BAB II KAJIAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id 2.pdfPersalinan ekstrim preterm (extremely preterm), yaitu usia kehamilan 20-27 minggu. 2.1.4 Faktor Risiko Persalinan Preterm Sangat disayangkan
Post on 03-Aug-2019
226 Views
Preview:
Transcript
8
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Persalinan Preterm
2.1.1 Definisi persalinan preterm
Menurut definisi WHO, persalinan preterm adalah persalinan yang terjadi
antara umur kehamilan 20 minggu sampai dengan usia kehamilan kurang dari 37
minggu atau 259 hari dihitung dari hari pertama haid terakhir. Menurut Himpunan
Kedokteran Fetomaternal (POGI) di Semarang tahun 2005 menetapkan bahwa
persalinan preterm adalah persalinan yang terjadi pada usia kehamilan 22-37
minggu (Mochtar, 2009).
Berdasarkan The American Academy of Pediatrics and the Americans
College of Obstrecians, indikator yang sering dipakai untuk mengetahui awal
terjadinya persalinan adalah kontraksi uterus dengan frekuensi paling sedikit 4
kali setiap 20 menit atau 8 kali dalam 60 menit dan disertai perubahan serviks
yang progressif, dilatasi serviks > 1 cm dan penipisan > 80% (Cunningham dkk,
2010). Pada penelitian ini, diagnosis persalinan preterm berdasarkan prosedur
tetap (protap) tahun 2003 yang berlaku di Lab / SMF Obstetri Ginekologi Rumah
Sakit Umum Sanglah Denpasar.
9
2.1.2 Insiden persalinan preterm
Angka kejadian persalinan preterm berbeda pada setiap Negara. Di negara
berkembang angka kejadiannya masih jauh lebih tinggi dibandingkan negara
maju. Di Eropa,angkanya berkisar 5-11%, USA 11,9%, Australia sekitar 7%. Di
India sekitar 30%, Afrika Selatan sekitar 15%, Malaysia 10%, di Indonesia sendiri
angka kejadian persalinan preterm nasional belum ada, namun angka kejadian
BBLR dapat mencerminkan angka kejadian persalinan preterm secara kasar.
Angka kejadian BBLR nasional rumah sakit adalah 27,9% (Widjayanegara,
2009). Sedangkan angka kejadian persalinan preterm di beberapa Rumah Sakit
pemerintah pada tahun-tahun terakhir menunjukkan persentasi yang bervariasi. Di
RSU Dr. Wahidin Sudirohusodo Makasar periode 1 Juli 2000 sampai 31 Juli 2003
dari 1171 persalinan didapatkan sebanyak 86 kasus persalinan preterm (7,3%)
(Suhartini, 2004). Di RSU Dr. Saiful Anwar Malang pada tahun 2001 tercatat
insiden persalinan preterm sebesar 6,7% (Santoso, 2002). Dan berdasarkan data
persalinan yang tercatat di bagian SMF Obstetri Ginekologi RSU Sanglah
Denpasar terdapat sebanyak 852 kasus persalinan preterm (9,12%) terhitung
sejak tahun 2008 hingga bulan Oktober tahun 2011.
2.1.3 Klasifikasi Persalinan Preterm
Menurut kejadiannya, persalinan preterm digolongkan menjadi :
(Widjayanegara, 2009 ; Moutquin, 2003)
1. Idiopatik/Spontan
10
Sekitar 50% penyebab persalinan preterm tidak diketahui, oleh karena itu
digolongkan pada kelompok idiopatik atau persalinan preterm spontan.
Termasuk kedalam golongan ini antara lain persalinan preterm akibat
persalinan kembar, poli hidramnion atau persalinan preterm yang didasari oleh
faktor psikososial dan gaya hidup. Sekitar 12,5% persalinan preterm spontan
didahului oleh ketuban pecah dini (KPD), yang sebagian besar disebabkan
karena faktor infeksi (korioamnionitis).
Saat ini penggolongan idiopatik dianggap berlebihan, karena ternyata setelah
diketahui banyak faktor yang terlibat dalam persalinan preterm, maka
sebagian besar penyebab persalinan preterm dapat digolongkan kedalamnya.
Apabila faktor-faktor penyebab lain tidak ada sehingga penyebab persalinan
preterm tidak dapat diterangkan, maka penyebab persalinan preterm ini
disebut idiopatik.
2. Iatrogenik/Elektif
Perkembangan teknologi kedokteran dan perkembangan etika kedokteran
menempatkan janin sebagai individu yang mempunyai hak atas kehidupannya
(Fetus as a Patient). Maka apabila kelanjutan kehamilan diduga dapat
membahayakan janin, janin akan dipindahkan kedalam lingkungan luar yang
dianggap lebih baik dari rahim ibunya sebagai tempat kelangsungan hidupnya.
Kondisi tersebut menyebabkan persalinan preterm buatan/iatrogenik yang
disebut juga sebagai elective preterm. Sekitar 25% persalinan preterm
termasuk kedalam golongan ini.
11
a. Keadaan ibu yang sering menyebabkan persalinan preterm adalah :
- Preeklamsi berat dan eklamsi,
- Perdarahan antepartum (plasenta previa dan solution plasenta),
- Korioamnionitis,
- Penyakit jantung yang berat atau penyakit paru atau ginjal yang berat.
b. Keadaan janin yang dapat menyebabkan persalinan preterm adalah :
- Gawat janin,
- Infeksi intrauterin,
- Pertumbuhan janin terhambat (IUGR),
- Isoimunisasi Rhesus.
Menurut usia kehamilannya, maka persalinan preterm digolongkan
menjadi : (Widjayanegara, 2009 ; Moutquin, 2003)
1. Persalinan preterm (preterm), yaitu usia kehamilan 32-36 minggu.
2. Persalinan sangat preterm (very preterm), yaitu usia kehamilan 28-32 minggu.
3. Persalinan ekstrim preterm (extremely preterm), yaitu usia kehamilan 20-27
minggu.
2.1.4 Faktor Risiko Persalinan Preterm
Sangat disayangkan jika hingga kini, sulit untuk menentukan secara dini
dan akurat seorang wanita hamil akan mengalami persalinan preterm. Bahkan
sistim skoring yang meliputi : jumlah kehamilan, status sosial ekonomi, umur
wanita saat hamil dan riwayat persalinan preterm/abortus, pernah dikembangkan
12
untuk menentukan wanita-wanita mana saja yang perlu mendapat pemantauan
lebih intensif. Tapi kenyataanya sistem ini belum dapat menurunkan insiden
persalinan preterm (Arias, 1993). Meskipun demikian ada beberapa faktor risiko
yang diketahui meningkatkan persalinan preterm yang dibagi dalam dua kriteria
(Hole, 2001), yaitu:
1. Kriteria Mayor :
a. Kehamilan ganda
b. Hidramnion
c. Anomali uterus
d. Pembukaan serviks ≥ 2 cm pada usia kehamilan > 32 minggu
e. Panjang serviks < 2,5 cm pada usia kehamilan > 32 minggu (dengan
TVS)
f. Riwayat abortus pada trimester II > 1x
g. Riwayat persalinan preterm sebelumnya
h. Operasi abdominal pada kehamilan preterm
i. Riwayat konisasi
j. Iritabilitas uterus
k. Penggunaan cocaine atau amfetamin
2. Kriteria Minor :
a. Penyakit-penyakit yang disertai demam
b. Riwayat perdarahan pervaginam setelah usia kehamilan 12 minggu
c. Riwayat pielonefritis
13
d. Merokok lebih dari 10 batang per hari
e. Riwayat abortus pada trimester II
f. Riwayat abortus pada trimester I lebih dari 2x
Wanita hamil tergolong mempunyai risiko tinggi untuk terjadi persalinan
preterm jika dijumpai satu atau lebih faktor risiko mayor atau dua atau lebih
faktor risiko minor, atau ditemukan kedua faktor risiko (mayor dan minor).
2.1.5 Dampak Persalinan Preterm
Persalinan preterm merupakan masalah serius di bidang obstetri. 70%
kasus kematian perinatal/neonatal disebabkan oleh persalinan preterm (Hole dan
Tressler, 2001). Di Amerika Serikat 54% kematian bayi preterm terjadi pada umur
kehamilan kurang dari 32 minggu. Berbagai usaha telah dilakukan dalam
mempertahankan kelangsungan hidup bayi lahir prematur, terutama difokuskan
bagi bayi yang lahir setelah 28 minggu, dimana angka kelangsungan hidup akan
meningkat hingga 95% pada umur kehamilan 28 minggu (perempuan) dan 30
minggu (laki-laki) atau berat badan lahir diatas 1000 g (Cunningham dkk, 2010).
Bayi yang lahir preterm sering mendapat risiko yang berkaitan dengan
imaturitas sistem organnnya. Komplikasi yang sering timbul pada bayi yang lahir
sangat preterm adalah sindroma gawat nafas atau respiratory distress
syndrome(RDS), perdarahan otak atau intraventricular hemorrhage (IVH),
bronchopulmonary dysplasia (BPD), patent ductus arteriosus (PDA), necrotizing
enterocolitis (NEC), sepsis, apnea, dan retinopathy of prematurity (ROP)
14
(Iam,2002). Untuk jangka panjang, bayi yang lahir preterm mempunyai risiko
retardasi mental berat, cerebral palsy, kejang-kejang, kebutaan, dan tuli. Di
samping itu juga sering dijumpai gangguan proses belajar, gangguan adaptasi
terhadap lingkungannya, dan gangguan motoris (Iam, 2003).
Morbiditas dan mortalitas tersebut berhubungan erat dengan umur
kehamilan dan berat badan lahir. Makin besar umur kehamilannya dan berat
bayinya, makin menurun angka morbiditas dan mortalitasnya. Karena adanya
morbiditas jangka pendek dan jangka panjang tersebut di atas, maka akan dapat
menyebabkan rendahnya kualitas sumber daya manusia di masa yang akan
datang. Selain itu perawatan bayi preterm juga membutuhkan tehnologi
kedokrteran yang canggih dan mahal. Mengingat penyulit - penyulit yang bisa
terjadi, tingginya biaya perawatan intensif bayi baru lahir dan pengelolaan
penyulit jangka panjang pada bayi yang lahir preterm tersebut, tindakan
pencegahan sebelum persalinan terjadi, akan memberikan hasil yang lebih
bermanfaat dan lebih menghemat biaya dibanding dengan apabila telah terjadi
persalinan (Iam, 2003).
2.1.6 Mekanisme Terjadinya Persalinan Preterm
Persalinan pada wanita melibatkan serangkaian peristiwa yang progresif
dimulai dengan aktivasi poros Hypothalamic Pituitary Adrenal (HPA) dan
peningkatan Corticotropin Releasing Hormone (CRH) plasenta. Hal ini
menimbulkan penurunan fungsi progesteron dan aktivasi estrogen yang kemudian
15
akan mengaktivasi Contraction Assosiated Proteins (CAPs) termasuk reseptor
oksitosin, oksitosin dan prostaglandin. Peristiwa biologis ini akan menyebabkan
pematangan serviks, kontraksi uterus, aktivasi desidua dan membrane janin serta
pada kala dua persalinan akan meningkatkan oksitosin ibu. Terdapat suatu
hipotesa tentang persalinan preterm dan aterm yang memiliki persamaan dan pada
persalinan patologis bisa berlangsung bersama – sama dengan proses persiapan
untuk persalinan fisiologis normal, terutama pada kehamilan di atas 32 minggu.
Sebelum usia 32 minggu, dibutuhkan stimulus patologis yang lebih besar untuk
memulai persalinan. Perbedaan mendasar antara persalinan spontan aterm dan
preterm adalah aktivasi fisiologis komponen-komponen pathway tersebut pada
persalinan aterm (physiologic activation), sedangkan pada persalinan preterm
berasal dari proses patologis yang mengaktivasi salah satu atau beberapa
komponen pathway tersebut (pathologic activation) (Romero, 2009).
Hingga saat ini pemicu awal persalinan preterm spontan masih belum bisa
dijelaskan secara pasti. Berdasarkan studi epidemiologi dan patofisiologi, terdapat
4 mekanisme yang mengatur terjadinya persalinan preterm (Handono, 2009 ;
Nesin, 2007 ; Esplin, 2005), yaitu :
1) Aktivasi dari poros hipotalamus-pituitari-adrenal (HPA) fetus maternal yang
dicetuskan oleh stress.
Pada janin dapat sebagai respon dari keadaan intra uterine yang tidak
bersahabat seperti aliran uteroplasenta tergangggu dan hipoksia. Stres pada
fetus dapat meningkatkan sekresi CRH, yang akan merangsang ekspresi
16
ACTH (Adrenocorticotropic hormone) pada organ pituitary janin dan produksi
kortisol serta androgen oleh organ adrenal janin. Senyawa androgen pada
janin kemudian diaromatisasi menjadi estrogen oleh plasenta. Hal ini akan
menyebabkan rangkaian proses biologis yang mengarah pada jalur umum
terjadinya proses persalinan,yang ditandai oleh terjadinya kontraksi uterus,
pematangan serviks dan aktivasi desidua janin (Challis, dkk.,2000).
2) Inflamasi dan infeksi.
Sumber infeksi yang telah dihubungkan dengan kelahiran preterm termasuk
infeksi intauterin (bertanggung jawab sampai 50% kelahiran preterm pada usia
kehamilan < 28 minggu), infeksi sistemik maternal, bakteriuria asimtomatik,
dan periodontitis maternal. Produk-produk bakteri merangsang produksi
sitokin proinflamasi ( IL-1,TNF, IL-6, dan IL-8) oleh sel- sel desidua. Sitokin-
sitokin ini, kemudian merangsang produksi prostaglandin oleh amnion dan
desidua. Prostaglandin bekerja melalui reseptor spesifik. Prostaglandin E2
(PGE2) menyebabkan kontraksi miometrium melalui pengikatan reseptor EP-
1 dan EP-3,yang menyebabkan kontraksi miometrium melalui mekanisme
peningkatan mobilisasi kalsium dan menurunkan tingkat produksi penghambat
cAMP intraseluler. Prostaglandin F2α (PGF2α) mengikat reseptor FP yang
menyebabkan kontaksi miometrium. Peningkatan prostaglandin pula dapat
disebabkan oleh infeksi intraamniotik maupun defisiensi enzim korio-desidual
yg memetabolisme prostaglandin E2 (hydroxyprostaglanin dehidrogenase).
Sitokin yang diproduksi selama infeksi dapat pula mengaktifkan ekspresi dari
17
matriks metalloproteinase dalam serviks dan desidua yang berperan dalam
degradasi matriks ekstraseluler, pecahnya selaput amnion, dan perubahan
serviks uteri. Keseluruhan proses tersebut menstimulasi terjadinya persalinan
preterm.
3) Trombosis uteroplasental dan perdarahan desidua.
Lesi vascular dari plasenta secara umum dikaitkan dengan kelahiran preterm.
Meskipun patofisiologinya belum jelas namun trombin dicurigai memiliki
peranan besar. Trombin adalah suatu protease multifaktorial yang merangsang
aktivitas kontraksi dari otot polos vaskuler, intestinal dan miometrium.
Trombin mengaktifkan sederetan reseptor yang unik termasuk protease-
activated receptor 1, protease-activated receptor 3 dan protease-activated
receptor 4. Reseptor-reseptor transmembran ini adalah bagian dari superfamili
protein heptahelical-G. Interaksi dengan trombin menghasilkan perubahan
konfirmasi yang menghasilkan pasangan G-protein dan aktivasi fosfolipase C.
Aktivasi Fosfolipase C mengawali reaksi biokimia yang berakhir pada
pelepasan kalsium intraseluler dari reticulum endoplasma. Kombinasi antara
pelepasan kalsium intraseluler dan influx kalsium ekstraseluler menyebabkan
osilasi sitosolik kalsium yang mengaktivasi kalmodulin, Myosin Light Chain
Kinase (MLCK), aktin dan myosin yang menghasilkan kontraksi uterus secara
fasik.
Pada perdarahan desidua, juga diasosiasikan dengan infiltrasi desidua oleh
netrofil dan merupakan sumber yang kaya akan protease dan matrik
18
metalloproteinase. Ini dapat menjadi dasar bagi mekanisme preterm rupture of
membrane yang selanjutnya menyebabkan persalinan preterm.
4) Peregangan uterus berlebihan.
Distensi uterus berlebihan memerankan peran kunci pada onset persalinan
preterm yang berhubungan dengan gestasional ganda, polihidramnion, dan
makrosomia. Peregangan uterus mengakibatkan ekspresi dari celah hubungan
protein, seperti Conexin-43 (CX-43) dan Conexin-26 (CX-26), seperti halnya
kontraksi yang berhubungan dengan protein lain seperti reseptor oksitosin.
Peregangan dari miometrium juga meningkatkan PGHS-2 dan PGE.
Peregangan dari otot segmen bawah rahim telah menunjukan peningkatan dari
IL-8 dan produksi kolagenase yang pada akhirnya akan memfasilitasi
pematangan serviks. Hal ini selanjutnya akan menstimulasi terjadinya
persalinan preterm.
20
Beberapa studi yang lain juga menambahkan faktor kelainan pada uterus
atau serviks dan faktor fetus sebagai penyebab timbulnya persalinan preterm
(Krisnadi, 2009). Walaupun masih jarang, adanya jalur oksidatif pada persalinan
preterm mulai diteliti. Terdapat beberapa penelitian yang mengkaitkan
terbentuknya ROS dengan kejadian persalinan preterm melalui suatu mekanisme
yang mempengaruhi fungsi dari pompa ion kalsium yang dapat memicu terjadinya
kontraksi uterus sehingga pada akhirnya menyebabkan terjadinya persalinan
preterm (Warren dkk, 2005).
2.2 Radikal Bebas, Oksidan, dan Reaktif Oksigen Spesies (ROS)
2.2.1 Radikal bebas dan oksidan
Radikal bebas adalah atom atau molekul yang memiliki sebuah elektron
yang tidak berpasangan di orbit luarnya (unpaired electron). Struktur yang
demikian membuat radikal bebas cenderung “mencuri” atau mengekstraksi satu
elektron dari molekul lain di dekatnya untuk melengkapi dan selanjutnya
mencetuskan reaksi berantai yang dapat mengakibatkan cedera sel. Terdapat 2
radikal bebas yang utama, yaitu ROS (Reaktif Oksigen Spesies) dan RNS (Reaktif
Nitrogen Spesies), dimana target utama dari radikal bebas itu sendiri adalah
protein, asam lemak tak jenuh dan lipoprotein, serta unsur DNA termasuk
karbohidrat (Agarwal dkk, 2005). Radikal bebas punya 2 sifat penting : 1).
bersifat sangat reaktif dan cenderung untuk bereaksi dengan molekul lain untuk
mencari pasangan elektronnya sehingga bentuk lebih stabil. 2). dapat mengubah
21
molekul menjadi radikal. Radikal bebas mirip dengan oksidan dalam sifatnya
sebagai penerima elektron (menarik elektron). Radikal bebas lebih berbahaya
daripada oksidan oleh karena reaktifitas yang tinggi dan kecenderungannya
membentuk radikal bebas yang baru (Arkhaesi, 2008).
Oksidan adalah senyawa penerima elektron (electron acceptor), yaitu
senyawa yang dapat menarik elektron. Sering dibaurkan pengertian antara radikal
bebas dan oksidan, karena keduanya memiliki sifat-sifat yang sama yaitu
kecenderungan untuk menarik elektron (penerima elektron). Aktivitas keduanya
menghasilkan akibat yang sama walaupun prosesnya berbeda, oleh karena itu
radikal bebas digolongkan dalam oksidan, namun tidak setiap oksidan adalah
radikal bebas. Radikal bebas lebih berbahaya dibandingkan dengan oksidan yang
bukan radikal bebas, dikarenakan sifat radikal bebas memiliki reaktivitas tinggi
dan kecenderungan membentuk radikal yang baru sehingga terjadi reaksi rantai
(chain reaction) dan akan berhenti apabila dapat diredam (quenched) oleh
antioksidan (Arkhaesi, 2008).
2.2.2 Reaktif oksigen spesies (ROS)
Organisme aerobik memerlukan energi sebagai bahan bakar fungsi
biologis. Proses ini memerlukan ATP, di mana sumber utama ATP adalah melalui
proses oksidasi fosforilasi di dalam mitokondria. Selama proses ini, molekul
oksigen direduksi membentuk H2O, reaksi ini dikatalisasi oleh enzim sitokrome c
oksidase yang mana merupakan bagian dari bentuk reaksi rantai respirasi. 95%
22
dari mekanisme ini tanpa kerusakan, sedangkan 5% dari reaksi molekul oksigen
hanya tereduksi partial, yang memiliki peranan penting pada produksi ROS
(Slavic, dkk., 2006).
ROS merupakan produk normal yang dihasilkan pada metabolisme seluler
yang terdiri dari superoksida (O2⎯), radikal bebas hidroksil (OH-), hidrogen
peroksida (H2O2), serta radikal peroksil (RCOO-). ROS terus menerus dibentuk
dalam jumlah besar di dalam sel melalui jalur metabolik tubuh yang merupakan
proses biologis normal karena berbagai rangsangan (Kohen, dkk., 2002).
Sumber ROS dapat dibagi dua : 1) sumber endogenous misalnya dari sel
(netrofil), direct-producing ROS enzymes (NO synthase), indirect-producing ROS
enzymes (xanthin oxidase), metabolisme (mitokondria), serta penyakit (kelainan
metal, proses iskemia, infeksi, maupun inflamasi). 2) sumber eksogenous
misalnya iradiasi gamma, iradiasi UV, ultrasound, makanan, obat-obatan,
polutan, xenobiotik dan toksin (Kohen, dkk., 2002).
ROS memiliki efek menguntungkan dan efek merugikan. Dalam jumlah
yang tepat, ROS berperan sebagai tranduser signal fisiologis dan dikenal juga
sebagai secondary messengers dalam proses signaling intraselular. Secara
fisiologis, ROS akan mempengaruhi fungsi selular, menghentikan pertumbuhan,
bahkan memicu kematian sel terprogram (apoptosis) dari sel yang memang
dianggap bermasalah, seperti misalnya sel yang mengandung mikroorganisme
asing. Tetapi pada kadar ROS yang terlalu tinggi dapat menyebabkan proteksi
antioksidan berkurang secara cepat, berkurangnya jumlah ATP, menyebabkan
23
kerusakan membran sel, hilangnya homeostasis ion, perubahan pada reaksi
oksidasi selular, oksidasi DNA, denaturasi protein, lisis sel-sel saraf, dan
menginisiasi reaksi inflamasi, hingga menyebabkan kematian sel yang seharusnya
tidak terjadi (Burton & Jauniaux, 2011).
Secara umum ROS dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok, yaitu
radikal dan nonradikal. Kelompok radikal yang sering dikenal dengan radikal
bebas mengandung satu atau lebih elektron tidak berpasangan pada orbit atomik
atau molekulernya. Elektron yang tidak berpasangan ini menunjukkan tingkat
reaktivitas tertentu pada radikal bebas. Kelompok nonradikal terdiri dari berbagai
bahan yang beberapa diantaranya sangat reaktif walaupun secara definisi bukan
radikal (Kohen & Nyska, 2002).
Tabel 2.1 Metabolit Radikal dan Nonradikal Oksigen
Radikal oksigen
Nama Simbol
Oksigen (Bi-radikal)
Ion Superoksida
Hidroksil
Peroksil
Alkoksil
Nitrit Oksida
O2-.
O2.
OH.
ROO.
RO.
NO.
24
Turunan nonradikal oksigen
Nama Simbol
Hidrogen Peroksida
Peroksida organik
Asam Hipoklorit
Ozon
Aldehid
Singlet oksigen
Peroksinitrit
H2O2
ROOH
HOCL
O3
HCOR/O2
ONOOH
Sumber : Kohen & Nyska, 2002
Radikal bebas memiliki waktu paruh yang sangat singkat, karena setelah
terbentuk, komponen ini segera bereaksi dengan molekul lain. Waktu paruh ROS
dipengaruhi oleh lingkungan fisiologisnya, seperti pH dan adanya spesies lain.
Toksisitasnya tidak selalu sejalan dengan reaktivitas ROS. Pada umumnya, waktu
paruh yang panjang dapat mengakibatkan toksisitas yang lebih besar karena
memiliki waktu yang cukup untuk berdifusi dan mencapai lokasi yang sensitif,
kemudian ROS yang terbentuk akan berinteraksi dan menyebabkan kerusakan di
tempat yang jauh dari tempat produksinya. Sebaliknya, ROS yang sangat reaktif
dengan waktu paruh yang pendek, misalnya OH•, menyebabkan kerusakan
langsung di tempat produksinya. Jika tidak ada target biologis penting di sekitar
tempat produksinya, radikal tidak akan menyebabkan kerusakan oksidatif. Untuk
mencegah interaksi antara radikal dan target biologisnya, antioksidan harus ada di
25
lokasi produksi untuk bersaing dengan radikal dan berikatan dengan bahan
biologis (Kohen & Nyska, 2002).
Molekul oksigen memiliki konfigurasi elektron yang unik dan molekul ini
sendiri merupakan bi-radikal karena memiliki dua elektron tidak berpasangan
pada dua orbit yang berbeda. (Kohen & Nyska, 2002). Penambahan satu elektron
pada dioksigen akan membentuk radikal superoksid (O2•¯ ). Peningkatan anion
superoksida terjadi melalui proses metabolik atau setelah aktivasi oksigen oleh
radiasi (ROS primer) dan dapat bereaksi dengan molekul lain untuk membentuk
ROS sekunder baik secara langsung maupun melalui proses enzimatik atau
katalisis metal. Radikal superoksid sendiri dihasilkan dari reaksi fosforilasi
oksidatif pada pembentukan ATP di mitokondria (1-5% oksigen keluar dari jalur
ini dan mengalami reduksi univalent membentuk radikal superoksid). Di samping
itu juga, bisa dihasilkan melalui sistem oksidase NADPH-dependen, yang jika
teraktivasi misalnya oleh bakteri, mitogen atau sitokin, akan mengkatalisis reaksi
reduksi mendadak dari oksigen menjadi hidrogen peroksida dan O2- (Valko, dkk.,
2005).
Pada pH fisiologis, superoksid ditemukan dalam bentuk ion superoksid
(O2•¯) sedangkan pada pH rendah ditemukan sebagai hidroperoksil (HO2).
Hidroperoksil lebih mudah berpenetrasi ke dalam membran biologis. Dalam
keadaan hidrofilik, kedua substrat tersebut dapat berperan sebagai bahan
pereduksi, namun kemampuan reduksi HO2 lebih tinggi. Dalam larutan organik,
kelarutan O2•¯ lebih tinggi dan kemampuannya sebagai pereduksi meningkat.
26
Reaksi terpenting dari radikal superoksid adalah dismutasi, dimana 2 radikal
superoksid akan membentuk Hidrogen peroksida (H2O2) dan O2 dengan bantuan
enzim superoksid dismutase maupun secara spontan (Kohen & Nyska, 2002).
Hidrogen peroksida dapat menyebabkan kerusakan sel pada konsentrasi
yang rendah (10µM), karena mudah larut dalam air dan mudah melakukan
penetrasi ke dalam membran biologis. Efek buruk kimiawinya dapat dibedakan
menjadi 2, yaitu efek langsung dari kemampuan oksidasinya dan efek tidak
langsung, akibat bahan lain yang dihasilkan dari H2O2, seperti OH• dan HClO.
Efek langsung H2O2 seperti degradasi protein Haem, pelepasan besi, inaktivasi
enzim, oksidasi DNA, lipid, kelompok -SH dan asam keto (Kohen & Nyska,
2002).
Radikal hidroksil memiliki reaktivitas yang sangat tinggi (107-109 m-1s-1),
waktu paruh yang singkat dan daya ikat yang sangat besar terhadap molekul
organik maupun anorganik, termasuk DNA, protein, lipid, asam amino, gula, dan
logam (Kohen & Nyska, 2002).
Metal transisi juga merupakan radikal. Di dalam tubuh, tembaga dan besi
merupakan metal transisi yang terbanyak dan ditemukan dalam konsentrasi yang
tinggi. Kedua logam ini berperan penting dalam Reaksi Fenton dan Haber-Weiss.
Sebenarnya semua ion logam yang terikat pada permukaan protein, DNA atau
makromolekul lain dapat berpartisipasi dalam reaksi ini. Logam yang tersembunyi
di dalam protein, seperti dalam catalytic sites dan sitokrom atau kompleks
simpanan tidak terpapar oksigen atau tetap berada dalam keadaan oksidasi
27
sehingga tidak berperan dalam reaksi ini. Dalam reaksi Fenton, Ion Ferro (Fe+2)
bereaksi dengan hidrogen peroksida (H2O2) membentuk ion ferri (Fe+3) dan
radikal hidroksil (OH•). Reaksi Haber-Weiss merupakan reaksi antara radikal
superoksid (O2•¯) dengan hidrogen peroksida (H2O2) yang kemudian
menghasilkan oksigen (O2) dan radikal hidroksil (OH•). Adanya logam transisi
inilah yang dapat menerangkan mekanisme kerusakan in vivo yang ditimbulkan
oleh radikal hidroksil (Kohen & Nyska, 2002).
Pada persalinan spontan pervaginam sangat erat kaitannya dengan
timbulnya kontraksi uterus yang terkoordinasi untuk membantu pengeluaran fetus
dari jalan lahir. Pada beberapa kasus, kontraksi dapat menyebabkan timbulnya
Gambar 2.2 Kerusakan Akibat Reaktif Oksigen Spesies.
(Kohen & Nyska, 2002)
28
kompresi dari suplai darah ke uterus. Episode alamiah tersebut merupakan proses
awal terbentuknya ROS. Di sisi lain, miometrium manusia tidak hanya
membentuk ROS, namun juga menciptakan sistem pertahanan antioksidan yang
dapat meminimalisir efek destruktif potensial dari ROS tersebut (Jauniaux, 2011).
2.3 Antioksidan
Antioksidan secara kimia adalah semua senyawa yang mampu
memberikan elektron (electron donor). Disebut antioksidan karena zat tersebut
dapat melawan proses oksidasi. Zat-zat ini melindungi bahan kimia lain dari
reaksi oksidasi yang dapat merusak sel. Dalam arti biologis, antioksidan
mempunyai pengertian yang luas yaitu semua senyawa yang dapat meredam
dampak negatif oksidan, termasuk enzim-enzim dan protein pengikat logam.
Dalam meredam efek negatif dari oksidan dilakukan dengan dua cara yaitu 1)
mencegah terjadinya dan tertimbunnya senyawa oksidan secara berlebihan, 2)
mencegah terjadinya reaksi rantai yang berkelanjutan. Bertitik tolak pada dua cara
kerjanya tersebut, antioksidan digolongkan menjadi antioksidan pencegah dan
antioksidan pemutus reaksi rantai. Pengelompokan antioksidan yang lain adalah
berdasarkan mekanisme proteksi endogen terhadap radikal bebas (Kohen &
Nyska, 2002), yaitu:
1. Mekanisme antioksidan enzimatik
Superoksid dismutase (SOD), merupakan enzim yang mengkatalisis
radikal superoksid (O2ˉ) menjadi hidrogen peroksida (H2O2) dan
29
oksigen (O2). Terdapat beberapa jenis SOD, seperti Copper-Zinc-SOD
(Cu-Zn-SOD) yang terdapat di dalam sitosol terutama di lisosom dan
nukleus, mangan-SOD (Mn-SOD) yang terdapat di dalam mitokondria,
ekstraseluler SOD (EC-SOD) dan besi-SOD (Fe-SOD) yang hanya
ditemukan pada tumbuhan. Radikal superoksid dapat mengalami
dismutasi secara spontan maupun dengan bantuan SOD membentuk
H2O2. Dengan adanya SOD, kecepatan dismutasi meningkat lebih dari
1000 kali lipat dibandingkan dismutasi spontan.
Enzim SOD akan merubah superoksid menjadi H2O2 :
2O2ˉ + 2H+ SOD O2 + H2O2
Catalase (CAT), ditemukan pada hampir seluruh organ tubuh, namun
terutama terkonsentrasi di hati. Di dalam sel, catalase ditemukan di
dalam peroksisom. Fungsinya untuk mengkatalisis H2O2 menjadi H2O
dan O2. Kapasitas reduksi catalase tinggi pada suasana H2O2
konsentrasi tinggi, sedangkan pada konsentrasi rendah kapasitasnya
menurun (Miwa dkk, 2008). Hal ini disebabkan karena catalase
memerlukan reaksi dua molekul H2O2 dalam proses reduksinya,
sehingga hal ini lebih jarang ditemukan pada konsentrasi substrat
rendah. Pada konsentrasi H2O2 rendah seperti yang dihasilkan dari
proses metabolisme normal, peroxiredoksin (PRX) yang berfungsi
untuk mengikat H2O2 dan mengubahnya menjadi oksigen dan air.
Katalase akan merubah H2O2 menjadi air dan oksigen :
30
2 H2O2 CAT H2O + O2
Glutathione peroxidase (GPx), merupakan seleno-enzim yang pertama
kali ditemukan pada mamalia. Kadarnya tinggi pada ginjal, liver, dan
darah, sedang pada lensa dan eritrosit, dan rendah pada alveoli dan
plasma darah. Enzim ini memerlukan glutathione sebagai donor
substrat untuk mengikat H2O2 maupun hidroperoksida organik
(ROOH) untuk menghasilkan glutathione disulphide (GSSG), air dan
bentuk hidroksi dari bahan organik tersebut (ROH).
Glutation peroksidase akan merubah H2O2 menjadi air dan glutation
disulfida (GSSG) :
H2O2 + 2 GSH GPx 2 H2O + GSSG
2. Mekanisme antioksidan non enzimatik
Antioksidan nonenzimatik ada yang larut dalam lemak dan yang larut
dalam air. Antioksidan nonenzimatik bekerja langsung berikatan dengan
radikal bebas sehingga mengurangi reaktifitasnya. Beta karoten dan
vitamin E adalah antioksidan yang larut dalam lemak sedangkan asam
askorbat, asam urat dan glutation larut dalam air.
Adanya radikal bebas yang dihasilkan dalam tubuh dan terbentuknya ROS,
sebenarnya merupakan proses fisiologis. Bila terjadi peningkatan radikal bebas,
tubuh akan berusaha untuk mengatasi situasi ini dengan memproduksi sejumlah
antioksidan untuk pertahanan yang lebih dikenal sebagai counteracting
antioxidant defences. Tetapi apabila keseimbangan tersebut terganggu dalam
31
artian oksidan atau radikal bebas diproduksi dalam jumlah yang melebihi
kemampuan tubuh untuk memproduksi antioksidan maka akan terjadi suatu
keadaan yang disebut sebagai stres oksidatif yang selanjutnya akan diikuti
perusakan jaringan (Kohen & Nyska, 2002).
2.4 Peran Stres Oksidatif Terhadap Persalinan Preterm
Ketidakseimbangan antara prooksidan dengan antioksidan akan
menimbulkan suatu keadaan yang disebut sebagai stres oksidatif (Eberhardt,
2001). Hal ini terjadi dalam sistem biologis akibat produksi ROS atau RNS yang
berlebihan maupun akibat defisiensi antioksidan enzimatik dan non-enzimatik.
Stres oksidatif akan menimbulkan kerusakan biologis yang dapat merusak lipid
seluler, protein maupun DNA dan menghambat fungsi normal sel (Kohen &
Nyska, 2002).
Pada kehamilan, stres oksidatif ditenggarai memiliki peran dalam
patofisiologi berbagai komplikasi kehamilan seperti keguguran, preeklamsia, intra
uterine growth restriction (IUGR), dan premature rupture of membrane
(PPROM) (Burton & Jauniaux, 2011). Walaupun masih jarang, adanya jalur
oksidatif pada persalinan preterm mulai diteliti. Disebutkan jika terdapat
keseimbangan antara produksi ROS dengan antioksidan maka tidak akan
terbentuk stress oksidatif, sehingga proses kehamilan dapat berjalan sebagai
mestinya. Namun pada kondisi dimana terjadi peningkatan kadar ROS tanpa
disertai mekanisme pertahanan antioksidan yang adekuat maka akan memicu
32
terjadinya stres oksidatif yang berujung pada kerusakan sel dan penyakit
(Eberhardt, 2001). Dibandingkan dengan keadaan tidak hamil, pada saat
kehamilan terdapat peningkatan produksi radikal bebas, dan pada persalinan
preterm dikatakan produksinya lebih banyak lagi. Sumber radikal bebas dan stres
oksidatif yang terbesar pada kehamilan dipercaya berasal dari stres oksidatif yang
terjadi di plasenta, terutama mitokondria plasenta (Little, 2003).
Penelitian yang dilakukan oleh Cherouny,dkk (1989), ditemukan bahwa
pemberian H2O2 sebagai ROS pada tikus dapat memicu kontraksi uterus akibat
meningkatnya pelepasan prostaglandin (PGE2 dan PGF2). Pada penelitian yang
sama, tikus juga di beri butylated hydroxyl anisole (BHA) sebagai antioksidan dan
terbukti dapat menurun kontraksi otot uterus dan kadar prostaglandin
dibandingkan dengan kelompok tanpa pemberian antioksidan.
PGF-2α bertanggung jawab terhadap kontraksi miometrium sedangkan
PGE-2 menurunkan resistensi jaringan servik, merupakan dua proses yang penting
dalam kemajuan persalinan. PGF-2α bersama-sama estrogen bekerja pada
miometrium meningkatkan pembentukan gap junction dan reseptor oksitosin.
Sekali mekanisme tersebut terjadi maka akan terjadi penjalaran depolarisasi antar
sel yang akan menyebabkan peningkatan kadar kalsium di dalam sel. Ion kalsium
di dalam sel akan berperan pada Calmodulin membentuk Ca-Calmodulin
mengaktifkan enzim Myosin Light Chain Kinase (MLCK) yang berperan pada
proses fosforilasi dari myosin yang bila berinteraksi dengan actin akan
33
menyebabkan pemendekan dari serat otot sehingga terjadi kontraksi miometrium
(Cunningham dkk, 2010).
Pada studi lainnya dari Matsumoto, dkk (1990), menemukan kaitan antara
keberadaan SOD dan CAT sebagai sistem pertahanan untuk mencegah
peningkatan produksi dari anion superoksida (O2-) di dalam miometrium manusia.
Anion superoksida dikatakan memiliki peran langsung dalam menyebabkan
terjadinya kontraksi pada uterus manusia melalui peningkatan kalsium (Ca2+)
intraselular. kalsium ini dilepaskan dari retikulum endoplasma serta tempat
penyimpanan lainnya. Konsentrasi kalsium dalam lumen Retikulum Endoplasma
lebih tinggi dibandingkan dengan kadarnya dalam sitosol. Konsentrasi ini
dipertahankan oleh mekanisme pompa kalsium ATPase yang terdapat pada sarko
dan retikulum endoplasma. Pada saat terjadi peningkatan stres oksidatif, ROS
akan memicu pelepasan kalsium dari membran reticulum endoplasma, melalui
reseptor inositol-1,4,5,triphospat (IP3R) dan reseptor ryanodine (Jauniaux, 2011).
Sedangkan hidrogen peroksida (H2O2) yang merupakan salah satu ROS
non radikal yang sangat reaktif, yang dihasilkan pada metabolisme seluler pun
memiliki peran dalam kontraksi miometrium. H2O2 dikatakan memiliki efek
lanjutan pada banyak sel target yang meliputi channels ion membrane. Penelitian
oleh Warren, dkk (2005) menyebutkan bahwa H2O2 memicu peningkatkan influx
Ca2+ sehingga menyebabkan peningkatan kalsium intraseluler [Ca2+]i yang
kemudian akan mengaktivasi calcium calmodulin (Ca2+ CALM). Calcium
calmodulin akan mengaktivasi myosin light chain kinase (MLCK), yang
34
selanjutnya memodulasi terjadinya reaksi actin-myosin yang menyebabkan
kontraksi otot miometrium (Cunningham dkk, 2010). Mekanisme tersebut diatas
yang menjadi dasar terjadinya kontraksi miometrium pada persalinan preterm
spontan yang berkaitan dengan ROS.
2.5 Peroksidasi lipid
2.5.1 Pembentukan peroksidasi lipid
Peroksidasi lipid merupakan proses yang terjadi ketika radikal bebas
berinteraksi dengan polyunsaturated fatty acids (PUFA) pada membran sel dan
lipoprotein pada plasma. PUFA lebih rentan terhadap reaksi radikal bebas
dibandingkan asam lemak jenuh. Hal ini disebabkan karena PUFA memiliki
Gambar 2.3 Mekanisme relaksasi dan kontraksi pada jaringan miometrium
(Cunningham dkk. 2010)
35
jembatan metilen yang mengandung hidrogen reaktif yang merupakan sasaran
utama bagi radikal bebas. Peningkatan produksi radikal bebas akan menyebabkan
peningkatan peroksidasi lipid (Winarsi, 2007).
Peroksidasi lipid terjadi melalui reaksi enzimatik maupun non enzimatik
melibatkan spesies kimia aktif yang dikenal sebagai reactive oxygen species
(ROS), yang bertanggung jawab terhadap efek toksik pada tubuh melalui berbagai
kerusakan jaringan. Mekanisme yang memicu peroksidasi lipid sangat kompleks.
Terdapat tiga mekanisme berbeda yang dapat memicu peroksidasi itu, yaitu
(Wikipedia, 2012) :
1. Autooksidasi atau oksidasi non enzimatik termediasi radikal bebas.
Terjadi melalui mekanisme berantai, dimana satu radikal bebas dapat
memicu oksidasi banyak molekul lemak. Proses ini melibatkan tiga tahapan
yaitu ; inisiasi, propagasi, dan terminasi.
a. Tahap inisiasi
Pada tahap ini dimulainya produksi asam lemak radikal. Dimana terjadi
reaksi radikal bebas, umumnya ROS (OH dan HO2) terhadap atom
hidrogen partikel lemak dan menghasilkan air (H2O) dan asam lemak
radikal.
b. Tahap propagasi
Asam lemak radikal yang dihasilkan dari proses inisiasi bersifat sangat
tidak stabil dan mudah bereaksi dengan molekul oksigen dan akan
menghasilkan suatu asam lemak radikal peroksil. Bahan ini juga ternyata
36
bersifat tidak stabil dan kemudian bereaksi dengan asam lemak bebas
lainnya untuk menghasilkan asam lemak radikal yang baru dan lipid
peroksida atau peroksida siklik bila bereaksi dengan dirinya sendiri. Siklus
ini berlanjut sedemikian rupa hingga memasuki tahap terminasi.
c. Tahap terminasi
Ketika suatu radikal bereaksi dengan non radikal maka akan menghasilkan
suatu radikal baru. Proses ini dinamakan dengan mekanisme reaksi rantai.
Reaksi radikal akan berhenti bila terdapat dua radikal yang saling bereaksi
dan menghasilkan suatu spesies non radikal. Hal ini hanya dapat terjadi
ketika konsentrasi spesies radikal sudah sedemikian tingginya sehingga
memungkinkan dua spesies radikal untuk saling bereaksi.
Gambar 2.4 Tahapan autooksidasi lipid
(Wikipedia, 2012)
37
2. Foto oksidasi atau oksidasi non enzimatik tidak termediasi radikal bebas
Merupakan proses peroksidasi lipid oleh karena adanya oksigen tunggal
dan ozon yang memfasilitasi pancaran energi seperti ultraviolet, dan
menghasilkan perubahan yang umumnya berupa pemisahan atau pengurangan
berat molekul. Proses foto oksidasi ini berlangsung hampir sama dengan
oksidasi termediasi radikal bebas yang meliputi tiga tahapan; inisiasi,
propagasi dan terminasi, hanya saja pada proses inisiasi didahului oleh adanya
oksigen tunggal dan bukan oleh radikal bebas.
3. Oksidasi enzimatik
Proses peroksidasi lipid yang melibatkan enzym sebagai katalis dan
menghasilkan produk stereo- dan regio-spesifik. Ada tiga enzim utama yang
berperan yaitu lipooksigenase (LOX), siklooksigenase (SOX) dan sitokrom
P450. LOX mengkatalis oksidasi asam arakhidonat dan menghasilkan produk
hidroperoksida. COX mengkatalis asam lemak tak jenuh menjadi
endoperoksida dan prostaglandin. Sedangkan sitokrom p450 mengkatalis
oksidasi asam lemak epoksi menjadi produk epoksid, leukotrin, tromboksan,
dan prostasiklin.
Peroksidasi lipid menghasilkan produk primer seperti lipid hidroperoksida
dan produk sekunder seperti MDA dan lipid peroksida. Produk peroksidasi lipid
ini dibentuk terutama di plasenta lalu terikat pada lipoprotein untuk kemudian
disebarkan melalui aliran darah ke seluruh tubuh, sehingga dapat menyebabkan
kerusakan pada tempat yang jauh (Niki dkk, 2009).
38
Peningkatan produksi peroksidasi lipid yang secara tipikal diinisiasi oleh
spesies radikal bebas yang sangat reaktif, dapat dinilai dengan banyak metoda
termasuk pengukuran baik produk primer maupun sekunder dari hasil peroksidasi
tersebut. Produk primer dari peroksidasi lipid termasuk conjungated dienes dan
lipid hidroperoksida, sementara produk sekundernya diantaranya ialah
Malondialdehyde (MDA), thiobarbituric acid reactive substances (TBARS),
hydroxylnonenal (HNE), gaseous alkanes dan kelompok prostaglandin F2-like
product yang disebut F2-isoprostanes (Niki dkk, 2009).
Gambar 2.5 Produk peroksidasi lipid (Dotan, 2004)
39
2.5.2 Peran Peroksidasi Lipid Terhadap Persalinan Preterm
Peroksidasi lipid merupakan fenomena normal yang terjadi secara
kontinues dengan level rendah pada manusia. Kehamilan sendiri merupakan suatu
kondisi stres di mana banyak fungsi fisiologis dan metabolisme yang berubah
dalam batas waktu tertentu, sehingga didapatkan level peroksidasi lipid yang lebih
tinggi dibandingkan keadaan tidak hamil. Selama kehamilan, level peroksidasi
lipid meningkat sesuai dengan perkembangan normal kehamilan (Patil, 2006).
Namun pada kondisi produksi peroksidasi lipid yang berlebihan maka kehamilan
dikaitkan dengan suatu keadaan patologis (Little, 2003).
Ketika hamil, peroksidasi lipid terutama di induksi di plasenta. Jaringan
plasenta mengandung banyak asam lemak tak jenuh yang merupakan sasaran dari
aktifitas radikal bebas. Jaringan plasenta memiliki enzim antioksidan dalam
konsentrasi rendah sehingga menjadi sangat rentan terhadap kerusakan yang
dimediasi oksidatif. Lipid peroksida yang dihasilkan berasal dari trophoblast dan
kompartemen inti villous. Produk ini kemudian disekresikan ke sirkulasi maternal
yang selanjutnya menginisiasi kaskade peroksidasi lebih lanjut (Little, 2003).
Peroksidasi lipid bersifat sangat reaktif dan dapat menyebabkan kerusakan
membran sel melalui interaksi langsung dengan membran sel maupun secara tidak
langsung melalui aktifasi mediator lain oleh produk peroksidasi lipid (Eberhardt,
2001).
Efek secara langsung yaitu menyebabkan gangguan pada fungsi membran
sel sehingga dapat mempengaruhi perubahan kandungan cairan (fluiditas)
40
membran dan mobilisasi enzim-enzim pada membran. Sebagai tambahan terhadap
rusaknya fungsi membran sebagai barier tersebut, lipid peroksidasi juga
mengakibatkan hilangnya homeostasis ion berupa gangguan kompartemen dan
kekacauan ion utamanya yaitu terjadi influx ion Ca2+ sehingga dapat
mempengaruhi fungsi sel otot seperti halnya yang disebabkan oleh peningkatan
ROS (Warren dkk, 2005 ; Connors, 2004 ; Eberhardt, 2001 ; Aruoma, 2001).
Konsentrasi ion Ca2+ di dalam sel akan berperan pada Calmodulin membentuk
Ca-Calmodulin mengaktifkan enzim Myosin Light Chain Kinase (MLCK) yang
berperan pada proses fosforilasi dari myosin yang bila berinteraksi dengan actin
akan menyebabkan pemendekan dari serat otot sehingga terjadi kontraksi
miometrium (Cunningham dkk, 2010). Disebutkan bahwa calcium channel
blocker dapat digunakan untuk menghambat peroksidasi lipid dan mencegah
pembentukan ROS (Valco, 2006).
Gambar 2.6 Gambaran kerusakan sel karena ROS (Miles B, 2003)
41
Sedangkan efek secara tidak langsung melalui produk-produk metabolit
dari peroksidasi lipid (Eberhardt, 2001). Hidroksinoneal (HNE), yang merupakan
salah satu produk metabolit dari peroksidasi lipid, pada konsentrasi tinggi dapat
menyebabkan hilangnya homeostasis ion Ca2+, hambatan terhadap respirasi
mitokondria dan sintesa protein, serta mampu menarik neutrofil dan menginduksi
respon inflamasi pada sel endotel (Eberhardt, 2001). Pada sebuah penelitian,
pemberian HNE pada kultur jaringan miometrium manusia, dapat menginduksi
ekspresi COX-2 dan produksi PGE2 dalam jaringan miometrium (Temma, 2011).
COX-2 (cyclooxygenase-2) merupakan enzim yang mengkatalis pembentukan
prostaglandin yang bertanggung jawab terhadap terjadinya kontraksi miometrium
sedangkan PGE-2 selain dapat memicu kontraksi miometrium, berperan pula
menurunkan resistensi jaringan servik. Kedua hal tersebut berperan penting dalam
kemajuan persalinan sehingga dapat mencetuskan timbulnya persalinan preterm
(Cunningham dkk, 2010).
Peroksidasi lipid bila terus berlanjut akan menyebabkan ketidakstabilan
membran, mengubah viskositas membran dan merangsang aktivasi fosfolipase A2
(Gazali, 2002). Fosfolipase A2 adalah enzim yang menghidrolisis fosfolipid yang
merupakan komponen utama pada membran sel. Fosfolipid oleh fosfolipase A2
akan dihidrolisis membentuk asam arakidonat, selanjutnya oleh enzim
lipoxygenase (LOX) akan membentuk leukotrin dan oleh enzim cyclooxygenase
(COX) 1 dan 2 akan menbentuk prostanoid (Wikipedia, 2012). PGE2 dan PGF2
merupakan salah satu produksi dari metabolisme ini bertanggung jawab terhadap
42
kontraksi miometrium dan pelunakan jaringan servik, sehingga keseluruhan
proses ini dapat mencetuskan timbulnya persalinan preterm (Cunningham dkk,
2010).
2.5.3 Malondialdehid (MDA)
Malondialdehid (MDA) adalah produk peroksidasi lipid yang merupakan
aldehid reaktif. MDA merupakan salah satu dari banyak spesies elektrofil reaktif
yang dapat menyebabkan stress toksik pada sel serta membentuk produk protein
kovalen yang dikenal sebagai sebutan advance lipoxidation end products (ALE).
MDA dapat bereaksi dengan deoksiguanosin dan deoksiadenosin pada DNA dan
membentuk substansi M1G yang bersifat mutagenik (Eberhardt,2001).
Gambar 2.7 Struktur kimia malondialdehid (MDA)
(Wikipedia, 2012)
MDA dibentuk sebagai bahan dikarbonil (C3H4O2) dengan berat molekul
rendah (berat formula = 72,07), rantai pendek, dan bersifat volatil asam lemah
43
(pKa = 4,46), dihasilkan sebagai produk sampingan pembentukan eikosanoid
enzimatik dan produk akhir degradasi oksidatif asam lemak bebas non enzimatik.
MDA telah ditemukan hampir di seluruh cairan biologis, termasuk pada
plasma, urin, cairan persendian, cairan brokoalveolar, cairan empedu, cairan getah
bening, cairan mikrodialisis, cairan amnion, cairan pericardial, dan cairan seminal.
Namun plasma dan urin merupakan sampel yang paling umum digunakan karena
paling mudah didapatkan dan paling tidak invasive. Data yang tersedia hingga
saat ini juga menunjukkan pengukuran kadar MDA baik dari plasma maupun urin
memberikan hasil yang sama akurat dan presisi dari indeks stres oksidatif (Janero,
2001).
Meningkatnya perhatian terhadap keberadaan peroksidasi lipid, potensinya
untuk merusak dan keterlibatannya dalam berbagai patogenesis penyakit,
menyebabkan peroksidasi lipid menjadi suatu marker penting yang dapat diukur
untuk deteksi dini penyakit. Sejumlah Penelitian dalam satu dekade terakhir ini
telah menunjukkan bahwa MDA merupakan komponen pengukuran terhadap lipid
peroksidasi yang bersifat stabil dan akurat, dan telah membantu menjelaskan
peranan stres oksidatif pada sejumlah penyakit (Janero, 2001).
Analisa malondialdehid merupakan analisa radikal bebas secara tidak
langsung dan merupakan analisa yang cukup mudah untuk menentukan jumlah
radikal bebas yang terbentuk. Analisa radikal bebas secara langsung sangat sulit
dilakukan, karena radikal bebas ini sangat tidak stabil dan cenderung untuk
merebut elektron senyawa lain agar lebih stabil. Reaksi ini berlangsung sangat
44
cepat sehingga pengukurannya sangat sulit bila dalam bentuk senyawa radikal
bebas (Winarsi, 2007).
Kadar MDA diukur dengan menggunakan metode TBARS (Thiobarbituric
acid reactive substance), yang menggunakan dasar reaksi MDA terhadap asam
tiobarbiturat dan selanjutnya dinilai menggunakan spektrofotometer (Janero,
2001).
Hingga saat ini MDA merupakan marker yang paling banyak diteliti, dan
dianggap sebagai marker lipid peroksidasi in vivo yang baik, baik pada manusia
maupun pada binatang, lebih murah dengan bahan lebih mudah didapat yang
secara signifikan akurat dan stabil daripada senyawa lainnya (Niki dkk, 2009).
MDA sangat cocok sebagai biomarker untuk stress oksidatif karena
beberapa alasan, yaitu : (1) Pembentukan MDA meningkat sesuai dengan stres
oksidatif, (2) Kadarnya dapat diukur secara akurat dengan pelbagai metode yang
telah tersedia, (3) Bersifat stabil dalam sampel cairan tubuh yang diisolasi, (4)
Pengukurannya tidak dipengaruhi oleh variasi diurnal dan tidak dipengaruhi oleh
kandungan lemak dalam diet, (5) Merupakan produk spesifik dari peroksidasi
lemak, (6) Terdapat dalam jumlah yang dapat dideteksi pada semua jaringan
jaringan tubuh dan cairan biologis, sehingga memungkinkan untuk menetukan
referensi interval (Llurba dkk, 2004).
Walaupun MDA telah diakui sebagai marker klinis lipid peroksidasi,
namun peranan komponen MDA sendiri dalam patofisiologi kehamilan masih
sedikit yang diketahui. Masih jarang penelitian yang menggunakan MDA untuk
top related