
tersebut tidak hanya dilakukan oleh perseorangan, namun
dilakukan oleh sekelompok orang. Seperti dijelaskan
sebelumnya, kebijakan pemerintah sangat mempengaruhi
perubahan produksi pertanian masyarakat dari komoditi
non-perkebunan yang lebih bersifat subsisten-komersial
menjadi komoditi perkebunan yang lebih bersifat modern
dan kapitalis.
Widiono (2008) menjelaskan bahwa keputusan
masyarakat untuk membuka kebun kelapa sawit dan
bergabung dengan program KKPA (Koperasi Kelompok Petani
Anggota) dipengaruhi oleh beberapa faktor, yakni:
a. pengetahuan yang cukup. Pengetahuan tersebut
diperoleh dari hasil interaksi dengan buruh
perusahaan dan migran etnis Batak;
b. ketersediaan modal untuk membuka dan merawat kebun
kelapa sawit; dan
c. jaminan pembelian dari perusahaan.
Proses perubahan produksi pertanian masyarakat
juga berpengaruh terhadap moda produksi masyarakat
(Fadjar 2009). Shanin (1990) dalam Fadjar (2009)
menjelaskan bahwa moda produksi mempresentasikan “cara”
yang ditempuh masyarakat dalam melakukan proses
produksi (ways of production) guna menyediakan produk
untuk memenuhi kebutuhan material. Secara khusus,
Shanin (1990) dan Russel (1989) dalam Fadjar (2009)
menjelaskan bahwa moda produksi terdiri dari: 1)
kekuatan atau daya produksi (force of production) yang akan
memengaruhi produktivitas, dan 2) hubungan sosial
produksi (relation of production) yang akan membentuk posisi
superior dan posisi subordinat sehingga hubungan sosial
akan membentuk struktur sosial dalam penguasaan
kekuatan produksi.
Khan (1974) dalam Fadjar (2009) dan Sitorus (1999)
menyebutkan hasil penelitiannya tentang cara produksi
pada masyarakat Minangkabau terdiri dari:
a. produksi subsisten (subsistence production) yaitu usaha
pertanian tanaman pangan dimana hubungan produksi
terbatas dalam keluarga inti dan hubungan antara
pekerja bersifat egaliter;
b. produksi komersialis (petty comodity production) yaitu
usaha pertanian yang (sudah) berorientasi pasar
dimana hubungan produksi menunjuk pada gejala
eksploitasi surplus melalui ikatan kekerabatan, dan
hubungan sosial antara pekerja (umumnya anggota
keluarga/kerabat) bersifat egaliter tetapi
kompetitif; dan
c. produksi kapitalis (capitalist production) yaitu usaha
padat-modal berorientasi pasar dimana hubungan
produksi mencakup struktur majikan-buruh atau
“pemilik modal – pemilik tenaga”.
2.1.3 Konsep Agraria
Sitorus (2002) menjelaskan bahwa lingkup agraria
mengandung pengertian yang luas dari sekedar “tanah
pertanian” atau “pertanian”, yaitu suatu bentang alam
yang mencakup keseluruhan kekayaan alami (fisik dan
hayati) dan kehidupan sosial yang terdapat di dalamnya.
Lingkup agraria itu sendiri terdiri dari dua unsur,
yaitu obyek agraria atau dapat disebut juga sebagai
sumber-sumber agraria dalam bentuk fisik. Sumber-sumber
agraria ini sangat erat kaitannya dengan ruang fisik
tertentu yang tidak dapat dipindahkan ataupun
dimusnahkan. Oleh karena itu, sumber-sumber agraria
sangat erat kaitannya dengan akumulasi kekuasaan
(politik, ekonomi, sosial). Struktur agraria merupakan
hal yang selalu berubah. Perubahan-perubahan tersebut
terkait dengan perubahan pola penguasaan dan pemilikan
lahan. Sedangkan unsur kedua adalah subyek agraria,
yaitu pihak-pihak yang memiliki kepentingan terhadap
sumber-sumber agraria tersebut. Secara garis besar,
subyek agraria dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu
komunitas (mencakup unsur-unsur individu, kesatuan dari
unit-unit rumah tangga dan kelompok), pemerintah
(sebagai representasi negara mencakup Pemerintah Pusat,
Pemerintah Daerah dan Pemerintah Desa) dan swasta
(private sector mencakup unsur-unsur perusahaan kecil,
menengah dan besar). Ketiga kategori ini memiliki
ikatan dengan sumber-sumber agraria melalui institusi
penguasaan/ pemilikan/ pemanfaatan (tenure institutions).
Sitorus (2002) membagi analisis agraria ke dalam
dua bentuk. Pertama, ketiga subyek agraria memiliki
hubungan teknis dengan obyek agraria dalam bentuk kerja
pemanfaatan berdasar hak penguasaan (land tenure)
tertentu; kedua, ketiga subyek agraria satu sama lain
berhubungan atau berinteraksi secara sosial dalam
rangka penguasaan dan pemanfaatan obyek agraria
tertentu. Proporsi pertama menggambarkan hubungan
teknis yang menunjukan cara kerja subyek agraria dalam
pengolahan dan pemanfaatan obyek agraria untuk memenuhi
kebutuhannya. Sedangkan proporsi kedua menggambarkan
hubungan sosial agraris yang menunjukan cara kerja
subyek agraria yang saling berinteraksi dalam rangka
pemanfaatan obyek agraria, dengan kata lain hubungan
ini berpangkal pada perbedaan akses dalam hal
penguasaan/pemilikan/dan pemanfaatan lahan.
Wiradi (1984) menjelaskan bahwa kata ”penguasaan”
menunjuk pada penguasaan efektif, sedangkan ”pemilikan”
tanah menunjuk pada penguasaan formal. Penguasaan
formal dapat dijelaskan dengan adanya undang-undang
yang mengatur mengenai penguasaan tanah. Penguasaan
tanah belum tentu dan tidak harus disertai dengan
pemilikan. Penguasaan tanah dapat berupa hubungan
“pemilik dengan pemilik”, “pemilik dengan pembagi-
hasil”, “pemilik dengan penyewa”, “pemilik dengan
pemakai” dan lain-lain (Sihaloho, 2004). Kata
“pengusahaan” menunjuk pada pemanfaatan sebidang tanah
secara produktif (Wiradi, 1984). Hubungan-hubungan
sosial agraria antar subyek agraria kemudian membentuk
sebuah struktur. Hubungan pemanfaatan antara subjek-
subjek agraria dengan sumber-sumber agraria menunjuk
pada dimensi teknis atau lebih spesifik dimensi kerja.
Hubungan antar subjek agraria menghasilkan aturan-
aturan penguasaan dan pengusahaan lahan. Aturan-aturan
tersebut berlaku secara turun menurun dan ditaati oleh
seluruh anggota masyarakat. Wiradi (2009) menjelaskan
beberapa sistem kelembagaan penguasaan lahan yakni:
1. sistem Gogolan (nama lainnya adalah norowito, playangan,
pekulen, kesikepan). Sistem ini mengatur penguasaan tanah
gogolan. Tanah gogolan adalah tanah pertanian milik
masyarakat desa yang hak pemanfaatannya biasanya
dibagi-bagi kepada sejumlah petani (biasanya disebut
sebagai “penduduk inti”) secara tetap atau giliran
berkala. Pemegang hak garap atas tanah ini tidak
diberi hak untuk menjualnya atau memindahtangankan
hak tersebut. Petani dengan hak garap atas tanah
disebut “petani gogol”, atau “gogol” saja. Sampai masa
sebelum perang, untuk menjadi seorang gogol diperlukan
sejumlah persyaratan antara lain: (a) harus mampu dan
mampu melakukan kerja-wajib (ronda malam, memperbaiki
saluran air, dan sebagainya untuk keperluan desa),
(b) harus sudah menikah, (c) harus mempunyai rumah
dan pekarangan, dan (d) harus memperoleh persetujuan
dari seluruh gogol yang sudah ada;
2. sistem Gadai. Sistem gadai yang dimaksud adalah
penyerahan tanah untuk menerima pembayaran sejumlah
uang tunai, dengan ketentuan si penjual tetap berhak
atas pengembalian tanahnya dengan jalan menebusnya
kembali. Sedangkan yang dimaksud dengan hak gadai
adalah penyerahan hak atas sebidang tanah kepada
orang lain dengan pembayaran berupa sekian kuintal
gabah atau sekian gram emas perhiasan atau sekian
ekor kerbau atau sapi, dengan ketentuan pemilik tanah
yang telah menyerahkan hak atas tanahnya itu kepada
orang lain dapat memperoleh haknya kembali dengan
jalan menebusnya;
3. sistem Sewa. Sistem Sewa yang dimaksud adalah
penyerahan sementara hak penguasaan tanah kepada
orang lain, sesuai perjanjian yang dibuat bersama
oleh pemilik dengan penyewa; dan
4. sistem Bagi Hasil. Sistem bagi hasil yang dimaksud
adalah penyerahan sementara hak atas tanah kepada
orang lain untuk diusahakan dengan perjanjian si
penggarap akan menanggung bebean tenaga kerja
keseluruhan, dan menerima sebagian dari hasil
tanahnya. Pemilik tanah turut menanggung resiko
kegagalan. Inilah yang membedakannya dari sistem
sewa-menyewa. Besar kecilnya bagian hasil yang harus
diterima oleh masing-masing pihak pada umumnya telah
disepakati bersama oleh pemilik dan penggarap sebelum
penggarap mulai mengusahakan tanahnya.
2.1.4 Konsep Dinamika Struktur Agraria
Pengertian dinamika dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI) adalah gerak atau aktivitas. Gerak menjadi suatu
pola pergeseran dan perubahan dari waktu ke waktu
hubungannya dengan pola hidup manusia yang ditandai
dengan momentum tertentu. Dinamika dalam kaitannya
dengan struktur agraria adalah gerak perubahan struktur
agraria masyarakat yang terdiri dari kepemilikan,
penguasaan dan pengusahaan lahan. Wiradi (2002)
menyebutkan bahwa tranformasi struktur agraria yang
berlangsung dalam suatu masyarakat berkaitan dengan
hal-hal berkut: 1) dinamika internal masyarakat, 2)
intervensi pemerintah melalui berbagai kebijakan, 3)
intervensi pihak lain atau pengaruh eksternal, dan 4)
warisan sejarah.
2.1.4.1 Perubahan Pola Penguasaan dan Pemilikan Lahan
Struktur agraria terkait dengan tingkat penguasaan, dan
pemilikan lahan merupakan hal yang dinamis. Struktur
agraria dalam masyarakat akan terus berubah seiring
dengan pertambahan waktu dan fenomena sosial yang
terjadi. Pada awal terbentuknya masyarakat, sebagian
besar wilayah di Indonesia dikuasai secara kolektif
terlebih untuk daerah luar Jawa, karena pada masa
kolonial di Jawa seluruh wilayah adalah milik raja.
Pola penguasaan kolektif membuat masyarakat memiliki
akses yang sama terhadap lahan (Fadjar 2009). Seiring
dengan masuknya moda produksi modern, terjadi perubahan
pola kepemilikan lahan dari yang bersifat kolektif
menjadi perseorangan. Perubahan ini berakibat pada
perubahan akses masyarakat terhadap lahan yang awalnya
terbuka menjadi tertutup. Pada pola kepemilikan
kolektif setiap masyarakat memiliki hak untuk menggarap
lahan yang diatur oleh lembaga adat. Karena status
kepemilikan lahan berada di tangan lembaga adat dan
yang menjadi hak milik penggarap hanyalah tanaman yang
tumbuh di atas tanah tersebut. Pola penguasaan
perseorangan yang dikuatkan oleh kebijakan pemerintah
tentang pengakuan pemilikan tanah melalui sertifikasi
membuat masyarakat yang tidak memiliki sertifikat tidak
dapat mengakses lahan. Sehingga pola “petani pemilik-
buruh tani” menjadi pilihan masyarakat dalam menghadapi
keadaan ini. Kepemilikan lahan yang relatif sempit
membuat petani lebih rentan untuk mengalihkan hak atas
tanahnya kepada pihak lain dengan cara menjualnya
(Indrizal 1997).
Transfer kepemilikan melalui jual-beli merupakan
hal yang wajar pada masyarakat dengan pola pemilikan
perseorangan. Karena tanah memiliki nilai yang tinggi
di mata masyarakat. Namun masyarakat yang pernah
mengalami masa pemilikan kolektif memiliki kesulitan
dalam menjalankan jual beli sebagai proses transfer
kepemilikan. Karena tidak semua masyarakat memiliki
cukup modal untuk membeli lahan. Masyarakat yang tidak
memiliki cukup uang untuk membeli lahan akan menjadi
penggarap dengan sistem sewa dan bagi hasil ataupun
menjadi buruh tani di lahan-lahan yang telah dimiliki
secara perseorangan.
Perubahan-perubahan pada pola penguasaan dan
pemilikan tanah membuat pola struktur agraria menjadi
terstratifikasi oleh banyak lapisan bahkan dalam
beberapa kasus menunjukkan gejala polarisasi, seperti
dijelaskan oleh Sihaloho M, Purwandari H, dan Supriyadi
A (2009) dalam penelitiannya di dua desa perkebunan di
Banten. Gejala polarisasi terlihat dari timpangnya
tingkat kepemilikan lahan pada masyarakat. Ketersediaan
lahan yang semakin sempit membuat masyarakat perkebunan
memiliki peran ganda dalam penguasaan lahan baik
permanen maupun sementara. Proses masuknya moda
produksi modern ke dalam sistem pertanian masyarakat
memunculkan peran-peran baru dalam masyarakat. Peran-
peran baru ini terkait dengan penyediaan
alat-alat/sarana produksi pertanian. Bertambahnya jenis
lapisan masyarakat pada struktur agraris masyarakat
menunjukkan diferensiasi sosial. Perubahan yang terjadi
pada struktur agraria menyebabkan pergerakan pada
pelaku didalamnya. Banyak pihak yang masuk ke dalam
struktur yang ada, tetapi juga banyak pihak yang
kemudian keluar dari struktur masyarakat karena akses
terhadap lahan yang hilang. Penelitian Sihaloho M,
Purwandari H, dan Supriyadi A (2009) menyebutkan
lapisan-lapisan yang terbentuk setelah adanya proses
pembukaan dan pengembangan perkebunan menjadi semakin
beragam yakni “petani pemilik”, “petani pemilik +
penggarap”, “petani pemilik + buruh tani”, “petani
penggarap”, “petani penggarap + buruh tani”, dan “buruh
tani”.
2.2 Kerangka Pemikiran
Komoditi yang ditanam masyarakat UPT Simpang Nungki
pada awal kedatangannya beragam seperti padi, palawija,
buah-buahan (jeruk), dan lain lain. Petani yang
mengusahakan tanaman padi sawah pada umumnya lebih
bersifat subsisten. Komoditi lain seperti palawija,
sayur, dan jeruk lebih bersifat komersil. Perubahan
produksi pertanian masyarakat dari komoditi campuran
dengan moda produksi campuran (subsisten dan komersil)
menjadi komoditi yang homogen yakni kelapa sawit dengan
Perubahan Produksi Pertanian:
- Keputusan membuka Kebun
- Keberlanjutan Kebun
Faktor Eksternal Masyarakat:Kebijakan Pemerintah
Faktor Internal Masyarakat:-Tingkat Pengetahuan -Tingkat Kepemilikan Modal
Dinamika Struktur Agraria:- Perubahan Kepemilikan- Perubahan Penguasaan- Perubahan Pengusahaan
Keterangan: : Berhubungan : Berhubungan bolak balik : Kuantitatif
moda produksi kapitalis. Perubahan produksi pertanian
menjadi kelapa sawit yang merupakan komoditi baru
dipengaruhi oleh beberapa hal yang dikelompokkan dalam
dua aspek yakni faktor eksternal masyarakat yang
terdiri dari kebijakan pemerintah terkait perluasan
perkebunan kelapa sawit dan faktor internal masyarakat
yang terdiri dari tingkat pengetahuan masyarakat dan
tingkat pemilikan modal masyarakat untuk membangun
maupun merawat kebun kelapa sawit. Tingkat pengetahuan
ini ditinjau dari beberapa aspek yakni pengetahuan
tentang penanaman, perawatan, keuntungan serta kerugian
menanam kelapa sawit, dan proses pasca produksi atau
pasca kebun kelapa sawit. Perubahan produksi pertanian
masyarakat dilihat dari dua hal yakni keputusan untuk
membuka kebun kelapa sawit dan keberlanjutannya.
Seiring dengan berlangsungnya proses perubahan komoditi
pertanian masyarakat, berlangsung pula gerak perubahan
dalam bidang struktur agraria masyarakat. Hal tersebut
seperti di gambarkan pada kerangka pemikiran (Gambar
1).
Keterangan: : Berhubungan : Berhubungan bolak balik : Kuantitatif
Gambar 1. Kerangka Pemikiran
2.3 Hipotesis Penelitian
1. tingkat pengetahuan masyarakat memiliki hubungan
positif dengan perubahan produksi pertanian;
2. tingkat kepemilikan modal memiliki hubungan positif
dengan perubahan produksi pertanian;
3. faktor eksternal masyarakat memiliki hubungan
positif dengan perubahan produksi pertanian
masyarakat; dan
4. dinamika struktur agraria memiliki hubungan dengan
perubahan produksi pertanian masyarakat.
2.4 Definisi Operasional dan Konseptual
1
.
Perubahan produksi pertanian adalah proses
perubahan komoditas pertanian masyarakat
menjadi kelapa sawit.
Pengukuran:
a
.
tinggi (skor 3) jika responden memutuskan untuk
membuka kebun kelapa sawit dan kebunnya bertahan
sampai sekarang;
b
.
sedang (skor 2) jika responden memutuskan
membuka kebun tetapi kebunnya tidak bertahan
sampai sekarang; dan
c
.
rendah (skor 1) jika responden memutuskan untuk
tidak membuka kebun.
2
.
Faktor internal masyarakat adalah keadaan responden
yang mempengaruhi keputusan responden membuka kebun
kelapa sawit dan keberlanjutan kebunnya. Faktor
internal terdiri dari:
- tingkat pengetahuan adalah pengetahuan responden
yang terdiri dari pengetahuan tentang tata cara
pembangunan kebun, perawatan kebun, pengetahuan
tentang pasca kebun (pasca produksi) dan
keuntungan serta kerugian dari kebun kelapa
sawit,
Pengukuran:
a
.
tinggi (skor 3) jika responden dapat menjawab
dan menjelaskan jawaban dengan sangat baik dan
memiliki pandangan positif terhadap kebun dan
komoditi kelapa sawit;
b
.
sedang (skor 2) jika responden dapat menjawab
dan menjelaskan jawaban dengan baik dan memiliki
pandangan negatif terhadap kebun kelapa sawit
atau responden memiliki pandangan positif
tentang kebun kelapa sawit namun tidak dapat
menjawab pertanyaan tentang pengetahuan tatacara
pembukaan dan perawatan kebun dengan baik; dan
c
.
rendah (skor 1) jika responden tidak dapat
menjawab pertanyaan terkait pengetahuan tatacara
pembukaan dan perawatan kebun kelapa sawit serta
memiliki pandangan negatif tentang kebun kelapa
sawit.
- tingkat kepemilikan modal adalah jumlah uang yang
dimiliki dan dialokasikan responden baik untuk
membuka maupun merewat kebun kelapa sawit.
Pengukuran:
a
.
tinggi (skor 3) jika responden memiliki modal
untuk membuka dan merawat kebun kelapa sawit;
b
.
sedang (skor 2) jika responden hanya memiliki
modal untuk membuka kebun kelapa sawit; dan
c
.
rendah (skor 1) jika responden tidak memiliki
modal untuk membuka maupun merawat kebun kelapa
sawit.
3 Faktor eksternal masyarakat adalah faktor yang
memengaruhi keputusan masyarakat untuk membangun
kebun kelapa sawit yang berasal dari luar
masyarakat. Faktor tersebut ditinjau dari kebijakan
pemerintah yang memengaruhi keputusan masyarakat.
4
.
Dinamika adalah gerak atau aktivitas. Gerak menjadi
suatu pola pergeseran dan perubahan dari waktu ke
waktu hubungannya dengan pola hidup manusia yang
ditandai dengan momentum tertentu.
- Struktur agraria adalah pola hubungan secara teknis
dengan objek agraria (lahan) dan pola hubungan
sosial(antar subjek agraria). Struktur agraria di
sini dimaknai sebagai pola hubungan dalam
pemilikan, penguasaan dan pemanfaatan lahan.
Dinamika struktur agraria akan dilihat dari:
a
.
tingkat perubahan penguasaan lahan adalah
perbandingan penguasaan lahan sebelum dan
sesudah masuknya perkebunan kelapa
sawit .Penguasaan lahan adalah penguasaan dan
atau pemilikan atas dasar milik yang hanya
terbatas pada akses terhadap lahan berupa
lahan pribadi, sewa,bagi hasil, dan gadai;
b
.
tingkat perubahan kepemilikan adalah
perbandingan pemilikan lahan sebelum dan
sesudah masuknya perkebunan kelapa sawit.
Pemilikan lahan adalah penguasaan dan atau
pemilikan lahan meliputi kemampuan akses dan
kontrol secara formal meliputi lahan pribadi,
sewa, bagi hasil dan gadai; dan
c
.
tingkat perubahan pemanfaatan lahan adalah
perbandingan pemanfaatan lahan sebelum dan
sesudah masuknya perkebunan kelapa sawit.
Status dan bentuk pemanfaatan adalah berupa
pemanfaatan sendiri dan dimanfaatkan orang
lain. Bentuk pemanfaatan lahan diantaranya
berupa budidaya tanaman pangan, budidaya
holtikultura, budidaya tanaman buah,dan
lainnya.
BAB III
PENDEKATAN LAPANG
3.1 Metode Penelitian
Penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan
kualitatif dan kuantitatif. Pendekatan kualitatif
merupakan pendekatan yang mampu memberikan pemahaman
mendalam dan rinci mengenai suatu peristiwa atau gejala
sosial, serta mampu menggali realitas dan proses sosial
maupun makna yang didasarkan pada pemahaman yang
berkembang dari subyek yang diteliti (Sitorus 2008).
Pendekatan ini digunakan untuk menggali informasi
tentang proses masuknya komoditas kelapa sawit dan
proses perubahan struktur agraria. Pendekatan ini juga
digunakan untuk mendapatkan informasi tentang kebijakan
yang terkait dengan pengembangan perkebunan kelapa
sawit dan mengatahui pengaruh kebijakan tersebut
terhadap pembukaan perkebunan kelapa sawit masyarakat.
Sedangkan pendekatan kuantitatif digunakan untuk
mencari informasi faktual secara mendetail yang sedang
menggejala dan mengidentifikasi masalah-masalah atau
untuk mendapatkan justifikasi keadaan dan kegiatan-
kegiatan yang sedang berjalan (Wahyuni dan Mulyono
2006). Pendekatan ini ditujukan untuk melihat struktur
agraria masyarakat yang ada sekaligus dinamika yang
terjadi di masyarakat.
3.2 Lokasi dan Waktu
Penelitian ini dilakukan di UPT (Unit Pemukiman
Transmigran) Desa Simpang Nungki, Kecamatan Cerbon,
Kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan. Pemilihan
lokasi tersebut sebagai lokasi penelitian dilakukan
secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan sebagai
berikut:
1. merupakan daerah sekitar perusahaan kelapa sawit
yang menjadi wilayah plasma perusahaan. Selain itu,
masyarakat sudah memulai mengenal dan menanam
komoditas sawit sebelum menjadi plasma perusahaan
yang akan di bangun pada akhir 2011;
2. masyarakat transmigran memiliki lahan awal yang sama
dan status kepemilikan yang jelas sehingga data lebih
mudah didapat; dan
3. lokasi tersebut terjangkau transportasi dan dekat
dengan kabupaten sehingga memudahkan peneliti untu
memperoleh data.
Penelitian dilaksanakan dalam waktu lima bulan
(lampiran 3). Kegiatan penelitian meliputi penyusunan
proposal skripsi, kolokium, pengambilan data lapangan,
penulisan draft skripsi, sidang skripsi, dan perbaikan
laporan penelitian.
3.3 Teknik Pengumpulan Data
Data yang dibutuhkan dalam penelitian ini meliputi:
1. data sekunder, meliputi rencana pengembangan
daerah terkait rencana perluasan perkebunan
sawit, undang-undang dan daftar kebijakan
terkait dengan perluasan perkebunan sawit dan
kepemilikan lahan, Kecamatan dalam Angka
serta Kabupaten dalam Angka terkait data luas
areal perkebunan sawit; dan
2. data primer, yang diperoleh dari wawancara
dengan responden dan informan.
Penelitian ini memiliki dua subjek penelitian,
yang terdiri dari informan dan responden. Informan
adalah pihak-pihak yang berpotensi untuk
memberikan informasi mengenai diri sendiri,
keluarga, pihak lain, dan lingkungannya. Pemilihan
informan dilakukan dengan teknik snowball sampling
(teknik bola salju). Teknik snowballing juga
digunakan untuk menentukan daftar populasi yang
karakteristiknya sesuai dengan masalah yang
diteliti (kerangka sampling). Untuk melengkapi data
yang didapatkan dari informan kunci, diperlukan
data dari informan-informan lainnya yang kemudian
didiskusikan dengan informan kunci. Informan
penelitian ini terdiri dari tokoh masyarakat,
pegawai kecamatan dan kabupaten, pegawai Dinas
Kehutanan dan Perkebunan, Dinas Transmigrasi
Kabupaten Barito Kuala.
Responden didefinisikan sebagai bagian dari
kerangka sampling yang sebelumnya telah didapat
melalui tekhnik full enumeration survei terhadap
keadaan struktur agraria masyarakat dan dapat
memberikan keterangan tentang diri sendiri.
Pemilihan responden dilakukan secara sengaja
terhadap petani pemilik lahan yang tinggal di UPT
Simpang Nungki baik transmigran maupun pendatang
sebanyak 134 rumah tangga. Unit analisis
penelitian ini adalah rumah tangga petani.
Responden diwawancarai sesuai dengan kuesioner
yang telah disusun.
3.4 Teknik Pengolahan dan Analisis Data
Data primer dan sekunder dianalisis menggunakan metode
data kualitatif dan kuantitatif. Unit analisis yang
digunakan adalah rumah tangga petani. Tahapan dalam
pengolahan dan analisis data menggunakan metode
kualitatif meliputi reduksi data, yakni penghilangan
data yang tidak diperlukan serta penambahan data
apabila dibutuhkan melalui penyusunan kembali fakta-
fakta menurut urutan sejarah dan waktunya.
Tahapan kedua adalah penyajian data yang
dimaksudkan untuk menyusun sekumpulan informasi. Data
yang mengalami proses reduksi, kemudian ditampilkan
dalam bentuk lebih ringkas dan sederhana dengan
mengunakan tabel atau gambar untuk memudahkan pembaca.
Tahapan ketiga adalah penarikan kesimpulan. Penarikan
kesimpulan didasarkan atas hubungan antara konsep
agraria dengan fakta di lapangan.
Pengolahan data secara kuantitatif dilakukan
dengan tahapan editing dan koding data. Setelah itu
akan dilakukan perhitungan frekuensi yang telah
dikategorikan berdasarkan jawaban yang ada. Terakhir,
akan dilakukan tabulasi silang dalam bentuk tabel dan
analisis data menggunakan spearman. Sesuai
Koentjaraningrat (1977), pada tahap ini data dapat
dianggap selesai diproses sehingga akan disusun ke
dalam sebuah pola atau format yang telah dirancang.
BAB IV
GAMBARAN UMUM LOKASI
4.1 Kondisi Umum Desa
Desa Simpang Nungki adalah salah satu desa yang
termasuk dalam wilayah Kecamatan Cerbon, Kabupaten
Barito Kuala, Kalimantan Selatan. Desa ini berbatasan
dengan Desa Bantuil di sebelah utara, Desa Sawahan di
sebelah timur, Desa Sungai Tunjang di sebelah barat,
dan Kecamatan Mandastana di sebelah selatan. Desa
Simpang Nungki berjarak satu kilometer dari kantor
kecamatan Cerbon atau sekitar 5 menit jika ditempuh
dengan menggunakan sepeda motor. Sedangkan jarak menuju
ibu kota kabupaten atau Kota Marabahan sekitar tiga
kilometer atau sekitar 15 menit dengan menggunakan
sepeda motor. Akses masyarakat menuju pusat
administrasi Kabupaten Barito Kuala menjadi lebih mudah
setelah dibangunnya Jembatan Rumpiang yang
menghubungkan Kecamatan Cerbon dengan Kecamatan
Marabahan yang dipisahkan sungai Barito. Jarak tersebut
dapat ditempuh dengan menggunakan transportasi umum
berupa angkot (taksi dalam bahasa lokal) dan ojek.
Angkot yang beroperasi adalah angkot dengan rute
Banjarmasin-Marabahan yang lewat 30 menit sekali sampai
pukul 17.00 WIB.
Desa Simpang Nungki memiliki wilayah seluas 19,5
kilometer persegi atau hanya sekitar 9,47 persen dari
luas kecamatan Cerbon yang terdiri dari pemukiman,
lahan terbuka, lahan pertanian, kebun, sungai, dan
infrastruktur publik. Secara administratif Desa Simpang
Nungki terdiri dari 8 RT yang terdiri dari dua wilayah
yakni masyarakat asli pada RT 01 sampai RT 03 dan UPT
(Unit Pemukiman Transmigrasi) pada RT 04 sampai RT 08.
Pemukiman masyarakat lokal umumnya berada di tepi jalan
utama desa. UPT atau kompleks transmigrasi sendiri
dibagi menjadi 10 simpang (Ray) dan umumnya pemukiman
transmigran berada di masing-masing gang. Hanya ada
beberapa warung, mushola dan rumah kepala desa yang
menghadap ke jalan inti. Bangunan rumah penduduk pada
umumnya adalah rumah panggung terbuat dari kayu seperti
rumah masyarakat asli Kalimantan.
Desa Simpang Nungki merupakan bagian dari
Kabupaten Barito Kuala yang terletak di garis
katulistiwa sehingga memiliki curah hujan yang tinggi.
Temperatur rata-rata adalah 26-270C. Suhu maksimum
adalah 27,50C pada bulan Oktober dan suhu minimum
mencapai 26,50C pada bulan Juli. Curah hujan tertinggi
pada tahun 2008 terjadi pada bulan Maret dan Desember
sedangkan curah hujan terendah terjadi di bulan
September. Namun beberapa tahun terakhir hal tersebut
sudah banyak mengalami pergeseran dan tidak dapat
diperkirakan lagi.
Desa Simpang Nungki adalah salah satu desa yang
terdekat dengan perusahaan PBB yakni perusahaan swasta
perkebunan kelapa sawit. Desa Simpang Nungki berada
pada wilayah perencanaan kebun plasma perusahaan yang
pembangunannya akan direalisasikan pada akhir tahun
2011.
4.2 Kondisi Agronomi
Desa Simpang Nungki berada pada hamparan wilayah yang
datar dengan kelerengan 0-2 persen, dengan ketinggian
elevasi berkisar antara 1-3 meter di atas permukaan
laut. Desa Simpang Nungki berada di dekat Sungai Barito
dan dilewati sungai-sungai kecil baik alami maupun
buatan, sehingga sistem pertaniannya sangat bergantung
pada sistem pasang-surut sungai. Secara umum daerah ini
ditutupi oleh tumbuhan rawa, tumbuhan jingah, rambai
yang tumbuh disepanjang sungai, tumbuhan galam, dan
purun tikus yang hidup berdampingan dan kadang
diselingi oleh tumbuhan rumput-rumputan. Di Desa
Sumpang Nungki juga dijumpai beberapa jenis fauna khas
seperti beberapa jenis ikan air tawar seperti gabus,
papuyu, sepat, patin, dan lain-lain yang biasa
ditangkap warga untuk memenuhi kebutuhan konsumsi
sehari-hari. Jenis reptil yang sering terlihat adalah
ular sawah dan biawak. Hama yang banyak menyerang
tanaman warga adalah tikus yang banyak muncul saat
keadaan air pasang.
Jenis tanah yang ada di Desa Simpang Nungki dan
Kecamatan Cerbon umumnya ada jenis yakni organosol dan
tanah aluvial. Tanah Organosol berwarna coklat hitam
dan sering disebut tanah gambut atau peat (bahan yang
mudah terbakar). Sifat keasamannya sangat tinggi
sehingga kalau ingin mempergunakan tanah ini harus
dengan sistem drainage. Kemampuan tanah di daerah ini
tidak sepenuhnya datar, yakni lereng 0,2 persen yang
merupakan daerah endapan. Keadaan efektif tanah untuk
alluvial lebih besar dari pada 90 centimeter tercatat
hampir 60-64 persen dari luas wilayah, sedangkan daerah
yang ketebalan gambutnya lebih besar dari 75 centimeter
terdapat seluas 6,74 persen. Tekstur tanah 95 persen
liat (halus) sedangkan drainage yang dominan yakni di
daerah yang tergenang rawa. Penggunaan tanah
berdasarkan peta kemampuan tanah dan jenis tanah yang
diusahaakan penduduk, daerah alluvial pada umumnya
digunakan untuk persawahan karena daerahnya yang cukup
subur. Pada daerah organosol atau gambut juga
diusahakan oleh penduduk dengan membuat handil-handil
atau saluran pembuangan air sehingga daerah tersebut
dapat diusahakan. Tanaman pertanian yang dibudidayakan
oleh masyarakat pada umumnya adalah padi sawah, jeruk,
palawija, kelapa sawit, kelapa dalam, sagu, karet,
nanas, dan lain-lain.
4.3 Kondisi Demografi
Desa Simpang Nungki adalah desa dengan penduduk
terbesar ketiga di wilayah Kecamatan Cerbon. Pada tahun
2010, desa seluas 19,50 kilometer persegi ini di huni
oleh 335 kepala keluarga yang tersebar pada 8 rukun
tetangga. Penduduk Desa Simpang Nungki terdiri dari 625
laki-laki dan 613 perempuan.
2005 2006 2007 2008 20090
200040006000800010000120001400016000
Jumlah Pend...
Gambar 2. Perkembangan Jumlah Penduduk Kecamatan Cerbon Tahun 2005-2009
Pada tahun 2007 terjadi pertambahan penduduk dalam
jumlah besar di Kecamatan Cerbon karena adanya
penempatan peserta program transmigrasi pada beberapa
desa di wilayah Kecamatan Cerbon. Desa di wilayah
Cerbon yang menjadi tujuan program transmigrasi adalah
Desa Simpang Nungki dan Desa Sawahan. Hal tersebut juga
menyebabkan lonjakan tajam jumlah penduduk Desa Simpang
Nungki pada tahun 2007. Namun, jumlah penduduk pada
Kecamatan Cerbon pada tahun 2008 kembali menurun karena
adanya peserta transmigran yang pergi meninggalkan
daerah tersebut. Perkembangan jumlah penduduk Kecamatan
Cerbon dapat dilihat pada gambar 2 di atas.
Sebagian besar masyarakat Desa Simpang Nungki
bekerja sebagai petani sawah dan perkebunan. Hal
tersebut sesuai dengan kondisi wilayah yang cukup
mendukung kegiatan pertanian. Sawah pasang surut yang
banyak terdapat pada Kecamatan Cerbon mampu membuat
Kecamatan Cerbon berada di posisi ke-8 penyumbang beras
terbesar Kabupaten Barito Kuala yakni sekitar 5,32%
dari total produksi beras Kabupaten Barito Kuala. Mata
pencaharian utama penduduk dapat dilihat pada gambar di
bawah ini.
Petani PNSBuruh PensiunanKaryawan Swasta Peternak/ NelayanTNI/Polri PedagangMengurus Rumah Tangga Pelajar/mahasiswalain-lain
Gambar 3. Mata Pencaharian Penduduk Kecamatan CerbonTahun 2010
Berdasarkan data profil Kecamatan Cerbon tahun 2009,
mata pencaharian utama penduduk sangat beragam. Namun
berdasarkan data lapang, seluruh masyarakat Desa
Simpang Nungki yakni sebanyak 355 Kepala Keluarga
memiliki lahan dan mengusahakan pertanian di samping
pekerjaan utama. Sebagian besar penduduk dengan mata
pencaharian utama sebagai petani juga menjadi buruh di
dua perusahaan besar swasta dalam bidang perkebunan
kelapa sawit yang beroperasi di sekitar Desa Simpang
Nungki. Hal tersebut dilakukan saat masa tanam padi
selesai, sehingga petani memiliki banyak waktu luang
untuk mengerjakan hal-hal lain untuk menambah
pendapatan.
4.4 Sarana dan Prasarana
Sarana dan prasarana yang terdapat di Desa Simpang
Nungki sudah cukup lengkap. Sarana kesehatan terdiri
dari satu puskesmas dan satu polendes dengan tenaga
medis satu bidan. Masyarakat juga bisa memanfaatkan
jasa dua dukun kampung yang terdapat di Desa Simpang
Nungki. Sarana pendidikan terdiri dari satu Sekolah
Dasar, satu Madrasah Tsanawiyah (MTs), dan satu Sekolah
Menengah Pertama (SMP). Tenaga pengajar setingkat SD
berjumlah 14 orang. Tenaga dan setingkat SMP terdiri
dari 19 orang. Sarana ibadah yang tersedia adalah
berupa langgar sebanyak empat buah. Kegiatan-kegiatan
keagamaan selain ibadah wajib juga sering dilaksanakan
di langgar-langgar tersebut seperti pengajian rutin.
Hampir seluruh masyarakat lokal yang tinggal di Desa
Simpang Nungki masih memiliki hubungan kekerabatan.
Sehingga kegiatan pengajian dan selamatan juga rutin di
laksanakan bergiliran di rumah warga. Hal ini membuat
hubungan baik antara warga semakin terjalin. Kegiatan
serupa juga sering di laksanakan di kompleks
transmigran. Rasa senasib dan sepenanggungan membuat
masyarakat memiliki hubungan yang masih sangat dekat.
Jalan desa sudah di aspal, namun saat ini
keadaannya sudah sangat rusak karena alat-alat berat
perusahaan masuk ke area kebun melalui jalan desa
tersebut. Jalan desa yang terdapat pada kompleks
transmigran belum pernah di aspal namun pada tahun 2009
jalan tersebut dilapisi dengan pasir dan batu
menggunakan biaya dari program PNPM Mandiri. Sebagian
besar masyarakat Desa Simpang Nungki sudah memiliki
kendaraan pribadi berupa sepeda motor untuk memudahkan
transportasi ke luar desa. Namun, masyarakat juga masih
menggunakan klotok (kapal motor kecil) untuk transportasi
karena dianggap lebih efisien untuk beberapa hal.
4.5 Konteks Unit Pemukiman Transmigrasi Simpang Nungki
Unit Pemukiman Transmigran (UPT) Simpang Nungki dibuka
pada tahun 2005 sebagai salah satu daerah tujuan
program transmigrasi. Masuknya peserta transmigrasi ke
Desa Simpang Nungki dilakukan dalam tiga tahapan, yakni
tahun 2005, 2006, dan 2007. Derah asal transmigran
beragam yakni Jawa Barat (Bogor, Cianjur, Indramayu,
Cilacap, dll), Jawa Timur (Madiun,Lamongan, dan lain-
lain), Jawa Tengah (Brebes, Yogyakarta, Boyolali, dan
lain-lain), luar jawa (NTT, NTB, dan lain-lain),
masyarakat lokal dari Desa Simpang Nungki dan daerah
lain di Kalimantan Selatan. Masing-masing kepala
keluarga mendapatkan rumah dan tanah seluas 1,5 hektar
(satu hektar lahan usaha dan 0,5 hektar untuk lahan
pekarangan). Fasilitas lain yang didapat adalah
peralatan dapur dan jatah hidup yang diterima sebulan
sekali selama satu tahun yang terdiri dari beras,
minyak goreng, gula, ikan asin, sabun cuci, garam,
minyak tanah, kacang hijau, dan kecap. Transmigran juga
mendapatkan bantuan alat-alat pertanian yang sesuai
dengan kondisi wilayah dan saprodi (sarana produksi)
seperti pupuk dan bibit (sayur, buah, dan padi).
Suatu wilayah akan dinyatakan layak untuk dihuni
transmigran, setelah ada kunjungan dari petugas terkait
dan perwakilan transmigran untuk menilai apakah wilayah
dan fasilitas yang tersedia sudah cukup layak untuk
ditinggali. Seperti jalan, saluran air, kondisi rumah,
keadaan lahan, dan lain-lain. Namun, setelah semua
dinyatakan layak dan pemberangkatan transmigran di
laksanakan, masih ada transmigran yang pergi
meninggalkan rumah dan tanahnya. Data jumlah tansmigran
tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 4.1 Transmigran UPT Simpang Nungki Tahun 2011
Kategori Jumlah (KK) Persentase(%)
Transmigran Bertahan 121 37.23Transmigran Pergi 204 62.77Jumlah 325 100.00
Transmigran yang pergi meninggalkan UPT Simpang Nungki
sebagian adalah warga lokal yang berasal dari sekitar
Simpang Nungki yang lebih memilih untuk tinggal di
wilayah asalnya dan tidak menggarap lahannya.
Transmigran yang meninggalkan UPT Simpang Nungki kurang
dari 10 tahun penempatan lebih dari 50 persen. Hal ini
menyalahi aturan dan ketentuan terkait program
transmigrasi 3, namun juga menjadi hal yang banyak
terjadi di seluruh wilayah transmigrasi. Alasan
kepergian transmigran beragam, seperti kembali ke
daerah asal, mencari pekerjaan di tempat lain yang
lebih menjanjikan, ada juga yang mengajukan untuk
mengikuti program transmigrasi ke daerah lain. Kurang
lengkapnya fasilitas di UPT Simpang Nungki juga menjadi
alasan transmigran meninggalkan tempat tinggalnya. UPT
Simpang Nungki tidak memiliki jaringan listrik dan
saluran air bersih. Sehingga untuk mendapatkan air
bersih masyarakat harus menampung air hujan, karena air
tanah diwilayah ini asam. Jumlah kepala keluarga UPT
Simpang Nungki juga bertambah dengan masuknya para
pendatang yang tertarik untuk mengadu nasib di wilayah
tersebut. Hal ini sesuai dengan penuturan Bapak SHL (50
tahun)4 dan TTK (40 tahun)5.
3 Aturan dan ketentuan program transmigran dapat dilihat pada Lampiran4 Bapak SHL adalah kepala bagian Transmigrasi di Dinas Sosial,Tenaga Kerja, dan Transmigrasi Kabupaten Barito Kuala. Hasilwawancara tanggal 28 April 2011.
“Transmigran banyak meninggalkan UPT denganalasan sarana dan prasarana yang kurang baik.Padahal fasilitas yang diberikan sudah cukuplengkap untuk pemukiman yang baru dibukatermasuk fasilitas terkait pertanian. Keadaanwilayah juga sudah dijelaskan sebelum merekadiberangkatkan. Mereka sudah diberi pelatihan-pelatihan pertanian agar dapat bertahan di tempatyang baru. Tapi banyak yang pindah ke tempat lain.Bahkan memalsukan data untuk mengikuti programtransmigrasi ke daerah yang baru. Itulah yangmembuat dia tidak berhasil padahal teman-temanyang tetap bertahan dapat berhasil. Karena dia kanharus mulai lagi dari awal untuk adaptasi dan lain-lain.”
“ Yah disini ya seperti ini mbak. Panas, kering, tanahdan airnya asam. Tidak seperti di Jawa yang enak.Untuk mandi harus mengambil air di rumah orangyang punya diesel. Trus buat minum kami nampungair hujan. Kalo tidak ada hujan ya beli air di oranglokal. Kan mereka sudah ada PAM. Air PAM nggakbisa masuk sampai sini karena tanahnya lebihtinggi. Kalau listrik sih katanya Agustus mulai masukke sini.”
Program-program pengembangan masyarakat
transmigran juga beragam, seperti kredit usaha kecil,
PNPM Mandiri, dan bantuan pengembangan perkebunan dari
Dinas Kehutanan dan Perkebunan. Bantuan dana dari
program PNPM Mandiri digunakan masyarakat untuk
melapisi jalan Unit Pemukiman Transmigrasi dengan pasir
dan batu. Bantuan pengembangan perkebunan dari Dinas
Kehutanan dan Perkebunan berupa pembagian bibit karet
5 Bapak TTK adalah salah satu transmigran yang bertahan. Hasil wawancara 26 April 2011.
BAB V
DINAMIKA STRUKTUR AGRARIA UNIT PEMUKIMAN TRANSMIGRASI
(UPT) SIMPANG NUNGKI
5.1 Masa Pra Masuknya Komoditi Kelapa Sawit (2005 –
2006)
5.1.1 Sejarah Unit Pemukiman Transmigrasi Simpang
Nungki6
Desa Simpang Nungki adalah salah satu desa di wilayah
Kecamatan Cerbon yang memiliki lokasi strategis, yakni
dekat dengan jalan kabupaten yang menghubungkan
Kabupaten Banjar dengan Kabupaten Barito Kuala. Namun,
jumlah penduduk yang kecil dan pola pikir masyarakat
lokal yang masih tradisional membuat wilayah tersebut
sulit berkembang. Bapak EDS (50 tahun) selaku tokoh
Desa Simpang Nungki yang juga bekerja sebagai pegawai
kecamatan mendapatkan informasi dari Dinas Transmigrasi
Barito Kuala bahwa akan dipilih beberapa wilayah untuk
dijadikan lokasi transmigrasi. Tokoh masyarakat baik di
tingkat desa maupun kecamatan mengoordinasikan hal
tersebut dan mengajukan permohonan kepada dinas
terkait. Para tokoh berpendapat bahwa dengan dibukanya
Unit Pemukiman Transmigrasi di Desa Simpang Nungki,
maka wilayah tersebut dapat lebih cepat berkembang.
Persiapan suatu wilayah untuk dijadikan tujuan
transmigrasi berlangsung dalam beberapa mekanisme,
6 Berdasarkan penuturan informan kunci bapak EDS selaku tokohmasyarakat dan pegawai kecamatan pada tanggal 28 April 2011
seperti pelepasan dan pembukaan lahan, pembangunan
sarana dan prasarana dan pengecekan apakah tempat
tersebut sudah layak untuk dihuni atau belum.
Peserta program transmigrasi memiliki komposisi
yang berbeda sesuai dengan periode berlangsungnya
program tersebut. Saat ini, komposisi yang digunakan
adalah 50 persen penduduk lokal dan 50 persen adalah
pendatang. Keresediaan lahan yang tidak terlalu luas
membuat mekanisme pemberian lahan untuk penduduk lokal
sedikit berbeda. Pada umumnya lahan transmigrasi berada
dalam satu luasan wilayah, tapi di Desa Simpang Nungki
tidak demikian. Beberapa peserta transmigrasi lokal
tidak mendapatkan bagian lahan pekarangan sebagaimana
mestinya. Transmigran tersebut diperkenankan
mendaftarkan lahan pribadi yang dimiliki dan
mendapatkan ganti rugi sesuai dengan harga lahan pada
saat itu.
Unit pemukiman Transmigran (UPT) Simpang Nungki
dibuka pada tahun 2005. Peserta program transmigrasi
datang dalam tiga tahap yakni pada tahun 2005 sebanyak
150 kepala keluarga, tahun 2006 sebanyak 100 kepala
keluarga, dan pada tahun 2007 sebanyak 75 kepala
keluarga. Peserta transmigrasi mendapatkan fasilitas
pertanian berupa saprodi, bibit, dan lain-lain untuk
menunjang kegiatan pertaniannya. Oleh karena itu, jenis
komoditi masyarakat pun hampir sama yakni padi,
palawija, dan sayur-sayuran seperti benih-benih yang
dibagikan oleh Dinas Transmigrasi. Kondisi tersebut
mulai berubah setelah satu tahun penempatan, karena
transmigran lokal mulai kembali ke daerah asal setelah
jatah hidup tidak lagi diberikan oleh Dinas
Transmigrasi. Transmigran lokal lebih memilih untuk
tinggal di rumah sendiri karena sarana dan prasarana
yang tersedia lebih memadai dibandingkan di Unit
Pemukiman Transmigran (UPT). Transmigran lain yang
berasal dari luar Kalimantan Selatan juga mulai
meninggalkan lokasi transmigrasi untuk mencari
penghidupan yang lebih layak. Beberapa transmigran
memilih untuk pulang kembali ke daerah asalnya seperti
Jawa dan Lombok. Hal ini sesuai dengan penuturan SRI
(46 tahun) di bawah ini.7
“Masyarakat lokal tertarik mengikuti programtransmigrasi karena mendapatkan jadup selamasetahun. Setelah jadup habis, ya mereka kembalilagi ke rumah mereka. Transmigran asal Jawa danLombok juga banyak yang kembali ke daerah asalkarena tidak tahan. Sebagian besar lahanditinggalkan begitu saja. Ada juga yang masihsering ke sini Cuma untuk melihat lahan danrumahnya saja.”
5.1.2 Sistem Kepemilikan dan Penguasaan Lahan (Tenurial
System)
5.1.2.1 Status Kepemilikan dan Penguasaan Lahan
Transmigran Simpang Nungki mendapatkan lahan dari
program transmigrasi. Masing-masing kepala keluarga7 Hasil wawancara dengan transmigran pada tanggal 19 April 2011
mendapatkan lahan seluas 1,5 hektar dengan rincian 0,5
hektar lahan pekarangan dan satu hektar lahan usaha.
Kepemilikan lahan pada awal kedatangan transmigran
masih sama, kecuali transmigran lokal yang telah
memiliki lahan pribadi sebelum mengikuti program
transmigrasi. Transmigran berhak untuk menggarap lahan
usaha dan menempati lahan pekarangan. Bukti kepemilikan
tanah (sertifikat) akan diserahkan setelah lima tahun
menempati dan menggarap lahan tersebut sesuai dengan
ketentuan program transmigrasi. Hal tersebut berbeda
dengan masyarakat lokal yang umumnya hanya memiliki
Surat Keterangan Tanah (SKT) sebagai bukti kepemilikan
tanah yang dikeluarkan oleh kepala padang.
Program pembuatan sertifikat gratis oleh
pemerintah daerah Kabupaten Barito Kuala sedang
berlangsung, namun masyarakat Desa Simpang Nungki harus
menunggu giliran. Karena program tersebut bergilir
untuk tiap-tiap desa. Masyarakat harus mengajukan
permohonan kepada Badan Pertanahan Nasional untuk
pembuatan sertifikat tersebut. Pengajuan permohonan
dilakukan oleh pemerintah desa terkait. Namun banyak
masyarakat yang belum memiliki kesadaran tentang
pentingnya sertifikat tanah. Sehingga pemerintah desa
harus berusaha untuk memberikan pengertian kepada
masyarakat.
Seluruh rumah tangga yang ada di Desa Simpang
Nungki khususnya transmigran memiliki lahan pertanian.
Namun, pada masa ini telah terbentuk beberapa lapisan
status sosial masyarakat. Hal tersebut dikarenakan
transmigran juga menggarap lahan masyarakat lokal
melalui sistem bagi hasil dan juga menjadi buruh
pertanian untuk menambah penghasilan. Saat ini status
sosial masyarakat terdiferensiasi dalam beberapa
lapisan atau kategori yang terdiri dari lapisan tunggal
dan lapisan majemuk. Lapisan status tersebut adalah
sebagai berikut:
1. petani pemilik, yakni petani yang menguasai lahan
melalui pola pemilikan tetap;
2. pemilik+penggarap, yakni petani yang menguasai lahan
tidak hanya melalui pemilikan tetap tetapi juga
melalui pemilikan sementara (mengusahakan lahan orang
lain melalui sistem bagi hasil);
3. pemilik+buruh tani, yakni petani yang menguasai
lahan melalui pemilikan tetap. Selain itu, petani ini
juga menjadi buruh tani di lahan orang lain dan
perkebunan besar swasta untuk menambah penghasilan;
dan
4. pemilik+penggarap+buruh tani, yakni petani yang
menguasai lahan tidak hanya melalui pemilikan tetap
tetapi juga sementara (menggarap lahan orang lain
dengan sistem bagi hasil).
Petani yang hanya memiliki status tunggal sebagai
petani pemilik umumnya memiliki mata pencaharian lain
selain sebagai petani seperti pedagang, pegawai
pemerintah, wiraswasta, dan sebagainya. Petani yang
berstatus sebagai penggarap umumnya menggarap lahan
yang dimiliki oleh masyarakat lokal yang berada di luar
kompleks lahan transmigran. Buruh tani adalah salah
satu pilihan bagi para transmigran untuk menambah
pendapatan rumah tangga. Masyarakat lebih tertarik
untuk menjadi buruh tani karena resiko yang ditanggung
lebih kecil dibandingkan dengan menjadi penggarap yang
membutuhkan modal lebih besar.
5.1.2.2 Sistem Transfer Kepemilikan Lahan Pertanian
Pemindahan kepemilikan lahan transmigran dalam kurun
waktu kurang dari sepuluh tahun atau setidaknya sebelum
sertifikat lahan turun adalah hal yang melanggar hukum.
Proses transfer kepemilikan lahan pada masa awal
penempatan masih sangat jarang terjadi. Harga tanah
juga masih rendah. Harga tanah kapling (bukan lahan
transmigran) tahun 2005 sekitar Rp 300.000,- sampai Rp
500.000,- per hektar. Sedangkan tanah transmigran yang
telah bersertifikat sekitar Rp 1.500.000,- sampai Rp
2.000.000,- per kapling lahan usaha (dua hektar). Pada
masa ini transfer kepemilikan melalui ganti rugi banyak
terjadi pada kasus tanah kapling yang dimiliki
masyarakat lokal. Lahan kapling adalah lahan yang
dibuka oleh masyarakat lokal, sebagian besar belum
memiliki sertifikat dan hanya memiliki SKT (Surat
Keterangan Tanah). Lahan kapling terletak di luar
kompleks pemukiman warga sekitar satu sampai tiga
kilometer. Hal ini sebagaimana di jelaskan oleh SHT (45
tahun)8.
“Sebelum tahun 2007, proses jual beli banyak terjadipada lahan kapling, karena harganya murah danmemiliki SKT. Harganya Cuma 300-500 ribu rupiah.Kalau lahan transmigran kan masih belumbersertifikat dan dilarang untuk digantirugikan.”
Sistem transfer kepemilikan lain yang ada di Unit
Pemukiman Transmigran Simpang Nungki adalah pemindahan
hak kepemilikan lahan kepada saudara atau anak seperti
yang dibenarkan dalam ketentuan transmigrasi. Sistem
tersebut hampir sama dengan waris. Jika hal tersebut
dilakukan sebelum sertifikat diserahkan kepada
transmigran, maka proses pemindahan harus melalui
tahapan yang ditentukan. Transmigran yang ingin
memberikan haknya kepada anak atau saudara harus
melapor dan mengajukan permohonan kepada dinas
transmigrasi. Sistem transfer kepemilikan sebelum kurun
waktu 10 tahun kepada orang lain tidak diperbolehkan.
Jika transmigran pergi meninggalkan UPT tanpa izin dari
kepala UPT dan melampaui batas waktu yang ditoleransi,
maka haknya sebagai transmigran akan dicabut. Proses
pemberian hak transmigran yang telah pergi kepada yang
baru tidak dapat dilakukan secara langsung. Transmigran
pengganti akan dipilih dari dinas transmigrasi daerah
asal transmigran yang pergi. Transmigran pengganti8 Bapak SHT adalah sekretaris Kecamatan Cerbon sekaligus wakilketua Koperasi Desa Simpang Nungki. Hasil wawancara tanggal 3 Mei2011.
harus melalui proses yang sama dengan transmigran
sebelumnya, yakni melalui proses pendaftaran, seleksi,
pelatihan dan lain-lain. Oleh karena itu tidak
dibenarkan jika seorang transmigran memberikan haknya
kepada pendatang yang menggantikannya di lokasi UPT.
5.1.3 Sistem Kelembagaan (Tenancy System)
Masyarakat lokal Simpang Nungki memiliki luas
kepemilikan lahan yang beragam. Biaya besar yang harus
dikeluarkan untuk menggarap lahan membuat petani dengan
kepemilikan lahan luas tidak menggarap semua lahannya.
Hal tersebut juga dipengaruhi oleh sistem pertanian
masyarakat lokal Simpang Nungki yang masih bersifat
subsisten (untuk memenuhi kebutuhan sendiri). Banyak
lahan yang dibiarkan bera dan ditumbuhi rumput liar. Hal
ini menjadi peluang bagi transmigran dan masyarakat
berlahan sempit untuk menggarap lahan-lahan tersebut.
Sistem kelembagaan yang dijalankan Desa Simpang Nungki
adalah sistem bagi hasil.
Aturan-aturan bagi hasil berlaku untuk sekali masa
panen. Bagi hasil ini menggunakan pola aturan pemilik
lahan akan mendapatkan bagian 1 blek (kaleng) gabah atau
setara dengan 10 kilogram per borong luas lahan yang
digarap. Aturan-aturan tambahan diberlakukan sesuai
kesepakatan. Misalnya, jika pembersihan lahan dilakukan
oleh pemilik maka penggarap akan memberikan sejumlah
uang sebagai uang jasa. Besar uang yang diberikan
sesuai dengan luasan lahan dan kesepakatan antara
pemilik dengan penggarap. Ukuran lahan yang digunakan
adalah per borong atau setara dengan 17 X 17 meter.
Masyarakat lokal kadang juga menggunakan ukuran hektar
untuk lahannya.
Rasa saling percaya antar masyarakat Simpang
Nungki masih sangat tinggi. Proses pembuatan
kesepakatan-kesepakatan dilakukan dengan cara
kekeluargaan. Termasuk dalam urusan tanah. Penggarap
kadang tidak mengetahui pemilik tanah yang digarapnya.
Penggarap biasanya menentukan kesepakatan-kesepakatan
dengan perantara atau wakil dari pemilik lahan.
Kesepakatan yang telah dibuat tidak di buat secara
tertulis namun hanya berupa pembicaran saja. Hal ini
seperti pengakuan TTK (40 tahun) di bawah ini9.
“Saya nggak tau siapa pemilik lahan yang sayagarap. Waktu itu perantara saya adalah Pak WSN.Katanya itu tanah saudaranya dan boleh digarapdengan sistem bagi hasil. Yah dasarnya salingpercaya aja. Tiap satu borong lahan saya harusngasih pemiliknya satu blek gabah.”
5.1.4 Pemanfaatan Lahan
Transmigran yang ditempatkan di Unit Pemukiman
Transmigrasi (UPT) Simpang Nungki mendapatkan benih-
benih tanaman pertanian, pupuk dan alat-alat pertanian.
Benih yang dibagikan berupa benih padi, palawija, sayur
dan buah-buahan. Pada awal kedatangan, transmigran9 Hasil wawancara dengan transmigran tanggal 26 April 2011.
menanam semua jenis benih yang diberikan oleh Dinas
Transmigrasi. Namun, tidak semua benih dapat ditanam
dengan baik dan menghasilkan. Hal tersebut karena
keadaan lingkungan yang berbeda dengan daerah asal
sehingga kemampuan bertani para transmigran kurang
sesuai. Berikut disajikan jenis komoditi yang ditanam
masyarakat pada awal kedatangan di UPT Simpang Nungki
dan sebelum masuknya komoditi kelapa sawit (tahun 2005
sampai pertengahan 2006).
Tabel 5.1 Komoditi Pertanian Masyarakat UPT SimpangNungki Tahun 2005 - 2006
Kategori Petani KomoditiPadi Palawija Jeruk
I VII vIII V VIV V V vV V vVI V v
Berdasarkan data di atas, sebagian masyarakat lebih
memilih untuk menanam beberapa komoditi yang berbeda
dalam satu waktu. Komoditi padi pada umumnya disimpan
masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pribadi dan akan
dijual jika ada sisa hasil produksi atau saat
membutuhkan uang. Sedangkan komoditi seperti palawija,
jeruk ataupun sayuran (masyarakat lokal) biasanya
dijual. Hal tersebut seperti dijelaskan oleh Khan
(1974) dalam Fadjar (2009) tentang moda produksi
masyarakat. Petani dengan komoditi pertanian padi
adalah ciri dari moda produksi pertanian subsisten
yakni untuk memenuhi kebutuhan sendiri, sedangkan untuk
sayuran dan palawija adalah ciri dari moda produksi
komersial yakni moda produksi yang telah mengenal
pasar.
5.2 Proses Masuknya Komoditi Kelapa Sawit (2006-2011)
5.2.1 Sejarah Masuknya Komoditi Kelapa Sawit
Komoditi kelapa sawit mulai gencar dikembangkan di
wilayah Kalimantan Selatan sejak tahun 2006. Hal
tersebut ditandai dengan dibangunnya beberapa
perkebunan besar swasta di wilayah Kalimantan Selatan.
Pada tahun 2007 tiga perusahaan besar swasta yang
bergerak di bidang perkebunan kelapa sawit mendapatkan
izin lokasi di wilayah Kabupaten Barito Kuala. Sejak
keluarnya izin lokasi tersebut, maka wacana pembangunan
kebun plasma juga dibuat. Perusahaan yang letaknya
berada di sekitar Unit Pemukiman Transmigrasi (UPT)
Simpang Nungki adalah PT PBB yang berada di perbatasan
Desa Simpang Nungki dan PT ABS yang berada di wilayah
Kecamatan Jejangkit yang berbatasan langsung dengan
Kecamatan Cerbon. Surat Izin Usaha kedua perusahaan
tersebut diterbitkan pada tahun 2007, namun pembangunan
sarana dan prasarana perusahaan sudah mulai dilakukan
pada pertengahan 2006. Penduduk Desa Simpang Nungki
khususnya transmigran banyak menjadi buruh lepas di dua
perusahaan tersebut. Saat ini, PT ABS memiliki keadaan
yang lebih stabil dibandingkan dengan PT PBB. Hal
tersebut dikarenakan PT PBB beberapa kali mengalami
pemindahan kepemilikan dan pergantian manajemen.
Kondisi tersebut membuat realisasi pembangunan kebun
plasma PT PBB sampai menjadi terhambat. Masuknya dua
perusahaan besar di sekitar wilayah Desa Simpang Nungki
membawa informasi baru tentang komoditi dan kebun
kelapa sawit kepada masyarakat Desa Simpang Nungki.
Sumber lain pengetahuan masyarakat tentang
perkebunan dan komoditi kelapa sawit adalah dari Dinas
Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Barito Kuala melalui
program pengembangan perkebunan. Program tersebut
bernama “Sharing Bibit Kelapa Sawit” untuk luasan 75
hektar. Dana pelaksanaan program ini berasal dari Dinas
Kehutanan dan Perkebunan tingkat I Provinsi Kalimantan
Selatan dan tingkat II Kabupaten Barito Kuala. Bantuan
tersebut berupa dana pembersihan lahan, saprodi
(herbisida, pertisida, dan pupuk), pembuatan gundukan,
pemasangan ajir, dana penanaman, dan bibit kelapa
sawit. Sosialisasi tentang perkebunan kelapa sawit
terkait keuntungan, tata cara penanaman dan perawatan
beberapa kali dilakukan oleh Dinas Perkebunan dan
Kehutanan Tingkat I Kalimantan Selatan sebelum
pembagian bibit dan lainnya. Hal ini membuat masyarakat
yang awam tentang kelapa sawit mulai mengenal kelapa
sawit sebagai komoditas baru yang menguntungkan.
Pemerintah Kecamatan Cerbon juga berpendapat bahwa
perkebunan kelapa sawit memiliki dampak positif
terhadap kemajuan ekonomi masyarakat. Oleh karena itu
pemerintah Kecamatan Cerbon juga membuat beberapa
program untuk mendukung program pengembangan perkebunan
kelapa sawit. Program-program tersebut adalah studi
banding petani dan beberapa tokoh desa-desa yang ada di
wilayah Barito Kuala ke petani kelapa sawit Kecamatan
Pelaihari yang telah lebih dulu menanam kelapa sawit.
Interaksi masyarakat dengan karayawan perkebunan juga
menambah wawasan dan pengetahuan masyarakat.
5.2.2 Sistem Kepemilikan dan Penguasaan Lahan (Tenurial
System)
5.2.2.1 Status Kepemilikan dan Penguasaan Lahan
Sertifikat tanah masyarakat UPT Simpang Nungki
diserahkan secara bertahap pada tahun 2010, 2011, dan
2012 sesuai dengan tahun kedatangan. Beberapa kasus
perginya transmigran dari lokasi transmigrasi membuat
pembagian sertifikat pada tahun 2010 sedikit terhambat.
Dinas Transmigrasi Kabupaten Barito Kuala meminta Badan
Pertanahan Nasional (BPN) untuk menahan sertifikat
masyarakat sampai pendataan selesai. Hal tersebut
berpengaruh pada terhambatnya perencanaan dan
pelaksanaan pembangunan kebun plasma di UPT Simpang
Nungki karena belum semua masyarakat memiliki
sertifikat tanah.
Harga tanah semakin tinggi. Pendatang mulai masuk
ke Desa Simpang Nungki seiring dengan berkurangnya
jumlah transmigran yang bertahan. Masyarakat menyadari
nilai tanah akan semakin tinggi dan menarik minat orang
luar Desa Simpang Nungki untuk memilikinya. Hal
tersebut berkaitan dengan wacana pembangunan PT PBB
yang akan di laksanakan pada akhir tahun 2011. Pada
tahun 2005-2009 pembukaan lahan besar-besaran di
lakukan oleh tokoh masyarakat dan dibagikan kepada
masyarakat lokal. Masing-masing kepala keluarga
mendapatkan bagian dua kapling tanah. Pada akhir tahun
2009, pemerintah mengeluarkan kebijakan yang melarang
pembukaan lahan negara.
Seluruh rumah tangga yang ada di Desa Simpang
Nungki khususnya di Unit Pemukiman Transmigrasi (UPT)
memiliki lahan pertanian. Data hasil sensus rumah
tangga petani di UPT Simpang Nungki, status sosial
masyarakat terdiferensiasi dalam beberapa lapisan atau
kategori yang terdiri dari lapisan tunggal dan lapisan
majemuk seperti pada masa sebelum masuknya komoditi
kelapa sawit. Struktur agraria masyarakat pada periode
ini masih menunjukkan gejala stratifikasi dan belum
mengarah para proses polarisasi. Lapisan status
tersebut adalah sebagai berikut:
1. petani pemilik, yakni petani yang menguasai lahan
melalui pola pemilikan tetap sebanyak 22 rumah
tangga;
2. pemilik+penggarap, yakni petani yang menguasai lahan
tidak hanya melalui pemilikan tetap tetapi juga
melalui pemilikan sementara (mengusahakan lahan orang
lain melalui sistem bagi hasil) sebanyak dua rumah
tangga;
3. pemilik+buruh tani, yakni petani yang menguasai
lahan melalui pemilikan tetap. Selain itu, petani ini
juga menjadi buruh tani di lahan orang lain dan
perkebunan besar swasta untuk menambah penghasilan
sebanyak 99 rumah tangga; dan
4. pemilik+penggarap+buruh tani, yakni petani yang
menguasai lahan tidak hanya melalui pemilikan tetap
tetapi juga sementara (menggarap lahan orang lain
dengan sistem bagi hasil) sebanyak 11 rumah tangga.
Selain itu, masyarakat juga menjadi buruh tani di
lahan orang lain dan perkebunan swasta untuk menambah
penghasilan. Jumlah petani tiap lapisan di UPT
Simpang Nungki dapat dilihat pada tabel di bawah ini
(tabel 5.2).
Jenis lapisan-lapisan tersebut sama dengan jenis
lapisan pada masa sebelum masuknya komoditi kelapa
sawit. Namun, jumlah petani tiap lapisan mengalami
perubahan. Informan kunci Pak SRI (46 tahun)
berpendapat bahwa setelah adanya perusahaan kelapa
sawit, sulit mencari buruh pertanian karena banyak yang
menjadi buruh lepas di perusahaan10. Para petani juga
lebih memilih untuk menjadi buruh lepas perusahaan
dibandingkan menjadi penggarap lahan masyarakat lokal.
Berikut data kategori petani berdasarkan status
kepemilikan lahannya.
Tabel 5.2 Jumlah Petani Berdasarkan Kategori Petani,
2011
Kategori Petani Jumlah KK
Persentase(%)
Petani Pemilik 22 16,42Petani Pemilik + Penggarap 2 1,49Petani Pemilik + Buruh Tani 99 73,88Petani Pemilik +Penggarap + Buruh Tani 11 8,21
Jumlah 134 100,00
Tabel di atas menunjukkan bahwa mayoritas petani UPT
Simpang Nungki berstatus sebagai petani pemilik+buruh
tani. Buruh tani yang dimaksud dalam kasus ini bukan
hanya buruh tani di lahan masyarakat yang lain tetapi
juga buruh lepas di perkebunan besar swasta yang
letaknya tak jauh dari UPT Simpang Nungki. Sawah di
Desa Simpang Nungki adalah sawah pasang surut yang umur
tanamnya selama 6 bulan sehingga masyarakat memiliki
banyak waktu luang saat masa tanam selesai dan memasuki
masa tunggu. Begitu juga dengan masyarakat yang menanam
kelapa sawit yang memiliki banyak waktu luang. Waktu10 Hasil wawancara dengan warga transmigran UPT Simpang Nungki pada tanggal 5 Mei 2011
luang tersebut dapat di manfaatkan untuk bekerja
sebagai buruh lepas perkebunan kelapa sawit.
Penghasilan dari pekerjaan sebagai buruh sangat
membantu untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Kepemilikan lahan masyarakat mengalami sedikit
pergeseran pada masa ini. Transmigran yang meninggalkan
Unit Pemukiman Transmigrasi (UPT) Simpang Nungki
mencapai lebih dari 50 persen dari jumlah transmigran
awal. Hasil survei kepemilikan lahan tercatat hanya 121
kepala keluarga transmigran yang masih menetap di UPT
Simpang Nungki. Sehingga dapat diketahui sekitar 204
transmigran meninggalkan kompleks transmigrasi.
Sebagian besar transmigran yang berasal dari luar
Kalimantan Selatan memilih untuk mengalihkan
kepemilikan melalui ganti rugi kepada transmigran
maupun pendatang. Berikut data transmigran UPT Simpang
Nungki berdasarkan kepemilikan lahan.
Tabel 5.3 Jumlah Transmigran Berdasarkan Luas Lahan,2011
Luas Lahan (Ha) Jumlah (KK) Persentase (%)0,5 1 0,831,5 108 89,26
2 - 4,5 11 9,0815 1 0,83
Jumlah 121 100,00
Tabel di atas menunjukkan ada satu KK yang mengalami
penurunan luas lahan dan satu KK yang mengalami
peningkatan luas lahan yang signifikan hingga mencapai
15 hektar. Pemilik 15 hektar lahan transmigran ini jug
amemiliki lahan kapling yang dibeli dari masyarakat
lokal11. Kepergian transmigran dengan beragam alasan
membuka kesempatan bagi masyarakat bermodal besar untuk
memperluas lahan yang dimiliki. Hal tersebut juga
membuka kesempatan bagi pendatang untuk masuk.
Berdasarkan data hasil sensus kepemilikan lahan di UPT
Simpang Nungki tercatat sembilan kepala keluarga yang
datang dan tinggal di pemukiman transmigrasi pada tahun
2009 dan 2010. Pendatang masuk ke wilayah UPT Simpang
Nungki karena daerah tersebut dianggap strategis.
Letaknya yang tidak jauh dari Kota Kabupaten dan berada
di wilayah perkebunan kelapa sawit membawa daya tarik
ekonomi bagi para pendatang. Berikut data kepemilikan
lahan pendatang pada tahun 2011.
Tabel 5.4 Jumlah Pendatang Berdasarkan Luas Lahan, 2011Luas Lahan (Ha) Jumlah (KK) Persentase (%)
1,5 7 77,782 1 11,112,5 1 11,11
Jumlah 9 100,00
Tabel di atas menyebutkan bahwa sebagian pendatang
memiliki lahan seluas 1,5 hektar. Lahan ini diperoleh
melalui proses ganti rugi lahan transmigran yang pergi
meninggalkan kompleks transmigrasi. Pembeli lahan11 Pemilik lahan terluas ini adalah EDS (50 tahun) yang menjadiinforman dalam penelitian ini. Bapak EDS adalah tokoh masyarakatSimpang Nungki dan juga Kasie Bina Ketentraman dan KetertibanMasyarakat Kecamatan Cerbon. Hasil wawancara tanggal 5 Mei 2011.
transmigran yang pergi meninggalkan UPT Simpang Nungki
tidak hanya pendatang yang menetap di wilayah tersebut.
Pemilik modal yang berdomisili di Kabupaten Banjar juga
membeli lahan transmigran. Hal ini sesuai dengan
penuturan informan, yakni Pak SRI (46 tahun):
“Sejak adanya wacana pembangunan kebun plasma,orang luar seperti Banjar dan sekitarnya banyakyang membeli lahan transmigran dan lahan kapling.Dari seluruh lahan yang ditinggal pergi pemiliknya,sekitar 25 persen yang mengalami ganti rugi. 10persen diganti rugi orang-lokal dan transmigranlokal seperti Pak EDS, 10 persen diganti rugi olehorang luar tadi, dan 5 persen di ganti rugi olehsesama transmigran atau pendatang.”
5.2.2.2 Sistem Transfer Kepemilikan Lahan Pertanian
Status kepemilikan lahan UPT Simpang Nungki secara umum
belum banyak mengalami perubahan. Sebagian besar
transmigran yang berasal dari daerah sekitar Simpang
Nungki meninggalkan lahan transmigrasi tanpa adanya
pemindahan kepemilikan. Sehingga hak milik lahan masih
atas nama transmigran tersebut. Hal tersebut
dikarenakan masyarakat lokal lebih nyaman untuk tinggal
di daerah asal dengan fasilitas yang lebih lengkap
dibandingkan wilayah UPT yang baru dibuka. Sebagian
transmigran yang kembali ke daerah asal tidak bisa
menjual lahan karena peraturan dan ketentuan terkait
transmigrasi menyebutkan bahwa peralihan kepemilikan
lahan transmigran di bawah 10 tahun merupakan hal yang
illegal. Selain itu, pembeli kurang berminat membeli lahan
transmigrasi yang belum bersertifikat. Namun beberapa
kasus proses transfer kepemilikan lahan transmigran
tetap berlangsung. Sistem transfer kepemilikan yang ada
di Desa Simpang Nungki umumnya waris dan ganti rugi.
Sistem waris yang dilakukan di Desa Simpang Nungki
adalah sistem waris yang sesuai dengan aturan agama
Islam, karena seluruh masyarakat Desa Simpang Nungki
beragama Islam. Pada wilayah transmigrasi sistem
transfer kepemilikan yang umum dilakukan adalah ganti
rugi. Data di lapang menyatakan bahwa hampir 25 persen
lahan transmigrasi sudah mengalami pindah kepemilikan.
Proses transfer kepemilikan lahan transmigrasi ini
terjadi secara sembunyi-sembunyi.
Harga lahan pada masa ini sudah semakin tinggi
baik lahan transmigran maupun lahan kapling. Lahan
transmigran yang sudah memiliki sertifikat memiliki
harga sekitar Rp 3.500.000,- sampai Rp 5.000.000,-
sesuai dengan keadaan lahan. Wacana pembangunan kebun
plasma perusahaan dan dibangunnya jalan antar kabupaten
membuat daya tarik bagi pemilik modal di luar Desa
Simpang Nungki untuk membeli lahan masyarakat.
5.2.3 Sistem Kelembagaan (Tenancy System)
Sistem kelembagaan terkait dengan penguasaan lahan
melalui sistem bagi hasil tidak mengalami perubahan
pada masa ini. Namun, minat masyarakat untuk menggarap
lahan dengan sistem bagi hasil mulai menurun.
Masyarakat terutama transmigran lebih memilih untuk
menjadi buruh lepas di perkebunan kelapa sawit. Upah
menjadi buruh lepas perkebunan sekitar Rp 37.000,-
sampai Rp 47.000,- per hari. Perkebunan besar swasta
harus bersaing dalam mendapatkan tenaga kerja karena
banyaknya tenaga kerja yang dibutuhkan perkebunan
sedangkan jumlah penduduk yang masih terbatas.
PT PBB memiliki mekanisme tersendiri dalam
menerima pekerja perkebunan. Para calon buruh harus
mendaftar dulu melalui pembakal (kepala desa) untuk
mendapatkan rekomendasi. Hal ini dilakukan untuk
mencegah adanya pekerja yang tidak bertanggung jawab.
Namun mekanisme ini justru membuat masyarakat lebih
memilih bekerja di PT ABS yang letaknya lebih jauh.
Karena upah buruh PT PBB yang masuk melalui pembakal
harus dipotong sebagai uang jasa yang akan diberikan
kepada pembakal. Potongan upah tersebut sekitar Rp
13.000,- per orang. Sehingga pekerja hanya menerima
upah sebesar Rp 30.000,- saja. Sedangkan di PT ABS upah
yang didapatkan sebesar Rp 47.000,- tanpa harus ada
potongan. Hal sesuai dengan penuturan EDS (50 tahun) di
bawah ini12.
“PT PBB itu, sekarang kebingungan mencari buruh,karena masyarakat sini pindah ke PT ABS yangupahnya lebih besar karena tidak ada potongan.Hari Jumat yang Cuma kerja setengah hari upahnyajuga tetap penuh. Yah resikonya harus berangkatlebih pagi, tapi dari perusahaan disediakan klotok
12 Hasil wawancara dengan tokoh masyarakat pada tanggal 20 April 2011.
yang mengantar jemput dari sungai besar sana. Jadienak tidak perlu mengeluarkan biaya lagi.”
Rancana pembangunan kebun plasma di Unit Pemukiman
Transmigrasi (UPT) Simpang Nungki memerlukan beberapa
sarana dan prasarana khusus yang harus dipersiapkan
terlebih dahulu. Salah satu sarana yang penting adalah
koperasi anggota yang akan bertanggung jawab pada
penjualan Tanda Buah Segar (TBS) petani plasma ke
perusahaan. Saat ini, struktur koperasi sudah terbentuk
dan sudah memiliki badan hukum. Namun, kesepakatan-
kesepakatan baik antara koperasi dengan perusahaan
maupun antara koperasi dengan anggota terkait kebun
plasma belum dibuat. Persiapan-persiapan yang dilakukan
untuk mempersiapkan pembangunan plasma adalah pendataan
anggota koperasi yang akan memplasmakan lahannya.
Penandatanganan kesepakatan terkait kebun plasma
anatara perusahaan dengan koperasi dan petani belum
dapat dilaksanakan karena sertifikat tanah masyarakat
belum semua turun.
Proses masuknya komoditi kelapa sawit dalam
masyarakat transmigran Simpang Nungki adalah pertanda
masuknya moda produksi baru yakni moda produksi
kapitalis. Pada periode ini, masyarakat mulai mengenal
moda produksi kapitalis. Perubahan moda produksi
tersebut berjalan perlahan seiring pelaksanaan program
plasma.
5.2.4 Pemanfaatan Lahan
Pemanfaatan lahan pertanian masyarakat Unit Pemukiman
Transmigrasi (UPT) Simpang Nungki mengalami pergeseran
yang cukup signifikan sejak masuknya komoditi kelapa
sawit. Perubahan komoditi pertanian masyarakat menjadi
kelapa sawit lebih besar dibandingkan komoditi
perkebunan yang lebih dulu masuk yakni karet.
Masyarakat yang awalnya menanam padi, palawija, dan
jeruk mulai menanam bibit kelapa sawit di lahan yang
belum digarap. Beberapa petani menanam kelapa sawit dan
jeruk di lahan yang sama karena perawatan lahannya
tidak jauh berbeda. Berikut disajiakan data perubahan
komoditi pertanian masyarakat berdasarkan tahun.
Tabel 5.5 Jumlah Petani Kelapa Sawit Berdasarkan TahunPerubahan Komoditi Pertanian Tahun 2005 - 2010
Tahun Jumlah KK Persentase (%)2005 0 02006 2 3,082007 11 16,922008 27 41,542009 21 31,312010 4 6,15Jumlah 65 100,00
Masyarakat yang memutuskan untuk menanam kelapa sawit
di lahannya sebagian besar juga menanam komoditi lain
yang lebih cepat menghasilkan. Misalnya saja kelapa
sawit dan palawija, padi, atau jeruk. Hal itu dilakukan
masyarakat untuk menunjang kebutuhan sehari-hari karena
masa panen kelapa sawit dapat dinikmati setelah empat
tahun masa tanam. Mayoritas petani yang menanam sawit
pada masa ini adalah transmigran pendatang. Transmigran
lokal lebih memilih untuk menanam komoditi yang telah
biasa ditanam. Transmigran lokal lebih memilih untuk
menjual bibit sawit dan pupuk yang didapat dari program
pengembangan perkebunan kelapa sawit.
Lahan pertanian masyarakat UPT Simpang Nungki
banyak yang dibirakan menganggur atau tidak digarap
karena serangan hama tikus yang merusak kebun kelapa
sawit warga saat air pasang. Modal yang besar untuk
menanam kelapa sawit secara mandiri memberatkan warga.
Begitu juga dengan komoditi pertanian selain kelapa
sawit. Kesuburan tanah yang semakin menurun dan iklim
yang tidak berubah-ubah membuat perawatan lahan
pertanian semakin mahal. Keadaan tersebut membuat warga
dengan modal kecil lebih memilih menjadi buruh lepas
perkebunan dibandingkan menggarap lahannya.
Gambar 4. Minat Petani Terhadap Program Plasma
Minat masyarakat akan semakin besar untuk membuka
kebun kelapa sawit. Permasalahan tidak adanya modal
atau pengetahuan tatacara perawatan kebun yang baik dan
alur proses hasil produksi pasca kebun dapat diatasi
dengan program plasma-inti. Berdasarkan survei yang
dilakukan kepada transmigran yang tinggal di UPT
Simpang Nungki, seratus persen masyarakat mengaku
sangat berminat untuk beralih komoditi menjadi kelapa
sawit. Sedangkan tidak semua petani berminat untuk
mengikuti program plasma seperti dijelaskan pada gambar
4 di atas.
Data di atas menjelaskan bahwa hampir semua masyarakat
Unit Pemukiman Transmigrasi (UPT) Simpang Nungki
berminat dan berencana untuk menikuti program plasma
yang diselenggarakan oleh PT PBB. Masyarakat yang tidak
berminat memplasmakan lahannya hanya sekitar 13% saja.
Mayoritas masyarakat yang tidak berminat untuk
memplasmakan lahannya adalah petani yang telah
membangun perkebunan kelapa sawit secara mandiri.
Masyarakat rata-rata memiliki modal yang cukup untuk
membangun dan merawat kebunnya sendiri. Masyarakat
beranggapan bahwa keputusan bergabung dengan program
plasma-inti akan merugikan petani karena kredit yang
diajukan oleh perusahaan sangat memberatkan.
5.3 Pasca Masuknya Komoditi Kelapa Sawit dan Perubahan
Agraria Lokal
5.3.1 Sistem Kepemilikan dan Penguasaan Lahan (Tenurial
System)
5.3.1.1 Status Kepemilikan dan Penguasaan Lahan
Masyarakat telah mengenal komoditi kelapa sawit dengan
sangat baik pada masa ini. Transmigran telah
mendapatkan sertifikat sebagai bukti kepemilikan resmi
atas lahan yang didapatkan dari program transmigrasi.
Kebun plasma juga sudah dibangun. Kepemilikan lahan
oleh orang luar atau pemodal juga semakin terlihat.
Program plasma-inti kelapa sawit menarik perhatian
pemilik modal yang berasal dari luar wilayah Simpang
Nungki bahkan dari luar Kabupaten Barito Kuala untuk
memiliki lahan dan ikut menjadi bagian dalam program
tersebut. Masuknya komoditi baru membawa perubahan
terhadap moda produksi masyarakat yang awalnya bersifat
subsisten-komersil menjadi moda produksi kapitalis
yaitu usaha padat modal dimana hubungan produksi
mencakup struktur majikan-buruh atau “pemilik modal –
pemilik tenaga”. Perubahan ini ditandai dengan masuknya
pendatang ke Desa Simpang Nungki yang berprofesi
sebagai buruh perkebunan.
Pendatang yang bermatapencaharian tunggal sebagai
buruh adalah salah satu penanda bahwa struktur agraria
masyarakat terdiferensiasi ke dalam lebih banyak
lapisan. Lapisan struktur agraria juga bertambah dengan
munculnya sektor jasa atau profesi non petani dalam
hubungan produksi masyarakat seperti penyedia saprotan,
pedagang pengumpul, dan sebagainya. Perubahan moda
produksi pertanian masyarakat menjadi moda produksi
kapitalis yang padat modal menimbulkan tekanan bagi
petani bermodal kecil. Dampak lain dari perubahan moda
produksi pertanian adalah munculnya golongan tunakisma
di wilayah tersebut.
5.3.1.2 Sistem Transfer Kepemilikan Lahan Pertanian
Proses tansfer jual beli akan banyak terjadi pada saat
proses pembangunan kebun plasma. Jeda waktu antara
pembagian sertifikat lahan dan pendaftaran peserta
program plasma akan memberi kesempatan bagi para
pemodal bagi dari luar maupun sekitar Desa Simpang
Nungki untuk mengganti rugi lahan transmigran. Pada
saat ini harga lahan sudah semakin tinggi dibandingkan
pada periode masuknya komoditi kelapa sawit. Harga
lahan akan semakin tinggi saat lahan telah dikonversi
dan kebun kelapa sawit sudah dapat menghasilkan.
Seperti diungkapkan oleh EDS ( 50 tahun) dibawah ini13.
“Harga tanah pasti akan meningkat karena kebunsawit kan sudah ada jadi lebih meyakinkan. Apalaginanti pasti sudah bersertifikat semua. Sekarang sajaorang luar dari Banjar sudah banyak yang membelitanah disini. Hari ini saja (pada saat wawancara)saya mau mengantar orang melihat tanah. Yang
13 Hasil wawancara dengan tokoh masyarakat pada tanggal 30 April 2011
perlu dikhawatirkan kan orang kampung, hargatanah naik sedikit saja mereka sudah inginmenjualnya. Nah natinya kan mereka hanya bisajadi penonton di tanahnya sendiri.”
Program plasma memiliki ketentuan minimal luas
lahan yang harus dimiliki oleh peserta program. Jika
dilihat dari kepemilikan lahan masyarakat UPT Simpang
Nungki saat ini, maka ada satu kepala keluarga yang
tidak dapat mengikuti program tersebut karena luas
lahannya hanya 0,5 hektar dengan kata lain transmigran
ini sudah tidak memiliki lahan usaha. Tekanan yang ada
akan membuat petani bermodal kecil dan berlahan sempit
tersebut menjual lahannya jika tidak mampu bertahan dan
beradaptasi. Namun, jika petani mampu beradaptasi maka
lahan yang dimiliki dapat dipertahankan. Lahan
plasma akan di konversi dalam waktu sekitar empat
tahun. Selama empat tahun, petani harus mencari nafkah
selain dari lahannya. Pada masa ini, petani plasma
banyak yang bekerja sebagai buruh lepas perusahaan.
Proses transfer kepemilikan lahan sulit dilakukan pada
masa ini karena sertifikat lahan diserahkan pada bank
untuk memeroleh kredit. Namun, bagi petani dengan
keadaan ekonomi menengah ke bawah tekanan untuk
menjual lahan tetap besar. Kebutuhan yang besar dan
harga tanah yang tinggi menjadi tekanan bagi petani
untuk menjual lahannya. Mekanisme transfer kepemilikan
lahan dan kebun plasma di sesuaikan dengan kondisi yang
ada.
5.3.2 Sistem Kelembagaan (Tenancy System)
Sistem kelembagaan yang ada mulai mengalami perubahan
pada masa ini, misalnya sistem kelembagaan bagi hasil
yang sulit diterapkan karena hampir semua lahan
masyarakat telah diikutsertakan dalam program inti-
plasma kelapa sawit. Sistem kelembagaan yang semakin
berkembang adalah sistem kelembagaan koperasi. Koperasi
adalah satu-satunya kelembagaan legal yang menjadi
perantara petani plasma dengan perusahaan. Aturan-
aturan yang semakin kompleks dibuat seiring
perkembangan kondisi. Pada umumnya, setelah lahan
dikonversi akan muncul sistem kelembagaan informal
yakni pedagang pengumpul atau biasa di sebut tengkulak.
Pada beberapa kasus munculnya kelembagaan tengkulak ini
akan merugikan koperasi sehingga dianggap sebagai
permasalahan bagi sistem kerjasama yang telah ada
antara petani, koperasi dan perusahaan. Namun,
permasalahan tengkulak ini menjadi masalah yang sulit
dipecahkan karena tak jarang melibatkan tokoh
masyarakat atau orang terpandang di wilayah tersebut.
Hal ini seperti penjelasan SHT (45 tahun) di bawah
ini14.
“Sekarang saja sudah ada yang ingin membuatkoperasi tandingan, apalagi nanti saat kebunplasma sudah jalan dan menghasilkan. Pasti banyakpihak yang juga ingin mendapatkan keuntungan
14 Hasil wawancara dengan sekretaris Kecamatan Cerbon pada tanggal29 April 2011
lebih. Yah, semoga apapun masalahnya bisadiselesaikan dengan baik.”
Kelembagaan lain yang terbentuk adalah kelembagaan
penyedia jasa dan sarana produksi pertanian masyarakat.
Seperti penyedia jasa penyewaan truk, pupuk, mesin
pertanian dan lain-lain.
5.3.3 Pemanfaatan Lahan
Persiapan pembangunan kebun plasma dilakukan pada
periode ini. Pendataan anggota dan penandatanganan
kesepakatan antara perusahaan dengan koperasi selaku
perwakilan petani kelapa sawit telah dilakukan.
Perubahan komoditi pertanian masyarakat sangat terlihat
di UPT Simpang Nungki. Komoditi pertanian masyarakat
yang lama seperti padi, karet, jeruk, dan palawija
diganti dengan komoditi kelapa sawit. Seiring
berjalannya waktu, pengetahuan dan kemampuan masyarakat
dalam membangun dan merawat kebun kelapa sawit
meningkat. Tingginya minat masyarakat terhadap kelapa
sawit dapat dilihat dari pemanfaatan lahan pekarangan
transmigran yang kemudian juga ditanami kelapa sawit.
Perubahan pemanfaatan lahan menjadi kebun kelapa sawit
akan berpengaruh pada pasokan beras dan komoditi lain
seperti palawija dan jeruk di Barito Kuala.
Ikhtisar
Dinamika struktur agraria di Unit Pemukiman
Transmigrasi (UPT) Simpang Nungki dibagi dalam tiga
periodisasi, yakni periode pra masuknya komoditi kelapa
sawit, periode proses masuknya komoditi kelapa sawit
dan pasca masuknya komoditi kelapa sawit. Masa pra
masuknya komoditi kelapa sawit terjadi pada tahun 2005
sampai 2006. Masa ini adalah masa awal kedatangan
transmigran di UPT Simpang Nungki karena transmigran
masuk ke UPT Simpang Nungki dalam tiga tahap yakni pada
tahun 2005, 2006, dan 2007. Perubahan struktur agraria
belum terlalu banyak. Hal ini disebabkan sertifikat
lahan masyarakat belum turun dan ketentuan transmigrasi
tidak mengizinkan pemindahan kepemilikan lahan
transmigrasi sebelum kurun waktu 10 tahun. Namun,
proses pemindahan kepemilikan dan kasus perginya
transmigran tetap terjadi. Lebih dari 50 persen
transmigran yang berasal dari luar Pulau Kalimantan
maupun transmigran lokal asal Kalimantan Selatan pergi
meninggalkan kompleks transmigrasi dengan berbagai
alasan seperti kurangnya sarana dan prasarana, lahan
yang kurang subur, dan sebagainya. Mayoritas
transmigrasi pergi meninggalkan lahan dan tempat
tinggalnya tanpa menjual lahan. Sistem transfer
kepemilikan banyak terjadi pada lahan kapling yang
dimiliki masyarakat lokal. Sistem kelembagaan yang ada
pada periode ini adalah kelembagaan bagi hasil yang
mengatur tentang aturan lahan garapan. Pada periode ini
komoditi pertanian yang ditanam oleh masyarakat pada
umumnya adalah padi, palawija, dan jeruk.
Masa proses masuknya komoditi kelapa sawit terjadi
pada tahun 2006 akhir sampai saat ini tahun 2011.
Periode ini ditandai dengan beroperasinya dua
perusahaan besar swasta yang bergerak dalam bidang
usaha perkebunan kelapa sawit di sekitar Desa Simpang
Nungki. Program dan kebijakan pemerintah terkait
pengembangan program kelapa sawit juga menjadi penanda
periode ini dimulai. Proses transfer kepemilikan
terjadi pada masa ini. Harga lahan pertanian semakin
tinggi terlebih untuk lahan yang telah bersertifikat.
Lahan yang mengalami pemindahan kepemilikan sekitar 25
persen dari jumlah lahan transmigran yang pergi. Proses
transfer kepemilikan ini terjadi melalui sistem ganti
rugi dan terjadi dalam dua periode yakni masa pra
masuknya komoditi kelapa sawit dan masa proses masuknya
komoditi kelapa sawit. Sistem kelembagaan yang ada
hampir sama dengan periode sebelumnya yakni kelembagaan
bagi hasil dalam pengaturan lahan garapan. Kelembagaan
baru yang muncul pada masa proses masuknya komoditi
kelapa sawit adalah koperasi. Komoditi pertanian yang
ditanam masyarakat sudah mulai berubah. Sekitar 50
persen kepala keluarga mulai menanam kelapa sawit pada
masa ini. Pada peride pertama dan kedua, struktur
agraria masyarakat belum mengalami perubahan yang
besar. Seluruh kepala keluarga Unit Pemukiman
Transmigrasi Simpang Nungki memiliki lahan pertanian.
Status sosial masyarakat terdiferensiasi ke dalam
beberapa jenis lapisan yakni petani pemilik, petani
pemilik+penggarap, petani pemilik +buruh tani, dan
petani pemilik+penggarap+buruh tani.
Periode pasca masuknya komoditi kelapa sawit
ditandai dengan disepakatinya perjanjian-perjanjian
terkait kebun plasma masyarakat dan mulai dibangunnya
kebun plasma di UPT Simpang Nungki. Pendatang juga
mulai masuk ke Desa Simpang Nungki untuk mengadu nasib.
Sistem transfer kepemilikan melalui ganti rugi banyak
terjadi. Harga lahan yang semakin tinggi tidak
menghilangkan minat pemodal untuk memiliki lahan yang
akan diplasmakan. Proses transfer kepemilikan ini
diperkirakan banyak terjadi pada masa jeda antara
pembagian sertifikat transmigran dengan penetapan
peserta program plasma. Masuknya buruh-buruh perkebunan
baru dan proses trannsfer kepemilikan lahan akan
mencetak tunakisma baru yang akan menambah lapisan-
lapisan dalam struktur agraria masyarakat UPT Simpang
Nungki.
BAB VI
FAKTOR – FAKTOR PENDUKUNG PERUBAHAN PRODUKSI PERTANIAN
6.1 Faktor Eksternal
Komoditi Kelapa Sawit memiliki banyak nilai tambah
dibandingkan dengan komoditi perkebunan lainnya. Harga
pasaran yang tinggi dan relatif stabil memberikan daya
tarik tersendiri bagi pemerintah dan pengusaha.
Perkembangan industri kelapa sawit di Indoensia sangat
pesat. Keadaan ini membawa peluang bagi pemerintah
untuk membuat kebijakan terkait perkebunan kelapa sawit
dalam Hal tersebut direalisasikan pemerintah melalui
Peraturan Menteri Pertanian No.26 Tahun 2007 tentang
pengembangan perkebunan melalui program revitalisasi
perkebunan bahwa setiap perusahaan yang bergerak di
bidang perkebunan kelapa sawit wajib memiliki plasma
minimal 20 persen dari luas HGU.Keberhasilan program
pengembangan kelapa sawit berbasis perkebunan rakyat di
beberapa daerah dengan meningkatnya keadaan sosial
ekonomi masyarakat menambah daya tarik komoditi kelapa
sawit.
Pemerintah daerah Barito Kuala khususnya dan
Kalimantan Selatan pada umumnya telah menetapkan
program-program terkait dengan pengembangan perkebunan
kelapa sawit berbasis perkebunan rakyat melalui program
revitalisasi perkebunan. Program revitalisasi
perkebunan adalah upaya percepatan pengembangan
perkebunan rakyat melalui perluasan, peremajaan, dan
rehabilitasi tanaman perkebunan. Pelaksanaan program
ini merupakan bentuk kerjasama dari beberapa pihak.
Perbankan sebagai pihak penyedia kredit investasi,
pemerintah sebagai fasilitator yang memberikan dukungan
dan subsidi bunga, perusahaan di bidang usaha
perkebunan sebagai mitra pengembangan dalam pembangunan
kebun, pengolahan dan pemasaran hasil. Pelaku utama
dalam program ini adalah masyarakat sebagai peserta
program dan pemilik lahan perkebunan.
Peraturan dan kebijakan yang mendukung program
revitalisasi perkebunan antara lain:
1. Peraturan Menteri Pertanian RI,
No.33/Permentan/OT.140/7/2006 tanggal 26 Juli 2006,
tentang Pengembangan Perkebunan Melalui Program
Revitalisasi Perkebunan;
2. Surat Keputusan Menteri Pertanian RI,
No.490/Kpts/OT.160/8/2006 tanggal 24 Agustus 2006,
tentang Pembentukan Tim Koordinasi Pelaksanaan
Program Revitalisasi;
3. Peraturan Menteri Keuangan RI, No: 117/PMK.06/2006
tanggal 30 Nopember 2006, tentang Kredit Pengembangan
Energi Nabati dan Revitalisasi Perkebunan (KPEN-RP);
4. Perjanjian Kerjasama Pendanaan antara Departemen
Keuangan RI dengan BRI No. PKP-01/KPEN-RP/DP3/2006
tanggal 20 Desember 2006;
5. Peraturan Menteri Kehutanan No. P.26/MENHUT-II/2007
tentang Perubahan Kedua atas KepMenHut No.292/KPTS-
II/1995, tentang Tukar Menukar Kawasa Hutan;
6. Surat Menteri Keuangan RI NO. S-313/MK.05/2007
Tentang subsidi bungan KPEN-RP;
7. Surat Edaran Kepala Badan Pertanahan Nasional No.
3817-310.21-D.II tanggal 6 Desember 2007 tentang
Standar Satuan Biaya Sertifikat Hak Milik Program
Revitalisasi Perkebunan;
8. SK. Dirjend Perkebunan No135/Kpts/RC.110/10/2008 tgl
14 Oktober 2008 tentang Satuan Biaya Pembangunan
Kebun Peserta Revitalisasi Perkebunan;
9. Surat Edaran No. 40-DIR/ADK/12/2006 tanggal 20
Desember 2006 tentang KPEN-RP dengan Pola Kemitraan;
dan
10. Surat Edaran NO.41-DIR/ADK/12/2006 tanggal 20
Desember 2006 tentang KPEN-RP dengan Pola Non
Kemitraan.
Peraturan dan kebijakan tersebut menjadi dasar
bagi pemerintah daerah Kalimantan Selatan dan Barito
Kuala untuk membuat program-program terkait
pengembangan kelapa sawit. Seperti dijelaskan
sebelumnya, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Daerah
Tingkat II Barito Kuala bekerjasama dengan Dinas
Perkebunan Daerah Tingkat I Kalimantan Selatan memiliki
beberapa program terkait pengembangan perkebunan kelapa
sawit. Program tersebut seperti sosialisasi tentang
perkebunan kelapa sawit, pembagian bibit bersertifikat
serta bantuan pupuk. Beberapa wilayah yang menjadi
tujuan program pengembangan perkebunan kelapa sawit
adalah adalah desa-desa yang berada di sekitar
perusahaan besar seperti Kecamatan Wanaraya, Cerbon,
Jejangkit, dan lain-lain. Program pengembangan kebun
kelapa sawit di Kecamatan Cerbon khususnya Desa Simpang
Nungki dilaksanakan pada tahun 2007. Peserta program
ini adalah transmigran yang kedatangannya pada tahun
2005 dan 2006. Beberapa sumber berpendapat bahwa
tingkat keberhasilan dan keberlanjutannya hanya sekitar
50 persen saja. Namun, jika dilihat dari keadaan yang
ada di lapangan, program tersebut telah memberikan
pemahaman kepada masyarakat tentang perkebunan kelapa
sawit maupun proses produksinya. Berikut data reponden
yang mengikuti program tersebut.
Tabel 6.1 Rumah Tangga Peserta Program PengembanganPerkebunan Kelapa Sawit Berdasarkan Keputusan MembangunKebun Kelapa Sawit, 2011
Kategori Peserta Jumlah KK Persentase (%)Membangun kebun 65 67,01
Tidak membangun kebun 32 32,99Jumlah 97 100,00
Data pada tabel di atas menunjukkan bahwa dari seluruh
peserta program yang masih betahan di UPT Simpang
Nungki lebih dari 50 persen membangun kebun kelapa
sawit. Sisanya sekitar 32 persen tidak membangun kebun
kelapa sawit. Sebagian besar dari peserta program yang
tidak membangun kebun kelapa sawit adalah transmigran
lokal yang lebih memilih untuk menjual bibit dan pupuk
yang didapat dari program tersebut untuk mendapatkan
tambahan penghasilan. Karena transmigran lokal
berpendapat bahwa kebun kelapa sawit masih kurang
menguntungkan, perawatannya lebih susah dan mahal, dan
pengetahuan tentang pelaksanaan kebun kelapa sawit yang
masih rendah. Hal ini berbeda dengan transmigran yang
berasal dari luar Provinsi Kalimantan Selatan yang
telah lebih dulu mengenal perkebunan kelapa sawit.
Mayoritas transmigran pendatang membangun kebun kelapa
sawit dengan fasilitas yang diberikan oleh Dinas
Kehutanan dan Perkebunan. Hal ini sesuai dengan
penuturan Pak BNA (38 tahun) di bawah ini15.
“Masyarakat lokal umumnya susah menerima halbaru, yah makanya susah maju. Oleh karena itu,program-program seperti ini biasanya di lakukan diwilayah transmigrasi. Diharapkan masyrakat lokalnantinya dapat melihat keberhasilan transmigrandan mau menirunya. Program ini dilaksanakan diDesa Simpang Nungki sekitar tahun 2007, dankebanyakan yang mau menanam kelapa sawit kantransmigran dari luar Kalimantan. Tahun ini jugaada lagi program serupa di UPT Desa Sawahan dan
15 Pak BNA adalah pegawai Dinas Perkebunan Kabupaten Barito Kuala.Hasil wawancara tanggal 5 Mei 2011.
di Wanaraya karena memang program utama DinasPerkebunan Kalimantan Selatan kan pengembangankomoditi perkebunan kelapa sawit ini.”
6.2 Faktor Internal Masyarakat
6.2.1 Tingkat Pengetahuan
Komoditi kelapa sawit merupakan hal yang baru bagi
sebagian besar masyarakat Simpang Nungki. Pengetahuan
masyarakat tentang kelapa sawit diperoleh dari berbagai
sumber yakni program penyuluhan Dinas Kehutanan dan
Perkebunan Kabuapten Barito Kuala yang dilaksanakan
pada tahun 2007, hasil interaksi dengan petani daerah
lain yang telah lebih dahulu menanam kelapa sawit, dan
dari tata cara penanaman perusahaan tempat masyarakat
bekerja sebagai buruh lepas. Kecamatan Cerbon memiliki
program studi banding ke Kecamatan Pelaihari yang telah
terlebih dahulu berhasil dalam bidang perkebunan kelapa
sawit. Program ini diikuti oleh beberapa petani dan
pengurus koperasi dari desa-desa di wilayah Kecamatan
Cerbon termasuk Desa Simpang Nungki. Tingkat
pengetahuan masyarakat dilihat dari pengetahuan tentang
keuntungan dan kerugian komoditi kelapa sawit,
pengetahuan tengan proses pembangunan kebun kelapa
sawit, perawatan kebun kelapa sawit, dan pengetahuan
tentang proses pasca produksi atau pasca kebun. Berikut
data tingkat pengetahuan masyarakat Unit Pemukiman
(UPT) Simpang Nungki.
Tabel 6.2 Rumah Tangga Menurut Tingkat PengetahuanPetani UPT Simpang Nungki, Kec. Cerbon, Kab.Barito Kuala, 2011Tingkat Pengetahuan Jumlah KK Persentase (%)
Rendah 37 27,61Sedang 29 21,64Tinggi 68 50,75Jumlah 134 100,00
Tabel di atas menunjukkan bahwa masyarakat UPT Simpang
Nungki sebagian memiliki pengetahuan yang tinggi
tentang tatacara pembangunan kebun, perawatan kebun dan
juga memiliki pandangan yang baik terhadap perkebunan
kelapa sawit. Masyarakat yang memiliki pengetahuan
tinggi mayoritas adalah adalah transmigran yang masuk
pada tahun 2005 dan 2006 yang menjadi peserta program
pengembangan kebun kelapa sawit dari Dinas Kehutanan
dan Perkebunan. Sedangkan masyarakat dengan pengetahuan
rendah adalah transmigran dengan tahun kedatangan 2007.
Pengetahuan yang diperoleh transmigran tidak hanya
berasal dari luar individu (eksternal) melainkan juga
dari pengalaman setelah mencoba sesuatu. Beberapa
transmigran pernah merantau ke wilayah lain dengan
komoditi kelapa sawit. Sehingga memiliki pengetahuan
lebih dibanding transmigran lokal. Hal ini sesuai
dengan penuturan Pak Sri (46 tahun) di bawah ini16.
“Beberapa transmigran memiliki pengetahuan yangtinggi tentang kebun kelapa sawit seperti Pak TRT.Dia sudah pernah merantau ke beberapa tempatseperti Sampit dan lain-lain sebelum ikut program
16 Hasil wawancara dengan transmigran pada tanggal 12 Mei 2011
transmigrasi. Kebetulan di sana komoditi yangdiusahakan juga kelapa sawit. Makanya kebunkelapa sawit milik Pak TRT bagus. Kalo yang lain-lainseperti saya kan coba-coba dan ikut-ikut saja”
Hubungan erat yang dimiliki antar transmigran
membuat informasi mudah menyebar. Masyarakat dengan
tingkat pengetahuan tinggi akan menyebarkan pengetahuan
yang dimiliki kepada masyarakat lain yang memiliki
minat sama terhadap kelapa sawit. Hal ini menyebabkan
tingkat pengetahuan masyarakat senantiasa meningkat
seiring berjalannya waktu. Pengetahuan yang didapatkan
masyarakat dari hasil mencoba juga akan disebarkan
kepada masyarakat lain. Hal ini terlihat dari cara
penanaman sawit yang di lakukan oleh masyarakat Simpang
Nungki. Menurut materi yang diberikan Dinas Perkebunan
cara penanaman kelapa sawit di daerah berlahan gambut
adalah dengan membuat gundukan sehingga keasaman tanah
dapat berkurang. Hal tersebut tidak dapat
diimplementasikan oleh masyarakat karena jika angin
besar maka pohon-pohon sawit akan tumbang. Kondisi
tersebut membuat masyarakat menemukan solusi yakni
dengan merendahkan gundukan dan membangun saluran air
tiap pohon disekitar gundukan sehingga rendahnya
gundukan tidak membuat tanah asam.
Pengetahuan pemakaian pupuk yang pas juga didapat
dari hasil mencoba atau eksperimen di lapangan. Banyak
faktor yang menyebabkan materi-materi yang diberikan
dinas tidak dapat diimplementasikan di lapangan. Namun
tidak banyak petani yang senantiasa mencoba cara-cara
baru untuk mencari jalan keluar dari permasalahan
kebunnya. Sebagian besar masyarakat hanya menunggu atau
melihat petani lain menemukan cara-cara yang lebih
sesuai dan menirunya.
6.2.2 Tingkat Kepemilikan Modal
Masyarakat UPT Simpang Nungki sebagian besar
bermatapencaharian sebagai petani dan buruh tani
(termasuk buruh lepas perkebunan kelapa sawit).
Pendapatan yang didapat, sebagian diperuntukkan untuk
memenuhi kebutuhan sehari-hari dan sebagian disimpan
sebagai modal pertanian pada masa tanam selanjutnya.
Biaya yang dikeluarkan untuk kebun kelapa sawit berbeda
dengan komoditi pertanian yang lain. Modal untuk
membangun dan merawat kebun kelapa sawit jumlahnya jauh
lebih besar. Oleh karena itu perlu kesiapan khusus
terutama modal untuk membangun kebun kelapa sawit.
Biaya pembangunan dan perawatan kebun didaerah berlahan
gambut selama kelapa sawit belum dipanen sekitar empat
puluh juta rupiah. Jumlahnya jauh lebih besar daripada
kebun kelapa sawit yang dibangun di daerah dataran
tinggi seperti sebagian besar Pulau Sumatera. Tingkat
kepemilikan modal memiliki hubungan yang tidak langsung
dengan minat petani terhadap kebun kelapa sawit.
Beberapa transmigran dengan minat tinggi mendapat
tambahan modal membangun kebun dengan menjual aset yang
dimiliki di daerah asal atau meminjam dari kerabat.
Berikut data kepemilikan modal masyarakat untuk
membangun dan merawat kebun kelapa sawit.
Tabel 6.3 Rumah Tangga Menurut Tingkat KepemilikanModal Pembangunan dan Perawatan Kebun Kelapa Sawit UPTSimpang Nungki, Kec. Cerbon, Kab. Barito Kuala, 2011
Tingkat Kepemilikan Modal Jumlah KK Persentase (%)Rendah 30 22,39Sedang 64 47,76Tinggi 40 29,85Jumlah 134 100,00
Transmigran peserta program pengembangan perkebunan
kelapa sawit dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan
mendapatkan bantuan modal untuk pembukaan dan perawatan
kebun kelapa sawit. Bantuan berupa bibit kelapa sawit
bersertifikat, pupuk, bantuan dana pembersihan lahan,
pemasangan anjir dan pembuatan gundukan sangat membantu
petani dengan kepemilikan modal yang terbatas untuk
membangun kebun kelapa sawitnya. Masyarakat dengan
kepemilikan modal tinggi tidak hanya mampu membiayai
proses produksi tetapi juga akan memperluas lahan yang
dimilikinya. Lahan yang luas akan menghasilkan lebih
banyak dan menambah modal yang dimiliki. Hal tersebut
berbeda dengan masyarakat dengan modal terbatas seperti
kebanyakan transmigran yang harus mencari tambahan
modal dengan pekerjaan tambahan atau meminjam uang dari
pihak lain. Modal yang ada akan sulit bertambah bahkan
akan terus berkurang untuk menutupi biaya produksi dan
biaya hidup. Hal ini seperti yang diungkapkan STB (44
tahun) di bawah ini17.
“ Kebun kelapa sawit itu membutuhkan modal yangbesar dek. Saya saja sudah menjual sapi saya diJawa. Saya juga pinjam uang adik saya. Yah demimasa depan lah, kan nantinya kalo sudahmenghasilkan, uang yang diterima juga banyak.Tapi yah itu, tikus dan kebakaran lahan paskemarau beberapa waktu lalu membuat kebunmasyarakat sini rusak semua. Cuma beberapa yangbisa diselamatkan. Sekarang kan bibit kalau belisendiri mahal. Saya saja sudah hampir habis 2,5juta untuk beli bibit buat nambal sulam bibit yangrusak dimakan tikus. Yah kalau ga kuat modal ya gabertahan kebunnya”
6.3 Hubungan antara Tingkat Pengetahuan dengan
Keputusan Membangun Kebun Kelapa Sawit
Tingkat pengetahuan masyarakat Unit Pemukiman
Transmigran tentang kebun kelapa sawit dilihat dari
beberapa aspek yakni: a) pengetahuan tentang keuntungan
dan kerugian menanam kelapa sawit yang akan
mempengaruhi minat petani, b) pengetahuan tentang
tatacara pembukaan kebun, c) tatacara perawatan kebun,
dan d) pengetahuan tentang proses pasca produksi atau
pasca kebun. Tingkat pengetahuan yang tinggi pada empat
hal di atas akan mempengaruhi keputusan masyarakat
untuk membangun kebun kelapa sawit atau dapat disebut
dengan beralih komoditi. Berikut tabel yang menjelaskan
hubungan antara tingkat pengetahuan masyarakat dengan
17 Hasil wawancara dengan transmigran pada tanggal 3 Mei 2011
keputusan membangun kebun dan keberlanjutan kebun
tersebut.
Tabel 6.4 Hubungan antara Tingkat Pengetahuan denganKeputusan Membangun Kebun Kelapa Sawit, 2011
Tidak M embangun Kebun
Persen (% )
M embangun Tidak
Bertahan Persen (% )
M embangun Kebun Bertahan
Persen (% ) Jumlah Persen
(% )
Rendah 20 14,93 11 8,21 6 4,48 37 27,61
Sedang 19 14,18 6 4,78 4 2,98 29 21,64
Tinggi 23 17,16 20 14,92 25 18,66 68 50,75
62 46,27 37 27,61 35 26,12 134 100,00
Tingkat
Pengetahuan (K
K)
Jumlah
Keputusan Petani (KK)
Tabel di atas menjelaskan bahwa ada hubungan antara
tingkat pengetahuan masyarakat UPT Simpang Nungki
dengan keputusan membuka kebun dan keberlanjutan kebun
kelapa sawit tersebut. Sebagian besar masyarakat dengan
pengetahuan rendah tidak membuka kebun. Hanya enam KK
yang memiliki pengetahuan rendah dan dapat bertahan.
Hal tersebut dikarenakan tahun pembangunan kebun belum
terlalu lama atau sekitar tahun 2009 dan 2010.
Masyarakat dengan tingkat pengetahuan sedang
sebagian besar tidak membuka lahan. Sedangkan
masyarakat dengan tingkat pengetahuan perkebunan tinggi
memiliki sebaran yang hampir merata pada ketiga
keputusan yakni keputusan tidak membangun kebun,
membangun kebun tidak bertahan, dan membangun kebun
yang bertahan sampai sekarang. Sebagian besar
masyarakat dengan tingkat pengetahuan tinggi tidak
membuka kebun dengan alasan tidak memiliki modal yang
cukup. Modal awal yang didapatkan dari program
pengembangan perkebunan kelapa sawit dari Dinas
Perkebunan pada awal pengenalan terhadap komoditi
kelapa sawit seperti bibit dan pupuk telah dijual
karena minat terhadap kelapa sawit masih rendah.
Keterbatasan modal juga menjadi masalah bagi masyarakat
dengan tingkat pengetahuan tinggi namun kebun kelapa
sawit yang dibangunnya tidak dapat bertahan. Hal ini
diperkuat dengan pendapat SHD (46 tahun) di bawah
ini18.
“Pengetahuan sangat berpengaruh terhadapkeadaan kebunnya mbak. Karena yang punyapengetahuan tinggi kan tau apa yang harusdilakukan pada pohon kelapa sawit yangbermasalah. Kalo yang pengetahuannya rendah yahcuma ikut-ikut aja. Pas awal juga pengetahuanpenting, banyak orang lokal tidak membangunkebun karena belum tahu kalo kelapa sawit itumenguntungkan”
Uji korelasi menggunakan Rank Spearmen menunjukkan
bahwa korelasi antara pengetahuan dengan keputusan
membuka kebun dan keberlanjutannya adalah sebesar 0,278
sangat kuat dan searah dengan nilai p(0,001)<alpha 5
persen artinya korelasi signifikan. Hasil tersebut
menjelaskan bahwa terdapat hubungan yang kuat dan
positif antara tingkat pengetahuan masyarakat dengan
18 Hasil wawancara transmigran pada tanggal 15 April 2011
keputusan membangun kebun dan keberlanjutan kebun
kelapa sawit masyarakat. Hal tersebut berarti, jika
tingkat pengetahuan yang dimiliki masyarakat tinggi
maka keputusan untuk membangun kebun kelapa sawit juga
tinggi. Begitu juga sebaliknya, jika tingkat
pengetahuan masyarakat rendah maka keputusan membuka
kebun juga rendah.
6.4 Hubungan antara Tingkat Kepemilikan Modal dengan
Keputusan Membangun Kebun Kelapa Sawit
Proses pembangunan kebun kelapa sawit memerlukan modal
yang besar terutama jika dilakukan secara mandiri.
Keadaan lahan gambut dan berawa seperti di mayoritas
wilayah Kabupaten Barito Kuala memerlukan biaya yang
lebih besar yakni sekitar 30-40 juta rupiah sampai
kebun tersebut dapat berproduksi. Namun, masyarakat UPT
Simpang Nungki memiliki keadaan yang berbeda, karena
sebagian masyarakat pernah menjadi peserta program
pengembangan perkebunan kelapa sawit yang
diselenggarakan oleh Dinas Kehutanan dan Perkebunan
wilayah setempat. Bantuan yang diberikan tersebut
meringankan beban biaya yang harus ditanggung petani
dalam proses pembukaan dan perawatan kebun. Namun,
beberapa kasus berbeda terjadi di masyarakat UPT
Simpang Nungki. Masyarakat yang memiliki minat rendah
untuk membangun kebun kelapa sawit memilih untuk
menjual bibit dan pupuk yang diberikan oleh Dinas
Perkebunan melalui program pengembangan perkebunan
kelapa sawit. Kemudian, saat minat dan pengetahuan
tentang perkebunan kelapa sawit meningkat, modal yang
dimiliki tidak memadai untuk membangun dan merawat
kebun tersebut. Hama tikus yang meningkat pada saat air
pasang dan kebakaran lahan yang terjadi pada musim
kemarau tahun 2008 dan 2009 menyebabkan banyak kebun
kelapa sawit masyarakat rusak. Ketersediaan modal
sangat diperlukan untuk mengatasi masalah tersebut.
Berikut disajikan tabel yang menjelaskan hubungan
antara tingkat kepemilikan modal dengan keputusan
pembukaan kebun dan keberlanjutan kebun. Tingkat
pengetahuan yang rendah dalam mengatasi masalah yang
dihadapi petani juga membuat modal yang harus
dikeluarkan untuk memperbaiki keadaan kebun kelapa
sawit semakin besar.
Tabel 6.5 Hubungan antara Kepemilikan Modal denganKeputusan Membangun Kebun Kelapa Sawit, 2011
Tidak M embangun Kebun
Persen (% )
M embangun Tidak
Bertahan Persen (% )
M embangun Kebun Bertahan
Persen (% ) Jumlah Persen
(% )
Rendah 24 17,92 1 0,75 5 3,73 30 22,39
Sedang 24 17,91 21 15,67 19 14,18 64 47,76
Tinggi 14 10,45 15 11,19 11 8,21 40 29,85
62 46,27 37 27,61 35 26,12 134 100,00
Tingkat K
epem
ilikan
Modal (KK)
Jumlah
Keputusan Petani (KK)
Tabel di atas menunjukkan bahwa petani dengan tingkat
kepemilikan modal rendah lebih memilih untuk tidak
membangun kebun kelapa sawit. Hanya lima kelapa
keluarga dengan tingkat kepemilikan modal rendah namun
kebun kelapa sawit yang dibangunnya dapat bertahan
hingga saat ini. Hal itu dikarenakan waktu pembangunan
kebun belum terlalu lama, sehingga kebun dapat bertahan
hingga sekarang. Selain itu, beberapa transmigran
meminjam modal kepada kerabat atau menjual aset yang
dimiliki di daerah asal untuk terus memperbaiki kondisi
kebun yang dibangunnya. Masyarakat pada kelompok
tingkat kepemilikan modal sedang memiliki jumlah yang
paling besar dibandingkan dua kelompok lainnya.
Sebagian kelompok masyarakat memilih untuk tidak
membangun kebun. Alasan yang diungkapkan adalah karena
tidak memiliki modal yang cukup untuk membangun dan
merawat kebun. Namun sebagian besar masyarakat dengan
tingkat kepemilikan modal sedang memilih untuk
membangun kebun walaupun sebagian tidak bertahan. Kebun
yang tidak dapat bertahan disebabkan pengetahuan yang
dimiliki kurang sehingga modal yang dimiliki tidak
dapat digunakan untuk mempertahankan kebun yang telah
dibangun. Hal serupa juga terjadi pada kelompok
masyarakat dengan tingkat kepemilikan modal tinggi.
Pada kelompok ini, kebun yang dimiliki sekitar 15
keluarga tidak dapat bertahan sampai sekarang.
Pengetahuan yang rendah tetap menjadi alasan utama.
Perasaan takut gagal setelah terjadi bencana kebakaran
lahan dan serangan hama tikus setiap air pasang membuat
masyarakat pada tingkat kepemilikan modal tinggi tidak
memperbaiki kebun kelapa sawitnya. Bahkan, 14 kepala
keluarga dengan tingkat kepemilikan modal tinggi
memilih untuk tidak membangun kebun kelapa sawit. Hasil
uji korelasi menggunakan rank spearman antara tingkat
pengetahuan dengan keputusan membuka kebun sebesar
0,238 sangat kuat dan searah dengan nilai
p(0,003)<alpha 5 persen artinya korelasi signifikan.
Artinya, tingkat kepemilikan modal dan keputusan
membuka kebun dan keberlanjutannya memiliki hubungan
yang kuat dan positif. Jika tingkat kepemilikan modal
tinggi maka keputusan untuk membangun kebun kelapa
sawit juga tinggi. Begitu juga sebaliknya, jika
kepemilikan modal rendah maka keputusan untuk membangun
kebun juga semakin rendah.
Ikhtisar
Proses perubahan komoditi pertanian masyarakat Unit
Pemukiman Transmigran (UPT) Simpang Nungki dipengaruhi
oleh dua faktor utama yakni faktor eksternal masyarakat
dan faktor internal. Faktor eksternal adalah kebijakan
pemerintah baik pusat maupun daerah yang terkait
pengembangan perkebunan kelapa sawit. Hasil penelitian
di UPT Simpang Nungki menyebutkan bahwa kebijakan
pemerintah sangat mendukung pengembangan perkebunan
kelapa sawit di wilayah Barito Kuala pada umumnya dan
Desa Simpang Nungki khususnya. Hal ini dapat dilihat
dari izin usaha perusahaan besar swasta yang
dikeluarkan oleh pemerintah daerah Barito Kuala dan
Kalimantan Selatan untuk beroperasi di sekitar wilayah
Simpang Nungki. Sekumpulan kebijakan yang dikeluarkan
oleh berbagai departemen dan kementrian untuk mendukung
dan mengatur berlangsungnya program revitalisasi
perkebunan. Program-program Dinas Kehutanan dan
Perkebunan terkait program pengembangan perkebunan
kelapa sawit berbasis perkebunan rakyat juga sangat
berpengaruh terhadap perubahan pengetahuan dan minat
masyarakat terhadap kelapa sawit. Hal ini dibuktikan
dengan 67 persen masyarakat membuka kebun kelapa sawit
setelah mengikuti program pengembangan perkebunan
kelapa sawit dan bekerja sebagai buruh perkebunan yang
dapat mengubah pengetahuan dan minat masyarakat
terhadap perkebunan kelapa sawit.
Faktor internal terdiri dari tingkat pengetahuan
masyarakat tentang perkebunan dan tingkat kepemilikan
modal untuk membangun dan merawat kebun kelapa sawit.
Tingkat pengetahuan meliputi pengetahuan untung dan
rugi perkebunan kelapa sawit, pengetahuan tatacara
pembukaan dan perawatan kebun kelapa sawit, serta
pengetahuan tentang proses pasca kebun atau pasca
produksi. Tingkat pengetahuan masyarakat ini akan
berpengaruh terhadap minat masyarakat untuk membuka
kebun dan beralih komoditas menjadi kelapa sawit. Data
hasil penelitian menyebutkan bahwa 50 persen masyarakat
memiliki tingkat pengetahuan yang tinggi. Berdasarkan
hasil uji korelasi menggunakan rank spearman dan tabulasi
silang, tingkat pengetahuan memiliki hubungan positif
dengan keputusan masyarakat untuk membuka kebun dan
keberlanjutan kebunnya. Sehingga jika tingkat
pengetahuan tinggi maka keputusan membuka kebun juga
tinggi. Namun, ada beberapa hal yang tidak sesuai.
Karena tingkat kepemilikan modal masyarakat yang
terbatas. Masyarakat dengan tingkat pengetahuan tinggi
dan minat besar untuk membuka kebun kelapa sawit
memutuskan tidak membuka kebun karena terbatasnya modal
yang dimiliki untuk membangun dan merawat kebun. Oleh
karena itu, tingkat kepemilikan modal menjadi salah
satu faktor internal yang sangat berpengaruh terhadap
keputusan masyarakat. Beradsarkan hasil uji korelasi
menggunakan rank Spearman menyebutkan bahwa tingkat
kepemilikan modal memiliki hubungan positif dengan
keputusan masyarakat untuk membuka kebun dan
keberlangsungan kebunnya. Namun, tidak semua petani
dengan tingkat kepemilikan modal tinggi memutuskan
untuk membuka kebun. Hal ini disebabkan rendahnya
pengetahuan tentang kelapa sawit. Selain tingkat
kepemilikan modal dan tingkat pengetahuan, terdapat
beberapa faktor yang ditemukan dilapangan seperti
tingkat keberanian petani untuk mencoba hal-hal baru
dan menerima resiko. Hal ini ditunjukkan pada petani
dengan kepemilikan modal tinggi namun kebun kelapa
sawitnya tidak mampu bertahan. Selain itu jenis suku
juga mempengaruhi keputusan petani. Sebagian besar
petani yang tidak menanam kelapa sawit ada masyarakat
lokal suku banjar yang agak sulit menerima hal baru.
BAB VII
PENUTUP
7.1 Kesimpulan
Dinamika struktur agraria dan proses perubahan produksi
masyarakat Unit Pemukiman Transmigrasi (UPT) Simpang
Nungki dijelaskan dalam periodisasi jenis komoditi
masyarakat, yakni:
1. periode pertama adalah periode pra masuknya komoditi
kelapa sawit ke UPT Simpang Nungki yang terjadi
sekitar tahun 2005 sampai 2006. Pada masa ini moda
produksi masyarakat masih subsisten-komersial yang
ditandai dengan komoditi pertanian berupa padi,
palawija, dan jeruk. Proses transfer kepemilikan
lahan melalui ganti rugi masih jarang terjadi. Sistem
kelembagaan yang berlaku adalah sistem bagi hasil
yang mengatur sistem lahan garapan yang banyak
dilakukan oleh transmigran dan masyarakat lokal;
2) periode kedua adalah periode proses masuknya
komoditi kelapa sawit (akhir 2006 – 2011) yang
ditandai dengan masuknya dua perusahaan swasta di
sekitar Desa Simpang Nungki dan adanya program
pemerintah terkait pengembangan perkebunan kelapa
sawit. Pada peride ini, perubahan komoditas pertanian
masyarakat menjadi kelapa sawit mulai terjadi. Proses
transfer kepemilikan terjadi pada masa ini. Harga
lahan pun semakin tinggi. Kelembagaan baru yang
dibentuk adalah kelembagaan koperasi sebagai
pendukung program plasma yang akan di realisasikan
pada akhir tahun 2011. Struktur sosial masyarakat
telah terdiferensiasi ke dalam beberapa lapisan yakni
petani pemilik, pemilik + penggarap, pemilik + buruh
tani, dan pemilik + penggarap + buruh tani. Periode
ini adalah periode pengenalan terhadap moda produksi
kapitalis yang akan berlaku pada periode selanjutnya;
dan
3. periode ketiga adalah periode pasca masuknya
komoditi kelapa sawit (mulai akhir 2011). Periode ini
ditandai dengan telah disepakatinya peraturan dan
perjanjian terkait kebun plasma masyarakat. Jeda
waktu antara pembagian sertifikat transmigran dengan
penetapan peserta program plasma adalah peluang bagi
pemodal untuk masuk dengan membeli lahan masyarakat.
Harga lahan semakin tinggi. Namun, proses transfer
kepemilikan semakin banyak terjadi pada periode ini.
Pendatang mulai berdatangan untuk menjadi buruh-buruh
perkebunan di UPT Simpang Nungki. Profesi-profesi non
petani juga mulai bermunculan di wilayah ini seperti
penyedia jasa, pedagang saprotan dan sebagainya yang
memiliki andil besar dalam hubungan produksi petani.
Hal tersebut membuat struktur agraria masyarakat akan
terdiferensiasi dalam lebih banyak lapisan. Lapisan-
lapisan baru yang akan muncul adalah kategori non
petani dan status tunggal sebagai buruh yang tidak
lain adalah tunakisma. Kelembagaan baru yang muncul
adalah kelembagaan petani plasma dan kelembagaan
pedagang pengumpul. Pada masa ini moda produksi
masyarakat adalah moda produksi kapitalis.
Faktor internal yang terdiri dari tingkat
kepemilikan modal dan tingkat pengetahuan masyarakat
tentang perkebunan kelapa sawit dengan keputusan
membangun kebun dan keberlanjutan kebun memiliki
hubungan yang kuat dan positif. Hasil tersebut
menunjukkan hubungan yang signifikan. Faktor eksternal
yang terdiri dari kebijakan pemerintah terkait
pengembangan perkebunan kelapa sawit juga sangat
berpengaruh terhadap perubahan komoditi dalam perubahan
produksi masyarakat UPT Simpang Nungki.
8.2 Saran
Saran yang diajukan peneliti berdasarkan hasil
penelitian ini adalah:
1. bagi Pemerintah Daerah Barito Kuala khususnya dan
Provinsi Kalimantan Selatan, sebaiknya meningkatkan
perhatian dan keberpihakan kepada masyarakat kecil di
Barito Kuala pada umumnya dan UPT Simpang Nungki
khususnya. Sosialisasi terkait pentingnya kepemilikan
lahan untuk masa depan dan sosialisasi tentang
perkebunan kelapa sawit sangat penting untuk membantu
menyelesaikan masalah yang dihadapi. Penerapan
kebijakan-kebijakan yang mengatur transmigran serta
program-program untuk membantu menyelesaikan
permasalahan transmigran perlu diperbaiki.
2. bagi PT PBB, sebaiknya kesepakatan-kesepakatan
mengenai program plasma dibuat dengan
mengikutsertakan masyarakat selaku calon peserta
program untuk menghindari kesalahpahaman diantara
kedua pihak. Kesepakatan yang dibuat terutama
mekanisme pengembalian kredit dan konversi lahan
sebaiknya tidak memberatkan petani; dan
3. bagi masyarakat UPT Simpang Nungki, sebaiknya dapat
mempertahankan kepemilikan lahan saat ini dan terus
menggali informasi tentang masalah-masalah pertanian
dan solusi dari masalah tersebut dari dinas terkait
dan petani-petani daerah lain yang pernah mengalami
masalah serupa. Masyarakat hendaknya mencari tahu
model kerjasama dari perusahaan lain sebagai
pembanding sistem kerjasama dalam program plasma yang
dibuat oleh PT PBB. Hal ini dapat meningkatkan posisi
tawar (bargaining position) masyarakat. Sehingga menjadi
pihak yang berdaya.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Rofiq. 1998. Perkebunan dari NES ke PIR. Jakarta
[ID]: Puspa Swara. 182hal
Bahari Syaiful. April 2004. Konflik Agraria di Wilayah
Perkebunan: Rantai Sejarah yang Tak Berujung.
Jurnal Analisis Sosial. 9(1): 37-45.
Colchester M, Jiwan N, Andiko, Sirait M, Firdaus AY,
Surambo A, Pane H. 2006. Tanah yang Dijanjikan.
Minyak Sawit dan Pembebasan Tanah di Indonesia:
Implikasi terhadap Masyarakat Lokal dan Masyarakat
Adat. Jakarta [ID]: Yayasan Obor Indonesia. 210
hal.
Departemen Penerangan. 1982. Peranan Komoditi
Perkebunan Sebagai Sumber Devisa Negara. Jakarta
[ID]. 25 hal
Fadjar Undang. 2009. Transformasi Struktur Agraria dan
Diferensiasi Sosial pada Komunitas Petani: Studi
Kasus Pada Empat Komunitas Petani Kakao di Propinsi
Sulawesi Tengah dan Nangroe Aceh Darussalam.
[Disertasi]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor.
294 hal.
Hefner Robert. 1999. Geger Tengger: Perubahan Sosial
dan Perkelahian Politik. Yogyakarta [ID]. hal 448.
Indrizal Edi. 1997. Ekstensifikasi Perkebunan Kayu
Manis Rakyat dan Perubahan Sosial di Pedesaan:
Studi Kasus di Desa Sukokayo Kabupaten Kerinci
Provinsi Jambi. [Thesis]. Bogor [ID]: Institut
Pertanian Bogor. 171 hal.
McCarthy J F. 2008. Policy Narratives, Landholder Engagement,
And Oil Palm Expansion On The Malaysian And Indonesian Frontiers.
The Geographical Journal. 175(2): 112-123.
Mirza Iskandar. 2001. Kepemilikan Atas Lahan Perkebunan
Antara Masyarakat Dengan Perusahaan Perkebunan
Kelapa Sawit : Studi Kasus Kecamatan Kikim
Kabupaten Lahat Sumatera Selatan. [Thesis].
Yogyakarta [ID]: Universitas Gajah Mada. 119 hal.
Sihaloho Martua. 2004. Konversi lahan Pertanian dan
Perubahan Struktur Agraria. [Thesis]. Bogor[ID]:
Institut Pertanian Bogor. 138 hal
Sitorus M T F. 1999. Pembentukan Golongan Pengusaha
Lokal di Indonesia: Pengusaha Tenun dalam
Masyarakat Batak Toba. [Thesis], Bogor [ID]:
Institut Pertanian Bogor. 298 hal.
Sitorus, M T F. 2002. Lingkup Agraria dalam Menuju
keadilan Agraria: 70 Tahun Gunawan Wiradi. Bandung
[ID]: Yayasan AKATIGA. hal.
Sumardjono Maria. 2008. Tanah dalam Perspektif Hak
Ekonomi Sosial dan Budaya. Jakarta [ID]: Kompas. 299
hal.
Tjondronegoro Sediono. 1999. Sosiologi Agraria Kumpulan
Tulisan Terpilih. Bogor [ID]: Laboraturium
Sosiologi, Antropologi, dan Kependudukan Faperta
IPB dan Akatiga. 201 hal.
Wahyuni dan Muljono. 2009. Metode Penelitian Sosial.
Bahan Kuliah. Departemen Sains Komunikasi dan
Pengembangan Masyarakat. Bogor [ID]: Institut
Pertanian Bogor. 102 hal.
Wardini Cici. 2010. Dinamika Agraria Lokal Di Sekitar
Kawasan Pertambangan Emas: Studi Kasus Kampung
Pongkor, Desa Cisarua, Kecamatan Nanggung, Provinsi
Jawa Barat. [Skripsi]. Bogor [ID]: Institut
Pertanian Bogor. 114 hal.
White Ben. 2009. Laba dan Kuasa Dicat Warna Hijau?
Catatan Mengenai Biofuel, Agribisnis, dan Petani.
Jurnal Tanah Air. Edisi Oktober-Desember: 237-257.
Widiono S. 2008. Pembangunan Perkebunan Kelapa Sawit
serta Dampaknya Terhadap Pelapisan Sosial dan
Strategi Nafkah: Studi Kasus Dua Desa Sawah Etnis
Serawai dan Jawa di Kabupaten Seluma, Propinsi
Bengkulu. [Thesis]. Bogor [ID]: Institut Pertanian
Bogor. 112 hal.
Wiradi G. 1984. Pola Penguasaan tanah dan reforma
agraria. Tjondronegoro S M P dan Wiradi G, editor.
Dua Abad Penguasaan Tanah, Pola Penguasaan Tanah
Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa. Jakarta[ID]:
PT Gramedia. 413 hal.
Wiradi G dan Makali. 1984. Penguasaan Tanah dan
Kelembagaan. Kasryono F, editor. Prospek
Pembangunan Ekonomi Pedesaan Indonesia. Jakrta
[ID]: Yayasan Obor Indonesia. 413 hal.
Zuber, Ahmad. 2007. Pendekatan dalam Memahami Perubahan
Agraria di Pedesaan. [Blog]. [Internat]. [diunduh
20 Februari 2011]. Dapat diunduh dari
http://ahmad.zuber70.googlepages.com.
Lampiran 2 Hasil Uji Korelasi Rank Spearmen
NONPAR CORR/VARIABLES=Pengetahuan Keputusan /PRINT=SPEARMAN TWOTAIL NOSIG/MISSING=PAIRWISE
Correlations
pengetahuan keputusan
Spearman's rho pengetahuan Correlation Coefficient
1.000 .256**
Sig. (1-tailed) . .001
N 134 134
keputusan Correlation Coefficient
.256** 1.000
Sig. (1-tailed) .001 .
N 134 134
**. Correlation is significant at the 0.01 level (1-tailed).
NONPAR CORR/VARIABLES=Modal Keputusan /PRINT=SPEARMAN TWOTAIL NOSIG/MISSING=PAIRWISE .
Correlations
modal keputusan
Spearman's rho modal Correlation Coefficient
1.000 .238**
Sig. (1-tailed) . .003
N 134 134
keputusan Correlation Coefficient
.238** 1.000
Sig. (1-tailed) .003 .
N 134 134
**. Correlation is significant at the 0.01 level (1-tailed).
Lampiran 3
Tabel Jadwal Pelaksanaan Penelitian
No Rencana Kegiatan Maret April Mei Juni Juli1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
1 Pembuatan Proposal2 Kolokium3 Perbaikan Proposal4 Penjajagan lapang5 Pengumpulan Data
6Pengolahan Data danPenulisan Skripsi
7Konsultasi dan Perbaikan Skripsi
8 Ujian Skripsi9 Perbaikan Skripsi
10 Perbanyakan
Nama Etnis T/P Kedatangan
MSDJateng T 2005
RSDJateng T 2005
EDAJateng T 2005
SKRJateng T 2005
EKSJateng T 2005
HRTJateng T 2005
HRM Jabar T 2005
SPMJateng T 2005
AMR Jabar T 2005
ASPJateng T 2005
YSP Lokal T 2005
JNRLombok T 2005
DRSJateng T 2005
NSR Jabar T 2005MHY Lokal T 2005DLH Lokal T 2005
DNSJateng T 2005
CKM Jabar T 2005
MNRLombok T 2005
ZNRLombok T 2005
SHR Lokal T 2005
RMLJateng T 2005
JML Lokal T 2005SHT Lokal T 2005
HSTJateng T 2005
MJK Jabar T 2005
TRMJateng T 2005
TGNJateng T 2005
SMTJateng T 2005
SMRJateng T 2005
SKLJateng T 2005
ZMN Lokal T 2005EDS Lokal T 2005
SRIJateng T 2006
IDRJateng T 2006
SPDJateng T 2006
STRJateng T 2006
TRTJateng T 2006
Nama Etnis T/P Kedatangan
ADKjateng T 2006
SPRJateng T 2006
STNJateng T 2006
NRS Lokal T 2006ADS Lokal T 2006
NRCJateng T 2006
TTKJateng T 2006
KRLJateng T 2006
MSRJateng T 2006
AGS Jatim P 2006UDN Lokal T 2006
SRTJateng T 2006
SPTJateng T 2006
NRS Jaten T 2006
g
AGPJateng T 2006
DMNJateng T 2006
AMTJateng T 2006
YOSJateng T 2006
BARJateng T 2006
MKMJateng T 2006
SNGJateng T 2006
LGMJateng T 2006
SHDJateng T 2006
TMNJateng T 2006
PTMJateng T 2006
SKRJateng T 2006
SYKJateng T 2006
MHMJateng T 2006
GNWJateng T 2006
WGMJateng T 2006
SRWJateng T 2006
KSS Lokal T 2006ABD Lokal T 2006
STMJateng T 2006
STDJateng T 2006
SPRJateng T 2006
PRLJateng T 2006
SYH Lokal T 2006
Nama Etnis T/P Kedatangan
SPN lokal T 2006UDI Lokal T 2006HSN Lokal T 2006IJM Lokal T 2006LMR Lokal T 2006SBK Lokal T 2006
GYNJateng T 2006
SGYJateng T 2006
MRK Lokal T 2006BSR Lokal T 2006SMS Lokal T 2006DPL Lokal T 2006
SDKJateng T 2006
BMN Lokal T 2006BHR Lokal T 2006
TRTJateng T 2006
SHRJateng T 2006
STBJateng T 2006
WJN Jatim T 2007
RHMJateng T 2007
KSMJateng T 2007
MRD Jatim T 2007LSN Jatim T 2007RDI Jatim T 2007
SKMJateng T 2007
MJTJateng T 2007
Nama Etnis T/P Kedatangan
AMS Lokal T 2007
ARFJateng T 2007
SPN Jatim T 2007SGG Jatim T 2007HRY Jatim T 2007
KSH Jatim T 2007SFL Jatim T 2007JSH Lokal T 2007SPR Jatim T 2007
NRFJateng T 2007
SHP Lokal T 2007RYN Jatim T 2007SYH Lokal T 2007ALP Lokal T 2007RHM Lokal T 2007
RHDJateng T 2007
SBRJateng T 2007
SJNJateng P 2008
AMD Jatim P 2009
SYTJateng P 2009
SPYJateng P 2009
SRDJateng P 2009
HDSJateng P 2009
AMD Jatim P 2009BWS Jatim P 2010
SMRJateng P 2010
Lampiran 6Daftar Informan
Nama Status
AMTPembakal / Kepala Desa
Simpang Nungki
BNAPegawai Dinas
Perkebunan
BRNPegawai Kesbangpol
Linmas
DNI Pegawai BPN
EDS
Tokoh Masyarakat dan
Kepala Seksi Bina
Ketentraman dan
Ketertiban Masyarakat
Kec. Cerbon
HNAPegawai Dinas
Perkebunan
INDPegawai Dinas
Perkebunan
RDWKepala Bagian Sumber
Daya Alam Kabupaten
Barito Kuala
SHD Tranmigran
SHLKepala Bagian
Transmigrasi
SHTSekretaris Kecamatan
Cerbon
SRI Transmigran
STB Transmigran
TTK Transmigran
Lampiran 7
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
PENELITIAN STRUKTUR AGRARIA MASYARAKAT TRANSMIGRAN
A. KETERANGAN UMUM RESPONDENNo : Status Warga : Transmigran / Pendatang Nama : Masuk Tahun :Alamat : Pekerjaan :Etnis :B. PENGUASAAN LAHAN1. Status Kepemilikan Lahan
Pertanyaan Ya Tidak1. Apakah bapak/ibu memiliki lahan pertanian yang berstatus milik?2. Apakah bapak/ibu menggarapkan lahan pertanian pihak lain (Sewa/bagihasil)?3. Apakah bapak/ibu bekerja di lahan pertanian pihak lain (buruh)?
Lahan Sendiri/Milik (Ha) Lahan Garap (Sewa/BagiHasil)
2. Ceritakan tanah yang bapak milikiLuas (ha)Lokasi (dalam/luardesa)
Saya, Ayu Candra Kusumastuti, mahasiswi Institut PertanianBogor, Program Studi Sains Komunikasi dan PengembanganMasyarakat. Sehubungan dengan penelitian yang saya lakukan,saya meminta kesediaan saudara/bapak/ibu untuk menjawabpertanyaan di kuesioner ini dengan keadaan yang sebenar-benarnya. Kerahasiaan jawaban saudara/bapak/ibu akan dijamin
Tahun perolehCara perolehan
Program transmigrasi, ganti rugi, waris,...
Kondisi awal
Sawah, kebun, lahan terbuka, lainnya...
Sumber modal
Bantuan, jual...., lainnya....
Riwayat tanaman
Tahun: Jenis Tanaman:
Yang menggarap
Sendiri, keluarga inti, kerabat luas, tetangga/teman, orang lain, lainnya....
3. Jika lahan diperoleh dengan cara membeli/ganti rugi,ceritakan
TahunLuasIdentitas penjual (nama,etnis)Harga lahanHarga beras
4. Jika kebun bapak diperoleh dengan bagi hasil, ceritakan pola kerjasama yang disepakati:
5. Jika ada kebun bapak yang digarap orang lain, ceritakan:- alsannya:
- hubungan sosial dengan penggarap:- Jelaskan pola kerjasama yang disepakati:
6. Ceritakan lahan yang pernah dimiliki bapak, tetapi sekarang sudah di lepas
Lokasi (dalam/luar desa)Jarak dari rumah (km)Luas (Ha)Tahun perolehTahun dilepasAlasan dilepas
Cara melepas (jual beli, waris, lainnya..)Kepada (keluarga initi, kerabat luas, teman/tetangga, orang lain)Alamat penerimaAsal etnis penerima
7. Ceritakan kebun milik orang lain yang sedang
bapak usahakan:
Lokasi (dalam/luar desa)Jarak dari rumah (km)Luas (Ha)Tahun mulaiPola hubungan kerja (sewa,bagi hasil, lainnya..)Hubungan sosial dg pemilikPekerjaan pemilikAlamat pemilikJelaskan Pola Kerjasama yang disepakati C. Minat Terhadap Kelapa Sawit
Pertanyaan Ya Tidak1. Apakah Bapak/Ibu berencana untuk
menanam kelapa sawit?
Alasan
2. Jika Ya, apakah Bapak/Ibu berencana untuk bekerjasama dengan perusahaan (plasma)? Alasan
3. Apakah Bapak/Ibu tahu tatacara penanaman dan perawatan kelapa sawit? Jika Ya, darimana Bapak/ibu mendapatkan pengetahuan tersebut?Jelaskan:
D. Tingkat Pengetahuan dan Tingkat Kepemilikan ModalD1. Pembangunan Kebun1. Apakah bapak pernah membangun kebun kelapa sawit? Jelaskan alasannya!
2. Jelaskan tatacara membangun kebun?
3. Apa masalah yang sering muncul pada saat pembangunankebun?
4. Berapa besar biaya pembangunan kebun seluas satu hektar lahan?
5. Apakah bapak memiliki modal yang cukup untuk membuka
kebun?
a. Tidak, darimana bapak mendapatkan
b Punya, tapi kurang. Darimana mendapat tambahan....
c. Punya
D2. Perawatan Kebun
1. Berapa tahun masa tanam sawit?
a. 5-10 tahun b.15-20 tahun d.25-30
tahun
b.10-15 tahun c. 20-25tahun
2. Pada usia berapa tahun kelapa sawit mulai
menghasilkan tandan dengan berat normal?
a. 4 tahun c. 6 tahun
b. 5 tahun d. Lainnya
3. Berapa kali anda melakukan pemupukan dalam sebulan?
a. 0-1 kali c. 2-4 kali
b. 1-2 kali d. Lebih dari 4 kali
4. Berapa besar biaya perawatan yang diperlukan 1
hektar kebun kebun kelapa sawit ?
5. Jelaskan alokasi penggunaan biaya tersebut!
6. Menurut Anda apakah keuntungan dan kerugian menanam
kelapa sawit dibandingkan komoditi yang lain?
7. Apakah masalah yang sering muncul pada perkebunan
kelapa sawit di wilayah ini? Bagaimana cara
mengatasinya?
8. Apakah kebun kelapa sawit Bapak/Ibu bertahan sampai
sekarang? Jelaskan alasannya!
9. Jika kebun Bapak/Ibu masih bertahan, apakah sudah
menghasilkan? Jelaskan!
Lampiran 8
Panduan Pertanyaan
1. Menurut Anda, bagaimana prospek perkebunan kelapa
sawit di daerah Anda di masa yang akan datang?
2. Menurut Anda, apakah kebijakan pemerintah yang
menjadi faktor pendorong dalam memperluas areal
perkebunan sawit?
3. Menurut Anda, apakah alasan pemerintah (baik pusat
dan daerah) mendukung pembangunan dan pengembangan
perkebunan kelapa sawit?
4. Menurut Anda, bagaimana posisi tawar komoditas
kelapa sawit di pasar domestik maupun internasional?
5. Apakah permintaan pasar dan harga komoditas sawit
di pasaran berpengaruh pada pertambahan areal
perkebunan sawit di wilayah Anda?
6. Apakah alasan masyarakat membuka atau tidak
membuka kebun kelapa sawit?
7. Apakah menurut Anda kepemilikan modal dan
pengetahuan masyarakat tentang perkebunan kelapa
sawit mempengaruhi keputusan mereka untuk membuka
kebun kelapa sawit?
8. Bagaimana aktivitas perpindahan kepemilikan lahan
setelah masuknya komoditas kelapa sawit?
9. Ceritakan perubahan-perubahan kepemilikan yang
terjadi setelah masuknya komoditas sawit!
10. Menurut Anda apakah perkebunan kelapa sawit
memberikan lebih banyak dampak positif atau negatif
terhadap kesejahteraan masyarakat?
11. Bagaimana respon masyarakat UPT Simpang Nungki
terhadap program pengembangan program kelapa sawit
dan pembangunan kebun plasma?
12. Menurut Anda, bagaimana tingkat pengetahuan dan
kepemilikan modal masyarakat mempengaruhi keputusan
untuk membuka kebun?
13. Apakah dengan tingkat pengetahuan dan kepemilikan
modal yang dimiliki, masyarakat mampu membangun kebun
secara mandiri?
Gambar 1. Jalan Desa SimpangNungki Gambar 2. Jalan UPT Simpang
Gambar 3. Unit PemukimanTransmigrasi
Gambar 4. Kebun KelapaSawit Masyarakat yang
Kurang Baik
Gambar 5. Tanaman Kelapa SawitPasca Kebakaran Lahan
Gambar 6. Kebun Kelapa Sawityang Baik
top related