Biopharmaceutical Clasification System (Bsc)
Post on 22-Oct-2015
178 Views
Preview:
Transcript
BIOPHARMACEUTICAL
CLASIFICATION SYSTEM
(BSC)
Pendahuluan • Biofarmasetik adalah ilmu yang mempelajari keterkaitan ini
sifat fisikokimia obat, bentuk sediaan di mana obat diberikan,
dan rute pemberian pada tingkat dan tingkat absorpsi obat
sistemik.
• Faktor-faktor yang mempengaruhi biofarmasetik: stabilitas
obat dalam produk obat, pelepasan obat dari produk obat,
laju disolusi dilokasi penyerapan, penyerapan sistemik
Defenisi
• Sistem klasifikasi biofarmasetik (biopharmaceutical
Classification System, BCS) mengelompokkan obat
dalam kelompok yang didasarkan pada: kelarutan,
permeabilitas dan kecepatan disolusi in vitro.
• Sistem klasifikasi biofarmasetik (BCS) menggunakan
parameter kelarutan dan permeabilitas
Tujuan
• Mengidentifikasi situasi yang memungkinkan dalam
uji disolusi in vitro yang digunakan untuk memastikan
bioekivalensi dalam ketidakhadiran studi
bioekivalensi aktual klinis oral produk segera
dibebaskan dengan tindakan sistematik.
Klasifikasi BSC
1. Class I - High Permeability, High Solubility
2. Class II - High Permeability, Low Solubility
3. Class III - Low Permeability, High Solubility
4. Class IV - Low Permeability, Low Solubility
Class I - High Permeability, High Solubility
• Permeabilitas tinggi, Kelarutan Tinggi
• Berdaya serap yang tinggi,Senyawa ini umumnya sangat
baik diserap
• Laju pelarutan umumnya melebihi pengosongan lambung
• Jika waktu solubility obat > daripada laju pengosongan
lambung : maka laju solubilias yang akan dibatasi.
Ex: Metoprolol, Diltiazem, Verapamil, Propranolol
Class II - High Permeability, Low Solubility
• Permeabilitas tinggi , Kelarutan rendah
• Penyerapan untuk obat kelas II biasanya lebih lambat dan
terjadi selama periode yang lebih lama.
• Bioavailabilitas produk tersebut dibatasi oleh tingkat solvasi
mereka. Sebuah korelasi antara in vivo bioavailabilitas dan in
vitro solvasi dapat ditemukan.
Ex: Glibenklamid Fenitoin, Danazol, Ketokonazol, asam
mefenamat, Nifedinpine.
Class III - Low Permeability, High Solubility
• Permeabilitas rendah, Kelarutan Tinggi
• Absorpsi obat dibatasi oleh terbatasnya zat
yang terlarut.
• Ex: Simetidin, Acyclovir, Neomycin B,
Captopril.
Class IV - Low Permeability, Low Solubility
• Permeabilitas rendah, kelarutan rendah
• Mempunyai bioavailabilitas yang buruk.
• Menunjukkan banyak masalah untuk pemberian oral
• Tantangan besar dalam pengembangan sistem pengiriman
obat dan pemilihan rute untuk memberikan obat-obatan
tersebut secara parenteral dengan formulasi yang
mengandung peningkat kelarutan
Ex: taxol, hydroclorthiaziade, furosemid
Batas kelas BSC• Sangat larut
Sebuah zat obat dianggap SANGAT larut ketika kekuatan dosis
tertinggi larut dalam <250 ml air selama rentang pH 1-7,5.
• Permeabilitas
Sebuah zat obat dianggap sangat permeabel ketika tingkat
penyerapan pada manusia bertekad untuk menjadi> 90% dari
dosis yang diberikan, berdasarkan massa-keseimbangan atau
dibandingkan dengan dosis referensi intravena.
• Kelararutan cepat
Sebuah produk obat dianggap kelarutannya cepat atau
tinggi ketika larut > 85% dari jumlah pemberian
bahan obat dalam waktu 30 menit menggunakan
USP peralatan I atau II dalam volume <900 ml
Larutan penyangga.
Penentuan kelarutan• Profil pH-kelarutan obat uji dalam media air
dengan kisaran pH 1-7,5.• Metod titrasi• Validasi analisis stabilitas
Penentuan permeabilitasTingkat penyerapan pada manusia:
• Studi farmakokinetik
• Studi bioavailabilitas mutlak.
Metode permeabilitas usus:
• In vivo usus perfusions studi pada manusia.
• In vivo atau dalam studi perfusi usus in situ pada hewan.
• In vitro permeasi percobaan dengan dipotong jaringan usus manusia atau
hewan.
• Dalam percobaan in vitro permeasi seluruh monolayers sel epitel.
Aplikasi BSC• Penggunaan BCS sebagai alat sederhana dalam
pengembangan awal obat untuk menentukan profil sediaan
• Klasifikasi obat berdasarkan BCS dapat menghemat waktu dan biaya pengembangan sediaan farmasi oleh perusahaan farmasi.
• BCS memberikan kesempatan kepada ahli kimia sintetis untuk memanipulasi dalam struktur kimia obat yang sudah ada untuk mengoptimalkan sifat fisikokimia molekul sehingga memperbaiki penghantaran dan penargetan obat.
• Obat Kelas I : Tantangan utama dalam pengembangan sistem penghantaran obat untuk obat kelas I adalah untuk mencapai profil target langsung terkait dengan profil farmakokinetik atau farmakodinamik tertentu. Pendekatan formulasi mencakup baik pengendalian laju pelepasan dan sifat fisikokimia obat tertentu seperti pH-kelarutan obat.
• Obat Kelas II : Sistem yang dikembangkan untuk obat kelas II didasarkan pada mikronisasi, liofilisasi, penambahan surfaktan, formulasi sebagai emulsi dan sistem mikroemulsi, penggunaan agen kompleks seperti siklodekstrin.
• Obat Kelas III : obat yang memerlukan teknologi yang mengatasi keterbatasan dalam hal permeabilitas. Peptida dan protein merupakan bagian dari kelas III dan teknologi penanganan bahan-bahan tersebut sedang meningkat sekarang hari.
• Obat Kelas IV : adalah obat yang menyajikan sebuah tantangan besar bagi pengembangan sistem penghantaran obat dan rute pilihan untuk memberikan obat-obatan tersebut parenteral dengan formulasi yang mengandung kelarutan rendah.
PROTOKOL UJI BIOAVAILABILITAS
Pendahuluan
• Bioavailaibilitas (ketersediaan hayati) merupakan
persentase dan kecepatan zat aktif dalam suatu
produk obat yang mencapai/tersedia dalam sirkulasi
sistemik dalam bentuk utuh/aktif setelah pemberian
produk obat tersebut, diukur dari kadarnya dalam
darah terhadap waktu atau dari ekskresinya dalam
urin
• Bioavailabilitas absolut : bila dibandingkan dengan
sediaan intravena yang bioavailabilitasnya 100 %
• Bioavailabilitas relatif : Bila dibandingkan dengan
sediaan bukan intravena
Tujuan
• Untuk menentukan cara pemberian dan bentuk sediaan
suatu obat baru
• Untuk menentukan mutu suatu obat dan pengaturan
kondisi pemakaian obat sebagai fungsi dari keadaan
penderita
• Untuk memastikan kesetaraan mutu obat yang teliti
dengan mutu obat sejenis yang dihasilkan oleh pabrik lain
• Parameter bioavailabilitasPada studi bioavailablitas (BA), bentuk dan luas area di bawah kurva kadar plasma terhadap waktu, serta profil ekskresi ginjal kumulatif dan kecepatan ekskresi digunakan untuk menilai jumlah dan kecepatan absorpsi.
• Parameter bioavailabilitas dari sampel daraha. Untuk studi dosis tunggal- AUCt = Area di bawah kurva kadar obat (atau metabolit) dalam plasma (atau serum atau darah) terhadap waktu dari waktu 0 sampai waktu terakhir kadar obat diukur –- dihitung secara trapezoidal.- AUC∞ = AUC dari waktu 0 sampai waktu tidak terhingga = AUCt + Ct / ke ~ menggambarkan jumlah obat yang bioavailabel- Cmax = kadar puncak (maksimal) obat (atau metabolit) dalam plasma (atau serum atau darah) yang teramati.- tmax = waktu sejak pemberian obat sampai dicapai Cmax
• t½ = waktu paruh obat (atau metabolit) dalam plasma (atau serum atau darah)AUC∞ dan Cmax merupakan parameter yang paling relevan untuk penilaian BE.AUCt paling dapat dipercaya untuk menggambarkan besarnya absorpsi (jumlah obat yang bioavailabel).
Protokol Uji Bioekivalensi
Pendahuluan
• Dua produk obat disebut bioekivalen jika keduanya mempunyai ekivalensi farmaseutik atau merupakan alternatif farmaseutik dan pada pemberian dengan dosis molar yang sama akan menghasilkan bioavailabilitas yang sebanding sehingga efeknya akan sama, dalam hal efikasi maupun keamanan.Jika bioavailabilitasnya tidak memenuhi kriteria bioekivalen maka kedua produk obat tersebut disebut bioinekivalen.
Beberapa istilah
• Ekivalensi farmaseutik
Dua produk obat mempunyai ekivalensi farmaseutik jika keduanya
mengandung zat aktif yang sama dalam jumlah yang sama dan bentuk
sediaan yang sama.
• Alternatif farmaseutik
Dua produk obat merupakan alternatif farmaseutik jika keduanya
mengandung zat aktif yang sama tetapi berbeda dalam bentuk kimia
(garam, ester, dsb) atau bentuk sediaan atau kekuatan.
• BioekivalensiDua produk obat disebut bioekivalen jika keduanya mempunyai ekivalensi
farmaseutik atau merupakan alternatif farmaseutik dan pada pemberian dengan dosis molar yang sama akan menghasilkan bioavailabilitas yang sebanding sehingga efeknya akan sama, dalam hal efikasi maupun keamanan. Jika bioavailabilitas nya yang tidak memenuhi kriteria bioekivalen maka kedua produk obat tersebut disebut bioinekivalen
• Ekivalensi terapeutikDua produk obat mempunyai ekivalensi terapeutik jika keduanya mempunyai
ekivalensi farmaseutik atau merupakan alternatif farmaseutik dan pada pemberian dengan dosis molar yang sama akan menghasilkan efikasi klinik dan keamanan yang sebanding. Dengan demikian, ekivalensi/inekivalensi terapeutik seharusnya ditunjukkan dengan uji klinik.
Kriteria Untuk Uji Ekivalensi
1. Produk obat yang memerlukan uji ekivalensi in vivo:
Uji ekivalensi in vivo dapat berupa studi bioekivalensi
farmakokinetik, studi farmakodinamik komparatif, atau uji
klinik komparatif.
• Produk obat oral lepas cepat yang bekerja sistemik• Produk obat non-oral dan non-parenteral yang didesain untuk
bekerja sistemik• Produk obat lepas lambat atau termodifikasi yang bekerja
sistemik
• Produk kombinasi tetap untuk bekerja sistemik, yang paling
sedikit salah satu zat aktifnya memerlukan studi in vivo.
• Produk obat bukan larutan untuk penggunaan nonsistemik
(oral, nasal, okular, dermal, rektal, vaginal, dsb.) dan
dimaksudkan untuk bekerja lokal (tidak untuk diabsorpsi
sistemik).
2. Produk obat yang cukup dilakukan uji ekivalensi in vitro (uji
disolusi terbanding)
• Produk obat “copy” yang hanya berbeda kekuatan– uji disolusi
terbanding dapat diterima untuk kekuatan yang lebih rendah
berdasarkan perbandingan profil disolusi.
• Berdasarkan sistem klasifikasi biofarmaseutik
(Biopharmaceutic Classification System = BCS) dari zat aktif
serta karakteristik disolusi dan profil disolusi dari produk obat.
3. Produk obat yang tidak memerlukan uji ekivalensi• Produk obat “copy” untuk penggunaan intravena
• Sebagai larutan dalam air yang mengandung zat aktif yang
sama dalam kadar molar yang sama dengan produk
pembanding.• Produk obat “copy” berupa larutan untuk penggunaan oral
(termasuk sirup, eliksir, tingtur atau bentuk larutan lain tetapi bukan suspensi), yang mengandung zat aktif dalam kadar molar yang sama dengan produk pembanding,
DESAIN DAN PELAKSANAAN STUDI BIOEKIVALENSI
• Studi bioekivalensi (BE) adalah studi bioavailabilitas (BA)
komparatif yang dirancang untuk menunjukkan bioekivalensi
antara produk uji (suatu produk obat ”copy”) dengan produk obat
inovator /pembandingnya. Caranya dengan membandingkan profil
kadar obat dalam darah atau urin antara produk-produk obat yang
dibandingkan pada subyek manusia. Karena itu desain dan
pelaksanaan studi BEharus mengikuti Pedoman Cara Uji Klinik yang
Baik (CUKB), termasuk harus lolos Kaji Etik.
• Uji disolusi in vitro• Dianjurkan bahwa potensi dan karakteristik disolusi in vitro
dari produk obat uji dan pembanding dipastikan dulu sebelum dilakukan studi BE. Hasilnya harus dilaporkan sebagai profil persen obat yang terlarut terhadap waktu. Nomor batch kedua produk harus dicantumkan, demikian juga tanggal kadaluarsa produk pembanding. Kandungan zat aktif antara kedua produk tidak boleh berbeda lebih dari 5%. Jika potensi produk pembanding menyimpang > 5% dari kandungan 100% yang tercantum dalam label, perbedaan ini dapat digunakan kemudian untuk koreksi dosis pada perhitungan parameter bioavailabilitas pada studi BE.
Pengambilan sampel darah
• Dalam keadaan normal harus digunakan sampel darah, meskipun sampel urin juga dapat digunakan.
• Biasanya kadar obat atau metabolit diukur dalam serum atau plasma. Dalam keadaan tertentu, kadar obat diukur dalam darah (misal sulfa);
• Dengan pengambilan darah dapat ditentukan (t0),Cmaks
• Dengan demikian akan diperoleh AUC (luas area dibawah kurva kadar obat terhadap waktu) sedikitnya 80% dari AUC yang diekstrapolasi ke tidak terhingga (∞)
Protokol Uji Obat Padat
PROTOKOL UJI OBAT PADAT
PENGUJIAN GRANUL• Pengujian mutu granul sangat penting untuk
formula baru atau formula yang dimodifikasi atau granul dengan bahan dasar baru, validasi mutu granul.
• Bobot jenis benar adalah bobot jenis bahan tersebut tanpa pori-pori, ditentukan dengan piknometer dengan menggunakan solven yang tidak melarutkan bahan.
• Ala-alat :• Piknometer 20 cc• Neraca analitik
• Prosedur kerja :• Timbang piknometer 20 cc kosong (w=g)• Isi piknometer dengan solven dan bersihkan kelebihan pada ujungnya. Timbang
piknometer + solven.• Hitung bobot solven w2g• Tuang sebagian solvent (2-3 cc) kedalam tabung bersih.• Timbang teliti 1-1,5 gram bahan (w3g)• Masukan secara kuantitatif bahan tersebut, dalam piknometer yang berisi solven
sebagian• Tambahkan solven kedalam piknometer sampai batas dan timbang (w4g)
KECEPATAN ALIR
• Waktu yang diperlukan suatu kuantitas serbuk tertentu melalui corong tertentu. Untuk 100 gr serbuk, waktu yang diperlukan maksimal 10 detik. Agar terdapat suatu keteraturan farbrikasi hasil pangamatan :
• Dilakukan 3 kali pengujian.
Kapsul
1.Keseragaman Kandungan Pengujian ini dilakukan untuk menentukan
kandungan bahan aktif dari kapsul satu dan kapsul lainnya. Jika bahan aktif tidak kurang dari 50% dari bobot tablet atau kapsul dan lebih besar dari 50 mg persyaratannya harus berada pada rentang 85% -115% dengan simpangan relatif kurang atau sama dengan 6%.
2. Waktu HancurPengujian kehancuran adalah suatu pengujian
untuk mengetahui seberapa cepat tablet hancur menjadi agregat atau partikel lebih halus. Pengujian dilakukan berdasarkan asumsi bahwa jika produk hancur dalam periode waktu singkat, misal dalam 5 menit, maka obat akan dilepas dan tidak ada antisipasi masalah dalam hal kualitas produk obat. Waktu hancur setiap tablet atau kapsul dicatat dan memenuhi persyaratan spesifikasi waktu (dalam 15 menit).
4. Kadar Zat Berkhasiat• Pengujian ini merupakan versi ku• antitatif dari pengujian identifikasi. 10- 20 • kapsul, isinya di gerus dan bahan aktif yang
larut diekstraksi menggunakan • pelarut yang sesuai menurut prosedur yang
sudah ditetapkan. Umumnya rentang kadar bahan aktif yang ditentukan berada diantara 90- 110% dari pernyataan pada etiket. (Agoes, 2008)
3.Disolusi • Disolusi adalah larutnya zat berkhasiat dalam
suatu media disolusi. Uji ini dimaksudkan untuk mengetahui berapa persentasi zat aktif dalam obat yang dapat terlarut dan terabsorpsi dan masuk ke dalam peredaran darah untuk memberikan efek terapi pada tubuh.
Kecepatan Pelarutan Secara sederhana kecepatan pelarutan didefinisikan sebagai jumlah zat
yang terlarut dari bentuk sediaan padat dalam medium tertentu sebagai fungsi waktu.
Dapat juga diartikan sebagai kecepatan larut bahan obat dari sediaan farmasi atau granul atau partikel-partikel sebagai hasil pecahnya bentuk sediaan obat tersebut setelah berhubungan dengan cairan medium.
Dalam hal tablettent bias diartikan sebagai mass transfer, yaitu kecepatan pelepasan obat atau kecepatan larut bahan obat dari sediaan tablet ke dalam medium penerima. Penelitian tentang disolusi telah dilakukan oleh Noyes Whitney dan dalam penelitiannya diperoleh persamaan yang mirip hokum difusi dari Fick :
dc/dt = DAK (Cs-C) h
dimana :dc/ct : laju pelarutan obatD : tetapan laju difusiA : luas permukaan partikelCs : kadar obat dalam “stagnant layer”C : konsentrasi obat dalam bagian terbesar pelarutK : koefisien partisi munyak/airh : tebal “stagnant layer
Banyak cara untuk mengungkapkan hasil kecepatan pelarutan suat zat atau sediaan. Selain persamaan di atas cara lain untuk mengungkapkan pelarutan adalah sebagai berikut :
1. Metode KlasikMetode ini dapat menunjukkan jumlah zat aktif yang
terlarut pada waktu t, yang kemudian dikenal dengan T-20, T-50, T-90, dan sebagainya. Karena dengan metode ini hanya menyebutkan 1 titik saja, maka proses yang terjadi di luar titik tersebut tida diketahui. Titik terebut menyatakan jumlah zat aktif yang terlarut pada waktu tertentu.
2. Metode Khan Metode ini kemudian dikenal dengan konsep dissolution
efficiency (DE)area di bawah kurva disolusi di antara titik waktu yang ditentukan.
3. Metode linierisasi kurva kecepatan pelarutan dengan menggunakan sebagai contoh persamaan wagner
Berdasarkan pada asumsi sebagai berikut :a. kondisi percobaan harus dalam keadaan sink yaitu Cs>>>Cb. proses pelarutan mengikuti orde Ic. luas permukaan spesifik (S) turun secara eksponensial fungsi
waktud. kondisi proes pelarutannya non reaktif
top related