Bab II Tinjauan Pustaka
Post on 23-Dec-2015
216 Views
Preview:
DESCRIPTION
Transcript
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Gangguan Makan pada Remaja
2.1.1 Contoh Kasus
Nn. S seorang pelajar di sebuah Sekolah Menengah Atas swasta di Surabaya. Usia
18 tahun, Nn. S bingung dengan kebiasaan yang ia lakukan dua tahun belakangan ini.
Sejak usia 16 tahun dia merasa badannya terlalu gemuk dan makan terlalu banyak.
Pada mulanya Nn. S mengikuti kontes "putri-putrian" di sekolahnya, pada saat itu ia
tidak masuk nominasi. Teman-temannya mengatakan bahwa ia terlalu gemuk untuk
menang, Semenjak itu kebiasaan makan Nn.S berubah. Ia makan sedikit sekali untuk
mencapai berat badan ideal, bahkan sesekali saya tidak makan sama sekali seharian.
Kebiasaan itu terus berlangsung sampai sekarang. Selama ini keadaan Nn. S terlihat
baik-baik saja, tidak seorangpun mengetahui ketakutan Nn.S akan kegemukan. Orang
tuanya tidak mengetahui, karena selama sekolah Nn. S memutuskan untuk kost.
Kekhawatiran Nn.S mulai timbul setelah selama tiga bulan ini ia tidak datang bulan,
padahal ia masih sendiri. Selain itu badannya terasa sangat lemas dan sudah beberapa
hari tidak bisa buang air besar. Setiap kali ingin makan, Nn. S berfikir dia akan gemuk
dan itu sangat menakutkan bagi dirinya.
2.1.2 Pengertian
Gangguan makan hadir ketika seseorang mengalami suatu gangguan yang cukup
parah dalam tingkah laku makan, seperti mengurangi kadar makanan dengan ekstrem
atau makan terlalu banyak yang ekstrem, atau perasaan menderita atau keprihatinan
tentang berat atau bentuk tubuh yang ekstrem. Secara garis besar ada dua tipe utama
gangguan makan, yaitu Anoreksia Nervosa dan Bulimia Nervosa (Townsend, 2008).
a. Anoreksia Nervosa
Sindrom klinis di mana seseorang mengalami rasa takut yang tidak wajar terhadap
kegemukan. Hal ini dicirikan oleh distorsi yang kasar dari bayangan tubuh, memikirkan
secara berlebihan tentang makanan, dan penolakan untuk makan.
3
b. Bulimia Nervosa
Perilaku makan yang menyimpang (umumnya disebut dengan “sindrom binge dan
purge”) yang dicirikan oleh kelebihan makan yang ekstrem, diikuti oleh muntah-muntah
yang disebabkan oleh diri sendiri dan penyalahgunaan obat-obat pencahar dan diuretik.
2.1.3 Psikopatologi
1. Etiologi gangguan makan: anoreksia nervosa dan bulimia nervosa
Menurut Becker et al (2009) etiologi anoreksia nervosa dan bulimia nervosa sama
yaitu akibat:
a. depresi
Penderita nervosa dan bulimia nervosa memiliki perasaan ketidakpuasan
terhadap bentuk tubuh yang tidak sesuai pengharapannya maka menimbulkan
depresi sehingga timbul perilaku berusaha bagaimana caranya untuk mengurangi
berat badan sesuai yang mereka inginkan;
b. ansietas
Rasa cemas yang berlebih terhadap bentuk tubuh yang ideal menurut
pandangannya membuat seseorang melakukan segala cara untuk mengurangi
berat badannya; dan
c. perilaku terasuk (obsessive)
Perilaku seseorang yang obsesif yaitu ingin segala sesuatu yang diinginkan
tercapai membuat seseorang melakukan segala cara untuk mendapatkan apa
yang diinginkannya.
Sedangkan menurut Videbeck (2008) etiologi anoreksia nervosa dan bulimia
nervosa adalah:
a. gangguan nucleus hipotalamus
Dua set nucleus hipotalamus sangat penting pada bnayak aspek rasa lapar dan
kenyang (kepuasan akan nafsu makan) yaitu hipotalamus lateral dan hipotalamus
ventromedial;
4
b. penurunan norepinefrin
Norepinefrin pada orang normal yaitu untuk membuat zat gizi dimetabolisme
dan digunakan oleh tubuh. Sedangkan penurunan norepinefrin menyebabkan
sedikit zat gizi yang dimetabolisme;
c. kadar serotonin rendah
Normalnya kadar serotonin neurotransmitter dan triptofan prekusor tinggi yang
berfungsi meningkatkan rasa kenyang, dan mengirim sinyal tubuh bahwa kita
telah cukup makan, namun pada bulimia kadar serotonin rendah sehingga timbul
rasa lapar berlebih dan tidak berhenti makan.
2. Proses gangguan makan: anoreksia nervosa dan bulimia nervosa
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya anoreksia dan bulimia
nervosa ada dua faktor, yaitu faktor predisposisi (faktor risiko) dan faktor presipitasi
(faktor pencetus).
a. Faktor predisposisi
Menurut Videbeck (2008) faktor risiko gangguan makan pada
1). Anoreksia nervosa
Faktor risiko bilogis: obesitas, diet pada usia dini
Faktor risiko perkembangan: masalah dalam mengembangkan otonomi dan
memegang kendali terhadap diri sendiri dan lingkungan, masalah
mengembangkan identitas yang unik, ketidakpuasan dengan citra tubuh.
Faktor risiko keluarga: keluarga kaku terhadap nilai dan peraturan,
overprotektif, tidak mampu menghadapi konflik
Faktor risiko sosiokultural: ideal budaya tentang tubuh yang langsing, media
berfokus pada kecantikan, kelangsingan, kebugaran, preokupasi dengan
pencapaian tubuh ideal
2). Bulimia nervosa
Faktor risiko biologi: obesitas, diet dini, kemungkinan gangguan serotonin dan
norepinefrin.
Faktor risiko perkembangan: masalah separasi individuasi, perpisahan secara
fisik atau emosional menimbulkan stress, ketidakpuasan dengan citra tubuh
5
Faktor risiko keluarga: keluarga kacau, dengan batasan longgar, berorientasi
pada pencapaian, merasa kurang diperhatikan, perhatian orang tua terhadap
berat badan
Faktor risiko sosiokultural: ideal budaya tentang tubuh yang langsing, media
berfokus pada kecantikan, kelangsingan, kebugaran, preokupasi dengan
pencapaian tubuh ideal, diejek karena berat badan.
b. Faktor Presipitasi
Faktor pencetus terjadinya gangguan makan adalah perilaku diet, citra tubuh,
rasa percaya diri, kekerasan fisik, ejekan.
3. Tanda dan Gejala: anoreksia nervosa dan bulimia nervosa
a. kehilangan banyak berat badan
b. berbicara tentang berat badan dan makanan sepanjang waktu
c. berat dan jumlah kalori makanan
d. mengikuti diet ketat
e. kekhawatiran kenaikan berat badan
f. tidak akan makan di depan orang lain
g. mengabaikan / menyangkal kelaparan
h. tindakan moody
i. merasa tertekan
j. merasa tersinggung
k. tidak bersosialisasi
l. memakai pakaian longgar untuk menyembunyikan tampilan
4. Komplikasi gangguan makan: anoreksia nervosa dan bulimia nervosa
Berdasarkan National Institute of Mental Health (NIMH) (2007) komplikasi
sistemik yaitu perdarahan pada paru-paru serta ketidakseimbangan cairan dan
elektrolit, abnormalitas jantung, dan edema disebablan adanya penurunan cadangan
lemak di dalam tubuh. Pada bulimia nervosa komplikasi berupa amenorrhea, edema
dan kerusakan fungsi hati, dari proses pemuntahan sendiri akan menyebabkan
berkurangnya kalium, klor dan ion hydrogen sehingga menyebabkan kelemahan otot,
konstipasi dan rasa pusing.
6
2.1.4 Diagnosa Keperawatan dan Diagnosa Medis
1. Diagnosa Medis
1). Anoreksia nervosa
2). Bulimia nervosa
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa Keperawatan Umum untuk gangguan makan adalah sebagai berikut:
1). Perubahan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh
2). Ketidakseimbangan volume cairan: kurang dari kebutuhan tubuh
3). Koping individu tidak efektif
4). Gangguan citra tubuh/harga diri
2.1.5 Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan Medis
a. pengobatan
1). olanzapine, menaikkan indeks massa tubuh da mengurangi obessionality,
termasuk pikiran obsesif tentang makanan
2). Antidepresan, juga dipakai SSRI (Selective Serotonin Reuptake Inhibitors),
terutama bila salah satu komponen penyakitnya adalah latihan yang
dipaksakan (Imipramin, Desipramin, Fluoksetin, Sertralin).
3). Penggantian estrogen untuk amenore
b. Terapi
1). Terapi perilaku kognitif (CBT)
2). Terapi Kognitif Remediasi (CRT)
3). Yoga
2. Penatalaksanaan Keperawatan
a. Anoreksia Nervosa
Menurut Videbeck (2008) penatalaksanaan ini berfokus pada perbaikan berat
badan, rehabilitasi nutrisi, rehidrasi, dan koreksi ketidakseimbangan elektrolit.
Klien diberi makanan dengan gizi seimbang secara bertahap ditingkatkan asupan
kalorinya sampai pada tingkat normal.
1). Psikofarmakologi:
7
Beberapa kelas obat-obatan telah diteliti, tetapi sedikit yang menunjukkan
keberhasilan secara klinis. Amitriptilin dan Siproheptadin antihistamin dalam
dosis tinggi (sampai 28mg/hari) dapat meningkatkan penambahan berat badan
pada pasien rawat inap dengan anoreksia nervosa.
2). Psikoterapi:
Terapi keluarga dapat bermanfaat bagi keluarga dari klien yang berusia
kurang dari 18 tahun dan dapat menyelesaikan masalah tersebut dengan
meningkatkan komunikasi.
b. Bumilia Nervosa
Sebagian besar klien bumilia diterapi rawat jalan. Masuk rumah sakit jika
diindikasikan perilaku makan berlebihan dan pengurasan tidak terkontrol serta
status medis klien memburuk.
1). Psikoterapi:
Terapi Kognitif-Perilaku ditemukan sebagai terapi paling efektif untuk
bulimia. Strategi yang digunakan yaitu untuk mengubah pemikiran klien
(kognisi) dan tindakan (perilaku) tentang makanan berfokus pada tindakan
menghentikan siklus diet, makan berlebihan dan pengurasan serta mengubah
pemikiran dan keyakinan disfungsional klien tentang makanan, berat badan,
citra tubuh dan seluruh konsep diri. Terapi ini bisa dilakukan bersamaan dengan
pemberian psikoedukasi. Ageras et al (2000) dalam Videbeck (2008)
menyatakan bahwa terapi kognitif-perilaku ini menghasilkan perbaikan yang
lebih cepat pada klien bumilia daripada psikoterapi interpersonal.
2). Psikofarmakologi:
Sejak tahun 1980-an beberapa studi yang terkontrol dilakukan untuk
mengevaluasi keefektifan anti-depresan untuk mengobati bulimia. Obat-obatan
tersebut seperti despiramin, imipramin, amitriptilin, notriptilin, fenelzin dan
fluoksetin. Pada semua studi antidepresan lebih efektif daripada plasebo dalam
mengurangi makan yang berlebihan. Obat juga dapat memperbaiki mood dan
mengurangi preokupasi dengan bentuk dan berat badan.
8
2.2 Gangguan Seksual pada Remaja
2.2.1 Contoh kasus
An. H (15 tahun) adalah seorang pelajar SMP kelas 3 di suatu instansi
pendidikan Jakarta. An. H merupakan anak bungsu dari 4 bersaudara. Dia tinggal
bersama ibunya dan 3 kakak perempuannya. Sekitar 3 tahun lalu orang tua dari An. H
cerai. An. H berpenampilan rapi dan maskulin. An. H memiliki kebiasaan pergi ke salah
sau tempat fitnes center di Jakarta, yang notabene tempat itu merupakan tempat dari
komunitas gay. Suatu ketika dia memiliki seorang teman laki-laki yang menurutnya
dapat mengerti dirinya. An H mungkin rindu dengan sosok ayahnya. Lama kelamaan
An H mulai nyaman dengan teman laki-lakinya tersebut, dia sering pergi bersama ke
mal atau tempat lainnya dengan perilaku mesra dan bergandengan tangan. Di kota besar
seperti Jakarta, gay merupakan suatu trend gaya hidup.
2.2.2 Pengertian
Homoseksual adalah laki-laki dan perempuan yang secara emosional dan
seksual tertarik terhadap sesama jenis (Carrol, 2005). Homoseksual terdiri dari gay dan
lesbian. Homoseksual adalah orang yang merasakan atau hanya tertarik dengan jenis
kelamin yang sama, pria suka sama pria. Disebut gay bila penderitanya laki-laki dan
lesbian untuk penderita perempuan. Pada kasus homoseksual, individu atau penderita
yang mengalami disorientasi seksual tersebut mendapatkan kenikmatan fantasi seksual
melalui pasangan sesama jenis.
Orientasi seksual ini dapat terjadi akibat bawaan genetik kromosom dalam tubuh
atau akibat pengaruh lingkungan seperti trauma seksual yang didapatkan dalam proses
perkembangan hidup individu, maupun dalam bentuk interaksi dengan kondisi
lingkungan yang memungkinkan individu memiliki kecenderungan terhadapnya.
2.2.3 Psikopatologi / Psikodinamika
1. Faktor predisposisi
9
a. Biologi
Kombinasi atau rangkaian tertentu di dalam genetik (kromosom), otak ,
hormon, dan susunan syaraf diperkirakan mempengaruhi terbentuknya
homoseksual.
b. Psikologis
Pada saat ini di kota-kota besar terkadang dapat dikatakan bahwa keluarga kita
pada umumnya bahwa keluarga kita pada umumnya tidak sempat lagi
memperhatikan kebutuhan remaja akan penerapan moral dan pendidikan
agama pada putra-putrinya, selain itu diakibatkan tidak harmonisnya hubungan
antara remaja dengan orang tua. Misalnya akibat broken home atau orang tua
tinggalnya berjauhan padahal pada saat tertentu remaja sangat membutuhkan
orang tua tetapi mereka tidak disisinya.
c. Sosial budaya
Terjadi perubahan sosial dapat menyebabkan pergeseran nilai-nilai pada
remaja. Remaja mulai menyaksikan TV, VCD yang menayangkan film dengan
adegan kissing atau berkumpul di tepi pantai. Adegan-adegan itu mereka
saksikan hampir setipa hari pada saatnya mereka seharusnya belajar dan
beribadah.
2. Faktor presipitasi
a. Stressor sosial budaya
Homoseksual ini tidak dapat diterima oleh masyarakat dan tidak sesuai dengan
tata cara serta norma-norma agama.
b. Stressor psikologis
Remaja gagal mengidentifikasi dan mengasimilasi - apa, siapa, dan bagaimana
- menjadi dan menjalani peranan sesuai dengan identitas seksual mereka
berdasarkan nilai-nilai universal pria dan wanita. Hal ini dikarenakan dalam
proses pembentukan identitas seksual, seorang anak pertama-tama akan
melihat pada: orang tua mereka sendiri yang berjenis kelamin sama dengannya
dan kemudian mereka juga melihat pada teman bermain yang berjenis kelamin
sama dengannya.
10
3. Penilaian terhadap stressor
a. Respon kognitif: tidak dapat membedakan peran dirinya sebagai laki-laki atau
perempuan sesuai dengan identitas seksualnya
b. Respon afektif: biasanya akan menimbulkan perasaan berdosa dan menjadi
penganggu ketenangan batin
c. Respon perilaku: remaja lebih suka berteman atau menjalin hubungan dengans
sesama jenis
4. Sumber koping
a. Kemampuan personal: kemampuan untuk meningkatkan rasa percaya diri
terhadap identitas seksualnya. Kemampuan lainnya klien dapat mengambil
keputusan untuk melakukan peran sesuai dengan peranan yang sesuai
identitas seksualnya.
b. Dukungan sosial: dukungan untuk individu yang di dapat dari keluarga,
teman, kelompok, atau orang-orang disekitar klien. Dukungan ini untuk
membantu klien mengetahui peranan yang sesuai dengan identitas
seksualnya.
c. Asset material: ketersediaan materi antara lain yaitu akses pelayanan
kesehatan, dana atau finansial yang memadai, asuransi, jaminan pelayanan
kesehatan dan lain-lain.
d. Keyakinan positif: merupakan keyakinan spiritual dan gambaran positif
seseorang sehingga dapat menjadi dasar dari harapan yang dapat
mempertahankan koping adaptif walaupun dalam kondisi penuh stressor.
Keyakinan yang harus ditingkatkan bahwa klien memiliki kodratnya masing-
masing sesuai identitasnya sehingga tidak meyukai sesama jenis.
5. Mekanisme koping
Mekanisme koping yang mungkin digunakan klien untuk mengekspresikan masalah
seksualnya, antara lain :
a. Fantasi, mungkin digunakan untuk meningkatkan kepuasan sekasual
b. Denial, mungkin digunakan untuk tidak mengakui adanya konflik atau
ketidakpuasan seksual
11
c. Rasionalisasi, mungkin digunakan untuk memperoleh pembenaran atau
penerimaan tentang motif, perilaku, perasaan dan dorongan seksual
d. Menarik Diri, mungkin dilakukan untuk mengatasi perasaan lemah, perasaan
ambivalensi terhadap hubungan intim yang belum terselesaikan secara tuntas.
2.2.4 Diagnosa
2.2.4.1 Diagnosa Medis: -
2.2.4.2 Diagnosa Keperawatan
1. Disfungsi seksual berhubungan dengan perubahan struktur dan fungsi tubuh,
depresi
2. Perubahan pola seksualitas berhubungan dengan pilihan seksual yang
berbeda, penyesuaian diri terhadap seksual terlambat
3. Isolasi sosial berhubungan dengan harga diri rendah dengan diasingkan oleh
masyarakat, diskriminasi dan pelecehan verbal atau intimidasi, memiliki
perasaan komunitas yang rendah.
2.2.5 Penatalaksanaan
2.2.5.1 Farmakoterapi:
1. Pengobatan dengan estrogen (eastration)
Estrogen dapat mengontrol dorongan-dorongan seksual yang tadinya tidak
terkontrol menjadi lebih terkontrol. Arah keinginan seksual tidak diubah.
Diberikan peroral. Efek samping tersering adalah ginecomasti.
2. Pengobatan dengan neuroleptik
a. Phenothizine
Memperkecil dorongan sexual dan mengurangi kecemasan. Diberikan
peroral.
b. Fluphenazine enanthate
Preparat modifikasi Phenothiazine. Dapat mengurangi dorongan sexual
lebih dari dua-pertiga kasus dan efeknya sangat cepat. Diberikan IM
dosis 1cc 25 mg. Efektif untuk jangka waktu 2 pekan.
c. Pengobatan dengan trnsquilizer
12
Diazepam dan Lorazepam berguna untuk mengurangi gejala-gejalan
kecemasan dan rasa takut. Perlu diberikan secara hati-hati karena dalam
dosis besar dapat menghambat fungsi sexual secara menyeluruh. Pada
umumnya obat-obat neuroleptik dan transquilizer berguna sebagai
terapi adjuvant untuk pendekatan psikologik.
2.2.5.2 Intervensi Keperawatan
Dx Kep Tujuan Intervensi
Disfungsi seksual
berhubungan
dengan
perubahan
struktur dan
fungsi tubuh,
depresi
1. Jangka Pendek :
a. Klien akan mengidentifikasi
stresor yang berperan dalam
penurunan fungsi seksual
dalam 1 minggu
b. Klien akan mendiskusikan
patofisiologi proses
penyakitnya yang
menimbulkan disfungsi
seksual dalam 1 minggu
2. Jangka Panjang :
Klien dapat mempersepsikan
dengan baik dengan masalah
seksual
1. Kaji riwayat seksual dan
tingkat kepuasan sebelumnya
dalam hubungan seksual
2. Kaji persepsi klien
terhadap masalah
3. Bantu klien menetapkan
dimensi waktu yang
berhubungan dengan awitan
masalah dan diskusikan apa
yang terjadi dalam situasi
kehidupannya pada waktu itu
4. Kaji alam perasaan dan
tingkat energi klien
5. Tinjau aturan
pengobatan, observasi efek
samping
6. Dorong klien untuk
menanyakan hal-hal yang
berkenaan dengan seksual dan
fungsi yang mungkin
menyusahkan dirinya
Perubahan pola
seksualitas
berhubungan
dengan pilihan
1. Jangka Pendek :
a. Klien akan mengatakan
aspek-aspek seksualitas yang
ingin diubah
1. Ambil riwayat seksual,
perhatikan ekspresi area
ketidakpuasan klien terhadap
pola seksual
13
seksual yang
berbeda,
penyesuaian diri
terhadap seksual
terlambat
b. Klien dan pasangannya akan
saling berkomunikasi tentang
cara-cara dimana masing-
masing meyakini hubungan
seksual mereka dapat
diperbaiki
2. Jangka Panjang :
a. Klien akan memperlihatkan
kepuasan dengan pola
seksualitasnya sendiri
b. Klien dan pasangannya akan
memperlihatkan kepuasan
dengan hubungan seksualnya
2. Kaji area-area stress dalam
kehidupan klien dan periksa
hubungan dengan pasangan
seksualnya
3. Catat faktor-faktor budaya,
sosial, etnik dan religius yang
mungkin menambah konflik
yang berkenaan dengan
praktik seksual yang berbeda
4. Terima dan jangan
menghakimi
5. Bantu therapy dengan
perencanaan modifikasi
perilaku untuk membantu
klien yang berhasrat untuk
menurunkan perilaku-perilaku
seksual yang berbeda
6. Jika perubahan pola
seksualitas berhubungan
dengan penyakit atau
pengobatan medis, berikan
informasi untuk klien dan
pasangannya berkenaan
dengan hubungan antara
penyakit dan perubahan
seksual
Isolasi sosial
berhubungan
dengan harga diri
rendah dengan
diasingkan oleh
masyarakat,
klien mampu berinteraksi
dengan masyarakat dalam 3x24
jam
1. Membina hubungan saling
percaya denga klien
2. Mengkaji penyebab isolasi
sosial
3. Informasikan pada klien
pentingnya berinteraksi
14
diskriminasi dan
pelecehan verbal
atau intimidasi,
memiliki
perasaan
komunitas yang
rendah
dengan orang lain
4. Berikan dukunagan yang
positif dan dukungan emosi
5. Bantu klien berinteraksi
dengan orang lain secara
bertahap
2.3 Gangguan Tidur
2.3.1 Contoh Kasus
An. D merupakan anak perempuan dari pasangan keluarga Tn. s dan Ny. a yang
saat ini sudah berumur 15 tahun dan duduk dibangku SMA. An. D merupakan anak
kelima dari delapan bersaudara jadi orang tuanya tidak begitu memperdulikan dan
memperhatikan an. d. Orang tua an.d juga hanya sebagai buruh tani didesa tempat An.d
tinggal. A.d setiap harinya memiliki rutinitas yaitu sekolah dan les, mulai pukul 07:00-
17:00 WIB, setelah pulang sekolah An.d harus menjaga adik-adiknya yang masih kecil.
Pada akhir-akhir ini An.d mengeluhkan kepada orang tuannya bahwa an.d susah untuk
memulai untuk tidur dibawah jam 10. An.d juga mengeluhkan bahwa dirinya susah
untuk bangun ketika jam 5 pagi. An.d disekolah merasa belajarnya kurang efektif dan
tidak semangat lagi, malas, dan tidak bisa berkosentrasi dengan baik dalam waktu
proses belajar. Semakin hari kebiasaan ini sering dirasakan oleh An.d dan hanya
membuat keadaan an.d semakin terpuruk akibat istirahat tidur an.d tidak bisa optimal.
An.d memiliki gangguan tidur insomnia inisal dimana kesulitan untuk memulai tidur,
hal tersebut membuat an.d cemas dan takut karena an.d harus sekolah, serta an.d cemas
dan takut ketika disekolahan selama proses pembelajaran an.d tidak dapat berkosentrasi
dengan baik oleh materi yang akan disampaikan oleh gurunya.
2.3.2 Pengertian
Gangguan tidur merupakan suatu kumpulan kondisi yang dicirikan dengan adanya
gangguan dalam jumlah, kualitas, atau waktu tidur pada seorang individu. Pada
kelompok remaja, kurangnya durasi tidur juga dapat terjadi akibat adanya perubahan
gaya hidup. Kualitas tidur inadekuat adalah fragmentasi dan terputusnya tidur akibat
periode singkat terjaga di malam hari yang sering dan berulang.
15
2.3.3 Psikopatologi/psikodinamika
a. Faktor predisposisi
1) Faktor biologis:
Riwayat genetik, status nutrisi, status kesehatan secara umum, sensitivitas
biologi, terpapar racun, dan ketidakseimbangan neurotransmitter.
2) Faktor psikologis:
Meliputi intelektualitas, kepribadian, pengalaman masa lalu, konsep diri,
motivasi dan pertahanan psikologis. Pengalaman masa lalu termasuk
didalamnya kegagalan mencapai tugas perkembangan. Kegagalan dalam
melaksanakan tugas perkembangan dapat mengakibatkan individu tidak
dapat percaya diri, tidak percaya pada orang lain, ragu, takut salah, pesimis,
putus asa terhadap hubungan dengan orang lain, menghindar dari orang
lain, tidak mampu merumuskan keinginan, dan merasa tertekan.
3) Faktor sosiokultural:
Meliputi umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan dan keyakinan.
b. Faktor presipitasi
1) Stressor psikologis
Stres dapat meningkat bisa disebabkan oleh kondisi kronis yang meliputi
ketegangan keluarga yang terus-menerus, ketidakpuasan kerja dan
kesendirian. Ansietas berat yang berkepanjangan yang terjadi secara
bersamaan dengan keterbatasan kemampuan untuk mengatasinya. Tuntutan
berpisah dengan orang lain dan kegagalan seseorang untuk memenuhi
kebutuhannya akan mempengaruhi hubungan individu dengan orang lain.
Selain itu penolakan dari orang lain dan ketidaksetujuan seseorang demi
mempertahankan harga diri akan mempengaruhi pola interaksi dengan
lingkungan.
2) Stressor sosial budaya
Kejadian stresful yang berkontribusi terhadap terjadinya gangguan tidur
ditimbulkan oleh menurunnya stabilitas unit keluarga dan berpisah dari
orang-orang yang berarti. Ketertarikan terhadap etnik tertentu akan
merefleksikan suatu usaha orang-orang yang terisolasi untuk berhubungan
16
dengan orang-orang dengan identitas khusus. Ketegangan yang terjadi
didalam sebuah keluarga adalah kesulitan anggota keluarga untuk mencapai
tugas perkembangan yang dihubungkan dengan keintiman atau kerukunan.
c. Respon terhadap stress
1) Kognitif:
Klien dengan gangguan tidur selalu banyak pikiran, banyak masalah yang
dialaminya dan tidak dapat berkonsentrasi penuh.
2) Afektif:
Respon afektif pada pasien yang mengalami gangguan tidur berjalan
lambat, selalu gugup, tergesa-gesa, cemas dan tidak bisa mengendalikan
emosinya.
3) Fisiologis:
Pasien gangguan tidur menunjukkan respon fisiologis yang lemah, lesu,
tidak bisa tidur, dan malas untuk melakukan aktivitas sehari-harinya.
4) Perilaku:
Pasien gangguan tidur menunjukkan perilaku terlihat males dengan kegiatan
sehari-hari, kehilangan rasa semangat untuk memulai aktivitas sehari-
harinya.
5) Social:
Pasien yang mengalami gangguan tidur memiliki sifat acuh terhadap
lingkungan yang ada disekitarnya dan memiliki kemampuan sosial kurang.
d. Kemampuan mengatasi masalah/ sumber koping
1) Kemampuan personal : Kemampuan yang diharapkan pada klien dengan
gangguan tidur yaitu kemampuan untuk dapat berinteraksi dengan orang
lain. Kemampuan lanjutan yang harus dikuasai untuk mengatasi gangguan
tidur adalah kemampuan mengungkapkan atau menyampaikan sesuatu hal
yang menyenangkan atau paling berkesan yang pernah dialami.
2) Dukungan social: Dukungan sosial adalah dukungan untuk individu yang di
dapat dari keluarga, teman, kelompok, atau orang-orang disekitar klien dan
dukungan terbaik yang diperlukan oleh klien adalah dukungan keluarga.
Peran keluarga sangat penting untuk dapat memberikan dukungan sosial
pada anak remaja yang mengalami gangguan tidur.
17
3) Asset material:Ketersediaan materi antara lain yaitu akses pelayanan
kesehatan, dana atau finansial yang memadai, asuransi, jaminan pelayanan
kesehatan dan lain-lain.
4) Keyakinan positif: Keyakinan positif merupakan keyakinan spiritual dan
gambaran positif seseorang sehingga dapat menjadi dasar dari harapan yang
dapat mempertahankan koping adaptif walaupun dalam kondisi penuh
tekanan yang sedang dialaminnya. Keyakinan yang harus dikuatkan pada
klien dengan gangguan tidur khususnya pada remaja dalah keyakinan untuk
menjadi lebih baik dengan memiliki motivasi.
e. Mekanisme koping
Keterangan dari rentang respon sosial:
1) Respon adaptif adalah respon yang masih dapat diterima oleh norma-norma
social dan kebudayaan secara umum yang berlaku di masyarakat. Dalam
rentang respon sosial, respon adaptif terdiri dari :
a) Solitude (menyendiri)
Suatu respon yang dibutuhkan seseorang untuk merenungkan apa yang
telah dilakukan atau yang telah dialami di lingkungan sosialnya dan
suatu cara mengevaluasi diri untuk menentukan langkah selanjutnya.
Solitude umumnya dilakukan setelah melakukan suatu kegiatan.
b) Otonomi
Rentang Respon Sosial
Respon adaptif Respon maladaptif
Solitude Menarik diri
Otonomi Manipulasi
Bekerja sama Impulsif
Saling ketergantungan Narkisisme
Tergantung
Curiga
18
Kemampuan individu untuk dapat menentukan dan menyampaikan ide-
ide pikiran, perasaan dalam melakukan hubungan sosial.
c) Bekerja sama (mutualisme)
Suatu kondisi dimana dalam hubungan interpersonal individu tersebut
mampu untuk saling memberi dan menerima.
d) Saling ketergantungan (interdependen)
Suatu kondisi saling ketergantungan antara individu dengan orang lain
dalam membina hubungan interpersonal.
2) Respon maladaptif adalah respon yang menimbulkan gangguan dengan
berbagai tingkat keparahan. Dalam rentang respon sosial, respon maladaptif
terdiri dari:
a) Menarik diri
Suatu keadaan dimana seseorang dapat menemukan kesulitan dalam
membina hubungan secara terbuka dengan orang lain yang ada
disekelilingnya.
b) Manipulasi
Suatu gangguan yang terjadi dalam hubungan sosial yang terdapat pada
individu dan menganggap orang lain sebagai objek. Individu tersebut
tidak dapat membina hubungan sosial secara mendalam.
c) Impulsif
Individu impulsif tidak mampu merencanakan sesuatu, tidak mampu
belajar dari pengalaman, dan tidak dapat diandalkan.
d) Narkisisme
Individu narkisisme memiliki harga diri yang rapuh, secara terus
menerus berusaha mendapatkan penghargaan dan pujian, sikap
egosentris, pencemburu, marah jika orang lain tidak mendukung.
e) Tergantung (dependen)
Seseorang gagal dalam mengembangkan rasa percaya diri atau
kemampuannya untuk dapat berfungsi secara sukses.
19
f) Curiga
Seseorang gagal mengembangkan rasa percaya diri dengan orang lain.
Kecurigaan dan ketidakpercayaan diperlihatkan dengan tanda-tanda
cemburu, iri hati, dan berhati-hati.
2.3.4 Diagnosa yang dapat muncul
Diagnosa keperawatan:
Gangguan pola tidur
2.3.5 Penatalaksanaan
Secara umum, langkah awal untuk mengatasi gangguan tidur akibat kondisi
medik atau psikiatrik adalah dengan mengoptimalkan terapi terhadap penyakit yang
mendasarinya. Cara farmakologik dan nonfarmakologik diperlukan untuk terapi
gangguan tidur, namun penatalaksanaan utama umumnya mencakup aspek
nonfarmakologik. Pada beberapa gangguan tidur tertentu, dibutuhkan penanganan
penanganan khusus.
a. Tatalaksana non farmakologik gangguan tidur antara lain adalah melalui
pengaturan higiene tidur, terapi pengontrolan stimulus, sleep restriction therapy,
terapi relaksasi dan biofeedback.
b. Higiene tidur bertujuan untuk memberikan lingkungan dan kondisi yang
kondusif untuk tidur, dan merupakan aspek yang mutlak dimanipulasi pada
tatalaksana gangguan tidur.
c. Terapi pengontrolan stimulus bertujuan untuk memutus siklus masalah yang
sering dikaitkan dengan kesulitan memulai atau jatuh tidur.
d. Sleep Restriction Therapy merupakan pembatasan waktu di tempat tidur yang
dapat membantu mengkonsolidasikan tidur. Terapi ini bermanfaat untuk pasien
yang berbaring di tempat tidur tanpa bisa tertidur.
e. Terapi relaksasi dan biofeedback merupakan terapi hipnosis diri, relaksasi
progresif, dan latihan nafas dalam sehingga terjadi keadaan Universitas
Sumatera Utara relaks cukup efektif untuk memperbaiki tidur. Pasien
membutuhkan latihan yang cukup dan serius.
20
f. Beberapa gangguan tidur memerlukan perhatian khusus dalam
penatalaksanaanya. Pada psychophysiologic insomnia, terapi atau
penanganannya antara lain adalah melakukan edukasi kepada individu tentang
prinsip higiene tidur, dan diajarkan bagaimana teknik relaksasi untuk
mengurangi ansietas. Medikasi hipnosis jarang dibutuhkan.
g. Terapi parasomnia meliputi edukasi kepada orang tua dan memberikan
dukungan, menghindari faktor yang dapat mempengaruhi. Farmakoterapi dan
atau psikoterapi jarang dibutuhkan.
top related