Bab 1, Bab 2, Bab 3, Evaluasi Praktikum, Apklin, Kesimpulan
Post on 11-Jul-2016
247 Views
Preview:
DESCRIPTION
Transcript
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Keseimbangan cairan, asam dan basa adalah komponen
homeostasis yang harus senantiasa dipelihara dan dijaga untuk
keberlangsungan kehidupan yang sehat Jika terjadi kegagalan pengaturan
keseimbangan cairan, asam dan basa maka akan terjadi beberapa gangguan
dan penyakit seperti edema generalisata, hipertensi, gagal jantung, gagal
jantung, dan lain-lain yang prevalensi dan insidensinya selalu meningkat
dari waktu ke waktu (Asmadi, 2008).
Ginjal selaku organ yang berperan penting dalam proses
homeostatis ini adalah tetapi pada kondisi patologis tertentu, ginjal pun
tidak bisa mengatur keseimbangan ini secara mandiri. Oleh karena itu,
dibutuhkan suatu intervensi medis baik dalam bentuk medikamentosa
ataupun operatif. Contoh terapi medikamentosa adalah dengan
penggunaan diuretik (Graber et al., 2006).
Obat diuretik saat ini banyak macam dan jenisnya, diantaranya
adalah golongan diuretik kuat, tiazid, diuretik hemat kalium, diuretic
osmotik, carbonic anhydrase inhibitor dan anagonis ADH (jarang
digunakan) (Stringer, 2008). Masing-masing obat tersebut mempunyai
karakter dan efek serta toksisitas tersendiri yang perlu dipahami secara
mendalam sehingga perlu didalami dalam praktikum farmakologi.
B. Tujuan Praktikum
1. Untuk mengetahui jenis-jenis diuretik beserta perbedaannya
2. Untuk bisa membandingkan efek diuretik spironolakton, furosemide,
dan ekstrak teh terhadap kontrol (aquadest)
1
C. Manfaat Praktikum
1. Menambah ilmu pengetahuan tentang macam-macam diuretik dan
perbedaannya
2. Menambah ilmu pengetahuan tentang perbandingan efek diuretik
spironolakton, furosemide, dan ekstrak teh terhadap kontrol (aquadest)
2
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Diuretik adalah obat yang dapat menambah kecepatan pembentukan urin.
Fungsi utama diuretik adalah untuk memobilisasi cairan edema, yang berarti
mengubah keseimbangan cairan sedemikian rupa sehingga volume cairan
ekstrasel kembali menjadi normal (Nafrialdi, 2009).
B. Dasar Teori
Obat diuretik meningkatkan ekskresi natrium, air dan klorida sehingga
menurunkan volume darah dan cairan ekstraseluler sehingga terjadi penurunan
curah jantung dan tekanan darah. Beberapa diuretik juga menurunkan resistensi
perifer sehingga menambah efek hipotensinya (Tjay & Rahardja, 2007).
Pengaruh diuretik terhadap ekskresi zat terlarut penting artinya untuk
menentukan tempat kerja diuretik dan sekaligus untuk memperkirakan akibat
dari suatu diuretik. Secara umum diuretik dapat dibagi menjadi dua golongan
besar, yaitu penghambat mekanisme transpor elektrolit di dalam tubulus ginjal
dan diuretik osmotik. Obat yang dapat menghambat transpor elektrolit di
tubulus ginjal antara lain penghambat karbonat anhidrase, benzotiazid (tiazid),
diuretik hemat kalium, dan diuretik kuat (Gupta & Neysed, 2005).
1. Diuretik Kuat
Diuretik kuat bekerja dengan mencegah reabsorpsi natrium,
klorida, dan kalium pada segmen tebal ujung asenden ansa Henle (nefron)
melalui inhibisi pembawa klorida. Obat yang termasuk golongan ini
adalah asam etakrinat, furosemid dan bumetanid. Obat ini digunakan
untuk pengobatan hipertensi, edema, serta oliguria yang disebabkan oleh
gagal ginjal. Pengobatan bersamaan dengan kalium diperlukan selama
menggunakan obat ini (Ilyas, 2011).
Asam etakrinat termasuk diuretik yang dapat diberikan secara oral
maupun parenteral dengan hasil yang memuaskan. Furosemid atau asam 4-
kloro-N-furfuril-5-sulfomail antranilat masih tergolong derivat sulfonamid
(Ilyas, 2011).
3
Furosemida adalah suatu derivat asam antranilat yang efektif
sebagai diuretik. Efek kerjanya cepat dan dalam waktu yang singkat.
Mekanisme kerja furosemid adalah menghambat penyerapan kembali
natrium oleh sel tubuli ginjal. Furosemida meningkatkan pengeluaran air,
natrium, klorida, kalium dan tidak mempengaruhi tekanan darah yang
normal. Pada penggunaan oral, furosemida diabsorpsi sebagian secara
cepat dan diekskresikan bersama urin dan feses (Lukmanto,2003).
a. Farmakodinamik
Diuretik kuat terutama bekerja dengan cara menghambat
reabsorpsi elektrolit Na+/K+/2Cl- di ansa Henle asenden bagian epitel
tebal; tempat kerjanya di permukaan sel epitel bagian luminal (yang
menghadap ke lumen tubuli). Pada pemberian secara IV obat ini
cenderung meningkatkan aliran darah ginjal tanpa disertai
peningkatan filtrasi glomerulus (Nafrialdi, 2009).
b. Farmakokinetik
Awal kerja obat terjadi dalam 0,5-1 jam setelah pemberian
oral, dengan masa kerja yang relatif pendek ± 6-8 jam. Absorpsi
furosemida dalam saluran cerna cepat, ketersediaan hayatinya 60-69
% pada subyek normal, dan ± 91-99% obat terikat oleh plasma
protein. Kadar darah maksimal dicapai 0,5-2 jam setelah pemberian
secara oral, dengan waktu paruh biologis ± 2 jam (Lukmanto,2003).
Kira-kira dua pertiga dari asam etakrinat yang diberikan secara
IV diekskresi melalui ginjal dalam bentuk utuh dan dalam konjugasi
dengan senyawa sulfhidril terutama sistein dan N-asetil sistein.
Sebagian lagi diekskresi melalui hati. Sebagian besar furosemid
diekskresi dengan cara yang sama, hanya sebagian kecil dalam bentuk
glukoronid. Kira-kira 50% bumetanid diekskresi dalam bentuk asal,
selebihnya sebagai metabolit (Nafrialdi, 2009).
c. Indikasi
Furosemid lebih banyak digunakan daripada asam etakrinat, karena
ganguan saluran cerna yang lebih ringan. Diuretik kuat merupakan
4
obat efektif untuk pengobatan udem akibat gangguan jantung, hati
atau ginjal (Lukmanto,2003).
d. Kontraindikasi
Gangguan fungsi ginjal atau hati, anuria, koma hepatik, hipokalemia,
hiponatremia, hipovolamia dengan atau tanpa hipotensi (Lukmanto,
2003).
e. Efek Samping
Beberapa efek samping yang dapat ditimbulkan oleh
pemakaian obat diuretik kuat antara lain (Nafrialdi, 2009):
1) Gangguan cairan dan elektrolit. Sebagian efek samping berkaitan
dengan gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit, antara lain
hipotensi, hiponatremia, hipokalemia, hipokalsemia, dan
hipomagnesemia (Nafrialdi, 2009).
2) Ototoksisitas. Asam etakrinat dapat menyebabkan ketulian
sementara maupun menetap. Ketulian sementara dapat terjadi
pada furosemid dan lebih jarang pada bumetanid. Ketulian ini
mungkin sekali disebabkan oleh perubahan komposisi eletrolit
cairan endolimfe.
3) Efek metabolik. Diuretik kuat dapat menimbulkan efek samping
metabolik berupa hiperurisemia, hiperglikemia, peningkatan
kolesterol LDL dan trigliserida, serta penurunan HDL (Nafrialdi,
2009).
4) Reaksi alergi. Reaksi alergi umumnya berkaitan dengan struktur
molekul yang menyerupai sulfonamid. Diuretik kuat dan diuretik
tiazid dikontraindikasikan pada pasien dengan riwayat alergi
sulfonamid. Asam etakrinat merupakan satu-satunya diuretik kuat
yang tidak termasuk golongan sulfonamid dan digunakan untuk
pasien yang alergi terhadap sulfonamid (Nafrialdi, 2009).
5) Nefritis interstisialis alergik. Furosemid dan tiazid diduga dapat
menyebabkan nefritis interstisialis alergik yang menyebabkan
gagal ginjal reversibel (Nafrialdi, 2009).
5
f. Interaksi obat
Hipokalemia akibat pemberian diuretik kuat dapat meningkatkan
risiko aritmia pada pasien yang juga mendapat digitalis atau obat
antiaritmia. Pemberian bersama obat yang bersifat nefrotoksik seperti
aminoglikosida dan antikanker sisplatin akan meningkatkan risiko
nefrotoksisitas. Probenesid mengurangi sekresi diuretik ke lumen
tubulus sehingga efek diuresisnya berkurang. Diuretik kuat daat
berinteraksi dengan warfarin dan klofibrat melalui penggeseran
ikatannya dengan protein. Pada penggunaan kronis, diuretik kuat ini
dapat menurunkan klirens litium. Penggunaan bersama dengan
sefalosporin dapat meningkatkan nefrotoksisitas sefalosporin. NSAID
terutama indometasin dan kortikosteroid melawan kerja furosemid
(Nafrialdi, 2009).
g. Contoh Obat dan Sediaannya
1) Asam etakrinat. Tablet 25 dan 50 mg digunakan dengan dosis 50-
200 mg per hari. Sediaan IV berupa Na-etakrinat, dosisnya 50
mg, atau 0,5-1 mg/kgBB (Lukmanto,2003).
2) Furosemid. Obat ini tersedia dalam bentuk tablet 20,40,80 mg dan
preparat suntikan. Umunya pasien membutuhkan kurang dari 600
mg/hari. Dosis anak 2mg/kgBB, bila perlu dapat ditingkatkan
menjadi 6 mg/kgBB (Lukmanto,2003).
3) Bumetanid. Tablet 0.5mg dan 1 mg digunakan dengan dosis
dewasa 0.5-2mg sehari. Dosis maksimal per hari 10 mg. Obat ini
tersedia juga dalam bentuk bubuk injeksi dengan dosis IV atau IM
dosis awal antara 0,5-1 mg, dosis diulang 2-3 jam maksimum
10mg/kg (Lukmanto,2003).
2. Tiazid (Benzotiadiazid)
Komposisi yang terbentuk setelah pemberian obat ini ternyata
mengandung banyak ion klorida, efek yang sangat berbeda dengan senyawa
induknya yaitu benzen disulfonamid. Penelitian lebih lanjut menunjukkan
bahwa benzotiadiazid berefek langsung terhadap transpor Na+ dan Cl- di
tubuli ginjal, tepatnya pada tubulus distal (Vigen, 2011).
6
Beberapa obat yang termasuk ke dalam golongan obat-obatan diuretik
tiazid dan diuretik analog tiazid, antara lain hidroklorotiazid (HCT),
klorotiazid, hidroflumetazid, bendroflumetazid, politiazid, benztiazid,
siklotiazid, metiklotiazid, klortalidon, kuinetazon, indapamid, metolazon
(Nafrialdi, 2009).
a. Farmakodinamik
Selain dengan filtrasi glomerular, diuretik tiazid terutama
diekskresikan secara aktif ke dalam lumen tubulus melalui sistem
transpor anion yang terlokalisir di tubulus proksimal. Dari sebelah
luminal terjadi penghambatan absorpsi Na+ dan Cl- di sel-sel epitel
tubuli distal hulu (efek saluretik). Selain itu, ion-ion Mg2+ dan K+ juga
diekskresikan lebih banyak (Vigen, 2011).
Pertukaran (Na+/K+) yang terjadi di tubulus distal hilir bertanggung
jawab untuk ekskresi K+. Selanjutnya ion Na+ diabsorpsi dari lumen dan
sebaliknya ion K+ dieksresi. Makin tinggi kadar Na+ di dalam urin yang
tiba di tubulus distal hilir, makin besar pertukaran (Na+/K+) dan juga
makin banyak kehilangan K+. Efek diuretik tidak berubah apabila ada
asidosis atau alkalosis (tidak bergantung pada pH). Berlawanan dengan
diuretik kuat, diuretik tiazid mengurangi filtrasi glomerular yang
disebabkan oleh kenaikan tekanan hidrostatik, intratubular yang
menyebabkan pengurangan tekanan filtrasi yang efektif (Schmitz et al,
2009).
b. Farmakokinetik
Diabsorpsi dengan baik dalam gastrointestinal. Dengan suatu
proses aktif, tiazid diekskresi oleh sel tubuli proksimal ke dalam cairan
tubuli. Jadi klirens ginjal obat ini besar sekali, biasanya dalam 3-6 jam
sudah diekskresi dari badan. Hidroklorotiazid memiliki kakuatan ikat
protein yang lebih lemah dibandingkan dengan furosemid. Waktu paruh
tiazid lebih panjang dibandingkan diuretik loop. Untuk alasan ini, tiazid
harus diberikan pada pagi hari untuk menghindari nokturia (berkemiih
di malam hari). Bendroflumetiazid, politiazid, dan klortalidon
mempunyai masa kerja yang lebih panjang karena ekskresinya lebih
7
lambat. Klortiazid dalam badan tidak mengalami perubahan metabolik,
sedangkan politiazid sebagian dimetabolisme dalam badan (Kee, 2006).
c. Indikasi
1) Hipertensi
Tiazid merupakan salah satu obat penting pada pengobatan
hipertensi, baik sebagai obat tunggal atau dalam kombinasi dengan
obat hipertensi lain. Selain sebagai diuretik, tiazid memberi efek
antik hipertensi berdasarkan efek penurunan resistensi pembuluh
darah (Nafrialdi, 2009).
2) Gagal jantung
Tiazid merupakan diuretik terpilih untuk pengobatan edema
akibat gagal jantung ringan sampai sedang. Ada baiknya bila
dikombinasikan dengan diuretik hemat kalsium pada pasien yang
juga mendapat pengobatan digitalis untuk mencegah timbulnya
hipokalemia yang memudahkan terjadinya intoksikasi digitalis.
Hasil yang baik juga didapat pada pengobatan tiazid untuk edema
akibat penyakit hati dan ginjal kronis. Pemberian tiazid pada pasien
gagal jantung atau hipertensi yang disertai gangguan fungsi ginjal
harus dilakukan dengan hati-hati sekali, karena obat ini dapat
memperberat gangguan fungsi ginjal akibat penurunan kecepatan
filtrasi glomerulus dan hilangnya natrium, klorida, dan kalium
dalam jumlah banyak (Nafrialdi, 2009).
3) Pengobatan jangka panjang edema kronik
Obat ini hendaknya diberikan dalam dosis yang cukup
untuk mempertahankan berat badan tanpa edema. Pasien jangan
terlalu dibatasi makan garam (Nafrialdi, 2009).
4) Diabetes insipidus
Golongan tiazid juga digunakan untuk pengobatan diabetes
insipidus terutama yang bersifat nefrogenik. Untuk diabetes
insipidus tipe sentral, tiazid masih mempunyai manfaat, walaupun
bukan merupakan obat pilihan (Nafrialdi, 2009).
5) Hiperkalsiuria
8
Pasien dengan batu kalsium pada saluran kemih mendapat manfaat
dari pengobatan tiazid, karena obat ini dapat mengurangi ekskresi
kalsium ke saluran kemih sehingga mengurangi risiko
pembentukan batu (Nafrialdi, 2009).
d. Kontraindikasi
Diuretik tiazid dikontraindikasikan untuk gangguan fungsi ginjal
yang berat disertai anuria, gangguan fungsi hati yang berat,
hipersensitivitas (alergi) terhadap sulfonamid dan antidiabetik oral
tipe sulfonilurea (Schmitz et al, 2009).
e. Efek Samping Obat
Beberapa efek samping penggunaan diuretik tiazid, antara lain
(Schmitz et al, 2009):
1) Hipokalemia. Efek samping yang sangat sering terjadi pada terapi
jangka panjang dengan diuretik yaitu 25-40% kasus. Jika hal ini
terjadi, perlu diberikan substitusi K+; sebaiknya juga diberikan
suatu kombinasi diuretik tiazid dengan diuretik hemat kalium
seperti amilorid, triamteren atau spironolakton (Schmitz et al,
2009).
2) Hipomagnesemia dan hiperkalsemia akibat penghambatan
ekskresi Ca2+ tubular.
3) Alkalosis metabolik, hipokloremia
4) Toleransi glukosa yang berkurang dapat bermanifestasi diabetes
melitus pada kondisi metabolik pradiabetes.
5) Gangguan metabolisme lemak, kenaikan kadar trigliserid serum
dan kadar kolesterol serum; kenaikan LDL, HDL tidak berubah
atau turun; setelah kurang lebih 6 minggu akan menjadi
manifestasi (Schmitz et al, 2009).
6) Hiperurisemia disebabkan oleh penghambatan kompetitif sekresi
asam urat, yang berlangsung melalui sistem transpor anion di
tubulus proksimal seperti juga eliminasi diuretik tiazid. Setelah
kurang lebih 7-10 hari kenaikan asam urat serum akan mencolok
(Schmitz et al, 2009).
9
f. Interaksi Obat
Indometasin dan NSAID lain dapat mengurangi efek diuretik tiazid
karena kedua obat ini menghambat sistesis prostaglandin vasodilator
di ginjal, sehingga menurunkan aliran darah ginjal dan laju filtrasi
glomerulus. Probenesid menghambat sekresi tiazid ke dalam lumen
tubulus. Akibatnya efektivitas tiazid berkurang (Nafraldi, 2009).
Penggunaan dengan digoksin akan menimbulkan efek yang serius,
tiazid dapat menyebabkan hipokalemia yang menguatkan kerja
digoksin dan dapat terjadi keracunan digitalis Hipokalemia yang
terjadi akibat pemberian tiazid dapat meningkatkan risiko aritmia oleh
digitalis dan obat antiaritmia, sehingga pemantauan kadar kalium
sangat penting pada pasien yang juga mendapat digitalis atau
antiaritmia. Kehilangan kalium lebih lanjut misalnya pada keadaan
diare, muntah-muntah atau anoreksia harus segera diatasi karena dapat
memperbesar bahaya intoksikasi digitalis (Kee, 2006).
Kombinasi tetap tiazid dengan KCl tidak digunakan lagi karena
menimbulkan iritasi lokal di usus halus. Tiazid menghambat ekskresi
litium sehingga kadar litium dalam darah dapat meningkat (Nafrialdi,
2009).
3. Diuretik Hemat Kalium
Diuretik hemat kalium merupakan diuretik yang lebih lemah daripada
loop diuretic. Menurut prinsip kerjanya, diuretik hemat kalium terbagi
menjadi dua, yaitu (Neal, 2006):
a. Antagonis aldosteron
1) Farmakodinamik
Diuretik antagonis aldosteron bekerja pada segmen nefron
yang berrespon terhadap aldosteron dengan menghambat
pertukaran Na-K. Aldosteron bekerja dengan menstimulasi
reabsorpsi Na+, dan menyebabkan ion K+ dan H+ disekresi ke
dalam lumen tubulus. Sehingga dengan penggunaan diuretik
antagonis aldosteron, reabsorpsi Na+ dan Cl- menurun, dan sekresi
10
kalium berkurang. Contoh diuretik golongan ini adalah
spironolakton (Neal, 2006).
2) Farmakokinetik
Diuretik antagonis aldosteron banyak diabsorpsi di saluran
cerna, lalu didistribusikan dengan berikatan dengan protein plasma.
Proses metabolismenya terjadi di hepar. Setelah itu obat-obatan ini
diekskresikan bersamaan dengan urin oleh ginjal (Neal, 2006).
3) Indikasi
Indikasi penggunaan diuretik antagonis aldosteron meliputi
(Theodorus, 1996):
a) hipertensi,
b) edema karena gagal jantung kongestif.
4) Kontraindikasi
Kontraindikasi penggunaan diuretik antagonis aldosteron meliputi
(Theodorus, 1996):
a) hiperkalemia,
b) gangguan fungsi ginjal,
c) hipersensitivitas terhadap diuretik hemat kalium.
5) Efek Samping Obat
a) Ginekomastia
Diuretik hemat kalium spironolakton dapat menyebabkan
ginekomastia pada laki-laki, sehingga pemakaiannya terbatas
(Huon, 2003).
6) Interaksi obat
Diuretik hemat kalium sering digunakan bersama dengan golongan
diuretik lain, seperti loop diuretic, untuk mengurangi efek
hiperkaliuria dari loop diuretic (Davey, 2005).
7) Contoh Obat dan Sediaan
Spironolakton
Sediaan: tablet 25 mg, 50 mg, dan 100 mg.
Dosis: dewasa 100 mg/hari dalam dosis bagi, maksimal 400
mg/hari. Anak-anak 3 mg/kgBB/hari dalam dosis terbagi.
11
b. Amilorid dan Triamteren
a. Farmakodinamik
Diuretik hemat kalium golongan ini memiliki cara kerja yang hampir
sama dengan golongan penghambat aldosteron, hanya saja golongan
ini berefek langsung pada kanal ion pada tubulus, tanpa melibatkan
aldosterone. Contoh diuretik yang memblok kanal Na+ adalah amilorid
dan triamteren (Neal, 2006).
b. Farmakokinetik
Diuretik hemat kalium golongan ini cepat diabsorpsi di saluran cerna,
lalu didistribusikan dengan berikatan dengan protein plasma. Proses
metabolisme triamterene terjadi di hepar, sementara amilorid tidak
mengalami metabolisme di hepar. Setelah itu obat-obatan ini
diekskresikan bersamaan dengan urin oleh ginjal (Neal, 2006).
c. Indikasi
Indikasi penggunaan amilorid dan triamteren meliputi (Theodorus,
1996):
a) hipertensi,
b) edema karena gagal jantung kongestif,
c) sirosis hati.
d. Kontraindikasi
Kontraindikasi penggunaan amilorid dan triamteren meliputi
(Theodorus, 1996):
d) hiperkalemia,
e) gangguan fungsi ginjal,
f) hipersensitivitas terhadap diuretik hemat kalium.
e. ESO
1) Hiperkalemia
Diuretik hemat kalium seperti amilorid dapat menyebabkan
hiperkalemia berat pada pasien dengan gangguan ginjal, terutama
dengan kombinasi obat-obatan inhibitor ACE. Hiperkalemia dapat
terjadi tanpa adanya gejala yang tampak, namun kadang dapat
disertai dengan kelemahan otot (Davey, 2005).
12
2) Anemia megaloblastik
Diuretik hemat kalium jenis triamteren merupakan antagonis folat
dengan menghambat kerja enzim dihidrofolat reduktase (Huon,
2003).
f. Interaksi Obat
Diuretik hemat kalium berinteraksi dengan obat inhibitor ACE
menyebabkan hiperkalemia pada pasien gangguan ginjal (Davey,
2005). Selain itu efek hiperkalemia juga meningkat dengan
penggunaan bersama obat-obatan beta-blocker, dan indometasin
(Theodorus, 1996).
g. Contoh Obat dan Sediaan
Contoh obat dan sediaan diuretik hemat kalium meliputi (Theodorus,
1996):
1) Amilorid
Sediaan: tablet.
Dosis: 5-10 mg/hari.
2) Triamteren
Sediaan: tablet
Dosis: 50-100 mg/hari dengan kombinasi dengan diuretik kuat.
a. Contoh Obat dan Sediaan
Contoh obat dan sediaan diuretik hemat kalium meliputi
(Theodorus, 1996):
1) Amilorid
Sediaan: tablet.
Dosis: 5-10 mg/hari.
2) Spironolakton
Sediaan: tablet 25 mg, 50 mg, dan 100 mg.
Dosis: dewasa 100 mg/hari dalam dosis bagi, maksimal 400
mg/hari. Anak-anak 3 mg/kgBB/hari dalam dosis terbagi.
3) Triamteren
Sediaan: tablet
Dosis: 50-100 mg/hari dengan kombinasi dengan diuretik kuat.
13
4. Diuretik Osmotik
Istilah diuretik osmotik biasanya dipakai untuk zat bukan elektrolit yang
mudah dan cepat diekskresi oleh ginjal. Suatu zat dapat bertindak sebagai
diuretik osmotik apabila memenuhi 4 syarat:
a. Difiltrasi secara bebas oleh glomerulus.
b. Tidak atau hanya sedikit direbasorbsi sel tubulus ginjal.
c. Secara farmakologis merupakan zat yang inert, dan
d. Umumnya resisten terhadap perubahan-perubahan metabolik.
Dengan sifat-sifat ini, maka diueretik osmotik dapat diberikan dalam
jumlah cukup besar sehingga turut menentukan derajat osmolalitas plasma,
filtrat glomerulus dan cairan tubuli. Diuretik Osmotik (manitol) adalah
Diuretik yang digunakan dan mempuyai efek meningkatkan produksi urin,
dengan cara meningkatkan tekanan osmotik di filtrasi glomerulus dan
tubulus. Mencegah tubulus mereabsorbsi air. Tubulus proksimal dan ansa
henle desenden sangat permeable terhadap reabsobsi air. Diuretik osmotik
yang tidak ditransportasi menyebabkan air dipertahankan disegmen ini,
yang dapat menimbulkan diuresis air. Contoh lain dari golongan obat
diuretik osmotik adalah: uera, gliserin, isosorbit (Chulay, 2006).
a. Farmakokinetik
Manitol tidak dimetabolisme terutama oleh glomerulus, sedikit atau
tanpa mengalami reabsobsi dan sekresi di tubulus atau bahkan praktis
dianggap tidak direabsrbsi. Manitol meningkatkan tekanan osmotik
pada glomerulus dan mencegah tubulus mereabsorbsi air dan sodium.
Manitol paling sering digunakan diantara obat ini. Sesuai dengan
definisi, diuretik osmotik absobsinya buruk bila diberikan peroral,
yang berarti bahwa obat ini harus diberikan secara parenteral. Manitol
diekresikan melalui filtrasi glomerulus dalam waktu 30 – 60 menit
setelah pemberian. Efek yang segera dirasakan klien adalah
peningkatan jumlah urine. Bila diberikan peroral manitol
menyebabkan diare Osmotik. Karena Efek ini maka Manitol dapat
juga digunakan untuk meningkatkan efek pengikatan K+ dan resin atau
14
menghilangkan bahan-bahan toksin dari saluran cerna yang
berhubungan dengan zat arang aktif (Chulay, 2006).
b. Farmakodinamik
Diuretik osmotik (Manitol) mempunyai tempat utama yaitu: pada
Tubulus Proksimal, Ansa Henle dan Duktus kolingens. Diuresis
osmotik digunakan untuk mengatasi kelebihan cairan di jaringan (intra
sel) otak . Diuretik osmotik yang tetap berada dalam kompartemen
intravaskuler efektif dalam mengurangi pembengkakan otak
(Shawkat, 2012).
Manitol adalah larutan hiperosmolar yang digunakan untuk terapi
meningkatkan osmolalitas serum. Dengan alasan fisiologis ini, cara
kerja diuretik osmotik (Manitol) ialah meningkatkan osmolaritas
plasma dan menarik cairan normal dari dalam sel otak yang
osmolarnya rendah ke intravaskuler yang olmolar tinggi, untuk
menurunkan oedema otak. Pada sistem ginjal bekerja membatasi
reabsobsi air terutama pada segmen dimana nefron sangat permeable
terhadap air, yaitu tubulus proksimal dan ansa henle desenden.
Adanya bahan yang tidak dapat direbasobsi air normal dengan
masukkan tekanan osmotik yang melawan keseimbangan. Akibatnya,
volume urine meningkat bersamaan dengan ekskresi manitiol.
Peningkatan dalam laju aliran urin menurunkan waktu kontak antara
cairan dan epitel tubulus sehingga menurunkan reabsobsi Na+. Namun
demikian, natriuresis yang terjadi kurang dibandingkan dengan
diuresis air, yang mungkin menyebabkan hipernatremia. (Chulay,
2006).
Pemberian manitol untuk menurunkan Tekanan Intra cranial masih
terus dipelajari dan merupakan objek penelitian, untuk mengetahui
efek, mekanisme kerja dan efektifitas secara klinis manitol untuk
menurunkan PTIK. Telah diketahui pemberian manitol banyak
mekanisme aksi yang terjadi pada sistim sirkulasi dan darah dalam
mengatur haemostasis dan haemodinamik tubuh, sehingga menjadi
15
obat pilihan dalam menurunkan Peningkatan tekanan intra cranial
(Shawkat, 2012).
c. Indikasi
Manitol antara lain digunakan untuk (Nafrialdy, 2012) :
1) Profilaksis gagal ginjal akut (GGA). GGA dapat timbul oleh
sebab prerenal, postrenal atau sebab renal. Nekrosis tubulus akut
merupakan kejadian yang paling sering pada GGA. Pada hewan,
manitol bermanfaat mengurangi kejadian NTA. Namun data
klinis tidak menunjukkan kelabihan manitol dibanding dengan
pemberian diuretik kuat dan hidrasi yang cukup.
2) Menurunkan tekanan atau volume cairan intraokular.
3) Menurunkan tekanan atau cairan serebrospinal.
d. Kontraindikasi
Manitol dikontraindikasikan pada penyakit ginjal dengan anuria
atau pada keadaan oligouria yang tidak responsif dengan dosis
percobaan, kongesti atau edema paru yang berat, dehidrasi hebat dan
perdarahan intrakranial kecuali bila dilakukan kraniotomi. Infus
manitol harus segera dihentikan bila terdapat tanda-tanda gangguan
fungsi ginjal yang progresif, payah jantung atau kongesti paru
(Shawkat, 2012).
Urea tidak boleh diberikan pada gangguan fungsi hati berat karena
ada risiko terjadinya peningkatan kadar amoniak. Manitol dan urea
dikontraindikasikan pada perdarahan serebral aktif (Nafrialdy, 2012).
e. Efek Samping
Manitol didistribusikan ke cairan ekstrasel, oleh karena itu
pemberian larutan manitol hipertonis akan meningkakan osmolaritas
cairan ekstrasel sehingga dapat menambah jumlah cairan ekstrasel.
Hal ini tentu berbahaya bagi pasien payah jantung. Kadang-kadang
manitol juga dapat menimbulkan hipersensitif (Nafrialdy, 2012).
f. Interaksi Obat
16
Obat diuretik osmotik khususnya manitol akan menyebabkan
toksisitas litium (dengan hiponatremia yang diinduksi diuretik)
(Shawkat, 2012).
g. Contoh Obat dan sediaannya
Manitol. Untuk infus intravena digunakan larutan 20%. Dosis
dewasa berkisar antara 50-100 g (250-500 ml) dengan kecepatan infus
30-50 mL/jam. Untuk mengurangi edema otak diberikan 0,25-2
g/kgBB selama 30-0 menit. Untuk edema dan asites dan untuk
mengatasi GGA pada keracunan digunakan dosis 500 mL dalam 6 jam
(Nafrialdy, 2012).
5. Penghambat Karbonik Anhidrase
Carbonic Anhydrase Inhibitor merupakan diuretik yang bekerja di
semua saluran kemih. Namun, yang paling dominan menjadi sasaran obat
ini ialah sel epitel tubulus kontortus proksimal, di mana obat ini
merupakan katalisator dehidrasi H2CO3 menjadi CO2 dan rehidrasi CO2
menjadi H2CO3, sehingga menghambat reabsorpsi NaHCO3 dan
menyebabkan diuresis (Katzung et al, 2012).
a. Farmakokinetik (Katzung et al, 2012)
Obat ini diabsorpsi secara oral dengan baik. Di dalam tubuh, efek
peningkatan pH urin terlihat dalam 30 menit dan mencapai maksimal
dalam 2 jam dan bertahan hingga 12 jam. Obat golongan carbonic
anhydrase inihibitor diekskresi melalui tubulus proksimal segmen S2.
(Katzung et al, 2012)
b. Farmakodinamik (Katzung et al, 2012)
Kemampuan Carbonic anhydrase inhibitor mengambat reabsorpsi
HCO3- di permukaan tubulus kontortus proksimal dalam satu dosis
aman dapat mencapai 85%. Beberapa HCO3- masih dapat diabsorpsi di
bagian nefron lain melalui mekanisme carbonic anhydrase-
independent, sehingga secara keseluruhan efek maksimal obat ini
ialah 45% dari semua reabosrpsi HCO3- di seluruh ginjal. Walaupun
hanya 45% obat ini dapat menyebabkan hilangnya kandungan HCO3-
secara signifikan dan hyperchloremic metabolic acidosis.
17
c. Indikasi
1) Glukoma
Reduksi pembentukan aqueous humor oleh carbonic
anhydrase inhibitor menurunkan tekanan intraokuler. Efek ini
berguna dalam proses penyembuhan glukoma (Katzung et al,
2012).
2) Alkalinisasi urin
Asam urat dan cystine biasanys sulit larut dan dapat
membentuk batu dalam urin yang asam. Pada cystinuria, kelainan
pada reabsorpsi cystine, dapat teratasi oleh alkalisasi urin menjadi
pH 7.0-7.5 yang dapat dicapai oleh penggunaan carbonic
anhydrase inhibitor. Pada kasus asam urat, pH yang harus dicapai
ialah 6.0-6.5. Peningkatan pH harus dikontrol sesuai dengan
penyakitnya karena peningkatan pH yang terlalu tinggi dapat
menyebabkan pembentukan batu kalsium (Katzung et al, 2012).
3) Acute Mountain Sickness
Para pendaki gunung apabila sudah mencapai ketinggian
lebih dari 3000 m dapat merasakan lelah, muntah, insomnia, dan
sakit kepala yang disebut acute mountain sicknesss. Penyakit ini
dapat bertahan hingga beberapa hari. Carbonic anhydrase
inhibitor dapat meningkatkan ventilasi sehingga dapat
mengurangi gejala-gejala tersebut (Katzung et al, 2012).
d. Kontraindikasi
Obat ini memicu alkalinisasi urin sehingga menurunkan ekskresi
NH4+ dalam urin. Keadaan ini dapat berakibat pada berkembangnya
hiperammonemia dan enselofati hepar pada penderita sirosis (Katzung
et al, 2012).
e. Efek Samping
1) Asidosis hiperkloremik
Secara otomatis ketika carbonic anhydrase inhibitor
mereduksi HCO3- terjadilah asidosis yang dapat bertahan
sepanjang obat ini digunakan (Katzung et al, 2012).
18
2) Batu ginjal
Fosfaturia dan hiperkalsiuria dapat terjadi sebagai respon
terhadap carbonic anhydrase inhibitor. Ekskresi renal yang
berupa faktor pelarut dapat menyusut seiring penggunaan jangka
panjang sehingga menjadi faktor risiko terbentuknya batu ginjal
(Katzung et al, 2012).
3) Hipokalemia
Hipokalemi dapat terjadi karena meningkatnya jumlah Na+
di tubulus kolektivus sehingga meningkatkan sekresi K+.
Hipokalemi merupakan masalah yang sering terjadi pada
penggunaan diuretik yang meningkatkan jumlah Na+ di tubulus
(Katzung et al, 2012).
f. Bentuk Sediaan Obat (Kee et al, 1996)
Tabel 1. Bentuk dan sediaan obat inhibitor karbonat anhidrase
Nama Obat Sediaan
Acetazolamide D : PO : 250 mg
IV : 250-500 mg/hari
Diklorfenamide D : PO : 100 mg/12 jam
Metazzolamide D : PO : 50-100 mg
19
III. METODE PRAKTIKUM
A. Alat
1. Beakerglass
2. Papan Lilin
3. Kapas
4. Sonde Kelinci
5. Kateter (pipa NGT bayi)
6. Spuit 3cc
B. Bahan
1. Aquadest
2. Furosemid
3. Spironolactone
4. Ekstrak daun teh
5. Prokain-Penicillin G
6. Paraffin
C. Hewan Percobaan
Kelinci (Oryctolagus cuniculus)
D. Cara Kerja
1. Mengambil kelinci dari tempatnya
2. Menimbang kelinci dalam satuan Kilogram
3. Meletakkan kelinci di pemasung
4. Memasukkan kateter yang telah dilicinkan dengan kaeter ke dalam penis
kelinci
5. Berilah Pada masing-masing Kelinci dengan menggunakan sonde lambung
a. Aquadest; 5 ml
b. Furosemid; dengan dosis yang sudah dikonversi adalah sebagai berikut
: Dosis Kelinci = 40 mg x 0,07 x BB kelinci dalam kilogram
1,5 x110
20
c. Spironolactone; dengan dosis yang sudah dikonversi adalah sebagai
berikut : Dosis Kelinci = 25 mg x 0,07 x BBkelinci dalam kilogram
1,5 x1025
d. Ekstrak teh; 5 mg/KgBB
6. Mencatat pengeluaran urin kelinci setiap 10 menit selama 30 menit
7. Membuat grafik jumlah urin yang keluar dalam cc/kgBB terhadap waktu.
8. Menyuntik masing-masing Kelinci dengan prokain-penicilin G sesudah
percobaan
21
A. Aplikasi Klinis
1. Gagal Jantung
Gagal jantung adalah sindrom klinis (sekumpulan tanda dan
gejala), ditandai oleh sesak nafas dan fatik (Saat istirahat atau saat
aktivitas) yang disebabkan oleh kelainan struktur atau fungsi jantung.
Dulu gagal jantung dianggap merupakan akibat dari berkurangnya
kontraktilitas dan daya pompa sehingga diperlukan inotropik untuk
meningkatkannya dan diuretik serta vasodilator untuk mengurangi
beban (un-load) (Panggabean, 2009).
Penatalaksanaan gagal jantung antara lain dengan menggunakan
obat diuretik oral, digitalis, aldosteron antagonis. Diuretik oral atau
parenteral tetap merupakan ujung tombak pengobatan gagal jantung
sampai edem atau asites hilang (tercapai euvolemik). Aldosteron
antagonis memiliki efek menghambat kerja hormone aldosterone
sehingga proses pertukaran antara ion Na+ dan K+ yang menarik air
tidak terjadi. Antagonis aldosterone dipakai untuk memperkuat efek
diuretik atau pada pasien dengan hipokalemia, dan ada beberapa studi
yang menunjukan penurunan mortalitas dengan pemberian jenis obat
ini (Panggabean, 2009).
2. Asites
Asites dapat dijumpai pada beberapa bentuk sirosis dan biasanya
merupakan gambaran terakhir dari bentuk bilier. Mekanisme
terbentuknya asites yaitu pertukaran cairan antara darah dan cairan
interstitiel dikontrol oleh keseimbangan antara tekanan darah kapiler
yang mendorong masuk kedalam jaringan interstitiel dan tekanan
osmotik dari plasma protein yang menarik cairan tetap tinggal didalam
kapiler (Hadi, 2003).
Penatalaksanaan asites dapat dengan menggunakan diuretik. Bila
setelah 4 hari dengan pengaturan diit dan cairanm penurunan BB
kurang dari 1 kg, maka perlu diberikan diuretika. Pemberian diuretika
22
harus ditentukan untuk masing-masing penderita. Pemberian diuretika
harus segera dihentikan atau dikurangi dosisnya, jika diuresis terlalu
cepat. Diuretika menghambat reabsorbsi ion Na+, K+ dan Cl- sehingga
pada pemberian diuretika harus diingat akan komplikasi yang mungkin
terjadi misalnya: hipokalemi, hiponatremi, dan hipokhloremia alkalosis
(Hadi, 2003).
3. Sindroma nefrotik
Sindrom nefrotik (SN) merupakan salah satu manifestasi klinik
dari glomerulonefritis (GN) ditandai dengan edema anasarka,
proteinuriamasif ≥3,5 g/hari, hipoalbuminemia <3,5 g/dl,
hiperkolesterolemia, dan lipiduria. Pada proses awal atauSN ringan
untuk menegakkan diagnosis tidak semua gejala tersebut harus
ditemukan. Proteinuria masif merupakan tanda khas SN, tetapi pada SN
berat yang disertai kadar albumin serum rendah ekskresi protein dalam
urin juga bekrurang (Sudoyo, 2009).
Pengobatan SN terdiri dari pengobatan spesifik yang ditujukan
terhadap penyakit dasar dan pengobatan nonspesifik untuk mengurangi
proteinuria, mengontrol edema, dan mengobati komplikasi. Diuretik
disertai diet rendah garam dan tirah baring dapat membantu mengontrol
edema. Furosemid oral yang memiliki mekanisme kerja menghambat
reabsorbsi ion Na+, K+ dan Cl- dapat diberikan dan bila resisten dapat
dikombinsi dengan tiazid, metalazon, dan atau asetazolamid. Kontrol
proteinuria dapat memperbaiki hipoalbuminemia dan mengurangi risiko
komplikasi yang ditimbulkan (Sudoyo, 2009).
4. Edema
Edema adalah penimbunan cairan secara berlebihan di antara sel-
sel tubuh atau di dalam berbagai rongga tubuh keadaan ini terjadi
sebagai akibat ketidakseimbangan faktor-faktor yang mengontrol
perpindahan cairan tubuh, antara lain gangguan hemodinamik sistem
kapiler yang menyebabkan retensi natrium dan air, penyakit ginjal serta
berpindahnya air dari intravaskuler ke interstitium (Sudoyo, 2009).
23
Terapi edema harus mencakup penyebab yang mendasarinya yang
reversibel (jika memungkinkan), pengurangan asupan sodium harus
dilakukan untuk meminimalisasi retensi air. Tidak semua pasien edema
memerlukan terapi farmakologis. Pada beberapa pasien terapi non
farmakologis sangat efektif seperti pengurangan asupan natrium dan
menaikkan kaki di atas level atrium kiri. Pada kondisi tertentu diuretik
seperti furosemide yang menghambat reabsorbsi ion Na+, K+ dan Cl-
harus diberikan bersamaan dengan terapi non farmakologis. Pemilihan
obat, rute pemberian, dan dosis akan sangat tergantung pada penyakit
yang mendasarinya, berat ringannya penyakit dan urgen di penyakitnya
(Sudoyo, 2009).
24
B. Evaluasi
1. Bagaimana Mekanisme Kerja HCT dan Furosemide dalam
menimbulkan diuresis
a. Hidroclorothiazid
Mekanisme kerja HCT adalah menghambat reabsorbsi Na+ Cl-
pada area luminal epitel tubulus kontortus distal dengan
memnblokir reseptor Na+/Cl- di tempat tersebut sehingga
reabsorbsi air dari urin pun ikut terhambat (Departemen
Farmakologi dan Terapeutik FK UI, 2007).
b. Furosemide
Furosemide bekerja pada ansa henle dengan menghambat
transporter Na+K/2Cl- sehingga reabsorbsi garam natrium dan
reabsorsi air juga terhambat (Departemen Farmakologi dan
Terapeutik FK UI, 2007).
2. Sebutkan gejala-gejala toksik loop diuretic
a. Alergi
b. Alkalosis metabolic hipokalemia
c. Gangguan pendengaran (ototoksitas)
d. Deplesi Cairan
e. Gangguan keseimbangan elektrolit seperti hipomagnesemia
(ditandai oleh lemas, haus, hipotensi).
Loop diuretik pada dosis tinggi dapat menginduksi perubahan
komposisi elektrolit dalam endolimfe dan menyebabkan ketulian
yang sifatnya tidak dapat pulih kembali. Ketualian adalah
manifestasi klinis yang digunakan sebagai salah satu indikator tanda
toxic effec dari loop diuretik (Neal, 2002).
3. Sebutkan kegunaan diuretic thiazide dan golongan acarbose
Diuretic Thiazid : Terapi Hipertensi, Gagal Jantung, Hiperkalsiuria
Acarbose : Pengobatan Diabetes Mellitus Tipe 2
(Departemen Farmakologi dan Terapeutik FK UI, 2007).
25
4. Sebutkan klasifikasi diuretic dan cara kerjanya serta berilah
contohnya masing-masing dua!
a. Diuretik kuat
Obat ini bekerja di lengkung henle ascendens epitel tebal
melalui penghambatan reabsorpsi Na+, K+, dan Cl-. Contoh
obatnya antara lain furosemide dan bumetamid (Departemen
Farmakologi dan Terapeutik FK UI, 2007).
b. Diuretik hemat kalium
Obat ini bekerja di tubulus colligentes (untuk obat antagonis
aldosterone) dan di akhir tubulus distal (untuk obat triamterene
dan amilorid). Antagonis aldosterone seperti spironolactone dan
eplerenon bekerja dengan cara antagonis kompetitif pada
reseptor aldosterone sehingga menghambat reabsorpsi Na+dan
Cl-, namun mampu menghemat K+. Sedangkan triamterene dan
amilorid bekerja langsung tanpa melalui penghambatan reseptor
aldosterone (Departemen Farmakologi dan Terapeutik FK UI,
2007).
c. Thiazid
Obat ini bekerja di hulu tubulus distal dengan cara menghambat
reabsorpsi natrium dan klorida, contoh obatnya adalah
hidrochlorothiazid dan chlorothiazid (Departemen Farmakologi
danTerapeutik FK UI, 2007).
d. Diuretik osmotic
Obat ini bekerja di tiga tempat yaitu tubulus proximal, ansa
henle, dan tubulus collectivus. Prinsip kerja pada proximal
tubule adalah meningkatkan tekanan osmotic intralumen
sehingga menarik air ke lumen dan menghambat reabsorpsi
natrium serta klorida. Sedangkan pada ansa henle, diuretic
osmotic bekerja melalui prinsip hipertonisitas. Pada tubulus
collectivus diuretic osmotic bekerja dengan menghambat
ADH.Contoh obat diuretic osmotic antara lain mannitol,
26
gliserin, isosorbid, dan urea (Departemen Farmakologi dan
Terapeutik FK UI, 2007).
e. Inhibitor carbonic anhydrase
Obat Bekerja di tubulus proksimal dengan cara menghambat
enzim carbonic anhydrase secara non kompetitif. Hal tersebut
menyebabkan penghambatan reabsorpsi HCO3- di ginjal. Contoh
obatnya adalah asetazolamid dan metazolamid (Departemen
Farmakologi dan Terapeutik FK UI, 2007).
f. Antagonis ADH
Obat ini bekerja di duktus collectivus melalui penurunan
produksi cAMPsebagai respon ADH, hal ini menyebabkan
peningkatan diuresis. Contoh obatnya adalah lithium dan
demeclocycline (Departemen Farmakologi dan Terapeutik FK
UI, 2007).
5. Jelaskan efek pemberian ekstrak daun teh
Daun teh memiliki kandungan kafein yang memiliki efek diuretik
(Ratnasooriyaet al., 2009). Di dalam tubuh, kafein bertindak melalui
beberapa mekanisme, tetapi efek yang paling penting adalah untuk
menangkal zat yang disebut adenosin yang secara alamiah
bersirkulasi pada tingkat tinggi di seluruh tubuh, dan terutama dalam
sistem saraf. Di otak, adenosine memainkan peran umumnya
pelindung, bagian yang adalah untuk mengurangi tingkat aktivitas
saraf - misalnya, ada beberapa bukti bahwa adenosin membantu
untuk menginduksi mati suri pada hewan yang musiman hibernasi
(Jinka et al., 2011).
27
IV. KESIMPULAN
1. Diuretik terbagi menjadi beberapa golongan dengan karakterisik yang
berbeda yaitu diuretik kuat, tiazid, diuretic osmotik, diuretic hemat kalium
dan inhibitor karbonik anhidrase
2. Kelinci kontrol adalah kelinci dengan pengeluaran urin terbanyak
dibandingkan dengan kelinci yang diberi obat diuretic
3. Kelinci yang diberi furosemide adalah kelinci dengan jumlah pengeluaran
urin terkecil dibandingkan dengan kelinci lainnya
28
DAFTAR PUSTAKA
Asmadi. 2008. Teknik Prosedural Konsep & Aplikasi Kebutuhan Dasar Klien. Jakarta: Salemba Medika.
Chulay, M. 2006. AACN Essentials of Critical Care Nursing. USA: Mc Graw Hill.
Davey, Patrick. 2005. At A Glance: Medicine. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Departemen Farmakologi dan Terapeutik FK UI. 2007. Farmakologi dan Terapi. Jakarta: Balai Penerbit FK UI.
Graber, M.A., Toth, P.P., & Herting, R.L. 2006. Dokter Keluarga University of Iowa. Jakarta: EGC.
Gupta, S and L. Neysed. 2005. Diuretic Usage in Heart Failure: A Continuing Conundrum in 2005. European Heart Journal. 26 (7): 644-649.
Hadi, Sujono. 2003. Gastroenterologi. Bandung: PT. Alumni.
Huon H. Gray, Keith D. Dawkins, John M. Morgan, Iain A. Simpson. 2003. Lecture Notes: Kardiologi. Edisi Keempat. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Ilyas, S. 2011. Penggolongan Obat. Samarinda, available from http://www.akfarsam.ac.id/ (diakses pada tanggal 9 September 2014)
Jinka, T.R., Tøien, Ø, & Drew, K.L. 2011. "Season primes the brain in an arctic hibernator to facilitate entrance into torpor mediated by adenosine A(1) receptors". Journal of Neuroscience. 31 (30): 10752–8.
Kee, L. joyce & Evelyn R. Hayes. 2006. Farmakologi: Pendekatan Proses Keperawatan. Jakarta: EGC
Lukmanto, H. 2003. Informasi Akurat Produk Farmasi di Indonesia. Edisi II. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Nafrialdi. 2009. Diuretik dan Antidiuretik dalam Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta: Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Jenderal Soedirman
Neal, M. J. 2006. At A Glance: Farmakologi Medis. Edisi Kelima. Jakarta: Penerbit Erlangga.
29
Panggabean, Marulam. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi 5. Jakarta: Interna Publishing
Ratnasooriya WD, Fernando TSP, Ranatunga RAAR. 2009. Diuretic activity of
Schmitz, G., Hans Lepper., Michael Heidrich. 2009. Farmakologi dan Toksikologi. Jakarta: EGC
Shawkat, H. 2012. A review of its clinical uses. Available at: http://ceaccp.oxfordjournals.org/content/early/2012/01/12/bjaceaccp.mkr063.full. (Diakses pada 6 September 2014)
Sri Lankan black tea (Camellia sinensis L.) in rats. Pharmacognosy Research; 1(1): 4-10.
Stringer, J. L. 2008. Konsep Dasar Farmakologi Panduan untuk mahasiswa. Jakarta: EGC.
Sudoyo, Aru W., dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II, Edisi V. Jakarta: Interna Publishing.
Theodorus. 1996. Penuntun Praktis Peresepan Obat. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Tjay, T.H dan Rahardja, K. 2007. Obat-Obat Penting. Jakarta: Elex Media Komputindo
Vigen, Rebecca, Rick A, Robert F. 2011. Thiazides Diuretics in The Treatment of Nephrolithiasis. Journal of International Urology and Nephrology Vol.43 pp 813-819
30
top related