1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengembangan tanaman semusim seperti jagung di Propinsi Bali dirasakan sudah cukup mendesak, sejalan dengan meningkatnya konsumsi bahan makanan dan kebutuhan industri dengan bahan baku dasar jagung. Jagung merupakan sumber karbohidrat yang dapat berfungsi sebagai pengganti bahan makanan pokok seperti beras. Permintaan terhadap kedua komoditas ini cenderung meningkat dari tahun ke tahun baik untuk konsumsi masyarakat maupun untuk industri makanan. Di lain pihak, produksi jagung saat ini masih belum mencukupi sehingga Pemerintah harus mengimpor setiap tahun dari luar negeri (Simatupang dkk., 2005; Adri dan Endrizal, 2009). Tanaman jagung mempunyai potensi yang baik untuk dikembangkan di lahan kering, baik sebagai tanaman tunggal maupun tumpangsari. Sebagian besar jagung yang diusahakan di lahan kering biasanya digunakan untuk mengatur pola tanam (Margaretha dan Fadhly, 2010). Salah satu upaya yang dapat dilakukan dalam mengatasi terbatasnya produksi jagung adalah melalui kegiatan ekstensifikasi ke lahan-lahan kering. Pemetaan daerah-daerah yang potensial untuk pengembangan tanaman jagung sangat diperlukan di samping perlunya optimalisasi penggunaan sumber daya pertanian yang ada terutama lahan dan air. Salah satu kawasan lahan kering yang cukup potensial dan banyak tersedia untuk perluasan areal pertanaman pangan di daerah Bali adalah lahan kering Gerokgak
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pengembangan tanaman semusim seperti jagung di Propinsi Bali
dirasakan sudah cukup mendesak, sejalan dengan meningkatnya konsumsi
bahan makanan dan kebutuhan industri dengan bahan baku dasar jagung.
Jagung merupakan sumber karbohidrat yang dapat berfungsi sebagai pengganti
bahan makanan pokok seperti beras. Permintaan terhadap kedua komoditas ini
cenderung meningkat dari tahun ke tahun baik untuk konsumsi masyarakat
maupun untuk industri makanan. Di lain pihak, produksi jagung saat ini masih
belum mencukupi sehingga Pemerintah harus mengimpor setiap tahun dari luar
negeri (Simatupang dkk., 2005; Adri dan Endrizal, 2009).
Tanaman jagung mempunyai potensi yang baik untuk dikembangkan di
lahan kering, baik sebagai tanaman tunggal maupun tumpangsari. Sebagian besar
jagung yang diusahakan di lahan kering biasanya digunakan untuk mengatur pola
tanam (Margaretha dan Fadhly, 2010). Salah satu upaya yang dapat dilakukan
dalam mengatasi terbatasnya produksi jagung adalah melalui kegiatan
ekstensifikasi ke lahan-lahan kering. Pemetaan daerah-daerah yang potensial
untuk pengembangan tanaman jagung sangat diperlukan di samping perlunya
optimalisasi penggunaan sumber daya pertanian yang ada terutama lahan dan air.
Salah satu kawasan lahan kering yang cukup potensial dan banyak tersedia untuk
perluasan areal pertanaman pangan di daerah Bali adalah lahan kering Gerokgak
2
yang merupakan salah satu wilayah lahan kering yang potensial untuk
pengembangan tanaman pangan, terutama jagung.
Pemanfaatan lahan untuk kegiatan pertanian tanaman pangan di Propinsi
Bali digolongkan ke dalam dua tipe, yaitu pertanian tanaman pangan lahan basah
yang diperuntukkan bagi tanaman padi sawah dan pertanian tanaman pangan
lahan kering yang diperuntukkan bagi tanaman palawija, hortikultura atau
tanaman pangan lainnya. Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Bali
(2011) dan Bapeda Provinsi Bali (2009), menunjukkan bahwa dari luas wilayah
563.666 hektar, sekitar 481.367 hektar (85.40%) merupakan lahan kering. Daerah
Gerogak yang meliputi luas 27.498 hektar seluruhnya merupakan lahan kering
dengan potensi lahan marginal.
Daerah Gerokgak dengan kondisi alam yang relatif kering dengan curah
hujan yang terbatas mengakibatkan sektor pertanian di daerah ini kurang
berkembang dan tertinggal dengan daerah lainnya di Bali. Masalah utama di
daerah Gerokgak yang dihadapi dalam peningkatan pemanfaatan lahan kering
adalah masalah keterbatasan air, pertanian yang kurang atau tidak intensif,
rendahnya pendapatan petani, rendahnya produktivitas lahan, padahal sebagian
besar sumber mata pencaharian penduduknya adalah bertani.
Petani lahan kering di Bali selalu dihadapkan kepada gagal panen akibat
belum dimanfaatkannya sumberdaya iklim secara maksimal. Hasil penelitian
Sumiana (2012), menunjukkan bahwa selama lebih dari satu dekade terakhir di
Bali telah terjadi perubahan pola curah hujan. Hasil penelitian ini juga
mengungkap bahwa perubahan pola curah hujan yang telah terjadi di Bali telah
3
menyebabkan terjadinya perubahan pola tanam. Hasil penelitian Daryono (2003),
mengungkap bahwa zona agroklimat di Pulau Bali sudah banyak mengalami
perubahan. Berdasarkan fakta ini, maka petani lahan kering yang masih
menggunakan teknik bercocok tanam secara tradisional selalu dihadapkan kepada
kemiskinan akibat seringnya gagal panen karena ketidak tahuannya informasi
iklim terkini. Guna menunjang keberhasilan pertanian lahan kering, sangat perlu
dilakukan kajian tentang aspek perubahan pola curah hujan dan tipe iklim untuk
penentuan awal tanam tanaman jagung.
Hasil kajian implikasi perubahan pola curah hujan terhadap waktu tanam
tanaman jagung diharapkan dapat menjawab permasalahan waktu tanam terkait
dengan fenomena perubahan pola curah hujan di Pulau Bali. Berdasarkan latar
belakang tersebut di atas, maka penelitian yang berjudul: ”Implikasi Perubahan
Pola Curah Hujan terhadap Waktu Tanam Jagung Pada Lahan Kering di Daerah
Gerokgak Kabupaten Buleleng” menjadi penting untuk dilaksanakan.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka perlu dilakukan kajian
terhadap “Implikasi Perubahan Pola Curah Hujan Terhadap Waktu Tanam Jagung
(Zea mays L.) Pada Lahan Kering di Daerah Gerokgak Kabupaten Buleleng,”
yang dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana pola curah hujan di daerah Gerokgak selama 30 tahun dari
tahun 1981 – 2010?
4
2. Apakah terjadi perubahan pola curah hujan di daerah Gerokgak selama
15 tahun dari periode 1981-1995 ke periode 1996-2010?
3. Apakah terjadi perubahan pola tipe iklim di daerah Gerokgak selama 15
tahun dari periode 1981-1995 ke periode 1996-2010?
4. Bagaimana implikasi perubahan pola curah hujan dan tipe iklim
terhadap waktu tanam jagung di daerah Gerokgak?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang sudah diuraikan di atas, maka
penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mengetahui pola curah hujan di daerah Gerokgak selama 30 tahun dari
tahun 1981 - 2010.
2. Mengetahui perubahan pola curah hujan di daerah Gerokgak selama 15
tahun dari periode 1981-1995 ke peride 1996-2010.
3. Mengetahui perubahan tipe iklim di daerah Gerokgak selama 15 tahun
dari periode 1981-1995 ke periode 1996-2010.
4. Mengetahui implikasi perubahan pola curah hujan dan tipe iklim
terhadap waktu tanam jagung di daerah Gerokgak.
1.4 Manfaat Penelitian
1. Penelitian ini nantinya diharapkan dapat bermanfaat bagi para petani
dan dapat memberikan sumbangan pemikiran kepada pemerintah
Kabupaten Buleleng khususnya Dinas Pertanian Tanaman Pangan
5
terkait dengan informasi perubahan pola curah hujan dan implikasinya
terhadap waktu tanam jagung di daerah Gerokgak.
2. Hasil penelitian ini sangat bermanfaat untuk mengantisipasi risiko
kegagalan panen akibat berubahnya pola curah hujan di Daerah
Gerokgak.
3. Hasil penelitian ini sangat bermanfaat untuk mengetahui waktu tanam
jagung yang tepat.
4. Meningkatkan produktivitas pertanian lahan kering, meningkatkan
pendapatan petani dan dapat menunjang penelitian - penelitian lain
yang berhubungan dengan iklim di Pulau Bali.
6
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Karakteristik Lahan Kering
Lahan kering di Bali sangat luas dan memiliki potensi sumber daya alam
yang cukup besar, namun hingga saat ini belum seluruhnya dapat diberdayakan
secara optimal. Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Bali (2011) dan
Bapeda Provinsi Bali (2009), menunjukkan bahwa dari luas wilayah 563.666
hektar, sekitar 481.367 hektar ( 85,40%) merupakan lahan kering. Distribusi lahan
kering di Bali sebagian besar terletak di bagian Timur dan Utara, dengan luas
sekitar 2.181,19 km (38,7) (Gambar 2.1).
Gambar 2. 1. Kawasan Lahan Kering di Provinsi Bali (Bapeda, 2009)
Kendala usahatani lahan marginal adalah kurangnya ketersediaan air dan
miskinnya unsur hara pada lahan tersebut. Musim tanam yang pendek dan curah
hujan yang tidak menentu sangat membatasi peningkatan intensitas penggunaan
P. N usa Penida
P. Lem bongan
P. C eningan
P. M enjangan
P. Serangan
S A M U D E R A I N D O N E S I A
S E
L A T
B A
L I
L A U T B A L I
S
E
L
A
T
L
O
M
B
O
K
S E L A T B A D U N G
KABUPATEN BULELENG
KABUPATEN TABANAN
KABUPATEN JEMBRANA
KABUPATEN KARANGASEM
KABUPATEN
BANGLI
KABUPATEN
BADUNG
KABUPATEN
GIANYAR
KABUPATEN KLUNGKUNG
KOTA
DENPASAR
N
10 0 10 KM9°00'
8°30'
8°00'
114°30'
115°00'
115°30'
Lahan Kritis
Kritis
Potensial Kritis
7
lahan. Penerapan pola usahatani terpadu dengan memperhatikan aspek iklim
sangat diperlukan. Pola integrasi antara tanaman dan ternak serta konservasi
lahan dengan memperhatikan kondisi iklim yang tepat akan dapat memberikan
nilai tambah bagi petani dan merubah wawasan petani dalam meningkatkan taraf
hidupnya (Arsana dkk., 2012).
2.2. Pola Curah Hujan
Menurut Mustofa (2002), berdasarkan pola hujan, wilayah Indonesia dapat
dibagi menjadi tiga, yaitu pola monsoon, pola ekuatorial dan pola lokal. Pola
monsoon dicirikan oleh bentuk pola hujan yang bersifat unimodal (satu puncak
musim hujan yaitu sekitar Desember). Selama enam bulan curah hujan relatif
tinggi (biasanya disebut musim hujan) dan enam bulan berikutnya rendah
(biasanya disebut musim kemarau). Secara umum musim kemarau berlangsung
dari April sampai September dan musim hujan dari Oktober sampai Maret.
Pola ekuatorial dicirikan oleh pola hujan dengan bentuk bimodal, yaitu
dua puncak hujan yang biasanya terjadi sekitar bulan Maret dan Oktober saat
matahari berada dekat equator. Pola lokal dicirikan oleh bentuk pola hujan
unimodal (satu puncak hujan) tetapi bentuknya berlawanan dengan pola hujan
pada tipe monsoon. Wilayah Indonesia di sepanjang garis khatulistiwa sebagian
besar mempunyai pola hujan equatorial, sedangkan pola hujan monsoon terdapat
di Pulau Jawa, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan sebagian
Sumatera, sedangkan salah satu wilayah yang mempunyai pola hujan lokal adalah
Ambon (Gambar 2.2).
8
Gambar 2.2. Pola Curah Hujan Monsoon, Ekuatorial dan Lokal
(Sasmito dkk. 2005)
2.3. Musim Hujan dan Musim Kemarau
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (2011), menetapkan bahwa
jika dalam satu bulan terjadi curah hujan di atas 150 mm maka daerah tersebut
mengalami musim hujan, sebaliknya jika dalam satu bulan curah hujan kurang
dari 150 mm maka daerah tersebut mengalami musim kemarau. Pengaruh
monsoon terhadap iklim menyebabkan adanya musim hujan dan musim kemarau.
Menurut Suyono dan Sulistya (1999), aktivitas musim hujan di Indonesia sangat
ditentukan oleh monsoon Asia musim dingin, sebaliknya musim kemarau sangat
dipengaruhi oleh monsoon Australia musim dingin.
Menurut Sasmito dkk. (2005), wilayah Indonesia secara umum memiliki
dua musim, yaitu musim hujan dan musim kemarau. Musim hujan berlangsung
sekitar bulan Oktober hinggga Maret, dengan puncaknya pada bulan Desember
hingga Februari yang bertepatan dengan berlangsungnya monsoon barat.
Sementara itu musim kemarau berlangsung sekitar bulan April hingga September,
9
dengan puncaknya bulan Juli hingga Agustus, bertepatan dengan berlangsungnya
monsoon timur (Gambar 2.3).
Gambar 2.3. Monsoon barat dan timur (Prawirowardoyo, 1996)
2.4. Perubahan Awal Musim
Kajian mengenai pergeseran awal musim sebagai dampak perubahan iklim
pernah dilakukan oleh Subagyono (2007). Penelitian ini menunjukkan bahwa
perubahan iklim global menyebabkan pergeseran awal musim. Pergeseran musim
yang terjadi di Indonesia diantaranya adalah: (1) wilayah dengan awal musim
hujan mundur dengan curah hujan di bawah normal, (2) wilayah dengan awal
musim hujan mundur dengan curah hujan normal, dan (3) wilayah dengan awal
musim hujan tetap dengan curah hujan di bawah normal. Lilik dan Sinta (2009)
juga meneliti curah hujan di beberapa daerah di Indonesia yang hasilnya
menunjukkan bahwa telah terjadi pergeseran bulan basah dan bulan kering di
Solok, Padang, Kotaraja, Palembang, Pontianak, Semarang, Surabaya, dan
Jakarta. Pergeseran bulan basah maupun kering ini mencakup pergeseran maju
juga mundur dari periode sebelumnya serta musim menjadi lebih pendek atau
10
lebih panjang. Meiviana dkk. (2004) menyatakan bahwa perubahan iklim telah
menyebabkan terjadinya pergeseran musim, dalam hal ini musim kemarau
berlangsung lebih lama sedangkan musim hujan berlangsung lebih singkat. Hasil
penelitian Mahmud (2009), di Pulau Jawa, Bali, dan NTB menunjukkan bahwa
perubahan iklim telah memicu terjadinya pergeseran musim dalam hal ini periode
musim kemarau berlangsung semakin panjang, sedangkan periode musim hujan
berlangsung semakin singkat tetapi intensitasnya semakin tinggi.
2.5 Evaluasi Tipe Iklim
Kebutuhan akan informasi iklim yang tepat-guna semakin dirasakan
strategis dalam menunjang program pembangunan pertanian di Indonesia,
sehingga kajian iklim berupa evaluasi iklim di suatu wilayah dan antisipasinya
dalam menghadapi perubahan iklim menjadi sangat penting (Bey dkk., 1992).
Ketersediaan data iklim terbaru sangat bermanfaat dalam menunjang kegiatan
pertanian dan kegiatan ilmiah lainnya. Agar dapat memenuhi ketersediaan data
iklim terbaru dan peta iklim yang aktual maka satu-satunya cara adalah dengan
melakukan pemutakhiran data menggunakan data iklim hasil pengamatan terbaru.
Menurut Irianto dkk. (2000) pemutakhiran zona iklim sangat penting agar
peta iklim yang ada saat ini representatif dan sesuai dengan perubahan iklim yang
terjadi. Zona iklim hasil pemutakhiran data dapat menjadi acuan yang obyektif
dan rasional dalam penentuan pola tanam yang lebih tepat. Pemutakhiran zona
agroklimat Oldeman di Pulau Sumatera yang dilakukan oleh Irianto, dkk. (2000)
menunjukkan bahwa di Sumatera telah terjadi perubahan zona agroklimat akibat
11
berubahnya pola curah hujan. Kayadu (2002), telah melakukan pemutakhiran
zona agroklimat Oldeman Kabupaten dan Kota Jayapura. Hasil pemutakhiran data
menunjukkan bahwa di Kabupaten dan Kota Jayapura memiliki tipe iklim
Oldeman mutakhir, yaitu B1, C1, D2, E1, E2, dan E4. Daryono, dkk. (2003) juga
melakukan penelitian pemutakhiran zona agroklimat Oldeman di Pulau Bali
menggunakan data curah hujan periode tahun 1970 hingga 2000. Hasil
pemutakhiran data menunjukkan adanya kecenderungan perubahan iklim yang
semakin basah. Hasil pemutakhiran data juga menghasilkan temuan 2 (dua) tipe
iklim baru, yang belum ada sebelumnya yaitu B3 dan D2.
Perubahan iklim dapat mengubah komposisi jumlah bulan basah dan bulan
kering dalam satu tahun. Tipe iklim Oldeman yang disusun berdasarkan
perhitungan banyaknya bulan basah dan bulan kering dapat mengalami perubahan
jika komposisi bulan basah dan bulan kering mengalami perubahan. Perubahan
zona agroklimat sebagai akibat adanya perubahan iklim, telah dilakukan oleh
beberapa penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Daryono dkk., (2003) dan
Asyakur dkk., (2005). Hasil penelitian pemutakhiran zona Agroklimat yang
dilakukan para peneliti terdahulu menunjukkan bahwa perubahan iklim telah
menimbulkan perubahan tipe iklim pada beberapa lokasi di daerah penelitian.
2.6. Waktu Tanam
Perubahan pola curah hujan telah terbukti dapat menyebabkan terjadinya
pergeseran musim. Dampak pergeseran musim yang terjadi di suatu daerah akan
menyebabkan perubahan tipe iklim. Perubahan tipe iklim yang terjadi akan
12
menyebabkan terjadinya perubahan waktu tanam. Adanya perubahan waktu tanam
sebagai dampak dari perubahan tipe iklim pernah dikaji oleh beberapa peneliti
seperti Runtunuwu dan Syahbuddin (2007), dalam penelitiannya menyatakan
bahwa perubahan iklim menyebabkan terjadinya perubahan waktu tanam.
Menurut Subagyono (2007), dampak perubahan iklim berpengaruh terhadap
perubahan waktu tanam, sehingga pemanfaatan hasil prediksi iklim sangat
bermanfaat untuk strategi budidaya tanaman dan penetapan waktu tanam.
Wilayah dengan awal musim hujan mundur dengan curah hujan di bawah normal
disarankan melakukan budidaya padi dan palawija varietas unggul yang tahan
kekeringan, berumur pendek dan tahan hama penyakit utama.
Ada perubahan waktu tanam sebagai dampak perubahan awal musim.
Menurut Pramudia (2006), perubahan awal musim hujan sebagai dampak
perubahan pola curah hujan akan mengubah cara budidaya tanaman padi yang
jauh dari sumber air irigasi dan sangat bergantung kepada curah hujan. Terkait
perubahan waktu tanam akibat pergeseran musim maka Balai Penelitian
Agroklimat dan Hidrologi (2008), telah menyusun kalender musim tanam.
Perubahan pola curah hujan yang terjadi akhir - akhir ini telah menyebabkan
terjadinya pergeseran musim tanam tanaman jagung. Menurut Surmaini dan
Irianto (2003), penentuan waktu tanam yang tepat harus mempertimbangkan dan
menyesuaikan pergeseran musim yang telah terjadi. Menyesuaikan waktu tanam
terhadap perubahan musim yang telah terjadi sangat penting karena dapat
menekan risiko penurunan hasil-hasil pertanian.
13
2.7. Tanaman Jagung
Jagung (Zea mays L.) adalah tanaman semusim dan termasuk jenis
rumputan atau graminae yang mempunyai batang tunggal, meski terdapat
kemungkinan munculnya cabang anakan pada beberapa genotipe dan lingkungan
tertentu. Siklus hidupnya diselesaikan dalam 80-150 hari. Paruh pertama dari
siklus merupakan tahap pertumbuhan vegetatif dan paruh kedua untuk tahap
pertumbuhan generatif. Batang jagung terdiri atas buku dan ruas. Daun jagung
tumbuh pada setiap buku, berhadapan satu sama lain. Tinggi tanaman jagung
sangat bervariasi, antara 1 - 3 meter, ada juga yang mencapai tinggi 6 meter.
Tinggi tanaman biasa diukur dari permukaan tanah hingga ruas teratas sebelum
bunga jantan (Anonim, 2012)
Jagung dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa karakter diantaranya
lingkungan tempat tumbuh dan umur panen. Jenis jagung berdasarkan
lingkungan tempat tumbuh meliputi jagung yang tumbuh di dataran rendah
tropik (< 1000 m dpl), dataran rendah subtropik dan mid-altitude (1000–1600 m
dpl), dan dataran tinggi tropik (>1600 m dpl). Jenis jagung berdasarkan umur
panen dikelompokkan menjadi dua yaitu jagung berumur genjah dan umur dalam.
Jagung umur genjah adalah jagung yang dipanen pada umur kurang dari 90 hari
sedangkan jagung umur dalam dipanen pada umur lebih dari 90 hari (Iriany et al.,
2007).
Suhu optimum untuk pertumbuhan tanaman jagung rata-rata 26°C sampai
30°C dan pH tanah 5.7 – 6.8 (Subandi dalam Iriany et al., 2007). Agar dapat
tumbuh dengan baik, tanaman jagung memerlukan temperatur rata-rata antara 14 -
14
30°C, dengan curah hujan sekitar 600 mm – 1200 mm per tahun yang
didistribusikan rata selama musim tanam (Kartasapoetra, 1988). Intensitas cahaya
matahari sangat diperlukan untuk pertumbuhan yang baik. Tanaman jagung
membutuhkan cahaya matahari secara langsung bukan di tempat-tempat
terlindung karena dapat mengurangi hasil (Sudjana et al., 1991). Hari panas dan
suhu malam yang tinggi meningkatkan pertumbuhan secara keseluruhan, dan
walaupun suhu panas adalah ideal untuk pertumbuhan vegetatif dan tongkol, suhu
sedang adalah optimum untuk akumulasi karbohidrat (Rubatzky dan Yamaguchi,
1998).
Faktor air merupakan salah satu faktor pembatas untuk pertumbuhan
jagung. Kebutuhan air yang terbanyak pada tanaman jagung adalah stadia
pembungaan dan stadia pengisian biji. Jumlah radiasi surya yang diterima oleh
tanaman selama fase berbunga juga merupakan faktor yang penting untuk
penentuan jumlah biji (Subandi, Syam dan Widjono, 1988).
Pemahaman morfologi dan fase pertumbuhan jagung sangat
membantu dalam mengidentifikasi pertumbuhan tanaman, terkait dengan
optimasi perlakukan agronomis. Cekaman air (kelebihan dan kekurangan),
cekaman hara (defisiensi dan keracunan), terkena herbisida atau serangan hama
dan penyakit akan menyebabkan tanaman tumbuh tidak normal, atau tidak
sesuai dengan morfologi tanaman. Hasil dan bobot biomas jagung yang tinggi
akan diperoleh jika pertumbuhan tanaman optimal. Untuk itu diperlukan
pengelolaan hara, air, dan tanaman dengan tepat. Pengelolaan hara dan
15
tanaman yang mencakup pemupukan (waktu dan takaran), pengairan, dan
pengendalian gulma harus sesuai dengan fase pertumbuhan tanaman.
2.8. Syarat Tumbuh Jagung
2.8.1. Tanah
Tanaman jagung toleran terhadap reaksi keasaman tanah pada kisaran pH
5,5 - 7,0. Tingkat keasaman tanah yang paling baik untuk tanaman jagung adalah
pada pH 6,8. Pada tanah yang memiliki keadaan pH 7,5 dan 5,7 produksi jagung
cenderung turun (Wakman dan Burhanuddin, 2007)
2.8.2. Iklim
Pertumbuhan optimalnya jagung menghendaki penyinaran matahari yang
penuh, tempat yang teduh pertumbuhan jagung akan merana dan tidak mampu
membentuk buah. Wilayah Indonesia suhu semacam ini terdapat di daerah dengan
ketinggian antara 0 - 600 m dpl dan curah hujan optimal yang dihendaki antara
85 - 100 mm per bulan merata sepanjang pertumbuhan tanaman (Wakman dan
Burhanuddin, 2007).
Daerah yang dikehendaki oleh sebagian besar tanaman jagung yaitu
daerah beriklim sedang hingga daerah beriklim subtropis/tropis basah. Jagung
dapat tumbuh baik di daerah yang terletak antara 50° LU - 40° LS. Pada lahan
yang tidak beririgasi memerlukan curah hujan ideal sekitar 85- 200 mm/bulan
selama masa pertumbuhan. Suhu yang dikehendaki tanaman jagung untuk
pertumbuhan terbaiknya antara 27° - 32° C. Pada proses perkecambahan benih
jagung memerlukan suhu sekitar 30°C (Anonim, 2010).
16
2.9. Kebutuhan Air Tanaman
Air merupakan bagian terbesar penyusun jaringan tumbuh-tumbuhan.
Unsur hara dalam tanah yang diperlukan tanaman harus dilarutkan dalam air
sebelum dapat diserap oleh akar tanaman yang selanjutnya diangkut ke seluruh
bagian tanaman. Air diperlukan dalam proses asimilasi dan diperlukan pula
sebagai pengatur setiap proses metabolisme tanaman secara langsung atau tidak
langsung dipengaruhi oleh ketersediaan air.
Air dalam tubuh tanaman berfungsi sebagai (1) penyusun utama jaringan
tanaman yang aktif secara fisiologis, (2) pereaksi dalam fotosintesis dan proses
hidrolisis, (3) pelarut garam, gula dan hara, (4) pengendali dan stabilisator suhu
tanaman dan, (5) unsur yang diperlukan dalam mempertahankan turgor tanaman,
serta diperlukan dalam pengaturan sel dan jaringan yang mengalami pertumbuhan
(Kramer, 1980; dalam Sumiana, 2007).
Air berada di dalam sel tanaman karena terimbibisi dan terikat pada
persenyawaan-persenyawaan kimia serta mempunyai fungsi mulai dari
perkecambahan sampai pada pembentukan bagian-bagian reproduktif (Kramer,
1980). Proses perkecambahan yang pertama terjadi adalah pengisian air kedalam
biji. Setelah air masuk kedalam biji air berfungsi sebagai perangsang metabolisme
dan sebagai pelarut dalam perombakan dan pengangkutan cadangan makanan ke
bakal batang dan bakal akar, sehingga biji dapat tumbuh.
Setelah tanaman tumbuh, air diperlukan dalam proses pengangkutan zat
hara, sintesis karbohidrat, sintesis protein, sebagai alat angkut zat makanan ke
bagian tubuh tanaman yang lainnya, dan untuk melarutkan garam-garam dalam
17
tanah sehingga dapat diserap oleh tanaman. Stadia perkecambahan merupakan
stadia yang sangat peka terhadap ketersediaan air tanah, kekurangan atau
kelebihan air pada stadia ini akan mengurangi daya kecambah biji sehingga biji-
biji tersebut terhambat pertumbuhan (Jackson, 1977).
Kebutuhan air tanaman dapat ditentukan dengan menggunakan metode
pendugaan menurut Doorenbos & Pruitt (1977), dalam Sumiana (2007), dimana
besarnya pendugaan kebutuhan air tanaman (ETc) sama dengan nilai
evapotranspirasi (ETo) dikalikan dengan koefisien tanaman (Kc) sesuai
persamaan berikut:
ETc = Kc . ETo (mm/hari).............................................................(1)
Dimana :
ETc = evapotranspirasi tanaman atau kebutuhan air tanaman (mm / hari)
Kc = koefisien tanaman
ETo = evapotranspirasi standart (mm / hari)
Nilai dari Kc berlaku umum bagi varietas dari masing-masing jenis
tanaman yang bersangkutan. Namun berbeda bagi setiap jenis tanaman dan stadia
pertumbuhan. Nilai koefisien tanaman (Kc) dihitung setiap setengah bulan karena
kebutuhan air tanaman (ETc) akan dihitung setiap setengah bulan. Sedangkan
(ETo) dihitung dengan menggunakan Metoda (Thornthwaite & Mather, 1957;
dalam Sumiana, 2007; Adi, 2010 dan Rusmayadi, 2011).
Setiap periode pertumbuhan tanaman bersifat spesifik terhadap kebutuhan
air yang dinyatakan dengan nilai Kc (koefisien tanaman) yang berbeda-beda
tergantung dari jenis dan stadia pertumbuhan tanaman (Tabel 2.1).
18
Tabel 2.1. Koefisien Tanaman (Kc) Jagung
Stadium pertumbuhan tanaman jagung Lama (hari) Kc
Pertumbuhan awal 15 0.30 - 0.50
Pertumbuhan vegetatif aktif 25 0.70 - 0.85
Stadia pertumbuhan pertengahan 40 1.05 - 1.20
Stadia pertumbuhan akhir 10 0.80 - 0.95
Masa panen 0.40 - 0.50
Sumber : Doorenbos dan Kassam (1979).
Menurut Fuad (2000), koefisien tanaman jagung (Kc) dihitung setiap lima
belas hari atau setengah bulanan selama masa pertumbuhan jagung. Nilai
koefisien tanaman jagung yang direkomendasikan oleh Kriteria Perencanaan
Irigasi seperti terlihat pada Tabel 2.2.
Tabel 2.2. Koefisien Tanaman (Kc) Jagung Dalam Lima Belas Harian
Lima belas hari ke Jumlah hari Koefisien tanaman jagung
1 15 0,5
2 15 0,59
3 15 0,96
4 15 1,05
5 15 1,02
6 15 0,95
2.10. Ketersediaan Air
Air hujan merupakan satu-satunya sumber air alami di lokasi
penelitian. Seluruh curah hujan yang jatuh tidak seluruhnya dapat dimanfaatkan
oleh tanaman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketersediaan air dalam
tanah mempengaruhi pertumbuhan, perkembangan dan produksi tanaman
19
jagung (Sudarta, 2007). Curah hujan yang dapat dimanfaatkan oleh tanaman
disebut curah hujan efektif (KSa). Curah hujan efektif adalah curah hujan
yang jatuh di suatu daerah dan digunakan tanaman untuk pertumbuhan. Curah
hujan tersebut merupakan curah hujan wilayah yang harus diperkirakan dari
titik pengamatan yang dinyatakan dalam milimeter (Sosrodarsono dan Takeda,
2005).
2.11. Keseimbangan Air
Kondisi air yang jumlahnya terbatas, maka air harus dimanfaatkan secara
efisien. Menurut Hillel (1972), pertumbuhan tanaman semakin menurun sejalan
dengan menurunnya kelembaban tanah dan pertumbuhannya akan terhambat
mendekati titik layu permanen. Hal ini berarti makin dekat kepada keadaan
kapasitas lapang, pertumbuhan tanaman makin baik. Keadaan air ini dipengaruhi
oleh karakteristik hujan dan tingkat evaporasi yang terjadi di daerah tropis.
Karakteristik curah hujan menyangkut intensitas, frekwensi, dan lamanya hujan.
Intensitas curah hujan cenderung tinggi di daerah tropis, namun dalam banyak hal
pola curah hujannya kurang cocok untuk pertanian (Mohammad, 1999).
Air tanah yang berasal dari hujan, diuapkan secara langsung oleh
permukaan tanah ke udara (evaporasi) dan sebagian lagi tersedia untuk tanaman.
Sebagian besar dari air yang diserap oleh tanaman diuapkan melalui bagian-
bagian tanaman seperti batang dan daun (transpirasi), dan hanya sebagian kecil
yang digunakan untuk fotosintesis tanaman. Menurut Thornthwaite dan Mather
(1957), dalam Rusmayadi (2011), bahwa kombinasi evaporasi dari permukaan
20
tanah bersama-sama transpirasi dari tanaman, yang disebut evapotranspirasi
menunjukkan aliran balik air dari bumi ke atmosfer dan dari atmosfer ke bumi
melalui curah hujan.
Penyerapan air tanah oleh tanaman terjadi apabila resistensi air oleh
partikel-partikel tanah lebih kecil dari energi tanaman atau energi matahari
melalui transpirasi. Hal ini berarti jika keadaan air tanah sedemikian rendahnya
maka retensi air oleh partikel tanah sangat besar akibatnya tanaman tidak dapat
menggunakan air tanah sehingga layu.
Kehilangan air akibat transpirasi dan evaporasi tidak konstan sepanjang
tahun, kelembaban atau kekeringan suatu iklim hanya dapat ditunjukkan dengan
membandingkan distribusi curah hujan sepanjang tahun dengan evapotranspirasi
musiman sebagai proses penerimaan dan pelepasan air. Evapotranspirasi atau
aliran balik air dari tanah ke atmosfer merupakan faktor iklim yang sama
pentingnya dengan curah hujan. Evapotranspirasi aktual dari pertanaman
tergantung pada iklim yang juga dihubungkan dengan jenis tanaman dan faktor-
faktor tanah; antara lain tipe dan stadia pertumbuhan tanaman, pengolahan
tanah, jenis tanah, dan kandungan air tanah. Evaporasi potensial lebih konstan
dari tahun ke tahun dari pada curah hujan, sebab adanya variasi yang kecil dari
energi matahari.
Variasi curah hujan pada daerah yang kering, mempunyai arti yang sangat
penting bagi persiapan lahan, persemaian dan awal pertumbuhan. Variasi ini
dikatakan sebagai “water balance”. Saat curah hujan lebih tinggi dari evaporasi
potensial dan tercapainya kapasitas lapang, maka curah hujan dikatakan surplus.
21
Sedangkan keadaan dimana curah hujan lebih kecil dari evaporasi potensial
sehingga sampai pada titik laju permanen maka curah hujan dikatakan defisit.
Kapasitas lapang (KL) biasanya dianggap sebagai batas atas ketersediaan
air dimana keadaan ini tercapai setelah air berhenti mengalir ke bawah setelah
tercapai keadaan jenuh, sedang titik laju permanen (TLP) adalah kandungan air
tanah (KAT) pada saat tanaman yang ditanam telah mengalami layu permanen
dalam arti tanaman telah mengalami sulit hidup kembali meskipun ditambahkan
air yang mencukupi (Soepardi, 1983).
Selain data curah hujan dan data meteorologi penentu evapotranspirasi,
dalam keseimbangan air juga diperlukan data sifat fisik tanah. Data ini
menyangkut kemampuan tanah memegang air (water holding capacity) yang
ditentukan oleh tekstur dan struktur tanah. Secara praktis dalam perhitungan
keseimbangan air digunakan asumsi dan penyederhanaan. Asumsi yang sering
digunakan adalah bahwa semua curah hujan mengalami infiltrasi ke dalam tanah
atau dapat dikatakan tidak ada limpasan permukaan, “surplus” hanya terjadi
apabila kapasitas lapang tanah telah tercapai (Jackson, 1979). Curah hujan total,
tidak semuanya efektif bagi tanaman, tetapi sebagian mengalami perkolasi
maupun evaporasi.
Thornthwaite & Mather (1957), dalam Sumiana (2007), Adi (2010), dan
Rusmayadi (2011), membuat persamaan yang sederhana dengan menggunakan
input hanya dari curah hujan saja. Pada metoda ini semua aliran masuk dan
keluar serta nilai kapasitas cadangan air tanah pada lokasi tanaman tertentu
22
digunakan untuk mendapatkan besarnya kadar air tanah, kehilangan air, surplus,
dan defisit.
Metode ini merupakan cara penghitungan tidak langsung yang paling
sederhana dibandingkan metode-metode lainnya, sedangkan untuk menentukan
besar kecilnya Evapotraspirasi (ETo) diperlukan data suhu udara dilokasi daerah
tersebut. Selanjutnya data suhu udara ini dimasukkan ke dalam persamaan
Thornthwaite & Mather untuk menghitung evapotranspirasinya (ETo):
ETo = 1,6 F ( 10 T/I )a ………………………………………(2)
Dimana :
a = 0,675 x 10-6
x I3 – 0,771 x 10
-4 x I
2 + 0,01792 x I + 0.49239
I = akumulasi indeks panas dalam setahun (12 bulan) yaitu (T/5)1.54
T = suhu rata-rata bulanan (oC)
F = faktor panjang hari (dari bulan ke bulan dalam setahun)
Data curah hujan didapat dari penakar curah hujan yang terdapat pada
lokasi penelitian. Curah hujan yang diperhitungkan adalah curah hujan efektif,
yaitu curah hujan yang langsung dapat dimanfaatkan oleh tanaman. Curah
hujan efektif diperoleh dengan mengalikan curah hujan total dengan persentase
keefektifan curah hujan.
Menurut Nasir (2002), berdasarkan cakupan ruang dan manfaat untuk
perencanaan pertanian, disusun neraca air agroklimat dengan tiga model analisis
sebagai berikut :
1. Neraca air umum, untuk mengetahui kondisi agroklimatik terutama
air secara umum.
23
2. Neraca air lahan, untuk mengetahui kondisi air tanah untuk
mengetahui waktu tanam.
3. Neraca air tanaman, untuk mengetahui kondisi agroklimat penyerapan
air yang diserap oleh tanaman.
Analisis pada neraca air lahan berguna terutama untuk penggunaan dalam
pertanian secara umum. Lebih lanjut Nasir (2002) menyatakan bahwa umumnya
manfaat neraca air adalah untuk mengetahui :
1. Agroklimat daerah penelitian.
2. Mengatur waktu tanam suatu jenis tanaman antara curah hujan dan
evapotranspirasi potensial (ET0).
3. Mengatur pemberian air irigasi sesuai dengan kebutuhan.
24
BAB III
KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS
3. 1. Kerangka Berfikir
Lahan kering adalah hamparan lahan yang tidak pernah tergenang atau
digenangi air pada sebagian besar waktu dalam setahun atau sepanjang waktu.
Lahan kering sebagian besar memiliki permasalahan seperti : sumberdaya air
terbatas, kesuburan tanah yang rendah, topografi berbukit, dan ketersediaan
infrastruktur terbatas, akan tetapi ada juga lahan kering yang tanahnya subur,
namun ketersediaan airnya terbatas, atau pengairannya hanya mengandalkan air
hujan saja.
Berdasarkan penggunaannya untuk pertanian, maka lahan kering
dikelompokkan menjadi pekarangan, kebun, dan ladang, tetapi secara umum
pengembangan lahan kering jauh tertinggal dibandingkan pertanian di lahan
beririgasi. Lambatnya perkembangan di hampir semua lahan kering berkaitan
dengan masalah kesuburan tanah, dan sumberdaya air yang terbatas.
Daerah lahan kering dengan curah hujan yang terbatas mengakibatkan
sektor pertanian kurang dapat berkembang. Masalah utama yang dihadapi dalam
pemanfaatan lahan kering adalah keterbatasan air, rendahnya produktivitas lahan,
kesuburan tanah rendah, rendahnya intensitas tanam, yang mana semuanya ini
mengakibatkan petani miskin.
Petani di lahan kering selalu dihadapkan kepada gagal panen akibat belum
memanfaatkan sumberdaya iklim. Selama lebih dari satu dekade terakhir telah
25
terjadi perubahan pola curah hujan. Perubahan pola curah hujan yang telah terjadi
menyebabkan terjadinya perubahan waktu tanam. Zona agroklimat juga sudah
banyak mengalami perubahan. Petani lahan kering yang masih menggunakan
teknik bercocok tanam tidak intensif selalu dihadapkan kepada kemiskinan akibat
seringnya gagal panen akibat ketidaktahuannya informasi iklim terkini.
Kajian tentang aspek perubahan pola curah hujan dan tipe iklim untuk
penentuan waktu tanam jagung perlu dilakukan. Kesesuaian antara praktek
bercocok tanam dengan menyesuaikan kondisi iklim yang terbaru memungkinkan
penentuan waktu tanam yang tepat. Waktu tanam yang tepat dapat menunjang
keberhasilan usaha tani di lahan kering. Keberhasilan usaha tani otomatis akan
meningkatkan produtivitas pertanian yang tinggi. Produktivitas hasil pertanian
yang meningkat akan menjadikan petani manjadi lebih sejahtera.
Daerah Gerokgak memiliki potensi lahan kering yang cukup besar. Selama
ini lahan kering Gerokgak belum terkelola secara optimal sehingga
produktivitasnya tetap rendah. Hal ini disebabkan oleh faktor sumberdaya alam
(iklim, tanah dan air) serta sumberdaya manusia yang kurang mendukung.
Keterbatasan yang dimiliki lahan kering Gerokgak cenderung membuat kegiatan
pola usahatani bersifat masih tradisional atau tidak intensif. Pola usahatani
tanaman pangan perlu mengadopsi informasi iklim untuk meningkatkan hasil
pertanian. Diagram kerangka berpikir dapat dilihat pada Gambar 3.1.
26
Gambar 3.1. Diagram Kerangka Berpikir
Lahan Kering
(Sumberdaya Air Terbatas)
Bertani Secara Biasa
(Tidak intensif)
Tanpa Pemanfaatan
Informasi Perubahan Iklim
Tidak Memahami
Waktu Tanam yang Tepat
Pendapatan Petani
Rendah
Bertani Secara Intensif
Memanfaatkan Informasi
Perubahan Iklim
Informasi Perubahan
Pola curah Hujan
Mengetahui Kebutuhan
Air Tanaman
Waktu Tanam Tepat
Pendapatan Petani
Meningkat
Tidak Mengetahui
Kebutuhan Air Tanaman
Produksi rendah/gagal
panen Produksi Tinggi
Tanpa Informasi
Perubahan Pola curah
Hujan
27
3.2. Kerangka Konsep
Langkah awal penelitian ini adalah melakukan identifikasi pola curah
hujan di daerah penelitian. Langkah selanjutnya, untuk mengetahui pola curah
hujan dibuat grafik curah hujan dasarian juga akan dianalisis periodisitas curah
hujan jangka panjang. Selain mengkaji pola curah hujan, akan dikaji periode
lamanya musim hujan dan periode lamanya musim kemarau.
Setelah mengkaji pola curah hujan selanjutnya dilakukan kajian tipe iklim.
Metode klasifikasi tipe iklim menurut Oldeman dk., (1980) digunakan untuk
menentukan tipe iklim berdasarkan data curah hujan bulanan. Metode ini
mengklasifikasikan iklim menjadi 17 tipe iklim. Perubahan tipe iklim dapat
diketahui berdasarkan data curah hujan pada periode baseline dan periode iklim
saat ini. Dari analisis ini akan diketahui apakah ada perubahan tipe iklim di daerah
penelitian. Setelah diidentifikasi apakah ada perubahan tipe iklim, selanjutnya
dilakukan kajian identifikasi perubahan pola curah hujan. Identifikasi perubahan
pola curah hujan perlu dilakukan untuk analisis perubahan pola curah hujan dari
data hasil observasi.
Terakhir, dilakukan kajian perubahan waktu tanam jagung dibandingkan
antara periode iklim masa lalu dan periode iklim saat ini. Dalam menentukan
waktu tanam pada hakekatnya mempertemukan dua hal, yakni mengetahui
kebutuhan air tanaman jagung dengan persediaan air di lokasi penelitian pada
masing-masing musim tanam. Kebutuhan air tanaman dihitung menggunakan
metode pendugaan. Besarnya pendugaan kebutuhan air tanaman (ETc) sama
dengan nilai evapotranspirasi (ETo) dikalikan dengan koefisien tanaman (Kc).
28
3.3. Hipotesis
Berdasarkan tujuan penelitian yang telah dirumuskan di atas, maka
hipotesis yang dikemukakan pada penelitian ini adalah :
1. Pola curah hujan di Daerah Gerokgak selama 30 tahun pada periode 1981 –
2010, adalah pola Monsoon yang dicirikan oleh bentuk pola hujan satu puncak
musim hujan yaitu sekitar bulan Desember
2. Terjadi perubahan pola curah hujan di Daerah Gerokgak selama 15 tahun dari
periode 1981-1995 ke periode 1996-2010.
3. Terjadi perubahan tipe iklim di Daerah Gerokgak selama 15 tahun dari periode
1981-1995 ke periode 1996-2010.
4. Implikasi perubahan pola curah hujan dan tipe iklim terhadap waktu tanam
jagung di Daerah Gerokgak adalah dapat berpengaruh terhadap waktu tanam
jagung.
29
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
4.1.1 Lokasi penelitian
Lokasi penelitian terletak di Kecamatan Gerokgak Kabupaten Buleleng
yang merupakan kawasan rawan kekeringan dan lahan kritis di Wilayah
Provinsi Bali. (Bappeda, 2009) seperti terlihat pada Gambar 4.1.
Gambar 4.1. Lokasi Daerah Penelitian
4.1.2 Waktu penelitian
Penelitian ini dilaksanakan antara bulan Pebruari 2013 sampai dengan
bulan April 2013.
30
4.2 Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini mencakup kajian pola curah hujan di
daerah Gerokgak tahun 1981 – 2010, perubahan tipe iklim dan pola curah hujan
periode 1981 – 1995 dan 1996 - 2010 di daerah Gerokgak, dan implikasinya
terhadap waktu tanam jagung di daerah Gerokgak.
4.3 Bahan dan Alat Penelitian
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini berupa data iklim yang
terdiri dari suhu, curah hujan bulanan dan curah hujan harian hasil pengamatan
Stasiun Hujan Gerokgak selama 30 tahun (periode 1981 – 2010). Data suhu
udara Daerah Gerokgak diperoleh dari konversi suhu udara terhadap
ketinggian, dengan data suhu acuan hasil pengamatan pada Stasiun
Meteorologi Ngurah Rai di Tuban.
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah seperangkat komputer
pengolah data beserta aplikasinya.
4.4 Prosedur Penelitian
Dalam penelitian ini metode yang digunakan adalah metode survei untuk
pengumpulan data curah hujan, metode statistik untuk menghitung rata-rata curah
hujan bulanan dan harian, dan metoda kebutuhan air tanaman semusim yang
dianalisis menggunakan metode pendugaan menurut Doorenbos & Pruitt (1977).
31
4.4.1 Pengumpulan data curah hujan
Pengumpulan data curah hujan periode 1981 – 2010 dilaksanakan di
Kantor Balai Besar Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Wilayah III dan
Stasiun Klimatologi Negara. Aplikasi data iklim dilapangan dilakukan dengan
wawancara dengan petani dilokasi penelitian yaitu di Kecamatan Gerokgak,
Kabupaten Buleleng.
4.4.2. Perhitungan data curah hujan periode 1981 – 2010
Perhitungan pola curah hujan dihitung berdasarkan rata-rata curah hujan
periode 1981 – 2010. Hasil perhitungan tersebut dipergunakan untuk mengetahui
periode panjang musim hujan, panjang musim kemarau, jumlah curah hujan pada
musim hujan dan jumlah curah hujan pada musim kemarau.
4.4.3. Perhitungan pola curah hujan periode 1981 – 1995.
Pola curah hujan dihitung berdasarkan rata-rata curah hujan periode
1981 – 1995. Hasil perhitungan tersebut dipergunakan untuk menentukan
awal musim hujan, awal musim kemarau, panjang musim hujan, panjang musim
kemarau, jumlah curah hujan pada musim hujan dan jumlah curah hujan pada
musim kemarau pada periode I ( 1981 – 1995 ).
4.4.4. Perhitungan pola curah hujan periode 1996 – 2010.
Pola curah hujan dihitung berdasarkan rata-rata curah hujan periode
1996 – 2010. Hasil perhitungan tersebut dipergunakan untuk menetukan awal
32
musim hujan, awal musim kemarau, panjang musim hujan, panjang musim
kemarau, jumlah curah hujan pada musim hujan dan jumlah curah hujan pada
musim kemarau.
4.4.5. Perhitungan neraca air tanaman periode 1981 – 1995.
Neraca air periode 1981 – 1995 dianalisis dengan Metoda Thornthwaite
dan Mater dalam Rusmayadi (2011), dan hasil analisis dapat diketahui jumlah
kebutuhan air tanaman (ETc) dan ketersediaan air di daerah penelitian pada
musim hujan maupun musim kemarau.
4.4.6. Perhitungan neraca air tanaman periode 1996 – 2010.
Neraca air tanaman periode 1996 – 2010 dianalisis dengan Metoda
Thornthwaite dan Mater dalam Rusmayadi (2011), dan hasil analisis dapat
diketahui jumlah kebutuhan air tanaman (ETc) dan ketersediaan air di daerah
penelitian pada musim hujan maupun musim kemarau.
4.4.7. Waktu tanam jagung di daerah Gerokgak
Waktu tanam jagung yang dilakukan pada lahan kering di Gerokgak dapat
diketahui dengan cara melakukan wawancara secara langsung dengan petani di
daerah tersebut selama kurun waktu 3 (tiga) tahun terakhir.
33
4.4.8. Data tanah
Analisis tanah dilakukan untuk mengetahui gambaran mengenai sifat fisik
tanah pada lokasi penelitian. Analisis tanah dilakukan di Laboratorium Tanah
Fakultas Pertanian Universitas Udayana Denpasar.
4.5. Analisis Data
Analisis data dilakukan terhadap normal curah hujan terbaru yang
ditetapkan BMKG, yakni data curah hujan selama periode 30 tahun dari tahun
1981 sampai dengan tahun 2010. Perubahan pola curah hujan dianalisis dengan
pembagian data, data rata-rata curah hujan tahun 1981 – 1995 adalah data awal,
kemudian dibandingkan dengan data rata-rata curah hujan 1996 – 2010, yang
dianalisis adalah bagaimana kondisi ketersediaan air untuk waktu tanam, waktu
tanam awal dan akhir (panen) pada lokasi penelitian. Waktu tanam yang
dilakukan petani melalui wawancara di bandingkan dengan hasil analisis neraca
air tanaman pada kedua periode di atas.
Hasil analisis Neraca air pada kedua periode yakni periode I 1981 -1995
dan periode II 1996 - 2010 yang menggunakan Metoda Thornthwaite dan Mater
dalam Sumiana (2007), dapat diketahui jumlah ketersediaan air dan kebutuhan air
bagi tanaman jagung pada musim hujan maupun musim kemarau. Hasil analisis
disajikan pada (Lampiran 3 – 9).
34
4.5.1. Metode perhitungan normal data
Normal data dihitung dengan merata-ratakan curah hujan selama 30 tahun
pada tahun 1981 – 2010 dengan rumus statistik sebagai berikut :
dimana :
M = Rata-rata curah hujan dasarian
Mi = Jumlah curah hujan sepuluh harian tahun ke-i
i = 1,2,3, .........., n
n = Jumlah data.
4.5.2. Metode perhitungan neraca air
Untuk pengolahan dan analisis neraca air dasarian digunakan Metode
Thornthwaite dan Mather dalam Sumiana (2007), Adi (2010), dan Rusmayadi
(2011), dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Menghitung evapotranspirasinya (ETo) dengan rumus :
ETo = 1,6 F ( 10 T/I )a ………………………………………(2)
Dimana :
ETo = Evapotranspirasi standart (mm / hari)
I = akumulasi indeks panas dalam setahun (12 bulan) yaitu (T/5)1.54
T = suhu rataan bulanan (oC)
F = faktor panjang hari (dari bulan ke bulan dalam setahun)