LAZUARDY Karya : Singgih Haryoso BABAK I Pesta rakyat mengawali cerita ini, semua bergembira, bersorak sorai satu sama lain saling berbagi makanan dan minuman, perempuan atau pun lelaki tak membatasi peristiwa yang hanya bisa di temukan satu tahun sekali yaitu pesta rakyat menjelang panen laut tiba, biasanya tokoh masyarakat mengumpulkan para lelaki yang sudah beristri untuk beradu kekuatan dengan saling memukul dengan ikan laut, istri-istri merekapun larut dalam kegembiraan dan tawaan melihat para suaminya saling memukul, tidak ada kemarahan dan kebencian, sehingga ketika perkelahian selesai mereka saling memberi makanan sekaligus menyuapi lawan mainnya seperti halnya pasangan pengantin baru yang menyimbolkan kasih sayang, itulah tujuan masyarakat dengan permainan itu. Matahari yang terus menemani mereka kini semakin menutupi wajah indahnya dan pestapun di tutup dengan saling berjabat tangan dan pergi meninggalkan tempat itu, semakin hilang wajah matahari menandakan malampun segera tiba, kini tinggallah sosok lelaki terduduk lesu memandangi laut, suara jangkrik yang tak habis-habisnya menemani suasana malam yang dingin di tambah gemuruh suara angin pantai menambah dinginnya suasana, Sukarto yang sehari-hari bekerja sebagai penjaga keamanan di sebuah pabrik tua terus memainkan senternya, dan berkata pada malam :
33
Embed
WordPress.com · Web viewMidun : Si Bakri, teman lama, dulu waktu aku berkunjung ke kota dia pernah kalah main kartu denaganku, dan kabarnya dia tak pernah kalah-kalah bahkan sekarang
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
LAZUARDY
Karya : Singgih HaryosoBABAK I
Pesta rakyat mengawali cerita ini, semua bergembira, bersorak sorai satu sama lain saling
berbagi makanan dan minuman, perempuan atau pun lelaki tak membatasi peristiwa yang
hanya bisa di temukan satu tahun sekali yaitu pesta rakyat menjelang panen laut tiba,
biasanya tokoh masyarakat mengumpulkan para lelaki yang sudah beristri untuk beradu
kekuatan dengan saling memukul dengan ikan laut, istri-istri merekapun larut dalam
kegembiraan dan tawaan melihat para suaminya saling memukul, tidak ada kemarahan dan
kebencian, sehingga ketika perkelahian selesai mereka saling memberi makanan sekaligus
menyuapi lawan mainnya seperti halnya pasangan pengantin baru yang menyimbolkan kasih
sayang, itulah tujuan masyarakat dengan permainan itu.
Matahari yang terus menemani mereka kini semakin menutupi wajah indahnya dan pestapun
di tutup dengan saling berjabat tangan dan pergi meninggalkan tempat itu, semakin hilang
wajah matahari menandakan malampun segera tiba, kini tinggallah sosok lelaki terduduk lesu
memandangi laut, suara jangkrik yang tak habis-habisnya menemani suasana malam yang
dingin di tambah gemuruh suara angin pantai menambah dinginnya suasana, Sukarto yang
sehari-hari bekerja sebagai penjaga keamanan di sebuah pabrik tua terus memainkan
senternya, dan berkata pada malam :
Malam…
Aku mencintainya
Dan aku yakin ada keikhlasan cinta dalam dirinya.
Malam...
Aku melihat kenyataan ini.
Kenyataan kalau perempuan yang selama ini aku banggakan
Terhina, karena aku.
Dan setelah itu, mata Sukarto dikejutkan dengan kedatangan sosok pria yang selalu
membawa tungku kemenyan.
Sukarto : Mahmud….!, sudah berapa kali ku katakan padamu.. disini tak ada setan yang
datang..!
Mahmud : (Dengan mulut komat kamit, seperti membaca mantra)… Kau lihat, malam ini
asap kemenyanku mengarah pada pabrik ini, ini bertanda ada sesuatu yang akan terjadi.
Sukarto : Iya, malam ini aku akan mendapati sipemulung kurang ajar itu..
Mahmud : Mana si jaka?
Sukarto : (melihat ke arah jam), sebentar lagi dia datang..
Mahmud : Tahu betul kau, tentang sijaka..?
Sukarto : Aku lebih tahu si jaka ketimbang, setan yang tidak jelas itu.
Mahmud : (terus membaca mantra)
Sukarto : apa kau tadi bertemu Istriku?
Mahmud : (tidak menghiraukan, dan terus membaca mantra).
Sukarto : Mahmud aku kan sudah bilang padamu, kalau disini tak ada setan, dan kau perlu
tahu aku sudah 3 tahun menjaga pabrik ini, tapi nyatanya tempat ini aman-aman saja.
Mahmud : Tiga tahun kurang satu hari
Sukarto : Aku tahu tapi besok pagi aku akan meninggalkan pekerjaan yang membosankan
ini , dan pergi meninggalkan kampung ini.
Mahmud : Tolong diam sebentar (membaca mantra)
Sukarto : (sedikit kesal), mahmud! Apa kau tadi bertemu jamilah?
Mahmud : Ah.. kenapa kau ini, aku sedang konsentrasi, Karto…apa kau merasakan hal-hal
aneh di tempat ini..?
Sukarto : Iya,
Mahmud : Nah benarkan apa yang aku katakan, tempat ini rupanya mempunyai hawa aneh,
bukan?
Sukarto : Bukan..! yang aneh itu kamu..! di ajak bicara malah memikirkan hal yang bukan-
bukan.
Mahmud : Istrimu atau pekerjaannya?
Sukarto : (Diam).
Mahmud : Terus terang saja, kau kangen dengan istrimu?
Sukarto : Iya, Aku merindukan waktu yang telah memberiakan kami kebahagiaan.
Mahmud : Maksudmu, ketika kamu baru menikahinya?
Sukarto : Ketika dia menyanggupi dan mau untuk aku nikahi.
Mahmud : Bagaimana dengan bapakmu? Apa dia juga bahagia?
Sukarto : Aku hanya melihat kesedihan dimatanya.
Mahmud : Menyesal kamu?
Sukarto : Untuk apa menyesali sesuatu yang sudah terjadi.
Mahmud : Apa kau juga menyesal dengan apa yang dikerjakan jamilah sekarang?
Sukarto : Apa ada hal lain yang bisa merubah penyesalan?
Mahmud : Lantas kenapa setiap oraang membicarakan tentang hubungan kalian kau marah?
Sukarto : Bukannya aku marah, tapi..
Mahmud : Tapi apa?, apa yang ingin kau katakan?, kau ingin megatakan kalau itu semua
fitnah? Karto, sedikitpun kau tak pernah membuktikan itu semua. Bahkan kau juga tak
pernah memikirkan nasib istrimu.
Sukarto : Aku selalu memikirkanya..
Mahmud : Apa! Kau memikirkanya? Berpikir tentang apa, apa tentang cinta? Karto, cinta itu
juga harus melihat pada kenyataan, dan cintamu tak bisa menolong nasibnya. Pergilah
kepasar malam dan kau lihat sendiri, apa masih ada aroma cinta untukmu?
Sukarto : (Hanya diam dengan sedikit kesal)
Mahmud : Oh.. jadi kau lebih suka berdiam diri disini menunggu sesuatu yang tak jelas?
Sukarto : He mahmud (dengan nada kesal), bukannya aku tak ingin pergi ketempat itu dan
membuktikan kebenaranny, tapi aku tak kuasa melangkah untuk pergi.
Mahmud : Lelah aku To, sudahlah kalau nanti aku bertemu dengan istrimu aku beritahu kau,
tentunya aku juga harus pergi ke pasar malam itu bukan?
Sukarto : Benar-benar kau ingin pergi ketampat itu? Sekalian bilang padannya Aku selalu
sayang dia.
Mahmud : Kasih sayang itu butuh pengorbanan, Karto...Jagan kau diam saja disini, tak jelas
arah tujuan kamu mau kemana… kau hanya memandangi langit dan laut.
Sukarto : Maksudmu..?
Mahmud :Mungkin kasih sayang adalah modal utama dari perkawinan, tapi bagaimana untuk
menjalani kehidupan berkeluarga yang normal, kau sendiri tak punya pekerjaan yang jelas..
Sukarto : Maksudmu?
Mahmud :Apa ada kata-kata lain selain pengangguran, orang yang selama bertahun-tahun
menjaga tempat ini tanpa mendapatkan sepeserpun dari pekerjaanmu ini..
Sukarto : Mahmud, sudah berapa kali kukatakan padamu. ini amanah..!
Mahmud : Amanah, katamu..?, lalu amanah yang bagaimana kalau kau sendiri susah dengan
amanahmu itu..?, sama saja kau bunuh diri.
Sukarto : (Meneruskan kalimat mahmud) apa kau tidak kasihan dengan si jamilah? Ah…
bosan aku menjelaskannya padamu…!, mahmud bukannya aku tak suka dengan bau
kemenyanmu itu, tapi lebih baik aku tak bertemu denganmu kalau ujung-ujungnya kau selalu
mempertanyakan pekerjaanku..
Mahmud : (Sedikit kesal), sudahlah aku pergi dulu..
Sukarto : Silahkan…. Jangan harap kau bertemu denganku lagi, aku akan pergi….!!
(menundukkan kepala tak menghiraukan mahmud pergi).
Mahmud : (Memalingkan tubuh dan sebelum meninggalkannya), jadi orang harus punya
pendirian, dan harus bisa menerima kenyataan. (pergi menjauh)
Sukarto : He…! bangsat sekali lagi kau ucapkan kata-kata itu. aku tak segan-segan
menghajarmu, kenapa aku terpancing emosiku..?, padahal aku butuh bantuannya..
Sukarto berjalan tanpa arah seakan-akan ada yang dipikirkan lalu tak lama duduk di pinggir
pagar pabrik, suasana pun kembali tenang, kini Sukarto hanya di temani dinginya malam, dari
kejauhan terdengar suara senda gurau Suparman dan Darmo dengan membawa perlengkapan
pancing.
Suparman : Jadi benar pak kardi mau memberikan hadiah besar buat perayaan tahun ini.
Darmo : Katanya, karena bersamaan dengan ulang tahun negara kita dan panen rakyat, semua
warga disini khususnya kaum nelayan mendapatkan baju setelan.
Suparman : Iya, kalau kamu dapat juara satu, dua atau tiga..!
( Tertawa).
Mas Darmo : Kalau memang begitu, modal kita sebagai warga, ya.. semangat walaupun
sudah tua (tertawa)
Tarno yang sedang duduk di pinggir pagar pabrik, hanya mendengarkan kedua orang itu, dan
melemparkan batu ke tong pabrik, sehinga mengagetkan keduanya.
Mas Darmo : Kamu To?
Suparman : He, pemuda… sedikit hormatlah dengan orang tua.
Sukarto : Jadi, Bapak-bapak mengharapkan tahun ini lebih meriah dari tahun sebelumnya dan
tentunnya banyak hadiahnya, bukan begitu pa?
Darmo : Loh, kamu tahu pembicaraan kita, To?
Suparman : (memotong pembicaraan), Karto alias Sukarto tidak punya kerjaan selain duduk-
duduk disini dan mengagetkan setiap orang yang lewat jalan sini, bukan begitu To..
Sukarto : (Hanya tersenyum)
Mas Darmo : Jangan begitu (melirik pada pa parman)
Sukarto : Biarkan saja mas Mo, biarkan orang tua yang satu ini berbicara sepuasnya malam
ini. (menegaskan) ya, malam ini...
Suparman : Kamu dengar lantunan musik itu? (menyinggung) Tepat ada di pasar malam. Apa
kamu tidak pergi kena malam ini? Sekalian menjenguk istrimu?
Sukarto : (Menggenggam tangannya), He, sekali lagi kau sebut istriku, tak ada lagi batasan
umur, kau boleh tua dariku tapi otakmu kaya anak kecil…!
Suparman : Perlu kau tahu, semua orang sedang membicarakan hubungan kalian.
Sukarto : Cukup…!
Darmo : Sudah, seharusnya kau tak usah mencampuri urusan orang lain, apalagi ini masalah
rumah tangga dan dia...
Suparman : Jadi kau membela Karto!?
Sukarto : Sudahlah Mas Darmo, biar saya pukul orang tua itu, seenaknya saja menghakimi
orang dengan kata-kata picik.
Suparman : Picik, picik Katamu?, hai, anak muda dengarkan.. lebih picik mana seorang anak
yang bertahun-tahun aku besarkan, tapi… tapi apa? Apa! Yang kau berikan padaku?
Sukarto : Jadi Bapak meminta imbalan?
Suparman : Aku tak pernah berharap kau mmberikan padaku apa yang kau punya, tapi aku
hanya ingin kau tahu.
Sukarto : Tahu apa?, Aku tahu kalau bapak tidak ingin anaknya menjadi pengangguran
bukan?, setelah lulus kuliah dan menjadi Sarjana Ekonomi, aku memang berkeinginan pergi
ke kota, tapi? Apa bapak mengizinkan?, malahan bapak menyuruhku menjadi nelayan seperti