BAB II 3199063 - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/15/jtptiain-gdl-s1... · bahwa kebebasan manusia itu tidak mutlak. Kebebasan dalam Islam itu mempunyai
Post on 02-Feb-2018
221 Views
Preview:
Transcript
15
BAB II
KEBEBASAN MANUSIA DALAM PERSPEKTIF
PENDIDIKAN ISLAM
A. Kebebasan Manusia dalam Al-Qur’an
Konsep kebebasan menempati ruang yang amat luas dalam sejarah
manusia. Sejak dulu sampai sekarang manusia ingin merakit kebebasan dan
menjadikannya sebagai perangkat “agung” untuk menyusuri perjalanannya
yang melelahkan di atas bumi.
Konsep kebebasan mempunyai nuansa yang berbeda-beda antara
masyarakat yang satu dengan yang lain, dari pengertian masa ke masa
berikutnya. Pemahaman atau pengertian “kebebasan” dalam suatu masyarakat
atau tahapan sejarah tertentu, mustahil sama dan sebangun dengan masyarakat
atau tahapan sejarah yang lain. Adalah wajar jika dikatakan bahwa pengertian
“kebebasan” dari socrates tidak identik dengan pengertian plato. Demikian
juga dengan pemahaman “kebebasan” orang yunani berbeda dengan orang
cina.1
Fakta inilah yang kemudian banyak melahirkan perseteruan antara
masyarakat. Tapi perlu dicatat, bahwa pengertian keragaman “kebebasan” ini
juga dapat dijadikan alasan untuk memperkaya dan mengembangkan
konseptualisasi pengertian tentang kebebasan.
Sebelum mendefinisikan makna kebebasan lebih luas, ada baiknya
penulis mengartikan kata bebas. Bebas dalam kamus umum Bahasa Indonesia
berarti “lepas sama sekali (tidak terlarang, terganggu dan sebagainya sehingga
dapat bercakap, berbuat dengan leluasa).”2 “Seorang yang bebas adalah yang
1 Ahmed. O. Altwajri, Islam Barat dan Kebebasan Akademis, Penerjemah Mujib, ed., .
Musyafak Maimun, (Yogyakarta: Titian Ilahi, 1997), Cet I. Hlm 31.
2 W.J.S. Purwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1976), hlm 103.
16
mampu menentukan dirinya sendiri dan tidak merupakan dari suatu sistem,”3
serta tidak adanya suatu paksaan atau rintangan, sementara yang dalam batas-
batas tertentu dapat melakukan atau meninggalkan apa yang diinginkan.
Para penulis arab menggunakan istilah kebebasan seperti hurriyah al
ra’yi (kebebasan berpendapat), hurriyah al qawl (kebebasan berbicara),
hurriyah al tafkir (kebebasan berfikir), hurriyah al ta’bir (kebebasan
beraskspresi atau penafiran), hurriyah al tadayun (kebebasan beragama),
hurriyah al aqidah (kebebasan berkeyakinan).4
Konsep kebebasan pada pengertian yang umum berarti kemerdekaan
atau kebebasan dari segala belenggu kebendaan dan kerohanian yang tidak
syah yang kadang-kadang di paksakan oleh manusia, tanpa alasan yang benar.
Pada kehidupan sehari-hari yang menyebabkan ia tidak sanggup menikmati
hak-haknya yang wajar dari segi sipil, agama, pemikiran, politik, sosial,
ekonomi. Di samping pengertian-pengertian umum menyeluruh, ada
pengertian-pengertian lain tehadap kebebasan yang kurang bersifat umum dan
menyeluruh di banding dengan pengertian-pengertian diatas, diantaranya yaitu
bahwa kebebasan adalah kebolehan mengerjakan segala yang tidak
membahayakan orang lain.5
Menurut Nasution dalam bukunya Maskuri Abdillah berpendapat
bahwa kebebasan manusia itu tidak mutlak. Kebebasan dalam Islam itu
mempunyai batas-batas tertentu. Misalnya kebebasan berbicara tidak boleh
mengganggu kepentingan umum, kebebasan untuk kaya tidak boleh
membahayakan kepentingan umum, sejalan dengan Nasution, Ma’arif juga
dalam bukunya Maskuri Abdillah berpendapat bahwa tidak ada kebebasan
mutlak dalam arti seseorang dapat melakukan apa saja yang dikehendaki,
3 Dick Hartoko, Memanusiakan Manusia Muda: Tinjauan Pendidikan Humaniora, (Jakarta: BPK Gunung Muria, 1985), hlm 19.
4 M. Hasyim Kamali, Kebebasan Berpendapat dalam Islam, Alih Bahasa Efa. Y. Nu’man dan Fatiyah Basri, (Bandung: Mizan, 1996), hlm 17.
5 Hasan Langgulung, Beberapa Pemikiran tentang Pendidikan, (Bandung: Al-Ma’arif, 1995), hlm 44-45.
17
karena kebebasan dibatasi oleh kepentingan umum yang dimanifestasikan
dalam bentuk hukum, tetapi kebebasan itu menekankan untuk bereksis.6
Dari beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa kebebasan
adalah sikap hidup seseorang yang terlepas dari belenggu kekerasan,
perbudakan, perkosaan, ketakutan dan ancaman dalam melaksanakan aktivitas
sehari-hari.
Dalam Al-Qur’an disebutkan beberapa macam / bentuk kebebasan
manusia diantaranya :
1. Kebebasan beragama
kebebasan beragama dapat diartikan sebagai hak untuk memeluk
suatu kepercayaan dan melakukan suatu peribadatan dengan bebas tanpa
diikuti kekhawatiran. Sebagaimana firman Allah SWT di dalam Al-
Qur’an :
a. Surat Yunus ayat 99.
���������� �� � � �� �������� ��������� ���� ��� � !��� �"#� "#$ �� %&'�� ()�*� �+ �,-�./01�2 �/3� �4 �3�#�5�#� +��+��67 �+-8��9 �
Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya, maka apakah kamu hendak memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semua.7
b. Surat Al-Baqaroh ayat 256
����:�;��!<�� �"�#��=�*&�� �"/�>���= ?��"-@=� �!����6A�B>� �8���9�Tidak ada paksaan untuk memasuki agama Islam, sesungguhnya telah ada jalan yang benar dari jalan yang salah.8
6 Maskyuri Abdillah, Demokrasi di Persimpangan Makna : Respon Intelektual Muslim Indonesia Terhadap Konsep Demokrasi, (Yogyakarta: Tiarawacana, 1999), hlm 139.
7 Departeman Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang: CV. Toha Putra, 1989), hlm 322.
8 Ibid, hlm 63.
18
Kepercayaan atau iman adalah persoalan pilihan batin seseorang
yang tidak bisa di ganggu gugat. Kepercayaan merupakan suatu keputusan
yang asasi bagi setiap manusia karena itu tidak diperkenankan seseorang
memaksakan keperyaan yang diyakininya kepada orang lain dengan cara
apapun. Andaikata seseorang diberi kebebasan memilih untuk tidak
percaya pada risalah Allah SWT, ia sepenuhnya berhak melakukannya
tanpa ada tekanan atas bujukan dari pihak lain.
Semangat yang melekat pada Nabi Muhammad SAW dan generasi
Islam pertama merupakan satu bentuk keyakinan dan ketulusan hati yang
sangat teguh, yang selalu berakar yang berlandaskan pada filsafat Islam.
Landasan filosofis Islam dapat diringkas menjadi empat prinsip antara
lain:
1. Islam mengakui keagungan manusia tanpa memandang kredo, ras atau
warna kulit.
2. Islam sangat menekankan bahwa yang berhak menghakimi atau
memberikan hukuman kepada sesorang yang tidak beriman bukan
tugas seorang muslim melainkan semata-mata adalah preogatif Allah
SWT.
3. Islam mengajarkan bahwa Allah SWT Yang Maha Adil, menyukai
keadilan dan bersikap adil terhadap orang-orang yang tidak beriman
kepada-Nya. Artinya dia sangat membenci ketidakadilan dan
memberikan hukuman kepada orang-orang yang tidak berlaku adil,
tanpa memandang siapakah yang menjadi sasaran ketidakadilan itu.
4. Islam mengajarkan bahwa Allah SWT menciptakan manusia dengan
dibekali kekuatan menentukan suatu pilihan, namun bila dikehendaki
semua umat manusia mengikuti saja kepada-Nya. Maka manusia
tidak mempunyai pilihan atau kemampuan untuk menolak ( pasrah
total kepadanya ), oleh karena itu tidak ada paksaan dalam masalah
iman.9
9 Ahmed. O. Altwajri, op cit. hlm 63-67
19
Sumber petunjuk universal adalah kapasitas yang melekat pada
seseorang untuk meyakini Tuhan. Ia berkaitan dengan penciptaan manusia
sebagai makhluk yang memiliki tangung jawab pribadi dan sebagian
mengandung arti pilihan dan kehendak bebas. Quran menyebutkan fitrah
dalam pernyatan berikut:
���� C�-�=�>� ;� ���� �D� 2 �/3� � � E �� !�0F� � �G � H ��E��� ��I���31� �"�-@=���� %���,� ���? � �JK��G ��L��M���J�,���N�� B�� ��"�-@=� �%�� O�+�� ���- ;��2 �/3� � P�� �/"��6QR,�� 8��9�
Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah SWT) tataplah fitrah Allah SWT yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu.(QS. Ar Rum:30). Al Zamahsari sesuai dengan teori objektifisme rasionalis
Mu’tazilah menafsirkan fitrah sebagai khilqa (watak alamiyah) dalam arti
bahwa Tuhan telah menciptakan kapasitas pada manusia untuk mengakui
ke Esaan Nya dan menerima Islam. penafsiran yang demikian menurutnya
adalah falid atas dasar bahwa ada kemiripan antara fitrah dan akal dan
kesesuaian dan fitrah dan pertimbangan logis. Dengan kata lain fitrah
adalah pertimbangan obyektif dan universal dan seperti telah diketahui
fitrah adalah kapasitas untuk menguji pilihan rasional berkenaan dengan
keyakinan, tidak diragukan lagi bahwa fitrah merupakan watak yang di
bawa sejak lahir dan kapasitas yang melekat yang memungkinkan
seseorang untuk menerima atau menolak keyakinan.10 Dalam arti
demikian, keyakinan merupakan sesuatu yang dengan bebas merupakan
urusan langsung antara Tuhan dengan manusia dan tidak dapat dipaksa.
Pengakuan terhadap kebebasan beraqidah diberikan kepada
manusia semata-mata akibat kebebasan dan kesanggupannya
mempertanggungjawabkan kebebasan tersebut.11 Bentuk umum terhadap
10 David Little, John Kelsey dan Abdul Aziz Sachedina, Kajian Lintas Kultural Islam
Barat: Kebebasan Agama dan Hak-Hak Azasi Manusia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), hlm. 90.
11 Aisyiah Bintu Syati, Manusia dalam Perspektif Al-Qur’an, Alih Bahasa Ali Zawawi, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999), hlm 12.
20
toleransi dan penghargaan Islam terhadap kebebasan beraqidah dan
beragama tidak cukup hanya dengan memancangkannya keseluruh ufuk
yang luas dan meninggi yang mencakup seluruh manusia, akan tetapi
Islam dengan pengakuannya terhadap kebebasan beragama, mewajibkan
kepada pemeluk-pemeluknya untuk memeluk agama, beraqidah dan
berperangai tidak hanya sekedar toleransi bersikap baik maupun
perdamaian belaka tapi juga harus bisa membentuk kepribadianyg baik
yang disadari oleh nilai-nilai agama.
Oleh karena itu manusia diberi kebebasan dan kemerdekaan serta
kepercayaan penuh untuk memilih jalannya masing-masing dan diberi
kesadaran moral untuk memilih mana yang baik dan mana yang buruk,
sesuai dengan hati nuraninya atas bimbingan wahyu.12
Al-Qur’an banyak membicarakan tentang kebebasan manusia
untuk menentukan sendiri perbuatannya yang bersifat ikhtiarriyah yaitu
perbuatan yang dapat dinisbatkan kepada manusia dan yang menjadi
tanggungjawabnya, karena memang ia mempunyai kemampuan untuk
melakukan atau meninggalkannya. Misalnya yang sering di sebut di dalam
Al-Qur’an menerima dan menolak ayat-ayat yang di bawa Rasul.
Sebagaimana yang tercantum dalam surat Luqman ayat 21-22, bahwa
orang yang menolak untuk mengikuti apa yang diturunkan oleh Allah
SWT dan orang-orang yang menerimanya.13
2. Kebebasan berfikir dan mengemukakan pendapat
Dalam hal ini kebebasan berfikir dan mengemukakan pendapat
telah dijelaskan di dalam firman Allah SWT :
12 M. Daud Ali, Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998), hlm 32-33.
13 Machasin, Menyelami Kebebasan Manusia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996) hlm
21
a. Surat Al-Baqarah ayat 260
�������� S� ?��"�#�5����� �, �� S� ?�.��+��� �!���T���U �� ��!���� ��@V ������W ��'�:� S� ?��K�:,��/"�W���X ������FE� �"�#��Y�'�� ���Z�M �� S� ?�!�>�� ?�/"�[��E�����"�� �,�. �'���/��\�%�� ��:
���FO ���� ��D ,������]�%3�����-�/"���D� �/��\�� )�_���/"���3�#�C>��aC���. �D��C��� �b����1�b_-�_D�cF�� 6A�B>� 8���9 �
Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berkata : Ya Tuhanku, perlihatkan kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang-orang mati. Allah berfirman Apakah kamu belum percaya ? Ibrahim menjawab saya telah percaya akan tetapi agar bertambah tetap hati saya. Allah berfirman (kalau demikian), ambillah empat ekor burung lalu jinakkanlah burung-burung itu kapadamu, kemudian tiap-tiap seekor dari padanya atas tiap-tiap bukit. Sesudah itu panggillah dia, niscaya ia kan datang kepadamu dengan segera. Dan ketahuilah bahwa Allah SWT Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.14
b. Surat Al-Kahfi ayat 54
���� P�� ���O�d������ � O� �,�C P#�aC����"�#��2 �/3�����Oe���B�� � ZW�!����3��/�f ��= B �,��;=��)�!*6U ��� 8��9 �
Dan sesungguhnya kami telah mengulang-ulangi bagi manusia dalam Al-Qur’an ini dari bermacam-macam perumpamaan dan manusia adalah mahluk yang paling banyak membantah.15
Menurut pemikiran yang populer kasus pertanyaan Ibrahim itu,
biasanya bisa diterapkan dalam kerangka pikiran ilmiah, tapi tidak dapat
digunakan untuk mempertanyakan soal-soal yang telah di tetapkan agama
sebagai ketetapan hukum baku yang menuntut ketetapan adanya
ketundukan mutlak tujuan Al-Qur‘an menceritakan kisah tentang Ibrahim
agar menjadi pelajaran dan petunjuk bagi manusia sebagai bentuk nyata
14 Departeman Agama, op cit, hlm 65.
15 Ibid, hlm 452.
22
dari kebebasan itu adalah perdebatan yang benar dalam masalah
keagamaan dan berbagai masalah yang berkaitan dengannya.
Ayat-ayat Al-Quran yang berbunyi Afalaa ta’qiluun dan Afalaa
tatafakkaruun menunjukkan bahwa Al-Quran menganjurkan kepa setiap
orang untuk berfikir dan tentu saja membolehkan kebebasan berfikir,
karena hasil pemikiran antar individu itu tidak sama, namun kebebasan
berfikir dan berpendapat harus didasarkan pada tanggung jawab dan tidak
mengganggu kepentingan umum, serta tidak menciptakan permusuhan
antar manusia. Menurut Ma’arif, bahwa Islam menjamin kebebasan
berpendapat semua orang tanpa kecuali. Kebebasan ini terkait dengan
masalah-masalah umum seperti moralitas, kepentingan dan hukum.
Konsep Al-Amr bi Al-Munkar wa Al-Nahyu an Al-Munkar menunjukkan
bahwa Islam mempunyai perhatian yang sangat dalam terhadap moralitas
manusia dalam masyarakat. Membatasi kebebasan berpendapat seorang
individu dibenarkan demi menjaga kehidupan masyarakat dari
permusuhan yang disebabkan oleh kata-kata atau pembicaraan kotor.16
Pada zaman Rasulullah dan khulafaurrasyidin kebebasan berfikir
dan berpendapat sudah dijalankan dalam berbagai masalah kehidupan,
mulai dari masalah keluarga hingga masalah penyelenggaran pemerintah.
Dengan kata lain Rasulullah SAW menerapkan prinsip demokrasi. Salah
satu contoh yaitu ketika Rasulullah SAW memutuskan nasib tawanan
perang, ia berdiskusi dengan para sahabatnya. Pada saat perang uhud
Rasulullah SAW berpendapat agar kaum muslimin keluar kota
menghadapi kaum musyrik, Rasulullah SAW menyetujui dan
melaksanakan pendapat kaum muslimin tersebut.
Suatu contoh dalam Perang Parit, Nabi dan sahabatnya terkepung
dari segala penjuru oleh orang Makkah dan sekutu kabilahnya. Kondisi ini
tidak menguntungkan bagi kaum muslimin, Nabi bermaksud membuat
perdamaian terpisah dengan kabilah Ghatifan yang berjuang melawan
orang Mekkah dengan menyetujui untuk memberi mereka sepertiga hasil
16 M. Hasyim Kamali, op.cit., hlm. 225
23
bumi Madinah. Ia musyawarahkan dengan pemimpin golongan Ansor.
Sa’ad bin Ubaidah dan Sa’ad bin Mu’ad berkata bahwa apabila hal itu
merupakan perintah yang diwahyukan Tuhan, mereka tidak berbuat apa-
apa kecuali harus mematuhinya, tetapi sebaliknya mereka tidak dapat
menyetujui gagasan itu, maka Nabi menghentikan gagasan membuat
perdamaian dengan Ghatifan.17
Kebebasan berpendapat dan mengeluarkan pernyataan juga
dijamin oleh Islam dalam lembaga syura, yaitu lembaga musyawarah
dengan rakyat. Menurut Abdul Al-Karim Zaidan dalam bukunya
Muhammad Hasyim Kamali berpendapat bahwa sangat tidak masuk akal
jika dikatakan bahwa pemerintah dalam Islam terikat pada prinsip
musyawarah tetapi menghambat kebebasan para partisipan syura untuk
mengemukakan pendapat. Karena pada dasarnya prinsip musyawarah
adalah penerimaan adanya kebebasan berbicara dan berekspresi bagi
orang-orang yang dimintai pendapatnya.
Oleh karena kebebasan berfikir merupakan satu kebebasan yang
ditentang kepada setiap manusia untuk memikirkan sebebas-bebasnya
segala yang dapat dipecahkan secara ilmiah dan pada akhirnya mampu
meningkatkan ketaqwaan terhadap Tuhan Pencipta Alam Semesta.
Firman Allah SWT dalam surat Al-A’raf ayat 185, mendorong
manusia untuk memperhatikan, mempelajari, merenungkan dan meneliti
secara ilmiah kepada manusia menurut kemampuan yang dimilikinya.
Agama Islam menganugerahkan hak-hak kebebasan berfikir dan
mengungkapkan pendapat pada seluruh umat manusia yang berkenaan
dengan berbagai masalah kebebasan ini harus dimanfaatkan untuk
kebajikan dan kemaslahatan itu. Oleh karena itu kebebasan berfikir dan
berpendapat adalah hak setiap orang yang sudah dijamin sejak lahir.
Jaminan atas hak itulah yang melahirkan cendikiawan atau negarawan
yang mampu memimpin dan mengatur negara demi ketentraman dan
17 Ibid., hlm. 64.
24
kesejahteraan umat. Dengan demikian berarti pemimpin wajib
menghormati rakyatnya untuk berfikir dan mengeluarkan pendapat.
3. Kebebasan berkehendak
Di jelaskan dalam Al-Qur’an surat Ar-Ra’d ayat: 11
�����R�+ B�'� (G � � �� K� ,� �����d�I�� ��'� �#� �,��@�<�-� ./01� R�+ B�'� �#� ��@�<�-� ;� (G � FO� ��S ,��"�#��c���,� ��"�#����� ���#�,��c �/�#� g �� h)+]6�=D�� �89�
Sesungguhnya Allah tidak merubah sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum maka tak ada yang dapat menolongnya dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.18
Kebebasan berkehendak (free will) pada kenyataannya merupakan
aspek subtansial yang tidak dapat dipisahkan dari berbagai aspek
kebebasan yang menyempurnakan manusia sesuai tuntutan
kesanggupannya memikul amanat. Dan pada saat yang sama menetapkan
adanya tanggungjawab manusia terhadap amal perbuatan baik dan buruk
berupa pahala dan siksa.
Memahami masalah ini, para pemikir terpecah menjadi berbagai
golongan. Golongan jabariah berpendapat, segala sesuatu terjadi atas
kehendak mutlak Tuhan, manusia tidak memiliki andil sedikit pun tentang
suatu urusan, berbagai urusan itu terjadi, semata-mata atas qodo’ dan
qodar. Golongan mu’tazilah berpendapat bahwa manusialah yang
menciptakan perbuatan-perbuatan itu, manusia berbuat baik dan buruk,
patuh dan tidak patuh pada Allah SWT dan atas kehendak dan
kemauannya sendiri. Pendapat yang sama mengatakan bahwa perbuatan
manusia bukanlah diciptakan Tuhan pada diri manusia, tetapi manusia
sendirilah yang mewujudkan perbuatannya.
Golongan ini mengakui adanya kehendak bebas manusia, hal ini
didasarkan atas dalil Al-Qur’an ayat 62. Golongan lain adalah Al-
18 Departemen Agama, op.cit., hlm. 370
25
Asy’riah, dalam hal ini kaum asy’ariah lebih dekat pada paham jabariah
dari pada paham mu’tazilah. Manusia dalam kelemahannya banyak
bergantung pada kehendak dan kekuasan Tuhan. Untuk menggambarkan
hal tersebut Al Asy’ari memahami kata Al kasb (perolehan).
Al kasb menurut Al Asy’ari sendiri ialah bahwa sesuatu terjadi
dengan perantara daya yang diciptakan dan dengan demikian menjadi
perolehan bagi orang yang dengan dayanya perbuatan itu timbul.
Argumen yang diajukan oleh Al Asy’ari tentang penciptaan kasb oleh
Tuhan adalah ayat As shaffat ayat 96.
� O+��������#,����� B �i��cF�� ,6�H ���X � 8��9 �Padahal Allahlah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat. Jadi dalam paham Al Asy’ari perbuatan-perbuatan manusia adalah
diciptakan Tuhan dan tidak ada pembuatan bagi kasb selain Allah SWT.
Dalam teori kasb untuk mewujudkan suatu perbuatan manusia terdapat
dua perbuatan yaitu perbuatan Tuhan dan perbuatan manusia. Perbuatan
Tuhan adalah hakiki dan perbuatan manusia adalah majasi (lambang).
Dengan demikian perbuatan manusia pada hakekatnya terjadi dengan
perantaraan daya Tuhan, tetapi manusia dalam pada itu tidak kehilangan
sifat sebagai pembuat.19
Dari argumen-argumen diatas Hasan Al Basri nampaknya telah
mengambil suatu independen atas jabar dan qodar, Hasan AL Basri
berpend.apat bahwa Tuhan tidak menciptakan semua perbuatan manusia.
Dia menyuruh manusia hanya untuk berbuat baik dan mencegah perbuatan
keji atau munkar. Menurutnya petunjuk berasal dari Allah SWT tetapi
perbuatan buruk datang dari manusia.20 Perbuatan yang baik merupakan
anugerah dari Allah SWT, Allahlah yang menentukan kualifikasi kebaikan
dan kejujuran pada diri mahluknya. Dengan sikap tersebut diatas
19 Budi Munawar, Rahman, Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, (Jakarta: Paramadina, 1995), hlm. 140-141.
20 Madjid Khudari, Teologi Keadilan Perspektif Islam, (Surabaya: Risalah Gusti, 1999), hlm. 47.
26
seseorang akan dicatat disisi Allah SWT sebagai orang yang baik dan
berserah diri serta dijanjikan akan di masukkan surga, sebaliknya sikap
buruk atau perbuatan keji mengakibatkan seseorang terjerumus ke dalam
kesesatan dan kesesatan itu akan mengantarkannya ke neraka.
Dari berbagai pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa kejujuran
akan membawa kepada kebajikan, maka mensucikan akhlak manusia,
berkata baik, memberi nasehat, mengajarkan ilmu yang bermanfaat
merupakan perwujudan dari kejujuran. Sedangkan kejahatan atau dosa
akan menjadikan manusia terjerumus kedalam kesesatan yang akan
mengantarkannya ke neraka, atas dasar itulah muncul adanya
tanggungjawab terhadap niat dan kehendaknya, maka niat dan kehendak
seseorang mempunyai peran yang sangat besar dalam nilai amal sekaligus
dalam pertanggungjawabannya. Allah SWT hanya menunjukkan jalan
yang seyogyanya diikuti manusia mana yang baik dan mana yang buruk.
Oleh karena itu manusia harus mengerjakan penyelamatan dirinya dan
penyelamatan ini hanya dapat dilakukan oleh orang yang beriman dan
beramal shaleh.
B. Kebebasan Manusia dalam Hadits
Allah telah menciptakan bumi ini dalam kondisi yang seimbang dan
serasi, keteraturan alam dan kehidupan ini Allah SWT kuasakan kepada
manusia untuk memelihara, mengolah dan mengembangkan demi
kesejahteraan hidup mereka sendiri. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW :
�j ��@k���=�M�� ��=����]��!�' ��"D��� S� ?��F�],��c�� �D�lG �.F�X � �@!�>/3� ��"D��c�3D�lG �!� 8����� O�+������� U �� �� ���m�3� �� ������� ���� I���M0�d�#� (G � FO� � A��n i� �A+���i� ����&=� � FO�
6��d#�� ,�9�
27
Dari Abu Said Al Khudry ra, dari Nabi SAW beliau bersabda sesungguhnya dunia ini manis dan indah dan sesungguhnya Allah SWT menguasakan kepada kamu semua untuk mengolah apa yang ada di dalamnya kemudian Allah SWT mengawasi bagaimana kamu sekalian berbuat (HR Muslim).21 Sebagai seorang penguasa atau wakil Allah di bumi ini tidak akan
mampu melaksanakan tugas kekhalifahannya apabila dirinya tidak
mempunyai berbagai kemampuan atau potensi sebagai dasar kekuatan dirinya
dalam mewujudkan sumber daya manusia maupun menggali, mengolah dan
memakmurkan bumi. Dan oleh karena itu Allah SWT telah menciptakan
manusia dengan dipersiapi dan dibekali potensi-potensi yang membolehkan
manusia memikul tanggungjawab yang besar itu dan menurut salah satu
hadits Nabi dijelaskan bahwa kemampuan atau potensi-poteni tersebut disebut
dengan fitrah.
�� �F�],� �c�� �D� lG � .F�f � �G � �S�+�]�� S� ?� �S�+�B-� O� �� �c/� � A��-��W� �!�' � �"D� 8��"�#�#��c���d@o��-,��c�� �@X 3�-,��c�� @+��-��� +' � ���A��E�I�� �. �D��= ��+�-�F;� �`�+���+#6��d#�� ,�9�
Dari Abu Hurairah dia berkata Rasulullah SAW berkata setiap seseorang yang dilahirkan membawa fitrah dan ibu bapaknyalah yang menjadikan yahudi, nasrani atau majusi.22
Menurut hadits ini manusia lahir membawa potensi. Potensi adalah
kemampuan, dan dalam hadits ini kemampuan atau potensi yang diberikan
Allah SWT kepada manusia yaitu, bahwa dalam hal ini manusia telah
dianugerahkan oleh Allah SWT dengan empat daya yakni :
1. Daya tubuh yang mengantar manusia berkekuatan fisik, berfungsinya
organ tubuh dan panca indra berasal dari daya ini.
2. Daya hidup yang menjadikan manusia memiliki kemampuan
mengembangkan dan menyesuaikan diri dengan lingkungan, serta
mempertahankan hidupnya dalam menghadapi tantangan.
21 Imam Abu Zakaria Yahya bin Syaraf An-Nawawi, Riyadlu Al-Shalihin, (Beirut:
Muasyafah Manahil Al-Arafani, 5931), hlm. 60 22 Imam Abu Husain Muslim bin Hajjat Al-Qusyairy An-Naisabury, Shakhih Muslim,
(Beirut, Libanon: Darl Al-Kutub Al-Alamiah, 206-261), hlm. 2047
28
3. Daya akal yang memungkinkannya memiliki ilmu pengetahuan dan
teknologi.
4. Daya kalbu yang memungkinkannya manusia bermoral merasakan
keindahan kekuatan iman dan kehadiran Allah SWT, dan dari daya inilah
melahirkan intuisi.23
Berkaitan dengan kebebasan manusia sebagai khalifah Allah SWT
diberi hak untuk :
1. Mengatur dunia ini dengan segenap kemampuan yang dimilikinya. Untuk
itu ia dibekali dengan dua unsur pokok yaitu : wahyu Allah SWT dan
kemampuan berfikir (penggunaan akal), bila keduanya dipergunakan
sebagaimana semestinya, maka ia akan meraih keberhasilan dalam
kehidupan.
2. Sebagai khalifah Allah SWT, maka manusialah yang bertanggungjawab
terhadap Tuhan diantara makhluk-makhluk lainnya.Tanggungjawab itu
merupakan akibat logis dari kedudukannya sebagai khalifah, Allah SWT
dengan berbagai anugerah kekuatan dan kemampuan yang dimilikinya.
3. Sebagai Khalifah Allah SWT, manusia adalah makhluk yang paling
berbeda karena peranannya untuk mengolah dunia ini ia memang paling
berperan untuk mengelolah seluruh aspek kehidupan baik aspek spiritual,
sosial, dan aspek kehidupan fisik yang didasarkan pada hukum-hukum
Allah SWT serta pesan-pesan yang disampaikan oleh nabi-nabinya.24
Dalam bukunya yang luas, studies on the human soul, Muhammad
Qutb mengatakan peranan manusia harus lebih besar dan lebih penting
ketimbang makhluk-makhluk yang lain, jika tidak maka sungguh tak layak
baginya untuk mengemban amanat sebagai khalifah Allah SWT. Peranannya
diatas bumi itu dimaksudkan agar ia mampu membangunnya.25
23 M.Quraish Shihab, Wawasan AlQur’an: Tafsir Maudlu’ atas Pelbagai Persoalan
Ummat, (Bandung: Mizan, 1997), hlm 281. 24 Ahmed. O. Altwajri, op.cit., hlm 96-97. 25 Ibid. hlm 98.
29
Satu hal yang patut dicatat dari rumusan kebebasan adalah bahwa
segenap tanggungjawab seluruh anggota umat Islam, secara spiritual tetap
berkaitan dengan aspirasi-aspirasi dan pernyataan-pernyataan ideologinya.
Kebebasan tidak merupakan hak pribadi yang berarti bahwa individu-individu
mesti menyita hak-haknya orang lain atau masyarakat, tetapi kebebasan
merupakan suatu tugas atau kewajiban yang ditetapkan oleh kepercayaan yang
dianut serta aspirasi-aspirasi ummah. Batasan-batasan terhadap kebebasan itu
tidak diciptakan oleh manusia, tetapi ditentukan oleh Allah SWT. Oleh
karenanya batasan-batasan tersebut suci dan setiap pelanggaran terhadap-Nya
berarti pelanggaran terhadap hukum Allah SWT.
Abdallati berpendapat bahwa konsep kebebasan Islam tidak lain
adalah suatu artikel tentang iman, suatu perintah tegas dari yang Maha
Pencipta. Kebebasan tersebut dibangun berdasarkan prinsip-prinsip
fundamental sebagai: Pertama, kesadaran manusia hanya tunduk kepada allah
saja, yakni Dzat yang kepada-Nya manusia memberikan tanggungjawabnya.
Kedua, setiap manusia secara pribadi bertanggungjawab atas segala perilaku
sekaligus akan memperoleh ganjaran dari perbuatannya. Ketiga, Allah telah
mengajarkan manusia agar menanggung keputusan yang dibuatnya. Keempat,
manusia dibekali bimbingan rohani dan kemampuan akal agar mampu
mempertanggungjawabkan pilihan-pilihannya.26
C. Kebebasan Manusia dalam Pandangan Ulama
1. Al-Ghazali
Al-Ghazali adalah pemikir Islam terbesar dengan gelar Hujjatul
Islam (bukti kebenaran Islam). Nama lengkapnya ialah Abu Hamid
Muhammad Ibn Ahmad Al-Ghazali Ath-Thusi yang dilahirkan di Thus
wilayah Khurasan pada tahun 450H /158M.27
26 Ibid. hlm 101. 27 Ahmad Daudy, Kuliah Filsafat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1986), hlm. 97.
30
Sebagai seorang yang digelari Hujjatul Islam, Al-Ghazali telah
menguasai ilmu falsafah dengan mendalam, sehingga ia berhak disebut
sebagai seorang filosuf. Kitab yang berjudul Maqosidul falasifah adalah
salah satu bukti nyata atas pemahaman yang mendalam terhadap ilmu
filsafat. Pemikiran tentang manusia telah banyak dituangkan dalam
bukunya yang berjudul filsafat seperti dalam Mi’raj Al-Shalihin atau
Fusus Al-Hikam dan masih banyak yang lainnya.
Dalam kitab Mi’raj Al-Shalihin, Al-Ghazali menggambarkan
bahwa struktur eksistensi manusia itu terdiri dari An-Nafs, Al-Ruh, dan Al-
Jism. Al-Nafs adalah substansi yang berdiri sendiri, tidak bertempat. Al-
Ruh adalah panas alam bumi di (AL-Hararal Al-Ghariziziyat) yang
mengalir pada pembuluh nadi, otot-otot dan syaraf. Sedangkan Al-Jizm
adalah yang tersusun dari unsur-unsur materi.28
Lebih lanjut AL-Ghazali menjelaskan tentang Al-Nafs atau jiwa
yang menurutnya Al-Nafs di sini adalah selain yang telah diterangkan di
atas juga Al-Nafs merupakan tempat pengetahuan-pengetahuan intelektual
berasal dari alam Malakut atau alam Al-Amr.29 AL-Ghazali juga
mengemukakan bahwa jiwa tersebut memiliki daya-daya.
Berkaitan dengan kebebasan manusia lebih lanjut Al-Ghazali
mengemukakan bahwa manusia dengan daya-daya efektifnya itu telah
membawa konsepsi tentang perbuatan manusia yang menurutnya
sebagaimana yang diterangkan dalam kitab Ma’arij Al-Quds perbuatan
adalah bagian dari gerak-gerak, apabila dihubungkan dengan manusia
terdiri dari gerak yang tidak disadari dan gerak yang disadari. Dengan
demikian, dapat ditarik suatu pemahaman bahwa perbuatan manusia
dalam hal ini tidak mempunyai peranan atau sebab dalam mengaktualisasi
perbuatannya. Oleh karena itu hanya Tuhanlah yang menjadi sebab dari
semua perbuatan manusia pada hakekatnya.
28 Muh. Yasir Nasution, Manusia Menurut Al-Ghazali, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 1996), hlm. 89. 29 Ibid., hlm. 69.
31
2. Ali Syariati
Ali Syariati adalah seorang ideology dan pemikir revolusi Islam
Iran yang terkemuka. Ia dilahirkan di Mazinan, sebuah daerah pinggiran
kota Mashad dekat Sab Zafar pada tahun 1933. Ayahnya Muhammad
Taqi Syariati seorang ulama terkenal di Iran, adalah gurunya yang utama
yang mendidiknya sendiri secara langsung sejak kecil.30
Pandangan Ali Syariati tentang manusia bersumber pada
interpretasinya teks wahyu Al-Qur’an (QS. 2 : 30, 34). Karena hakekat
kejadian manusia inilah maka ia pada suatu saat dapat mencapai derajat
yang tinggi, tetapi pada waktu lain dapat pula meluncur ke derajat
kerendahan dan kehinaan yang sangat dalam dan paling rendah. Di sini
fungsi kebebasan untuk memilih terbuka, baik ke jalan Tuhan maupun
sebaliknya ke jurang kehinaan. Kehormatan dan arti penting manusia
terletak pada kehendak bebas menentukan arah hidupnya. Hanya
manausialah yang dapat mengendalikan tuntutan dan sifat nalurinya untuk
dapat mengendalikan keinginan dan kebutuhan fisiologisnya sehingga
manusia dapat bebas menentukan perbuatannya, baik berbuat baik atau
jahat, patuh, setia atau pemberontak.31
Manusia sebagai khalifah merupakan kehormatan yang diberikan
Allah kepada manusia dan merupakaan gambaran cipta ideal. Manusia
seharusnya menentukan nasibnya sendiri, baik sebagai kelompok maupun
sebagai individu. Selain itu manusia mempunyai tanggung jawab yang
besar karena memiliki daya kehendak bebas yang akan menentukan
dirinya sebagai makhluk yang tertinggi.
30 Hadi Mulyo, Manusia dalam Perspektif Humanisme Agama: Pandangan Ali Syariati
dalam Insan Kamil Konsepsi Manusia Menurut Islam, (Jakarta: Grafity Press, 1987), hlm. 167. 31 Ibid., hlm. 173.
32
D. Kebebasan Manusia dalam Pendidikan Islam
Pendidikan baik segi proses pengembangan potensi-potensi individu
maupun sosial ternyata telah diakui keberadaannya sebagai solusi dalam usaha
pemenuhan kebutuhan hidup maupun untuk mengatasi keterbelakanngannya.
Hal ini dapat dilihat dari realitas historisnya, bahwa pendidikan sebenarnya
sudah ada dan dimulai sejak adanya manusia. Ini berarti pendidikan
berkembang dan berproses bersama-sama dengan proses perkembangan hidup
dan kehidupan. Namun ada satu catatan bahwa pada zaman permulaan
perkembangan manusia, pendidikan hanya semata-mata sebagai pewarisan
budaya nenek moyang saja, akan tetapi kondisi tersebut mengalami perubahan
sejalan dengan adanya kemajuan zaman yang menuntut adanya perubahan
konsepsi pendidikan itu sendiri.
Atas dasar itu, dapat kita ambil suatu pemahaman bahwa prinsipnya
pendidikan itu bukan hanya merupakan pewarisan budaya, berupa kecerdasan
dan ketrampilan tetapi dengan kondisi yang semakin berkembang pendidikan
juga berperan dan berfungsi untuk mengembangkan pribadi individu untuk
kegunaan individu tersebut yang selanjutnya demi kebahagian masyarakat.
Karena pada dasarnya tujuan umum pendidikan Islam adalah untuk
mengaktualisasikan sikap, tingkah laku, penampilan, kebiasaan dan
pandangan. Hal ini sebagai realisasi dari tujuan pendidikan yang mengarahkan
manusia untuk mengembangkan fitrah pada dirinya, tanpa melanggar batas-
batas kebebasan orang lain.
Pada hakekatnya tujuan pendidikan agama Islam adalah untuk menjadi
khalifah di muka bumi melalui ketaatan kepada-Nya, dengan memanfaatkan
alam semesta sebagai sarana merenungi kebesaran penciptanya. Perealisasian
tujuan pendidikan melalui ibadah tidak diartikan sebagai upaya manusia yang
terfokus pada aspek ritual pergi ke masjid atau membaca Al Qur’an. Untuk
menyempurnakannya, kita harus memaknai ibadah itu sebagai ketaatan yang
mencakup seluruh aspek kehidupan. Dengan demikian pendidikan harus
mempertinggi aktivitas individu baik pria maupun wanita sehingga melalui
pendidikan prinsip aktualisasi berjalan sesuai dengan hukum alam dan dapat
33
membuktikan berbagai kebenaran hidup, akan tetapi kebebasan dan aktivitas
individu harus berjalan dalam keadaan terkontrol sehingga individu itu
terlindungi yang merugikan dirinya, karena Allah SWT memberikan
kebebasan memilih kepada manusia serta mejelasakan konsekuensi pilihan
manusia yang akan dirasakan manusia di akhirat kelak, dan Allah SWT
menjadikan penghambaaan dan ketaatan manusia kepada-Nya sebagai tujuan
tertinggi.
Tujuan-tujuan individual yang ingin di capai oleh pendidikan Islam
adalah pembinaan pribadi muslim yang berada pada perkembangan segi
spiritual, jasmani, emosi, intelektual dan sosial serta keinginan-keinginannya
sesuai dengan dirinya dan orang lain. Dengan kata lain kebebasan orang lain
memikul tanggungjawab terhadap dirinya.32
Makna kebebasan individu dalam pendidikan tidak lepas kendali, tapi
kebebasan itu terbatas dan yang membatasi kebebasan manusia tidak lain
adalah tanggungjawab terhadap Allah SWT kelak di akhirat. Keberanian
bertanggungjawab merupakan kepekaan solidaritas individu terhadap batas-
batas toleransi masyarakat, maka perlu di tanamkan rasa memiliki harga diri
dan kepercayaan pada diri sendiri, sehingga sanggup untuk mandiri dan
berprakarsa, mampu bersaing sekaligus mampu bekerjasama dengan orang
lain. Lebih lanjut Soedjatmiko berpendapat agar di sekolah dasar dan
menengah di tanamkan rasa percaya pada daya rasional manusia dan
penggunaan kreativitas. Ia harus dibiasakan menggukan teknologi yang
sederhana, murid harus mengetahui bahwa lingkungan hidupnya tidak terbatas
pada lingkungan yang dikenalinya sekarang. Murid harus di bebaskan dari
lingkungan fikiran bahwa tujuan satu-satunya yang layak baginya, ialah
menuntut pendidikan tinggi. Jadi kemungkinan untuk mengadakan pilihan
diperluas sehingga rasa kebebasan murid sebagai individu akan bertambah
karena rasa kebebasan terutama terletak pada kemungkinan memilih.
32 Muhammad Al Thaumy Al Syaibani, Falsafah Pendidikan Islam, (Jakarta : Bulan
Bintang, 1979), hlm 444
34
Yang dimaksud kebebasan dalam pendidikan bukan berarti peserta
didik harus melepaskan diri dari ikatan guru dan terputus dari manusia lainnya
serta hanya berfikir tentang dirinya sendiri. Kebebasan yang diinginkan dalam
pendidikan adalah suatu proses yang diciptakan oleh guru atau pendidik agar
peserta didik memiliki kebiasaan bebas secara individu dan mendidiknya agar
mereka mempunyai kemampuan untuk menentukan kehidupannya tanpa harus
bergantung kepada orang lain. Kebebasan dalam pendidikan diarahkan untuk
membangun kemandirian, sifat optimis dan berani memanfaatkan kemampuan
yang dimilikinya.
Kebebasan sebagai kesempurnaan eksistensi pantas dijadikan tujuan
akhir pendidikan itu sendiri bila kesempurnaan eksistensi dipahami sebagai
kemandirian, maka sesungguhnya pengertian kebebasan juga termuat dalam
rumusan tujuan tersebut. Untuk mencapai kesempurnaan eksistensi manusia
sebagai makhluk yang bebas, perlu diupayakan suatu pendidikan yang tidak
hanya menyangkut pengalihan, pengetahuan dan latihan ketrampilan semata,
melainkan juga pembentukan watak dan sikap hidup. Pendidikan seperti itu
tidak terbatas hanya pada pendidikan formal di sekolah melainkan juga
pendidikan informal dalam keluarga maupun pendidikan nonformal dalam
masyarakat. Pendidikan formal di sekolah lebih memberi tekanan perhatian
pada pembinaan intelektual peserta didik, namun pendidikannya akan
pincang bila peserta didik sama sekali tidak mendapatkan bantuan untuk
tumbuh sebagai pribadi yang semakin dapat menghayati kebebasannya secara
bertanggungjawab.
Membantu para peserta didik untuk semakin menghayati
kebebasannya serta bertanggungjawab berarti membantu mereka untuk
memperoleh pengertian yang benar tentang kebebasan dan untuk hidup sesuai
dengan pengertian tersebut. Bebas berarti mempunyai kemapuan untuk
menentukan dirinya sendiri dalam kondisi objektif yang meliputi dirinya,
mampu menentukan diri sendiri berarti dapat mengambil sikap terhadap
kondisi objektif tersebut. Peserta didik perlu dibantu untuk berani mengambil
posisi dan tidak hanya ikut-ikutan saja.
35
Demikianlah Islam memberi kebebasan kepada individu untuk
mengembangkan bakat-bakatnya dan meningkatkan taraf hidupnya tanpa
merampas atau melanggar hak-hak orang lain. Jadi harus ada ikatan dalam
masyarakat supaya kebebasan-kebebasan dan keinginan-keinginan itu tidak
berlawanaan satu sama lain, sehingga terjadi keseimbangan antara hak dan
kewajiban sebagai individu dan anggota masyarakat, yakni ketika manusia
hendak menjalankan hak dan kebebasan haruslah dalam rangka ukuran-ukuran
tingkah laku yang baik dan perbuatan yang baik yang diakui oleh agama
Islam.
top related