Awali Taufiqi
=====================================================================
3 HARI PENDAKIAN ARJUNA
=====================================================================
7 Pemuda, Tidak Mandi, Tetap Makan, Terus Berjalan.
----------------------------------------------------
=============================
DAFTAR ISI
1. DINNER……………………………............... 4
2. ON THE WAY……………………………............... 5
3. DAY 1……………………………............... 6
4. DAY 2……………………………............... 7
5. DAY 3……………………………............... 8-11
6. ON THE WAY……………………………............... 12-13
7. Tentang Penulis ……………………………............... 14
Untuk Mama dan Papa.
Teman-Teman
Ardian, Tebo, Dinner, Gufron, Ebes, & Dhoni
3 Pendaki
Terima kasih atas besarnya cinta, kasih sayang, dan keringat
yang tak akan penah bisa saya balas
======= “ DINNER ” =======
Semburat cahaya matahari masih terlihat begitu tipis. Dering sms
membangunkanku yang sedari tadi menghempaskan tubuh di kasur,
sembari mendengarkan alunan nada Monita Tahalea. Aku membacanya.
Sebentar-sebentar aku menarik napas.
“ Ini awali? Salam kenal, aku Dinner. Aku dapat kontak kamu dari
upik, temanmu anak Paskibra. Tanggal 3-5 Juni ada rencana Pendakian
Arjuna, Kita kekurangan orang. Timku tak akan lengkap tanpa dirimu.
Kuharap kamu menerima tawaranku ini. “
Tanpa basa-basi segera ku balas sms tersebut, mengabarkan jika
aku menerima tawaran. Kemudian berlanjut hingga bertemu di rumah
salah seorang teman.
Malam itu sama seperti malam yang lain, Sorot lampu dan bising
kendaraan yang berlalu-lalang menemaniku menunggu seseorang bernama
Dinner. Mungkin sebaiknya saya main ke rumah Aisyah dulu sembari
menunggu datangnya Dinner ini. Tepat pukul 10 malam masih belum ada
kabar tentang dia, saya puaskan hari itu sembari bercengkrama
bersama teman-teman pecinta alam. Aku menceritakan tentang
seseorang bernama Dinner yang mengajakku ke Gn. Arjuna. Berharap
jawaban apa ada dari teman-teman yang bersedia ikut menemani
rencana ini.
“ Tanggal 6 Juni sudah puasa, mana mungkin aku ikutan aw. Sayang
banget kalo entar ngga ikut tarawih pertama.” Lauren menjawab.
Yusriqo, Niatus, Thoriq, Aisyah, & Ardian mengangguk diam tanda
setuju dengan pernyataan lauren. Saat itu pukul 22:48 dering sms
masuk, ternyata dari Dinner yang sudah sampai di lokasi.
“ Baiklah guys, btw aku balik dulu ya. Dinner udah nungguin di
lokasi “ Jawabku singkat. Melambaikan tangan sembari membenarkan
posisi motor.
“ Hati-hati aww.. Semoga sukses rencananya “ sahut semua teman
yang membalas pamitanku yang penuh penyesalan itu. Segera aku
tancap gas mengejar waktu karena Dinner sudah menunggu di
Lokasi.
Aku kira pertemuan itu hanya sebatas wacana seperti yang
kebanyakan teman lakukan. Tapi ternyata tidak. Pertemuan ini
berlanjut bahkan sampai tahap pencarian tim lainnya. Dinner bersama
kawannya Gufron, Dhoni, Ebes, & Tebo. Sedang aku bersama
seorang teman seperjuangan dari extrakulikuler pecinta alam,
Ardian. Ya, Ardian berubah fikiran setelah membantuku mencari
orang. Ardian sudah mendapat restu dari orang tuanya, maka tak ada
lagi alasan bagi ardian untuk menolak kesempatan ini.
======== “ ON THE WAY ” ==========
Berkendara dalam bus adalah bagian dari hidup. Lagipula
bepergian dengan kendaraan pribadi membuat saya semakin kesepian.
Bukan saya tak pernah sendiri. Justru karena saya terlalu sering
sendiri. Saya mencari tempat yang bisa membuat saya bertemu banyak
orang.
Beruntung 6 orang pendaki ini juga setuju dengan pendapatku.
Kami sepakat untuk bertemu di pintu keluar Terminal Bungurasih
pukul 13:00 seusai sholat Jumat.
Berjalan kebingungan mencari teman yang tak kunjung kelihatan
rupanya membuatku sedikit kecapekan. Bulir keringat sudah terjatuh
dari dahi dan ketiak akibat kepanasan. Benar-benar keadaan yang
merusak suasana hati. Tiba-tiba seseorang menarik lengan
bajuku.
“ Sudah lama?.” Tanya Gufron yang sudah menunggu sedari dari
bersama Tebo.
“ Barusan sampai kok“, jawabku singkat. “Btw, mana yang lain?”
sambil melirik ke kanan-kiri mencari Dhoni, Dinner, & Ebes.
“Ardian masih otw guys, masih di terminal bratang nyari bus
kota”tambahku.
“ Nah, Kebiasaan tuh yang lain. Udah datang cepet-cepet, yang
lain malah telat. Hufftt “
Sembari menunggu yang lain, aku menyempatkan diri untuk berjalan
membeli sesuatu yang bisa dimakan. Sudah dari pagi aku tak makan,
hanya sebuah roti untuk mengganjal perut sementara.
“Buah.. Buah.. Buah.. Rujakk manissssss”, Suara khas rujak buah
menarik perhatianku. terhitung Rp 5,000 lenyap berganti dengan
bungkusan buah berharga seribuan.
Beberapa jam menunggu, dan tepat pukul 16:30 kami berangkat dari
surabaya ke Tretes menaiki bus Surabaya-Malang.
“ Bus biasanya sih digunakan oleh mereka yang pergi liburan atau
sekedar pekerja yang mempunyai pekerjaan di luar kota”, Ujar
gufron, salah seorang temanku yang menjadi pelanggan setia bus
ekonomi.
Mendapat fasilitas AC dan tempat duduk, tarif kereta ini
terbilang murah menurutku, tujuh ribu lima ratus rupiah untuk
sekali jalan. Menurutku, dengan naik bus ekonomi kita akan banyak
belajar mengenai hidup. Karena di dalam sana kita akan dapat
melihat berbagai macam realitas hidup tanpa manipulasi seperti di
surat kabar. Ah, mungkin aku saja yang terlalu filosofis menanggapi
hal ini. Pernah aku mendengar orang berkata jika surat kabar berita
berisi tentang kebohongan, membuat kita buta akan kebenaran. Aku
tak terlalu percaya.
--- “Pos perizinan-Pet Bocor-Kop kop an “ --- ====== “ DAY 1 ”
======
Langit masih cukup gelap, derap langkah orang yang lalu-lalang
masih terdengar begitu jelas. Kami berangkat dari pos perizinan
saat matahari telah bersembunyi menunggu ayam jantan berkokok
kembali. Aku hanya satu dari sekian banyak pendaki lainnya.
Pemandangan pohon dan beraneka tumbuhan menjalar itu sudah biasa
kulihat. Entah seolah ada suatu hubungan yang membuat diriku dekat
dengan alam yang misterius ini. Belum lama melangkah, menuju
perjalanan ke Pet Bocor, barisan belakang, aku dan gufron mendengar
suara macan. Namun, Ebes membantah jika kami hanya mendengar suara
udara yang melewati pipa-pipa air. Dinner bilang itu hanya suara
kodok pengunungan. Ah, ini sudah malam. Ada benarnya juga untuk
tidak terlalu memikirkan hal tersebut. Kami semua berlalu seolah
tak pernah terjadi apa-apa.
Sampai juga di Pet Bocor, kami mengisi ulang air yang tadi telah
habis dalam perjalanan. Terlihat banyak pendaki lain beristirahat
di Joglo maupun memasang tenda di sekitar Pet Bocor. Tak ingin
rasanya berlama-lama, kami mulai meneruskan perjalanan menuju Kop
kop an.
Tepat pukul 21:00, Kami tiba di kop kop an. Dengan segera
teman-teman mendirikan tenda dan mulai menata barang yang dibawa.
Sedangkan aku sendiri sibuk menelusuri hutan bersama ardian untuk
mencari spot terbaik untuk buang air kecil.
“ Oy, Lihat ke atas “, Ujar Ardian. Sambil mengacungkan jarinya
ke arah atas.
Kami melongo melihat sesuatu yang tak biasa kami lihat, sebuah
BINTANGG!! Indah menyala di kegelapan malam. Seperti lampu-lampu
kecil di taman hiburan. Walau suhu mulai menusuk kulit, aku tetap
bertahan di luar tenda menyaksikan bintang-bintang kecil di
langit.
“ Awww... Masukk.. Ntar kena Hipotermiaa “, Kata Dinner sembari
melambaikan tangan megisyaratkan agar aku segera masuk ke tenda.
Namun bagaimana lagi, Aku suka bintang. Bintang mengingatkanku,
akan selalu ada cahaya walau dalam kegelapan. Kunang-kunang
menemaniku melihat bintang-bintang saat itu.
Bbrrrr... Dingin mulai menusuk lebih dalam dari sebelumnya, aku
masuk ke dalam tenda. Mencari posisi wenak buat tidur sambil
membentangkan Sleeping Bag, Dan dalam hitungan detik mata terpejam.
Tigaa... Dua... Satuuu... Bruuuttt.. Brut.Bruttttt... Asemmm,
Dinner kentut. Kurang ajar! Kini ruangan tenda yang
hangat&nyaman berubah menjadi neraka dengan bau jahanam yang
menggetarkan jiwa. Kami lantas berlarian keluar tenda mencari udara
segar, kecuali Dinner. Dia menikmati kentutnya.
---- “ Kop Kop an – Pondokan – Lembah Kidang ” ---- ====== “ DAY
2 “======
Kedua kakiku masih terasa pegal. Punggungku rasanya remuk. Kedua
tanganku kaku. Telapak tanganku kesemutan.
Menjelang pagi hari sinar matahari masih saja redup. Kicauan
burung hutan terdengar sayup-sayup. Angin besar sisa semalam
benar-benar menusuk tulang. Pagi benar saya sudah bangun,
mengabaikan godaan selimut yang sejak tadi meminta tubuh saya untuk
bersembunyi saja didalamnya. Tidak mandi, tetap makan, jalan
seharian. Ah rutinitas seperti ini biasa saya lakukan saat
pendakian.
Ebes masih tertidur pulas dalam pelukan sleeping bag yang
hangat. Dhoni sibuk mengabadikan sunrise dalam jepretan kameranya,
sedangkan Ardian, Gufron, Tebo, Dinner, dan Dhoni dibawah terik
matahari menghangatkan diri dari dinginnya pagi yang bercampur
kabut. Saya sendiri memutuskan untuk jalan-jalan menyusuri wilayah
hutan, sekedar melepas hajat yang tertahan sejak kemarin malam.
“ Lii..” , Suara seorang perempuan memanggil namaku
“ Jam berapa sampai di sini? “, sosok tersebut sekarang tak lagi
asing. Mbak Novi, seniorku dalam ekstrakulikuler pecinta alam. Tak
kusangka momen liburan 3 hari ini ia manfaatkan juga untuk mendaki.
Kulihat mbak Novi kecapekan, disusul seseorang dibelakangnya yang
lama kelamaan aku mengenalinya. Mbak Jihann… Ya tuhan. Kebetulan
macam apa ini, tak lama kemudian 2 perempuan manja tersebut merayu
agar dapat tidur di tendaku.
Tenda dome dalam keadaan kosong, kami melanjutkan perjalanan
sekitar 3 jam lagi setelah memasak perbekalan. Kurasa mereka bisa
tidur untuk sementara waktu. Memasak adalah hal yang mudah. Hanya
tinggal menyiapkan Nesting ( peralatan masak yang sering digunakan
pecinta alam ) kemudian meracik beras dengan air dalam takaran yang
pas. Kemudian menyalakan api, yaa itu hal yang mudah bagiku. Dan
baru kusadari ketika 30 menit berlalu, beras memang sudah menjadi
nasi, namun masih keras dan gosong dibagian pinggirnya. Ah, memasak
ternyata sulit.
Kumakan nasi yang tak enak itu dengan baluran sarden ikan yang
hangat. Harus mengisi tenaga, itu yang aku pikirkan.
Tepat pukul 9 pagi kami berberes-beres dan mengusir kedua betina
itu dari mimpinya yang pulas. Kami harus segera menuju Lembah
Kidang.
---- Lembah kidang – Watu gede – Puncak – Pasar Dieng ----
====== DAY 3======
Di Lembah yang hijau penuh rerumputan inilah kami beristirahat,
dibalik besarnya pohon kami berharap angin dingin bisa tertepis.
Tempat ini sangat ideal bagi kami, dekat dengan sumber air, dataran
yang empuk dan tentunya bukan jalan utama yang sering dilalui
pendaki. Dapat kurasakan suara alam yang berbisik kepadaku. Angin
sepoi-sepoi perlahan tapi pasti menidurkan kami dalam dekapan
sleeping bag yang hangat. Aku bahkan membenamkan diriku dalam
tumpukan pakaian yang tak ku pedulikan lagi kerapiannya.
Bintang-bintang mulai menggantikan sosok matahari sang bunda
angkasa, hutan mulai menyuarakan hatinya, suasana saat itu ramai
oleh beraneka ragam penghuni alam lainnya.
Dingin mulai menusuk kulit, beberapa teman memutuskan untuk
membuat minuman wedang untuk menghangatkan badan. Sedangkan aku,
terdiam dibalik tenda yang tertutup rapat, menunggu wedang hangat
mengetuk pintu. Ku isi kekosongan waktu ini dengan membaca buku,
aku tahu dengan membaca buku akan bisa membuatku lebih hangat.
Pikiranku harus berfikir lebih keras agar dapat memahami kalimat
puitis didalamnya. Proses itu yang menyebabkan aku menjadi
hangat.
Sudah diputuskan oleh Dinner, tepat jam 2 dini hari kita
berangkat menuju puncak. Hanya sunrise yang membuat kami menyetujui
keputusannya. Aku memang bisa melihat sunrise setiap pagi dari
sudut rumah di Surabaya. Tapi sunrise di puncak arjuna? Sungguh
pengalaman yang sangat berharga.
Dum dum dum, suara dangdut Malaysia terdengar. Sial, apa tak ada
nada lain untuk alarm selain dangdut Malaysia?. Mungkin Ebes
menginginkan agar semua dapat terbangun dengan suka cita berjoget
ria di kegelepan malam. Entahlah, hanya Tobes dan tuhan yang tahu.
Namun entahlah, ketika semua sudah terbangun, Ebes enggan beranjak
dari tenda. Hanya Ebes yang tahu jalannya. Kami pun pasrah saja
mendapati Ebes tidak mau meneruskan perjalanan.
“ Nanti saja, Setengah 8 “. Kata Ebes sebelum menutup
rapat-rapat sleeping bagnya. Suatu keanehan bagi Ebes yang sifatnya
“Tatak” kemudian tak ingin beranjak dari tenda untuk melanjutkan
perjalanan. Sudahlah, tidur lebih enak daripada berfikir.
---
PUNCAAKKK… Puncak sudah di depan mata. Kucatat 11:30 kami sampai
di puncak. Dengan beberapa pendaki lainnya. Yang melewati berbagai
jalur yang berbeda dengan kami. Bahkan suara angin pun terdengar
seperti air terjun, sebegitu kencangnya. Sebelumnya kami sempat
merenung ketika melihat kuburan bernisan, tertulis 27 februari
1999. Ada juga beberapa nisan dengan ukiran yang tak jelas.
Kemungkinan itu adalah kuburan pendaki yang meninggal karena
hipotermia. Hal ini membuat kami ingat akan kematian yang bisa
datang dari mana saja dan kapan saja. Kami berhati-hati sejak saat
itu.
Syukurlah ada pendaki yang berbaik hati menawarkan makanan
pengganjal perut. Memang suatu kesalahan hanya membawa perbekalan
minuman saja dari lembah kidang. Kami melahap roti dan kacang
layaknya memakan makanan dari surga. Bahkan kacang yang terjatuh
pun tak segan untuk mengambil dan memakannya.
“Heee.. Heee…”, kataku sambil menunjuk pendaki dengan tas besar
dan sebuah benda seperti selimut.
Dalam dingin yang menusuk ini ada saja pemandangan yang menarik
untuk dilihat. Ada seseorang yang mencoba untuk berparalayang.
Sungguh tak bisa dibayangkan betapa dinginnya menembus kabut di
ketinggian 3339 mdpl.
Teringat besok sudah puasa, tak kuasa badan yang capek ini harus
bergegas menuruni gunung.
“Klekk…”, Kakiku terkilir.
“ kenapa li? “ Tanya Ardian. “Haha, tak apa, hanya ranting patah
karena ku injak”. Ucapku dengan menyembunyikan sakit ini. Terkilir
tak akan menghambatku. Aku anak gunung.
Blek, blek, blek.. kulihat teman sudah berada jauh didepan.
Seperti pelari saja mereka turun. Sempat terlintas dibenak untuk
menggelinding saja menuruni bukit. Rasa sakit akibat terkilir mulai
terasa. Ah, aku sudah tak kuasa lagi.
Mmm.. Kurasa teman-teman tersesat. Begitu juga denganku yang
mengikuti mereka. Disuatu tempat yang sepertinya pernah dilewati
beberapa pendaki. Karena aku melihat bungkus permen dan kaleng
disekitar perjalanan. Pasar Dieng, kulihat plakat itu tepat
disamping sepatuku, tertimbun oleh dedaunan dan ranting yang
mengering. Perasaanku mulai tak enak. Teman-teman pun juga tak bisa
menyembunyikan ketakutannya. Aku tahu ini pasti berkaitan dengan
hal mistis. Hanya saja aku belum tahu kisahnya. Aku tak takut.
Dengan skill pecinta alam akhirnya kami semua dapat berjalan ke
jalur yang benar. Cukup sulit untuk menemukan jalur di rimbunnya
hutan arjuna. Hampir semuanya terlihat sama. Mendaki bebatuan di
samping jurang merupakan usaha kami menuju jalan yang benar. Dan
akhirnya, Alhamdulillah.
Dengan tenang teman-teman mulai santai dan bersyukur karena
tidak tersesat lagi. Mereka menuruni gunung lagi seperti para
pelari. Seolah melupakan kejadian di pasar dieng tadi.
Beberapa teman ternyata menungguku yang lama sekali
dibelakang.
“ Guys, kalo turun ya turun aja. Ga usah nungguin gua “, ucap
ku. “gua mah udah afal sama jalur tretes”. Tambahku untuk
meyakinkan mereka.
“ Engga li, bareng aja. Berangkat bareng pulang kudu bareng “.
Woo, perkataan mereka sejenak membuatku terharu dan bahagia.
“ Gini aja deh, aku turun duluan. Nanti kalian nyusul. Orang
kaya gua mah ga butuh istirahat ya kuat-kuat aja, cuman ya lama aja
jalannya”, dan mereka masih tak tahu apa yang terjadinya dengan
kakiku, Ah, jika tak terkilir mungkin saja ada pelari lain yang
akan menandingi teman-temanku. Aku.
Dalam perjalanan menuruni gunung ini aku memilih untuk
menggunakan jalan kompas, sebuah jalan pintas yang memotong jalan
berliku-liku. Jalan compass jarang dilewati pendaki. Dan hanya
pendaki-pendaki yang sudah paham betul akan medan yang berani
menggunakannya. Salah sedikit, bisa saja keluar dari jalur dan
akhirnya tersesat.
Beberapa kali aku salah memasuki jalur yang aku kira jalan
kompas, masuk lebih dalam kudapati tubuhku tersangkut dahan-dahan
yang menjalar. Instingku mulai aktif. Aku kembali ke jalur semula
karena aku tahu jalur ini sudah lama tak dilalui manusia. Bahkan di
salah satu jalur kompas aku berjumpa dengan kuburan tanpa nama.
Dengan bunga-bunga segar berserta kendi-kendi kusam di sekitarnya.
Perasaan takut itu mulai datang, aku tahu ini sore dan sesegera
mungkin aku harus keluar dari jalan kompas.
Jauh melangkah di jalan kompas, setelah berjumpa dengan kuburan
tanpa nama. Aku merasa jalan ini semakin panjang. Aku jadi ragu apa
benar ini jalan kompas atau hanya jalur reruntuhan batu vulkanik
dan aliran air. Pikiranku jauh melayang, takut akan tersesat, takut
akan kesendirian, dan takut akan kegelapan. Di dalam gelap jalan
setapak sulit terlihat, salah-salah bisa masuk jurang nantinya.
Apalagi tas yang aku bawa punya gufron, setelah aku keluarkan
isinya ternyata hanya ada minuman, jas hujan, dan tripod. Tidak ada
senter, headlamp, makanan atau apapun untuk mencukupi diriku hingga
esok hari. Dengan ragu aku terus melangkah, sempat juga menangis
mengira aku tersesat, dan ternyata jalan kompas ini benar. Hanya
aku saja yang belum pernah melewati jalan ini.
Kuputuskan untuk tak melewati jalan kompas lagi, sudah 17:21 dan
langit biru perlahan tergantikan oleh langit senja. Aku tahu
sebentar lagi gelap. Hanya ada dua pilihan didalam benakku.
Berhenti menunggu seseorang atau tetap berjalan dalam keremangan
malam. Kakiku terus melangkah menuruni bukit. Aku menguatkan
diriku, Awalii.. kalo kamu nunggu dijalur aman terus temenmu lewat
jalur kompas, kalo nggak ketemu gimana?.
Langit sudah malam, dapat kulihat kelap-kelip di sela-sela
dedaunan hutan. Aku dapat melihat kunang-kunang yang indah. Namun
kunang-kunang dengan cahaya putih ini membuatku merinding sekaligus
tertarik. Aku percepat langkahku. Dan Aaaaaa… sosok itu berada
didepanku.
Tenang saja, hanya sosok pendaki lain yang sedang
beristirahat.
“Mas, boleh join ngga? Ga bawa senter nih, dibawa sama teman
dibelakang”
“gapapa mas, santai aja. Ini headlampku sampeyan bawa”. Sambil
menyodorkan headlampnya.
Baik hati sekali mas-mas yang tenyata berasal dari Surabaya juga
seperti aku.
“hanya 3 orang mas?” tanyaku dengan memandang mereka secara
bergantian”
“ endak mas, rombongan orang banyak kok. Cuman temenku ini
kakinya terkilir. Sialan tuh yang lain, bukannya nungguin malah
ditinggal “
Teman macam apa yang sanggup meninggalkan temannya yang lain?
Tanyaku dalam hati. Namun kudapatkan jawaban setelah tahu ketika
rombongan mas-mas ini tidak semuanya saling mengenal. Mereka
disatukan oleh poster Trip To Arjuna yang terpublis di grup
facebook salah satu penggiat alam.
Mendengar suara gemerisik air, aku tahu pet bocor sudah dekat.
Sudah 90 menit berlalu sejak melewati kop-kopan sendirian tadi. Dan
akhirnya, hulala. Kami beristirahat di pet bocor, basecamp
sekaligus tempat makan karena disana ada warung.
Beberapa temanku mulai turun satu persatu, dengan tempo yang
cukup lama.
“ Bes, mana yang lain? Tebo, ardian? “
“ Masih dibelakang, Tebo kakinya kumat. Makanya agak lama ”
Ebes dan gufron yang datang kedua setelah aku, langsung saja
menuju pos perizinan. Tanpa mampir di pet bocor dulu.
“ ngga mampir dulu bes? Fron? “
“ nggak, aku tunggu dibawah aja, kamu disini aja nunggu yang
lain ”
Mmm.. menunggu adalah pekerjaan yang membosankan. Karena
menunggu itu tak enak, maka dari itu tak ku tunggu. Mending njajan
tempe menjes dan tahu isi di warung pet bocor. Tak terhinggu berapa
gorengan yang telah terlahap. Aduh, bingung bayarnya ini nanti. Au
ah, borong aja semua. Palingan juga dapat grosiran, haha.
“Oii ann.. lama banget.”. dari jauh kulihat seseorang menuruni
gunung. Dan itu Ardian. Menyusul dibelakang juga. Dhoni, Dinner,
dan Tebo. Muka kusut, badan dekil. Anak gunung banget rasanya
ngeliat penampakan mereka.
Setelah puas beristirahat dan bercengkrama bercerita dengan
kawan dan pendaki lama yang baru ditemui. Yang menceritakan
kisahnya mendaki saat tahun 1998, banyak yang berubah saat ini,
dulu sering ditemukan hewan buas seperti macan atau harimau, *saya
lupa* saat melintasi jalur pendakian. Dan sebuah kolam indah 3
bagian di daerah pondokan. Namun kini sudah berubah menjadi batuan
biasa layaknya reruntuhan sebuah peradaban.
Turun.. turun.. dan turun.. aku tahu kami semua lelah. Namun
jangan sampai esok melewatkan kesempatan berharga. Puasa pertama
bersama keluarga.
======== ON THE WAY ========
Aku berpegangan erat pada tiang-tiang bulat yang menggantung di
atas kepala. Ardian, Tebo, Dinner, Gufrron, Ebes, & Dhoni
berbaris tepat bak anak paskibra di sela-sela kursi penumpang.
Wajahnya terlihat lelah. Kami tidak kebagian duduk. Selain manula,
hanya ibu hamil yang berhak mendapat perlakuan istimewa di dalam
bus.
Banyak kisah mulai dari suara siluman, tendangan tenda, bau
kembang, pasar dieng, kuburan tanpa nama, 3 Pendaki dan lain
sebagainya yang pasti tidak akan sempat saya ceritakan di sini.
Namun akan saya sempatkan cerita demi pembaca yang berbahagia
ini. Didalam bus yang sumpek ini, dan hanya aku saja yang kebagian
tempat duduk karena penumpang lain ada yang keluar sebelum sampai
disurabaya. Aku sempatkan mengobrol, menghibur diri diatas
penderitaan teman-teman yang berdiri.
Pada awal keberangkatan, dimana Ebes dan Dinner memilih
membungkam mulut ketika aku bercerita mengenai suara macan. Ebes
bilang itu adalah suara siluman yang mengintai para pendaki.
Menunggu seseorang untuk dijadikan tumbalnya. Namun, aahh.. aku tak
terlalu percaya. Mungkin saja memang siluman asli. Seumur hidup
rasanya aku belum pernah bertemu dengan hal mistis. Selalu saja ada
hal yang bisa dijelaskan dibalik sesuatu.
Kemudian kesaksian ardian ketika mencium bau kembang saat
menuruni gunung. Dan setelah itu kami semua tersesat di wilayah
bernama Pasar Dieng. Mitosnya, Pasar ini adalah pasar hantu. Banyak
yang datang menyaksikan hiruk pikuk pasar di dekat puncak. Agak
janggal memang, namun banyak saksi hidup. Mereka mengaku telah
membeli sesuatu dari pasar dieng. Dan ketika pulang kerumah,
didapati barangnya lenyap tak berbekas. Hanya tersisa uang
kembalian yang secara ajaib berganti menjadi uang-uang kuno zaman
kerajaan. Ada juga yang terperangkap dalam dunia “mereka” tanpa
pernah kembali dalam waktu yang singkat.
Sebelum itu, di Lembah Kidang. Saat ketika Ebes menyanyikan lagu
nasional dangdut malaysianya itu. Ternyata ada mereka dari dunia
lain yang merasa terusik oleh suara yang mengganggu tersebut. Ebes
menyaksikan sendiri bagaimana plastik yang tadinya diam tiba-tiba
tertarik sesuatu tanpa ada angina ataupun hewan lainnya. Bayangan
seseorang yang berputar mengelilingi tenda. Dan serangan fisik yang
terjadi pada tenda. Seolah tenda dilempari batu oleh seseorang dari
arah atas. Namun, Ebes tahu itu bukan batu. Dan karena alasan itu
Ebes enggan beranjak dari tendanya saat pukul 2 dinihari.
Ingat?
Kuburan tanpa nama dan 3 pendaki sepertinya sudah saya ceritakan
diatas. Gunung merupakan tempat yang misterius. Kita tak tahu apa
yang akan terjadi. Bahkan suara langkah sepatu yang berat pun saya
dengar tanpa terlihat siapa pemiliknya. Kebetulan saat
kesendirianku dengan hutan dilangit yang mulai menggelap itu
bertepatan dengan bulan suci. Semua setan terbelenggu bukan? Itu
cukup menenangkan hatiku sementara itu. Sungguh indah bulan
Ramadhan.
==Tentang penulis==
Namaku Muhammad Yusuf Awali Taufiqi, Bersekolah di SMAN 16
Surabaya. Aku memang suka buku dan alam. 2 hal ini seolah tak bisa
dipisahkan dari hidupku. Jika tak masuk teknik lingkungan, mungkin
aku akan masuk ilmu komunikasi. Itu semua terbentuk dari beberapa
kegiatan yang sekarang saya tekuni. Pecinta alam, Eco School. Dan
Hai School Crew yang merupakan program dari majalah Hai. Seringkali
dan senang rasanya aku mengikuti berbagai seminar. Jika ada sebuah
gelar, mungkin salah satu gelar yang cocok ialah “event maniac”
wehehe. Berkenalan dengan orang baru merupakan pengalaman tak
terlupakan dalam hidupku.
Ini beberapa dokumentasi saat pendakian arjuna