BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/58821/3/BAB 2.pdf · absorptif yang kronis, katabolisme protein dan lemak, dan kelaparan relatif sel. 2.1.7 Diagnosis Diabetes
Post on 27-Oct-2020
4 Views
Preview:
Transcript
5
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Diabetes Melitus
2.1.1 Definisi Diabetes Melitus
Diabetes melitus merupakan suatu penyakit gangguan metabolik yang
disebabkan dari ketidakseimbangan metabolisme karbohidrat, protein dan lemak,
yang ditandai dengan kadar glukosa darah yang melebihi normal dan biasanya
diakibatkan karena pankreas tidak dapat memproduksi cukup insulin dan atau
tubuh tidak dapat menggunakan insulin yang diproduksi secara efektif
(PERKENI, 2015 ; Kemenkes RI, 2019). Berbagai komplikasi dapat timbul akibat
kadar gula yang tidak terkontrol, seperti neuropati, nefropati, retinopati, jantung
koroner, dan lain sebagainya (Irawan, 2010).
2.1.2 Epidemiologi Diabetes Melitus
Prevalensi diabetes melitus terus meningkat, estimasi terakhir IDF
(International Diabetes Federation) terdapat 382 juta orang yang hidup dengan
diabetes melitus di dunia pada tahun 2013, sedangkan pada tahun 2035 jumlah
tersebut diperkirakan akan meningkat menjadi 592 juta orang. Diperkirakan dari
382 juta orang tersebut, 175 juta diantaranya belum terdiagnosis dan terancam
berkembang progresif menjadi komplikasi tanpa disadari dan tanpa pencegahan.
Menurut Riskesdas 2013, dari 6,9% penderita diabetes melitus yang
didapatkan, 30,4% yang telah terdiagnosis sebelumnya dan 69,6% tidak
terdiagnosis sebelumnya. Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 2001
6
mendapatkan prevalensi diabetes melitus pada penduduk usia 25-64 tahun di Jawa
dan Bali sebesar 7,5% (Kemenkes RI, 2013).
(Ramlo&Edelman, 2000)
Gambar 2.1 Natural History Of Type 2 Diabetes Mellitus
National Diabetic Statistic Report tahun 2014 mengatakan bahwa >29 juta
orang yang menderita diabetes melitus di Amerika Serikat, tetapi hampir tiga kali
lipat lebih banyak orang yang menderita pre-diabetes (CDC, 2017). Diperkirakan
bahwa pada saat seseorang didiagnosis diabetes melitus, dia sebenarnya telah
menderita penyakit ini selama 9 tahun atau lebih. Pada pasien dengan pre-
diabetes, Post Prandial Glocose (PPG)-merupakan kadar glukosa darah setelah
makan yang biasanya meningkat dengan puncaknya pada 1 jam postprandial dan
setelah itu kadarnya akan berangsur-angsur turun dan kadar glukosa darah pada 2
jam postprandial mendekati kadar glukosa darah puasa, dimana pada natural
history of type 2 diabetes mellitus menunjukkan bahwa kadar PPG meningkat dan
juga peningkatan sekresi insulin sel beta pankreas. Namun karena kadar PPG tetap
meningkat dalam waktu lama dari periode waktu normal, tubuh tidak dapat secara
7
efektif dan efisien menggunakan glukosa darah yang bersirkulasi meskipun
insulin yang tersedia terlalu banyak. Sehingga pasien sering mengalami
hiperglikemia dan hiperinsulinemia selama pre-diabetes dan tahap awal
terdiagnosis diabetes melitus karena resistensi insulin tersebut. Sel-sel beta
pankreas terus bekerja lebih keras untuk menghasilkan lebih banyak insulin,
namun tidak mampu mempertahankan beban kerja yang berlebih dan juga tidak
dapat berfungsi secara efektif. Akibatnya, sebagian besar individu yang baru
terdiagnosis diabetes melitus telah kehilangan 50%-80% dari fungsi sel beta
pankreas. (DeFronzo, 2009).
2.1.3 Etiologi Diabetes Melitus
Faktor resiko diabetes melitus bisa dikelompokkan menjadi faktor resiko yang
tidak dapat dimodifikasi dan yang dapat dimodifikasi. Faktor resiko yang tidak
dapat dimodifikasi adalah ras dan etnik, usia, jenis kelamin, riwayat keluarga
dengan diabetes melitus, riwayat melahirkan bayi makrosomi, dan riwayat
melahirkan bayi BBLR (Kemenkes RI, 2013). Risiko menderita intoleransi
glukosa akan meningkat seiring dengan meningkatnya usia, dimana fungsi tubuh
secara fisiologis makin menurun dan terjadi penurunan sekresi atau resistensi
insulin sehingga kemampuan fungsi tubuh untuk mengendalikan kadar glukosa
darah yang tinggi kurang optimal (Gusti and Ema, 2014). Pada faktor resiko
riwayat keluarga, ibu yang terkena diabetes melitus mempunyai risiko lebih besar
10-30% dari pada ayah dengan diabetes melitus dikarenakan penurunan gen
sewaktu dalam kandungan lebih besar dari seorang ibu (Trisnawati, 2013). Bayi
yang lahir dengan berat badan rendah mempunyai risiko yang lebih tinggi
8
dibandingkan dengan bayi lahir dengan berat badan normal, karena bayi dengan
berat badan lahir rendah dimungkinkan memliki kerusakan pankreas sehingga
kemampuan pankreas untuk memproduksi insulin akan terganggu (Kemenkes RI,
2008).
Sedangkan faktor resiko yang dapat dimodifikasi erat kaitannya dengan
perilaku hidup yang kurang sehat, antara lain obesitas, aktivitas fisik yag kurang,
hipertensi, dislipidemia, diet tidak sehat maupun tidak seimbang, riwayat
Toleransi Glukosa Terganggu (TGT) dan Gula Darah Puasa (GDP) terganggu,
serta merokok (Kemenkes RI, 2013). Pada orang yang menderita obesitas, dalam
tubuhnya terjadi peningkatan pelepasan asam lemak bebas (Free Fatty Acid/ FFA)
dari lemak visceral yaitu lemak pada rongga perut yang lebih resisten terhadap
efek metabolik insulin dan juga lebih sensitif terhadap hormon lipolitik.
Peningkatan FFA menyebabkan hambatan kerja insulin sehingga terjadi
kegagalan uptake glukosa ke dalam sel yang memicu peningkatan produksi
glukosa hepatik melalui proses glukoneosis (Kemenkes RI, 2008).
2.1.4 Klasifikasi Diabetes Melitus
Menurut Infodatin terdapat dua kategori utama diabetes melitus yaitu
diabetes melitus tipe 1 dan diabetes melitus tipe 2. Diabetes melitus tipe ditandai
dengan kurangnya produksi insulin. Sedangkan diabetes melitus tipe 2 disebabkan
dari penggunaan insulin yang kurang efektif oleh tubuh dan merupakan 90% dari
seluruh diabetes melitus (Kemenkes RI, 2013).
Klasifikasi diabetes melitus menurut American Diabetes Association
(ADA) 2009 yag terbagi dalam empat kategori (ADA, 2009).
9
Table 2.1—Etiologic classification of diabetes mellitus
I. Type 1 diabetes (_-cell destruction, usually leading to absolute insulin deficiency)
A. Immune mediated
B. Idiopathic
II. Type 2 diabetes (may range from predominantly insulin resistance with relative insulin
deficiency to a predominantly secretory defect with insulin resistance)
III. Other Spesific Types
A. Genetic defects of _-cell function
1. Chromosome 12, HNF-1_ (MODY3)
2. Chromosome 7, glucokinase (MODY2)
3. Chromosome 20, HNF-4_ (MODY1)
4. Chromosome 13, insulin promoter factor-1 (IPF-
1; MODY4)
5. Chromosome 17, HNF-1_ (MODY5)
6. Chromosome 2, NeuroD1 (MODY6)
7. Mitochondrial DNA
B. Genetic defects in insulin action
1. Type A insulin resistance
2. Leprechaunism
3. Rabson-Mendenhall syndrome
4. Lipoatrophic diabetes
C. Diseases of the exocrine pancreas
1. Pancreatitis
2. Trauma/pancreatectomy
3. Neoplasia
4. Cystic fibrosis
5. Hemochromatosis
6. Fibrocalculous pancreatopathy
D. Endocrinopathies
1. Acromegaly
2. Cushing’s syndrome
3. Glucagonoma
4. Pheochromocytoma
5. Hyperthyroidism
6. Somatostatinoma
7. Aldosteronoma
E. Drug or chemical induced
1. Vacor
2. Pentamidine
3. Nicotinic acid
4. Glucocorticoids
5. Thyroid hormone
6. Diazoxide
7. Adrenergic agonists
8. Thiazides
9. Dilantin
10. Interferon
F. Infections
1. Congenital rubella
2. Cytomegalovirus
G. Uncommon forms of immune-mediated diabetes
1. “Stiff-man” syndrome
2. Anti-insulin receptor antibodies
H. Other genetic syndromes sometimes associated with diabetes
1. Down syndrome
2. Klinefelter syndrome
3. Turner syndrome
4. Wolfram syndrome
5. Friedreich ataxia
6. Huntington chorea
7. Laurence-Moon-Biedl syndrome
8. Myotonic dystrophy
9. Porphyria
10. Prader-Willi syndrome
IV. Gestational diabetes mellitus
Patients with any form of diabetes may require insulin treatment at some stage of their disease.
Such use of
insulin does not, of itself, classify the patient.
(ADA, 2009)
Tabel 2.1 Klasifikasi Diabetes Melitus
10
2.1.5 Patofosiologi Diabetes Melitus
2.1.5.1 Diabetes Melitus tipe 1
Pada diabetes melitus tipe 1 terdapat kekurangan insulin absolut
dari adanya lesi pada sel beta pankreas akibat mekanisme autoimun,
sehingga pasien membutuhkan suplai insulin dari luar. (Silbernagl and
Lang, 2007).
(Dikutip dari: Silbernagl and Lang, 2007)
Gambar 2.2 Patofisiologi DM tipe 1
2.1.5.2 Diabetes Melitus tipe 2
Pada diabetes melitus tipe 2 tidak mutlak bergantung pada suplai
insulin dari luar (Silbernagl and Lang, 2007). Pada pasien diabetes melitus
tipe 2 terdapat kelainan dalam pengikatan insulin dengan reseptor yang
diakibatkan dari berkurangnya jumlah tempat reseptor yang responsif
insulin dengan sistem transpor glukosa. Selain itu, obesitas juga
menyebabkan gangguan transpor glukosa oleh insulin (Price et al., 2006).
Obesitas terjadi karena disposisi genetik, asupan makanan yang
terlalu banyak dan aktivitas fisik yang terlalu sedikit. Ketidakseimbangan
11
antara suplai dan pengeluaran energi meningkatkan konsentrasi asam
lemak didalam darah yang akan menurunkan penggunaan glukosa di otot
dan jaringan lemak sehingga terjadi resistensi insulin yang memaksa untuk
meningkatkan pelepasan insulin. Penyebab yang lebih penting adalah
disposisi genetik yang menurunkan sensitivitas insulin, terutama
mempengaruhi efek insulin pada metabolisme glukosa, sedangkan
pengaruhnya pada metabolisme lemak dan protein tetap dipertahankan
dengan baik (Silbernagl and Lang, 2007)
(Dikutip dari: Silbernagl and Lang, 2007)
Gambar 2.3 Patofisiologi DM tipe 2
2.1.6 Gejala Klinis
Beberapa gejala dari diabetes melitus adalah sebagai berikut:
(Corwin, 2009)
1. Poliuria (peningkatan pengeluaran urin), terjadi karena air mengikuti
glukosa yang keluar melalui urin.
2. Polidipsia (peningkatan rasa haus), terjadi akibat volume urin yang
sangat besar dan keluarnya air yang menyebabkan dehidrasi ekstrasel
12
dan intrasel, sehingga menstimulasi pengeluaran hormon antidiuretik
dan menimbulkan rasa haus.
3. Rasa lelah dan kelemahan otot, terjadi akibat katabolisme protein di
otot dan ketidakmampuan sebagian besar sel untuk menggunakan
glukosa sebagai energi. Aliran darah yang buruk pada pasien diabetes
melitus kronis juga berperan menyebabkan kelelahan.
4. Polifagia (peningkatan rasa lapar), terjadi akibat keadaan pasca
absorptif yang kronis, katabolisme protein dan lemak, dan kelaparan
relatif sel.
2.1.7 Diagnosis Diabetes Melitus
Diagnosis diabetes melitus harus berdasarkan pada pemeriksaan kadar
glukosa darah, dan dalam menentukan diagnosis diabetes melitus harus
diperhatikan asal bahan darah yang diambil dan cara pemeriksaan yang dipakai.
Untuk mendiagnosis, pemeriksaan yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa
darah dengan cara enzimatik dengan bahan darah plasma vena (Soelistijo, 2015).
Terdapat perbedaan uji diagnostik diabetes melitus dan pemeriksaan
penyaring. Uji diagnostik diabetes melitus dilakukan pada mereka yang
menunjukkan gejala/tanda diabetes melitus, sedangkan pemeriksaan penyaring
bertujuan untuk mengidentifikasi mereka yang tidak bergejala yang mempunyai
resiko diabetes melitus. Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan melalui
pemeriksan kadar glukosa darah sewaktu atau kadar glukosa darah puasa,
kemudian dapat diikuti dengan tes toleransi glukosa oral (TTGO) standart
(Gustaviani, 2006).
13
Tabel 2.2 Kadar Glukosa Darah Sewaktu dan Puasa sebagai Diagnosis
Diabetes Melitus Bukan
Diabetes Melitus
Belum Pasti
Diabetes Melitus
Diabetes
Melitus
Kadar glukosa darah
sewaktu (mg/dL)
Plasma vena darah
kapiler (mg/dL)
<110
<90
110-199
90-199
≥200
≥200
Kadar glukosa darah
puasa (mg/dL)
Plasma vena darah
kapiler (mg/dL)
<110
<90
110-125
90-109
≥126
≥110
(Gustaviani, 2006)
Diagnosis klinis diabetes melitus umumnya akan dipikirkan bila ada
keluhan khas diabetes melitus berupa poliuria, polifagia, polidipsia dan penurunan
berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya. Keluhan lain yang mungkin
dikemukakan pasien adalah lemah, kesemutan, gatal, mata kabur dan disfungsi
ereksipada pria serta pruritus vulva pada pasien wanita. Pasien dengan keluhan
khas, pemeriksaan glukosa darah sewaktu >200 mg/dl sudah cukup untuk
menegakkan diagnosis diabetes melitus. Hasil pemeriksaan kadar glukosa darah
puasa >126 mg/dl juga dapat digunakan untuk patokan diagnosis diabetes melitus.
Pasien tanpa keluhan khas diabetes melitus, hasil pemeriksaan glukosa darah yang
baru satu kali saja abnormal, belum cukup kuat untuk menegakkan diagnosis
diabetes melitus sehingga diperlukan dua kali pemeriksaan glukosa darah
abnormal (Setiati et al., 2015).
2.1.8 Komplikasi Diabetes Melitus
Pada pasien diabetes melitus menyebabkan kadar gula darah yang tinggi
akibat dari menurunnya pengambilan glukosa oleh jaringan otot dan adiposa serta
peningkatan pelepasan glukosa dari hati, sehingga otot tidak mendapatkan energi
dari glukosa dan sebagai kompensasinya akan membakar lemak dan protein.
14
Dampak yang lebih jauh dapat terjadi komplikasi secara biokimia yang
menyebabkan kerusakan jaringan atau dari komplikasi tersebut akibat adanya:
(Prawiro, 2013).
1. Glikosilasi : kadar gula yang tinggi memudahkan ikatan glukosa pada
berbagai protein yang dapat irreversible yang sering mengganggu fungsi
protein.
2. Jalur poliol (peningkatan aktifitas aldose reduktase) : jaringan
mengandung aldose reduktase (saraf, ginjal, lensa mata) dapat
menyebabkan metabolisme kadar gula yang tinggi menjadi sorbitol dan
fruktosa. Produk jalur poliol ini akan berakumulasi dalam jaringan yang
terkena sehingga menyebabkan bengkak osmotik dan kerusakan sel.
Kelainan metabolik pada definisi insulin absolut atau relatif yang tidak
diterapi secara adekuat dalam waktu beberapa tahun atau dekade akan
menyebabkan perubahan-perubahan yang luas dan bersifar irreversible di dalam
tubuh (Silbernagl and Lang, 2007).
Komplikasi diabetes melitus dapat dibagi menjadi dua kategori mayor, yaitu
komplikasi metabolik akut dan komplikasi vaskular jangka panjang. Komplikasi
metabolik akut disebabkan oleh perubahan yang relatif akut dari konsentrasi
glukosa plasma, sedangkan komplikasi vaskular jangka panjang melibatkan
pembuluh-pembuluh kecil (mikroangiopati/mikrovaskuler) dan pembuluh-
pembuluh sedang dan besar (makroangiopati/makrovaskuler) (Price et al., 2006).
Glukosa yang berikatan dengan protein golongan amino bebas akan
membentuk Advanced Glication End Products (AGEs), dan jika AGEs berikatan
15
dengan reseptor pada membran sel akan menyebabkan deposisi kolagen di
membrana basalis. Rangsangan oleh Transforming Growth Factor (TGF-β) juga
dapat menyebabkan deposisi kolagen di membrana basalis. Kedua perubahan ini
menyebabkan penebalan membrana basalis dengan penurunan permeabilitas dan
penyempitan lumen yang dapat mengakibatkan mikroangipati (Silbernagl and
Lang, 2007). Komplikasi mikrovaskuler diabetes melitus di Indonesia terdiri atas
neuropati 63,5%, retinopati 42%, dan nefropati 7,3% (Yuhelma et al., 2015).
2.2 Neuropati Diabetik
2.2.1 Definisi Neuropati Diabetik
Neuropati diabteik merupakan kegagalan saraf dalam membawa informasi
dari dan menuju otak dan medula spinalis sehingga dapat menyebabkan rasa
nyeri, kehilangan sensasi, dan ketidakmampuan untuk mengontrol kerja otot
(Prawiro, 2013). Neuropati diabetik adalah penyakit klinis atau subklinis dari
saraf tepi sebagai kelanjutan diabetes melitus tanpa penyebab patogen lainnya,
dan dapat mempengaruhi sistem saraf somatik dan otonom (Haslbeck, 2004).
Neuropati diabetik merupakan salah satu komplikasi mikrovaskuler akibat
gangguan saraf yang disebabkan dari kenaikan gula darah persisten dan dialami
50% dari jumlah pasien diabetes melitus tipe 2 (Souza, 2015).
2.2.2 Epidemiologi Neuropati Diabetik
Neuropati Diabetik merupakan komplikasi kronik yang paling sering terjadi
pada penderita diabetes melitus, insidensi pada diabetes melitus tipe 1 maupun
tipe 2 terjadi antara 60% sampai 70% (Lemone and Burke, 2008). Prevalensi
16
neuropati diabetik meningkat dari 16,8% pada penderita diabetes melitus <4 tahun
menjadi 52,6% setelah >25 tahun menderita diabetes melitus (Perkins, 2010).
2.2.3 Faktor Resiko Neuropati Diabetik
Berikut beberapa faktor resiko terjadinya neuropati diabetika, antara lain:
a. Lamanya menderita diabetes melitus, semakin lama seseorang menderita
diabetes melitus semakin meningkat juga risiko mengalami komplikasi.
Pada pasien diabetes melitus terjadi kelainan sel saraf yang terdapat pada
sel-sel schwan, selaput myelin, dan akson, dimana dapat ditemukan
gambaran kerusakan berupa demyelinisasi segmental, kerusakan akson dan
penebalan membran basal yang mengelilingi permukaan sel schwan
(Duby, 2004). Lama menderita diabetes melitus diabetes melitus berkaitan
dengan penurunan fungsi sel beta pankreas dan akan berdampak pada
produksi insulin. Berkurangnya jumlah produksi insulin dalam darah akan
menurunkan proses glikolisis di dalam sel, sehingga glukosa tidak terserap
oleh sel dan akan menyebabkan peningkatan akumulasi glukosa pada
pembuluh darah dan hiperglikemi (Guyton, 2007).
b. Jenis kelamin, perempuan memiliki risiko yang lebih besar mengalami
komplikasi neuropati diabetik dikarenakan perempuan merupakan faktor
risiko terjadinya penyakit diabetes melitus. Jumlah wanita yang menderita
diabetes melitus lebih banyak dibandingkan laki-laki, hal ini karena tingkat
sensitifitas terhadap kerja insulin pada otot dan hati. Dikarenkan wanita
memiliki hormon esterogen, dimana peningkatan dan penurunan kadar
hormon esterogen dapat mempengaruhi kadar glukosa darah. Pada saat
17
kadar hormon esterogen mengalami peningkatan maka tubuh akan menjadi
resisten terhadap insulin (Brunner and Suddarth, 2014 ; Pelt and Beck,
2012).
c. Hipertensi, dapat membuat sel tidak sensitif terhadap insulin dimana
insulin berperan dalam meningkatkan ambilan glukosa di beberapa sel
sehingga apabila insulin tidak berfungsi normal akan menyebabkan aliran
darah ke bagian perifer juga mengalami gangguan (Azzahra, 2014). Pada
penderita dengan hipertensi esensial dapat terjadi gangguan fungsi endotel
dan peningkatan permeabilitas endotel dimana akan berpengaruh terhadap
aterogenesis. Disfungsi endotel akan meningkatkan tahanan perifer dan
penurunan kadar NO (nitric oxide) yang akan menyebabkan terjadinya
stres oksidatif (Abduh, 2014)
d. Usia, komplikasi diabetes melitus dapat menyerang dari berbagai usia.
Semakin lama seseorang mengalami diabetes melitus semakin meningkat
pula mengalami risiko komplikasi, hal ini dapat disebabkan karena faktor
degeneratif, yaitu semakin menurunnya fungsi tubuh terutama kemampuan
dari sel β pankreas dalam memproduksi insulin (Suyanto, 2015). Usia
mempengaruhi perubahan pembuluh darah sehubungan dengan
aterosklerosis dimana aliran darah akan terhambat dan menyebabkan
hipoksia jaringan sehingga terjadi penurunan fungsi sel saraf dan
mengakibatkan penurunan sensasi kaki (Suyanto, 2016).
18
2.2.4 Klasifikasi Neuropati Diabetik
Menurut National Institute of Diabetes and Digestive and Kidney Disease
pada jurnal Diabetic Neuropathies: The Nerve Damage of Diabetes (2009),
neuropati diabetik dapat diklasifikasi menjadi proksimal, autonomik, perifer, dan
fokal.
2.2.4.1 Neuropati Perifer
Neuropati perifer (disebut juga neuropati distal simetris atau neuropati
sensorimotor) merupakan bentuk paling umum dari neuropati diabetik.
Neuropati perifer dapat menyebabkan nyeri dan kehilangan sensasi pada
jari kaki, tungkai kaki, kaki, lengan, dan tangan.
2.2.4.2 Neuropati Autonom
Neuropati autonom memengaruhi persarafan jantung, regulasi tekanan
darah, dan kadar glukosa darah. Selain itu, neuropati autonom juga
memengaruhi pencernaan, kandung kemih, respon seksual, mata, dan
kelenjar keringat.
2.2.4.3 Neuropati Proksimal
Neuropati proksimal menyebabkan nyeri pada paha, pangkal paha,
bokong, dan menyebabkan kelemahan pada kaki.
2.2.4.4 Neuropati Fokal
Neuropati fokal muncul secara tiba- tiba dan memengaruhi saraf yang
spesifik, terutama pada kepala, badan, dan kaki. Universitas Sumatera
Utara
19
Tabel 2.3 Klasifikasi Neuropati Diabetik. Sumber: NIDDK (2009)
Perifer Autonom Proksimal Fokal
Jempol Jantung Paha Mata
Kaki Pembuluh darah Pinggul Otot wajah
Tungkai Kaki Sistem pencernaan Pantat Telinga
Tangan Saluran kemih Tungkai Pelvis
Lengan Organ seksual
Kelenjar keringat
Mata
Paru
Punggung bawah
Dada
Perut Paha
Tungkai
Kaki
2.2.5 Patogenesis Neuropati Diabetik
Patofisiologi neuropati diabetik bergantung pada 3 keadaan yaitu penebalan
membran basalis pembuluh darah kapiler, perubahan hemodinamik, dan
perubahan viskositas darah dan fungsi trombosit. Dimana 3 kejadian yang
mendasari patofisiologi neuropati diabetik tersebut berlangsung di semua kaliper-
kapiler pembuluh darah. Telah terbukti bahwa efek buruk faktor metabolik dan
hemodinamik tersebut bekerja melalui jaringan endotel, dimana sel-sel endotel
melapisi seluruh permukaan pembuluh darah besar dan kecil, sehingga selalu
terpajan dengan perubahan buruk metabolik dan hemodinamik. Sel-sel endotel
juga merupakan jaringan terdepan yang berhadapan dengan perubahan tekanan,
aliran dan turbulensi darah (Darmono, 1999). Melalui beberapa mekanisme, sel
endotel memproduksi berbagai zat kimia yang mengatur tegangan dan
permeabilitas dinding pembuluh darah. Sel endotel juga memproduksi matriks
20
protein ekstraseluler dan produksinya meningkat pada pasien diabetes melitus
dimana terjadi penebalan membran basal kapiler (Djokomoeljanto, 2001). Pada
pasien diabetes melitus, semua fungsi endotel akan terganggu sehingga dapat
terjadi disfungsi endotel. Dimana sel endotel sendiri berperan penting pada sistem
imun yaitu dalam proses regenerasi dan menjaga homeostasis cairan ekstraseluler
(Djokomoeljanto, 2001).
Sampai saat ini masih belum diketahui secara pasti tentang patofisiologi
terjadinya neuropati perifer. Beberapa studi terbaru menunjukkan beberapa faktor
yang diduga berperan antara lain, teori vaskular dan teori metabolik.
2.2.5.1 Teori Vaskular
Proses terjadinya neuropati diabetik melibatkan kelainan vaskular dimana
akibat dari gula darah yang terlalu tinggi menyebabkan resistensi pembuluh darah
sehingga terjadi penurunan aliran darah ke endoneurium dan mengakibatkan
iskemi dan hipoksia sehingga terjadi stress oksidatif atau biasa disebut
hyperglycemic pseudohypoxia. Akibat pembentukan radikal bebas oksidatif
(reactive oxygen species) ini akan merusak endotel vaskular dan menetralisasi
Nitric Oxide (NO) sehingga menyebabkan vasodilatasi mikrovasular terhambat
dan terjadilah neuropati diabetik. (Ziegler, 2004). Iskemia ini yang menyebabkan
terjadinya gangguan transpor aksonal, aktivitas Na+/K+ ATPase yang akhirnya
menimbulkan degenerasi akson (Rosyida, 2016). Kejadian neuropati yang
disebabkan oleh kelainan vaskular dapat dicegah dengan memodifikasi faktor
resiko kardiovaskular yaitu hipertensi, kadar trigliserida tinggi, indeks massa
tubuh dan merokok (Subekti, 2009).
21
2.2.5.2 Teori Metabolik
Gangguan metabolik yang berkepanjangan akibat hiperglikemia dan atau
defisiensi insulin pada salah satu atau lebih komponen seluler pada saraf dapat
menyebabkan terjadinya gangguan fungsi dan struktural. Gangguan ini dapat
menyebabkan terjadinya kerusakan jaringan saraf dan mengakibatkan defisit
neurologi (Zychowska, 2013).
1. Teori Advanced Glycation End Product (AGEs)
Kadar glukosa yang tinggi dalam jangka panjang pada pasien DM
dapat memicu terjadinya proses glikasi lipid dan protein sehingga terjadi
peningkatan AGE, dimana ketika AGE terbentuk maka akan terikat
dengan reseptor seluler spesifik yang dikenal sebagai Receptor Advance
Glication End Product (RAGE). Interaksi AGE dengan RAGE akan
meningkatkan produksi dari ROS (Reactive Oxygen Species) melalui
aktivasi NADPH oksidasi yang merusak endotel. Proses pembentukan
ROS dikenal dengan stres oksidatif dimana dapat meningkat seiring
dengan peningkatan dari oksidasi lipid dan protein baik pada diabetes
melitus tipe 1 maupun diabetes melitus tipe 2, sehingga mengakibatkan
terjadinya mikroangiopati/ mikrovaskuler dan disfungsi saraf yang
menyebabkan nyeri atau menghambat konduksi saraf (Darsana, 2014).
22
(Darsana, 2014)
Gambar 2.4. Reaksi AGE dan RAGE dalam Patogenesis.
2. Teori Jalur Poliol
Pada keadaan gula darah yang normal, sebagian besar gluksosa
intrasel difosforilasi ke glukosa 6-fosfat oleh enzim heksokinase dan sebagian
kecil dari glukosa yag tidak mengalami fosforilasi akan memasuki jalur poliol
yaitu jalur alternatif metabolisme glukosa. Melalui jalur ini glukosa internal
dapat diubah menjadi sorbitol dengan bantuan enzim alduse reduktase (AR).
Dalam keadaan normal konsentrasi sorbitol di dalam sel rendah sedangkan
pada keadaan glukosa darah yang tinggi konsentrasi sorbitol akan meningkat.
Sebagai bentuk kompensasi dari meningkatnya sorbitol, enzim sorbitol
dehydrogenase (SDH) akan membantu sorbitol untuk mencapai kadar rendah.
Namun akibat dari degradasi sorbitol yang berjalan lambat akan
mengakibatkan sorbitol menumpuk di dalam sel yang menyebabkan
peningkatan osmolaritas dalam sel sehingga terjadi kerusakan sel (Chawla,
2012).
23
3. Teori Jalur Protein Kinase C
Aktivasi protein kinase C berperan dalam fungsi saraf dan
memegang peranan penting terjadinya patogenesis neuropati diabetik.
Kadar glukosa darah yang tinggi di dalam sel meningkatkan pembentukan
diacyglyserol (DAG) dan selanjutnya terjadi peningkatan protein kinase.
Protein kinase C juga diaktifkan oleh stres oksidatif dan AGEs. Aktivasi
dari protein kinase C ini menyebabkan peningkatan permeabilitas vaskular
dan perubahan aliran darah. Beberapa hal yang disebabkan oleh aktivasi
protein kinase C antara lain:
a. Produksi molekul proangiogenik Vascular Endhotelial Growth Factor
(VEGF) yang mengakibatkan adanya neovaskularisasi dan
karakteristik komplikasi diabetes melitus.
b. Peningkatan aktivitas vasokonstriktor endotelin-1 dan penurunan
aktivitas vasodilator endothelial nitric oksida sinthase (eNOS).
c. Produksi molekul fibrinogenik serupa Tumor Growth Factor-Betha
(TGF-β) yang akan memicu deposisi matrik ekstraselular dan material
membran basal.
d. Produksi molekul prokoagulan Plasminogen Activator Inhibitor-1
(PAI-1) yang akan memicu penurunan fibrinolisis dan kemungkinan
terjadi oklusi vaskular.
e. Produksi sitokinin proinflamasi oleh sel endotel vaskular.
4. Teori Peranan Radikal Bebas
24
Stres oksidatif diartikan sebagai gangguan keseimbangan antara
penyokong pembentukan radikal bebas (prooksidan) dan antioksidan yang
mengakibatkan suatu kerusakan. Proses pembentukan oksidan secara alamiah
terbentuk dari adanya aktivitas transpor elektron mitokondria dan oksidatif
beberapa neurotransmitter (norepinefrin dan dopamine), fase awal selama
kondisi hipoksia, dan iskemia yang selanjutnya dapat merusak jaringan.
Akibat dari kerusakan ini dapat menurunkan aktivitas biologi sel, hilangnya
metabolisme energi, sinyal sel, transportasi dan beberapa fungsi utama sel.
Kumpulan dari beberapa kerusakan tersebut menyebabkan kematian sel
memalui mekanisme nekrosis dan apoptosis (Rosyida, 2016).
(Duby, 2004)
Gambar 2.5. Proses Terjadinya Stres Oksidatif
2.2.6 Manifestasi Klinis Neuropati Diabetik
Manifestasi klinis dari neuropati diabetik bergantung pada patofisiologi
neuropati dan lokasi anatomi saraf yang terlibat. Sebagian besar saraf yang paling
sering mengalami kerusakan adalah bagian perifer, karena saraf perifer memiliki
fungsi khusus sehingga muncul berbagai macam gejala ketika saraf mengalami
25
kerusakan. Tiga komponen sistem saraf tersebut yaitu saraf sensorik, motorik, dan
otonom (Desnita, 2018).
Kerusakan fungsi saraf sensorik dapat terjadi karena mekanisme
peningkatan stres oksidatif sehingga proses penghantaran implus terganggu dan
kerusakan saraf sensorik melibatkan serabut saraf kecil yang berfungsi untuk
merasakan nyeri dan sensasi suhu, sedangkan serabut saraf besar digunakan untuk
persepsi vibrasi dan sensasi sentuhan. Dampak dari kerusakan ini mengakibatkan
gangguan di dalam mengenali sensitivitas ataupun sentuhan yang diberikan
(Desnita, 2018)
Kerusakan yang mengenai pada saraf motorik akan menyebabkan
perubahan biomenika pada kaki dan seringkali ditemukan adanya perubahan
bentuk kaki (deformitas), deformitas yang muncul bisa berbagai macam bentuk
bahkan bisa muncul gabungan dari berbagai deformitas (Carine, et al, 2014).
Saraf otonom berperan dalam memelihara sistem dan organ-organ tubuh
internal seperti sistem kardiovaskular, gastrointestinal, urogenital, termoregulasi,
dan okular. Selain itu bersama dengan kelenjar endokrin, aktivitas saraf otonom
diperlukan untuk menjaga kestabilan lingkungan termis dan biokimiawi internal
tubuh. Gangguan pada sistem termoregulasi akan diakibatkan oleh kelainan saraf
simpatis pada kelenjar keringat maupun akibat gangguan pada reflek vasomotor,
dimana gangguan ini sering muncul pada pasien dengan diabetes melitus dan
menimbulkan kerusakan otonom (Prawiro, 2013). Kerusakan dari saraf otonom
ini mengakibatkan terjadinya perubahan aliran darah, produksi keringat berkurang
atau bahkan tidak ada, dan hilangnya tonus vasomotor. Gejala yang diakibatkan
26
dari kerusakan otonom ini dapat berupa kulit kering dan kulit kaki pecah-pecah
sebagai akibat dari penurunan produksi keringat. Dan juga dapat mucul gejala
kapalan (callus) yang menyebabkan pasien diabetes melitus merasakan penebalan
akibat dari akumulasi kolagen di bawah dermis (Rosyida, 2016).
2.2.7 Diagnosis Neuropati Diabetik
Riwayat penyakit yang lengkap dapat mempermudah untuk mendeteksi
adanya neuropati diabetik (Prawiro, 2013). Pemeriksaan neuropati diabetik dapat
melalui pengkajian subjektif berupa identitas pasien (nama, usia, jenis kelamin)
dan riwayat kesehatan (lamanya menderita diabetes melitus, hasil cek kadar gula
darah sewaktu, riwayat merokok, riwayat penyakit penyerta, riwayat amputasi,
dan riwayat DFU) serta pengkajian objektif. Pengkajian objektif dilakukan dengan
melakukan pemeriksaan fisik bagian perifer dari pasien diabetes yang terdiri dari
pemeriksaan fungsi saraf otonom dengan melakukan inspeksi keadaan kaki secara
menyeluruh dilanjutkan dengan pemeriksaan fungsi fungsi saraf sensorik
(sensitivitas kaki, sensasi vibrasi, dan sensasi nyeri) serta fungsi saraf motorik
(deformitas, pemeriksaan kekuatan otot, dan reflek fisiologis) (Herman, 2012).
Pemeriksaan neuropati pada pasien diabetes dilakukan dengan
menggunakan metode yaitu MNSI (Michigan Neuropathy Screening Instrument)
(Mohammed, 2019).
MNSI merupakan parameter klinis untuk mendeteksi dini kejadian
neuropati perifer, dimana kuisioner ini terdiri dari dua bentuk pengkajian yaitu
riwayat kesehatan dan pemeriksaan fisik. Bentuk pengkajian berupa riwayat
kesehatan yang terdiri dari 15 item pertanyaan, di mana 13 pertanyaan terkait
27
neuropati, 1 pertanyaan untuk menilai gangguan vaskularperifer, dan 1 pertanyaan
untuk menilai asthenia. Penilaian terhadap 15 pertanyaan ini adalah “YA” untuk
tanggapan respon terhadap pertanyaan 1-3, 5-6, 11-12, 14-15 masing-masing
dihitung sebagai satu poin, sedangkan tanggapan “TIDAK” terhadap pertanyaan
17 dan 13 masing-masing diberikan nilai 1 poin. Pertanyaan 4 dianggap sebagai
penilaian terhadap gangguan vaskulerperifer dan pertanyaan 10 untuk menilai
asthenia, sehingga tidak dimasukkan dalam algoritma penilaian. Penilaian ini
dianggap abnormal apabila didapatkan skor ≥7 (Herman, 2012).
Sedangkan pemeriksaan fisik terdiri dari beberapa penilaian, antara lain:
(Herman, 2012)
1) Inspeksi kaki untuk melihat adanya kulit kering (bersisik), kulit kaki
pecah-pecah, callus, dan deformitas. Setiap ditemukan abnormalitas
diberikan skor 1 dan apabila ada ulserasi juga diberikan nilai 1.
2) Pemeriksaan sensasi vibrasi dilakukan secara bilateral dan ditempatkan di
penonjolan interphalang dengan menggunakan garpu tala 128 Hz. Cara
pemeriksaan: pasien ditutup kedua matanya kemudian diminta untuk
merasakan getaran dari garpu tala. Pasien diberikan skor 0 jika dapat
merasakan getaran < 10 detik, skor 0.5 jika pasien merasakan getaran > 10
detik, dan skor 1 jika pasien tidak merasakan getaran sama sekali.
28
(Tanenberg RJ & Donofrio PD, 2008)
Gambar 2.6 Cara melakukan tes vibrasi dengan menggunakan garpu tala
128 Hz
3) Pemeriksaan reflek ankle dengan menggunakan palu reflek. Cara
pemeriksaan: pasien diminta untuk duduk dengan kaki tergantung dan
rileks, kemudian kaki sedikit di dorsofleksikan untuk mendapatkan
kekuatan optimal. Jika pasien ada reflek diberikan skor 0, jika pasien
merasakan reflek yang kurang diberikan skor 0.5, dan jika tidak ada reflek
pasien diberikan skor 1.
(sumber: http://meded.ucsd.edu/clinicalmed/neuro3.htm)
Gambar 2.7 Tes reflek pergelangan kaki
29
4) Pengujian monofilamen Semmes-Weinstein 5.07 (10g)
Monofilamen 10 gram adalah alat yang paling umum digunakan untuk
mengetahui adanya neuropati pada pasien dengan diabetes melitus. Alat
ini akan menekuk ketika diberikan tekanan 10 gram. Tes ini dilakukan
pada jari kaki pertama, kepala metatarsal yang pertama, ketiga, dan
kelima, bagian plantar dari tumit dan dorsum kaki. Bila paksien tidak
merasakan filamen pada daerah yang di tes, ini menunjukkan bahwa ada
neuropati. Ketika melakukan tes ini, minta penderita untuk menutup
matanya. Menghindari melakukan tes pada daerah yang berkalus, karena
kemampuan penderita untuk merasakan sensasi pada area yang berkalus
akan mengalami penurunan.
(Tanenberg RJ & Donofrio PD, 2008)
Gambar 2.8 tempat-tempat pada kaki yang direkomendasikan dalam
pemakaian monofilamen dan cara pemakaian monofilamen beserta alatnya
30
Neuropati diabetik didiagnosis pada pasien dengan skor pemeriksaan fisik
≥2,5. Dalam penelitian ini MNSI diterima sebagai tes diagnostik sesuai
dengan rekomendasi ADA. (Bril, et al, 2009)
top related