TURUT SERTA/DELNEMING/AL-ISTIRAK FI AL-JARIMAH STUDY COMPARATIVE “HUKUM ISLAM, KUHP INDONESIA” HASIL KAJIAN RUTINITAS CLC KAMIS, 09 NOVEMBER 2017 DI BESEMENT FSH UIN JAKARTA TEMA “DELNEMING DALAM PERSPEKTIF PERBANDINGAN” BERSAMA AHMAD TIO HANDINI
TURUT SERTA/DELNEMING/AL-ISTIRAK FI AL-JARIMAH
STUDY COMPARATIVE
“HUKUM ISLAM, KUHP INDONESIA”
HASIL KAJIAN RUTINITAS CLC KAMIS, 09 NOVEMBER 2017
DI BESEMENT FSH UIN JAKARTA
TEMA
“DELNEMING DALAM PERSPEKTIF PERBANDINGAN”
BERSAMA AHMAD TIO HANDINI
CLC PROFILE
Kamis, 9 November 2017
CLC.UINJKT- Ahmad Tio Handini, depan sebelah kanan menjelaskan beberapa ketentuan terkait penyertaan dalam KUHP Indonesia pada kajian rutinitas CLC yang bertemakan “Delneming dalam Perspektif Perbandingan” di besement FSH, Sore hari kamis kemaren (9/11).
Jumat, 27 Oktober 2017
CLC.UINJKT- Kajian Responsif “3 Tahun Kinerja Pemerintahan Jokowi-JK” bersama presiden dema-FSH, ketua sema-FSH, presiden HMPS-HES, Presiden HMPS-PMH, presiden HMPS-HPI, Presiden HMPS-HTN, Presiden HMPS-IH, Presiden HMPS IH dan Legal Consultan CLC di besement FSH UIN Jakarta (27/10)
Kamis, 26 Oktober 2017
CLC.UINJKT- Kajian Rutinitas CLC bersama Yusri Wahyuni (depan) tentang “dasar peniadaan tindak pidana” study comparative dengan hukum islam terkait asbababul ibahah dan asbabu raf’il
KAJIAN (RUTINITAS, RESPONSIF & BEDAH
ibahah sebagai sebab peniadaan pidana dalam islam. di besement FSH UIN Jakarta, kamis.(26/10)
Kamis, 19 Oktober 2017
CLC.UINJKT- Legal Cousultan CLC,Adeb Davega Prasna,SH (depan sebelah kiri) memberikan penjelasan terkait Perpu ormas dan UU ormas pada acara bedah Undang-Undang yang bertemakan “Perpu No.02 Tahun 2017
Vs UU No. 17 Tahun 2013 Ormas”-study comparative di besement FSH UIN Jakarta (19/10).
https://clcuinjkt.wordpress.com/2017/09/26/kajian-responsib-menyingkap-tabir-dibalik-pengepungan-lbh-jakarta/
https://clcuinjkt.wordpress.com/2017/10/21/perppu-ormas-dalam-pandangan-uu-ormas/
https://clcuinjkt.wordpress.com/2017/10/09/pengantar-hukum-pidana/
https://clcuinjkt.wordpress.com/2017/10/14/menilai-adanya-dolus-atau-culpa/
http://wp.me/p9a7ck-g
https://clcuinjkt.wordpress.com/2017/09/15/yuk-konsultasikan-pertanyaanmu/
https://clcuinjkt.wordpress.com/2017/09/12/antara-peradilan-dan-pengadilan/
https://clcuinjkt.wordpress.com/2017/09/16/bagaimana-hukum-merokok-di-kampus/
https://clcuinjkt.wordpress.com/2017/09/30/mangkir-dalam-proses-penyidikan/
KARYA/TULISAN
KONSULTASI HUKUM
BAB I
PEMBAHASAN I
“TURUT SERTA DALAM KUHP INDONESIA”
A. Pengertian deelneming atau keturutsertaan (penyertaan)
Penyertaan adalalah perbuatan tindak pidana yang dilakukan oleh lebih dari satu
orang yang saling terkait dan secara sadar menegetahuai apa yang dilakukan,tetapi ada juga
yang dikarenakan unsur paksaan. Penyertaan di atur dalam pasal 55 dan pasal 56 KUHp yang
berarti bahwa ada dua orang atau lebih yang melakukan suatu tindak pidana atau dengan
perkataan ada dua orang atau lebih mengambil bagian untuk mewujudkan suatu tindak pidana
dapat di sebutkan bahwa seseorang tersebut turut serta dalam hubungannya dengan orang
lain1
Prof.Satochid Kartanegara mengartikan Deelneming apabila dalam satu delik tersangkut
beberapa orang atau lebih dari satu orang. Menurut doktrin, Deelneming menurut sifatnya
terdiri atas : 2
a. Deelneming yang berdiri sendiri,yakni pertanggung jawaban dari setiap peserta
dihargai sendiri-sendiri
b. Deelneming yang tidak berdiri sendiri,yakni pertanggungjawaban dari peserta
yang satu digantunggkan dari perbuatan peserta yang lain.
B. Deelneming ( penyertaan ) di atur dalam pasal 55 dan 56 KUHP
Pasal 55 KUHP berbunyi 3 :
1) “Dihukum sebai pelaku-pelaku dari suatu tindak pidana yaitu:
1) Mereka yang melakukan, menyuruh melakukan atau turut melakukan.
2) Mereka yang dengan pemberian-pemberian, janji-janji, dengan
menyalahgunakan kekuasaan atau keterpandangan, dengan kekerasan,
ancaman atau dengan menimbulkan kesalahpahaman atau dengan
1Erdianto Effendi, Hukum Pidana Indonesia, Refika Aditama Bandung 2011, hlm 174
2 Satochid Kartanegara, Hukum Pidana Kumpulan Kuliah bagian satu, Balai Lektur Mahasiswa , hlm. 497 - 498
3 Moeljatno, Kitab Undang Undang Hukum Pidana Jakarta: Bumi Aksara, 2003, ketentuan pasal 55 dan 56
memberikan kesempatan, sarana-sarana atau keterangan-keterangan, dengan
sengaja telah menggerakan orang lain untuk melakuakn tindak pidana yang
bersangkutan
2) Mengenai mereka yang disebutkan terakhir ini yang dapat dipertanggungjawabkan
kepada mereka itu hanyalah tindakan-tindakan yang dengan sengaja telah mereka
gerakkan untuk dilakukan oleh orang lain, berikut akibat-akibatnya.
Sedangkan ketentuan pidana seperti yang telah diatur didalam Pasal 56 KUHP adalah
sebagai berikut:
“Dihukum sebagai pembantu-pembantu didalam suatu kejahatan, yaitu :
1. Mereka yang dengan sengaja telah memberikan bantuan dalam melakukan kejahatan
tersebut.
2. Mereka yang dengan sengaja telah memberikan kesempatan, sarana-saran atau
keterangan-keterangan untuk melakukan kejahatan tersebut.”
C. Bentuk-bentuk DEELNEMING
Bentuk-bentuk deelneming atau keturutsertaan yang ada menurut ketentuan-ketentuan
pidana dalam pasal-pasal 55 dan 56 KUHP itu adalah:
1. Pleger atau Orang yang melakukan
2. Doen plegen atau menyuruh melakukan atau yang didalam doktrin juga sering
disebut sebagai middellijk daderschap;
3. Medeplegenatau turut melakukan ataupun yang didalam doktrin juga sering disebut
sebagai mededaderschap
4. Uitlokkingatau menggerakkan orang lain
5. Medeplichtigheidatau pembantu
1. Pleger atau Orang yang melakukan
Orang yang memenuhi semua unsur delik sebagaimana di rumuskan oleh undang-
undang,baik unsur subjektif maupun objektif,Umumnya pelaku dapat diketahui dari
jenis delik yakni delik formil dan delik materil.
2. Doen plegenatau menyuruh melakukan
Di dalam ilmu hukum pidana, orang yang menyuruh orang lain melakukan suatu
tindak pidana itu biasanya disebut sebagai orang middellijk dader atau seorang
mettelbare tater, yang artinya seorang pelaku tidak langsung. Ia disebut pelaku tidak
langsung karena ia memang secara tidak langsung melakukan sendiri tindak pidana,
malinkan dengan perantara orang lain.
Menurut ketentuan pidana di dalam pasal 55 KUHP, seorang middelijke dader atau
seorang pelaku tidak langsung itu dapat dijatuhi hukuman yang sama beratnya
dengan hukuman yang dapat dijatuhkan kepada pelakunya sendiri, dan dalam hal
ini yaitu hukuman yang dapat dijatuhkan kepada pelaku materialnya itu sendiri.
Oleh karena dalam bentuk deelneming doen plegen ini selalu terdapat seorang
middelijke dader, maka bentuk deelneming ini juga sering disebut sebagai suatu
middelijke daderschap.
Untuk adanya suatu doen plegen seperti yang dimaksudkan di dalam pasal 55 ayat 1
angka 1 KUHP itu, orang yang disuruh melakukan itu haruslah memenuhi beberapa
syarat tertentu yaitu:
1) Apabila orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana itu adalah
seseorang yang ontoerekeningvatbaar seperti yang dimaksudkan didalam
pasal 44 KUHP
2) Apabila orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana mempunyai
suatu dwaling atau suatu kesalahpahaman mengenai salah satu unsur dari
tindak pidana yang bersangkutan
3) Apabila orang yang disuruh melakukan suatu tindakpidana itu sama sekali
tidak mempunyai unsur schuld, baik dolus maupun culpa, ataupun apabila
orang tersebut tidak memenuhi unsur opzet seperti yang tela disyaratkan
oleh undang-undang bagi tindak pidana tersebut
4) Apabila orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana itu memenuhi
unsur oogmerk, padahal unsur tersebut telah disyaratkan didalam rumusan
undang-undang mengenai tindak pidana tersebut diatas
5) Apabila orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana itu telah
melakukannya dibawah pengaruh suatu overmacht atau dibawah pengaruh
suatu keadaan yang memaksa, dan terhadap paksaan mana orang tersebut
tidak mampu memberikan suatu perlawanan
6) Apabila orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana dengan itikad
baik telah melaksanakan suatu perintah jabatan, padahal perintah jabatan
tersebut diberikan oleh seorang atasan yang tidak berwenang memberikan
perintah semacam itu
7) Apabila orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana itu tidak
mempunyai suatu hoedanigheid atau suatu sifat tertentu, seperti yang telah
disyaratkan oleh undang-undang, yakni sebagai suatu sifat yang harus
dimiliki oleh pelakunya sendiri.
Untuk adanya suatu doen plegen itu adalah tidak perlu, bahwa orang yang
telah menyuruh melakukan itu harus secara tegas memberikan perintahnya kepada
orang yang telah disuruhnya melakukan sesuatu
Untuk adanya suatu doen plegen itu adalah juga tidak perlu, bahwa suruhan
untuk melakukan suatu tindak pidana itu harus diberikan secara langsung untuk
middelijke dader kepada orang materieele dader. Melainkan ia dapat juga diberikan
dengan perantaraan orang lain.
3. Medeplegenatau turut melakukan
Medeplegen disamping merupakan suatu bentuk deelneming, maka ia juga
merupakan suatu bentuk daderschap. Apabila seseorang itu melakukan suatu tindak
pidana, maka biasanya ia disebut sebagai seorang dader atau seorang pelaku.
Apabila beberapa orang yang secara bersama-sama melakukan suatu tindak pidana,
maka setiap peserra didalam tindak pidana itu dipandang sebagai seorang
mededader dari peserta atau peserta lainnya.
Misalnya tiga orang secara bersama-sama telah melakukan pelanggaran dengan
bersepeda secara berjejer diatas jalan umum, yang oleh pembentuk undang-undang
telah dinyatakan sebagai suatu perbuatan yang terlarang dan diancam dengan
hukuman.
Menurut Prof. Lamintang, hakim tidak perlu menyebutkan secara tegas bentuk-
bentuk keturutsertaan yang telah dilakukan oleh seorang tertuduh, oleh karena
pencantuman dari peristiwa yang sebenarnya telah terjadi itu sendiri sebenarnya
telah menunjukkan bentuk ketrutsertaan yang dilakukan oleh masing-masing
peserta didalam suatu tindak pidana yang telah mereka lakukan.4
Menurut van Hamel, suatu medeplegen itu hanya dapat dianggap sebagai ada, yaitu
apabila tindakan tiap-tiap peserta didalam suatu tindak pidana dapat dianggap
sebagai telah menghasilkan suatu dadrschap secara sempurna.
Menurut Prof. Van Hattum, perbuatan medepelegen didalam pasal 55 KUHP itu
haruslah diartikan sebagai suatu opzettelijk medeplegen atau suatu kesengajaan
untuk turut melakukan suatu tindak pidana yang dilakukan oleh orang lain.
Ini berarti bahwa suatu kesengajaan untuk turut melakukan suatu culpoos delict itu
dapat dihukum dan sebaliknya suatu ketidaksengajaan turut melakukan sesuatu
opzetettelijk atau suatu culpos delict itu menjadi tidak dapat dihukum.
Ini berarti bahwa menurut Prof. Van Hattum opzet seorang medeplegen itu harus
ditujukan kepada :
a. Maksud untuk bekerjasama dengan orang lain dalam melakukan suatu tindak
pidana dan
b. Dipenuhinya semua unsur dari tindak pidana tersebut yang diliputi oleh unsur
opzet yang harus dipenuhi oleh pelakunya sendiri, yakni sesuai dengan yang
disyaratkan dalam rumusan tindak pidana yang bersangkutan.
Menurut Prof. Legemeijer, baik orang yang mempunyai opzet untuk membunuh
koraban, maupun orang yang turut melakukan dengan maksud semata-mata
menganiaya koraban itu kedua-duanya harus dipersalahkan telah turut melakukan
suatu penganiayaan berat yang menyebabkan matinya oranglain.
Sebagai alasan telah dikemukakannya bahwa bentuk-bentuk daderschap yang
disebutkan dalam pasal 55 KUHP itu harus ditafsirkan sedemikian rupa, sehingga
bentuk-bentuk daderschap tersebut harus disamakan dengan plegen.
Menurut Prof. Van Hattum, untuk adanya suatu medeplegen itu tidak diperlkan
adanya suatu kesamaan opzet pada masing-masing peserta kejahatan.
Perbedaan medeplegen dengan medeplichtigheid disebutkan dalam Memorie van
toechlichting : “Yang membedakan seorang yang turut melakukan dari seorang yang
membantu melakukan itu adalah, bahwa orang yang disebutkan pertama itu secara 4 Drs. P.A.F.Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, 1997, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 615-633
langsung telah ikut mengambil bagian dalam pelaksanaan suatu tindak pidana yang
telah diancam dengan suatu hukuman oleh undang-undang, atau telah secara
langsung turut melakukan suatu perbuatan atau turut melakukan perbuatan untuk
menyelesaikan tindak pidana yang bersangkutan; sedang orang yang disebutkan
terakhir itu hanyalah memberikan bantuan untuk melakukan perbuatan”.
Kedua bentuk ini mempunyai akibat yang berbeda-beda, yaitu dihubungkan dengan
jenis delik yang dapat menjadi objek dari kedua bentuk deelneming tersebut. Pada
medeplegen yang dapat dihukum adalah turut melakukan baik kejahatan maupun
pelanggaran, sedang pada medeplichtigheid itu yang dapat dihukum hanyalah
membantumelakukan kejahatan saja. Oleh karena menurut pasal 60 KUHP itu,
perbuatan membantu melakukan pelanggaran dinyatakan sebagai suatu perbuatan
yang tidak dapat dihukum.
Dewasa ini sudah tidak lagi menjadi persoalan, apakah orang yang tidak mempunyai
suatu “persoonlijke hoedanigheid” atau suatu “sifat pribadi” itu dapat turut
melakukan suatu Kwaliteitsdelict atau tidak, oleh karena menurut paham yang
terbaru, seseorang yang tidak mempunyai kualitas tertentu yang oleh undang-undang
telah disyaratkan harus dimiliki oleh pelakunya itu, dapat saja turut melakukan apa
yang disebut kwaliteits delicten, hanya saja dengan satu syarat, yaitu bahwa mereka
itu mengetahui bahwa rekan pesertanya didalam melakukan suatu kwaliteitsdelict itu
memiliki kualitas seperti itu.
Bagi suatu medeplegen, seperti halnya dengan suatu poging, diperlukan adanya
suatu begin van uitvoering atau suatu permulaan pelaksanaan, walaupun undang-
undang sendiri telah mensyaratkan hal tersebut secara tegas.
4. Uitlokkingatau menggerakkan orang lain
Uitlokking atau mereka yang menggerakkan untuk melakukan suatu tindakan
dengan daya – upaya tertentu, adalah bentuk penyertaan penggerakkan yang
inisiatif berada pada penggerak. Dengan perkataan lain, suatu tindak pidana tidak
akan terjadi bila inisiatif tidak ada pada penggerak. Karenanya penggerak harus
dianggap sebagai petindak dan harus dipidana sepadan dengan pelaku yang secara
fisik menggerakkan. Tidak menjadi persoalan apakah pelaku yang digerakkan itu
sudah atau belum mempunyai kesediaan tertentu sebelumnya untuk melakukan
tindak pidana.5
Syarat – syarat dalam bentuk penyertaan penggerak:
1. Kesengajaan penggerak ditujukan agar suatu tindakan tertentu dilakukan oleh
pelaku yang digerakkan.
Tujuan penggerakan itu adalah terwujudnya suatu tindak pidana tertentu. Ini
berarti apabila yang dilakukan oleh pelaku yang digerakkan adalah tindak
pidana lain, maka penggerak bukan merupakan petindak. Harus ada hubungan
kausal antara kesengajaan dengan tindak pidana yang terjadi.
Menurut undang – undang secara harafiah tidak ada pengaruh dari
kesengajaan yang ada pada penggerak, selama orang yang digerakkan tidak
melakukan tindakan yang digerakkan atau selama tindakannya hanya sampai
pada persiapan-pelaksanaan. Kesengajaan penggerak mempunyai pengaruh
melalui pasal 163 bis hanya dalam hal tindakan yang digerakkan merupakan
kejahatan. Bilamana tindakan yang digerakkan itu adalah pelanggaran, maka
penggerak tidak dapat dipidana.
2. Daya upaya untuk menggerakkan adalah tertentu sebagaimana dirumuskan
dalam undang-undang.
Daya-upaya untuk menggerakkan adalah tertentu sebagaimana dirumuskan
dalam undang-undang yaitu suatu pemberian, suatu perjanjian,
penyalahgunaan kekuasaan, kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan
pemberian kesempatan, sarana atau keterangan.
a) Pemberian dan perjanjian, dirumuskan tanpa memberikan suatu
pembatasan. Pengertiannya menjadi luas yaitu dapat berbentuk uang
atau benda, bahkan di luar bentuk uang atau benda seperti misalnya
jabatan, kedudukan atau lebih luas lagi yaitu suatu janji yang akan
membantu si tergerak baik secara material maupun secara moril untuk
menyelesaikan suatu pekerjaan dan lain sebagainya.
b) Penyalahgunaan kekuasaan, bukan saja terbatas pada kekuasaan yang
ada padanya karena jabatan, tetapi juga meliputi kekuasaan yang
dimiliki oleh penggerak secara langsung terhadap si tergerak, seperti
hubungan kekeluargaan, pekerjaan, pendidikan, kepercayaan, dan
5 E.Y. Kanter, S.H., dan S.R. Sianturi, S.H., Asas – Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Storia Grafika, Jakarta, 2002. hlm 350-359
sebagainya. Ini harus dibedakan dengan perintah jabatan yang
termaksud pada pasal 52 KUHP. jika pada perintah jabatan perbuatan
tersebut termasuk wewenang dari penguasa, maka pada
penyalahgunaan kekuasaan tidak dipersyaratkan bahwa perintah itu
termasuk tindakan yang benar-benar diharuskan dalam rangka
kekuasaan yang disalahgunakan itu.
c) Penyalahgunaan martabat, merupakan suatu kekhususan di Indonesia
yang ditambah dalam KUHP yang di dalam W.v.S tidak ada.
Contohnya adalah kepala suku yang dipatuhi karena disegani.
d) Kekerasan, di sini harus sedemikian ringan sehingga tidak merupakan
suatu alasan untuk meniadakan unsur kesalahan/kesengajaan dari si
tergerak (pasal 48 daya paksa) yang mengakibatkan tidak dipidananya
si tergerak. Batas yang tegas antara kekerasan yang dimaksud di pasal
48 dan menurut pasal 55 agak sukar ditentukan, karena undang –
undang juga tidak menentukan. Perbatasan ini lebih diserahkan kepada
penafsiran, yang sedemikian ringan sehingga menurut perhitungan
layak, si tergerak mampu mengelak atau menolak untuk melakukan
tindak pidana yang digerakkan. Misal, seorang wanita mendorong-
dorong pacarnya untuk memukul bekas tunangannya yang pernah
menyakiti hatinya.
e) Ancaman, tidak terbatas pada ancaman kekerasan seperti di atas, tetapi
meluas juga sampai pada ancaman penghinaan, ancaman pembukaan
rahasia pribadi, ancaman akan memecat atau menyisihkan dari suatu
pergaulan, ancaman akan mengurangi hak/kewenangan tertentu, dan
lain sebagainya.
f) Penyesatan, ada juga yang menyebutnya tipu-daya, tetapi agar tidak
disamakan dengan penipuan dan kejahatan tipu-daya maka lebih baik
disebut penyesatan. Yang dimaksud penyesatan ialah agar supaya
seseorang tergerak hatinya untuk cenderung melakukan suatu tindakan
sebagaimana yang digerakkan oleh penggerak. Unsur kesengajaan
harus ada pada orang yang digerakkan. Contohnya A bilang pada B
bahwa C telah menjelekkan nama B, yang sesungguhnya tidak benar,
karenanya B jadi marah dan memukul C. Akibat dari penyesatan
adalah untuk menimbulkan ketegangan dalam hati orang lain yang
dapat berupa iri hati, pembangkitan dendam terpendam, kebencian,
amarah dan sebagainya sehingga ia cenderung untuk melakukan suatu
tindakan tetapi dalam batas-batas bahwa ia sesungguhnya masih dapat
mengendalikan diri sendiri.
g) Pemberian kesempatan, sarana atau ketenangan, adalah merupakan
cara untuk menggerakkan seseorang yang ketentuannya baru ditambah
tahun 1925 dalam KUHP. Dalam pasal 56 ke-2 yang berbunyi
”mereka yang sengaja memberikan kesempatan, saran, atau
keterangan untuk melakukan kejahatan”, kadang agak sulit dibedakan
dengan pasal 55.Contoh: A memberi kesempatan (sarana/keterangan)
kepada B, kemudian B melakukan suatu tindak pidana, maka
sehubungan dengan pasal 55 dan 56 tersebut perbedaannya terletak
pada: Jika pada A, keinginan atau kehendak untuk melakukan suatu
tindak pidana tertentu sudah ada sejak pertama kali, sedangkan pada B
baru ada setelah ia digerakkan dengan pemberian kesempatan
(sarana/keterangan) dan lalu b melakukan tindak pidana, maka kita
berbicara mengenai bentuk penyertaan penggerak (pasal 55). Dalam
hal ini A adalah penggerak dan B yang digerakkan. Tetapi jika pada B
sejak semula sudah ada kehendak untuk melakukan suatu tindak
pidana tertentu dan ia minta kesempatan dan sebagainya dari A, di
mana A sengaja memberikannya dan diketahui bahwa kesempatan itu
diperlukan oleh B untuk melakukan suatu pidana tertentu, maka kita
berbicara mengenai bentuk penyertaan pembantuan (pasal 56). Dalam
hal ini A adalah pembantu dan B petindak/pelaku.
Dalam kasus tersebut di atas, apakah B sebagai tergerak atau sebagai
petindak (pelaku) ancaman pidananya adalah sama, yaitu dipidana
(sama) sebagai petindak (dader), tetapi bagi A tidak demikian, karena
dalam hal bentuk penyertaan penggerakan ia dipidana sebagai
petindak, tetapi dalam hal bentuk penyertaan pembantuan ia dipidana
sebagai pembantu – petindak yang ancaman pidana maksimumnya
dikurangi dengan sepertiganya.
3. Adanya orang yang digerakkan, dan telah melakukan suatu tindakan karena
daya-upaya tersebut. Dalam penyertaan pergerakan harus selalu ada orang
yang digerakkan baik langsung maupun tidak langsung. Hubungan antara
penggerak dengan orang lain itu tidak harus selalu langsung. Misalnya begini,
A menggerakkan B dan kemudian pada waktu dan tempat yang terpisah B
bersama – sama C melakukan tindakan yang dikehendaki oleh A. Dalam hal
ini A tetap dipertanggungjawabkan sebagai penggerak dari B maupun C. C
dianggap telah turut tergerak melakukan tindakan tersebut karena daya upaya
A.
4. pelaku yang digerakkan harus telah melakukan tindak pidana yang
digerakkan atau percobaan untuk tindak pidana tersebut.
Hubungan kausal antara daya-upaya yang digunakan dan tindak pidana yang
dilakukan harus ada. Artinya justru si tergerak itu tergerak hatinya untuk
melakukan tindak pidana adalah karena daya – upaya dari penggerak. Tindak
pidana yang dikehendaki oleh penggerak harus benar – benar terjadi.
Seandainya tindakan tergerak hanya sampai pada suatu tingkat percobaan
yang dapat dihukum saja dari tindak pidana yang dikehendaki penggerak,
maka penggerak sudah dapat dipidana menurut pasal 55 ayat (2).
5. Medeplichtigheidatau pembantu
Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 56 KUHP, pembantuan ada 2 (dua)
jenis, yaitu :
Pembantuan pada saat kejahatan dilakukan. Cara bagaimana pembantuannya
tidak disebutkan dalam KUHP. Pembantuan pada saat kejahatan dilakukan ini
mirip dengan turut serta (medeplegen), namun perbedaannya terletak pada :
a. Pada pembantuan perbuatannya hanya bersifat membantu atau
menunjang, sedang pada turut serta merupakan perbuatan pelaksanaan.
b. Pada pembantuan, pembantu hanya sengaja memberi bantuan tanpa
diisyaratkan harus kerja sama dan tidak bertujuan atau berkepentingan
sendiri, sedangkan dalam turut serta, orang yang turut serta sengaja
melakukan tindak pidana, dengan cara bekerja sama dan mempunyai
tujuan sendiri.
c. Pembantuan dalam pelanggaran tidak dipidana (Pasal 60 KUHP),
sedangkan turut serta dalam pelanggaran tetap dipidana.
d. Maksimum pidana pembantu adalah maksimum pidana yang
bersangkutan dikurangi 1/3 (sepertiga), sedangkan turut serta dipidana
sama.
Pembantuan sebelum kejahatan dilakukan, yang dilakukan dengan cara
memberi kesempatan, sarana atau keterangan. Pembantuan dalam rumusan ini
mirip dengan penganjuran (uitlokking). Perbedaannya pada niat atau
kehendak, pada pembantuan kehendak jahat pembuat materiel sudah ada sejak
semula atau tidak ditimbulkan oleh pembantu, sedangkan dalam penganjuran,
kehendak melakukan kejahatan pada pembuat materiel ditimbulkan oleh si
penganjur.
Berbeda dengan pertanggungjawaban pembuat yang semuanya
dipidana sama dengan pelaku, pembantu dipidana lebih ringan dari pada
pembuatnya, yaitu dikurangi sepertiga dari ancaman maksimal pidana yang
dilakukan (Pasal 57 ayat (1) KUHP). Jika kejahatan diancam dengan pidana
mati atau pidana seumur hidup, pembantu dipidana penjara maksimal 15
tahun. Namun ada beberapa catatan pengecualian :
1) Pembantu dipidana sama berat dengan pembuat, yaitu pada kasus
tindak pidana :
Membantu merampas kemerdekaan (Pasal 333 ayat (4)
KUHP) dengan cara memberi tempat untuk perampasan
kemerdekaan,
Membantu menggelapkan uang atau surat oleh pejabat (Pasal
415 KUHP),
Meniadakan surat-surat penting (Pasal 417 KUHP).
2) Pembantu dipidana lebih berat dari pada pembuat, yaitu dalam hal
melakukan tindak pidana :
Membantu menyembunyikan barang titipan hakim (Pasal 231
ayat (3) KUHP).
Dokter yang membantu menggugurkan kandungan (Pasal 349
KUHP)
Perlu diketahui bahwa disamping bentuk keturutsertaan diatas itu, KUHP kita masih
mengenal 2 bentuk keturutsertaan lainnya, masing-masing:
a. Samenspanning atau permufakatan jahat sebagaimana yang telah diatur dalam
pasal 88 KUHP dan
b. Deelneming aan eene vereniging die tot oogmerk heft het plegen van
misdrijven atau keturutsertaan dalam suatu kumpulan yang bertujuan
melakukan kejahatan-kejahatan sebagaimana yang telah diatur dalam pasal
169 KUHP.
BAB III
PEMBAHASAN II
“PENYERTAAN DALAM HUKUM PIDANA ISLAM”
A. Pengertian penyertaan
Secara etimologis turut serta dalam bahasa arab adalah al-isytirak. Dalam hukum
pidana islam, istilah ini disebut al-istiyrak fi al-jarimah (delik penyertaan).Secara
terminologis turut serta berbuat jarimah adalah melakukan tindak pidana secara
bersama-sama baik melaui kesepakatan atau kebetulan, menghasut, menyuruh orang,
memberikan bantuan atau keluasan dengan berbagai bentuk.
تنفيذها في منهم كل فيساهم متعددون أفراد يرتكبها وقد واحد فرد الجريمة يرتكب قد
تنفيذها على غيره مع يتعاون أو
Artinya: suatu jarimah kadang-kadng dilakukan oleh individu sendiri, kadang-kadang
dilakukan oleh beberapa orang yang masing-masing individu mendapat bagian dalam
melaksanakan jarimah tersebut atau saling membantu satu dengan yang lainnya demi
terlaksananya jarimah tersebut.
B. Bentuk-bentuk penyertaan
Hanafi membagi kerjasama dalam berbuat jarimah dalam empat kemungkinan:
a) Pelaku melakukan jarimah bersama-sama orang lain (mengambil bagiannya
dalam melaksanakan jarimah. Artinya secara kebetulan melakukan bersama-
sama) / (التوافق)
b) Pelaku mengadakan kesepakatan dengan orang lain untuk melakukan jarimah/
.(التمالؤ)
c) Pelaku menghasut/menyuruh orang lain untuk melakukan jarimah.
d) Orang yang memberi bantuan atau kesepakatan jarimah dengan berbagai cara
tanpa turut serata melakukannya.
C. Macam-macam turut serta
Dalam hukum pidana islam, para fuqaha membedakan penyertaan ini dalam
dua bagian, yaitu: turut berbuat langsung (isytirak-mubasyir), orang yang
melakukannya disebut syarik mubasyir dan turut berbuat tidak langsung (isytirak
ghairul mubasyir/isytirak bit tasabbubi), orang yang melakukannya disebut syarik
mutasabbib.
Perbedaan antara kedua orang tersebut ialah kalau orang pertama menjadi kawan
nyata dalam pelaksanaan tindak pidana, sedang orang kedua menjadi sebab adanya
tindak pidana, baik karena janji-janji atau menyuruh, menghasut, atau memberi
bantuan tetapi tidak ikut secara nyata dalam melaksanakannya.
1. Turut berbuat langsung/ المباشر األشتراك
Yang dimaksud dengan turut berbuat langsung adalah orang secara langsung
terikat atau turut serta dalam melakukan tindak kejahatan.
Menurut abdul qadir audah, turut berbuat langsung adalah:
الجناة : تعدد حالة في يوجد اإلشتراك من النوع هذا أن األصل المبشرين اشتركالمادى الجريمة ركن يبشرون اللذين
Artinya: turut berbuat langsung pada dasarnya baru terjadi apabila orang yang
mmelakukan jarimah dengan nyata lebih dari seseorang atau berbilangnya
jumlah pelaku.
Para fuqaha mengadakan pemisahan apakah kerjasama dalam mewujudkan
tindak pidana terjadi secara kebetulan (tawafuq), atau memang sudah
direncanakan bersama-sama sebelumnya (tamalu). Para fuqaha juga
membedakan masalah tanggung jawab yang ditimbulkan akibat dari tawafuq
yakni hanya terbatas pada perbuatannya saja (masing-masing) sedangkan pada
tamalu bertanggung jawab terhadap atas perbuatannya keseluruhan atau pada
hasil yang ditimbulkannya. Berbeda dengan abu hanifah, menurutnya tidak
ada perbedaan pertanggung jawab antara keduanya (hanafi,1967:140)
Tawafuq bermakna niat orang-orang yang turut serta dalam tindak pidana
adalah untuk melakukannya tanpa ada kesepakatan sebelumnya diantara
mereka (kebetulan). dengan kata lain masing-masing pelaku berbuat karena
dorongan pribadinya dan pikirannya yang timbul seketika itu. Oleh karenanya
pertanggung jawaban pidananya dibebankan terhadap masing-masing
perbuatan si pelaku. Hal ini sesuai dengan kaidah :
التوافق حالة في فقط فعله نتيجته عن شريك كل يسأل
“Setiap orang yang turut serta berbuat jarimah dalam keadaan tawafuq dituntut
berdasarkan perbuatannya masing-masing”
Dalam kasus Tamalu, peserta sama-sama menginginkan terjadinya suatu
jarimah dan bersepakat untuk melaksanakannya. Namun, dalam pelaksanaan
jarimah, masing-masing peserta melakukan fungsinya sendiri-sendiri.
Ulama' berbeda pendapat dalam mendefinisikan tamallu6. Ulama hanafiyah,
ulama syafiiyah dan ulama hanabilah berdasarkan pendapat yang lebih rajih
menurut mereka, bahwa tamalu adalah kesamaan keinginan para pelaku dalam
suatu tindakan meskipun tidak didahului dengan adanya kesepakatan diantara
mereka sebelumnya. Jadi menurut merka at-tamalu memiliki makna lebih luas,
mencakup pengeroyokan yang berarti tidak ada kesepkatan/perencanaan
sebelumnya dan memcakup perkomplotan atau konspirasi yang berarti
sebelumnya telah ada kesepakatan.
Sementar itu ulama malikiyah mengatakan, at-tamallu adalah bersepakat dan
berkomplot yaitu ada dua orang atau lebih yang bermaksud untuk membunuh
seseorang dan memukulinya. Menurut ulama malikiyah, orang-orang yang
yang terlibat dalam suatu aksi pembunuhan yang sebelumnya tidak ada
kesepakatan dan perkomplotan diantara merka, maka mereka semua tetap
dihukum bunuh jika mereka memang ikut memukul secara sengaja Dan
aniaya, dan korban mati di tempat itu juga. Sementara pukulan yang mereka
lakukan tidak bisa terbedakan antara satu dengan yang lainnya atau bisa
terbedakan akan tetapi tidak diketahui mana pukulan yang mematikan dan
yang membunuh.
Berdasarkan kesepakatan para imam madzhab empat, secara syara’ wajib
menghukum qishas sekelompok orang karena membunuh satu orang. Hal ini
dalam rangka saddud dzaraa’i (menutup celah-celah yang bisa berpotensi
dijadikan sebagai pintu masuk kepada sesuatu yang terlarang). Karena jika
6 Wahbah suhaili, fiqih islakmwaadillatuhu, hlm.564
mereka tidak diqishas semuanya, tentunya itu akan berdampak pada
pelaksanaan hukum qishas tidak bisa dilakukan. Sebab jika demikian, tindakan
pembunhan dengan cara dilakukan secara bersama-sama akan dijadikan trik
dan rekayasa untuk terhindar dari jeratan hukuman qishas. Disamping itu,
banyak kasus pembunuhan yang terjadi dilakukan secara bersama-sama oleh
sekolompok orang, karena biasanya suatu kasus pembunuhan tidak terjadi
kecuali dilakukan dengan cara bekerjasama oleh sekelompok orang.
Para sahabat cepat tanggap dalam mengantisipasi permasalahan seperti ini,
sehingga mereka mengeluarkan fatwa menyeluruh terhadap semua anggota
komplotan pembunuhan. Pertama kali kasus ini terjadi pada masa
kekholifahan umar ibnu khattab yaitu ada seorang suami meninggalkan
istrinya di kota shan'a bersama dengan seorang anak dari istrinya yang lain.
Lalu si istri memiliki pria idaman lain dan melakukan hal yang tidak baik.
Perbuatan itu pun diketahui oleh si anak tersebut.
Si istri itu kemudian berkata kepada pria idaman lainnya itu "anak ini telah
mengetahui perbuatan kita, karena itu bunuhlah ia" namun, si laki-lakki itu
menolak hingga menyebabkan si istri ngambek dan tudak mau lagi
berhubungan dengan si laki-laki itu, sehingga si laki-laki itu pun akhirnya
memenuhi permintaan si istri untuk membunuh anak tersebut itu. Lalu ia pun
melakukan pembunuhan terhadap anak itu bersama-sama dengan seorang laki-
laki lain, si istri sendiri dan pembantunya dengan cara memutilasi si anak dan
menceburkannya ke dalam sumur kemudian kejadian itu pun terungkap dan
tersebar luas.
Setelah kejadian itu, amir yaman menangkap laki-laki itu dan ia pun mengakui
perbuatannya, kemudian para pelaku yang lain pun ikut mengakui perbuatan
mereka. Amir yaman kemudian mengirim sepucuk surat kepada umar ibn
khattab, lalu umar ibnu khattab mengirim surat balasan yang berisikan supaya
mereka semua dihukum bunuh (qishas), umar ibnu khattab pun berkata, "demi
allah, seandainya penduduk shan'a ikut bersama-sama membunuh anak itu,
sungguh aku pasti akan menghukum bunuh mereka semua".7
7 Wahbah suhaili, fiqih islam waadillatuhu, ju VII, hlm. 561
Cukup jelas kiranya bahwa dalam kasus at-tamalu pertanggung jawaban
peserta tidak tergantung pada perbuatan masing-masing melainkan pada hasil
keseluruhan perbuatan. Meskipun perbuatan yg mereka lakukan berbeda,
namun niat dan tujuan mereka sama. sebagaimana dalam kaidah :
التمالؤ حالة في شريك فعل كل عن شريك كل يسأل
“Setiap orang yang turut serta berbuat jarimah dalam keadaan tamalu’ dituntut
dari hasil keseluruhan perbuatan yang turut serta berbuat jarimah.”
Ulama hanafiyah tidak membedkan antara kondisi tawauq atau tamaalu’ bagi
mereka yang terpenting untuk dijadikan patokan adalah tindakan yang
dilakukan oleh masing-masing dari mereka itu mengenai sasaran dan tindakan
yang dialkukan oleh masing-masing itu adalah mematikan, dalam arti tindakan
yang dilakukan oleh salah satu saja diantara mereka sebenarnya sudah bisa
membunuh dan mematikan. Hal ini berdasarkan pernyataan ulama hanafiyah
dalam kasus pembunuhan sengaja,
“disyaatkan bahwa tindakan yang dilakukan oleh masing-masing dari orang
yang terlibat adalah tindakan pembunuhan secara langsung, seperti masing-
masing dari mereka melukai korban dengan luka yang memiliki membunuh
(dalam artian, perlukaan yang dilakukan oleh salah satu saja diantara mereka
sebenarnya sudah bisa membunuh)”8
2. Turut berbuat Tidak langsung
Menurut abdul qadir audah, keturut sertaan tidak langsung adalah :,
"Setiap orang yang bersepakat dengan orang lain untuk melakukan suatu
perbuatan yang dapat dijatuhi hukuman atasnya, orang yang menghasut
(menggerakkan orang lain/membantu dalam perbuatan tersebut dengan
disyaratkan adanya kesengajaan dalam kebersepakatan, penghasutan dan
pemberian bantuan tersebut"
8 Ibid, hlm. 562
Yang dimaksud turut berbuat tidak langsung di sini ialah setiap orang yang
mengadakan perjanjian dengan orang lain untuk melakukan suatu tindakan
kejahatan atau menyuruh (membujuk) orang lain atau memberikan bantuan
dalam perbuatan tersebut dengan disertai kesengajaan dalam kesepakatan
dalam istilah fiqih jinayah disebut isytirak bit tasabbubi dan pelakunya disebut
mutasabbib.
Mutasabbib adalah pihak yang melakukan suatu tindakan yang biasanya bisa
mengakibatkan kerusakan atau kebinasaan sesuatu. Tindakan itu sendiri
sebenarnya bukan yang secara langsung memunculkan kebinasaan tersebut
akan tetapi melalui perantara sesuatu yang lain yaitu tindakan orang lain yang
melakukannya dengan keinginan sendiri.
Apabila tindakan pihak mutasabbib dianggap sebagai tindakan yang
melanggar dan melampui batas, maka hanya dirinya saja yang bertanggung
jawab. Hal ini berdasarkan kaidah "mutasabbib tidaj dituntut bertanggung
jawab kecuali jika ia melakukan tindakan yang melanggar" atau berdasarkan
kaidah "suatu tindakan disandarkan/dinisbahkan kepada mutasabbib apabila
tidak ada perantara yang menengahi" yaitu ketika tidak dimungkinkan untuk
menuntut pertanggung jawaban dari pelaku langsung karena pelaku langsung
adalah orang yang tidak mungkin diminta pertanggung jawaban/pelaku
langsungnya tidak ada/tidak diketahui atau tindakan mutasabbib lebih kuat
efek dan dominan dari tindakan pelaku langsung.
Kesimpulannya, pihak mutasabbib adalah yang harus bertanggung jawab
apabila tindakannya yang menjadi sebab itu lebih dominan dari pada tindakan
pelaku langsung.
Menurut jumhur selain ulama hanafiyah, dalam kasus pembunuhan pelaku
langsung dan pelaku tidak langsung dapat bersama-sama dijatuhkan hukuman.
Dalam kasus paksaan untuk melakukan pembunuhan, baik pihak yang
memaksa maupun yang dipaksa kedua-duanya sama-sama diqishas karena
pihak yang dipaksa pada faktanya adalh pihak yang menjalankan pembunuhan
secara langsung sedangkan pihak yang memaksa adalah pihak yang menjadi
penyebabnya (mutsabbib).
Dalam kasus pembunuhan lain, dimana teradapat pelaku yang berjumlah dua
orang, salah satunya memegangi korban dan yang satunya yang melakukan
pembunuhan terhadap korban. Ulama malikiyah memiliki pendapat yang
berbeda dengan pendapat ulama madzhab yang lain, yaitu kedua-duanya
sama-sama dikisas karena pelaku yang bertugas memegangi korban adalah
sbagai mutasabbib dan rekannya yang bertugas membunuh adalah sebagai
pelaku langsung.
Pendapat demikian selaras dengan pendapatnya an-nasa'i, imam malik dan abi
laila. Mereka berpendapat bahwa terhadap orang yang memegangi korban
dalam kasus pembunuhan juga dikenai hukuman qishas, sebab dia dianggap
sebagai mubasyir (pelaku) pembunuhan juga menurut mereka pembunuhan
tersebut tidak mungkin terjadi secara sempurna tanpa keterlibatan orang yang
memegangi korban.
Hal ini bertolak belakang dengan hadis yang dikutip oleh syaukani yang
diriwayatkan oleh al-dar qutni :
قال وسلم عليه الله صلى النبي عن عنه الله رضي هريرة ابي : عن
امسك الذي ويحبس قتل الذي يقتل األخر وقتله الرجل الرجل امسك اذا
“Jika ada seseorang yang menahan orang dan ada orang lain yang
membunuhnya, maka orang yang membunuh hendaknya dibunuh dan orang
yang menahan hendaknya dikurung”
dalil tersebut menurut asy-syaukani menunjukkan bahwa qishas hanya
dikenakan bagi orang yang membunuhnya saja sedangkan bagi orang yang memegang
hukumannya adalah kurungan.
Ada tiga unsur turut berbuat tidak langsung, yaitu: (1) perbuatan yang dapat
dihukum, (2) niat dari orang yang turut berbuat agar dengan sikapnya suatu perbuatan
yang dimaksud kan dapat terjadi, (3) car mewujudkan perbuatan tersebut, misalnya
dengan mengadakan kesepakatan, membujuk atau dengan membantu.
Turut berbuat tidak langsung bisa terjadi dengan jalan adanya kesepakatan,
adanya menghasut atau membujuk dan adanya pemberi bantuan. Kalau kalau orang
yang menghasut ini adalah orang tua terhadap anaknya, atau guru terhdap muridnya
maka hal itu dinaggap sebagai paksaaan.
Pada dasarnya menurut syariat islam hukuman-hukuman yang telah ditentukan
jumlahnya yakni dalam tindak pidana hudud dan qishas dijatuhkan atas perbuatan
langsung, bukan atas perbuatan tidak langsung. Berdasarkan aturan tersebut maka
siapa yang turut berbuat dalam tindak pidana hudud atau qisahas, tidak dijatuhi
hukuman yang telah ditentukan jumlahnya, bagaimanapun bentuk turut berbuatnya
itu, melainkan dijatuhi hukuman ta’zir.
Alasan pengkhususan aturan tersebut untuk tindak podana hudud dan qisash
ialah karena pada umumnya hukuman yang telah ditentukan jumlahnya itu sangat
berattidak berbuat langsungnya peserta merupakan syubhat yang bisa menghindarkan
hadd. Juga karena pembuat langsung pada umumnya lebih berbahaya dari pda
pembuat tidak langsung.
Pada tindak pidana ta’ir tidak ada pembedaan hukuman antara pembuat
langsung dengan pembuat tidak langsung sebab keduanya diancam dengan pidana
yang sama yaitu ta’zir. Dalam hal ini hakim memilki kebebasan dalam menentukan
besar kecilnya hukuman ta’zir, sehingga tidak perlu diadakan pemisahan antara
hukuman bagi pembuat langsung dan pembuat tidak langsung dalam jenis tindak
pidana ini.
TABEL PENYERTAAN DALAM HUKUM PIDANA ISLAM 9
Hukum
pidana islam
Jenis penyertaan Jenis tindak pidana
Turut berbuat
langsung:
Turut serta
Menyuruh
Turut berbuat tidak
langsung:
Membujuk
Membantu
9 Topo santoso, menggagas hukum pidana islam, asy syaamil, bandung, 2001, hal. 157
Ancaman
hukuman
Sama dengan pelaku
(hudud atau qisas)
Tidak sama dengan
pelaku (ta’zir )
Tindak pidana hudud
dan qisas
Ancaman
hukuman
Sama dengan pelaku (pidana ta’zir) hakim
mempunyai kewenangan untuk memutuskan
berat ringannya.
Tindak pidana ta’zir
PENYERTAAN DALAM HUKUM POSITIF
Hukum positif Jenis penyertaan Jenis tindak pidana
-Turut serta-menyuruh-Membujuk
Membantu
Ancaman pidanaSama dengan
pelaku
Lebih ringan
(dikurangi sepertiga)Kejahatan
Anacaman pidanaSama dengan
pelakuTidak dipidana Pelanggaran
Daftar Pustaka
- Topo Santoso, SH, MH, menggagas hukum pidana islam, asysyaamil, bandung,2001.
- Prof. Dr.Wahbah Az-Suhaili, fiqih islam waadillatuhu, darul fikri, Damaskus, 2007.
- Ahmad Farid Zamani, tindak pidana penyertaan pembunuhan parspektif hukum islam
(analisis putusan MA No.959 k/Pid/2012),2014
- Digilib.uinsby.ac.id