BAB II ZAMAN PRASEJARAH A. LINGKUNGAN ALAM, MANUSIA, DAN BUDAYA PRASEJARAH 1. Lingkungan Alam Kalimantan Selatan eb da agian besar Pulau Kalimantan terbangun dari sedimen laut yang berasal dari Laut Jawa n Cina Selatan. Bagian barat daya pulau ini terdiri dari singkapan batuan berumur 400 juta tahun, yang pada masa lalu merupakan bagian dari Dataran Sunda yang suatu saat pernah menyatu dengan Semenanjung Melayu, Jawa, dan Sumatera. S Periode glasial dan interglasial 1 yang terjadi beberapa kali di Daerah Sedang Utara selama Kala Plestosen dan Holosen, 2 telah menyebabkan adanya variasi perubahan muka laut di seluruh dunia, termasuk di Kepulauan Indonesia yang terletak di daerah khatulistiwa. Pada periode ini, ketika sebagian besar air laut membeku menjadi es oleh turunnya suhu yang hebat, terjadi regresi (susut laut). Penurunan muka laut kadang mencapai 100 meter di bawah permukaan laut sekarang .3 Wilayah-wilayah luas dari Dangkalan Laut Cina Selatan dan Laut Jawa (Paparan Sunda) 4 secara periodis menjadi daerah kering, sedangkan daerah-daerah jauh di timur, termasuk Sulawesi, tetap menjadi sebuah kepulauan. Pada kenyataanya, lembah-lembah sungai yang luas masih dapat diamati pada peta-peta oseanografi Paparan Sunda. Menurut Molengraaff dan Weber (1921), regresi selama periode glasial Würm mencapai 72 meter dari permukaan air laut sekarang, sedangkan De Terra menghitung penurunan sekitar 120 meter pada periode glasial Mindel, yaitu susut laut paling intensif selama Kala Plestosen, yaitu sekitar 12.000 tahun yang lalu .5 Pengaruh glasiasi pada Laut Jawa dan Laut Cina Selatan yang sekaligus diiringi dengan gerakan eustatik lempeng bumi 6 telah beberapa kali membentuk jembatan-jembatan darat, sehingga menghubungkan Kalimantan dengan Pulau Jawa, Sumatera, dan daratan Asia. 7 1 Masa terjadinya proses pengesan dan pencairan es 2 Disebut masa Kwarter; Kala Plestosen berlangsung sekitar antara 2.000.000 sampai 10.000 tahun yang lalu, dan kala Holosen berlangsung antara 10.000 tahun yang lalu sampai sekarang. 3 A.M. Semah, Pleistocene and Holocene Environmental Changes, Indonesia Heritage: Ancient History, Buku Antar Bangsa for Grolier Internasional Inc, Jakarta, 1996. 4 Laut Cina Selatan dan Laut Jawa memiliki kedalaman yang cukup dangkal sekitar 40 meter 5 MacKinnon et.al, “The Ecology of Kalimantan Indonesia Borneo”, dalam The Ecology of Indonesia Series Volume II. Periplus Edition, Singapore, 1996; Harry Widianto et.al, Ekskavasi Situs Gua Babi Kabupaten Tabalong Provinsi Kalimantan Selatan, Berita Penelitian Arkeologi No.1 1997, Balai Arkeologi Banjarmasin. 6 Gerakan ini menyebabkan pengangkatan Dataran Sunda secara parsial. 7 Jembatan darat ini tidak meluas melampaui daerah timur Garis Wallace, yaitu batas zoografis alamiah yang memisahkan wilayah bagian barat Indonesia yang memiliki pengaruh Asia dengan daerah pengaruh Australia yang berada di bagian timur
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB II
ZAMAN PRASEJARAH
A. LINGKUNGAN ALAM, MANUSIA, DAN BUDAYA PRASEJARAH
1. Lingkungan Alam Kalimantan Selatan
eb
da
agian besar Pulau Kalimantan terbangun dari sedimen laut yang berasal dari Laut Jawa
n Cina Selatan. Bagian barat daya pulau ini terdiri dari singkapan batuan berumur 400
juta tahun, yang pada masa lalu merupakan bagian dari Dataran Sunda yang suatu saat pernah
menyatu dengan Semenanjung Melayu, Jawa, dan Sumatera.
S Periode glasial dan interglasial1 yang terjadi beberapa kali di Daerah Sedang Utara selama
Kala Plestosen dan Holosen,2 telah menyebabkan adanya variasi perubahan muka laut di seluruh
dunia, termasuk di Kepulauan Indonesia yang terletak di daerah khatulistiwa. Pada periode ini,
ketika sebagian besar air laut membeku menjadi es oleh turunnya suhu yang hebat, terjadi regresi
(susut laut). Penurunan muka laut kadang mencapai 100 meter di bawah permukaan laut
sekarang.3 Wilayah-wilayah luas dari Dangkalan Laut Cina Selatan dan Laut Jawa (Paparan
Sunda)4 secara periodis menjadi daerah kering, sedangkan daerah-daerah jauh di timur, termasuk
Sulawesi, tetap menjadi sebuah kepulauan.
Pada kenyataanya, lembah-lembah sungai yang luas masih dapat diamati pada peta-peta
oseanografi Paparan Sunda. Menurut Molengraaff dan Weber (1921), regresi selama periode
glasial Würm mencapai 72 meter dari permukaan air laut sekarang, sedangkan De Terra
menghitung penurunan sekitar 120 meter pada periode glasial Mindel, yaitu susut laut paling
intensif selama Kala Plestosen, yaitu sekitar 12.000 tahun yang lalu.5
Pengaruh glasiasi pada Laut Jawa dan Laut Cina Selatan yang sekaligus diiringi
dengan gerakan eustatik lempeng bumi6 telah beberapa kali membentuk jembatan-jembatan
darat, sehingga menghubungkan Kalimantan dengan Pulau Jawa, Sumatera, dan daratan Asia.7
1 Masa terjadinya proses pengesan dan pencairan es 2 Disebut masa Kwarter; Kala Plestosen berlangsung sekitar antara 2.000.000 sampai 10.000 tahun yang lalu, dan
kala Holosen berlangsung antara 10.000 tahun yang lalu sampai sekarang. 3 A.M. Semah, Pleistocene and Holocene Environmental Changes, Indonesia Heritage: Ancient History, Buku
Antar Bangsa for Grolier Internasional Inc, Jakarta, 1996. 4 Laut Cina Selatan dan Laut Jawa memiliki kedalaman yang cukup dangkal sekitar 40 meter 5 MacKinnon et.al, “The Ecology of Kalimantan Indonesia Borneo”, dalam The Ecology of Indonesia Series
Volume II. Periplus Edition, Singapore, 1996; Harry Widianto et.al, Ekskavasi Situs Gua Babi Kabupaten Tabalong Provinsi Kalimantan Selatan, Berita Penelitian Arkeologi No.1 1997, Balai Arkeologi Banjarmasin.
6 Gerakan ini menyebabkan pengangkatan Dataran Sunda secara parsial. 7 Jembatan darat ini tidak meluas melampaui daerah timur Garis Wallace, yaitu batas zoografis alamiah yang
memisahkan wilayah bagian barat Indonesia yang memiliki pengaruh Asia dengan daerah pengaruh Australia yang berada di bagian timur
Terakhir kali terpisahnya Kalimantan dengan daratan Asia Tenggara dan pulau-pulau
lainnya terjadi pada saat transgresi (genang laut) Kala Holosen sekitar 11.000 tahun yang lalu.8
Situasi menyatu-pisahnya Pulau Kalimantan dengan pulau-pulau lain dalam konteks Dataran
Sunda di Indonesia di Indonesia bagian barat selama Kala Plestosen merupakan gejala alam yang
sangat berpengaruh bagi kehidupan masa lalu daerah ini. Kondisi iklim yang lebih dingin di Asia
selama periode glasial mendorong binatang-binatang untuk bergerak ke arah selatan melalui
jembatan-jembatan darat selama lebih dari 500 ribu tahun.
Jembatan darat yang terbentuk telah memungkinkan migrasi binatang ke daerah-daerah
kepulauan yang paling jauh di selatan, yaitu di Pulau Jawa, dan fauna mamalia Jawa diperkaya
dengan adanya spesies baru. Sejak zaman Holosen kondisi alam relatif tidak berubah banyak,
dan secara biogeografis, flora dan fauna Pulau Kalimantan memperlihatkan relasi yang lebih
dekat ke Daratan Asia dan pulau-pulau Sunda lainnya –Daratan Sunda Kuno- daripada ke pulau
tetangganya, Sulawesi. Meskipun terpisah hanya oleh Selat Makassar –sekitar 200 kilometer
pada bagian yang paling lebar-- Kalimantan dan Sumatera telah terpisah sejak sekitar 10
milenium yang lalu, mungkin paling tidak sejak masa Plestosen.9
Distribusi spesies binatang dan tumbuhan di Kalimantan sangat heterogen berdasarkan
pembatasan altitudinal dan habitat serta pembagian daerah-daerah fitogeografis dan zoogeografis
yang berbeda, yang mencerminkan perbedaan sejarah geologis, perhubungan daerah-daerah
Plestosen dan batasan-batasan geografis sampai persebaran spesies.
Wilayah Pegunungan Meratus di Kalimantan Selatan merupakan daerah yang terpisah
secara khusus dari daerah perbukitan yang lain dan merupakan lahan yang kaya akan tumbuh-
tumbuhan spesifik, terutama anggrek. Distribusi fauna tergantung tidak hanya oleh tipe habitat,
tetapi juga batasan-batasan geografis antara lain gugusan pegunungan dan sungai-sungai.
Di daerah Kalimantan sekitar selatan dan timur bagian antara Sungai Mahakam dan
Barito, adalah daerah nihil akan orangutan dan ras khusus siamang (Bornean gibbon). Dataran
rendah sebelah utara memiliki fauna dan flora yang lebih kaya spesiesnya, termasuk keberadaan
jenis tupai Petaurillus hosei dan Petaurillus emiliae, tikus Chiropodomys major, musang
Herpestes hosei, dan gajah.10
Jalur migrasi mamalia pertama dari Asia Tenggara Daratan ke Jawa, terus ke arah
timur ke Nusa Tenggara, yang diikuti jalur kedua dari Cina Selatan, Taiwan, Filipina,
Kalimantan, dan Sulawesi melewati jembatan darat Sangihe. Kenyataan ini telah memunculkan
8 Harry Widianto, op.cit. 9 MacKinnon, op.cit. 10 MacKinnon, ibid.
hipotesis bahwa Kalimantan dan Sulawesi --seperti pulau-pulau lain di Indonesia bagian barat--
juga mempunyai kesempatan yang sama dalam menampung berbagai aktivitas migrasi, baik
binatang vertebrata maupun manusia, sehingga terdapat kemungkinan di pulau ini akan
ditemukan jejak-jejak kehidupan manusia prasejarah.11
2. Keberadaan Manusia di Kalimantan Selatan
Membicarakan sejarah manusia di daerah Kalimantan Selatan tidak bisa lepas dari awal
keberadaannya di Pulau Kalimantan secara umum. Bukti awal yang diketahui tentang
keberadaan manusia di Kalimantan adalah sebuah tengkorak Homo sapiens yang ditemukan di
Ambang Barat Gua Besar di Niah, Sarawak.12 Tengkorak tersebut memiliki pertanggalan
mutlak13 lebih dari 35.000 tahun. Meskipun masih terdapat perdebatan tentang usia tengkorak
tersebut, Niah tetap merupakan situs yang penting, karena mengandung rekaman data tingkatan
okupasi manusia terlama di Asia Tenggara.14 Gua Niah merupakan sebuah situs dari masa
Plestosen Atas yang banyak mengungkapkan gaya hidup manusia Paleolitik pendukung budaya
manusia yang sudah menggunakan alat dalam menunjang kehidupan sehari-harinya.
Hasil ekskavasi terbaru di Madai, Sabah, memperlihatkan bukti lebih jauh tentang migrasi
awal dan penghunian manusia di seluruh Kepulauan Indonesia15 dengan pertanggalan mutlak
30.000 tahun.16 Terjadinya perhubungan darat pada masa Plestosen, gelombang kedatangan
manusia masa lampau menyapu daerah-daerah kepulauan di Paparan Sunda dari Asia. Orang-
orang Negrito, nenek moyang bangsa aborigin Australia dan Melanesia, mungkin telah
menghuni Gua Niah pada 50.000 tahun yang lalu, lalu digantikan oleh gelombang kedatangan
Mongoloid Selatan. Saat gelombang migrasi menyapu daerah kepulauan, mereka bercampur dan
melakukan persilangan dengan penduduk asli. Beberapa suku di Asia Tenggara seperti Negrito
Malaysia memiliki budaya berburu dan mengumpulkan makanan yang masih primitif. Hal
tersebut mengarahkan dugaan bahwa orang-orang Penan (Punan) juga berasal dari penduduk
Negrito asli Kalimantan.
Kondisi geografis Kalimantan Selatan, separuh wilayahnya, yaitu bagian selatan dan barat
serta sedikit di pesisir timur, didominasi oleh oleh tanah rawa. Jenis tanah seperti ini lebih
bersifat asam, yang tidak akan mampu mengkonservasi tulang-belulang binatang dan manusia.
Pada bagian tengah daerah ini, terbentang bagian selatan Pegunungan Meratus yang berorientasi 11 Widianto, op.cit. 12 Harison 1956 dan Majid 1982 vide MacKinnon, op.cit. 13 Hasil pertanggalan radiocarbon C-14 terhadap matriks tanah tempat tengkorak tersebut terkubur. 14 Bellwood 1985 vide MacKinnon, op.cit. 15 Bellwood 1988 vide MacKinnon, ibid.
utara-selatan. Pegunungan ini terbentuk dari karst --batu gamping-- yaitu jenis batuan yang
sangat baik untuk mengkonservasi tulang secara alamiah. Seandainya di daerah Kalimantan
Selatan harus dicari jejak-jejak masa lalu manusia prasejarah, maka pegunungan kapur seperti ini
adalah salah satu tempat yang paling memberikan harapan.17 Padang perburuan jejak manusia
prasejarah antara lain harus diarahkan pada celah-celah batu gamping di Pegunungan Meratus
yang banyak menyimpan gua-gua alamiah, baik berupa ceruk (rock shelter) maupun gua (cave).
Penelitian intensif-ekskavasi di Gua Babi di Bukit Batu Buli (Tabalong, Kalimantan
Selatan) selama 1995-1999 berhasil menemukan komponen manusia yang bersifat fragmentaris
dengan kuantitas yang cukup tinggi. Berdasarkan karakter morfologisnya diketahui adanya tidak
kurang dari 11 individu yang terdiri dari dewasa dan anak-anak. Ukuran yang sangat
fragmentaris tidak dapat memberikan indikasi tentang identifikasi jenis kelamin maupun jenis ras
manusianya. Penemuan rangka manusia di Gua Tengkorak pada 1999 memberikan indikasi
yang sangat penting dan signifikan tentang ras manusia pendukung budaya kawasan Bukit Batu
Buli, yaitu Austromelanesoid.18
3. Budaya Manusia Prasejarah
Kelangsungan hidup manusia awal di Kalimantan didukung oleh kegiatan berburu satwa
liar, memancing, dan mengumpulkan hasil hutan. Di antara pecahan tulang yang ditemukan di
Gua Niah terdapat beberapa binatang yang sekarang sangat langka di Kalimantan, termasuk jenis
tapir Tapirus indicus, pangolin raksasa Manis palaeojavanica, dan tikus-gigi-putih Crocidura
fuliginosa. Mereka juga berburu kijang Tragulus spp., orangutan, rusa Cervus unicolor, sapi,
badak Sumatera, dan beruang (sunbear). Manusia awal juga memiliki kebiasaan membawa hasil
tangkapannya yang berupa ikan, burung, kadal, dan buaya ke dalam gua tempat tinggalnya.19
Dalam konsepsi dasarnya, manusia prasejarah di Indonesia sejak Kala Pasca Plestosen
telah mulai memanfaatkan gua-gua kapur sebagai tempat tinggal sementara. Gua-gua itu suatu
waktu akan ditinggalkan, yaitu saat alam sekitarnya sudah tidak dapat menyediakan bahan
makanan. Pola seperti ini banyak dijumpai jejaknya di Jawa, Sulawesi Selatan, Flores, dan
Timor.20
Hasil penelitian Gua Babi di Kalimantan Selatan menunjukkan bahwa pada masa okupasi
manusia prasejarah di gua ini, teras gua telah dimanfaatkan secara intensif untuk melaksanakan 16 Bellwood 1980 vide MacKinnon, ibid. 17 Widianto, op.cit. 18 Harry Widianto dan Handini, Ekskavasi Situs Gua Babi Tahap III – IV Kabupaten Tabalong Provinsi
Kalimantan Selatan, Laporan Penelitian Arkeologi Banjarmasin, 1998/1999. 19 MacKinnon, op.cit.
kegiatan sehari-hari. Hal ini didukung oleh bukti-bukti lapisan budaya berupa shell-bed
bercampur abu hasil pembakaran yang tebal. Berdasarkan analsis radiokarbon C-14 atas sampel
abu bekas pembakaran dapat diketahui bahwa paling tidak budaya Gua Babi telah berusia 6.000
tahun. Namun demikian, tradisi kapak perimbas yang bercorak kasar dan sederhana teknik
pembuatannya masih dapat ditemukan bukti-buktinya, baik di daerah Awangbangkal21 (Banjar)
maupun di kawasan Bukit Batu Buli (Tabalong).
Gundukan tanah di Gua Niah menampakkan budaya alat batu yang sangat rumit berasal
dari 20.000 tahun yang lalu. Kemungkinan alat-alat batu itu berfungsi, sebagai sarana
membunuh satwa dan menyiapkan makanan maupun membentuk artefak lain dari bahan kayu,
bambu, dan tulang.22
Pada masa yang lebih kemudian di Gua Babi, unsur alat batu dan alat tulang
menunjukkan keterkaitan dengan kehidupan gua di Sulawesi Selatan. Bahan dasar utama
pembuatan alat batu diyakini diambil dari sekitar Sungai Uya yang berada sekitar 2 kilometer
dari gua. Komponen tembikar yang ditemukan di sini memperlihatkan pengaruh Bau-Malaya,
yaitu tradisi tembikar yang berkembang di Asia Tenggara. Ciri-ciri budaya Gua Babi
menunjukkan situs yang bersifat komponen ganda (multicomponent site) yang berkaitan dengan
budaya periode praneolitik hingga akhir neolitik (awal perundagian).
Dengan alat-alat batu dan tulang23 pendukung budaya Gua Babi mengeksploitasi sumber
daya makanan di sekitar gua. Salah satu makanan utama adalah siput air tawar (Gastropoda)
yang diperoleh dari areal depan gua dan sekitarnya. Diduga, pada masa lampau, areal ini adalah
lingkungan rawa (payau) ataupun sungai.24 Siput-siput ini dipecah bagian ujungnya untuk
memudahkan mengeluarkan dagingnya, dan dimasak dalam perapian yang ditemukan di tengah-
tengah teras gua. Selain mengeksploitasi siput air, penghuni gua juga melakukan perburuan
binatang25 dan meramu makanan, yang dibuktikan dengan temuan akumulasi tulang binatang di
tengah himpunan artefak batu yang sangat melimpah.
20 R.P. Soedjono (ed), Sejarah Nasional Indonesia Jilid I, Balai Pustaka, Jakarta, 1984. 21 Pada 1939 van Heekeren menemukan alat-alat batu menyerupai alat-alat tipe Hoabinh yang monofasial;Toer
Soetardjo pada 1958 menemukan sebuah kapak perimbas terbuat dari kerakal kuarsa varian jaspis, yang berbentuk bulat dan berwarna cokelat kemerahan; berukuran panjang 13cm, lebar 11cm, dan tebal 4 cm. Tim Bintarti pada 1976 menemukan alat-alat dari kuarsa yang disiapkan secara monofasial.
22 MacKinnon, op.cit. 23 Alat batu terdiri atas serut ujung, serut samping, serut cekung, serut berpunggung tinggi, gurdi, lancipan
bertangkai, bilah dipakai, lancipan, serpih dipakai, batu inti, perkurator dan batu penumbuk, batu pelandas, kapak perimbas, serpih bilah, dan sepihan; Alat tulang terdiri dari lancipan, spatula, ujung munduk dan perhiasan.
24 Harry Widianto, op.cit. 25 Binatang yang diburu antara lain monyet, bulus, musang, ayam, ikan dan kepiting.
Orang Penan (Punan) di Kalimantan, diduga memiliki budaya berburu dan pengumpul
makanan dari masyarakat pertanian.26 Mereka mengokupasi wilayah hutan Sarawak dan
Kalimantan, menempati hunian sementara dengan keluarga-keluarga kecil, berburu dengan
sumpit, memanfaatkan batang-batang sagu liar (Eugeisona utilis), mengumpulkan buah hutan
seperti rambutan, durian, dan mangga, serta mempertukarkan hasil hutan dengan masyarakat
pertanian seperti orang-orang Kayan.27 Benar-tidaknya bahwa orang Punan adalah orang Negrito
asli atau termasuk imigran Mongoloid seperti orang Dayak, gaya hidupnya mencerminkan
kehidupan manusia-manusia awal.
Penghuni kepulauan yang merupakan orang-orang pra-Austronesia kemungkinan telah
menggunakan kapak-kapak jenis edge-ground seperti yang ditemukan di Niah, tetapi belum
memanfaatkan tembikar. Meskipun mereka mengeksploitasi pohon buah, sagu, dan akar umbi,
secara sistematis mereka tidak menanam spesies ini. Bentuk paling awal dari budaya pertanian
menetap mungkin berasosiasi dengan introduksi palem sagu (Metroxylon sagu) dari Indonesia
Timur. Kemampuan memungut hasil panen sagu secara reguler mengakibatkan terbentuknya
permukiman menetap.28
Pengucap Bahasa Austronesia yang pada masa kemudian ekspansi ke Kepulauan
Indomalaya dari Asia Daratan, membawa budaya ekonomi pertanian yang mengutamakan
produksi biji-bijian, memperkenalkan tembikar, dan pahat batu (unibevelled stone adze). Diduga,
beras mulai diperkenalkan di Indonesia oleh para imigran Mongoloid Selatan, tetapi tidak ada
bukti ditemukannya budaya beras di Kalimantan.
Artefak dari situs penguburan di Gua Niah, yang berangka tahun antara 0-1.400 Masehi,
menunjukkan bahwa pada akhir masa Neolitik orang-orang Kalimantan telah memiliki budaya
yang cukup maju, yang ditandai dengan pembuatan pahat batu, tembikar, perhiasan tulang dan
cangkang moluska, peti bambu, peti kubur kayu, tikar pandan, dan tekstil katun. Masyarakat
pendukung budaya ini mempraktikkan penguburan ritual termasuk kremasi dan penguburan
sekunder. Tradisi masih dapat dilihat pada masyarakat Ngaju yang sekarang berada di
Kalimantan Tengah.
Perubahan signifikan pada gaya hidup terjadi dengan penemuan bijih besi yang
ditemukan cukup melimpah di Kalimantan. Bijih besi dibentuk menjadi belati, peralatan
pertanian, gurdi untuk melubangi sumpit, dan alat perang seperti parang dan mandau.
Kemampuan pengerjaan besi dan pembuatan peralatan dari besi kemungkinan muncul lebih awal
26 Bellwood 1985 dan Hoffman 1981 vide MacKinnon, op.cit. 27 Hose & McDougall 1912 dan Kredit 1978 vide MacKinnon, ibid. 28 Avé dan King 1986 vide MacKinnon, ibid.
berasosiasi dengan pengenalan tembaga-perunggu dan artefak besi dan teknologi yang memadai
dari Vietnam, Cina, dan India antara abad 5-10 Masehi.29 Salah satu bukti telah adanya
pemanfaatan teknologi logam adalah temuan musa (kowi) di Situs Jambu Hilir (Hulu Sungai
Selatan).30
Penggunaan peralatan dari besi memudahkan pembersihan hutan untuk penanaman beras
dan talas. Tradisi ladang berpindah masih dipraktikkan secara luas di Kalimantan sampai saat ini.
Budaya Megalitik Batu yang terdiri atas dolmen, menhir, tempayan kubur, pahatan pada batu,
dan lukisan cadas untu pemenuhan kebutuhan spiritual, baru ditemukan bukti-buktinya di daerah
sebelah utara Kalimantan. Di pemukiman Ngorek ditemukan sebanyak 50 situs penguburan yang
memperlihatkan monumen-monumen batu dan alat batu. Sampai dengan 1950, Suku Kelabit
masih melaksanakan budaya megalitik, yaitu membangun batu-batu besar.31
Kegiatan spiritual di daerah Kalimantan Selatan pada masa lampau ditandai dengan
temuan rangka manusia yang dikubur di Gua Tengkorak dengan posisi kepala menengadah,
kedua kaki terlipat, tangan kiri terbujur lurus dengan telapak tangan memegang pergelangan kaki
kiri, sementara tangan kanan menyilang di atas pinggul.32
B. MASA BERBURU DAN MENGUMPULKAN MAKANAN TINGKAT SEDERHANA
1. Pemenuhan Keperluan Hidup
Di Kalimantan Selatan, aktivitas masyarakat prasejarah pada masa berburu dan meramu
tingkat sederhana ditunjukkan dengan adanya bukti beberapa tinggalan budaya paleolit yang
ditemukan di Awangbangkal Aranio (Kabupaten Banjar) berupa kapak perimbas oleh seorang
geolog bernama Toer Soetardjo pada tahun 1958. Sebelumnya, H. Kupper pada tahun 1939 juga
menemukan alat-alat batu di daerah tepi selatan sungai Riam Kanan di Awangbangkal. Alat-alat
yang ditemukan digolongkan sebagai unsur budaya kapak perimbas dibuat dari batu kuarsa
terdiri dari 5 (lima) buah kapak perimbas dan 2 (dua) buah alat serpih.33 Bukti lain adalah
beberapa produk budaya paleolit yang menjadi koleksi Museum Lambung Mangkurat Propinsi
Kalimantan Selatan di Banjarbaru.
Dari analisis Balai Arkeologi Banjarmasin terhadap koleksi museum dapat di ketahui
tipologi dan teknologi produk budaya tersebut sehingga dapat dijadikan indikasi untuk
29 Bellwood, op.cit. 30 Nasruddin, “Ekskavasi Situs Jambu Hilir Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Provinsi Kalimantan Selatan”,
Laporan Penelitian Arkeologi Banjarmasin, 1996/1997. 31 MacKinnon, op.cit. 32 Harry Widianto dan Handini, “Ekskavasi Situs Gua Babi Tahap V Kabupaten Tabalong Provinsi Kalimantan
mengetahui tingkat kehidupan manusia prasejarah di Kalimantan Selatan. Hasil analisis tersebut
adalah :
a. Kapak perimbas, yaitu sejenis alat batu yang dipersiapkan dengan teknik pemangkasan
sederhana secara langsung dari batu-batu berakal atau dari pecahan batu yang diperoleh
dari pembenturan dengan batu-batu besar. Ciri-cirinya adalah tajaman berbentuk
konveks (cembung) atau kadang-kadang lurus yang diperoleh dari teknik pemangkasan
pada salah satu pinggiran batu (monofasial), kulit batu (korteks) masih terlihat dominan
melekat sebagian besar di permukaan alat.
b. Kapak penetak, merupakan alat batu yang disiapkan dari segumpal batu yang
mempunyai tajaman berbentuk liku-liku yang diperoleh melalui teknik pemangkasan
selang seling pada kedua pinggiran atau sisi batuan.
c. Serpih besar, merupakan akibat teknik pembenturan batuan yang menghasilkan pecahan
batu yang cukup besar, dapat digunakan sebagai alat penggaruk, serut, gurdi, penusuk
atau nisan batu. Ciri-ciri utama adalah bentuknya yang sederhana dengan
memperlihatkan kerucut pukul yang jelas. Beberapa bentuk serpih besar yang ada,
menunjukkan teknik penyiapan alat yang cukup baik. Bentuk alat secara teliti
dipersiapkan sebelum dilepaskan dari batu intinya, sehingga tampak jelas bentuk faset-
faset pada bagian dataran pukulnya.
d. Kapak genggam sederhana, merupakan alat batu yang disiapkan dari sebuah serpih
besar, dengan teknik pemangkasan pada salah satu permukaan batu untuk memperoleh
bentuk tajaman yang diinginkan. Bentuk umumnya meruncing dengan kulit batu
(korteks) masih dominan dilihat pada bagian pangkal alat sebagai tempat pegangannya. Tinggalan budaya di atas, merupakan budaya paleolitik (batu tua), karena ciri utama alat
paleolitik dalam membentuk tajamannya adalah dengan teknik pemangkasan (chipping) dan
penyerpihan (flaking). Teknik pemangkasan dilakukan pada satu muka (monofasial) maupun dua
muka (bifasial) dengan produk alat-alat masif. Teknik penyerpihan pembuatannya lebih cermat
dalam pemangkasan dan menghasilkan beberapa serpih dari komponen alat-alat non masif
dengan produk berupa alat-serpih (flake), bilah (blade), dan serut (scraper). Budaya ini
berkembang pada masa kehidupan berburu dan mengumpulkan makanan tingkat sederhana.
Pada ekskavasi situs Batu Babi juga ditemukan kapak perimbas, kayu penetak, kapak bahu
dan beberapa serpih. Benda-benda tersebut digunakan untuk mengeksploitasi sumber daya alam
dalam rangka memenuhi keperluan hidup, seperti berburu binatang, baik binatang kecil maupun
binatang besar yang ada di sungai atau di daratan. Selain untuk berburu juga digunakan untuk
meramu makanan, seperti memotong, memecah atau mencungkil.
2. Perlindungan terhadap Alam
Di daerah Indonesia bagian barat, khususnya Kalimantan dan Sumatera, curah hujan lebih
tinggi dibandingkan daerah-daerah di bagian timur karena terletak dekat dengan garis
khatulistiwa. Suhu rata-rata di daerah dataran rendah adalah 26º Celcius dan di daerah dataran
tinggi 20º Celcius, makin tinggi lokasi suatu tempat makin berkurang suhunya hingga rata-rata 6º
Celcius tiap seribu meter.34 Hujan lebat yang berlangsung selama masa pluvial menyebabkan
tumbuhnya hutan lebat di Malaya, Kalimantan, dan Sulawesi Utara, serta mengakibatkan
terjadinya banyak sungai. Sungai-sungai Sampit, Kahayan, dan Barito di Kalimantan Selatan
pernah bergabung dengan sungai-sungai di Jawa Utara dan bermuara bersama-sama di sebelah
utara Pulau Bali, di sekitar Kangean.35 Perubahan-perubahan pasang-surutnya air laut selama
Kala Plestosen menyebabkan pula perubahan naik-turunnya muka air sungai.
Lokasi hunian manusia Kala Plestosen di Kalimantan, yang diduga menempati daerah
berhutan rimba yang dibelah-belah oleh beribu-ribu sungai, di antara habitat hewan-hewan liar
seperti kijang, rusa, kerbau, gajah, ataupun buaya, memaksa manusia mengembangkan
pemikiran dan kemampuan merancang alat untuk dapat memenuhi kebutuhan makanannya
sekaligus mempertahankan diri untuk tetap hidup.
Alat-alat yang berkembang kala ini pada awalnya mengutamakan segi praktis sesuai
dengan tujuan penggunaan saja, namun pada tahap selanjutnya meningkat ke arah
penyempurnaan bentuk perkakas. Penelitian di Kalimantan, khususnya Kalimantan Selatan,
menunjukkan bukti-bukti telah dikenalnya tradisi kapak perimbas (chopper) dan tradisi serpih
(flakes).
Situs-situs yang mengandung banyak temuan kedua tradisi tersebut adalah Awangbangkal
(Banjar) dan kawasan Bukit Batu Buli (Tabalong). Kapak perimbas yang ditemukan di
Awangbangkal menunjukkan ciri-ciri bahan kuarsa varian jaspis, berbentuk bulat, berwarna
cokelat kemerahan, berukuran panjang 13cm, lebar 11,7cm, dan tebal 4cm, serta tertutup patina
dan tampak terkikis sekali. Perimping36 tampak jelas pada bagian tajaman alat. Pemangkasan
34 Van Heekeren 1972 vide R.P. Soejono (ed), ibid. 35 Marks tt. Vide R.P. Soejono (ed), ibid. 36 Tanda-tanda bekas pemakaian
pada alat ini telah dilakukan secara kasar pada satu pinggiran bidang untuk memperoleh tajaman
yang konveks.37
Temuan di kawasan Bukit Batu Buli, tepatnya Situs Gua Babi, menunjukkan kapak
perimbas terbuat dari batuan basalt, berbentuk memanjang dan lonjong menyerupai setrika
dengan dasar datar berupa permukaan asli batuan, tertutup kulit batu. Pemangkasan bevariasi 1)
terjal pada pangkal, meruncing pada distal lewat pangkasan landai ke arah dorsal; 2) miring pada
distal untuk menciptakan tajaman monofasial, dan ada upaya merapikan bidang tajaman. Serpih
banyak ditemukan pada ekskavasi Situs Gua Babi dengan bahan rijang dan basalt, berbentuk dan
ukuran yang bervariasi, tetapi cenderung tidak beraturan dengan sisi yang tumpul. Serpih dipakai
menunjukkan bekas-bekas pemakaian berupa perimping halus dan teratur pada bagian tertentu
yang kadang menutupi sebagian besar sisinya.38
Satu penemuan yang sangat penting dalam upaya menunjang kelangsungan hidup manusia
pada kala ini adalah api. Kemungkinan api mula-mula dikenal di Kalimantan sebagai gejala alam
yang berasal dari kebakaran padang rumput dan hutan kering yang disebabkan halilintar, atau
hasil gesekan dahan-dahan kering saat tertiup angin, atau sebagai nyala api hasil semburan gas
bumi yang keluar dari tempat-tempat tertentu. Fungsi apa yang dapat memenuhi berbagai
kebutuhan manusia, dari menyiapkan makanan sampai mencegah serangan binatang buas, timbul
upaya manusia untuk dapat membuat api sendiri. Secara tidak sengaja manusia berhasil
mendapat api sebagai dampak sampingan pembuatan alat-alat batu. Pembenturan batu, terutama
yang mengandung anasir besi (pyrite), menimbulkan percikan-percikan api.39
Berlainan dengan kondisi Kala Plestosen, keadaan lingkungan hidup pada Kala Pasca
Plestosen tidak banyak berbeda dengan kondisi sekarang. Corak kehidupan berburu dan
mengumpulkan makanan dari sumber daya alam masih tetap berlanjut. Pada kala ini mulai
muncul upaya lebih intensif untuk dapat mempertahankan diri dari gejala-gejala alam dan
serangan binatang buas, yaitu bertempat tinggal secara tidak tetap di dalam gua-gua alam. Tipe
gua yang dipilih terutama adalah ceruk payung (rock shelter), yang pada suatu saat akan
ditinggalkan dan berpindah ke lokasi gua yang lain.
Upaya mencari lokasi permukiman yang lebih menguntungkan dan aman, kemampuan
membuat perkakas perlindungan diri lebih berkembang, yaitu secara umum dengan
berlangsungnya tradisi serpih-bilah, alat tulang, kapak genggam Sumatera. Dari penelitian Situs
Gua Babi diketahui bahwa tradisi yang berkembang adalah serpih-bilah dan alat tulang. Teknik
Dengan ditemukannya sisa binatang di atas menunjukan bahwa aktivitas masyarakat
zaman ini adalah perburuan binatang kecil (small-game hunting) dan perburuan binatang air
(aquatic hunting).
Dari banyaknya cangkang moluska yang ditemukan menunjukkan makanan tersebut sangat
digemari dan mudah cara mendapatkannya, di samping binatang lainnya. Sampai sekarang pun
masyarakat Banjar masih mengkonsumsi moluska yang dikenal dengan haliling yang dimasak 52 Fadila Arifin Aziz, Berkala Arkeologi Amerta No. 21, Proyek Peningkatan Penelitian Arkeologi Jakarta, 2001,
hal. 34. 53 Bambang Sugiyanto, “Temuan Moluska dari Situs Gua Babi, Lubang Payau, dan Gua Kimanis: Studi
Perbandingan Pola Subsistensi Makanan, dalam Bulletin Arkeologi Naditira Widya No. 04, Balai Arkeologi Banjarmasin, 2000, hal. 4.
dengan lemak santan. Bagian puncaknya dipotong untuk memudahkan mengeluarkan isinya
dengan cara mengecup bagian permukaan. Variasi makanan lainnya adalah jenis umbi-umbian,
buah-buahan dan akar-akaran yang tumbuh di sekitar Gua Babi yang ditawarkan oleh kawasan
hutan hujan tropik yang terkenal subur. Binatang buruan selain sebagai sumber energi makanan,
bagian tubuhnya juga dimanfaatkan sebagai alat kerja dan perhiasan seperti tulang, tanduk dan
kulit (kerang).
Itulah aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat prasejarah di Kalimantan Selatan dalam
berinteraksi dengan lingkungan. Alat pendukung yang diproduksi merupakan hasil budaya yang
tercipta dalam rangka menjawab tantangan untuk memenuhi keperluan hidup. Menurut
penelitian di situs Batu Babi, bahan yang digunakan untuk membuat peralatan bukan berasal dari
daerah sekitar, tetapi diambil dari sungai Uya yang berjarak sekitar 2 km dari gua hunian.
Selain situs Batu Babi, ekskavasi juga dilakukan di situs Jambu Hilir. Ada beberapa
produk budaya mesolitikum yang ditemukan, yaitu batu giling dan serpih dari jenis batu rijang
dan batu pukul bersama-sama dengan temuan gerabah. Gerabah adalah benda yang paling
banyak ditemukan dan berasal dari masa bercocok tanam.
2. Kehidupan Masyarakat
Cara hidup manusia pada masa berburu tingkat lanjut masih dipengaruhi oleh cara hidup
pada masa sebelumnya. Faktor-faktor alam seperti iklim, kesuburan tanah dan keadaan binatang,
sangat berpengaruh dan menentukan cara hidup mereka sehari-hari.54 Hidup mereka masih
sepenuhnya tergantung kepada alam lingkungan.55
Mereka hidup berburu binatang di dalam hutan, menangkap ikan, mencari kerang dan siput
di laut atau di sungai dan mengumpulkan makanan dari alam sekitarnya, misalnya umbi-umbian
seperti keladi, buah-buahan atau biji-bijian dan daun-daunan. Hidup berburu dan mengumpul
makanan cara hidup yang pokok pada masa itu.
Selama tinggal di dalam gua-gua mereka mengerjakan alat-alat yang diperlukan,
melukiskan sesuatu di dinding gua itu, yang menggambarkan pengalaman, perjuangan dan
harapan hidup. Lukisan-lukisan itu dibuat dengan cara menggores pada dinding-dinding karang
atau gua atau dengan mempergunakan bahan-bahan cat yang berwarna merah, hitam atau putih.
Sumber inspirasi lukisan-lukisan ini adalah cara hidup mereka yang serba bergantung kepada
alam lingkungannya yaitu hidup berburu dan mengumpulkan makanan. Lukisan ini