1 WILAYATUL HISBAH SEBAGAI LEMBAGA PELAKSANA AMAR MA‘RUF NAHI MUNKAR; STUDI HISTORIKEL WILAYATUL HISBAH DALAM ISLAM Oleh: Hasbullah, S.Sos.I., MA NIDN: 2101077601 DOSEN INSTITUT AGAMA ISLAM AL-AZIZIYAH SAMALANGA ABSTRAK Hisbah merupakan suatu tindakan secara sukarela mengajak manusia untuk bebuat ma’ruf dan menjahui mukar. Kebiasaannya tindakan ini muncul dari sosok pribadi yang memiliki tanggungjawab moral terhadap kebaikan umat Islam lainnya. Tugas ini telah mulai muncul sejak di zaman Nabi SAW. Biarpun di zaman Nabi SAW tugas hisbah ini masih sangat terbatas sekali; hanya pada pengawasan pasar terhadap pedagang-pedagang yang melakukan kecurangan dalam perdangannya. Tugas hisbah ini terus mengalami kemajuannya pada masa- masa pemimpin Islam setelah Nabi SAW. Khususnya pada periode kekhalifihan setelah Nabi SAW, hisbah ini mencapai kemajuan yang sangat pesat. Pada periode ini hisbah sudah mencakup di seluruh sendi-sendi kehidupan manusia. Di samping itu juga, pada periode kekhalifahan inilah hisbah ini sudah menjadi lembaga resmi negara yang bergerak di bidang amar ma’ruf nahi mukar. Pada periode selanjutnya; yaitu periode tabiin tugas hisbah ini semakin menjadi pusat perhatian oleh setiap pemimpin-pemimpin negara Islam. Namun demikian, mekipun tugas hisbah di awal-awal Islam menjadi perioritas utama bagi setiap kepala negara Islam, tetapi pada akhirya tugas yang mulia ini semakin tidak begitu populer seperti di masa-masa kejayaan Islam. Disebabkan oleh kejayaan dan kemakmuran yang dicapai oleh umat Islam sehingga membuat mereka terlena dengan kehidupan keduniawian, pada gilirannya tugas amar ma’ruf nahi munkar tidak lagi menjadi tugas utama umat Islam. A. Pendahulan Persoalan Wilayatul Hisbah adalah merupakan masalah lama dalam dunia Islam. Namun, masalah Wilayatul Hisbah merupakan hal yang baru di Aceh. Pertama, dikatakan lama karena aktivitas hisbah atau pengawasan dari pihak pemerintah terhadap pelanggaran yang dilakukan masyarakat yang tidak sesuai dengan Syari‘at Islam sudah mulai diterapkan semenjak masa kepemimpinannya Nabi Muhammad saw ketika mendirikan kota Madinah, walaupun hisbah pada masa itu hanya pada pengawasan pasal.
31
Embed
WILAYATUL HISBAH SEBAGAI LEMBAGA PELAKSANA …iaia.ac.id/assets/uploads/Jurnal-Tgk-Hasbullah-SEJARAH-WILAYATUL... · masa pemimpin Islam setelah Nabi SAW. Khususnya pada periode kekhalifihan
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
WILAYATUL HISBAH SEBAGAI LEMBAGA PELAKSANA AMAR
MA‘RUF NAHI MUNKAR; STUDI HISTORIKEL WILAYATUL HISBAH
DALAM ISLAM
Oleh: Hasbullah, S.Sos.I., MA
NIDN: 2101077601 DOSEN INSTITUT AGAMA ISLAM AL-AZIZIYAH SAMALANGA
ABSTRAK
Hisbah merupakan suatu tindakan secara sukarela mengajak manusia untuk
bebuat ma’ruf dan menjahui mukar. Kebiasaannya tindakan ini muncul dari sosok
pribadi yang memiliki tanggungjawab moral terhadap kebaikan umat Islam
lainnya. Tugas ini telah mulai muncul sejak di zaman Nabi SAW. Biarpun di
zaman Nabi SAW tugas hisbah ini masih sangat terbatas sekali; hanya pada
pengawasan pasar terhadap pedagang-pedagang yang melakukan kecurangan
dalam perdangannya. Tugas hisbah ini terus mengalami kemajuannya pada masa-
masa pemimpin Islam setelah Nabi SAW. Khususnya pada periode kekhalifihan
setelah Nabi SAW, hisbah ini mencapai kemajuan yang sangat pesat. Pada
periode ini hisbah sudah mencakup di seluruh sendi-sendi kehidupan manusia. Di
samping itu juga, pada periode kekhalifahan inilah hisbah ini sudah menjadi
lembaga resmi negara yang bergerak di bidang amar ma’ruf nahi mukar. Pada
periode selanjutnya; yaitu periode tabiin tugas hisbah ini semakin menjadi pusat
perhatian oleh setiap pemimpin-pemimpin negara Islam. Namun demikian,
mekipun tugas hisbah di awal-awal Islam menjadi perioritas utama bagi setiap
kepala negara Islam, tetapi pada akhirya tugas yang mulia ini semakin tidak
begitu populer seperti di masa-masa kejayaan Islam. Disebabkan oleh kejayaan
dan kemakmuran yang dicapai oleh umat Islam sehingga membuat mereka terlena
dengan kehidupan keduniawian, pada gilirannya tugas amar ma’ruf nahi munkar
tidak lagi menjadi tugas utama umat Islam.
A. Pendahulan
Persoalan Wilayatul Hisbah adalah merupakan masalah lama dalam dunia
Islam. Namun, masalah Wilayatul Hisbah merupakan hal yang baru di Aceh.
Pertama, dikatakan lama karena aktivitas hisbah atau pengawasan dari pihak
pemerintah terhadap pelanggaran yang dilakukan masyarakat yang tidak sesuai
dengan Syari‘at Islam sudah mulai diterapkan semenjak masa kepemimpinannya
Nabi Muhammad saw ketika mendirikan kota Madinah, walaupun hisbah pada
masa itu hanya pada pengawasan pasal.
1
Ketika itu, kasus-kasus hisbah langsung diselesaikan oleh Nabi
Muhammad saw, meskipun pelaksanaan eksekusi hukumannya kadang-kadang
didelegasikan oleh para sahabat.1 Rasulullah saw bersabda:2
رضي اهلل عنه آن رسول اهلل صلي اهلل عليه وسلم مرعلي صربة من طعام فآدخل يده يةهروعن آيب
فيها فنالت آصابعه بلال, فقال: ما هذا يا صاحب الطعام؟ قال آصابته السماء يا رسول اهلل, قال:
رواه مسلم((آفال جعلته فوق الطعام كي يره الناس؟ من غش فليس مين
Artinya: Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah saw memeriksa satu tumpukan
beras, lalu Rasulullah saw memasukkan tangannya ke dalam tumpukan beras
tersebut, maka Rasulullah saw menemukan beras itu pada bagian bawah dalam
keadaan basah, lalu Rasulullah saw menanyakan pada pemiliknya, kenapa engkau
lakukan ini wahai pulan, maka ia menjawab beras ini telah tertimpa hujan,
kemudian Rasulullah saw menanyakan lagi, kenapa tidak engkau taruhkan yang
basah itu di bagian atas saja supaya terlihat oleh manusia? Siapa saja yang
melakukan kecurangan dalam perdangannya, maka ia bukan dari golonganku.
(HR. Muslim ra).
Mengingat orientasi pelaksanaan hisbah pada masa itu hanya terpusatkan
kepada pengawasan pasar, penertiban harga barang, sehingga istilah hisbah pada
waktu itu lebih dikenal dengan panggilan ShÉhib al-sËq (pengawas pasar) atau al-
‘Ómil fi al-sËq (petugas pengawasan di pasar).3
Al-Hisbah adalah suatu tugas keagamaan, dengan misi untuk menjalankan
amar ma‘ruf nahi munkar, mengajak, memerintahkan manusia untuk mengerjakan
1Hasnul Arifin Melayu, “Eksistensi Wilayat al-Hisbah dalam Islam” dalam Soraya Devy,
dkk, Politik dan Pencerahan Peradaban, (Banda Aceh: Ar-Raniry Press, 2004), h. 53.
2Ibnu Hajar al ‘Asqalany, Bulughu al maram min adillati al ahkam, (Jakarta: DÉr al-
Menurut Perspektif Islam, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1999), h. 110.
25Jizyah adalah pungutan harta yang dikeluarkan atas setiap kepala. Kata jizyah itu
diambil dari kata al-jaza;balasan, yaitu dapat bermakna balasan atas kekafiran mereka dengan
mewajibkan jizyah itu bagi mereka sebagai penghinaan atas kekafiran mereka. Atau, sebagai
balasan atas keamanan yang kita berikan kepada mereka dengan mengambil jizyah tersebut dari
mereka secara senang hati. Lihat Yusuf al-Qardhawy, al-Siyasat …, h. 110.
Dasarnya adalah firman Allah swt,
وا آجلزية عن يد و هم قاتلوا الذين ال يؤمنون باهلل و الباليوم اآلخر و الحيرمون ما حرم اهلل ورسوله و ال يدينون دين احلق من الذين آتوا آلكتاب حيت يعط .صاغرون
Artinya,
Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak pula kepada hari
kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya,
dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan
al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam
keadaan tunduk. (QS, al-Taubah, 29). Lihat Imam al-Mawardi, al-Ahkam al-Sultaniyyah wa al-
Wilayat al-Diniyyah, (Mesir: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1996), h. 251.
26Yusuf al-Qardhawy, al-Siyasat …, h. 136-137.
10
pemerintahan daerah untuk mengatur, mengelola daerahnya masing-masing tanpa
interpensi pemerintah daerah, menetapkan dasar-dasar sistem pengelolaan negara
atau mengatur manajemen kenegaraan, sangat memperhatikan kemaslahatan
rakyat dan melindungi segala haknya. ‘Umar juga menanamkan semangat
demokrasi, baik dikalangan rakyat maupun para pejabat negara. Dari
kebijaksanaan politik yang dirintis ‘Umar ini dapat dikatakan bahwa masa
pemerintahan Umar adalah suatu masa di puncak kejayaan negara Madinah.27
Pada masa kekhalifahan ‘Umar banyak melakukan perubahan-perubahan
struktur pemerintahan, di antaranya adalah mendirikan lembaga-lembaga
pemerintahan yang mengurus kepentingan masyarakat. Lembaga-lembaga
tersebut dinamakan dengan diwan-diwan (departemen-departemen), salah satu
diwan yang dibentuk oleh ‘Umar adalah Diwan al-Hisbah. Untuk menjalan tugas
ini, ‘Umar mengangkat Sa’ib Ibn Yazid dan ‘Abdullah Ibn ‘Utbah sebagai
muhtasib di Madinah. Dalam menjalankan tugasnya, sÉhib al-suq (muhtasib)
diperbantukan oleh Diwan al-Ahdath (Departemen Kepolisian) yang tugas
utamanya adalah menjaga stabilitas keamanan. Ini menunjukkan bahwa
terbentuknya lembaga al-hisbah secara sistematis adalah di masa kekhalifahan
‘Umar.28 Karena perhatiannya yang besar terhadap masalah hisbah, ‘Umar ra
lebih terkenal dalam hal ini dibandingkan dengan khalifah lain, sehingga sebagian
orang mengira bahwa beliau orang yang pertama yang membahas tentang hisbah
ini.29 Memang benar tersistematika lembaga hisbah ini di masa kekhalifahan
‘Umar. Akan tetapi, badan ini baru terkenal di masa al-Mahdi (158-169 H).30
27Sirajuddin, Politik Kenegaraan Islam, Studi Pemikiran A. Hasjmy, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2007), h. 43.
28Muhibbuththabary, Wilayat al-Hisbah …, h. 58-59.
29Jaribah bin Ahmad Al-Haritsi, al-Fiqh al-Iqtishadi li Amar al-Mukminin ‘Umar Ibn al-
Khatthab, trj Asmuni Solihan Zamakhsyari, Fikih Ekonomi ‘Umar bin al-Khathab, (Jakarta:
Khalifa, 2006), h. 587-588.
30Topo Santoso, Membumikan …, h. 57.
11
Masa kekhalifahan ‘Umar bin Khattab selain banyak melakukan inovasi-
inovasi diinternal pemerintahannya, Ia juga banyak mengambil kebijakan-
kebijakan yang bersifat eksternal, berupa penaklukan untuk menjalankan Syari‘at
Islam. Pada masa pemerintahan ‘Umar bin Khattab banyak daerah-daerah yang
dapat ditaklukkan oleh umat Islam, misalnya: (1) penaklukan Suriah (637 M). (2)
penaklukan Palestina (637 M), kedua kota tersebut masih dalam kekuasaan
kekaisaran Bizantium pada ketika itu, Kemudian serangan demi serangan terus
dilanjutkan sehingga dalam peperangan Yarmuk pasukan Arab dapat menguasai
Bizantium secara total. (3) penaklukan Damaskus (637 M), kota Damaskus ini
juga dalam tahun yang sama mengalami keruntuhan. (4) penaklukan Turki (637
M). (5) penaklukan Irak (637 M). Walaupun Irak telah mulai ditaklukkan sebelum
‘Umar bin Khattab, namun puncak kemenangan umat Islam diraih dalam masa
pemerintahan ‘Umar bin Khattab yaitu dalam petempuran Qadisiya yang
bertepatan dengan tahun 637 M. (6) penaklukan Iskandariah (639 M), Iskandariah
ini menyerah di bawah kepemimpinan ‘Umar bin Khattab dua tahun setelah
penaklukan Damaskus. (7) penaklukan Mesir (642 M). Pasukan Arab kian hari
semakin bertambah solid dan tangguh, sehingga bertepatan dengan tahun 639 M,
pasukan ini telah memasuki Mesir yang pada saat itu masih di bawah kekuasaan
Bizantium juga. Dengan kegigihan pasukan-pasukan Arab ini sehingga tiga tahun
kemudian Mesir (642 M) sudah berada dalam kekuasaan umat Islam.31
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, terdapat dua keunggulan
kebijakan politik kekhalifahan ‘Umar bin Khattab. Pertama, keunggulan kebijakan
politik dalam negeri. Keunggulan di bidang ini dapat diketahui dengan
terbentuknya badan pengawasan atau badan hisbah (badan pengontrol) terhadap
masyarakat dengan sistematis atau terorganisir. Kedua, keunggulan politik luar
negeri, dapat diketahui dengan banyaknya daerah-daerah yang dapat ditaklukkan
oleh pasukan Islam di masa kekhalifahan ‘Umar bin Khattab.
31M. Hasbi Amiruddin, Republik ‘Umar …, h. 29-30.
12
Sistem kepemimpinan ‘Umar ini kemudian dilanjutkan oleh Khalifah
‘Utsman bin ‘Affan. Dalam hal hisbah ‘Utsman juga melimpahkan tugas ini
kepada orang lain. Khusus di bidang pengawsan pasar ‘Utsman mengangkat al-
Harits Ibn al-‘Ash sebagai muhtasibnya. Demikian juga pada masa kekhalifahan
‘Ali bin Abi Thalib, wewenang hisbah ini dilimpahkan kepada pegawai-
pegawainya untuk pengawasan dalam traksaksi jual-beli di pasar-pasar Kota
Madinah ‘Ali bin Abi Thalib melantik Awrad Ibn Sa‘ad sebagai pengawasnya.32
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dalam periode Khulafa’h al-
Rasyidin paling banyak perubahan-perubahan atau kebijakan pemerintahan
tentang hisbah adalah pada masa khilafah ‘Umar bin Khattab. Karena dalam
struktur kepemerintahan Umar bin Khattab telah terjadi pemisahan antara
kekuasan eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
3. Periode Dinasti Umaiyah dan Dinasti Bani ‘Abbasiyah
Pada periode Dinasti Umaiyah tugas hisbah ini semakin mendapat
perhatian di hati khalifah, sehingga ketika Dinasti Bani Umaiyah ini dipimpin
oleh Khalifah Walid Ibn Abdul Malik sering ia sendiri yang melakukan inspeksi
ke pasar-pasar untuk memeriksa harga-harga barang. Tugas inspeksi pada masa
Dinasti Umaiyah ini terus dikembangkan dan ditingkatkan sehingga ketika Dinasti
Umaiyah dipimpin oleh Hisyam Ibn Abdul Malik sistem pengawasan pasar ini
semakin terorganisir dan terstruktur dengan rapi. Artinya tugas pengawasan pasar
di masa ini dilimpahkan kepada pihak lain, disamping dilaksanakan oleh khalifah
itu sendiri. Dalam hal ini Hisyam Ibn Abdul Malik mengangkat Daud Ibn ‘Ali Ibn
Abdullah sebagai pejabat pengawasan pasar di Iraq. Sejak masa inilah, istilah
shahib al-suq atau ‘amil fi al-suq berganti nama dengan al-hisbah (pengawasan)
dan muhtasib artinya petugas atau pengawas.33
32Muhammad Husain Haiekal, al-Faraq …, h. 668.
33Muhammad Abdul Qadir Abu Fariz, Sistem Politik Islam, (Jakrta: Rabbani Press, 2000),
h. 221-222.
13
Pengawasan dari pihak pemerintahan seperti ini terus dipertahankan
hingga kemasa kejayaan Bani ‘Abbasiyah; Khalifah Abu Ja‘far al-Mansur untuk
menjaga kelanggengan tugas hisbah ini melantik Abu Zakaria Yahya Ibn Adullah
Sulaiman al-Ahwal menjadi petugas hisbah kota Kufah.34
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, tugas hisbah atau pengawasan
dari pihak pemerintah terhadap anggota masyarakat yang melakukan kecurangan-
kecurangan sudah mulai terlihat di masa Nabi Muhammad saw, namun
pengawasan pada masa itu hanya terfokus pada pengawasan pasar. Tugas
pengawasan ini terus dilanjutkan dan dikembangkan oleh pemimpin-pemimpin
setelah Nabi Muhammad saw.
C. Dalil-Dalil Amar Ma‘ruf Nahi Munkar
Pelaksanaan amar ma‘ruf dan nahi munkar memiliki landasan yang sangat
kuat baik dalam Al-Qur`an maupun dalam al- Sunnah.
Allah swt berfirman: 35
و لتكن منكم آمة يدعون اىل اخلري ويآمرون باملعروف و ينهون عن املنكر وآوالئك هم املفلحون
Artinya: Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru
kepada kebaikan, menyuruh kepada yang ma‘ruf dan mencegah dari yang munkar,
mereka itulah orang-orang yang beruntung. (QS. 3: 104).
Kata-kata min dari lafad minkum dalam ayat di atas mempunyai dua
makna, Pertama min li tajrid; artinya min yang tidak mempunyai makna apa-apa
(kosong dari mana). Berdasarkan makna min seperti demikian, maka jadilah
makna ayat di atas adalah: supaya kamu semua menjadi suatu umat yang menyeru
kepada kebaikan. Adapun makna min yang kedua li tab‘id; artinya sebagian, maka
ayat di atas mempunyai maknanya adalah: hendak adalah sebagian kamu satu
34Muhammad Ikbal, Fiqh SiyÉsah …, h. 60.
35Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum …, h. 265.
14
kelompok atau satu barisan yang kuat, berani, dan solid yang menyeru kepada
kebaikan, memerintahkan yang ma‘ruf dan mencegah dari yang munkar.36
Adapun menurut peneliti, makna min dalam ayat di atas lebih cenderung
kepada makna yang kedua (tab‘id), dikarenakan makna min yang kedua ini