Top Banner
SIMPOSIUM NASIONAL AKUNTANSI (SNA) KE XI PONTIANAK, 23 - 24 JULI 2008 1 EKSISTENSI LAPORAN NILAI TAMBAH SYARI’AH BERBASIS REZEKI Oleh: Aji Dedi Mulawarman 1 Universitas Cokroaminoto Yogyakarta Abstract The objective of this research is to prove the existence of Shari’ate Value Added Statement from the real transaction and business habitus of Indonesian Moslem Society. Study is conducted by utilising Hyperphenomenology Methods. The major result shows that rizq becomes a substance of Shari’ate Value Added concept. This means that rizq is actually value added gained (financial, social and environmental) and has been purified (becomes halal, thoyib and free from riba) in every process of its attainment, result to distribution. The consequences of the major result are that the form of the Shari’ate Value Added Statement have quantitative and qualitative elements that must be stated in one form, not separated. Keywords: Rizq, Shari’ate Value Added, Shari’ate Value Added Statement. 1. PENDAHULUAN Penelitian ini bertujuan untuk meneliti lebih jauh eksistensi Laporan Nilai Tambah Syariah sebagai bagian dari Laporan Keuangan Syariah. Pengembangan laporan keuangan syari’ah banyak dilakukan misalnya oleh Gambling dan Karim (1991); Baydoun dan Willett (1994; 2000); perluasan Baydoun dan Willett (1994) oleh Sulaiman (2000; 2001); Sulaiman dan Willett (2003); dan Mulawarman (2006; 2007a; 1 HP 081 555 600745 ; email [email protected] ; website http://ajidedim.wordpress.com
28

ÿþM i c r o s o f t W o r d - p a p e r

Jan 21, 2017

Download

Documents

phamdieu
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: ÿþM i c r o s o f t   W o r d   - p a p e r

SIMPOSIUM NASIONAL AKUNTANSI (SNA) KE XIPONTIANAK, 23 - 24 JULI 2008

1

EKSISTENSI LAPORAN NILAI TAMBAH SYARI’AH BERBASIS REZEKI

Oleh: Aji Dedi Mulawarman1

Universitas Cokroaminoto Yogyakarta

Abstract

The objective of this research is to prove the existence of Shari’ate Value Added

Statement from the real transaction and business habitus of Indonesian Moslem

Society. Study is conducted by utilising Hyperphenomenology Methods. The major

result shows that rizq becomes a substance of Shari’ate Value Added concept. This

means that rizq is actually value added gained (financial, social and environmental)

and has been purified (becomes halal, thoyib and free from riba) in every process of

its attainment, result to distribution. The consequences of the major result are that the

form of the Shari’ate Value Added Statement have quantitative and qualitative

elements that must be stated in one form, not separated.

Keywords: Rizq, Shari’ate Value Added, Shari’ate Value Added Statement.

1. PENDAHULUAN

Penelitian ini bertujuan untuk meneliti lebih jauh eksistensi Laporan Nilai Tambah

Syariah sebagai bagian dari Laporan Keuangan Syariah. Pengembangan laporan

keuangan syari’ah banyak dilakukan misalnya oleh Gambling dan Karim (1991);

Baydoun dan Willett (1994; 2000); perluasan Baydoun dan Willett (1994) oleh

Sulaiman (2000; 2001); Sulaiman dan Willett (2003); dan Mulawarman (2006; 2007a;

1 HP 081 555 600745 ; email [email protected] ; website http://ajidedim.wordpress.com

Page 2: ÿþM i c r o s o f t   W o r d   - p a p e r

SIMPOSIUM NASIONAL AKUNTANSI (SNA) KE XIPONTIANAK, 23 - 24 JULI 2008

2

2007b). Pengembangan laporan keuangan syari’ah oleh Mulawarman (2007c) disebut

Laporan Keuangan Syariah. Laporan Keuangan Syariah terdiri dari Laporan Nilai

Tambah Syariah (Mulawarman 2006), Neraca Syariah (Mulawarman 2007a) dan

Laporan Arus Kas Syariah (Mulawarman 2007b).

Khusus mengenai Laporan Nilai Tambah Syariah (2006) terdiri dari laporan

kuantitatif dan kualitatif yang saling terikat satu sama lain dan bersifat mandatory

(wajib). Laporan kuantitatif mencatat aktivitas finansial-sosial-lingkungan (akun

kreativitas) dan bersifat halal-thoyib-bebas riba (akun ketundukan) (Tabel 1).

Laporan kualitatif berupa catatan laporan yang tidak dapat dimasukkan dalam laporan

kuantitatif serta berkenaan dengan bentuk transaksi batin-spiritual.

Hanya masalahnya terpisahnya laporan tersebut apabila diterapkan di lapangan

dapat memberi peluang perusahaan mementingkan penyampaian akuntabilitas dan

informasi kuantitatif. Laporan kualitatif meskipun bersifat mandatory akhirnya

kembali menjadi laporan pseudo-mandatory. Pseudo-mandatory di sini dapat

diartikan bahwa laporan kualitatif secara substansial bersifat mandatory, tetapi

praktiknya di lapangan menjadi “mandul”, bahkan akan tergeser menjadi laporan

voluntary. Dengan demikian, perlu penyesuaian bentuk laporan nilai tambah syari’ah

secara teknologis menjadi satu kesatuan tak terpisah secara konkrit.

Diingatkan oleh Triyuwono (2007) bahwa konsep nilai tambah syari’ah

merupakan nilai tambah ekonomi, mental dan spiritual yang diperoleh, diproses dan

didistribusikan dengan cara yang halal. Pemaknaan nilai tambah syari’ah dari

Triyuwono (2007) dapat dijadikan source tambahan penjelasan bentuk laporan nilai

tambah syari’ah. Meskipun penjelasan tersebut baru melihat pembentukan, proses dan

distribusi nilai tambah harus memenuhi prinsip halal. Mulawarman (2006) sendiri

Page 3: ÿþM i c r o s o f t   W o r d   - p a p e r

SIMPOSIUM NASIONAL AKUNTANSI (SNA) KE XIPONTIANAK, 23 - 24 JULI 2008

3

sebenarnya telah menjelaskan bahwa pembentukan, proses dan distribusi nilai tambah

tidak hanya berkenaan dengan masalah halal, tetapi juga harus bersifat thoyib (baik

halal dan thoyib lebih berkenaan dengan produk) dan bebas riba (lebih berkenaan

dengan kontrak atau akad2). Dengan demikian pembentukan, proses dan distribusi

nilai tambah syari’ah (baik ekonomi, mental dan spiritual) harus memenuhi prinsip

halal, thoyib dan bebas riba.

Konsep nilai tambah syariah Triyuwono (2007) bila dilihat lebih jauh juga

masih melihat shariate enterprise theory sebagai basis akuntansi syariah idealis3 yang

memiliki asumsi dasar manusia sebagai khalifatullah fil ardh (wakil Allah di bumi).

Dijelaskan Mulawarman (2007b) bahwa shariate enterprise theory bila memang

memiliki substansi akuntansi berpasangan, maka harus melihat asumsi dasar manusia

dalam substansi akuntansi berpasangan pula. Asumsi dasar manusia dalam Islam di

samping sebagai khalifatullah fil ardh juga memiliki asumsi dasar pasangannya, yaitu

manusia sebagai abd’ Allah (konsep kepatuhan dan ketundukan manusia kepada

Allah). Prinsip berpasangan abd’ Allah dan khalifatullah fil ardh telah memberikan

solusi implementasi konsep teknologi akuntansi syariah yang memiliki dua akun

utama, yaitu akun ketundukan (representasi abd’ Allah) dan akun kreativitas

(representasi khalifatullah fil ardh)4.

2Riba berarti menetapkan bunga/melebihkan jumlah pinjaman saat pengembalian berdasarkan

persentase tertentu dari jumlah pinjaman pokok, yang dibebankan kepada peminjam. Ada beberapapendapat dalam menjelaskan riba, namun secara umum terdapat benang merah yang menegaskanbahwa riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual-beli maupun pinjam-meminjamsecara bathil atau bertentangan dengan prinsip muamalat dalam Islam.3Aliran pragmatis biasanya menyepakati Entity Theory (lihat Syahatah 2001, Zaid 2004, Adnan 2005).4 Teknologi akuntansi syariah berbentuk laporan keuangan syariah (Mulawarman 2007c), yangmemiliki tiga laporan utama, yaitu Laporan Arus Kas Syariah (Mulawarman 2007a), Laporan NilaiTambah Syariah (2006) dan Neraca Syariah (Mulawarman 2007b)

Page 4: ÿþM i c r o s o f t   W o r d   - p a p e r

SIMPOSIUM NASIONAL AKUNTANSI (SNA) KE XIPONTIANAK, 23 - 24 JULI 2008

4

Laporan Nilai Tambah Syari’ah juga perlu diuji secara empiris. Desain

Laporan Nilai Tambah Syari’ah sebenarnya masih menyisakan masalah berkaitan

realitas akuntansi, terutama realitas masyarakat Muslim Indonesia. Artinya, nilai

tambah syari’ah sebagai basis konseptual laporan perlu dilihat secara kontekstual dari

nilai-nilai masyarakat Muslim Indonesia.

Mulawarman (2007c) telah melakukan studi empiris bahwa terdapat

keserasian antara sirah Muhammad saw. dan realitas empiris saat ini yang dapat

dijadikan source bentuk Trilogi Laporan Keuangan Syari’ah. Trilogi Laporan

Keuangan Syari’ah merupakan kesatuan konsep ma’isyah (bekerja) untuk

mencari rezeki (rizq) sehingga berdampak pada maal (kekayaan) penuh barokah.

Konsep ma’isyah dijadikan sebagai basis aliran kas syari’ah, rizq basis nilai tambah

syari’ah, dan maal basis neraca syari’ah. Untuk memudahkan lihat gambar di

Gambar 1 (Lampiran).

Berdasarkan latar belakang di atas diperlukan penyesuaian lebih lanjut bentuk

Laporan Nilai Tambah Syariah. Pertanyaannya kemudian, apakah memang nilai

tambah syariah secara kontekstual memiliki eksistensinya dalam realitas bisnis dan

akuntansi masyarakat Muslim Indonesia? Bila memang eksis, apakah konsep rezeki

memang dapat dijadijan sebagai bentuk Laporan Nilai Tambah Syariah sesuai tradisi

bisnis dan akuntansi masyarakat Muslim Indonesia? Terumuskannya Laporan Nilai

Tambah Syari’ah yang sesuai eksistensi bisnis dan akuntansi masyarakat Muslim

Indonesia diharapkan; (1) akuntansi syari’ah yang masih berada pada tataran filosofis-

teoritis segera dapat diimplementasikan; (2) memberi kontribusi praktis bagi para

akuntan melakukan praktik sesuai nilai-nilai Islam dan tujuan syari’ah; (3) memberi

bukti empiris masyarakat Muslim Indonesia sebenarnya masih melakukan aktivitas

Page 5: ÿþM i c r o s o f t   W o r d   - p a p e r

SIMPOSIUM NASIONAL AKUNTANSI (SNA) KE XIPONTIANAK, 23 - 24 JULI 2008

5

akuntansi sesuai nilai-nilai syari’ah yang dapat dijadikan source pengembangan

laporan keuangan; (4) memberi kontribusi konstruktif penyusunan standar akuntansi

keuangan perbankan maupun perusahaan syari’ah.

2. LAPORAN NILAI TAMBAH SYARI’AH: IN THE BEGINNING

Konsep nilai tambah berasal dari implementasi penghitungan GNP (Gross National

Product) ekonomi makro, dan diterapkan dalam dunia akuntansi (Staden 2000;

Glautier dan Underdown 1992, 409). Beberapa pemikir ekonomi kritis seperti

Ormerod (1998), Daly dan Cobb (1989) dalam Ormerod (1998), Axelrod (1984)

dalam Ormerod (1998), dan banyak lainnya memandang bahwa pengukuran GNP

hanya dapat memotret ekonomi dan kemakmuran masyarakat suatu negara secara

kuantitatif. GNP tidak dapat melihat transaksi non ekonomi seperti pencemaran

lingkungan dan pekerjaan rumah tangga, maupun black economy.

Mudahnya GNP hanya dapat mengukur pertumbuhan ekonomi tetapi tidak

dapat mengukur yang dikatakan Dixon (2004) sebagai “overall social well-being”,

seperti degradasi sosial dan lingkungan akibat aktivitas perusahaan. Ketidakmampuan

GNP mengukur kepentingan sosial dan lingkungan menurut Bev (2007) karena GNP

hanya didasarkan pada pengukuran kuantitatif.

Perkembangan terbaru berkenaan pengukuran tingkat kemakmuran suatu

negara memerlukan bentuk baru disebut Gross National Happiness (GNH) 5. GNH

5 GNH diusulkan pertama kali oleh Raja Bhutan Jigme Singye Wangchuck tahun 1972 untukmenyatukan perencanaan ekonomi dan pembangunan secara holistik.

Page 6: ÿþM i c r o s o f t   W o r d   - p a p e r

SIMPOSIUM NASIONAL AKUNTANSI (SNA) KE XIPONTIANAK, 23 - 24 JULI 2008

6

mengadopsi baik pendekatan kuantitatif maupun kualitatif dan berbasis perspektif

holistik. Pendekatan tersebut disebut Bev (2007) sebagai pendekatan keseimbangan

yang baik antara pikiran dan hati. GNH memiliki empat pilar utama, yaitu:

“promotion of equitable and sustainable socio-economic development; preservation

and promotion cultural values; conservation of natural development; and

esthablishment of good-governance” (lihat juga misalnya Hirata 2005; Frey and

Stutzer 2007; Revkin 2005 dan banyak lainnya). Perubahan pola pengukuran nilai

tambah dalam konteks ekonomi makro dapat kita lihat telah berubah dari pengukuran

bersifat ekonomi dan kuantitatif menuju model pengukutan bersifat holistik dan

mengadopsi secara kuantitatif-kualitatif.

Demikian pula konsep nilai tambah dari domain akuntansi. Penggunaan

konsep nilai tambah biasanya digunakan oleh aliran akuntansi sosial-lingkungan.

Hanya masalahnya terdapat dua aliran akuntansi sosial-lingkungan, yaitu aliran

middle ground dan non middle ground (Gray et al. 1995; 1996). Aliran middle ground

menggunakan konsep nilai tambah berbasis kepentingan perusahaan, sehingga

mengkreasi informasi dan pertanggungjawaban ekonomi-sosial-lingkungan juga

berbasis kepentingan keuntungan stockholders. Aliran non middle ground di sisi lain

menggunakan nilai tambah untuk informasi dan akuntabilitas sosial lingkungan

berbasis kuantatif maupun kualitatif, untuk kepentingan lebih luas, yaitu stakeholders.

Meskipun seperti ditegaskan Mulawarman (2006) penggunaan konsep nilai

tambah berbasis stakeholders oleh aliran non-middle ground, ternyata masih

menekankan kepentingan bersifat materi. Aliran non middle ground tidak dapat

memotret realitas di luar materi. Memaknai laba akuntansi tanpa terjebak materialitas

sebenarnya telah digali secara mendalam oleh Subiyantoro dan Triyuwono (2004).

Page 7: ÿþM i c r o s o f t   W o r d   - p a p e r

SIMPOSIUM NASIONAL AKUNTANSI (SNA) KE XIPONTIANAK, 23 - 24 JULI 2008

7

Penafsiran ini pada dasarnya merupakan konsepsi atas ekspresi kebebasan manusia

dari sebuah interaksi sosial yang menghasilkan nilai lebih (value added/VA). Laba,

sebagaimana merupakan ekspresi kebebasan manusia, merupakan representasi nilai

kebebasan manusia yang sekaligus menjunjung tinggi hakikat manusia dari esensi

kemanusiaannya. Mengembalikan hakikat manusia tidak saja berpedoman pada aspek

fisiologis dan psikologis, tetapi juga pada aspek religius.

Konsep nilai tambah lebih operasional disebut Mulawarman (2006) sebagai

nilai tambah syariah (Shari’ate Value Added/SVA). Konsep nilai tambah syari’ah

berasal dari perlakuan ta’wil (metafora) atas konsep zakat. SVA secara definitif

menurut Mulawarman (2006, 292-303) adalah pertambahan nilai (zaka) material

(baik finansial, sosial dan lingkungan) yang telah disucikan (tazkiyah) mulai dari

pembentukan, hasil sampai distribusi (zakka), kesemuanya harus halal dan tidak

mengandung riba (spiritual) serta thoyib (batin). Implikasinya, pertama, proses

pembentukan VA dalam batas-batas yang diperbolehkan syara’ (halal) dan

bermanfaat/menenangkan batin (thoyib). Sebaliknya aktivitas ekonomi yang

melanggar ketentuan adalah Haram. Kedua, pertumbuhan harta dan mekanisme usaha

harus dilakukan untuk menghilangkan sifat berlebihan dalam perolehan harta dan

menjalankan aktivitas usaha bebas riba6. Ketiga, distribusi VA harus dilakukan secara

optimal untuk kebaikan sesama, merata dan tidak saling menegasikan. Seberapapun

keikutsertaan harus dicatat dan diakui sebagai potensi mendapat hak pembagian VA.

3. KONSEP REZEKI DALAM ISLAM

6 Dari sisi finansial, bebas riba adalah kerja sama berdasar prinsip bai’ atau bagi hasil. Dari sisikepentingan sosial dan lingkungan, bebas riba dengan melakukan relasi sosial dan lingkungan alamsecara pro-aktif berlandaskan prinsip shadaqah.

Page 8: ÿþM i c r o s o f t   W o r d   - p a p e r

SIMPOSIUM NASIONAL AKUNTANSI (SNA) KE XIPONTIANAK, 23 - 24 JULI 2008

8

Mencari rezeki dalam perspektif Islam adalah bentuk ma’isyah setiap Muslim yang

berdampak kekayaan penuh berkah. Perolehan rezeki berbentuk uang atau harta jika

tanpa niatan untuk beribadah menuju ketakwaan, maka niat tersebut hanya sebatas

keuntungan yang didapat. Ketika mencari rezeki diniatkan dan diibadahkan untuk

selalu mengharap ridha Allah, maka rezeki tersebut memberi keuntungan atau laba

dalam arti bernilai lebih dan barakah.

Bila dilihat lebih lanjut, sifat Allah yang Maha memberi Rahmat, Rahman dan

Berkah hanya diperuntukkan bagi manusia yang memang bekerja dengan orientasi

ketakwaan. Sedangkan sifat Allah yang Maha memberi Rahim memang

diperuntukkan untuk seluruh manusia. Artinya, bila manusia mencari rezeki tetapi

tidak disertai takwa, mereka tetap mendapatkan rezeki sesuai dengan kerjanya, tetapi

tidak mendapatkan berkah, rahmat dan rahman dari Allah.

Konsep Rezeki7 sebenarnya bersandarkan pada kata utama dari satu nama

Allah, yaitu Rabb. Kata Rabb dapat ditemukan misalnya dalam Al Qur’an Surat Al

Fathihah ayat 2, Rabb yang berada dalam satu kalimat Rabbil’alamin, menunjuk

Tuhan sebagai Tuhan Yang Ditaati, Yang Memiliki, Yang Mendidik dan Yang

Memelihara. Sedangkan dalam etimologi Arab dapat berarti dua hal, yaitu Penguasa

(Sovereign) dan Pemberi Rezeki (Sustainer) (Muslehudin 2004, 100). 8

7 Beberapa konsep kunci penting mengenai rezeki menurut Al Qur’an, pertama, rezeki berasal dariAllah (QS. 51: 22, Huud: 6, Az Zukhruf: 32). Kedua, rezeki harus dihitung sesuai akhlak Islami (QS.14: 34). Ketiga, semua perolehan rezeki berkaitan dengan penegasan keimanan dan ketakwaanseseorang (QS. 7:96). Keempat, rezeki yang berorientasi ketakwaan akan memunculkan berkah (QS.Huud: 73; QS. 7: 96) dan kemenangan yang besar (QS. Al Ahzaab: 70-71).8 Muslehudin (2004) menghubungkan dua makna tersebut sebagai sebuah hubungan antara konteksekonomi dan politik, tetapi dalam konteks penelitian ini tidak akan membahas hal tersebut lebih jauh.Yang jadi perhatian di sini adalah menekankan salah satu makna yang berhubungan dengan konsepsiekonomi, yaitu pemberi rezeki.

Page 9: ÿþM i c r o s o f t   W o r d   - p a p e r

SIMPOSIUM NASIONAL AKUNTANSI (SNA) KE XIPONTIANAK, 23 - 24 JULI 2008

9

Rezeki dalam kata Rabb di sini bermakna bahwa Allah adalah tempat dan

pusat dari rezeki itu sendiri. Hanya Allah pemilik dan pemberi Rezeki atau

kenikmatan baik dunia maupun akhirat. Rezeki dengan demikian terikat dengan

konteks spiritualitas. Kita tidak dapat memisahkan konteks rezeki atau kehidupan

dunia yang penuh kenikmatan misalnya dengan kehidupan di akherat. Artinya, dalam

makna rezeki itu sendiri telah melekat dua prinsip akuntansi yang tak terpisahkan.

Dalam nash Qur’an makna rezeki atau penghidupan seperti tertulis dalam Surat An-

Naba’ ayat 11 ”Dan kami jadikan siang untuk mencari penghidupan”

Dari penelusuran konsep Qur’an tersebut dapat dimaknai bahwa sebenarnya

konsep rezeki atau penghidupan memang sangat sarat dengan nilai-nilai Ketuhanan

(Ilahiyyah), sarat-sarat nilai kesucian atas apa yang kita lakukan dalam menjalani

hidup. Semua ini menurut Muslehudin (2004, 102) merupakan implementasi dari

Keadilan Ilahi yang bertujuan untuk keadilan sosial yang diupayakan oleh Hukum

Ilahi. Allah menjanjikan penghidupan kepada semua makhlukNya bahkan membagi

berdasarkan kebutuhan dan kapasitasnya. Kepada sebagian orang, Allah memberi

kelimpahan, sementara kepada sebagian lainnya memberikan keterbatasan, tetapi

dengan janji Allah bahwa Allah akan menjaga semua bertahan dengan tidak

mengalami pengurangan. Prinsip keadilan dalam akuntansi seperti juga dijelaskan

(Irianto 2003; 2006) adalah bentuk perilaku bisnis dan pencatatan dalam melihat

perolehan keuntungan harus tetap mengedepankan amanat Tuhan, dan bahkan

menghadirkanNya dalam proses pencatatan transaksi bisnis itu sendiri.

4. METODE PENELITIAN: HYPERPHENOMENOLOGY METHODS

Page 10: ÿþM i c r o s o f t   W o r d   - p a p e r

SIMPOSIUM NASIONAL AKUNTANSI (SNA) KE XIPONTIANAK, 23 - 24 JULI 2008

10

Penelitian ini menggunakan Hyperphenomenology Methods, yaitu salah satu

pengembangan lanjut metode fenomenologi untuk menggali lebih jauh makna

aksiologis Nilai Tambah Syari’ah dalam akuntansi syari’ah. Artinya fenomenologi di

sini tidak hanya berpaku pada Paradigma Interpretif yang diturunkan dari Germanic

Philosofical Interests yang menekankan pada peranan bahasa, interpretasi dan

pemahaman atas subyek materi dan mental (Hardiman 2003, 60).

Metode fenomenologi tidak melakukan pemaknaan subyek yang masih

bersifat materi dan mental saja, atau bahkan hanya terpaku pada nilai spiritualitas

postpatriarkal dari Capra misalnya (1999). Interpretif yang dipakai di sini adalah

melakukan Pemaknaan Laba lebih dari memaknai bentuk subyektivitas materi dan

mental. Memaknai laba dari konsepsi Islam memang lebih menerobos makna nilai

dan gagasan yang muncul dari substance of spirituality, substance of God’s Value’s.

Inilah yang disebut dengan Hyperphenomenology. Langkah-langkahnya adalah

sebagai Intentional Analysis, Epoche, Eidetic Reduction.

Menurut Sanders (1982) esensi analisis intensional adalah analisis korelasi

antara obyek yang dipersepsikan (Noema) dan pemahaman subyekif (Noesis) pada

obyek atau pengalaman. Intensionalitas merupakan arti keseluruhan dari obyek,

dimana yang biasanya hanya dipahami atau dipersepsikan secara parsial.

Intensionalitas adalah bentuk langsung dan internal dari pengalaman atau kesadaran.

Dalam penelitian ini akan dilakukan pemahaman konsep laba (Noema) dalam

pengalaman bisnis (Noesis). Meskipun hal itu perlu dilakukan Analisis pelampauan

(Hyper Analysis) ekspektasi dan bentuk pengalaman yang masih berbasis nilai obyek

laba yang materi saja. Hal itu hanya kana menggali makna laba materi (obyek) dan

tidak dapat menggali makna laba yang bersifat non materi (non obyek) seperti aspek

Page 11: ÿþM i c r o s o f t   W o r d   - p a p e r

SIMPOSIUM NASIONAL AKUNTANSI (SNA) KE XIPONTIANAK, 23 - 24 JULI 2008

11

Realitas Absolut (Allah) sebagai pintu utama masuknya teori dan pengetahuan

(akuntansi) dan makna Tazkiyah An Nafs (Pensucian) setiap individu. Pemaknaan

teknis SVA adalah Realitas Absolut dan Tazkiyah An Nafs dalam konsep Rezeki.

Berkaitan dengan perilaku peneliti dalam melakukan penggalian data lapangan

menurut Sanders (1982) disebut Epoche atau disebut Husserl sebagai Bracketing

(Prasenjit 2002). Epoche adalah prosedur dan perilaku (attitude) peneliti yang

digunakan dalam bentuk pertanyaan yang harus dimunculkan berkaitan dengan

masalah metafisika yang sebenarnya terikat dalam mental individu.

Eidetic reduction adalah proses abstraksi esensi dari kesadaran atau

pengalaman dengan menggunakan intuisi dan refleksi. Eidetic berasal dari kata Eidos

yang berarti idea atau form (essence). Eidetic Reduction adalah aksi yang berasal dari

ekspresi konkret pada fenomena khusus (particular phenomenon) menjadi esensi

murni yang universal (universal pure essences) (Sanders 1982).

Terdapat tiga komponen fundamental dalam desain riset fenomenologi, yaitu

menetapkan batasan apa dan siapa yang diinvestigasi, koleksi data dan analisis

fenomenologis data (Sanders 1982).

4.1. Penetapan Batasan

Konsep laba digali secara empiris di lapangan dengan informan pemilik (Pak

Abbas) sebuah perusahaan di Malang yang bergerak di bidang real estat dan

pertambangan batubara, leveransir bahan bangunan di Malang (Pak Ishar), produsen

alat bantu mebelair di Jepara (Pak Aziz), manajer BMT di Pasuruan (Pak Dumairi).

Disamping itu juga akan dilakukan penggalian makna laba dalam konteks rezeki dari

konteks nash Al Qur’an dan Sunnah.

4.2. Koleksi Data

Page 12: ÿþM i c r o s o f t   W o r d   - p a p e r

SIMPOSIUM NASIONAL AKUNTANSI (SNA) KE XIPONTIANAK, 23 - 24 JULI 2008

12

Koleksi data dilakukan dengan tiga langkah (Stone 1979 dalam Sanders 1982):

1. Interview historis langsung dengan cara semistruktur dengan subyek

menggunakan tape recorder dan pencatatan.

2. Studi dokumentasi apa yang telah ditulis dari hasil wawancara (langkah

pertama) dengan subyek untuk menderivasikan ‘makna’.

3. Teknik observasi sebagai partisipan, yaitu observasi subyek dalam situasi

aktual di lapangan untuk melihat secara langsung perilaku yang

berhubungan dengan fenomena yang diinvestigasi. Hal ini juga

menggunakan interview untuk mengeksplorasi perilaku secara mendalam.

4.3. Analisis Fenomenologis Data

Tahap ketiga fenomenologi adalah melakukan analisis isi transkripsi hasil

koleksi data. Terdapat empat langkah yang harus dilakukan:

1. Deskripsi fenomena berdasarkan hasil interview yang direkam dalam tape

recorder. Pencatatan narasi berhubungan dengan identifikasi dan deskripsi

kualitas pengalaman dan kesadaran manusia yang memunculkan keunikan

identitas dan pandangan subyek.

2. Identifikasi tema-tema atau invariants yang muncul dalam deskripsi.

Tema-tema merujuk ‘pesan-pesan’ umum yang muncul di dalam dan antar

narasi. Tema-tema diidentifikasi berbasis pada kepentingan sentral

pemikiran subyek.

3. Pengembangan korelasi noetic/Noematic. Korelasi tersebut merupakan

refleksi tema-tema yang muncul. Korelasi noetic/Noematic

merepresentasikan persepsi individual atas realitas dari fenomeman yang

diinvestigasi. Interpretasi korelasi merupakan langkah yang penting untuk

Page 13: ÿþM i c r o s o f t   W o r d   - p a p e r

SIMPOSIUM NASIONAL AKUNTANSI (SNA) KE XIPONTIANAK, 23 - 24 JULI 2008

13

mengidentifikasi esensi fenomena atau apa yang menjadi esensi dari

pengalaman.

4. Abstraksi esensi atau universalitas dari korelasi noetic/Noematic. Langkah

ini memerlukan kemampuan intuitif dan refleksi atau eidetic reduction.

Jika Noema adalah melakukan deskripsi “what of experience” dan Noesis

melakukan “how of experience”, maka kemudian yang harus dilakukan

kemudian adalah esensi “why of experience”.

5. PEMBAHASAN: REZEKI SEBAGAI BASIS NILAI TAMBAH SYARIAH

Gagasan tentang konsep rezeki sebagai dasar penetapan nilai tambah masih

dianut banyak masyarakat muslim di Indonesia, seperti ketika ditemui peneliti saat

melakukan wawancara dengan pak Abbas dan pak Dumairi. Pak Abbas melihat

bahwa prinsip berusaha keras dari pak Abbas dianggap sebagai kewajiban

melaksanakan amanah Allah sebagai abdi-Nya, untuk mendapatkan rezeki yang

bernilai tambah. Hal ini nampak ketika pak Abbas menjelaskan makna rezeki:

Rezeki menjadi bermanfaat bagi kita ketika kita melihatkebahagiaan, kebaikan bagi kita di dalamnya. Sekaligus kebaikandan kebahagiaan bagi orang lain.

Nilai tambah kebaikan sekaligus nilai tambah materi. Hal ini nampak ketika pak

Abbas mendefinisikan rezeki yang mirip dengan konsep nilai tambah syari’ah:

Rezeki menjadi tidak bermanfaat ketika hanya mengejar keuntungansemata. Rezeki menjadi bermanfaat bagi kita ketika kita melihatkebahagiaan, kebaikan bagi kita di dalamnya. Sekaligus kebaikandan kebahagiaan bagi orang lain. Contohnya, ketika saya didatangikontraktor untuk melakukan penelitian dan eksplorasi awal arealbatubara di Tenggarong. Saya selalu mengatakan, mas jangan dilihatapakah kerjasama kita ini bermanfaat bagi saya aja ataumenguntungkan anda saja. Tapi kerjasama ini harus memberi

Page 14: ÿþM i c r o s o f t   W o r d   - p a p e r

SIMPOSIUM NASIONAL AKUNTANSI (SNA) KE XIPONTIANAK, 23 - 24 JULI 2008

14

manfaat dan rezeki yang barokah bagi anda juga dan terutama bagipenduduk sekitar. Saya dapat berapa dari situ ya tergantung hitungandan studi anda di lapangan. Saya juga sudah ketemu dengan lurahdan teman-teman dayak di sana, mereka mau membantu di lapanganasal jangan seperti MHU9 yang tugasnya Cuma ngeruk batu baraterus tinggal gelanggang colong playu.

Ditegaskan pak Abbas:

Setiap orang harus kaya, setiap orang harus berbagi dengansesamanya, dan setiap orang harus menjalankannya denganberorientasi pada hari akhir.

Pandangan mirip Pak Abbas dijelaskan oleh Pak Ishar:

Kalo cari rejeki itu memang untuk usaha memperoleh kekayaan yamemang itu kan tujuan kita usaha, bisnis, bekerja, meskipun itu tetapberpedoman pada tujuan ibadah kita kepada Allah.

Pandangan menarik mengenai konsep rezeki yang lebih dekat dengan konsep nilai

tambah adalah komentar dari Pak Aziz . Menurutnya rezeki adalah:

Rejeki yang saya dapat dari usaha saya jelas harus memiliki nilaitambah yang penting karena menjalankan aktivitas berdasarkan ibadahyang saya lalukukan setiap waktu. Ibadah itu semoga saja berdampakpada nilai tambah usaha saya, keluarga, orang-orang yangmemanfaatkan produk saya . Nah kalo sudah gitu artinya ibadah sayamemang bermanfaat secara sosial kan?

Lebih lanjut Pak Aziz melihat bahwa rezeki itu tidak hanya berbasis tumpukan materi:

Cari rejeki itu karena Allah, jadi gak perlu ngoyo. Yang pentinglumintu, dapat rejeki supaya ada nilai tambah yang bisa ditabung dandibelikan perangkat pabrikan. tetapi tidak serakah dan harus tetapbernilai barokah. Gak etis kalo misalnya sudah punya langganan untukmemasok barang saya, tapi hanya karena perbedaan price lebihmenguntungkan terus langsung pindah. Itu namanya memutussilaturrahim.. asal cukup untuk biaya makan, anak sekolah, keperluansehari-hari, ya syukur Alhamdulillah.

9 MHU singkatan dari PT. Multi Harapan Utama

Page 15: ÿþM i c r o s o f t   W o r d   - p a p e r

SIMPOSIUM NASIONAL AKUNTANSI (SNA) KE XIPONTIANAK, 23 - 24 JULI 2008

15

Pak Aziz memandang mencari rejeki sebagai bentuk pengabdian kepada Allah perlu

mendapat aset, ekuitas dan keuntungan bersifat nilai tambah.

Pendapat mengenai rezeki lebih konkrit dalam bentuk akuntansi diungkapkan

Pak Dumairi, mengenai kesatuan dakwah-bisnis dalam laporan keuangan:

laporan keuangan penting untuk mengaplikasikan pencatatan sebagaikalkulasi bisnis sekaligus untuk aktivitas dakwah di dunia kerjaorientasinya harus mengarah pada peningkatan kesejahteraanmasyarakat.

Prinsip pelaporan berhubungan dengan kesatuan bisnis-da’wah mirip gagasan rezeki

bernilai tambah. Bahwa bisnis sekaligus dakwah adalah kesatuan antara materi-

spiritual untuk mendapatkan rezeki bernilai tambah bagi semua, bukan hanya kita,

tetapi masyarakat luas sebagai bentuk ketundukan menjalankan dakwah bil-haal

(dakwah langsung). Hal menarik adalah dimasukkannya qardh hassan dalam struktur

pembiayaan dan bukan struktur laporan tambahan seperti tertuang dalam PSAK 59

maupun SAK 101-106 dari IAI. Dalam ketentuan syari’ah menurut Pak Dumairi lagi:

...orientasi sosial tidak dapat dipisahkan dengan orientasi keuntungan.Qardhul hasan (hutang untuk kebajikan) dianggap pembiayaan danpendapatan yang harus masuk masing-masing dalam neraca dan labarugi. Karena qardhul hasan bukanlah aktivitas bisnis yang terpisah.Bahkan disitulah pusat pemberdayaan masyarakat dan targetpengentasan masyarakat atau pedagang pasar dari bahaya rentenir.

Qardh dalam fiqh sebenarnya lebih berorientasi sosial, meskipun sosial tidak berarti

merugikan pemberi pinjaman. Di sini ada kelonggaran untuk menetapkan keuntungan

meski keuntungan tersebut harus berdasarkan keridhaan peminjam. Sehingga jelas

bahwa dalam qardh yang penting adalah nadzarnya harus produktif dan bukan

qardhnya yang produktif.

Page 16: ÿþM i c r o s o f t   W o r d   - p a p e r

SIMPOSIUM NASIONAL AKUNTANSI (SNA) KE XIPONTIANAK, 23 - 24 JULI 2008

16

Berdasarkan praktik bisnis di atas dapat ditarik benang merah, bahwa rizq

(rezeki) merupakan bentuk nilai tambah aktivitas bisnis (ma’isyah) bernilai barakah

yang didapatkan sesuai ketentuan syari’ah untuk kesejahteraan bersama (mashlaha).

Rizq merupakan nilai tambah syari’ah nilai tambah yang didapatkan (baik finansial,

sosial dan lingkungan) dan telah disucikan/tazkiyah (secara halal, thoyib dan bebas

riba) mulai dari pembentukan, hasil sampai distribusinya.

Substansi nilai tambah syari’ah seperti bila diturunkan lebih teknis sebagai

konsep akuntansi berimplikasi pada, pertama, proses pembentukan nilai tambah

syari’ah harus selalu tersucikan secara konsisten. Caranya adalah melaksanakan

aktivitas ekonomi dalam batas-batas yang diperbolehkan syara’ (halal) dan

bermanfaat/menenangkan batin (thoyib). Sebaliknya aktivitas ekonomi yang

melanggar ketentuan adalah Haram. Kedua, pertumbuhan harta dan mekanisme usaha

yang sehat, hasil dari didapatkannya rezeki, harus dilakukan untuk menghilangkan

sifat berlebihan (halal dan thoyib) dan menjalankan aktivitas usaha bebas riba dalam

segala bentuknya. Dari sisi finansial, bebas riba adalah melakukan proses kerja sama

berdasar keseimbangan antara intermediasi (jual beli), produktif dan ekstraktif

(seperti dikembangkannya model muzara’ah dan musaqah). Dari sisi kepentingan

sosial dan lingkungan, reduksi riba dilakukan dengan melakukan relasi sosial dan

lingkungan alam secara pro-aktif berlandaskan prinsip shadaqah. Ketiga, implikasi

bentuk distribusi rezeki bernilai tambah, harus dilakukan secara optimal pada

kebaikan sesama, merata dan tidak saling menegasikan. Seberapapun keikutsertaan

harus dicatat dan diakui sebagai potensi yang berhak mendapatkan bagian dalam

pembagian nilai tambah. Artinya, bukan meletakkan prinsip keadilan berdasarkan

etika Barat (berdasar utilitas, konsensus dan disahkan melalui hukum positif). Tetapi

Page 17: ÿþM i c r o s o f t   W o r d   - p a p e r

SIMPOSIUM NASIONAL AKUNTANSI (SNA) KE XIPONTIANAK, 23 - 24 JULI 2008

17

keseimbangan dan keadilan berdasar ‘Adalah/Keadilan Ilahi yang berwujud

kesejahteraan sosial untuk semua dan harus selalu melalui proses tazkiyah.

Nilai tambah syari’ah dari nilai-nilai empiris telah memberikan gambaran

sesuai nilai tambah syari’ah secara normatif. Nilai tambah berpusat pada konsep

tazkiyah, yaitu penyucian proses pencarian rezeki untuk mendapat barokah baik

secara kuantitatif maupun kualitatif. Inilah yang disebut dengan Rizq Income. Nilai

tambah syari’ah memang tidak menganut model economic income atau accounting

income, tetapi dapat disebut menganut model income yang khas Islam, rizq income.

Konsep nilai tambah syari’ah (shari’ate value added/SVA) berbasis rizq

income jelas berbeda dengan pandangan akuntansi secara umum (konvensional).

Seperti diketahui konsep nilai tambah konvensional (value added/VA) berbasis pada

konsep dasar teoritis usulan Suojanen (1954), yaitu Enterprise Theory. VA

didefinisikan Belkaoui (2000, 222) sebagai peningkatan kesejahteraan yang

dihasilkan dari penggunaan sumber daya perusahaan yang produktif sebelum

dialokasikan kepada pemegang saham, pemegang obligasi, pegawai dan pemerintah.

Konsep VA menurut Glautier dan Underdown (1992, 409) berdampak pada

pendistribusian income di antara perusahaan yang kemudian mengarah pada distribusi

income pada entitas yang terlibat dalam proses produksi seperti manajemen dan

karyawan. Pendekatan VA memang lebih cenderung pada pembentukan kekayaan

yang berorientasi pada income ekonomi daripada income akuntansi (untuk definisi

lebih lanjut dapat dilihat dalam Meek dan Gray 1988; Staden 2000; Morley 1979;

Diefenbach 2003; Hendriksen dan Breda 2000; Mathews dan Perera 1996; Haller dan

Stolowy 1995; Firrer 2004 dan banyak lainnya).

Page 18: ÿþM i c r o s o f t   W o r d   - p a p e r

SIMPOSIUM NASIONAL AKUNTANSI (SNA) KE XIPONTIANAK, 23 - 24 JULI 2008

18

SVA maupun VA berbeda dengan pendekatan mainstream akuntansi

berkenaan dengan konsep laba. Laba biasanya berkaitan dengan prinsip penandingan

(matching), pengakuan biaya pada dasarnya sejalan dengan pengakuan pendapatan.

Pendapatan merupakan hasil yang dituju perusahaan, sementara biaya untuk

memperoleh pendapatan merupakan upaya yang dilakukan perusahaan. Dengan

demikian, pendapatan harus ditandingkan dengan biaya yang diperkirakan telah

menghasilkan pendapatan tersebut, agar dihasilkan besarnya laba yang tepat10.

Pendekatan pendapatan dan biaya dalam konteks seperti ini menurut Mulawarman

(2006) masih memunculkan tiga hal yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam dan

tujuan syari’ah. Pertama, pengakuan pendapatan yang berkaitan dengan realisasi

pendapatan yang akan berimplikasi pada sifat dasar halal (permitted). Kedua,

pengakuan pendapatan dalam proses pembentukan pendapatan yang berbasis akrual

dan ditetapkannya time value of money berujung pada riba (interest). Ketiga, prinsip

penandingan pendapatan dan biaya juga masih belum sesuai dengan tujuan syari’ah.

Dalam penandingan tidak nampak aspek keadilan sosial, tetapi hanya muncul sifat

egositik akuntansi (Triyuwono 2004). Pengakuan hanya berkaitan dengan biaya dan

manfaat yang bersifat privat. Privat di sini diartikan sebagai pencatatan biaya dan

pendapatan dari sudut pandang kepentingan perusahaan. Dapat dikatakan pendekatan

yang dilakukan adalah dalam kerangka Entity Theory. Sedangkan pendapatan dan

biaya yang sifatnya publik sama sekali tidak disajikan. Sifat egoistik akuntansi

10 Dalam praktik, disebutkan Kam (1990, 283-286) ada tiga dasar penandingan yang umum digunakanuntuk mencari hubungan antara biaya dengan pendapatan dalam suatu periode tertentu. Dasarpenandingan tersebut, pertama, hubungan sebab-akibat; kedua, alokasi sistematis dan rasional; ketiga,pembebanan segera. Prinsip ini masih mengidap masalah karena substansi dari prinsip penandinganmerupakan kepentingan akuntansi konvensional untuk menghasilkan laba atau lebih tegas merupakanturunan dari konsep laba akuntansi (lihat Belkaoui 2001; Kusumawati 2004; Triyuwono dan As’udi2001) dan lebih dekat dengan prinsip dasar akrual (lihat Kam 1990, 296; Kusumawati 2004, 25).

Page 19: ÿþM i c r o s o f t   W o r d   - p a p e r

SIMPOSIUM NASIONAL AKUNTANSI (SNA) KE XIPONTIANAK, 23 - 24 JULI 2008

19

berimplikasi pada masalah ketimpangan keadilan dan tidak sesuai dengan tujuan

akuntansi syari’ah dan terutama tujuan syari’ah. Untuk memudahkan ditampilkan

Tabel 2 berkenaan perbedaan tiga konsep laba seperti dijelaskan di atas (Lampiran).

Konsep laba seperti di atas jelas berpengaruh terhadap bentuk laporan kinerja

keuangan yang dihasilkan. Perbandingannya dapat dilihat di Tabel 3 (Lampiran).

Berdasarkan laporan nilai tambah syari’ah awal (Mulawarman 2006)

dilakukan penyesuaian dari sesuai realitas empirisnya, yaitu secara konseptual dan

bentuk laporannya. Bentuk laporan nilai tambah syari’ah juga mengalami penyesuaian

atas pemisahan laporan kuantitatif dan kualitatif menjadi penyatuan laporan

kuantitatif dan kualitatif. Kedua bentuk laporan tersebut bersifat mandatory (wajib).

Penggabungan laporan kuantitatif dan kualitatif seperti telah dijelaskan di atas untuk

menghindari perilaku pragmatis perusahaan. Laporan kualitatif meskipun bersifat

mandatory, bila disajikan terpisah akan mengarah pada sifat pseudo-mandatory.

Pseudo-mandatory di sini dapat diartikan laporan kualitatif secara substansial

memang bersifat mandatory, tetapi praktiknya di lapangan menjadi “mandul”, bahkan

akan tergeser kembali menjadi laporan voluntary.

Sementara pembagian akuntabilitas tetap mengacu pada Mulawarman (2006),

yaitu akuntabilitas ketundukan (spiritual) dibagi menjadi ketundukan primer dan

ketundukan sekunder. Akuntabilitas kreativitas (mental dan material) juga dibagi

menjadi primer dan sekunder. Lengkapnya lihat Tabel 4 (Lampiran).

Penjelasan elemen-elemen laporan nilai tambah syari’ah di atas adalah sebagai

berikut. Pencatatan bentuk output ketundukan primer secara finansial dan

sosial/lingkungan dari pencapaian halal atas aktivitas ekonomi, yaitu berkaitan

dengan pencapaian produk halal dan peningkatan kualitas karyawan. Pencapaian

Page 20: ÿþM i c r o s o f t   W o r d   - p a p e r

SIMPOSIUM NASIONAL AKUNTANSI (SNA) KE XIPONTIANAK, 23 - 24 JULI 2008

20

halal dapat berupa Sertifikasi Halal yang dikeluarkan LPPOM MUI untuk perusahaan

obat, kosmetik, makanan/minuman, restoran dan peternakan, atau Sertifikasi Syari’ah

yang dikeluarkan DSN MUI untuk lembaga perbankan syari’ah dan pasar modal

syari’ah. Untuk keperluan implementasi output ketundukan proses Sertifikasi Halal

perusahaan obat, kosmetik, makanan/minuman, restoran dan peternakan atau

pencapaian kualitas karyawan berupa peningkatan skill/kemampuan, kursus serta

training berkaitan pencapaian produk halal.

Pencatatan bentuk ketundukan sekunder secara finansial (halal zamany) dan

sosial/lingkungan (halal makany) untuk pencapaian halal atas aktivitas ekonomi.

Bentuknya merupakan input berupa proses produksi yang dilakukan oleh perusahaan

yang harus memenuhi Sistem Jaminan Halal dan Standar Operasi Prosedur Halal

(SOP) Halal sebagai implementasi Total Quality Management (TQM) perusahaan.

Akuntabilitas kreativitas (mental dan material) dibagi menjadi output

kreativitas primer dan output kreativitas sekunder. Pencatatan bentuk kreativitas

primer secara finansial yaitu reduksi riba ekonomi berbentuk bai’, dan

sosial/lingkungan yaitu reduksi riba sosial berbentuk Profit Loss Sharing System.

Bentuknya dapat berupa reduksi bunga/interest, reduksi prinsip time value of money

dalam penentuan penyusutan aset, tidak melakukan penimbunan, penipuan, monopoli,

oligolopi, judi dan kepastian penentuan bagi hasil saham preference maupun saham

biasa. Serta menjalankan aktivitas perusahaan dalam penyuluhan dan kursus maupun

peningkatan kemampuan masyarakat sekitar dalam memahami kesadaran bersama

menjaga keseimbangan ekologis dan menjaga keserasian hubungan dengan

masyarakat sekitar perusahaan. Pencatatan bentuk kreativitas sekunder yaitu dalam

Page 21: ÿþM i c r o s o f t   W o r d   - p a p e r

SIMPOSIUM NASIONAL AKUNTANSI (SNA) KE XIPONTIANAK, 23 - 24 JULI 2008

21

bentuk kreativitas sosial dan lingkungan, seperti hasil dari pengolahan limbah, berupa

lingkungan bersih.

Kekurangan informasi kuantitatif finansial dan sosial/lingkungan baik

material, mental dan spiritual harus dijelaskan dalam laporan kualitatif. Laporan

kualitatif seperti penjelasan keharaman dari aspek, haram karena faktor eksternal dan

proses relasi sosial dan penanganan lingkungan. Laporan kualitatif juga berisi tentang

ketenangan melaksanakan ibadah mahdah di dalam lingkungan perusahaan,

keselarasan hubungan antar stakeholders (pemilik, pemegang saham, manajemen,

karyawan, masyarakat sekitar, konsumen dan lingkungan), maupun kenikmatan atas

hasil aktivitas bisnis halal, reduksi riba dan gharar.

6. SIMPULAN

Konstruksi khusus laporan nilai tambah syari’ah dalam penelitian ini

merupakan implementasi kedua dari trilogi laporan keuangan syari’ah berbasis

ma’isyah-rizq-maal (Mulawarman 2007c). Laporan nilai tambah syari’ah diturunkan

dari salah satu trilogi, yaitu rizq. Rizq merupakan bentuk laba yang disebut rizq

income sebagai penjelasan lebih lanjut dari konsep nilai tambah syari’ah (shari’ate

value added/SVA). Meskipun konsep rizq di sini memang lebih mengakomodasi

realitas empiris. Meskipun rizq tergali dari realitas masyarakat Muslim Indonesia,

ternyata hal tersebut memiliki kesesuaian dengan konsep SVA.

Hasilnya adalah bahwa rizq income sebagai konsep rezeki bernilai

tambah (sebagai basis laporan nilai tambah syari’ah dalam perspektif akuntansi

syari’ah) merupakan nilai tambah yang didapatkan (baik finansial, sosial dan

Page 22: ÿþM i c r o s o f t   W o r d   - p a p e r

SIMPOSIUM NASIONAL AKUNTANSI (SNA) KE XIPONTIANAK, 23 - 24 JULI 2008

22

lingkungan) dan telah disucikan/tazkiyah (secara halal, thoyib dan bebas riba)

mulai dari pembentukan, hasil sampai distribusinya

DAFTAR PUSTAKA

Baydoun, N., and Roger Willett. 1994. Islamic accounting theory. The AAANZ AnnualConference.

Baydoun, N., and Roger Willett. 2000. Islamic Corporate Report. ABACUS. 36 (1):71-90.

Belkaoui, AR. 2000. Teori Akuntansi Jilid 1. Terjemahan. Jakarta. Salemba Empat.Jakarta.

Bev, Jennie S. 2007. GDP, Poverty and Gross National Happiness. The Jakarta Post.Monday, November, 12.

Capra, Fritjof. 1999. The Tao of Physics. 4th Edition. Terjemahan. 2005. Jalasutra.Yogyakarta.

Diefenbach, Thomas. 2003. Internal value added and profit distribution.www.econ.cam.ac.uk.

Firer, Steven. 2004. Does Value Added Beat Earnings? Empirical Evidence fromSouth Africa. www.wits.ac.za

Frey, Bruno S. and Alois Stutzer. 2007. Should National Happiness be Maximized?Working Paper Series. Institute for Empirical Research in Economics.University of Zurich. March.

Gambling, Trevor and Rifaat AA Karim. 1991. Business and Accounting Ethics inIslam. London: Mansell.

Glautier, MWE. B. Underdown. 1991. Accounting Theory and Practice. 4th Edition.ELBS With Pitman.

Gray, Rob., R. Kouhy, S. Lavers. 1995. Corporate social and environmental reporting:a review of the literature and a longitudinal study of UK disclosure.Accounting, Auditing and Accountability Journal. 8 (2). pp. 47-77.

Gray, Rob., D. Owen, C. Adams. 1996. Accounting and Accountability: Changes andChallenges in corporate social and environmental reporting. Prentice Hall.

Haller, Axel. Herve Stolowy. 1995. Value Added Accounting in Germany andFrance: A Conceptual and Empirical Comparison. Annual Congress of theEuropean Accounting Association. Birmingham, United Kingdom, May 10-2.campus.hec.fr.

Hardiman, F. Budi. 2003. Melampaui Positivisme dan Modernitas: DiskursusFilosofis tentang Metode Ilmiah dan Problem Modernitas. Penerbit Kanisius.Jogjakarta.

Hendriksen Eldon S., M. V. Breda. 2000. Teori Akunting. Buku Kesatu. Edisi Kelima.Terjemahan. Interaksa. Jakarta.

Hirata, Johannes. 2005. How Should Happiness Guide Policy?: Why Gross NationalHappiness is not opposed to democracy. 2nd International Conference on

Page 23: ÿþM i c r o s o f t   W o r d   - p a p e r

SIMPOSIUM NASIONAL AKUNTANSI (SNA) KE XIPONTIANAK, 23 - 24 JULI 2008

23

Gross National Happiness “Rethinking Development: Local Pathways toGlobal Wellbeing”. St. Francis Xavier University. Antogonish, Nova Scotia,Canada. 20-24 June.

Irianto, Gugus. 2003. Skandal Korporasi dan Akuntan. Lintasan Ekonomi. LPPI-FEUnibraw. Vol. XX (2) Juli pp 104-114.

Irianto, Gugus. 2006. Privatisasi BUMN di Indonesia: Pilihan atau Keniscayaan?Telaah dari Perspektif PEA. Proceeding The 2nd Postgraduate Consortium onAccounting 2006. Brawijaya University Malang. June, 14-15.

Matthews, MR., MHB Perera. 1996. Accounting Theory and Development. 3rdedition. Thomas Nelson Australia.

Meek Gary K., Sydney J. Gray. 1988. The value added statement: an innovation forU.S. companies? Accounting Horizon. June. pp. 73-81.

Morley, Michael F. 1979. The value added statement in Britain. The AccountingReview. July. pp. 618-629.

Mulawarman, Aji Dedi. 2006. Menyibak Akuntansi Syari’ah: Rekonstruksi TeknologiAkuntansi Syari’ah Dari Wacana Ke Aksi. Penerbit Kreasi Wacana.Jogjakarta.

Mulawarman, Aji Dedi. 2007a. Menggagas Laporan Arus Kas Syari’ah. SimposiumNasional Akuntansi X. Unhas Makassar. 26-28 Juli

Mulawarman, Aji Dedi. 2007b. Menggagas Neraca Syari’ah Berbasis Maal:Kontekstualisasi “Kekayaan Altruistik Islami”. The 1st AccountingConference. FE-UI Depok. 7-9 Nopember.

Mulawarman, Aji Dedi. 2007c. Menggagas Laporan Keuangan Syari’ah BerbasisTrilogi Ma’isyah-Rizq-Maal. Simposium Nasional Ekonomi Islam 3. Unpad.Bandung. 14-15 Nopember.

Muslehuddin, Muhammad. 2004. Sistem Perbankan dalam Islam. Penerbit RinekaCipta. Jakarta.

Ormerod, Paul. 1999. Matinya Ilmu Ekonomi. Jilid 1. Terjemahan. Cetakan Keempat.Kepustakaan Populer Gramedia. Jakarta.

Pransejit, Biswas. 2002. Historicizing Reason: Husserl’s TranscendentalPhenomenology. Prague, Czech Republic, Seminar “Issues Confronting thePost-European World”, November

Revkin, Andrew. 2005. A New Measure of Well-Being from a Happy LittleKingdom. New York Times. Oktober, 4.

Sanders, Patricia. 1982. Phenomenology: A new way of viewing organizationalresearch. Academy Management Review 1982, Vol 7 no.3.

Staden, Chris. 2000. The Value Added Statement: Bastion of Social Reporting orDinosaur of Financial Reporting? Massey University, New Zealand.www.accountancy.massey.ac.nz

Sulaiman, Maliah. 2000. Corporate Reporting From An Islamic Perspective.Akauntan Nasional. Oktober (18-22)

Sulaiman, Maliah. 2001. Testing a Model of Islamic Corporate Financial Reports:Some Experimental Evidence. IIUM Journal of Economics and Management 9(2) pp. 115-39

Sulaiman, Maliah. Roger Willett. 2003. Using the Hofstede-Gray Framework toArgue Normatively for an Extension of Islamic Corporate Reports. MalaysianAccounting Review. Vol 2 (1).

Page 24: ÿþM i c r o s o f t   W o r d   - p a p e r

SIMPOSIUM NASIONAL AKUNTANSI (SNA) KE XIPONTIANAK, 23 - 24 JULI 2008

24

Subiyantoro, Eko B. Iwan Triyuwono. 2004. Laba Humanis: Tafsir Sosial atasKonsep Laba dengan Pendekatan Hermeneutika. Bayumedia. Malang.

Suojanen, Waino W. 1954. Accounting Theory and The Large Corporation. TheAccounting Review. pp. 391-398.

Triyuwono, Iwan. 2004. Formulasi Karakter Laporan Akuntansi Syari’ah denganPendekatan Filsafat Manunggaling Kawulo Gusti (Syekh Siti Jenar).Simposium Nasional Sistem Ekonomi Islami II. PPBEI, Universitas Brawijaya.Malang. h. 79-94.

Triyuwono, Iwan. 2007. Konsep Nilai Tambah Syariah. Simposium NasionalAkuntansi X Universitas Hassanudin. Makassar.

LAMPIRAN

Tabel 1. Laporan Nilai Tambah Syari’ah Kuantitatif

Penciptaan VA Finansial Sosial-Lingkunga

n

Combined

Output Ketundukan Primer Xa - XaKetundukan Primer Xb - XbKreativitas Primer - Ya YaKreativitas Sekunder - Yb YbJumlah Output Xc Yc Za

Input KetundukanSekunder

Xd - Xd

Revaluation Kreativitas Primer Xe - XeVA Kotor Xf Yd Zb

TAZKIYAH (Zc)Pembayaran Zakat kepada 8 Asnaf (Zd)

VA HALAL DAN THOYIB (Ze)Distribusi VA Finansial Sosial &

Lingkungan

Combined

InternalKaryawan Ketundukan

SekunderXg - Xg

Ketundukan Primer Xh XhOwners Kreativitas Primer Xi - XiReinvestmentFunds

Kreativitas Sekunder Xj - Xj

EksternalPemerintah Ketundukan Primer Ye Ye

Kreativitas Sekunder Yf Yf

Page 25: ÿþM i c r o s o f t   W o r d   - p a p e r

SIMPOSIUM NASIONAL AKUNTANSI (SNA) KE XIPONTIANAK, 23 - 24 JULI 2008

25

Residents KetundukanSekunder

- Yg Yg

Masyarakat Kreativitas Sekunder - Yh Yh

Gambar 1. Trilogi Teknosistem Laporan Keuangan Syari’ah

Tabel 2. Perbandingan Konsep Laba

Konsep LabaKonsep Dasar

TeoritisMekanisme

PenciptaanLaba

Penerima Laba

Shari’ate ValueAdded

Shari’ateEnterprise

Theory

TazkiyahConcept

Rizq IncomeStakeholders

sesuaiKeadilan Ilahi

Value AddedEnterprise

TheoryOutput-Input

ConceptEconomic

Income

Stakeholderssesuai

Keadilan Barat

LabaKonvensional

Entity TheoryMatchingConcept

AccountingIncome

Shareholders

Aliran Kas Syari’ahBerbasis Ma’isyah

Neraca Syari’ahBerbasis Maal

Nilai Tambah Syari’ahBerbasis Rizq

Trilogi Teknosistem Laporan Keuangan Syari’ah

1 2

3

Page 26: ÿþM i c r o s o f t   W o r d   - p a p e r

SIMPOSIUM NASIONAL AKUNTANSI (SNA) KE XIPONTIANAK, 23 - 24 JULI 2008

26

Tabel 3. Perbandingan Substansi Laporan Kinerja Keuangan

AkuntansiKonvensional

AkuntansiSosial

Lingkungan

AkuntansiSyari’ah

Pragmatis

AkuntansiSyari’ah Idealis

TujuanUtama

Laba VALaba sebagaipenentu zakat

Zakat sebagaipenentu VA

LaporanKinerja

IncomeStatement; VAS

additionVAS / SVAS

ExpandedIncome

Statement

VAS berbasiszakat

PosisiLaba

Bottom LineBagian dari

VASetelah dikurangi

zakatBagian dari VAdikurangi zakat

SasaranUtama

Shareholders;Stakeholders

additionStakeholders

Shareholders;Stakeholders

addition

Shareholders danStakeholders

KonsepTeoritis

Entity TheoryEnterprise

TheoryEntity Theory

Shari’ateEnterprise Theory

BentukLaporan

Kuantitatif;Kualitatifaddition

KualitatifKuantitatif

KuantitatifKuantitatifKualitatif

Tabel 4. Penyesuaian Shari’ate Value Added Statement Berbasis Rizq

Penciptaan VA Kuantitatif KualitatifOutput Ketundukan

X1 Y1KreativitasJumlah Output X2 Y2

Input KetundukanX3 Y3

Revaluation KreativitasVA Kotor X4 Y4

TAZKIYAH (Za)Pembayaran Zakat kepada 8 Asnaf (Zb)

VA HALAL DAN THOYIB (Zc)

Distribusi VA Kuantitatif KualitatifInternalKaryawan Ketundukan

X5 Y5Owners KreativitasReinvestment Funds KreativitasEksternalPemerintah Ketundukan

X6 Y6KreativitasResidents KetundukanMasyarakat Kreativitas

Page 27: ÿþM i c r o s o f t   W o r d   - p a p e r

CURRICULUM VITAE

Aji Dedi Mulawarman. Lahir di Malang, 31 Desember 1969Alamat:Perum Persada Bhayangkara Singhasari G-6,Pagentan,Singosari,Malang, 65153.

Telp. 0341-452781; 081555600745 (HP)Kantor: 1. Kompleks Perkantoran PTB Jl. Raya Singosari R-2, Malang

Telp. 0341-452772; Fax. 0341-4528822. Kantor Lembaga Pendidikan Masjidil ‘Ilm Bani Hasyim 0341-456005 (K);

Email: [email protected]

Doktor Ilmu Akuntansi Program Pasca Sarjana Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya

PRESTASI AKADEMIK:Wisudawan Terbaik jenjang S-2 Universitas Brawijaya 2005 dengan Predikat Cum Laude.Lulusan S-3 Universitas Brawijaya dengan Predikat Cum Laude.

ARTIKEL PENDIDIKAN AKUNTANSI:

1. International Seminar Reinventing Paradigms of Social Studies in Indonesia, Yogyakarta,11-13 Agustus 2006, FISE UNY-HISPISI. Judul Makalah: Pendidikan Akuntansi BerbasisCinta

2. Merefleksi Domain Pendidikan Ekonomi dan Bisnis, Salatiga, 1 Desember 2006, FEUniversitas Kristen Satya Wacana. Judul Makalah: Pensucian Pendidikan Akuntansi.

3. First Accounting Session: Revolution of Accounting Education, Universitas KristenMaranatha Bandung, 18-19 Januari 2007. Judul Makalah: Pensucian PendidikanAkuntansi Episode Dua.

ARTIKEL KEUANGAN ISLAM:

1. Seminar Sehari Perbankan Syari'ah yang diadakan Lembaga Riset Keuangan Syari'ahUniversitas Cokroaminoto Jogjakarta, 28 Maret 2007. Judul Makalah: KeuanganSyari’ah: Antara Konsep, Perkembangan Terkini dan Prospek Ke Depan.

2. Orasi Ilmiah Wisuda Universitas Cokroaminoto Jogjakarta 12 September 2007. JudulMakalah: Ekonomi Islam Dalam Bingkai Pemikiran HOS Tjokroaminoto.

ARTIKEL AKUNTANSI SYARI'AH:

1. Simposium Nasional Akuntansi X tanggal 26-28 Juli 2007 di Makassar. Judul Makalah:Menggagas Laporan Arus Kas Syari’ah Berbasis Ma’isyah.

2. The 1st Accounting Conference Universitas Indonesia. 7-9 Nopember 2007. JudulMakalah: Menggagas Neraca Syari’ah Berbasis Maal: Kontekstualisasi KekayaanAltruistik Islami. Mendapat Best Paper Awards. Diterbitkan di Jurnal Akuntansi KeuanganIndonesia (JAKI) FE-UI, Depok.

3. Simposium Nasional Ekonomi Islam 3 Universitas Padjadjaran Bandung. 14-15Nopember 2007. Judul Makalah: Menggagas Laporan Keuangan Syari’ah BerbasisTrilogi Ma’isyah-Rizq-Maal.

4. Simposium Nasional Akuntansi IX tanggal 23-26 Agustus tahun 2006 di Padang. JudulMakalah: Rekonstruksi Teknologi Integralistik Akuntansi Syari’ah: Shari’ate Value AddedStatement (ditulis bersama Aji Dedi Mulawarman, Iwan Triyuwono, Unti Ludigdo);Pemakalah Terbaik (Best Paper) dan diterbitkan di Jurnal Akuntansi Keuangan Indonesia(JAKI) FE-UI, Depok

Page 28: ÿþM i c r o s o f t   W o r d   - p a p e r

5. Seminar Akuntansi Syari'ah Universitas Negeri Yogyakarta, tanggal 6 Nopember 2007.Judul Makalah: Teori Akuntansi Syari'ah Pro Lokalitas.

6. Seminar Akuntansi Syari'ah Universitas Negeri Malang, tanggal 24 Nopember 2007.Judul Makalah: Menggagas Teori Akuntansi Syari'ah.

ARTIKEL EKONOMI RAKYAT:

1. Seminar Regional Telaah Kritis RUU UMKM Puskopsyah BMT Wonosobo. Tanggal 28Agustus 2007. Judul Makalah: Melampaui Pilihan Keberpihakan Pada UKM atauEkonomi Rakyat?

2. Diskusi Ilmiah Lintas Disiplin Ilmu Kantor Kementerian Koperasi, Usaha Kecil danMenengah dan Universitas Negeri Malang. Tanggal 10 Desember 2007. Judul Makalah:Mengembangkan Kompetensi Inti dan Konsep Bisnis Koperasi, Digali Dari RealitasMasyarakat Indonesia.

Buku yang telah terbit:1. Menyibak Akuntansi Syari’ah: Rekonstruksi Teknologi Akuntansi Syari’ah Dari Wacana

ke Aksi. 2006. Penerbit Kreasi Wacana. Jogjakarta.

Riwayat Pekerjaan:1. Tahun 1994 – 1998 staf Akuntansi dan Keuangan PT. Perkebunan Tanjung Bahagia2. Tahun 1997 – 2000 sebagai Ketua Tim Perencanaan Proyek Pengembangan Kawasan

Wisata Pantai Prigi, Trenggalek Jawa Timur3. Tahun 1998 sebagai Ketua Tim Pengembangan Sistem Manajemen dan Informasi

Keuangan PT. Petebe Mas Bahagia4. Tahun 1998 – 2001 sebagai Direktur Keuangan PT. Prigi Tirtawisata Bahagia,

Trenggalek, Jawa Timur5. Tahun 1998 – 1999 sebagai Ketua Tim Pengembangan Sistem Manajemen dan

Informasi Keuangan Korporasi Petebe Group6. Tahun 1998 – 2000 menjabat Manajer Keuangan PT. Perkebunan Tanjung Bahagia7. Tahun 2000 – 2002 menjabat General Manajer Petebe Group8. Anggota Tim Blue Print Hilir Migas Nasional Departemen Energi dan Sumber Daya

Mineral (2002-2003).9. Tahun 2002 – sekarang menjabat Direktur Korporasi Administrasi dan Keuangan PT.

Perkebunan Tanjung Bahagia10. Tahun 2003 – 2004 Ketua Tim Perencanaan dan Pengembangan Sistem Manajemen

dan Informasi Keuangan Perusahaan Daerah Jasa Yasa Kabupaten Malang11. Tahun 2001 sampai sekarang diangkat sebagai Direktur Masjidil ‘Ilm Bani Hasyim,

lembaga pendidikan Islam yang berada di bawah naungan Yayasan Bani Hasyim.12. Tahun 2007 – 2010 sebagai Direktur Lembaga Riset Keuangan Syari'ah Universitas

Cokroaminoto Jogjakarta