Zona Dataran Pantai JakartaZona ini memanjang dari ujung barat
Pulau Jawa sampai ke timur mengikuti pantai utara Jawa Barat dengan
lebar sekitar 40 km. Daerah ini umumnya mempunyai morfologi yang
datar, kebanyakan ditutupi oleh endapan sungai, dan sebagian lagi
oleh lahar gunungapi muda. Beberapa pemboran dangkal, telah
dikerjakan oleh BPM di daerah ini, membuktikan bahwa ketebalan
aluvium ada yang mencapai beberapa ratus meter. Beberapa pengaruh
naik turunnya muka laut pada zaman es hanya mencapai daerah aluvial
ini (Marks, 1960). 2.2.2. Zona BogorZona Bogor terletak di sebelah
selatan dari Dataran Pantai Jakarta. Daerah ini memanjangcbarat -
timur melalui kota Bogor, Purwakarta menerus ke Bumiayu di Jawa
Tengah, dengan lebar maksimum sekitar 40 km. Zona Bogor umumnya
mempunyai morfologi berbukit-bukit. Perbukitan disini umumnya
memanjang barat - timur di sekitar kota Bogor, sedangkan pada
daerah sebelah timur Purwakarta perbukitan ini membelok ke selatan,
membentuk perlengkungan di sekitar kota Kadipaten. Van Bemmelen
(1949) . Sungai-sungai utama di daerah ini tidak jarang yang
berbentuk aliran antisiden (S.Cimanuk terhadap struktur Baribis)
dan sebagian lagi superpos (S. Ciliwung) terhadap struktur batuan
yang ada. Kebanyakan aliran utama berarah dari selatan ke utara.
Anak-anak sungai di daerah yang terlipat umumnya bersifat subsekwen
terhadap jurus perlipatan.
2.2.3. Zona BandungVan Bemmelen (1949) menyatakan bahwa zona ini
merupakan depresi diantara gunung-gunung (intermontagne
depression).Zona ini melengkung dari Pelabuhan Ratu mengikuti
Lembah Cimandiri menerus ke timur melalui kota Bandung, dan
berakhir di Segara Anakan di muara S. Citanduy, dengan lebar antara
20 - 40 km. Van Bemmelen (1949) menganggap Zona Bandung merupakan
puncak geantiklin Jawa Barat, kemudian runtuh setelah pengangkatan.
Daerah rendah ini kemudian terisi oleh endapan gunungapi muda.
Dalam Zona Bandung, terdapat beberapa tinggian yang terdiri dari
endapan sedimen tua yang menyembul diantara endapan volkanik. Salah
satu yang penting adalah G. Walat di Sukabumi dan Perbukitan
Rajamandala di daerah Padalarang. Dari penyelidikan ini, Zona
Bandung dalam sejarah geologinya tidak dapat dipisahkan dengan Zona
Bogor, kecuali oleh banyaknya puncak-puncak gunungapi yang masih
aktif sampai sekarang.
2.2.4. Zona Pegunungan SelatanPegunungan Selatan (menurut
Pennekoek: Zone Selatan) terbentang mulai dari tekuk Pelabuhan Ratu
sampai Pulau Nusakambangan. Zona ini mempunyai lebar 50km, tetapi
di bagian timur menjadi sempit dengan lebar hanya beberapa km.
Peguunungan Selatan mengalami perlipatan dan pengangkatan pada
Zaman Miosen. Pegunungan Selatan dapat dikatakan suatu plateau
dengan permukaan batuan endpan Miosen Atas. Sebagian besar dari
pegunungan selatan mempunyai dataran erosi lebih rendah disebut
dataran Lengkong yang terletak di barat Hulu Sungan Cikaso. Pada
waktu pengangkatan Pegunungan Selatan (Pleistosen Tengah) dataran
lengkong ikut terangkat shingga batas utara mencapai ket inggian
800 m dan bukit-bukit mencapai 400 m. Di pegunugnan selatan
terdapat bagian-bagian plateu Jampang, Plateu Pangalengan dan
Plateau KarangnunggalPlateu JampangBentuknya khas sekali bagi
Pegunungan Selatan Karena dibatas utara mempunyai escarpment, dan
pegunungan itu melandai ke selatan. Plateau pesawahan (menurut
Pennekoek; Pegunungan Hanjuang) merupaka permukaan Pliosen yang
telah terangkat. Di sebelah Selatan Plateau Pesawahan terdapat
suatu dataran yang rendah dan rata sekali yang disebut plateau
Jampang Selatan. Hal ini terbentuk akrena abrasi waktu daerah
tergenang air laut. Dataran lengkong letaknya lebih rendah 200 m
dari permukaan air laut. Plateu PangalenganPlateau ini terangkat
lebih tinggi daripada plateau jempang dan plateau Karangnunggal.
Sungai Cilaki di plateau Pangalengan mengalir ke selatan sampai
samudra indonesia. Disebalah barat terdapat plateau Ciwidey
Gununghalu dengan sebuah danau telaga Patenggang, yang mempunyai
morfologi gunung longsor (depresi). Sedangkan di bagian utara
tertupi oleh gunung berapi muda misalnya Gunung Malabar Plateu
PangalenganPlateau ini melandai keselatan dan di beberapa tempat
mempunyai topografi karst. Sungai Ciwulan berhulu di zona bandung
kemudian mengalir melintasi pegunungan selatan ke samudra
indonesia. Sepanjang sungai itu terdapat tearas-teras lahar
vulkanis
Formasi CiletuhPenamaan Nama Ciletuh diajukan oleh Soekamto
(1975) terhadap satuan batuan yang terdiri dari konglomerat, pasir
dan lempung di daerah aliran Sungai Ciletuh, di Teluk Ciletuh,
Pelabuhan Ratu. Penamaan ini didasari oleh penerbitan terdahulu
(Anonymous, 1939/1940), yang memberikan nama Ciletuh Lagen terhadap
satuanbatuan yang sama. Hasil penyelidikan terdahulu di daerah ini
yang tidak diterbitkan seperti Duyfjes (1939,1940, 1941), Sunu
(1940), Soehanda (1967), pada hakekatnya setuju mengelompokkan
batuanini pada satu kesatuan litostratigrafi tersendiri. Didalam
tulisan ini nama Ciletuh dipakai sebagai nama resmi formasi di
daerah tersebut diatas dan terhadap satuan-satuan lain yang sejenis
yang ditafsirkan mempunyai hubungan genesa serta kesinambungan
dalam mulajadinya. Satuan yang di maksud adalah FormasiRajamandala
(Soekamto, 1975), suatu singkapan batuan lempung dan pasir di desa
Cinyomplong, di selatan aliran Sungai Cimandiri.3.3.1.3. Penyebaran
dan KetebalanSingkapan terluas Formasi Ciletuh terdapat di Teluk
Ciletuh, Pelabuhan Ratu, Sukabumi. Dalam penyelidikan ini
ditafsirkan, penyebaran Formasi Ciletuh menerus di bawah batuan
Neogen di sebagian Jawa Barat, terutama Cekungan Bogor. Ketebalan
di daerah lokasitipenya sangat sulit dipastikan, karena telah
mengalami penyesaranyang kuat. Anonymous (1940) beranggapan tebal
di lokasitipenya sekitar 1500 m, sedangkan Hudaya (1978) dalam
pengukurannya, bagian bawah tersingkap di Cikadal, tebal minimal
362,5 m, bagian tengah di Cigadung (Ciletuh) 540 m dan bagian atas
di Cibenda (Ciletuh) sekitar 500 m. Sehingga secara keseluruhan
ketebalan minimal Formasi Ciletuh adalah 1400 m.3.3.1.4. Lokasitipe
dan StratotipeLokasitipe dari Formasi Ciletuh ditentukan pada
Sungai Ciletuh di Teluk Pelabuhan Ratu. Lokasi ini berkoordinat
10628 B.T. dan 7 14 L.S. Stratotipe Formasi Ciletuh merupakan
stratotipe gabungan dari beberapa tipe penampang. Penampang
terbawah di Cikadal (Cibatununggul), bagian tengah di Cigadung,
sedangkan yang atas di Bantarlimus
3.3.1.6. Ciri BatasFormasi Ciletuh bagian bawah di daerah
Ciletuh selalu ditemukan berbatas sesar dengan kompleks melange
dibawahnya. Batas atas dari formasi ini ditandai oleh perubahan
berangsur dari batuan yang dominan lempung ke batupasir
kwarsa.3.3.1.7. Kandungan Fosil dan UmurBeberapa fragmen gamping
pada bagian bawah Formasi Ciletuh yang ditemukan di sebelah tepi
utara G. Badak, Cikadal (Hudaya, 1978), kaya akan fosil
foraminifera besar,seperti :- Assilina- Discocyclina dispansa-
Fasciolites- Nummulitesmenunjukkan umur Eosen Awal sampai Tengah.
Contoh dari serpih dan lempung terbawah 2 m dari kontak dengan
filit di Karang Haji, Cikadal, telah didapatkan fosil foram
plangton yang terdiri dari :- Globigerina ampliapertura (?)-
Globigerina cf. tripartita- Globigerinita pera- Globorotalia
permicra (?)- Globorotalia siakensis (?)yang menunjukkan kisaran
umur Eosen -Oligosen Awal (Soejono, Suparka, Hadiwisastra,1978).
Contoh foram plangton diatasperlu diberi tanda tanya, mengingat
umumnya contoh fosil sudah mengalami perubahan bentukkarena
tekanan.Bagian tengah dari formasi ini di SungaiCigadung oleh
Endang Tayib dkk. (1977), telah ditemukan foram plangton yang
terdiri dari :- Globigerina cf. tripartita- Gb. cf.
pseudoampliapertura- Gb. ampliapertura- Globorotalia cf.
cerroazulensis- Globorotalia pomeroliyang menunjukkan umur Eosen
Oligosen Awal. Di tempat ini juga ditemukan fosilberumur Kapur yang
dianggap telah mengalami endapan ulang (reworked) seperti
Pseudotextularia dan Globotruncana sp. Di tempatlain, di tenggara
Sungai Cibenda, Endang Tayib lebih lanjut menemukan lempung napalan
yang mengandung foraminifera plangton, seperti :- Globigerina cf.
tripartita- Gb. cf. eocaena- Gb. cf. pseudoampliapertura-
Globorotalia cf. opimayang semuanya juga menunjukkan umur Eosen -
Oligosen Awal. Dari uraian tersebut diatas, jelas agak sulitbagi
kita untuk menentukan umur dari Formasi Ciletuh ini secara lebih
tepat. Mengingat, formasi ini ditutupi oleh Formasi Bayah yang
berumur Eosen Tengah, maka umur Formasi Ciletuh kemungkinan adalah
Eosen Awal.3.3.1.8. Kedudukan StratigrafiPenyelidikan terdahulu,
seperti Anonymous (1939), van Bemmelen (1949), Soekamto(1975) serta
Tayib dkk. (1977) beranggapan bahwa kedudukan Formasi Ciletuh
terhadap satuan melange dibawahnya sebagai kedudukan tidak selaras.
Pendapat ini pada hakekatnya dilandasi oleh anggapan bahwa endapan
melangeyang kompak sebagai endapan Pra-Tersier, sehingga adanya
rombakan endapan melange ini pada bagian bawah Formasi Ciletuh
dianggap sebagai tanda ketidak selarasan. Soejono, Suparka,
Hadiwisastra (1978) berkesimpulan bahwa kedudukan ini adalah
selaras. Hal ini mengingat kisaran waktu antara kedua batuan
tersebut adalah sama. Dari urutan ciri litologi maupun struktur dan
ciri fosilnya Formasi Ciletuh adalah menyamai ciri litologi,
struktur dan fosil dari endapan prisma akresi atau pond deposits
(Karig, 1975), sehingga berdasar model prisma akresi dari Karig dan
Sharman (1975), kejadian kedua satuan tersebutdapat dikatakan tidak
terputus.3.3.1.9. Lingkungan PengendapanMulajadi dari Formasi
Ciletuh telah dibahas secara mendalam oleh Soejono, Suparka,
Hadiwisastra (1978). Dalam tulisannya bagian bawah dari formasi ini
telah ditafsirkan sebagai pond deposits atau endapan lereng atas
dari suatu sistem akresi pada umur Eosen Awal. Lingkungan
pengendapan dari satuan ini,dari laut dalam pada bagian bawah,
berubah secara berangsur ke lingkungan laut dangkal di bagian
atasnya.
3.3.2. Formasi Bayah3.3.2.1. PenamaanNama Bayah diberikan oleh
Koolhoven (1933) terhadap batuan tertua di daerah BantenSelatan.
Nama Bayah diambil dari nama kota kecamatan di daerah Banten
Selatan, kabupaten Rangkasbitung. Batuan di daerah ini terdiri dari
pasir kasar, sering konglomeratan berselang-seling dengan lempung
yang mengandung batubara. Beberapa penyelidik sesudah Koolhoven
seperti Musper (1939, 1940) juga memakai nama Formasi Bayahuntuk
satuan tersebut. Dari hasil penyelidikan ini, beberapa singkapan
lain dari batuan berciri serta dianggapgenesanya sama dan
berhubungan dinamakan juga sebagai Formasi Bayah. Singkapan pasir
kwarsa di G. Walat, Pasir Bongkok, Cinyomplong dan pasir kwarsa
yang terletak diatas Formasi Ciletuh di Ciletuh, dimasukkan ke
dalam Formasi Bayah. Pendapat ini berbeda dengan penyelidik
terdahulu yang memberikan nama berlain-lainan seperti Formasi Walat
(Effendi, 1974; LEMIGAS, 1972) untuk singkapan di G. Walat dan
Pasir Bongkok; sertaFormasi Rajamandala (Soekamto, 1975) untuk
singkapan di Cinyomplong. Nama Formasi Bayah dipilih untuk endapan
pasir kwarsa ini, mengingat nama tersebut yang paling terdahulu
diterbitkan serta sudah dikenaldalam pustaka.3.3.2.3. Penyebaran
dan Ketebalan Penyebaran singkapan Formasi Bayah di Jawa Barat pada
umumnya tidak menerus. Singkapan terluas terdapat di daerah Bayah,
memanjang hampir sekitar 25 km dari kota kecamatan Bayah ke Sungai
Cihara, sepanjang pantai selatan Banten. Singkapan lain yang cukup
luas terdapat di Teluk Ciletuh. Disini Formasi Bayah tersebar di
tepi Amphitheater Ciletuh membatasi Formasi Ciletuh di bawah dan
Formasi Jampang diatasnya. Singkapan lain dari Formasi Bayah
terdapat di sekitar selatan kota Sukabumi. Yang terluas adalah di
G. Walat dan Pasir (Bukit) Bongkok. Singkapan di kedua lokasi ini
sangat baik, di beberapa tempat ditambang untuk keperluan pabrik
semen di Bogor. Singkapan kecil dari Formasi Bayah terdapat di desa
Cinyomplong, selatan Sungai Cimandiri, dekat Pelabuhan Ratu.
Formasi Bayahhanya menempati bagian tengah dan sedikit di bagian
utara dari singkapan disini, sedangkan sebagian besar singkapan
batuan Paleogen di daerah ini termasuk kepada Formasi Ciletuh yang
terdiri dari serpih dan napal yang mengandungforaminifera. Walaupun
singkapan dari Formasi Bayah ini terpisah-pisah, tetapi secara
genetik dapat diperkirakan sama. Hal ini mengingat sifat litologi
serta kedudukan stratigrafinya diatas Formasi Ciletuh yang
ditafsirkan sebagai suatu endapan pond di lereng bawah palung
samudra. Oleh karena itu batuan di semua singkapan tadi sebelum
gerak-gerik tektonik pada hakekatnya menerus. Ketebalan Formasi
Bayah di daerah tipe sekitar 1500 m (Ziegler, 1918). Dalam
penyelidikan ini dirasakan sulitnya menentukan ketebalan formasi
secara tepat, mengingat banyaknyasesar serta lipatan yang terdapat
di daerah ini. Dari pengukuran Sungai Cimandiri di Bayah,
didapatkan ketebalan melebihi 700 m (Shodikin, 1979). Di daerah
Teluk Ciletuh, ketebalan satuan ini sulit diukur dengan pasti
karena singkapannya sangat jelek. Tetapi dari penampang geologi
didapatkan ketebalan tidak lebih dari300 m (200 m di Cibenda;
Hudaya, 1979). Banyaknya sesar di daerah ini mungkin sebagai
penyebab dari kecilnya angka ketebalan terukur. Di selatan
Sukabumi, singkapan terluas terdapat di G. Walat. Ketebalan minimum
dari satuan ini sekitar 700 m (Baumann, 1972).3.3.2.4. Ungkapan
MorfologiSingkapan batuan ini pada umumnya menempati daerah yang
berbeda-beda ketinggiannya dari daerah sekitarnya. Di daerah Bayah
dan daerah Ciletuh, satuan ini menempati daerah yang relatif rendah
dibandingdengan Formasi Citarate dan Jampang yang menutupinya;
sedangkan di daerah G. Walat, formasi ini membentuk bukit yang
lebih tinggi relatif terhadap endapan aluvium volkanik
disekitarnya. Ungkapan morfologi singkapan formasi itu sendiri,
pada umumnya membentuk perbukitan bergelombang yang melandai.
Beberapa ekspresi monoklin atau hog back (G. Walat, Bayah) terlihat
jelas sebagai akibat perselingan antara batupasir yang keras dengan
lempung dan batubara yang lunak.3.3.2.6. Ciri LitologiStratotipe
Formasi Bayah di Sungai Cimandiri, Bayah dimulai dengan endapan
lempung-pasir pantai yang tersingkap di tepi pantai, sekitar 200 -
250 m di sebelah timur muara Cimandiri. Gosong pasir di daerah ini
mempunyai kemiringan hampir tegak lurus dengan bagian atas
menghadap ke selatan sebagaimana terlihat dari terpotongnya busur
lapisan silang siur pada singkapan itu. Batas antara singkapan ini
dengan singkapan lain dariFormasi Bayah di S. Cimandiri tertutup
oleh endapan pantai. Di Sungai Cimandiri, Formasi Bayah bagian
bawah umumnya terdiri dari pasir kwarsa, sedangkan bagian atasnya
terdiri dari perselingan antara batupasir dan lempung yang
mengandung batubara. Penyelidikan detail dari Ziegler (1918)
menemukan 9 buah lapisan batubara dengan ketebalan maksimal 110 cm,
sedangkan dalam penyelidikan ini ditemukan lebih dari 10,dengan
ketebalan maksimum 180 cm. Pasirnya mempunyai ketebalan dari 3 m
sampai 12 m, dengan batas bawah tegas sedangkan bagian atas berubah
berangsur ke lempung bitumen. Struktur silang siur seringterdapat
di bagian bawahnya yang kadangkadang konglomeratan. Ciri tubuh
pasir seperti ini sangat khas untuk endapan fluviatil yang meander.
Bagian teratas dari formasi ini di daerah Bayah sering merupakan
kontak sesar dengan Formasi Cijengkol diatasnya, tetapi Koolhoven
menganggap hubungan ini sebagai hubungantidak selaras. Di Ciletuh,
singkapan Formasi Bayah ini kurang baik, mengingat letaknya selalu
di bawah tebing tinggi dimana bagian atasnya ditutupi oleh Formasi
Jampang. Satu-satunya singkapan yang dirasa memadai adalah di jalan
desa antara Cibenda ke Cikadal. Disini pasir konglomeratan, putih
kemerahan dengan struktursilang siur serta kadang-kadang terdapat
fragmen batubara didalamnya merupakan ciri utama formasi ini.
Sisipan lempung tidak terlihat di daerah ini. Ciri silang siur
landai serta sifat konglomeratan lebih menunjukkankondisi endapan
sungai teranyam. Di G. Walat, Formasi Bayah menunjukkan ciri yang
sangat menyerupai ciri bagian atas satuan di lokasitipenya. Disini,
Formasi Bayah memperlihatkan perselingan antara batupasir
konglomeratan yang berstruktur silang siur dengan batulempung yang
mengandung batubara, kadang-kadang mencapai tebal 1 m. Endapan
pasir konglomeratan di daerah G. Walat, terdiri dari 4 kompleks
singkapan. Singkapan yang terbesar adalah di G. Walat sendiri,
memanjang barat - timur sejajar dengan jalan Sukabumi - Cibadak
sepanjang 9 km. 3.3.2.7. Ciri BatasBatas bawah Formasi Bayah hanya
terlihat di Ciletuh. Di daerah ini batasnya berubah berangsur dari
perselingan yang kerap pasir kwarsa dan lempung yang berwarna
abu-abu kemerahan ke dominan lempung abu-abu dari Formasi Ciletuh.
Disarankan batas bawah Formasi Bayah diambil dimana sisipan
lempungpada pasir kwarsa tebalnya tidak lebih dari 10 m. Batas atas
Formasi Bayah hampir selalu berupa kontak sesar. Di daerah
lokasitipenya di Bayah, hubungan antara Formasi Cijengkol yang
lebih muda selalu berupa kontak sesar, walaupun Koolhoven (1933)
berdasar isi faunanya Ciri mineralogi secara lateral dari formasi
ini tidak banyak berubah. Tetapi dalam proses sedimentasinya
terdapat perubahan (lihat bab lingkungan pengendapan).3.3.2.8.
Kandungan Fosil dan UmurFosil binatang hampir tidak pernah
ditemukan dalam Formasi Bayah ini, batubara banyak dijumpai.
Beberapa penyelidikan terhadap polen dan spora (Baumann, 1972) di
G. Walat telah menghasilkan umur kemungkinan Oligosen Bawah. Fosil
polen, Florschuetzia trilobata, Monocalpites medius, sedang spora
Verrumonoletes usmensis. Umur Formasi Bayah di lokasitipenya
ditentukan berdasar fosil foraminifera besar dan kecil di satuan
marin yang korelatif (Koolhoven 1933, Bayah Utara), mengandung
fosilfosil,seperti :- Camerina sp- Assilina sp- Pellatispira sp-
Discocyclina spmenunjukkan umur Eosen Tengah (Koolhoven,1936).
Penelitian terakhir oleh penulis (1982) terhadapcontoh lempung
Formasi Bayah fasies utara di Sungai Cimandiri, Bayah,
menunjukkanumur Eosen Tengah sampai Akhir. Fosil-fosi1 tersebut
adalah :- Globorotalia centralis- Globigerapsis sp- Chiloguembelina
sp- Globorotalia spSedangkan contoh gamping di timur Gunung
Gulantung, Sungai Cimandiri, Bayah mengandung fosil :- Discocyclina
sp- Nummulites sp- Pellatispira sp- Asterocyclina spyang
menunjukkan umur Eosen Akhir. Menurut penyelidikan ini Bayah Fasies
Utara dari Koolhoven (1933), lebih merupakan fasies pradelta dari
dataran delta Bayah Selatan. Dari kesimpulan diatas dapat
disimpulkanbahwa umur Formasi Bayah adalah antara Eosen Tengah
sampai Eosen Akhir, mungkin juga sampai Awal Oligosen.3.3.2.9.
Kedudukan StratigrafiKedudukan stratigrafi Fm. Bayah terhadap Fm.
Ciletuh dibawahnya dapat diterangkan sebagai kedudukan selaras,
sebagai akibat proses regresi pada Kala Eo-Oligosen. Kedudukan
terhadap Formasi Batuasih yang berada diatasnya tidak jelas, karena
kebanyakan berupa kontak sesar. Kontak antara Fm. Bayah dan Fm.
Batuasih di G. Walat, desa Batuasih, menunjukkan kemiringan yang
sama, tetapi dengan ciri litologi yang tegas, dimana Formasi
Batuasih endapan marin. Batas sesar di daerah ini juga menyulitkan
penafsiran ciri batas sesungguhnya dari Formasi Bayah ini.
Koolhoven (1933) beranggapan kedudukan Formasi Bayah dengan Formasi
Cijengkol di daerah Bayah sebagai kedudukan tidak selaras.
Kesimpulan ini pada hakekatnya hanyaberdasar pada rumpang waktu
berdasar kandungan fosil antara Bayah fasies utara yang sekarang
dianggap sebagai Formasi Ciletuh dan Formasi Cijengkol.3.3.2.10.
Lingkungan PengendapanBerdasar ciri litologi, terutama struktur
sedimen, komposisi butir, serta banyaknya sisipan batubara, maka
lingkungan pengendapan Formasi Bayah adalah darat. Bagian bawah
menunjukkan pengendapannya fluviatil dengan tipe sungai teranyam
(braided system) dan berakhir sampai meander, atau mungkin delta.
Dari pengukuran pengarahan butir kerakal dan pengarahan lapisan
silang siur dapat ditentukan bahwa arah arus dan mungkin asal
batuan berada di utara - timurlaut daerah (gambar 12, 13).
Penyelidikan mineral berat dapat menyimpulkan bahwa pasir
konglomeratan Formasi Bayah berasal dari batuan beku granitan dan
metamorf
3.3.3. Formasi Jatibarang3.3.3.1. PenamaanNama Jatibarang
berasal dari desa kecil Jatibarang, 30 km utara Cirebon. Nama desa
Jatibarang dipakai sebagai nama resmi satuan bawah permukaan,
terdiri dari batuan hasil gunungapi yang ditemukan pada pemboran
didaerah tersebut. Pengarang pertama yang memakai nama ini adalah
Samsu (1975). Ia mengemukakan pentingnya satuan bawah permukaan di
daerah ini karena menghasilkan minyak bumi, serta sebagai suatu
tubuh batuan yang belum pernah dikemukakan sebelumnya. Penulisan
yang lebih terperinci dikerjakan oleh Padmosoekismo dan Yahya
(1974), yang menganggap beberapa bagian dari formasi ini sebagai
batuan dasar, karena dianggap tidak lagi mempunyai potensi minyak.
Beberapa penentuan umur radioisotop telah dikerjakanyang
menghasilkan umur dari Kapur sampai Eosen. Lebih lanjut Arpandi dan
Padmosoekismo (1975) memberikan gambaran penyebaran bawah permukaan
dari Formasi Jatibarang, yang memanjang dan menerus dari Cepete
(CPT) no. 1 di selatan Jakarta sampai di lepas pantai Cirebon di
sebelah timur. Penelitian yang mendalam terhadap Formasi
Jatibarang, berupa tulisan yang tidak diterbitkan telah diprakarsai
oleh PertaminaUnit III pada tahun 1979 oleh GONDWANA. Penelitian
ini menitikberatkan pada petrografi serta penyebarannya dalam
hubungannya dengan jebakan minyak bumi yang ada. Dalam penyelidikan
ini singkapan batuan asal gunungapi di daerah Cikotok yang berumur
Eosen (Koolhoven, 1933) dimasukkan ke dalam Formasi
Jatibarang.3.3.3.2. Penyebaran dan KetebalanPenyebaran bawah
permukaan Formasi Jatibarang ternyata jauh lebih luas dari yang
telah diberikan oleh Arpandi dan Padmosoekismo (1975). Hubungan
antara Fm. Jatibarang dan singkapan andesit tua di Cikotok, Bayah,
semata-mata didasarkan pada penafsiran. Dasar penafsiran ini adalah
kesamaan litologi yang terdiri dari endapan volkanik bersifat
andesitik dan basaltik serta mempunyai kesamaan umur, yakni Kapur -
Eosen. Ketebalan Fm. Jatibarang di daerah lokasitipenya adalah 1200
m (Arpandi dan Padmosoekismo,1975). Ketebalannya di tempat lain
sulit ditentukan karena batas atasnya dipisahkan oleh ketidak
selarasan. Di daerah Cikotok ketebalan minimal adalah 1500
m.3.3.3.3. Ungkapan MorfologiSingkapan Fm. Jatibarang diketemukan
hanya pada satu tempat, yakni di Bayah. Di daerah ini, Formasi
Jatibarang pada umumnya membentuk morfologi tinggi, serta terpotong
oleh lembah-lembah yang dalam dan terjal.3.3.3.5. Ciri
LitologiDalam penelitian tahi-bor serta inti dinding lubang bor
(side wall core) serta inti bor dari 16 sumur, di Jawa Barat utara
telah diketemukan 2 macam batuan pembentuk dari satuan ini. Yang
pertama adalah batuan beku dan yang kedua adalah tufa. Batuan beku
terdiri dari basalt, andesit. Batuan tufa terdiri dari tufa
vitrikatau tufa gelas, tufa lithik serta tufa kristal. Di bagian
atas sering dijumpai sisipan greywacke,serpih dan gamping. Batuan
basalt, umumnya berwarna abu-abu, intergranular kadang-kadang
porfiritik, seringtrachitik, yang telah banyak mengalami ubahan.
Mineral fenokris plagioklas menunjukkan sifat kembar, umumnya telah
terubah menjadi lempung/ serisit, klorit dan karbonat. Disamping
itu sering dijumpai piroksen dan mineral bijih. Di beberapa tempat
ditemukan basalt yang bertekstur halus. Batuan andesit sudah sangat
terubah sehingga sulit ditentukan mineral asalnya. Tufa yang
umumnya berwarna terang berbutir halus, sebagian besar mengalami
devitrifikasi menjadi silika berukuran kriptokristalin. Pada
umumnya tufa terdapat di bagianatas dari formasi ini. Beberapa
sisipan gamping (Bangadua 44) pada bagian atas telah ditemukan
fosil yangmenunjukkan ciri endapan marin. Di daerah
hipostratotipenya di Cikotok beberapa mahasiswa geologi, PPTM,
telah mengadakan riset mengenai mineralisasi yang terjadi pada
singkapan Fm. Jatibarang disana. Beberapa penyelidikan di daerah S.
Cikaret, S. Ciherang menunjukkan ciri lava andesit yangtelah
mengalami ubahan. Di lapangan lava ini berwarna abu-abu kehijauan,
berbutir halussedang dan mengandung sebaran pirit. Dibawahmikroskop
batuan ini mineralnya kebanyakan telah terubah menghasilkan mineral
serisit, klorit, serta karbonat.3.3.3.6. Ciri BatasDi sekitar
daerah lokasitipenya (pemboranJatibarang 50) batas antara Formasi
Jatibarangdengan Formasi Gantar (GEODATA, PERTAMINAUNIT III,
Equivalent dengan CibulakanBawah), selalu ditandai oleh ketidak
selarasan.Batas bawahnya juga selalu tidak selaras diatasbatuan
dasar diantaranya terdiri dari batuanmetamorf berumur Jura (106 -
213 jtl.)?.Di daerah hipostratotipe di Cikotok, Bayah,batas atas
selalu dijumpai sebagai kontak ketidakselarasan dengan satuan yang
berumur Oligosen,yakni Formasi Cijengkol (Suhari, 1979;Suhardiman,
1979), sedangkan batas bawahdari satuan ini didaerah Bayah tidak
pernahdijumpai.Ciri lateral dalam satu formasi sulit
diselidiki,karena kebanyakan data didasarkan padahasil
pemboran.
3.3.4. Formasi Batuasih3.3.4.1. PenamaanNama Batuasih diambil
dari nama desa sekitar 3 km selatan dari Cibadak, Sukabumi,
letaknya tepat di lembah antara G. Walat dan antiklin Pasir
Bongkok. Nama Batuasih dipakai untuk penamaan satuan di daerah ini,
pertama-tama oleh Baumann (1972) dengan nama Batuasih Marl
Formation, dan kedua secara lebih resmi diberikan oleh Effendi
(1974) sebagai Formasi Batuasih. Nama Formasi Batuasih tetap
dipertahankan dalam tulisan ini mengingat ciri dari batuan ini
dalam ruang dan waktu adalah jelas dan tersendiri.3.3.4.2.
Penyebaran dan KetebalanPenyebaran Formasi Batuasih agak terbatas.
Secara litologi formasi ini menyerupai Formasi Cijengkol di Banten
Selatan, tetapi di Banten jauh lebih tebal, serta bersifat lebih
marin, kaya akan foram plangton. Kearah timur beberapa singkapan
napal hitam di daerah Rajamandala, Cipanas (Saguling) juga sangat
menyerupai Formasi Batuasih. Ketiga singkapan tersebut, Formasi
Cijengkol, Formasi Batuasih (termasuk singkapan di Rajamandala),
mempunyai kedudukan stratigrafi yang sama. Ketebalan Formasi
Batuasih di daerah lokasitipenya adalah 111 m. Di Saguling
ketebalan minimum adalah 400 m, sedangkan Formasi Cijengkol di
Banten Selatan adalah 570 m. Nama terakhir masih perlu
dipertahankan.3.3.4.3. Ungkapan MorfologiFormasi Batuasih yang
berbatasan dengan Formasi Bayah dan Formasi Rajamandala menunjukkan
morfologi yang terendah. Hal ini disebabkan karena kedua satuan
yang membatasi mempunyai ketahanan erosi yang lebih besar, sehingga
morfologi Formasi Batuasih selalumerupakan lembah diantara kedua
perbukitantersebut.3.3.4.5. Ciri LitologiFormasi Batuasih yang
menutupi Formasi Bayah di G. Walat kebanyakan terdiri dari lempung
yang keras, padat sering napalan. Beberapa sisipan tipis lanau
pasiran juga ditemukan dan kadang-kadang juga dijumpai pasir. Lanau
pasiran ini umumnya terdiri dari kwarsa dan rijang, tidak
mengandung fragmen volkanik. Pirit umum dijumpai. Salah satu
singkapan yang baik di S. Cibatu. Bagian atas, terutama lebih
bersifat napalan banyak mengandung fosil foraminifera dan
gastropoda disamping fragmen echinoid dan bryozoa. Warna umumnya
abu-abu kehitaman,getas dan menyerpih.3.3.4.6. Ciri BatasCiri batas
bawah dari Formasi Batuasih dengan Formasi Bayah di G. Walat,
ditandai olehberkurangnya atau hilangnya pasir dan konglomerat pada
Formasi Bayah. Lempung pada Formasi Batuasih bagian bawah sulit
dibedakan dengan beberapa sisipan lempung yang teba pada Formasi
Bayah di daerah G. Walat. Batasdi daerah tipe tidak jelas, karena
terusakkan oleh sesar. Batas atas di daerah tepinya terlihat jelas
di sungai kecil dekat perkapuran paling utara. Pada air terjun
bagian atasnya terdiri dari gamping, sedangkan bagian bawahnya
secara berangsur berubah menjadi lempung, napal hitam dari Formasi
Batuasih.Ciri batas lateral tidak diketahui karena penyebaran yang
sangat terbatas. Di bagian sebelah timur dari G. Walat, di selatan
Sukabumi, batugamping dari Formasi Rajamandala langsung berada
diatas Formasi Bayah yang terdiri dari pasir kwarsa.Dari gejala
tersebut Baumann (1972) menganggap bahwa Formasi Batuasih merupakan
fasies lautan dari Formasi Bayah Atas. Oleh karena itu Baumann
(1972) menganggap kedudukan antara Formasi Rajamandaladan Formasi
Batuasih adalah tidak selaras, walaupun antara keduanya tidak
terdapat selang waktu sedimentasi yang berarti. Formasi Batuasih
berumur Oligosen Atas, dan Formasi Rajamandala ditutupi oleh
Formasi Citarum yang berumur Oligosen Akhir (terakhir).Kedua
formasi, Formasi Batuasih dan Formasi Rajamandala menurut
penelitian ini adalah merupakan perubahan fasies, dan samasama
tidak selaras diatas Formasi Bayah. Formasi Batuasih dan Formasi
Rajamandala merupakan endapan daerah transisi dan laut dangkal,
sehingga perubahan fasies antara kedua satuan tersebut dapat
terjadi setempat-setempat. Seringnya dijumpai sisipan batupasir
kwarsa pada bagian bawah Formasi Rajamandala menguatkan kesimpulan
tersebut.3.3.4.7. Kandungan Fosil dan UmurPada bagian terbawah dari
Formasi Batuasih ini tidak ditemukan fosil laut dangkal. Gastropoda
dan pelecypoda, diantaranya yang dapat dikenal adalah : Conus sp
dan Terebra, pelecypoda umumnya sudah sangat rusak. Fosillain yang
ditemukan adalah duri echinoid, yang umumnya menunjukkan lingkungan
laut dangkal dan berpasir. Adanya fosil ini dapat menunjukkan
thanatoconoese dari beberapa fosil pada napal di Batuasih ini.
Fosil foraminifera juga ditemukan pada bagian tengah dan atas dari
Formasi Batuasihini. Baumann (1972) menemukan :Globigerina
praebulloidesG. angulisuturalisG. ciporuensisyang menunjukkan umur
N2 - N4 atau OligosenAkhir. Adinegoro dan Arpandi (1976)
menyebutkanadanya beberapa foram besar :Nummulites spHeterostegina
borneensisLepidocyclina spDalam penelitian terakhir, telah diteliti
contoh batuan dari Formasi Batuasih, tetapi hanyabagian atas yang
mengandung foram plangton. Walaupun tidak banyak jumlahnya, tetapi
semua species yang ditemukan oleh Baumann (1972) juga terdapat pada
contoh yang diperiksa, disamping itu juga ditemukan beberapacontoh
dari Globigerina tripartita.3.3.4.8. Kedudukan StratigrafiFormasi
Batuasih merupakan lingkungan transisi dari dominan lingkungan
darat (pasir konglomerat dari Formasi Bayah di G. Walat) ke
lingkungan lautan (gamping dari Formasi Rajamandala). Kedudukan
stratigrafi dari Formasi Batuasih dan Formasi Bayah dibawah mungkin
tidak selaras, sedangkan batas atasnya dengan Formasi Rajamandala
adalah selaras.3.3.4.9. Lingkungan PengendapanWarna Formasi
Batuasih umumnya hitam, abu-abu, sering mengandung mineral pirit.
Fosil di bagian bawah umumnya jarang. Kearah atas fosil makin
mengarah ke fosil laut. Di bagian tengah banyak mengandung
pelecypoda dan gastropoda, sedangkan pada bagian atas sering
dijumpai napal yang mengandung foraminifera.Dari uraian diatas
dapat disimpulkan bahwa lingkungan pengendapan Formasi Batuasih
adalah laut transisi dengan kondisi reduksi pada bagian bawahnya.
Didalam catatan Formasi Ciletuh dan FormasiBayah telah disebutkan
bahwa Formasi Bayah merupakan pendangkalan dari sistem prisma
akresi di depan busur vulkanik.Formasi Batuasih terletak tidak
selaras diatas Formasi Bayah yang mengandung sisipanbatubara. Dari
sini kita dapat simpulkan bahwa, proses transgresi telah menerus di
selatan,menutupi suatu lembah yang dulunya merupakan punggungan
busur luar yang berlingkungan darat. Oleh karena itu kita dapat
simpulkan bahw a Cekungan Bogor mulai terlihat pada umur Akhir
Oligosen ini
3.3.5. Formasi Rajamandala3.3.5.1. PenamaanNama Rajamandala
digunakan pertama kali untuk batugamping di daerah Bukit
Rajamandala oleh Martin (1911). Harting (1929) demikian pula
Leopold dan van der Vlerk(1931) menamakannya sebagai
BatugampingTagogapu. Baumann (1974) adalah orang pertama yang
menamakan satuan ini sebagaiformasi, Formasi Rajamandala. Beberapa
pemeta di Lembah Cimandiri seperti Musper (1939), Patty (1963)
menempatkansingkapan gamping di daerah ini kedalam Formasi Citarum,
sedangkan Effendi (1974) menamakannya sebagai Satuan Batugamping
Terumbu dan dianggap seumur dan sambungan dari gamping di
Rajamandala. Seluruh jajaran singkapan gamping tersebut diatas
sebaiknya ditetapkan sebagai Formasi Rajamandala.3.3.5.3.
Penyebaran dan KetebalanPenyebaran Formasi Rajamandala umumnya
terbatas pada jalur Padalarang - Sukabumi (G. Walat). Batuan yang
semacam (gamping) dan seumur juga terdapat di daerah Bayah, disini
dinamakan sebagai Formasi Citarate (Koolhoven, 1933). Hubungan
geologi antara kedua satuan perlu mendapat penyelidikan lebih
lanjut, sehingga untuk sementara kedua nama tersebut masih
dipertahankan. Formasi Rajamandala, umumnya merupakangamping
berlapis, dan di beberapa tempat berkembang sebagai terumbu (Ps.
Pabeasan, Tjahyo Hadi, 1972).Ketebalan Formasi Rajamandala di
lokasitipenya berkisar antara 60 - 100 m. Di Pasir Kemuning
(Hutabarat, 1972) ketebalan minimum 102 m, di Pasir Pabeasan
sekitar 72 m (Tjahyo Hadi, 1972), Gunung Manik 82 m,Pasir Balukbuk
88 m dan Pasir Sanghiangtikoro adalah 94 m (D. Sudradjat, 1973). Di
daerah Sukabumi selatan di Gunung Karang ketebalannya adalah 98
m.3.3.5.4. Ungkapan MorfologiFormasi Rajamandala yang terdiri dari
gamping umumnya mempunyai kekerasan jauh lebihbesar dibanding
batuan disekitarnya. Oleh karena itu formasi ini hampir selalu
membentuk morfologi yang tertinggi serta umumnya berlereng
terjal.3.3.5.6. Ciri LitologiFormasi Rajamandala dicirikan oleh
batugamping. Macam batugamping pembentuk formasiini, ternyata
secara lateral banyak berubah. Singkapan batugamping sebagai
hipostratotipe di Ps. Pabeasan kebanyakan terdiridari batugamping
fragmental, berselingan dengan batugamping masif, kadang-kadang
bersifat lithografis (Tjahyo Hadi, 1972). Ketebalan batugamping
fragmental berlapis baik umumnya berkisar 2 sampai 3 m, dan
batugamping masif berkisar antara 4 sampai 9 m. Tidak kurang 9
siklus batugamping masif, yang diselingi olehbatugamping fragmental
terdapat di Ps. Pabeasan. Makin kearah barat di G. Manik (Ps.
Manik), Ps. Balukbuk dan Ps. Sanghiangtikoro, batugamping terlihat
lebih bersifat masif (D. Sudradjat, 1973). Di Ps. Balukbuk, gamping
masif ada 5 siklus, dengan ketebalan masingmasing dari 6 m sampai
12,5 m (D. Sudradjat1973). Di Ps. Sanghiangtikoro bahkan kebanyakan
terdiri dari batugamping masif, dengan ketebalan keseluruhan 75 m,
dimana selingan gamping fragmental maksimal 2 m (gambar 19).
Batugamping masif umumnya, banyak mengandung algae, berwarna putih
sampai kuning muda, berkristal halus, kadang-kadangmengandung
foraminifera besar. Batugamping fragmental, umumnya berlapis,
berwarna abuabu,kalau melapuk umumnya coklat, fragmenterdiri dari
butir halus algae dan sering terdapatforam besar. Beberapa zona
yang kaya akan foram besar didapatkan di Ps. Pabeasan (Tjahyo Hadi,
1972). Pada G. Manik, D. Sudradjat (1973) telahmempelajari susunan
Formasi Rajamandala, dimana ia membagi singkapan disana menjadi13
satuan. Satuan 1, terbawah terdiri gamping abu-abu masif, kaya akan
foram besar, denganbutiran kwarsa dan pirit. Batuan ini berselingan
dengan batugamping fragmental yang juga kayaakan foraminifera
besar. Ketebalan 1 sampai2,8 m. Batuan ini dapat digolongkan
sebagai wackestone (Dunham, 1962).Satuan 2, terdiri dari
batugamping fragmental berwarna coklat, terdiri dari pecahan
batugamping dengan diameter 2 sampai 7 cm,bersudut runcing,
kadang-kadang ditemukan fragmen kwarsa yang berukuran 1 sampai 2
cm, sering membulat. Fosil mollusca juga terdapat. Satuan 3,
terdiri dari batugamping warna putih, kaya akan fosil foraminifera
kecil, serta cangkang mollusca. Butiran kalsit (fragmen) umumnya
berukuran pasir kasar sampai sedang, dan persentuhan antar fragmen
jelas terlihat. Satuan 4, batugamping masif, putih dengan fragmen
algae dan koral, dengan ketebalan2,9 m. Pada beberapa tempat
ditemukan mikrofosil yang mengambang dalam lumpur karbonat. Batuan
fragmental ini menempati ronggarongga diantara algae dan koral.
Satuan 5, adalah batugamping bioklastikdengan ketebalan sampai 2,1
m, berwarna putih kotor. Batuannya terdiri dari pecahan fosil dan
foraminifera kecil yang mengambang pada mikrit. Satuan 6,
batugamping masif, berwarna putih kotor, ketebalan 5 m. Terdiri
dari pertumbuhan algae dan koral. Pada beberapa contoh ditemukan
fosil Lepidocyclina sp. Satuan 7, batugamping klastik tebal 2 m,
terdiri dari pecahan mollusca, algae, foraminifera besar, dengan
matriks yang padat terdiri dari mikrit.Satuan 8, batugamping masif,
abu-abu, terdiri dari jalinan algae dan koral. Ketebalan4 m.Satuan
10, 11, batugamping masif, putih terdiri dari koral dan algae tebal
9 m.Satuan 12, terdiri dari batugamping klastik kaya akan pecahan
foram besar, koral, dan algaeserta mollusca. Matriks terdiri dari
lumpurkarbonat, ketebalan 7,5 m. Satuan 13, batugamping masif,
skeletal terdiri dari jalinan algae dan koral, tebal 5,2 m.
Singkapan batugamping dari Formasi Rajamandaladi daerah Sukabumi,
tersingkap baik di selatan G. Walat, atau yang dikenal sebagai
Tinggian Sukabumi (Baumann, 1972). Salah satu singkapan gamping
terbaik adalahdi G. Karang, yang sebagian sudah dikupas untuk
diolah. Di bukit ini kontak dengan FormasiBatuasih terlihat jelas.
Baumann (1972) menafsirkannya sebagai kontak ketidak
selarasan.Menurut penulis hubungan ini adalahhubungan sesar.
Batugamping Formasi Rajamandala, di G. Karang, maupun di selatan
desa Batuasih (Ps. Bintang) bagian bawahnya selalu dimulai dengan
batugamping fragmental, pasiran (2 m) kemudian diikuti oleh
batugamping berlapis, berwarna abu-abu, kecoklatan, kaya akan algae
dengan ketebalan sekitar 9 m. Diatasnya didapatkan batugamping
berlapis tebal-tebal, kaya akan foraminifera kecil dan besar,
dengan matriks halus. Fagmen lain adalah algae, pelecypoda dan
foraminifera kecil jenis milliolid yang bercangkang kalsit tebal.
Batugamping ini dapat dinamakan sebagai batugamping wackestone
Dunham (1962). Ketebalandi G. Karang sekitar 23 m. Diatasnya
didapatkan batugamping kaya akan algae dan foraminifera besar.
Koral sangat sedikit, kadang-kadang ditemukan sebagai fragmen.
Fragmen kontak satu terhadap yang lain.Batugamping ini berlapis
tebal antara 0,5 sampai 1 m. Ketebalan interval ini adalah 38
m.Bagian teratas dari Formasi Rajamandala di G. Karang, terdiri
dari algae dan koral, dengan beberapa fragmen foraminifera dan duri
echinoid. Batuannya umumnya masif, berwarna putih abu-abu. Di
beberapa tempat, koral kelihatannya dominan, sedangkan umumnya
algae lebih dominan. Beberapa proses diagenesa yang lanjut telah
merubah koral menjadi mikrit, dimana hanya micritic envelope saja
yangmenunjukkan struktur koral. Ketebalan intervalini minimum 25 m.
Penyelidikan yang mendalam mengenai batugamping Rajamandala ini
dikerjakan olehArpandi (1976) seperti terlihat pada gambar 17, 18.
Adinegoro dan Arpandi (1976) membuat studi yang mendalam terhadap
paleoekologi dari Formasi Rajamandala. Studi ini dirancangdengan
membandingkan dua tubuh gamping di selatan (G. Hawu) dan di utara
(Tagogapu, Ps. Cikamuning) yang di lapangan memang sudahmemberikan
kesan berbeda (gambar 17 dan 18). Hasil Adinegoro dan Arpandi
(1976) sangatmenarik, dari segi macam batugampingnya. Menurut
klasifikasi Dunham (1962) kedua singkapanini memperlihatkan banyak
kesamaan, demikian pula tidak ada perbedaan menyolok dalam fauna
lain, kecuali kandungan fosil foraminiferaplangton, dimana di
selatan (G. Hawu) umumnya sangat jarang, sedangkan di
Tagogapu(Pasir Cikamuning) isi foram plangtonmencapai 24% pada
beberapa interval (gambar17, 18).3.3.5.7. Ciri BatasCiri batas
antara Formasi Rajamandala dengan Formasi Batuasih yang berada
dibawahnya,umumnya tertutup oleh talus hasil rombakan dari
batugamping itu sendiri. Di beberapa tempat seperti di Sungai
Cilubang diBatuasih, didapatkan kontak yang selaras antara
batulempung hitam mengandung mollusca dengan batugamping berlapis
tebal, kaya akan fragmen batupasir kwarsa. Di G. Karang, Sukabumi,
daerah yang telah diselidiki oleh Baumann (1972) juga telah
didatangi kembali oleh penulis, ternyata hubungan tersebut adalah
hubungan sesar sehingga tidak dapat dipakai sebagai penentu ciri
kontak. Deditafsirkan sebagai kontak ketidak selarasanoleh Baumann
ditegaskan oleh penulis sebagai kontak sesar. Di daerah perbukitan
Rajamandala kontakbawah Formasi Rajamandala dengan lempung hitam
dari Formasi Batuasih lebih sulit lagi ditentukan. Masalahnya
adalah daerah ini telah mengalami suatu sesar naik yang kuat
sehingga disamping rombakan penutup, maka kontak lapangan yang
normal sulit dijumpai. Sudjatmiko (1972) dan D. Sudradjat (1973)
menafsirkankontak antara kedua satuan adalah ketidak selarasan.
Tetapi Harting (1929) dan Kupper (1941) menganggapnya sebagai
kontak selaras. Dalam penelitian di jalan baru Rajamandala -
Saguling, terlihat suatu perubahan berangsur dari Formasi Batuasih
yang umumnya tidak bereaksi dengan HC1, makin mendekati kontak
dengan batugamping Formasi Rajamandala berubah ke sifat lebih
gampingan, kaya akan konkresi gampingan. Dari uraian ini didapat
kesimpulan bahwa kontak antara Formasi Rajamandala dengan Formasi
Batuasih yang beradadibawahnya adalah selaras. Kontak dengan
Formasi Citarum yang berada diatasnya di daerah Sukabumi terlihat
di Sungai Kiaralawang yang menunjukkan kontak selaras. Hal ini
sesuai dengan pendapat Baumann (1972).Di daerah Perbukitan
Rajamandala, kontak terbaik terdapat di S. Cipanas,
Sanghiangtikoro, jalan baru Rajamandala - Saguling. Disini terlihat
perubahan yang berangsur dari batugamping masif ke batu napal dan
akhirnya lapisan yang banyak mengandung batuapung. Keadaan ini
membuktikan bahwa, hubungan antara Formasi Rajamandala dengan
Formasi Citarum yang berada diatasnya adalah selaras.3.3.5.8.
Kandungan Fosil dan UmurFormasi Rajamandala, sebagaimana ciri
dasarnya adalah gamping, maka umumnya umurnya juga ditentukan
berdasar foraminifera besar. Di daerah Tinggian Sukabumi,
penyelidikan foraminifera secara mendalam dilakukan oleh Baumann
(1972). Bagian terbawah dari Formasi Rajamandala di G. Karang,
selatan Cibadak,didapatkan fosil foram besar Heterostegina
borneensis, disamping fosil lainnya. Fosil ini penting sebagai
penunjuk untuk umur bagian atas dari Awal Te. Dengan demikian, maka
umur dari Formasi Rajamandala bagian terbawah adalah Oligosen
Akhir. Fosil-fosil yang umum didapatkan pada bagian tengah dan atas
dari batugamping di G. Karang, adalah sbb. :Lepidocyclina
dilalataLepidocyclina formosaLepidocyclina parvaLepidocyclina
isolepidinoidesLepidocyclina verbeekiLepidocyclina
sumatrensisSpiroclypeus pleurocentralisSpiroclypeus
tidoengensisSpiroclypeus leupoldiMiogypsinoides formosensisBorelis
pygmaeusAustrotrilina striataDari kumpulan ini didapatkan umur
untuk batugamping Formasi Rajamandala di Tinggian Sukabumi adalah
Oligosen Akhir sampai Miosen paling awal. Disamping fosil-fosil
tersebut diatas didapatkan pula fosil-fosil lain, seperti
Gastropoda, Bryozoa, Pelecypoda dan Echinoid. Dalam penyelidikan
penulis di S. Cibatudidapatkan foraminifera besar, seperti berikut
:Lepidocyclina verbeekiLepidocyclina sumatrensisLepidocyclina
formosaSpiroclypeus tidoengensisMiogypsina spyang menunjukkan umur
Te5. Yang paling menarik adalah singkapan di daerah Perbukitan
Rajamandala. Dari selatan ke utara, yakni dari Ps. Pabeasan ke Ps.
Cikamuning di tepi jalan Padalarang - Purwakarta, terdapat
perbedaan fasies yang menyolok, khususnya di Ps. Cikamuning.
Singkapan ini terdiri dari perselingan antara batugamping
fragmental yang mengandung foraminifera besar dengan batugamping
napalan, bahkan kadang-kadang napal gampingan yang kaya akan fosil
plangton (gambar 17, 18). Karmini (1981) telah menyelidiki fosil di
Ps. Cikamuning dengan teliti. Maksud penelitian ini adalah
mengetahui hubungan antarazonasi foraminifera besar dengan zonasi
foram kecil plangton. Daerah ini dapat dianggap ideal, mengingat
kayanya kedua macam fosil tersebut pada satu tempat. Pada singkapan
di Ps. Karang di sebelahselatan kampung Sudimampir, telah diambil 9
contoh (Karmini, 1981) yang mengandung fosil foram plangton dan
foram besar. Foram plangton dari lokasi ini adalah sbb.
:Catapsydrax peraGlobigerina binaensisGlobigerina
ciperoensisGlobigerina galavisiGlobigerina officinalisGlobigerina
ouachitaensisGlobigerina prasaepisGlobigerina selliiGlobigerina
tripartitaGlobigerina yoguaensisGlobigerinoides
primordiusGloborotalia nanaGloborotalia opimaGloborotalia
pseudokugleriGloborotalia siakensisKumpulan fosil-fosil ini
menunjukkan umur sekitar N3 atau Oligosen Akhir. Disamping fosil
plangton, fosil foraminifera besar di G. Karang dapat disebutkan
sbb. :Austrotrillina striataBorelis pygmaeusCycloclypeus
eidaeCycloclypeus oppenoorthiFlosculinella reicheliHeterostegina
borneensisLepidocyclina callosaLepidocyclina
ephipiodesLepidocyclina isolepidinoidesLepidocyclina
richthofeniLepidocyclina sumatrensisLepidocyclina
verbeekiMiogypsina borneensisMiogypsina bantainensisMiogypsinoides
complanataMiogypsinoides formosensisSpiroclypeus
orbitoideusSpiroclypeus tidoenganensisBagian teratas ditandai oleh
Lepidocyclina ephipioides, disertai oleh Heterostegina borneensis
dan Miogypsinoides bantamensis yang dapat menunjukkan umur Miosen
Awal. Dari uraian tersebut diatas kita dapat simpulkan bahwa umur
Formasi Rajamandala adalah Oligosen Akhir sampai Miosen
Awal.3.3.5.9. Kedudukan StratigrafiFormasi Rajamandala mempunyai
kedudukanbstratigrafi yang penting. Penyebaran singkapan Formasi
Rajamandala memanjang sepanjang Sesar Cimandiri, sisi selatan
Cekungan Bogor. Di daerah lebih ke selatan,seperti di daerah
Ciletuh, Formasi Ciletuh langsung ditutupi oleh Formasi Jampang
yang terdiri dari endapan gunungapi. Pelamparan Formasi Rajamandala
di Cekungan Bogor kearah utara tidak dapat diketahui,ataupun
ditafsirkan. Di Paparan Sunda, batugamping yang seumur dengan
Formasi Rajamandala dikenalsebagai Formasi Baturaja. Arpandi dan
Padmosoekismo (1975) menganggap bahwa Formasi Baturaja tidak
menerus ke Zona Bogor, walaupun data yang menunjang tidak ada. Pada
pemboran di dekat Purwakarta (PWK 1), ketebalan non-klastik adalah
145 m, dengan Ratio klastik/non-klastik sangat kecil (2,3) yang
membuktikan kurang pentingnya endapan gamping di daerah tersebut.
Tetapi data yang menarik adalah hubungan fasies antara gamping di
Ps. Pabeasan dan Ps. Cikamuning (gambar 17, 18). Batugamping di
Cikamuning ternyata banyak mengandung foram plangton dan berfasies
lebih dalam dibanding batugamping di deretan Perbukitan
Rajamandala. Dengan demikian penulis berkesimpulan bahwa Formasi
Rajamandala dan Formasi Baturaja yang berada di daerah paparan di
utara merupakan tubuh batugamping yang terpisah satu terhadap yang
lain.3.3.5.10. Lingkungan PengendapanDari peneliti terdahulu,
Harting (1929), Kupper (1941) berkesimpulan bahwa lingkungan
pengendapan Formasi Rajamandala adalah laut dangkal. Sudradjat
(1973, gambar 19), memberikan gambaran lebih mendalam mengenai
lingkungan pengendapannya, dimana ditentukan bahwa batugamping
Sanghiangtikoro lebihbersifat inti terumbu (Reef Core), G. Manik
adalah talus (Reef Talus Slope), dan di Ps. Cikamuning sebagai
transisi terumbu depan (Fore Reef Transition Zone). Penelitian yang
lebih mendalam di G. Hawu dan Tagogapu oleh Adinegoro (1976)
memberikan gambaran yang lebih mendalam lagi terhadap lingkungan
pengendapan dari Formasi Rajamandala. Gamping pada Tagogapu
mengandung foraminifera plangton sampai mencapai25%, dan tersebar
diseluruh tubuh batuan sebagai sisipan dari terbawah sampai yang
teratas, sedangkan di Pasir Hawu di deretan Ps. Pabeasan di selatan
jalan Padalarang Cianjur jauh lebih miskin, kurang dari 1% (gambar
17,18). Hasil penyelidikan Adinegoro dan Arpandi (1976) ini
membuktikan kearah utara, dari GunungHawu ke Tagogapu (Pasir
Cikamuning) fasiesnya berubah dari laut dangkal ke laut yang lebih
dalam.Perubahan fasies dari Formasi Rajamandala kearah lebih utara,
inti Cekungan Bogor, tidak dapat diketahui, tetapi kebanyakan
penulis (Arpandi dan Padmosoekismo, 1975) menganggap bahwa Cekungan
Bogor sudah cukup dalam pada waktu Oligo-Miosen. Dengan demikian
batugamping terumbu dianggap tidak menerus ke poros cekungan.
Penelitian di daerah Sukabumi Selatan menunjukkan ciri yang agak
berlainan dengandi daerah Rajamandala. Di daerah Tinggian Sukabumi,
umumnya hanya merupakan satu sistem terumbu yang bersifat regresif,
dibuktikan dengan penampang di Gunung Karang. Dari penyebaran dan
perubahan fasies,diperkirakan bahwa formasi di Rajamandala
merupakan batas selatan dari Cekungan Bogor. Batas utaranya juga
ditandai oleh perkembangan gamping, yakni Formasi Baturaja. Batas
barat dari Cekungan Bogor yakni diTinggian Bayah, adalah tumbuhnya
gamping dan Formasi Citarate. Dari uraian diatas, kita dapat
simpulkanbahwa pada waktu pertumbuhan gamping Formasi Rajamandala,
Cekungan Bogor sudah berkembang sebagai suatu cekungan yang utuh,
yakni jelas batas-batasnya serta sudah terdapat berbagai macam
lingkungan pengendapan3.3.6.1. PenamaanNama Jampang, diambil dari
sebuah kota kecamatan di selatan Sukabumi, kota Jampang Kulon,
dimana terdapat singkapan Formasi Jampang secara luas. Penamaan
Jampang terhadap satuan volkanik mula-mula diberikan oleh Anonymous
(1940) sebagai Djampang Serie, kemudian Soekamto (1975)
membakukannya menjadi nama formasi, Formasi Jampang. Beberapa nama
lain dari Formasi Jampang adalah Old Andesite diberikan oleh
Verbeek dan Fennema (1896). Nama Old Andesite pada hakekatnya
dipergunakan untuk siklus, gunungapi Oligosen - Miosen Awal di
Jawa, tetapi nama ini lebih banyak dipakai oleh Westerveld (1941)
dan van Bemmelen (1949) terhadap batuan endapan gunungapi berumur
Miosen Awal di Sumatra. Aktifitas gunungapi di Jawa pada umur
Miosen Awal telah menghasilkan bahan volkanik yang menyebar di
sepanjang garis pantaiselatan Pulau Jawa. Di Jawa Barat sendiri
terdapat dua nama untuk bahan volkanik Miosen Awal ini.
Pertamaadalah Formasi Cimapag yang tersebar di Bayah dan G. Honje,
Ujung Kulon. Sedangkan yang tersebar di Pegunungan Selatan Jawa
Barat dikenal dengan nama Formasi Jampang. Kesulitan penamaan
batuan hasil aktifitas gunungapi, merupakan masalah yang lama untuk
Indonesia. Penulis telah lama memikirkan serta berbicara dengan
berbagai pihak yang berkepentingan dalam pemetaan batuan endapan
gunungapi. Dari penyebaran batuan gunungapi dalam ruang dan waktu
geologi, ternyata aktifitasnya berjalan siklis, artinya, perioda
aktif diselingi oleh perioda non-aktif. Disamping itu ada kenyataan
bahwa pada perioda aktif, pusat erupsi membentuk jalur yang
memanjang. Pada waktu sekarang, memanjang dari Andaman - Sumatra -
Jawa - Nusa Tenggara - Maluku - Sulawesi Utara. Kalau kita coba
terapkan prinsip yang sering dipakai pada gunungapi Resen, yakni
mencoba menamakan satuan dasar formasi, berdasar pusat erupsinya,
akan timbul masalahkarena banyaknya formasi yang berumur sama.
Tetapi pertanyaan yang paling penting adalah, mampukah kita
mengenal titik-titik pusat erupsi pada batuan hasil gunungapi tua,
mengingat bahwa singkapan yang menerus untuk fosil gunungapi sulit
didapatkan. Sebaliknya kalau kita hanya tertumpu pada batas
vertikal, akibatnyakita terpaksa menamakan seluruh fosil endapan
gunungapi di sepanjang jalur Pasifik sebagai satu satuan dasar,
formasi. Oleh karena itu untuk sementara konsep penamaan satuan
endapan gunungapi sengaja ditangguhkan. Sebagai akibatnya nama-nama
yang terdahulu dipakai tetap dipergunakan, walaupun secara lateral
batasnya tidak dapat ditentukan. Alasan lain untuk tidak meneliti
terlalu mendalam adalah karena kemungkinan besarpusat gunungapi tua
ini terletak di lepas pantai, sehingga sangat sulit untuk mengenali
pusatpusat erupsinya.3.3.6.3. Penyebaran dan KetebalanFormasi
Jampang, merupakan sebagian dari Old Andesite, hasil aktifitas
gunungapi Oligo- Miosen Awal. Endapan gunungapi Oligo- Miosen Awal
ini terletak di sepanjang pantai selatan Pulau Jawa. Beberapa
singkapan lain yang penting seperti di Nusakambangan, Karangbolong,
Pacitan, Banyuwangi Selatan merupakan contoh dari endapan gunungapi
Oligosen - Miosen Awal itu. Beberapa nama formasi telah dipakai
untuk nama endapan ini, seperti Formasi Besole (Sartono, 1969),
Formasi Kebo-Butak (Bothe, 1929), Formasi Gabon (Shell, PERTAMINA).
Ketebalan singkapan dari Formasi Jampang berbeda-beda dari satu
tempat ke tempat lain. Di daerah Jampang diperkirakan minimum 2000
m (Anonymous, 1940). Dalam penelitian ini di Cibalengbeng
didapatkan ketebalan minimum 1235,5 m, di lintasan Cipanarikan
1062, 5 m, sedangkan di Cibeber hanya sekitar 800 m. Perbedaan itu
terutama karena batas atas Formasi Jampang adalah berupa bidang
erosi, dan batas bawah berupa ketidak selarasan. Dari ciri batuan
pada seluruh singkapan endapan gunungapi Oligosen - Miosen Awal di
seluruh Pegunungan Selatan Jawa, kebanyakan menunjukkan ciri
endapan aliran gravitasi dengan sisipan lava, kadang-kadang berupa
lava bantal. Dari anomali gravitasi yang dibuat oleh Untung &
Hasegawa (1975) terlihat bahwa semua singkapan endapan volkanik
Miosen Awal ini dilalui oleh harga anomali positif yang tinggi (200
mgal). Distribusi anomali positif di lepas pantai dibuat oleh
LEMIGAS (1975) menunjukkan nilai anomali positif tertinggi (250
mgal) sebagai kelanjutan dari data di darat. Dari penyebaran
anomali gravitasi positif di lepas pantai yang di satu tempat
bertepatan dengan anomali magnet positif dapat ditafsirkan bahwa
deretan gunungapi umur Miosen Awal berada di daerah anomali
tersebut (gambar 49, 50). Penafsiran ini disokong oleh penelitian
seismik dan dibuktikan oleh pemboran lepas pantai (Boliger dan
Ruiter, 1975).
3.3.6.6. Ciri LitologiBagian terbawah dari Formasi Jampang
diketemukan di dua tempat. Tempat yang paling baik menunjukkan ciri
bawah formasi ini adalah di sekeliling Amphitheater Ciletuh. Daerah
lain terdapat di Cinyomplong, baratlaut kota Lengkong. Di kedua
tempat ini, bagian bawah Formasi Jampang menunjukkan ciri yang
berbeda. Di daerah Ciletuh dicirikan oleh lapisan tipis tufa asam
yang banyak mengandung fragmen lempung dan gamping (maksimum 20
cm), sedangkan di daerah Cinyomplong mempunyai ciri breksi yang
kebanyakan bersifat basa. Bagian terbawah dari Formasi Jampang
ditemukan di dekat hulu S. Ciletuh. Kontak langsung dari formasi
ini dengan Formasi Bayahyang berada dibawahnya tidak
ditemukan.Jarak lapangan 100 m tanpa singkapan, terdapat diantara
singkapan akhir konglomerat kwarsa dari Formasi Bayah dan singkapan
pasir breksianyang padu dan berlapis. Soekamto (1967) beranggapan
bagian terbawah Formasi Jampang ditemukan di tebingutara dari
Amphitheater Ciletuh, utara dari Ciwaru. Batuan disini berupa
breksi yang komponen utamanya terdiri dari andesit, kaya akan
hornblenda, dimana Soekamto menamakannya sebagai andesit amfibol.
Pada pemerian contoh, terlihat batuan porfiritik dengan fenokris
andesit dan hornblenda, serta matriks berupa mikrolitdan gelas.
Satuan ini bersifat lepas. Diatas satuan breksi andesit didapatkan
kembali satuan tufa yang berlapis baik dengan komponen tufa dan
breksi lava, andesit, batugamping dan aliran lava (?). Satuan ini
beradadi sekeliling Amphitheater Ciletuh, meliputi daerah yang
paling luas. Singkapan-singkapan di Cilegok, Cibarengbeng, umumnya
terdiri dari satuan tufa ini. Di daerah Ciletuh bagian bawah
Formasi Jampang, yang bersifat tufa asam, berlapis baikmencapai 150
m. Singkapan terbaik dari satuan ini terdapat di Curug Ciletuh
sampai dekat kampung Cibenda (jalan Cibenda - Cikadal). Makin ke
yang lebih muda, banyak ditemukan fragmen basalt amigdaloidal dan
andesit makin banyak dijumpai. Di daerah selatan mulai daerah
Ciletuh sampai daerah pantai, Formasi Jampang didominer oleh
batupasir yang mengandung kerikil maupun kerakal, dengan selingan
breksi ukuran maksimum 3 - 5 m. Satuan yang berlapis baik serta
didominer oleh pasir ini dinamakan Anggota Cikarang oleh Soekamto
(1975). Penyelidikan lapangan pada Anggota Cikarang di Sungai
Cibeber menunjukkan urutan sedimentasi; breksi, greywacke yang
keras kompak, berketebalan sampai 5 m, tidak berstruktur. Di bagian
atasnya berbutir lebih halus dan berlapis baik, tebal 1 m, beberapa
menunjukkan lapisan silang siur kecil. Makin keatas satuan ini
berubah menjadi batupasir halus berwarna abu-abu, sangat kompak,
beberapa menunjukkan ciri gelembur gelombang kecil dan teratas
dicirikan oleh lanau yang berlapis tipis sampai laminasi. Ciri
urutan tersebut diatas di S. Cibeber sangat umum ditemukan terutama
pada bagianbawahnya. Pada bagian atas dari sayatan di Cibeber lebih
didominer oleh pasir dengan sisipan lanau dan kadang-kadang
gamping. Dari kolom stratigrafi di Cipanarikan keadaan yang hampir
sama seperti di Cibeber juga ditemukan. Pada bagian bawah dari
formasi, disini menunjukkan ciri breksi masif, diikuti oleh lapisan
pasir yang berlapis baik, sedangkan di bagian teratas dari urutan
ini sering dijumpai lanau. Bagian atas daripada Cipanarikan
didominer oleh pasir, kadang-kadang mengandung kerikil dengan
sisipan-sisipan tipis lanau.Yang menarik pada bagian tengah dari
Formasi Jampang di daerah pantai selatan, sering dijumpai fragmen
gamping pada breksi. Gamping ini ditemukan dalam berbagai ukuran
dari 0,01 sampai 1 m. Gamping ini seringmengandung koral, algae.
Pada singkapan Formasi Jampang di dekat pantai (selatan dari kota
Jampang Kulon) sering dijumpai adanya urat-urat kwarsa. Beberapa
korok batuan beku ditemukan menerobos formasiini (G. Gohong,
Bantarlimus, Cilangkap). Singkapan lain dari Formasi Jampang
terdapat di sebelah utara dari daerah Ciletuh sampai S. Cimandiri.
Daerah ini dipisahkan terhadap daerah Ciletuh, dengan batas
yangkira-kira memotong kota Jampang Kulon, sejajar pantai. Di
daerah ini Formasi Jampang kebanyakan terdiri dari breksi. Secara
stratigrafi kedudukan satuan breksi ini terletak diatas dari satuan
pasir berlapis di daerah Ciletuh yang telah dibicarakan sebelumnya.
Singkapan terbaik di S. Cimenga. Satuan breksi di daerah utara ini
sulit untuk dipetakan berdasar hukum kesinambungan lateral. Hal
yang demikian sudah disadari oleh Soekamto (1975), dimana ia
menggambarkan suatu perubahan fasies yang cepat antara breksi dan
endapan pasir (Anggota Cikarang; Soekamto, 1975). Anggota Cikarang
di bagian utara pada umumnya berlapis baik dan kadang-kadang kaya
akan foraminifera, tetapi pada umumnya tidak menunjukkan semen
gamping. Anggota Lengkong yang oleh penyelidik sebelumnya dinamakan
Formasi Lengkong (Soekamto, 1975; Anonymous, 1939), telahdiselidiki
secara mendalam oleh penulis. Pada umumnya ciri satuan ini berbeda
dari anggota Cikarang. Disini litologinya kaya akan sisipan lempung
tebal, kaya akan foraminifera. Pasir atau greywacke disini bersifat
kotor, pemilahan jelek, serta banyak dijumpai fragmen gamping dan
kadang-kadang juga dijumpai fragmen batuanbeku yang bersifat
andesit. Struktur sedimen pada Anggota Lengkong ini sering
membentuk urutan Bouma, dimana interval A banyak mengandung fragmen
gamping dan breksi mencapai ketebalan 1 m. IntervalB sering
dijumpai sebagai perlapisan greywacke. Sedang C kebanyakan
didominer oleh lanau hitam, abu-abu dengan struktur silang siur,
laminasi. Urutan E paling susah dibedakan terhadap sisipan lempung
yang relatif tebal. Persoalan yang menarik dari Anggota Lengkong
adalah kedudukannya pada peta yakni berada diantara Anggota
Cikarang yang terdiri dari pasir greywacke dan breksi. Tetapi
secara stratigrafi Anggota Lengkong ini berada diatas dari fasies
Cikarang, karena kedudukannya pada inti sinklin Lengkong. Dari ciri
litologinya, Anggota Lengkong ini lebih menyerupai Formasi Citarum
yang korelatif terhadap Formasi Jampang. Bagian teratas dari
Formasi Jampang ditemukan di tengah dari Pegunungan Selatan Jawa
Barat ini. Satuan ini terdiri dari breksi, kadangkadang dijumpai
lava masif, yang sulit untuk3.3.6.7. Ciri Batas Formasi Jampang
berada diatas Formasi Bayah yang terdiri dari pasir kwarsa.
Kedudukan di lapangan dapat diamati pada beberapapenampang. Batas
dari kedua formasi ini selalu tertutup oleh hasil rombakan dari
Formasi Jampang. Singkapan terbaik adalah di S. Ciletuh. Di S.
Ciletuh batas antara Formasi Jampang dan Formasi Bayah, berupa
daerah tanpa singkapan, sekitar 100 m jarak lapangan.3.3.6.8.
Kandungan Fosil dan UmurFormasi Jampang cukup banyak mengandung
fosil. Batupasir greywacke yang paling bawah mengandung fosil foram
besar. Di Cibenda, sayatan batuan mengandung foram besar seperti
:Lepidocyclina sumatrensisSpiroclypeus
tidoenganensisCycloclypeusDalam sayatan pipih, terlihat jelas bahwa
sebagian foram besar tersebut berada di dalam fragmen batuan
gamping, tetapi sebagian lagi terlihat lepas sebagai fragmen dari
batuan sehingga dapat disimpulkan bahwa foram besar tersebut dapat
dipakai untuk penentu umur sedimentasi. Di beberapa tempat lain,
beberapa pemetadalam rangka penulisan ini mendapatkan contoh-
contoh yang mengandung foram kecil cukup banyak. Lintasan di
Cibalengbeng (sungai yang mengalir ke selatan dari Ciletuh), pada
Hudaya, 1978, lintasan di Cipanarikan (Hudaya, 1978) dan di Cihaur
(Hudaya, 1978) serta di Cibeber (Hudaya, 1978) memberikan hasil
sbb. :Globorotalia siakensisGloborotalia menardiiGloborotalia fohsi
barisanensisGloborotalia mayeriGlobigerinoides
sacculiferGlobigerinoides immaturusGlobigerinoides
trilobaGlobigerinoides altiaperturaGloboquadrina altispirayang
menunjukkan kisaran umur N6 sampai N9. Tetapi karena hampir selalu
tidak diketemukannya Orbulina pada semua contoh yang diambil, lebih
meyakinkan bahwa umur Formasi Jampang ini adalah pra N9. Di daerah
Jampang Utara, di S. Cimenga beberapa contoh batuan yang diambil
pada pengukuran penampang stratigrafi, ternyata cukup banyak
mengandung fosil. Hasil analisa contoh batuan yang diteliti dari
lintasan S.Cimenga yang merupakan bagian bawah formasi ini di
daerah Jampang Utara didapat fosil foraminifera plangton sbb.
:Globorotalia siakensisGlobigerinoides trilobusGlobigerina
venezuelanaGlobigerina praebulloidesGlobigerinoides
quadrilobatusGlobigerinoides bisphericusGlobigerinoides
sacculiferKumpulan ini berdasarkan zonasi Blow (1969) menunjukkan
umur N5. Bagian tengah diatas breksi vulkanik dilintasan S. Cimenga
fosil foraminifera plangton yang didapat adalah :Globigerinoides
quadrilobatusGloborotalia siakensisGlobigerinoides
trilobusGlobigerina venezuelanaGlobigerina
praebulloidesGloborotalia peripherorondaGloborotalia
scitulaBerdasarkan zonasi Blow (1969) menunjukkan umur N6 - N8.
Bagian atas dari formasi ini pada lintasan S. Cimenga didapat fosil
foraminifera plangtonsbb. :Globigerinoides sacculiferOrbulina
transitoriaGlobigerinoides quadrilobatusGlobigerinoides
obliqusGloboquadrina altispiraGlobigerinoides trilobusGlobigerina
praebulloidesGloborotalia peripherorondaKumpulan ini menunjukkan
umur N8 (Blow1969). Hasil analisa contoh batuan pada bagian atas
formasi yang diteliti dari lintasan S. Cigati, didapat fosil
foraminifera plangton sbb. :Globigerinoides trilobusGlobigerina
venezuelanaGlobigerina peripherorondaGlobigerina
praebulloidesGlobigerinoides subquadratusGlobigerinoides
sacculiferGlobigerinoides quadrilobatusOrbulina transitoria yang
menunjukkan umur N8 (Blow, 1969).3.3.6.9. Kedudukan
StratigrafiFormasi Jampang secara lateral dapat diikuti dari barat
ke timur merupakan inti Pegunungan Selatan Pulau Jawa. Formasi ini
dikenal juga sebagai Old Andesite, yang merupakan hasil aktifitas
gunungapi pada Kala Miosen Awal (Verbeek dan Fennema, 1896). Bagian
bawah dari Formasi Jampang yang tersingkap di daerah Ciletuh, lebih
menunjukkan ciri ketidak selarasan terhadap Fm. Bayah. Kontak yang
terlihat di S. Ciletuh,dimana pasir konglomeratan dari Formasi
Bayah ditutupi oleh breksi greywacke yang banyak mengandung breksi
bersifat asam, dan mengandung fragmen lempung. Bagian atas dari
Formasi Jampang di daerahPegunungan Selatan Jawa Barat ditutupi
secara tidak selaras oleh gamping dari Formasi Bojonglopang. Di
daerah pantai Formasi Jampang ditutupi secara tidak selaras oleh
Formasi Bodas yang terdiri dari gamping, dan Formasi Bentang yang
terdiri dari pasir dan tufa yang berumur Pliosen. Kearah lateral
Formasi Jampang seumurdengan Formasi Citarum.3.3.6.10. Lingkungan
PengendapanPenulis terdahulu menentukan lingkungan pengendapan
Formasi Jampang semata-mata dilihat dari isi fosil yang terdapat
didalamnya. Oleh karena itu kebanyakan penulis (Anonymous, 1939;
van Bemmelen, 1949; Soekamto,1975; Hudaya, 1978) berpendapat sama
bahwa Formasi Jampang diendapkan dalam lingkungan marin
saja.Mengenai mekanisme pengendapannya sering tidak terjadi
kesepakatan. Anonymous (1939) beranggapan bahwa Formasi Jampang
diendapkan oleh suatu gunungapi bawah laut, dimana pada perioda
tidak aktif, terumbu koral tumbuh pada sisinya. Hal ini dipakai
untuk menerangkan banyaknya bongkah gamping yangterdapat pada
breksi. Sebaliknya pada pasir tufaan fragmen gamping jarang
dijumpai, tetapi justru sering mengandung foraminifera kecil dan
besar. Hudaya (1978) menafsirkan mekanisme lingkungan pengendapan
satuan ini sebagai suatu sistem aliran gravitasi. Hal ini
didasarkan pada tekstur dan struktur pada breksi dan pasir. Dari
ciri endapan aliran gravitasi yang pada umumnya banyak mengandung
breksi dapat disimpulkan bahwa sesuai dengan pola kipas laut dalam
menurut Walker (1978), letak pengendapan Formasi Jampang adalah
merupakan perkembangan dari kipas bawah yang berbutir halus
(Jampang selatan) berubah ke kipas atas yang berbutir kasar,
seperti breksi. Hal ini menunjukkan berkembangnya suatu kipas laut
dalam di daerah Jampang ini. dari breksi gunungapi menunjukkan umur
Miosen Awal (N5 - N8). Pada umur yang sama di Cekungan Bogor bagian
utara diendapkan Formasi Citarum yang bersifat turbidit distal
(Bouma, 1964). Batuan pembentuk Formasi Citarum juga bersifat
andesit, dan pada sisipan breksi lempung atau konglomerat
(Saguling, Padalarang Selatan) sering dijumpai fragmen gamping.
Dari data tersebut diatas dapat ditafsirkan bahwa Formasi Citarum
di Cekungan Bogor berubah fasies dengan Formasi Jampang yang berada
di sebelah selatannya. Mempelajari khuluk dari Formasi Jampang,
merupakan keharusan dalam membahas Cekungan Bogor, karena satuan
ini merupakan elemen tektonik yang penting. Oleh karena itu
mengetahui letak deret gunungapi pada umur Miosen Awal ini
merupakan kunci terhadap kemungkinan pemecahan pola tektonik
MiosenAwal di Jawa Barat ini. Dalam uraian penyebaran Formasi
Jampang, telah dibahas mengenai kemungkinan kedudukan jalur deret
gunungapi Miosen Awal ini, yakni dari daerah Jampang menerus ke
lepas pantai, sejajar dengan sumbu Pulau Jawa. Perlu ditekankan
sekali lagi bahwa singkapan endapan gunungapi, Formasi Jampang di
daerah Jampang ini merupakan satu-satunya titik di darat yang
dilalui harga anomali gravitasi positif tertinggi (250 mgal).3.3.7.
Formasi Citarum3.3.7.1. PenamaanNama Formasi Citarum pertama-tama
diajukan oleh Sudjatmiko (1972) dalam peta lembar Cianjur.
Sudjatmiko dalam penulisannya mengambil nama Citarum dari Martin
(1887) yang kemudian dikutip oleh van Bemmelen (1949). Di daerah
Sukabumi Selatan penamaan Formasi Citarum mula-mula diberikan oleh
Harting (1929) sebagai Conglomerate Beds, Sandstones Beds,
Zwierzycki dan Koolhoven (1936) menamakan sebagai satuan batupasir
dari breksi Onder Citarum Beds. Beberapa penulis lain seperti
Musper (1939), Pott (1940) menyebut sebagai Satuan Napal
Globigerina dan Batupasir Tufaan, sedangkan van Bemmelen (1949),
Marks (1957) memasukkan kedalam Formasi Jampang. Effendi (1974)
masih menyebutkan sebagai SatuanNapal yang kaya Globigerina,
Baumann (1974) menamakan sebagai Formasi Citarum.
3.3.7.2. Penyebaran dan KetebalanFormasi Citarum penyebarannya
dikontrol oleh Cekungan Bogor, karena Formasi Citarum ini merupakan
batuan yang khas Cekungan Bogor. Secara geografi penyebaran satuan
ini mulai dari barat di Sukabumi Selatan dan menerus ke timur di
Sungai Citarum serta anak sungainya. Ketebalan di Sungai
Cinongnang, anakSungai Citarum telah diukur oleh Suteja (1971)
adalah 1372 m. Penampang ini dianggap sebagaistratotipe. Ke barat
di selatan Sukabumi formasi ini diukur di Sungai Cigadung dan
Batununggal mempunyai ketebalan lebih dari 1250 m. Di daerah
terakhir ini tidak didapatkan singkapan yang menerus. 3.3.7.4. Ciri
Litologi Di lokasitipenya, stratotipe Formasi Citarum, batas paling
bawah dengan Gamping Rajamandala tidak ditemukan, karena selalu
tertutup oleh rombakan. Hal yang demikian hampir selalu dijumpai
pada lintasan lainnya,seperti di Cipeundeuy, G. Bongkok di Sukabumi
Selatan. Lintasan di Cipeundeuy terdapat tanah urug sepanjang 90 m
antara singkapan gamping yang terakhir dan singkapan Formasi
Citarum yang pertama. Di S. Cinongnang, anak S. Citarum di
Padalarang, singkapan terbawah dari Formasi Citarum yang mempunyai
ketebalan 289 mdidominer oleh lanau dengan sisipan pasir tipis.
Batulanau umumnya berwarna hijau-abuabu. Selingan pasir berwarna
abu-abu kehijauan. Pada bagian terbawah 0 sampai 26 m, terdiri dari
lanau dengan ketebalan 0,5 sampai 2 m, selingan pasir yang tipis
sering dijumpai, mencapai ketebalan dari 0,1 m sampai 1,5 m.Lapisan
pasir yang tipis umumnya mempunyai butir halus sedangkan pada
sisipan yang tebal umumnya lebih kasar, sampai pasir kasar,
kadang-kadang dengan fragmen breksi lempung. Struktur sedimen pada
lanau yang sering ditemukan adalah laminasi silang siur kecil,
sering menunjukkan struktur bergelombang. Bagian atas dari Formasi
Citarum di S. Cinongnang kebanyakan terdiri dari pasir, yang
terpilah sangat buruk, sering dijumpai fragmen batulempung yang
mempunyai kemas sejajar dengan perlapisan, beberapa menunjukkan
lapisanbersusun (graded bedding). Fragmen batulempung mencapai
ukuran 60 x 35 cm. Batupasir umumnya masif dengan butiran kasar,
sangat kasar dengan fragmen andesitan. Ketebalan pasir ini sampai
11 m. Struktur gelembur gelombang kecil sering ditemukan di bagian
atasnya. Beberapa selingan breksi polimik ditemukan pada singkapan
di Cinongnang ini, tebal dari 1 sampai 4 m, dengan komponen terdiri
dari andesit, batugamping dan batulempung, dengan bentuk butir dari
membulat sedang sampai bersegi. Pada bagian atas, pasir dengan
ukuran butir yang kasar sering dijumpai struktur lapisan bersusun
(graded bedding). Urutan alfabet Bouma (1964) tidak pernah dijumpai
secara lengkap. Batas atas dari Formasi Citarum, ditandai oleh
munculnya breksi vulkanik yang masih menunjukkan ciri endapan
aliran gravitasi. Di daerah Sukabumi Selatan bagian terbawah,
Formasi Citarum diketemukan di dataran tinggi Sukabumi. Pada
penampang stratigrafi terukur di S. Cibatununggal kontak antara
Formasi Rajamandala dan Formasi Citarum tidak didapatkan. Formasi
Citarum bagian bawah yang terlihat pada S. Cibatununggal, dicirikan
oleh napal, napal lempungan, napal tufaan sisipan lempung, lanau,
tebal 25 - 40 cm, yang berwarna coklat kekuningan sering juga
didapatkan batupasirgreywacke, serta batupasir tufaan sebagai
sisipan. Ke bagian atas napal berselang-seling dengan batupasir
tufaan, tufa pasiran serta batupasir greywacke dengan sisipan
lempung pasiran, napal dan lanau (20 - 30 cm), porositasnya buruk,
berwarna kelabu sampai hitam, berbutir sedang sampai halus,
bersudut tanggung, pemilahan buruk, masadasar tufa, lempung.
Struktur sedimen yang didapatkan adalah lapisan bersusun (graded
bedding) pada sisipan batupasir greywacke yang tipis, laminasi
paralel serta laminasi konvolut. Struktur sekunder yang sering
didapatkan pada napal adalah struktur beban (load cast). struktur
sedimen adalah lapisan bersusun, laminasi paralel serta laminasi
konvolut, scour and fill pada batas sisipan lapisan batupasir
danlanau. Bagian tengah serta atas Formasi Citarum, yang didapat di
dataran rendah Cimandiri, pada beberapa lintasan, penampang
stratigrafi terukur di S. Cigadung (gambar 22), S. Cipanengah
girang serta Ps. Peudeuy, yang diteliti, bagian tengah dari formasi
ini terdiri dari napal, napal tufaan, napal lempungan yang
sangatkompak berselang-seling dengan batupasir tufaan, batupasir
greywacke tufaan ukuran pasir setebal 5 - 6 m. Pasir tebal ini
sering dapat dipakai sebagai lapisan penunjuk untuk korelasiFormasi
Citarum di S. Cigadung dengan S.Cipanengah girang. Persentase napal
makin keatas makin berkurang, sedangkan batupasir tufaan serta
batupasirgreywacke semakin dominan. Di Ps. Cikarang, S. Ciseupan,
didapatkan bongkah batugamping berukuran 4 m. Batugamping tersebut
sangat kompak, berwarna abu-abu terang, banyak mengandung
fosilforaminifera besar dan kecil. Pada napal, sering didapatkan
sisipan batupasir greywacke, dengan porositas sangat jelek,
berukuran pasir kasar sampai halus, bersudut tanggung, pemilahan
buruk, kompak, matrikslanau dan lempung (?), serta sering
menunjukkan struktur lapisan bersusun. Napal tersebutumumnya
mempunyai struktur laminasi paralel serta laminasi konvolut. Makin
ke bagian atas, Formasi Citarumdicirikan oleh batupasir tufaan
serta batupasir greywacke, selain itu didapat juga sisipan pasir
napalan, lempung pasiran, napal dan lanau setebal 20 - 30 cm.
Porositasnya buruk warna umumnya kelabu sampai hitam berbutir kasar
sampai sangat halus, bersudut tanggung, pemilahan buruk, matriks
tufa, semen karbonat,sering dijumpai fragmen bulat dari lempung.
Struktur sedimen yang didapat pada bagian teratas fragmen ini
adalah lapisan bersusun (graded bedding) yang makin tebal keatas,
laminasi paralel serta laminasi konvolut, scourand fill pada batas
antara batupasir dan lanau. Di hulu S. Cigadung didapatkan jejak
suling (flute cast) yang menunjukkan arah ke 340. Singkapan yang
menerus dari Formasi Citarum ditemukan di sepanjang jalan
Rajamandala - Saguling, dan juga di S. Cibogo. Ciri litologi bagian
bawah umumnya berbutirsangat halus sedangkan bagian atasnya lebih
kasar sampai sangat kasar (bongkah).3.3.7.5. Ciri BatasUntuk
mendapatkan kontak langsung antara Formasi Citarum dengan Formasi
Rajamandala yang terdiri dari gamping umumnya sulit. Hampir selalu
batas antara kedua formasi ini ditutupi oleh hasil rombakan dari
batugamping yang mempunyai topografi jauh lebih tinggi daripada
Formasi Citarum. Kebanyakan ciri batuan terbawah dari Formasi
Citarum terdiri dari lempung-lanau dengan sisipan pasir halus,
dengan strukturerosi pada bagian bawah. Lanau atau lempung sering
gampingan dan sering mengandung fosil foraminifera kecil. Bagian
teratas dicirikan oleh pasir dengan sisipan pasir konglomeratan.
Ciri yang demikian ini juga khas ditemukan di sepanjang jalan
Rajamandala - Saguling. Ciri ini berbeda dengan ciri formasi yang
menutupinya, Formasi Saguling yang umumnya dicirikan oleh breksi.
Ciri lateral dari Formasi Citarum tidak banyak berubah, umumnya
terdiri dari lempunglanau dengan sisipan pasir yang makin keatas,
pasirnya sering konglomeratan.3.3.7.6. Kandungan Fosil dan UmurPada
bagian bawah Formasi Citarum di lintasan S. Cigadung serta lintasan
S. Cipanengah girang menunjukkan umur N5 (Blow, 1969). Bagian
tengah pada S. Cigadung dan S. Cipanengah girang didapatkan
fosil-fosil foram.Kumpulan ini menunjukkan umur N6 (Blow, 1969).
Sedangkan pada S. Cigadung dan S. Cipanengah girang didapat fosil
foraminifera plangton yang menunjukkan umur N8 (Blow, 196ontoh
lokasi S. Cigadung dan contoh S. Cipanengah girang didapat fosil
foraminifera plangton yang menunjukkan umur N8 (Blow,1969).
Beberapa contoh dari dataran tinggi Sukabumi pada lintasan S.
Cibatununggal dan Ps. Cipeundeuy, fosil-fosil yang didapatkan S.
Cibatununggal, menunjukkan umur N5 (Blow, 1969). Pada bagian
atasnya, fosil-fosil yang didapat menunjukkan umur N6 (Blow, 1969).
Pada lintasan Ps. Cipeundeuy, bagian bawahnya,didapat fosil
foraminifera plangton yang menunjukkan umur N5 (Blow, 1969). Bagian
tengah, didapat fosil foraminifera yang menunjukkan umur N6 (Blow,
1969). Bagian atasnya, didapat fosil foraminifera yang menunjukkan
umur N7 (Blow, 1969). Dari analisa mikropaleontologi yang dibuat
oleh Lemigas (1973) pada S. Cicareuh bagian utara, dekat Tenjolaya
didapat foraminifera plangton, antara lain :Globigerina
selliGlobigerina tripartitaGloboquadrina praedehiscensGloborotalia
kugleriGlobigerina primordiusyang menunjukkan umur N4 (Blow, 1969).
Berdasarkan kisaran umur contoh-contoh yang ada, dapat disimpulkan
bahwa umur Formasi Citarum adalah Miosen Awal (N4 - N8, Blow 1969).
Disamping foram plangton, beberapa fragmen batugamping (0,5 x 0,75
m) juga mengandung foram besar, seperti :Lepidocyclina angulosaL.
borneensisL. sumatrensisL. parvaNatori (dalam Untung dan Sato,
1978), meneliti contoh di tepi jalan Pelabuhan Ratu - Sukabumi
dekat Ps. Bongkok, dimana ia menemukan fosil Globigerinoides
quadrilobatus yang menunjukkan umur N4. Disamping itu ia juga
menemukan foram bentos, Gyroidina sp, Hanzawaia nipponica,
Lenticulina dan banyak mengandung ostracoda yang khas lingkungan
neritik.3.3.7.7. Kedudukan StratigrafiKedudukan Formasi Citarum
terhadap Formasi Rajamandala dibawahnya tidak diketahui selaras.
Dari kedudukan perlapisan serta kisaran umur fosil yang ada, dapat
dianggap bahwa kedudukan kedua formasi ini selaras. Kedudukan
Formasi Citarum terhadap Formasi Cantayan yang menutupinya dapat
dengan jelas diamati di daerah Sukabumi Selatan pada S. Ciseuseupan
serta Cigadung maupun di jalan Rajamandala - Saguling yang
menunjukkan suatu ciri keselarasan.3.3.7.8. Lingkungan
PengendapanKandungan fosil pada Formasi Citarum tidak dapat
demikian saja dipakai untuk menentukan lingkungan pengendapan,
karena Formasi Citarum ini kebanyakan menunjukkan ciri aliran
gravitasi. Pada literatur sebelum perang dunia ke II, lingkungan
pengendapan formasi ini dinyatakan sebagai laut dangkal,
semata-mata karenadiketemukannya foram besar pada fragmen
batugampingnya. Tetapi banyaknya foraminifera plangton pada batuan
ini, lingkungan laut dangkal tadi perlu dipertanyakan. Dalam
penelitian lingkungan pengendapanResen, penyelidik umumnya yakin
bahwa pengaruh sistem arus yang kenyang (turbid) mampu membawa
batuan laut dangkal ke bagian yang lebih dalam. Sejak konsep arus
turbid dikemukakan oleh Keunen dan Maggliorini (1952), sampai
sekarang telah mengalami banyak kemajuan maupun
penyimpanganpenyimpangan.Pada tahun 1964 Bouma mempertegas
pentingnya arus turbid. Ia menambahkan lagi pentingnya struktur
sedimen, yang kemudian dikenal sebagai Alfabet Bouma (ABCDE)
sebagai penciri penting untuk endapan arusturbid. Tahun 1970,
pemikiran lain yang disponsori oleh grup Amerika (American School)
mendasarkan pemikirannya pada endapan laut dalam, kipas laut dalam
disepanjang pantai California, seperti Kipas Monterey,Kipas
Delgrada, dsb. Pemikiran ini dikenal sebagai Mashap Amerika,
meninjau mekanismekejadian kipas laut dalam sebagai kejadia kipas
aluvium darat. Hal ini berbeda sekali dengan mashap Eropa yang
lebih menekankanmekanisme longsoran atau aliran yang timbul karena
longsoran, sebagai ciri mekanisme arus turbid. Adanya dua konsep
(teori) tersebut diatas telah menyebabkan masalah mekanisme
pengisian cekungan laut dalam menjadi lebih populer lagi. Ciri
sedimen dari kedua mashap tadi jelas berbeda. Mashap Amerika lebih
menyeluruh,dimana Alfabet Bouma merupakan sebagian dari gejala
endapan kipas laut dalam. Menurut mashap Amerika, struktur kipas
laut dalam masih lebih rumit lagi, lebih bervariasi dalam ciri
sedimen, tergantung dengan letaknya. Penulisan Walker (1978) dan
Normark (1978) lebih memperjelas pentingnya pemikiranmashap Amerika
dalam sedimentasi laut dalam. Formasi Citarum mempunyai umur yang
sama (N4 - N8), paling tidak sebagian besar, dengan Formasi Jampang
yang bersifat breksi andesit. Formasi Jampang dianggap merupakan
deretan gunungapi pada waktu tersebut. Akibatnya morfologi bawah
laut pada waktu MiosenAwal (N5 - N8), bagian selatan merupakan
tinggian (ridge) yang terdiri dari deretan gunungapi bawah laut
(Formasi Jampang) dan menurun ke utara, ke Cekungan Bogor.
Morfologi yang sedemikian, jelas dapat mengakibatkan gerakan
batuan, baik berupa longsoran (menyerupai lahar di darat) serta
pembentukankipas-kipas laut dalam yang berupa arus gravitasi. Dari
penyelidikan yang dibuat, dimana Formasi Citarum berubah dari
dominan lempung di bawah ke dominan pasir di bagian atas. Hal ini
membuktikan bahwa Formasi Citarum merupakan endapan distal dari
sistem kipas laut dalam. Makin dominannya pasir kasar pada bagian
atas, membuktikan perkembangan kipas laut dalam makin keatas makin
proksimal. Kedudukan satuan ini terhadap Formasi Saguling yang
secara genetik tidak dapat dipisahkan kemungkinan karena perubahan
sistempengendapan dari bagian luar kipas laut dalam (Formasi
Citarum) ke sistem kipas laut dalam bagian hulu (Formasi Saguling).
Kenyataan tersebut diperkuat oleh macam foram bentos yang
menunjukkan kisaran lingkungan dari ratusan sampai lebih dari 1000
m. Foraminifera tersebut adalah :Cyclammina calcelataGyroidina
soldaniEponidesBulimina tenuisBulivina barbataUvigerinaEponides
turgiduisCibicides spRotalia translucensKearah selatan Formasi
Citarum berubah fasies ke Formasi Jampang yang didominer oleh
batuan asal gunungapi. Kearah utara, di daerah Paparan Sunda,
Formasi Citarum berubah fasies menjadi Formasi Cibulakan bawah yang
didominer oleh gamping (Suyanto dan Sumantri, 1977). Dari kedudukan
ini dapat disimpulkan bahwa Cekungan Bogor mulai terlihat jelas,
dan berkembang sebagai cekungan yang mandiri.
3.3.8. Formasi Saguling3.3.8.1. PenamaanFormasi Saguling adalah
satuan batuan baru, pengganti satuan batuan yang dahulu dimasukkan
ke Formasi Citarum oleh Sudjatmiko (1972). Satuan ini meliputi
singkapan batuan yang berada di Cianjur Selatan pada hulu S.
Cimandiri, serta satuan breksi di Lembah Cimandiri yang dahulu
dimasukkan pada Formasi Jampang oleh Effendi (1974) dan Soekamto
(1975). Nama Saguling dipakai untuk satuan ini, disebabkan
singkapan terbaik terdapat pada jalan baru Rajamandala ke Bendungan
Saguling. Ciri dasar batuan mudah dibedakan di lapangan dengan
Formasi Citarum yang berada dibawahnya karena Formasi Saguling
didominer oleh breksi yang berselang-seling dengan pasir greywacke,
sedangkan Formasi Citarum umumnya terdiri dari greywacke saja
dengan selingan lithicwacke yang kaya akan fragmen lempung dan
gamping.3.3.8.2. Penyebaran dan KetebalanFormasi Saguling tersebar
dan tersingkapsangat luas di tepi selatan Cekungan Bogor. Di