BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Cooperative Learning Tipe Jigsaw
Post on 18-Oct-2021
5 Views
Preview:
Transcript
6
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1. Model Pembelajaran Cooperative Learning Tipe Jigsaw
2.1.1. Pengertian Model Pembelajaran
Model pembelajaran merupakan suatu rencana atau pola yang mengorganisasi
pembelajaran di dalam kelas dan menunjukkan cara penggunaan materi pembelajaran (Koes,
2003: 60). Model pembelajaran dapat dijadikan pola pilihan, artinya para guru boleh memilih
model pembelajaran yang sesuai dan efisien serta efektif untuk mencapai tujuan
pendidikannya.
Sumarno (dalam Chairunnisa 2012: 17), mengemukakan bahwa model pembelajaran
merupakan strategi yang digunakan oleh guru untuk meningkatkan motivasi belajar, sikap
belajar dikalangan siswa, mampu berpikir kritis, memiliki ketrampilan sosial dan pencapaian
hasil pembelajaran yang lebih optimal (Isjoni, 2009: 8).
Dari beberapa pendapat di atas, dapat ditarik kesimpulan dengan demikian bahwa yang
disebut dengan model pembelajaran adalah rencana atau pola atau strategi yang digunakan
oleh guru untuk meningkatkan motivasi belajar, membentuk sikap belajar, sehingga
mencapai hasil pembelajaran yang lebih optimal.
2.1.2. Jenis-jenis Model Pembelajaran
Kardi dan Nur (dalam Trianto, 2009) mengemukakan bahwa ada lima model
pembelajaran yang dapat digunakan dalam mengelola pembelajaran, yaitu:
a. Model pembelajaran langsung
Menurut Arends (Trianto, 2009: 41) model pembelajaran langsung adalah suatu model
pembelajaran yang dirancang khusus untuk menunjang proses belajar siswa yang berkaitan
dengan pengetahuan deklaratif dan pengetahuan procedural yang terstruktur dengan baik dan
dapat diajarkan dengan pola kegiatan bertahap.
b. Model pembelajaran kooperatif
Model pembelajaran kooperatif adalah model pembelajaran yang mengutamakan
kerjasama diantara siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran, dimana siswa belajar bersama
dalam sebuah kelompok kecil yang terdiri dari sejumlah siswa yang heterogen baik dilihat
dari kemampuan belajarnya, rasnya, suku atau jenis kelaminnya.
7
c. Model pembelajaran berdasarkan masalah
Arends (dalam Chairunnisa 2012: 18) menyatakan bahwa model pembelajaran
berdasarkan masalah (problem base learning) adalah model pembelajaran dengan pendekatan
pembelajaran siswa pada masalah autentik, sehingga siswa dapat menyusun pengetahuannya
sendiri, menumbuhkan ketrampilan yang lebih tinggi dan inkuiri, melatih siswa agar mandiri
dan percaya diri. Model ini bercirikan penggunaan masalah kehidupan nyata sebagai sesuatu
dan meningkatkan ketrampilan berpikir kritis dan menyelesaikan masalah, serta mendapatkan
pengetahuan konsep-konsep penting.
d. Model pembelajaran diskusi
Model pembelajaran diskusi merupakan model pembelajaran yang sangat berkaitan
dengan pemecahan masalah. Model pembelajaran in sering disebut diskusi kelompok atau
resitasi (pelafalan bersama).
e. Learning strategy
Strategi belajar yang baik adalah yang dapat menjamin tercapainya tujuan pengajaran
yang efektif, efisien, dan ekonomis serta dapat meningkatkan keterlibatan siswa baik secara
intelektual maupun fisik.
Dari sekian model pembelajaran yang dipaparkan di atas, dalam penelitian ini, penulis
memilih menggunakan model cooperative learning sebagai model pembelajaran yang akan
diterapkan dalam penelitian ini. Pemilihan model cooperative learning dalam penelitian ini
dibangun atas pertimbangan-pertimbangan yang telah dipaparkan pada bab sebelumnya, yaitu
kondisi riil subyek penelitian yang akan diteliti oleh penulis.
2.1.3. Pengertian Model Pembelajaran Cooperative Learning
Mengenai cooperative learning, Slavin (dalam Isjoni, 2007: 15) mengemukakan: “in
cooperative learning methods, students work together in four member teams to master
material initially presented by teacher”. Dari pernyataan tersebut dapat dikemukakan bahwa
cooperative learning merupakan suatu model pembelajaran yang di dalamnya kegiatan belajar
dilakukan oleh siswa dalam kelompok-kelompok kecil yang berjumlah 4-6 orang secara
bersama, sehingga dapat merangsang siswa lebih termotivasi dalam belajar.
Model pembelajaran ini memungkinkan siswa untuk mengembangkan pengetahuan,
kemampuan, dan keterampilan secara penuh dalam suasana belajar yang terbuka dan
demokratis. Siswa bukan lagi sebagai objek pembelajaran namun bisa juga berperan sebagai
tutor bagi rekan sebayanya. Menurut Sagala (2003: 88) cooperative learning merupakan
salah satu bentuk pembelajaran yang berdasarkan paham konstruktivisme.
8
Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa cooperative learning
merupakan model pembelajaran yang memanfaatkan pengelompokan siswa untuk bekerja
sama selama proses pembelajaran, sehingga mendapatkan hasil yang maksimal. Karena
dengan pengelompokan ini, diharapkan siswa dapat saling membantu dalam tugas
akademiknya.
2.1.4. Tujuan Model Pembelajaran Cooperative Learning
Model cooperative learning adalah model pembelajaran yang memungkinkan guru
dapat mendorong siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran baik berupa tujuan akademik,
penerimaan akan keragaman, maupun sebagai saran untuk mengembangkan ketrampilan
sosial (Suhadi, 2010: 7). Suhadi melanjutkan bahwa dengan cooperative learning, siswa dapat
meningkatkan prestasi (hasil) belajarnya, karena siswa diberikan kesempatan untuk saling
belajar dengan sesamanya – inilah yang disebut dengan pencapaian pembelajaran yaitu pada
tujuan akademik. Sebab, menurut Suhadi, dengan belajar dari sesama siswa lainnya, siswa
sebagai individu justru lebih mudah menyerap pelajaran, karena rekannya berada pada
dimensi kognitif yang sama dengan dirinya. Selain tujuan akademik, dengan cooperative
learning siswa diberikan kesempatan untuk saling belajar menerima keragaman, baik
keragaman suku, agama, ras, intelektual dan latar belakang yang lain (Slavin, 2003: 39).
Akhirnya cooperative learning adalah sarana yang tepat bagi para siswa untuk
mengembangkan ketrampilan sosialnya (Suhadi, 2010: 8). Dengan belajar menerima
perbedaan, pada saat itu juga siswa sedang belajar bagaimana mengembangkan
ketrampilannya sebagai makhluk sosial.
2.1.5. Pengertian Model Pembelajaran Cooperative Learning Tipe Jigsaw
Model cooperative learning tipe Jigsaw merupakan salah tipe dari model cooperative
learning. Jigsaw telah dikembangkan dan diuji coba oleh Elliot Aronson dan teman-teman di
Universitas Texas, dan kemudian diadaptasi oleh Slavin dan teman-teman di Universitas John
Hopkins. Cooperative learning tipe jigsaw merupakan salah satu tipe cooperative learning
yang mendorong siswa aktif dan saling membantu dalam menguasai materi pelajaran untuk
mencapai prestasi yang maksimal (Isjoni, 2007: 54).
Aronson (dalam Isjoni 2007: 54), tokoh yang mendesain model cooperative learning
tipe Jigsaw mengatakan: Esensi dari jigsaw adalah suatu model cooperative learning dimana
tiap siswa dalam kelompok memiliki satu potongan gambaran informasi khusus yang masing-
masing berbeda, kemudian ia bertanggungjawab untuk mengajarkannya kepada teman satu
9
kelompoknya. Ketika seluruh gambaran informasi ini bergabung, siswa telah memiliki satu
puzzle utuh (dinamakan jigsaw)
Menurut Isjoni (2007: 55) disebutkan bahwa dalam penerapan jigsaw, siswa dibagi
berkelompok dengan 4-6 anggota kelompok belajar secara beragam, karena kelompok yang
beranggotakan 4-6 orang lebih sepaham dalam menyelesaikan suatu permasalah
dibandingkan dengan kelompok yang beranggotakan 2-4 orang. Kunci jigsaw adalah saling
ketergantungan, yakni setiap siswa bergantung kepada teman satu kelompoknya untuk dapat
memberikan informasi yang diperlukan supaya dapat berkinerja baik saat penilaian.
Dari pendapat di atas, dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa model cooperative
learning tipe jigsaw adalah sebuah model pembelajaran yang beranggotakan 4-6 orang, di
mana setiap anggota kelompok saling bergantung satu dengan lainnya untuk dapat
memberikan informasi yang diperlukan supaya dapat berkinerja baik saat penilaian.
2.1.6. Langkah-langkah Pembelajaran Cooperative Tipe Jigsaw
Langkah-langkah atau tahapan pelaksanaan cooperative learning tipe jigsaw yang
diadopsi dari Aronson (2010) adalah sebagai berikut (lihat tabel 2.1)
Tabel 2.1
Langkah-Langkah (tahapan) Model Cooperative learning Tipe Jigsaw
Tahapan Kegiatan Keterangan
Pertama Membentuk kelompk
jigsaw/kelompok asal yang
heterogen
Guru membagi siswa dalam
kelompok asal yang
berjumlah 4-6 orang
Kedua Membagikan tugas/materi Guru membagi pelajaran yang
akan di bahas ke dalam 4-6
bagian
Siswa membagi tugas/materi
yang berbeda pada ditap
siswa dalam tiap kelompok
Ketiga Membentuk kelompok ahli Siswa dari masing-masing
kelompok jigsaw/asal
bergabung dengan siswa lain
yang memiliki segmen
10
pelajaran yang sama
Keempat Diskusi kelompok ahli Siswa berdiskusi dalam
kelompok berdasarkan
kesamaan materi masing-
masing siswa
Kelima Diskusi kelompok jigsaw/asal Siswa kembali ke kelompok
asalnya masing-masing dan
bergiliran mengajarkan materi
kepada anggota kelompok
yang lain
Keenam Evaluasi tingkat penguasaan siswa
terhadap materi
Guru melakukan penilaian
untuk mengukur hasil belajar
siswa secara individu
mengenai seluruh
pembahasan
Adapun langkah-langkah pembelajaran jigsaw di atas diuraikan sebagai berikut:
a. Tahap 1: Bahan Ajar
Guru memilih satu bab dalam buku ajar, kemudian membagi bab tersebut menjadi
bagian-bagian, sesuai dengan jumlah anggota kelompok. Jadi, apabila jumlah anggota
kelompok ada 4 orang siswa, maka bab tersebut dibagi menjadi empat bagian. Setiap anggota
kelompok ditugasi untuk membaca dan mempelajari bagiannya pada bab tersebut. Pada tahap
selanjutnya, masing-masing anggota kelompok bertemu dengan ahli-ahli dari kelompok lain
dalam kelas.
b. Tahap 2: Diskusi Kelompok Ahli
Kelompok ahli harus melakukan pertemuan sekitar satu kali pertemuan untuk
mendiskusikan topik yang ditugaskan. Setiap anggota kelompok ahli harus menerima lembar
kerja “ahli”. Lembar kerja ahli harus memuat pertanyaan-pertanyaan dan kegiatan (jika ada)
untuk mengarahkan diskusi kelompok. Guru mendorong siswa untuk menggunakan cara
belajar yang bervariasi. Tujuan kelompok ini adalah mempelajari subbab tersebut dan
menyiapkan ringkasan presentasi untuk mengajarkan subbab tesebut kepada kelompok kecil
masing-masing.
11
c. Tahap 3: Pelaporan dan Pengetesan
Masing-masing anggota kelompok ahli kembali ke kelompok kecil masing-masing.
Masing-masing anggota kelompok mengajarkan topik ke anggota kelompok lainnya dalam
kelompok. Guru mendorong siswa untuk menggunakan metode mengajar yang bervariasi.
Guru mendorong anggota kelompok untuk mengajukan pertanyaan ke penyaji dan
mendiskusikan lembar kerja kelompok.
Setelah diskusi kelompok, guru menyelenggarakan tes yang mencakup materi satu bab
penuh, dalam waktu yang tidak lebih dari 15 menit.
d. Tahap 4: Tahap penghargaan
Tahap ini merupakan tahap yang mampu mendorong siswa untuk lebih kompak. Pada
tahap ini, rata-rata peningkatan kelompok dilaporkan pada warta penghargaan mingguan.
Guru dapat menggunakan kata-kata istimewa untuk memberikan penghargaan pada kinerja
kelompok seperti Bintang Sains, atau Kelompok Einstein, atau dengan sebutan lainnya.
Penghargaan kerja masing-masing kelompok disajikan pada papan pengumuman yang
melaporkan peringkat masing-masing kelompok dalam kelas. Kinerja individu yang luar
biasa juga dilaporkan. Kepekaan guru sangat diperlukan disini. Penting untuk dipahami
bahwa menghargai siswa secara akademik dari kelompok berkemampuan rendah merupakan
bagian integral keefektifan pembelajaran jigsaw.
2.2. Motivasi Belajar
2.2.1. Pengertian Motivasi
Sebelum membahas motivasi belajar, terlebih dahulu akan dibahas mengenai motivasi.
Istilah motivasi berasal dari bahasa Latin, yakni “movere” yang berarti
“menggerakkan” (Winardi, 2007: 27). Menurut James O Whittaker (Wasty Soemanto
2003: 205) motivasi adalah kondisi-kondisi atau keadaan yang mengaktifkan atau memberi
dorongan kepada mahluk untuk bertingkah laku mencapai tujuan yang ditimbulkan oleh
motivasi tersebut.
Menurut Mc Donald (Sardiman, 2011: 73-74) mengatakan bahwa motivasi adalah
perubahan energi dalam diri seseorang yang ditandai dengan munculnya “feeling” dan
didahului dengan tanggapan terhadap adanya tujuan. Sardiman (2011: 75) juga mengatakan
bahwa motivasi dapat dikatakan sebagai serangkaian usaha untuk menyediakan kondisi-
kondisi tertentu, sehingga seseorang mau dan ingin melakukan sesuatu, dan bila ia tidak suka,
maka akan berusaha meniadakan atau mengelakkan perasaan tidak suka itu.
12
Beberapa pendapat di atas, dengan bahasanya masing-masing menunjukkan
perasamaan dalam memberikan pengertian tentang motivasi. Masing-masing bersepakat
bahwa motivasi adalah sebuah kondisi yang mendorong. Berdasarkan beberapa pendapat
diatas dapat disimpulkan bahwa motif dan motivasi memiliki pengertian yang sama yaitu
menunjukkan suatu dorongan yang timbul dari dalam diri seseorang yang menyebabkan
orang tersebut mau bertindak melakukan sesuatu guna tujuan yang diinginkan.
2.2.2. Motivasi Belajar
Dalam proses belajar, motivasi sangat diperlukan. Seorang yang tidak mempunyai
motivasi dalam belajar, tidak akan mungkin dapat melakukan aktivitas belajar.
Menurut Sadirman AM (2011), motivasi belajar adalah keseluruhan daya penggerak di
dalam diri siswa yang menimbulkan kegiatan belajar, yang menjamin kelangsungan dan
kegiatan belajar siswa dan memberikan arah pada kegiatan belajar, sehingga tujuan yang
dikehendaki oleh subyek belajar tercapai.
Dari pengertian motivasi belajar diatas dapat disimpulkan 3 hal mendasar yang
termuat dalam motivasi belajar sebagai berikut :
a. Mendorong manusia untuk berbuat (motivasi sebagai motor penggerak dari setiap
kegiatan yang akan dilakukan)
b. Menyeleksi sesuatu perbuatan (menentukan perbuatan-perbuatan) yang harus dilakukan
untuk mencapai tujuan.
c. Menentukan arah perbuatan (ke arah tujuan yang hendak dicapai) (M Ngalim
Purwanto, 1997)
Berdasarkan kutipan di atas, maka dapat penulis simpulkan bahwa yang dimaksud
dengan motivasi belajar adalah dorongan yang timbul dalam diri individu untuk melakukan
sesuatu tindakan yang dipilih secara sadar, dengan tujuan-tujuan yaitu berhasil di dalam
belajar.
Terkait dengan penelitian ini, seseorang dikatakan memiliki motivasi belajar jika ia
terdorong untuk menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw dalam
pembelajaran IPA, secara sadar memilih menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe
jigsaw dalam pembelajaran IPA dan berhasil tuntas dalam belajarnya, yang ditunjukkan
dengan adanya dorongan dari dalam diri yang tinggi untuk berhasil mencapai Kriteria
Ketuntasan Minimum (KKM). Untuk mengetahui adanya dorongan yang tinggi dari dalam
diri untuk mencapai KKM tersebut, maka digunakan patokan skala motivasi belajar dengan
13
menggunakan skala Likert, yang terdiri dari tiga kategori: tinggi, sedang dan rendah; dan
diperoleh melalui angket, dengan patokan sebagai berikut:
Dengan ketentuan sebagai berikut:
≥ 80 ke atas : tinggi
60 – 79 : sedang
≤ 59 : rendah
2.2.3. Macam-Macam Motivasi Belajar
Dalam membicarakan macam-macam motivasi belajar, hanya dibahas dari dua sudut
pandang yaitu motivasi yang berasal dari dalam diri seseorang yang disebut “motivasi
intrinsik” dan motivasi yang berasal dari luar diri seseorang disebut “motivasi ekstrinsik”
Djamarah (dalam Samsudin 2003).
a. Motivasi Intrinsik
Motivasi Intrinsik adalah motiv-motif yang menjadi aktif dan berfungsi tanpa perlu
dirangsang dari luar, karena dalam diri setiap individu sudah ada dorongan untuk melakukan
sesuatu.
Bila seseorang memiliki motif intrinsik dalam dirinya, maka ia sadar akan melakukan
sesuatu kegiatan yang tidak menimbulkan motivasi dari luar dirinya. Dalam aktivitas belajar,
motivasi intrinsik diperlukan terutama belajar sendiri. Seseorang yang memiliki motivasi
intrinsik selalu ingin maju sulit sekali melakukan aktifitas belajar terus menerus. Sedangkan
seseorang yang memiliki motivasi intrinsik selalu ingin maju dalam belajar. Keinginan ini
dilatar belakangi oleh pemikiran yang positif, bahwa semua mata pelajaran yang dipelajari
sangat dibutuhkan dan sangat berguna kini dan mendatang. Motivasi memang berhubungan
dengan kebutuhan seseorang yang memunculkn kesadaran untuk melakukan aktifitas atau
kegiatan.
Siswa yang memiliki motivasi intrinsik cenderung akan menjadi seseorang yang
terdidik, berpengetahuan yang mempunyai keahlian dalam bidang tertentu. Untuk
mendapatkan semuanya itu perlu belajar. Belajar adalah suatu cara untuk mendapatkan suatu
ilmu pengetahuan dan ketrampilan.
Sebenarnya motivasi baik itu intrinsik maupun ekstrinsik adalah sesuatu yang abstrak
dan tidak dapat dilihat bentuknya. Karena itu, pertanyaannya adalah bagaimana mengukur
motivasi tersebut?Uno (2011: 23) menyebutkan bahwa untuk dapat mengetahui motivasi
14
intrinsik atau motivasi yang datang dari dalam diri seseorang dapat diukur dengan: (1) adanya
hasrat dan keinginan berhasil; (2) adanya dorongan dan kebutuhan dalam belajar; (3) adanya
harapan dan cita-cita masa depan.
b. Motivasi Ekstrinsik
Motivasi ekstrinsik adalah motif-motif yag aktif dan berfungsi karena adanya
perangsang dari luar. (Djamarah, 2003). Motivasi ekstrinsik diperlukan agar siswa mau
belajar. Guru harus dapat membangkitkan minat siswa dengan motivasi ekstrinsik dalam
berbagai bentuknya. Kesalahan dalam menggunakan motif-motif ekstrinsik bukan menjadi
pendorong, tetapi menjadikan siswa malas belajar. Untuk itu guru harus tepat dan benar
dalam memotovasi siswa dalam rangka proses interaksi belajar mengajar.
Dalam pendidikan dan pengajaran, guru bukan hanya berperan menjadi administator,
demonstrator, pengolola kelas, mediator, fasilitator, supervisor dan evaluator, tetapi juga
sebagai motivator dan pembimbing.
Sebagai motivator guru berperan untuk mendorong siswa agar giat belajar. Usaha ini
dapat diusahakan guru dengan memanfaatkan bentuk – bentuk motivasi sekolah agar dapat
membangkitkan gairah belajar siswa. Menurut Djamarah (Samsudin 2003) ada enam hal
yang dapat diusahakan guru yaitu:
a. Membangkitkan dorongan kepada siswa agar belajar.
b. Menjelaskan secara konkrit kepada siswa apa yang dapat di lakukan pada akhir
pengajaran.
c. Memberikan ganjaran kepada terhadap prestasi yang dicapai siswa sehingga dapat
merangsang untuk mendapat prestasi yang lebih baik di kemudian hari.
d. Membentuk kebiasaan belajar siswa secara individual maupun kelompok.
e. Membantu kesulitan belajar siswa secara individual maupun kelompok.
f. Menggunakan metode yang bervariasi.
Selain Djamarah, Uno menyebutkan bahwa upaya agar siswa dapat termotivasi untuk
belajar, hal-hal di luar diri siswa yang dapat mendorong dirinya untuk belajar antara lain:
a. Adanya penghargaan dalam belajar;
b. Adanya kegiatan yang menarik dalam belajar, dan;
c. Adanya lingkungan belajar yang kondusif.
Dari paparan di atas, dapat kita mengerti bahwa motivasi dapat terjadi karena dua hal.
Pertama bahwa motivasi ada karena ada keinginan dari dalam diri sendiri untuk belajar.
Motivasi jenis ini disebut juga dengan motivasi intrinsik, dan kedua adalah motivasi belajar
yang muncul dari dalam diri siswa untuk tertarik belajar karena adanya dorongan dari pihak-
15
pihak di luar dirinya. Dalam penelitian ini, penulis akan menggunakan dua motivasi ini untuk
melihat motivasi belajar siswa. Khusus untuk motivasi intrinsik, indikator yang akan
digunakan untuk mengukur dua jenis motivasi belajar ini, yaitu indikator yang disampikan
oleh Uno (2011). Sedangkan untuk motivasi ekstrinsik, indikator yang akan digunakan pada
motivasi belajar siswa adalah indikator yang disampaikan oleh Djamarah (2003).
2.2.4. Bentuk-Bentuk Motivasi Belajar di Sekolah
Ada beberapa bentuk dan cara untuk menumbuhkan motivasi dalam kegiatan belajar
mengajar sebagaimana dijelaskan Sardiman A.M, (2011: 92-95), dalam bukunya berjudul “
Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar” sebagai berikut:
a. Memberi angka
Angka dalam hal ini sebagai simbol dari nilai kegiatan belajarnya. Banyak siswa
belajar, yang utama justru untuk mencapai angka/nilai yang baik. Sehingga siswa biasanya
yang dikejar adalah nilai ulangan atau nilai-nilai pada raport angkanya baik-baik. Angka
merupakan alat motivasi yang cukup memberikan rangsangan kepada siswa untuk
mempertahankan atau bahkan lebih meningkatkan prestasi belajar. Angka biasanya terdapat
dalam rapor sesuai dengan jumlah mata pelajaran yang diprogramkan dalam kurikulum.
Angka-angka yang baik itu bagi para siswa merupakan motivasi yang sangat kuat.
b. Hadiah
Hadiah adalah memberikan sesuatu kepada orang lain sebagai penghargaan atau
kenang-kenangan. Dalam dunia pendidikan, hadiah juga bisa dijadikan sebagai alat motivasi.
c. Saingan / kompetisi
Saingan / kompetisi digunakan sebagai alat motivasi untuk mendorong siswa agar
bergairah belajar. Persaingan, baik persaingan individual maupun persaingan kelompok dapat
meningkatkan prestasi belajar siswa. memang unsure persainga ini banyak dimanfaatkan di
dalam dunia industri atau perdagangan, tetapi juga sangat baik digunakan untuk
meningkatkan kegiatan belajar siswa.
d. Ego-involvement
Menumbuhkan kesadaran kepada siswa agar merasakan pentingnya tugas dan
menerimanya sebagai tantangan sehingga bekerja keras dengan mempertaruhkan harga diri,
adalah sebagai salah satu bentuk motivasi yang cukup penting. Seseorang akan berusaha
dengan segenap tenaga untuk mencapai prestasi yang baik dengan menjaga harga dirinya.
16
e. Memberi Ulangan
Ulangan merupakan strategi yang cukup baik untuk memotivasi siswa agar giat belajar.
Para siswa akan belajar lebih giat kalau tahu jika akan ada ulangan. Oleh karena itu, memberi
ulangan ini juga merupakan sarana motivasi. Tetapi yang harus diingat oleh guru, adalah
jangan terlalu sering ( misalnya setiap hari ) karena bisa membosankan dan bersifat rutinitas.
Dalam hal ini guru juga harus bersifat terbuka, maksudnya kalau akan ada ulangan harus
diberitahukan terlebih dahulu kepada siswanya.
f. Mengetahui Hasil
Mengetahui hasil bisa dijadikan motivasi bagi siswa. Dengan mengetahui hasil siswa
terdorong untuk belajar lebih giat. Untuk mengetahui bahwa grafik hasil belajar meningkat,
maka ada motivasi pada diri siswa untuk terus belajar, dengan satu harapan hasilnya terus
meningkat.
g. Pujian
Pujian adalah bentuk reinforcement yang penting dan sekaligus merupakan motivasi
yang baik. Oleh karena itu, supaya pujian ini merupakan motivasi, pemberiannya harus tepat.
Dengan pujian yang tepat akan memupuk suasana yang sangat menyenangkan dan
mempertinggi gairah belajar serta sekaligus akan membangkitkan harga diri siswa.
h. Hukuman
Meski hukuman sebagai reinforcement yang negatif, tetapi apabila dilakukan dengan
tepat dan bijak akan merupakan alat motivasi yang baik. Oleh karena itu guru harus
memahami prinsip-prinsip pemberian hukuman.
i. Hasrat untuk belajar
Hasrat untuk belajar, berarti ada unsur kesengajaan, ada maksud untuk belajar. Hal ini
akan lebih baik, bila dibandingkan segala sesuatu kegiatan yang tanpa maksud. Hasrat unutk
belajar berarti pada diri anak didik itu memang ada motivasi untuk belajar, sehingga sudah
barang tentu hasilnya akan lebih baik.
j. Minat
Motivasi muncul karena ada kebutuhan, begitu juga minat sehingga tepatlah kalau
minat merupakan alat motivasi yang pokok. Proses belajar itu akan berjalan lancar kalau
disertai dengan minat. Mengenai minat ini antara lain dapat dibangkitkan dengan cara cara-
cara diantaranya : (1) Membangkitkan adanya suatu kebutuhan, (2) Menghubungkan dengan
persoalan pengalaman yang lampau, (3) Memberi kesempatan untuk mendapatkan hasil yang
baik, (4) Menggunakan berbagai macam bentuk mengajar.
17
k. Tujuan yang diakui
Rumusan tujuan yang diakui dan diterima baik oleh siswa, karena dirasa sangat
berguna dan menguntungkan, maka akan timbul gairah untuk terus belajar.
Diakui bahwa dalam proses pembelajaran, tidak mudah untuk menumbuhkan motivasi
belajar siswa. Artinya bahwa jika tidak muncul motivasi dari dalam diri siswa, diperlukan
motivasi dari luar diri siswa. Dalam konteks belajar mengajar, guru yang berperan sebagai
motivator dalam membangkitkan motivasi belajar siswa. Karena itu, diperlukan berbagai cara
atau strategi untuk dapat menumbuhkan motivasi belajar siswa itu sendiri. Sardiman (2011)
menawarkan 11 strategi yang dapat digunakan oleh guru untuk meningkatkan motivasi siswa
dalam belajar.
Meskipun demikian, dalam penelitian ini, penulis memilih menggunakan jenis-jenis
motivasi belajar siswa yang digunakan oleh Uno (2011) Djamarah (2003) yaitu motivasi
intrinsik dan motivasi ekstrinsik antara lain: (1) adanya hasrat dan keinginan berhasil; (2)
adanya dorongan dan kebutuhan dalam belajar; (3) adanya harapan dan cita-cita masa depan
(4) membangkitkan dorongan kepada siswa agar belajar; (5) menjelaskan secara konkrit
kepada siswa apa yang dapat di lakukan pada akhir pengajaran; (6) memberikan ganjaran
kepada terhadap prestasi yang dicapai siswa sehingga dapat merangsang untuk mendapat
prestasi yang lebih baik di kemudian hari; (7) membentuk kebiasaan belajar siswa secara
individual maupun kelompok; (8) membantu kesulitan belajar siswa secara individual
maupun kelompok; dan (9) menggunakan model pembelajaran yang bervariasi. Lebih khusus
lagi, dalam penelitian ini penulis memilih menggunakan indikator yang kesembilan yaitu
menggunakan model pembelajaran yang bervariasi. Dalam penelitian ini model pembelajaran
tersebut adalah model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw. Artinya setelah menggunakan
model pembelajaran ini, siswa memiliki motivasi belajar terhadap mata pelajaran IPA yang
diukur dengan adanya motivasi intrinsik atau motivasi dari dalam diri siswa berupa: 1)
adanya hasrat dan keinginan berhasil; (2) adanya dorongan dan kebutuhan dalam belajar; (3)
adanya harapan dan cita-cita masa depan. Dari ketiga motivasi intrinsik ini, hanya dua aspek
yang akan digunakan dalam penelitian yaitu: adanya hasrat dan keinginan untuk berhasil, dan
adanya dorongan dan kebutuhan dalam belajar.
2.3. Prestasi Belajar
Sebelum membicarakan pengertian prestasi belajar terlebih dahulu akan dikemukakan
apa yang dimaksud dengan prestasi dan belajar. Prestasi menurut kamus Bahasa Indonesia
berasal dari kata “prestasi” yang berarti hasil yang telah dicapai dan “belajar” yang berarti
18
penguasaan pengetahuan atau keterampilan yang dikembangkan melalui mata pelajaran.
Lazimnya ditunjukkan dengan nilai tes atau nilai (angka) yang diberikan oleh guru. Jadi
prestasi belajar adalah hasil yang telah dicapai dalam penguasaan pengetahuan atau
keterampilan yang dikembangkan melalui mata pelajaran, lazimnya ditunjukkan dengan nilai
tes yang diberikan oleh guru (Depdikbud 1997).
Selanjutnya menurut Winkel (1996:53), belajar adalah suatu aktivitas mental atau
psikis yang berlangsung dalam interaksi yang aktif dengan lingkungan, yang menghasilkan
perubahan-perubahan dalam pengetahuan, pemahaman, ketrampilan dan nilai sikap. Prestasi
belajar merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dari kegiatan belajar, karena kegiatan
belajar merupakan proses, sedangkan prestasi merupakan hasil dari proses belajar.
Memahami pengertian prestasi belajar secara garis besar harus bertitik tolak kepada
pengertian belajar itu sendiri; untuk itu para ahli mengemukakan pendapatnya yang berbeda-
beda sesuai dengan pandangan yang mereka anut. Namun dari pendapat pendapat yang
berbeda itu dapat kita temukan satu titik persamaan.
Menurut Djamarah (2002:19), prestasi adalah suatu kegiatan yang telah dikerjakan,
diciptakan baik secara individual maupun kelompok”. Pengertian yang dimaksud dengan
prestasi belajar adalah suatu bukti atau simbol keberhasilan yang dapat dicapai dalam suatu
proses yang berlangsung dalam proses interaksi belajar baik yang diciptakan secara
individual maupun dalam kelompok.
Dalam dunia pendidikan prestasi dapat diartikan sebagai hasil dari proses belajar
mengajar yakni, penguasaan, perubahan emosional, atau perubahan tingkah laku yang dapat
diukur dengan tes tertentu (Abdullah, 2008). Dapat diartikan bahwa prestasi belajar adalah
hasil dari sebuah proses yang dialami siswa dalam sebuah pengajaran yang dapat diukur
melalui tes tertentu.
Hampir serupa dengan pernyataan Abdullah, Ilyas (2008) menjelaskan bahwa prestasi
belajar adalah hasil maksimum yang dicapai oleh seseorang setelah melakukan kegiatan
belajar yang diberikan berdasarkan atas pengukuran tertentu. Seseorang yang telah
melakukan kegiatan belajar yang diberikan berdasarkan atas pengukuran tertentu diharapkan
dapat mencapai hasil yang maksimum. Seorang yang dapat melakukan memperoleh hasil
maksimum dari kegiatan belajarnya maka sebuah prestasi belajar akan didapatkan.
Sementara itu, Syah (2006) mencoba meluaskan pemahaman dengan menyampaikan
bahwa prestasi belajar adalah perubahan tingkah laku yang dianggap penting yang
diharapkan dapat mencerminkan perubahan yang terjadi sebagai hasil belajar siswa, baik
yang berdimensi cipta, dan rasa maupun yang berdimensi karsa. Kata lainnya, prestasi belajar
19
adalah sebuah usaha perubahan tingkah laku siswa yang berorientasi menuju perubahan
tingkah laku siswa yang mengandung nilai-nilai positif sebagai hasil dari hasil belajar siswa.
Selanjutnya Winkel (1996:162) mengatakan bahwa “prestasi belajar adalah suatu bukti
keberhasilan belajar atau kemampuan seseorang siswa dalam melakukan kegiatan belajarnya
sesuai dengan bobot yang dicapainya.”
Di atas, tampak bahwa meskipun memberikan batasan-batasan yang berbeda-beda
tentang apa itu prestasi belajar, namun demikian, para ahli tersebut tetap sampai pada satu
titik temu yang sama, bahwa prestasi belajar adalah sebuah capaian yang dalam pemaparan
Syah (2006) disebut sebagai perubahan tingkah laku pada dimensi cipta, rasa dan karsa. Illyas
(2008) menyebutkan sebagai hasil maksimum yang dicapai karena telah melakukan kegiatan
belajar. Abdullah (2008) menyebutkan sebagai hasil dari proses yang dialami dalam
pengajaran, dimana alat ukur untuk mengukur hasil proses tersebut dilakukan melalui tes,
sedangkan Djamarah (2002) menyebutkan sebagai simbol keberhasilan yang dicapai dalam
proses interaksi karena proses belajar mengajar yang berlangsung. Winkel (1996) sendiri
membatasi prestasi belajar dengan menyebutkan bahwa prestasi belajar sebagai bukti
keberhasilan atau kemampuan siswa dalam melakukan kegiatan belajarnya.
Namun demikian, demi kepentingan penelitian ini, penulis memilih untuk membuat
batasan tentang prestasi belajar sebagai hasil atau capaian yang telah diperoleh siswa karena
telah melewati proses belajar mengajar, dimana hasil atau capaian itu diukur dengan
memberikan tes. Nilai yang diperoleh dari hasil tes tersebut kemudian yang diukur untuk
melihat siswa tersebut telah berhasil mencapai belajarnya atau masih belum. Agar lebih
terukur, kriteria nilai sebagai bukti keberhasilan bahwa siswa tersebut telah berhasil
mengikuti proses pembelajaran, diukur berdasarkan Kriteria Ketuntasan Minimum (KKM).
2.4. IPA
2.4.1. Hakikat IPA
Dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), ilmu pengetahuan alam (IPA)
merupakan salah satu mata pelajaran wajib di sekolah. IPA merupakan mata pelajaran yang
berhubungan dengan fenomena yang terjadi di alam. Dengan mempelajari seluk beluk alam
dan fenomenanya siswa diharapkan mampu memahami manfaat alam dalam kehidupan
sehari-hari dan dapat bermanfaat bagi siswa dalam menjalani kehidupannya. Namun
demikian, menurut Iskandar (2001:2-3) hakikat pembelajaran IPA terdiri dari:
20
a. IPA sebagai produk
IPA sebagai produk adalah fakta-fakta, konsep-konsep, prinsip-prinsip dan teori-teori
IPA. Fakta dalam IPA adalah pertanyaan benda-benda yang benar-benar ada, atau peristiwa
yang betul-betul terjadi dan sudah dikonfirmasi secara objektif. Konsep IPA adalah suatu ide
yang mempersatukan fakta-fakta IPA. Prinsip IPA adalah generalisasi tentang hubungan
antara konsep-konsep IPA. Teori ilmiah merupakan kerangka yang lebih luas dari fakta-fakta,
konsep-konsep dan prinsip-prinsip yang saling berhubungan.
b. IPA sebagai proses
Keterampilan proses IPA adalah keterampilan yang dilakukan oleh para ilmuan
diantaranya adalah : (1) Mengamati, (2) Mengukur, (3) Menarik kesimpulan, (4)
Mengendalikan Variabel, (5) Membuat Grafik dan Tabel Data, (6) Membuat Definisi
Operasional, (7) Melakukan Eksperimen, (8) IPA sebagai sikap.
IPA sebagai sikap ilmiah yaitu dalam memecahkan masalah seorang ilmuan sering
berusaha mengambil sikap tertentu yang memungkinkan usaha mencapai hasil yang
diharapkan. Beberapa ciri sikap ilmiah yaitu: (1) Obyektif terhadap fakta, (2) Tidak tergesa-
gesa mengambil kesimpulan, (3) Berhati terbuka, (4) Tidak mencampuradukan fakta dengan
pendapat, (5) Bersifat hati-hati, (6) Ingin menyelidiki.
2.4.2. Tujuan Pembelajaran IPA di Sekolah Dasar
Depdiknas (2006: 61), dinyatakan bahwa salah satu tujuan pengajaran IPA adalah
agar siswa memahami konsep-konsep IPA dan keterkaitannya dengan kehidupan sehari-
hari.
Sulistyorini (2007: 40), mengemukakan tujuan pembelajaran IPA, sebagai berikut:
1. Memperoleh keyakinan terhadap kebesaran Tuhan YME berdasarkan keberadaan,
keindahan, dan keteraturan ciptaan-Nya.
2. Mengembangkan pengetahuan dan pemahaman konsep-konsep IPA yang bermanfaat
dan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
3. Mengembangkan rasa ingin tahu sikap positif dan kesadaran tentang adanya
hubungan saling mempengaruhi antara IPA, lingkungan, teknologi dan masyarakat.
4. Mengembangkan proses untuk menyelidiki alam sekitar, memecahkan masalah dan
membuat keputusan.
5. Meningkatkan kesadaran dalam berperan serta dalam memelihara, menjaga,
melestarikan lingkungan alam.
21
6. Meningkatkan kesadaran untuk menghargai alam dengan segala keteraturan sebagai
salah satu ciptaaan Tuhan.
7. Memperoleh bekal pengetahuan, konsep dan ketrampilan IPA sebagai dasar untuk
melanjutkan pendidikan ke SMP.
2.5. Kajian Penelitian yang Relevan
Laela Mardhiyah, 2010 “Meningkatkan hasil belajar siswa kelas V pada mata pelajaran
matematika melalui metode pembelajaran koopratif tipe jigsaw di SD Porworjo Kec. Suruh
kab. Semarang semester 1 tahun ajaran 2009/2010”. Hasil penelitian yang di peroleh ini adalah
terjadi peningkatan ketuntasan hasil belajar evaluasi dari tiap siklus pada pembelajaran materi
luas bangun datar di kelas V SD Negeri purworjo semester I hasil yang di peroleh dalam
penelitian ini adalah terjadi peningkatan ketuntasan belajar siswa tersebut terjadi secara
bertahap, dimana kondisi awal hanya terdapat 20 siswa yang telah tuntas dalam belajarnya,
pada siklus 1 ketuntassan belajar siswa dapat mencapai 100% tanpa kegiatan tindak lanjut.
Cicik Asti Tahapsari, 2011 “ Peningkatan hasil belajar siswa pada mata pelajaran
Pendidikan Kewarganegaraan tentang materi pengaruh globalisasi melalui cooperative
learning tipe jigsaw bagi siswa kelas IV SD Negri wulung 4 Randu blatung Kabupaten blora
tahun 2010-2011.” Dengan hasil penelitian yang diperoleh terjadi peningkatan ketuntasan
prestasi belajar siswa tersebut terjadi secara bertahap dimana pada kondisi awal siswa yang
tuntas sebanyak 8 (40%) pada siklus 1 ketuntasan belajar siswa meningkat menjadi 15 siswa
(75%) dan pada siklus II ketuntasan belajar siswa meningkat menjadi 20 siswa (100%)
1dengan demikian dapat di simpulkan bahwa penggunaan model kooperatif tipe jigsaw dapat
meningkatkan prestasi belajar siswa kelas IV SD Negeri Randublatung kabupaten Blora
semester 1 Tahun ajaran 2009 – 2010.
Kisnanto (2010), Upaya Meningkatkan Prestasi Belajar IPS dengan Model Cooperative
Learning pada Siswa Kelas VI SD Negeri 02 Wonogiri Tahun 2010. Bentuk penelitian ini
adalah Penelitian Tindakan Kelas yang terdiri dari 4 tahapan yaitu perencanaan, pelaksanaan
tindakan, observasi, dan refleksi. Sebagai subyek adalah siswa kelas VI SD Negeri 02
Wonogiri kecamatan Ampelgading Kabupaten Pemalang yang berjumlah 17 siswa.
Berdasarkan penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut : penggunaan model Cooperative
Learning dapat meningkatkan prestasi belajar IPS. Hal ini dapat dilihat dari nilai yang
diperoleh siswa sebalum dilakukan PTK hanya ada 9 siswa atau 47,1 % yang nilai prestasi
belajarnya sudah mencapai KKM, sedangkan pada siklus I ada 12 anak atau 70, 6 % yang
22
sudah mencapai KKM dan pada siklus II ada 15 siswa atau 88,2 % yang sudah mencapai KKM
yaitu memperoleh nilai 60,0.
2.6. Kerangka Berpikir
Penelitian ini dilakukan dalam rangka untuk memperbaiki situasi pembelajaran yang
terjadi pada siswa kelas 2 SDN 08 Salatiga. Fakta yang ditemui mengenai suasana
pembelajaran pada siswa di sekolah ini adalah bahwa guru masih mendominasi
pembelajaran. Akibatnya siswa menjadi kurang termotivasi dalam belajar IPA, dan prestasi
belajarnya pun menjadi rendah. Penelitian ini memilih pendekatan penelitian tindakan kelas
dengan menggunakan dua siklus, dengan pemikiran bahwa evaluasi pada siklus pertama akan
menjadi catatan untuk dijadikan masukan pada siklus II. Namun demikian, uji coba
pembelajaran dengan model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw tetap dilanjutkan hingga
tercapai kriteria KKM yaitu ≥ 75.
Pemilihan model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw dipilih berdasarkan situasi
subyek penelitian yaitu bahwa siswa masih berada pada kelas 2. Pada usia ini, siswa memiliki
rasa ingin tahu yang tinggi, namun disaat yang bersamaan siswa pada usia ini juga memiliki
rasa ego yang tinggi. Karena itu, dengan model kooperatif tipe Jigsaw diharapkan bahwa
pembelajaran akhirnya mendorong agar terjadi kerjasama diantara siswa.
2.7. Hipotesis Tindakan
Dengan berbagai pemaparan di atas, maka yang menjadi hipotesis tindakan penelitian
adalah penerapan model cooperatif learning tipe jigsaw dapat meningkatkan motivasi dan
prestasi belajar siswa kelas 2 SDN 08 Salatiga.
top related