White Paper Komisi Energi PPI Dunia 2017-2018 A. PENDAHULUAN Ketahanan Energi merupakan satu dari 11 program Pembangunan Ekonomi Berkelanjutan dari pemerintah Indonesia, yang dalam hal ini adalah Kementrian Perencanaan Pembangunan Nasional/ BAPENNAS (Bapennas, 2017). Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh para ahli membuktikan bahwa peningkatan penggunaan energi selaras dengan peningkatan perekonomian (GDP) suatu wilayah (Stern & Cleveland, 2004), sehingga dapat dikatakan bahwa ketahanan energi merupakan salah satu bagian penting terhadap laju pertumbuhan ekonomi. Disatu sisi, peningkatan penggunaan energi juga akan berdampak langsung terhadap lingkungan. Seperti apa yang terjadi di Cina (Tiongkok) pada tahun 1990 hingga 2012, dimana terjadi pertumbuhan GDP secara signifikan selaras dengan peningkatan konsumsi energi yang berdampak langsung terhadap peningkatan emisi karbon (Wang, 2016). Salah satunya disebakan karena tingginya penggunaan batubara sebagai pembangkit tenaga listrik di Tiongkok. Gambar 1. Grafik pertumbuhan ekonomi (GDP), konsumsi energi (EC), dan emisi karbon CO2 (CE) di Tiongkok dari tahun 1990 hingga 2012 (Wang, 2016). Pada tahun 2030 Indonesia diproyeksikan akan menjadi negara yang memiliki PDB (Pendapatan Domestik Bruto) terbesar ke 5 di Dunia, dengan syarat selama didukung oleh konsistensi pemerintah dalam melaksanakan program jangka panjang terkait peningkatan kualitas
54
Embed
White Paper Komisi Energi PPI Dunia 2017-2018 A. PENDAHULUANppidunia.org/wp-content/uploads/2018/11/White-Paper-Komisi-Energi.pdf · listrik dari SCP terbesar di dunia pada tahun
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
White Paper Komisi Energi PPI Dunia 2017-2018
A. PENDAHULUAN
Ketahanan Energi merupakan satu dari 11 program Pembangunan Ekonomi Berkelanjutan
dari pemerintah Indonesia, yang dalam hal ini adalah Kementrian Perencanaan Pembangunan
Nasional/ BAPENNAS (Bapennas, 2017). Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh para ahli
membuktikan bahwa peningkatan penggunaan energi selaras dengan peningkatan perekonomian
(GDP) suatu wilayah (Stern & Cleveland, 2004), sehingga dapat dikatakan bahwa ketahanan
energi merupakan salah satu bagian penting terhadap laju pertumbuhan ekonomi. Disatu sisi,
peningkatan penggunaan energi juga akan berdampak langsung terhadap lingkungan. Seperti apa
yang terjadi di Cina (Tiongkok) pada tahun 1990 hingga 2012, dimana terjadi pertumbuhan GDP
secara signifikan selaras dengan peningkatan konsumsi energi yang berdampak langsung terhadap
peningkatan emisi karbon (Wang, 2016). Salah satunya disebakan karena tingginya penggunaan
batubara sebagai pembangkit tenaga listrik di Tiongkok.
Gambar 1. Grafik pertumbuhan ekonomi (GDP), konsumsi energi (EC), dan emisi karbon CO2 (CE) di Tiongkok
dari tahun 1990 hingga 2012 (Wang, 2016).
Pada tahun 2030 Indonesia diproyeksikan akan menjadi negara yang memiliki PDB
(Pendapatan Domestik Bruto) terbesar ke 5 di Dunia, dengan syarat selama didukung oleh
konsistensi pemerintah dalam melaksanakan program jangka panjang terkait peningkatan kualitas
SDM, pembangunan infrastruktur, serta adanya stabilitas politik, dimana energi sendiri merupakan
bagian dari pembangunan infrastruktur.
1. Kebijakan Energi Nasional
Menurut PP No. 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional, pada tahun 2025
penggunaan energi baru dan terbarukan di Indonesia paling sedikit adalah 23 %, serta terpenuhinya
penyediaan kapasitas pembangkit listrik pada tahun 2025 sekitar 115 GW (Gigawatt). Sedangkan
pada November 2016 pemerintah Indonesia melalui Paris Agreement telah sepakat bahwa akan
mengurangi produksi gas rumah kaca pada tahun 2030 sebesar 29% tanpa bantuan internasional
atau 41% dengan bantuan internasional.
Melihat kondisi diatas, maka solusi yang paling ideal adalah dengan menggunakan energi
yang murah serta ramah lingkungan. Akan tetapi saat ini harga energi terbarukan masih relatif
lebih mahal jika dibandingkan dengan energi konvensional berbasis fosil yang digunakan saat ini,
sehingga energi terbarukan masih sulit berkembang. Selain itu, beberapa hal teknis juga ikut
berpengaruh terhadap rendahnya jumlah penggunaan energi terbarukan seperti; produksi listrik
yang tidak stabil, jumlah pasokan listrik yang dihasilkan masih sangat rendah, dan lain sebagainya.
Oleh karena itu, perlu adanya dukungan dari berbagai macam pihak seperti peneliti (lembaga
penelitian dan universitas), pengguna (industri, lembaga pendidikan & penelitian, serta
masyarakat) yang dikomandoi oleh pemerintah.
Berdasarkan Peraturan Menteri ESDM No. 50 tahun 2017 tentang Pemanfaatan Sumber
Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik, menjelaskan bahwa pemerintah mentapkan
taris listrik yang berasal dari PLTS Fotovoltaik (sel surya), PLTB (angin), PLTBm (biomassa),
PLTBg (biogas), PLTA Laut paling tinggi sebesar 85% dari BPP Pembangkitan di sistem
ketenagalistrikan setempat, sedangkan jika BPP setempat sama atau dibawah rata-rata BPP
nasional, maka harga pembelian listrik dari sumber tersebut ditetapkan berdasarkan kesepakatan
para pihak. Sedangkan untuk PLTA (aliran sungai, waduk, bendungan), PLTSa (sampah
perkotaan), dan PLTP (panas bumi), harga listrik paling tinggi paling tinggi sama dari BPP
Pembangkitan di sistem ketenagalistrikan setempat, sedangkan jika BPP setempat sama atau
dibawah rata-rata BPP nasional, maka harga pembelian listrik dari sumber tersebut ditetapkan
berdasarkan kesepakatan para pihak. Dalam hal ini pemerintah telah mengatur harga listrik yang
berasal dari energi terbarukan, akan tetapi jaminan investasi dari pemerintah juga sangat penting
guna mendorong pembangunan pembangkit listrik yang berasal dari energi baru terbarukan.
Sebagai contoh; biaya investasi eksplorasi untuk panas bumi sangatlah tinggi, sedangkan disatu
sisi eksplorasi lapangan panas bumi tidak dapat dijamin 100% berhasil atau bisa dikatakan 50:50
antara tingkat keberhasilan dan tingkat kegagalan.
2. Diversifikasi Energi di Indonesia
Jika dilihat dari letak geografisnya, Indonesia dapat dibedakan menjadi tiga wilayah;
a. Metropolitan, Daerah Industri, dan Perkotaan Besar.
b. Wilayah Kabupaten dan Kota.
c. Wilayah 3T (Terdepan, Terluar, Tertinggal).
Dimana tiap-tiap wilayah memiliki kondisi infrastruktur dan kebutuhan energi yang berbeda-beda.
Sehingga perlu adanya diversifikasi energi yang berlandaskan pada kearifan lokal. Sehingga
penggunaan potensi energi dari masing-masing wilayah dapat dioptimalkan, yang salah satunya
berdampak terhadap rendahnya biaya infrastruktur energi tersebut. Jika memungkinkan,
pembangunan infrastruktur energi berskala kecil disuatu wilayah juga harus didukung oleh SDM
yang berasal dari wilayah tersebut agar lebih mudah dalam proses maintenance. Dalam
membangun infrastruktur energi juga perlu dilihat nilai keekonomian dari infrastruktur tersebut.
Nilai keekonomian yang dimaksud bukanlah harga listrik yang diproduksi akan lebih rendah dari
BPP nasional atau BPP wilayah tersebut, melainkan seberapa efektif kebutuhan penggunaan energi
tersebut sehingga dapat mendorong potensi perekonomian yang ada pada wilayah tersebut. Dari
hal yang telah disampaikan diatas bahwa antara kegiatan perekonomian, pendidikan dan
infrastruktur energi pada suatu wilayah sangatlah berkaitan erat (gambar 2).
Gambar 2. Hubungan antara pendidikan, ekonomi, dan infrastruktur energi untuk tiap wilayah yang dijelaskan pada
gambar 3.
Gambar 3. Ketersediaan lahan dan konsumsi energi pada tiap-tiap wilayah.
Pada gambar 3 dapat dijelaskan bahwa pada daerah metropolitan, tingkat konsumsi energi
sangatlah tinggi dimana berbanding terbalik dengan ketersediaan lahan yang sempit. Selain itu,
daerah industri juga membutuhkan supply listrik yang stabil. Sehingga pembangkit listrik yang
paling cocok digunakan untuk mensuplai listrik pada daerah tersebut adalah pembangkit listrik
berbasil fosil atau PLTN (pembangkit listrik tenaga nuklir). Perlu diingat juga bahwa pengguna
listrik tidak hanya oleh para pelaku industri, melainkan juga aktifitas penelitian seperti
laboratorium penelitian di universitas-universitas maupun lembaga penelitian yang juga
membutuhkan suply listrik yang besar dan stabil.
Jika kedepannya perkotaan besar yang ada di Indonesia mulai membangun transportasi
massal yang membutuhkan supply listrik yang besar, maka kebutuhan listrik akan menjadi lebih
krusial. Sedangkan untuk daerah kabupaten atau kota kecil yang notabenya tidak membutuhkan
daya yang cukup besar, maka pembangkit listrik dengan daya skala menengah lebih dibutuhkan
guna menghindari kelebihan supply, kecuali kelebihan supply tersebut dapat disalurkan pada
daerah sekitar yang lembih membutuhkan.
Untuk daerah 3T yang pada dasarnya hanya membutuhkan supply listrik berskala kecil,
maka pembangkit listrik seperti microhidro, biogas, dan sel surya lebih tepat untuk digunakan
bergantung potensi lokal yang ada, sehingga tidak akan sulit dalam proses pemeliharaanya.
Oleh karena itu diversifikasi energi menjadi solusi bagi pembangunan infrastruktur di
Indonesia yang memiliki kondisi wilayah yang berbeda beda.
B. TEKNOLOGI PANEL SURYA
1. Teknologi Concentrated Solar Panel (CSP)
Terdapat dua tipe teknologi panel surya untuk memproduksi listrik yaitu Concentrated
Solar Power (CSP) dan Photovoltaic (PV). Teknologi dasar dari CSP adalah penggunaan cermin
untuk merefleksikan radiasi matahari ke satu titik pusat dimana energi listrik akan dihasilkan.
Radiasi matahari yang terkumpul di titik pusat ini akan diubah menjadi energi panas yang
kemudian akan diubah ke energi listrik (IEA, 2014). CSP sendiri dibagi menjadi empat jenis. Jenis
pertama adalah Linear Fresnel Reflector (LFR) dimana cermin akan merefleksikan radiasi
matahari ke satu tabung pusat yang terletak sejajar dengan cermin reflector. Kelemahan dari LFR
adalah rendahnya produksi energi apabila terdapat bayangan dari sinar matahari dan cermin-
cermin di sekitar titik pusat (Mills & Morrison, 2000). Jenis kedua adalah Parabolic Through (PT)
dimana tabung pengumpul radiasi matahari terinstall di setiap reflector. LFR dan PT merupakan
teknologi CSP yang menggunakan titik pusat yang terpasang secara linear (Gharbi, et al, 2011).
Teknologi ketiga adalah Central receiver dimana tabung pengumpul merupakan menara pusat
tunggal yang terletak di depans atau di tengah-tengah cermin reflector atau biasa disebut heliostat
dalam teknologi ini. Energi panas yang dihasilkan oleh Menara ini dapat mencapai 500-1000oC.
Kelemahan dari system ini adalah aabila energi panas yangterkumpul lebih dari 600oC, efisiensi
system akan cenderung semakin rendah (Ho and Iverson, 2014). Teknologi keempat dari CSP
adalah Parabolic Dish Collector (PDC) dimana titik pusat terdapat di masing-masing parabola
(Wu, et al, 2010). Ilustrasi keempat jenis tersebut terdapat di Gambar 1.
Gambar 1 Empat jenis CSP (IEA, 2014)
Untuk menghasilkan energi listrik, CSP membutuhkan Direct Normal Irradiation (DNI)
yang sangat tinggi karena titik pusat dari CSP memiliki sudut penerima yang cukup kecil (Blanc
et al., 2014). Definisi dari DNI sendiri adalah jumlah solar radiasi yang diterima oleh suatu
permukaan yang terletak tegak lurus dengan sudut datangnya sinar matahari. Sudut optimal
penerima DNI oleh suatu lensa dapat diukur oleh pyrheliometer (Gueymard & Ruiz-Arias, 2015).
Angka DNI yang dpat diterima oleh CSP di Indonesia tidak terlalu tinggi (Jacobson & Delucchi,
2011; Trieb, et al., 2009). Oleh karena itu, steknologi ini tidak dapat menghasilkan enerhi listrik
secara optimal jika diterpkan di Indonesia. Selain itu, biaya pembuatan dan perawatan CSP juga
cukup tinggi (Khan & Arsalan, 2016).
Gambar 2 Jumlah DNI tahunan di dunia (Trieb et al., 2009)
Teknologi kedua dari panel surya adalah photovoltaic (PV). Teknologi ini dapat mengubah
sinar matahari secara langsung menjadi energi listrik (Lasnier & Gan Ang, 1990). Terdapat dua
jenis PV dalam hal instalasinya; PV yang posisinya akan tetap sama dan PV yang disertai dengan
tracking system. Jenis kedua memiliki potensi produksi listrik yang lebih tinggi karena panel surya
akan mengikuti arah radiasi matahari. Akan tetapi, teknologi ini membutuhkan area yang lebih
luas daripada teknologi pertama. Teknologi PV ini merupakan teknologi panel surya yang cocok
diterapkan dalam skala kecil seperti perumahan (El-Baz, et al., 2018).
Berdasarkan Khan dan Arsalan (2016), CSP dan PV memiliki keuntungan dan kelemahan
masing-masing dalam hal efisiensi, ekonomi, dan penerimaan masyarakat luas seperti pada Tabel
1.
Tabel 1 Perbandingan antara CSP dan PV
Perbandingan CSP PV
Efisiensi Memiliki efisiensi tahunan yang lebih tinggi dalam penerapan skala besar
Memiliki efisiensi tahunan yang lebih tinggi dalam penerapan skala kecil
Ekonomi Lebih mahal daripada PV dalam hal pembangunan, namun menghasilkan energi listrik lebih banyak dan lifetime lebih lama daripada PV
Lebih murah dalam hal pembangunan dan perawatan untuk skala rumah tangga
Perimaan masayarakat Lebih banyak digunakan sebagai pembangkit listrik utama dan di bidang komersial
Lebih banyak digunakan masyarakat sebagai rooftop PV
2. Perkembangan di Dunia
Berdasarkan pemetaan penggunaan energi terbarukan di dunia oleh IEA (2016),
Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) merupakan sumber energi terbarukan keempat yang
paling banyak digunakan di dunia setelah Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), bio-energi, dan
Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB). Penggunaan PLTS telah menigkat lebih dari 10% sejak
tahun 2000 hingga 2015 (Gambar 3).
Gambar 3 Peningkatan penggunaan energi matahari tahun 1990 hingga 2015 (IEA, 2016)
Mudahnya instalasi dan perawatan PV merupakan salah satu alasan menigkatnya
presentase penggunaan PV secara global (Gambar 4). Eropa merupakan konsumen terbesar dalam
hal penggunaan energi listrik dari radiasi matahari sejak tahun 2010. Sedangkan Amerika Serikat
(AS) merupakan konsumen energi matahari terkecil karena tingginya biaya untuk instalasi,
regulasi, perawatan, dan lain-lain (IEA, 2016). Meskipun demikian, AS tetap mengunggulkan
teknologi energi matahari. Meskipun regulasi pemasangan PV panel di AS sangat ketat, negara ini
memprediksi bahwa solar panel akan berkontribusi sebesar 10% dalam memproduksi energi listrik
pada tahun 2025, 8% dari persentase tersebut datang dari PV panel dan sisanya dari CSP (Solangi,
et al., 2011).
Menurut Zhang, et al., (2015), harga instalasi solar panel berteknologi PV untuk skala kecil
telah menurun sebesar $3/W sejak tahun 2006 hingga 2012. Hal ini juga didukung dengan
meningkatnya efisiensi panel sebesar 17.5% pada tahun 2013. Keuntungan ekonomi juga didapat
dari penggunaan PV panel. Dengan menggunakan PV panel yang berkapasitas 690 KW dengan
lifetime selama 25 tahun, masyarakat dapat menghasilkan energi listrik sebesar 1178 MWh per
tahun. Meskipun biaya pemasangan PV panel sangat besar, biaya ini akan kembali pada tahun
ketiga pemakaian PV panel. Hal ini telah diuji oleh (Hosenuzzaman et al., 2015).
Gambar 4 Akumulasi tahunan jumlah instalasi PV dan energi listrik yang dihasilkan (Parrado, et al. 2016)
Di sisi lain, CSP juga mengalami peningkatan pesat sebagai pembangkit listrik skala besar
Gambar 5. Vallentin & Viebahn (2010) dan Viebahn, et al. (2011) merangkum potensi CSP hingga
tahun 2050 secara global yang didasarkan pada regulasi dan insentif nasional. Jumlah produksi
listrik tahunan dari CSP dapat meningkat empat kali lipat dari eksisting. Teknologi PT diprediksi
masih menjadi teknologi CSP terfavorit pada tahun 2050. Spanyol dan AS merupakan penghasil
listrik dari SCP terbesar di dunia pada tahun 2007 hingga 2012 (Shouman & Khattab, 2015).
Jika angka DNI di suatu negara cukup tinggi seperti di Mesir dan Spanyol, teknologi ini
dapat menghasilkan insentif yang cukup tinggi. Dengan meningkatnya produksi global CSP dari
tahun 2010 hingga 2050, harga energi listrik yang harus dibayarkan juga akan semakin menurun
karena energi listrik akan berasal dari energi terbarukan yang dapat dihasilkan setiap saat (Trieb,
et al., 2011).
Gambar 5 Akumulasi tahunan jumlah instalasi CSP dan energi listrik yang dihasilkan (Parrado et al., 2016)
Gambar 6 Penurunan harga produksi CSP dibandingkan dengan pertumbuhan global kapasitas instalasinya
Shouman dan Khattab (2015), membuktikan bahwa penggunaan CSP dapat menekan biaya
pembangunan, perawatan, dan produksi energi listrik dibandingkan dengan biaya yang harus
dibayar dalam penggunaan energi listrik dari system konvensional yang menggunakan bahan bakar
fosil. Analisa biaya ini biasa disebut Levelized Cost of Energy (LCOE). Dengan level DNI suatu
negara yang mencapai 2500 kWh/m2/tahun, negara tersebut dapat menekan biaya pengeluran
sebesar 70% pada tahun 2050.
3. Perkembangan di Indonesia
Data dari IEA yang dapat diunduh di
http://www.iea.org/stats/WebGraphs/INDONESIA4.pdf menunjukkan bahwa Indonesia masih
menggunakan sumber energi tidak terbaharukan sebanyak 50% dari total hingga tahun 2015.
Berdasarkan hasil simulasi dari REmap yang dilakukan oleh International Renewable Energy
Agency (2017), produksi PLTS Indonesia dapat mencapai 3.1 GW/tahun dan mencapai 8% dari
total produksi listrik Indonesia tahun 2030.
Hingga tahun 2016, kapasitas PLTS yang sudah disediakan oleh pemerintah Indonesia
hanya mencapai 16 MW dan tersebar di 34 provinsi (Gambar 7). 50% dari kapasitas tersebut
dikelola oleh Perusahaan Listrik Nasional (PLN) (Ditjen Ketenagalistrikan ESDM, 2017). Dari
ke-34 provinsi tersebut, Kalimantan Barat merupakan provinsi yang memiliki potensi tenaga surya
tertinggi (Ditjen EBTKE ESDM, 2016). Sebaran tenaga surya di Indonesia telah dilaporkan dalam
Jonan et al. (2016) yang juga merupakan hasil analisa dari Soekarno et al. (2014).
Indonesia menargetkan untuk memperoleh energi listrik sebesar 260,3 MW dari PLTS
pada tahun 2019 (Gambar 8). PLTS non-APBN merupakan penyumbang terbesar dari rencana
kapasitas terpasang tersebut. PLTS APBN akan dikonstrasikan dalam pembangunan rooftop PV
di Gedung pemerintahan dan bandara. Untuk mencapai target tersebut, terdapat 80 lokasi yang
tersebar di pulau-pulau Indonesia yang akan dibangun PLTS dengan total kapasitas terpasang
sebesar 140 MW (Kementrian Energi dan Sumber Daya Alam, 2015).
Gambar 7 Detail kapasitas terpasang tahunan dan produksi listrik dari PLTS yang dikelola oleh PLN dan pribadi (Ditjen Ketenagalistrikan ESDM, 2017)
Gambar 8 Rencana Strategis KESDM dalam peningkatan produksi listrik dari PLTS. Sumbu x merupakan kapasitas terpasang dalam MW (Kementrian Energi dan Sumber Daya Alam, 2015)
4. Instalasi di Indonesia
Sebagaimana telah dipaparkan oleh Trieb et al. (2009), potensi Indonesia dalam
meningkatkan penggunaan system CSP tidak terlalu tinggi karena rendahnya angka DNI tahungan
sebagai input utama. Sebaliknya, potensi system PV di Indonesia sangat tinggi karena tingginya
angka Global Horizontal Irradiance (GHI). Untuk mempermudah perhitungan estimasi potensial
PV, beberapa riset di dunia telah memetakan lokal dan global solar radiasi seperti yang dilakukan
oleh Šúri, et al. (2005) dalam skala Eropa dan World Bank Group (2016) dalam skala global.
Indonesia sendiri telah memiliki peta potensi energi surya yang telah dipublikasikan oleh Soekarno
et al. (2014) di bawah Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Ketenagalistrikan, Energi
Baru Terbarukan, dan Konservasi Energi (P3TKEBTKE), Badan Penelitian dan Pengembangan
Energi dan Sumber Daya Mineral, Indonesia.
Pemasangan panel surya di atap rumah, apartemen, dan gedung-gedung tinggi merupakan
salah satu upaya untuk mengoptimalkan produksi listrik di kota-kota besar. Jakarta dapat
digunakan sebagai salah satu area studi. Apabila teknologi rooftop PV ini diaplikasikan,
potensinya dapat mencapai sekitar 0,55 MW/km2. Perhitungan ini menggunakan formula dari
Perpiñan, et al. (2007) dimana fluktuasi temperatur dapat mengurangi produksi panel surya sebesar
4%. Data temperatur yang digunakan dalam perhitungan ini merupakan data bulanan DKI Jakarta
yang dapat diunduh secara gratis di http://dataonline.bmkg.go.id/ (BMKG, 2015) dan data radiasi
diekstrak dari peta solar radiasi dari World Bank Group (2016).