BAB III. METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktueprints.umm.ac.id/43837/4/BAB III.pdfml larutan uji masing-masing dimasukkan ke dalam 3 tabung reaksi. Tabung 1 sebagai kontrol, tabung

Post on 17-Jun-2019

220 Views

Category:

Documents

0 Downloads

Preview:

Click to see full reader

Transcript

16

BAB III.

METODE PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Bioteknologi (Laboratorium

Sentral UMM), Laboratorium Farmasi UMM, Laboratorium Kimia Organik UIN

Maulana Malik Ibrahim Malang, dan screenhouse yang terletak di Dusun Kasin,

Desa Ampeldento, Kec. Karang Ploso, Kabupaten Malang. Penelitian berlangsung

selama 4 bulan mulai bulan Juni sampai September 2018.

3.2 Alat dan Bahan

Alat yang digunakan meliputi Digital Microscope HD Color Sensor,

masker, sarung tangan, gelas Beaker, tabung reaksi, ember, kuas, galon, hand

sprayer, gelas ukur, cawan petri, kantong plastik, homogenizer (blender),

sentrifus, freeze dryer, dan pipet. Bahan-bahan yang digunakan antara lain adalah

tanaman kedelai varietas DEGA-1 dan Gepak Kuning, Kutu daun (Aphis glycine)

Instar III sampai IV yang diperoleh dengan cara rearing dan eksplorasi di lahan

kedelai, umbi gadung, gulma C. dactylon, pestisida nabati yang mengandung

ekstrak biji mimba (Azadirachta indica A. Juss) dengan kadar azarakhtin 0,8-

0,4%,bahan kimia, akuades, dan metanol pro analysis (PA).

3.3 Rancangan Percobaan

Penelitian ini termasuk ke dalam jenis penelitian eksperimental yang

dilakukan dengan Rancangan Acak Kelompok (RAK) sederhana. Perlakuan

kombinasi pestisida ekstrak umbi gadung dan rumput grinting berjumlah 7

perlakuan ditambah dengan dua perlakuan kontrol (Tabel 1). Kontrol terdiri atas

kontrol positif dan kontrol negatif. Kontrol negatif (P1) dengan tanpa perlakuan,

17

sedangkan kontrol positif (P2) yaitu dengan pemberian pestisida nabati minyak

mimba dengan merk dagang Agrineem Neem Oil.

Tabel 1. Kode Perlakuan Kombinasi Ekstrak Pestisida Nabati

Kode

Perlakuan

Perbandingan

Gadung : Grinting

(v/v)

P1 Kontrol (-)

P2 Kontrol (+)

P3 1 : 0

P4 0 : 0

P5 1 : 3

P6 2 : 3

P7 3 : 2

P8 3 : 1

P9 1 : 1

Denah penelitian pada uji in vivo dan bioassay untuk perlakuan dengan

kombinasi ekstrak digambarkan pada skema berikut ini:

Denah Penelitian

I P1 P4 P7 P3 P2 P6 P5 P8 P9

II P9 P3 P2 P4 P5 P7 P8 P1 P6

III P2 P6 P9 P1 P4 P8 P5 P3 P7

Gambar 7. Denah Sampel Penelitian Dengan Perlakuan Kombinasi Ekstrak.

Keterangan:

1. Jarak antar baris adalah 40 cm.

2. Jarak antar perlakuaan adalah 20 cm.

3. I, II dam II merupakan kelompok perlakuan.

U

18

3.4 Pelaksanaan Penelitian

3.4.1 Ekstraksi Umbi Gadung

Pembuatan ekstrak umbi gadung menggunakan pelarut metanol. Bahan

segar sebanyak 25 g dicincang kemudian diekstrak dengan pelarut metanol

sebanyak 100 ml selama 15 menit. Ekstraksi dilakukan dengan menggunakan

blender. Hasil ekstraksi disentrifusi selama 20 menit dengan kecepatan 3.000 rpm,

kemudian diuapkan menggunakan freeze dryer hingga volume ± 1 ml. Larutan

tersebut kemudian diencerkan menggunakan akuades sesuai dengan konsentrasi

yang ditentukan (Tohir, 2010).

3.4.2 Ekstraksi Gulma Rumput Grinting (C. dactylon)

Pembuatan ekstrak alelokimia C. dactylon menggunakan seluruh bagian

gulma. Seluruh bagian gulma dikering anginkan selama 24 jam pada kondisi

gelap. Gulma yang telah dikeringkan sebayak 100 g dihancurkan dengan blender

dan menambahkan 100 ml akuades, kemudian disaring dengan kertas saring.

Ekstrak kemudian diencerkan, sesuai konsentrasi perlakuan dan disimpan di

dalam kulkas sampai digunakan untuk perlakuan. Model itu sesuai dengan metode

ekstraksi Astuti et al. (2017) pada alelokimia gulma Pilea microphylla.

3.4.3 Uji Fitokimia

Analisis fitokimia dilakukan untuk menentukan komponen bioaktif dari

ekstrak kombinasi gadung dan ekstrak rumput grinting yang mempunyai efek

racun bila diujikan dengan sistem biologi atau bioassay. Screening fitokimia yang

dilakukan pada penelitian ini berdasarkan metode Astuti, et al. (2013), yaitu

sebagai berikut:

19

a. Tanin

Uji Tanin : Sebanyak 2 mL larutan uji dimasukkan ke dalam 2 tabung reaksi,

tabung 1 sebagai kontrol dan tabung 2 ditambahkan beberapa tetes larutan FeCl3

5% atau FeCl3 10%, tanda positif Tanin jika terbentuk warna hijau gelap/biru.

b. Flavonoid

Uji Flavonoid: Sebanyak 0,5 mL ekstrak sampel kulit dan kayu batang setelah

ditambahkan 5 tetes AlCl3 1 % sampel berubah menjadi kuning atau Sebanyak 1

ml larutan uji masing-masing dimasukkan ke dalam 3 tabung reaksi. Tabung 1

sebagai kontrol, tabung 2 ditambah dengan 1 mL larutan Pb Asetat (timbal asetat)

10%, positif flavonoid jika terdapat endapan kuning.

c. Saponin

Uji Saponin: Sebanyak 4 mL larutan uji ditambahkan dengan 5 mL aquadest,

kocok, lihat adanya busa yang stabil. Sedikit ekstrak ditambahkan 5 mL air, kocok

dalam tabung reaksi, terbentuk busa stabil (busa setinggi 1 cm dan stabil selama

30 menit). 4 mL larutan uji dimasukkan ke dalam tabung reaksi sebagai kontrol.

d. Steroid

Uji Steroid: Tambahkan asam asetat anhidrat 2 ml pada 0,5 ekstrak etanol.

Kemudian tambahkan 2 ml asam sulfat pekat. Adanya steroid ditandai dengan

perubahan warna dari violet menjadi biru atau hijau.

e. Terpenoid

Uji Terpenoid: Campur 5 ml ekstrak dengan 2 ml kloroform. Kemudian

tambahkan dengan hati-hati 3 ml asam sulfat pekat. Terbentuknya cincin warna

coklat kemerahan pada permukaan dalam larutan, menunjukkan adanya terpenoid.

20

f. Alkaloid

Menentukan keberadaan alkaloid dalam sampel dimulai dengan

menambahkan 5 ml HCl 2 M ke dalam 20 gram ekstrak, aduk dengan sedikit

pemanasan selama 5 menit. Tambahkan 0,5 gram NaCl, aduk dan saring, setelah

itu tambahkan HCl 0,2 M, untuk membilas filter. Pekatkan filtrat sampai

memperoleh volume 5 ml. Masukkan filtrat pada 2 tabung reaksi kecil, masing-

masing 1 ml. Tabung 1 diberi pereaksi Mayer dan tabung 2 diberi pereaksi

Dragendorf.

3.4.4 Persiapan dan Penanaman Tanaman Uji

Perlakuan uji di lapangan dilakukan pada tanaman kedelai varietas DEGA-

1. Balitkabi Malang (2016) melaporkan bahwa galur kedelai GM-26 dengan nama

DEGA 1 telah direkomendasikan untuk dilepas sebagai varietas unggul baru

berdasarkan berita acara hasil sidang TP2V No.56/BBN.TP/9/2015. Varietas

DEGA 1 mempunyai keunggulan potensi hasil tinggi, umur genjah, ukuran biji

besar dan beradaptasi luas.

Bibit kedelai disemai kemudian dipindah tanam pada umur 7 HST ke

polibag yang lebih besar. Semua sampel tanaman diletakan di dalam screenhouse

kemudian ditutup dengan sungkup agar terhindar dari kemungkinan serangan

Gambar 8. Sungkup untuk uji di dalam Screenhouse

21

hama lain. Setelah itu, akhir masa vegetatif yaitu ditandai dengan munculnya

bunga berwarna ungu atau pada umur 28 HST.

Sungkup dirancang menggunakan kain kasa modifikasi berbentuk balok

dengan ukuran 50 x 50 x 100 cm. Kain kassa yang digunakan untuk sungkup

memiliki ketebalan 40 mesh dengan tujuan menutupi tanaman kedelai dari

kemungkinan serangan hama lainya (Gambar 8).

3.4.5 Riring kutu daun

Tanaman inang yang digunakan untuk riring adalah kedelai varietas Gepak

Kuning. Jumlah tanaman inang yang digunakan pada perbanyakan individu kutu

A. glycine adalah 30 tanaman yang ditanam sebanyak tiga kali masa tanam dengan

selang waktu tujuh hari. Kutu A. glycine yang digunakan untuk riring bersumber

dari lahan kedelai petani yang kurang mendapat aplikasi insektisida, metode yang

digunakan adalah metode pencarian langsung dengan tangan (hand searching

technique), kemudian dipindahkan ke rumah kasa untuk proses riring yang

berlokasi di Desa Ampeldento, Kec. Karang Ploso, Kab. Malang.

Proses pemeliharaan dan riring dilakukan saat tanaman inang tumbuh dan

berkembang hingga berumur 28 hari atau awal masa generatif tanaman kedelai,

setelah populasi kutu daun mulai meningkat dan tanaman inang dari masa tanam

pertama mulai mengalami gejala serangan virus, kutu daun kemudian dipindahkan

secara mekanis ke bagian bawah daun tanaman inang dari masa tanam kedua agar

terus menerus melakukan regenerasi, kemudian seterusnya.

Proses perbanyakan kutu A. glycine dipercepat dengan aplikasi glukosa

cair dengan cara menyimpannya dalam spon yang diletakan di daun tanaman

inang. Metode ini diasumsikan berdasarkan laporan McCornack et al. (2008)

22

dalam Tilmon et al., (2011) bahwa kutu daun kedelai memiliki mulut pengisap

yang biasa digunakan memakan getah floem. Meskipun kutu kedelai akan

memakan daun, batang, dan polong, mereka paling sering ditemukan di bagian

bawah daun.

3.4.6 Investasi Kutu A. Glycines Secara In Vivo dan In Vitro

a. Secara In Vivo pada Bioessay

Investasi kutu daun dilakukan pada pagi hari dengan memotong daun

bagian tanaman inang hasil riring, kemudian dipindahkan ke dalam cawan petri

untuk dihitung. Investasi kutu A. glycine menggunakan kuas halus sebanyak 100

ekor per tanaman pada setiap sungkup (Gambar 9). Kuas yang digunakan tidak

menyebabkan kutu daun cidera atau mati karena dampak mekanis.

b. Secara In Vitro

Pengujian secara in vitro dilakukan di dalam cawan petri kaca dan

bertempat di Laboratorium Bioteknologi UMM. Langkah pertama yaitu

memasukkan daun kedelai segar ke dalam cawan petri lalu menyemprotkan

pestisida sesuai taraf perlakuan dan menunggu beberapa menit untuk

Gambar 9. (a) Daun kedelai yang terdapat A. glycine hasil rearing.

(b) Daun tanaman uji setelah diinvestasikan kutu

menggunakan kuas.

a b

23

memungkinkan ekstrak meresap ke dalam daun. Setelah itu, kutu A. glycine

disiapkan di lingkungan yang sama supaya beradaptasi.

3.4.7 Efikasi Secara In Vitro

Uji in vitro dilakukan selama 72 jam dengan organisme target sebanyak 5

ekor. Sebelumnya sampel kutu A. glycine diambil dari tanaman hasil riring dan

diaklimatisasi agar menyesuaikan dengan lingkungan laboratorium. Aplikasi

diawali dengan menyimpan daun yang telah terpapar insektisida ekstrak

kombinasi pada cawan petri terbuka dan dipaparkan kepada kutu A. glycine. Uji

ini dimaksudkan untuk mengevaluasi dan mengetahui kecepatan kematian kutu

daun dalam satuan ekor per jam.

3.4.8 Efikasi Secara In Vivo pada Bioessay

Uji toksisitas in vivo adalah suatu uji toksisitas yang dilakukan pada

hewan coba, dengan tujuannya untuk menentukan tingkat ketoksikan suatu

zat/bahan terhadap perubahan fungsi fisiologis maupun perubahan yang bersifat

patologis pada organ vital dalam kurun waktu tertentu (Meles, 2010).

Aplikasi in vivo di lapangan dilakukan dengan metode bioassay. Bioassay

dilakukan menggunakan metode residu pada daun (penyemprotan). Tanaman uji

ditutup dengan sungkup berbahan kasa halus untuk menghindari kutu daun

berpindah ke tanaman lain atau menghindari kemungkinan masuknya serangga

lain pada tanaman uji. Setelah itu, sebanyak 100 ekor kutu diletakkan pada atas

permukaan daun, bawah daun atau di bagian pucuk tanaman kedelai. Setelah kutu

mulai beradaptasi dengan tanaman uji kemudian disemprot menggunakan sprayer

kecil sesuai perlakuan yang telah ditetapkan.

24

3.4.8 Penghitungan Angka Mortalitas Kutu A. glycine, LT50 dan LC50

1. Mortalitas Hama

Pengamatan dilakukan pada 24 jam, 48 jam dan 72 jam setelah aplikasi

terhadap jumlah nimfa instar ataupun imago yang mati. Tingkat mortalitas nimfa

instar kutu daun Aphis glycine dihitung dengan menggunakan rumus :

Tm = n

N x 100%

Ket:

Tm = Tingkat mortalitas (%)

n = Jumlah nimfa instar kutu yang mati, dan

N = Jumlah nimfa instar kutu total.

P =Po−pc

100−pc x 100%Data persentase mortalitas perlakuan dikoreksi dengan

mortalitas kontrol dengan rumus Abbot :

Ket : Pt = Mortalitas terkoreksi

Po = Mortalitas kontrol

Pc = Mortalitas perlakuan

Pengujian akan dianggap gagal apabila persentase kematian pada kontrol

lebih besar dari pada 10%, sehingga pengujian harus diulang

(Salaki dan Pelealu, 2012).

2. Lethal Time (LT50)

Waktu yang diperlukan untuk mematikan 50% kutu Aphis glycine pada

perbandingan kombinasi yang telah ditentukan. LT50 dihitung dari data hasil

pengamatan pada uji bioassay dengan menghubungkan antara log 10 waktu

pengamatan dengan nilai probit persentase mortalitas.

25

3. Lethal Consentration (LC50)

Konsentrasi yang dipakai pada perlakuan saat aplikasi ditentukan sesuai

dengan perbandingan kombinasi dan dibuat volume akhir sebanyak 50 ml.

Adapun beberapa konsentrasi tersebut adalah sebagai berikut:

Tabel 2. Konsentrasi Perlakuan Ekstrak Gadung dan Grinting

No.

Perbandingan

Gadung : Grinting

(v/v)

Volume Ekstrak Vol.

Pengenceran

(l)

Konsentrasi

Gadung

(ml)

Grinting

(ml) Gadung Grinting

1. 1 : 0 50 0 1 5% 0%

2. 0 : 1 0 50 1 0% 5%

3. 3 : 1 37,5 12,5 1 3,75% 1,25%

4. 3 : 2 30 20 1 3% 2%

5. 2 : 3 20 30 1 2% 3%

6. 1 : 3 12,5 37,5 1 1,25% 3,75%

7. 1 : 1 25 25 1 2,5% 2,5%

Lethal consentration 50 (LC50) adalah konsentrasi yang dibutuhkan untuk

mematikan 50% kutu Aphis glycine dalam jangka waktu tertentu. Data diambil

pada perlakuan bioassay di lapangan dengan membandingkan semua perlakuan

dan dicari kombinasi perlakuan yang paling efektif menekan mortalitas hama kutu

kedelai. Nilai LC50 dihitung menggunakan analisis probit dengan menghubungkan

log 10 konsentrasi dan nilai probit persentase mortalitas hama (Lampiran 2).

3.5 Variabel Penelitian

Variabel penelitian ini terdiri dari dua jenis, yaitu variabel bebas dan

variabel terikat. Variabel bebas yakni perbandingan kombinasi ekstrak umbi

gadung dan rumput grinting. Sedangkan variabel terikat terbagi atas mortalitas

hama kutu A. glycine, Lethal Time (LT50) dan Lethal Concentration (LC50).

26

3.6 Analisis Data

Data hasil pengamatan pada uji in vivo pada bioessay dianalisis dengan

ANOVA pada jenjang nyata 5%. Apabila beda nyata antar perlakuan, akan diuji

lanjut dengan Duncan’s Multiple Range Test (DMRT) pada jenjang nyata 5%.

Perhitungan LC50 dan LT50 dianalisis menggunakan analisis probit.

top related