BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Pemilihan umum di Indonesia menganut asas (LUBER) yang merupakan singkatan dari "Langsung, Umum, Bebas dan Rahasia". Asal asas LUBER sudah ada sejak zaman Orde Baru berdasarkan UUD 1945. Kemudian di era reformasi di ganti dengan asas (JURDIL) yang merupakan singkatan dari Jujur dan Adil sesuai amandemen sesuai amandemen UUD 1945.. Peningkatan Pemilihan Umum (PEMILU) di Indonesia begitu berkembang pesat dan juga telah banyak dimanfaatkan oleh para kandidat atau Partai Politik (PARPOL) sebagai kontestan PEMILU dalam melaksanakan Pemilihan Legislatif (PILCALEG), Pemilihan Presiden (PILPRES), dan termasuk Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA) untuk merebut posisi Gubernur dalam Pemilihan Gubernur (PILGUB) dan merebutkan posisi Walikota dalam Pemilihan Walikota (PILWAKO) atau merebutkan posisi Bupati dalam pemilihan Bupati (PILBUP). Dalam setiap pesta demokrasi di Indonesia, terjadi persaingan yang tajam yang dipertontonkan oleh para kandidat bahkan tidak kurang yang tidak siap menerima kekalahan. Sadar atau tidak sadar negara kita sedang menuju pada proses demokrasi yang terbuka dan banyak peraturan yang diadopsi dari negara-negara 1
295
Embed
webandikamongilala.files.wordpress.com€¦ · Web viewBAB 1. PENDAHULUAN. 1.1. Latar Belakang Penelitian. Pemilihan umum di Indonesia menganut asas (LUBER) yang merupakan singkatan
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penelitian
Pemilihan umum di Indonesia menganut asas (LUBER) yang merupakan singkatan dari
"Langsung, Umum, Bebas dan Rahasia". Asal asas LUBER sudah ada sejak zaman Orde Baru
berdasarkan UUD 1945. Kemudian di era reformasi di ganti dengan asas (JURDIL) yang
merupakan singkatan dari Jujur dan Adil sesuai amandemen sesuai amandemen UUD 1945..
Peningkatan Pemilihan Umum (PEMILU) di Indonesia begitu berkembang pesat dan juga
telah banyak dimanfaatkan oleh para kandidat atau Partai Politik (PARPOL) sebagai kontestan
PEMILU dalam melaksanakan Pemilihan Legislatif (PILCALEG), Pemilihan Presiden
(PILPRES), dan termasuk Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA) untuk merebut posisi Gubernur
dalam Pemilihan Gubernur (PILGUB) dan merebutkan posisi Walikota dalam Pemilihan
Walikota (PILWAKO) atau merebutkan posisi Bupati dalam pemilihan Bupati (PILBUP). Dalam
setiap pesta demokrasi di Indonesia, terjadi persaingan yang tajam yang dipertontonkan oleh
para kandidat bahkan tidak kurang yang tidak siap menerima kekalahan. Sadar atau tidak sadar
negara kita sedang menuju pada proses demokrasi yang terbuka dan banyak peraturan yang
diadopsi dari negara-negara maju di Eropa dan Amerika, puncaknya disaat kepemimpinan
Amien Rais di MPR RI, penetapan peraturan-mengenai pemilihan kepala negara secara
Langsung, dan sampai saat ini juga masih banyak aturan-aturan yang ditetapkan yang
mengarah ke sistem demokrasi langsung, dan membebaskan pembentukan Partai Politik di
Indonesia, sehingga Partai begitu banyak. Berikut ini merupakan bias dari adopsi aturan
Sistem Multi Partai politik di Indonesia yaitu:
Pemilih kini lebih bebas menentukan pilihannya, dan termasuk cukup banyak pemilih
sebagai GOLPUT (golongan putih) yang menolak ikut memilih. Artinya syarat penerapan
kesediaan menemui dan bersama masyarakat (X6), kesediaan mendatangi tokoh
masyarakat (X7), Dukungan partai politik (X8), dan faktor harga : kelayakan kandidat
untuk memimpin (X9), percaya akan keberhasilan kandidat (X10), dan keyakinan pemilih
akan pilihannya (Y). Koefisien determinasi sebesar 0,543 menunjukkan bahwa proporsi
8
bauran pemasaran dalam menjelaskan keyakinan pemilih adalah sebesar 54,3%. Uji
model dilakukan dengan membandingkan nilai F hiting (66,198) dan F tabel (2,245),
yang membuktikan bahwa model terbukti mampu menjelaskan keyakinan pemilih.
Secara keseluruhan, semua variabel mempengaruhi keyakinan pemilih, artinya semua
item dapat dilakukan kandidat untuk mempengaruhi calon pemilih, namun karena
berdasarkan uji signifikansi masing-masing variabel menunjukkan bahwa atribut yang
nyata diterima untuk meyakinkan pemilih adalah Citra kandidat (X1), Program yang
ditawarkan kandidat mengatasi persoalan masyarakat (X3), Iklan yang dilakukan (X4),
kesediaan menemui konstituen (X7) dan Percaya kandidat akan berhasil (X10), maka
variabel lain yang diamati dalam penelitian ini tidak berpengaruh menumbuhkan
keyakinan pemilih. Namun setelah dikaji satu demi satu dari atribut tersebut ternyata
cenderung dalam pemilihan PILKADA Kota Malang ini hanya 5 atribut saja. Hal ini
terjadi karena adanya pasangan incumbent dalam PILKADA ini yang membuat
pertimbangan lain menjadi tertutup oleh karena ada kandidat yang sudah dikenal,
program dan keberhasilan yang jelas dan lebih pasti.
Analisa Persamaan dengan penelitian saya yaitu terdapat beberapa variabel yang
menunjukkan bahwa penelitian ini sama-sama mengukur seberapa signifikan variable-
varibel yang berkaitan erat dengan strategi Pemasaran politik terhadap pilihan nanti atau
dalam penelitian saya mengenai sales promotion kandidat atau kampanye jangka waktu
pendek.
Analisa uji beda terdapat pada banyaknya variabel yang diteliti dan tujuan penelitian,
pada peneltian ini banyak berbicara tentang bagimana strategi marketing politik dalam
proses meyakinkan pemilih,berbeda dengan penelitian saya yaitu lebih banyak
berbicara khusus profil kandidat masa lalu.
9
2. Analisis Brand Equity Calon Gubernur dan Wakil Gubernur provinsi Lampung pada
PILGUB Langsung tahun 2008 dari perspektif marketing Politik (studi dikalangan
perempuan pemilih dikeluruhan kampung baru kedaton bandar lampung), analisis yang
digunakan kualitatif dengan penarikan sample menggunakan purposive sampling
sebanyak 35 responden perempuan. Kesimpulan dari penelitian ini adalah brand
awarness tertinggi ditempati oleh pasangan zulkifli anwar dan akmadi sumaryanto
dengan pasar sebesar 51, 40 %, untuk perceived quality tertinggi di tempati pasangan
puhajir utomo dan andi arief, untuk brand association, pasangan sofyan jacoeb dan
bambang W.U diasosiakan sebagai pasangan bercitra bagus, untuk kejujuran di tempati
pasangan zulkufli anwar. Brand loyalty tertinggi ditempati oleh pasangan UJ dengan
pemilih sebesar 31,43 %
Analisa persamaan dengan penelitian saya yaitu sama-sama meneliti variabel brand
equity dibidang politik
Analisa uji beda terdapat pada jenis penelitian analisis faktor, kualitatif, sampel para
perempuan saja untuk penelitian ini dan analisis pengaruh, analisis kuantitatif, dan
sampel untuk mahasiswa umum untuk penelitian saya.
3. Penelitian oleh “Pierre Valette-Florence, Haythem Guizani, Dwight Merunka (2009) The
impact of brand personality and sales promotions on brand equity, hasil penelitian :
dampak positif dari kepribadian merek dan dampak negative promosi penjualan
intensitas pada ekuitas merek pada tingkat agregat. Mela, Ataman, dan Van Heerde
(2006) menemukan bahwa di antara lima dipilih variabel-variabel bauran pemasaran,
promosi moneter ulang berdampak negatif ekuitas merek.
Analisa persamaan terdapat pada varibel-variabel yang akan diteliti, serta tujuan
penelitian pada umumnya.
10
Analisa uji beda terdapat pada tujuan masing-masing yaitu peneltian ini banyak
berbicara tentang produk marketing pure business namun pada penelitian saya lebih
spesifik pada penelitian politik dibidang marketing.
Tabel 2.1
Hasil Penelitian terdahulu serta penelitian ini
NO. JUDUL PENELITIAN
NAMA PENELITI
VARIABEL HASIL PENELTIAN
1. Peranan Pemasaran Politik Kandidat Dalam Meyakinkan Pemilih Pada PILKADA Kota Malang
Widji Astuti, (2008)
Citra kandidat, Kemampuan orasi/debat , Program yang ditawarkan, Iklan kandidat, Publisitas kandidat, kesediaan menemui dan bersama masyarakat, kesediaan mendatangi tokoh masyarakat, Dukungan partai politik, kelayakan kandidat untuk memimpin, percaya akan keberhasilan kandidat keyakinan, pemilih akan pilihannya
Secara keseluruhan, semua variabel mempengaruhi keyakinan pemilih, artinya semua item dapat dilakukan kandidat untuk mempengaruhi calon pemilih, namun karena berdasarkan uji signifikansi masing-masing variabel menunjukkan bahwa atribut yang nyata diterima untuk meyakinkan pemilih
2. Analisis Brand Equity Calon Gubernur dan Wakil Gubernur provinsi Lampung pada PILGUB Langsung tahun 2008 dari perspektif marketing Politik (studi dikalangan perempuan pemilih dikeluruhan kampung baru kedaton egati lampung)
brand egative tertinggi ditempati oleh pasangan zulkifli anwar dan akmadi sumaryanto dengan pasar sebesar 51, 40 %, untuk perceived quality tertinggi di tempati pasangan puhajir utomo dan andi arief, untuk brand association, pasangan sofyan jacoeb dan bambang W.U diasosiakan sebagai pasangan bercitra bagus, untuk kejujuran di tempati pasangan zulkufli anwar. Brand loyalty tertinggi ditempati oleh pasangan UJ
11
dengan pemilih sebesar 31,43 %
3. The impact of brand personality and sales promotions on brand equity
Pierre Valette-Florence dkk (2009)
Brand Personality, Sales Promotion, Brand Equity
dampak positif dari kepribadian merek dan dampak negative promosi penjualan intensitas pada ekuitas merek pada tingkat agregat. Mela, Ataman, dan Van Heerde (2006) menemukan bahwa di antara limadipilih variabel-variabel bauran pemasaran, promosi moneter ulangberdampak negative ekuitas merek.
4. Pengaruh Brand Personality dan Sales Promotion terhadap Brand Equity Kandidat Gubernur SULUT 2010 ( Studi kasus menurut persepsi mahasiswa Fakultas Ekonomi UNSRAT)
Andika Mongilala
Brand Personality, Sales Promotion, Brand Equity
Variabel Brand personality dan sales promotion menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap brand equity pada pilkada Gubernur 2010, variabel brand personality dianggap variabel yang sangat dominan dalam penelitian ini.
Sumber : Olahan peneliti
12
2.2 Landasan Teori
2.2.1 Manajemen Pemasaran (Marketing Management)
A. Pengertian Pemasaran
Ada beberapa definisi mengenai pemasaran diantaranya adalah :
1. Menurut Kotler pemasaran adalah kegiatan manusia yang diarahkan untuk memenuhi
kebutuhan dan keinginan melalui proses pertukaran.
2. Menurut Kotler & Amstrong, Pemasaran adalah sebagai suatu proses sosial dan
managerial yang membuat individu dan kelompok memperoleh apa yang mereka
butuhkan dan inginkan lewat penciptaan dan pertukaran timbal balik produk dan nilai
dengan orang lain.
3. Pemasaran adalah suatu sistem total dari kegiatan bisnis yang dirancang untuk
merencanakan, menentukan harga, promosi dan mendistribusikan barang- barang
yang dapat memuaskan keinginan dan mencapai pasar sasaran serta tujuan
perusahaan.
4. Menurut Stanton, pemasaran adalah sistem keseluruhan dari kegiatan usaha yang
ditujukan untuk merencanakan, menentukan harga, mempromosikan dan
mendistribusikan barang dan jasa yang dapat memuaskan kebutuhan pembeli maupun
pembeli potensial.
B. Konsep Pemasaran
Konsep-konsep inti pemasaran meluputi: kebutuhan, keinginan, permintaan,
produksi, utilitas, nilai dan kepuasan; pertukaran, transaksi dan hubungan pasar,
pemasaran dan pasar. Kita dapat membedakan antara kebutuhan, keinginan dan
permintaan. Kebutuhan adalah suatu keadaan dirasakannya ketiadaan kepuasan
dasar tertentu. Keinginan adalah kehendak yang kuat akan pemuas yang spesifik
13
terhadap kebutuhan-kebutuhan yang lebih mendalam. Sedangkan Permintaan adalah
keinginan akan produk yang spesifik yang didukung dengan kemampuan dan
kesediaan untuk membelinya.
C. Manajemen Pemasaran
Manajemen pemasaran berasal dari dua kata yaitu manajemen dan pemasaran.
Menurut Kotler dan Armstrong pemasaran adalah analisis, perencanaan,
implementasi, dan pengendalian dari program-program yang dirancang untuk
menciptakan, membangun, dan memelihara pertukaran yang menguntungkan dengan
pembeli sasaran untuk mencapai tujuan perusahaan.Sedangakan manajemen adalah
proses perencanaan (Planning), pengorganisasian (organizing) penggerakan
(Actuating) dan pengawasan. Jadi dapat diartikan bahwa Manajemen Pemasaran
adalah sebagai analisis, perencanaan, penerapan, dan pengendalian program yang
dirancang untuk menciptakan, membangun, dan mempertahankan pertukaran yang
menguntungkan dengan pasar sasaran dengan maksud untuk mencapai tujuan –
tujuan organisasi.
MACAM-MACAM KONSEP PEMASARAN
I. Konsep Pemasaran
Konsep pemasaran mengatakan bahwa kunci untuk mencapai tujuan
organisasi terdiri dari penentuan kebutuhan dan keinginan pasar sasaran serta
memberikan kepuasaan yang diharapkan secara lebih efektif dan efisien dibandingkan
para pesaing.
Konsep pemasaran yang telah diungkapkan dengan berbagai cara:
1. Temukan keinginan pasar dan penuhilah.
2. Buatlah apa yang dapat dijual dan jangan berusaha menjual apa yang dapat dibuat.
14
3. Cintailah pelanggan, bukan produk anda.
4. Lakukanlah menurut cara anda (Burger king)
5. Andalah yang menentukan (United Airlines)
6. Melakukan segalanya dalam batas kemampuan untuk menghargai uang pelanggan
yang sarat dengan nilai, mutu dan kepuasan (JC. Penney).
Dalam pemasaran terdapat enam konsep yang merupakan dasar pelaksanaan
kegiatan pemasaran suatu organisasi yaitu : konsep produksi, konsep produk, konsep
penjualan, konsep pemasaran, konsep pemasaran sosial, dan konsep pemasaran
global.
1. Konsep produksi
Konsep produksi berpendapat bahwa konsumen akan menyukai produk yang tersedia
dimana-mana dan harganya murah. Konsep ini berorientasi pada produksi dengan
mengerahkan segenap upaya untuk mencapai efesiensi produk tinggi dan distribusi
yang luas. Disini tugas manajemen adalah memproduksi barang sebanyak mungkin,
karena konsumen dianggap akan menerima produk yang tersedia secara luas dengan
daya beli mereka.
2. Konsep produk
Konsep produk mengatakan bahwa konsumen akan menyukai produk yang
menawarkan mutu, performansi dan ciri-ciri yang terbaik. Tugas manajemen disini
adalah membuat produk berkualitas, karena konsumen dianggap menyukai produk
berkualitas tinggi dalam penampilan dengan ciri – ciri terbaik
3. Konsep penjualan
Konsep penjualan berpendapat bahwa konsumen, dengan dibiarkan begitu saja,
organisasi harus melaksanakan upaya penjualan dan promosi yang agresif.
4. Konsep pemasaran
15
Konsep pemasaran mengatakan bahwa kunsi untuk mencapai tujuan organisasi terdiri
dari penentuan kebutuhan dan keinginan pasar sasaran serta memberikan kepuasan
yang diharapkan secara lebih efektif dan efisien dibandingkan para pesaing.
5. Konsep pemasaran sosial
Konsep pemasaran sosial berpendapat bahwa tugas organisasi adalah menentukan
kebutuhan, keinginan dan kepentingan pasar sasaran serta memberikan kepuasan
yang diharapkan dengan cara yang lebih efektif dan efisien daripasda para pesaing
dengan tetap melestarikan atau meningkatkan kesejahteraan konsumen dan
masyarakat.
6. Konsep Pemasaran Global
Pada konsep pemasaran global ini, manajer eksekutif berupaya memahami semua
faktor- faktor lingkungan yang mempengaruhi pemasaran melalui manajemen strategis
yang mantap. tujuan akhirnya adalah berupaya untuk memenuhi keinginan semua
pihak yang terlibat dalam perusahaan.
2.2.2 Konsep Pemasaran Politik (Political Marketing)
Marketing politik menyediakan perangkat teknik dan metode marketing dalam dunia
politik (Firmanzah, 2007)
Menurut Firmanzah (2008:203), dalam proses Political Marketing, digunakan
penerapan 4Ps bauran marketing, yaitu:
1. Produk (product) berarti partai, kandidat dan gagasan-gagasan partai yang akan
disampaikan konstituen.produk ini berisi konsep, identitas ideologi. Baik dimasa
lalumaupun sekarang yang berkontribusi dalam pembentukan sebuah produk politik.
16
2. Promosi (promotion) adalah upaya periklanan, kehumasan dan promosi untuk sebuah
partai yang di mix sedemikian rupa sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Dalam hal
ini, pemilihan media perlu dipertimbangkan.
3. Harga (price), mencakup banyak hal, mulai ekonomi, psikologis, sampai citra nasional.
Harga ekonomi mencakup semua biaya yang dikeluarkan partai selama periode
kampanye. Harga psikologis mengacu pada harga persepsi psikologis misalnya,
pemilih merasa nyaman, dengan latar belakang etnis, agama, pendidikan dan lain-
lain . Sedangkan harga citra nasional berkaitan dengan apakah pemilih merasa
kandidat tersebut dapat memberikan citra positif dan dapat menjadi kebanggaan
negara.
4. Penempatan (place), berkaitan erat dengan cara hadir atau distribusi sebuah partai
dan kemampuannya dalam berkomunikasi dengan para pemilih. Ini berati sebuah
partai harus dapat memetakan struktur serta karakteristik masyarakat baik itu geografis
maupun demografis.
Menggunakan 4Ps marketing dalam dunia politik menjadikan marketing politik tidak
hanya sebatas masalah iklan, tetapi lebih komprehensif. Marketing politik menyangkut
cara sebuah institusi politik atau PARPOL ketika menformulasikan produk politik,
menyusun program publikasi kampanye dan komunikasi politik, strategi segmentasi
untuk memenuhi kebutuhan lapisan masyarakat sampai ke perhitungan harga sebuah
produk politik (Firmanzah, 2008: 211).
Jadi, inti dari political marketing adalah mengemas pencitraan, publik figur dan
kepribadian (brand personality) seorang kandidat yang berkompetisi dalam konteks
Pemilihan Umum (PEMILU) kepada masyarakat luas yang akan memilihnya (Ibham:
2008). Dalam hal ini tujuan marketing dalam politik adalah bagaimana membantu
PARPOL untuk lebih baik dalam mengenal masyarakat yang diwakili atau menjadi
target dan kemudian mengembangkan isu politik yang sesuai dengan aspirasi mereka.
17
Konsep pemasaran atau marketing yang selama ini dikenal dengan bauran
pemasaran konvensional Jerome McCarthyn (1957), yaitu terdiri komponen ‘4-Ps’
(product, price, place and promotion), kini telah berkembang menjadi dan sekaligus
mempopulerkan salah satu pelaksanaan kegiatan bidang pemasaran politik atau yang
disebut dengan political marketing. Pengembangan selanjutnya mengenai konsep
pemasaran tersebut ke bidang lainnya secara lebih aplikatif, kreatif dan inovatif oleh
pakar pemasaran moderen, Kotler pada tahun 1980-an yang merambah ke bidang
selain program pemasaran yang bertujuan komersial, maupun non komersial yakni
pemasaran bidang sosial atau kesejahteraan sosial, lalu berkembang lagi menjadi
konsep komunikasi pemasaran terpadu dan hingga ke aktivitas pemasaran bidang
politik. Didukung berkembangnya sistem pemerintahan Indonesia yang demokratis
seperti sekarang ini, maka fungsi dan peranan saluran media massa baik cetak
maupun media elektronik, radio, internet dan ditambah dengan banyaknya saluran
stasiun televisi yang bermunculan baik secara nasional atau TV lokal daerah ikut
menggiatkan atau menyebarluaskan pesan-pesan, pemberitaan atau informasi melalui
berbagai bentuk komunikasi pemasaran, dan pemasaran politik, program kampanye
politik melalui saluran media publikasi, public relations, promosi, kontak personal dan
kreativitas periklanan politik (political advertising) yang terpapar secara luas tanpa
sekat atau bahkan melampaui batas-batas negeri atau borderless country kepada
seluruh para pemirsanya tanpa terkecuali. Dikaitkan dengan pembahasan
penyebarluaskan arus informasi dalam era globalisasi tersebut terdapat mitos yang
mampu menciptakan ketiadaan ruang, jarak dan waktu sebagai akibat kebebasan
masyarakat memperoleh informasi secara bebas, langsung tanpa tekanan, tidak ada
lagi batasan teritorial, tidak ada lagi sesuatu peristiwa atau kejadian tanpa kecuali yang
dapat ditutup-ditutupi oleh setiap negara, lembaga lainnya dan termasuk upaya
perorangan ingin menyembunyikan sesuatu informasi demi kepentingan sepihak.
18
Pendekatan kampanye politik atau political campaign approach untuk mendukung
penggiatan pemasaran politik atau political marketing activity tersebut sebagai upaya
selain bertujuan untuk :
1. Membentuk preferensi bagi pihak setiap pemilih dalam menentukan suaranya, tujuan
lainnya adalah;
2. Ingin merangkul simpati pihak kelompok-kelompok atau the third influencer of person
and groups seperti tokoh masyarakat, agama, adat, eksekutif dan artis atau selebritis
terkenal lainnya.
3. Memiliki daya tarik bagi kalangan media massa baik cetak maupun elektronik,
termasuk memanfaatkan penggunaan atribut kampanye, poster, spanduk, iklan politik
di media-massa, termasuk melalui situs atau blog internet untuk mempengaruhi
pembentukan opini publik dan citra secara positif demi kepentingan membangun
populeritas tinggi atau menebar pesona sang kandidat dan aktivitas parpol yang
bersangkutan sebagai kontestan yang siap berlaga dalam setiap siklus pelaksanaan
Pemilihan Umum
Menurut Kotler and Neil (1999:3), bahwa konsep political marketing, atau pengertian
Political Marketing adalah:
“Suatu penggiatan pemasaran untuk menyukseskan kandidat atau partai politik dengan segala aktivitas politiknya melalui kampanye program pembangunan perekonomian atau kepedulian sosial, tema, isu-isu, gagasan, ideologi, dan pesan-pesan bertujuan program politik yang ditawarkan memiliki daya tarik tinggi dan sekaligus mampu mempengaruhi bagi setiap warga negara dan lembaga/organisasi secara efektif.”
Khususnya pelaksanaan konsep political marketing tersebut yang pernah
dimanfaatkan oleh salah satu pemimpin dunia yaitu, pasangan Bill Clinton dan Al Gore
tahun 1990-1992 dalam persaingan antar kontestan menjadi kandidat atau calon
Presiden dan Capres Amerika Serikat. Sebagai kampiun demokrasi dan sekaligus
menjadi menjadi tonggak penting sejarah dalam penerapan konsep -konsep
19
pemasaran politik secara efektif untuk berkompetisi dalam Pemilu secara bebas dan
langsung meraih suara terbanyak, tahapan selanjutnya berhasil memenangkan
pertarungan dan terpilih menjadi Prisiden AS ke-45, periode 1993 - 2001.
Menurut Baines (terjemahan dari Nursal 2004:8) bahwa :
“Perkembangan political marketing yaitu pelaksanaannya dimulai dari negara-negara
maju dengan sistem demokrasi seperti pemerintah Amerika Serikat, Uni Eropa,
Jepang, Korea Selatan dan hingga negara berkembang seperti Indonesia”.
Tidak terlepas peranan Charles Baker telah menciptakan suatu konsep iklan politik
sebagai alat media promosi pemasaran politik, dan definisi pemasaran politik kini telah
banyak mengalami perubahan-perubahan dari konsep dan tujuannya,
yaitu :
1. Menurut konsep Shama (1975) & Kotler (1982) yang memberikan penekanan pada
proses terjadinya transaksi antara pemilih dan kandidat.
2. Lock & Harris (1996) yang mengusulkan agar pihak political marketing memperhatikan
positioning and segmentation para kandidat atau parpol.
3. O’Leary & Iradela (1976), yaitu perhatiannya dalam penggunaan marketing-mix untuk
mempromosikan partai-partai politik kepada khalayak sasarannya.
4. Wring (1997) lebih memperhatikan penggunaan survei atau riset opini publik dan
termasuk analisis lingkungan.
Menurut Lees-Marshment (2005: 5–6), produk partai politik terdiri atas delapan
komponen.
1. kepemimpinan (leadership) yang mencakup kekuasaan, citra, karakter, dukungan,
pendekatan,hubungan dengan anggota partai, dan hubungan dengan media.
20
2. anggota parlemen (members of parliament) yang terdiri atas sifat kandidat, hubungan
dengan konstituen.
3. keanggotaan (membership) dengan komponen-komponen kekuasaan, rekrutmen, sifat
(karakter ideologi, kegiatan, loyalitas, tingkah laku, dan hubungan dengan pemimpin.
4. staf (staff), termasuk di dalamnya peneliti, para profesional, dan penasihat.
5. simbol (symbol) yang mencakup nama, logo, lagu/ himne.
6. konstitusi (constitution) berupa aturan resmi dan konvensi.
7. kegiatan (activities), di antaranya konferensi, rapat partai.
8. kebijakan (policies) berupa manifesto dan aturan yang berlaku dalam partai. Jika kita
cermati dengan saksama, kedelapan produk tersebut tidak lain tidak bukan adalah ”isi
perut” partai politik.
Seandainya kedelapan produk itu yang dipasarkan kepada konstituen, dengan
sendirinya akan berlangsung proses pendidikan politik. Konstituen menjadi mengerti
apa yang menjadi gagasan, karsa, dan karya serta orang-orang sebuah parpol.
Bilamana semua parpol melakukan hal yang sama tentu khalayak dapat
membandingkan isi perut antarparpol; partai mana yang lebih menjanjikan perubahan
dan partai mana yang hanya membual saja. Dampak pemasaran politik bersifat
resiprokal artinya politik mempengaruhi pemasaran yang pada akhirnya fungsi
pemasaran akan mempengaruhi opini untuk membangun dukungan politik (Candif &
Hilger 1982)
Dalam pemasaran politik dikenal salah satunya adalah publisitas politik. Publisitas
merupakan upaya mempopulerkan diri kandidat atau institusi partai yang bertarung.
Ada empat bentuk publisitas yang dikenal dalam khazanah komunikasi politik yaitu :
21
a. Dikenal sebagai pure publicity yakni mempopulerkan diri melalui aktivitas masyarakat
dengan setting sosial yang natural atau apa adanya. Misalnya saja, bulan Ramadhan
dan Idul Fitri merupakan siklus aktivitas tahunan sehingga menjadi realitas yang apa
adanya. Kandidat bisa memanfaatkan kesempatan tersebut untuk memasarkan
dirinya. Misalnya dengan mengucapkan “Selamat Menjalani Bulan Ramadhan” atau
“Selamat Tahun Baru Imlek” dengan embel-embel nama atau photo kandidat. Semakin
banyak jenis bentuk pure publicity yang digarap, maka akan semakin populer kandidat.
b. Free ride publicity yakni publisitas dengan cara memanfaatkan akses atau
menunggangi pihak lain untuk turut mempopulerkan diri. Misalnya saja dengan tampil
menjadi pembicara di sebuah forum yang diselenggarakan pihak lain, menjadi sponsor
gerakan anti narkoba, turut berpartisipasi dalam pertandingan olahraga di sebuah
daerah kantung pemilih dan lain-lain.
c. Tie-in publicity yakni dengan memanfaatkan extra ordinary news (kejadian sangat luar
biasa). Misalnya saja peristiwa tsunami, gempa bumi atau banjir bandang. Kandidat
dapat mencitrakan diri sebagai orang atau partai yang memiliki kepedulian sosial yang
tinggi sehingga imbasnya memperoleh simpati khalayak. Sebuah peristiwa luar biasa,
dengan sendirinya memikat media untuk meliput. Sehingga partisipasi dalam peristiwa
semacam itu, sangat menguntungkan kandidat.
d. Paid publicity sebagai cara mempopulerkan diri lewat pembelian rubrik atau program di
media massa. Misalnya, pemasangan advertorial, Iklan spot, iklan kolom, display atau
pun juga blocking time program di media massa. Secara sederhananya dengan
menyediakan anggaran khusus untuk belanja media.
Sejak era reformasi dan kemudian disusul sistem pemilihan presiden dan kepala
daerah secara langsung, terdapat fenomena yang tidak pernah ada pada masa orde
baru yaitu marketing politik. Marketing politik merupakan akibat logis dari dibukanya
22
sistem politik yang demokratis, dimana pemilih bebas menentukan pilihan. Politik yang
demokratis kini analog dengan kompetisi dalam dunia bisnis, dimana kandidat harus
memperebutkan calon pemilih (konsumen) sebagai khalayak sasaran. Salah satu alat
yang lazim digunakan dalam marketing politik adalah iklan, disamping berbagai tools
komunikasi lainnya.
Menurut Yulianti (2004), iklan politik televisi muncul pertama kali tahun 1952 dan selalu
sarat dengan kontroversi. Contoh, iklan politik Lyndon B Johnson tahun 1964, yang
kondang disebut iklan “Bunga Daisy”. Dalam spot iklan ditayangkan seorang gadis cilik
tengah memetik bunga aster (daisy) saat sebuah bom atom meledak dengan jamur api
maha dahsyat membumbung tinggi. Iklan politik itu dimaksudkan untuk menyebarkan
ketakutan rakyat mengenai kecenderungan Barry Goldwater, lawan politik Johnson,
untuk memulai sebuah perang nuklir dengan Uni Soviet. Iklan politik itu hanya
ditayangkan sekali pada 7 September 1964 di televisi CBS sebab Goldwater
mengancam menggugat Johnson dengan tuduhan fitnah dan pencemaran nama baik.
Meski dicabut, iklan itu berulang-ulang ditayangkan dalam pemberitaan setelah
kontroversi menjadi perdebatan publik. “Bunga Daisy” merupakan satu dari ratusan
iklan politik sepanjang lebih dari 50 tahun sejarah perkembangannya. Iklan politik
selalu menarik perhatian publik AS selama 13 kali pemilihan presiden, meski
diperlukan uang luar biasa besar. Pada kampanye Pemilu 1988, tiap calon presiden
mengeluarkan dana rata-rata 228 juta dollar AS untuk belanja iklan politik. Jumlah ini
sekitar 8,4 persen dari biaya kampanye keseluruhan.
Di Indonesia iklan politik semakin penting digunakan para politisi dalam pemilihan
kepala daerah maupun pemilihan presiden, tetapi juga tak lepas dari kontroversi. Pakar
politik Arbi Sanit misalnya menilai langkah sejumlah tokoh politik yang mengiklankan
dirinya di media massa saat ini untuk menghadapi pemilu 2009 merupakan bentuk
23
kecurangan kepada masyarakat. Sebab menurutnya lewat iklan itu masyarakat tak
dapat menilai kapasitas seseorang. Lebih jauh Arbi, seperti dikutip Kompas
mengatakan: “Lewat iklan itu, masyarakat hanya diajak untuk memilih orang yang
populer. Ini menjebak rakyat karena pemimpin tidak cukup bermodalkan popularitas
tetapi harus memiliki pengalaman dan terbukti teruji. Di Indonesia iklan membuat orang
dapat berubah citra dalam waktu singkat. Seharusnya, orang itu juga harus
membuktikan kemampuannya, misalnya membuat partainya memenangi pemilu. Iklan
oleh aktivis parpol terbukti efektif mempengaruhi rakyat. Ini terlihat pada Pemilu 2004.
Momen itu (Pemilu 2004) yang memancing adanya kesalahan jalan politik kita,
terutama lewat iklan.”
Berbeda dengan Arbi Sanit, Ketua Umum Partai Amanat Nasional Soetrisno Bachir
yang juga gencar melakukan iklan politik mengatakan, PAN dan kader yang dimilikinya
memang harus mempromosikan diri. Apalagi, sistem pemilihan presiden langsung
mengharuskan seseorang harus dikenal luas masyarakat sebelum rakyat menentukan
pilihan. Sementara calon presiden lain Wiranto, menyangkal jika iklan tentang
kemiskinan yang dibuatnya belakangan ini bertujuan politis (Kompas, 22 Mei 2008).
Membahas iklan politik memang menarik, apalagi di Indonesia bidang ini belum
banyak dikaji. Selain kontroversi yang meliputinya, isu lain adalah seberapa efektif
sebenarnya iklan politik untuk menjaring massa pemilih. Tanpa kajian yang jelas tentu
para kandidat hanya menghabiskan dana milyaran rupiah dengan percuma untuk
memproduksi dan menayangkan iklan. Pembahasan berikut akan melihat sampai
dimana potensi iklan sebagai alat marketing politik.
24
Potensi Iklan Politik
Menurut Linda Lee Kaid dalam Putra (2007) :
“iklan politik adalah proses komunikasi dimana seorang sumber (biasanya kandidat dan atau partai politik) membeli atau memanfaatkan kesempatan melalui media massa guna meng-exposure pesan-pesan politik dengan sengaja untuk mempengaruhi sikap, kepercayaan dan perilaku politik khalayak.”
Iklan sendiri dapat dimaknai sebagai salah satu bentuk komunikasi yang terdiri atas
informasi dan gagasan tentang suatu produk yang ditujukan kepada khalayak secara
serempak agar memperoleh sambutan baik. Iklan berusaha untuk memberikan informasi,
membujuk dan meyakinkan (Sudiana, 1986:1).
Seperti halnya dengan iklan komersial, tujuan iklan politik tak lain adalah mempersuasi
dan memotivasi pemilih untuk memilih kandidat tertentu. Untuk mencapai tujuan tersebut
iklan politik tampil impresif dengan senantiasa mengedepankan informasi tentang siapa
kandidat (menonjolkan nama dan wajah kandidat), apa yang telah kandidat lakukan
(pengalaman dan track record kandidat, bagaimana posisinya terhadap isu-isu tertentu
(issues posisition) dan kandidat mewakili siapa (group ties). Isi (content) Iklan politik
senantiasa berisi pesan-pesan singkat tentang isu-isu yang diangkat (policy position),
kualitas kepemimpinan (character), kinerja (track record-nya) dan pengalamannya. Iklan
politik, sebagaimana dengan iklan produk komersial yang tak hanya memainkan kata-kata
(word), tetapi juga, gambar, suara dan musik.
Secara umum, ada sembilan tahapan proses terkait dengan pembuatan dan penyiaran
iklan, baik iklan media cetak maupun media elektronik (Johnson, 2001 dalam Nursal 2004:
254), yakni:
25
1. Riset tentang unsur-unsur mana dari bagian produk politik yang akan disampaikan
untuk mendukung positioning kontestan, disampaikan dengan cara apa, melalui media
mana, dan berapa durasi atau luas halaman dan frekuensi pemasangan iklan tersebut.
Riset ini dapat dilakukan dengan focus group analysis, benchmark survey, dan
targeting analysis.
2. Keputusan pembelian, yakni membuat komitmen pembelian ruang atau waktu
terhadap media-media yang dipilih. Hal penting yang harus diperhatikan dalam
pembelian ruang atau waktu media ini adalah masalah optimalisasi penggunaan uang.
Isu penting dalam hal ini adalah bagaimana menggunakan waktu tayang atau ruang
media secara efisien melalui kesepakatan bisnis yang saling menguntungkan antara
kon-testan dengan pihak media.
3. Mengembangkan konsep kreatif iklan yang meliputi desain pesan, penggunaan talent,
visual kunci, suara kunci, dan berbagai aspek kreatif lainnya. Konsep ini didiskusikan
secara mendalam sampai dirasa sempurna.
4. Memproduksi iklan dengan beberapa varian
5. Menguji respon para pembaca atau pemirsa terhadap iklan yang telah diproduksi
tersebut melalui suatu riset. Tahap ini untuk mengetahui responden mana yang paling
mernberikan respon yang diharapkan, dan mendapat masukan mengenai perbaikan
konsep kreatif dan eksekusi iklan.
6. Produksi final iklan adalah menyempurnakan hasil produksi sesuai dengan masukan
dari hasil uji respon responden
7. Peluncuran iklan dengan sebuah konferensi pers untuk mendapat gaung komunikasi
yang luas
8. Menyiarkan iklan
9. Menganalisis dampak iklan yang ditayangkan. Hasil analisis ini memungkinkan untuk
meneruskan, mengubah. atau menghentikan konsep iklan.
26
Iklan politik khususnya iklan audiovisual, memainkan peranan strategis dalam political
menunjukkan, iklan politik berguna untuk beberapa hal berikut:
a. Membentuk citra kontestan dan sikap emosional terhadap kandidat
b. Membantu para pemilih untuk terlepas dari ketidak-pastian pilihan karena mempunyai
kecenderungan untuk memilih kontestan tertentu.
c. Alat untuk melakukan rekonfigurasi citra kontestan.
d. Mengarahkan minat untuk memilih kontestan tertentu
e. Mempengaruhi opini publik tentang isu-isu nasional
f. Memberi pengaruh terhadap evaluasi dan interpretasi para pemilih terhadap kandidat
dan even-even politik
Untuk mencapai sasaran obyektifnya iklan politik, harus menjawab lima pertanyaan dasar
yang diajukan oleh Beaudry dan Schaerier (1986). Pertama, apa pesan tunggal yang paling
penting untuk disampaikan kepada para pemilih. Kedua, siapa para pemilih yang dapat
dipersuasi untuk memilih anda. Ketiga, metode apa yang paling efektif digunakan agar
pesan anda sampai kepada pendukung potensial. Keempat, kapan saat terbaik untuk
menyampaikan pesan anda kepada audiens yang dibidik. Kelima, sumberdaya apa yang
tersedia untuk menyampaikan pesan kepada audiens yang diinginkan (Nursal, 2004:230)
Gaya iklan yang efektif di Amerika dan Asia berbeda karena adanya perbedaan kultur.
Menurut Yukio Nakayama (Cakram, Januari 2002), ada delapan kata kunci agar sebuah
iklan dapat menyentuh perhatian khalayak :
27
1. Emosi. Iklan yang mampu menggugah emosi pemirsanya biasanya akan diterima
secara lebih utuh oleh khalayak sasaran. Mereka akan lebih mudah menjadi bagian
dari iklan yang disajikan.
2. Empati. Dengan upaya membangun empati dalam iklan, pemirsa akan digerakkan
untuk berpihak pada pesan yang akan disampaikan. Hal ini bukan suatu hal yang
mudah, diperlukan cara penyampaian pesan yang relevan dan dapat dipercaya.
3. Obsesi. Perlihatkan dalam iklan bahwa obsession, dan semangat untuk meraih
sesuatu. Konsumen (para pemilih) akan tergerak untuk meraih hal-hal yang positif dan
mengalahkan suatu tantangan.
4. Mimpi. Ini merupakan harapan yang selalu hadir dalam kehidupan manusia. Mimpi
seringkali menjadi pendorong semangat untuk mencapai sesuatu. Kita selalu
mempunyai harapan dan mimpi yang membuat kita selalu menjadi lebih baik dari
waktu ke waktu.
5. Kecerdasan. Konsumen (para pemilih) menghargai kecerdasan yang muncul dari iklan-
iklan yang disaksikannya. Pemirsa bukanlah orang-orang yang bodoh, mereka
menghargai iklan-iklan yang tampil cerdas dan mampu membuat mereka berseru: aha!
6. Moral. Sisi moral merupakan bagian penting dari kehidupan anak manusia. Kejelian
mengolah hal ini membuat sebuah ikian akan terus dikenang.
7. Realitas. Kenyataan dalam kehidupan sehari-hari, yang tak dapat kita tolak, membuat
iklan betul-betul scbagai realitas. Suatu hal yang nyata dan terjadi di sekitar kita.
8. Tenderness. Sikap kasih dan pengertian merupakan hal penting yang mampu
membuat konsumen ikut bersama pesan yang disampaikan.
Lebih jauh iklan politik juga berfungsi membentuk image kandidat. Iklan sebagai
bagian dari marketing politik adalah serangkaian aktivitas untuk menanamkan image
politik di benak masyarakat dan meyakinkan publik mengenainya. Menurut Peteraf dan
28
Shanley (1997) image bukan sekadar masalah persepsi atau identifikasi saja, tetapi
juga memerlukan pelekatan (attachment) suatu individu terhadap kelompok atau
group. Pelekatan ini dapat dilakukan secara rasional maupun emosional. Image politik,
menurut Herrop (1990), dapat mencerminkan tingkat kepercayaan dan kompetensi
tertentu partai politik. Di sini, image politik didefinisikan sebagai konstruksi atas
representasi dan persepsi masyarakat (publik) akan suatu partai politik atau individu
mengenai semua hal yang terkait dengan aktivitas politik.
Image politik seperti terlihat dalam produk iklan tidak selalu mencerminkan realitas
obyektif. Suatu image politik juga dapat mencerminkan hal yang tidak real atau
imajinasi yang terkadang bisa berbeda dengan kenyataan fisik. Image politik dapat
diciptakan, dibangun dan diperkuat. Image politik dapat melemah, luntur dan hilang
dalam sistem kognitif masyarakat. Image politik memiliki kekuatan untuk memotivasi
aktor atau individu agar melakukan suatu hal. Di samping itu, image politik dapat
memengaruhi pula opini publik sekaligus menyebarkan makna-makna tertentu.
Misalnya, katakanlah suatu partai politik memiliki image sebagai partai yang
tiradisional, di mana nilai-nilai tradional lokal menjadi tujuan perjuangan. Image
tersebut dapat memotivasi aktor-aktor politik dalam partai tersebut untuk selalu
mengacu pada hal-hal yang bersifat tradisional. Selain itu, masyarakat awam pun
niscaya memposisikan partai tersebut sebagai institusi yang memperjuangkan nilai-
nilai tradisional. Perlu dicatat di sini bahwa ciri tradisional sering dibedakan dengan
modern. Ketika suatu partai politik dicap sebagai tradisionalis, otomatis partai tersebut
memiliki sistem nilai yang bertolak belakang dengan ide-ide modern.
Linda Kaid (dalam Putra, 2007) lebih lanjut menjelaskan, ada tiga pengaruh iklan
televisi terhadap para pemilih, yakni pengetahuan pemilih, persepsi terhadap
kontestan, dan preferensi pilihan. Pengaruh pertama ditunjukkan oleh identifikasi nama
29
kontestan atau kandidat yang disebut sebagai brand name recognition. Untuk
identifikasi nama, iklan lebih efektif dibandingkan komunikasi melalui pemberitaan,
khususnya untuk kandidat atau kontestan baru. Para pemilih juga lebih mudah
mengetahui isu-isu spesifik dan posisi kandidat terhadap isu tertentu melalui iklan
dibandingkan dengan pemberitaan. Pemilih yang tingkat keterlibatannya sedikit dalam
kampanye lebih terpengaruh oleh iklan politik.
Pengaruh kedua adalah efek pada evaluasi kandidat atau kontestan. Iklan televisi
memberi dampak signifikan terhadap tingkat kesukaan terhadap kontestan atau
kandidat, khususnya terhadap policy serta kualitas kandidat yang meliputi kualitas
instrumental, dimensi simbolis. dan feno-tipe optis (karakter verbal dan nonverbal).
Dampak tersebut bisa negatif dan bisa pula positif. Tingkat pengaruh tersebut
tergantung pada konsep kreatif, eksekusi produksi, dan penempatan iklan tersebut.
Pengaruh ketiga adalah preferensi pilihan. Berbagai stu-di eksperimental
menunjukkan, iklan politik mempunyai pengaruh terhadap preferensi pilihan,
khususnya bagi pe-milih yang menetapkan pilihan pada saat-saat terakhir. Variabel
penting yang mempengaruhi preferensi tersebut adalah formasi citra dan tingkat
awareness para pemilih terhadap kontestan. Pemilih yang keteriibatannya dalam dunia
politik rendah lebih mudah dipengaruhi oleh iklan politik dibandingkan pemilih yang
keteriibatannya lebih tinggi.
Dari sisi sifat pesan, iklan dapat juga digolongkan menjadi iklan positif dan iklan
negatif. Iklan positif adalah iklan yang memuat keunggulan dari sebuah kontestan yang
dipasarkan Sedangkan iklan negatif adalah iklan tentang kelemahan pesaing. Iklan
negatif lebih cepat menarik per-hatian pemilih ketimbang iklan positif. Namun demikian,
30
iklan negatif tidak selalu memberi citra positif kepada pi-hak yang menggunakan.
Karena itu, penggunaan iklan negatif harus memperhitungkan risikonya.
Nursal (2004: 234) mengadaptasi Kotler (1995) dan Peter dan Olson (1993), ada
beberapa tahap respon pemilih terhadap stimulasi tersebut:
1. Awareness, yakni bila seseorang dapat mengingat atau menyadari bahwa sebuah
pihak tertentu merupakan sebuah kontestan Pemilu. Dengan jumlah kontestan Pemi-lu
yang banyak, membangun awareness cukup sulit dila-kukan, khususnya bagi partai-
partai bam. Seperti sudah menjadi hukum besi political marketing, secara umum para
pemilih tidak akan menghabiskan waktu dan ener-ginya untuk menghafal nama-nama
kontestan tersebut. Yang terang, seorang pemilih tidak akan memilih kontestan yang
tidak memiliki Brand awareness.
2. Knowledge, yakni ketika seorang pemilih mengetahui beberapa unsur penting
mengenai produk kontestan tersebut, baik substansi maupun presentasi. Unsur-unsur
itu akan diinterpretasikan sehingga membentuk makna politis tertentu dalam pikiran
pemilih. Dalam pemasaran produk komersial, tahap ini disebut juga sebagai tahap
pembentuk brand association dan perceived quality.
3. Liking, yakni tahap di mana seorang pemilin menyukai kontestan tertentu karena satu
atau lebih makna politis yang terbentuk di pikirannya sesuai dengan aspirasinya.
4. Preference, tahap di mana pemilih menganggap bahwa satu atau beberapa makna
politis yang terbentuk sebagai interpretasi terhadap produk politik sebuah kontestan
tidak dapat dihasilkan secara lebih memuaskan olch kontestan lainnya. Dengan
demikian, peniilih tersebut memiliki kecenderungan unluk memilih kontestan tersebut.
5. Conviction, pemilih tersebut sampai pada keyakinan untuk memilih kontestan tertentu.
Sedangkan tipe-tipe pemilih dapat dibedakan sebagai berikut (Firmanzah, 2007):
31
Pemilih Rasional
Pemilih memiliki orientasi tinggi pada “policy-problem-solving” dan berorientasi rendah
untuk faktor ideologi. Pemilih dalam hal ini lebih mengutamakan kemampuan partai
politik atau calon kontestan dalam program kerjanya.
Pemilih Kritis
Pemilih jenis ini merupakan perpaduan antara tingginya orientasi pada kemampuan
partai politik atau seorang kontestan dalam menuntaskan permasalahan bangsa
maupun tingginya orientasi mereka akan hal-hal yang bersifat ideologis.
Pemilih Tradisional
Pemilih dalam jenis ini memiliki orientasi ideologi yang sangat tinggi dan tidak terlalu
melihat kebijakan partai politik atau seorang kontestan sebagai sesuatu yang penting
dalam pengambilan keputusan. Pemilih tradisional sangat mengutamakan kedekatan
sosial-budaya, nilai, asal usul, faham dan agama sebagai ukuran untuk memilih
sebuah partai politik. Untuk Indonesia, pemilih jenis ini masih merupakan mayoritas.
Pemilih Skeptis
Pemilih keempat adalah pemilih yang tidak memiliki orientasi ideologi cukup tinggi
dengan sebuah partai politik atau seorang kontestan, juga tidak menjadikan kebijakan
sebagai sesuatu yang penting. Keinginan untuk terlibat dalam sebuah partai politik
pada pemilih jenis ini sangat kurang, karena ikatan ideologis mereka memang rendah
sekali. Mereka juga kurang memedulikan “platform” dan kebijakan sebuah partai politik.
32
Kritik terhadap Iklan Politik
Al Ries dan Laura Ries (2002) melalui karyanya yang menyentak kalangan periklanan,
The Fall of Advertising and the Rise of PR, menyebut era periklanan tengah berakhir.
Iklan gagal menyajikan kredibilitas di hadapan pemirsa dan meningkatkan penjualan
produk. Ries dan Ries sendiri bukan antiperiklanan; keduanya meletakkan periklanan
sebagai kelanjutan public relations (PR). PR-lah yang membentuk merek (citra), yang
selanjutnya diperteguh iklan. Jadi, memercayai iklan untuk meyakinkan pemirsa akan
kredibilitas isi tayangannya menjadi pekerjaan sia-sia.
Iklan adalah murni wilayah komersial, siapa pun bisa beriklan asal mampu membayar.
Logis jika partai besar dengan sumber dana berlimpah lebih mampu beriklan
ketimbang parpol gurem. Ketika beriklan, parpol menjual program dan gagasan, sama
dengan perusahaan yang ingin menjual produk. Namun, banyaknya iklan tidak
menjamin produk kian laku. Juga dalam kampanye pemilu, membeli iklan di media
bukan otomatis membeli suara pemilih. Meningkatnya dukungan suara tidak
sepenuhnya disebabkan keberhasilan teknik beriklan, terlebih lagi untuk iklan politik.
Preferensi pemirsa tidak secara linier berubah dengan adanya iklan-iklan yang
menggunakan teknik atau kreativitas tinggi. Oleh karena itu, logis bila mayoritas
pemirsa-pemilih (ada yang menyebut angka 70 persen) sudah menentukan akan
memilih siapa dalam pemilu presiden. Fenomena keterisolasian iklan dari preferensi
pemilih berlaku tidak hanya di negara yang ikatan primodial dan paternalismenya kuat,
tetapi juga ditemui di negara- negara yang memiliki tradisi kuat berdemokrasi.
Iklan dibuat sebagai alat memengaruhi dukungan publik. Namun, karena realitas
keterisolasian iklan dengan preferensi pemilih, tujuan ini tidak efektif untuk memperluas
dukungan suara. Kecuali, memperteguh pendapat pemilih yang telah mengikatkan
33
emosinya. Jadi, iklan bukan pada posisi untuk memengaruhi, melainkan menguatkan
pendirian-pendirian pemilih yang memiliki ikatan tradisional tertentu dengan capres
(Putra, 2007).
Maulana (2004) melihat ada modal utama yang bisa disajikan oleh iklan politik yaitu
kredibilitas. Karena tidak memiliki kredibilitas, iklan-iklan politik rapuh untuk gagal.
Seolah dengan iklan, kredibilitas dapat diraih. Inilah faktor utama yang menyebabkan
iklan-iklan politik di televisi tidak mendapatkan hasil efektif. Menurutnya bila
dihubungkan dengan keterbukaan informasi, iklan politik kita juga menjadi kurang
relevan karena disitu rakyat masih dipersepsikan bodoh. Lambat atau cepat,
keterbukaan informasi akan memengaruhi transformasi pola memilih. Rakyat kritis
menghilangkan eksistensi iklan sebagai pendulang suara. Alih-alih dipercayai, iklan
dipandang sebagai alat manipulasi; motif iklan tersingkap, yakni sebagai penopeng
kandidat. Klaim-klaim positif yang disajikan melalui iklan bukannya meneguhkan pilihan
rakyat, tetapi membalikkan persepsi yang dikehendaki kandidat. Citra yang dibangun di
media pada akhirnya mampu ditangkap sebagai representasi fakta yang bertujuan
untuk menguntungkan kandidat. Di sini berlaku penegasian; apa yang disajikan positif
dipersepsi dan disimpulkan negatif.
Stanley (2004) misalnya mencontohkan meskipun iklan yang sering ditampilkan pada
pemilu 2004 adalah si moncong putih ternyata PDI-P gagal memimpin perolehan suara
pada pemilu lalu. Ini menunjukkan walaupun sukses menampilkan iklan hal itu belum
tentu berdampak signifikan pada perolehan suara. Orang-orang partai masih dituntut
bekerja keras di lapangan untuk memenangkan partai. Iklan politik yang ada saat ini
sama sekali tidak ada yang positif. Sama sekali tidak mendidik. Tidak banyak yang
menjelaskan komitmen partai terhadap berbagai persoalan yang masih dialami bangsa
ini. Iklan-iklan itu hanya mengajak pemilih mencoblos tanda gambar. Tidak memilih
34
nama orang. Wajar kalau orang awam tidak tahu jika ada yang baru dalam pemilu lalu.
Lebih jauh Stanley mengkritik kualitas iklan politik kita:
”Iklan politik itu seharusnya lebih banyak berbicara tentang bagaimana audience harus
memilih. Visi dan misinya bagaimana dan seperti apa. Iklan politik yang ditampilkan
saat ini belum membahas masalah segmentasi. Siapa segmen pemilih dan
sebagainya. Ini sebagai akibat iklan politik tidak dapat dimengerti oleh partai politik dan
tim kreatif. Teman-teman partai tidak punya gambaran tentang segmen pendukung
mereka siapa dan apa yang mau mereka capai dalam kampanye melalui media itu.
Semuanya jadi tidak jelas. Mereka bisa saya katakan miskin ide komprehensif. Mereka
tidak punya kemampuan membahasakan ide yang seharusnya brillian. Jadi, yang
keluar ya yang enteng-enteng saja. Parahnya, teman-teman di tim kreatif–yang
sebenarnya memiliki kemampuan menciptakan produk iklan yang baik–tidak
mengetahui apa keinginan partai. Yang ada akhirnya sekadar saling percaya.
Pokoknya percaya bahwa tim kreatif mampu membuat iklan PDI-P yang pas.
Akibatnya, ya muncullah iklan si moncong putih.”
Belakangan ini pakar politik menemukan kenyataan bahwa opini publik dibentuk oleh
mood, emosi dan perasaan individu. Berangkat dari kenyataan maka iklan-iklan politik
belakangan ini umumnya lebih mengeksploirasi faktor emosi ketimbang menjual isu-isu
atau kebijakan-kebijakan kandidat. Fenomena iklan dalam kampanye Pilkada
seharusnya memberikan ruang terbuka bagi pemilih untuk belajar menjadi pemilih
yang cerdas. Namun sayang sekali iklan politik belum mengajak warga untuk berpikir
cerdas (Putra, 2007).
Sedangkan dengan sinis Hikmat Budiman (Koran Tempo, 27 Maret 2004) mengatakan
Iklan komersial memang tidak pernah dirancang untuk memaparkan kebenaran seperti
35
para pendidik, melainkan justru melakukan surogat, mengelabui massanya dengan
memutarbalikkan realitas seperti yang biasa dilakukan para ideolog tempo dulu. Iklan
pencuci rambut, misalnya, menciptakan kenyataan palsu tentang begitu
memalukannya kalau ada kelemumur pada rambut. Tapi sejauh ini tidak pernah ada
somasi dengan tuduhan, misalnya, “tidak memberi pendidikan kultural” kepada publik.
Mengukur Kekuatan
Dengan melihat pembahasan diatas kita melihat bahwa iklan politik memiliki kekuatan
dan kelemahan. Terutama mengenai efektivitasnya dalam menjangkau pemilih.
Sampai saat ini para ahli masih berbeda pendapat mengenai efektivitas iklan politik
guna memenangkan pemilu dan meraih suara sebanyak mungkin. Roderick Hart,
profesor ilmu politik Universitas Texas mengatakan, tidak ada kajian dan penelitian
cukup yang bisa memastikan apakah iklan politik bisa menggalang suara bagi para
calon presiden. Ditambahkan, ada semacam kepercayaan di masyarakat, betapa pun
kuatnya pengaruh iklan di televisi, efektivitas iklan politik belum terjamin seperti halnya
iklan sabun atau produk lainnya. Banyak kajian menunjukkan swing voters, pemilih
berpindah dukungan karena dipengaruhi iklan politik, kampanye, penampilan kandidat,
atau program partai, persentasenya sangat kecil. Di Amerika Serikat, jumlah swing
voters hanya 15 persen dari total pemilih. Mereka inilah yang sebetulnya jadi sasaran
utama iklan politik karena sebetulnya sebagian besar pemilih sudah memiliki party
identification. Pemilih tipe ini loyal pada partainya serta tidak akan terpengaruh oleh
kampanye atau iklan politik.
Kenneth Goldstein, ahli ilmu politik Universitas Wiscounsin mengatakan, iklan politik
bisa mempengaruhi, terutama dalam pemilihan antara dua calon presiden yang
memiliki kualitas dan kemampuan hampir sama. Di negara maju, partai politik yang
36
bersaing dalam pemilu memiliki massa fanatik sendiri yang disebut true believers
sehingga suara swing voters yang kecil akan sangat menentukan kemenangan
(Yulianti, 2004).
Dengan demikian jelas bahwa iklan politik memang seharusnya tidak dijadikan sebagai
alat utama dalam kampanye kandidat, namun hanya sebagai alat penunjang. Kita tahu
bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi pemilih akan ditentukan paling tidak oleh
kondisi awal pemilih (lihat tipologi pemilih hal. 9), media masa (iklan dan berita) serta
partai politik atau kontestan. Bisa jadi faktor keluarga dimana individu hidup
didalamnya akan lebih kuat sehingga sangat menentukan pilihan-pilihan politik. Atau
kualitas pendidikan dalam masyarakat sangat tinggi, sehingga mereka tidak begitu saja
percaya dengan pemberitaan atau iklan.
Dalam konteks komunikasi pemasaran, supaya efektif iklan politik juga harus
diletakkan dalam konteks integrated communication. Artinya harus juga didukung oleh
alat komunikasi lainnya dan yang lebih penting adalah kredibilitas kandidat atau partai
politik itu sendiri.
2.2.3 Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA) di Indonesia
Praktik penyelenggaraan pemerintahan lokal di Indonesia telah mengalami
kemajuan sejak masa reformasi, ini dapat dilihat dari diberlakukannya undang-undang
No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Dengan diberlakukannya undang -
undang ini, hubungan antara pemerintah pusat dan daerah menjadi lebih desentralistis,
dalam arti sebagian besar wewenang dibidang pemerintahan diserahkan kepada
daerah. Secara umum undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
37
Daerah ini telah banyak membawa kemajuan bagi daerah dan juga bagi peningkatan
kesejahteraan masyarakat. Namun demikian disisi lain, undang-undang ini dalam
pelaksanaannya juga telah menimbulkan dampak negatif, antara lain tampilnya kepala
daerah sebagai raja-raja kecil didaerah karena luasnya wewenang yang dimiliki, tidak
jelasnya hubungan hierarkis dengan pemerintahan diatasnya, tumbuhnya peluang
korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) di daerah-daerah akibat wewenang yang luas
dalam pengelolaan kekayaan dan keuangan daerah serta “money politic” yang terjadi
dalam pemilihan kepala daerah (Abdullah, 2005: 3).
Untuk memperbaiki kelemahan-kelemahan tersebut maka diberlakukanlah undang-
undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-undang ini
diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui
peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyrakat, serta mampu
meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan,
keadilan, keistimewaan, dan kekhususan serta potensi dan keanekaragaman daerah
dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang dilaksanakan secara efektif,
efisien dan bertanggung jawab.
Perubahan yang sangat signifikan terhadap perkembangan demokrasi di daerah,
sesuai dengan tuntutan reformasi adalah pemilihan kepala daerah dan wakil kepala
daerah secara langsung. Pemilihan kepala daerah secara langsung ini merupakan
konsekuensi perubahan tatanan kenegaraan kita akibat Amandemen Undang-Undang
Dasar (UUD) 1945. Undang-undang baru ini pada dasarnya mengatur mengenai
penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam rangka melaksanakan kebijakan
desentralisasi. Hal tersebut dapat dilihat melalui penjabaran dari amanat konstitusi
pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Gubernur, Bupati, dan Walikota
38
masing-masing sebagai Kepala Pemerintahan Propinsi, Kabupaten dan Kota dipilih
secara demokratis”.
Pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung diatur dalam
Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 56 Pasal
119 dan Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2005 Tentang Tata Cara Pemilihan,
Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah. Secara eksplisit ketentuan tentang PILKADA langsung tercermin dalam
penyelengaraan PILKADA. Dalam Pasal 56 ayat (1) disebutkan:
“Kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil”. Pilihan terhadap sistem pemilihan langsung menunjukkan koreksi atas Pilkada terdahulu yang menggunakan sistem perwakilan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), sebagaimana tertuang dalam Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah No.151 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pemilihan, Pengesahan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Digunakannya sistem pemilihan langsung ini menunjukkan perkembangan penataan format demokrasi daerah yang berkembang dalam liberalisasi politik (Prihatmoko, 2005: 2).
Pelaksanaan PILKADA Langsung merupakan sebuah peningkatan demokrasi
ditingkat lokal, dengan adanya demokrasi dalam sebuah negara, berarti dalam Negara
tersebut menjalankan demokrasi yang menjunjung tinggi aspirasi, kepentingan dan
suara rakyatnya.
menurut Winarno (2002: 11) mengatakan bahwa: “sistem pemilihan secara
langsung merupakan alternatif yang paling realistis guna mendekatkan aspirasi
demokrasi rakyat dengan kekuasaan pemerintah dan pada saat yang sama
memberikan basis legitimasi politik kepada pejabat eksekutif yang terpilih”.
Sementara menurut Bambang Purwoko (2005: 10) menjelaskan bahwa: “Dalam Pilkada Langsung, demokrasi yang ada berarti terbukanya peluang bagi setiap warga masyrakat untuk menduduki jabatan publik, juga berati adanya kesempatan bagi rakyat
39
untuk menggunakan hak-hak politiknya secara langsung dan kesempatan untuk menentukan pilihan dan ikut serta mengendalikan jalannya pemerintahan”.
Dengan demikian adanya Pilkada secara langsung ini, proses demokratisasi
ditingkat lokal sudah dapat diwujudkan sehingga dapat diperoleh pemimpin yang
sesuai dengan pilihan yang dapat diterima dan dikehendaki oleh rakyat didaerahnya
sehingga pemimpin rakyat tersebut dapat merealisasikan kepentingan dan kehendak
rakyatnya secara bertanggung jawab sesuai potensi yang ada untuk mensejahterakan
masyarakat daerahnya. Dilaksanakannya pilkada secara langsung pastilah memiliki
suatu tujuan, dimana untuk menjalankan amanat atau berdasarkan pada Pancasila
dan UUD 1945 yakni untuk melaksanakan kedaulatan rakyat.
menurut Agung Djokosukarto, ada 5 dimensi dan tujuan dalam pemilihan kepala
3. mewujudkan tatanan keseimbangan kekuasaan antara eksekutif dan legislatif daerah.
4. Mewujudkan tatanan kehidupan masyarakat madani yang egalite
5. mewujudkan tata kelola pemerintahan derah sesuai dengan prinsip good governance,
serta memperkuat kemandirian daerah dan berotonomi
Menurut Fitriyah (2005:1) :
“Pentingnya PILKADA secara langsung membuat semua daerah harus mempersiapkan diri mereka sebaik-baiknya dan berusaha bagaimana dapat berlangsung demokratis dan berkualitas sehingga benar-benar mendapatkan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang dapat membawa kemajuan bagi daerah sekaligus memberdayakan masyarakat daerahnya. Selain itu, salah satu tujuan diselenggarakannya pilkada secara langsung ini juga dapat memberikan pendidikan
40
politik bagi masyarakat didaerah, dimana nantinya mereka menjadi lebih pengalaman dan ikut berpartisipasi dalam kegiatan politik. “
PILKADA langsung sebagai pembelajaran politik yang mencakup tiga aspek yaitu:
Meningkatkan kesadaran politik masyarakat lokal; Mengorganisir masyarakat kedalam
suatu aktivitas politik yang memberikan peluang lebih besar pada setiap orang untuk
berpartisipasi; dan Memperluas akses masyarakat lokal untuk mempengaruhi proses
pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan mereka. Selain itu, hal yang
terpenting dari pilkada ini adalah sebuah sarana demokratisasi di tingkat lokal yang
dapat menegakkan kedaulatan rakyat dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah
dan calon yang terpilih akan kuat legitimasinya karena dipilih langsung oleh rakyat
sehingga tercipta stabilitas politik dalam pemerintahan daerah. menurut Fitriyah (2005)
2.2.4 Perilaku Pemilih (Voting Behavior) di Indonesia
Pada tahun 2009, negara Indonesia telah melangsungkan pemilihan umum.
Budiarjo (2008) menyatakan bahwa pemilihan umum dianggap sebagai lambang, dan
juga sekaligus tolak ukur dari sistem demokrasi. Indonesia pertama kali melaksanakan
pemilu pada tahun 1955, dan hingga tahun 2009, Indonesia telah melaksanakan
sembilan pemilu. Tercatat Indonesia melaksanakan pemilu pada tahun 1955, 1971,
1977, 1982, 1987, 1982, 1992, 1999, dan yang terakhir pada tahun 2004. Pada pemilu
yang terakhir, yaitu pemilu tahun 2004, Indonesia membuat sejarah, karena untuk
pertama kalinya diadakan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung.
Bila pada tahun-tahun sebelumnya Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR), pada tahun 2004, untuk pertama kalinya, rakyat
Indonesia memilih secara langsung Presiden dan Wakil Presidennya.
41
Sebenarnya, pada tahun 2004, tidak hanya Presiden dan Wakil Presiden yang
dipilih langsung, tetapi untuk pertama kalinya juga, rakyat Indonesia memilih langsung
anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan juga anggota Dewan Perwakilan
Daerah (DPD). Pada pemilu-pemilu sebelum tahun 2004, untuk menentukan anggota
DPR, pemilih hanya memilih PARPOL saja. Lalu, PARPOL yang akan menentukan
siapa-siapa saja yang akan menjabat sebagai anggota DPR. Namun, pada tahun
2004, pemilih tidak hanya bisa memilih parpol, tetapi juga bisa langsung memilih orang
per orang. Adanya perubahan sistem pada pemilu tahun 2004 mempunyai
konsekuensi terhadap perubahan perilaku pemilih juga. Jika sebelumnya, para pemilih
hanya memperhatikan parpol saja, dengan adanya perubahan sistem ini, para pemilih
juga bisa memperhatikan orang-orang yang dicalonkan oleh parpol tersebut.
Penelitian mengenai perilaku memilih (voting behavior) pertama kali dilakukan oleh
para peneliti dari Universitas Columbia, yang lalu dikenal dengan sebutan mazhab
Columbia atau Columbia School. Menurut model Columbia ini, perilaku memilih
ditentukan oleh status sosial ekonomi (SSE), agama dan daerah tempat tinggal. Jadi,
jika seseorang berada di SSE tertentu, berarti ia memilih parpol tertentu. Jika ia
beragama tertentu, ia akan memilih parpol tertentu. Dan, jika ia tinggal di daerah
tertentu, ia maka akan memilih parpol tertentu. Mazhab ini juga dikenal dengan nama
pendekatan sosiologis atau sosial struktural (Lawrence, 2003; Redlawsk, 1997; & Roth,
2008).
Setelah pendekatan sosiologis, kemudian muncul pendekatan sosial psikologis
yang dilakukan oleh para peneliti dari University of Michigan. Berbeda dengan
pendekatan sebelumnya yang lebih menekankan pada faktor kelompok sosial dimana
individu berada (sosiologis), pada pendekatan sosial psikologis penekanan lebih pada
individu itu sendiri. Menurut pendekatan sosial psikologis, ada tiga faktor yang
42
berpengaruh terhadap perilaku memilih. Tiga faktor tersebut adalah identifikasi partai,
orientasi isu atau tema dan orientasi kandidat. Identifikasi partai yang dimaksud disini
adalah bukan sekedar partai apa yang dipilih tetapi juga tingkat identifikasi individu
terhadap partai tersebut misalnya, lemah hingga kuat. Lalu, yang dimaksud dengan
orientasi isu atau tema adalah tema atau isu-isu apa saja yang diangkat oleh parpol
tersebut. Sedangkan, yang dimaksud orientasi kandidat adalah siapa yang mewakili
parpol tersebut. Menurut pendekatan sosial psikologis, tiga faktor itulah (identifikasi
partai, orientasi tema dan orientasi kandidat) yang akan menentukan perilaku memilih
(Lawrence, 2003; Redlawsk, 1997; & Roth, 2008). Lalu, setelah pendekatan sosial
psikologis, muncul pendekatan baru yang dinamakan dengan pendekatan ekonomis.
Pendekatan ekonomis biasa juga disebut dengan pendekatan rational-choice.
Berdasarkan pendekatan ini, manusia diasumsikan adalah seorang pemilih yang
rasional. Individu mengantisipasi setiap konsekuensi yang mungkin muncul dari
pilihan-pilihan yang ada. Lalu, dari pilihan-pilihan tersebut, individu akan memilih
pilihan yang memberi keuntungan paling besar bagi dirinya (Lawrence, 2003;
Redlawsk, 1997; & Roth, 2008). Berhubungan dengan pemilu, melalui pendekatan ini,
pemilih diasumsikan mempertimbangkan segala pilihan yang ada, misalnya tiap-tiap
parpol yang ada, tiap-tiap kandidat yang ada dan tiap-tiap kebijakan yang ada. Lalu,
dilihat untung atau ruginya bagi individu. Pada akhirnya individu akan memilih yang
memberi keuntungan paling besar dan kerugian paling kecil bagi dirinya. Namun pada
kenyataannya, ketika mengambil keputusan, individu jarang sekali melakukan hal-hal
yang diasumsikan oleh pendekatan ekonomis. Berdasarkan penelitian-penelitian yang
telah dilakukan menyebutkan bahwa, biasanya individu tidak mengetahui setiap
alternatif yang ada dan juga tidak mempertimbangkan setiap hasil yang mungkin
muncul dari setiap alternatif. Oleh karena itu, setelah pendekatan ekonomis, muncul
43
lagi pendekatan baru dalam melihat perilaku memilih. Pendekatan tersebut adalah
pendekatan behavioral decision theory (BDT) Lau ( 2003) & Redlawsk (2006).
Pendekatan behavioral decision theory (BDT) mengasumsikan bahwa individu
sebagai limited information processors, Pendekatan ini menganggap bahwa jumlah
informasi yang dapat diolah oleh individu, sangat terbatas. Keterbatasan individu
dalam memproses jumlah informasi, biasa juga disebut bounded rationality. Menurut
pendekatan ini, sebagai mahkluk rasional kognisi individu masih memiliki beberapa
keterbatasan. Keterbatasan-keterbatasan tersebut diantaranya adalah keterbatasan
dalam menyimpan jumlah informasi, keterbatasan dalam mengolah informasi dan
keterbatasan dalam memanggil kembali informasi yang telah diolah (Lau, 2003; Lau &
Redlawsk, 2006).
Meskipun sebenarnya individu tidak bisa melakukan pengambilan keputusan yang
benar-benar rasional, seperti yang diasumsikan oleh pendekatan ekonomis, di tengah-
tengah keterbatasannya tiap-tiap individu masih bisa membuat keputusan yang baik.
Hal tersebut dimungkinkan karena individu mengembangkan sejumlah mekanisme
kognitif untuk mengatasi keterbatasannya itu. Terkait dengan pemilu, ada tiga
mekanisme kognitif yang biasanya digunakan oleh individu, yaitu decomposition,
editing dan heuristics Lau (2003) & Redlawsk (2006). Decomposition berarti individu
memecah keputusannya menjadi beberapa bagian yang lebih kecil. Mekanisme ini
biasanya lebih dilakukan oleh para kandidat atau parpol yang sedang bertarung di
pemilu. Misalnya, para kandidat membagi strategi kampanyenya menjadi beberapa
bagian. Ada yang khusus iklan di televisi, ada yang khusus di radio, ada yang khusus
penampilan, dan seterusnya. Sementara itu, yang dimaksud dengan editing berarti,
ketika individu menyederhanakan pengambilan keputusannya dengan menghilangkan
atau menghiraukan aspek-aspek relevan yang berhubungan dengan keputusannya
44
tersebut. Misalnya dengan hanya memperhatikan satu kandidat saja dan
menghiraukan kandidat yang lainnya. Sedangkan yang dimaksud dengan heuristics
adalah jalan pintas kognitif (cognitive shortcuts) yang dilakukan oleh individu untuk
membuat keputusan atau penilaian tertentu, yang biasanya didasarkan pada rules of
thumb. Baron, Branscombe dan Byrne (2008) menjelaskan bahwa heuristics adalah
cara mudah untuk mencapai keputusan yang kompleks atau membuat kesimpulan,
dalam waktu yang singkat dan efisien. Bless, Fiedler, dan Strack (2004) juga
menyebutkan bahwa untuk mengatasi kompleksitas, individu mengembangkan stategi
tambahan yang mengijinkan mereka untuk mempermudah pengambilan-keputusan
dengan berpegang pada rules of thumb, dan proses itu disebut heuristics.
Hamilton (2005) menyebutkan bahwa heuristics biasa digunakan dalam membuat
keputusan dan dapat meringankan beban yang dialami oleh kognisi individu, tidak
hanya membantu individu dalam kehidupan sehari-hari, heuristics juga dapat
digunakan individu dalam kehidupan politik. Ottati (1990) menemukan bahwa heuristics
bisa juga digunakan saat membuat keputusan politik. Hal ini juga disebutkan oleh
Mondak (1994) bahwa dengan menggunakan heuristics dapat membantu individu
untuk mengatasi hambatan-hambatan yang diakibatkan terbatasnya pengetahuan
tentang politik.
Ada lima jenis heuristics yang bisa digunakan individu untuk membantu dirinya
dalam mengambil keputusan dalam politik, khususnya pada saat pemilu (perilaku
memilih). Menurut Lau (2003) & Redlawsk, (2006), lima jenis heuristics tersebut akan
dijelaskan lebih lanjut sebagai berikut:
1. Affect referral: individu akan memilih kandidat yang paling menarik secara emosional
atau yang lebih disukainya (emosional).
45
2. Endorsement: individu akan memilih kandidat berdasarkan hasil rekomendasi dari
kerabat dekat, elit politik yang terpercaya, ataupun kelompok-kelompok sosial yang
dimiliki oleh individu. Dengan kata lain, individu membiarkan orang lain diluar dirinya
yang memutuskan pilihannya.
3. Familiarity: individu memilih kandidat yang telah dikenal atau yang telah diketahui
sebelumnya.
4. Habit: individu memilih kandidat berdasarkan pilihan pada pemilu sebelumnya dan
tetap pada pilihannya itu.
5. Viability: individu memilih kandidat yang mempunyai peluang menang lebih besar.
Jadi, termasuk pemilih jenis manakah anda?
Pemilih sosiologis? Pemilih ekonomis? Pemilih rasional? Atau pemilih jenis yang lain?
Apapun jenisnya, mudah-mudahan pilihan anda, mengutip perkataan Bung Anies
Baswedan, dapat mewujudkan dan melunasi janji-janji kemerdekaan seperti yang
tertulis di Pembukaan Undang-undang Dasar 1945.
2.2.5 Peran Mahasiswa Dalam Pembangunan Daerah
Menurut Cahya (2009) : Mahasiswa adalah bagian pemuda yang selalu ditunggu
perannya dalam pembangunan
Kita telah memaklumi bersama bahwasannya mahasiswa termasuk kalangan elit.
Hanya segelintir saja dari jutaan orang pemuda di Indonesia, yang berkesempatan
mengenyam pendidikan tinggi. Tak semua memiliki kesempatan masuk ke dalam kelas
ini. Terlebih realita yang ada saat ini manakala biaya kuliah semakin mahal. Makin
Menggambarkan tentang citra ketulusan dari sebuah merek untuk memberikan
yang terbaik kepada konsumen terdapat empat perspektif dari dimensi ini,
yaitu :
a. Down to earth
Bahwa semua merek harus rasional menurut penilaian konsumen.
Rasional ini bahwa merek bisa mencerminkan sesuatu yang dapat
dinikmati oleh konsumen melalui produk yang ditawarkan.
b. Honest
Berarti sebuah kejujuran, dalam arti mereka bisa memberikan
informasi yang sesuai dengan realitas yang dirasakan konsumen.
c. Wholesome
Merek menggambarkan sesuatu yang mengandung nilai atau
bermanfaat bagi konsumen
d. Cheerfull
Cheerfull mengambarkan tentang citra yang prospektif pada
konsumen. Merek harus mampu memberikan citra yang membuat
bersemangat dan terkesan lincah.
2. Excitement
Deskriptif dari dimensi ini menggambarkan tentang kesan positif dari sebuah
merek, terdiri dari empat perspektif, yaitu :
a. Daring
Merek menggambarkan tentang keberanian untuk memastikan
kinerja sbuah merek, seperti halnya obat sakit kepala yang harus
mempunyai keberanian mengatakan kalau memang produk ini
mampu memberikan kesembuhan.
60
b. Sprited
Merek sebuah produk harus menciptakan semangat tinggi.
Semangat ini bisa teridentifikasi dari slogan merek bersangkutan.
c. Imaginative
Merek harus mampu menciptakan citra yang imaginative bagi
konsumen. Merek mengekspresikan tentang sesuatu yang bersifat
baru sehingga konsumen cenderung untuk mencobanya.
d. Up to date
Merek selalu bisa melakukan penyesuaian-penyesuain terhadap
perkembangan terbaru dari perilaku atau tuntutan konsumen. Merek
selalu bisa menjawab semua kebutuhan dan keinginan konsumen.
3. Competency
Menggambarkan tentang keunggulan merek bersangkutan dibandingkan
dengan merek lain. Deskripsi dari dimensi ini adalah sebagai berikut :
a. Reliable
Merek harus bisa dipercaya untuk menjalankan fungsinya.
Konsumen akan mengidentifikasi antara janji merek dengan realitas
yang dirasakan ketika mengonsumsi sebuah produk.
b. Intelligent
Bahwa merek sebuah produk harus bisa menggambarkan
kepandaian atau kecerdasan. Hal ini teridintifikasi dari inovasi-inovasi
kegunaan dari produk dengan merek tersebut.
c. Successful
Bahwa sebuah merek harus menciptakan kesan keberhasilan,
dimana citra ini bisa terwujud ketika sebuah produk mampu
menjalankan fungsinya.
61
4. Sophisticated
Bahwa sebuah merek harus menggmbarkan tentang kesempurnaan, tidak
ada kelemahan dari merek lain. Deskrptif dari dimensi ini adalah sebagai
berikut.
a. Upperclass
Bahwa sebuah merek harus menciptakan kesan lebih tinggi
dibandingkan dengan merek lainnya. Kesan lebih unggul bisa
memberikan diferensiasi yang lebih tinggi bagi merek produk
bersangkutan.
b. Charming
Merek harus mampu tampil mempesona, kesan keindahan baik lebih
dari nama maupun dari penggambaran logo merek harus mampu
menciptakan sebuh kesan mempesona.
5. Rudgeness
Menggambarkan kesan keperkasaan dari sebuah merek
Terdapat dua perspektif dari dimensi ini yaitu :
a. Outdoorsy
Merek mampu memberikan kesan kekuatan yang tinggi. Merek harus
memberika informasi mengenai kemampuan untuk mengatasi
berbagai macam permasalahan sesuai dengan spesifikasi dari merek
bersangkutan,
b. Tough
Mencerminkan tentang kesan ketabahan dari sebuah merek, dalam
arti merek harus benar-benar mampu bertahan pada fungsinya
dalam ukuran rentang waktu tertentu. Jika sebuah produk
mempunyai jangka waktu pemakaian yang relatif lebih panjang
berarti tough dari perspektif merek semakin tinggi.
62
Berbagai perbedaan-perbedaan mengenai arti brand personality, maka dari
penjelasan beberapa kumpulan tokoh ayau praktisi dapat saya simpukan dari
fenomena yang terjadi yaitu :
Brand Personality Kandidat
Brand personality kandidat merupakan kondisi di mana para pemilih
menghubungkan berbagai sifat atau karakteristik dari seorang kandidat.
Kepribadian Produk dan Gender
Sejumlah penelitian menunjukkan, dii beberapa tempat/wilayah atau agama, gender
atau jenis kelamin sering dikaitkan dengan pilihan dari pemilih tertentu. Di muslim
misalnya, Pria yang paling tepat menjadi pemimpin suatu umat atau kaum.
Kepribadian dan SARA
Riset juga menunjukkan, pemilih sering mengaitkan kandidat dengan SARA
Sehingga pemasar ketika mengiklankan sebuah kandidat cenderung memperlihatkan
difrensisasi masalah SARA, yaitu dengan gambar-gambar rumah ibadah, gambar
logo atau RAS dari asala seseorang dan masih banyak lagi.
Kepribadian dan Jenis Pekerjaan atau pengalaman dan pendidikan
Sejumlah penelitian menunjukkan persaingan antara Birokrat, Politisi dan Pengusaha
menjadi strategi dari Konsultan politik, apalagi juga dikait-kaitkan dengan
pengalaman kerja serta pendidikan terkahir, seakan mewarnai isu dalam periklanan.
Mengusung konsep komunikasi “brand building”, figur SBY langsung diangkat
sebagaibrand name, rational selling point, sekaligus emotional selling point dengan
mempertajam Brand personality dari seorang kandidat yaitu Postur tubuh SBY yang
63
tinggi besar, wajahnya yang ganteng, gesture tubuhnya yang santun dan
mengayomi, tutur kata yang sistematis dan ilmiah, tingkat intelektualitasnya yang
tinggi (meraih doktor dalam bidang Ekonomi Pertanian dari Institut Teknologi Bogor),
berpengalaman dalam birokrasi (mantan Menteri Pertambangan dan Energi serta
Menteri Koordinator Politik dan Keamanan), dan tidak boleh dilupakan sebagai
mantan militer berpangkat Jenderal ia dianggap publik mampu memberikan jaminan
stabilitas politik dan keamanan nasional yang sangat labil pada masa reformasi
dewasa ini
2.2.8 Sales Promotion
2.2.8.1 Pengertian Sales Promotion
Menurut Tjiptono (2001 : 219)
“Promosi pada hakekatnya adalah suatu komunikasi pemasaran, artinya aktifitas pemasaran yang berusaha menyebarkan informasi, mempengaruhi/membujuk, dan atau mengingatkan pasar sasaran atas perusahaan dan produknya agar bersedia menerima, membeli dan loyal pada produk yang ditawarkan perusahaan yang bersangkutan,”.
Sementara menurut Sistaningrum (2002 : 98)
“Promosi adalah suatu upaya atau kegiatan perusahaan dalam mempengaruhi
(konsumen aktual maupun ”konsumen potensial” agar mereka mau melakukan
pembelian terhadap produk yang ditawarkan.”
Saat ini atau dimasa yang akan datang. Konsumen aktual adalah konsumen
yang langsung membeli produk yang ditawarkan pada saat atau sesaat setelah
promosi produk tersebut dilancarkan perusahaan. Dan konsumen potensial adalah
konsumen yang berminat melakukan pembelian terhadap produk yang ditawarkan
2. Penjualan Tatap Muka (Personal Selling), yaitu bentuk promosi secara
personal dengan presentasi lisan dalam suatu percakapan dengan calon
pembeli yang ditujukan untuk merangsang pembelian.
3. Publisitas (Publisity), yaitu suatu bentuk promosi non personal mengenai,
pelayanan atau kesatuan usaha tertentu dengan jalan mengulas
informasi/berita tentangnya (pada umumnya bersifat ilmiah),
4. Promosi Penjualan (Sales promotion), yaitu suatu bentuk promosi diluar
ketiga bentuk diatas yang ditujukan untuk merangsang pembelian.
5. Pemasaran Langsung (Direct marketing), yaitu suatu bentuk penjualan
perorangan secara langsung ditujukan untuk mempengaruhi pembelian
konsumen
Kotler (2006) menyatakan bahwa dalam rangka menghadapi perubahan-
perubahan yang ada, perusahaan berkomunikasi/berpromosi dengan atau kepada
calon pelanggannya mengembangkan suatu proses Integrated Marketing
Communication yang didefinisikan sebagai suatu proses berkomunikasi dengan
memberikan nilai tambah atau citra perusahaan secara lengkap. Pendapat ini
didukung oleh George Michael (1999) bahwa dalam rangka melakukan strategi
komunikasi data diakukan dengan berbagai cara seperti; periklanan, pemasaran
langsung, promosi penjualan dan dan kehumasan dan atau kombinasi dari cara-cara
tersebut secara konsisten sehingga menimbulkan nama baik perusahaan dan
mengharapkan adanya umpan balik yang maksimum yaitu adanya pembelian.
Dengan demikian membentuk komunikasi pemasaran dengan melakukan promosi
secara terpadu akan memberikan kepercayaan kepada konsumen tentang gambaran
produk atau jasa yang dihasilkan, sehingga membentuk citra perusahaan kedalam
benak konsumen.
Promosi penjualan yang dilakukan oleh penjual dapat dikelompokkan berdasar
tujuan yang ingin dicapai. Pengelompokan tersebut adalah sebagai berikut
66
1. Customer promotion, yaitu promosi yang bertujuan untuk mendorong atau
merangsang pelanggan untuk membeli.
2. Trade promotion, yaitu promosi penjualan yang bertujuan untuk merangsang
atau mendorong pedagang grosir, pengecer, eksportir dan importir untuk
memperdagangkan barang / jasa dari sponsor.
3. Sales-force promotion, yaitu promosi penjualan yang bertujuan untuk
memotivasi armada penjualan.
4. Business promotion, yaitu promosi penjualan yang bertujuan untuk
memperoleh pelanggan baru, mempertahankan kontrak hubungan dengan
pelanggan, memperkenalkan produk baru, menjual lebih banyak kepada
pelanggan lama dan mendidik pelanggan. Namun yang jelas apapun jenis
kebutuhan yang akan diprogramkan untuk dipengaruhi, tetap pada
perencanaan bagaimana agar perusahaan tetap eksis dan berkembang.
Apalagi jika perusahaan tersebut mempunyai lini produk lebih dari satu
macam.
Sedangkan menurut Basu Swastha DH (1993:10).
”Sales promotion adalah kegiatan-kegiatan pemasaran selain personal selling, periklanan dan publitas yang mendorong efektivitas pembelian konsumen dan perdangang dengan menggunakan alat-alat seperti peragaan, pameran demontrasi dan sebagainya.”
Menurut Shultz and Barnes (1999:241),
”Trade sales Promotion refers to the range activities and incentives offered to
retailer, whosalers,, distributors, and others channel member to encourage them
to stock manufacturer in assist in promotion that brand to the end user.”
Strategi Sales Promotion diantaranya
1. Pull Strategi ( Strategi Tarik ) Strategi ini dirancang untuk langsung menarik
pelanggan atau wisatawan yang akan meminta produk dari pengecer,
67
sebaliknya pangecer akan meminta produk dari grosir (Business, Ricky W.
Griffin and Ronald J. Ebert). Strategi ini mengeluarkan banyak uang untuk
periklanan dan promosi ke pelanggan untuk membangun atau meningkatkan
permintaan pelanggan. Jika promosi ini berhasil, pelanggan akan meminta
produk tersebut dari pengecer, sedang pengecer meminta produk kepada
pemasok besar kemudian pemasok ini meminta produk itu langsung ke
produsen. (Kotler. Second Edition, Principles of Marketing).
2. Push Strategy (Strategi Dorong) Yaitu strategi di mana suatu produk
dipasarkan secara agresif kepada grosir dan pengecer kemudian akan
membujuk pelanggan untuk membelinya (Griffin & Ebert ). Strategi ini
digunakan oleh sumber penjualan dan para pelaku promosi untuk mendorong
produk mereka kepada para penyalurnya. Para produsen menawarkan
produk secara terus menerus kepada pemasok besar, pemasok besar
kepada pengecer dan pengecer menawarkan kepada kepada konsumen
secara terus menerus. (Kotler. Second Edition, Principles of Marketing).
Sebagian besar buku marketing politik membahas bagaimana cara sebuah institusi
politik melakukukan promosi. Wring (1996) & Elebash (1984)
Dari fenomena yang terjadi dan dari berbagai ungkapan para praktisi bidang politik
maka saya dapat menyimpukan bahwa :
Definisi Sales Promotion Politik:
Sales Promotion: Merupakan strategi suatu bujukan langsung dari kandidat atau
partai politik atau konsep konsultan politik yang menawarkan insentif atau nilai lebih
untuk kedepan pada Pemilih, tokoh Masyarakat dan Tokoh Agama atau tim
Pemenang dan relawan dengan tujuan utama yaitu menciptakan tujuan dari suatu
kandidat atau partai politikyang segera.
68
Definisi Sales Promotion menurut institute of sales promotion in England: Sales
Promotion politik terdiri dari serangkaian teknik yang digunakaan untuk mencapai
sasaran-sasaran marketing politik dengan menggunakan biaya yang efektif, dengan
memberikan nilai tambah pada produk dari suatu kandidat baik kepada para
perantara maupun masyarakat sebagai pemilih, biasanya tidak dibatasi dalam jangka
waktu tertentu.
Inti dari kegiatan Sales Promotion politik adalah manfaat, atau alasan mengapa
calon pemilih harus memilih kandidat atau partai politik yang kita tawarkan yang kita
tawarkan. Manfaat yang dimiliki setiap kandidat atau partai politik dapat
dikelompokkan menjadi 3 yaitu:
1. Fungsi. Apa yang dapat dilakukan oleh kandidat atau partai politik tersebut.
2. Citra. Gaya, prestise dan nilai emosional dari produk atau jasa tersebut
3. Manfaat extra. Manfaat lain yang bukan bagian utama dari kandidat atau
partai politik
2.2.9 Brand Equity
2.2.9.1 Pengertian Brand Equity
”Brand Equity is aset of assets (and liabilities) linken to a brand’s name and symbol that adds to (or subtrack from) the value provided by a product or service to a firm and thalfirm’s customers. The major assets categories are; brand awareness, perceived quality; brand associations; and brand loyally”. Aaker (1997:22),
Namun perlu diketahui bahwa dimensi loyalitas merek merupakan inti dari ekuitas
merek dan keempat dimensi ekuitas merek lainnya bisa berperan menguatkan
loyalitas merek karena terdapat interelasi diantara dimensi-dimensi ekuitas merek
tersebut. Pengertian contoh interaksi tersebut adalah kesan kualitas bisa dipengaruhi
oleh kesadaran merek, loyalitas dapat dipengaruhi oleh kesadaran merek, loyalitas
69
dapat dipengaruhi kesan kualitas dan seterusnya saling terkait satu dengan lainnya
diantara dimensi-dimensi ekuitas merek lain.
Pandangan kedua dari brand equity adalah korelasi antara brand dan brand
extension (Pitta and Katsanis, 1995; Rangkuti 2004) mengatakan bahwa brand
equity diukur berdasarkan kemampuan merek tersebut mendukung perluasan merek
yang dilakukan. Pandangan ketiga berkaitan dengan perspektif konsumen
tentang brand equity Pokorny, (1995) & Rangkuti, (2004) dengan melihat perilaku
pengambilan keputusan pembelian, manajer pemasaran dapat menentukan
seberapa jauh persepsi brand equity yang dimiliki oleh pelanggan terhadap suatu
merek.
Menurut Durianto (2004) defenisi merek adalah “nama, istilah, tanda, symbol
desain, ataupun kombinasinya yang mengidentifikasikan suatu produk/jasa yang
dihasilkan oleh suatu perusahaan.”
Gambar 2.2 Strategi Pengembangan Merek
70
Product Category
Existing New
Berikut penjelasan tabel tentang strategi pengembangan merek:
1. Line Extension / Perluasan Lini Produk
Strategi pengembangan merek ini menggunakan nama merek yang sudah
dikenal oleh konsumen untuk memperkenalkan tambahan variasi seperti rasa
baru, warna, ukuran kemasan, dsb pada suatu kategori produk dengan
menggunakan nama merek yang sama.
2. Brand Extension / Perluasan Merek
Strategi pengembangan merek ini menggunakan nama merek yang sudah
dikenal oleh konsumen untuk meluncurkan produk baru atau produk
modifikasi pada kategori produk yang baru.
3. Multibrand / Banyak Merek
Strategi pengembangan merek ini meluncurkan banyak merek pada satu
macam kategori produk yang sama
4. New Brand / Merek Baru
Strategi pengembangan merek ini menggunakan merek yang benar – benar
baru untuk peluncuran produk baru perusahaan.
2.2.9.2. Pendekatan Pengukuran Ekuitas Merek
71
Brand Name
Existing
New
Line Extension
Brand Extension
Multibrands New Brands
Sumber : Kotler P & Amstrong G., 2004
Sedikitnya ada lima pendekatan lain (Aaker, 1996) untuk mengukur nilai ekuitas
suatu merek, yaitu :
A. Pengukuran dengan harga optimum
Pendekatan ini juga dikenal dengan dollarmatric, di dapat dari pengamatan
tingkat harga suatu merek di pasar, sangat dipengaruhi oleh selisih harga
yang dikeluarkan oleh kompetitornya, tingkat depresiasi dalam setahun,
elastisitas harga yang direspon oleh konsumen. Adanya kenyataan bahwa
harga optimum aset tahun bisa diperoleh dari rata-rata setahun dikalikan
volume unit penjualan setahun, dengan mengabaikan arca kas jangka waktu
yang sama.
B. Pengukuran dengan merek dan preferensi konsumen
Untuk kelas produk dan jasa tertentu pengukuran harga optimum tidak bisa
menjadi cara yang jitu, sehingga perlu digunakan pendekatan lain yang lebih
objektif, salah satunya dengan menghitung dampak merek terhadap evaluasi
konsumen atas merek yang diukur dari referensi konsumen, menyangkut
sikap, tujuan membeli dan menggunakan suatu merek.
C. Pengukuran dengan penggantian biaya
Perspektif yang digunakan adalah berapa jumlah biaya yang sudah
dikeluarkan untuk suatu produk atau merek dengan tingkat kemungkinan
sukses ditentukan lebih dahulu, biaya yang sudah dikeluarkan dan mencapai
kemungkinan sukses tersebut sebagai nilai dari ekuitas merek.
D. Pengukuran pada nilai harga saham
72
Penggunaan harga saham sebagai dasar untuk mengevaluasi nilai ekuitas
merek, asumsinya pasar modal akan menyesuaikan harga perusahaan untuk
proyeksi prospek masa depan atas merek tersebut. Pendekatan dimulai
dengan nilai pasar sebuah perusahaan yang merupakan fungsi dari harga
saham dan jumlah saham yang beredar dan model ini beroperasi pada
perusahaan publik dengan merek dominan.
E. Pengukuran perolehan laba bersih masa depan
Pendekatan ini menggunakan estimasi laba bersih lancar (current earnings)
dan menerapkan, multiplier laba bersih (earning multiplier) keduanya
kemudian diestimasikan pada penilaian laba bersih masa depan, dengan
mencari nilai multiplier actual dalam suatu periode tertentu dan dibandingkan,
industri dikelasnya, dengan mengabaikan hutang hutang yang sangat besar.
2.2.9.3. Pengelolaan Ekuitas Merek
Beberapa faktor (Aaker, 1996) yang dapat dilihat indikator kurangnya perhatian
serius dari para manajer dalam upaya membangun dan mengelola ekuitas merek
perusahaan, indikator tersebut adalah
a. Ketidak mampuan manajer untuk mengidentifikasi asosiasi merek dengan
kekuatan asosiasi perusahaan itu sendiri dengan tepat
b. Rendahnya tingkat pengetahuan mengenai kesadaran merek dari
sebagian besar karyawannya.
c. Tidak adanya ukuran yang sistematis, handal, peka dan valid mengenai
kepuasan serta loyalitas customer.
d. Tidak adanya kesungguhan dalam upaya melindungi ekuitas merek itu
sendiri.
73
e. Tidak adanya mekanisme yang dapat mengukur serta mengevaluasi
elemen program pemasaran merek.
f. Belum adanya strategi jangka panjang dalam upaya pengembangan
manajemen merek.
g. Belum adanya strategi jangka panjang dalam upaya pengembangan
manajemen merek.
Sedangkan menurut Kotler (1997:444) :
”Brand Equity is highly related to how many of a brand’s cutomer are satisfied and would incure cost by changing brand, values the brand and sees it as a friend or devoted to the brand. It also related to the degree of brand name, recognition, perceived brand quality, strong mental and emotional associations and other assets such as patents, trade mark and channel relationship.
Philip Kotler (2000) sebagai analis melihat umur merek melebihi produk, karena
merek selalu dilihat sebagai aktiva perusahaan yang paling bertahan lama dan
semua merek yang kuat mewakili sekelompok pelanggan yang setia, oleh karenanya
aktiva dasar yang menjadi fondasi utama ekuitas merek adalah ekuitas
pelanggan (customer equity), hal ini menunjukkan bahwa fokus dari perencanaan
pemasaran yang tepat adalah memperpanjang nilai seumur hidup pelanggan setia
(loyal customer lifetime value), dengan pengelolaan merek berperan sebagai alat
pemasar utama.
Selanjutnya penjelasan mengenai skema konsep ekuitas merek menurut Aaker
(1996) terdapat lima elemen dimensi kategori yang membentuknya, ekuitas merek
mempunyai hubungan kausal komparatif terhadap dimensinya dan dirumuskan
sebagai sebuah variabel yang bersifat multidimensional yang telah ada dulu sebagai
dasar menentukan arah kausalitasnya (Kuncoro, 2003). Variabel ekuitas merek tidak
bisa diukur secara langsung, tetapi dibentuk melalui pengukuran dimensinya.
Ekuitas merek yang tinggi (Kotler 2000) memberikan sejumlah keuntungan
kompetitif diantaranya adalah :
74
a. Perusahaan akan menikmati biaya pemasaran yang lebih kecil karena
kesadaran dan kesetiaan merek konsumen yang tinggi.
b. Posisi perusahaan menjadi lebih kuat dalam negosiasi dengan mitra bisnis.
c. Perusahaan dapat menetapkan premium price, daripada pesaingnya karena
merek tersebut memiliki kualitas yang diyakini lebih tinggi oleh pelanggan.
d. Perusahaan lebih mudah untuk melancarkan perluasan merek karena merek
yang mempunyai kredibilitas tinggi.
e. Merek yang kuat dapat melindungi perusahaan dari persaingan harga yang
tidak sehat atau stabil.
2.2.9.4. Dimensi Ekuitas Merek
Gambar 2.9
Dimensi Ekuitas Merek
75
Sumber : http://www.tesismars.co.cc/2008/12/brand-equity-rumah-sakit.html
A. Kesadaran Merek
Masyarakat cenderung bertransaksi dengan produk atau merek yang dikenal
karena di bawah sadar merek yang tidak terkenal mempunyai sedikit peluang
untuk diingat konsumen, sesuai pendapat Aaker yaitu Aaker (1996) brand
awareness : “The ability of a potential buyer to recognize or recall that a brand is
number of a certain product category"
Penjelasan dari keempat nilai tersebut adalah sebagai berikut:
a. Tempat kaitan (jangkar) asosiasi-asosiasi lain
Suatu merek yang kesadarannya tinggi akan membantu asosiasi-asosiasi
melekat pada merek tersebut karena daya jelajah merek tersebut menjadi
pernyataan tentang sikap seseorang terhadap sesuatu, misalnya setuju, tidak
setuju, atau senang tidak senang (Sugiyono, 2004:86).
Skala likert (Likert Scale) menggunakan ukuran ordinal yaitu angka yang di
berikan dimana angka tersebut mengandung pengertian tingkatan. Responden
diminta mengisi pernyataan dalam skala ordinal dalam jumlah kategori tertentu.
Ukuran ini tidak memberikan nilai yang absolut terhadap objek penelitian diberi bobot
1 (satu) untuk objek terkecil dan seterusnya dan berakhir pada skala 5, misalnya:
a. Jawaban Sangat setuju diberi bobot 5
b. Jawaban Setuju diberi bobot 4
c. Jawaban Ragu-ragu diberi bobot 3
d. Jawaban Tidak setuju diberi bobot 2
e. Jawaban Sangat tidak setuju diberi bobot 1
Skala likert telah banyak digunakan dalam penelitian moral, sikap dan lain-lain.
Skala likert dianggap lebih baik dibandingkan dengan pengukuran skala yang lain, itu
di sebabkan oleh:
1. Dalam menyusun skala likert, item-item tidak jelas menunjukan hubungan
dengan sikap yang sedang diteliti masih dapat digunakan dalam skala.
2. Skala likert lebih mudah membuatnya, atau sangat sederhana.
3. Skala likert mempunyai reliabilitas yang relatif tinggi. Skala likert dapat
memperlihatkan item yang dinyatakan dalam beberapa responden alternative
(Sangat setuju, Setuju, Ragu-ragu, Tidak setuju, dan Tidak sangat setuju)
tentang senang tidak senang terhadap suatu item.
92
4. Karena angka responden yang lebih besar membuat skala likert dapat
memberikan keterangan yang lebih nyata dan jelas tentang pendapat atau sikap
responden tentang isu yang dipertanyakan.
Validitas dari skala likert merupakan pertanyaan yang masih memerlukan
penelitian empiris. Masalah, apakah kombinasi yang berbeda dari responden masih
mempunyai arti karena diberikan pada skor yang sama, masih menghendaki
penelitian empiris (Nazir 1999:396-398).
4.6. Pengujian Validitas dan Reliabilitas
Sebelum melakukan analisis data, penulis terlebih dahulu melakukan pengujian
kualitas data yang diperoleh. Uji kualitas data dilakukan untuk meyakinkan kualitas
data yang akan diolah yang terdiri dari pengujian validitas dan pengujian reliabilitas.
Instrumen yang valid berarti alat ukur yang digunakan untuk mendapatkan data
(mengukur) itu valid.
”Valid berarti instrumen tersebut dapat digunakan untuk mengukur apa yang seharusnya diukur. Instrumen yang reliabel adalah instrumen yang bila digunakan beberapa kali untuk mengukur obyek yang sama, akan menghasilkan data yang sama. Jadi instrumen yang valid dan reliabel merupakan syarat mutlak untuk mendapatkan hasil penelitian yang valid dan reliabel (Sugiyono, 2004:109).”
”Validitas menunjukkan tingkat/derajat untuk mana bukti mendukung kesimpulan
yang ditarik dari skor yang diturunkan dari ukuran atau tingkat mana skala mengukur
apa yang seharusnya diukur (Supranto, 2001: 70). Pengujian validitas dilakukan
dengan cara mengkorelasikan antara skor masing-masing butir pertanyaan dengan
skor total yang diperoleh dari penjumlahan semua skor pertanyaan. Bila korelasi
tersebut signifikan, maka alat ukur yang digunakan mempunyai validitas. Menurut
Masrun biasanya syarat minimum untuk dianggap memenuhi syarat adalah kalau r =
93
0.3. Jadi kalau korelasi antar butir dengan skor total kurang dari 0.3 maka butir
dalam instrumen tersebut dinyatakan tidak valid (Sugiyono 2004: 124).”
Pengujian reliabilitas dilakukan untuk mengetahui apakah jawaban yang
diberikan responden dapat dipercaya atau dapat diandalkan dengan menggunakan
analisis reliabilitas melalui metode Cronbach Alpha, di mana suatu instrumen
dikatakan reliabel bila memiliki koefisien keandalan atau Alpha sebesar 0.6 atau
lebih.
Rumus koefisien reliabilitas Alfa Cronbach adalah (Sugiyono, 2004: 282):
Keterangan:
k = mean kuadrat antara subyek
∑ si2
= mean kuadrat kesalahan
st2
= varians total
Rumus untuk varians total dan varians item :
94
ri=k
(k−1 ) {1−∑ si2
st2
}
st2=∑ X
t2
n −(∑ X t)n2
2
si2= JKin
− JKsn2
Keterangan:
Jki = jumlah kuadrat seluruh skor item
Jks = jumlah kuadrat subyek
Ukuran kemantapan alpha dapat diinterpretasi seperti pada tabel 4.1. berikut:
Tabel 4.1
Tingkat Reliabilitas Berdasarkan Nilai Alpha
Alpha Tingkat Reliabilitas
0.00 s/d 0.20 Kurang Reliabel
> 0.20 s/d 0.40 Agak Reliabel
> 0.40 s/d 0.60 Cukup Reliabel
> 0.60 s/d 0.80 Reliabel
> 0.80 s/d 1 Sangat Reliabel
Sumber : Triton P.B, 2006
Manfaat Skala dengan Keandakan Tinggi
Ada dua manfaat dalam memiliki skala dengan keandalan tinggi (high reliability)
yaitu :
1) Dapat membedakan antara berbagai tingkatan kepuasan lebih baik daripada
skala dengan keandalan rendah
95
2) Besar kemungkinan bahwa kita akan menemukan hubungan yang signifikan
(sangat berarti) antara variabel yang sebenarnya memang terkait satu sama lain
(berkorelasi) (Supranto, 2001 : 62).
4.7. Metode Analisis
Data yang diperoleh melalui kuesioner selanjutnya diolah dengan metode analisa
yang sesuai untuk menghitung besarnya pengaruh variabel X terhadap Y, maka
dilakukan perhitungan dengan menggunakan metode analisis Regresi Linier
Berganda. Dalam penelitian, metode tersebut digunakan untuk mengetahui apakah
Faktor Brand Personality (X1) dan Sales promotion (X2) berpengaruh terhadap
Brand Equity (Y)
Untuk proses pengolahan dan analisa data hasil penelitian menggunakan
komputer dengan software program SPSS version 17.0
.
4.7.1. Analisis Regresi Linier Berganda/ Multiple Linear Regresion
Statistik dalam bahasa Jerman untuk pertama kalinya sebagai nama bagi
kegiatan analisis data kenegaraan, dengan mengartikannya sebagai “ilmu tentang
negara (state)”. Pada awal abad ke-19 telah terjadi pergeseran arti menjadi “ilmu
mengenai pengumpulan dan klasifikasi data”. Sir John Sinclair memperkenalkan
nama (Statistics) dan pengertian ini ke dalam bahasa Inggris. Jadi, statistika secara
prinsip mula-mula hanya mengurus data yang dipakai lembaga-lembaga administratif
dan pemerintahan. Pengumpulan data terus berlanjut, khususnya melalui sensus
yang dilakukan secara teratur untuk memberi informasi kependudukan yang berubah
setiap saat. Pada abad ke-19 dan awal abad ke-20 statistika mulai banyak
menggunakan bidang-bidang dalam matematika, terutama probabilitas. Cabang
statistika yang pada saat ini sangat luas digunakan untuk mendukung metode ilmiah,
96
statistika inferensi, dikembangkan pada paruh kedua abad ke-19 dan awal abad ke-
20.
Regresi diperkenalkan oleh Francis Galton dalam makalah Family in Stature ,
Processing of Royal Society, London, vol.40, 1886, yang mengemukakan bahwa
meskipun ada kecenderungan bagi orang tua yang tinggi mempunyai anak-anak
yang tinggi dan bagi orang tua yang pendek untuk mempunyai anak-anak yang
pendek, distribusi tinggi suatu populasi tidak berubah secara mencolok (besar) dari
generasi ke generasi dan akhirnya di teruskan oleh Ronald Fisher (peletak dasar
statistika inferensi), Karl Pearson (metode regresi linear), dan William Sealey Gosset
(meneliti problem sampel berukuran kecil).
Menurut Sugiono (2004 : 219) formula yang digunakan untuk mengukur metode
analisa regresi linier berganda adalah sebagai berikut :
Dengan formula Y = a + b1X1 + b2X2 + ei
Dimana Y = Brand Equity
a = Konstanta
X1 = Brand Personality
X2 = Sales Promotion
B1-2 = Nilai koefisien Regresi
ei = error atau sisa (Residual)
Langkah-langkah análisis regresi linear berganda sebagai berikut :
1. data dari hasil Survei dilapangan dimasukkan dalam program SPSS
2. data kemudian diproses dengan menggunakan analyze Regression dan
memasukkan variabel-variable data pada kolom-kolom yang tersedia (variabel
terikat pada kolom variable dependent dan variabel bebas pada kolom variable
Independent).
3. Setelah semua data sudah dimasukkan dan diproses oleh SPSS maka akan
muncul output (tampilan) berupa tabel-tabel Descriptives Statistics, Corelation,
97
Variables Entered/Removed, Model Summary, Anova dan Coefficients yang
kemudian dianalisa lebih lanjut oleh peneliti.
4.7.2. Koefisien Korelasi Berganda (R)
Menurut salkind (2007) :
“Themultiple correlation coefficient generalizes the standard coefficient of correlation. It is used in multiple regression analysis to assess the quality of the prediction of the dependent variable. It corresponds to the squared correlation between the predicted and the actual values of the dependent variable. It can also be interpreted as the proportion of the variance of the dependent variable explained by the independent variables. When the independent variables (used for predicting the dependent variable) are pairwise orthogonal, themultiple correlation coefficient is equal to the sum of the squared coefficients of correlation between each independent variable and the dependent variable. This relation does not hold when the independent variables are not orthogonal. The significance of a multiple coefficient of correlation can be assessed with an F ratio”
Untuk mengukur kuatnya hubungan antara variabel bebas secara bersama-sama
terhadap variabel tidak bebas.
Kriteria penilaian :
< 0,20 dapat diabaikan
0,20 – 0,40 Korelasi rendah
0,40 – 0,70 Korelasi substansial
0,70 – 1,00 Derajat asosiasi tinggi
4.7.3 Koefisien Determinasi Berganda (R2)
Menurut Allison (1998) bahwa :
“In statistics, regression analysis is a method for explanation of phenomena and prediction of future events. In the regression analysis, acoefficient of correlation r between random variables X and Y is a quantitative index of association between these two variables. In its squared form, as a coefficient of determination r 2, indicates the amount of variance in the criterion variable Y that
is accounted for by the variation in the predictor variable X. In the multiple regression analysis, the set of predictor variables X1, X2, ... is used to explain variability of the criterion variable Y. A multivariate counterpart of the coefficient of determination r 2 is the coefficient of multiple determination, R 2. The square root of the coefficient of multiple determination is the coefficient of multiple correlation, R”.
An intuitive approach to the multiple regression analysis is to sum the squared
correlations between the predictor variables and the criterion variable to obtain an
index of the over-all relationship between the predictor variables and the criterion
variable. However, such a sum is often greater than one, suggesting that simple
summation of the squared coefficients of correlations is not a correct procedure to
employ. In fact, a simple summation of squared coefficients of correlations between
the predictor variables and the criterion variable is the correct procedure, but only in
the special case when the predictor variables are not correlated. If the predictors are
related, their inter-correlations must be removed so that only the unique contributions
of each predictor toward explanation of the criterion.
Koefisien Determinasi Berganda berfungsi untuk mengukur besarnya proporsi
sumbangan variabel bebas terhadap variabel tidak bebas dengan formulasi sebagai
berikut :
R = b1∑X1Y – b2∑X2Y
∑Y
Dimana :
R2 = Berada antara 0 – 1 atau 0≤ R2 ≤ 1 R2
R2 = 1 berarti persentasi sumbangan X1 – X2 terhadap naik turunnya
Brand Equity (Y) sebesar 100% dan tidak ada faktor
lain yang mempengaruhi Brand Equity.
R2 = 0 berarti regresi yang tidak dapat digunakan untuk membuat
kesadarannya tinggi akan dirinya akan membantu pendekatan kepada pemilih yang sevisi dan semisi dengannya
2. Jika kesadaran kasadaran kita sangat tinggi, lama kelamaan akan timbul rasa suka yang tinggi terhadap kandidat
3. jika kesadaran akan kandidat tinggi, kehadiran kandidat akan selalu dapat kita rasakan
4. kandidat dengan top mind yang tinggi mempunyai nilai pertimbangan yang tinggi
Brand association
5. Pencerminan pencitraan suatu kandidat terhadap suatu kesan tertentu dalam kaitannya dengan gaya hidup, manfaat merupakan gambaran dari citra Kandidat terhadap suatu kesan pemilih
Brand Perceived Quality
6. Dengan adanya asal usul, gaya hidup, manfaat, popularitas kandidat dari kandidat serta diketahui para pesaing-pesaingnya akan membawa kemudahan terhadap masyarakat untuk lebih
103
mengenal kandidat7. Kualitas kandidat akan di
perhitungkan pemilih jika ada dalam persepsi pemilih Perceived quality diukur secara relative terhadap pesaingnya
Brand Loyalty
8. Kesan kualitas kandidat, diukur secara relative oleh pemilih terhadap kandidat yang lainnya.
9. Rasa simpati, Rasa suka, menentukan kesetiaan masyarakat terhadap kandidat
10. Rasa pertemanan dan Rasa percaya menentukan kesetiaan masyarakat terhadap kandidat.
“item diatas merupakan butir-butir pernyataan atau pertanyaan dalam kuesionerSumber : Data Penulis
BAB V
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
5.1 Gambaran Umum Objek Penelitian
5.1.1 Sejarah Sulawesi Utara
Provinsi Sulawesi Utara dibentuk tanggal 13 April 1964. Sebelumnya Sulawesi
Utara tergabung dengan Sulawesi Tengah tergabung dalam satu provinsi, yaitu
Provinsi Sulawesi Utara-Tengah yang terbentuk tahun 1960. sejak awal
kemerdekaan sampai tahun 1960, Pulau Sulawesi merupakan satu provinsi, yaitu
provinsi Sulawesi. Ketika itu, Sulawesi Utara merupakan daerah keresidenan dalam
provinsi Sulawesi tersebut.
104
Sulawesi Utara diprediksi telah memiliki penghuni sejak zaman prasejarah. Ciri-
ciri penduduk asli Sulawesi Utara berasal dari percampuran antara bangsa Wedoid
dan Negroid. Pada tahun 3000 SM, datang dan menetap banga Proto-Melayu.
Tahun 300 SM, datang pula bangsa Deutro-Melayu. Sebelum bangsa Eropa datang
dan menjajah wilayah Sulawesi Utara, di wilayah ini terdapat beberapa kerajaan,
yaitu, Manado, Tabukan, Siau, Kolongan, Tahuna, Kendahe, dan Manganitu.
Persentuhan denga bangsa Eropa terjadi tahun 1523. Ketika itu, para pelaut Portugis
yang dipimpin Simao d'Abreu singgah di Pelabuhan Manado dalam perjalanan dari
Ternate ke Malaka. Sejak saat itu Portugis mulai menjalin hubungan dagang dengan
kerajaan-kerajaan di Sulawesi Utara, bahkan mereka mulai menyebarkan agama
Kristen.
Pada akhir abad ke 16, Portugis harus meninggalkan Sulawesi Utara karena
pergolakan yang ketika itu terjadi di Ternate berimbas ke wilayah ini. Waktu itu,
Sulawesi Utara berada di bawah pengaruh Ternate, jadi ketika ada pergolakan di
Ternate tentu saja berimbas pada Sulawesi Utara. Pada bulan Agustus 1606,
Spanyol mulai mengadakan hubungan dagang dengan Manado. Selain mengadakan
hubungan dagang, Spanyol menyebarkan agama Katolik.
Pada tahu 1654, beberapa Kepala Suku Minahasa mengirim utusan kepada VOC
di Ternate untuk menjalin persahabatan. Tawaran tersebut direspons Belanda
dengan membangun benteng VOC di Manado tahun 1657. Momen itu merupakan
titik awal menuju periode kolonialisme Belanda di Sulawesi Utara. sejak saat itu
Belanda terus berupaya memperbesar kekuasaannya. Mereka mengikat kerajaan-
kerajaan di Sulawesi Utara seperti Sangir Talaud, Bolaang Mongondow, dan
Gorontalo dengan perjanjian-perjanjian. Keadaan ini berlangsung hingga akhir abad
ke 18.
Pada tahun 1859, pemerintah Hindia Belanda membentuk Keresidenan Manado.
Tahun 1885, Pemerintah Belanda mulai menghapus kekuasaan raja-raja. Upaya
105
penghapuan kekuasaan raja-raja ini selesai tanggal 17 April 1889, yakni dengan
diterbitkannya besluitGubernur Jenderal Belanda.
Awal abad ke 20 merupakan awal dari perjuangan kebangsaan, menentang
kolonialisme. Berbagai organisasi politik yang lahir di Jawa, membuka cabang di
Sulawesi Utara. Organisasi yang pertama kali membuka cabangnya di wilayah ini
adalah Syarikat Islam (SI). Kemudian disusul oleh Partai Nasionali Indonesia (PNI),
Muhammadiyah, dan PSII. Organisasi-organisasi tersebut menjadikan rakyat
Sulawei Utara terbuka pada ide-ide memperjuangkan kemerdekaan. Keterbukaan ini
membuat iklim yang baik bagi lahirnya organisasi-organisasi perjuangan lain.
Gerakan Merah Putih, misalnya, yang dipimpin oleh Nani Wartabone mendapat
dukungan luas di masyarakat.
Pada tanggal 11 Januari 1942, Jepang mendarat dan menguasai Manado.
Kedatangan Jepang mulanya disambut baik oleh rakyat, karena Jepang mengumbar
janji-janji manis. Jepang mengku sebagai "Saudara Tua" yang akan memberikan
harapan baru bagi rakyat. Namun janji manis tersebut tidak menjadi kenyataan. Pada
saat Jepang sudah memerintah, mereka memberlakukan pemerintahan yang kejam,
kehidupan sehari-hari rakyat di awasi dan dikekang. Segala kegiatan rakyat hanya
dipusatkan untuk mendukung peperangan yang ketika itu sedang dilancarkan
Jepang melawan tentara Sekutu.
Akhirnya Jepang menyerah terhadap Sekutu. Untuk wilayah Sulawesi Utara,
Jepang secara resmi menyerah tanggal 8 Oktober 1945, di Kota Tondano. Belanda
yang membonceng tentara sekutu berusaha untuk kembali menguasai Sulawesi
Utara. Tentu saja tindakan Belanda ini menimbulkan perlawanan rakyat yang tidak
ingin kemerdekaan yang baru saja diraih hilang kembali. Perlawanan rakyat terhadap
Belanda mencapai puncaknya tanggal 11 Maret 1946. Ketika itu terjadi perlawanan
rakyat yang dikenal dengan peristiwa aksi Kapten J. Kaseger.
Dalam rangka memcah belah kekuatan Bangsa Indoneia, Belanda mendirikan
berbagai negara boneka yang pada akhirnya menjadi bagian dari Republik Indonesia
106
Serikat. Ketika itu, Sulawesi Utara dimasukkan ke dalam wilayah Negara Indonesia
Timur (NIT). Karena tidak sesuai dengan kehendak rakyat, NIT akhirnya dibubarkan
dan kemudian melebur ke dalam Republik Indonesia. Pada tanggal 17 Agustus
1950, RIS resmi bubar dan kemudian dibentuk kembali Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Sejak saat itu, Provinsi Sulawesi kembali terbentuk, dan Sulawesi Utara menjadi
salah satu bagian dari provisi tersebut. Seperti uraian di atas, provinsi ini berakhir
tahun 1960 ketika dilakukan pemekaran wilayah menjadi dua provinsi, yaitu, Provisi
Sulawesi Selatan Tenggara dan Sulawesi Utara-Tengah. Tahun 1964, lahir povinsi
Sulawesi Utara.
5.1.2 Gambaran Umum Provinsi Sulawesi Utara
Sulawesi Utara adalah salah satu Propensi di Indonesia yang terletak di bagian
utara Indonesia timur dengan garis horisontal dari barat ke timur jazirah, dan terletak
di garis teritorial utara letaknya di Kepulauan Sangihe dan Talaud dimana letaknya
berbatasan dengan Philipina yang membuat Sulawesi Utara terletak di posisi
strategis dalam era globalisasi dan itu terlihat dari sisi letak geografisnya.
Sulawesi Utara mempunyai 9 wilayah pemerintahan yaitu Kab. Minahasa, Kab.
Minahasa Utara, Kab. Minahasa Selatan, Kab. Bolaang Mongondow, Kab. Sangihe,
Kab. Talaud, Kota Manado, Kota Bitung dan Kota Tomohon yang mempunyai
sumber daya alam yang membuat masyarakatnya sejahtera. Sumber daya alam
yang berpotensi seperti perikanan dan kelautan, pertanian, peternakan, dan sumber
pariwisata alam
Tabel 5. 1 Daftar nama kabupaten/kota dan ibu kota di Sulawesi Utara
Perbandingan jumlah kecamatan pada kabupaten kota di Sulawesi Utara
109
0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
20
12
19
15
19
17
10
6
10
6
5 5
9
8
5
4
Bolaang Mongondow Minahasa Kepulauan SagiheKepulauan talaud Minahasa Selatan Minahasa utaraBolaang Mongondow Utara Kepulauan Sitaro Minahasa TenggaraBolaang mongondow Selatan Bolaang Mongondow Timur ManadoBitung Tomohon Kotamobagu
Sumber : BPS Sulawesi Utara
Gambar 5.2
Perbandingan jumlah desa/kelurahan pada kabupaten kota di Sulawesi Utara
110
0
50
100
150
200
250
152
237
167
153 156
125
9184
76
6051
87
69
4032
Bolaang Mongondow Minahasa Kepulauan SagiheKepulauan talaud Minahasa Selatan Minahasa utaraBolaang Mongondow Utara Kepulauan Sitaro Minahasa TenggaraBolaang mongondow Selatan Bolaang Mongondow Timur ManadoBitung Tomohon Kotamobagu
Sumber : BPS Sulawesi Utara
Selain sumber daya alam yang telah digambarkan tadi, Sulawesi Utara juga di
dukung oleh infrastruktur yang ada seperti Pelabuhan Bitung, Bandara Internasional
Sam Ratulangi di Manado, Listrik, Telekomunikasi dll. Dimana sumber daya alam
tersebut dapat menarik perhatian investor.
111
Untuk mengatur dan mengembangkan sumber daya alam ini sangat diharapkan
bahwa akan membawa para investor dari negara tersebut untuk menanam modal
dan menyediakan tenaga kerja yang dapat mengembangkan sumber daya alam di
Sulawesi Utara. Dimana akhirnya dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi di
Sulawesi Utara.
1. Sejarah Pemerintahan
Sulawesi Utara mempunyai latar belakang yang panjang. Sebelum Kepulauan
Utara menjadi daerah tingkat I , pada permulaan kemerdekaan Indonesia status
daerah ini adalah bagian dari Propinsi Sulawesi yang di atur dalam PP No.5 tahun
1960, Sulawesi dibagi menjadi 2 bagian Yaitu Sulawesi Selatan – Tenggara dan
Sulawesi Utara – Tengah. Sulawesi Utara – Tengah terdiri dari Kotapraja Manado,
Kotapraja Gorontalo dan 8 daerah tingkat 2 yang terdiri dari Bolaang Mongondow,
Sangihe talaud, Minahasa, Buol, Toli – Toli, Donggala, Poso dan Luwuk Banggai.
Pada tanggal 23 September 1964 pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan
UU No. 13 tahun 1964 yaitu merubah status dari Daerah tingkat I Sulawesi menjadi
daerah otonom tingkat I Sulawesi Utara di Manado sebagai ibukotanya. Sejak saat
itu, Sulawesi utara berkembang dari Utara ke barat selatan , dari ujung utara
Miangas di Pulau Sangihe sampai ke Molosipat bagian barat Kab. Gorontalo.
Selanjutnya, lewat nuansa reformasi dan perkembangan daerah dilakukanlah
pemekaran wilayah dengan terbentuknya Propinsi Gorontalo sebagai hasil
pemekaran dari Propinsi Sulawesi Utara. Dan pada tahun 2002 dan 2003 Propinsi
Sulawesi Utara berkembang dengan terbentuknya Kab. Talaud sebagai hasil
pemekaran dari Kab. Sangihe dan Talaud, dan Kab. Minahasa Selatan, Kota
Tomohon dan Kab. Minahasa Utara sebagai hasil pemekaran dari Kab. Minahasa.
Semenjak di realisasikannya demokrasi di Indonesia Pemilian Pemimpin di
Indonesia dilakukan secara langsung oleh rakyat Indonesia juga dilaksanakan di
112
Sulawesi Utara. Dengan pelaksanaan pemilian Gubernur dan Wakil Gubernur yang
dilaksanakan pada tanggal 20 Juni 2005 dan terpilihlah Drs. S.H. Sarundajang
sebagai gubernur Sulawesi Utara dan Bpk. Freddy. H. Sualang sebagai wakil
Gubernur Sulawesi Utara periode 2005 – 2010.
Visi
Visi dan Misi Daerah dengan demikian juga merupakan Visi dan Misi Gubernur
dan Wakil Gubernur yang dapat menghantar masyarakat Sulawesi Utara menuju
masa depan yang lebuh baik adalah :
MMEWUJUDKANEWUJUDKAN S SULAWESIULAWESI U UTARATARA Y YANGANG B BERBUDAYAERBUDAYA, B, BERDAYAERDAYA S SAINGAING, ,
DDANAN S SEJAHTERAEJAHTERA..
SSASARANASARAN P POKOKOKOK : :
A. BERBUDAYA ; Terwujudnya masyarakat Sulawesi Utara yang
mempunyai budaya moderen dan agamais serta berkepribadian/jatidiri
yang dinamis, kreatif, inovatif, disiplin, berdaya tahan dan mampu ikut
mewarnai proses globalisasi.
B. BERDAYA SAING ; Terwujudnya masyarakat Sulawesi Utara yang sehat
dan cerdas dengan kemampuan untuk menjadi unggul di segala bidang.
C. SEJAHTERA; Terwujudnya masyarakat Sulawesi Utara yang bebas dari
segala macam gangguan agar dapat menjalani kehidupan yang aman,
sentosa dan makmur.
MMISIISI
Yang adalah rumusan umum mengenai upaya-upaya yang akan
dilaksanakan untuk mewujudkan visi adalah
113
a. Mengembangkan suasana kondusif dalam mempraktekkan keimanan dan
ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dalam kehidupan sehari hari.
b. Menerapkan clean government dan good governance yang bebas
korupsi, kolusi, dan nepotisme.
c. Mewujudkan kondisi aman, damai, nyaman, tertib, dan disiplin.
d. Menegakkan prinsip-prinsip demokrasi, supremasi dan kepastian hukum,
dan hak azasi manusia.
e. Memberdayakan dan meningkatkan peran perempuan dan perlindungan
anak.
f. Mewujudkan masyarakat yang cerdas dan berdaya saing tinggi.
g. Mewujudkan masyarakat yang sehat dengan harapan hidup yang
panjang.
h. Mengelola secara optimal sumberdaya alam Sulawesi Utara secara
berkelanjutan dan pelestarian lingkungan hidup.
i. Memberdayakan ekonomi lokal dan regional berbasis kerakyatan.
j. Meningkatkan peran pelaku bisnis dalam kegiatan ekonomi lokal, regional
dan global.
k. Meningkatkan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi, dan
menjamin kebebasan pers yang bertanggung jawab.
l. Meningkatkan pembangunan di kawasan perbatasan.
m. Menurunkan pengangguran, kemiskinan, dan mengurangi masalah-
masalah sosial.
2. GEOPOSISI
Secara universal paradigma pembangunan ekonomi telah berubah seiring
dengan tuntutan ekonomi global yang dewasa ini mengharapkan suatu aktifitas
114
ekonomi menjadi lebih efesien dengan flexibilitas yang tinggi. Batas-batas negara
/wilayah administrasi pemerintahan (Propinsi, daerah) yang awalnya menjadi
preferensi untuk pengembangan/pembangunan ekonomi wilayah telah berubah,
sehingga paradigma baru pengembangan kawasan ekonomi saat ini semakin
borderless. Artinya batas-batas negara/ pemerintahan menjadi semakin tidak jelas
untuk pengembangan ekonomi wilayah/ kawasan. Di Eropah sekalipun yang
merupakan negara-negara ekonomi maju telah menyatukan mata uang mereka
(euro) untuk efisiensi perdagangan ekonomi wilayah.
Gambar 5.3
Peta Dunia
Sumber : SULUT dalam angka 2009, BPS SULUT Dalam perpektif Nasional, Otonomi daerah yang digulirkan oleh pemerintah
sebagai jawaban atas tuntutan demokrasi/ masyarakat membawa implikasi terhadap
perubahan paradigma pembangunan yang dewasa ini diwarnai dengan isyarat
Globalisasi. Saat ini daerah cenderung lebih leluasa dalam mengelola gagasan dan
konsep serta merumuskan kebijakan pembangunan daerah. Terbukanya peluang
115
bagi pemerintah daerah mengembangkan kebijakan regional dan lokal untuk
mengoptimalkan pendayagunaan potensi ekonomi daerahnya. Dalam konteks ini
otonomi daerah akan memungkinkan lahirnya berbagai prakarsa pemerintah daerah
untuk menawarkan fasilitas investasi dan membangun berbagai infrastruktur yang
menunjang pertumbuhan ekonomi daerahnya. Pada masa lalu top down planning
begitu kuat dan pada saat ini cenderung ke arah bottom up planning. Otonomi
daerah diharapkan akan membawa masyarakat ke tingkat kesejahteraan yang lebih
tinggi.
Gambar 5.4
Peta Indonesia
Sumber : SULUT dalam angka 2009, BPS SULUT
Provinsi Sulawesi Utara dengan ibukota Manado, secara geografis terletak di
antara 0,300 – 4,300 lintang utara dan 123,00 – 127,00 bujur timur, dengan luas
wilayah 15.272,44 km2. Sebagian besar wilayahnya merupakan perbukitan rendah
dengan ketinggian 0-2000 meter di atas permukaan laut. Propinsi Sulawesi Utara
dengan jumlah penduduk 1.980.543 orang dan kepadatan penduduknya 129,68
116
orang per km2 tergolong masyarakat agraris, di mana mata pencarian penduduk
Propinsi Sulawesi Utara hampir separuh di sektor pertanian.
Gambar 5.5
Peta Sulawesi Utara
Sumber : SULUT dalam angka 2009, BPS SULUT
Dalam perpektif regional maupun internasional Provinsi Sulawesi Utara berada
pada posisi strategis karena terletak di bibir pasifik (pacific reem) yang secara
langsung berhadapan dengan negara-negara asia timur dan negara-negara pasifik.
Posisi demikian menguntungkan Sulawesi Utara, karena secara geografis akan
menjadi pintu gerbang perdagangan di kawasan timur Indonesia di wilayah Asia
Pasifik.
Predikat sebagai pintu gerbang tersebut ditopang dengan adanya Pelabuhan
Samudra Bitung yang mampu menampung jenis kapal laut dalam ukuran besar,
serta Bandara Internasional Sam Ratulangi. Untuk pelabuhan samudra Bitung sudah
117
diperluas dengan dibangunnya fasilitas pelabuhan kontainer yang mampu bongkar
muat komoditi ekspor dan impor bagi kapal-kapal yang menggunakan fasilitas
pelabuhan tersebut. Selanjutnya dalam rencana makro Nasional di Sulawesi Utara
(Bitung) akan dibangun International Hub Port (IHP).
Dalam era globalisasi perdagangan, semua pihak (stakeholders) harus
mengantisipasi pekembangan dan manfaat positif di era perdagangan bebas (free
trade zone) seperti AFTA (Asean Free Trade Area), NAFTA, APEC serta
pertumbuhan ekonomi global yang memanfaatkan fasilitas perdagangan yang ada di
Sulawesi utara.
Keunggulan komparatif yang ada dengan didukung sejumlah fasilitas penunjang
yang ada harus dikelola secara optimal agar dapat memberikan kontribusi dalam
memacu akselerasi pembangunan propinsi Sulawesi Utara. Keunggulan posisi
strategis tersebut perlu dioptimalkan sehingga dapat mendorong pertumbuhan
ekonomi, perdagangan, pariwisata, jasa, industri manufaktur, dan bidang lain di
Sulawesi Utara khususnya dan Indonesia pada umumnya.
Kondisi ekonomi
Pertumbuhan ekonomi
Pada tahun 2002, nilai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) menurut harga
konstan 1993 adalah sebesar Rp 3.490,69 Milyar, meningkat menjadi Rp 3.671,88
Milyar pada tahun 2003, kemudian pada tahun 2004 meningkat menjadi Rp 3.880,67
Milyar, dan pada tahun 2005 meningkat lagi menjadi Rp 4.061,23 Milyar. Dengan
demikian, laju pertumbuhan ekonomi tahun 2003 adalah sebesar 5,19 persen,
meningkat sebesar 5,69 persen pada tahun 2004, kemudian pada tahun 2005
pertumbuhannya makin melambat menjadi sebesar 4,65 persen. Hal ini disebabkan
antara lain adanya pengaruh dari kenaikan harga BBM pada akhir tahun 2005.
Sumber data : BPS Sulawesi Utara, 2006.
118
Kalau dilihat menurut sektor, ternyata hanya sektor pertanian (A) laju
pertumbuhannya meningkat yakni dari 3,82 persen pada tahun 2004 meningkat
menjadi 4,33 persen pada tahun 2005. Sedangkan dua sektor lainnya yakni sektor
manufaktur (M) dan sektor Jasa-Jasa (S) laju pertumbuhannya mengalami
penurunan.
PDRB/Kapita
Pada tahun 2001, nilai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita
menurut harga berlaku adalah sebesar Rp 5,79 Juta, meningkat menjadi Rp 6,21
Juta pada tahun 2002, pada tahun 2003 meningkat pula menjadi Rp 6,65 Juta,
kemudian pada tahun 2004 meningkat menjadi Rp 7,34 Juta, kemudian tahun 2005
meningkat menjadi Rp 8,16 Juta.
Struktur Perekonomian
Selanjutnya, dilihat dari segi kontribusi masing-masing sektor, jelas terlihat
bahwa kontribusi sektor Jasa-Jasa (S) adalah yang terbesar, kemudian diikuti sektor
pertanian (A) dan yang terkecil kontribusinya adalah sektor manufaktur (M). Selain
itu, dari distribusi PDRB tersebut dapat pula dilihat bahwa selama periode 2002-2005
kontribusi sektor pertanian (A) trennya menurun dan bergeser ke sektor Jasa-Jasa
(S) dan sektor manufaktur (M).
Perbankan
Relatif stabilnya makro ekonomi Sulawesi Utara tahun 2005, turut didukung pula
oleh beberapa indikator ekonomi yang tumbuh dan berkembang secara positif. Dana
pihak ketiga atau dana masyarakat yang dihimpun perbankan sampai dengan posisi
119
akhir tahun 2004 berjumlah Rp. 4,60 trilyun dan meningkat menjadi Rp. 5,24 trilyun
pada tahun 2005 atau mengalami peningkatan sebesar 13,91 persen.
Penyaluran kredit juga meningkat yakni dari Rp. 3,41 trilyun pada tahun 2004,
meningkat menjadi Rp. 4,12 trilyun pada tahun 2005 atau meningkat sebesar 20,82
persen. Angka-angka ini mengindikasikan bahwa dana masyarakat yang dihimpun
pihak perbankan disalurkan kembali untuk pemberdayaan pembangunan di Sulawesi
Utara baik melalui kredit program maupun kredit komersial yang berperan sebagai
penggerak perekonomian Provinsi Sulawesi Utara.
Ekspor Dan Impor
Secara umum, nilai transaksi perdagangan luar negeri Sulawesi Utara dari tahun
ke tahun dalam kondisi surplus perdagangan (nilai ekspor lebih besar daripada nilai
impor). Pada tahun 2002 neraca perdagangan Sulawesi Utara mengalami surplus
sebasar 83,59 Juta US$, meningkat menjadi 115,57 Juta US$ pada tahun 2003,
pada tahun 2004 menurun cukup tajam yakni menjadi 25,16 Juta US $, kemudian
pada tahun 2005 meningkat kembali menjadi 377,23 Juta US $. Adapun
perkembangan nilai ekspor dan impor selama periode 2002-2005 dapat diikuti pada
gambar berikut ini. Negara-negara tujuan utama ekspor Sulawesi Utara adalah
Belanda, Amerika Serikat, China, Jepang, Philipina, India, Jerman, Malasia,
Singapore, dan Australia.
Distribusi Pendapatan
Jika dilihat dari distribusi pendapatan masyarakat antara masyarakat yang
berpenghasilan tinggi dengan kelompok masyarakat yang berpenghasilan rendah,
maka Sulawesi Utara tidak terjadi kesenjangan (gap) yang mencolok. Hal ini
ditunjukan oleh angka Gini Ratio Sulawesi Utara pada tahun 2004 sebesar 0,26 dan
tahun 2005 relatif mencapai angka yang sama dan angka nasional mencapai 0,31
(angka Gini ratio semakin mendakati ”0”, hal ini berarti tingkat pemerataan
120
pendapatan semakin baik). Hal ini mencerminkan tingkat pendapatan masyarakat
Provinsi Sulawesi Utara mengalami peningkatan dan perbaikan yang sangat berarti
dalam rangka memperkuat daya beli masyarakat serta didukung pula dengan
semakin terkendalinya tingkat inflasi dari tahun ke tahun.
Inflasi
Stabilitas ekonomi dan keamanan di Provinsi Sulawesi Utara secara umum
masih relatif terkendali. Hal ini dapat dibuktikan dengan belum terlihat adanya
dampak negatif secara sosial ekonomi maupun gangguan yang mengancam
keamanan dan ketertiban masyarakat, walaupun angka inflasi untuk beberapa tahun
terakhir ini sudah menembus angka psikologis di atas dua digit. Perkembangan laju
inflasi Sulawesi Utara yang tercermin dari perkembangan inflasi Kota Manado
menunjukan bahwa pada tahun 2001 inflasi yang terjadi sudah di atas dua digit yaitu
sebesar 13,30 terus mengalami peningkatan hingga tahun 2002 sebesar 15,22%,
walaupun sempat menurun pada tahun 2003 dan 2004 di bawah 5% namun dengan
kebijakan pemerintah nasional/pusat yang menghapus subsidi BBM memicu inflasi
Kota Manado menjadi 18,73% di tahun 2005.
Dampak dari kondisi tersebut, diperkirakan tidak akan berlangsung lama, karena
dengan adanya kebijakan pengendalian harga yang ditempuh oleh pemerintah pusat
dan ditopang oleh pemerintah daerah maka diperkirakan laju inflasi Sulawesi Utara
akan turun dan berada pada level di bawah dua digit.
Industri Dan Investasi
Dalam memacu kinerja sektor industri dan perdagangan di Provinsi Sulawesi
Utara, maka telah dilakukan beberapa kegiatan seperti pemberian petunjuk teknis
kepada pengusaha Industri Logam Mesin Elektronik dan Aneka (ILMEA) melalui
121
program kegiatan pengadaan mesin peralatan (alsintan) dan Temu Usaha Bengkel,
pemberdayaan industri Kima Agro dan Hasil Hutan yang berbasis pertanian,
perkebunan, perikanan, tanaman pangan untuk meningkatkan pertumbuhan
ekonomi. Program ini dijabarkan melalui pembimbingan, penyuluhan dan pelatihan
untuk meningkatkan mutu melalui GMP, HACCP, memasyarakatkan teknologi teruji
kerjasama dengan Baristand, Perguruan Tinggi, dan membudayakan industri akrab
lingkungan dan kegiatan lainnya. Berdasarkan upaya tersebut, telah mampu
meningkatkan kinerja Industri Kima Agro dan Hasil Hutan terutama sumbangan yang
berarti pada peningkatan PDRB Sulawesi Utara.
Pertanian Tanaman Pangan Dan Peternakan
Pembangunan sub sektor tanaman pangan periode tahun 2000-2005, telah
dilaksanakan melalui Program Peningkatan Ketahanan Pangan dan Program
Pengembangan Agribisnis Tanaman Pangan. Kegiatan-kegiatan pokok yang telah
dilaksanakan meliputi pengembangan kawasan sentra produksi tanaman pangan
dengan pendekatan Rancang Bangun yaitu pengembangan pusat pertumbuhan,
pengembangan usaha dan pengembangan kemitraan dibagi 4 (empat) strategi yaitu
1. Peningkatan produktivitas
2. Perluasan areal tanam
3. Pengamanan produksi dan
4. Pengolahan hasil & pemasaran
Dari aspek sarana/prasarana pertanian sebagai salah satu faktor pembatas
keberhasilan pertanian telah dilakukan upaya-upaya melalui fasilitas dan pembinaan
pemanfaatan alat dan mesin pertanian, fasilitasi dan pembinaan pemanfaatan air,
pembinaan pemanfaatan pupuk/pestisida dan pembinaan pemanfaatan sarana
usaha yang tersedia. Sebagai gambaran berikut disajikan tabel luas lahan dan jenis
penggunaannya di Sulawesi Utara :
122
Nilai produksi barang-barang dan jasa-jasa yang dihasilkan dalam setahun oleh
para pelaku ekonomi di Sulawesi Utara yang tercermin dari PDRB untuk tahun 2004
mencapai Rp 14,13 triliun (HB) dan Rp 3,88 triliun (HK). Nilai tersebut telah
mengalami perkembangan hampir enam setengah kali untuk harga berlaku dan
untuk harga konstan mengalami perkembangan lebih dari satu setengah kali dari
tahun 1993. Meningkatnya angka PDRB Sulawesi Utara khusus untuk harga berlaku
disebabkan terjadi lonjakan harga di tahun 1998 yang langsung meningkat tajam
lebih dari tiga kali dibanding tahun 1993.
Dilihat darai sisi penawaran, lokomotif pertumbuhan PDRB Sulawesi Utara
terutama disumbangkan oleh sektor pertanian sebesar 26,45 persen, kemudian
diikuti oleh sektor angkutan dan komunikasi sebesar 17,14 persen, sektor jasa-jasa
13,98 persen, sektor perdagangan, hotel dan restoran 13,39 persen, sektor
bangunan 10,62 persen. Selanjutnya untuk sektor industri pengolahan,
pertambangan dan penggalian, listrik, gas dan air serta sektor keuangan, persewaan
dan jasa perusahaan semuanya hanya berperan di bawah 10 persen. Selanjutnya,
meskipun telah terjadi perkembangan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)
perkapita Sulawesi Utara yang saat ini mencapai Rp 7,54 juta rupiah, namun angka
tersebut masih jauh berada di bawah rata rata nasional. Kondisi ini mengindikasikan
Sulawesi Utara masih harus bekerja keras untuk tidak semakin tertinggal dari daerah
lain yang terus melaju pesat.
Dilihat dari sisi permintaan, kontribusi terbesar dalam pembentukan PDRB
Sulawesi Utara masih di dominasi oleh konsumsi rumah tangga dengan share 59,04
persen. Nilai share ini meningkat dibandingkan sebelumnya yang tercatat 57,99
persen. Kegiatan lain yang peranannya meningkat adalah konsumsi lembaga swasta
non profit dengan kontribusi sebesar 0,15 persen (meningkat 0,06 persen dari
sebelumnya). Demikian pula dengan ekspor, juga memperlihatkan kinerja yang
membaik, tercermin dari peningkatan kontribusi kegiatan tersebut dari 3,41 persen
123
menjadi 7,75 persen. Peningkatan laju konsumsi tersebut antara lain didorong oleh
meningkatnya kredit konsumsi sebesar 25,80 persen.
Perkembangan ekonomi Sulawesi Utara pada triwulan II 2005 cukup
menggembirakan. Tercermin dari laju pertumbuhan tahunan yang mencapai angka
4,51 persen atau secara triwulanan 8,11 persen. Dari sisi produksi sektor dominan
pembentuk PDRB masih didominasi oleh sektor pertanian dengan kontribusi (share)
sebesar 27,65 persen, diikuti oleh sektor pengangkutan 16,94 persen dan sektor
jasa-jasa 13,99 persen. Seluruh sektor pembentuk PDRB pada triwulan laporan
mengalami pertumbuhan positif. Perkembangan indikator perbankan Sulawesi Utara
sampai dengan triwulan III tahun 2005 cukup baik. Hal ini antara lain tercermin dari
meningkatnya dana pihak ketiga yang berhasil dihimpun yakni sebesar Rp 4,84
Triliun. Demikian pula jumlah kredit yang telah disalurkan sampai dengan triwulan III
sebesar Rp 3,9 Triliun atau meningkat 25,35 persen dibanding periode yang sama
tahun sebelumnya. Dengan demikian, fungsi intermediasi perbankan yang tercermin
pada Rasio Pinjaman dan Tabungan Masyarakat (Loan Deposit Ratio) sebesar
75,01 persen.
Kunjungan wisatawan mancanegara ke Sulawesi Utara sampai akhir bulan Juni
2005 mencapai 6.091 orang. Jumlah ini masih lebih rendah dibandingkan dengan
periode yang sama tahun sebelumnya yang mencapai 7.228 orang atau turun 15,73
persen. Namun demikian, dibandingkan dengan tahun sebelumnya, kunjungan
wisatawan mancanegara cukup menggembirakan yaitu mencapai 3.650 orang atau
meningkat 49,53 persen. Sebagian besar kedatangan wisatawan mancanegara
tersebut melalui Bandara Sam Ratulangi Manado sedangkan hanya sebagian kecil
melalui Pelabuhan Bitung. Sementara itu, rata-rata tingkat hunian hotel berbintang di
Sulawesi Utara sepanjang tahun 2005 (sampai akhir Juni 2005) mencapai 52,79
persen. Angka tersebut cukup menggembirakan karena merupakan yang tertinggi
sejak kurun waktu tahun 1996.
124
3. Kinerja Investasi
Perkembangan kegiatan investasi di Sulawesi Utara pada triwulan II 2005 cukup
menggembirakan tercermin dari meningkatnya nilai tambah Pembentukan Modal
Tetap Bruto (PMTB) secara tahunan yang tumbuh 0,98 persen, melambat
dibandingkan triwulan sebelumnya sebesar 2,28 persen. Perkembangan kegiatan
investasi tersebut ternyata seiiring pula dengan peningkatan penyaluran kredit
investasi dan modal kerja. Sampai akhir bulan Mei 2005, jumlah kredit investasi dan
modal kerja yang berhasil disalurkan mencapai Rp. 1.494 miliar atau naik 11,58
persen dibandingkan triwulan II tahun 2004. Guna menggairahkan iklim investasi,
pemerintah di daerah juga perlu segera membenahi sarana dan prasarana seperti
SDM, listrik, air bersih, jalan, serta membuat kebijakan-kebijakan untuk mendukung
terciptanya iklim yang kondusif untuk berinvestasi. Apabila hal-hal tersebut tidak
segera dibenahi, maka tingkat efisiensi investasi di tahun-tahun mendatang
diperkirakan tidak akan mengalami banyak perubahan. Sementara itu, hasil forum
diskusi yang diselenggarakan oleh Bank Indonesia Manado dengan melibatkan
Pemda, Perbankan, Akademisi dan pelaku usaha, disimpulkan pula bahwa untuk
meningkatkan daya saing Sulawesi Utara dalam menjaring investor diperlukan kajian
ulang terhadap berbagai Perda yang menghambat masuknya investasi.
Nilai tambah kegiatan ekspor Sulawesi Utara baik antar Propinsi dan antar
negara secara tahunan pada triwulan II 2005 tumbuh 18,57 persen, naik
dibandingkan triwulan sebelumnya sebesar 9,88 persen. Laju pertumbuhan ini
memberikan kontribusi sebesar 7,75 persen terhadap laju pertumbuhan Sulawesi
Utara secara keseluruhan. Namun demikian, pertumbuhan ekspor tersebut masih
dibarengi oleh tingginya impor barang yang berasal dari propinsi/daerah lain
sehingga secara keseluruhan kegiatan perdagangan masih berada kondisi defisit
perdagangan (net impor). Hal ini mengindikasikan bahwa kebutuhan masyarakat
125
Sulawesi Utara banyak yang masih harus didatangkan dari luar daerah, serta
sedikitnya perusahaan-perusahaan yang bertindak sebagai produsen di wilayah ini.
Sementara itu, berdasarkan nilai perdagangannya antar negara, nilai realisasi
ekspor Sulawesi Utara ke luar negeri dari tahun ke tahun terus menunjukkan
peningkatan sejak tahun 2001. Sampai dengan Mei 2005, nilai realisasi ekspor luar
negeri tercatat sebesar USD 181,80 juta. Angka ini diharapkan akan terus meningkat
sampai akhir tahun 2005 sehingga akan melebihi angka realisasi ekspor tahun 2004
sebesar USD 248,15 juta. Meningkatnya nilai ekspor, ternyata seiring dengan terus
menurunnya tingkat ketergantungan Sulawesi Utara terhadap barang atau jasa dari
luar negeri. Hal ini tercermin dari nilai impor yang terus memperlihatkan
kecenderungan penurunan dimana sampai Mei 2005, nilai impor tercatat sebesar
USD 4,31 juta. Kecenderungan meningkatnya perdagangan antar negara tercermin
pula pada volume perdagangannya. Sampai Mei 2005, volume ekspor tercatat
sebesar 293,88 ribu ton dengan volume import sebesar 2,42 ribu ton. Dengan
demikian, sampai Mei 2005, Sulawesi Utara mencatat surplus perdagangan luar
negeri.
4. Dukungan inrastruktur
1. Bandar Udara
Propinsi Sulawesi Utara memiliki 3 bandar udara yaitu; Bandar Udara Sam
Ratulangi (Manado), Bandar Udara Naha dan Melanguane (Sangihe Talaud). Bandar
Udara Sam Ratulangi merupakan Bandar Udara utama di Sulawesi Utara yang
sudah melayani penerbangan internasional.
Saat ini setelah dikembangkannya fasilitas bandara baik runway yang telah dapat
didarati oleh pesawat sejenis Air Bus A.300 dan DC-10, serta pembangunan terminal
126
utama yang representatif, maka Bandara Sam Ratulangi telah menjadi salah satu
Bandara Internasional di Indonesia.
Gambar 5.6
Peta Penerbangan melewati jalur Manado
Sumber : Data Sulut Dalam Angka 2009
Saat ini jalur penerbangan internasional langsung yang dapat melalui
Bandara Sam Ratulangi adalah jalur Manado - Singapura, Manado - Davao, dan
Manado - Taipeh, dan Manado – Kuala Lumpur. Disamping Bandar Udara Sam
Ratulangi tersebut, Sulawesi Utara juga memiliki Bandar Udara khusus
penerbangan local, seperti Pelabuhan Udara Naha dan Melangguane di
Kabupaten Sangihe dan Talaud yang melayani penerbangan lokal.
127
2. Pelabuhan Laut
Hubungan transportasi laut dilakukan melalui Pelabuhan Lokal, Nusantara
dan Pelabuhan Samudra/ Internasional. Pelabuhan Utama yang melayani
perhubungan laut di Sulawesi Utara dan wilayah Indonesia Timur bahkan luar
negeri adalah Pelabuhan Bitung. Saat ini fasilitas pelabuhan Bitung tengah
dikembangkan terutama fasilitas bongkar muat peti kemas.