BAB I PENDAHULUAN - Portal Wisudaabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/C1010028_bab1.pdf · Kemiskinan, pengangguran, korupsi yang merajalela, pemrintahan yang ... pemerintahan anti-Barat
Post on 03-Mar-2018
216 Views
Preview:
Transcript
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Libya merupakan wilayah di Afrika Utara berbatasan dengan Laut Tengah
di sebelah Utara, Mesir di sebelah Timur, Sudan di sebelah Tenggara, Chad dan
Niger di sebelah selatan, serta Aljazair dan Tunisia di sebelah barat (Agastya,
2013:87). Negara Libya berasal dari bahasa Mesir lubu, yakni sebutan bagi orang
Berber yang tinggal di sebelah barat sungai Nil, yang diadopsi oleh bahasa yunani
sebagai “Libya”. Pada zaman Yunani kuno, istilah ini memiliki arti yang lebih luas,
yang berbatasan oleh afrika utara di sebelah barat Mesir, dan kadang ditujukan
untuk seluruh Benua Afrika.Adapun bahasa resmi adalah Arab (2013:88).
Secara historis, Libya adalah sebuah kerajaan yang didirikan pada 24
Desember 1951. Raja Idris I bertindak sebagai kepala pemerintahan. Kemudian
dikuasai oleh Italia sampai Perang Dunia II. Pada 1969, setelah memimpin kudeta
militer, Khadafi menjalankan sistem politik yang mengkombinasikan sosialisme
dengan Islam, yang dilakukan melalui demokrasi langsung (Soyomukti, 2011:143).
Libya sejatinya tidak begitu terkenal di mata dunia. Ketenarannya dimulai sejak
krisis berdarah di ibu kota Libya, Tripoli, sehingga negara ini menjadi terkenal
seantero dunia.
Sosok Khadafi selalu memandang dirinya sebagai revolusioner pada masa
kejayaannya. Gamal Abdel Nasser adalah inspirasinya, karena kagum pada
kepemerintahannya dan jiwa nasionalismenya di Mesir (Tamburaka, 2011:219).
Khadafi terlibat aktif dalam gerakan protes untuk membela dalam Perang Suez pada
2
pertengahan 1950-an. Dia masuk dalam pendidikan tentara dan merencanakan
untuk melakukan kudeta pada Raja Idris.
Setelah menekuni pendidikan militer di Yunani Hellenic Millitery Academy
di Athena, Ia melanjutkan pendidikan militer di Inggris. Rencana kudeta
dimatangkan saat Ia kembali ke Benghazi, Libya. Maka pada 1 September 1969,
kudeta itu dilakukan (Soyomukti, 2011:218). Kekuasaannya didapat dalam
posisinya sebagai pimpinan komite revolusi, yang anggotanya adalah orang orang
yang loyal pada Khadafi. Ia menjadikan komite revolusi sebagai alat untuk
meminimalkan resiko revolusi sekaligus mengontrol kekuasaan.
Khadafi melakukan kudeta pada tanggal 1 September 1969, ketika saat itu
beliau memimpin sekelompok kecil perwira muda, yang kemudian melakukan
kudeta terhadap Raja Idris yang ketika itu sedang berobat ke Turki. Kemudian
Khadafi membentuk dewan revolusi yang terdiri dari perwira muda yang umumnya
mendapatkan pendidikan militer di Barat. Khadafi selanjutnya memimpin dewan
revolusi, dan kemudian kekuasaannya itu disebut sebagai “kekuasaan rakyat”.
Khadafi mengkombinasikan ideologi sosialisme, arabisme, dan Islam (2011:144).
Perjuangan rakyat Libya tidak berhenti sampai di situ. Meraka terus
mengadakan perlawanan perlawanan terhadap Khadafi (Agastya, 2013:91).
Khadafi naik ke pemerintahan dengan mengkudeta kerajaan, maka salah satu pihak
yang gencar memusuhinya adalah sisa-sisa kekuatan monarki yang dulu dikudeta,
yan sebagian besar berada di luar negeri setelah melarikan diri. Kekuatan
menentang Khadafi memang berada di luar negeri, terutama setelah siapa saja yang
berusaha menentangnya didalam negeri langsung ditangkap dan kemudian dibunuh
pada tiang gantungan. Kaum oposisi yang menentangnya kebanyakan justru berasal
3
dari pejabat pemerintahannya yang membangkang karena tidak setuju dengan
model kepemimpinannya yang otoriter.
Beberapa puluh kelompok oposisi ada di luar negeri. Khadafi menjadi
pahlawan revolusi hingga menjadi para internasional, lalu akhirnya menjadi mitra
strategis. Dia mengembangkan falsafah politiknya sendiri yang begitu berpengaruh.
Khadafi hadir dalam pertemuan internasional dan Arab dengan sangat berani,
sampai seorang pengamat Arab menjuluki Khadafi sebagai “Picasso Politik Timur
Tengah”.
Pengikut presiden pertama Mesir Gamal Abdul Nasser ini ikut memakai
pangkat militer yang sama, mempromosikan dirinya dari kapten menjadi kolonel
kudeta. Khadafi pertama-tama menetapkan cara untuk mengatasi keadilan terhadap
ekonomi yang waktu itu sangat dikuasai oleh pihak asing.
Bagi Khadafi ketidakadilan itu adalah minyak, minyak merupakan faktor
penting bagi-bagi negara barat. Cadangan minyak ditemukan di Libya pada akhir
tahun 1953, dan dimulainya ekploitasi pada tahun 1956. Libya pun mulai
melakukan aksi penjualan minyak ke Eropa sejak tahun 1967 (Agastya, 2013:91).
Stabilitas harga minyak dan distribusi yang terus berjalan ini memaksa negara
Eropa dan Amerika turun tangan dalam revolusi yang terjadi. Intervensi asing ini
terlihat melalui hadirnya NATO dengan penyerbuan pertama melalui udara
dilakukan oleh Perancis dibawah perintah Nicolas Sarkozy. Kondisi yang terjadi di
Libya terbelah menjadi dua kubu, yaitu tentara Khadafi dan tentara pemberontak,
kelompok anti-pemerintah dan kelompok pro-Khadafi, juga keberadaan NATO
untuk membantu penggulingan rezim Khadafi. Melihat revolusi yang terus
berlangsung dengan gencatan senjata yang terus dilakukan mendatangkan banyak
4
kecaman dari dunia internasional dan menyebut Khadafi sebagai penjahat perang.
Ia terus melakukan pendudukan ke wilayah kelompok revolusioner. Ini dapat
disaksikan dari keberlangsungan hidup masyarakat yang semakin mapan,
pembangnunan yang terus bergilir di setiap tempat, dan perkembangan lainnya.
Libya sebagai negara produsen sumber mineral perlu memperhatikan
kondisi tersebut untuk keberlanjutannya. Keinginan dominasi dan eksploitasi
sumber mineral merupakan salah satu faktor dominan untuk menimbulkan konflik.
Apalagi dalam kondisi negara yang tengah memulai dari awal pasca revolusi.
Kemungkinan munculnya bibit-bibit konflik sangat besar. Ketidak mampuan dalam
memobilisasi masyarakat serta mengkonsolidasikan persatuan dalam pembangunan
negara, sehingga menimbulkan ketegangan antar elemen-elemen dalam
masyarakat. Terlebih lagi sebagai negara dengan kondisi demografis yang sangat
beragam, di mana didalamnya sangat kental oleh persaingan antar suku, etnis,
kelompok kepentingan, dan lainnya. Tidak semua daerah di Libya merupakan
penghasil minyak, dan hal ini bisa saja menjadi “potential conflict” bagi Libya di
masa depan (Hatimah, 2012:16).
Masyarakat yang tergabung dalam People Power untuk menjatuhkan
penguasa, mencari kebebasan dalam nama demokrasi dan mengharapkan kondisi
pemerintahan yang lebih baik setelahnya. Akan tetapi, demokrasi seperti apa yang
akan cocok bagi negaranya, dalam hal ini Libya, harus dipikirkan dengan seksama
berdasarkan pada kondisi negara ini secara keseluruhan yang meliputi, sejarah,
budaya, potensi, kondisi kontemporer, demografis, geografis, dan lain sebagainya
(2012:17).
5
Secara lebih mendasar, ekonomi Libya lebih bersandar pada hasil minyak
bumi daripada sumber lain, seperti pertanian, hasil laut, pertambangan selain
minyak, dan perdagangan. Melalui hasil minyak inilah, perkambangan Libya
tampak begitu pesat. Ini dapat disaksikan dalam keberlangsungan hidup masyarakat
yang semakin mapan, pembangunan yang terus bergilir di setiap tempat, dan
perkembangan lainnya (Agastya, 2013:91). Selain minyak, Khadafi juga
melakukan nasionalisasi seluruh industri yang ada di Libya untuk mencegah
dalamnya intervensi asing dalam pemerintahannya. Militer yang merupakan
pertahanan negara berada pada pihak Khadafi sehingga penggulingan rezim
Khadafi akan lebih sulit, karena Khadafi banyak mempunyai ‘kartu-kartu penting’
untuk mempertahankan kekuasaannya.
Awal tahun 70-an dia membuktikan diri sebagai filusuf politik terkenal,
mengembangkan satu teori yang bernama teori universal ketiga yang
dipaparkannya secara mendalam dalam buku terkenalnya Green Book (Layuk,
2013:57). Teori beliau menyelesaikan kontradiksi yang ada secara melekat dalam
kapitalisme dan komunisme, guna mengantarkan dunia ke revolusi politik,
ekonomi, sosial dan membebaskan kalangan tertindas dimanapun. Atas nihilnya
tantangan terhadap pemerintahannya di dalam negeri, Khadafi berhasil membawa
kampanye menentang Imperialisme ke seluruh dunia.
Bisa dilihat tiga kelompok yang mempunyai peranan penting dalam krisis
tersebut. Pertama, kelompok Khadafi yang berusaha untuk mempertahankan
kekuasaanya. Kedua, kelompok oposisi yang menginginkan Khadafi turun dari
tahta kekuasaannya. Mereka menilai bahwa pemerintahannya otoriter dan koruptif.
Ketiga, dunia internasional yang hadir dan melakukan intervensi dengan alasan
6
kemanusiaan dan perdamaian (Kompasiana, 19 Juli 2011). Meskipun kehadirannya
masih dihantui oleh kepentingan nasional masing-masing. Terlepas dari itu, saya
menilai terdapat dua kepentingan yang sangat kontrakdiktif, yakni kepentingan
kelompok Khadafi yang berusaha mempertahankan kekuasaan dan kelompok
oposisi (dan juga dunia internasional) yang menginginkan Khadafi turun dari
kekuasaannya. Mereka menginginkan kebebasan, kesetaraan dan kesejahteraan.
Ketika angin revolusi berhembus ke dunia Arab dari Tunisia, Libya bukan
berada dalam negara urutan teratas daftar negara berikutnya (Soyomukti,
2011:143). Gerakan pemberontakan di Tunisia mulai pada Desember 2010 ini
dimaksudkan untuk menurunkan Ben Ali yang telah menjabat sebagai presiden
selama 24 tahun. Selama kepemimpinannya yang berlangsung sejak 1987 berbagai
pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) terjadi. Selain banyaknya pelanggaran
HAM, Tunisia menjadi negara yang di landa krisis pangan dan lapangan pekerjaan
yang sulit (Syukur, 2011:93). Tunisia menjadi negara yang mempunyai kebebaan
berserikat. Organisasi masyarakat Tunisia, media cetak maupun elektronik tidak
punya wewenangan untuk menyampaikan pendapat atau kritik kepada pemerintah
(Paciello, 2011:1). Berbagai permasalahan yang melanda Tunisia menjadi salah
satu faktor utama terjadinya pemberontakan Tunisia, yang berujung mundurnya
Ben Ali dari kursi pemerintahan.
Sedangkan pemberontakan rakyat Mesir dimulai Januari 2011. Selama
kepemimpinannya, Husni Mubarak menemukan kekayaan di tengah krisis yang
melanda di Mesir. Berdasarkan catatan situs Daily Telegraph, kekayaan husni
Mubarak ditaksir mencapai 20 miliar pounsterling atau sekitar 287 miliar rupiah,
yang disimpan sejumlah bank di Swiss, Amerika Serikat, dan Inggris (Syukur,
7
2011:98). Kemiskinan, pengangguran, korupsi yang merajalela, pemrintahan yang
ottoriter dan masa kepemimpinan Husni Mubarak yang terlalu lama membuat
rakyat Mesir melakukan pemberontakan untuk mendapatkan perubahan. Selain
faktor-faktor tersebut, pemberontakan rakyat mesir juga dipicu oleh gerakan pro
demokrasi pada tahun 2005 yang di pimpin oleh Kefeya (Balata, 2011:61). Setelah
hampir 18 hari Mesir mengalami pergejolakan, akhirnya Husni Mubarak memeilih
untuk mundur dari jabatannya sebagai presiden.
Keberhasilan Tunisia dan Mesir untuk menurunkan Ben Ali dan Husni
Mobarak dari jabatannya sebagai presiden memotivasi rakyat Libya untuk bangkit
melawan rezim Khadafi. Selain hal itu, keberadaan Tunisia dan Mesir yang
berbatasan langsung dengan Libya langsung mendorong Libya untuk melakukan
pemberontakan. Hal ini dikenal sebagai teori domino, yaitu fenomena perubahan
berantai berdasarkan prinsip geo-politik dan geo-strategis (Tamburaka, 2011:271).
Khadafi termasuk penguasa yang otoriter karena berkuasa selama 42 tahun, yaitu
sejak tahun 1969-2011. Tetapi dia tidak dipandang sebagai boneka barat seperti
layaknya pemimpin negara-negara Arab lain yang cenderung untuk tunduk pada
Barat dan mementingkan kepentingan Barat daripada kepentingan rakyatnya
sendiri. Khadafi membagi-bagikan kekayaan untuk rakyat, namun sulit dibantah
bahwa Khadafi selalu membagi-bagikan kekayaan yang lebih besar demi untuk
membeli kesetiaan rakyatnya daripada untuk mendorong persamaan. Beliau
mensponsori pekerjaan umum yang besar seperti proyek pengadaan air buatan
manusia yang terkenal bernama Klik Great Man-Made River yang memasok air
segar ke negara gurun Libya (Hartanto, 2013:13).
8
Selain itu kebijakan otoriter yang ia keluarkan dinilai melecehkan
demokrasi dan kebebasan. Ketika seruan aksi demonstrasi beredar pertamakali,
Khadafi berjanji untuk ikut berdemonstrasi dengan rakyat, sesuai dengan mitos
yang dikembangkan bahwa dia adalah saudara para pemimpin dalam revolusi yang
sudah lama memeberikan kekuasaan kepada rakyat (Syukur, 2011:106-107).
Namun pada akhirnya bau kebebasan serta kemungkinan menggulingkan Khadafi,
seperti halnya menjatuhkan Hosni Mubarak di Mesir dan Ben Ali di Tunisia,
merupakan godaan yang terlalu kuat untuk ditentang diantara rakyat Libya.
Akibat perang saudara yang berlangsung sejak Februari hingga Oktober
2011, pemerintah Libya, yang saat itu berkuasa selama lebih dari 40 tahun, tumbang
(Agastya, 2013:92). Libya pun memasuki periode pemerintahan oleh suatu
pemerintahan sementara yang disebut Dewan Transisi Nasional (NTC). NTC akan
mengawasi tahap pertama suatu trasisi menuju demokrasi. Setelah itu, lembaga
tersebut akan bubar dan di ganti oleh suatu dewan perwakilan.
Khadafi selain menjadikan Libya sebagai negara pemrakarsa agenda
bersatunya negara-negara Arab, tetapi juga mengantarkan Libya sebagai suatu
negara yang berpengaruh dalam konstalasi politik melawan dominasi Amerika
Serikat, khususnya di wilayah Timur Tengah dan Afrika (Hatimah, 2012:4).
“Aku Siap Mati Syahid” itulah sepenggal kalimat yang di ucapkan oleh
Khadafi karena telah menyatakan dua ratus mil dari Teluk Sidra harus dibatasi dari
setiap penggunaan internasioanal ditambah sikap angkatan udara Amerika Serikat
(Hartanto, 2013:239). Kadhafi pun berhasil menanamkan pemikiran politik dan
pemerintahan anti-Barat di dalam negaranya dengan menempuh kebijakan sebagai
negara tertutup diawali dengan keputusan menutup pangkalan militer Amerika
9
Serikat di Libya (Kompas, 2011:1). Amerika Serikat kemudian memasukkan Libya
dalam daftar negara yang mendukung terorisme internasional. Libya juga dikaitkan
dengan beberapa aksi terorisme internasional di antaranya, pemboman sebuah
diskotik pada tahun 1986 di Berlin, pemboman pesawat Prancis (French Airliner)
pada tahun 1989, dan yang paling fenomenal adalah pemboman pesawat Pan Am
Flight 103 di Lockerbie, Skotlandia.
Hasilnya, Libya menjadi negara yang disegani dan berulang kali menjadi
sasaran embargo Amerika Serikat dan sekutunya di Eropa (Al Jazeera, 30 Januari
2012).Bukan hanya itu, selain itu Khadafi masih dalam upayanya memaksakan
pemikirannya pribadinya tentang sosialisme Libya, serta-merta menasionalisasi
semua aset pihak asing di Libya, ketika ia memutuskan menjadikannya sebagai
negara tertutup, termasuk industri perminyakan.
Khadafi bahkan berada pada garis depan menjadi pendukung perlawanan
Palestina terhadap. Khadafi yang seringkali bertolak belakang dengan keinginan
Amerika Serikat dan Sekutunya, menyebabkan hubungan yang sangat buruk antara
Libya dengan Negara Barat. Khadafi mulai goyang dalam panggung politik Libya
ketika pada tahun 2010, dunia internasional diwarnai dengan munculnya gejolak
demokrasi di Timur Tengah. Negara-negara dengan cap otoriter di Timur Tengah,
mulai mendapatkan tekanan dari rakyatnya, yang menginginkan sistem
pemerintahan yang demokratis, termasuk di antaranya yaitu Libya dan Israel
(Hatimah, 2012:5). Berbagai sanksi internasional terutama sanksi ekonomi dari
Amerika Serikat yang dibebankan kepada Libya, mempengaruhi tidak hanya
kondisi ekonomi tetapi juga politik Libya.
10
Manfaat penelitian dengan judul “Faktor Penyebab Revolusi di Libya pada
Masa Pemerintahan Khadafi” adalah secara praktis penelitian ini dapat dijadikan
rujukan untuk sumber referensi penelitian, Penelitian ini dapat dijadikan bacaan
atau literature sumber rujukan terkait penyebab lahirnya revolusi Libya pada masa
pemerintahan Khadafi, Sebagai rujukan intelektual bagi peneliti yang ingin
melakukan kajian yang lebih mendalam dan menambah wawasan akan sejarah
revolusi Libya pada masa Khadafi.
B. Rumusan Masalah
Penulis menitik beratkan pada dua pertanyaan pokok sebagai rumusan
masalah, yaitu:
1. Apa Faktor Penyebab Revolusi di Libya pada Masa Runtuhnya Pemerintahan
Khadafi?
2. Bagaimana bentukIntervensi NATO diLibya?
C. Tujuan Penelitian
1. Mengkaji faktor-faktor internal yang menyebabkan adanya revolusi yang
terjadi di Libya saat runtuhnya pemerintahan Khadafi.
2. Memberikan gambaran dari analisa penulis bentuk intervensi NATO yang
terjadi di Libya.
D. Batasan Masalah
Berdasarkan paparan pada latar belakang mengenai pentingnya serta alasan
pemilihan judul “Faktor Penyebab Revolusi Libya pada Masa Runtuhnya
Pemerintahan Khadafi”, maka penulis menetapkan batasan masalah dimulai sejak
runtuhnya Khadafi pada tahun 2011. Tahun 2011 merupakan akhir dari semuanya
pemerintahan Khadafi dan masuknya intervensi NATO di Libya.
11
E. Landasan Teori
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana keadaan Libya masa
kepemimpinan Khadafi. Untuk membuat sebuah tulisan ilmiah, diperlukan
landasan teori dan konsep yang jelas. Teori maupun konsep ini akan menjadi
pijakan dasar bagi penulis untuk memaparkan bahkan menganalisa fakta yang
terjadi. Sangat diperhatikan agar teori maupun konsep yang digunakan, relevan
dengan penelitian yang dilakukan. Teori yang di gunakan dalam penelitian ini
adalah
1. Pengertian revolusi
Revolusi merupakan puncak dari perubahan sosial. Revolusi merupakan
sebuah proses pembentukan ulang masyarakat sehingga menyerupai proses
kelahiran kembali. Perubahan yang terjadi melalui revolusi mempunyai cakupan
yang luas dan menyentuh semua tingkat dan dimensi masyarakat. Perubahan
akibat revolusi bersifat radikal, fundamental dan menyentuh langsung pada inti
dan fungsi dari struktur sosial. Proses perubahan tersebut hanya memerlukan
waktu yang cepat, sesuatu yang bertolak belakang dengan konsep evolusi pada
perubahan sosial (Sztompka, 2007:357).
Berbanding terbalik dengan bentuk perubahan sosial lain, revolusi
berbeda dalam 5 hal. 1). Menimbulkan perubahan dalam cakupan terluas,
menyentuh semua tingkat dan dimensi masyarakat: ekonomi, politik, kultur,
organisasi sosial, kehidupan sehari-hari dan kepribadian manusia. 2).
Perubahannya radikal, fundamental, menyentuh inti bangunan dan fungsi sosial.
3). Perubahan yang terjadi sangat cepat dan tiba-tiba. 4). Revolusi adalah
pertunjukkan perubahan paling menonjol, waktunya luar biasa cepat dan karena
12
itu sangat mudah diingat. 5). Revolusi membangkitkan emosional. Khusus dan
reaksi intelektual pelakunya dan mengalami ledakan mobilisasi masa,
antusiasme, kegemparan, kegembiraan, optimisme dan harapan (Sztompka,
2007:357).
Konsep revolusi modern berasal dari dua tradisi intelektual yaitu filsafat
sejarah dan sosiologi. Konsep filsafat sejarah tentang revolusi berarti terobosan
radikal terhadap kontinuitas jalannya sejarah (Brinton, 2965:237). Perhatian
ditujukan pada pola umum proses sejarah dan revolusi menandai terobosan
kualitatif pola umum ini. Contoh khususnya pandangan Marx tentang rentetan
formasi sosio ekonomi di mana revolusi sosial menandai lompatan kualitatif ke
fase perkembangan lebih tinggi (Sztompka, 2007:360).
Menurut pengertian ini revolusi adalah lawan kata Evolusi. Sebagaimana
beberapa pakar mendefenisikan revolusi sebagai berikut: Definisi revolusi dapat
digolongkan menjadi dua kelompok. Kelompok pertama, definisi yang
menekankan pada transformasi fundamental masyarakat. Perhatian ditekankan
pada cakupan dan kedalaman perubahan.Menurut pengertian ini revolusi adalah
lawan kata pembaruan (reform). Dengan demikian ada pengertian revolusi
sebagai perubahan tiba-tiba dan radikal dalam struktur politik, sosial, dan
ekonomi masyarakat atau perubahan mendadak, yang luas dalam struktur sosial
atau dalam unsur utamanya. Kelompok kedua mencakup definisi yang
menekankan kekerasan, perjuangan, dan kecepatan perubahan. Perhatiannya
ditujukan pada teknik perubahan. Menurut pengertian ini revolusi adalah lawan
kata Evolusi.
13
Sebagaimana beberapa pakar ilmu yang mendefenisikan beberpa
pengertian revolusi sebagai berikut:
a. C. Jhonson, revolusi adalah upaya mewujutkan perubahan dalam
masyarakat dengan paksa.
b. Gurr, revolusi adalah perubahan sosial politik mendasar yang dilaksanakan
dengan kekerasan.
c. Brinton, revolusi adalah pergantian drastis dan tiba-tiba dari suatu kelompok
yang berkuasa dalam kesatuan politik teritorial oleh kelompok lain yang
tidak menjalankan pemerintahan.
d. Giddens, revolusi adalah perampasan kekuasaan negara dengan kekerasan
yang dilakukan pimpinan gerakan masa dan karena itu kemudian digunakan
untuk memprkarsai proses reformasi sosial besar-besaran.
Ringkasnya dari kedua kelompok revolusi diatas terliihat adanya
consensus mengenai basis atau komponen utamanya sebagai berikut:
a. Revolusi mengacu kepada perubahan fundamental, menyeluruh dan multi
dimensional, menyentuh inti tatanan sosial. Menurut pengertian ini,
perombakan sebagian dari hukum dan administrasi, pergantian
pemerintahan dan sebagainya tak terhitung sebagai revolusi.
b. Revolusi melibatkan rakyat masa yang besar jumlahnya yang dimobilisasi
dan bertindak dalam satu gerakan revolusioner. Dalam kasus ini banyak
melibatkan pemberontakan kaum petani dan urban.
c. Kebanyakan pakar yakin bahwa revolusi memerlukan keterlibatan
kekerasan dan pengunaan kekerasan.
14
Sztompka memberikan gambaran bahwa “revolusi merupakan puncak
dari perubahan sosial”. Revolusi merupakan sebuah proses pembentukan ulang
masyarakat sehingga menyerupai proses kelahiran kembali. Perubahan yang
terjadi melalui revolusi mempunyai cakupan yang luas dan menyentuh semua
tingkat dan dimensi masyarakat. Perubahan akibat revolusi bersifat radikal,
fundamental dan menyentuh langsung pada inti dan fungsi dari struktur sosial.
Proses perubahan tersebut hanya memerlukan waktu yang cepat, sesuatu yang
bertolak belakang dengan konsep evolusi pada perubahan sosial.
Revolusi mempunyai dua wajah yang saling bertolak belakang. Wajah
pertama menggambarkan revolusi sebagai sebuah mitos, sedangkan wajah kedua
memberikan gambaran revolusi sebagai sebuah konsep dan bahkan teori dalam
ilmu sosiologi. Kedua wajah ini mempunyai keterkaitan bahkan dialektika
diantara keduanya menjadi suatu bentuk kewajaran.
a. Asal mula Munculnya Revolusi
Konsep revolusi pada awalnya merujuk pada pengertian gerakan
melingkar pada benda langit. Tidak mengherankan apabila kita mengenal
istilah revolusi bumi terhadap matahari. Namun kemudian penggunaan
konsep revolusi juga menyentuh pada bidang sosial politik. Perkembangan
selanjutnya memberikan gagasan tentang pentingnya revolusi dalam
mewujudkan kehidupan yang lebih baik dan lebih “sempurna”. Marx
menggunakan konsep revolusi sebagai alat untuk menumbangkan dominasi
kapitalis dan sebagai landasan untuk membangun masyarakat komunis.
Secara berangsur-angsur, mitos revolusi mengalami kemunduran. Ini
terjadi tidak lepas dari “kegagalan” revolusi itu sendiri. Revolusi dipandang
15
sebagai suatu proses yang tidak pernah berakhir. Tatanan kehidupan yang
lebih baik seperti yang dijanjikan tidak dapat terwujud. Sejarah telah
membuktikan bahwa sebagian besar revolusi menghasilkan bentuk
ketidakadilan, ketimpangan, eksploitasi dan penindasan yang lebih parah.
Selain itu revolusi seringkali harus diiringi dengan tindak kekerasan,
peperangan dan kerusuhan yang menimbulkan korban jiwa tidak sedikit.
Revolusi dianggap sebagai sebuah bencana dibandingkan sebagai sebuah
usaha penyelamatan kehidupan manusia.
Konsep revolusi dapat dibahas dalam dua perspektif, yaitu filsafat
sejarah dan sosiologi. Konsep revolusi berdasarkan filsafat sejarah
mempunyai arti sebagai bentuk terobosan radikal terhadap kesinambungan
jalannya sejarah. Perspektif sosiologi memandang revolusi sebagai bentuk
penggunaan kekuatan massa terhadap penguasa untuk melakukan perubahan
mendasar dan terus-menerus. Revolusi dapat dianggap sebagai upaya
membentuk ulang sejarah dengan menggunakan kekuatan krativitas manusia.
Kedua perspektif tersebut turut mempengaruhi pendefinisian konsep
revolusi hingga pada akhirnya mengerucut pada tiga kelompok. Revolusi
dapat diartikan sebagai lawan dari pembaruan. Perhatian utamanya adalah
pada proses transformasi fundamental masyarakat. Selain itu, revolusi dapat
dimaknai sebagai lawan dari evolusi. Tekanan yang diberikan adalah pada
penggunaan kekerasan, perjuangan dan kecepatan perubahan yang terjadi.
b. Aliran-aliran teori Revolusi
Terdapat empat aliran dalam teori revolusi, yaitu tindakan, psikologi,
struktural dan politik.
16
1) Teori revolusi modern pertama diajukan oleh Sorokin tahun 1925 (1967).
Kesimpulannya terutama didasarkan pada pengalaman revolusi Rusia
1917, tempat ia berpartisipasi dan memerakan peran politik tertentu.
Teorinya dapat dianggap sebagai contoh pendekatan tindakan karena ia
memusatkan perhatian pada tindakan individu yang menandai revolusi
(Sorokin, 1967:367). Penyebab tindakan menyeleweng itu dicarinya dalam
bidang kebutuhan dasar (naluri) individu. Pertunjukan tragedi besar,
drama dan tragedi revolusi di panggung sejarah, terutama dibawa oleh
naluri menindas bawaan (1967:372). Revolusi ditandai oleh perubahan
mendasar ciri perilaku manusia. Perilaku beradab cepat dibuang dan
digantikan oleh perilaku seperti binatang buas yang hendak saling
memangsa (1967:372). Sorokin meneliti dan mencatat perubahan seperti
itu di enam bidang: (1) transformasi reaksi terhadap ucapan, (2)
penyelewengan reaksi terhadap pemilikan, (3) penyelewengan reaksi
seksual, (4) penyelewengan reaksi terhadap tugas, (5) penyelewengan
reaksi terhadap kekuasaan dan bawahan, (6) reaksi terhadap agama, moral,
estetika dan berbagai bentuk perilaku yang dipelajari lainnya (1967:41-
169). Berbagai bentuk penyelewengan ini menghancurkan kepekaan
naluriah. Orang bertindak tanpa menghiraukan kepatuhan, disiplin, aturan,
dan berbagai kriteria perilaku beradap lainnya. Manusia berubah menjadi
gerombolan buas manusia gila (1967:367)
2) Teori revolusi psikologi. Aliran psikologi mengabaikan bidang tindakan
reflek atau nalurian dasar dan beralih ke bidang orientasi sikap dan
motivasi. Teori ini paling erat kaitannya dengan pemikiran akal sehat
17
(common sense). Karena itu tak heran, teori itu paling populer dan paling
rinci dari semua pendekatan yang ada. Teori paling berpengaruh diajukan
oleh James Davis (1962) dan Ted Gurr (1970) dengan teori kerugian
relatif. Revolusi disebabkan sindrom mental yang menyakitkan yang
tersebar di kalangan rakyat, diperburuk karena menjangkiti banyak orang.
3) Teori revolusi struktural. Teori struktural memusatkan perhatian pada
tingkat struktur makro dengan mengabaikan faktor psikologi. Menurut
teori ini revolusi adalah hambatan dan ketegangan struktural dan terutama
bentuk hubungan khusus tertentu antara rakyat dan pemerintah. Penyebab
revolusi lebih dicari ditingkat hubungan sosial khusus, yakni dalam
kondisi hubungan antar kelas dan antar kelompok (nasioal dan
internasional) ketimbang di kepala rakyat, dalam arti mentalitas atau sikap
mereka. Tokoh terkenal teori ini, Theda Skocpol, menyebutknya
“perspektif struktural” dengan maksud untuk lebih menekankan pada
hubungan dan konflik obyektif yang terjadi antar kelompok dan antar
bangsa dalam revolusi tertentu (Skocpol, 1979:291). Mengutip Eric
Hibsbawm, ia menyatakan: Pentingnya bukti peran aktor dalam revolusi
tak berarti bahwa mereka juga adalah pelaku, pencipta dan
perencananya. (1979:18).
Membandingkan bukti historis revolusi Perancis, Rusia dan Cina,
Skockpol mengahasilkan analisis struktural umum tentang penyebab,
proses dan hasil ketiga revolusi itu. Revolusi itu ternyata mengikuti pola
tiga tahap: (1) terjadi kehancuran struktural dan krisis politik dan ekonomi
dalam rezim lama. Mereka terjepit dalam tekanan bersilang antara struktur
18
kelas domestic dan kepentingan hubungan internasional, penguasa
otokrasi, administrasi sentral dan kekuatan militernya tercerai-berai.
Keadaan ini membuka jalan bagi transformasi revolusioner yang dimulai
dengan pemberontakan di bawah (Skocpol, 1979:47), (2) krisis rezim
membuka peluang pemberontakan petani dan atau buruh perkotaan.
Kehancuran rezim lama adalah perlu (necessary), tetapi tak cukup
(sufficient) untuk menyulut revolusi. Pemberontakan petani telah menjadi
unsur huru-hara penting dalam revolusi sosial hingga kini (1979:112-113),
tetapi revolusi hanya dapat terjadi dalam kondisi kehancuran politik
sebelumnya. Melemahnya kemampuan menindas dari pemerintah yang
sebelumya bersatu dan terpusatlah yang akhirnya menciptakan kondisi
yang secara langsung menyebabkan, atau yang pada akhirnya
menguntungkan bagi, meluasnya pemberontakan petani menentang tuan
tanah (1979:117), (3) tema revolusi utama selama tahap ketiga ini adalah
bidang politik yakni, konsolidasi ulang, penataan ulang, dan penyatuan
ulang pemerintah dan administrasinya oleh elit politik baru yang mulai
berkuasa setelah berhasil menyingkirkan rezim lama. Revolusi hanya
dapat diwujudkan dengan sempurna segera setelah organisasi negara yang
baru (administrasi dan militer) dikoordinasikan oleh eksekutif yang
memerintah atas nama simbol revolusi yang dibentuk ditengah-tengah
konflik situasi revolusioner (Skocpol, 1979:163). Keunikan teori Skockpol
adalah penekanannya pada faktor politik dan hubungan internasional. Baik
itu terciptanya situasi revolusioner maupun wujud rezim baru yang muncul
dari konflik revolusioner itu, keduanya pada dasarnya tergatung pada
19
struktur organisasi negara, derajat otonominya dan hubungan dinamis
dengan kelas-kelas dan kekuatan politik dalam negeri serta posisinya
dalam hubungan dengan negara lain (1979:284). Ia memprediksi: Dalam
revolusi dimasa mendatang, seperti di masa lalu, bidang kehidupan
negara tetapi akan menjadi pusat perhatian (1979:293).
Teori struktural pun dituduh berat sebelah dan mengabaikan
psikologi individual. Teori jelas memusatkan perhatian pada kondisi dan
dampak struktural, mengabaikan keseluruhan proses kompleks yang
terjadi diantara keduanya. Ketika masa rakyat diorganisir dan dimobilisasi
oleh pemimpin yang melakukan revolusi. Skockpol lupa bahwa manusia
yang berfikir dan bertindak itu (meski dengan sembrono) merupakan mata
rantai yang menghubungkan antara kondisi struktural dan hasil sosialnya.
Kondisi struktural tak bisa menentukan secara mutlak tentang apa yang
akan dilakukan manusia. Kondisi struktural semata meletakkan batas
tertentu terhadap tindakan manusia atau menetapkan sederetan peluang.
Pesan kritik yang diperoleh dari analisis struktural, sama dengan yang
dikemukakan sebelumnya: memerlukan pendekatan sistesis atau
multidimensional. Skockpol lebih melihat analisis struktural dan
voluntaris sebagai saling bertentangan ketimbang sebagai dua unsur
penting dari penjelasan sosiologis yang lengkap.
4) Teori revolusi pendekatan politik. Pendekatan ini melihat revolusi sebagai
sifat fenomena politik yang muncul dari proses yang khusus terjadi
dibidang politik. Revolusi dilihat sebagai akibat pergeseran keseimbangan
kekuatan dan perjuangan memperebutkan hegemoni antara pesaing untuk
20
mengendalikan negara. Contoh yang baik dari pemikiran serupa itu
dikemukakan oleh Tilly (1978). Ia yakin revolusi bukanlah fenomena luar
biasa, kekecualian atau penyimpangan tetapi justru kelanjutan proses
politik dengan cara lain. Artinya, berbagai proses politik normal dimana
berbagai kelompok berupaya mewujudkan tujuannya dengan merebut
kekuasaan. Revolusi adalah bentuk ekstrim pertikaian untuk mengontrol
politik. Revolusi hanya akan terjadi bila pesaing mampu memobilisasi
sumber daya secara besar-besaran yang diperlukan untuk merebut
kekuasaan dari rezim lama (Goldstone, 1982:193). Kondisi lebih luas
untuk menempatkan revolusi secara konseptual, disebut “model negara”.
Ini adalah seperangkat unsur yang saling berhubungan, diantaranya:
“pemerintah” yakni organisasi yang mengontrol cara utama penggunaan
paksaan terhadap rakyat. “Pesaing” yakni kelompok yang selama periode
tertentu menghimpun sumber daya untuk mempegaruhi pemerintah.
Pesaing ini mencakup penantang dan anggota (aparatur) negara. Anggota
adalah pesaing yang memiliki akses murah untuk mendapatkan sumber
daya yang dikendalikan pemerintah. Penantang adalah pesaing lainnya
(1978:52). Memobilisasi kekuatan revolusioner terjadi dikalangan
penantang yang tak mempunyai cara lembaga dan yang sah untuk
mewujudkan kepentingan mereka. Mobilisasi berarti peningkatan sumber
daya yang berada dibawah kontrol kolektif penantang atau peningkatan
derajat kontrol kolektif (Tilly, 1978:53). Mobilisasi adalah syarat tindakan
kolektif untuk mencapai tujuan akhir besama. Revolusi adalah bentuk
tindakan kolektif khusus yang dibedakan oleh kondisi khusus (situasi
21
revolusioner). Ciri terpenting situasi revolusioner adalah “kedaulatan
ganda” atau dengan kata lain pelipatgandaan pemerintah yang sebelumnya
dibawah kotrol tunggal kemudian menjadi sasaran persaingan antara dua
atau lebih kekuatan yang berbeda. Situasi ini akan berakhir bila kontrol
atas pemerintahan diraih kembali oleh kekuasaan tunggal (1978:191).
Rakyat dihadapkan sekurangnya pada dua pusat kekuasaan dengan
kepentingan yang bertentangan: pemerintah terdahulu dan yang
menentang. Dalam hal ini ada empat jenis situasi politik: (1) sebagai
taklukan, jika suatu negara berdaulat menaklukan negara berdaulat yang
lain, (2) ketika sebuah negara taklukan menyatakan kemerdekaannya
(misalnya, sebuah koloni yang tunduk kepada kekuasaan asing). Pola dasar
situasi ini adalah pemberontakan anti kolonial atau pemberontakan
nasional, (3) ketika penantang memobilisasi dan mendapatkan kontrol atas
sebagian aparatur negara, (4) ketika negara terpecah menjadi dua blok atau
lebih, masing-masing blok mendapat sebagian kontrol atas pemerintahan
(1978:191). Revolusi meledak jika sebagian besar rakyat mengalihkan
kesetiaan mereka ke pusat kekuasaan tandingan. Revolusi menang bila
pengalihan kekuasaan benar-benar terjadi dan perangkat pemegang
kekuasaan digantikan oleh yang lain. Revolusi besar bersifat ekstrim
dalam dua hal: kekuasaan terbelah dua dan terjadi pergantian besar-
besaran aparatur negara.
Revolusi dianggapnya sebagai wujud dari perubahan sosial yang
paling spektakuler, yang merupakan suatu pertanda perpecahan mendasar
suatu proses histories, pembentukkan ulang masyarakat dari dalam, dan
22
pembentukan ulang manusia. Revolusi tidak menyisakan apapun seperti
keadaannya sebelumnya.
Revolusi menutup epos lama dan membuka epos baru. Saat terjadi
suatu perubahan sosial besar, suatu revolusi, masyarakat mengelami
puncak agenya. Bagi Sztompka pada saat itulah terjadi meledaknya
potensi transormasi dirinya sendiri.
Secara ringkas Sztompka juga memberikan kerangka definisi
tentang revolusi yang dikerucutkan dari beberapa ahli seperti C. Johnson
(1968), Gurr (1970), Giddens (1989) yang pada akhirnya menemukan tiga
komponen utama yang mendasar dari revolusi yaitu:
a. Revolusi mengacu pada perubahan fundamental, menyeluruh dan
multidimensional, menyentuh inti tatanan sosial.
b. Revolusi melibatkan massa rakyat yang besar jumlahnya yang
dimobilisasi dan bertindak dalam satu gerakan revolusioner. Seperti
yang terjadi di Jepang dengan restorasi Maiji, revolusi Attaturk di
Turki, Reformasi Nasser di Mesir, Perestorikanya Gorbachev.
c. Revolusi memerlukan keterlibatan kekerasan dan penggunaan
kekerasan (Sztompka, 2008:362). Walaupun ada proses revolusi di
India oleh Ghandi atau gerakan sosial di Eropa Timur dan Tengah yang
memaksa kematian komunisme. Seperti juga revolusi damai Solidaritas
di Negara Polandia dan revolusi Beludru di Negara Ceko.
c. Proses Revolusi
Proses selanjutnya dari revolusi adalah suatu tatanan masyarakat yang
seperti dihidupkan kembali, harapannya adalah dengan revolusi terjadi suatu
23
perubahan yang lebih baik, dan masyarakat menemukan kesejahteraannya.
Menurut Sztompka revolusi merupakan suatu proses perubahan sosial yang
paling tinggi dan menimbulkan dampak yang luar biasa jika dibandingkan
dengan proses perubahan sosial yang lainnya, yaitu:
1) Menimbulkan perubahan dalam cakupan terluas, menyentuh semua
tingkat dan dimensi masyarakat, seperti: ekonomi, budaya, politik,
organisasi sosial, kehidupan sehari-hari masyarakat, dan perubahan
kepribadian manusianya.
2) Perubahan yang terjadi dan diadilkan adalah perubahan yang menyentuh
inti dari bangunan dan fungsi sosial masyarakatnya.
3) Jika proses kesejarahan dianggap sebagai suatu proses yang relatif
lambat, maka proses revolusi merupakan suatu proses perubahan yang
terjadi sangat cepat, tiba-tiba, seperti ledakan bom atom.
4) Dalam seni pertunjukkan proses perubahan yang terjadi dalam bingkai
revolusi merupakan suatu pertunjukkan perubahan yang paling
menonjol, waktunya luar biasa cepat, dan karena itu sangat mudah
diingat.
Revolusi dapat membangkitkan emosional khusus dan reaksi
intelektual pelakunya dan mengalami ledakan mobilisasi massa, antusiasme,
kegemparan, kegirangan, kegembiraan, optimisme dan harapan, perasaan
hebat dan perkasa, keriangan dan aktivisme dan menggapai kembali makna
kehidupan, melambungkan aspirasi dan pandangan utopia ke masa depan.
Revolusi terjadi secara tidak merata di sepanjang sejarah. Kebanyakan terjadi
dalam periode modern. Revolusi Besar seperti di Inggris pada tahun 1640,
24
revolusi perancis pada tahun 1789 yang melahirkan epos modern, revolusi
komunis di Rusia pada tahun 1917 dan di China pada tahun 1949, dan revolusi
yang anti komunis di Eropa Timur, dan Tengah pada tahun 1989 revolusi ini
mengakhiri periode komunis.
d. Cakupan Revolusi
Sztompka (2005) menjelaskan revolusi sosial kedalam lima hal yaitu;
(1) menimbulkan perubahan dalam cakupan terluas, menyentuh semua
tingkat dan dimensi masyarakat, (2) dalam semua bidang tersebut
perubahannya radikal, fundamental, menyentuh inti bangunan dan fungsi
sosial, (3) perubahan yang terjadi sangat cepat, tiba-tiba, (4) membangkitkan
emosional khusus dan reaksi intelektual pelakunya dan mengalami ledakan
mobilisasi massa, antusiasme, kegirangan, kegembiraan, optimisme, dan
harapan.
Berbagai konsep revolusi yang telah disampaikan didepan
mempunyai sebuah gagasan yang sama yaitu sebagai bentuk perubahan sosial
yang dahsyat dan bersifat fundamental dalam merubah tatanan masyarakat
dalam waktu yang relatif cepat. Terdapat faktor pencetus yang menyebabkan
revolusi dapat berjalan dalam suatu masyarakat. Berbagai teori
menyampaikan pendapatnya tentang faktor penyebab ini, namun kesemuanya
dapat disimpulkan sebagai sebuah hasil dari ketidakadilan dalam masyarakat.
Kondisi ketidakadilan atau penyimpangan inilah yang melahirkan semangat
revolusi.
Akibat dari revolusi secara garis besar dapat dilihat dari tumbangnya
penguasa lama dan digantikannya oleh tatanan penguasa baru. Selain
25
merubah tatanan kepemimpinan, revolusi mampu merubah segala aspek
kehidupan masyarakat.
2. Pemerintah Otoriter
Otoritarianisme adalah bentuk organisasisosial yang ditandai dengan
penyerahan kekuasaan (Wardaya, 2007:3). Dalam politik, suatu pemerintahan
otoriter adalah satu di mana kekuasaan politik terkonsentrasi pada suatu
pemimpin (Ismanto, 2004:11).
Otoritarianisme biasa disebut juga sebagai paham politik otoriter, yaitu
bentuk pemerintahan yang bercirikan penekanan kekuasaan hanya pada negara
atau pribadi tertentu, tanpa melihat derajat kebebasan individu (Wardaya,
2007:3).
Otoritarianisme berbeda dari totalitarianisme di lembaga-lembaga sosial
dan ekonomi yang terjadi, yang tidak di bawah kendali pemerintah. Sistem ini
biasanya menentang demokrasi, sehingga pada umumnya kuasa pemerintahan
diperoleh tanpa melalui sistem demokrasi pemilihan umum (Shepart and Robert,
2003:22).
Sistem pemerintahan otoriter lebih diasosiasikan kepada suara rezim
pemerintahan yang dipimpin oleh seseorang dengan kontrol penuh atau nyaris
penuh terhadap negaranya. Baik dia seorang presiden, perdana menteri, maupun
pejabat tinggi lain. Apabila dengan jelas mengendalikan segala bentuk kegiatan
pemerintahan dan kenegaraaannya, dia disebut diktator.
Sistem otoriter adalah rezim pemerintahan yang ditandai dengnan
pemusatan kekuatan politik di tangan sekelompok kecil elit yang tidak
memberikan pertanggungjawaban kepada masyarakat secara institusional.
26
Dalam bukunya Ethopia: A Post-Cold War African Sate, menuliskan ada
beberapa ciri pemerintahan dengan system pemerintah otoriter.
a. Infrastruktur dan fasilitas pemerintahan dikendalikan secara terpusat.
Kenyataan politik diperoleh dan dipertahankan melalui suatu sistem represif
yang menentang segala bentuk tantangan yang berpotensi menentang.
b. Suatu keputusan politis ditentukan oleh satu pihak dan berlangsung tertutup
dan penggunaan kekeatan pemerintahan yang seolah-olah tidak terbatas.
c. Pimpinan dipilih sendiri atau menyatakan diri. Walaupun ada pemilihan, hak
kebebasan masyarakat untuk memilih cenderung tidak diacuhkan.
d. Tidak ada jaminan kebebasan sipil, apalagi toleransi bagi yang ingin menjadi
oposisi.
e. Tidak ada kebebasan untuk membentuk suatu kelompok, organisasi, atau
partai politik untuk bersaing dengan kekuatan politik yang incumbent.
f. Kestabilan pemerintahan dipertahakan melalui kontrol penuh terhadap
dukungan pihak militer untuk mempertahankan keamanan terhadap
masyarakat, birokrasi dikuasai oleh orang-orang yang mendukung rezim.
Selain ciri tersebut, ciri paling khas sistem pemerintahan otoriter adalah
kekuasaan politik yang tidak terbatas atau nyaris tidak terbatas dimiliki oleh
pemimpin atau partai yang berkuasa.
3. Teori konflik
Teori konflik melihat pertikaian dan konflik dalam sistem sosial yaitu,
Teori konflik melihat bahwa di dalam masyarakat tidak akan selamanya berada
pada keteraturan. Karena konflik adalah suatu situasi ketika sasaran dan
27
kepentingan di dalam masyarakat bertentangan atau tidak sesuai, maka terjadilah
konflik (Simon, 2001:2-4).
Buktinya dalam masyarakat manapun pasti pernah mengalami konflik-
konflik atau ketegangan-ketegangan. Teori konflik juga melihat adanya
dominasi dan kekuasaan dalam masyarakat. Teori konflik juga membicarakan
mengenai otoritas yang berbeda-beda. Otoritas yang berbeda-beda ini
menghasilkan kepentingan yang berbeda-beda yang menyebabkan pergesekan-
pergesekan (2001:4).
28
Sebab-sebab utama dan sebab-sebab pemicu konflik internal.
Sebab-sebab Utama
Sebab-sebab Pemicu
Faktor-faktor Struktural
Negara yang lemah
Kekhawatiran tentang
keamanan
internal
Geografis etnis
Faktor-faktor Struktural
Negara sedang runtuh /gagal
Perubahan perimbangan kekuatan militer
Perubahan pola-pola demografis
Faktor-faktor Politik
Lembaga politik yang
deskriminatif
Ideologi nasional yang
eksklusif
Politik antar-kelompok
Politik elit
Faktor-faktor Politik
Transisi politik
Ideologi ekslusif yang semakin berpengaruh
Persaingan antar kelompok yang semakin
tajam
Pertarungan kepemimpinan yang semakin
tajam
Faktor Ekonomi /Sosial
Masalah ekonomi
Sistem ekonomi yang
deskriminatif
Pembangunan ekonomi dan
modernisasi
Faktor Ekonomi /Sosial
Masalah ekonomi yang semakin parah
Ketimpangan ekonomi dan modernisasi yang
cepat
Faktor Sosial Budaya
Pola deskriminatif budaya
Sejarah kelompok yang
bermasalah
Faktor Sosial Budaya
Pola deskriminatif budaya yang makin parah
Penghinaan etnis dan propaganda
Sumber: Michael E.Brown (1996) “The Cause and Regional Dimensions of internal
Conflict”dalam Michael E.Brown (ed.) The International Dimensions of Internal Conflict.
Massachusetts: MIT Press, hal.577.
29
Tabel 1.
Tahapan Konflik
Adanya sumber konflik
Sesuatu yang menyebabkan konflik
bisa terjadi, tetapi bukanlah penyulut
konflik
Isu/Permasalahan konflik
Ekskalasi konflik
Materi yang menjadikan konflik dapat
terjadi (pemicu konflik).
Peningkatan konflik menuju puncak
konflik. Terjadi ketika ada
peningkatan jumlah aktor dan sarana
konflik konflik.
Penurunan konflik dimana ketika konflik
menuju pada penyelesaian. Hal ini terjadi
jika aktor menarik diri dari konflik atau
terdapat pengurangan sarana konflik
Puncak konflik
Terminasi konflik
Kondisi ketika konflik mencapai pada
tingkatan tertinggi dengan adanya aktor
yang maksimal dan sarana konflik telah
maksimal.
Penyelesaian konflik
Terselesaianya konflik melalui negosiasi (tukar
menukar informasi dan kepentingan), mediasi
(Penengahan konflik melalui pihak ketiga), arbitrasi
(pengambilan keputusan dalam penyelesaian konflik
oleh pihak ketiga yang ditunjuk pelaku konflik.
30
Konflik dapat meluas sehingga melibatkan lebih banyak pihak, wilayah
yang lebih luas, dan isu yang lebih banyak hal ini dapat terjadi, suatu konflik
yang pada awalnya hanya melibatkan dua pihak dan satu isu, bisa berkembang
sehingga melibatkan lebih banyak aktor, dan juga bertambah banyak isu yang
dipertentangkan. Hasil dan akibat yang ditimbulkan bisa bersifat fisik seperti
korban tewas, kerusakan lingkungan, maupun akibat yang bersifat non fisik
seperti menguatnya trauma, pengelompokan, dan lainnya. Masalah yang
dihadapi Libya merupakan hasil dari ketidakpuasan rakyat terhadap
kepemimpinan Khadafi selama 42 tahun yang tidak membawa mereka kepada
kehidupan yang sejahtera dan bahkan telah membawa rakyat Libya dalam
kediktatoran (Simon, 2001:38).
Hal itu menimbulkan pergesekan-pergesekan dalam hubungan antara
pemerintah terhadap rakyat yang menginginkan perubahan. Konflik yang
dihadapi Libya berkembang menjadi konflik bersenjata yang menimbulkan
banyak pelanggaran dan banyak korban. Konflik yang terjadi di Libya dapat
digunakan beberapa konsep yang kemudian dapat membantu dalam
menganalisisnya. Alat bantu tersebut antara lain adalah: (Lihat halaman 31)
31
Tabel 2.
Diagram Konflik
Pertama: Konsep Diagram Konflik. Konsep ini merupakan cara yang
paling baik digunakan dalam kelompok, yaitu secara bersama. Jika anda sudah
mengenal “Tabel Masalah” dengan baik melalui kegiatan pembangunan dan
pengembangan masyarakat, anda akan tahu bahwa kami mengutip dan
mengadopsinya untuk menganalisis konflik (Simon, 2001:29).
Dalam banyak konflik, ada banyak pendapat mengenai hal-hal berikut:
a). Apa masalahnya? b). Apa sebab-sebab awalnya? c). Efek apa yang muncul
akibat masalah ini? d). Isu apa yang paling berkembang? Tabel konflik
menyajikan suatu metode bagi suatu tim, organisasi, kelompok, atau masyarakat
untuk mengidentifikasi isu yang masing-masing dipandang penting dan
Motif Sejarah
Motif Dikekangnya kebebasan
rakyat
Pelanggaran HAM
Motif Keberhasilan Negara
tetangga
Inti permasalahan
Terancamnya
Keamanan warga asing
di libya
Perebutan kekuasaan Efek
Gelombang Protes
Kekerasan oleh Militer
Korban Berjatuhan
Minyak dunia Naik
32
selanjutnya dipisahkan dalam tiga kategori sebagai berikut: penyebab, masalah-
masalah inti, dan berbagai efeknya. Berkaitan dengan penelitian terhadap proses
revolusi yang terjadi di Libya, dengan menggunakan analogi tabel konflik
kemudian akan dicari hal-hal yang menjadi penyebab, inti permasalahan, serta
efek atau dampak yang ditimbulkan dari gerakan revolusi di Libya itu sendiri.
Kedua: Konsep Diagram Konflik. Alat bantu ini diperlukan saat anda
mulai menganalisis berbagai konflik yang tingkatnya lebih dari satu. Metode ini
menggunakan sebuah segitiga yang terdiri dari masing-masing tingkat (karena
masing-masing tingkat terdiri dari tingkat elit, menengah, dan bawah).
Menggunakan metode ini, dapat dilihat beberapa tujuan dalam pemakaian
analogi Piramida Konflik (Simon, 2001:33), diantaranya:
a. Untuk mengidentifikasi pelaku-pelaku utama, termasuk kepemimpinan pada
masing-masing tingkat.
b. Untuk memutuskan pada tingkatan mana anda sedang mengatasi konflik
sekarang, dan bagaimana anda melibatkan tingkat-tingkat yang lainnya.
c. Untuk menilai tipe pendekatan tepat yang dilakukan pada masing-masing
tingkat.
d. Untuk mempertimbangkan cara-cara membangun kaitan antartingkat.
e. Untuk mengidentifikasi para sekutu yang potensial di masing-masing tingkat.
Konsep ini dapat digunakan untuk menjelaskan pihak-pihak yang
berkonflik dalam proses revolusi yang terjadi di Libya, terutama untuk
menemukan faktor-faktor internal yang terdapat pada masing-masing tingkat
dalam revolusi Libya sesuai dengan apa yang telah dipaparkan dalam analogi
Piramida Konflik.
33
Ketiga: Konsep Resolusi Konflik. Konflik dapat dilatar belakangi oleh
banyak hal, baik penyebab dari dalam maupun dari luar. Konflik internal suatu
negara biasa disebabkan oleh banyak hal, baik konflik politik, ekonomi,
perdagangan, etnis, perbatasan, dan sebagainya. Tentulah kedua belah pihak
maupun pihak luar yang menyaksikan, menginginkan agar konflik tersebut
segera diakhiri (Simon, 2001:34).
Dalam setiap konflik selau dicari jalan penyelesaian. Konflik terkadang
dapat diselesaikan oleh kedua belah pihak yang bertikai secara langsung. Namun
tak jarang pula harus melibatkan pihak ketiga untuk menengahi dan mencari
jalan keluar. Resolusi konflik adalah suatu proses analitis dan penyelesaian
masalah yang mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan individu dan kelompok
seperti identitas dan pengakuan, juga perubahan-perubahan institusi yang yang
diperlukan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan.
Menurut Johan Galtung (2007:17), ada tiga tahapan dalam penyelesaian
konflik, yaitu:
1. Peace keeping, adalah proses menghentikan atau mengurangi aksi kekerasan
melalui intervensi militer yang menjalankan peran sebagai penjaga
perdamaian yang ideal.
2. Peace making, adalah proses yang bertujuan untuk mempertemukan atau
merekonsiliasi sikap politik dan strategi dari pihak-pihak yang bertikai
melalui, mediasi, negoisasi, arbitrasi terutama pada level elit atau pimpinan.
3. Peace building, adalah proses implementasi perubahan atau proses
rekonstruksi sosial, politik, dan ekonomi demi terciptanya perdamaian yang
sempurna. Melalui proses Peace building berubah menjadi Positive Peace
34
dimana masyarakat merasakan adanya keadilan sosial, kesejahteraan
ekonomi, dan keterwakilan politik yang efektif.
F. Tinjauan Pustaka
Tinjauan pustaka yang dilakukan oleh peneliti dilakukan dengan cara
mengklasifikasikan pustaka yang sudah ada, baik dari skripsi ataupun buku
referensi. Klasifikasi dilakukan guna untuk mempermudah dalam mengidentifikasi.
Skripsi yang berjudul “Faktor penyebab revolusi di Libya pada masa runtuhnya
pemerintahan Kadhafi” belum pernah ada sebelumnya, khususnya dari Mahasiswa
Sastra Arab Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sebelas Maret Surakarta. Akan
tetapi ada beberapa skripsi yang membahas tentang Revolusi Libya Masa
Pemerintahan Khadafi.
Adapun buku-buku yang di jadikan rujukan penulis yang menyusun sekripsi
ini diantaranya adalah buku yang berjudul Arab Spring Badan Revolusi Timur
Tengah yang Penuh Darah. Buah karya M. Agasitya ABM, Jogjakarta. 2013. Buku
ini terdiri dari berbagai faktor, yaitu tentang kilas balik sebelum revolusi Libya.
Bagian selanjutnya adalah fokus untuk membahas peranan Khadafi dalam
perjalanan revolusi hingga runtuhnya pemimpin Libya Khadafi.
Buku yang berjudul Intervensi NATO di Libya. Karya Nur Luthfi
Hidayatulloh, Malang, 2013. Buku ini memaparkan bagaimana peran NATO dan
NTC dalam peranan revolusi Libya. Dan buku ini sangat detail dalam
penjelasannya.
Mengenai sebab terjadinya revolusi di Libya hingga jatuhnya kekuasaan
rezim Khadafi dibahas dalam sebuah artikel yang ditulis oleh Apriadi Tambuaka
berjudul Revolusi Libya dimuat dalam bukunya yang berjudul Revolusi Timur
35
Tengah Kejatuhan Para Penguasa Otoriter di negara-negara Timur Tengah
terbitan Narasi, tahun 2011. Tulisan dalam artikel ini memaparkan awal mula
sebelum terjadinya revolusi hingga aksi demonstrasi yang dilakukan rakyat Libya.
Revolusi Libya merupakan serangkaian peristiwa berdarah yang menyebabkan
banyak korban tewas dari rakyat sipil. Pemberontakan yang dilakukan rakyat Libya
merupakan bentuk kekecewaan terhadap Khadafi sebagai pemimpin yang dianggap
otoriter. Perjalanan Khadafi sebagai pemimpin yang berkuasa selama 42 tahun
hingga akhirnya rezim otoriternya berakhir dan pemerintahan Libya diambil alih
oleh Pemerintah sementara yang disebut sebagai N.T.C. (National Transition
Council) dipimpin oleh Mustafa Abdel-Jalil serta campur tangan negara-negara
Barat yang diperkuat oleh N.A.T.O menjadikan revolusi Libya 2011 menjadi
revolusi paling berdarah.
G. Sumber Data
1. Sumber Data
Sumber data adalah naskah. Sumber data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah data kepustakaan yakni berupa buku, artikel, dan lain
sebagainya. Diperjelas dengan sebagai berikut:
a. Sumber Data Primer
Sumber data primer adalah “sumber data utama dalam penelitian
kualitatif adalah kata-kata dan tindakan, selebihnya adalah data tambahan
seperti dokumen dan lain-lain” Menurut Lofland, (1984:47).
Sumber data primer dalam penelitian ini adalah buku adalah buku
Arab Spring Badan Revolusi Timur Tengah yang Penuh Darah. Buah
36
karya M. Agasitya ABM, Jogjakarta.2013. Buku Intervensi NATO di
Libya. Karya Nur Luthfi Hidayatulloh, Malang, 2013.
b. Sumber Data Sekunder
Sumber data sekunder merupakan pengumpulan data yang
diperoleh dengan mengutip sumber lain untuk melengkapi sumber primer.
Sedangkan data sekunder adalah data yang berasal dari sumber-sumber
lain seperti sumber bacaan, referensi internet dan yang lain (Moleong,
2002:113). Sumber data sekunder dalam penelitian ini adalah Sumber
tertulis, dilihat dari sumber data, bahan tambahan yang berasal dari sumber
tertulis dapat dibagi atas sumber buku dan majalah, sumber dari arsip,
dokumen pribadi, dan dokumen resmi.
H. Metode dan Teknik Penelitian
Metodologi penelitian merupakan unsur yang sangat penting dalam sebuah
penelitian. Metodologi memiliki dua pengertian, Pertama, sebagai ilmu mengenai
metode, yang berkaitan dengan etimologi, asal-usul kata. Kedua, proses yang
dilakukan sejak awal hingga akhir penelitian, yaitu keseluruhan cara, seperti teori,
metode dan teknik, termasuk cara penyajiannya bahkan juga penggunaan
bahasanya (Ratna, 2010: 40-41).
1. Metode Penelitian
Metode berasal dari bahasa latin yaitu methodos berasal dari akar kata
meta dan hodos. Meta berarti menuju, melalui, mengikuti, sesudah, sedangkan
hodos berarti jalan, cara, arah. Metode dalam pengertian luas diartikan sebagai
cara-cara, strategi untuk memahami realitas, langkah-langkah sistematis, untuk
memecahkan rangkaian sebab akibat berikutnya. Metode berfungsi untuk
37
menyederhanakan masalah, sehingga lebih mudah untuk dipecahkan dan
dipahami (Ratna, 2010: 84).
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
penelitian sejarah atau disebut dengan metode historis. Gilbert J. Garraghan
mengemukakan metode penelitian sejarah sebagai seperangkat aturan dan
prinsip sistematis, untuk mengumpulkan sumber-sumber sejarah secara efektif,
menilainya secara kritis dan mengajukan sintesis dari hasil-hasil yang dicapai
dalam bentuk tertulis (Abdurrahman, 1999:43). Pendekatan yang digunakan
dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Senada dengan pendapat
menurut Bogdan dan Taylor yang menyatakan bahwa kualitatif adalah metode
yang pada gilirannya menghasilkan data deskriptif dalam bentuk kata-kata,
baik dalam bentuk tertulis maupun lisan (Ratna, 2010: 84).
Berdasarkan uraian di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa
penelitian ini berusaha merekonstruksi sejarah di masa lampau mengenai faktor
penyebab revolusi Libya pada masa runtuhnya pemerintahan Khadafi pada
tahun 2011. Tahapan penelitian ini yaitu, mengumpulkan sumber-sumber data
yang berkaitan dengan obyek penelitian, kemudian menganalisis bukti atau
jejak sejarah tersebut hingga diperoleh fakta-fakta sejarah yang lengkap dan
akurat, selanjutnya dapat dilakukan penulisan sejarah secara sistematis.
2. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah telaah pustaka atau
library research, yaitu cara pengumpulan data teoritis dengan menelaah
sejumlah literatur yang berhubungan dengan masalah yang diteliti baik berupa
buku, jurnal, dokumen, makalah, laporan, majalah, surat kabar dan artikel yang
38
berhubungan dengan masalah ini. Data diperoleh melalui perpustakaan yaitu
Perpustakaan Pusat Universitas Sebelas Maret Surakarta, Perpustakaan Pusat
Universitas Gajah Mada Yogyakarta, Perpustakaan Fakultas Ilmu Budaya
Yogyakarta, Perpustakaan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Sebelas
Maret Surakarta, Perpustakaan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sebelas
Maret Surakarta serta dari pengumpulan informasi dari koran, jurnal, dan
majalah, baik yang bisa didapatkan langsung ataupun yang diakses melalui
internet.
3. Jenis data
Teori adalah serangkaian bagian atau variabel, definisi, dan dalil yang
saling berhubungan yang menghadirkan sebuah pandangan sistematis
mengenai fenomena dengan menentukan hubungan antar variabel, dengan
menentukan hubungan antar variabel, dengan maksud menjelaskan fenomena
alamiah. (Labovitz, Hagedorn, 1982:120) mendefinisikan teori sebagai ide
pemikiran “pemikiran teoritis” yang mereka definisikan sebagai “menentukan”
bagaimana dan mengapa variable-variabel dan pernyataan hubungan dapat
saling berhubungan. Berdasarkan teknik pengumpulan data yang akan
dilakukan, maka jenis data yang akan digunakan dalam penelitian ini berupa
data teoritis yang berhubungan dengan masalah dalam penelitian ini. Data ini
diperoleh dari berbagai literatur dan hasil olahan dari berbagai sumber dan
instansi terkait yang telah disebutkan sebelumnya. Data teoritis ini yang akan
dianalisis untuk menjawab permasalahan dalam penelitian.
39
4. Teknik Analisis Data
Dalam penelitian ini penulis menggunakan teknik analisis data
kualitatif, dimana penulis akan menjelaskan permasalahan berdasarkan data
teoritis yang diperoleh. Angka-angka statistik hanya digunakan sebagai data
pendukung dari data teoritis yang dipaparkan.
5. Metode penulisan
Metode penulisan yang digunakan penulis adalah metode deduktif,
dimana penulis memulai pembahasan dengan menggambarkan masalah
secara umum, lalu kemudian memaparkan secara khusus pengaruh dari
masalah yang terlebih dahulu digambarkan.
I. Sistematika Penulisan
Untuk memperoleh karya tulis ilmiah yang sistematis diperlukan sebuah
paparan yang jelas, maka penulisan ini dikelompokkan menjadi beberapa bab agar
mudah dipahami oleh pembaca. Penulisan sekripsi ini di bagi menjadi tiga bab yang
saling berkaitan antara satu dengan yang lainnya.
Bab I Pendahuluan
Yang berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat
penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, sumber data, metode
penelitian dan sistematika penulisan. Bab ini merupakan landasan
pemikiran penelitian dan menjadi sumber prosedur dalam penelitian
karena untuk melanjutkan bab selajutnya.
Bab II Pembahasan mengenai isi rumusan masalah.
Pembahasan terdiri dari dua sub bab. Sub bab Pertama ada tiga poin, poin
pertama menguraikan tentang pra-revolusi, kronologi revolusi Libya dan
40
pasca revolusi Libya. Pembahasan ini bertujuan untuk mengetahui
bagaimana keadaan Libya sebelum revolusi berlangsung selain itu dapat
mengetahui juga bagaimana kronologi yang mengakibatkan terjadinya
revolusi, dan melihat pasca revolusi dari aspek sosial, politik,
pemerintahan, ekonomi dan keamanan yang telah ditinggal dari
kepemimpinan Khadafi. Poin kedua, membahas bentuk Intervensi NATO
di Libya. Dimana dalam intervensi tersebut memiliki enam poin penting
yang menjadi terjadinya Intervensi NATO di Libya.
Bab III Penutup
Bab ini berisi kesimpulan dan saran. Kesimpulan merupakan analisis dan
jawaban dari masalah yang sudah dibahas. Dan saran ini ditujukan kepada
pihak yang ingin mengadakan penelitian serupa.
top related