5
SEJARAH DAN PERKEMBANGAN ILMU HADITS
Oleh: Muchamad Furqon
NIM. 2013920027
Semester : Dua
ABSTRAKSI
Islam telah mengajarkan kehidupan yang dinamis dan progresif,
menghargai perkembangan ilmu pengetahuan termasuk di dalamnya ilmu
pengetahuan tentang hadis yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan
hidup manusia seperti dalam hal sosial, hukum, kemitraan,
kebersihan, egaliter (kesetaraan), persaudaraan, akhlak yang mulia
dan sikap positif lainnya.[footnoteRef:1] [1: Abuddin Nata, M.A.,
Metodologi Studi Islam, Edisi Revisi (Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2008), h. 1. ]
Para pemalsu hadits benar-benar telah menodai agama dengan
sangat kritis. mencemarkan wajah Islam dan memasukkan ajaran-ajaran
lain yang tidak termasuk ajaran Islam. Namun Allah swt memelihara
ajaran Islam dari pengubahan dan penggantian serta menjaga
perkataaan nabi dari usaha menjadikannya alat tunggangan bagi para
ambisius, dia juga melahirkan orang-orang yang dapat dipercaya dan
ikhlash untuk umat ini, yang menentang dan menelusuri jejak para
pemalsu hadits dan membedakan hadits yang shahih dari yang bathil.
sekiranya tidak ada upaya-upaya dari para shahabat tabiin dan para
ulama sesudah mereka. niscaya sebagian persoalan agama menjadi
kabur bagi banyak orang karena banyaknya hal yaang dibuat-buat oleh
para pendusta dan pemalsu hadits. mereka mengklaim bahwa
hadits-hadits palsu bersumber dari rasulullah saw.
KATA KUNCI: Sejarah Ilmu Hadits, Ilmu Hadits Riwayah, Ilmu
Hadits Dirayah
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Orang yang bersikap objektif akan menaruh hormat dan sangat
berterimakasih atas upaya para ulama sejak sahabat sampai assunnah
dibukukan secara sempurna yang telah membersihkan assunnah dari
pemalsuan. dan seseorang akan bertambah mengagumi kaidah-kaaidaah
ilmiah yang diaplikasikan oleh ulama dan metode tertentu yang
mereka pergunakan dalam memelihara hadits rasulullah kita pun
mengetahui nilai penelitian kajian ketabahan dan penelusuran yang
mereka lakukan terhadap hadits-hadits palsu yang tidak terhitung
jumlahnya.
Menurut kesaksian Hamad bin Zaid, musuh-musuh Islam telah
memalsukan sekitar 14.000 hadits. Abdul Karim bin Abu Auja mengaku
telah memalsukan hadits sebanyak jumlah tersebut. sementara itu
Muiz bin Raja seorang pengikut qodariah yang kemudian bertaubat
mengaku bahwa golongan mereka telah memalsukan hadits tentang
qadariah.
Alquran adalah sumber pertama syariat Islam dan hadis adalah
sumber kedua. al-Sunnah merupakan penjelas Alquran, pemerinci
hukum-hukumnya, dan mengeluarkan furū’ cabang dari ushūl
pokoknya.[footnoteRef:2] [2: M. Ajjaj Al-Khatib, al-Sunnah Qabla
Tadwīn, diterjemahkan AH. Akrom Fahmi, Hadits Nabi Sebelum
Dibukukan (Cet. 1; Gema Insani Press, 1999), h. 21]
Alquran adalah petunjuk bagi umat Islam.[footnoteRef:3]
Petunjuk-petunjuk Alquran merupakan dasar-dasar pokok yang bersifat
ijmali. Hanya hukum faraidh yang dijelaskan secara tafshīli
(detail). Di samping itu, Alquran yang ijmāli serta ayat-ayatnya
yang mutasyābih memerlukan penjelasan.[footnoteRef:4] [3: Lihat QS.
Al-Isra’ (79): 9. Lihat uraian Muhammad Abduh mengenai wahyu dan
Alquran dalam “Risalah al-Tauhid” (Cet. 7; Jakarta: Bulan Bintang,
1979), h. 144-154 dan h. 185-192. ] [4: Hasbi Ash-Shiddieqy,
Sejarah dan Pengantar Ilmu Tafsir (Djakarta: Bulan Bintang, 1967),
h. 149. Uraian yang sama terdapat dalam M. Syuhudi Ismail,
Pengantar Ilmu Hadis (Cet. 2; Bandung; Angkasa, 1994), h. 55.]
Sebagai sumber hukum Islam yang kedua setelah al-Qur’an, hadits
Nabi memiliki fungsi strategis dalam kajian-kajian keIslaman. Namun
karena pembukuan hadits baru dilakukan dalam rentan waktu yang
cukup lama sejak meninggalnya Nabi, ditambah kenyataan sejarah
bahwa hadis pernah dipalsukan dengan berbagai motif, maka
orisinalitas hadits yang beredar di kalangan umat Islam patut
diteliti. Pada sisi lain, kenyataan sejarah tersebut juga sering
dijadikan celah dan starting point oleh musuh-musuh Islam
untuk merongrong akidah umat supaya mau berpaling dari hadits Nabi.
Lebih-lebih diketahui bahwa lingkungan Nabi hidup ketika itu kurang
akrab dengan budaya tulis-menulis. Karena itu keabsahan dan
orisinalitas hadits yang ada memang harus diteliti.
Pada waktu Rasul Allah masih hidup, para sahabat yang menemukan
suatu permasalahan atau menginginkan suatu penjelasan mengenai
suatu ayat, langsung bertanya kepada Rasul. Rasul menjelaskannya
baik melalui perkataan, perbuatan atau taqrir. Setelah Rasul wafat,
para sahabat berpegang kepada penjelasan Rasul. Penjelasan ini
kemudian dikenal dengan nama hadis. Abdul Majid Khon menyatakan
bahwa “fungsi hadis terhadap Alquran secara umum adalah untuk
menjelaskan (li al-bayān) makna kandungan Alquran yang sangat dalam
dan global.[footnoteRef:5] Ada empat jenis fungsi al-bayān hadis
terhadap Alquran yakni bayān taqrīr, bayān tafsīr, bayān naskhi dan
bayān tasyri.[footnoteRef:6] [5: Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis
(Cet. 1; Jakarta: Amzah, 2008), h. 16.] [6: Ibid., h. 17-19.]
Para ulama, sejak masa-masa awal Islam telah menunjukkan
dedikasi untuk melakukan penelitian dan seleksi ketat terhadap
hadits-hadits Nabi. Hal itu dimaksudkan untuk melestarikan hadits
Nabi sebagai sumber ajaran agama yang orisinal. Untuk tujuan mulia
itu, mereka kemudian menciptakan seperangkat kaidah, istilah, norma
dan metode. Kaidah-kaidah itu, kemudian karena pertimbangan
kebutuhan, lantas dibakukan oleh ulama belakangan, baik yang
berhubungan dengan sanad maupun matan hadits. Tanpa pemahaman yang
paripurna terhadap kaidah, norma dan metode tersebut, sulit bagi
seseorang untuk mengetahui orisinalitas dan keabsahan hadits
Nabi.
Sejarah pembukuan dan penulisan hadits dan ilmu hadits telah
melewati serangkaian fase historis yang sangat panjang mulai dari
Rasullullah s.a.w., kemudian terus kepada sahabat, tabi’in, dan
seterusnya hingga saat sekarang hingga mencapai puncaknya pada abad
ketiga hijriah.
Sebenarnya, setelah para ulama berhasil menyusun kitab-kitab
hadits seperti Shahih Al-Bukhari, kajian terhadap periwayatan
hadits sudah berakhir, tapi sekarang ini terjadi kecenderungan umat
Islam telah melupakan ilmu hadits ini, kebanyakan mereka hanya
mengutip hadits-hadits ulama terdahulu tanpa mengetahui apakah
hadits tersebut shahih atau dha’if.
Hasbi Ash-Shiddieqy mengemukakan bahwa untuk mempelajari sejarah
pertumbuhan dan perkembangan ‘Ulūm al-Hadis perlu ditelusuri dua
pokok, yaitu:
1. Mempelajari periode-periode ilmu hadis
2. Mempelajari pemuka-pemuka ilmu hadis.[footnoteRef:7] [7:
Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Tafsir (Djakarta:
Bulan Bintang, 1967) h. 45]
Para ahli berusaha menyusun secara sistematis periode-periode
pertumbuhan dan perkembangan ilmu hadis. Nūr al-Dīn mengemukakan
tahapan perkembangan ‘Ulūm al-Hadīs atas tujuh tahap, yaitu:
1. Tahap pertama: Kelahiran Ilmu Hadis
2. Tahap kedua: Tahap Penyempurnaan
3. Tahap ketiga: Tahap pembukuan Ilmu Hadis secara terpisah
4. Tahap keempat: Penyusunan Kitab-kitab Induk ‘Ulūm al-Hadīs
dan penyebarannya
5. Tahap kelima: Kematangan dan kesempurnaan pembukuan ‘Ulūm
al-Hadis
6. Tahap keenam: Masa Kebekuan dan kejumudan
7. Tahap ketujuh: Kebangkitan kedua.[footnoteRef:8] [8: Nūr
al-Dīn ‘Itr, Manhaj al-Naqd fi ‘Ulūm al-Hadis, terj. Mujiyo, ‘Ulum
Al-Hadits I (Cet. 1; Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994), h. 21]
Oleh karena itu penulis berniat membuat makalah yang berjudul
“Sejarah dan Perkembangan Ilmu Hadits” supaya kita dapat memahami
ilmu-ilmu tentang hadits beserta sejarah perkembanganya.
B. TUJUAN
Tujuan pemakalah untuk membuat makalah ini adalah agar para
pembaca sekalian mengetahui pengertian ilmu hadits, dari sisi
Riwayah dan Dirayah, dan juga bagaimana tahapan sejarah dan
perkembangan ilmu hadits dari masa Rasulullah s.a.w. sampai
sekarang. Selain itu, kita juga bisa mengetahui apa saja
cabang-cabang dari ilmu hadits.
C. RUMUSAN MASALAH
Kalau kita mengkaji masalah ilmu hadits pasti luas cakupannya.
Oleh karena itu penulis membatasi hanya membahas empat pokok
bahasan saja, yaitu:
1. Apa yang dimaksud ilmu hadits?
2. Bagaimana tahapan sejarah pertumbuhan dan perkembangan ilmu
hadits?
3. Apa saja cabang-cabang ilmu hadits?
4. Bagaimana cara memahami hadits yang benar? dan,
5. Sejauh mana pengaruh hadits terhadap perilaku beribadah
masyarakat muslim?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ilmu Hadits
1. Ilmu Hadits Riwayah
Ilmu Hadits Riwayah adalah “ilmu yang mempelajari hadits-hadits
yang disandarkan kepada Nabi s.a.w., baik perkataan, perbuatan,
ketetapan, tabi’at maupun tingkah lakunya.”[footnoteRef:9] [9:
Ahmad, M. dan Muzakkir, Ilmu Hadis. (Bandung: Pustaka Setia, 1998)
hal. 7]
Ada juga para ulama yang memberikan pengertian bahwasanya Ilmu
Hadits Riwayah adalah ilmu yang dalam pembahasannya mencakup
perkataan dan perbuatan Nabi s.a.w., baik yang menyangkut masalah
periwayatan, pemeliharaan, maupun penulisan, atau pembukuan
lafadz-lafadznya.[footnoteRef:10] [10: Teungku M. Hasbi
Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits. (Semarang: PT.
Pustaka Rizki Putra, 1997) hal. 12]
Objek dari ilmu Hadits Riwayah adalah bagaimana tata cara
menerima dan menyampaikan hadits kepada orang lain, dan bagaimana
pula tata cara pemindahan dan pembukuannya, akan tetapi tidak
sampai pada permasalahan ada tidaknya kejanggalan dan kecacatan
pada matannya.
Oleh sebab itu pembahasannya hanya terbatas pada masalah
penyampaian dan pembukuan sesuai dengan apa adanya, baik yang
berhubungan dengan matan maupun rangkaian merantai para
perawinya.
Faedah mempelajari ilmu ini adalah untuk menghindari adanya
kemungkinan salah kutip terhadap apa yang disandarkan kepada Nabi
Muhammad s.a.w.
2. Ilmu Hadits Dirayah
Ilmu Hadits Dirayah adalah “Ilmu yang membahas tentang
kaidah-kaidah, dasar-dasar, peraturan-peraturan yang dengannya
diketahui perbedaan antara hadits yang shahih yang disandarkan
kepada Rasulullah s.a.w., dan hadits yang diragukan penyandaran
kepadanya.
Yang termasuk cabang-cabang ilmu Hadits Dirayah adalah ilmu
rijal al-hadits, ilmu tarikh ar-ruwat, dan ilmu jarh wa ta’dil.
Objek pembahasan Ilmu Dirayah, diantaranya:
1. Keadaan para perawi (راوى / رواه), baik yang berkaitan dengan
sifat kepribadian (seperti perilaku keseharian, watak dan kualitas
daya ingatannya) maupun masalah sambung tidaknya rangkaian mata
rantai para perawinya.
2. Keadaan yang diriwayatkan (مروى), baik dari sisi keshahihan
dan kedha’ifannya maupun dari sisi lain yang berkaitan dengan
keadaan matan.
Dengan demikian, manfaat yang dapat diambil dari mempelajari
ilmu Hadits Dirayah adalah ilmu yang dapat dijadikan sebagai alat
yang dapat dijadikan sebagai alat untuk mengetahui sejauh mana
kualitas sebuah hadits.
Selain manfaat diatas, juga ada manfaat yang lain,
diantaranya:[footnoteRef:11] [11: Mudasir, Ilmu Hadits, (Bandung:
Pustaka Setia, 2008), hlm. 42]
1. Mengetahui pertumbuhan dan perkembangan hadits dan ilmu
hadits dari masa ke masa sejak masa Rasulullah s.a.w. sampai
sekarang.
2. Dapat mengetahui tokoh-tokoh serta usaha-usaha yang telah
mereka lakukan dalam mengumpulkan, memelihara, dan meriwayatkan
hadits,
3. Mengetahui kaidah-kaidah yang dipergunakan oleh para ulama
dalam megklasifikasikan hadits lebih lanjut.
4. Dapat mengetahui istilah-istilah, nilai-nilai, dan kriteria
hadits sebagai pedoman dalam beristinbat.
Pembedaan di sini perlu dilakukan karena bahwasanya munculnya
disiplin Ilmu Hadis Dirayah tidaklah sama waktu dan pencetusnya.
Ilmu Hadis Riwayat dipelopori oleh Muhammad bin Syihab Az Zuhry (51
– 124 H). Ia adalah orang pertama yang menghimpun hadits Nabi SAW
atas perintah Khalifah Umar bin Abdul Aziz (Umar II, memerintah
tahun 99 – 102 H/717 – 720 M ).[footnoteRef:12] [12: Abdul Majid
Khon, Ulum Hadis, (Jakarta: Amzah, 2009), Cet. Ke-2 hal. 70]
Sedangkan Ilmu Hadist Diroyah/Ilmu Mustholah Hadits/Ilmu Ushul
Hadits/Ushul al-Riwayat dipelopori oleh Al Qadli Abu Muhammad Al
Hasan bin Abdurrahman bin Khalad Ar Ramahurzuri (w.360 H).
B. Tahapan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Ilmu Hadits
Sebelum kita menguraikan periode/masa pertumbuhan dan pembinaan
ilmu hadits perlulah kiranya dijelaskan di sini pengertian
pertumbuhan dan pembinaan ilmu hadits. Hal ini sangat penting,
karena masih ada yang menyamakan antara perkembangan hadits dengan
ilmu hadits itu sendiri. Padahal keduanya berbeda, meskipun
demikian, keduanya tidak bisa dipisahkan. Hal ini disebabkan karena
pertumbuhan ilmu hadits selalu mengiringi pertumbuhan hadits itu
sendiri.[footnoteRef:13] [13: Abdul Majid Khon,Ulum Hadis,
(Jakarta:Amzah,2009) hal. 78]
Jadi, pertumbuhan ilmu hadis diartikan sebagai perkembangan ilmu
hadits mulai dari perintisannya sampai tumbuh dan perkembangnya
hingga masa sekarang. Sedang pembinaan ilmu hadis, secara singkat,
adalah usaha, tindakan dan kegiatan yang dilakukan secara berdaya
guna dan berhasil guna terhadap ilmu-ilmu hadits mulai cikal
bakalnya hingga hadits bisa menjadi sebuah disiplin ilmu yang
berdiri sendiri, sitematis, luas dan lengkap bahasannya.
1. Masa Kelahiran Ulumul Hadits
‘Ulūm al-Hadis sebagai sebagai suatu disiplin ilmu mengalami
masa pertumbuhan dan perkembangan, Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib
mengemukakan hal ini sebagai berikut:
Ulumul Hadis tumbuh bersama dengan tumbuhnya periwayatan dan
pemindahan hadis dalam Islam. Dasar-dasar ini mulai tampak setelah
Rasul saw. wafat, yakni tatkala kaum muslimin memberikan perhatian
serius dalam mengoleksi hadis Nabi, karena khawatir tersia-siakan.
Mereka berusaha keras menghapal, menandai, memindahkan dan
mengkodifikasikannya. Secara alamiah kodifikasi hadis mendahului
kodifikasi Ilmu Ushulul Hadis. Karena hadis adalah materi yang
dikumpulkan dan dikaji. Sedang Ushulul Hadis adalah kaedah dan
metode yang harus diikuti untuk menerima dan menolak hadis dan
mengetahui yang shahih dari yang dha’if.[footnoteRef:14] [14:
Muhammad ‘Ajaj al-Khatib, Ushul al-Hadis. terj. M. Qadirun Nur
& Ahmad Musyafiq, Pokok-Pokok Ilmu Hadis (Cet. 1; Jakarta: Gaya
Media Pratama, 1998), h. xiv]
Penjelasan ‘Ajjaj ini, memberikan pemahaman bahwa pertumbuhan
dan perkembangan ‘Ulum al-Hadis melalui suatu tahapan yang cukup
panjang. Ilmu itu tumbuh dan berkembang dari masa ke masa secara
terus neberus dan berkesinambungan mengkuti irama periwayatan hadis
terutama sebelum hadis terkodifikasi dengan baik.
2. Masa Penulisan Ilmu Hadits
Tahap kedua dari perkembangan ‘Ulum al-Hadis ialah tahap
penyempurnaan. Pada tahap ini, ilmu hadis mencapai titik
kesempurnaannya. Setiap cabangnya dapat berdiri sendiri dan sejalan
dengan kaidah-kaidah yang telah ditetapkan dan dipergunakan oleh
ulama. Tahap ini berlangsung dari abad kedua sampai awal abad
ketiga. Peristiwa-peristiwa menonjol yang menendai periode ini
ialah:
a. Melemahnya daya hapal di kalangan umat Islam sebagaimana
disebutkan al-Dzahabi dalam kitab Tazkirat al-Huffazh
b. Panjang dan bercabangnya sanad-sanad hadis, lantaran
bentangan jarak waktu dan semakin banyak rawi
c. Munculnya sejumlah kelompok umat Islam yang menyimpang dari
jalan kebenaran yang ditempuh para sahabat dan tabi’in, seperti
Mu’tazilah, Jabariyah, Khawarij, dan sebagainya. Oleh karena itu,
para ulama bangkit untuk mengantisipasi kekacauan ini dengan
langkah yang dapat menutupi pengaruh yang mungkin timbul. Antara
lain:
a. Pembukuan hadis secara resmi
b. Mengembangkan jarh wa ta’dil untuk mengkritisi rawi hadis
c. Mengembangkan sikap tawaqquf yaitu tidak menolak atau
menerima bila mendapatkan hadis dari sesorang yang mereka tidak
kenal sebagai ahli hadis.
d. Menelusuri sejumlah hadis untuk mengungkap kecacatan yang
mungkin tersembunyi di dalamnya.[footnoteRef:15] [15: Nur al-Din,
op.cit., h. 36.]
Para ulama sangat ketat dalam menyeleksi hadis. Mereka meneliti
setiap keadaan perawi sehingga hadis dapat diketahui kualitasnya.
Bahkan, mereka bersedia melakukan perjalanan panjang untuk mengecek
kebenaran sebuah hadis yang diriwayatkan oleh seseorang dengan
mempersyaratkan kriteria-kriteria tertentu sesuai dengan kaidah
yang ditetapkan para ulama.[footnoteRef:16] Dengan demikian, hadis
yang diriwayatkan oleh seseorang akan dapat diketahui antara lain
keadilan, kecacatan, dan kedhabitan seorang perawi dan sebagainya.
[16: Perjalanan untuk meneliti suatu hadis dideskripsikan dalam
Subhi Al-Shalih, op.cit., h. 61-80. Perjalanan ini diistilahkan
dengan Rihlah Checking oleh Abdul Majid Khon, op.cit., h. 80]
3. Masa Pembukuan Ilmu Hadits
a. Tahap Pembukuan Ilmu Hadis secara terpisah
Tahap ini berlangsung sejak abad ketiga sampai pertengahan abad
keempat Hijriah. Tahap ini merupakan tahap pembukuan hadis dan
merupakan zaman keemasan sunnah. Sebab, dalam abad inilah sunnah
dan ilmu-ilmunya dibukukan dengan sempurna.
Tahap ini ditandai dengan inisiatif para ulama untuk membukukan
hadis Rasul secara khusus. Untuk itu mereka susun kitab-kitab
musnad untuk menghimpun hadis Rasul yang mereka kelompokkan
berdasarkan nama-nama sahabat, sehinga hadis-hadis yang
diriwayatkan dari Abu Bakar –misalnya- dikumpulkan dalam satu
tempat dengan judul Musnad Abu Bakar, demikian pula hadis-hadis
umar yang lainnya
Pada tahap ini, cabang-cabang ilmu hadis telah berdiri sendiri
sebagai suatu ilmu, seperti ilmu hadis shahih, ilmu hadis mursal,
ilmu al-Asma wa al-Kuna, dan sebagainya. Ulama yang dikenal
menyusun buku yang berkaitan dengan ilmu hadis pada masa ketiga ini
ialah:
1. Yahya ibn ma’in (w.234 H) menyusun kitab tentang biografi
para rawi
2. Muhammad ibn Sa’d (w. 230 H) menyusun kitab tentang thabaqat
para rawi. Kitab ini merupakan kitab yang paling baik.
3. Ahmad ibn Hanbal (w. 241 H) menyusun kitab al-‘Ilal wa
al-Ma’rifah al-Rijal dan al-Nasikh wa al-Mansukh.
4. ‘Ali ibn ‘Abdullah ibn al-Madani (w.234 H) Guru al-Bukhari,
menyusun buku tentang banyak hal yang mencapai dua ratus judul.
Kebanyakan kitab yang disusunnya selalu menjadi perintis dalam
bidangnya sehingga para ulama menyatakan bahwa tiada cabang ilmu
hadis yang luput dari bahasannya dan tidak tersentuh dalam
tulisannya.[footnoteRef:17] [17: Nur al-Din, op.cit., h. 49.]
4. Tahap penyusunan Kitab-Kitab Induk ‘Ulum al-Hadis dan
penyebarannya
Masa ini bermula pada pertengahan abad keempat dan berakhir pada
awal abad ketujuh. Pada periode ini, para ulama menekuni dan
mendalami kitab-kitab yang telah disusun oleh para ulama
sebelumnya. Kemudian mereka menghimpun keterangan-keterangan yang
masih berserakan kemudian melengkapinya dengan
keterangan-keterangan ulama lain yang diriwayatkan dengan sanad
yang sampai kepada pembicaranya. Sesudah itu mereka memberi
komentar terhadap keterangan-keterangan dan digali hukumnya.
Dalam catatan sejarah perkembangan hadits, diketahui bahwa ulama
yang pertama kali berhasil menyusun ilmu hadis dalam suatu disiplin
ilmu secara lengkap, adalah seorang ulama sunni bernama al-Qadi Abu
Muhammad al-Hasan bin Abd ar-Rahman bin Khalad ar-Ramahurmuzi (w.
360 H), dengan kitabnya Al-Muhaddiits al-Fashil baina ar-Rawi wa
al-Wa’i. Menurut Ibn Hajar al-Asqalani,[footnoteRef:18] karya
ar-Ramahurmuzi ini belum mencakup seluruh ilmu hadis. Meskipun
demikian, menurutnya lebih lanjut, kitab ini sampai pada masanya
merupakan kitab terlengkap, yang kemudian dikembangkan oleh para
ulama berikutnya. [18: Shubhi as-Shalih, op.cit., h. 5]
Orang kedua setelah ar-Ramahurmuzi, ialah al-Hakim Abu Abdillah
Muhammad bin Abdillah an-Naisaburi (321-405H) dengan kitabnya
Ma’rifah ‘Ulum al-Hadis. Pada kitab ini dibahas sebanyak 52 macam
pembahasan. Namun, seperti karya ar-Ramahurmuzi, karya al-Hakim ini
juga belum sempurna dan kurang sistematis dibanding dengan
kitab-kitab karya ulama berikutnya.[footnoteRef:19] [19: Kitab
Ma’rifat ‘Ulum al-Hadits ini diikhtiarkan oleh Thahir al-Jaza’iri
(w. 1338 H) dalam kitabnya berjudul “Taujih an-Nazhar”]
Setelah itu, muncul Abu Nu’aim Ahamad bin Abdillah al-Ashafani
(336-430 H) dengan kitabnya al-Mustakhraj ‘ala Ma’rifah’Ulum
al-Hadits. Dalam kitab ini, ia mengemukakan kaidah-kaidah temuannya
yang tidak terdapat dalam kitab Ma’rifah ‘Ulum al-Hadits karya
al-Hakim.[footnoteRef:20] [20: Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis,
(Jakarta: Gaya Media Pratama, Cet.4; 2001) hal. 89.]
Berikutnya, al-Khathib al-Bagdadi Abu Bakr ahmad bin Ali (w. 463
H) dengan kitabnya yang terkenal, ialah “Al-Kifayah fi Qawanin
ar-Riwayah”. Kitab ini berisi berbagai uraian ilmu hadis da
kaidah-kaidah periwayatan. Karya lainnya, ialah Al-Jami’ li Adabi
asy-Syeikh wa As-Sa’mi. Menurut Abu Bakr bin Nuqthah, para ulama
muhaddisin yang menyusun ilmu ini setelah al-Khatib al-Bagdadi,
menginduk kepada kitabnya.[footnoteRef:21] [21: Mahmud ath-Thahhan,
Tafsir Musthalah al-Hadits (Beirut: Dar ats-Tsaqafah al-Islamiyah,
t.th), h. 12.]
Selang beberapa waktu, menyusul al-Qadi ‘Iyadh bin Musa
al-Yahshibi (w. 544 H) dengan kitabnya Al-Ilma’ fi Dabth ar-Riwayah
wa Taqyid al-Asma’. Berikutnya, ialah Abu Hafidz Umar bin Abd Majid
al-Mayanji (w. 580 H) dengan kitabnya ‘Ulum al-Hadits yang dikenal
dengan Muqaddimah ibn ash-Shalah. Kitab ini oleh para ulama
berikutnya disyarahkan dan dibuat 27 mukhtashar-nya, sehingga dapat
dijadikan pegangan oleh ulama generasi berikutnya.[footnoteRef:22]
[22: Shubhi as-Shalih, op.cit., h. 89.]
5. Masa Pentashihan ‘Ulum al-Hadis
Tahap kematangan dan kesempurnaan pembukuan ‘Ulum al-Hadis
bermula pada abad ketujuh dan berakhir pada abad kesepuluh.
Pembukuan ‘Ulum al-Hadis pada tahap ini mencapai tingkat
kesempurnaan dengan ditulisnya sejumlah kitab yang mencakup seluruh
cabang ilmu hadis. Pada tahap ini dilakukan penelitian secara
mendetail terhadap sejumlah masalah dan upaya perbaikan sejumlah
ungkapan yang memerlukan penghalusan redaksi. Para penyusun kitab
adalah para imam besar yang hapal semua hadis dan menyamai
pengetahuan dan penalaran para imam besar terdahulu terhadap
cabang-cabang hadis, sanad dan matannya.
Pelopor pembaharuan dalam pembukuan ilmu hadis pada masa ini
ialah al-Imam al-Muhaddits al-Faqih al-Hafidz al-Ushul Abu ‘Amr
‘Utsman ibn al-Shalah (w. 643) dengan kitab ‘Ulum al-Hadis yang
sangat masyhur.
Kitab-kitab yang tercatat sebagai tahap kematangan dan
kesempurnaan pembukuan ‘Ulum al-Hadis ialah:
1. Al-Irsyad karya Imam Yahya ibn Syaraf al-Nawawi (w. 676 H).
Kitab ini merupakan ringkasan dari kitab ‘Ulum al-Hadis kemudian
diringkaskan lagi menjadi al-Taqrib wa al-Taisir li Ahadis
al-Basyir al-Nadzir.
2. Al-Tabshirah wa al-Tadzkirah. Kitab yang disusun dalam bentuk
syair sebanyak seribu bait karya al-Hafidz Abd al-Rahman ibn
al-Husain al-Iraq (w. 806 H). Kitab ini mencakup seluruh isi kitab
‘Ulum al-Hadis dengan menjelaskan dan menambah kekurangannya dengan
beberapa masalah lalu disyarahi dengan syarah yang sangat baik.
3. Al-Taqyid wa al-Lidhah li ma Uthliqa min Kitab ibn al-Shalah
yang dikenal dengan nama al-Nukat. Kitab ini diberi catatan kaki
oleh Fadhilat al-Syaikh Muhammad Raghib al-Thabbah dengan
keterangan-keterangan yang sangat bermanfaat.
4. Al-Ifshah ‘ala Nukat ibn al-Shalah. Kitab syarah ‘Ulum
al-Hadis disusun oleh al-Hafidz Ahmad ibn ‘Ali ibn Hajar
al-Atsqalani (w. 852 H). kitab ini sampai sekarang masih dalam
bentuk naskah tulisan tangan yang terdapat di India.
5. Fath al-Mughits Syarh Al-Fiyah al-Iraqi fi ‘Ilm al-Hadis
karya al-Hafidz Syamsuddin Muhammad al-Shakhawi (w. 902 H). Kitab
ini memuat hasil studi kritis terhadap masalah-masalah yang
terdapat dalam kitab-kitab sunnah dan ‘Ulum al-Hadis. Kitab ini
dicetak di India dalam satu jilid tebal.
6. Tadrib al-Rawi Syarah Taqrib al-Nawawi karaya al-hafidz
Jalaluddin Abd al-Rahman al-Suyuthi (w. 911 H).
7. Nukhbat al-Fikr dan syarahnya Nuzhat al-Nadzar. Keduanya
karya al-hafidz Ibn Hajar.[footnoteRef:23] [23: Nur al-Din,
op.cit., h. 49.]
6. Masa Kebekuan dan Kejumudan
Dalam perkembangannya, ‘Ulum al-Hadis sempat mengalami masa
kebekuan dan kejumudan. Keadaan ini berlangsung dari abad kesepuluh
sampai awal abad keempat belas Hijriyah. Pada masa ini, ijtihad
dalam masalah ilmu hadis dan penyusunan kitab nyaris berhenti
total. Kitab-kitab yang ditulis pada umumnya ringkas dan praktis,
baik dalam bentuk syair maupun prosa. Para penulis hanya sibuk
dengan kritikan-kritikan terhadap istilah-istilah yang terdapat
dalam kitab yang telah ada tanpa ikut menyelami inti
permasalahannya. Mereka kurang melakukan penelitian dan ijtihad
sehingga perkembangan ‘Ulum al-Hadis mengalami kemandekan. Walaupun
demikian masih ada penerbitan buku yang berkaitan dengan ‘Ulum
al-Hadis, di antaranya:
1. Al-Manzhumat al-Baiquniyyah karya ‘Umar ibn Muhammad ibn
futuh al-Baiquni al-Dimasqi (w. 1080 H). kitab ini berisi 36 bait
syair. Keistimewaan kitab karena disusun secara sistematis dan
dengan bahasa yang sangat sederhana sehingga mudah dihapalkan oleh
orang-orang yang mempelajarinya.
2. Taudhih al-Afkar karya Al-Shan’ani Muhammad ibn Isma’il
al-Amir (w. 1182 H).
3. Syarah Nuzhat al-Nazhar karya Syekh ‘Ali ibn Sulthan
al-Harawi al-Qari’i (w. 1014 H).[footnoteRef:24] [24: Ibid]
Pada masa kebekuan dan kejumudan ini, bangkit pengkajian
al-Hadis di India yang dipelopori oleh al-Allamah al-Imam
al-Muahddits syah Waliyu Aliah al-Dahlawi (w. 1176 H). Upaya
pengkajian ini dilanjutkan oleh anak dan cucunya serta
murid-muridnya dengan berpedoman kepada kaedah-kaedah yang sudah
baku.[footnoteRef:25] [25: Ibid]
7. Masa Kontemporer
Setelah mengalami masa kebekuan dan kejumudan, pengkajian
terhadap ‘Ulum al-Hadis semakin dikembangkan oleh ulama-ulama
kontemporer. Tahap ini diistilahkan oleh Nur al-Din sebagai masa
kebangkitan kedua. Masa kebangkitan kedua bermula pada permulaan
abad keempat belas hijriyah. Umat Islam bangkit kembali karena
khawatir pengaburan ajaran agama akibat persentuhan dunia Islam
dengan dunia Barat dan Timur, bentrokan mliter yang tidak
manusiawi, orientalis kolonialisme pikiran yang lebih jahat dan
lebih berbahaya. Kondisi telah menuntut untuk disusunnya
kitab-kitab yang membalas tuduhan dan menyanggah
kesalahan-kesalahan dann kedustaan mereka. Tuntutan ini
menghasilkan beberapa karya ulama antara lain:
1. Qawaid al-Tahdits karya Syekh Jamaluddin al-Qasimi. Kitab ini
membahas:
Hadis Shahih dan Hadis Hasan Hadis dhaif, dan Hal-hal yang
berkaitan dengan ketiga hadis tersebut.
2. Miftah al-Sunnah atau Tarikh Funun al-Hadis karya ‘Abd Aziz
al-Khuli. Kitab ini menjadi pelopor pengkajian sejarah Hadis dan
perkembangan ilmu-ilmunya.
3. Al-Sunnah wa Makanatuha fi al-Tasyri al-Islami karya Dr.
Musthafa al-Siba’i. Kitab ini membicarakan hal ikhwal orientalis,
serangan mereka terhadap Hadis, dan serangan balik mereka ketika
kalah berargumentasi. Kitab ini juga menyanggah anggapan-anggapan
kelompok ingkar al-Sunnah baik dari generasi terdahulu dan pada
saat itu.
4. Al-Hadis wa al-Muhadditsin karya Dr. Muhammad Abu Zahw. Kitab
ini menjelaskan tentang ketekunan para ulama dalam mengabdi kepada
al-Sunnah disertai hasil penelitian kondisi hadis pada periode
pertama yaitu periode sahabat, tabi’in sampai periode pembukuan
hadis. Kitab ini juga dilengkapi dengan sanggahan terhadap isu dan
anggapan yang bathil berkenaan dengan hadis.
5. Al-Manhaj al-Hadis fi ‘Ulum al-Hadis karya Dr. Syekh Muhammad
al-simahi, yang menguasai seluruh cabang Ilmu Hadis secara luas dan
komprehensif
C. Hadits Pada Masa Rasulullah s.a.w.
Sesuai dengan perkembangan hadits, Ilmu Hadits Riwayah dan Ilmu
Hadits Diroyah selalu mengiringinya sejak masa Rasulullah s.a.w.
sekalipun belum dinyatakan sebagai ilmu secara eksplisit. Pada masa
Nabi masih hidup di tengah-tengah sahabat, hadits tidak ada
persoalan karena jika menghadapi suatu masalah atau skeptis dalam
suatu masalah mereka langsung bertemu dengan beliau untuk mengecek
kebenarannya. Pemalsuanpun tidak pernah terjadi menurut pendapat
ulama ahli hadits.[footnoteRef:26] [26: Abdul Majid Khon, Ulum
Hadis, (Jakarta: Amzah, 2009), Cet. Ke-2 hal. 78]
Sekalipun pada masa Nabi tidak dinyatakan adanya ilmu hadits,
tetapi para peneliti hadits memperhatikan adanya dasar-dasar dalam
al-Quran dan hadits Rasulullah s.a.w. Misalnya anjuran pemeriksaaan
berita yang datang dan perlunya persaksian yang adil. Firman Allah
dalam Alquran surat Al Hujurat(49): 6, demikian juga dalam surat Al
Baqarah(2): 282 dan At Thalaq(65): 2.[footnoteRef:27] [27: ibid
hal. 79]
Ayat-ayat di atas menunjukkan pemberitaan dan persaksian orang
fasik tidak diterima. Ayat-ayat di atas berarti perintah memeriksa,
meneliti, dan mengkaji berita yang datang dibawa seorang fasik yang
tidak adil. Diperiksa untuk diverifikasi keobyektifannya dari
sumber berita tersebut. Demikian juga sabda Nabi Muhammad dalam
haditsnya :
Artinya: Allah menerangi (menggembirakan) seseorang yang
mendengar sesuatu daripada kami kemudian ia menyampaikannya
sebagaimana ia mendengarnya.maka banyak orang yang menyampaikan
lebih mengerti daripada yang mendengar”. (HR. Al Turmuzdi).
Ayat dan hadits di atas menjadi dasar perlunya pemeriksaan dan
penelitian berita dan hadits yang yang dismpaikan oleh seseorang,
cara memelihara, dan cara menyampaikannya kepada orang lain. Apakah
pembawa berita memenuhi persyaratan sebagai perowi yang dapat
diterima pemberitannya atau tidak?[footnoteRef:28] [28: ibid hal.
81-82]
Ada suatu keistimewaan pada masa ini, yaitu umat Islam dapat
secara langsung memperoleh hadits Rasul s.a.w. sebagai sumber
hadits. Antara Rasulullah dengan mereka tidak ada jarak atau hijab
yang menghambat dan mempersulit pertemuannya.
Dengan demikian, kedudukan Nabi menjadikan semua perkataan,
perbuatan dan taqrir nabi sebagai referensi para sahabat dan para
sahabat tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. Mereka secara proaktif
berguru dan bertanya kepadanya tentang segala sesuatu yang tidak
diketahuinya baik dalam urusan dunia maupun urusan akhirat. Mereka
mentaati semuanya bahkan menirunya. Ketaatan itu sendiri
dimaksudkan agar keberagamannya dapat mencapai tingkat
kesempurnaan.
Ada beberapa cara Rasulullah s.a.w. dalam menyampaikan hadits
kepada para sahabat, yaitu:[footnoteRef:29] [29: Munzier Suparta,.
Ilmu Hadis, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001) hal. 22]
1. Melalui para jema’ah pada pusat pembinaannya yang disebut
dengan majelis al-‘ ilmi.
2. Dalam banyak kesempatan Rasulullah s.a.w. juga menyampaikan
haditsnya melalui para sahabat tertentu, yang kemudian
disampaikannya kepada orang lain.
3. Melalui ceramah atau pidato ditempat terbuka, seperti ketika
haji wada’ dan fathul makkah.
D. Hadits Pada Masa Sahabat
Periode sahabat berlangsung sekitar tahun 11 H sampai 40 H. Masa
ini juga disebut dengan masa sahabat besar dan juga terkenal dengan
sebutan “zamanut tastabbuti wal iqlali minarriwayah (زمن التثبت
والاقلال من الرواية )” yaitu masa pengokohan dan penyederhananaan
riwayat, sehingga masalah penulisan hadits belum dianggap suatu hal
yang mendesak untuk dilaksanakan, hadits masih tetap dihafal dan
upaya-upaya penulisan masih dianggap mengkhawatirkan akan
mengganggu perhatian mereka terhadap penulisan al-Qur’an lantaran
keterbatasan tenaga dan sarana.
Oleh karena itu, Abu Bakar sebagai kalifah pertama mengeluarkan
kebijakan tidak mengizinkan sahabat menulis hadits, bahkan beliau
memerintahkan untuk membakar 500 hadits yang telah dicatatnya.
Selanjutnya, melihat faktor kekhawatiran perhatian para sahabat
terhadap program penulisan al-Qur’an terganggu, lalu niat Umar bin
Khattab untuk membuat program penulisan hadits dibatalkan, apalagi
mayoritas sahabat tidak sepakat dengan usaha tersebut.
Sekalipun demikian penulisan hadits tetap saja dilakukan oleh
sahabat, diantaranya adalah Ibnu mas’ud, Ali bin Abi thalib, dan
Aisyah, dan yang lainnya. Karakter yang menonjol dari periode ini
adalah kuatnya komitmen para sahabat terhadap segala bentuk
perintah Allah dengan cara memelihara ayat-ayat al-Qur’an dalam
satu mushaf, sehingga setelah terkumpul barulah mereka menulis
hadits.
E. Hadits Pada Masa Tabi’in
Melihat kondisi seperti hal diatas, para ulama` bangkit
membendung hadits dari pemalsuan dengan berbagai cara diantaranya
rihlah cecking kebenaran hadits dan mempersyaratkan kepada siapa
saja yang mengaku mendapatkan hadits harus disertai dengan sanad.
Keharusan sanad dalam periwayatan bahkan menjadi tuntutan yang
sangat kuat ketika Ibnu Syihab Az Zuhri menghimpun hadits dari para
ulama diatas lembaran kodifikasi. Sanad adalah merupakan syarat
mutlak bagi yang meriwayatkan hadits, maka dapat disimpulkan bahwa
pada saat itu telah timbul pembicaraan periwayat mana yang adil dan
mana yang cacat (ilm jarh wa ta`dil), sanad mana yang terputus
(munqothi`) dan yang tersambung (muttashil), dan cacat (illat) yang
tersembunyi.
Perkembangan ilmu hadits semakin berkembang pesat ketika para
ahli hadits membicarakan tentang daya ingat para pembawa dan perawi
hadits kuat apa tidak (dlobith), bagaimana metode penerimaan dan
penyampaiannya (tahammul wa ada`), hadits yang kontra berisifat
menghapus (nasikh dan mansukh) atau kompromi, kalimat hadits yang
sulit dipahami (gharib al hadits) dan lain-lain. Akan tetapi,
aktifitas seperti itu dalam perkembangannya baru berjalan secara
lisan (syafawi) dari mulut ke mulut dan tidak tertulis. Baru ketika
pada pertengahan abad kedua sampai dengan ketiga hijriyah ilmu
hadits mulai ditulis dan dikodifikasikan dalam bentuk yang
sederhana, belum terpisah dari ilmu-ilmu lain, belum berdiri
sendiri, masih campur dengan ilmu – ilmu lain atau berbagai buku
atau berdiri secara terpisah. Misalnya ilmu hadis bercampur dengan
ilmu ushul fiqh, seperti dalam kitab Ar Risalah yang ditulis oleh
As Syafi`i, atau campur dengan fiqih seperti kitab Al Umm dan
solusi hadis –hadis yang kontra dengan diberi nama Ikhtilaf Al
–Hadits karya As Syafi`i (w.204 H).[footnoteRef:30] [30: Abdul
Majid Khon, Ulum Hadis, (Jakarta: Amzah 2009), Cet. Ke-2 hal.
81]
Kemudian ketika pemerintahan dipegang oleh ‘Umar bin Abdul ‘Aziz
terbentuklah Lembaga Kodifikasi Hadits secara resmi. Adapun yang
melatarbelakangi Khalifah Umar bin Abdul ‘Aziz untuk mengumpulkan
dan mengkodifikasi hadits pada waktu itu antara
lain:[footnoteRef:31] [31: Teungku M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah
dan Pengantar Ilmu Hadits. (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra,
1997) hal. 28]
1. Banyak penghafal hadits yang meninggal dunia, baik karena
sudah lanjut usia, ataupun gugur sebagai pahlawan perang.
2. Al-Qur’an sudah berkembang begitu luas dalam masyarakat dan
telah dikumpulkan menjadi mushaf, karenanya tidak perlu
dikhawatirkan lagi hadits bercampur dengan al-Qur’an.
3. Islam telah mulai melebarkan syi’arnya melampaui jazirah
Arab, maka hadits sangat diperlukan sebagai penjelas al-Qur’an.
Oleh karena itu, maka masa ini dikenal dengan sebutan masa
pembukuan (‘ashr al-tadwin / عصر التدوين ), sehingga pada abad 2 H
ini, tersusunlah kitab-kitab koleksi hadits.[footnoteRef:32] [32:
M. Mashum Zein, Ilmu Hadits dan Musthalah Hadits. (Jakarta:
Direktorat Pendidikan Madrasah Dirjen Pendis Depag, 2007) hal.
17]
Diantara tokoh-tokoh tabi’in yang termashur dalam bidang riwayat
antara lain Sa’id, Az-Zuhry, ‘Umar ibn Abdul Aziz dan Yazid ibn
Habib.[footnoteRef:33] [33: Ibid ]
F. Hadits Pada Abad Ke-3
Masa ini dikenal dengan sebutan “masa penyaringan pensyarahan
hadits”, terutama pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyyah, mulai
dari khalifah Al-Ma’mum sampai Muqtadir (201-300 H). Pensyarahan
dan penyaringan hadits dilakukan karena masa sebelumnya belum
berhasil melakukan pemisahan beberapa hadits dha’if dengan hadits
shahih, bahkan terkesan hadits maudlu’ bercampur dengan hadits
shahih.
Ulama yang pertama kali melakukan penyaringan hadits-hadits
shahih adalah Ishak ibn Rahawaih, dan kemudian dilanjutkan oleh
Imam Bukhari, dan diteruskan oleh muridnya Imam Muslim. Pada masa
ini, umat Islam telah berhasil melakukan beberapa hal,
diantaranya:[footnoteRef:34] [34: Teungku M. Hasbi Ash-Shiddieqy,
Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits. (Semarang: PT. Pustaka Rizki
Putra, 1997) hal. 22]
1. Memisahkan hadits Nabi s.a.w. dari yang bukan hadits (fatwa
sahabat dan tabi’in)
2. Mengadakan penyaringan secara ketat terhadap apa saja yang
dikatakan hadits Nabi s.a.w. dengan melakukan penelitian pada matan
dan mata rantai sanadnya.
G. Hadits Pada Abad Ke- 4
Pada masa ini dilakukan sistem penyusunan kitab-kitab koleksi
hadits yang lebih mengarah pada upaya pengembangan dalam berbagai
variasi pentadwinan terhadap kitab-kitab yang sudah ada secara
sistematis, misalnya pola-pola:
1. Menghimpun hadits-hadits yang terdapat pada kitab shahihaini
(kitab shahih Bukhari dan shahih Muslim).
2. Mengumpulkan hadits menurut bidangnya, seperti yang memuat
hadits-hadits tentang hukum.
3. Kolektor menyusun kitab athraf, artinya pengarang hanya
menyebutkan permulaan dari tiap-tiap hadits yang dapat menunjukkan
kelanjutannya.
H. Hadits Pada Abad Ke-5 – Sekarang
Setelah umat Islam ditaklukkan oleh Bangsa Barat, penyampaian
ajaran Nabi tidak dapat dilakukan secara terang-terangan, akibatnya
kegiatan penelitian terhadap para perawi hadits terhenti.
Sekalipun demikian, masih ada ditemukan ulama yang berani
berkunjung ke berbagai daerah untuk mendiktekan hadits, dengan cara
duduk di dalam masjid setiap hari jum’at, lalu menguraikan hadits
tentang nilai dan kandungan sanadnya kepada para jama’ah dan
jama’ah mencatatnya, seperti yang dilakukan oleh Zainuddin
al-‘Iraqi (w. 806 H), Ibnu Hajar (w. 858 H), al-Syakhawi (murid
Ibnu Hajar).[footnoteRef:35] [35: Munzier Suparta,. Ilmu Hadis,
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001) hal. 19]
I. CABANG-CABANG “ILMU AL-HADITS”
1. Ilmu Rijal Al-Hadits (علم رجال الحديث )
Ilmu Rijal al-Hadits adalah ilmu untuk mengetahui para perawi
hadits dalam kapasitasnya sebagai perawi hadits.
Maksudnya adalah ilmu yang membicarakan seluk-beluk dan sejarah
kehidupan para perawi, baik dari generasi sahabat, tabi’in maupun
tabi’ tabi’in. Intinya objek kajiannya adalah pada matan dan sanad.
Perawi yang menjadi objek kajian ilmu ini adalah:
a. Para Sahabat, sebagai penerima pertama dan sebagai kelompok
yang dikenal dengan sebutan thabaqat awwalun (generasi
pertama).
b. Para Tabi’in, dikenal sebagai thabaqat tsani (generasi
kedua).
c. Para Muhadlramin, yaitu orang-orang yang mengalami hidup pada
masa jahiliyyah dan masa Nabi s.a.w..
d. Para Muwaliy, yaitu para perawi hadits dan ulama yang pada
awalnya berstatus budak.
Ulama yang pertama kali yang menuyusun kitab riwayat ringkas
para sahabat adalah Al-Bukhary (256 H), dan dilanjutkan oleh
Muhammad Ibnu Saad, dan ada lagi Ibnu Abdil Barr (463 H) dalam
kitabnya yang bernama Al-Istiab.[footnoteRef:36] [36: Ahmad, M. dan
Muzakkir, Ilmu Hadis. (Bandung: Pustaka Setia, 1998) hal. 23]
2. ‘Ilmu Tarikh al-Ruwwat (علم تاريخ الرواة )
Ilmu Tarikh al-Ruwwat adalah ilmu untuk mengetahui para perawi
hadits dari sisi hubungannya dengan usaha periwayatan mereka
terhadap hadits.
Maksudnya adalah ilmu yang membahas masalah sejarah perjalanan
hidup para perawi. Kitab yang membahas masalah ini adalah:
a. التاريخ الكبير, karya al-Imam Muhammad bin Isma’il al-Bukhari
(194-256 H),
b. تهذيب الكمال, karya Jamaluddin bin Yusuf al-Muzziy (742
H),
c. تهذيب التهذيب, karya Al-Hafidh Syihabuddin Abi al-Fadlal
Ahmad bin ‘Ali (Ibn Hajar) al-‘Atsqalaniy (773-852 H),
3. ‘Ilmu al-Jarh Wa at-Ta’dil (علم الجرح والتعديل )
Ilmu al-Jarh wa at-ta’dil adalah “Ilmu yang membahas keadaan
para perawi hadits dari sisi diterima dan ditolaknya periwayatan
mereka.”
Ilmu jarakh wa ta’dil bisa dijadikan sebagai salah satu alat
untuk mengungkapkan sikap negatif dan positif yang melekat pada
perawi hadits.
Diantara ulama yang menyusun kitab ilmu ini antara lain kitab
Tabaqat karya Muhammad ibn Saad Az-Zuhri Al-Basari (230
H).[footnoteRef:37] [37: ibid]
4. ‘Ilmu Asbab al-Wurud (علم أسباب ا لورود)
Asbabu wurud al-hadist ialah sesuatu yang membatasi arti dari
suatu hadist, baik yang berkaitan dengan arti umum atau khusus,
muqayyadi atau mutallak, di nasakh atau seterusnya.
Menurut istilah, ilmu Asbab Al-Wurud adalah Suatu ilmu yang
membahas masalah sebab-sebab nabi s.a.w. menyampaikan sabdanya pada
saat beliau menuturkannya, sedang tata cara untuk mengetahui
sebab-sebab lahirnya hadits, hanya bisa diketahui dengan adanya
periwayatnya, bukan lainnya.[footnoteRef:38] [38: Teungku M. Hasbi
Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits. (Semarang: PT.
Pustaka Rizki Putra, 1997) hal. 27]
Ulama ahli hadits yang menyusun kitab ini antara
lain:[footnoteRef:39] [39: ibid]
a. اسباب الحديث karya Abu Hafs al-‘Akbari, Syaikh al-Qadli Abi
Ya’la Muhammad bin al-Hussain al-Fazza’I al-Hanbali (380-458 H)
b. البيان والتعريف فى اسباب ورود الحديث الشريف, karya Sayyid
Ibrahim bin Muhammad bin Kamaluddin (Ibnu Hamzah) al-Husainiy
al-Dimasyqy (1054-1120 H).
5. ‘Ilmu al-Nasikh wa al-mansukh (علم النسخ والمنسوخ )
Al-Nasikh Wa Al-Mansukh ialah Ilmu yang membahas problem
hadits-hadits yang secara lahiriyah berlawanan, yang dintara
keduanya tidak mungkin untuk di pertemukan lantaran adanya materi
(yang secara lahiriyah) bertentangan, padahal hakikatnya saling
hapus menghapus. Makanya (hukum) yang datangnya terdahulu dikenal
dengan sebutan “mansukh” dan yang datangnya kemudian dikenal dengan
sebutan “nasikh”.
Kitab-kitab terkenal di bidang ini antara lain Nasikh al-Hadis
wa Mansukhih karya Abu Hafs Umar bin Ahmad bin Usman yang terkenal
dengan nama Ibnu Syahin (297-385 H) dan al-I'tibar fi an-Nasikh wa
al-Mansukh min al-Asar karya Abu Bakar Muhammad bin Musa al-Hazimi
(547-584 H).[footnoteRef:40] [40: Mudasir, Ilmu Hadits, (Bandung:
Pustaka Setia, 2008), hlm. 34]
6. ‘Ilmu ‘Ilal al-Hadits (علم علل ا لحد يت)
‘Ilal Al-Hadits ialah ilmu yang membahas tentang sebab-sebab
tersembunyi yang dapat membuat hadits shahih yang menjadi tercemar,
seperti menyatakan hadits muttashi pada hadits yang pada hakikatnya
munqathi’, menyatakan hadits marfu’ pada hadits yang pada
hakikatnya mauquf atau memasukan hadits kedalam hadits lain dan
lain sebagainya.
Ulama ahli hadits yang menyusun kitab ini antara lain Kitab
Ilalil Hadits karya ‘Ibnu Abi Hatim (327 H).[footnoteRef:41] [41:
Ibid hal. 35]
7. ‘Ilmu Gharib al-Hadits (علم غر يب ا لحد يث)
Ilmu Gharib al-Hadits ialah ungkapan arti kosa kata matan hadits
yang sulit dimengerti dan rumit dipahami lantaran kosa kata
tersebut memang asing dan tidak dikenal.
Objek pembahasan ilmu ini adalah kata-kata yang sulit atau
susunan kalimat yang sulit dipahami maksud yang sebenarnya.
Diantara para ulama yang pertama kali menyusun hadits-hadits
yang gharib ini adalah Abu Ubaidah Ma’mar bin Masnat At-Tarmimi
Al-Bisri (w. 210 H) dan salah satu kitab terbaik yang ada saat
sekarang ini adalah kitab Nihayah Gharib Al-Hadis karya Ibnu
Al-Asir.[footnoteRef:42] [42: M. Mashum Zein, Ilmu Hadits dan
Musthalah Hadits. (Jakarta: Direktorat Pendidikan Madrasah Dirjen
Pendis Depag, 2007) hal. 21]
8. ‘Ilmu Mukhtalif al-Hadits (علم مختلف الحديث )
Ilmu Mukhtalif Al-Hadits adalah ilmu yang membahas hadits-hadits
secara lahiriah saling bertentangan, lalu dihilangkan atau keduanya
dikompromikan, sebagaiman membahas masalah hadits-hadits yang
kandungannya sulit dipahami atau sulit dicari gambaran yang
sebenarnya, lalu kesulitan tersebut dihilangkan dan dijelaskan
hakikat yang sebenarnya.
Objek pembahasan ilmu ini adalah hadits-hadits yang secara
lahiriyyah saling bertentangan, sehingga dengan mempergunakan ilmu
ini, tingkat kesulitan bisa teratasi.
Adapun ulama yang pertama kali meyusun kitab yang khusus
membahas ilmu ini adalah Imam Syafi’i dengan bentuk satu jilid
dalam kitabnya al-Um, juz VII yang berjudul “Ikhtilaf al-Hadits”
lalu disusul oleh ulama lain, diantaranya kitab Musykil al-atsar
karya Abu Ja’far Ahmad bin Muhammad Al-Thahawi (321
H).[footnoteRef:43] [43: Ahmad, M. dan Muzakkir, Ilmu Hadis.
(Bandung: Pustaka Setia, 1998) hal. 25]
9. ‘Ilmu al-Tash-hif Wa al-Tahrif (علم التصحيف والتحريف )
‘Ilmu al-tashhif wa al-tahrif adalah ilmu yang membahas keadaan
hadits-hadits yang sudah diubah titik-titik atau syakal (مصحف )nya
dan bentuk (محرف)nya.
Adapun kitab yang membahas ilmu ini antara lain kitab
Ad-Daruquthny (385 H) dan kitab At Tashhif wat tahrif, karangan Abu
Ahmad Al Askary (283 H).[footnoteRef:44] [44: Mudasir, Ilmu Hadits,
(Bandung: Pustaka Setia, 2008), hlm. 32]
D. CARA MEMAHAMI HADITS DAN EFEK PERBEDAAN HADITS TERHADAP
PRAKTEK IBADAH
Ada sekelompok ummat Islam yang menganggap bahwa perbedaan
pendapat mustahil muncul kalau kita kembali kepada al-Qur'an dan
Hadis. Saya justru berpendapat bahwa perbedaan pendapat yang
genuine muncul justru karena para ulama berpegang tegus pada
al-Qur'an dan Hadis. Ini disebabkan al-Qur'an dan Hadis sendiri
membuka pintu atau peluang perbedaan pendapat itu.
Sebagai contoh, apa yang harus kita baca di saat kita ruku' dan
sujud dalam sholat? Hadis pertama menceritakan bahwa Nabi membaca,
"Subhana Rabbiyal A'zim" ketika ruku' dan "Subhana Rabbiyal A'la"
ketika sujud. Hadis ini diriwayatkan oleh Huzaifah (Sunan
al-Nasa'i, Hadis Nomor 1.036). Akan tetapi Siti Aisyah radhiyallahu
'anha meriwayatkan hadis lain (Shahih Muslim, Hadis Nomor [HN} 752,
Sunan Abi Dawud, HN: 738, Sunan al-Nasa'i, HN 1.038). Dalam hadis
ini, diriwayatkan bahwa Rasul membaca "Subbuhun quddussun rabul
malaikati war ruh" baik ketika ruku' maupun ketika sujud. Yang
menarik, ternyata Aisyah meriwayatkan pula bahwa Rasul membaca teks
lain, "Subhanaka Allahumma Rabbana wa bihamdika Allahummafighrli"
(Shaihih Bukhari, no. 752 dan 3.955).
Jika benar bahwa perbedaan pendapat tidak akan terjadi kalau
kita berpegang pada Hadis Nabi, maka bagaimana dengan fakta ini?
yang mana yang benar ? Yang mana yang sesuai dengan sunnah Nabi dan
yang mana yang bid'ah? Beranikah kita bilang Huzaifah berbohong?
Beranikah kita bilang bahwa Siti Aisyah, isteri Nabi, lupa teks
mana yang sebenarnya dibaca Nabi? Bagaimana mungkin dari satu
perawi (Aisyah) terdapat dua teks yang berbeda. Bagi saya,
jawabannya simple saja. Semua ummat Islam yang membaca teks yg
berbeda tersebut adalah benar karena mereka punya dasarnya. Namun
siapa yang paling benar, serahkan saja pada Allah swt.
Begitu pula banyak persoalan klasik dan cukup sederhana
sebenarnya namun telah membuat umat Islam tercerai berai dengan
tuduhan bid'ah, bukankah setiap bid'ah itu sesat dan setiap
kesesatan tempatnya di neraka?. Contoh lain, ketika anda sujud,
yang mana duluan anda jatuhkan ke bumi: tangan anda atau lutut
anda. Syaikh al-Albani mengatakan tangan dulu dan yang menjatuhkan
lutut dulu telah berbuat bid'ah. Syaikh Bin Baz berpendapat yang
mana saja yang paling mudah untuk anda. Boleh lutut dan boleh juga
tangan dulu. Ternyata kedua pendapat ini sama-sama ada riwayat yang
mendukung. Ternyata pula kedua ulama besar yang berbeda pandangan
ini sama-sama mencantumkan pandangannya dalam buku yang berjudul
hampir sama, yaitu sifat sholat Nabi atau bagaimana sholat Nabi.
Lalu yang mana sebenarnya cara yg dipilih Nabi atau sifat/model
sholat Nabi?
Ada sebuah kalimat yang sangat bijak yang terucap dari lisan
teman saya, ketika saya menanyakan tentang cara bersujud, "Bro,
ketika ente sujud, tangan dulu atau lutut dulu yang ente jatuhkan
karena ada dua hadis yg berbeda soal ini." Kawan saya dengan mantap
menjawab, "Jika memang dua-duanya ada haditsnya, itu menunjukkan
bagi Rasul tidaklah penting tangan atau lutut dulu. Semuanya boleh
saja. Bagi saya yang penting ketika sujud bukanlah soal tangan dan
lutut itu tetapi bagaimana kita tundukkan diri kita sedemikian
rendah, kita sujud mengakui kebesaran-Nya, kita buang semua ego
kita dan kita serahkan diri kita di bawah kendali Allah swt.
Bukankah ini jauh lebih penting kita diskusikan, My Bro?"
Saya terpesona. Seringkali perbedaan hal yang kecil-kecil
membuat kita kehilangan waktu untuk merenungi esensi ibadah kita.
Seorang teman mampu mengajari saya akan hal ini. Alhamdulillah.
Contoh berikutnya, ada hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud
bahwa ketika Nabi mengakhiri sholat dengan menoleh ke kanan beliau
membaca, "Assalamu 'alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh" dan
ketika menoleh ke kiri membaca salam "assalamu 'alaikum wa
rahmatullahi" (tanpa "wa barakatuh"). Lihat Sunan Abi Dawud, no.
846. Hadis lain meriwayatkan bahwa baik ke kanan maupun ke kiri,
Nabi menolehkan mukanya sambil membaca salam "tanpa wa barakatuh"
Sunan al-Tirmizi, no. 272; Musnad Ahmad, no.: 3.516, 3.549, 3.656,
3.694, 3.775, 3.849, 3.958, 4.020, dan 4.055; Sunan al-Tirmizi,
no.: 1.302, 1.130, 1.303, 1.305, 1.307 dan 1.308.
Yang mengejutkan, Sunan Abu Dawud no.: 845 juga meriwayatkan
tanpa “wa barakatuh", padahal pada Hadis No. 846 dia meriwayatkan
dengan "wa barakatuh". Sekali lagi, yang mana yang benar? Kenapa
pula Abu Dawud mencatat dua hadis berbeda ini dalam kitabnya? Yang
mana yang bid'ah dan yang mana yang sunnah. Mungkinkah kebenaran
itu tidak satu tetapi berwajah banyak? Mungkinkah yang kita anggap
bid'ah selama ini ternyata juga dipraketkkan Nabi?
Inilah yang kemudian menciptakan corak pandang dan sikap yang
berbeda di kalangan ummat Islam. Menurut saya, selama perbedaan itu
masih merujuk pada sumber yang mu`tamad, maka na`if sekali jika
kita menghujat seseorang yang berbeda cara beribadahnya hanya
lantaran kurangnya ilmu yang kita miliki.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Kita patut bersyukur dengan adanya sejumlah shahabat/ulama yang
menaruh perhatian begitu mulia terhadap keberadaan hadits-hadits
Rasulullah s.a.w. kehadiran beliau telah menyelamatkan sejumlah
hadits, yang menjadi rujukan kedua setelah al-Qur`an.
Berbagai bidang ilmu hadits telah dibuat oleh sejumlah ulama
sehingga kita dapat mengetahui kondisi para penyampai hadits serta
hadits itu sendiri. Hal ini sangat penting, mengingat masih
banyaknya ayat-ayat al-Qur`an yang harus mendapat penjelasan
langsung dari hadits-hadits Rasulullah.
Di sisi lain, tidak dipungkiri lagi bahwa dengan adanya
perbedaan hadits yang diambil oleh umat Islam dalam melaksanakan
ibadah khususnya, telah menciptakan berbagai macam perbedaan
pelaksanaan ritual. Yang terpenting adalah keharusan bagi kita
untuk mengetahui sumber-sumber rujukan yang mereka ambil dalam
melaksanakan ibadah, sehingga perbedaan yang terjadi justru
mendatangkan rahmat Allah s.w.t. dan bukan sebaliknya. Sehingga
kebersamaan dalam perbedaan dapat tercipta dalam kehidupan
sehari-hari.
B. ORISINALITAS
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, M. dan Muzakkir, Ilmu Hadis. (Bandung: Pustaka Setia,
1998)
Al-Khatib, M. Ajjaj, al-Sunnah Qabla Tadwīn, diterjemahkan AH.
Akrom Fahmi, Hadits Nabi Sebelum Dibukukan (Cet. 1; Gema Insani
Press, 1999)
Al-Khatib, M. ‘Ajaj Ushul al-Hadis. terj. M. Qadirun Nur &
Ahmad Musyafiq, Pokok-Pokok Ilmu Hadis (Cet. 1; Jakarta: Gaya Media
Pratama, 1998)
Ash-Shiddieqy, Teungku M. Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu
Hadits. (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1997)
Ash-Shiddieqy, Teungku M. Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu
Tafsir (Djakarta: Bulan Bintang, 1967)
Ath-Thahhan, Mahmud, Tafsir Musthalah al-Hadits (Beirut: Dar
ats-Tsaqafah al-Islamiyah, t.th)
‘Itr, Nūr al-Dīn, Manhaj al-Naqd fi ‘Ulūm al-Hadis, terj.
Mujiyo, ‘Ulum Al-Hadits I (Cet. 1; Bandung: Remaja Rosdakarya,
1994)
Khon, Abdul Majid, Ulum Hadis, 2009 (Jakarta:Amzah), Cet.
Ke-2
Mudasir, Ilmu Hadits, (Bandung: Pustaka Setia, 2008)
Nata, Abuddin M.A., Metodologi Studi Islam, Edisi Revisi
(Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2008)
Ranuwijaya, Utang, Ilmu Hadis, (Jakarta: Gaya Media Pratama,
Cet.4; 2001)
Suparta, Munzier, Ilmu Hadis, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2001)
Syuhudi Ismail, M. Pengantar Ilmu Hadis (Cet. 2; Bandung;
Angkasa, 1994)
Zein, M. Mashum, Ilmu Hadits dan Musthalah Hadits. (Jakarta:
Direktorat Pendidikan Madrasah Dirjen Pendis Depag, 2007)