1 BAB I MENGUSIK ROMANTISME TENTANG SRI SULTAN HAMENGKU BUWONO IX A. Demokrasi: Gagasan Modern yang Menggeser Gagasan Tradisional Demokrasi merupakan salah satu hal esensial dalam tata kelola pemerintahan yang saat ini selalu didengung-dengungkan. Secara gamblang, demokrasi selalu dimaknai sebagai pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat. Secara terminologi, kata demokrasi tersebut berasal dari kata „demos‟ yang berarti rakyat dan „kratos‟ yang berarti pemerintahan. Dengan demikian, rakyat menjadi pemegang kedaulatan dan kekuasaan tertinggi di dalam sebuah negara. Sesudah perang dunia kedua berakhir (1939-1945), gagasan demokrasi kemudian juga diterapkan di beberapa negara di kawasan Asia seperti India, Pakistan, Filipina, dan Indonesia, meskipun setiap negara tersebut memakai bentuk pemerintahan yang berbeda- beda. 1 Selanjutnya, perdebatan gagasan dan definisi demokrasi sampai dengan saat ini tidak pernah usai. Artinya demokrasi menjadi sebuah gagasan fleksibel yang selalu bisa dikaitkan dengan nilai-nilai yang ingin dibawa oleh sebuah negara. Selanjutnya, istilah demokrasi yang masih terlalu umum tersebut mendorong berbagai pemikir menyumbangkan gagasannya tentang demokrasi. Salah satu tokoh terkenal yang memiliki pemikiran khas tentang demokrasi berasal dari Timur Tengah yaitu Anwar Sadat sebagai pemimpin Mesir yang menggantikan rezim otoritarianisme Nasser. Secara umum, Anwar tidak memiliki pemikiran tentang demokrasi yang sempurna, tetapi setidaknya Anwar Sadat memiliki 3 prinsip dasar dalam menjalankan sebuah gagasan demokrasi yaitu multi partai, kebebasan pers, dan kebijakan pintu terbuka. 2 Munculnya gagasan demokrasi tersebut kemudian dijadikan landasan bagi Sadat untuk menjalankan kebijakan-kebijakan politiknya. Salah satu faktor yang mempengaruhi munculnya gagasan demokrasi menurut Anwar Sadat 1 Lihat Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, PT Gramedia Pustaka Umum, Jakarta, 2000, hal.51. 2 Lihat skripsi Achmad Baehaki, Inkonsistensi Anwar Sadat Tentang Demokrasi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2007, hal.57. Diakses melalui http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/- bitstream/123456789/8494/1/ACHMAD%20BAEHAKI-FUF.pdf pada hari Selasa tanggal 10 Juni 2014 pukul 11.50 WIB.
38
Embed
A. Demokrasi: Gagasan Modern yang Menggeser Gagasan …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/90276/potongan/S1... · Sadat memiliki 3 prinsip dasar dalam menjalankan sebuah gagasan
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
BAB I
MENGUSIK ROMANTISME TENTANG SRI SULTAN HAMENGKU BUWONO IX
A. Demokrasi: Gagasan Modern yang Menggeser Gagasan Tradisional
Demokrasi merupakan salah satu hal esensial dalam tata kelola pemerintahan yang
saat ini selalu didengung-dengungkan. Secara gamblang, demokrasi selalu dimaknai sebagai
pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat. Secara terminologi, kata demokrasi tersebut
berasal dari kata „demos‟ yang berarti rakyat dan „kratos‟ yang berarti pemerintahan. Dengan
demikian, rakyat menjadi pemegang kedaulatan dan kekuasaan tertinggi di dalam sebuah
negara. Sesudah perang dunia kedua berakhir (1939-1945), gagasan demokrasi kemudian
juga diterapkan di beberapa negara di kawasan Asia seperti India, Pakistan, Filipina, dan
Indonesia, meskipun setiap negara tersebut memakai bentuk pemerintahan yang berbeda-
beda.1 Selanjutnya, perdebatan gagasan dan definisi demokrasi sampai dengan saat ini tidak
pernah usai. Artinya demokrasi menjadi sebuah gagasan fleksibel yang selalu bisa dikaitkan
dengan nilai-nilai yang ingin dibawa oleh sebuah negara.
Selanjutnya, istilah demokrasi yang masih terlalu umum tersebut mendorong berbagai
pemikir menyumbangkan gagasannya tentang demokrasi. Salah satu tokoh terkenal yang
memiliki pemikiran khas tentang demokrasi berasal dari Timur Tengah yaitu Anwar Sadat
sebagai pemimpin Mesir yang menggantikan rezim otoritarianisme Nasser. Secara umum,
Anwar tidak memiliki pemikiran tentang demokrasi yang sempurna, tetapi setidaknya Anwar
Sadat memiliki 3 prinsip dasar dalam menjalankan sebuah gagasan demokrasi yaitu multi
partai, kebebasan pers, dan kebijakan pintu terbuka.2 Munculnya gagasan demokrasi tersebut
kemudian dijadikan landasan bagi Sadat untuk menjalankan kebijakan-kebijakan politiknya.
Salah satu faktor yang mempengaruhi munculnya gagasan demokrasi menurut Anwar Sadat
1 Lihat Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, PT Gramedia Pustaka Umum, Jakarta, 2000, hal.51.
2 Lihat skripsi Achmad Baehaki, Inkonsistensi Anwar Sadat Tentang Demokrasi, Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2007, hal.57. Diakses melalui http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/-
bitstream/123456789/8494/1/ACHMAD%20BAEHAKI-FUF.pdf pada hari Selasa tanggal 10 Juni 2014 pukul
keseluruhan sistem, gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan
masyarakat yang dihasilkan dengan cara belajar.5 Dalam konsep politik demokrasi Jawa,
rakyat diyakini sebagai jelmaan Tuhan sehingga rakyat menjadi pemimpin dan pemegang
kekuasaan yang sebenarnya.6 Merujuk pada konsep tersebut, maka raja seharusnya mampu
bertindak adil dan bertanggungjawab kepada rakyat yang dipimpinnya sehingga raja tidak
berorientasi pada kepentingan pribadi, keluarga, dan golongannya. Konsep tersebut tentu
berkebalikan dengan kepercayaan kuno yang menganggap bahwa seorang raja merupakan
jelmaan dari Tuhan yang memiliki wewenang tanpa batas untuk mengatur rakyatnya.
Berbicara mengenai demokrasi dan kebudayaan Jawa, maka sosok Sri Sultan
Hamengku Buwono IX tidak dapat dilepaskan dari kajian tersebut. Melacak pemikiran Sri
Sultan HB IX tentang demokrasi pada dasarnya menjadi hal menarik untuk dilakukan.
Meskipun demikian, keinginan peneliti untuk melacak pemikiran sultan tersebut sulit untuk
dilakukan karena terdapat beberapa limitasi, termasuk dari sosok sultan sendiri yang sulit
untuk dimengerti. Hal tersebut diperkuat dengan tulisan John Monfries yang menyimpulkan
bahwa Sri Sultan HB IX adalah sosok yang memiliki banyak paradoks dan kontradiksi di
sepanjang karir politiknya, terlebih sultan relatif sedikit membuat pernyataan publik,
meskipun dirinya cukup mencolok di kancah politik nasional.7 Dengan demikian, peneliti
dalam tulisan ini hanya sebatas menarik penafsiran terhadap tindakan politik yang dilakukan
oleh Sri Sultan HB IX.
5 Selengkapnya lihat Heru Wahyukismoyo, Merajut Kembali Pemikiran Sri Sultan Hamengku Buwono IX:
Sebuah Kumpulan Pemikiran dan Polemik Status Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta,
Dharmakaryadhika Publisher, Yogyakarta, 2008, hal.96. 6 Selengkapnya lihat Mulyana (ed), Demokrasi Dalam Budaya Lokal, Tiara Wacana, Yogyakarta, 2005, hal.6.
7 Pernyataan tersebut banyak didukung oleh temuan Monfries dalam penelitiannya. Pertama, Monfries melihat
gejala yang tidak lazim dimana sultan adalah sosok pangeran Jawa, tetapi dalam banyak keputusan yang
dibuatnya, sultan tidak dapat dibedakan dengan politisi ala Barat. Kedua, sultan adalah penganut Islam ortodoks,
tetapi dalam pidato atau tulisannya, sultan jarang menjadikan Islam, Allah, atau Nabi Muhammad sebagai
rujukannya. Kedua hal tersebut secara tidak langsung bahwa sultan adalah sosok yang sulit untuk dimengerti.
Lihat John Monfries, A Prince in a Republic: The Life of Sultan Hamengku Buwono IX of Yogyakarta, ISEAS,
Singapore, 2015, hal.2-5.
4
Menafsirkan tapak politik demokrasi yang dilakukan oleh Sri Sultan HB IX pada
dasarnya menjadi alternatif lain ketika pemikiran sultan sulit untuk disimpulkan, khususnya
terkait dengan demokrasi. Kajian tentang penafsiran tapak politik Sri Sultan HB IX yang
diangkat oleh peneliti ini setidaknya juga bisa dijadikan referensi tambahan dalam melihat
karakter politik Sri Sultan HB IX yang terkait dengan demokrasi. Meskipun untuk melacak
pemikiran sultan terdapat limitasi data atau hal yang lainnya, kajian ini setidaknya masih
tetap memiliki relevansi dengan kajian pemikiran politik seseorang. Bahkan hasil dari kajian
yang dilakukan oleh peneliti nantinya bisa memberikan sudut pandang yang lain dalam
melihat Sri Sultan HB IX sebagai sosok yang memiliki kecerdasan dalam berpolitik.
Sebagai seorang Raja Yogyakarta, Sri Sultan HB IX telah melakukan berbagai
keputusan yang sifatnya demokratis. Banyak faktor yang kemudian membuat Sri Sultan HB
IX mengeluarkan berbagai kebijakan atau keputusan yang bersifat demokratis semasa
menjadi raja sekaligus gubernur di Yogyakarta. Semasa menjalankan kewenangannya sebagai
seorang raja, Sri Sultan HB IX memegang prinsip sufistik yaitu sumarah mawi pasrah-
Suwung pamrih tebih ajrih-Langgeng tan ana susah lan bungah-Anteng meneng sugeng
jeneng yang mengandung maksud bahwa dirinya berserah diri kepada Allah SWT tanpa
pamrih apapun, jauh dari rasa takut, dalam kehidupan tidak ada kesedihan dan kegembiraan,
tetapi yang ada hanyalah kedamaian demi menjaga nama dan kehormatan.8 Hal tersebut
menandakan bahwa sultan masih memegang teguh keluhuran budi sebagai seorang raja.
Menafsirkan tapak politik demokrasi Sri Sultan HB IX tersebut menjadi menarik
mengingat tapak politik yang dilakukan sultan memiliki maksud yang tersembunyi. Hal
tersebut tidak dapat dilepaskan dari kenyataan bahwa tapak politik tersebut berasal dari Sri
Sultan HB IX yang notabene merupakan seorang raja yang identik dengan nilai-nilai monarki
dan jauh dari sistem pemerintahan yang demokratis. Sri Sultan HB IX telah memperlihatkan
8 Lihat Sri Wintala Achmad, Falsafah Kepemimpinan Jawa: Soeharto, Sri Sultan HB IX, dan Jokowi, Araska,
Yogyakarta, 2013, hal.142.
5
bahwa tidak selamanya sebuah kerajaan menerapkan sistem yang monarki, tetapi justru bisa
menjadi inspirasi bagi pelaksanaan demokrasi di wilayah lainnya. Fenomena tersebut secara
tidak langsung menunjukkan bahwa sultan sebagai seorang raja yang modern tidak hanya
memiliki keluhuran budi semata, tetapi juga memiliki kecerdasan dalam berpolitik.
Setidaknya ada beberapa hal yang mencerminkan sikap demokratis Sri Sultan
Hamengku Buwono IX. Beberapa kebijakan demokratis (bentuk demokrasi prosedural) yang
dikeluarkan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX di luar keraton yaitu merintis
terbentuknya Badan Pekerja Komite Nasional Daerah (BP-KNID) Yogyakarta yang pada
akhirnya nanti merupakan cikal bakal badan legislatif di tingkat provinsi, memberikan ide
otonomi daerah yang bertumpu pada daerah swantara tingkat kota atau kabupaten, dan
membentuk demokrasi pada tingkat keluharan (membentuk lembaga legislatif kelurahan).
Secara lebih rinci, Sri Sultan Hamengku Buwono IX bersama Paku Alam VIII pada saat itu
mengeluarkan beberapa Maklumat yang mengatur tentang DPR Desa, Lurah Desa beserta
perangkatnya, dan Majelis Permusyawaratan Desa. Dewan Desa pada saat itu dipilih
langsung oleh rakyat desa dan memiliki wewenang untuk membuat peraturan desa yang
nantinya dilaksanakan oleh pamong desa dan pegawainya.9
Pada aspek yang lain, Sri Sultan Hamengku Buwono IX juga telah melakukan
demokratisasi di dalam keraton. Bentuk demokratisasi tersebut yaitu menghilangkan jabatan
Pepatih Dalem dan menyederhanakan upacara-upacara (berdana besar dan rumit) keraton
tanpa menghilangkan maknanya.10
Selain itu, keraton di bawah Sultan Hemengku Buwono
IX juga menjadi lebih terbuka dan demokratis dengan adanya jabatan pamong praja yang
anggotanya tidak hanya berasal dari lingkungan atau kerabat keraton, tetapi juga bisa berasal
9 Lihat Julius Pour dan Nur Adji (ed), Sepanjang Hayat Bersama Rakyat: 100 Tahun Sultan Hamengku Buwono
IX, Kompas Media Nusantara, Jakarta, 2012, hal.45. 10
Pepatih Dalem merupakan jembatan antara raja dan rakyat sehingga semua urusan yang berhubungan dengan
rakyat akan sampai ke raja setelah raja menerima laporan dari Pepatih Dalem. Penghapusan jabatan tersebut
secara tidak langsung telah mendekatkan raja dengan rakyatnya.
6
dari masyarakat umum yang memiliki prestasi.11
Pada aspek yang lebih jauh, demokratisasi
di dalam keraton juga dilakukan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX dengan
menghilangkan Pengadilan Darah Dalem yang dahulunya merupakan pengadilan istimewa
bagi para bangsawan.12
Berangkat dari beberapa hal yang telah dipaparkan sebelumnya, maka telah terlihat
secara jelas bahwa sistem monarki sebagai sebuah gagasan yang tradisional mulai tergeser
eksistensinya oleh gagasan yang lebih modern yaitu demokrasi. Fenomena tersebut bisa
dilihat dengan munculnya beberapa kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh sultan sebagai
salah satu sosok yang masih memegang erat gagasan tradisional yang dimaksud. Tergesernya
gagasan tradisional tersebut tidak lain karena adanya tuntutan zaman dimana aspek
partisipasi, kompetisi, dan kebebasan berekspresi di kalangan rakyat harus diakomodir. Hal
tersebut tentu bertentangan dengan gagasan monarki dimana seorang raja memiliki kekuasaan
yang absolut terhadap rakyat yang dipimpinnya.
Menariknya, Sri Sultan HB IX sebagai tokoh yang masih memegang gagasan
tradisional tersebut juga tidak menolak munculnya gagasan tentang demokrasi. Hal tersebut
dibuktikan oleh sultan ketika dirinya banyak membuat kebijakan-kebijakan yang dinilai
demokratis. Pada aspek yang lebih mengakomodir zaman, keputusan sultan tersebut tentu
didukung oleh banyak kalangan, khususnya para cendekiawan yang pada waktu itu juga
memiliki pengetahuan tentang demokrasi. Di sisi lain, kebijakan sultan tersebut
memunculkan kontrovesi dimana seorang feodal justru mengeluarkan kebijakan-kebijakan
yang sebenarnya bertentangan dengan nilai-nilai tradisional yang sebenarnya masih dipegang
oleh sultan. Fenomena inilah yang sebenarnya menarik untuk ditelisik lebih jauh yaitu untuk
menguak latar belakang di balik keputusan-keputusan sultan yang demikian.
11
Selengkapnya lihat Haryadi Baskoro dan Sudomo Sunaryo, Wasiat HB IX: Yogyakarta Kota Republik, Galang
Press, Yogyakarta, 2011, hal.221-222. 12
Lihat Atmakusumah (ed), Tahta Untuk Rakyat: Celah-celah Kehidupan Sultan Hamengku Buwono IX,
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2011, hal.61.
7
Kontroversial tentang sosok Sri Sultan HB IX tersebut kemudian juga semakin
terlihat ketika sultan memiliki sepak terjang yang tidak biasa sebagai seorang raja. Hal
tersebut bisa dilihat dari pengaruhnya sebagai seorang raja yang kemudian memiliki
kewenangan untuk mengatur daerahnya sendiri dalam kerangka sebuah negara republik
(menjadi seorang kepala daerah) hingga karir tertingginya sebagai seorang wakil presiden
(pemimpin republik). Bagi publik, karir sultan tersebut adalah hal wajar seorang negarawan
untuk mengabdikan dirinya bagi kepentingan nusa dan bangsa. Pada aspek yang lain, sepak
terjang sultan justru memiliki misi tersembunyi dimana di era yang semakin modern, Sri
Sultan HB IX ingin menunjukkan eksistensinya sebagai seorang raja yang masih memiliki
pengaruh di republik. Hanya saja, sepak terjang sultan tersebut tertutupi oleh kewibawaannya
yang masih dianggap publik sebagai keluhuran budi seorang sultan.
Sebagai seorang lulusan pendidikan Barat, Sri Sultan HB IX secara cerdas
memainkan perannya sebagai sosok yang memiliki keluhuran budi tinggi sehingga kebijakan-
kebijakan yang dikeluarkannya tidak dianggap menyimpang oleh publik. Kecerdasan dalam
berpolitik itulah yang kemudian membawa citra Sri Sultan HB IX masih tetap sempurna di
mata publik dimana dirinya berhasil mengombinasikan ide-ide Barat dengan sentuhan-
sentuhan ajaran adiluhung. Dalam praktiknya, sultan telah berhasil memainkan perannya
sebagai seorang raja, kepala daerah, dan politisi. Oleh karena itu, peneliti ingin menguak
tapak politik dan menafsirkannya dengan tujuan untuk melihat siasat seorang sultan dengan
menggunakan ide-ide demokrasi sebagai gagasan modern untuk mempertahankan kekuasaan
tradisional (ide-ide monarki) yang dimilikinya.
B. Rumusan Masalah
Bagaimana penafsiran tapak politik demokrasi yang dilakukan oleh Sri Sultan
Hamengku Buwono IX ?
8
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini yaitu untuk menafsirkan tapak politik yang
dilakukan Sri Sultan HB IX dalam mengambil berbagai kebijakan atau keputusan yang
bersifat demokratis di Yogyakarta. Artinya peneliti ingin menarik benang merah atas
berbagai latar belakang yang mempengaruhi tindakan Sri Sultan HB IX untuk melakukan
demokratisasi di Yogyakarta, termasuk untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi
gagasan Sri Sultan HB IX. Secara lebih jelas, setidaknya ada dua tujuan yang ingin dicapai
oleh peneliti dalam penelitian tersebut. Pertama yaitu menambah khasanah keilmuan baru
terkait dengan teori pemikiran politik dan demokrasi yang dikaitkan dengan salah satu tokoh
nasional yaitu Sri Sultan HB IX. Kedua yaitu mampu menguak hal-hal baru yang mendasari
beberapa keputusan Sri Sultan HB IX yang dinilai demokratis. Artinya penelitian tersebut
bertujuan untuk menemukan data-data baru yang belum menjadi temuan bagi peneliti
maupun peneliti buku tentang Sri Sultan HB IX.
D. Studi tentang Sri Sultan HB IX
Dari beberapa buku yang telah ditelaah oleh peneliti tentang Sri Sultan Hamengku
Buwono IX, banyak diantaranya yang mengulas perjalanan hidup Raja Yogyakarta yang
kesembilan tersebut. Beberapa buku yang menceritakan perjalanan hidup Sri Sultan
Hamengku Buwono IX yaitu Tahta Untuk Rakyat yang ditulis oleh Atmakusumah (editor),
Sejarah Kanjeng Sultan Hamengku Buwono IX tulisan Purwadi, Sepanjang Hayat Bersama
Rakyat tulisan Julius Pour dan Nur Adji (editor), dan Sri Sultan Hari-hari Hamengku Buwono
IX yang ditulis dalam presentasi majalah Tempo. Beberapa literatur tersebut lebih
menekankan pada kehidupan Sri Sultan Hamengku Buwono IX, termasuk karir Sri Sultan
Hamengku Buwono IX di dalam pemerintahan republik.
Selain itu, ada beberapa literatur yang menuliskan tentang karakter kepemimpinan
dan sifat Sri Sultan Hamengku Buwono IX dalam bertindak. Adapun literatur yang dimaksud
9
adalah buku berjudul Hamengku Buwono IX Inspiring Prophetic Leader tulisan Parni Hadi
dan Nasyith Majidi (editor), Sri Sultan Hamengku Buwono IX Penjaga Demokrasi Indonesia
tulisan Sunardian Wirodono, Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman tulisan
Moedjanto, dan Falsafah Kepemimpinan Jawa Soeharto, Sri Sultan HB IX, dan Jokowi yang
ditulis oleh Sri Wintala Achmad. Literatur yang telah disebutkan tersebut lebih menyoroti
sifat dan karakter pribadi Sri Sultan Hamengku Buwono IX sebagai seorang raja, sekaligus
sebagai tokoh nasional.
Selanjutnya, peran spesifik Sri Sultan Hamengku Buwono IX kepada Yogyakarta dan
Republik Indonesia juga dituangkan ke dalam sebuah buku. Beberapa literatur tersebut
berjudul Sukarno, Hatta, dan Hamengkubuwono IX yang ditulis oleh Moedjanto, Mengawal
Transisi Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Pemerintahan Transisi Republik Indonesia di
Yogyakarta 1949 tulisan Aan Ratmanto, Hamengkubuwono IX: Dari Serangan Umum 1
Maret sampai Melawan Soeharto, Benarkah Hamengkubuwono IX Anggota CIA tulisan
K.Tino, dan Wasiat HB IX Yogyakarta Kota Republik tulisan Haryadi Baskoro dan Sudomo
Sunaryo. Tulisan-tulisan tersebut pada dasarnya lebih menitikberatkan pada peran dan
kebijakan Sri Sultan HB IX setelah dinobatkan sebagai Raja Yogyakarta.
Dari beberapa literatur yang telah disebutkan, ada beberapa literatur yang secara
spesifik membahas tentang pemikiran Sri Sultan Hamengku Buwono IX, khususnya terkait
dengan status keistimewaan Yogyakarta yang pada tahun-tahun sebelumnya menjadi hal yang
hangat untuk dibicarakan. Salah satu buku yang menceritakan pemikiran Sri Sultan HB IX
adalah Merajut Kembali Pemikiran Sri Sultan Hamengku Buwono IX: Sebuah Kumpulan
Pemikiran dan Polemik Status Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta yang ditulis oleh
Heru Wahyukismoyo. Di dalam buku tersebut, penulis menceritakan beberapa keputusan Sri
Sultan HB IX yang menyatakan bahwa Yogyakarta menjadi bagian dari Republik Indonesia,
10
termasuk beberapa kebijakan Sri Sultan HB IX yang dianggap demokratis dan secara tidak
langsung dianggap sebagai pembaharuan.
Berangkat dari tulisan-tulisan tersebut, maka peneliti mencoba untuk keluar dari
romantisme tentang Sri Sultan HB IX. Dengan kata lain, peneliti ingin melihat strategi yang
digunakan oleh sultan dalam rangka mempertahankan kekuasaan yang dimilikinya. Langkah
tersebut dilakukan dengan cara melakukan penafsiran terhadap tapak politik yang dilakukan
oleh sultan, baik dalam kapasitasnya sebagai seorang raja, kepala daerah, dan politisi. Dari
hasil penafsiran tersebut nantinya diharapkan dapat menghasilkan sebuah refleksi akhir yang
menggugah kesadaran publik bahwa tidak selamanya seorang sultan memegang teguh prinsip
sufistik atau keluhuran budi pekerti, tetapi mereka (sultan) juga memiliki cara tersendiri
untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkannya dengan cara berpolitik melalui caranya yang
khas sebagai seorang sultan.
E. Kerangka Konseptual
E.1 Tapak Politik: Kombinasi Aspek Kognisi, Interaksi, dan Kebutuhan Untuk Aksi
Tapak politik dan tindakan seseorang pada hakikatnya tidak bisa dilepaskan dari
faktor-faktor yang mempengaruhinya. Sosiologi pengetahuan sebagai sebuah konsep yang
dikemukakan oleh Karl Mannheim menjadi salah satu terobosan baru dalam melihat
pemikiran dan aktivitas manusia. Selain itu, Max Scheler dalam bukunya berjudul Problems
of a Sociology of Knowledge tahun 1980 mengatakan bahwa yang menjadi isu sentral
sosiologi pengetahuan adalah bentuk upayanya dalam menyingkap asal-usul sosiologis semua
bentuk pengetahuan, pemikiran, dan kesadaran dari seluruh aktivitas mental manusia.13
Bahkan, secara keilmuan dapat dicatat bahwa sosiologi pengetahuan muncul sebagai bentuk
dari kritik terhadap idealisme. Lebih lanjut, kesadaran, menurut Karl Mannheim, tidak
13
Lihat Andy Dermawan, Dialektika Teori Kritis Mazhab Frankfurt dan Sosiologi Pengetahuan, Jurnal
Sosiologi Reflektif, Vol.7, No.2, 2013, hal.254.
11
muncul secara otomatis, tetapi bergantung pada kondisi dan realitas material.14
Dengan kata
lain, gagasan seseorang tidak muncul secara otomatis.
Kesadaran atau pemikiran dalam hal tersebut tidak hanya lahir dari dialektika internal
atau psikologis, tetapi juga pemikiran dari orang yang bersangkutan tidak lepas dari selimut
sejarah yang mewarnai periode tertentu.15
Dengan kata lain, sosiologi pengetahuan berusaha
untuk menemukan proses lahirnya sebuah pemikiran melalui konteks dan dinamika historis
yang terkait dengan konteks sosial masyarakatnya. Sebagai contohnya, apabila zaman yang
sedang dihadapi atau sedang berlangsung adalah era konflik atau krisis, maka kondisi
sosiologis dalam masyarakat akan banyak menimbulkan ide-ide persaingan, filsafat politik,
ideologi, dan beragam produk budaya. Dengan demikian, konteks lingkungan sosial yang
sedang terjadi secara tidak langsung akan mempengaruhi tindakan seseorang terhadap sesuatu
secara sosiologis.
Berangkat dari hal tersebut, dapat dikatakan bahwa sebenarnya yang dilakukan oleh
manusia atau seseorang saat ini tidak bisa dilepaskan dari konteks realitas sosial dan
historisnya.16
Tidak hanya terkait dengan tindakan, tetapi juga terkait dengan pemikiran
manusia. Asumsi dasar yang dibangun dalam sosiologi pengetahuan ini adalah teks dan
konteks.17
Konteks dalam hal tersebut diartikan sebagai pijakan sosial dari sebuah realitas
yang ada, sedangkan teks meliputi aktivitas manusia seperti proses berpikir, mental, dan
perilaku sosial. Merujuk pada hal tersebut, maka realitas teks dan konteks dalam sosiologi
pengetahuan berfokus pada kerangka historisnya. Oleh karena itu, menurut Karl Mannheim,
sosiologi pengetahuan bertujuan untuk menemukan kriteria-kriteria untuk menemukan
keterkaitan antara pemikiran dan tindakan, serta mengembangkan suatu teori yang cocok
14
Ibid., hal.255. 15
Selengkapnya lihat Arie Putra, Pemikiran Islam Ahmad Syafii Maarif: Dari Etika Al-Quran Menuju
Masyarakat Demokratis, Skripsi Universitas Indonesia, Jakarta, 2012, hal.14. 16
Lihat Andy Dermawan, op.cit. 17
Ibid., hal.256.
12
untuk zaman seperti saat ini mengenai faktor-faktor non-teoritis yang menentukan dalam
pengetahuan.18
Untuk melihat gagasan dan tapak politik seseorang, maka realitas sosial dan historis
menjadi faktor utama yang dapat mempengaruhinya. Sebelum pemikiran politik itu muncul,
tentu ada sebuah proses yang pada dasarnya terdapat di dalam realitas sosial dan historis dari
seseorang yang bersangkutan. Dalam proses tersebut setidaknya ada 3 hal yang dapat
mempengaruhi pemikiran dan tindakan politik seseorang yaitu kognisi, interaksi, dan
kebutuhan untuk aksi. Kognisi dalam hal ini dijelaskan sebagai usaha mengenali sesuatu
melalui pengalaman yang dilalui. Dengan kata lain, melalui pengalaman yang didapatkannya,
seseorang akan mendapatkan sesuatu baru yang sebelumnya belum pernah didapatkan.
Interaksi dalam hal ini dijelaskan sebagai bentuk saling berhubungannya seseorang dengan
orang lainnya melalui komunikasi. Terakhir adalah kebutuhan untuk aksi dimana dari hasil
interaksi dan kognisi yang didapatkannya akan mendorong seseorang untuk melakukan
sesuatu. Dorongan untuk melakukan aksi tersebut yang kemudian akan diejawantahan
menjadi pemikiran politik yang produknya dapat berupa sistem atau pandangan.
18
Selengkapnya lihat Karl Mannheim, Ideologi dan Utopia: Menyingkap Kaitan Pikiran dan Politik, Kanisius,
Yogyakarta, 1991, hal.287.
13
Sosiologi pengetahuan sebagai sebuah konsep yang dikemukakan oleh Karl
Mannheim pada dasarnya digunakan untuk menganalisis perkembangan suatu pemikiran
dengan melihat adanya pengaruh lingkungan (realitas sosial dan historis) secara kronologis-
historis, sehingga dapat ditemukan makna dan maksud dari sebuah pemikiran.19
Apabila
dikaitkan dengan tiga hal yang dikemukakan diatas, maka pengaruh lingkungan (realitas
sosial dan historis) seseorang merupakan sebuah proses dimana pemikiran politik seseorang
tersebut akan muncul. Dengan kata lain, kognisi, interaksi, dan kebutuhan untuk aksi
merupakan proses yang bekerja di dalam realitas sosial dan historis seseorang yang nantinya
akan memunculkan sebuah pemikiran politik. Oleh karena itu, secara sosiologi, pemikiran
dan tindakan politik seseorang muncul tidak dapat dilepaskan dari realitas sosial dan historis
yang dialaminya.
E.2 Gagasan Demokrasi Secara Universal
Salah satu penjelasan tentang demokrasi yang cukup dikenal yaitu penjelasan
demokrasi yang dikemukakan oleh Jean Jaques Rousseau. Rousseau menjelaskan bahwa
demokrasi adalah sebuah tahapan atau sebuah proses yang harus dilalui oleh sebuah negara
untuk mendapatkan kesejahteraan.20
Dari pernyataan tersebut sebenarnya dapat diambil poin
penting bahwa demokrasi hanyalah menjadi sebuah jembatan negara untuk menyejahterakan
masyarakatnya. Meskipun demikian, demokrasi secara universal tetap dimaknai sebagai
sebuah pemerintahan yang berasal dari rakyat dan untuk kesejahteraan rakyat. Hanya saja,
corak demokrasi yang ada di setiap wilayah akan berbeda, meskipun esensi dari demokrasi
tersebut tetap sama. Di sisi lain, ada salah satu tokoh juga yang mengemukakan penjelasan
tentang tren perkembangan demokrasi yaitu Robert Dahl. Berdasarkan penelitian yang
19
Selengkapnya lihat Kaelan dalam Muhammad Irfan Helmy, Pemaknaan Hadis-hadis Mukhtalif Menurut Asy-