Page 1
MATA KULIAH PENYAKIT TROPIK
Makalah Penyakit Stroke
KELOMPOK 1:
LISANTI 25010113120034
NUR FITRIAH 25010113120037
JIHAN ANNISA 25010113130262
RUSLIANA APRILIASARI 25010113130307
ZIYAAN AZDZAHIY BEBE 25010113140277
DWI SARASWATI 25010113140329
NOVIA TRI ASTUTI 25010115183008
PEMINATAN EPIDEMIOLOGI DAN PENYAKIT TROPIK 2016
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2016
Page 2
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyakit Tidak Menular (PTM) merupakan penyakit yang bukan
disebabkan oleh proses infeksi (tidak infeksius) dan tidak dapat berpindah dari
satu orang ke orang lain. Faktor risiko penyakit tidak menular dipengaruhi oleh
kemajuan era globalisasi yang telah mengubah cara pandang penduduk dunia dan
melahirkan kebiasaan-kebiasaan baru yang tidak sesuai dengan gaya hidup sehat (1). Data PTM dalam Riskesdas 2013 meliputi : (1) asma; (2) penyakit paru
obstruksi kronis (PPOK); (3) kanker; (4) DM; (5) hipertiroid; (6) hipertensi; (7)
jantung koroner; (8) gagal jantung; (9) stroke; (10) gagal ginjal kronis; (11) batu
ginjal; (12) penyakit sendi/rematik. Data penyakit asma/mengi/bengek dan kanker
diambil dari respon dan semua umur, PPOK dari umur ≥ 30 tahun, DM,
hipertiroid, hipertensi/tekanan darah tinggi, penyakit jantung koroner, penyakit
gagal jantung, penyakit ginjal, penyakit sendi/rematik/encok dan stroke
ditanyakan pada responden umur ≥15 tahun.(2).
Stroke merupakan masalah kesehatan yang utama bagi masyarakat
modern saat ini. Dewasa ini, stroke semakin menjadi masalah serius yang
dihadapi hampir diseluruh dunia. Hal tersebut dikarenakan serangan stroke yang
mendadak dapat mengakibatkan kematian, kecacatan fisik dan mental baik pada
usia produktif maupun usia lanjut (3). Stroke adalah sindrom yang terdiri dari
tanda dan atau gejala hilangnya fungsi sistem saraf pusat fokal (atau global)
yang berkembang cepat (dalam detik). Gejala-gejala ini berlangsung lebih dari
24 jam atau menyebabkan kematian (4). Hampir semua orang lanjut usia
memiliki sumbatan pada beberapa arteri kecil di otak, dan sebanyak 10 %
pada akhirnya memiliki cukup banyak sumbatan untuk menyebabkan gangguan
fungsi otak yang serius. Kebanyakan kasus stroke disebabkan oleh plak
arteriosklerosis yang terjadi pada satu atau lebih arteri yang mengirim makan ke
otak. Plak dapat mengaktifkan mekanisme pembekuan darah, yang
Page 3
menghasilkan bekuan darah dan menghambat aliran darah di arteri, sehingga
akan menyebabkan hilangnya fungsi otak secara akut pada area yang
terlokalisasi(5).
Menurut WHO (World Health Organization) tahun 2012, kematian akibat
stroke sebesar 51% di seluruh dunia disebabkan oleh tekanan darah tinggi. Selain
itu, diperkirakan sebesar 16% kematian stroke disebabkan tingginya kadar
glukosa darah dalam tubuh. Tingginya kadar gula darah dalam tubuh secara
patologis berperan dalam peningkatan konsentrasi glikoprotein, yang merupakan
pencetus beberapa penyakit vaskuler. Kadar glukosa darah yang tinggi pada saat
stroke akan memperbesar kemungkinan meluasnya area infark karena
terbentuknya asam laktat akibat metabolism glukosa secara anaerobik yang
merusak jaringan otak (6).
Berdasarkan hasil Riskesdas tahun 2013, prevalensi penyakit stroke di
Indonesia meningkat seiring bertambahnya umur. Kasus stroke tertinggi yang
terdiagnosis tenaga kesehatan adalah usia 75 tahun keatas (43,1%) dan terendah
pada kelompok usia 15-24 tahun, yaitu sebesar 0,2%. Prevalensi stroke
berdasarkan jenis kelamin lebih banyak laki-laki (7,1%) dibandingkan dengan
perempuan (6,8%). Berdasarkan tempat tinggal, prevalensi stroke di perkotaan
lebih tinggi (8,2%) dibandingkan dengan daerah pedesaan (5,7%) (2).
Berdasarkan infodatin 2014 terjadi peningkatan prevalensi stroke sebesar
3,8% (dari 8,3% menjadi 12,1%). Untuk tahun 2007 Provinsi Aceh mempunyai
kecenderungan prevalensi stroke yang paling tinggi dibanding provinsi lain
(16,6%), dan Propinsi Papua merupakan yang terendah (3,8%). Sedangkan untuk
tahun 2013 Sulawesi Selatan prevalensi Stroke-nya merupakan yang paling
tertinggi (17,9%) dan Propinsi Riau yang terendah (5,2%). Adapun absolute
jumlah penduduk Indonesia yang menderita stroke 12,15 X 252.124.458 jiwa* =
3.050.949 jiwa (*berdasarkan estimasi penduduk sasaran pembangunan kesehatan
tahun 2014) (7).
Seseorang menderita stroke karena memiliki perilaku yang dapat
meningkatkan faktor risiko stroke. Gaya hidup yang tidak sehat seperti
Page 4
mengkonsumsi makanan tinggi lemak dan tinggi kolesterol, kurang aktivitas fisik,
dan kurang olahraga, meningkatkan risiko terkena penyakit stroke(8). Gaya hidup
sering menjadi penyebab berbagai penyakit yang menyerang usia produktif,
karena generasi muda sering menerapkan pola makan yang tidak sehat dengan
seringnya mengonsumsi makanan tinggi lemak dan kolesterol tapi rendah serat.
Selain banyak mengonsumsi kolesterol, mereka mengonsumsi gula yang
berlebihan sehingga akan menimbulkan kegemukan yang berakibat terjadinya
penumpukan energi dalam tubuh(9).
Penyakit stroke sering dianggap sebagai penyaki tmonopoli orang tua.
Dulu, stroke hanya terjadi pada usia tua mulai 60 tahun, namun sekarang mulai
usia 40 tahun seseorang sudah memiliki risiko stroke, meningkatnya penderita
stroke usia muda lebih disebabkan pola hidup, terutama pola makan tinggi
kolesterol. Berdasarkan pengamatan di berbagai rumah sakit, justru stroke di usia
produktif sering terjadi akibat kesibukan kerja yang menyebabkan seseorang
jarang olahraga, kurang tidur, dan stress berat yang juga jadi faktor penyebab (9).
Page 5
BAB IIISI
2.1 Epidemiologi
Stroke dapat ditemukan pada semua golongan umur, akan tetapi sebagian
besar ditemukan pada golongan umur di atas 55 tahun. Hasil SKRT 1986 dan
2001 memperlihatkan adanya peningkatan proporsi angka kesakitan pada
penyakit kardiovaskuler, jantung iskemik, dan stroke. Pada dasarnya stroke dapat
terjadi pada usia berapa saja bahkan pada usia muda sekalipun bila dilihat dari
berbagai kelainan yang menjadi pencetus serangan stroke, seperti aneurisma
intrakranial, malformasi vaskular otak, kelainan jantung bawaan, dan lainnya (10).
Hasil SKRT 1984 dilaporkan prevalensi stroke pada golongan umur 25-34
tahun, 35-44 tahun, dan di atas 55 tahun adalah 6,7; 24,4; 276,3 per 100.000
penduduk. Pada tahun 1986, proporsi kasus stroke sebesar 0,96 per 100 penderita.
Dari data di atas dapat dilihat bahwa kasus stroke memperlihatkan tren yang
meningkat tiap tahunnya (11).
Meskipun stroke dapat menyerang segala usia, beberapa penelitian
menunjukkan bahwa beberapa orang lebih rentan terserang penyakit yang
berpotensi mematikan dan menimbulkan kecacatan menetap ini.
Ada beberapa faktor risiko yang menyebabkan seseorang lebih rentan
terserang stroke, dibanding yang lainnya. Faktor risiko tersebut dapat dibedakan
menjadi dua :
2.1.1 Faktor Risiko Tidak Terkendali
a. Usia
Semakin bertambah tua usia, semakin tinggi risikonya. Setelah
berusia 55 tahun, risikonya berlipat ganda setiap kurun waktu sepuluh
tahun. Tetapi, itu tidak berarti bahwa stroke hanya terjadi pada orang
lanjut usia karena stroke dapat menyerang semua kelompok umur(12).
b. Jenis Kelamin
Pria lebih berisiko terkena stroke daripada wanita, tetapi
penelitian menyimpulkan bahwa justru lebih banyak wanita yang
Page 6
meninggal karena stroke. Risiko stroke pria 1,25 lebih tinggi daripada
wanita, tetapi serangan stroke pada pria terjadi di usia lebih muda
sehingga tingkat kelangsungan hidup juga lebih tinggi. Dengan
perkataan lain, walau lebih jarang terkena stroke, pada umumnya wanita
terserang pada usia lebih tua, sehingga kemungkinan meninggal lebih
besar(12).
c. Keturunan atau Sejarah Stroke dalam Keluarga
Nampaknya, stroke terkait dengan keturunan. Faktor genetik
yang sangat berperan antara lain adalah tekanan darah tinggi, obesitas
dan cacat pada bentuk pembuluh darah. Gaya hidup dan pola suatu
keluarga juga dapat mendukung risiko stroke. Cacat pada bentuk
pembuluh darah (cadasil) mungkin merupakan faktor genetik yang
paling berpengaruh dibandingkan faktor risiko stroke yang lain(12).
2.1.2 Faktor Risiko Terkendali
a. Hipertensi
Hipertensi (tekanan darah tinggi) merupakan faktor risiko utama
yang menyebabkan pengerasan dan penyumbatan arteri. Penderita
hipertensi memiliki faktor risiko stroke empat hingga enam kali lipat
dibandingkan orang yang tanpa hipertensi dan sekitar 40 hingga 90
persen pasien stroke ternyata menderita hipertensi sebelum terkena
stroke. Secara medis, tekanan darah di atas 140—90 tergolong dalam
penyakit hipertensi. Oleh karena dampak hipertensi pada keseluruhan
risiko stroke menurun seiring dengan pertambahan umur, pada orang
lanjut usia, faktor-faktor lain di luar hipertensi berperan lebih besar
terhadap risiko stroke. Pada orang yang tidak menderita hipertensi,
risiko stroke meningkat terus hingga usia 90, menyamai risiko stroke
pada orang yang menderita hipertensi. Sejumlah penelitian menunjukkan
obat-obatan anti hipertensi dapat mengurangi risiko stroke sebesar 38
persen dan pengurangan angka kematian karena stroke sebesar 40
persen(12).
Page 7
b. Obesitas
Obesitas (obesity) adalah kelebihan berat badan sebanyak antara
10-20% dari berat normal. Obesitas ternyata memicu stroke. Sebab,
obesitas cenderung bertekanan darah tinggi sebagai pemicu stroke. Pada
pria berbobot tubuh ideal, rata- rata serangan stroke hanya 28,7 per 1000
orang. Bandingkan dengan pria obesitas, rata- rata 55 per 1000 orang(12).
c. Aktivitas Fisik
Aktifitas fisik dapat diartikan sebagai rerata pengeluaran energi
dalam sehari. Dimensi dari aktifits fisik dapat dilihat dari tiga aspek
yaitu aktivitas sehari-hari seperti bekerja dan sekolah, aktivitas untuk
bersantai dan latihan-latihan baik kontinyu maupun diskontinyu seperti
olahraga. Aktivitas fisik sehari-hari seperti bekerja dan sekolah, aktivitas
untuk bersantai dan latihan-latihan baik rutin maupun kontinyu seperti
olahraga. Aktivitas fisik khususnya exercise sangat penting untuk
menjaga kesehatan dan kebugaran tubuh. Tipe exercise yang likukan
tiap orang dapat berbeda, tergantung dari kondisi orang tersebut. Dengan
melakukan exercise sesuai dengan kebutuhan, akan bermanfaat untuk
meningkatkan kemampuan tubuh dalam mengoptimalkan oksigen dalam
tubuh, menurunkan asam lemak, dan efisiensi glukosa, menurunkan
tekanan darah, menurunkan kejadian gangguan irama jantung,
menurunkan LDL serum kolesterol dan meningkatkan HDL. Dengan
demikian aktivitas fisik diharapkan dapat mencegah atau melindungi
seseorang dari beberapa penyakit yang berkaitan dengan masalah
lemak, glukosa dan oksigen seperti penyakit kardiovaskuler atau
stroke(12).
Aktivitas fisik yang moderat dan tinggi terbukti menurunkan
kadar insiden PJK. Pada penelitian terdahulu pengaruh latihan fisik ini
tidak dapatmengurangi insidens stroke, akan tetapi akhir-akhir ini
terbukti dengan latihan yang ringan saja mempunyai efek protektif pada
pria, tetapi tidak pada wanita. (Poerwadi T, 2000). Berbagai penelitian
Page 8
yang dilakukan di Amerika Serikat membuktikan berbagai macam
latihan dapat mengurangi insidens, dimana dilibatkan 11.130 alumni
yang tidak perpenyakit jantung atau kanker, kemudian pertisipan
melaporkan kegiatannya berjalan, naik tangga dan partisipasi dalam
olahraga atau rekreasi. Dan terbukti latihan/olahraga yang mengeluarkan
energi sebanyak 1000-1999 kcal/minggu sampai 2000-2999
kcal/minggu dapat mengurangi insidens stroke(13).
d. Merokok
Merokok merupakan faktor risiko stroke yang sebenarnya paling
mudah diubah. Perokok berat menghadapi risiko lebih besar
dibandingkan perokok ringan. Merokok hampir melipatgandakan risiko
stroke iskemik, terlepas dari faktor risiko yang lain, dan dapat juga
meningkatkan risiko subaraknoid hemoragik hingga 3,5 persen.
Merokok adalah penyebab nyata kejadian stroke, yang lebih banyak
terjadi pada usia dewasa muda ketimbang usia tengah baya atau lebih
tua. Sesungguhnya, risiko stroke menurun dengan seketika setelah
berhenti merokok dan terlihat jelas dalam periode 2-4 tahun setelah
berhenti merokok. Perlu diketahui bahwa merokok memicu produksi
fibrinogen (faktor penggumpal darah) lebih banyak sehingga
merangsang timbulnya aterosklerosis. Pada pasien perokok, kerusakan
yang diakibatkan stroke jauh lebih parah karena dinding bagian dalam
(endothelial) pada sistem pembuluh darah otak (serebrovaskular)
biasanya sudah menjadi lemah. Ini menyebabkan kerusakan yang lebih
besar lagi pada otak sebagai akibat bila terjadi stroke tahap kedua(14).
e. Makanan dan Minuman
Proporsi penderita stroke yang ditemukan dalam RISKESDAS
2013 sebesar 12,1 per 1000 penduduk. Hal ini disebabkan sebagian oleh
pola perubahan pola makanan yang dikonsumsi, termasuk konsumsi
lemak/ kolesterol, makanan asin, makanan yang dibakar/ panggang,
berkafein(2). Makanan beresiko adalah makanan yang dapat
Page 9
menimbulkan resiko penyakit degeneratif. Makanan yang menjadi
pencetus stroke antara lain adalah makanan manis, asin, penyedap,
makanan yang diawetkan, berlemak, jeroan dan berkafein(15). Reynolds,
et al., melakukan penelitian epidemiologi dengan metaanalisis untuk
mengetahui risiko relatif kejadian stroke akibat konsumsi tingkat variasi
konsumsi alkohol. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa dengan
mengkonsumsi alkohol kurang dari 1 kali minum per hari merupakan
risiko ringan terjadinya stroke iskemik. Apabila minum alkohol 1-2 kali
minum per hari berisiko sedang terhadap kejadian stroke iskemik.
Apabila mengkonsumsi alkohol lebih dari 5 kali minum per hari berisiko
berat terjadinya stroke iskemik. Risiko relatif terjadinya stroke iskemik
baik pada pria atau pun wanita akibat mengkonsumsi alkohol hampir
sama(16). Hubungan alkohol dapat meningkatkan risiko stroke iskemik
juga diteliti oleh Mukamal, hasil penelitiannya menyatakan pada pria
yang mengkonsumsi alkohol lebih dari 2 kali minum per hari dengan
dosis sedang (10.0-29.9 g/hari) ataupun dosis berat ( ≥ 30.0 g/hari)
sangat berisiko terjadinya stroke iskemik. Mengkonsumsi red wine
(anggur merah) tidak menunjukkan kaitan dengan terjadinya stroke
iskemik, kecuali minuman alkohol lainnya(17). Furie, et al., menyatakan
terjadinya stroke yang berulang meningkat pada penderita stroke
iskemik dengan peminum alkohol berat berdasarkan penelitian kohort di
Northerm Manhattan(18).
2.2 Manifestasi Klinis
2.2.1 Tanda dan Gejala Stroke
Stroke biasanya terjadi secara mendadak dan sangat cepat. Pada saat
ini pasien membutuhkan pertolongan dan segera mungkin dibawa
kepelayanan kesehatan. Pada saat terjadi stroke, pasien akan
memperlihatkan gejala dan tanda-tanda. Gejala dan tanda yang sering
dijumpai pada penderita dengan stroke akut adalah (19) :
Page 10
1. Adanya serangan deficit neurologis/kelumpuhan fokal, seperti :
hemiparesis (lumpuh sebelah badan yang kanan atau yang kiri saja)
2. Mati rasa sebelah badan, terasa kesemutan, atau terbakar
3. Mulut atau lidah mencong jika diluruskan
4. Sukar bicara atau bicara tidak lancar dan tidak jelas
5. Tidak memahami pembicaraan orang lain
6. Kesulitan mendengar, melihat, menelan, berjalan, menulis, membaca,
serta tidak memahami tulisan
7. Kecerdasan menurun dan sering mengalami vertigo serta menjadi pelupa
atau demensia
8. Penglihatan terganggu, sebagian lapangan pandang tidak terlihat,
gangguan pandangan tanpa rasa nyeri, penglihatan gelap atau ganda
sesaat (hemianopsia)
9. Tuli satu telinga atau pendengaran berkurang
10. Emosi tidak stabil, seperti mudah menangis dan tertawa, serta kelopak
mata susah dibuka dan selalu ingin tertidur
11. Gerakan tidak terkoordinasi, seperti : kehilangan keseimbangan
12. Biasanya diawali dengan Transiet Ischemic Attack (TIA) atau serangan
stroke sementara
13. Gangguan kesadaran, seperti pingsan bahkan sampai koma
2.2.2 Manifestasi Klinik Stroke berdasarkan Pengklasifikasiannya
1. Stroke Iskemik
Stroke iskemik secara klinis adalah defisit neurologis fokal yang
timbul akut dan berlangsung lebih lama dari 24 jam dan tidak
disebabkan oleh perdarahan.Stroke iskemik disebabkan adanya kejadian
yang menyebabkan aliran darah menjadi menurun atau bahkan terhenti
sama sekali pada area tertentu di otak. Trombosis dan emboli merupakan
penyebab dari stroke iskemik. Trombosis merupakan proses pembekuan
darah pada jaringan. Jika trombosis terjadi di dalam pembuluh darah
menuju otak, maka bekuan darah tadi akan dapat menyumbat aliran
Page 11
darah yang mensuplai otak sehingga terjadi stroke iskemik. Emboli
adalah benda asing yang terlepas dan mengikuti aliran darah yang dapat
berhenti di suatu tempat sempit yang tidak bisa dilewati. Emboli atau
embolisme selebri termasuk urutan kedua dari penyebab utama stroke.
Penderita embolisme biasanya lebih muda dibandingkan dengan
penderita trombosis(20).
Penurunan aliran darah ini mengakibatkan neuron berhenti
berfungsi sehingga aliran darah kurang dari 18 ml/100g/menit yang
menyebabkan terjadinya iskemia neuron bersifat ireversibel. Aliran
darah pada otak yang terhambat mengakibatkan sel saraf dan sel lainnya
mengalami gangguan dalam suplai oksigen dan glukosa. Apabila
gangguan suplai tersebut melewati batas toleransi sel, maka akan terjadi
kematian sel. Namun, apabila aliran darah dapat diperbaiki segera,
kerusakan dapat bersifat minimal(10).
Berdasarkan perjalanan klinisnya, stroke iskemik terdiri dari :
a. Transient Ischemic Attack (TIA), yaitu serangan stroke sementara
yang berlangsung kurang dari 24 jam.
b. Reversible Ischemic Neurologi Defisit (RIND), yaitu gejala
neurologis yang akan menghilang antara lebih dari 24 jam sampai 3
minggu.
c. Progressing stroke atau Stroke in evolution, yaitu kelainan
neurologis yang berlangsung secara bertahap dari ringan sampai
berat.
d. Completed stroke (stroke komplit), yaitu kelainan neurologis yang
sudah menetap dan sudah tidak berkembang lagi
2. Stroke Hemoragik
Stroke hemoragik secara klinis disebabkan oleh perdarahan suatu
arteri selebris yang disebut hemoragi. Stroke hemoragik adalah stroke
yang disebabkan perdarahan intrakranial non traumatik. Perdarahan
intrakranial yang sering terjadi adalah perdarahan intraselebral (PIS) dan
Page 12
perdarahan subarakhnoid (PSA). Darah yang keluar dari pembuluh
darah dapat masuk ke dalam jaringan otak, sehingga terjadi hematom.
Hematom ini menyebabkan tekanan tinggi intrakranial yang terjadi pada
perdarahan intrakranial(10). Secara umum perdarahan diklasifikasikan
berdasarkan lokasi dalam kaitanya dengan jaringan otak :
a. Perdarahan Intraserebral (PIS)
Perdarahan intraserebral disebabkan oleh pecahnya
pembuluh darah intraserebral sehingga darah keluar dari pembuluh
darah kemudian masuk ke dalam jaringan otak.Kondisi tersebut
mengakibatkan peningkatan tekanan intrakranial atau intraserebral,
sehingga terjadi penekanan pada pembuluh darah otak secara
menyeluruh yang mengakibatkan penurunan aliran darah otak yang
berujung pada kematian sel saraf sehingga timbul gejala klinis defisit
neurologis. Perdarahan intraserebral (PIS) 60-70% biasanya terjadi
karena hipertensi yang berlangsung lama, sehingga terjadi kerusakan
dinding pembuluh darah. Faktor pencetus lain adalah stres fisik,
emosi, peningkatan tekanan darah mendadak sehingga
mengakibatkan pecahnya pembuluh darah. Gejala klinis perdarahan
intraserebral yaitu :
1) Sakit kepala, muntah, pusing (vertigo), gangguan kesadaran;
2) Gangguan fungsi tubuh (defisit neurologis) tergantung lokasi
perdarahan;
3) Lumpuh sebelah badan sisi berlawanan (hemiparesis kolateral)
4) Lemah sebelah badan (hemiplegi)
5) Koma (perdarahan luas)
b. Perdarahan Subarakhnoid (PSA)
Perdarahan subarakhnoid adalah masuknya darah ke ruang
subarakhnoid baik dari tempat lain (subarakhnoid sekunder) maupun
perdarahan dari ruang subarakhnoid itu sendiri (subarakhnoid
primer). Insiden PSA di negara maju sebesar 10-15 kasus setiap
Page 13
100.000 penduduk. Umumnya PSA timbul spontan, 10% disebabkan
karena tekanan darah yang naik dan biasanya terjadi saat sedang
melakukan aktivitas(21).
Perdarahan subarakhnoid yang terjadi akan direspon oleh
tubuh untuk menghentikan perdarahan dengan cara melakukan
kontraksi pembuluh darah yang dirangsang oleh zat-zat yang bersifat
vasokonstriktor seperti, serotonin, prostaglandin dan produk pecahan
darah lainnya. Keadaan ini akan memicu ion kalsium untuk masuk
kedalam sel otot polos pembuluh darah dan akibatnya kontraksi akan
semakin hebat dan lambat laun akan mencapai puncaknya sehingga
terjadi penutupan lumen atau saluran pembuluh darah secara total
dan darah tidak dapat mengalir ke saraf yang bersangkutan sehingga
terjadi kematian sel saraf. Gejala klinis PSA, yaitu :
1) Serangan mendadak dengan nyeri kepala hebat didahului suatu
perasaan ringan atau ada sesuatu yang meletus di dalam kepala.
2) Kaku kuduk merupakan gejala spesifik yang timbul beberapa
saat kemudian.
3) Kesadaran dan fungsi motorik jarang terganggu.
4) Cairan serebrospinal (CSS) berwarna merah yang menunjukkan
perdarahan dengan jumlah eritrosit lebih dari 1000/mm3.
2.3 Patogenesis
2.3.1 Patogenesis Umum
Gangguan pasokan aliran darah otak dapat terjadi dimana saja di
dalam arteri – arteri yang membentuk sirkulus Willisi : arteri karotis interna
Page 14
dan sistem vertebrobasilar atau semua cabang – cabangnya. Secara umum,
apabila aliran darah ke jaringan otak terputus selama 15 sampai 20 menit,
akan terjadi infark atau kematian jaringan. Proses patologik yang mendasari
mungkin salah satu dari berbagai proses yang terjadi di dalam pembuluh
darah yang memperdarahi otak. Patologinya dapat berupa, (1) keadaan
penyakit pada pembuluh darah itu sendiri, seperti aterosklerosis dan
thrombosis, robeknya dinding pembuluh darah, atau peradangan; (2)
berkurangnya perfusi akibat gangguan status aliran darah, misalnya syok
hiperviskositas darah; (3) gangguan aliran darah akibat bekuan atau embolus
infeksi yang berasal dari jantung atau pembuluh ekstrakranium; atau (4)
ruptur vaskular didalam jaringan otak atau ruang subaraknoid.(23)
Berdasarkan patogenesis stroke, maka perjalanan sakit akan
dijabarkan dibawah ini menjadi:(23)
1. Stadium prapatogenesis, yaitu stadium sebelum terjadi gejala stroke.
Stadium ini umumnya penderita sudah mempunyai faktor risiko atau
memiliki gaya hidup yang mengakibatkan penderita menderita penyakit
degeneratif.
2. Stadium patogenesis, yaitu stadium ini dimulai saat terbentuk lesi
patologik sampai saat lesi tersebut menetap. Gangguan fungsi otak disini
adalah akibat adanya lesi pada otak. Lesi ini umumnya mengalami
pemulihan sampai akhirnya terdapat lesi yang menetap. Secara klinis
defisit neurologik yang terjadi juga mengalami pemulihan sampai taraf
tertentu.
3. Stadium pascapatogenesis, yaitu stadium ini secara klinis ditandai
dengan defisit neurologik yang cenderung menetap. Usaha yang dapat
dilakukan adalah mengusahakan adaptasi dengan lingkungan atau
sedapat mungkin lingkungan beradaptasi dengan keadaan penderita.
Sehubungan dengan penalataksanaanya maka stadium patogenoesis
dapat dibagi menjadi tiga fase, yaitu : (23)
Page 15
1. Fase hiperakut atau fase emergensi. Fase ini berlangsung selama 0 – 3 /
12 jam pasca onset. Penatalaksanaan fase ini lebih ditujukkan untuk
menegakkan diagnosis dan usaha untuk membatasi lesi patologik yang
terbentuk.
2. Fase akut. Fase ini berlangsung sesudah 12 jam – 14 hari pasca onset.
Penatalaksanaan pada fase ini ditujukkan untuk prevensi terjadinya
komplikasi, usaha yang sangat fokus pada restorasi/rehabilitasi dini dan
usaha preventif sekunder.
3. Fase subakut. Fase ini berlangsung sesudah 14 hari – kurang dari 180
hari pasca onset dan kebanyakan penderita sudah tidak dirawat di rumah
sakit serta penatalaksanaan lebih ditujukkan untuk usaha preventif
sekunder serta usaha yang fokus pada neuro restorasi / rehabilitasi dan
usaha menghindari komplikasi
Page 16
2.3.2 Patogenesis Stroke Iskemik
Stroke iskemik terjadi akibat obstruksi atau bekuan disatu atau lebih
arteri besar pada sirkulasi serebrum. Obstruksi dapat disebabkan oleh
bekuan (trombus) yang terbentuk didalam suatu pembuluh otak atau
pembuluh organ distal kemudian bekuan dapat terlepas pada trombus
vaskular distal, atau mungkin terbentuk didalam suatu organ seperti jantung,
dan kemudian dibawa melalui sistem arteri ke otak sebagai suatu
embolus(22). Pangkal arteria karotis interna (tempat arteria karotis komunis
bercabang menjadi arteria karotis interna dan eksterna) merupakan tempat
tersering terbentuknya arteriosklerosis. Sumbatan aliran di arteria karotis
interna sering merupakan penyebab stroke pada orang berusia lanjut, yang
sering mengalami pembentukan plak arteriosklerosis di pembuluh darah
sehingga terjadi penyempitan atau stenosis(23).
2.3.3 Patogenesis Stroke Hemoragik
Stroke haemoragik terjadi akibat tekanan darah yang sangat tinggi
dapat mengakibatkan terjadinya gangguan peredaran darah otak atau stroke
haemoragik yang dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu, perdarahan
subarachnoid dan perdarahan intraserebral(24).
1. Perdarahan subaraknoid
Patogenesis perdarahan subaraknoid yaitu darah keluar dari
dinding pembuluh darah menuju ke permukaan otak dan tersebar
dengan cepat melalui aliran cairan otak ke dalam ruangan di sekitar
otak. Perdarahan sering kali berasal dari rupturnya aneurisma di basal
otak atau pada sirkulasi willisii. Perdarahan subaraknoid timbul
spontan pada umumnya dan sekitar 10 % disebabkan karena tekanan
darah yang naik dan terjadi saat aktivitas(24).
2. Perdarahan intraserebral
Page 17
Patogenesis perdarahan intraserebral adalah akibat rusaknya
struktur vaskular yang sudah lemah akibat aneurisma yang disebabkan
oleh kenaikan darah atau pecahnya pembuluh darah otak akibat
tekanan darah, atau pecahnya pembuluh darah otak akibat tekanan
darah yang melebihi toleransi. Menurut Tole dan Utterback, penyebab
perdarahan intraserebral adalah pecahnya mikroaneurisma Charcot-
Bouchard akibat kenaikan tekanan darah(24).
2.4 Patofisiologis
Hingga saat ini patofisiologi stroke merupakan studi yang sebagian besar
didasarkan pada serangkaian penelitian(25), terhadap berbagai proses yang saling
terkait, meliputi kegagalan energi, hilangnya homeostasis ion sel, asidosis,
peningkatan kadar Ca 2+ sitosolik, eksitotoksisitas, toksisitas dengan radikal bebas,
produksi asam arakidonat, sitotoksisitas dengan sitokina, aktivasi sistem
komplemen, disrupsi sawar darah otak, aktivasi sel glial dan infiltrasi leukosit(26).
Pusat area otak besar yang terpapar iskemia akan mengalami penurunan
aliran darah yang dramatis, menjadi cedera dan memicu jenjang
reaksi seperti lintasan eksitotoksisitas yang berujung kepada nekrosis yang
menjadi pusat area infark dikelilingi oleh penumbra/zona peri-infarksi.
Menurut morfologi, nekrosis merupakan bengkak selular akibat disrupsi inti
sel, organel, membran plasma, dan disintegrasi struktur inti dan sitoskeleton.
Di area penumbra, apoptosis neural akan berusaha dihambat oleh kedua
mekanisme eksitotoksik dan peradangan(27), oleh karena sel otak yang masih
normal akan menginduksi sistem kekebalan turunan untuk meningkatkan toleransi
jaringan otak terhadap kondisi iskemia, agar tetap dapat melakukan
aktivitas metabolisme. Protein khas CNS seperti pancortin-2 akan berinteraksi
dengan protein modulator aktin, Wiskott-Aldrich syndrome protein verprolin
homologous-1 (WAVE-1) dan Bcl-xL akan membentuk kompleks protein
mitokondrial untuk proses penghambatan tersebut. Riset terkini menunjukkan
bahwa banyak neuron di area penumbra dapat mengalami apoptosis setelah
beberapa jam/hari sebagai bagian dari proses pemulihan jaringan pasca stroke
Page 18
dengan 2 lintasan, yaitu lintasan ekstrinsik dan lintasan intrinsik. Iskemia tidak
hanya mempengaruhi jaringan parenkima otak, namun berdampak pula
kepada sistem ekstrakranial. Oleh karena itu, stroke akan menginduksi
imunosupresi yang dramatis melalui aktivasi berlebih sistem saraf simpatetik,
sehingga memungkinkan terjadiny infeksi bakterial seperti pneumonia.
2.4.1 Eksitotoksisitas asam glutamate
Asam glutamat merupakan asam amino neurotransmiter eksitatorial
utama di otak, akan menumpuk di ruang ekstraselular dan mengaktivasi
pencerapny(26). Aktivasi pencerap glutamat akan mempengaruhi konsentrasi
ion intraselular, terutama ion Na + dan Ca 2+ . Peningkatan influx ion
Na+ dapat membuat sel menjadi cedera pada awal mula terjadinya iskemia,
namun riset menunjukkan bahwa sebagian besar kerusakan sel yang
ditimbulkan oleh toksisitas asam glutamat saat terjadi iskemia lebih
disebabkan oleh peningkatan berlebih influx ion kalsium intraselular yang
kemudian menimbulkan efek toksik.
2.4.2 Stres oksidatif
Sepanjang proses stroke, terjadi peningkatan radikal
bebas seperti anion superoksida, radikal hidroksil dan NO. Sumber utama
senyawa radikal bebas turunan oksigen yang biasa disebut spesi oksigen
reaktif dalam proses iskemia adalah mitokondria. Sedangkan produksi
senyawa superoksida saat pasca iskemia adalah metabolisme asam
arakidonat melalui lintasan siklo-oksigenase dan lipo-oksigenase. Radikal
bebas juga dapat diproduksi oleh sel mikroglia yang teraktivasi
dan leukosit melalui sistem NADPH oksidase segera setelah
terjadi reperfusi di jaringan iskemik. Oksidasi tersebut akan menyebabkan
kerusakan lebih lanjut di jaringan dan merupakan molekul yang penting
untuk memicu apoptosis setelah stroke iskemik.
NO umumnya dihasilkan dari L-arginina dengan salah
satu isoform NO sintase, dan merupakan kluster diferensiasi neuron di
seluruh bagian otak dengan sebutan nNOS. Aktivasi nNOS
Page 19
memerlukan kalsium/kalmodulin. Di sisi lain, ekspresi iNOS (bahasa
Inggris: inducible NOS) terdapat di sel radang seperti sel
mikroglia dan monosit. Kedua isoform nNOS dan iNOS memiliki peran
yang merusak otak pada rentang waktu iskemia. Namun isoform yang ketiga
eNOS (bahasa Inggris: endothelial NOS) memiliki efekvasodilasi dan tidak
bersifat merusak.
Aktivasi pencerap NMDA saat iskemia akan menstimulasi produksi
NO oleh nNOS. NO yang terbentuk akan masuk ke dalam sitoplasma dan
bereaksi dengan superoksida dan menghasilkan sejenis spesi oksigen yang
sangat reaktif yaitu peroksinitrita (ONOO-).
Pasca iskemia, kedua jenis spesi oksigen reaktif dan spesi nitrogen
reaktif kemudian berperan untuk mengaktivasi beberapa lintasan
metabolisme seperti radang, apoptosis, dan penurunan
pasokan oksigen yang berdampak kepada peningkatan asam
laktat melalui glikolisis anaerobik atau asidosis. Selain itu, akan
tampak ekspresi gen iNOS di sel vaskular maupun sel yang mengalami
peradangan dan ekspresi gen COX-2 di sel saraf di area antara infark dan
penumbra. Kedua gen radang ini akan meningkatkan kerusakan iskemik(28).
2.4.3 Peroksidasi lipid
Selain menghasilkan berbagai senyawa ROS, lintasan asidosis juga
turut serta dalam proses sintesis protein intraselular. Peroksidasi lipid
di membran sel yang menginduksi apoptosis terhadap neuron, akan
menghasilkan senyawa aldehida yang disebut 4-hidroksinonenal (4-HNE)
yang akan bereaksi dengan transporter membran seperti
Na+/K+ATPase, transporter glutamat dan transporter glukosa. Kerusakan di
transporter membran, yang menyebabkan influx berlebih ion Ca 2+ dan
radikal bebas, lebih lanjut akan mengaktivasi faktor
transkripsi neuroprotektif seperti NF-κB,HIF-1 dan IRF-1. Aktivasi faktor
transkripsi ini akan menginduksi produksi sitokina radang seperti IL-1, IL-
6,TNF-α, kemokina seperti IL-8, MCP-1, molekul adhesi
Page 20
sel sepertiselektin, ICAM-1, VCAM-1 dan gen pro-radang lainnya
seperti IIP-10.
2.4.4 Disfungsi sawar darah otak
Sawar darah otak yang merupakan jaringan endotelium di otak akan
merespon kondisi cedera akibat stroke dengan
meningkatkan permeabilitas dan menurunkan fungsi sawarnya, bersamaan
dengan degradasi lamina basal di dinding pembuluhnya. Oleh sebab itu,
pada kondisi akut, stroke akan meningkatkan interaksi antara sel endotelial
otak dengan sel ekstravaskular seperti astrosit, mikroglia, neuron, dengan sel
intravaskular seperti keping darah, leukosit; dan memberikan kontribusi
lebih lanjut pada proses peradangan, disamping perubahan sirkulasi
kadar ICAM-1, trombomodulin, faktor jaringan dan tissue factor pathway
inhibitor(29). Disfungsi endotelial yang menyebabkan defisiensi sawar darah
otak, impaired cerebral autoregulation dan
perubahan protrombotik dipercaya merupakan penyebab cerebral small
vessel disease (SVD). Penderita (SVD) dapat mengalami infark lakunar,
atau dengan disertai leukoaraiosis.
Dari 594 penderita stroke, leukoaraiosis ditemukan dalam 55,4%
cerebral large vessel disease (LVD) atau ateroskeloris, 30,3% dalam SVD
dan 14,3% dalam cardioembolic disease. Dalam prognosis LVD,
leukoaraiosis memiliki kecenderungan kea rah grup stenosis intracranial
dengan 40,3% untuk grup intracranial, 26,9% untuk grup ekstrakranial, dan
45,4% untuk grup kombinasi keduanya. Tidak ditemukan korelasi antara
leukoaraiosis dengan diabetes mellitus, hiperlipidemia, merokok, hipertensi,
dan penyakit jantung(30).
2.4.5 Infiltrasi leukosit
Di jaringan otak terdapat beberapa populasi sel dengan kapasitas
untuk mensekresi sitokina setelah terjadi stimulasi iskemia, yaitu sel
endotelial, astrosit, sel mikroglia dan neuron.
Page 21
Peran respon peradangan pasca iskemia dilakukan oleh sel
mikroglia, terutama di area penumbra dengan sekresi sitokina pro-
radang, metabolit dan enzim toksik. Selain itu, sel mikroglia dan astrosit
juga mensekresi faktor neuroprotektif seperti eritropoietin, TGFβ1,
dan metalotionein-2. Terdapat banyak bukti yang menunjukkan
peran leukosit terhadap patogenesis cedera akibat stroke seperti cedera di
jaringan akibat reperfusi dan disfungsi mikrovaskular. Bukti-bukti tersebut
dapat diklasifikasikan menjadi 3 bagian pokok yaitu :
1. Terjadi akumulasi leukosit pasca iskemia hingga terjadi cedera jaringan
2. Simtoma iskemia direspon dengan peningkatan neutrofil. (10) Dalam
percobaan dengan tikus, rendahnya populasi neutrofil dalam sirkulasi
darah menunjukkan volume infarkyang lebih kecil.
3. Pencegahan adhesi sel antara leukosit dengan sel endotelial pada sawar
darah otak, dengan antibodi monoklonal terbukti dapat memberikan
perlindungan terhadap cedera akibat stroke.
Akumulasi sel T terjadi pasca iskemi(31), dan diperkirakan merupakan
penyebab terjadinya reperfusi. Sel T CD8 dapat menginduksi cedera otak
dengan molekul dari granula sitotoksik. Sel
TH1 CD4+ dengan sekresi sitokina pro-radang termasuk IL-2, IL 12, IFN-
γ dan TNF-α dapat memperburuk efek yang ditimbulkan stroke,
sedangkan Sel TH2 CD4+dengan sitokina anti-radang seperti IL-4, IL-5, IL-
10 dan IL-13 lebih mempunyai peran protektif.
2.4.6 Pendarahan
Pada percobaan terhadap hewan kelinci, setidaknya sitokina TNF-
α atau antibodinya berperan atas terjadinya pendarahan setelah terjadi stroke
iskemik yang diinduksi olehklot(31). Dalam hal ini terjadi peningkatan
prognosis terjadinya pendarahan dari 18,5% menjadi 53,3% dan
peningkatan volume pendarahan hingga 87%. Disamping itu,
penggunaan tissue plasminogen activator (tPA) dengan dosis standar 3,3
mg/kg akan meningkatkan kemungkinan pendarahan dari 18,5% menjadi
Page 22
76,5%, efek tPA ini dapat diredam dengan penggunaan antibodi anti-TNFα.
Pemberian EPO setelah 6 jam serangan stroke akan memperburuk
pendarahan yang diinduksi tPA dengan mediasi MMP-9,NF-
κB dan interleukin-1 receptor-associated kinase-1 (IRAK-1)(33).
Pada hewan tikus, TNF-α akan menginduksi ekspresi MMP-9 yang
menurunkan kadar protein dalam sawar darah otak seperti okludin(34), dan
meningkatkan permeabilitas padapembuluh kapiler otak (23). MMP-9
kemudian memodulas(35), Gelatinase A untuk membuka sawar darah otak.
Pendarahan yang terjadi kemudian direspon tubuh dengan
memproduksi urokinase-type plasminogen activator (uPA). Ekspresi MMP-
9 juga dapat diinduksi oleh lipopolisakarida(35).
2.5 Diagnosis
Jenis stroke harus ditentukan. Iskemik stroke disebabkan oleh arteri yang
tersumbat di otak. Sebuah pembuluh darah yang pecah menyebabkan stroke
hemoragik. Pengobatan untuk stroke iskemik berbeda daripada untuk stroke
hemoragik. Stroke iskemik dapat diobati dengan gumpalan-penghilang obat, yang
disebut tPA (tissue plasminogen activator). Maka, hal ini sangat penting
mendapatkan hasil diagnosis yang benar sebelum perawatan dimulai. Untuk
mendapatkan obat gumpalan-penghilang pengobatan seperti TPA, dokter harus
mendiagnosa stroke iskemik pada pasien stroke dan memperlakukan pasien dalam
waktu 3 4,5 jam dari timbulnya gejala stroke. Pengobatan ini pada umumnya
berlangsung dalam gawat darurat rumah sakit departemen. Jika lebih dari 4,5 jam
berlalu, tPA tidak bisa diberikan (36).
Di ruang gawat darurat, dokter akan menyakan
Kapan gejala stroke muncul
Tahap ini merupakan tahap kritis untuk menentukan pengobatan apa yang
tepat untuk diberikan pada penderita
Riwayat penyakit
Melakukan pemeriksaan fisik dan neurologis
Telah melakukan tes laboratorium
Page 23
Lakukan CT (Computed Tomography) atau MRI (Magnetic Resonance
Imaging) Scan otak.
Jenis Tes Diagnostik
Tes diagnostik mengkaji bagaimana otak terlihat, karya dan mendapat
suplai darah. Kebanyakan aman dan tanpa rasa sakit. Ada dua jenis tes diagnostic,
yaitu(36) :
1. Tes Pencitraan
CT (Computed Tomography) atau CT scan. Menggunakan radiasi untuk
membuat gambar (seperti X-ray) dari otak. Ini biasanya salah satu tes
pertama diberikan kepada pasien dengan gejala stroke. hasil tes CT
memberikan informasi berharga tentang penyebab stroke dan lokasi dan
luasnya cedera otak.
MRI (Magnetic Resonance Imaging). Tes ini menggunaka medan magnet
besar untuk menghasilkan gambar dari otak. Seperti CT scan, itu
menunjukkan lokasi dan luasnya kerusakan otak. Gambar yang dihasilkan
oleh MRI lebih tajam dan lebih rinci daripada CT scan, sehingga sering
digunakan untuk mendiagnosa kecil, luka yang mendalam.
CTA (dihitung angiography tomografi). Di CTA, bahan kontras khusus
(dye) disuntikkan ke vena dan gambar yang diambil dari pembuluh darah
mencari kelainan seperti aneurisma.
MRA (Magnetic Resonance Angiography). Didalam tes, pembuluh darah
dicitrakan melalui magnetik scanner resonansi untuk mencari aneurisma
otak
2. Tes Aliran Darah
Tes ini memberikan informasi tentang kondisi arteri di kepala dan
leher yang mensuplai darah ke otak Anda. Tes ini menggunakan cerebral
angiography (atau arteriografi serebral). Zat khusus yang disuntikkan ke
dalam pembuluh darah dan X-ray diambil. Tes ini memberikan gambaran
aliran darah melalui pembuluh. Hal ini memungkinkan ukuran dan lokasi
Page 24
sumbatan ditinjau. Tes ini sangat berharga dalam mendiagnosis aneurisma dan
pembuluh darah rusak(36).
2.6 Pencegahan
Dalam merumuskan cara pencegahan bagi suatu penyakit, maka
sebelumnya harus diketahui apa saja yang menjadi faktor risiko dari penyakit
tersebut. Setelah dijelaskan mengenai faktor risiko pada penjelasan sebelumnya,
maka dapat diketahui bahwa orang dengan faktor risiko penyakit stroke akan
lebih rentan untuk terkena serangan stroke dibandingkan dengan mereka yang
tidak memiliki faktor risiko. Begitu pula dengan jumlah faktor risiko yang
dimiliki. Semakin banyak jumlah faktor risiko yang dimiliki seseorang, maka
semakin besar pula kemungkinan orang tersebut untuk mendapatkan serangan
stroke, begitu juga sebaliknya.
Tujuan umum pencegahan stroke adalah untuk menurunkan kecacatan
dini, kematian, serta memperpanjang hidup dengan kualitas yang baik. Dikenal
dua macam pencegahan pada penyakit stroke, pencegahan yaitu pencegahan
primer dan pencegahan sekunder. Pencegahan primer dilakukan bagi mereka yang
belum pernah mengalami TIA atau stroke, sedangkan pencegahan sekunder
adalah pencegahan yang ditujukan bagi mereka yang pernah atau sudah
mengalami TIA atau stroke(19). Seperti yang telah diketahui, kejadian stroke tidak
terlepas dari interaksi dari sekian banyak faktor risiko. Dari sekian banyak faktor
risiko tersebut, hipertensi dianggap sebagai faktor risiko utama untuk penyakit
stroke. Akan tetapi, pencegahan stroke tidak hanya fokus pada penurunan tekanan
darah untuk mengontrol kejadian hipertensi. Dalam merumuskan cara pencegahan
stroke, digunakan pendekatan yang menggabungkan ketiga bentuk upaya
pencegahan (pencegahan primer, sekunder, tersier) dengan 4 faktor utama yang
mempengaruhi penyakit, yaitu gaya hidup, lingkungan, biologis, dan pelayanan
kesehatan(11).
1. Pencegahan Primer
Page 25
Dalam pencegahan primer, dimana pasien belum pernah mengalami
TIA ataupun stroke dianjurkan untuk melakukan 3M(19), yaitu :
a. Menghindari : rokok, stress mental, minum kopi dan alkohol, kegemukan,
dan golongan obat-obatan yang dapat mempengaruhi serebrovaskuler
(amfetamin, kokain, dan sejenisnya).
b. Mengurangi : asupan lemak, kalori, garam, dan kolesterol yang berelebih.
c. Mengontrol atau mengendalikan : hipertensi, diabetes melitus, penyakit
jantung dan aterosklerosis, kadar lemak darah, konsumsi makanan
seimbang, serta olah raga teratur 3-4 kali seminggu.
2. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder dilakukan pada mereka yang pernah mengalami
TIA atau memiliki riwayat stroke sebelumnya, yaitu dengan cara :
a. Mengontrol faktor risiko stroke atau aterosklerosis, melalui modifikasi
gaya hidup, seperti mengobati hipertensi, diabetes melitus dan penyakit
jantung dengan obat dan diit, stop merokok dan minum alkohol, turunkan
berat badan dan rajin olahraga, serta menghindari stress.
b. Melibatkan peran serta keluarga seoptimal mungkin, yang dapat mengatasi
krisis sosial dan emosional penderita stroke dengan cara memahami
kondisi baru bagi pasien pasca stroke yang bergantung pada orang lain.
c. Menggunakan obat-obatan dalam pengelolaan dan pencegahan stroke,
seperti anti-agregasi trombosit dan anti-koagulan.
3. Pencegahan Tersier
Berbeda dari pencegahan primer dan sekunder, pencegahan tersier ini
dilihat dari 4 faktor utama yang mempengaruhi penyakit, yaitu gaya hidup,
lingkungan, biologis, dan pelayanan kesehatan(11). Pencegahan tersier ini
merupakan rehabilitasi yang dilakukan pada penderita stroke yang telah
mengalami kelumpuhan pada tubuhnya agar tidak bertambah parah dan dapat
mengalihkan fungsi anggota badan yang lumpuh pada anggota badan yang
masih normal, yaitu dengan cara :
a. Gaya hidup: reduksi stress, exercise sedang, dan erhenti merokok.
Page 26
b. Lingkungan: menjaga keamanan dan keselamatan (tinggal di rumah lantai
pertama, menggunakan wheel-chair) dan dukungan penuh dari keluarga.
c. Biologi: kepatuhan berobat, terapi fisik dan bicara.
d. Pelayanan kesehatan: emergency medical technic dan asuransi.
2.7 Pengendalian
2.7.1 Penemuan dan Pengendalian Faktor Risiko Stroke
Penemuan dan pengendalian faktor risiko stroke dilakukan pada
orang sehat, penderita yang sudah terdata mempunyai faktor risiko stroke
atau pada keluarga penderita yang pernah mengalami serangan stroke. Jika
pada seseorang terdapat faktor-faktor risiko stroke maka orang tersebut
disebut sebagai stroke prone profile. Faktor risiko terjadinya stroke meliputi
faktor risiko yang dapat diubah dan faktor risiko yang tidak dapat diubah(37).
1. Faktor risiko yang tidak dapat diubah
a. Mayor : usia > 65 tahun
Riwayat stroke / penyakit jantung / penyakit pembuluh darah perifer
dalam keluarga
b. Minor : usia 35-45 tahun
Jenis Kelamin
Ras/ bangsa
2. Faktor risiko yang dapat diubah
a. Mayor
- Hipertensi
- Diabetes Mellitus
- Merokok
- Atrial Fibrilasi
b. Minor
- TIA (Transient Ischemic Attack)
- Penyakit jantung
- Paska stroke
Page 27
- Dislipidemia
- Konsumsi alkohol
- Penyalahgunaan obat
- Stenosis arteri karotis asimtomatis
- Hiperfibrinogenemia
- Hiperhomosisteinemia
- Obesitas
- Pemakaian kontrasepsi oral
- Stress mental dan fisik
- Migrain
- Terapi hormon post menopause
- Inaktivitas fisik
2.7.2 Deteksi dini dan tata laksana dini penderita stroke
Deteksi dini serangan akut stroke dilakukan dengan menggunakan
alat penilaian “SEGERA KE RS” yaitu(37) :
a. Senyum yang tidak simetris
b. Gerak anggota tubuh yang melemah atau tidak dapat digerakkan secara
tiba-tiba
c. Suara yang pelo, parau atau menghilang
d. Kebas/ baal
e. Rabun/ Gangguan penglihatan
f. Sempoyongan / vertigo / pusing berputar
Page 28
DAFTAR PUSTAKA
1. Maryani, L danRizki M. 2010. Epidemiologi Kesehatan. Yogyakarta : Graha Ilmu
2. Riskesdas 2013. Kementerian Kesehatan RI
3. Junaidi, I. 2011. Stroke Waspadai Ancamannya. Penerbit Andi : Yogyakarta
4. Ginsberg L., 2008. Lecture Notes Neurology. Jakarta : Erlangga. 89-90
5. Guyton. 2007. Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit. Jakarta
6. Rico JS, Suharyo H, dan Endang K. 2008. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Kejadian Stroke pada Usia Muda Kurang dari 40 Tahun. Jurnal Epidemiologi.
2008:1-13
7. Infodatin, 2014. Hipertensi. Kementerian Kesehatan RI
8. Aulia dkk, 2008.Gaya Hidup dan Penyakit Modern. Yogyakarta : Kanisius
9. Dourman. 2013. Waspadai Stroke Usia Muda. Jakarta : Cerdas Sehat
10. Wahjoepramono, E. J. 2005. Stroke Tata Laksana Fase Akut. Jakarta: Universitas
Pelita Harapan
11. Bustan, M.N., 2007. Epidemiologi Penyakit Tidak Menular. Jakarta: Penerbit
Rineka Cipta
12. Sarafino, EP. 2004. Health Pycology Biopsycososial Interreaction. New York:
John and Sons In
13. Poerwadi T. Beberapa Faktor Risiko Stroke. Lab/SMF Ilmu Penyakit Saraf FK
UNAIR RSDS dalam kumpulan Makalah Simposium Kewaspadaan dan
Pencegahan Penyakit Stroke. Lumajan 17 Mei 2000
14. Dewanto, George., dkk. 2009. Panduan Praktis Diagnosis dan Tata Laksana
Penyakit Saraf. Jakarta : EGC
15. Lovastatin, Kohlmeier. 2006. Penyakit Jantung dan Tekanan Darah Tinggi.
Jakarta : Prestasi Pustakarya
16. Reynolds K et al. 2007. Prevalence and risk factors of overweight and obesity in
China. Obesity. 15:10-18
17. Mukamal, K.J. et al., 2005. Alcohol and Risk for Ischemic Stroke in Men: The
Role of Drinking Patterns and Usual Beverage. Ann Intern Med 142:11-19
Page 29
18. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI. 2014.
Riset kesehatan dasar 2013. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan
19. Junaidi, Iskandar. 2004. Panduan Praktis Pencegahan dan Pengobatan Stroke.
Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer
20. Lumbantobing SM. 2004. Neurogeriatri. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia
21. Cermin Dunia Kedokteran. Neurologi. Jakarta: 6 November
2011.www.kalbe.co.id/files/cdk_157_Neurologi.pdf
22. Prince SA, M.W L. Patafisiologi jilid 2 : Konsep Klinis Proses – Proses Penyakit.
2nd ed. Jakarta: EGC; 2005
23. Ahmad A. Manajemen Nutrisi dan Cairan Elektrolit Penderita Stroke dlm
Manajemen Komprehensif Stroke. Yogyakarta: Pustaka Cendikia Press; 2007
24. Sugiyanto E. Hipertensi dan Komplikasi Serebrovaskular. Cermin Dunia Kedokt.
2007;157
25. Mergenthaler P, Dirnagl U, Meisel A. Pathophysiology of stroke: lessons from
animal models. Metab Brain Dis [Internet]. 2004 Dec [cited 2016 Mar 3];19(3-
4):151–67. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/15554412
26. Woodruff TM, Thundyil J, Tang S-C, Sobey CG, Taylor SM, Arumugam T V.
Pathophysiology, treatment, and animal and cellular models of human ischemic
stroke. Mol Neurodegener [Internet]. 2011 Jan [cited 2016 Apr 4];6(1):11.
Available from: http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?
artid=3037909&tool=pmcentrez&rendertype=abstract
27. Dirnagl U, Iadecola C, Moskowitz MA. Pathobiology of ischaemic stroke: an
integrated view. Trends Neurosci [Internet]. 1999 Sep [cited 2015 Aug
14];22(9):391–7. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/10441299
28. Iadecola C, Ross ME. Molecular pathology of cerebral ischemia: delayed gene
expression and strategies for neuroprotection. Ann N Y Acad Sci [Internet]. 1997
Page 30
Dec 19 [cited 2016 Apr 4];835:203–17. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/9616775
29. Hassan A. Markers of endothelial dysfunction in lacunar infarction and ischaemic
leukoaraiosis. Brain [Internet]. 2003 Feb 1 [cited 2016 Apr 4];126(2):424–32.
Available from: http://brain.oxfordjournals.org/content/126/2/424.full
30. Lee S-J, Kim J-S, Lee K-S, An J-Y, Kim W, Kim Y-I, et al. The leukoaraiosis is
more prevalent in the large artery atherosclerosis stroke subtype among Korean
patients with ischemic stroke. BMC Neurol [Internet]. 2008 Jan [cited 2016 Apr
4];8:31. Available from: http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?
artid=2532686&tool=pmcentrez&rendertype=abstract
31. Arumugam T V, Granger DN, Mattson MP. Stroke and T-cells. Neuromolecular
Med [Internet]. 2005 Jan [cited 2016 Mar 22];7(3):229–42. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/16247183
32. Lapchak PA. Tumor necrosis factor-alpha is involved in thrombolytic-induced
hemorrhage following embolic strokes in rabbits. Brain Res [Internet]. 2007 Sep
5 [cited 2016 Apr 4];1167:123–8. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/17673188
33. Jia L, Chopp M, Zhang L, Lu M, Zhang Z. Erythropoietin in combination of
tissue plasminogen activator exacerbates brain hemorrhage when treatment is
initiated 6 hours after stroke. Stroke [Internet]. 2010 Sep [cited 2016 Apr
4];41(9):2071–6. Available from:
http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?
artid=2950698&tool=pmcentrez&rendertype=abstract
34. Asahi M, Wang X, Mori T, Sumii T, Jung JC, Moskowitz MA, et al. Effects of
matrix metalloproteinase-9 gene knock-out on the proteolysis of blood-brain
barrier and white matter components after cerebral ischemia. J Neurosci
[Internet]. 2001 Oct 1 [cited 2016 Apr 4];21(19):7724–32. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/11567062
35. Mun-Bryce S, Rosenberg GA. Gelatinase B modulates selective opening of the
blood-brain barrier during inflammation. Am J Physiol [Internet]. 1998 May
Page 31
[cited 2016 Apr 4];274(5 Pt 2):R1203–11. Available from:
http://ajpregu.physiology.org/content/274/5/R1203.abstract
36. American Heart Association. 2015. Recovery: Lets talk about stroke.
http://www.strokeassociation.org/idc/groups/stroke
public/@wcm/@hcm/documents/downloadable/ucm_309722.pdf . Diakses pada
tanggal 4 Maret 2016
37. Kementrian Kesehatan RI. 2013. Pedoman Pengendalian Stroke. Direktorat
Pengendalian Penyakit Tidak Menular Subdit Pengendalian Penyakit Jantung dan
Pembuluh Darah