A. Demokrasi: Gagasan Modern yang Menggeser Gagasan …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/90276/potongan/S1... · Sadat memiliki 3 prinsip dasar dalam menjalankan sebuah gagasan
Post on 21-Mar-2019
219 Views
Preview:
Transcript
1
BAB I
MENGUSIK ROMANTISME TENTANG SRI SULTAN HAMENGKU BUWONO IX
A. Demokrasi: Gagasan Modern yang Menggeser Gagasan Tradisional
Demokrasi merupakan salah satu hal esensial dalam tata kelola pemerintahan yang
saat ini selalu didengung-dengungkan. Secara gamblang, demokrasi selalu dimaknai sebagai
pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat. Secara terminologi, kata demokrasi tersebut
berasal dari kata „demos‟ yang berarti rakyat dan „kratos‟ yang berarti pemerintahan. Dengan
demikian, rakyat menjadi pemegang kedaulatan dan kekuasaan tertinggi di dalam sebuah
negara. Sesudah perang dunia kedua berakhir (1939-1945), gagasan demokrasi kemudian
juga diterapkan di beberapa negara di kawasan Asia seperti India, Pakistan, Filipina, dan
Indonesia, meskipun setiap negara tersebut memakai bentuk pemerintahan yang berbeda-
beda.1 Selanjutnya, perdebatan gagasan dan definisi demokrasi sampai dengan saat ini tidak
pernah usai. Artinya demokrasi menjadi sebuah gagasan fleksibel yang selalu bisa dikaitkan
dengan nilai-nilai yang ingin dibawa oleh sebuah negara.
Selanjutnya, istilah demokrasi yang masih terlalu umum tersebut mendorong berbagai
pemikir menyumbangkan gagasannya tentang demokrasi. Salah satu tokoh terkenal yang
memiliki pemikiran khas tentang demokrasi berasal dari Timur Tengah yaitu Anwar Sadat
sebagai pemimpin Mesir yang menggantikan rezim otoritarianisme Nasser. Secara umum,
Anwar tidak memiliki pemikiran tentang demokrasi yang sempurna, tetapi setidaknya Anwar
Sadat memiliki 3 prinsip dasar dalam menjalankan sebuah gagasan demokrasi yaitu multi
partai, kebebasan pers, dan kebijakan pintu terbuka.2 Munculnya gagasan demokrasi tersebut
kemudian dijadikan landasan bagi Sadat untuk menjalankan kebijakan-kebijakan politiknya.
Salah satu faktor yang mempengaruhi munculnya gagasan demokrasi menurut Anwar Sadat
1 Lihat Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, PT Gramedia Pustaka Umum, Jakarta, 2000, hal.51.
2 Lihat skripsi Achmad Baehaki, Inkonsistensi Anwar Sadat Tentang Demokrasi, Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2007, hal.57. Diakses melalui http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/-
bitstream/123456789/8494/1/ACHMAD%20BAEHAKI-FUF.pdf pada hari Selasa tanggal 10 Juni 2014 pukul
11.50 WIB.
2
tersebut adalah kecintaannya terhadap beberapa tokoh dunia seperti Mahatma Ghandi, Hitler,
Zahran, dan lain sebagainya.
Pada ranah politik nasional, gagasan tentang demokrasi juga pernah disumbangkan
oleh Amien Rais dan Nurcholis Madjid. Berangkat dari konsep tauhid, Amien Rais secara
tegas menyatakan bahwa perjuangan politik umat Islam untuk membangun sebuah tatanan
masyarakat yang lebih baik hanya bisa dilakukan melalui sistem demokrasi.3 Seperti halnya
dengan ajaran agama Islam, Amien Rais meyakini bahwa demokrasi tidak hanya memuat
aspek-aspek yang bersifat mengubah, tetapi juga mengandung aspek perpaduan dan
penyatuan. Di sisi lain, Nurcholis Madjid melihat bahwa nilai-nilai yang terkandung di dalam
sistem demokrasi tidak hanya didukung dan dibenarkan oleh ajaran Islam, tetapi juga sebagai
aturan permainan politik terbuka.4 Gagasan tentang demokrasi tersebut nantinya juga akan
membawa dampak pada tindakan politik tokoh yang bersangkutan.
Banyaknya gagasan atau pendapat yang dikemukakan terkait dengan demokrasi
menjadi salah satu bukti bahwa demokrasi menjadi gagasan baru dan lebih modern. Bahkan
setiap orang hampir selalu memuji demokrasi sebagai sebuah sistem yang cukup sempurna
untuk diterapkan di berbagai belahan dunia hingga saat ini. Tidak mengherankan apabila
banyak sistem-sistem tradisional kemudian digantikan oleh sistem demokrasi. Mulai dari
munculnya demokrasi yang prosedural hingga demokrasi yang lebih substansial. Oleh karena
itu, demokrasi sebagai sebuah gagasan masih menjadi sesuatu hangat untuk terus-menerus
dibahas di kalangan akademisi ataupun praktisi.
Keluar dari gagasan demokrasi masih luas tersebut, gagasan terhadap demokrasi juga
bisa dilekatkan dengan kebudayaan Jawa. Menurut Koentjoroningrat, kebudayaan adalah
3 Lihat Umaruddin Masdar, Membaca Pikiran Gus Dur dan Amien Rais Tentang Demokrasi, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 1999, hal.96. 4 Lihat skripsi Misbahul Huda, Analisis Pemikiran Nurcholish Madjid Tentang Demokrasi, Institut Agama
Islam Negeri Walisongo, Semarang, 2009, hal.61. Diakses melalui http://library.walisongo.ac.id/digilib/files-
/disk1/97/jtptiain-gdl-misbahulhu-4817-1-skripsi_-6.pdf pada hari Selasa tanggal 10 Juni 2014 pukul 12.38
WIB.
3
keseluruhan sistem, gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan
masyarakat yang dihasilkan dengan cara belajar.5 Dalam konsep politik demokrasi Jawa,
rakyat diyakini sebagai jelmaan Tuhan sehingga rakyat menjadi pemimpin dan pemegang
kekuasaan yang sebenarnya.6 Merujuk pada konsep tersebut, maka raja seharusnya mampu
bertindak adil dan bertanggungjawab kepada rakyat yang dipimpinnya sehingga raja tidak
berorientasi pada kepentingan pribadi, keluarga, dan golongannya. Konsep tersebut tentu
berkebalikan dengan kepercayaan kuno yang menganggap bahwa seorang raja merupakan
jelmaan dari Tuhan yang memiliki wewenang tanpa batas untuk mengatur rakyatnya.
Berbicara mengenai demokrasi dan kebudayaan Jawa, maka sosok Sri Sultan
Hamengku Buwono IX tidak dapat dilepaskan dari kajian tersebut. Melacak pemikiran Sri
Sultan HB IX tentang demokrasi pada dasarnya menjadi hal menarik untuk dilakukan.
Meskipun demikian, keinginan peneliti untuk melacak pemikiran sultan tersebut sulit untuk
dilakukan karena terdapat beberapa limitasi, termasuk dari sosok sultan sendiri yang sulit
untuk dimengerti. Hal tersebut diperkuat dengan tulisan John Monfries yang menyimpulkan
bahwa Sri Sultan HB IX adalah sosok yang memiliki banyak paradoks dan kontradiksi di
sepanjang karir politiknya, terlebih sultan relatif sedikit membuat pernyataan publik,
meskipun dirinya cukup mencolok di kancah politik nasional.7 Dengan demikian, peneliti
dalam tulisan ini hanya sebatas menarik penafsiran terhadap tindakan politik yang dilakukan
oleh Sri Sultan HB IX.
5 Selengkapnya lihat Heru Wahyukismoyo, Merajut Kembali Pemikiran Sri Sultan Hamengku Buwono IX:
Sebuah Kumpulan Pemikiran dan Polemik Status Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta,
Dharmakaryadhika Publisher, Yogyakarta, 2008, hal.96. 6 Selengkapnya lihat Mulyana (ed), Demokrasi Dalam Budaya Lokal, Tiara Wacana, Yogyakarta, 2005, hal.6.
7 Pernyataan tersebut banyak didukung oleh temuan Monfries dalam penelitiannya. Pertama, Monfries melihat
gejala yang tidak lazim dimana sultan adalah sosok pangeran Jawa, tetapi dalam banyak keputusan yang
dibuatnya, sultan tidak dapat dibedakan dengan politisi ala Barat. Kedua, sultan adalah penganut Islam ortodoks,
tetapi dalam pidato atau tulisannya, sultan jarang menjadikan Islam, Allah, atau Nabi Muhammad sebagai
rujukannya. Kedua hal tersebut secara tidak langsung bahwa sultan adalah sosok yang sulit untuk dimengerti.
Lihat John Monfries, A Prince in a Republic: The Life of Sultan Hamengku Buwono IX of Yogyakarta, ISEAS,
Singapore, 2015, hal.2-5.
4
Menafsirkan tapak politik demokrasi yang dilakukan oleh Sri Sultan HB IX pada
dasarnya menjadi alternatif lain ketika pemikiran sultan sulit untuk disimpulkan, khususnya
terkait dengan demokrasi. Kajian tentang penafsiran tapak politik Sri Sultan HB IX yang
diangkat oleh peneliti ini setidaknya juga bisa dijadikan referensi tambahan dalam melihat
karakter politik Sri Sultan HB IX yang terkait dengan demokrasi. Meskipun untuk melacak
pemikiran sultan terdapat limitasi data atau hal yang lainnya, kajian ini setidaknya masih
tetap memiliki relevansi dengan kajian pemikiran politik seseorang. Bahkan hasil dari kajian
yang dilakukan oleh peneliti nantinya bisa memberikan sudut pandang yang lain dalam
melihat Sri Sultan HB IX sebagai sosok yang memiliki kecerdasan dalam berpolitik.
Sebagai seorang Raja Yogyakarta, Sri Sultan HB IX telah melakukan berbagai
keputusan yang sifatnya demokratis. Banyak faktor yang kemudian membuat Sri Sultan HB
IX mengeluarkan berbagai kebijakan atau keputusan yang bersifat demokratis semasa
menjadi raja sekaligus gubernur di Yogyakarta. Semasa menjalankan kewenangannya sebagai
seorang raja, Sri Sultan HB IX memegang prinsip sufistik yaitu sumarah mawi pasrah-
Suwung pamrih tebih ajrih-Langgeng tan ana susah lan bungah-Anteng meneng sugeng
jeneng yang mengandung maksud bahwa dirinya berserah diri kepada Allah SWT tanpa
pamrih apapun, jauh dari rasa takut, dalam kehidupan tidak ada kesedihan dan kegembiraan,
tetapi yang ada hanyalah kedamaian demi menjaga nama dan kehormatan.8 Hal tersebut
menandakan bahwa sultan masih memegang teguh keluhuran budi sebagai seorang raja.
Menafsirkan tapak politik demokrasi Sri Sultan HB IX tersebut menjadi menarik
mengingat tapak politik yang dilakukan sultan memiliki maksud yang tersembunyi. Hal
tersebut tidak dapat dilepaskan dari kenyataan bahwa tapak politik tersebut berasal dari Sri
Sultan HB IX yang notabene merupakan seorang raja yang identik dengan nilai-nilai monarki
dan jauh dari sistem pemerintahan yang demokratis. Sri Sultan HB IX telah memperlihatkan
8 Lihat Sri Wintala Achmad, Falsafah Kepemimpinan Jawa: Soeharto, Sri Sultan HB IX, dan Jokowi, Araska,
Yogyakarta, 2013, hal.142.
5
bahwa tidak selamanya sebuah kerajaan menerapkan sistem yang monarki, tetapi justru bisa
menjadi inspirasi bagi pelaksanaan demokrasi di wilayah lainnya. Fenomena tersebut secara
tidak langsung menunjukkan bahwa sultan sebagai seorang raja yang modern tidak hanya
memiliki keluhuran budi semata, tetapi juga memiliki kecerdasan dalam berpolitik.
Setidaknya ada beberapa hal yang mencerminkan sikap demokratis Sri Sultan
Hamengku Buwono IX. Beberapa kebijakan demokratis (bentuk demokrasi prosedural) yang
dikeluarkan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX di luar keraton yaitu merintis
terbentuknya Badan Pekerja Komite Nasional Daerah (BP-KNID) Yogyakarta yang pada
akhirnya nanti merupakan cikal bakal badan legislatif di tingkat provinsi, memberikan ide
otonomi daerah yang bertumpu pada daerah swantara tingkat kota atau kabupaten, dan
membentuk demokrasi pada tingkat keluharan (membentuk lembaga legislatif kelurahan).
Secara lebih rinci, Sri Sultan Hamengku Buwono IX bersama Paku Alam VIII pada saat itu
mengeluarkan beberapa Maklumat yang mengatur tentang DPR Desa, Lurah Desa beserta
perangkatnya, dan Majelis Permusyawaratan Desa. Dewan Desa pada saat itu dipilih
langsung oleh rakyat desa dan memiliki wewenang untuk membuat peraturan desa yang
nantinya dilaksanakan oleh pamong desa dan pegawainya.9
Pada aspek yang lain, Sri Sultan Hamengku Buwono IX juga telah melakukan
demokratisasi di dalam keraton. Bentuk demokratisasi tersebut yaitu menghilangkan jabatan
Pepatih Dalem dan menyederhanakan upacara-upacara (berdana besar dan rumit) keraton
tanpa menghilangkan maknanya.10
Selain itu, keraton di bawah Sultan Hemengku Buwono
IX juga menjadi lebih terbuka dan demokratis dengan adanya jabatan pamong praja yang
anggotanya tidak hanya berasal dari lingkungan atau kerabat keraton, tetapi juga bisa berasal
9 Lihat Julius Pour dan Nur Adji (ed), Sepanjang Hayat Bersama Rakyat: 100 Tahun Sultan Hamengku Buwono
IX, Kompas Media Nusantara, Jakarta, 2012, hal.45. 10
Pepatih Dalem merupakan jembatan antara raja dan rakyat sehingga semua urusan yang berhubungan dengan
rakyat akan sampai ke raja setelah raja menerima laporan dari Pepatih Dalem. Penghapusan jabatan tersebut
secara tidak langsung telah mendekatkan raja dengan rakyatnya.
6
dari masyarakat umum yang memiliki prestasi.11
Pada aspek yang lebih jauh, demokratisasi
di dalam keraton juga dilakukan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX dengan
menghilangkan Pengadilan Darah Dalem yang dahulunya merupakan pengadilan istimewa
bagi para bangsawan.12
Berangkat dari beberapa hal yang telah dipaparkan sebelumnya, maka telah terlihat
secara jelas bahwa sistem monarki sebagai sebuah gagasan yang tradisional mulai tergeser
eksistensinya oleh gagasan yang lebih modern yaitu demokrasi. Fenomena tersebut bisa
dilihat dengan munculnya beberapa kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh sultan sebagai
salah satu sosok yang masih memegang erat gagasan tradisional yang dimaksud. Tergesernya
gagasan tradisional tersebut tidak lain karena adanya tuntutan zaman dimana aspek
partisipasi, kompetisi, dan kebebasan berekspresi di kalangan rakyat harus diakomodir. Hal
tersebut tentu bertentangan dengan gagasan monarki dimana seorang raja memiliki kekuasaan
yang absolut terhadap rakyat yang dipimpinnya.
Menariknya, Sri Sultan HB IX sebagai tokoh yang masih memegang gagasan
tradisional tersebut juga tidak menolak munculnya gagasan tentang demokrasi. Hal tersebut
dibuktikan oleh sultan ketika dirinya banyak membuat kebijakan-kebijakan yang dinilai
demokratis. Pada aspek yang lebih mengakomodir zaman, keputusan sultan tersebut tentu
didukung oleh banyak kalangan, khususnya para cendekiawan yang pada waktu itu juga
memiliki pengetahuan tentang demokrasi. Di sisi lain, kebijakan sultan tersebut
memunculkan kontrovesi dimana seorang feodal justru mengeluarkan kebijakan-kebijakan
yang sebenarnya bertentangan dengan nilai-nilai tradisional yang sebenarnya masih dipegang
oleh sultan. Fenomena inilah yang sebenarnya menarik untuk ditelisik lebih jauh yaitu untuk
menguak latar belakang di balik keputusan-keputusan sultan yang demikian.
11
Selengkapnya lihat Haryadi Baskoro dan Sudomo Sunaryo, Wasiat HB IX: Yogyakarta Kota Republik, Galang
Press, Yogyakarta, 2011, hal.221-222. 12
Lihat Atmakusumah (ed), Tahta Untuk Rakyat: Celah-celah Kehidupan Sultan Hamengku Buwono IX,
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2011, hal.61.
7
Kontroversial tentang sosok Sri Sultan HB IX tersebut kemudian juga semakin
terlihat ketika sultan memiliki sepak terjang yang tidak biasa sebagai seorang raja. Hal
tersebut bisa dilihat dari pengaruhnya sebagai seorang raja yang kemudian memiliki
kewenangan untuk mengatur daerahnya sendiri dalam kerangka sebuah negara republik
(menjadi seorang kepala daerah) hingga karir tertingginya sebagai seorang wakil presiden
(pemimpin republik). Bagi publik, karir sultan tersebut adalah hal wajar seorang negarawan
untuk mengabdikan dirinya bagi kepentingan nusa dan bangsa. Pada aspek yang lain, sepak
terjang sultan justru memiliki misi tersembunyi dimana di era yang semakin modern, Sri
Sultan HB IX ingin menunjukkan eksistensinya sebagai seorang raja yang masih memiliki
pengaruh di republik. Hanya saja, sepak terjang sultan tersebut tertutupi oleh kewibawaannya
yang masih dianggap publik sebagai keluhuran budi seorang sultan.
Sebagai seorang lulusan pendidikan Barat, Sri Sultan HB IX secara cerdas
memainkan perannya sebagai sosok yang memiliki keluhuran budi tinggi sehingga kebijakan-
kebijakan yang dikeluarkannya tidak dianggap menyimpang oleh publik. Kecerdasan dalam
berpolitik itulah yang kemudian membawa citra Sri Sultan HB IX masih tetap sempurna di
mata publik dimana dirinya berhasil mengombinasikan ide-ide Barat dengan sentuhan-
sentuhan ajaran adiluhung. Dalam praktiknya, sultan telah berhasil memainkan perannya
sebagai seorang raja, kepala daerah, dan politisi. Oleh karena itu, peneliti ingin menguak
tapak politik dan menafsirkannya dengan tujuan untuk melihat siasat seorang sultan dengan
menggunakan ide-ide demokrasi sebagai gagasan modern untuk mempertahankan kekuasaan
tradisional (ide-ide monarki) yang dimilikinya.
B. Rumusan Masalah
Bagaimana penafsiran tapak politik demokrasi yang dilakukan oleh Sri Sultan
Hamengku Buwono IX ?
8
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini yaitu untuk menafsirkan tapak politik yang
dilakukan Sri Sultan HB IX dalam mengambil berbagai kebijakan atau keputusan yang
bersifat demokratis di Yogyakarta. Artinya peneliti ingin menarik benang merah atas
berbagai latar belakang yang mempengaruhi tindakan Sri Sultan HB IX untuk melakukan
demokratisasi di Yogyakarta, termasuk untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi
gagasan Sri Sultan HB IX. Secara lebih jelas, setidaknya ada dua tujuan yang ingin dicapai
oleh peneliti dalam penelitian tersebut. Pertama yaitu menambah khasanah keilmuan baru
terkait dengan teori pemikiran politik dan demokrasi yang dikaitkan dengan salah satu tokoh
nasional yaitu Sri Sultan HB IX. Kedua yaitu mampu menguak hal-hal baru yang mendasari
beberapa keputusan Sri Sultan HB IX yang dinilai demokratis. Artinya penelitian tersebut
bertujuan untuk menemukan data-data baru yang belum menjadi temuan bagi peneliti
maupun peneliti buku tentang Sri Sultan HB IX.
D. Studi tentang Sri Sultan HB IX
Dari beberapa buku yang telah ditelaah oleh peneliti tentang Sri Sultan Hamengku
Buwono IX, banyak diantaranya yang mengulas perjalanan hidup Raja Yogyakarta yang
kesembilan tersebut. Beberapa buku yang menceritakan perjalanan hidup Sri Sultan
Hamengku Buwono IX yaitu Tahta Untuk Rakyat yang ditulis oleh Atmakusumah (editor),
Sejarah Kanjeng Sultan Hamengku Buwono IX tulisan Purwadi, Sepanjang Hayat Bersama
Rakyat tulisan Julius Pour dan Nur Adji (editor), dan Sri Sultan Hari-hari Hamengku Buwono
IX yang ditulis dalam presentasi majalah Tempo. Beberapa literatur tersebut lebih
menekankan pada kehidupan Sri Sultan Hamengku Buwono IX, termasuk karir Sri Sultan
Hamengku Buwono IX di dalam pemerintahan republik.
Selain itu, ada beberapa literatur yang menuliskan tentang karakter kepemimpinan
dan sifat Sri Sultan Hamengku Buwono IX dalam bertindak. Adapun literatur yang dimaksud
9
adalah buku berjudul Hamengku Buwono IX Inspiring Prophetic Leader tulisan Parni Hadi
dan Nasyith Majidi (editor), Sri Sultan Hamengku Buwono IX Penjaga Demokrasi Indonesia
tulisan Sunardian Wirodono, Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman tulisan
Moedjanto, dan Falsafah Kepemimpinan Jawa Soeharto, Sri Sultan HB IX, dan Jokowi yang
ditulis oleh Sri Wintala Achmad. Literatur yang telah disebutkan tersebut lebih menyoroti
sifat dan karakter pribadi Sri Sultan Hamengku Buwono IX sebagai seorang raja, sekaligus
sebagai tokoh nasional.
Selanjutnya, peran spesifik Sri Sultan Hamengku Buwono IX kepada Yogyakarta dan
Republik Indonesia juga dituangkan ke dalam sebuah buku. Beberapa literatur tersebut
berjudul Sukarno, Hatta, dan Hamengkubuwono IX yang ditulis oleh Moedjanto, Mengawal
Transisi Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Pemerintahan Transisi Republik Indonesia di
Yogyakarta 1949 tulisan Aan Ratmanto, Hamengkubuwono IX: Dari Serangan Umum 1
Maret sampai Melawan Soeharto, Benarkah Hamengkubuwono IX Anggota CIA tulisan
K.Tino, dan Wasiat HB IX Yogyakarta Kota Republik tulisan Haryadi Baskoro dan Sudomo
Sunaryo. Tulisan-tulisan tersebut pada dasarnya lebih menitikberatkan pada peran dan
kebijakan Sri Sultan HB IX setelah dinobatkan sebagai Raja Yogyakarta.
Dari beberapa literatur yang telah disebutkan, ada beberapa literatur yang secara
spesifik membahas tentang pemikiran Sri Sultan Hamengku Buwono IX, khususnya terkait
dengan status keistimewaan Yogyakarta yang pada tahun-tahun sebelumnya menjadi hal yang
hangat untuk dibicarakan. Salah satu buku yang menceritakan pemikiran Sri Sultan HB IX
adalah Merajut Kembali Pemikiran Sri Sultan Hamengku Buwono IX: Sebuah Kumpulan
Pemikiran dan Polemik Status Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta yang ditulis oleh
Heru Wahyukismoyo. Di dalam buku tersebut, penulis menceritakan beberapa keputusan Sri
Sultan HB IX yang menyatakan bahwa Yogyakarta menjadi bagian dari Republik Indonesia,
10
termasuk beberapa kebijakan Sri Sultan HB IX yang dianggap demokratis dan secara tidak
langsung dianggap sebagai pembaharuan.
Berangkat dari tulisan-tulisan tersebut, maka peneliti mencoba untuk keluar dari
romantisme tentang Sri Sultan HB IX. Dengan kata lain, peneliti ingin melihat strategi yang
digunakan oleh sultan dalam rangka mempertahankan kekuasaan yang dimilikinya. Langkah
tersebut dilakukan dengan cara melakukan penafsiran terhadap tapak politik yang dilakukan
oleh sultan, baik dalam kapasitasnya sebagai seorang raja, kepala daerah, dan politisi. Dari
hasil penafsiran tersebut nantinya diharapkan dapat menghasilkan sebuah refleksi akhir yang
menggugah kesadaran publik bahwa tidak selamanya seorang sultan memegang teguh prinsip
sufistik atau keluhuran budi pekerti, tetapi mereka (sultan) juga memiliki cara tersendiri
untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkannya dengan cara berpolitik melalui caranya yang
khas sebagai seorang sultan.
E. Kerangka Konseptual
E.1 Tapak Politik: Kombinasi Aspek Kognisi, Interaksi, dan Kebutuhan Untuk Aksi
Tapak politik dan tindakan seseorang pada hakikatnya tidak bisa dilepaskan dari
faktor-faktor yang mempengaruhinya. Sosiologi pengetahuan sebagai sebuah konsep yang
dikemukakan oleh Karl Mannheim menjadi salah satu terobosan baru dalam melihat
pemikiran dan aktivitas manusia. Selain itu, Max Scheler dalam bukunya berjudul Problems
of a Sociology of Knowledge tahun 1980 mengatakan bahwa yang menjadi isu sentral
sosiologi pengetahuan adalah bentuk upayanya dalam menyingkap asal-usul sosiologis semua
bentuk pengetahuan, pemikiran, dan kesadaran dari seluruh aktivitas mental manusia.13
Bahkan, secara keilmuan dapat dicatat bahwa sosiologi pengetahuan muncul sebagai bentuk
dari kritik terhadap idealisme. Lebih lanjut, kesadaran, menurut Karl Mannheim, tidak
13
Lihat Andy Dermawan, Dialektika Teori Kritis Mazhab Frankfurt dan Sosiologi Pengetahuan, Jurnal
Sosiologi Reflektif, Vol.7, No.2, 2013, hal.254.
11
muncul secara otomatis, tetapi bergantung pada kondisi dan realitas material.14
Dengan kata
lain, gagasan seseorang tidak muncul secara otomatis.
Kesadaran atau pemikiran dalam hal tersebut tidak hanya lahir dari dialektika internal
atau psikologis, tetapi juga pemikiran dari orang yang bersangkutan tidak lepas dari selimut
sejarah yang mewarnai periode tertentu.15
Dengan kata lain, sosiologi pengetahuan berusaha
untuk menemukan proses lahirnya sebuah pemikiran melalui konteks dan dinamika historis
yang terkait dengan konteks sosial masyarakatnya. Sebagai contohnya, apabila zaman yang
sedang dihadapi atau sedang berlangsung adalah era konflik atau krisis, maka kondisi
sosiologis dalam masyarakat akan banyak menimbulkan ide-ide persaingan, filsafat politik,
ideologi, dan beragam produk budaya. Dengan demikian, konteks lingkungan sosial yang
sedang terjadi secara tidak langsung akan mempengaruhi tindakan seseorang terhadap sesuatu
secara sosiologis.
Berangkat dari hal tersebut, dapat dikatakan bahwa sebenarnya yang dilakukan oleh
manusia atau seseorang saat ini tidak bisa dilepaskan dari konteks realitas sosial dan
historisnya.16
Tidak hanya terkait dengan tindakan, tetapi juga terkait dengan pemikiran
manusia. Asumsi dasar yang dibangun dalam sosiologi pengetahuan ini adalah teks dan
konteks.17
Konteks dalam hal tersebut diartikan sebagai pijakan sosial dari sebuah realitas
yang ada, sedangkan teks meliputi aktivitas manusia seperti proses berpikir, mental, dan
perilaku sosial. Merujuk pada hal tersebut, maka realitas teks dan konteks dalam sosiologi
pengetahuan berfokus pada kerangka historisnya. Oleh karena itu, menurut Karl Mannheim,
sosiologi pengetahuan bertujuan untuk menemukan kriteria-kriteria untuk menemukan
keterkaitan antara pemikiran dan tindakan, serta mengembangkan suatu teori yang cocok
14
Ibid., hal.255. 15
Selengkapnya lihat Arie Putra, Pemikiran Islam Ahmad Syafii Maarif: Dari Etika Al-Quran Menuju
Masyarakat Demokratis, Skripsi Universitas Indonesia, Jakarta, 2012, hal.14. 16
Lihat Andy Dermawan, op.cit. 17
Ibid., hal.256.
12
untuk zaman seperti saat ini mengenai faktor-faktor non-teoritis yang menentukan dalam
pengetahuan.18
Untuk melihat gagasan dan tapak politik seseorang, maka realitas sosial dan historis
menjadi faktor utama yang dapat mempengaruhinya. Sebelum pemikiran politik itu muncul,
tentu ada sebuah proses yang pada dasarnya terdapat di dalam realitas sosial dan historis dari
seseorang yang bersangkutan. Dalam proses tersebut setidaknya ada 3 hal yang dapat
mempengaruhi pemikiran dan tindakan politik seseorang yaitu kognisi, interaksi, dan
kebutuhan untuk aksi. Kognisi dalam hal ini dijelaskan sebagai usaha mengenali sesuatu
melalui pengalaman yang dilalui. Dengan kata lain, melalui pengalaman yang didapatkannya,
seseorang akan mendapatkan sesuatu baru yang sebelumnya belum pernah didapatkan.
Interaksi dalam hal ini dijelaskan sebagai bentuk saling berhubungannya seseorang dengan
orang lainnya melalui komunikasi. Terakhir adalah kebutuhan untuk aksi dimana dari hasil
interaksi dan kognisi yang didapatkannya akan mendorong seseorang untuk melakukan
sesuatu. Dorongan untuk melakukan aksi tersebut yang kemudian akan diejawantahan
menjadi pemikiran politik yang produknya dapat berupa sistem atau pandangan.
18
Selengkapnya lihat Karl Mannheim, Ideologi dan Utopia: Menyingkap Kaitan Pikiran dan Politik, Kanisius,
Yogyakarta, 1991, hal.287.
13
Sosiologi pengetahuan sebagai sebuah konsep yang dikemukakan oleh Karl
Mannheim pada dasarnya digunakan untuk menganalisis perkembangan suatu pemikiran
dengan melihat adanya pengaruh lingkungan (realitas sosial dan historis) secara kronologis-
historis, sehingga dapat ditemukan makna dan maksud dari sebuah pemikiran.19
Apabila
dikaitkan dengan tiga hal yang dikemukakan diatas, maka pengaruh lingkungan (realitas
sosial dan historis) seseorang merupakan sebuah proses dimana pemikiran politik seseorang
tersebut akan muncul. Dengan kata lain, kognisi, interaksi, dan kebutuhan untuk aksi
merupakan proses yang bekerja di dalam realitas sosial dan historis seseorang yang nantinya
akan memunculkan sebuah pemikiran politik. Oleh karena itu, secara sosiologi, pemikiran
dan tindakan politik seseorang muncul tidak dapat dilepaskan dari realitas sosial dan historis
yang dialaminya.
E.2 Gagasan Demokrasi Secara Universal
Salah satu penjelasan tentang demokrasi yang cukup dikenal yaitu penjelasan
demokrasi yang dikemukakan oleh Jean Jaques Rousseau. Rousseau menjelaskan bahwa
demokrasi adalah sebuah tahapan atau sebuah proses yang harus dilalui oleh sebuah negara
untuk mendapatkan kesejahteraan.20
Dari pernyataan tersebut sebenarnya dapat diambil poin
penting bahwa demokrasi hanyalah menjadi sebuah jembatan negara untuk menyejahterakan
masyarakatnya. Meskipun demikian, demokrasi secara universal tetap dimaknai sebagai
sebuah pemerintahan yang berasal dari rakyat dan untuk kesejahteraan rakyat. Hanya saja,
corak demokrasi yang ada di setiap wilayah akan berbeda, meskipun esensi dari demokrasi
tersebut tetap sama. Di sisi lain, ada salah satu tokoh juga yang mengemukakan penjelasan
tentang tren perkembangan demokrasi yaitu Robert Dahl. Berdasarkan penelitian yang
19
Selengkapnya lihat Kaelan dalam Muhammad Irfan Helmy, Pemaknaan Hadis-hadis Mukhtalif Menurut Asy-
Syafii: Tinjauan Sosiologi Pengetahuan, Disertasi UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2014, hal.11. 20
Selengkapnya lihat Thalhah, Teori Demokrasi Dalam Wacana Ketatanegaraan Perspektif Pemikiran Hans
Kelsen, Jurnal Hukum, Vol.16, No.3, 2009, hal.414-415. Diakses melalui http://law.uii.ac.id/images/-
stories/Jurnal%20Hukum/3%20HM.%20Thalhah.pdf pada hari Selasa tanggal 10 Juni 2014 pukul 17.05 WIB.
14
dilakukannya, Robert Dahl memaparkan bahwa gagasan dan penerapan demokrasi di
beberapa negara di dunia menunjukkan tren peningkatan. Pada tahun 1860, gagasan
demokrasi baru diterapkan di satu negara, tetapi sampai dengan tahun 1990, gagasan
demokrasi telah diterapkan di enam puluh lima negara dunia, meskipun demokrasi yang
diterapkan tersebut memiliki corak-corak yang berbeda.21
Sebagai sebuah gagasan yang luas dan selalu diperdebatkan, ada berbagai macam tipe
atau jenis demokrasi menurut berbagai akademisi. Selain itu, nilai-nilai yang terkandung di
dalam demokrasi juga menjadi salah satu hal penting untuk melihat demokratis atau tidaknya
sebuah sistem pemerintahan. Meskipun demikian, penelitian ini tidak bertujuan untuk
mengukur sebuah kualitas demokrasi, tetapi pemaparan nilai-nilai tersebut akan membantu
peneliti untuk mengidentifikasi pemikiran politik seseorang. Selanjutnya, setidaknya ada 5
tipe demokrasi menurut Pinkey yang saat ini telah dikenal yaitu demokrasi liberal, terpimpin,
sosialis, radikal, dan konsosiasional.22
Kelima tipe demokrasi tersebut selanjutnya akan
dipaparkan secara lebih rinci untuk mempermudah pemahaman bahwa pada dasarnya
demokrasi merupakan sebuah konsep yang luas apabila tidak ditambah dengan adjective atau
kata sifat.
Demokrasi liberal secara umum dapat dikatakan sebagai bentuk demokrasi yang
pemerintahannya dibatasi oleh undang-undang dan dalam konteks pergantian kekuasaannya
dilaksanakan pemilihan umum yang bebas secara ajeg atau rutin. Di sisi lain, aspek sosial dan
ekonomi seseorang justru menjadi urusan privat yang terlepas dari intervensi dan struktur
politik.23
Hal tersebut sejalan dengan konsepsi bahwa berangkat dari tradisi liberal,
21
Selengkapnya lihat Robert Dahl, Perihal Demokrasi: Menjelajahi Teori dan Praktek Demokrasi Secara
Singkat, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2001, hal. 10-11. 22
Selengkapnya lihat Komarudin Sahid, Memahami Sosiologi Politik, Ghalia Indonesia, Bogor, 2011, hal.307-
308. 23
Lihat Thomas Meyer, Demokrasi Sosial dan Libertarian: Dua Model yang Bersaing dalam Mengisi
Kerangka Demokrasi Liberal, FES, Jakarta, 2012, hal.10. Diakses melalui http://library.fes.de/pdf-
files/bueros/indonesien/09834.pdf pada hari Rabu tanggal 25 Juni 2014 pukul 17.04 WIB.
15
demokrasi mendapatkan momentumnya dari hak individual.24
Selanjutnya, demokrasi
terpimpin pada dasarnya merupakan tipe demokrasi dimana pemerintahannya ditentukan oleh
sang pemimpin atau penguasa. Tipe demokrasi ini secara tidak langsung juga telah
mengandung karakter otoriter dari sang penguasa. Dengan kata lain, praktik demokrasi
terpimpin sejatinya adalah bentuk pemerintahan otoriter yang „berkelambu‟ atau dibungkus
dengan kata demokrasi.25
Identiknya tipe demokrasi tersebut dengan sistem otoritarian pada
dasarnya bisa dilihat dari kata tambahan „terpimpin‟ yang secara tidak langsung
menggambarkan bahwa sistem pemerintahan hanya dipegang oleh satu atau beberapa orang
semata.
Selanjutnya, demokrasi sosialis merupakan salah satu bentuk demokrasi yang
berusaha untuk mewujudkan kekayaan dan sumber daya yang merata. Artinya demokrasi
pada tipe ini berfungsi sebagai alat untuk memastikan bahwa segala sumber daya dapat
dibagikan secara rata kepada masyarakat atau warga negara tanpa membedakan-bedakan.
Dengan demikian, demokrasi sosialis setidaknya dapat dijadikan sarana untuk menghindari
ketimpangan antar masyarakat, khususnya dalam hal pembagian sumber daya secara merata.
Pada tipe yang lain, demokrasi radikal lebih menekankan pada suara mayoritas. Artinya suara
mayoritas menjadi penentu sebuah kebijakan atau keputusan pemerintah. Oleh karena itu,
demokrasi pada tipe ini juga disebut sebagai demokrasi yang melaksanakan keinginan
mayoritas. Ketika mayoritas rakyat atau masyarakat menghendaki sebuah hal, maka
pemerintahan yang sedang menjalankan roda kekuasaan tentu akan melaksanakan kehendak
tersebut.
24
Lihat Muhammad Faishal, Institusionalisasi Demokrasi Deliberatif di Indonesia: Sebuah Pencarian Teoritik,
Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol.11, No.1, 2007, hal.4. 25
Lihat Rogaiyah dan Alfitri, Demokrasi Indonesia: Mewujudkan Kesetaraan atau Melahirkan Kesenjangan,
Jurnal PPKn & Hukum, Vol.4, No.1, 2009, hal.1. Diakses melalui
http://eprints.unsri.ac.id/725/2/Demokrasi_Indo-
nesia%253BMewujudkan_Kesetaraan_atau_Melahirkan_Kesenjangan.pdf pada hari Rabu tanggal 25 Juni 2014
pukul 17.25 WIB.
16
Terakhir, demokrasi konsosiasional pada dasarnya merupakan bentuk demokrasi
dimana pemegang kekuasaan atau pemerintahan berasal dari kelompok-kelompok utama di
dalam sebuah struktur masyarakat. Tipe demokrasi ini pada dasarnya merujuk pada adanya
pemegang kekuasaan yang berasal dari kelompok utama di dalam masyarakat. Kelompok
utama tersebut bisa jadi merupakan kelompok mayoritas di dalam sebuah struktur
masyarakat. Dengan demikian, apabila ada pemegang kekuasaan yang tidak berasal dari
kelompok utama, maka akan bisa terjadi penolakan dari sebagian masyarakat yang ada di
sebuah negara. Oleh karena itu, konsepsi dari, oleh, dan untuk rakyat tersebut hanya berlaku
pada sebatas pada kelompok-kelompok utama di dalam masyarakat. Dengan demikian, pada
akhirnya pemegang kekuasaan yang dikehendaki oleh rakyat adalah mereka yang berasal dari
kelompok utama atau mayoritas dalam struktur masyarakat.
E.3 Tapak Politik Demokratis: Partisipasi, Kompetisi, dan Kebebasan Berekspresi
Berangkat dari berbagai tipe demokrasi yang telah dipaparkan sebelumnya, maka
sejatinya demokrasi bisa dilihat sebagai sebuah sistem yang menempatkan rakyat sebagai
pemegang kekuasaan. Dengan kata lain, kedaulatan berada di tangan rakyat dan berbagai hal
yang menyangkut tentang tata kelola pemerintahan secara otomatis juga harus melibatkan
rakyat. Demokrasi juga memungkinkan rakyat untuk bisa mengambil peran dalam proses
pembangunan sebuah bangsa dan negara. Bahkan, beberapa golongan dari rakyat tersebut
bisa menjadi pemegang jalannya roda pemerintahan (baik eksekutif maupun legislatif)
sehingga roda pemerintahan bisa dijalankan sesuai dengan keinginan rakyat.
Merujuk pada tipe-tipe demokrasi yang telah disebutkan sebelumnya, maka
setidaknya ada 3 dimensi atau komponen utama dalam demokrasi politik. Ketiga komponen
tersebut adalah partisipasi, kompetisi, dan kebebasan untuk mengekspresikan pendapat.26
26
Lihat Eko Taranggono, Islam dan Demokrasi, Upaya Mencari Titik Temu, Jurnal Al-Afkar, Edisi VI, Tahun
ke-5, 2002, hal.2.
17
Artinya ketiga komponen tersebut selalu ada di setiap tipe demokrasi yang telah dijelaskan
sebelumnya. Tanpa adanya ketiga komponen tersebut, maka akan sulit dikatakan bahwa
sistem yang sedang berjalan di sebuah tempat tersebut adalah demokratis. Dari ketiga
komponen tersebut, dapat dilihat secara jelas bahwa rakyat selalu menempatkan dirinya di
dalam ketiga dimensi tersebut. Artinya ketiga komponen tersebut akan bekerja secara
maksimal apabila rakyat secara aktif melibatkan diri dalam sebuah sistem politik tersebut.
Ketiga dimensi ini pada dasarnya digunakan oleh peneliti untuk menelusuri tapak
politik yang dilakukan oleh Sri Sultan HB IX. Dengan kata lain, peneliti nantinya akan
menggunakan ketiga jenis dimensi ini untuk melihat sisi kedemokratisan sultan melalui
kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh dirinya. Hal ini nantinya juga akan memberikan
gambaran secara lebih mendalam terkait dengan kategorisasi kebijakan sultan, khususnya
dalam hal partisipasi politik, kompetisi, dan kebebasan dalam berekspresi dan berpendapat.
Dengan demikian, kebijakan sultan berupa tapak politik tersebut nantinya dapat dilihat
sebagai strategi sultan untuk membuka dimensi-dimensi dalam demokrasi yang nantinya akan
dijelaskan lebih mendalam.
E.3.1 Dimensi Partisipasi
Partisipasi politik pada dasarnya menjadi salah satu elemen atau komponen penting
dalam demokrasi. Partisipasi politik dalam hal ini mendorong masyarakat untuk turut serta
secara aktif dalam pemilihan-pemilihan yang diselenggarakan untuk memilih anggota
eksekutif ataupun legislatif. Dengan kata lain, partisipasi politik masyarakat bisa diwujudkan
dengan memilih wakil-wakilnya secara bebas yang selanjutnya akan berperan dalam
menjalankan roda pemerintahan. Lebih dari itu, partisipasi politik tidak hanya berhenti pada
urusan memilih dan dipilih, tetapi juga terkait dengan hal lain yang lebih luas seperti ikut
menyelesaikan permasalahan publik, memberikan masukan kepada elit pemerintahan, dan
lain sebagainya. Dengan demikian, partisipasi politik mendorong masyarakat untuk terlibat
18
secara aktif dalam proses pemerintahan untuk menuju ke arah cita-cita bangsa yang
diinginkan.
E.3.2 Dimensi Kompetisi
Kompetisi atau persaingan memungkinkan masyarakat untuk saling berebut posisi di
dalam pemerintahan berdasarkan konstitusi. Pada aspek tersebut, masyarakat secara
individual ataupun melalui partai politik bisa mendapatkan kekuasaan untuk menjalankan
roda pemerintahan dengan dukungan dari kalangannya sendiri (berasal dari rakyat).
Munculnya persaingan tersebut tentu dalam rangka asas keadilan dimana setiap orang berhak
untuk bersaing dalam rangka mendapatkan posisi tertentu di dalam pemerintahan. Selain itu,
kompetisi tersebut juga dilakukan dalam rangka pergantian kekuasaan secara rutin untuk
menghindari sistem politik yang sewenang-wenang dari pemimpin yang sedang berkuasa.
Lebih jauh lagi, kompetisi untuk merebut posisi di dalam pemerintahan tersebut juga
memberikan kesempatan kepada rakyat untuk mengimplementasikan idealismenya.
E.3.3 Dimensi Kebebasan Berekspresi dan Berpendapat
Adanya kebebasan untuk mengeluarkan dan mengekspresikan pendapat tanpa takut
oleh kekuatan manapun. Pada aspek yang ketiga ini, kebebasan menjadi salah satu poin
penting dalam demokrasi karena dengan adanya kebebasan tersebut, masyarakat bisa
melibatkan diri dalam berbagai kesempatan, termasuk di dalam kompetisi maupun partisipasi
politik. Bahkan, demokrasi pada dasarnya merupakan sebuah tatanan dimana kebebasan
masyarakat untuk berpendapat dilindungi dan diapresiasi oleh konstitusi. Kebebasan untuk
berpendapat tersebut tentu tidak bisa dilepaskan dari hakikat demokrasi yang menempatkan
rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi dalam sebuah negara. Oleh karena itu,
kebebasan untuk berekspresi dan berpendapat menjadi salah satu komponen penting dalam
demokrasi.
19
E.4 Lima Jalan Menafsirkan Tapak Politik Demokratis Sang Sultan
Untuk menguak makna lain di balik tapak politik yang dilakukan oleh Sri Sultan HB
IX, maka peneliti menggunakan teknik penafsiran. Dalam kamus besar bahasa Indonesia
(KBBI), menafsirkan berarti mengartikan, memberi makna, atau menjabarkan. Lebih jauh
lagi, peneliti menggunakan tradisi semiotik dengan tujuan untuk mengetahui makna-makna
yang terkandung di dalam sebuah tanda sehingga diketahui bagaimana komunikator
mengonstruksi pesan. Konsep pemaknaan ini tidak dapat dilepaskan dari perspektif atau nilai-
nilai ideologis tertentu serta konsep kultural yang menjadi ranah pemikiran masyarakat
dimana simbol tersebut diciptakan.27
Semiotik pada dasarnya juga mempelajari tentang
sistem, aturan, dan konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut memiliki
sebuah arti atau makna.28
Berangkat dari hal tersebut, maka penelitian ini tidak dapat dilepaskan dari pengaruh
subjektivitas peneliti yang memaknai sesuatu dari perspektif tertentu yaitu politik. Dengan
menggunakan perspektif politik, maka peneliti mencoba untuk mengartikan dan memberi
makna atas berbagai tindakan politik yang dilakukan oleh Sri Sultan HB IX. Penafsiran
tersebut juga tidak semata-mata dilakukan secara tunggal, tetapi peneliti juga melihat faktor-
faktor lain yang mendukung argument peneliti untuk menafsirkan tapak politik yang
dilakukan oleh Sri Sultan HB IX sehingga menjadi penting untuk juga mengetahui konteks
lingkungan, baik secara regional maupun global ketika Sri Sultan HB IX masih hidup.
Dengan demikian, pemberian makna yang dilakukan oleh peneliti bisa dirangkai menjadi
sebuah hubungan sebab akibat berdasarkan tapak politik yang dilakukan oleh sultan.
27
Selengkapnya lihat artikel Arif Budi Prasetya, Semiotik: Simbol, Tanda, dan Konstruksi Makna, 2014,
diakses melalui http://arifbudi.lecture.ub.ac.id/2014/03/semiotik-simbol-tanda-dan-konstruksi-makna/ pada hari
Senin tanggal 12 Oktober 2015 pukul 20.46 WIB. 28
Lihat Rachmat Kriyantono, Teknik Praktis Riset Komunikasi, Kencana, Jakarta, 2007, hal.261.
20
Dalam rangka menafsirkan tapak politik demokrasi Sri Sultan HB IX, maka peneliti
membahas nilai-nilai demokrasi secara substansial. Adapun nilai-nilai substansial tersebut
yaitu adanya kebebasan atau hak asasi manusia (HAM), kesetaraan, budaya menghormati
kebebasan orang lain, adanya pluralisme, toleransi dan anti intimidasi (kekerasan).29
Meskipun demikian, peneliti juga tidak menutup mata untuk melihat aspek prosedural yaitu
terkait dengan pergantian kekuasaan atau pemilihan umum karena hal tersebut menjadi poin
menarik tersendiri untuk menafsirkan tapak politik demokrasi sultan. Selanjutnya, peneliti
menggunakan teori nilai-nilai demokrasi dari Henry B.Mayo karena sesuai dengan
perkembangan pengetahuan tentang demokrasi substansial. Berdasarkan pandangannya,
maka setidaknya ada lima hal yang menjadi nilai penting dari demokrasi yaitu menyelesaikan
masalah dengan damai dan melembaga serta menggunakan paksaan sedikit mungkin,
menjamin terjadinya perubahan secara damai dalam suatu masyarakat yang selalu berubah,
pergantian penguasa dengan teratur dan damai melalui pemilu yang kompetitif, menjunjung
tinggi nilai keanekaragaman, dan menegakkan keadilan sebagai inti moralitas politik.30
E.4.1 Adanya Penyelesaian Masalah Secara Damai
Demokrasi pada dasarnya masih dianggap sebagai satu-satunya sistem yang membuka
ruang bagi siapapun untuk mengekspresikan sesuatu dalam hal politik seperti pertikaian
dalam kepentingan maupun pendapat. Meskipun demikian, demokrasi juga menjadi sarana
untuk membuka ruang penyelesaian masalah secara lebih damai. Dengan kata lain, demokrasi
dapat mengatur penyelesaian masalah secara damai (melalui kompromi) yang melembaga
melalui perundingan politik. Lebih jauh lagi, demokrasi menawarkan penyelesaian masalah
yang jauh dari kekerasan. Apabila dikaitkan dengan tindakan politik seseorang, maka poin ini
merujuk pada seberapa jauh orang tersebut mampu menjadi aktor yang bisa menyelesaikan
29
Lihat Achmad Riyanto, Konsep Demokrasi di Indonesia Dalam Pemikiran Akbar Tandjung dan A.Muhaimin
Iskandar, Skripsi, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2010, hal.19. 30
Lihat Misbahul Huda, op.cit., hal.22-23.
21
permasalahan secara damai. Sebagai contoh, tokoh tersebut mampu membuka ruang dialog
untuk menyelesaikan berbagai permasalahan yang muncul.
E.4.2 Menjamin Terjadinya Perubahan Secara Damai dalam Suatu Masyarakat yang
Selalu Berubah
Hal tersebut mengandung maksud bahwa demokrasi telah menjadi sarana yang ampuh
untuk menjamin kestabilan sosial dan politik masyarakat ketika kondisinya selalu berubah.
Artinya proses perubahan tersebut kemudian tidak dipaksakan begitu saja kepada masyarakat,
tetapi dilakukan secara lebih halus mengingat masyarakat tidak akan terhindar dari sebuah
perubahan ke arah yang lebih modern. Pada konteks kepemimpinan seseorang, maka bisa
dikaitkan dengan seberapa efektifkah pemimpin tersebut mampu menjadi tokoh yang bisa
melakukan pembaharuan tanpa menimbulkan kegoncangan di dalam masyarakat yang
dipimpinnya. Selain itu, tokoh tersebut juga menjamin adanya kestabilan sosial di dalam
masyarakat yang dipimpinnya, meskipun pemimpin tersebut mengeluarkan berbagai
kebijakan yang bisa jadi tidak dapat diterima oleh masyarakat. Dalam hal ini, kewibawaan
dan kharisma menjadi faktor yang cukup mempengaruhi.
E.4.3 Adanya Pergantian Penguasa Secara Teratur Melalui Pemilihan Umum
Pergantian penguasa secara teratur sejatinya sejalan dengan esensi demokrasi bahwa
penguasa hendaknya dipilih secara langsung oleh masyarakat melalui pemilu. Adanya
pergantian secara teratur tersebut secara tidak langsung telah menjauhkan masyarakat dari
sistem politik yang diktator dan otoriter. Lebih jauh lagi, masyarakat sebagai pemegang
kedaulatan juga bisa berpartisipasi secara aktif untuk mempraktikan hak dipilih dan memilih
sebagai warga negara. Nilai ini adalah salah satu esensi dari demokrasi prosedural yang
sebenarnya mudah untuk menjadi tolak ukur kedemokratisan sebuah sistem. Apabila
dikaitkan dengan sikap seorang penguasa, maka penguasa yang baik dan dianggap
demokratis adalah dia yang mampu membuat sebuah sistem mapan untuk menjamin
22
berjalannya pemilihan secara langsung oleh rakyat. Hal tersebut secara tidak langsung juga
telah melibatkan rakyat dalam kegiatan politik.
E.4.4 Menjunjung Nilai Keanekaragaman
Menjunjung nilai keanekaragaman berarti melihat keanekaragaman tidak hanya
sebagai sesuatu yang diakui dan sah, tetapi juga melihat hal tersebut sebagai sebuah
kebebasan. Oleh karena itu, dengan adanya demokrasi, masyarakat diharapkan dapat
membuka pandangannya bahwa tidak ada satupun nilai yang dapat ditarik pada batas yang
mutlak. Artinya masyarakat harus berpikir bahwa mereka tidak seharusnya memaksakan
kehendaknya berdasarkan sebuah golongan tertentu yang mayoritas atau besar karena
demokrasi pun menghendaki adanya keanekaragaman yang selalu dijaga. Dalam konteks
kepemimpinan, pemimpin yang demokratis adalah dia yang mampu menjaga
keanekaragaman dimana pemimpin tersebut mampu menjamin sebuah harmonisasi di tengah
keberagaman yang ada di masyarakat. Terlebih lagi, pemimpin bisa dikatakan demokratis
apabila dirinya mampu mengalahkan kepentingan dirinya daripada kepentingan umum.
E.4.5 Menegakkan Keadilan Sebagai Inti Moralitas Politik
Demokrasi pada dasarnya menghendaki suasana kompetitif dalam hal pergantian
kekuasaan dengan cara yang adil. Adapun penyelesaian dari berbagai pertikaian yang
nantinya akan terjadi juga telah ditawarkan dengan cara-cara yang damai sesuai dengan
kehendak bersama (perundingan politik). Dengan adanya prinsip kompetisi dan partisipasi
dari masyarakat, maka nilai keadilan akan tumbuh secara otomatis sehingga penghargaan
terhadap keadilan bisa dijunjung tinggi dan dihormati oleh semua pihak yang menjadi bagian
dari hal tersebut. Apabila dikaitkan dengan konteks kepemimpinan seseorang, maka
pemimpin yang demokratis juga harus mampu menempatkan keadilan sebagai prinsip yang
harus dipegang selama memimpin. Keadilan tersebut mengandung makna bahwa pemimpin
23
harus mampu menjadi tokoh penengah yang adil di tengah masyarakat yang selalu berubah-
ubah.
Berbagai tipe dan dimensi demokrasi yang telah dipaparkan pada bagian sebelumnya
akhirnya mengantarkan peneliti pada bagian kristalisasi dimana ada nilai-nilai demokrasi di
setiap tipe demokrasi yang telah dipaparkan sebelumnya. Bahkan, dimensi-dimensi
demokrasi juga secara tidak langsung telah terkandung ke dalam lima nilai demokrasi yang
dikemukakan oleh Henry B.Mayo. Kelima nilai demokrasi tersebut selanjutnya akan
digunakan oleh peneliti sebagai batasan kerangka teori yang digunakan untuk menafsirkan
tapak politik Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Satu hal yang perlu digarisbawahi bahwa
nilai-nilai demokrasi yang dipaparkan oleh Henry B.Mayo digunakan untuk melihat
demokratis atau tidaknya sebuah negara atau bangsa. Di sisi lain, nilai-nilai demokratis
tersebut akan digunakan oleh peneliti untuk menafsirkan tapak politik demokratis seseorang
yaitu Sri Sultan Hamengku Buwono IX melalui berbagai kebijakan atau tindakan yang
dilakukannya selama masa hidupnya.
F. Menelisik Misteri Dibalik Romantisme Sang Sultan
F.1 Bertindak Demokratis: Sebuah Tuntutan atau Kebutuhan?
Untuk menelisik sisi lain dari sosok Sri Sultan HB IX, maka aspek pertama yang akan
dibahas di dalam penelitian ini yaitu terkait dengan tindakan atau sikap Sri Sultan Hamengku
Buwono IX. Dengan kata lain, hal tersebut pada dasarnya dipengaruhi oleh faktor sosial-
historis Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang terdiri dari faktor kognisi, interaksi, dan
kebutuhan untuk aksi. Ketiga faktor tersebut selanjutnya menjadi salah satu aspek penting
untuk melihat pengalaman menarik dari kisah hidup Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Oleh
karena itu, faktor-faktor yang mempengaruhi tindakan politik sultan tersebut akan dipaparkan
24
di dalam bab II tersebut ditulis dalam bentuk perjalanan hidup sultan dari masa-masa
kelahirannya hingga sultan tutup usia.
Pada bagian ini, alur pola pikir yang dibangun dimulai dengan memaparkan sejarah
singkat perjalanan hidup Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Beberapa pengalaman menarik
yang dialami oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX yaitu masa kecilnya yang dititipkan ke
keluarga Belanda, menuntut ilmu hingga ke Belanda, pidato penobatan sultan yang terkenal,
hingga peran sultan di era kolonialisme dan kemerdekaan. Pada era itulah sebenarnya
gagasan dan kebutuhan untuk aksi Sri Sultan HB IX mulai terbentuk, khususnya di era
kolonialisme. Proses terbentuknya gagasan tersebut tentu dipengaruhi oleh pendidikan yang
didapatkannya secara formal maupun informal, interaksinya dengan tokoh nasional dan orang
Belanda, serta rencana dirinya untuk melakukan pembaharuan di Yogyakarta.
Dari perjalanan panjang Sri Sultan HB IX, peneliti mengindikasikan adanya
kepentingan khusus yang dibawa oleh sang sultan. Di tengah adanya arus demokratisasi,
kekuasaan tradisional yang dimiliki oleh sultan (sistem monarki) secara tidak langsung
terdesak oleh gagasan modern (demokrasi). Berbekal dengan pengetahuannya tentang sistem
demokrasi dan kekuasaan yang dimilikinya, sultan tidak kehilangan ide untuk merancang
sebuah siasat supaya kekuasaan tradisional yang dimilikinya tidak hilang ditelan oleh zaman.
Sebelum dinobatkan menjadi seorang raja, sultan telah merancang sebuah kebijakan
demokratis yang nantinya akan diterapkan di wilayah kekuasaannya yaitu Yogyakarta. Tidak
hanya itu, sultan juga berencana untuk menjadikan dirinya sebagai tokoh demokratis untuk
menutupi kekuasaan tradisional yang dimilikinya. Berangkat dari tersebut, maka muncul
pertanyaan apakah rencana sultan tersebut sebuah tuntutan ataukah kebutuhan.
F.2 Tiga Tapak Politik Sang Sultan
Ketika gagasan politik seseorang mulai terbentuk dan terinternalisasi, maka salah satu
aspek penting yang harus dipaparkan untuk menafsirkan tapak politik seseorang adalah
25
tindakan atau kebijakan yang dikeluarkan oleh tokoh yang bersangkutan. Bahkan, ketika
tokoh tersebut memiliki posisi politik yang vital dalam struktur pemerintahan, maka setiap
kebijakan yang dikeluarkan akan lebih mudah untuk dilacak. Untuk menafsirkan tapak politik
demokrasi Sri Sultan Hamengku Buwono IX, maka ada 3 hal penting yang digunakan oleh
peneliti untuk menata alur pola pikir yaitu dimensi partisipasi, kompetisi, dan kebebasan
untuk berekspresi. Digunakannya ketiga dimensi demokrasi tersebut untuk mempermudah
peneliti menafsirkan tapak politik demokrasi Sri Sultan Hamengku Buwono IX melalui
berbagai kebijakan yang pernah dikeluarkannya. Lebih jauh lagi, kebijakan tersebut akan
dibedakan berdasarkan kapasitas Sri Sultan Hamengku Buwono IX sebagai seorang raja,
kepala daerah, dan pemegang jabatan lainnya. Beberapa poin tersebut nantinya akan
dipaparkan pada bagian bab III.
F.2.1 Tapak Pertama: Sri Sultan HB IX Mendemokratisasikan Keraton
Pada bagian ini, peneliti memaparkan berbagai kebijakan atau tapak demokratis yang
dilakukan oleh sultan dalam kapasitasnya sebagai seorang raja. Tapak politik pertama ini
nantinya menjadi pintu masuk penting untuk melihat sisi demokratis dari kebijakan-kebijakan
yang dikeluarkan sultan di dalam lingkup kerajaannya. Kebijakan yang dibuat sultan dalam
ranah keraton ini menjadi penting karena keraton adalah lingkungan pertama dan asli Sri
Sultan HB IX dimana sultan berasal. Beberapa perubahan dilakukan sultan untuk
mengarahkan pemerintahan keraton menuju ke arah pemerintahan yang lebih demokratis.
Oleh karena itu, tapak politik yang dilakukan sultan pada pintu pertama ini lebih mendorong
kesadaran lingkungan keraton untuk mulai terbuka terhadap ide-ide demokrasi ala Barat yang
dibawa oleh sultan sepulangnya dari Belanda.
Keluar dari romantisme dari sosok Sri Sultan HB IX sendiri, demokratisasi yang
dilakukan sultan di dalam lingkungan keraton pada dasarnya tidak hanya untuk kepentingan
masyarakat dan keluarga besar keraton, tetapi lebih menjadi siasat sultan untuk mengubah
26
mindset lingkungan dalam keraton bahwa demokrasi menjadi ide yang harus dilaksanakan.
Pekerjaan sultan untuk melakukan demokratisasi di dalam keraton pada dasarnya tidak
mengalami kendala yang berarti mengingat sultan masih menjadi sosok yang berkharisma
dan berwibawa di dalam keraton dimana adat istiadat menjadi kunci utamanya. Dengan kata
lain, keluarga besar keraton (termasuk abdi dalem) akan senantiasa tunduk dan patuh
terhadap segala kebijakan yang dikeluarkan oleh sultan yang sedang bertahta sehingga hal
tersebut memudahkan Sri Sultan HB IX melakukan pembaharuan untuk melaksanakan misi
yang diusungnya.
F.2.2 Tapak Kedua: Sultan Membangun Citra Demokratis di Daerah
Setelah sultan menyelesaikan misinya untuk melakukan demokratisasi di lingkaran
pertama, maka lingkungan selanjutnya yang perlu untuk didemokratiskan adalah lingkup
daerah yaitu Yogyakarta. Hal ini dilakukan sultan ketika Yogyakarta telah dinyatakan oleh
sultan dan pakualam sebagai bagian dari Republik Indonesia. Dengan bergabungnya
Yogyakarta sebagai bagian dari republik, maka konsekuensinya adalah adanya jabatan politik
yang melekat di sebuah daerah yaitu gubernur atau kepala daerah yang sebenarnya juga
berlaku untuk daerah-daerah lainnya. Untuk tetap menjadi penguasa secara politik di
wilayahnya, Sri Sultan HB IX secara cerdas telah mengeluarkan amanat yang isinya
menjelaskan bahwa sultan dan pakualam akan menjadi pemimpin Yogyakarta dan
bertanggung jawab langsung kepada presiden. Pernyataan itulah yang sampai sekarang masih
dijadikan landasan dalam pola pemerintahan di Yogyakarta.
Selanjutnya, misi sultan untuk melakukan demokratisasi di lingkup daerah tidak dapat
dilepaskan dari posisi Yogyakarta yang menjadi bagian dari republik. Selain itu, sultan juga
perlu menciptakan kesadaran masyarakat secara luas bahwa demokrasi adalah ide baru yang
harus diimplementasikan di wilayah Yogyakarta yang sebenarnya masih menganut sistem
monarki. Bahkan, misi sultan tersebut tidak lain adalah untuk menunjukkan bahwa
27
Yogyakarta sebagai daerah monarki justru mampu menjadi pionir bagi pelaksanaan
demokrasi di Indonesia, termasuk keberhasilan sultan membuat citra Yogyakarta sebagai
daerah paling demokratis pertama di Indonesia. Hal tersebut tentu membuat posisi sultan
sendiri aman dari tekanan-tekanan masyarakat yang menolak adanya sultan atau sistem
monarki. Pada aspek yang lain, Yogyakarta justru mendapatkan status istimewa yang
sebenarnya juga membuat posisi keraton Yogyakarta dalam posisi yang telah terjaga.
F.2.3 Tapak Ketiga: Sultan Menjadi Politisi yang Demokratis di Kancah Nasional
Sosok Sri Sultan HB IX pada dasarnya tidak dapat dilepaskan dari sejarah nasional
bangsa Indonesia. Perannya untuk mengabdikan diri membangun bangsa juga tidak perlu
diragukan lagi oleh masyarakat. Bahkan sultan dianggap sebagai sosok negarawan yang
sejati. Pada aspek yang lain, hadirnya sultan ke panggung politik nasional pada dasarnya
tidak dapat dilepaskan dari kepentingan yang sebenarnya melekat pada sang sultan. Bahkan
Monfries melihat sosok sultan sebagai sosok yang sering berperilaku layaknya politisi gaya
Barat. Karir politik sultan yang mulus ke kancah nasional pada awalnya tidak dapat
dilepaskan dari keputusan dirinya yang menawarkan Yogyakarta kepada pemimpin republik
sebagai ibukota sementara. Semenjak itu, sultan dilihat sosok yang memiliki peran besar bagi
keberlangsungan republik.
Secara politis, keputusan sultan tersebut tentu membawa dampak pada citra sultan
yang melambung tinggi ke ranah politik nasional. Selain dipercaya menjadi menteri, sultan
juga pernah menjadi orang nomor dua di republik. Hal tersebut sebenarnya membawa
keuntungan sendiri bagi pembangunan citra sultan sebagai sosok yang demokratis. Meskipun
sultan dikenal sebagai keturunan feodal, kiprah sultan di kancah nasional membuat citra
sultan menjadi positif dan demokratis. Hal tersebut tentu melanggengkan kekuasaan sultan
yang tidak lain merupakan seorang raja di keratonnya. Keberhasilan sultan untuk masuk ke
lingkaran ketiga (ranah nasional) telah memuluskan misi sultan untuk membangun citra yang
28
demokratis secara luas sehingga hal tersebut menguatkan posisi kekuasaannya pada titik yang
cukup aman.
F.3 Merangkai Siasat Politik Sang Sultan Melalui Nilai-Nilai Demokrasi
Berdasarkan kebijakan atau tindakan aksi yang telah dilakukan oleh Sri Sultan
Hamengku Buwono IX, maka peneliti dapat menafsirkan tapak politik sultan tentang
demokrasi berdasarkan latar balakang yang mempengaruhi kebijakan yang dikeluarkan oleh
sultan. Berbagai latar belakang tersebut pada dasarnya juga tidak dapat dilepaskan dari
prinsip dan karakter hidup Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang sejatinya terbentuk selama
perjalanan hidupnya. Prinsip hidup itulah yang kemudian menjadi tafsiran tapak politik Sri
Sultan Hamengku Buwono IX tentang demokrasi. Adapun tafsiran tapak politik demokrasi
Sri Sultan Hamengku Buwono IX tersebut dapat dilacak dengan menggunakan nilai-nilai
demokrasi yang dikemukakan oleh Henry B.Mayo yang terdiri dari lima poin.
Kelima poin nilai-nilai yang mencerminkan sikap demokratis seseorang tersebut yaitu
menyelesaikan permasalahan secara damai, menjamin perubahan secara damai di dalam
masyarakat yang selalu berubah, adanya pergantian kekuasaan secara teratur, mengakui nilai-
nilai keanekaragaman, dan menegakkan keadilan sebagai inti moralitas politik. Dari kelima
hal tersebut, maka selanjutnya dapat ditarik beberapa tafsiran tapak politik Sri Sultan HB IX
tentang demokrasi yang sejatinya merupakan sikap dan pendirian sultan. Dengan demikian,
maka selanjutnya peneliti dapat mengerucutkan hal tersebut menjadi satu konsep
kepemimpinan demokratis khas Sri Sultan HB IX yang tidak lain digunakan untuk sultan
untuk mempertahankan kekuasaannya di arus demokratisasi global.
Adapun hasil penafsiran yang dilakukan oleh peneliti pada dasarnya merupakan
penjabaran dari berbagai tapak politik yang telah dilakukan oleh sultan sebagai siasat sultan
dalam menjalankan misinya. Misi yang dimaksud adalah misi sultan untuk melanggengkan
kekuasaan yang dimilikinya dengan bertindak sedemokratis mungkin supaya citra yang
29
terbangun tidak bertentangan dengan ide-ide Barat yang sedang berkembang (demokrasi).
Digunakannya nilai-nilai demokrasi dari Henry B.Mayo sejatinya mempermudah peneliti
untuk melihat sisi kedemokratisan sultan sendiri. Selain itu, setiap nilai demokrasi yang
dijelaskan oleh Mayo, peneliti kemudian menjabarkannya kembali ke dalam beberapa poin-
poin penting yang sejatinya bisa dimaknai sebagai prinsip atau karakter dari sultan.
G. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif
karena metode ini dinilai cocok untuk mengintepretasi data yang ada. Lebih jauh lagi, metode
penelitian kualitatif dapat mempermudah peneliti untuk memahami alur peristiwa secara
kronologis (sebab-akibat) dan memperkuat sejumlah penjelasan yang bermanfaat.31
Hal
tersebut tentu tidak bisa dilepaskan mengingat objek yang diteliti adalah gagasan seorang
individu. Peneliti juga memiliki kepentingan untuk merangkai alur peristiwa atau perjalanan
hidup seorang Sri Sultan Hamengku Buwono IX untuk memahami setiap kejadian yang
dialami oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX dari sisi sebab dan akibat. Setiap kebijakan
atau keputusan yang dikeluarkan oleh Sultan tentu tidak bisa dilepaskan dari faktor-faktor
penyebab yang mempengaruhi keputusannya tersebut. Di sisi lain, peneliti juga
berkepentingan untuk memperkuat alur tersebut dengan berbagai data primer maupun
sekunder yang nantinya akan didapatkan oleh peneliti melalui metode kualitatif.
Selain itu, metode kualitatif juga memungkinkan peneliti untuk mendapatkan data
deskriptif berupa kata-kata tertulis maupun lisan dari objek penelitian yang diteliti oleh
peneliti.32
Untuk menafsirkan tapak politik Sri Sultan Hamengku Buwono IX tentang
demokrasi, data deskriptif berupa kata-kata tertulis maupun lisan menjadi sesuatu yang cukup
penting dan vital, meskipun data lisan tersebut tidak bisa didapatkan langsung dari objek
31
Lihat Matthew B Miles dan A. Michael Huberman, Analisis Data Kualitatif, Universitas Indonesia, Jakarta,
1992, hal.2. 32
Lihat Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi Revisi, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2008,
hal.4.
30
yang diteliti karena objek yang diteliti (seseorang) sudah tidak ada. Oleh karena itu, dengan
menggunakan metode kualitatif memungkinkan peneliti untuk melacak data-data tertulis,
baik dari tulisan Sri Sultan Hamengku Buwono IX sendiri ataupun data-data tertulis lain yang
menceritakan perjalanan hidup Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Selain itu, metode tersebut
juga memungkinkan peneliti untuk mendapatkan data lisan dari kerabat atau rekan-rekan Sri
Sultan Hamengku Buwono IX semasa hidupnya sehingga data yang didapatkan juga valid
berdasarkan pengalaman nyata.
Berangkat dari hal tersebut, maka metode penelitian kualitatif sesuai dengan
kebutuhan analisis peneliti untuk menafsirkan tapak politik Sri Sultan Hamengku Buwono IX
tentang demokrasi. Hal tersebut pada dasarnya juga tidak bisa dilepaskan dari peran metode
kualitatif yang bertujuan untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek
penelitian seperti perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lain secara holistik,
termasuk dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa pada suatu konteks
khusus yang alamiah.33
Dengan menggunakan metode tersebut, maka peneliti diharapkan bisa
menemukan data-data menarik terkait dengan perilaku, persepsi, motivasi, dan tindakan dari
objek yang diteliti. Menariknya, objek yang diteliti adalah seorang individu yang diharapkan
memiliki kefokusan penelitian yang lebih baik dibandingkan penelitian yang dilakukan untuk
melihat perilaku sebuah kelompok masyarakat.
Secara lebih spesifik, peneliti menggunakan metode penelitian atau pendekatan
biografi. Metode biografi secara umum digambarkan sebagai sebuah metode penelitian yang
digunakan untuk menuliskan cerita hidup seseorang atau individu secara ilmiah dan bisa
dipertanggungjawabkan kebenarannya. Lebih tepatnya lagi, metode penelitian biografi adalah
studi tentang individu dan pengalamannya yang dituliskan kembali dengan mengumpulkan
33
Ibid., hal.6.
31
dokumen dan arsip.34
Leon Edel juga menyatakan bahwa menulis biografi berarti menuliskan
cerita kehidupan seseorang.35
Metode ini secara luas juga bertujuan untuk mengungkap
epipani atau pengalaman menarik yang mempengaruhi atau mengubah hidup seseorang.
Metode tersebut tentu sesuai dengan kebutuhan peneliti dimana peneliti mencoba
mengungkap pengalaman menarik seorang Sri Sultan Hamengku Buwono IX untuk
menafsirkan tapak politik demokrasi. Selain itu, metode biografi tersebut juga
memungkinkan peneliti untuk melihat peristiwa-peristiwa yang dialami oleh Sri Sultan
Hamengku Buwono IX yang pada akhirnya dapat mempengaruhi gagasan sultan.
Salah satu hal penting yang perlu diperhatikan dalam menulis penelitian dengan
menggunakan metode biografi adalah independensi peneliti. Dengan menggunakan metode
tersebut, peneliti memiliki kecenderungan untuk tidak bersikap netral. Artinya peneliti atau
peneliti juga tanpa sadar telah memuja seseorang atau kelompok yang ditulis. Hal tersebut
secara tidak langsung menggambarkan bahwa sosok yang diteliti dilihat sebagai sosok yang
tanpa cela sehingga tidak ada sisi „negatif‟ yang bisa ditemukan oleh peneliti. Kecenderungan
tersebut tentu pada dasarnya harus dihindari oleh peneliti sebagai peneliti yang netral
sehingga independensinya bisa dipertanggungjawabkan. Dengan menghasilkan sebuah karya
dalam bentuk naratif nantinya, peneliti pada dasarnya diharapkan mampu menjaga
kenetralannya dalam menuliskan biografi seseorang yang ditelitinya.
Tidak hanya berguna untuk menemukan epipani semata, metode atau pendekatan
biografi juga berguna untuk memberi paparan tentang tahap-tahap perkembangan individu
atau masyarakat (secara mikro) dengan segala refleksinya.36
Hal tersebut juga sesuai dengan
34
Lihat Pupu Saeful Rahmat, Penelitian Kualitatif, Jurnal Equilibrium, Vol.5, No.9, 2009, hal.6. Diakses
melalui http://yusuf.staff.ub.ac.id/files/2012/11/Jurnal-Penelitian-Kualitatif.pdf pada hari Selasa tanggal 13
Januari 2015 pukul 11.18 WIB. 35
Lihat Norman K.Denzin & Yvonna S.Lincoln dalam Yema Siska Purba, Pemikiran Nasionalisme Amir
Syarifuddin: Studi tentang Pemikiran dalam Konteks Revolusi Indonesia, Skripsi, Yogyakarta, 2013, hal.26. 36
Lihat Agus Salim, Teori dan Paradigma Penelitian Sosial, Tiara Wacana, Yogyakarta, 2006, hal.238.
32
karakteristik penelitian biografi yang membutuhkan pengeksplorasian.37
Informasi yang
nantinya didapatkan oleh peneliti nantinya juga dapat diklasifikasikan dan disistematisasikan
dalam rangka mendapatkan kejelasan substansi. Mengacu pada hal tersebut, maka menjadi
penting bagi peneliti untuk melihat perkembangan hidup Sri Sultan Hamengku Buwono IX
sejak masa anak-anak hingga akhirnya memiliki jabatan terakhir sebagai Wakil Presiden
Republik Indonesia pada tahun 1973-1978. Bahkan, sepanjang perjalanan hidupnya, Sri
Sultan Hamengku Buwono IX tentu memiliki banyak pengalaman menarik yang bisa
digunakan sebagai data analisis untuk menafsirkan tapak politik demokrasi yang dilakukan
oleh sultan.
H. Teknik Pengumpulan Data
Menurut Lofland dan Lofland (1984), sumber data kualitatif yang utama adalah kata-
kata, tindakan, dan selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen, sumber data tertulis,
foto, dan statistik.38
Mengingat objek yang diteliti (Sri Sultan Hamengku Buwono IX) telah
meninggal, maka peneliti menggunakan studi literatur atau dokumen dan wawancara sebagai
teknik pengumpulan data utama. Studi dokumen dalam hal ini juga bisa disebut dengan
kajian pustaka dimana peneliti mencoba untuk melakukan teknik pengumpulan data dengan
mengumpulkan berbagai literatur yang membahas tentang kehidupan Sri Sultan Hamengku
Buwono IX. Di sisi lain, peneliti juga menggunakan teknik pengumpulan data melalui
wawancara guna mendapatkan data yang relevan dengan berbagai aktor yang memiliki
pengalaman hidup dengan Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Tidak hanya terbatas dalam hal
itu, peneliti juga bisa melakukan wawancara dengan aktor-aktor yang mengetahui peran Sri
Sultan Hamengku Buwono IX selama hidupnya.
37
Lihat Jhon W.Creswell, Qualitative Inquiry and Research Design: Choosing Among Five Traditions, Sage
Publication Inc, London, 1998, hal.65. 38
Lihat Lexy Moleong, op.cit., hal.157.
33
Studi pustaka dilakukan peneliti tidak hanya dalam rangka untuk dicatat dan ditulis
kembali, tetapi untuk selanjutnya dianalisis berdasarkan kebutuhan peneliti. Dengan kata lain,
data-data yang didapatkan oleh peneliti nantinya akan disesuaikan dengan teori dan tema
yang diangkat oleh peneliti yaitu terkait dengan tapak politik Sri Sultan Hamengku Buwono
IX tentang demokrasi. Segala kebijakan atau tindakan yang dilakukan oleh beliau semasa
hidupnya tentu akan dianalisis oleh peneliti, termasuk faktor-faktor yang mempengaruhi
tindakannya tersebut sehingga peneliti dapat menafsirkan tapak politik Sri Sultan Hamengku
Buwono IX tentang demokrasi. Oleh karena itu, tindakan yang lebih diprioritaskan oleh
peneliti untuk dianalisis adalah segala tindakan beliau yang dilihat sebagai kebijakan yang
demokratis. Di sisi lain, dokumen juga berfungsi sebagai alat pengumpul data utama karena
pembuktiannya bisa dilakukan melalui pendapat, teori, dan hukum yang diterima.39
Untuk memperoleh data yang valid dan bisa dipertanggungjawabkan, peneliti akan
melakukan pengumpulan data dengan cara menganalisis cerita hidup dari Sri Sultan
Hamengku Buwono IX dari buku-buku yang telah menjelaskan kehidupan beliau. Ada dua
buku utama yang digunakan peneliti untuk menelusuri latar belakang kehidupan Sri Sultan
Hamengku Buwono IX yaitu sebuah buku yang disunting oleh Atmakusumah dengan judul
Tahta Untuk Rakyat: Celah-celah Kehidupan Sultan Hamengku Buwono IX dan tulisan yang
disunting oleh Julius Pour dan Nur Adji yang berjudul Sepanjang Hayat Bersama Rakyat:
100 Tahun Sultan Hamengku Buwono IX. Tidak hanya itu, sebagai tambahan untuk melihat
karakteristik kepemimpinan Sri Sultan Hamengku Buwono IX, peneliti juga menggunakan
buku yang disunting oleh Parni Hadi dan Nasyith Majidi dengan judul Sultan Hamengku
Buwono IX: Inspiring Prophetic Leader. Ketiga buku tersebut nantinya akan menjadi buku
acuan untuk menulis cerita kehidupan atau latar belakang Sri Sultan Hamengku Buwono IX.
39
Lihat Hadari Nanawi, Metode Penelitian Bidang Sosial, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2007,
hal.141.
34
Selanjutnya, peneliti juga akan mengumpulkan data dari buku-buku sekunder yang
menceritakan penggalan-penggalan kisah kehidupan Sri Sultan Hamengku Buwono IX dari
berbagai sisi. Artinya sudah banyak tulisan peneliti atau peneliti yang mencoba untuk
menguak peran Sri Sultan Hamengku Buwono IX dalam berbagai situasi seperti buku yang
berjudul Wasiat HB IX: Yogyakarta Kota Republik karya Haryadi Baskoro dan Sudomo
Sunaryo, Hamengku Buwono IX dan Sistem Birokrasi Pemerintahan Yogyakarta 1942-1974
karya Suwarno, Merajut Kembali Pemikiran Sri Sultan Hamengku Buwono IX: Sebuah
Kumpulan Pemikiran dan Polemik Status Keistimewaan DIY karya Heru Wahyukismoyo,
dan lain sebagainya. Buku-buku tersebut tentu kemudian akan menjadi bahan analisis peneliti
untuk mengungkap pemikiran Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang berkaitan dengan
demokrasi. Studi literatur tidak hanya dilakukan oleh peneliti melalui buku, tetapi juga
melalui surat kabar, media online, dokumen Keraton Yogyakarta, tulisan Sri Sultan
Hamengku Buwono IX, dan dokumen lain yang menjelaskan kehidupan sultan.
Peneliti nantinya juga akan menggunakan teknik pengumpulan data melalui
wawancara, meskipun objek yang diteliti telah lama meninggal dunia. Adapun wawancara
tersebut nantinya dilakukan kepada orang-orang yang memiliki pengalaman khusus dengan
Sri Sultan Hamengku Buwono IX, termasuk kerabat Keraton Yogyakarta. Hal tersebut
menjadi penting untuk dilakukan sebagai proses untuk mengonfirmasi data-data yang telah
didapatkan oleh peneliti dalam proses studi literatur. Bahkan peneliti bisa mendapatkan data-
data tambahan yang sebelumnya belum direkam dalam bentuk tulisan di beberapa literatur
yang menceritakan kehidupan Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Lebih jauh lagi, wawancara
juga memiliki kelebihan sendiri yaitu aktor yang diwawancari bisa menceritakan berbagai
dampak dari kebijakan atau tindakan yang dilakukan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX
dalam kerangka kebijakan yang demokratis.
35
I. Teknik Analisis Data
Dalam teknik analisa kualitatif, peneliti tidak mencari kebenaran, tetapi lebih untuk
mencari pemahaman. Menurut Bogdan dan Biklen (1982), analisa data kualitatif dilakukan
dengan mengorganisasikan data, memilahnya menjadi satuan yang dapat dikelola,
mensintesiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting, dan
memutuskan bagian mana yang bisa diceritakan kepada orang lain.40
Teknik analisis data
pada dasarnya menjadi penting untuk mengetahui data-data yang digunakan sesuai dengan
kebutuhan penelitian. Apabila dikaitkan dengan pendekatan biografi, maka urutan analisis
data menjadi sesuatu yang patut untuk diperhatikan mengingat menulis biografi sama dengan
menulis cerita kehidupan seseorang secara runtut dan tepat. Bahkan peneliti dituntut untuk
menemukan pengalaman menarik dari seseorang yang ditelitinya. Oleh karena itu, setidaknya
ada tiga tahapan analisa yang bisa dilakukan oleh peneliti.
Pertama, data primer yang didapatkan dari studi literatur akan diringkas untuk
mengurutkan peristiwa atau jalan hidup Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Dengan kata lain,
peneliti akan meringkas bagian-bagian terpenting dari kehidupan Sri Sultan Hamengku
Buwono IX mulai dari masa kecilnya hingga sebelum meninggal pada tahun 1988. Tidak
hanya itu, peneliti juga akan mencatat setiap kebijakan atau keputusan yang dikeluarkan oleh
beliau, khususnya ketika beliau menjabat sebagai Raja Keraton Yogyakarta yang identik
sebagai pemimpin atau penguasa. Meskipun demikian, tidak menutup kemungkinan juga
bahwa peneliti akan menelisik kebijakan-kebijakan lainnya yang masih berhubungan dengan
asas demokrasi yang dijunjung oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX.
Kedua, data yang telah didapatkan diringkas tadi kemudian dikategorisasikan
berdasarkan kebutuhan peneliti. Sebagai contohnya, peneliti akan mengategorisasikan
berbagai kebijakan yang dikeluarkan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan atau
40
Lihat selengkapnya Lexy Moleong, op.cit., hal.248.
36
tindakan beliau selama menjabat sebagai Raja Keraton Yogyakarta. Pengategorisasian
tersebut pada dasarnya akan mempermudah peneliti untuk menafsirkan tapak politik Sri
Sultan Hamengku Buwono IX tentang demokrasi karena data-data yang didapatkan tersebut
selanjutnya akan dihubungkan dengan berbagai teori yang digunakan oleh peneliti,
khususnya teori demokrasi. Pencocokan antara data dan teori tentu akan lebih mudah apabila
sebelumnya peneliti telah mengetahui nilai-nilai demokrasi yang dilihat untuk menafsirkan
tapak politik demokrasi Sri Sultan Hamengku Buwono IX tersebut.
Ketiga, setelah mengategorisasikan data dan dihubungkan dengan teori-teori yang
sudah ada, peneliti kemudian akan mendapatkan gambaran terkait tapak politik Sri Sultan
Hamengku Buwono IX tentang demokrasi. Langkah selanjutnya yang dilakukan yaitu
melakukan rekonstruksi kehidupan dari data-data yang telah didapatkan dan
dikategorisasikan. Selain itu, peneliti juga akan melihat faktor-faktor yang membentuk proses
kehidupan beliau. Selanjutnya, diharapkan peneliti dapat menafsirkan tapak politik Sri Sultan
Hamengku Buwono IX terkait demokrasi dan mencoba untuk mengaitkan benang merah
tersebut dengan teori yang digunakan oleh peneliti. Lebih jauh lagi, peneliti juga diharapkan
bisa mendapatkan makna lain dibalik tafsiran tapak politik yang dilakukan oleh Sri Sultan
Hamengku Buwono IX sendiri.
J. Sistematika Bab
Untuk mempermudah memahami tulisan ini, maka peneliti akan membagi tulisan ini
menjadi beberapa bab utama. Hal ini dilakukan untuk memperjelas hasil penelitian yang
dilakukan oleh peneliti. Pada bab kedua, peneliti akan memaparkan riwayat hidup Sri Sultan
Hamengku Buwono IX, mulai dari beliau lahir hingga meninggal. Pemaparan tentang riwayat
hidup tersebut menjadi penting untuk dilakukan mengingat Sri Sultan Hamengku Buwono IX
yang hidup di pra dan pasca kemerdekaan memiliki peran yang cukup penting untuk
pembangunan nasional. Oleh karena itu, pada bab ini, peneliti akan memaparkan perjalanan
37
hidup Sri Sultan Hamengku Buwono IX, mulai dari menjadi putra mahkota, menjadi Raja
Keraton Yogyakarta, menteri di era Orde Baru, hingga menjadi wakil presiden pada tahun
1973-1978. Bab dua tersebut juga akan membantu peneliti untuk menemukan realitas sosial
dan historis Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang nantinya dapat mempengaruhi gagasan
beliau.
Pada bab tiga, peneliti akan memaparkan secara lebih rinci terkait dengan kebijakan,
keputusan, atau tindakan penting yang dikeluarkan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX
semasa menjabat sebagai Raja di Keraton Yogyakarta Hadiningrat, kepala daerah, dan
politisi. Beberapa momen penting yang bisa dilihat salah satunya ketika Sri Sultan Hamengku
Buwono IX menawarkan Yogyakarta sebagai Ibukota Republik pada tahun 1946 ketika
Jakarta dalam keadaan darurat. Dengan tangan terbuka, Sri Sultan Hamengku Buwono IX
menyambut para pemimpin nasional yang berbondong-bondong datang ke Yogyakarta. Tentu
keputusan tersebut bukanlah keputusan yang mudah mengingat keputusan tersebut sangat
penting bagi keberlanjutan sistem politik di Indonesia. Sisi demokratis sultan setidaknya bisa
dilihat dari kebersediaan dirinya sebagai penguasa Yogyakarta untuk menjadikan Yogyakarta
sebagai benteng terakhir perjuangan mempertahankan kemerdekaan.
Pada bab keempat, peneliti akan memaparkan benang merah dari segala keputusan
atau tindakan yang dilakukan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX selama menjabat
sebagai Raja Keraton Yogyakarta Hadiningrat, kepala daerah, dan politisi. Benang merah
tersebut didapatkan dari hasil analisis data yang dilakukan oleh peneliti, khususnya dalam
menelaah berbagai keputusan atau kebijakan yang dikeluarkan oleh Sri Sultan Hamengku
Buwono IX. Pada bagian ini, peneliti mencoba untuk menafsirkan tapak politik Sri Sultan
Hamengku Buwono IX dengan cara mencocokan kebijakan tersebut dengan teori demokrasi
yang digunakan. Melalui berbagai nilai-nilai demokrasi yang digunakan, maka peneliti akan
sampai kepada sebuah kesimpulan yang menjelaskan tapak politik dari Sri Sultan Hamengku
38
Buwono IX. Selain itu, peneliti nantinya juga dapat melihat siasat-siasat politik yang
dilakukan oleh sultan untuk mempertahankan eksistensinya.
Selanjutnya, pada bab lima, peneliti akan menuliskan kesimpulan akhir dan refleksi
atas penelitian yang dilakukan. Dengan kata lain, peneliti akan menegaskan kembali argumen
yang telah dibangun di bab-bab sebelumnya yang menafsirkan tapak politik demokrasi Sri
Sultan Hamengku Buwono IX. Tentu hal tersebut akan menjadi bahan refleksi yang menarik
untuk direnungkan. Menafsirkan tapak politik demokrasi menjadi menarik karena dibalik
kebijakan atau tindakan yang dilakukan oleh sultan sejatinya mengandung beberapa
kepentingan atau maksud tertentu yang tidak lain untuk mempertahankan eksistensi dirinya
sendiri sebagai seorang raja, termasuk eksistensi keraton sebagai sebuah lembaga yang
menjalankan sistem monarki. Sebagai sosok yang memiliki peran penting di eranya, Sri
Sultan Hamengku Buwono IX pantas dijadikan salah satu tokoh yang setiap tindakan dan
kebijakannya ditafsirkan secara lebih mendalam, khususnya dalam hal demokrasi.
top related