WRAP UP SKENARIO 3BLOK MEKANISME PERTAHANAN TUBUHRONA MERAH DI
PIPI
Kelompok: B17Ketua
: Siti Alya Zafira
(1102014251)
Sekretaris : Nora Saputri
(1102014197)
Anggota
: Mutammima Rizqiyani
(1102014173)
Nabil Dhiya Ulhak
(1102014177)
Rani Dwi Ningtias
(1102014220)
Tegar Maulana
(1102014261)
Vrischika Alessandra Benedi (1102014276)
Wahidin Nawawi
(1102014277)
Muhammad Badar Wujud Ahmad (1102009181)
Mohammad Syarif Hidayatullah (1102010170)
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS YARSI
Jalan. Letjen Suprapto, Cempaka Putih, Jakarta 10510
Telp. 62.21.4244574 Fax. 62.21. 4244574DAFTAR ISISkenario
.......................................................................................................................3
Kata Sulit
....................................................................................................................4Pertanyaan
...................................................................................................................5Jawaban
.......................................................................................................................6Hipotesa
......................................................................................................................7Sasaran
Belajar (Learning
Object)...............................................................................8
Daftar
Pustaka.............................................................................................................35SKENARIORona
merah di pipi
Seorang perempuan berusia 30 tahun, datang ke rumah sakit dengan
keluhan demam yang hilang timbul sejak 6 bulan yang lalu. Keluahan
lainnya mual, tidak nafsu makan, mulut sariawan, nyeri pada
persendian, rambut rontok dan pipi berwarna merah bila terkena
sinar matahari.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan suhu subferis, konjungtiva
pucat, terdapat sariawan di mulut. Pada wajah terlihat malar rash.
Pemeriksaan fisik lain tidak didapatkan kelainan. Dokter menduga
pasien menderita Sistemic Lupus Eritematosus.
Kemudian dokter menyarankan pemeriksaan laboratorium hematologi,
urin dan marker autoimun (autoantibodi misalnya anti ds-DNA).
Dokter menyarankan untuk dirawat dan dilakukan follow up pada
pasien ini. Dokter menyarankan agar pasien bersabar dalam
menghadapi penyakit karena membutuhkan penanganan seumur hidup.
Cat : ds-DNA = double-stranded DNAKATA-KATA SULIT1. Malar
rash
: Eritema bartanda tegas, datar atau berevolusi pada
wilayah pipi dan sekitar hidung
2. Suhu subfebris
: Keadaan tubuh dimana suhu lebih dari normal
(37.2C-38C)
3. Marker autoimun
: Kompleks antibodi yang dihasilkan akibat adenin
inflamasi atau sebagai tanda adanya autoantibodi
4. Konjungtiva
: Membran tipis bening yang melapisi permukaan bagian
bagian dalam, kelopak mata dan menutup bagian depan
sklera(bagian putih mata).
5. Sistemic Lupus Eritematosus: Penyakit autoimun yang
melibatkan berbagai organ
dengan manifestasi klinis lainnya.
6. Ds-DNA
: Rantai ganda DNA
PERTANYAAN 1. Mengapa bisa muncul malar rash?
2. Mengapa bisa ditemukan konjungtiva pucat?
3. Mengapa penyakit tersebut ditandai dengan keluhan rambut
rontok dan nyeri persendian?
4. Mengapa butuh penanganan seumur hidup?5. Mengapa dokter
menyarankan pemeriksaan urin?
6. Mengapa dokter menyarankan untuk dirawat dan di follow
up?
7. Apa yang menyebabkan Sistemic Lupus Eritematosus?
8. Bagaimana pandangan Islam dalam menghadapi sabar?
9. Apa saja jenis-jenis pemeriksaan penunjang Sistemic Lupus
Eritematosus?
10. Mengapa Sistemic Lupus Eritematosus banyak menyerang
wanita?
11. Mengapa terjadi demam subfebris?
12. Apakah Sistemic Lupus Eritematosus dapat menyebabkan
komplikasi?
13. Mengapa muncul sariawan?
14. Apa resiko jika pengobatan tidak selesai?
15. Bagaimana membedakan autoimun nonself dan autoimun self?
JAWABAN1. Karena sinar matahari memicu apoptosis di pipi
(terdapat banyak jaringan longgar).
2. Karena pada hasil pemeriksaan hematologi ditemukan anemia
yang menyebabkan hemoglobin menurun.
3. Karena diduga ada faktor genetik pada MHCII. Pada saat itu
kompleks imun meningkat, dan jika mengendap di kulit kepala maka
akan menyebabkan rambut rontok. Dan jika mengendap di persendian
akan menyebabkan nyeri persendian.4. Untuk mengurangi resiko
munculnya gejala yang lain dan mencegah memburuknya penyakit.
5. Untuk mengetahui adanya nefritis lupus.
6. Karena pasien tersebut butuh penanganan seumur hidup.
7. Lingkungan, genetik, hormonal.
8. QS Al-Baqarah 155-1579. Pemeriksaan urin, pemeriksaan marker
autoimun, pemeriksaan hematologi, pemeriksaan serologi(ANA).10.
Karena pada wanita banyak terdapat estrogen. Pada saat melahirkan,
prolaktin meningkat. 11. Karena penyakit ini bukan dari infeksi
bakteri.12. Bisa.13. Karena terjadi inflamasi di mukosa mulut.14.
Bisa terjadi komplikasi lainnya.15. Dilihat dari gagalnya sel
tolerans sel B sel T.HIPOTESIS
Sistemic Lupus Eritematosus merupakan penyakit autoimun yang
disebabkan oleh gagalnya sel toleranselBselT, dengan faktor resiko
seperti lingkungan, genetik, humonal(estrogen dan prolaktin pada
wanita), gejala seperti malar rash, nyeri sendi, chest pain yang
disertai bercak-bercak merah, dan demam subfebris, gold standar
diagnosis Sistemic Lupus Eritematosus adalah tes serologi ANA dan
anti ds-DNA, pengobatan Sistemic Lupus Eritematosusbersifat
simtomatik dan seumur hidup, maka dari itu penderita harus
baersabar dalam menghadapi penyakit Sistemic Lupus
Eritematosus.
SASARAN BELAJARLO 1. MEMAHAMI DAN MENJELASKAN TENTANG
AUTOIMUN
LI.1.1 Definisi autoimun
LI.1.2 Klasifikasi autoimun
LI.1.3 Mekanisme autoimunLO 2. MEMAHAMI DAN MENJELASKAN TENTANG
SISTEMIC LUPUS ERITEMATOSUS
LI.2.1 Definisi Sistemic Lupus Eritematosus
LI.2.2 Epidemiologi Sistemic Lupus Eritematosus
LI.2.3 Etiologi Sistemic Lupus Eritematosus
LI.2.4 Klasifikasi Sistemic Lupus Eritematosus
LI.2.5 Patofisiologi Sistemic Lupus Eritematosus
LI.2.6 Manifestasi Sistemic Lupus Eritematosus
LI.2.7 Diagnosis dan Diagnosis banding Sistemic Lupus
Eritematosus
LI.2.8 Pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium Sistemic
Lupus Eritematosus
LI.2.9 Tata laksana Sistemic Lupus Eritematosus
LI.2.10 Komplikasi Sistemic Lupus Eritematosus
LI.2.11 Prognosis Sistemic Lupus Eritematosus
LO3. MEMAHAMI DAN MENJELASKAN TENTANG PANDANGAN ISLAM TENTANG
SABAR, RIDHO DALAM MENGHADAPI MUSIBAH
SASARAN BELAJARLO 1. MEMAHAMI DAN MENJELASKAN TENTANG
AUTOIMUN
LI.1.1 Definisi autoimun
Autoimunitas adalah respons imun terhadap antigen jaringan
sendiri yang disebabkan oleh mekanisme normal yang gagal berperan
untuk mempertahankan self-tolerence sel B, sel T atau keduanya.
Penyakit autoimun adalah kerusakan jaringan atau gangguan fungsi
fisiologis yang ditimbulkan oleh respon autoimun. Penyakit-penyakit
autoimun secara khas mencirikan peradangan dari beragam
jaringan-jaringan tubuh. Dapat disertai penyakit atau penyakit yg
ditimbulkan mekanisme lain (seperti infeksi). Penyakit autoimun ini
berkaitan dengan sistem antibodi yang berlebihan dalam tubuh,
dimana jaringan tubuh dianggap sebagai Benda Asing.
LI.1.2 Klasifikasi autoimun
Jenis Penyakit AutoimunPenyakit AutoimunNama Penyakit
Autoimun
Menurut MekanismePenyakit autoimun yang terjadi melalui antibodi
Anemia hemolitik autoimun
Limfopeni Sindrom goodpasture Penyakit grave Granulomatosis
Wegener
Miastenia gravis
Penyakit autoimun yang terjadi melalui antibodi dan sel
TSistemik
Artritis reumatoid
LES
Organ atau jaringanspesifik
Sindrom Sjogren
Sklerosis multiple
Sindrom guillain-bare
Penyakit autoimun yang terjadi melalui komleks Ag-AbDiabetes
tipe I
LES
Penyakit autoimun yang terjadi melalui komplemen
Menurut Sistem OrganPenyakit autoimun hematologi
Penyakit saluran cerna Anemia pernisiosa Gastritis antral difus
Hepatitis autoimun
Penyakit autoimun jantung Miokarditis Kardiomiopati
Penyakit autoimun ginjal Glomerulonefritis Sindrom
goodpasture
Penyakit autoimun susunan saraf Sindrom guillane bare Vaskulitis
saraf perifer
Penyakit autoimun endokrin Penyakit grave Tiroiditis primer
Penyakit autoimun otot Miastenia gravis
Polimiositis-dermatomiositis
Penyakit autoimun reproduksiGranulomatosa Wegener
Sarkoidosis
Penyakit autoimun telinga dan tenggorokan
Menurut Nonorgan Spesifik / Sistemik Lupus eritematosus sistemik
Skleroderma Sindrom sjogre
Artritis rheumatoid
Sistitis anterstisial Sindrom antibody antifosfolipid
Vaskulitis
LI.1.3 Mekanisme autoimun
Gambaran utama mekanisme autoimunitas (Kindt, et. al., 2007)
A. Pelepasan Antigen Terasingkan (Sequestered Antigen)
Sebetulnya sel T mampu untuk mengenali antigen self, karena pada
masa pematangannya, sel T yang belum matang telah terpajan kepada
banyak antigen self. Sel T yang tidak bisa mengenali self (T-cell
self-reactive) akan dibuang, yaitu pada proses clonal deletion.
Antigen dari jaringan yang berada diluar dari sirkulasi darah dan
tidak diperkenalkan kepada sel T, tidak dapat menimbulkan
self-tolerance. Pajanan antigen tersebut kepada sel T yang sudah
matang, nantinya, dapat mengaktivasi respon imun.
Salah satu contohnya adalah pada Myelin Basic Protein (MBP),
yaitu antigen yang terletak di luar sistem imun; MBP tidak
terjangkau oleh sistem imun karena dihalang oleh blood-brain
barrier. Pada percobaan, seekor hewan diinjeksi dengan MBP +
adjuvant, yaitu untuk memaksimalisasi respon imun. Pada kasus
tersebut, sistem imun hewan percobaan terpajan oleh antigen self
yang asing, namun dalam keadaan nonfisiologis (dalam keadaan
percobaan). Pada eksperimen yang sama, ternyata kasus tersebut
dapat dicegah apabila MBP diinjeksi langsung ke timus, sehingga sel
T dapat terpajan oleh antigen terkait pada saat pematangannya.
(Kindt, et. al., 2007)
B. Mimikri Molekuler
Oleh karena berbagai hal, mikroba dan virus dapat menyebabkan
terjadinya autoimunitas. Perlu disadari bahwa manusia terserang
penyakit di mana penyakit tersebut endemik di wilayah tertentu.
Namun seiring dengan perkembangan zaman, mobilitas manusia
meningkat, dan menariknya, tingkat kejadian autoimunitas juga
meningkat. Hal ini diduga karena beberapa mikroba atau virus
tertentu memiliki determinan antigen yang mirip dengan antigen sel
yang dimiliki host. Hal ini dinamakan mimikri. Pada satu studi,
sebanyak 600 antibodi monoklonal yang spesifik terhadap 11 virus
dites reaktivitasnya terhadap sel tubuh host. Sebanyak 3% dari
antibodi spesifik virus tersebut ternyata juga berikatan dengan sel
tubuh normal, sehingga disimpulkan bahwa mimikri molekuler bisa
menjadi fenomena yang sering terjadi. (Kindt, et. al., 2007)
C. Ekspresi MHC kelas II yang Tidak Sesuai
Pada penderita insulin-dependent diabetes mellitus (IDDM), sel
beta pankreasnya mengekspresi molekul MHC kelas I dan II dalam
kadar yang tinggi. Sel beta yang normal seharusnya memproduksi MHC
kelas I yang rendah, dan sama sekali tidak mengekspresi MHC kelas
II. Ekspresi yang tidak tepat ini, yang seharusnya hanya diekspresi
oleh Antigen Presenting Cell (APC), menyebabkan sensitasi sel
T-Helper kepada peptida sel beta, yang kemudian dapat mengaktivasi
sel B atau sel Tc dan menyerang antigen self. (Kindt, et. al.,
2007)
LO 2. MEMAHAMI DAN MENJELASKAN TENTANG SISTEMIC LUPUS
ERITEMATOSUS
LI.2.1 Definisi Sistemic Lupus Eritematosus
Lupus eritematosus sistemik (systemic lupus erythematosus)
adalah penyakit autoimun di mana sistem kekebalan tubuh menyerang
sel tubuh sendiri, mengakibatkan peradangan dan kerusakan jaringan.
Lupus dapat mempengaruhi setiap bagian tubuh, tetapi paling umum
mempengaruhi kulit, sendi, ginjal, jantung dan pembuluh darah.
Perjalanan penyakit ini tidak dapat diprediksi, dengan periode suar
(flare) dan remisi. Lupus dapat terjadi pada semua usia dan lebih
umum pada perempuan. Manifestasi kulit cukup bervariasi dan dapat
hadir dengan lesi terlokalisasi, rambut rontok menyebar dan
kepekaan terhadap matahari. Nama kondisi ini berasal dari fakta
bahwa ruam fotosensitif yang terjadi pada wajah menyerupai
serigala.
LI.2.2 Epidemiologi Sistemic Lupus Eritematosus
Lupus Eritematosus sistemik merupakan penyakit yang jarang
terjadi. Di seluruh dunia diperkirakan terdapat 5 juta orang
mengidap lupus eritematosus. Penyakit lupus ditemukan baik pada
wanita maupun pria, tetapi wanita lebih banyak dibanding pria yaitu
9:1 karena wanita punya respon antibodi yang lebih cepat, , umumnya
pada usia 18-65 tahun tetapi paling sering antara usia 25-45 tahun,
walaupun dapat juga dijumpai pada anak usia 10 tahun. Seelain itu,
wanita yang mengonsumsi estrogen oral / hormon pengganti estrogen
punya risiko 1,2-2 kali lebih tinggi untuk terkena SLE
Insidensi lupus tidak diketahui, tetapi bervariasi menurut
lokasi dan etnis. Tingkat prevalensi 4-250/100, 000 telah
dilaporkan, dengan penurunan prevalensi putih dibandingkan dengan
penduduk asli Amerika, Asia, Latin, dan Amerika. Walaupun awal
awitan sebelum usia 8 tahun tidak biasa, lupus telah di diagnosis
selama 1 tahun kehidupan. Dominasi perempuan bervariasi dari kurang
dari 4:1 sebelum pubertas ke 8:1 sesudahnya.
Insidens LES pada anak secara keseluruhan mengalami peningkatan,
sekitar 15-17%. Penyakit LES jarang terjadi pada usia di bawah 5
tahun dan menjelang remaja. Perempuan lebih sering terkena
dibanding laki-laki, dan rasio tersebut juga meningkat seiring
dengan pertambahan usia. Prevalensi penyakit LES di kalangan
penduduk berkulit hitam ternyata lebih tinggi dibandingkan dengan
penduduk berkulit putih.
SLE ditemukan lebih banyak pada wanita keturunan ras
Afrika-Amerika, Asia, Hispanik, dan dipengaruhi faktor
sosioekonomi. Sebuah penelitian epidemiologi melaporkan insidensi
rata-rata pada pria ras kaukasia yaitu 0,3-0,9 (per 100.000 orang
per tahun); 0,7-2,5 pada pria keturunan ras Afrika-Amerika; 2,5-3,9
pada wanita ras Kaukasia; 8,1-11,4 pada wanita keturunan ras
Afrika-Amerika.
LI.2.3 Etiologi Sistemic Lupus Eritematosus
Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang
menyebabkan peningkatan autoantibody yang berlebihan. Gangguan
imunoregulasi ini ditimbulkan oleh kombinasi antara faktor-faktor
genetik, hormonal (sebagaimana terbukti oleh awitan penyakit yang
biasanya terjadi selama usia reproduktif) dan lingkungan (cahaya
matahari, luka bakar termal).Sistem imun tubuh kehilangan kemampuan
untuk membedakan antigen dari sel dan jaringan tubuh sendiri.
Penyimpangan reaksi imunologi ini akan menghasilkan antibodi secara
terus menerus. Antibody ini juga berperan dalam pembentukan
kompleks imun sehingga mencetuskan penyakit inflamasi imun sistemik
dengan kerusakkan multiorgan.
Dalam keadaan normal, sistem kekebalan berfungsi mengendalikan
pertahanan tubuh dalam melawan infeksi. Pada lupus dan penyakit
autoimun lainnya, sistem pertahanan tubuh ini berbalik melawan
tubuh, dimana antibodi yang dihasilkan menyerang sel tubuhnya
sendiri. Antibodi ini menyerang sel darah, organ dan jaringan
tubuh, sehingga terjadi penyakit menahun.
Apapun etiologinya, selalu terdapat predisposisi genetik yang
menunjukkan hubungannya dengan antigen spesifik HLA (Human
Leucocyte Antigen) / MHC (Major Histocompatybility Complex). Defek
utama pada lupus eritematosus sistemik adalah disfungsi limfosit B,
begitu juga supresor limfosit T yang berkurang, sehingga memudahkan
terjadinya peningkatan autoantibody.
Resiko meningkat 25-50% pada kembar identik dan 5% pada kembar
dizygotic, menunjukkan kaitannya dengan faktor genetik. Fakta bahwa
sebagian kasus bersifat sporadis tanpa diketahui faktor
predisposisi genetiknya, menunjukkan faktor lingkungan juga
berpengaruh. Infeksi dapat menginduksi respon imun spesifik berupa
molecular mimicry yang mengacau regulasi sistem imun. Meskipun
lupus diketahui merupakan penyakit keturunan, tetapi gen
penyebabnya tidak diketahui. Penemuan terakhir menyebutkan tentang
gen dari kromosom 1. Hanya 10% dari penderita yang memiliki kerabat
(orang tua maupun saudara kandung) yang telah maupun akan menderita
lupus. Statistik menunjukkan bahwa hanya sekitar 5% anak dari
penderita lupus yang akan menderita penyakit ini.Lupus seringkali
disebut sebagai penyakit wanita walaupun juga bisa diderita oleh
pria. Lupus bisa menyerang usia berapapun, baik pada pria maupun
wanita, meskipun 10-15 kali lebih sering ditemukan pada wanita.
Meskipun demikian, penyebab yang pasti dari lebih tingginya
angka kejadian pada wanita dan pada masa pra-menstruasi, masih
belum diketahui.
Terdapat dua teori mengenai etiologi lupus, yaitu :
1) Teori yang pertama menyebutkan bahwa pada perkembangan
penyakit mulai dari gambaran awal sampai timbul kerusakan didasari
oleh produksi sirkulasi autoantibodi menjadi suatu nukleoprotein,
yaitu antinuclear antibodies (ANA). Proses awal tidak diketahui
tetapi kemungkinan terjadi mutasi gen yang berhubungan dengan sel
yang mengalami apoptosis yang melibatkan limfosit, kemudian
limfosit bereaksi menyerang selnya sendiri. Autoantibodi pada lupus
dibentuk menjadi antigen nuclear (ANA) dan (anti-DNA). Autoantibodi
terlibat dalam pembentukan kompleks imun, yang diikuti oleh
aktivasi komplemen yang mempengaruhi respon inflamasi banyak
jaringan, termasuk kulit dan ginjal.
2) Teori lainnya menyatakan autoantibody lupus eritematosus
merupakan lanjutan dari reaksi silang antigen eksogen seperti
retrovirus RNA.Faktor Resiko terjadinya SLE1. Faktor Genetika.
Jenis kelamin, frekuensi pada wanita dewasa 8 kali lebih sering
daripada pria dewasab. Umur, biasanya lebih sering terjadi pada
usia 20-40 tahunc. Etnik, Faktor keturunan, dengan Frekuensi 20
kali lebih sering dalam keluarga yang terdapat anggota dengan
penyakit tersebut2. Faktor Resiko HormonHormon estrogen menambah
resiko SLE, sedangkan androgen mengurangi resiko ini.
3. Sinar UVSinar Ultra violet mengurangi supresi imun sehingga
terapi menjadi kurang efektif, sehingga SLE kambuh atau bertambah
berat. Ini disebabkan sel kulit mengeluarkan sitokin dan
prostaglandin sehingga terjadi inflamasi di tempat tersebut maupun
secara sistemik melalui peredaran pebuluh darah
4. ImunitasPada pasien SLE, terdapat hiperaktivitas sel B atau
intoleransi terhadap sel T
5. ObatObat tertentu dalam presentase kecil sekali pada pasien
tertentu dan diminum dalam jangka waktu tertentu dapat mencetuskan
lupus obat (Drug Induced Lupus Erythematosus atau DILE). Jenis obat
yang dapat menyebabkan Lupus Obat adalah :
Obat yang pasti menyebabkan Lupus obat : Kloropromazin,
metildopa, hidralasin, prokainamid, dan isoniazid Obat yang mungkin
menyebabkan Lupus obat: dilantin, penisilamin, dan kuinidin
Hubungannya belum jelas: garam emas, beberapa jenis antibiotic dan
griseofurvin6. InfeksiPasien SLE cenderung mudah mendapat infeksi
dan kadang-kadang penyakit ini kambuh setelah infeksi
7. StresStres berat dapat mencetuskan SLE pada pasien yang sudah
memilikikecendrungan akan penyakit ini.
LI.2.4 Klasifikasi Sistemic Lupus EritematosusLupus eritematosus
dibagi ke dalam 4 bagian besar, yaitu:1. Chronic Cutaneous Lupus
Erythematosus (CCLE)Dibagi lagi ke dalam 2 subtipe :a. Discoid
Lupus Erythematosus (DLE)Dibagi juga dalam beberapa subtipe yang
jarang terjadi:1) Palmar-palmar Lupus Erythematosus2) Oral Discoid
lupus Erythematosus3) Lupus Erythematosus panniculitisb.
Hypertrophic Lupus Erythematosus (HLE)2. Subacute Cutaneous Lupus
Erythematosus (SCLE)
Memiliki subtype yang jarang terjadi yaitu : Neonatal lupus
Erythematosus (NLE)3. Systemic Lupus Erythematosus (SLE)4.
Drug-Induced Lupus Erythematosus (DILE)
Menurut European Assosiation of Oral Medicine (2005) lupus
eritematosus diklasifikasikan menjadi:
1. Discoid Lupus Erythematosus (DLE)2. Systemic Lupus
Erythematosus (SLE)3. Bullous form4. Neonatal form (NLE)5. Acute
Cutaneous form (ACLE)6. Subacute Cutaneous form (SCLE)7. Chronic
Cutaneous form (CCLE)8. Childhood onset (CSLE)9. Drug Induced
(DILE)
LI.2.5 Patofisiologi Sistemic Lupus EritematosusAda empat faktor
yang menjadi perhatian bila membahas pathogenesis SLE, yaitu :
faktor genetik, lingkungan, kelainan sistem imun dan hormon. 1.
Faktor genetik memegang peranan pada banyak penderita lupus dengan
resiko yang meningkat pada saudara kandung dan kembar monozigot.
Studi lain mengenai faktor genetik ini yaitu studi yang berhubungan
dengan HLA (Human Leucocyte Antigens) yang mendukung konsep bahwa
gen MHC (Major Histocompatibility Complex) mengatur produksi
autoantibodi spesifik. Penderita lupus (kira-kira 6%) mewarisi
defisiensi komponen komplemen, seperti C2,C4, atau C1q dan
imunoglobulin (IgA), atau kecenderungan jenis fenotip HLA (-DR2 dan
-DR3). Faktor imunopatogenik yang berperan dalam LES bersifat
multipel, kompleks dan interaktif. Kekurangan komplemen dapat
merusak pelepasan sirkulasi kompleks imun oleh sistem fagositosit
mononuklear, sehingga membantu terjadinya deposisi jaringan.
Defisiensi C1q menyebabkan fagositis gagal membersihkan sel
apoptosis, sehingga komponen nuklear akan menimbulkan respon
imun.2. Faktor lingkungan dapat menjadi pemicu pada penderita
lupus, seperti radiasi ultra violet, obat-obatan, virus. Sinar UV
mengarah pada self-immunity dan hilang toleransi karena menyebabkan
apoptosis keratinosit. Selain itu sinar UV menyebabkan pelepasan
mediator imun pada penderita lupus, dan memegang peranan dalam fase
induksi yanng secara langsung merubah sel DNA, serta mempengaruhi
sel imunoregulator yang bila normal membantu menekan terjadinya
kelainan pada inflamasi kulit. Pengaruh obat memberikan gambaran
bervariasi pada penderita lupus, yaitu meningkatkan apoptosis
keratinosit. Faktor lingkungan lain yaitu peranan agen infeksius
terutama virus rubella, sitomegalovirus, dapat mempengaruhi
ekspresi sel permukaan dan apoptosis.
3. Faktor imunologis, selama ini dinyatakan bahwa hiperaktivitas
sel limfosit B menjadi dasar dari pathogenesis lupus eritematosus
sistemik. Beberapa autoantibodi ini secara langsung bersifat
patogen termasuk dsDNA (double-stranded DNA), yang berperan dalam
membentuk kompleks imun yang kemudian merusak jaringan.
Selama perjalanan penyakit lupus tubuh membuat beberapa jenis
autoantibodi terhadap berbagai antigen diri. Di antara berbagai
jenis autoantibodi yang paling sering dijumpai pada penderita lupus
adalah antibodi antinuklear (autoantibodi terhadap DNA, RNA,
nukleoprotein, kompleks protein-asam nukleat). Umumnya titer
antiDNA mempunyai korelasi dengan aktivitas penyakit lupus.
Beberapa antibodi antinuklear mempunyai aksi patologis direk,
yaitu bersifat sitotoksik dengan mengaktifkan komplemen, tetapi
dapat juga dengan mempermudah destruksi sel sebagai perantara bagi
sel makrofag yang mempunyai reseptor Fc imunoglobulin. Contoh
klinis mekanisme terakhir ini terlihat sebagai sitopenia autoimun.
Ada pula autoantibodi tertentu yang bersifat membahayakan karena
dapat berinteraksi dengan substansi antikoagulasi, diantaranya
antiprotrombin, sehingga dapat terjadi trombosis disertai
perdarahan. Antibodi antinuklear telah dikenal pula sebagai
pembentuk kompleks imun yang sangat berperan sebagai penyebab
vaskulitis.
Autoantibodi pada lupus tidak selalu berperan pada patogenesis
ataupun bernilai sebagai petanda imunologik penyakit lupus.
Antibodi antinuklear dapat ditemukan pada bukan penderita lupus,
atau juga dalam darah bayi sehat dari seorang ibu penderita lupus.
Selain itu diketahui pula bahwa penyakit lupus ternyata tak dapat
ditularkan secara pasif dengan serum penderita lupus.
Adanya keterlibatan kompleks imun dalam patogenesis LES
didasarkan pada adanya kompleks imun pada serum dan jaringan yang
terkena (glomerulus renal, tautan dermis-epidermis, pleksus koroid)
dan aktivasi komplemen oleh kompleks imun menyebabkan
hipokomplemenemia selama fase aktif dan adanya produk aktivasi
komplemen. Beberapa kompleks imun terbentuk di sirkulasi dan
terdeposit di jaringan, beberapa terbentuk insitu (suatu mekanisme
yang sering terjadi pada antigen dengan afinitas tinggi, seperti
dsDNA). Komponen C1q dapat terikat langsung pada dsDNA dan
menyebabkan aktivasi komplemen tanpa bantuan autoantibodi. 4.
Meskipun hormon steroid (sex hormone) tidak menyebabkan LES, namun
mempunyai peran penting dalam predisposisi dan derajat keparahan
penyakit. Penyakit LES terutama terjadi pada perempuan antara
menars dan menopause, diikuti anak-anak dan setelah menopause.
Namun, studi oleh Cooper menyatakan bahwa menars yang terlambat dan
menopause dini juga dapat mendapat LES, yang menandakan bahwa
pajanan estrogen yang lebih lama bukan risiko terbesar untuk
mendapat LES.
Adanya defisiensi relatif hormon androgen dan peningkatan hormon
estrogen merupakan karakteristik pada LES. Anak-anak dengan LES
juga mempunyai kadar hormon FSH (Follicle-stimulating hormone), LH
(Luteinizing hormone) dan prolaktin meningkat. Pada perempuan
dengan LES, juga terdapat peningkatan kadar 16 alfa hidroksiestron
dan estriol. Frekuensi LES meningkat saat kehamilan trimester
ketiga dan postpartum. Pada hewan percobaan hormon androgen akan
menghambat perkembangan penyakit lupus pada hewan betina, sedangkan
kastrasi prapubertas akan mempertinggi angka kematian penderita
jantan.
LI.2.6 Manifestasi Sistemic Lupus Eritematosus
Gejala klinis dan perjalanan penyakit SLE sangat bervariasi.
Penyakit dapat timbul mendadak disertai tanda-tanda terkenanya
berbagai sistem dalam tubuh. Dapat juga menahun dengan gejala pada
satu sistem yang lambat laun diikuti oleh gejala terkenanya sistem
imun.
Waktu yang dibutuhkan antara onset penyakit dan diagnosis adalah
5 tahun. Penyakit ini mempunyai ciri khas terdapatnya eksaserbasi
dan remisi. Onset penyakit dapat spontan atau didahului oleh faktor
presipitat seperti kontak dengan sinar matahari infeksi
virus/bakteri, obat misalnya golongan sulfa.Gejala pada setiap
penderita berlainan, serta ditandai oleh masa bebas gejala (remisi)
dan masa kekambuhan (eksaserbasi).
Pada awal penyakit, lupus hanya menyerang satu organ, tetapi di
kemudian hari akan melibatkan organ lainnya.
A. Gejala Konstitusional
Manifestasi yang timbul dapat bervariasi. Anak-anak yang paling
sering adalah anorexia, demam, kelelahan, penurunan berat badan,
limfadenopati dan irritable. Gejala dapat berlangsung intermiten
atau terus-menerus. B. Gejala Muskuloskeletal
Pada anak-anak gejala yang paling sering ditemukan, dapat berupa
athralgia (90%) dan sering mendahului gejala-gejala lainnya. Yang
paling sering terkena adalah sendi interfalangeal proksimal diikuti
oleh lutut, pergelangan tangan, metakarpophalangeal, siku dan
pergelangan kaki.
Artritis dapat terjadi pada lebih dari 90% anak, umumnya
simetris, terjadi pada beberapa sendi besar maupun kecil. Biasanya
sangat responsif terhadap terapi dibandingkan dengan kelainan organ
yang lain pada LES. Arthritis pada tangan dapat menyebabkan
kerusakan ligament dan kekakuan sendi yang berat. Osteonecrosis
umum terjadi dan dapat timbul belakangan setelah dalam pengobatan
kortikosteroid dan vaskulopati.
Berbeda dengan JRA, arthritis LES umumnya sangat nyeri, dan
nyeri ini tak proporsional dengan hasil pemeriksaan fisik sendi.
Pemeriksaan radiologis menunjukkan osteopeni tanpa adanya perubahan
pada tulang sendi. Anak dengan JRA polyarticular yang beberapa
tahun kemudian dapat menjadi LES. Berikut merupakan mekanisme
arthritis pada SLE.
C. Gejala Mukokutan
Kelainan kulit atau selaput lendir ditemukan pada 55% kasus
SLE.1. Lesi Kulit Akut
Ruam kulit yang paling dianggap khas adalah ruam kulit berbentuk
kupu-kupu (butterfly-rash) berupa eritema yang sedikit edematus
pada hidung dan kedua pipi. Karakteristik malar atau ruam kupu-kupu
termasuk jembatan hidung dan bervariasi dari merah pada
erythematous epidermis hingga penebalan scaly patches.
Ruam mungkin akan fotosensitif dan berlaku untuk semua daerah
terkena sinar matahari. Lesi-lesi tersebut penyebarannya bersifat
sentrifugal dan dapat bersatu sehingga berbentuk ruam yang tidak
beraturan. Dengan pengobatan yang tepat, kelainan ini dapat sembuh
tanpa bekas.
2. Lesi Kulit Sub Akut
Lesi kulit sub akut yang khas berbentuk anular.
3. Lesi Diskoid
Sebesar 2 sampai 2% lesi discoid terjadi pada usia di bawah 15
tahun. Sekitar 7 % lesi discoid akan menjadi LES dalam waktu 5
tahun, sehingga perlu di monitor secara rutin. Hasil pemeriksan
laboratorium menunjukkan adanya antibodi antinuclear (ANA) yang
disertai peningkatan kadar IgG yang tinggi dan lekopeni ringan.
Ruam diskoid adalah ruam pada kulit leher, kepala, muka,
telinga, dada, punggung, dan ekstremitas yang menimbul dan berbatas
tegas, dengan diameter 5-10 mm, tidak gatal maupun nyeri
Berkembangnya melalui 3 tahap, yaitu erithema, hiperkeratosis dan
atropi. Biasanya tampak sebagai bercak eritematosa yang meninggi,
tertutup oleh sisik keratin disertai oleh adanya penyumbatan
folikel. Kalau sudah berlangsung lama akan terbentuk sikatrik.Lesi
diskoid tidak biasa di masa kanak-kanak. Namun, mereka terjadi
lebih sering sebagai manifestasi dari SLE daripada sebagai diskoid
lupus erythematosis (DLE) saja; 2-3% dari semua DLE terjadi di masa
kanak-kanak.
4. Livido RetikularisSuatu bentuk vaskulitis ringan, sering
ditemukan pada SLE. Vaskulitis kulit dapat menyebabkan ulserasi
dari yang berbentuk kecil sampai yang besar. Sering juga tampak
perdarahan dan eritema periungual.
5. UrtikariaBiasanya menghilang perlahan-lahan beberapa bulan
setelah penyakit tenang secara klinis dan serologis.
D. Kelainan pada GinjalPada sekitar 2/3 dari anak dan remaja LES
akan timbul gejala lupus nefritis. Lupus nefritis akan diderita
sekitar 90% anak dalam tahun pertama terdiagnosanya LES.
Berdasarkan klasifikasi WHO, jenis lupus nefritis adalah : (1)
Kelas I: minimal mesangial lupus nephritis(2) Kelas II: mesangial
proliferative lupus nephritis(3) Kelas III: focal lupus
nephritis(4) Kelas IV: diffuse lupus nephritis(5) Kelas V:
membranous lupus nephritis(6) Kelas VI: advanced sclerotic lupus
nephritisKelainan ginjal ditemukan 68% kasus SLE. Manifestasi
paling sering ialah proteinuria dan atau hematuria. Ada 2 macam
kelainan patologis pada ginjal yaitu nefritis lupus difus dan
nefritis lupus membranosa. Nefritis lupus difus merupakan kelainan
yang paling berat. Klinis tampak sebagai sindrom nefrotik,
hipertensi, serta gangguan fungsi ginjal sedang sampai berat.
Nefritis membranosa lebih jarang ditemukan. Ditandai dengan
sindroma nefrotik, gangguan fungsi ginjal ringan serta perjalanan
penyakit yang mungkin berlangsung cepat atau lambat tapi
progresif.
E. Serositis (pleuritis dan perikarditis)Gejala klinisnya berupa
nyeri waktu inspirasi dan pemeriksaan fisik dan radiologis
menunjukkan efusi pleura atau efusi parikardial. Efusi pleura lebih
sering unilateral, mungkin ditemukan sel LE dalam cairan pleura.
Biasanya efusi menghilang dengan pemberian terapi yang adekuat.
F. Pneuminitis InterstitialMerupakan hasil infiltrasi limfosit.
Kelainan ini sulit dikenali dan sering tidak dapat diidentifikasi.
Biasanya terdiagnosa setelah mencapai tahap lanjut.G.
GastrointestinalDapat berupa rasa tidak enak di perut, mual ataupun
diare. Nyeri akut abdomen, muntah dan diare mungkin menandakan
adanya vaskulitis intestinalis. Gejala menghilang dengan cepat bila
gangguan sistemiknya mendapat pengobatan yang adekuat. H. Hati dan
LimpaHepatosplenomegali mungkin ditemukan pada anak-anak, tetapi
jarang disertai ikterus. Umumnya dalam beberapa bulan akan
menghilang atau kembali normal. I. Kelenjar Getah Bening dan
Kelenjar ParotisPembesaran kelenjar getah bening ditemukan pada 50%
kasus. Biasanya berupa limfadenopati difus dan lebih sering pada
anak-anak. Kelenjar parotis membesar pada 60% kasus SLE. J. Susunan
Saraf TepiNeuropati perifer yang terjadi berupa gangguan sensorik
dan motorik. Biasanya bersifat sementara. K. Susunan Saraf
PusatGejala SSP bervariasi mulai dari disfungsi serebral global
dengan kelumpuhan dan kejang sampai gejala fokal seperti nyeri
kepala dan kehilangan memori. Diagnosa lupus SSP ini membutuhkan
evaluasi untuk mengeksklusi ganguan psikososial reaktif, infeksi,
dan metabolik. Trombosis vena serebralis bisanya terkait dengan
antibodi antifosfolipid. Bila diagnosa lupus serebralis sudah
diduga, CT Scan perlu dilakukan.Gangguan susunan saraf pusat
terdiri dari 2 kelainan utama, yaitu psikosis organik dan
kejang-kejang. Penyakit otak organik biasanya ditemukan bersamaan
dengan gejala aktif SLE pada sistem-sistem lainnya. Pasien
menunjukkan gejala delusi/halusinasi disamping gejala khas kelainan
organik otak.Kejang-kejang yang timbul biasanya termasuk tipe
grandmal. Kelainan lain yang mungkin ditemukan ialah korea,
paraplegia karena mielitis transversal, hemiplegia, afasia,
psikosis, pseudotumor cerebri, aseptic meningitis, chorea, defisit
kognitif global, melintang myelitis, neuritis perifer dan
sebagainya. Mekanisme terjadinya kelainan susunan saraf pusat tidak
selalu jelas. Faktor-faktor yang memegang peranan antara lain
vaskulitis, deposit gamma globulin di pleksus koroideus.
L. HematologiKelainan hematologi yang sering terjadi adalah
limfopenia, anemia, Coombs-positif anemia hemolitik, anemia
penyakit kronis trombositopenia, dan lekopenia. M. Fenomena
RaynaudDitandai oleh keadaan pucat, disusul oleh sianosis, eritema
dan kembali hangat. Terjadi karena disposisi kompleks imun di
endotelium pembuluh darah dan aktivasi komplemen lokal.
LI.2.7 Diagnosis dan Diagnosis banding Sistemic Lupus
Eritematosus
NOKRITERIABATASAN
1Butterfly rash/ bercak malarEritema datar atau enimbul yang
menetap di daerah pipi dan cenderung menyebar ke lipatan
nasolabial
2Bercak discoidBercak eritema yang menimbul dengan adherent
keratotic scaling dan follicular plugging, pada lesi lama dapat
terjadi parut atrofi
3FotosensitifBercak di kulit yang timbul akibat paparan sinar
matahari
4Ulkus mulutBiasanya tidak nyeri
5ArtritisDitandai dengan nyeri tekan, bengkak atau efusi
6Serositifa. Pleuritis
Riwayat pleuritic pain atau terengar pleural friction rub atau
terdapat efusi pleura pada pemeriksaan fisik
b. Perikarditis
Dibuktikan dengan EKG atau terdengar pericardial friction rub
atau terdapat efusi perikardial pada pemeriksaan fisik
7Gangguan ginjala. Proteinuria persisten > 0,5g/hari atau
pada pemeriksaan +3 jika pemeriksaan kuantitatif tidak dapat
dilakukan
b. Cellular cast : eritrosit, Hb, granular, tubular atau
campuran
8Gangguang sarafKejang tidak disebabkan oleh obat atau kelainan
metabolik (uremia, ketoasidosis atau ketidakseimbangan
elektrolit)AtauPsikosis tidak disebabkan oleh obat atau kelainan
metabolik (uremia, ketoasidosis atau ketidakseimbangan
elektrolit)
9Gangguan darahLeukopenia dari 1/160.Pola berbintik juga umumnya
juga da di SLE.Tes ANA memiliki sensitifitas tinggi tapi
spesifisitasnya rendah. Kalo ANA (+) dan gejala klinis khas maka
tidak perlu diberi pemeriksaan tambahan. ANA (+) dan gejala tidak
khas maka dilakukan minimal 2 x pemeriksaan tambahan (anti ds-DNA
dan anti Sm) ANA (-) dan gejalanya khas maka dilakukan minimal 2 x
pemeriksaan tambahan (anti ds-DNA dan anti Sm)2.2 Antibody Terhadap
DNA
Antibodi terhadap DNA (Anti ds-DNA) dapat digolongkan dalam
antibodi yang reaktif terhadap DNA natif (Double stranded DNA).
Anti ds-DNA positif dengan kadar yang tinggi dijumpai pada 73% SLE.
Peningkatan kadar anti ds-DNA menunjukan peningkatan aktifitas
penyakit. Pada LES, anti ds-DNA mempunyai korelasi yang kuat dengan
nefritis lupus dan aktifitas penyakit. Pemeriksaan dilakukan dengan
metode radioimmunoassay, ELISA, dan C.luciliae
immunofluorosens.
Autoantibodi yang ditemukan pada Systemic Lupus Erythematosus
(SLE)
AntibodyPrevalensi (%)Antigen yang DikenaliClinical Utility
Antinuclear antibodies (ANA)98Multiple nuclearPemeriksaan
skrining terbaik; hasil negative berulang menyingkirkan SLE
Anti-dsDNA70DNA (double-stranded)Jumlah yang tinggi spesifik
untuk SLE dan pada beberapa pasien berhubungan dengan aktivitas
penyakit, nephritis, dan vasculitis.
Anti-Sm25Kompleks protein pada 6 jenis U1 RNA Spesifik untuk
SLE; tidak ada korelasi klinis; kebanyakan pasien juga memiliki
RNP; umum pada African American dan Asia dibanding Kaukasia.
Anti-RNP40Kompleks protein pada U1 RNATidak spesifik untuk SLE;
jumlah besar berkaitan dengan gejala yang overlap dengan gejala
rematik termasuk SLE.
Anti-Ro (SS-A)30Kompleks Protein pada hY RNA, terutama 60 kDa
dan 52 kDaTidak spesifik SLE; berkaitan dengan sindrom Sicca,
subcutaneous lupus subakut, dan lupus neonatus disertai blok
jantung congenital; berkaitan dengan penurunan resiko
nephritis.
Anti-La (SS-B)1047-kDa protein pada hY RNABiasanya terkait
dengan anti-Ro; berkaitan dengan menurunnya resiko nephritis
Antihistone70Histones terkait dengan DNA (pada nucleosome,
chromatin)Lebih sering pada lupus akibat obat daripada SLE.
Antiphospholipid50Phospholipids,2 glycoprotein 1 cofactor,
prothrombin
Tiga tes tersedia ELISA untuk cardiolipin dan 2G1, sensitive
prothrombin time (DRVVT); merupakan predisposisi pembekuan,
kematian janin, dan trombositopenia.
Antierythrocyte60Membran eritrositDiukur sebagai tes Coombs
langsung; terbentuk pada hemolysis.
Antiplatelet30Permukaan dan perubahan antigen sitoplasmik pada
platelet. Terkait dengan trombositopenia namun sensitivitas dan
spesifitas kurang baik; secara klinis tidak terlalu berarti untuk
SLE
Antineuronal (termasuk anti-glutamate receptor)60Neuronal dan
permukaan antigen limfosit Pada beberapa hasil positif terkait
dengan lupus CNS aktif.
Antiribosomal P20Protein pada ribosomePada beberapa hasil
positif terkait dengan depresi atau psikosis akibat lupus CNS
Catatan: CNS = central nervous system, CSF= cerebrospinal fluid,
DRVVT = dilute Russell viper venom time, ELISA= enzyme-linked
immunosorbent assay.
3. Pemeriksaan Komplemen
Komplemen adalah suatu molekul dari sistem imun yang tidak
spesifik. Komplemen terdapat dalam sirkulasi dalam keadaan tidak
aktif. Bila terjadi aktivasi oleh antigen, kompleks imun dan
lainnya akan menghasuilkan berbagai mediator yang aktif untuk
menghancurkan antigen tersebut. Komplemen merupakan salah satu
sistem enzim yang terdiri dari kurang lebih 20 protein plasma dan
bekerja secara berantai (self amplifying) seperti model kaskade
penkuan darah dan fibrinolysis.
Pada LES kadar C1, C4, C2, dan C3 biasanya rendah, tetapi pada
lupus kutaneus normal. Penurunan kadar kompemen berhubungan dengan
derajat beratnya SLE terutama adanya komplikasi ginjal.
LI.2.9 Tata laksana Sistemic Lupus EritematosusNon
Farmakologis
1. EdukasiEdukasi penderita memegang peranan penting mengingat
SLE merupakan penyakit yang kronis. Penderita perlu dibekali
informasi yang cukup tentang berbagai macam manifestasi klinis yang
dapat terjadi, tingkat keparahan penyakit yang berbeda-beda
sehingga penderita dapat memahami dan mengurangi rasa cemas yang
berlebihan. Pada wanita usia reproduktif sangat penting diberikan
pemahaman bahwa bila akan hamil maka sebaiknya kehamilan
direncanakan saat penyakit sedang remisi, sehingga dapat mengurangi
kejadian flare up dan risiko kelainan pada janin maupun penderita
selama hamil.2. Dukungan sosial dan psikologis. Hal ini bisa
berasal dari dokter, keluarga, teman maupun mengikut sertakan peer
group atau support group sesama penderita lupus. Di Indonesia ada 2
organisasi pasien Lupus, yakni care for Lupus SD di Bandung dan
Yayasan Lupus Indonesia di Jakarta. Mereka bekerjasama melaksanakan
kegiatan edukasi pasien dan masyarakat mengenai lupus. Selain itu
merekapun memberikan advokasi dan bantuan finansial untulk
pasienyang kurang mampu dalam pengobatan.3. IstirahatPenderita SLE
sering mengalami fatigue sehingga perlu istirahat yang cukup,
selain perlu dipikirkan penyebab lain seperti hipotiroid,
fibromialgia dan depresi.4. Tabir suryaPada penderita SLE aktifitas
penyakit dapat meningkat setelah terpapar sinar matahari, sehingga
dianjurkan untuk menghindari paparan sinar matahari yang berlebihan
dan menggunakan tabir surya dengan SPF > 30 pada 30-60 menit
sebelum terpapar, diulang tiap 4-6 jam.5. Monitor ketatPenderita
SLE mudah mengalami infeksi sehingga perlu diwaspadai bila terdapat
demam yang tidak jelas penyebabnya. Risiko infeksi juga meningkat
sejalan dengan pemberian obat immunosupresi dan kortikosteroid.
Risiko kejadian penyakit kejadian kardiovaskuler, osteoporosis dan
keganasan juga meningkat pada penderita SLE, sehingga perlu
pengendalian faktor risiko seperi merokok, obesitas, dislipidemia
dan hipertensi.
Farmakologis
Terapi Imunomodulator
1. Siklofosfamid
Merupakan obat utama pada gangguan sistem organ yang berat,
terutama nefropati lupus. Pengobatan dengan kortikosterod dan
siklofosfamid (bolus iv 0,5-1 gram/m2) lebih efektif dibanding
hanya kortikosteroid saja, dalam pencegahan sequele ginjal,
mempertahankan fungsi ginjal dan menginduksi remisi ginjal.
Manifestasi non renal yang efektif dengan siklofosfamid adalah
sitopenia, kelainan sistem saraf pusat, perdarahan paru dan
vaskulitis.
Pemberian per oral dengan dosis 1-1,5 mg/kgBB dapat ditingkatkan
sampai 2,5-3 mg/kgBB dengan kondisi neutrofil > 1000/mm3 dan
leukosit > 3500/mm3. Monitoring jumlah leukosit dievaluasi tiap
2 minggu dan terapi intravena dengan dosis 0,5-1 gram/m2 setiap 1-3
bulan.
Efek samping yang sering terjadi adalah mual, muntah, kadang
dapat ditemukan rambut rontok namun hilang bila obat dihentikan.
Leukopenia dose-dependent biasanya timbul setelah 12 hari
pengobatan sehingga diperlukan penyesuaian dosis dengan leukosit.
Risiko terjadi infeksi bakteri, jamur dan virus terutama Herpes
zoster meningkat. Efek samping pada gonad yaitu menyebabkan
kegagalan fungsi ovarium dan azospermia. Pemberian hormon
Gonadotropin releasing hormone atau kontrasepsi oral belum terbukti
efektif. Pada penderita SLE dengan nefropati lupus yang mengalami
kehamilan obat golongan ini sebaiknya dihindarkan.2. Mycophenolate
mofetil (MMF) MMF merupakan inhibitor reversibel inosine
monophosphate dehydrogenase, yaitu suatu enzim yang penting untuk
sintesis purin. MMF akan mencegah proliferasi sel B dan T serta
mengurangi ekspresi molekul adhesi. MMF secara efektif mengurangi
proteinuria dan memperbaiki kreatinin serum pada penderita SLE dan
nefritis yang resisten terhadap siklofosfamid. Efek samping yang
terjadi umumnya adalah leukopenia, nausea dan diare. Kombinasi MMF
dan Prednison sama efektifnya dengan pemberian siklosfosfamid oral
dan prednison yang dilanjutkan dengan azathioprine dan prednisone.
MMF diberikan dengan dosis 500-1000 mg dua kali sehari sampai
adanya respons terapi dan dosis obat disesuaikan dengan respons
tersebut. Pada penderita SLE dengan nefropati lupus yang mengalami
kehamilan obat golongan ini sebaiknya dihindarkan.3. Azathioprine
Azathioprine adalah analog purin yang menghambat sintesis asam
nukleat dan mempengaruhi fungsi imun seluler dan humoral. Pada SLE
obat ini digunakan sebagai alternatif siklofosfamid untuk
pengobatan lupus nefritis atau sebagai steroid sparing agent untuk
manifestasi non renal seperti miositis dan sinovitis yang
refrakter. Pemberian mulai dengan dosis 1,5 mg/kgBB/hari, jika
perlu dapat dinaikkan dengan interval waktu 8-12 minggu menjadi
2,5-3 mg/kgBB/hari dengan syarat jumlah leukosit > 3500/mm3 dan
metrofil > 1000. Jika diberikan bersamaan dengan allopurinol
maka dosisnya harus dikurangi menjadi 60-75%. Efek samping yang
terjadi lebih kuat dibanding siklofosfamid, yang biasanya terjadi
yaitu supresi sumsum tulang dan gangguan gastrointestinal.
Azathioprine juga sering dihubungkan dengan hipersensitifitas
dengan manifestasi demam, ruam di kulit dan peningkatan serum
transaminase. Keluhan biasanya bersifat reversibel dan menghilang
setelah obat dihentikan. Oleh karena dimetabolisme di hati dan
dieksresikan di ginjal maka fungsi hati dan ginjal harus diperiksa
secara periodik. Obat ini merupakan pilihan imunomodulator pada
penderita nefropati lupus yang hamil, diberikan dengan dosis 1-1,5
mg/kgBB/hari karena relatif aman. 4. Leflunomide (Arava)
Leflunomide merupakan suatu inhibitor de novo sintesis pyrimidin
yang disetujui pada pengobatan rheumatoid arthritis. Beberapa
penelitian telah melaporkan keuntungan pada pasien SLE yang pada
mulanya diberikan karena ketergantungan steroid. Pemberian dimulai
dengan loading dosis 100 mg/hari untuk 3 hari kemudian diikuti
dengan 20 mg/hari.
5. MethotrexateMethotrexate diberikan dengan dosis 15-20 mg
peroral satu kali seminggu, dan terbukti efektif terutama untuk
keluhan kulit dan sendi. Efek samping yang biasa terjadi adalah
peningkatan serum transaminase, gangguan gastrointestinal, infeksi
dan oral ulcer, sehingga perlu dimonitor ketat fungsi hati dan
ginjal. Pada penderita SLE dengan nefropati lupus yang mengalami
kehamilan obat golongan ini sebaiknya dihindarkan.6. Siklosporin
Pemberian siklosporin dosis 2,5-5 mg/kgBB/hari pada umumnya dapat
ditoleransi dan menimbulkan perbaikan yang nyata terhadap
proteinuria, sitopenia, parameter imunologi (C3, C4, anti-ds DNA)
dan aktifitas penyakit. Jika kreatinin meningkat lebih dari 30%
atau timbul hipertensi maka dosisnya harus disesuaikan efek samping
yang sering terjadi adalah hipertensi, hiperplasia gusi,
hipertrikhosis, dan peningkatan kreatinin serum. Siklosporin
terutama bermanfaat untuk nefritis membranosa dan untuk sindroma
nefrotik yang refrakter, sehingga monitoring tekanan darah dan
fungsi ginjal harus dilakukan secara rutin. Siklosporin A dapat
diberikan pada penderita nefropati lupus yang hamil, diberikan
dengan dosis 2 mg/kgBB/hari karena relatif aman.
Agen Biologis 1. Aktivasi sel T, interaksi sel T dan sel B,
deplesi sel BPerkembangan terapi terakhir telah memusatkan
perhatian terhadap fungsi sel B dalam mengambil autoAg dan
mempresentasikannya melalui immunoglobulin spesifik terhadap sel T
di permukaan sel, selanjutnya mempengaruhi respons imun dependen
sel T. Anti CD 20 adalah suatu antibodi monoklonal yang melawan
reseptor CD 20 yang dipresentasikan limfosit B.2. Anti CD 20Anti CD
20 (Rituximab; Rituxan) memiliki pontensi terapi untuk SLE yang
refrakter. Beberapa penelitian memberikan keberhasilan terapi pada
manifestasi lupus refrakter seperti sistem saraf pusat, vaskulitis
dan gangguan hematologi.3. LJP 394LJP 394 (Abetimus sodium;
Riquent) telah didisain untuk mencegah rekurensi flare renal pada
pasien nefritis dengan cara mengurangi antibody terhadap ds-DNA
melalui toleransi spesifik antigen secara selektif. Substansi ini
merupakan suatu senyawa sintetik yang terdiri dari rangkaian
deoksiribonukleotida yang terikat pada rantai trietilen glikol.4.
Anti B lymphocyte stimulatorStimulator limfosit B (BlyS) merupakan
bagian dari sitokin TNF (tumor necrosis factor), yang
mempresentasikan sel B. LymphoStatB merupakan antibod monoklonal
terhadap BlyS.5. Sitokin inhibitorMeskipun telah ada penelitian
yang menunjukkan penurunan sekresi TNF alfa dan meliorasi
leukopenia, proteinuria dan deposisi imun kompleks pada binatang
percobaan, namun tidak ada studi klinis agen anti TNF yang
diberikan pada penderita SLE.6. Anti malariaObat anti malaria yang
digunakan pada SLE adalah hidroksiklorokuin, klorokuin, dan
quinakrin. Digunakan untuk keluhan konstitusional, manifestasi di
kulit, musculoskeletal dan serositis. Kombinasi obat antimalaria
memiliki efek sinergis dan digunakan bila penggunaan satu macam
obat tidak efektif. Hidroksiklotokuin (200400 mg/hari) dan
Quinakrin (100 mg/hari) sebagai steroid sparing agent memiliki efek
samping yang ringan dan reversibel, yaitu perubahan warna kulit
menjadi kekuningan.Mekanisme bagaimana hidroksiklorokuin mencegah
kerusakan organ belum jelas. Hidroksiklorokuin menurunkan kadar
lipid dan kemungkinan anti trombotik. Yang perlu diperhatikan
adalah efek samping pada mata meskipun relatif aman bila digunakan
pada dois rendah (< 6,5 mg/kgBB/hari). Namun demikian
rekomendasi saat ini adalah melakukan pemeriksaan mata sebelum
mulai pengobatan dan setiap 6 12 bulan kemudian. Antimalaria jarang
sekali menyebabkan kelainan kongenital pada janin. Oleh karena itu
direkomendasaikan untuk diberikan juga pada penderita nefropati
lupus yang hamil dan dapat diberikan sampai masa menyusui. Kejadian
IUGR juga berkurang dengan pemberian hidroksiklorokuin.
Hormon Seks
Bromokriptin yang secara selektif menghambat hipofise anterior
untuk mensekresi prolaktin terbukti bermanfaat mengurangi aktifitas
penyakit SLE. Dehidroepiandrosteron (DHEA) bermanfaat untuk SLE
dengan aktifitas ringan sampai sedang. Danazole (sintetik steroid)
dengan dosis 400-1200 mg/hari bermanfaatuntuk mengontrol sitopenia
autoimun terutama trombositopeni dan anemia hemolitik. Estrogen
replacement therapy (ERT) dapat dipertimbangkan pada pasien-pasien
SLE yang mengalami menopause, namun masih terdapat perdebatan
mengenai kemampuan kontraseptif oral atau ERT dalam menimbulkan
flare SLE. Untuk itu terapi ini harus ditunda pada pasien dengan
riwayat trombosis.
Kortikosteroid
Kortikosteroid efektif untuk menangani berbagai macam
manifestasi klinis SLE. Sediaan topikal atau intralesi digunakan
untuk lesi kulit, sediaan intra artikular digunakan untuk artritis,
sedangkan sediaan oral atau parenteral untuk kelainan sistemik.
Pemberian per oral dosisnya bervariasi dari 5-30 mg prednison
(metilprednisolon) per hari secara tunggal atau dosis terbagi,
efektif untuk mengobati keluhan konstitusional, kelainan kulit,
arthritis dan serositis. Seringkali kortikosteroid diberikan
bersamaan dengan antimalaria atau imunomodulator dengan tujuan
untuk mendapatkan induksi yang cepat kemudian diturunkan dosisnya.
Adanya keterlibatan organ penting seperti nefritis, cerebritis,
kelainan hematologi atau vaskulitis sistemik, umumnya memerlukan
prednison dosis tinggi (1-2 mg/kgBB/hari). Kortikosteroid
parenteral juga dapat digunakan pada keadaan yang sangat berat,
mengancam jiwa, dengan dosis metilprednisolon bolus 1000 mg selama
3 hari berturut-turut.
Efek yang tidak dikehendaki pada pemberian glukokortikoid lama
antara lain habitus cushingoid, peningkatan berat badan,
hipertensi, infeksi, fragilitas kapiler, akne, hirsutism,
percepatan osteoporosis, nekrosis iskemi tulang, katarak, glaucoma,
diabetes mellitus, myopati, hipokalemia, menstruasi yang tidak
teratur, iritabilitas, insomnia, dan psikosa. Oleh karenanya
setelah aktifitas penyakit terkontrol, dosis kortikosteroid harus
segera diturunkan atau kalau mungkin dihentikan atau diberikan
dalam dosis terkecil selang sehari.
Untuk meminimalisasi osteoporosis, dapat diberikan suplemen
kalsium 1000 mg/ hari pada pasien dengan eksresi kalsium urin 24
jam lebih dari 120 mg. Diberikan pula vitamin D 50.000 unit 1-3
kali seminggu (monitor hiperkalsemia). Dalam mencegah osteoporosis
dapat pula diberikan kalsitonin dan bifosfonat (alendronat,
didronel atau actonel). Kortikosteroid pada umumnya dapat
ditoleransi dengan baik selama kehamilan meskipun dapat menimbulkan
eksaserbasi diabetes dan hipertensi. Tidak terdapat bukti bahwa
kortikosteroid menyebabkan defek kongenital tetapi NSAID (Non
Steroid Anti Inflammatory Drug)
NSAID digunakan untuk mengatasi keluhan nyeri muskuloskeletal,
pleuritis, perikarditis dan sakit kepala. Efek samping NSAID pada
ginjal, hati, sistem saraf pusat harus dibedakan dengan aktifitas
lupus yang menghebat. Adanya proteinuria yang baru timbul atau
perburukan fungsi ginjal dapat disebabkan oleh aktifitas SLE atau
efek NSAID. NSAID juga dapat menyebabkan meningitis aseptik, sakit
kepala, psikosis dan gangguan kognitif, meningkatkan serum
transaminase secara reversibel. Gangguan gastrointestinal merupakan
efek samping paling sering ditimbulkan oleh inhibitor COX
non-selektif. Inhibitor COX-2 selektif lebih sedikit efek
sampingnya pada gastrointestinal. Pada penderita SLE dengan
nefropati lupus yang mengalami kehamilan obat golongan ini
sebaiknya dihindarkan karena dapat mengakibatkan kelainan
kongenital dan dieksresikan dalam air susu.
Plasmaferesis
Peranan plasmaferesis pada nefropati lupus masih kontroversi.
Indikasinya adalah kasus lupus disertai krioglobulinemia, sindroma
hiperviskositas dan TTP (Thrombotyc Thrombocytopenic Purpura).
Immunoglobulin Intravena
Immunoglobulin intravena (IV Ig) adalah imunomodulator dengan
mekanisme kerja yang luas, meliputi blokade reseptor Fc, regulasi
komplemen dan sel T. Tidak seperti immunosupresan, IV Ig tidak
mempunyai efek meningkatkan risiko terjadinya infeksi. Dosis 400
mg/kgBB/hari selama 5 hari berturut-turut memberikan perbaikan pada
trombositopeni, artritis, nefritis, demam, manifestasi kulit dan
parameter immunologis. Efek samping yang terjadi adalah demam,
mialgia, sakit kepala dan artralgia, serta kadang meningitis
aseptik. Kontraindikasi diberikan pada penderita SLE dengan
defisiensi IgA.
LI.2.10 Komplikasi Sistemic Lupus Eritematosus1. Serangan pada
GinjalGagal ginjal adalah penyebab tersering kematian pada
penderita SLE. Gagal ginjal dapat terjadi akibat deposit kompleks
antibody-antigen pada glomerulus disertai pengaktifan komplemen
resultan yang menyebabkan cedera sel, suatu contoh reaksi
hipersensitivitas tipe III.a. Kelainan ginjal ringan (infeksi
ginjal)b. Kelainan ginjal berat (gagal ginjal)c. Kebocoran ginjal
(protein terbuang secara berlebihan melalui urin).
2. Serangan pada Jantung dan Paru
a. Pleuritisb. Pericarditis (peradangan kantong perikardium yang
mengelilingi jantung).c. Efusi pleura
d. Efusi pericard
e. Radang otot jantung atau Miocarditis
f. Gagal jantung
g. Perdarahan paru (batuk darah)3. Serangan Sistem Sarafa.
Sistem saraf pusat
Cognitive dysfunction
Sakit kepala pada lupus
Sindrom anti-phospholipid
Sindrom otak
Fibromyalgia.
b. Sistem saraf tepi
Mati rasa atau kesemutan di lengan dan kaki
c. Sistem saraf otonom
Gangguan suplai darah ke otak dapat menyebabkan kerusakan
jaringan otak, dapat menyebabkan kematian sel-sel otak dan
kerusakan otak yang sifatnya permanen (stroke). Stroke dapat
menimbulkan pengaruh sistem saraf otonom.
4. Serangan pada Kulita. Lesi parut berbentuk koin pada daerah
kulit yang terkena langsung cahaya disebut lesi discoidb. Ciri-ciri
lesi spesifik ditemukan oleh Sonthiemer dan Gilliam pada akhir
70-an i. Berparut, berwarna merah (erythematosus), berbentuk koin
sangat sensitif terhadap sengatan matahari. Jenis lesi ini berupa
lupus kult subakut/cutaneus lupus subacute. Kadang menyerupai luka
psoriasis atau lesi tidak berparut berbentuk koin.ii. Lesi dapat
terjadi di wajah dengan pola kupu-kupu atau dapat mencakup area
yang luas di bagian tubuhiii. Lesi non spesifik
Rambut rontok (alopecia) Vaskullitis : berupa garis kecil warna
merah pada ujung lipatan kuku dan ujung jari. Selain itu, bisa
berupa benjolan merah di kaki yang dapat menjadi borok.
Fotosensitivitas : pipi menjadi kemerahan jika terkena matahari dan
kadang di sertai pusing.5. Serangan pada Sendi dan Otota. Radang
sendi pada lupusb. Radang otot pada lupus6. Serangan pada Mata
7. Serangan pada Daraha. Anemiab. Trombositopeniac. Gangguan
pembekuand. Limfositopenia
8. Serangan pada HatiKomplikasi LES pada anak meliputi:a.
Hipertensi (41%)b. Gangguan pertumbuhan (38%)c. Gangguan paru-paru
kronik (31%)d. Abnormalitas mata (31%)e. Kerusakan ginjal permanen
(25%)f. Gejala neuropsikiatri (22%)g. Kerusakan muskuloskeleta
(9%)h. Gangguan fungsi gonad (3%).
LI.2.11 Prognosis Sistemic Lupus Eritematosus
Beberapa tahun terakhir ini prognosis penderita lupus semakin
membaik, banyak penderita yang menunjukkan penyakit yang ringan.
Wanita penderita lupus yang hamil dapat bertahan dengan aman sampai
melahirkan bayi yang normal, tidak ditemukan penyakit ginjal
ataupun jantung yang berat dan penyakitnya dapat dikendalikan.
Angka harapan hidup 10 tahun meningkat sampai 85%. Prognosis yang
paling buruk pada penderita yang mengalami kelainan otak,
paru-paru, jantung dan ginjal yang berat.
Angka harapan hidup :
a. 5 tahun : 85-88%
b. 10 tahun : 76-87%
Penyebab utama kematian pada SLE adalah akibat :
a. Infeksi penyakitb. Nefritis lupusc. Konsekuensi gagal ginjal
(termasuk terapinya)d. Penyakit kardiovaskulare. Lupus sistem saraf
pusat
Trombosis arteri mempunyai prognosis buruk. Penyakit ginjal
merupakan indikator prognosis yang paling buruk pada SLE,
dikarenakan tuter antibodi pengikat DNA positif/meningkat, yang
berkaitan dengan keterlibatan ginjal, dikaitkan dengan prognosis
yang lebih buruk.
LO3. MEMAHAMI DAN MENJELASKAN TENTANG PANDANGAN ISLAM TENTANG
SABAR, RIDHO DALAM MENGHADAPI MUSIBAH1. SABAR Secara etimologi,
sabar (ash-shabr) berarti: al-habs atau al-kaff (menahan), Allah
berfirman: Dan bersabarlah kamu bersama dengan orang-orang yang
menyeru Rabbnya di pagi dan senja hari. (Al-Kahfi: 28) Maksudnya:
tahanlah dirimu bersama mereka.
Secara istilah, definisi sabar adalah: menahan diri dalam
melakukan sesuatu atau meninggalkan sesuatu untuk mencari keridhaan
Allah, Allah berfirman:
Dan orang-orang yang sabar karena mencari keridhaan Rabbnya
(Ar-Rad: 22).
Sabar terdiri dari 3 macam, yaitu:
1. sabar dalam melaksanakan ketaatan kepada Allah
2. sabar dalam meninggalkan perbuatan maksiat terhadap Allah
3. sabar dalam menerima taqdir yang menyakitkan.
Ayat-Ayat Al-Quran
Al-Baqarah 152-156
152. Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat
(pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu
mengingkari (nikmat)-Ku.
153. Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat
sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang
sabar.
154. Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang
gugur di jalan Allah, (bahwa mereka itu) mati; bahkan (sebenarnya)
mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya.
155. Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan
sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan
buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang
sabar.
156. (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka
mengucapkan: "Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun".
Mengenai sabar, Allah SWT berfirman, wahai sekalian orang-orang
yang beriman, bersabarlah kamu sekalian dan teguhkanlah kesabaranmu
itu dan tetaplah bersiap siaga (QS.Ali imran : 200)
Ayat ini memerintahkan untuk bersabar dalam menjalani ketaatan
ketika mengalami musibah, menahan diri dari maksiat dengan jalan
beribadah dan berjuang melawan kekufuran, serta bersiap siaga penuh
untuk berjihad di jalan Allah SWT. Tentang ayat ini, Sahl bin Saad
meriwayatkan sebuah hadis dari Rasulullah SAW bahwa, Satu hari
berjihad di jalan Allah itu lebih baik ketimbang dunia dengan
segala isinya (HR. Al-Bukhari dan At-Tirmidzi).
2. IKHLAS Definisi ikhlas menurut bahasa adalah sesuatu yang
murni yang tidak tercampur dengan hal-hal yang bisa
mencampurinya.
Definisi ikhlas menurut istilah syari (secara terminologi)
Syaikh Abdul Malik menjelaskan, Para ulama bervariasi dalam
mendefinisikan ikhlas namun hakikat dari definisi-definisi mereka
adalah sama. Diantara mereka ada yang mendefenisikan bahwa ikhlas
adalah menjadikan tujuan hanyalah untuk Allah tatkala beribadah,
yaitu jika engkau sedang beribadah maka hatimu dan wajahmu engkau
arahkan kepada Allah bukan kepada manusia.Ada yang mengatakan juga
bahwa ikhlas adalah membersihkan amalan dari komentar manusia,
yaitu jika engkau sedang melakukan suatu amalan tertentu maka
engkau membersihkan dirimu dari memperhatikan manusia untuk
mengetahui apakah perkataan (komentar) mereka tentang perbuatanmu
itu. Cukuplah Allah saja yang memperhatikan amalan kebajikanmu itu
bahwasanya engkau ikhlas dalam amalanmu itu untukNya. Dan inilah
yang seharusnya yang diperhatikan oleh setiap muslim, hendaknya ia
tidak menjadikan perhatiannya kepada perkataan manusia sehingga
aktivitasnya tergantung dengan komentar manusia, namun hendaknya ia
menjadikan perhatiannya kepada Robb manusia, karena yang jadi
patokan adalah keridhoan Allah kepadamu (meskipun manusia tidak
meridhoimu).
Ayat ayat Al-Quran tentang ikhlas:
"Sesunguhnya Kami menurunkan kepadamu Kitab (Al Quran) dengan
(membawa) kebenaran. Maka sembahlah Allah dengan memurnikan
ketaatan kepada-Nya. Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang
bersih (dari syirik)." (QS. Az-Zumar: 2-3)."Katakanlah:
"Sesungguhnya aku diperintahkan supaya menyembah Allah dengan
memurnikan ketaatan kepadaNya dalam (menjalankan) agama." (QS.
Az-Zumar: 2-3).3. RIDHO
Definisi ridhoRidho () berarti suka, rela, senang, yang
berhubungan dengan takdir (qodha dan qodar) dari Allah. Ridho
adalah mempercayai sesungguh-sungguhnya bahwa apa yang menimpa
kepada kita, baik suka maupun duka adalah terbaik menurut Allah.
Dan apapun yang digariskan oleh Allah kepada hamba-Nya pastilah
akan berdampak baik pula bagi hamba-Nya.
Macam macam ridho:Menurut Syeikh Muhammad bin Shalih
Al-Utsaimin, ridho terhadap takdir Allah terbagi menjadi tiga
macam:
1. Wajib direlakan, yaitu kewajiban syariat yang harus
dijalankan oleh umat Islam dan segala sesuatu yang telah
ditetapkan-Nya. Seluruh perintah-Nya haruslah mutlak dilaksanakan
dan seluruh larangan-Nya haruslah dijauhkan tanpa ada perasaan
bimbang sedikitpun. Yakinlah bahwa seluruhnya adalah untuk
kepentingan kita sebagai umat-Nya. 2. Disunnahkan untuk direlakan,
yaitu musibah berupa bencana. Para ulama mengatakan ridho kepada
musibah berupa bencana tidak wajib untuk direlakan namun jauh lebih
baik untuk direlakan, sesuai dengan tingkan keridhoan seorang
hamba. Namun rela atau tidak, mereka wajib bersabar karenanya.
Manusia bisa saja tidak rela terhadap sebuah musibah buruk yang
terjadi, tapi wajib bersabar agar tidak menyalahi syariat.
Perbuatan putus asa, hingga marah kepada Yang Maha Pencipta adalah
hal-hal yang sangat diharamkan oleh syariat. 3. Haram direlakan,
yaitu perbuatan maksiat. Sekalipun hal tersebut terjadi atas qodha
Allah, namun perbuatan tersebut wajib tidak direlakan dan wajib
untuk dihilangkan. Sebagaimana para nabi terdahulu berjuang
menghilangkan kemaksiatan dan kemungkaran di muka bumi.Ayat
al-quran tentang ridho Sesungguhnya dien atau agama atau jalan
hidup (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam. (QS Ali Imran
ayat 19)
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah shollallahu alaih
wa sallam itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang
mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia
banyak menyebut Allah. (QS Al-Ahzab ayat 21)DAFTAR PUSTAKAAlquran
dan terjemahanBaratawidjaja, Karnen Garna, Iris Rengganis. 2010.
Imunologi Dasar. Ed. 11. FKUI:Jakarta.Dorland, W.A.N. 2010. Kamus
Kedokteran Dorland edisi 31. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGCGoodman & Gilman. 2006. The Pharmacological Basis Of
Therapeutics 11th ed. McGraw Hill, New York.Gunawan SG, Setiabudy
R, Nafrialdi, Elysabeth. (2009). Farmakologi dan Terapi. Edisi V,
Jakarta : Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUIIsbagio H,
Kasjmir Y.I, Setyohadi B, Suarjana N. (2006). Ilmu Penyakit Dalam.
Edisi V, vol III Jakarta : Departemen Penyakit Dalam FKUI.Kumar.
Cotran. Robbins . 2007. Buku ajar patologi edisi 7. Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran EGC
635