WAYANG KULIT BALI GAYA KARANGASEM STUDI KASUS DALANG IDA MADE ADI PUTRA LAKON NILA CANDRA SKRIPSI OLEH : IDA AYU NYOMAN WERDHI PUTRI KUSUMA NIM 201003001 PROGRAM STUDI S-1 SENI PEDALANGAN JURUSAN SENI PEDALANGAN FAKULTAS SENI PERTUNJUKAN INSTITUT SENI INDONESIA DENPASAR 2014
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
WAYANG KULIT BALI GAYA KARANGASEM STUDI KASUS DALANG IDA MADE ADI PUTRA
LAKON NILA CANDRA
SKRIPSI
OLEH :
IDA AYU NYOMAN WERDHI PUTRI KUSUMA NIM 201003001
PROGRAM STUDI S-1 SENI PEDALANGAN JURUSAN SENI PEDALANGAN
FAKULTAS SENI PERTUNJUKAN INSTITUT SENI INDONESIA
DENPASAR 2014
SKRIPSI
WAYANG KULIT BALI GAYA KARANGASEM STUDI KASUS DALANG IDA MADE ADI PUTRA
LAKON NILA CANDRA
Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat-syarat untuk mencapai gelar Sarjana Seni (S1)
MENYETUJUI :
MOTTO
Bukanlah kegembiraan atau kesedihan yang menjadi tujuan akhir kita,
Melainkan bertindak hingga esok kita telah melangkah lebih jauh dari hari ini.
Sasi wimba haneng gata, mesi banyu
Ndanasing suci nirmala, mesi wulan
Iwa mangkana rakwa kiteng kadadin
Ringanganbeki yoga, kiteng sekala
(Arjuna Wiwaha, hal. 38 pupuh ke 11)
Artinya: Seperti bayangan bulan yang terlihat pada tempat air yang berisi air
Tetapi hanya pada air yang bersih tanp kotoran saja bayangan bulan itu akan
nampak.
Seperti itulah Tuhan dalam kehidupan ini.
Hanya pada manusia yang taat melaksanakan yoga Tuhan itu akan menunjukkan
diri-Nya secara nyata
KATA PENGANTAR
Puja dan puji syukur penulis panjatkan ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi
Wasa/Tuhan Yang Mahaesa, atas berkat dan rahmat-Nyalah dapat tersusun skripsi
yang berjudul “Wayang Kulit Bali Gaya Karangasem Studi Kasus Dalang Ida
Made Adi Putra Lakon Nila Candra”. Tugas akhir ini merupakan suatu proses
yang harus ditempuh oleh seorang mahasiswa Jurusan Seni Pedalangan, Fakultas
Seni Pertunjukan, Institut Seni Indonesia, sebagai bagian dari syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Seni (S1).
Penulis menyadari tentang hakekat manusia yang memiliki keterbatasan
sebagai ciptaan Tuhan, di samping memiliki kelebihan tentu ada kekurangan.
Oleh karena itu suatu keberhasilan yang diraih saat ini sudah tentu memerlukan
bantuan orang lain. Sebagai bukti penyusunan skripsi ini banyak memperoleh
bimbingan, arahan, masukan dan saran-saran, serta berupa dorongan dari berbagai
pihak. Melalui kesempatan yang baik ini penulis mengucapkan rasa terima kasih
dan penghargaan yang tidak terhingga kepada semua pihak atas kemurahan hati
membantu penulis, sehingga skripsi ini rampung tepat pada waktunya. Ucapan
terima kasih ini ditujukan kepada :
1. Bapak Dr. I Gede Arya Sugiartha,S.SKar. selaku rektor Institut Seni
Indonesia (ISI) Denpasar yang telah memberikan kesempatan kepada
penulis menempuh perkuliahan.
2. Bapak I Wayan Suharta,S.SKar.,M.Si. selaku dekan Fakultas Seni
Pertunjukan dan sebagai ketua panitia penyelenggara ujian tugas akhir
Fakultas Seni Pertunjukan ISI Denpasar, yang telah memberi motivasi
selama mengikuti perkuliahan dan pada proses tugas akhir.
3. Bapak I Dewa Ketut Wicaksana,SSP.,M.Hum. selaku pembantu
dekan I dan pembimbing akademik, yang dengan sabar meluangkan
waktunya untuk memberikan bimbingan dan motivasi sejak awal
perkuliahan dan proses pembelajaran sampai dengan proses tugas akhir.
4. Ibu Doktor Ni Luh Sustyawati,M.Pd. selaku pembantu dekan III, yang
telah memberi motivasi selama mengikuti perkuliahan dan pada proses
tugas akhir serta bimbingan moril selama penulis mengikuti perkuliahan
dan kegiatan kampus.
5. Bapak I Kadek Widnyana,SSP.,M.Si, selaku ketua jurusan seni
pedalangan ISI Denpasar, yang telah membantu penulis dalam proses
akademik selama mengikuti perkuliahan.
6. Ibu Ni Komang Sekar Marhaeni,SSP.,M.Si. selaku sekretaris jurusan seni
pedalangan ISI Denpasar, telah banyak memberikan dorongan motivasi
dan membantu secara akademis selama perkuliahan.
7. Bapak Drs. I Wayan Mardana,M.Pd. selaku pembimbing I atas perhatian,
bimbinganya, dan motivasi selama menempuh perkuliahan mengoreksi
dan membenahi tulisan pada skripsi ini.
8. Ibu Dra. Ni Diah Purnamawati.,M.Si. selaku pembimbing II yang telah
banyak memberikan dorongan, motivasi yang sangat berarti bagi penulis,
mengoreksi dan membenahi tulisan pada skripsi ini.
9. Bapak Prof. Dr. I Nyoman Sedana,SSP,M.A. selaku guru besar di jurusan
pedalangan dan dosen yang sudah dengan sabar dan meluangkan waktunya
untuk memberikan bimbingan, motivasi, dan semangat dari awal
perkuliahan hingga penulis menyelesaikan skripsi ini.
10. Seluruh Bapak dan Ibu dosen pengajar di jurusan pedalangan berserta
pegawai Fakultas Seni Pertunjukan yang telah memberikan ilmu
pengetahuan, bimbingan, pengalaman, motivasi, bantuan, dan arahan
selama awal perkuliahan hingga penyusunan skripsi ini.
11. Bapak Biro Administrasi Akademik Kemahasiswaan dan Kerjasama
(BAAKK) yang sudah memberikan kepercayaan kepada penulis untuk
menerima beasiswa selama menjadi mahasiswa di Institut Seni Indonesia
Denpasar.
12. Bapak mangku Dalang Ida Made Adi Putra selaku dalang beserta keluarga,
serta masyarakat Desa Banjar Besang, Kecamatan Ababi, Kabupaten
Karangasem yang telah memeberikan tempat, waktu, kesempatan,
informasi mengenai pertunjukan Wayang Kulit Gaya Karangasem Lakon
Nila Candra., serta sambutan yang sangat hangat kepada penulis selama
penelitian skripsi ini.
13. Bapak Dalang Ida Made JD Bratha sebagai informan yang telah
memberikan informasi tambahan mengenai pertunjukan Wayang Kulit
Gaya Karangasem.
14. Teman-teman seperjuangan mahasiswa jurusan pedalangan angkatan 2010
atas inspirasi, bimbingan, semangat, rasa solidaritas, kekeluargaan,
senasib, dan sepenangungan dari awal perkuliahan hingga selesainya
skripsi ini rampung tepat pada waktunya.
15. Seluruh keluarga yang saya cintai yang sudah banyak memberikan bantuan
dan dukungan moral selama perkuliahan dan dalam proses penyusunan
skripsi ini.
Semoga bantuan yang diberikan kepada penulis diterima sebagai amal
serta mendapatkan pahala yang setimpal dari Tuhan Yang Maha Esa. Akhir kata,
penulis mengucapkan terima kasih atas segala perhatiannya, dan besar harapan
penulis semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak dan bagi yang
memerlukannya.
Denpasar, 20 Mei 2014
Penulis
ABSTRAK Wayang kulit merupakan salah satu pertunjukan yang masih tetap eksis sampai saat ini, serta memiliki banyak gaya/style di setiap daerah masing-masing. Seperti di daerah Sukawati, Badung, Buleleng dan juga di daerah Karangasem. Penelitian ini adalah sebuah pengkajian seni pertunjukan yang mengangkat bentuk, fungsi, dan makna pertunjukan Wayang Kulit Parwa Gaya Karangasem lakon Nila Candra oleh Dalang Ida Made Adi Putra, di Banjar Besang, Desa Ababi, Kecamatan Abang, Kabupaten Karangasem. Fokus penelitian ini adalah mengkaji tentang ciri khas yang mebedakan bentuk, fungsi, dan makna dalam pertunjukan Wayang Kulit Parwa Gaya Karangasem lakon Nila Candra oleh Dalang Ida Made Adi Putra. Penelitian ini mengunakan metode kualitatif, yaitu mengkaji mengenai permasalahan yang diajukan menggunakan Teori Estetika, Teori Fungsionalisme Struktural dan Teori Wacana. Data yang disajikan dalam penelitian ini diperoleh melalui observasi, interview atau wawancara, studi kepustakaan dan studi dokumentasi. Nila Candra sebagai objek analisis merupakan sebuah lakon carangan wayang kulit Bali. Lakon carangan ini mengambil sumber dari Kakawin Nila Candra yang masih merupakan bagian dari epos Mahabharata. Pembatasan materi sebagai bahan kajian dalam penulisan skripsi ini dibatasi pada tiga aspek yaitu : bentuk, fungsi dan makna terhadap sebuah seni pertunjukan Wayang Kulit Gaya Karangasem lakon Nila Candra. Penelitian ini sifatnya deskriptif kualitatif. Hasil penelitian ini membahas tentang Wayang Kulit Gaya Karangasem dengan lakon Nila Candra. Wayang Kulit Gaya Karangasem ini mempunyai struktur pementasan yang berbeda dengan struktur pementasan wayang secara umum. Perbedaan yang sangat menonjol terletak pada tahap Alas harum, dan petangkilan. Pada tahap Alas harum biasanya dalang menyanyikan sebuah tembang (kekawin) disertai dengan menarikan tokoh wayang, namun pada struktur pementasan Wayang Kulit Gaya Karangasem pada tahap Alas harum dalang hanya menembang tanpa menarikan tokoh wayang sehingga pada kelir masih kosong belum ada tokoh wayang yang muncul. Pada struktur pementasan Wayang Kulit Gaya Karangasem tidak ada petangkilan, tetapi langsung ke pangkatan. Dari sinilah dijadikan titik tolak untuk memahami bentuk, fungsi, dan makna sebagai daya tarik pertunjukan Wayang Kulit Gaya Karangasem lakon Nila Candra. Kata kunci :Wayang Kulit Karangasem, bentuk, fungsi dan makna.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................. i LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ........................................... ii LEMBAR PENGESAHAN ...................................................................... iii HALAMAN MOTTO ............................................................................... iv KATA PENGANTAR .............................................................................. v ABSTRAK ................................................................................................ ix DAFTAR ISI ............................................................................................. x GLOSARIUM ........................................................................................... xii DAFTAR TABEL ..................................................................................... xvi DAFTAR FOTO ....................................................................................... xvii BAB I PENDAHULUAN .................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ................................................................... 1 1.2 Perumusan Masalah ........................................................... 6 1.3 Tujuan Penelitian ............................................................... 6 1.4 Manfaat Hasil Penelitian ................................................... 6 1.5 Ruang Lingkup Penelitian ................................................. 7
BAB II KAJIAN SUMBER DAN LANDASAN TEORI ..................... 9
2.1 Kajian Sumber .................................................................... 9 2.2 Landasan Teori ................................................................... 11
2.2.1 Teori Estetika ........................................................ 12 2.2.2 Teori Fungsionalisme Struktural ........................... 13 2.2.3 Teori Wacana ........................................................ 14
BAB III METODE PENELITIAN ......................................................... 17
1.1 Rancangan Penelitian ......................................................... 17 1.2 Jenis dan Sumber Data ....................................................... 18 1.3 Instrumen Penelitian ........................................................... 20 1.4 Teknik Penentuan Informan ............................................... 21 1.5 Teknik Pengumpulan Data ................................................. 21
1.5.1 Observasi ............................................................... 22 1.5.2 Wawancara ............................................................ 22 1.5.3 Studi Kepustakaan ................................................. 23 1.5.4 Studi Dokumentasi ................................................ 24
1.6 Teknik Analisa Data ........................................................... 24 1.7 Sistematika Penyajian Hasil Penelitian .............................. 25 1.8 Jadwal Kegiatan Penelitian ................................................. 26
BAB IV BENTUK PERTUNJUKAN WAYANG KULIT GAYA
KARANGASEM LAKON “NILA CANDRA” ....................... 29 4.1 Bentuk Pertunjukan ........................................................... 29 4.2 Struktur Pertunjukan ........................................................... 31
BAB V FUNGSI DAN MAKNA PERTUNJUKAN WAYANG KULIT GAYA KARANGASEM LAKON “NILA CANDRA” ............................................................................... 66 5.1 Fungsi Hiburan .................................................................. 67 5.2 Fungsi Media Komunikasi.................................................. 70 5.3 Fungsi Upacara Keagamaan (Ritual) .................................. 75 5.4 Fungsi Stabilitas Kebudayaan ............................................ 77 5.5 Fungsi Integritas Masyarakat.............................................. 79
BAB VI PENUTUP ............................................................................... 82
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 87 DAFTAR INFORMAN ............................................................................ 90 LAMPIRAN
1. Transkrip Wayang Kulit Gaya Karangasem lakon “Nila Candra” Oleh Dalang Ida Made Adi Putra. ................................................ 91
Alas Harum = istilah/nama lagu yang dipakai saat adegan
persidangan pada pertunjukan Wayang Parwa.
Angkat-angkatan = istilah/nama lagu yang dipakai untuk mengiringi
keberangkatan atau perjalanan ke suatu tempat
Batel = iringan adegan perang
Belencong = lampu minyak khusus untuk pertunjukan wayang
tradisi.
Bhuta Yadnya = upacara yang dihaturkan untuk para
Cabut Kayonan = adegan dimana wayang kayonan dicabut dari
kelir.
Cepala = alat yang dipakai memukul keropak berfungsi
untuk memberikan aksentuasi pada pertunjukan
wayang
Dewa Yadnya = upacara yang dihaturkan untuk para dewa
Gadebong = batang pohon pisang yang dipakai untuk
menancapkan wayang.
Gender Wayang = instrumen pokok pengiring pertunjukan wayang
Gilak kayonan = nama gending iringan untuk tari kayonan
Hyang = sebutan untuk roh yang sudah suci
Jejer = wayang dipilih dan ditancapkan di atas batang
pisang
Jero Dalang = gelar untuk seorang dalang di Bali
Kakawin = puisi yang memakai bahasa jawa kuno yang diikat
oleh metrum-metrum guru dan lagu
Kawi Dalang = kreatifitas dalang
Ketengkong = pembantu dalang pada saat pertunjukan wayang
Kelir = layar pertunjukan wayang
Keropak = tempat penyimpanan wayang dan pasangan dari
cepala lagu yang memakai bahasa Jawa Tengahan
Kayonan = wayang yang pertama ditarikan pada pertunjukan
wayang
Lakon Carangan = cerita pokok yang dibuatkan tambahan lakon baru
Lakon Pakem = cerita yang diambil dari ceritera pokok
Lakon Pokok = cerita yang diambil dari ceritera pokok
Lampahan Unduk = cerita yang bersumber dari ceritera pokok yang
telah disadur kedalam parwa parwa dan kakawin-
kakawin
Lelampahan = cerita yang dibawakan dalam seni pertunjukan
Mangku Dalang = sebutan untuk dalang sapuh leger
Manusa Yadnya = upacara yang dihaturkan untuk mensucikan diri
manusia.
Mesem = lagu untuk adegan sedih untuk wayang bermata
sipit
Parwa = bagian-bagian dari epos Mahabharata
Panca Yadnya = lima jenis korban suci yang tulus iklas
Pitra Yadnya = upacara yang dipersembahkan kapada orang yang
sudah meninggal.
Punakawan = abdi raja
Pangkat pejalan = lagu untuk mengiringi adegan keberangkatan ke
suatu tempat
Pangkat Siat = lagu untuk mengiringi adegan keberangkatan ke
medan perang
Pemungkah = bagian awal dari pertunjukan wayang
Pengender = pemain instrumen gender wayang
Penyacah parwa = prolog pada pertunjukan Wayang Kulit Bali yang
merupakan awal ceritera yang akan disajikan
Petangkilan = adegan wayang pada saat siding
Petegak = lagu yang dimainkan oleh penabuh sebelum
pertunjukan wayang dimulai.
Pura = tempat suci agama hindu
Rebong = lagu yang digunakan pada saat adegan roman
Rsi Yadnya = upacara yang dilaksanakan untuk roh leluhur
Sang Hyang Ringgit = sebutan suci wayang
Sesendon = narasi yang dilagukan
Selendro = suatu sistem laras nada
Tabuh petegak = lagu yang dimainkan pada awal dari pertunjukan
wayang
Tatikesan = gerak wayang
Tututan = pembantu dalang pada saat pertunjukan wayang
Tungguh = kayu yang dipancangkan tempat sesuatu
Yadnya = korban suci yang tulus ikhlas
DAFTAR TABEL Tabel 3.1 Jadwal Kegiatan Penelitian. ...................................................... 27 Tabel 4.1 Bagan Struktur waktu Wayang Kulit Gaya Karangasem lakon
Nila Candra oleh Dalang Ida Made Adi Putra. ......................... 33
DAFTAR FOTO Foto1. Suasana latihan Tabuh Petegak Wayang Kulit lakon Nila
Candra di Br. Besang, Desa Ababi, Kecamatan Abang, Kabupaten Karangasem…………………………………. 123
Foto 2. Dalang Ida Made Adi Putra dalam pertunjukan WKGK lakon Nila Candra di Br. Besang, Desa Ababi, Kecamatan Abang, Kabupaten Karangasem…………………………………. 123 Foto 3. Suasana Adegan jejer wayang oleh Dalang Ida Made Adi Putra lakon Nila Candra…………………………………………….. 124 Foto 4. Gedebong sebagai simbol pertiwi dan dua buah mic dipasang dibelakang belencong untuk membantu agar suara Dalang Ida Made Adi Putra terdengar oleh penonton……………… 124 . Foto 5. Kelir yang digunakan saat pementasan WKGK lakon Nila Candra lebih lebar dari ukuran kelir pada umumnya. ............................................................................................ . 125 Foto 6. Blencong yang digunakan saat pementasan WKGK lakon Nila Candra……………………………………………… 125 Foto 7. Keropak/Gedog yang dimiliki dan dibuat sendiri oleh Dalang Ida Made Adi Putra……………………………… 126 Foto 8. Tahap wawancara dengan kedua informan. Dalang Ida Made
Adi Putra (kiri) dan Dalang Ida Made JD Bratha (kanan).. 126
Foto 9. Tokoh Wayang Nila Candra ............................................... . 127 Foto 10. Tokoh Wayang Kresna dan Nila Candra ............................ . 127 Foto 11. Tokoh Wayang Bhagawan Andasing……………………. 128 Foto 12. Tokoh Wayang Kertawarma .............................................. 128 Foto 13. Tokoh Wayang Satyaki ...................................................... 129 Foto 14. Tokoh Wayang Baladewa .................................................. 129 Foto 15 Tokoh Wayang Panca Pandawa………………………….. 130
Foto 16 Dalang Ida Made Adi Putra bersama penulis…………..... 130 Foto 17 Dalang Ida Made Adi Putra……………………………… 131
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pulau Bali sebagai salah satu bagian dari kepulauan Indonesia memiliki
warisan kebudayaan yang sangat unik, serta peninggalan kebudayaan yang
tersebar di seluruh wilayah Bali. Warisan kebudayaan ini mencirikan bahwa setiap
wilayah di Bali memiliki kekhasan kebudayaan masing-masing. Warisan
kebudayaan tersebut meliputi: adat istiadat, tari-tarian sakral, gamelan, pakeliran
atau pewayangan dan lain sebagainya. Dari sekian yang ada, pakeliran atau
pewayangan merupakan salah satu bentuk pertunjukan yang sarat akan makna dan
filsafat pengetahuan didalamnya, sehingga wayang sering dikatakan sebagai
sebuah kesenian yang adiluhung. Menurut (Koichiro dalam Sedana,2004:6) yang
dikutip oleh Sukerta dalam tesisnya menyatakan sejak tanggal 7 November 2003,
wayang diakui oleh Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan
PBB (UNESCO) sebagai pertunjukan bayangan boneka tersohor dari Indonesia,
sebuah warisan mahakarya dunia yang tak ternilai dalam seni bertutur (World
Master Piece of Oral and Intangible Heritage of Humanity.
Seni pewayangan sebagai seni pertunjukan berkembang terus dari masa ke
masa, karena wayang merupakan kesenian yang sering digunakan sebagai media
hiburan dan bahkan kritik sosial, sehingga pertunjukan wayang kulit menjadi
salah satu media pendidikan informal bagi warga masyarakat. Selain itu
pertunjukan wayang kulit juga mepmadukan berbagai unsur seni rupa, sastra,
gerak dan suara dalam pementasannya. Menurut Sidemen (2000:19), seperti yang
dikutip oleh Seramasara(2005:1) mengemukakan:
“pertunjukan wayang diciptakan sebagai wahana komunikatif, imformatif, dan edukatif supaya masyarakat Bali menjadi lebih bermoral, etis, dan normatif dalam menyikapi perkembangan jaman. Dengan demikian Seni Pewayangan Bali merupakan produk seni, hasil dari interaksi yang kondusif dan hakiki antara seniman dengan masyarakat Bali yang dijiwai oleh nilai-nilai budaya Bali”.
Kalau Sidemen mengatakan wayang sebagai komunikatif, imformatif, dan
edukatif maka, Yahya J.Aifit (2010) dalam websitenya mengatakan pertunjukan
wayang sebagai puncak seni budaya bangsa Indonesia yang paling menonjol di
antara banyak karya budaya lainnya. Pertunjukan wayang meliputi seni peran,
seni suara, seni musik, seni tutur, seni sastra, seni lukis, seni pahat, dan juga seni
perlambang. Pertunjukan wayang kulit merupakan salah satu bagian dari seni
pertunjukan Bali yang hingga kini masih tetap digemari oleh masyarakat Bali
pada umumnya. Di desa-desa maupun di kota, masyarakat masih sering
menggelar pertunjukan wayang kulit dalam kaitan dengan upacara agama
Hindu, upacara adat Bali atau hanya sebagai hiburan semata. Kedua pendapat
tersebut jelas mengungkapkan bahwa seni pewayangan mengandung nilai-nilai
budaya Bali yang sangat luhur. Lebih lajut Seramasara (2005:1-2), mengatakan
seperti dibawah ini.
“ nilai budaya Bali bersumber pada cerita Mahabharata dan Ramayana, kemudian disosialisasikan melalui pertunjukan wayang yang telah memberikan karakter terhadap masyrakat yang etis,estetis, dan religius magis. Hal ini akan dapat disadari bahwa ketika masyarakat Bali belum bisa membaca dan menulis, mereka akan dapat memahami nilai-nilai budaya dan ajaran agama melalu pertunjukan wayang”.
Dalam pertunjukan wayang, yang menjadi elemen pokoknya adalah dalang,
wayang dan musik pengiring. Dalam hal ini dalang berperan sebagai aktor dan
sutradara. Wicaksana (2009:24) lebih tegas menyatakan bahwa :
“ dalang adalah tokoh kunci (figure central) di balik setiap pertunjukan wayang kulit. Di samping perannya sebagai seniman, dalang juga mempunyai pengetahuan yang luas dan sekaligus pelaku ritual, maka wajar dalang memiliki posisi terhormat dalam masyarakat. Oleh karena itu dalang diberi gelar kehormatan jero dalang atau mangku dalang. Sedangkan musik pengiring sebagai aksentusi dan wayang sebagai media, karakter dan sistem sosial interaksi”.
Pada akhirnya semua pendapat tentang dalang pada prinsipnya disimpulkan
oleh Mardana (2008:4), yaitu seorang dalang pada dasarnya dapat dianggap
sebagai seniman yang serba bisa. Dalang harus memiliki berbagai keterampilan
yang di dunia barat jarang dimiliki oleh satu orang seniman untuk keterampilan
yang banyak itu. Ia harus bisa menabuh gender, menembang, menari, memainkan
wayang, serta harus memiliki pengetahuan agama dan ritual. Dan ditambah
pendapat dari Dibya (2012:59), yang mengatakan bahwa dalam pementasan,
wayang yang diberkahi dengan kekuatan taksu akan hidup di layar. Menggunakan
wayang-wayang yang “hidup” seperti itu akan memungkinkan seorang dalang
untuk menyajikan suatu pertunjukan yang mampu menarik perhatian penonton
dan mengikuti cerita, termasuk semua pesan, yang disajikan dari balik layar.
Pendapat tentang eksistensi dalang diatas pada dasarnya menganggap dalang
sebagai sentral atau pusat yaitu dalam mengolah cerita, menghidupkan dan
mematikan wayang, sehingga dalang bisa disebut sebagai multi simbol
sebagaiman disebutkan Purnamawati (2005:332).
Di Bali pada umumnya setiap kabupaten memiliki kekhasan tersendiri
dalam menampilkan sebuah pertunjukan wayang kulit parwa. Kekhasan tersebut
dapat ditinjau dari segi bentuk wayang, struktur pertunjukan, iringan maupun
komponen-komponen lainnya. Begitu pula ada persamaan yang mendasar.
Perbedaan dan persamaan itu merupakan keunikan yang terdapat pada seni
pertunjukan wayang kulit akibat adanya perbedaan sosial, adat istiadat, serta iklim
yang berbeda pula. Marajaya (2011:25), menyatakan ada beberapa gaya
pedalangan di Bali yang dikenal dengan gaya Bali Utara (Buleleng) dan Bali
Selatan (Sukawati dan Badung). Gaya Sukawati dirintis oleh dalang Krekek,
sedangkan Gaya Badung dirintis oleh dalang Ida Bagus Ngurah dari Buduk. Dari
sekian kabupaten yang ada di Bali, Karangasem adalah salah satu kabupaten yang
dilihat dari segi estetika budayanya memiliki kekhasan tersendiri. Bertitik tolak
dari kekhasan yang dimiliki oleh wayang kulit kiranya perlu diadakan pengkajian,
bahkan penelitian ditinjau dari sudut lakon, maupun struktur pertunjukannya.
Oleh karena kurangnya informasi tentang Wayang Kulit Gaya Karangasem
(selanjutnya ditulis WKGK), penulis ingin mencoba mengadakan sebuah
penelitian tentang kekhasan pertunjukan wayang kulit yang ada di Karangasem
dalam hal ini penulis mengambil studi kasus Dalang Ida Made Adi Putra, Grya
Bodha, Banjar Besang, Desa Ababi, Kecamatan Abang, Kabupaten Karangasem.
Hingga saat usulan penelitian ini, Dalang Ida Made Adi Putra masih eksis
mendalang dan cukup terkenal di Kabupaten Karangasem. Dari sekian kali
pertunjukan ada beberapa lakon yang sering dipentaskan seperti: Kunti Yadnya,
Bambang Ekalawya, Cupak Grantang, Nila Candra dan lakon-lakon lainnya.
Selain itu Dalang Ida Made Adi Putra juga pernah mementaskan pertunjukan
wayang Calonarang wayang Cupak dan wayang Arja. Dari banyaknya lakon yang
dipentaskan tersebut yakni lakon Nila Candra yang akan dijadikan objek dalam
penelitian ini. Komponen-komponen yang akan diteliti meliputi keunikan dan
kekhasan Wayang Kulit Karangasem, ditinjau dari bentuk, fungsi dan maknanya.
Ketertarikan penulis untuk meneliti kekhasan WKGK oleh Dalang Ida Made
Adi Putra yaitu: pertama mengingat dalang Ida Made Adi Putra ini adalah salah
satu dalang yang cukup terkenal di daerah Karangasem. Selain itu beliau memiliki
ciri khas tersendiri yaitu masih menggunakan struktur pertunjukan khas
Karangasem dan kecekatan tangannya dalam memainkan wayang saat peperangan
sangat memukau. Kedua, Dalang Ida Made Adi Putra ini merupakan keturunan
seniman dari keluarganya. Hampir semua keluarga dari ayah, ibu, saudara dan
bahkan istri dan anak-anaknya juga berkecimpung dalam bidang seni. Ketiga,
beliau pernah mengikuti beberapa perlombaan dan parade wayang kulit
calonarang dan wayang kulit parwa dan mendapatkan juara terbaik.
Sedangkan alasan penulis mengangkat lakon Nila Candra sebagai objek
penelitian ini adalah sebagai berikut. 1) Nila Candra sarat dengan nilai-nilai
spiritual yaitu penyatuan antara aliran Budha dan Siwa. 2) Pementasan lakon Nila
Candra ceritanya unik diambil dari sastra sumber kekawin Nila Candra yang
langsung dijadikan tema oleh dalang Ida Made Adi Putra. 3) sepanjang
pengetahuan penulis lakon Nila Candra belum pernah diteliti.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka dapat
dirumuskan beberapa rumusan masalah :
1. Bagaimanakah bentuk pertunjukan Wayang Kulit Gaya Karangasem
khususnya Lakon Nila Candra?
2. Apakah fungsi dan makna yang terkandung dalam pertunjukan Wayang
Kulit Gaya Karangasem, khususnya dengan lakon Nila Candra?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini sebagai berikut :
1. untuk mengetahui bentuk pertunjukan Wayang Kulit Gaya
Karangasem dengan lakon Nila Candra.
2. untuk mengetahui fungsi dan makna pertunjukan Wayang Kulit
Gaya Karangasem dengan lakon Nila Candra.
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini sudah tentu memiliki manfaat-manfaat tertentu, sehingga
hasil yang diperoleh dalam penelitian tersebut, selain dapat dipergunakan oleh
peneliti sendiri juga dapat dimanfaatkan oleh orang lain. Manfaat penelitian ini
dapat di bagi menjadi dua, yaitu secara teoritis dan secara praktis.
1.4.1 Manfaat Teoritis
1) Penelitian ini diharapkan dapat menambah pembendaharaan
hasil-hasil penelitian tentang pewayangan Bali, terutama
pertunjukan WKGK.
2) Dapat memberi sumbangan terhadap pengembangan ilmu
pengetahuan yang berkaitan dengan masalah seni pewayangan
terutama wayang kulit. Selain itu hasil penelitian ini dapat
dijadikan sebagai salah satu sumber informasi bagi para peneliti
yang berminat meneliti pertunjukan WKGK.
3) Dapat membantu teman-teman mahasiswa dan dosen yang
berkepentingan untuk menambah pengetahuan tentang
pewayangan yang ada di Bali.
1.4.2 Manfaat Praktis
1) Hasil penelitian ini dapat menambah refrensi tentang
pewayangan di perpustakaan ISI Denpasar yang nantinya dapat
dipakai sebagai literatur atau acuan bagi mahasiswa ISI
Denpasar.
2) Para calon peneliti dan masyarakat diharapkan dapat memetik
manfaat dari hasil penelitian ini untuk meningkatkan wawasan
tentang seni pertunjukan wayang kulit.
1.5 Ruang Lingkup
Pembatasan materi sebagai bahan kajian dalam penulisan skripsi ini sangat
diperlukan agar dalam pembahasan selanjutnya tidak menyimpang dari masalah
yang diangkat. Adapun dalam penulisan skripsi ini pembahasan dibatasi pada tiga
aspek yaitu : bentuk, fungsi dan makna terhadap sebuah seni pertunjukan WKGK
lakon Nila Candra.
Berkenaan dengan hal tesebut diatas maka, skripsi ini sifatnya deskriptif
kualitatif, memberikan kajian pada teks lakon WKGK Nila Candra yang
dideskripsikan dari pertunjukan dilokasi penelitian. Dari sinilah dijadikan titik
tolak untuk memahami struktur atau bentuk, fungsi dan makna pertunjukan
WKGK lakon Nila Candra.
BAB II
KAJIAN SUMBER DAN LANDASAN TEORI
2.1 Kajian Sumber
Kajian sumber bisa diperoleh dengan cara mengkaji beberapa bahan
pustaka berupa buku, artikel, jurnal, makalah, majalah, tesis, desertasi dan laporan
hasil penelitian yang memuat kajian-kajian tentang pertunjukan wayang kulit Bali
yang ada hubungannya dengan penelitian ini. Mengingat cukup banyaknya
penelitian tentang pewayangan di Bali, yang dapat dijadikan acuan dalam
pembahasan penelitian ini. Menurut pengetahuan penulis, beberapa tulisan yang
berhubungan langsung dengan pertunjukan WKGK dalam hal ini pertunjukan
wayang parwa masih sangat jarang ditemukan. Oleh karena itu di sini perlu
disajikan tinjauan beberapa sumber tentang pertunjukan Wayang Kulit . Adapun
sumber-sumber tertulis meliputi buku-buku dan karya ilmiah (artikel, jurnal, dan
hasil-hasil penelitian) yang berhasil ditemukan sebagai berikut.
Rota dan Suteja (1990), telah melakukan kajian mengenai gaya bahasa
pada pertunjukan wayang dalam penelitiannya ”Retorika Sebagai Ragam Bahasa
Panggung Dalam Seni Pertunjukan Wayang Kulit Bali”. Melalui kajiannya ini
Rota dan Suteja mengemukakan tentang bagaimana seorang dalang mampu
bertutur, memilih materi bahasa (kata-kata, ungkapan-ungkapan, istilah-istilah,
perbandingan-perbandingan, bahasa bertembang) yang tepat dan argumentatif
mewadahi gagasan-gagasan yang ingin disampaikan kepada penonton, serta
penyajian tutur dengan gaya tertentu sesuai dengan ciri khas masing-masing.
Sumber literatur berikutnya yang digunakan dalam penelitian ini berupa
buku ajar ”Pakeliran Gaya Baku I (Wayang Kulit Parwa)” yang di tulis oleh
Wicaksana dan Sidia (2004). Dalam buku ini Wicaksana dan Sidia menjelaskan
mengenai struktur pertunjuksn wayang kulit parwa dan gaya/style wayang kulit
parwa berbagai daerah di Bali. Relevansi buku ini terhadap penelitian yaitu untuk
membahas struktur pertunjukan dalam WKGK lakon Nila Candra.
Marajaya menulis artikel dalam Jurnal Ilmiah Seni Pewayangan Volume 10
No.1 September 2011 ”WAYANG”. Dalam tulisan tersebut Marajaya menyatakan
ada beberapa gaya pedalangan di daerah Bali. Memperhatikan proses perwujudan
pertunjukan wayang kulit seperti sumber literatur pewayangan di atas, peneliti
dapat berasumsi bahwa ini merupakan referensi yang baik untuk penelitian ini
dalam mengidentifikasi agar wayang kulit tetap ajeg dan digemari penonton.
Pakem Wayang Parwa Bali oleh Yayasan Pewayangan Daerah Bali tahun
1986/1987 yang diterbitkan oleh proyek Penggalian / Pemantapan Seni Budaya
Klasik dan Baru. Buku ini memaparkan struktur pewayangan Bali, disertai pula
kumpulan ringkasan dan pakem lakon-lakon yang digunakan dalam pementasan
wayang yang disesuaikan dengan konteksnya. Buku ini terkait dengan struktur
pewayangan Bali. Buku ini juga menjadi penunjang pembahasan mengenai bentuk
pertunjukan WKGK serta lakon Nila Candra yang menjadi salah satu rumusan
masalah penelitian ini.
Penelitian yang berjudul Wayang Kulit Purwa Makna dan Struktur
Dramatiknya oleh Soediro Satoto tahun 1985 yang diterbitkan oleh proyek
penelitian dan pengkajian Kebudayaan Nusantara (javanologi), Direktorat jeneral
Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Dalam penelitian ini
dianalisis struktur dramatik dan makna lakon wayang Purwa ( Jawa ) “Banjaran
Karna” dan “Karna tanding” yang dipentaskan oleh Ki Narto Sabdo. Penelitian
ini terkait dengan pendeskripsian, terutama bentuk dan fungsi pertunjukan WKGK
lakon Nila Candra yang dipentaskan dalam sebuah pertunjukan wayang kulit di
Karangasem.
Dengan perspektif kajian seni pewayangan yang begitu luas dari semua
literatur tersebut kiranya dapat penulis pakai sebagai bekal penting dalam
mengkaji identitas WKGK lakon Nila Candra Studi Kasus Dalang Ida Made Adi
Putra, Grya Bodha,Banjar Besang, Desa Ababi, Kecamatan Abang, Kabupaten
Karangasem.
2.2 Landasan Teori
Suatu penelitian yang baik apabila dasar-dasar teorinya ditunjang oleh
literatur yang mencukupi dan relevan dengan objek penelitian. Landasan teori
berarti pula dari sudut mana si peneliti memulai pekerjaannya dan bagaimana
menafsirkan data-data yang diperoleh dalam penelitian. Untuk mendukung
penelitian ini maka dipergunakan beberapa teori yang berkaitan dengan penelitian
yang dilakukan, yakni teori estetika, teori fungsional struktural, dan teori wacana.
2.2.1 Teori Estetika
Menurut Djelantik (1992:6), estetika adalah ilmu yang mempelajari
segala sesuatu yang berkaitan dengan keindahan, dan semua aspek dari apa
yang kita sebut keindah. Lebih lanjut Djelantik mengungkapkan:
“benda atau peristiwa kesenian yang menjadi sasaran analisis estetika setidak-tidaknya mempunyai tiga aspek dasar, yakni “wujud atau rupa” yang menyangkut bentuk (form) atau unsur yang mendasar dan susunan atau struktur (structure), “bobot” yang menyangkut suasana (mood), gagasan (idea) dan pesan (massage), dan “penampilan” yang meliputi bakat (talent), keterampilan (skill), dan sarana atau media”. Pelopor teori estetika Kartini Parmono yang dipopulerkan oleh
Alexander Gottlieb Baumgarten (dalam Djelantik, 1990), istilah estetika
digunakan untuk membedakan antara pengetahuan intelektual dan
pengetahuan indrawi. Dengan melihat bahwa istilah estetika baru muncul
pada abad 18, maka pemahaman tentang keindahan sendiri harus
dibedakan dengan pengertian estetik. Jika sebuah bentuk mencapai nilai
yang betul, maka bentuk tersebut dapat dinilai estetis, sedangkan pada
bentuk yang melebihi nilai betul, hingga mencapai nilai baik penuh arti,
maka bentuk tersebut dinilai sebagai indah dalam pengertian tersebut,
maka sesuatu yang estetis belum tentu indah dalam arti sesungguhnya,
sedangkan sesuatu yang indah pasti estetis.
Menurut Refeal Raga Malan (dalam Djelantik, 1990), istilah
estetika berasal dari bahasa Yunani ” aesthesis” berarti penserapan,
persepsi. Dari sudut filsafat, estetika adalah cabang filsafat yang berbicara
tentang keindahan. Keindahan adalah suatu pengalaman yang unik dan
khas. Dalam pengalaman keindahan atau pengalaman estetis, perhatian
tersedot oleh sesuatu; sesuatu itu diserap oleh suatu proses pengalaman
yang mendalam, karena melibatkan seluruh inti dari kita.
Pandangan-pandangan di atas tentang estetika dalam konteks
penelitian ini akan diterapkan semaksimal mungkin. Karena WKGK
dengan lakon Nila Candra sebagai sebuah karya seni dalam
menganalisisnya harus menyangkut keindahan.
2.2.2 Teori Fungsionalisme Struktural
Menurut Littlejhon (1999), Teori fungsional dan struktural adalah
salah satu teori komunikasi yang masuk dalam kelompok teori umum atau
general theories, ciri utama teori ini adalah adanya kepercayaan pandangan
tentang berfungsinya secara nyata struktur yang berada di luar diri
pengamat.
Fungsionalisme Struktural atau lebih popular dengan ‘Struktural
Fungsional’ merupakan hasil pengaruh yang sangat kuat dari teori sistem
umum di mana pendekatan fungsionalisme yang diadopsi dari ilmu alam
khususnya ilmu biologi, menekankan pengkajiannya tentang cara-cara
mengorganisasikan dan mempertahankan sistem. Sedangkan pendekatan
strukturalisme yang berasal dari linguistic, menekankan pengkajiannya
pada hal-hal yang menyangkut pengorganisasian bahasa dan sistem sosial.
Fungsionalisme struktural atau ‘analisa sistem’ pada prinsipnya berkisar
pada beberapa konsep fungsi dan konsep struktur.
Pada akhirnya konsep-konsep mengenai struktur inilah yang
dipergunakan dalam menganalisis struktur WKGK lakon Nila Candra,
yaitu menurut Sedana (dalam Purnamawati, 2005:29) bahwa ada tiga unsur
teaterikal pertunjukan wayang kulit yakni: 1) bentuk/struktur pertunjukan,
2) lakon / plot, dan 3) karakter / tokoh, sebagai layaknya sebuah unsur,
antar ketiga unsur itu terus berinteraksi. Secara harmonis dan dinamis.
Interaksi struktural dari ketiga unsur tadi disebut Tri Sandi yakni angga
(genre), wacana (lakon), dan tetikesan (gerak tokoh).
Dari uraian di atas, maka teori fungsionalisme struktural sangatlah
berperan penting untuk penelitian ini yakni untuk menganalisis hubungan
secara fungsional antara bentuk / struktur pertunjukan, lakon / plot, dan
karakter / tokoh dalam WKGK lakon Nila Candra.
2.2.3 Teori Wacana
Menurut Sudaryat (2009:106), Wacana merupakan wujud
komunikasi verbal. Dari segi bentuk bahasa yang dipakai wacana terbagi
dua, yakni wacana lisan dan wacana tulis. Wacana lisan (ujaran)
merupakan wujud komunikasi lisan yang melibatkan pembaca dan
penyimak, sedangkan wacana tulis (teks) merupakan wujud komunikasi
tulis yang melibatkan penulis dan pembaca. Aktivitas penyapa
(pembicara/penulis) bersifat produktif, ekspesif, kreatif, sedangkan
aktivitas pesapa (pendengar/pembaca) bersifat reseptif. Aktivitas di dalam
diri pesapa bersifat internal sedangkan hubungan penyapa dan pesapa
bersifat interpersonal. Wacana (discourse) adalah satuan bahasa terlengkap
dan dalam hierarki gramatikal merupakan satuan gramatikal tertinggi atau
terbesar. Wacana dapat direalisasikan dalam bentuk karangan yang utuh
(novel,buku, seri ensiklopedia, dan sebagainya) atau dapat pula disajikan
dalam bentuk karangan yang bersifat membujuk (persuasi) contohnya
iklan. Tarigan (1993:23) mengatakan istilah wacana dipergunakan untuk
mencakup bukan hanya percakapan atau obrolan, tetapi juga pembicaraan
dimuka umum, tulisan serta upaya-upaya formal seperti laporan ilmiah dan
sandiwara atau lakon yang menjadi penekanan di dalam konteks penelitian
ini yaitu wacana lisan, dimana seorang dalang akan sangat senang apabila
wacana/ujarannya disimak atau diterima oleh penonton.
Disisi lain Stubbs (dalam Tarigan, 1993:25) mengatakan wacana
adalah organisasi bahasa di atas kalimat atau di atas klausa. Dengan
perkataan lain, unit-unit linguistik yang lebih besar daripada
kalimat/kalusa seperti pertukaran-pertukaran percakapan atau teks-teks
tertulis disebut wacana. Secara singkat apa yang disebut teks bagi wacana
adalah kalimat bagi ujaran (utterance). Doeso (dalam Tarigan, 1993:25)
berpendapat wacana adalah seperangkat preposisi yang saling
berhubungan untuk menghasilkan rasa kepaduan atau rasa kohesi bagi
penyimak atau pembaca.
Dari pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa suatu pernyataan
atau rangkaian pernyataan yang dinyatakan secara lisan, jelas bahwa yang
akan disampaikan si pengirim pesan dengan penerima pesan sama agar
tidak miskomunikasi, agar wacana yang disampaikan berlangsung dengan
baik. Seniman dalang harus mempelajari retorika ( Ilmu Komunikasi ).
Sedangkan pendapat Mulyana (2005:51-52) tentang wacana lisan
diklasifikasikan: menurut jumlah penutur: wacana monolog dan wacana
dialog. Mulyana (2005: 26), beranalogi wacana yang utuh adalah wacana
yang lengkap, yaitu mengandung aspek-aspek yang terpadu dan menyatu.
Aspek-aspek yang dimaksud antara lain adalah koherensi, topik wacana,
aspek leksikal, aspek gramatikal, aspek fonologis, dan aspek semantik. 1)
Teks adalah bahasa yang berfungsi, yaitu bahasa yang sedang
melaksanakan tugas tertentu dalam konteks situasi tertentu pula. 2) Kohesi
dalam wacana diartikan sebagai kepaduan bentuk yang secara struktural
membentuk ikatan sintaksis. 3) Koherensi adalah keterkaitan antara bagian
yang satu dengan bagian lainnya sehingga membentuk kesatuan makna
yang utuh. 4) Topik wacana adalah proposisi yang menjadi bahan utama
pembicaraan atau percakapan.
Dari analogi para pakar teori wacana diatas, akan dapat dijadikan pedoman
bagi seorang dalang untuk dapat mengkomunikasikan wacana secara komunikatif
agar pesan-pesan dari tokoh-tokoh dalam karakter-karakter wayang jelas diterima
penonton. Aspek-aspek semacam ini menjadi perhatian serius dari Dalang Ida
Made Adi Putra sehingga pementasan menjadi komunikatif.
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Rancangan Penelitian
Seorang peneliti dalam melaksanakan kegiatan penelitian sudah tentu
memiliki rancangan atau persiapan dalam melakukan penelitian untuk mencapai
tujuan yang diinginkan. Maka dari itu diperlukan sarana yang bersifat ilmiah yaitu
metode.
Pada dasarnya penelitian ini akan menganalisa hal-hal yang berhubungan
dengan sebuah produk seni pertunjukan WKGK dengan lakon Nila Candra.
Wayang Kulit Bali Gaya Karangasem, Studi Kasus Dalang Ida Made Adi Putra
dengan lakon Nila Candra. Sesuai dengan tujuan, penelitian ini dapat
didefinisikan sebagai usaha untuk menemukan, mengembangkan dan menguji
kebenaran sesuai pengetahuan yang dilakukan menggunakan metode-metode
ilmiah.
Penelitian ini dirancang dengan metode kualitatif. Menurut Creswell
seperti yang dikutip oleh Hamid Patilima (2005:3) mendefinisikan pendekatan
kualitatif sebagai sebuah proses penyelidikan untuk memahami masalah sosial
atau masalah manusia, berdasarkan pada penciptaan gambar holistik yang
dibentuk dengan kata-kata, melaporkan pandangan informan secara terperinci, dan
disusun dalam sebuah latar ilmiah.
Selain itu ada juga beberapa pendapat lain tentang definisi penelitian
kualitatif menurut (Denzim dan Lincoln 1978) yang dikutip oleh Lexy J. Moleong
(2011:5) yang menyatakan bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian yang
menggunakan latar alamiah, dengan maksud menafsirkan fenomena yang terjadi
dan dilakukan dengan jalan melibatkan berbagai metode yang ada. Pada penelitian
kualitatif metode yang biasanya dimanfaatkan adalah wawancara, pengamatan,
dan pemanfaatan dokumen. Dalam hal ini seorang peneliti harus mengamati bahan
itu dengan cermat dan mendalam. Adapun rancangan penelitian penulis yaitu
dengan mengadakan pengamatan langsung pada saat pertunjukan wayang yang di
pentaskan oleh Dalang Ida Made Adi Putra dengan lakon Nila Candra selain itu
penulis juga menetapkan daftar informan, menyiapkan daftar pertanyaan dan
mencari data sebanyak-banyaknya.
3.2 Jenis dan Sumber Data
Mekanisme kerja penelitian ini adalah menganalisis teks lakon Nila
Candra yang dideskripsikan dalam pertunjukan. Dari situlah dijadikan titik tolak
untuk memahami bentuk atau struktur pertunjukan WKGK lakon Nila Candra,
kemudian menelusuri fungsi dan maknanya. Data dapat dibedakan berdasarkan
jenis dan sumber. Berikut data yang digunakan dalam penelitian ini berdasarkan
jenis dan sumber.
1). Jenis Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis data
kualitatif yaitu data yang tidak mempergunakan angka-angka, berupa
diskripsi tentang (1) bagaimana bentuk pertunjukan Wayang Kulit Gaya
Karangasem khususnya Lakon Nila Candra (2) apa fungsi dan makna yang
terkandung dalam pertunjukan WKGK, khususnya dengan lakon Nila
Candra.
Data kualitatif inilah yang akan dipergunakan untuk menjelaskan
deskripsi pertunjukan WKGK lakon Nila Candra dari segi bentuk, fungsi
dan makna.
2). Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini dapat dibedakan
menjadi sumber data primer dan sumber data sekunder, yang dapat
dijelaskan sebagai berikut :
a. Sumber data primer adalah sumber data yang berupa pertunjukan
WKGK dengan lakon Nila Candra yang direkam sendiri oleh
peneliti. Selain sumber data literatur, data primer ini dilengkapi
dengan hasil observasi dan data wawancara langsung dengan
dalang WKGK (Ida Made Adi Putra) sebagai nara sumber kunci
dan pengamatan lapangan terkait dengan objek penelitian untuk
memverifikasi dan mengkonfirmasi seluruh data yang
terakumulasi.
b. Sumber data sekunder adalah sumber data yang berupa buku-
buku kepustakaan, surat kabar, jurnal, hasil penelitian
sebelumnya, dan semacamnya yang berhubungan dengan objek
penelitian (Suryabrata,2003:74). Dalam kaitan penelitian ini data
sekunder meliputi berbagai buku, artikel, jurnal, dan hasil-hasil
penelitian tentang wayang kulit Bali yang berkaitan dengan objek
penelitian ini.
3.3 Instrumen Penelitian
Instrumen adalah material atau alat-alat yang dipergunakan dalam tahapan
pengumpulan data. Suryabrata (2003:143) mengungkapkan alat atau instrumen
penelitian adalah alat yang digunakan untuk mengumpulkan berbagai data yang
diperlukan dalam penelitian. Instrumen penelitian pengumpulan data yang
dipergunakan dalam penelitian ini adalah pedoman wawancara, yaitu berupa
pengajuan pertanyaan-pertanyaan terkait dengan penelitian yang ditanyakan
kepada informan. Dalam penelitian pertunjukan WKGK lakon ”Nila Candra” oleh
Dalang Ida Made Adi Putra, peneliti sendiri sebagai pelaku utamanya karena
peneliti sendiri langsung menonton, merekam dan mengamati pertunjukan WKGK
lakon ”Nila Candra”, pada hari Rabu, tanggal 23 Januari 2014 di Br. Besang, Desa
Ababi, Kecamatan Abang, Kabupaten Karangasem. Hasil rekaman tersebut
berupa video yang dijadikan sebuah CD (compact disk) yang berdurasi 130 menit.
Setelah hasil rekaman diperoleh lalu peneliti mentranskripsikan, dan mencari
dokumen sebagai penunjang penelitian ini. Alat-alat tulis merupakan alat bantu
untuk menulis jawaban yang diterima. Selain alat-alat tulis, peneliti juga
menggunakan alat-alat media rekam seperti tape recorder, handycam, handphone,
kamera dan alat-alat lainnya yang mendukung proses penelitian ini.
3.4 Teknik Penentuan Informan
Dalam penelitian ini digunakan pedoman wawancara yang tak terstruktur,
Menurut pendapat Hamid Patilima (2005:74), pedoman wawancara tak terstruktur
artinya pedoman wawancara yang memuat garis besarnya saja, pewawancara
mengajukan pertanyaan secara bebas dan leluasa, tanpa diikat oleh susunan
pertanyaan yang telah dipersiapkan sebelumnya, sehingga wawancara terkesan
luwes, arahnya bisa lebih terbuka, percakapan tidak membuat jenuh dari kedua
belah pihak, sehingga informasi yang didapat lebih kaya. Pertimbangan yang
dipilih untuk dijadikan informan tentunya berdasarkan potensi, pengalaman dan
profesi seseorang yang terkait dengan objek penelitian yakni WKGK. Dapat
dipastikan informan bersangkutan memang memiliki kemampuan yang memadai
dibidang penelitian ini.
3.5 Teknik Pengumpulan Data
Menurut Hasan Iqbal (2002:83) pengumpulan data adalah pencatatan
peristiwa-peristiwa atau keterangan-keterangan sebagian atau seluruh elemen
populasi yang akan menunjang atau mendukung penelitian. Dalam penelitian ini
digunakan beberapa teknik pengumpulan data, teknik-teknik tersebut adalah
observasi, wawancara, studi pustaka dan studi dokumen.
3.5.1 Observasi
Koencaraningrat(1997:108) mengatakan pengamatan atau
observasi yang cermat merupakan salah satu cara dalam penelitian ilmiah
yang paling sesuai bagi para ilmuwan dalam bidang ilmu-ilmu social,
negara-negara yang belum dapat mengembangkan prasarana penelitian
yang memerlukan biaya yang banyak. Observasi dilakukan dengan
pengamatan atau observasi langsung ke lokasi penelitian yakni
menyaksikan langsung pertunjukan WKGK lakon Nila Candra oleh
Dalang Ida Made Adi Putra, sekaligus merekam pertunjukan WKGK
lakon Nila Candra dilokasi penelitian yaitu di Br. Besang, Desa Ababi,
Kecamatan Abang, Kabupaten Karangasem. Data yang dicari adalah
bentuk,fungsi dan makna pertunjukan dari WKGK lakon Nila Candra
yang akan diangkat sebagai topik permasalahan, yang selanjutnya dapat
menghasilkan deskripsi berupa transkrip.
3.5.2 Wawancara
Wawancara bertujuan untuk mengumpulkan keterangan-
keterangan dari informan dengan cara tanya jawab. Dalam penelitian ini
pedoman wawancara yang dipergunakan adalah pedoman wawancara tak
terstruktur, yaitu pedoman yang hanya memuat garis-garis besar yang
ditanyakan. Arikonto (1989:183) mengungkapkan, bahwa dalam pedoman
wawancara tak terstruktur, kreativitas pewawancara sangat diperlukan,
hasil wawancara dengan pempergunakan pedoman wawancara tak
terstruktur tergantung dari pewawancara, karena pewawancara sebagai
pengemudi jawaban dari informan. Lexy J. Moleong (2011:135)
menyatakan bahwa wawancara adalah pembantu utama dari observasi
dalam pengumpulan data. Percakapan dengan maksud tertentu yang
dilakukan oleh dua pihak yaitu pewawancara yang mengajukan pertanyaan
dan yang diwawancarai memberikan jawaban atas pertanyaan itu.
Wawancara dilakukan dengan Dalang Ida Made Adi Putra sebagai
responden utama secara lisan pada tanggal 9 Maret 2014. Wawancarapun
direkam berupa rekaman suara melalui handphone. Wawancara dengan
beberapa informan lainnya juga dilakukan sebagai informasi tambahan.
3.5.3 Studi Kepustakaan
Buku-buku, artikel, majalah dan hasil-hasil penelitian tentang
pewayangan di Bali menjadi sumber studi kepustakaan yang digunakan
dalam penelitian ini. Sebuah penulisan ilmiah memerlukan teori-teori yang
mendukung kajian yang di tulis. Teori-teori tersebut tentunya diambil dari
kepustakaan yang sudah ada, sehingga membantu dalam penulisan yang di
kaji.
3.5.4 Studi Dokumentasi
Studi dokumen menjadi metode pengumpulan data yang bersumber
dari benda-benda tertulis, seperti buku-buku, majalah, foto-foto, catatan
hasil wawancara dan lain sebagainya. Dalam penelitian ini, dokumentasi
sangat diperlukan dalam tahap pengumpulan data. Teknik pengumpulan
data dari studi dokumentasi dilakukan dengan cara mengutip atau
mencatat bagian-bagian yang diperlukan. Dalam penelitian ini kutipan
tersebut diperoleh dari rekaman hasil wawancara dengan informan yang
diwawancarai dan pustaka-pustaka atau karya-karya tulis lain yang
berkaitan dengan objek penelitian. Bagian-bagian yang diperlukan dicatat
atau ditulis pada buku catatan. Selain pencatatan seperti telah
dikemukakan, dilakukan pula pemberian tanda atau kode-kode tertentu
terhadap data yang kemudian akan dipergunakan sebagai informasi yang
berhubungan dengan WKGK, sehingga lebih mudah untuk diteliti.
3.6 Teknik Analisa Data
Analisis data ini merupakan salah satu tahapan yang sangat penting dalam
suatu penelitian. Moleong (2011:190) mengungkapkan bahwa analisis ini
merupakan proses menelaah seluruh data yang telah terkumpul, baik melalui
pengamatan, wawancara, studi kepustakaan dan studi dokumentasi. Dalam
penelitian ini, analisis data dilakukan sejak dari pengumpulan data sampai kepada
penulisan skripsi berakhir. Setelah data semua terkumpul, kemudian penulis
melakukan tahapan-tahapan editing dan segera diadakan perbaikan sehingga
menjadi data yang sistematis, teratur, terstruktur dan memiliki makna. Proses ini
dilakukan berulang-ulang supaya diantara metode dan teori yang dipakai searah
dan sejalan, kemudian disusun secara bertahap untuk dipakai membedah
permasalahan yang diangkat dan hasilnya dapat dipertanggungjawabkan. Analisis
data dilakukan untuk memproleh gambaran tentang bentuk dan fungsi WKGK
lakon Nila Candra oleh dalang Ida Made Adi Putra. Setelah mengumpulkan
sumber-sumber kemudian dipadukan secara cermat hal yang ditemukan di
lapangan, hasil penelitiannya diharapkan dapat menjawab permasalahan yang
diajukan mendekati kebenaran.
3.7 Sistematika Penyajian Hasil Penelitian
Hasil penelitian ini akan disajikan dalam bentuk naratif dan gambar-
gambar. Bentuk naratif akan disajikan melalui tulisan. Hasil penelitian ini akan
disajikan mengikuti aturan-aturan atau format penulisan untuk mencapai
kesarjanaan pada tingkat S-1, yang telah diterapkan dalam lingkungan kampus
Institut Seni Indonesia Denpasar, yang termuat dalam Buku Pedoman Tugas
Akhir Fakultas Seni Pertunjukan tahun 2013. Sesuai dengan kriteria tersebut,
maka hasil penelitian akan disajikan dalam lima bab yaitu:
Bab I Pendahuluan. Pada bab ini yang dibahas adalah latar belakang
permasalahan, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat hasil penelitian, dan
ruang lingkup penelitian. Bab II Kajian pustaka dan landasan teori. Buku-buku
yang menjadi sumber kajian, dan sekaligus dapat digunakan sebagai landasan
teori. Teori-teori yang digunakan adalah teori estetika, teori fungsional struktural
serta teori wacana. Bab III Metode penelitian. Metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah metode data kualitatif deskriptif, karena data-data yang
diperoleh merupakan penjabaran tentang keadaan, bentuk, fungsi dan makna
bukan dengan penghitungan jumlah dalam data-data yang berbentuk angka. Pada
bab ini akan menguraikan rancangan penelitian, jenis dan sumber data, teknik
penentuan informan, instrumen penelitian, teknik pengumpulan data, teknik
analisa data, sistematika penyajian hasil penelitian dan jadwal kegiatan penelitian.
Bab IV dan Bab V Pembahasan. Pada bab ini akan memaparkan hasil penelitian
yang dijabarkan sesuai dengan rumusan masalah. Bab VI Penutup. Yang terdiri
atas kesimpulan dan saran-saran. Pada akhir skripsi akan disertai dengan daftar
sumber atau refrensi dan lampiran- lampiran.
3.8 Jadwal Kegiatan Penelitian
Jadwal kegiatan dari pembuatan proposal, pengumpulan data, pengolahan
data, dan penyusunan laporan serta sampai pada tahap ujian akan disajikan
melalui tabel di bawah ini yang menerangkan intensitas waktu yang digunakan
dalam proses penelitian :
Tabel 3.1
Jadwal Kegiatan Penelitian
Tahap Kegiatan
Intensitas Waktu Kegiatan Ferbruari Maret April Mei 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2
1 Seleksi Proposal 2 Observasi 3 Pengumpulan
Data
4 Pengolahan Data 5 Pengumpulan
Skripsi
6 Ujian Komprehensif
Keterangan :
Seleksei proposal akan dilaksanakan pada minggu kedua bulan
Februari yaitu pada tanggal 13 Februari 2014.
Observasi lokasi penelitian sudah mulai dilakukan dari minggu
pertama bulan Februari dan dilanjutkan setelah diadakannya seleksi
proposal yaitu minggu ketiga Februari sampai dengan minggu
kedua bulan Maret.
Tahap pengumpulan data sudah mulai dilakukan dari dimulainya
observasi yaitu dari minggu pertama bulan Februari dan
dilanjutkan pada minggu keempat bulan Februari sampai dengan
minggu pertama bulan April.
Pengolahan data dilaksanakan pada minggu ketiga bulan Februari
sampai dengan batas akhir pengumpulan skripsi yaitu minggu
keempat bulan April.
Pengumpulan skripsi dilaksanakan pada minggu keempat bulan
April.
Ujian Komprehensif dilaksanakan pada minggu kedua bulan Mei.
BAB IV
BENTUK PERTUNJUKAN WAYANG KULIT GAYA KARANGASEM
LAKON “ NILA CANDRA”
4.1 Bentuk Pertunjukan
Pengertian bentuk dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008:1173)
adalah sebagai gambaran, rupa, atau wujud sistem atau susunan, serta sistem
wujud yang ditampilkan. Sedangkan menurut pendapat Djelantik (1990:18)
bentuk merupakan unsur - unsur dasar dari semua perwujudan dalam suatu karya
seni. Oleh sebab itu Djelantik (1990:14-46) dalam teori estetikanya mengatakan
bahwa semua benda atau peristiwa kesenian mengandung tiga aspek yang
mendasar, yakni; wujud atau rupa, bobot atau isi, dan penampilan atau penyajian.
Ketiga aspek tersebut terdapat dalam pertunjukan WKGK lakon Nila Candra.
Wujud dalam ilmu estetika bisa mencakup keindahan visual yaitu keindahan yang
dapat dilihat secara nyata. Bobot yang dimaksudkan “isi” atau “makna” dari apa
yang disajikan kepada pengamat atau penonton. Bobot ini dapat ditangkap secara
langsung dengan panca indra pada saat menonton sebuah pertunjukan secara
langsung. Misalnya dalam pertunjukan WKGK lakon Nila Candra oleh Dalang
Ida Made Adi Putra ini. Bobot atau isi yang dimaksud dalam hal ini yaitu apa
yang penonton dapat rasakan atau dapat bawa pulang sebagai tuntunan dalam
kehidupan mereka.
Sebagai suatu karya seni, pertunjukan Wayang Kulit hingga saat ini masih
tetap eksis dan digemari oleh masyarakat Bali. Pertunjukan Wayang Kulit di
kaitkan dengan upacara ritual yang ada di Bali seperti misalnya upacara Dewa
Yadnya, Manusa Yadnya, Pitra Yadnya, Rsi Yadnya dan Bhuta Yadnya.
Masyarakat Bali pada umumnya menonton pertunjukan wayang kulit bukan
sekedar menganggap sebagai sebuah kesenian atau hiburan yang ditonton saja.
Namun pertunjukan wayang sudah dianggap sebagai pedoman dalam menjalani
kehidupan, karena pertunjukan wayang kulit khususnya wayang parwa ceritanya
diambil dari kitab Mahabharata yang didalamnya terdapat cerita-cerita yang
menggambarkan tentang kebaikan dan kejahatan atau di Bali lebih dikenal dengan
Rwa Bineda (baik dan buruk). Selain itu Zoetmulder (1994:80) mengatakan
bahwa sastra parwa ini merupakan prosa yang diadaptasi dari bagian epos-epos
dalam bahasa Sanskerta, kutipan-kutipan tersebut tersebar diseluruh teks parwa
itu. Oleh sebab itu, dengan menonton pertunjukan wayang kulit, secara tidak
langsung penonton akan mengerti dan tahu tentang ajaran-ajaran yang terdapat
dalam kitab Mahabaratha dan memahami sastra parwa yang ada didalamnya.
Bentuk seni pertunjukan Wayang Kulit terdiri dari beberapa unsur yang
berstruktur dan saling terkait membentuk suatu pertunjukan yang utuh. Bentuk
pertunjukan Wayang Kulit di Bali sangat bermacam-macam. Seperti yang ditulis
oleh IG.B.N. Pandji (1987:2-6) beberapa bentuk pertunjukan wayang dilihat dari
lakon yang di pentaskan yaitu Wayang Kulit Parwa (diambil dari epos
Mahabharata), Wayang Kulit Ramayana (diambil dari epos Ramayana), Wayang
Gambuh (diambil dari cerita-cerita Malat), Wayang Arja (garapan baru dengan
bertitik tolak dari drama tari Arja), Wayang Calonarang (ceritanya bersumber dari
lontar penyalonarangan), Wayang Tantri (diambil dari cerita-cerita Tantri)
Wayang Cupak (diambil dari pertunjukan drama tari cupak), dan masih banyak
lagi bentuk pertunjukan wayang lainnya. Dari sekian banyaknya bentuk
pertunjukan wayang, semua memiliki struktur pementasan yang sama, walaupun
di beberapa daerah di Bali terdapat beberapa perbedaan kecil, namun hal tersebut
menunjukkan adanya ciri khas dari daerah masing-masing. Dalam hal bentuk
pertunjukan WKGK lakon Nila Candra hampir sama dengan pertunjukan Wayang
Kulit biasanya namun ada beberapa perbedaan yang dapat dilihat yaitu dari cara
Dalang Ida Made Adi Putra membawakan cerita dan retorika yang digunakan
sehingga lakon yang di pentaskan dapat dimengerti oleh penonton sesuai dengan
situasi dan kondisi dimana pertujukan WKGK lakon Nila Candra ini di
langsungkan.
Seni pertunjukan Wayang Kulit merupakan perpaduan dari beberapa jenis
seni. Dalang berperan sentral dalam pertunjukan Wayang Kulit yang berperan
sebagai perancang dan penyaji. Pertunjukan Wayang Kulit Bali dilengkapi dengan
sebarung gamelan yang disebut gender wayang (empat tungguh). Dua orang yang
disebut ketengkong/ tututan, duduk disamping kanan dan kiri dalang bertugas
membantu dalang. Wayang Kulit Bali disajikan dalam bentangan kelir (kain
putih) dengan panjang-lebar 3x2 meter. Satu keropak (kotak) Wayang Kulit
dimainkan dalang diatas gedebong (batang pisang).
4.2 Struktur Pertunjukan
Marajaya dan kawan-kawan dalam hasil penelitiannya (1994:8)
mengatakan seni pertunjukan yang ada di Bali masing-masing telah mempunyai
struktur (susunan) dalam penampilannya sesuai dengan konsep masing-masing.
Begitu juga pertunjukan wayang kulit memiliki struktur yang khas. Jadi struktur
pertunjukan dalam wayang kulit sangat penting untuk membuat kerangka
pertunjukan yang lebih terarah dan teratur sesuai dengan adegan-adegan yang ada
pada alur cerita. Pendapat lain yang tulis oleh Marajaya dan kawan-kawan
(1994:11) yaitu bahwa setiap dalang yang ada di Bali memiliki gaya/style yang
berbeda-beda. Yang paling jelas mempedakan adalah warna suara, iringan,
retorika, tetikesan, serta yang tidak kalah pentingnya adalah struktur daripada
pertunjukan itu sendiri.
Struktur pementasan Wayang Kulit yang lengkap menurut pendapat
Wicaksana dan Sidia (2004:12) yaitu struktur dramatiknya dapat dibagi menjadi
beberapa adegan atau pembabakan. Adegan-adegan itu berlangsung terus tanpa
ada pause (berhenti) diantaranya, namun para penonton akan dapat mengikuti alur
cerita dan adegan itu melalui dialog, suasana iringan serta penampilan karakter
tokoh dengan gerak tari (tetikesan) yang unik”.
Dalam skripsinya Suastana (2012:28) mengutip pendapat dari Bandem
(1975:26):
“..ketika membahas mengenai gender wayang ada setidaknya sepuluh jenis motif gending yang mengiringi pementasan Wayang Kulit yakni : pategak(gending awal sebagai pembuka untuk mengawali pertunjukan untuk menarik minat penonton), pamungkah (sama dengan pategak tapi segera untuk mengawali pertunjukan), patangkilan (suasana persidangan), pangalang ratu (persidangan lanjutan), angkat-angkatan (perjalanan laskar menuju medan perang), rebong (suasana romantis dari tokoh-tokoh penting), tunjang (suasana keras dan kasar) batel (perkelahian dan peperangan sesungguhnya) dan penyudamalaan (penutup)”.
Dari pendapat Bandem tersebut, secara tidak langsung mencerminkan sebuah
struktur atau rangkaian pertunjukan Wayang Kulit, karena tiap-tiap gending itu
secara umum memberi warna tersendiri terhadap tiap-tiap unsur Wayang Kulit itu
sendiri.
Pertunjukan WKGK lakon Nila Candra oleh Dalang Ida Made Adi Putra
terdiri atas beberapa unsur yang saling berkaitan satu sama lain dari awal
pertunjukan hingga akhir pertunjukan selama 130 menit melalui tahapan-tahapan
pategak, pamungkah, tari kayonan, jejer wayang, dan sebagainya, keberadaan
tersebut tercermin dalam bagan dan skema berikut ini.
Tabel 4.1
Bagan Struktur Waktu Wayang Kulit Parwa Gaya Karangasem lakon “Nila Candra” oleh Dalang Ida Made Adi Putra
NO UNSUR WAKTU CERITA TOKOH KETERANGAN 1 Petegak 15 menit - Tabuh Pategak 2 Pemungkah 4 menit - Tabuh Pemungkah 3 Kayonan 3 menit Kayonan ditarikan Tabuh batel 4 Jejer
Wayang 3 menit Semua tokoh-tokoh wayang
yang berperan dalam cerita di tancapkan pada kelir.
Tabuh tulang lindung
5 Ngancit wayang
2 menit Tokoh-tokoh utama yang akan diunakan dalam cerita dicabut dan ditancapkan kembali pada sisi kanan dan kiri dalang.
Tabuh
6 Ngancit Kayonan
1 menit Kayonan dicabut dan ditarikan kembali.
Tabuh
7 Alas harum 3 menit Tari kayonan Tabuh dan vokal dalang 8 Penyacah
Parwa 4 menit - Tabuh dan vokal dalang
9 Pangkatan 30 menit Merdah dan Twalen berbincang mengenai Panca Pandawa, yang kemudian dikejutkan oleh kedatangan Kresna. Kresna bertemu dengan Dharmawangsa untuk mengajak Dharmawangsa berperang melawan Nila Candra. Namun Dharmawangsa menolak.
Tabuh dan vokal dalang
Kresna pergi dan kemudian Bima dan adik-adiknya pergi ke Narajadesa untuk menonton peperangan antara Kresna melawan Nila Candra.
10
Pengelengkara
20 menit Kayonan sebagai pergantian dari babak I ke babak II menceritakan Delem dan Sangut sedang bebincang. Kemudian muncul Nila Candra memeriksa keadaan sorga dan neraka yang ia buat. Delem dan Sangut memilih wanita-wanita yang akan dijadikan bidadari di sorga. Kresna datang untuk menantang Nila Candra
Vokal dalang dan Tabuh rebong.
11 Pangkat Pesiat
5 menit Kresna pergi ke Narajadesa menantang Nila Candra.
Tabuh dan vokal dalang
12 Pesiat 30 menit Kresna berperang melawan Nila Candra. Pihak Kresna kalah dan lari ke hutan. Pasukan Nila Candra melihat Bima dan adik-adiknya berada di dekat Narajadesa dan mengira mereka bersekutu dengan Kresna, oleh sebab itu akhirnya terjadi perang antara Catur Pandawa dengan Nila Candra. Catur Pandawa kalah, dan akhirnya Dharmawangsa datang untuk mencari adik-adiknya. Karena melihat adik-adiknya diikat Dharmawangsa marah dan berperang melawan Nila Candra. Karena sama-sama kuat maka Dharmawangsa dan Nila Candra mamurti, namun dihalangi oleh Bhagawan Andasinga.
Tabuh dan vokal dalang
13 Penyuud/ Penutup
10 menit Bhagawan Andasinga memberi saran kepada Dharmawangsa dan Nila
Tabuh dan Vokal dalang
Candra untuk tidak berperang dan menyatukan aliran yang di anut masing-masing. Nila Candra menganut aliran Budha yang dianugrahi oleh Sang Hyang Wirocana dan Dharmawangsa menganut aliran Siwa. Jika kedua aliran ini di satukan dan digunakan untuk membangun suatu negara maka akan tercapai apa yang disebut dengan Santhi Jagadhita
130menit
Dari bagan di atas secara tradisi, struktur Wayang Kulit dimulai dengan
pategak, pamungkah, tari kayonan, jejer wayang ngabut kayonan, patangkilan,
pepeson, Delem, pangkat siat, pengelengkara, siat/perang dan diakhiri dengan
panyuud, sebagaimana diisyaratkan oleh Bandem, tetapi dalam beberapa hal
dalam pertunjukan WKGK dengan lakon Nila Candra oleh Dalang Ida Made Adi
Putra, ada sedikit perbedaan dalam struktur pertunjukannya terutama pada saat
Alas harum,petangkilan dan penyacah parwa.
Pada umumnya Alas harum merupakan tahapan dimana wayang yang
menjadi tokoh utama dalam cerita keluar untuk mengadakan sebuah paruman,
namun dari hasil wawancara dengan dalang Ida Made Adi Putra pada struktur
pertunjukan WKGK lakon Nila Candra yang dipentaskan oleh Dalang Ida Made
Adi Putra pada tahap Alas harum dalang hanya menyanyi/ menembang tanpa
mengeluarkan tokoh apapun (kelir masih kosong) hanya ada iringan dari tabuh
gender Alas harum saja. Penyacah parwa dilakukan setelah Alas harum yaitu
untuk menceritakan secara singkatnya tentang lakon Nila Candra. Kemudian
perbedaan selanjutnya yaitu dalam WKGK tidak ada petangkilan namun langsung
kepada adegan pangkatan. Para tokoh wayang yang akan melakukan sidang atau
patangkilan, didahului dengan bebaturan, sebelum dialog-dialog para tokoh itu
dimulai. Jadi bisa disebutkan bahwa situasi patangkilan langsung dijadikan satu
dengan pangkatan. Tahapan-tahapan WKGK dengan lakon Nila Candra oleh
Dalang Ida Made Adi Putra berikutnya sama dengan tahapan-tahapan unsur-
unsur Wayang Kulit pada umumnya.
Berdasarkan struktur pertunjukan pada tabel di atas dapat diuraikan hasil
pengamatan dan kajian pada setiap unsur atau bentuk yang ditampilkan dalam
pertunjukan WKGK dengan lakon Nila Candra oleh Dalang Ida Made Adi Putra.
1) Tabuh Petegak
Petegak adalah tahap permulaan sebagai tanda bahwa pertunjukan
wayang dimulai. Menurut pendapat Rota (1978:40) gending petegak ini
dimainkan sebelum dalang naik panggung untuk mempertunjukkan
wayang. Gending petegak tidak ada hubungannya dengan dengan dalang
karena tidak ada vokal/tandak dari dalang, gending pategak dimainkan
sesuai dengan kemampuan penabuh gender. Beberapa gending petegak
yang sering digunakan : Gending sekar sungsang, Gending sekar gendot,
Gending sesapi ngindang, Gending cangak merengang dan masih banyak
lagi yang lainnya.
2) Pemungkah
Pemungkah merupakan tahapan dimana dalang memukul
keropak/gedog tiga kali, pada saat ini dalang telah melakukan upacara
membuka gedog dan menyimping, serta memilih wayang yang akan
dipakai dalam pentas beberapa wayang yang dipakai sebagai pelengkap
ditancapkan di pinggir kanan dan di pinggir kiri kelir. Bandem (1974: 11)
mengatakan pemungkah ini mengiringi dalang didalam melakukan hal-hal
sebagai berikut:
“…pemukulan keropak dengan sebuah cepala, yang terletak disebelah kiri dalang untuk penyimpanan wayang, kemudian tutup kropak ini dipindahkan kekanan juga tempat menumpuk wayang yang akan dipakai. Kemudian dalang memulai Wayang dengan sebuah kayonan / gunungan yang menandakan pertunjukan sudah dimulai dan kemudian gunungan itu ditancapkan pada pertengahan kelir. Dalang menaruh wayang disebelah kanan dan kiri gunungan tergantung daripada karakter wayang. Karakter baik diletakkan di sebelah kanan kelir dan karakter jahat diletakkan disebelah kiri kelir. Setelah semua wayang dicabut (kecuali kayonan) dan sudah diletakkan teratur maka dalang memberi aba-aba pada penabuh dengan cepala untuk memainkan satu gending gender untuk mencabut kayonan..”.
3) Alas harum
Alas harum merupakan adegan awal sebagai tanda bahwa babak
pertama akan dimulai. Pada Alas harum biasanya dalang menyanyikan
sebuah tembang yang diiringi dengan tabuh Alas harum sambil menarikan
tokoh wayang. Satu per satu wayang dikeluarkan sampai dengan tembang
yang dinyanyikan habis. Pada struktur pertunjukan WKGK lakon Nila
Candra yang dipentaskan oleh Dalang Ida Made Adi Putra, pada tahap
Alas harum dalang hanya menyanyi/ menembang tanpa mengeluarkan
tokoh apapun hanya tarian kayonan dan ada iringan dari tabuh gender Alas
Penyacah parwa dalam WKGK lakon Nila Candra yang dipentaskan
oleh Dalang Ida Made Adi Putra dilakukan setelah Alas harum sama
seperti tahapan-tahapan pertunjukan wayang yang digunakan secara
umum. Menurut Sudiana (2004:20) penyacah parwa merupakan ucapan
dalang yang mengungkapkan tentang permohonan maaf kepada Tuhan dan
kepada pengarang Mahabarata, karena akan menjelaskannya kembali
melalui pertunjukan wayang. Penyacah Parwa yaitu suatu adegan dengan
tari kayonan dimana dalang harus menerangkan kepada penonton
mengenai lelampahan atau lakon yang dipentaskan pada pertunjukan ini,
supaya penonton mempunyai gambaran dan mengerti mengenai
pertunjukan yang ditontonnya, seperti halnya WKGK mementaskan cerita
yang di ambil dari epos Mahabharata yang merupakan bagian dari Asta
Dasa Parwa yang dikarang oleh Bhagawan Kresna Dwipayana dan
kemudian dikawi oleh dalang Ida Made Adi Putra. Mengenai komposisi
tari kayonan ini ditarikan dan diputar-putar ke kanan dan ke kiri. Setelah
kayonan ditarikan dan diputar-putar di sebelah kanan dan di sebelah kiri
kelir selanjutnya kayonan menghilang dari permukaan kelir sebagai
pertanda dimulainya adegan baru.
5) Pangkatan / Angkat-angkatan
Pangkat artinya berangkat kesuatu tempat tertentu atau ke medan
perang. Struktur pertunjukan Wayang Kulit secara umum biasanya setelah
tahap Alas harum akan dilanjutkan dengan tahap petangkilan, namun pada
struktur pertunjukan WKGK lakon Nila Candra oleh Dalang Ida Made Adi
Putra tahap petangkilan tidak ada. Dari hasil wawancara, Dalang Ida Made
Adi Putra mengatakan bahwa pertama kali beliau menonton pertunjukan
Wayang Kulit Gaya Karangasem oleh Dalang Putra almarhum, struktur
pertunjukannya memang tidak menggunakan tahap petangkilan.
Narasumber lainnya yaitu Dalang Ida Made JD Bratha juga
mengatakan hal yang sama yaitu menurut sepengetahuan beliau struktur
pertunjukan WKGK tidak menggunakan tahap petangkilan, tetapi
langsung ke tahap pangkatan. Berdasarkan wawancara yang dilakukan
dengan narasumber Dalang Ida Made JD Bratha di rumahnya, bahwa
biasanya setiap pertunjukan wayang setelah selesai petangkilan dengan
penggantian babak dilanjutkan dengan pangkat/angkat-angkatan. Pangkat
wayang dibagi menjadi dua, pertama pangkat pejalan, kedua pangkat siat.
Dalam pangkat pejalan disesuaikan dengan jalannya cerita tersebut. Pada
pangkat pejalan juga ada peguneman kembali tergantung pada jalannya
cerita. Yang kedua Pangkat siat, setelah akan mempersiapkan
pertempuran, setiap wayang yang dikeluarkan wajib membawa senjata
sebagai perlengkapan pertempuran.
Di dalam pangkat akan terjadi pula beberapa adegan-adegan, hal
ini tergantung alur cerita itu sendiri. Dimana adegan pangkat merupakan
bagian struktur yang paling panjang, karena disini dapat terjadi
perpanjangan atau pemendekan suatu cerita.
Adegan pangkat pejalan yang pertama dalam WKGK lakon Nila
Candra menggambarkan Merdah dan Twalen sedang membicarakan
kesuksesan Dharmawangsa dalam membangun Indraprasta. Yang
kemudian dikejutkan dengan kedatangan Kresna yang ingin menemui
Panca Pandawa untuk di ajak berperang melawan Nila Candra. Tahap ini
juga menggambarkan keberangkatan Kresna menuju Narajadesa untuk
menantang Nila Candra selain itu juga pada tahap ini menggambarkan
keberangkatan Bima dan adik-adiknya pergi untuk menonton peperangan
antara Kresna melawan Nila Candra di Narajadesa.Adegan pangkat siat
dalam WKGK lakon Nila Candra yaitu ketika Kresna menantang Nila
Candra untuk berperang.
6) Pangelengkara
Pangelengkara adalah peralihan cerita yang ditandai dengan tarian
kayonan dan ucapan dari seorang dalang yang berarti cerita yang telah
berlalu dihentikan dulu dan cerita yang akan dikisahkan disampaikan
ringkasannya. Menurut Marajaya (2002:16) mengatakan bahwa
pangelengkara yaitu memberi latar belakang dari penciptaan seni
pewayangan dan uraian tentang falsafah bhuana agung (makrokosmos)
dan bhuana alit (mikrokosmos). Ki dalang mulai memberikan gambaran
singkat cerita yang akan dipentaskan dan memperkenalkan tokoh-tokoh
yang tampil pada adegan petangkilan. Dalam Wayang Kulit
pangelengkara fungsinya sebagai pemaparan cerita baik pada awal
pertunjukan sebagai pengganti penyacah parwa dalam Wayang Kulit
Parwa maupun penyacah kanda dalam Wayang Kulit Ramayana.
Pangelengkara terjadi di tengah-tengah pertunjukan berlangsung sebagai
pertanda bahwa pembabakan cerita yang ditampilkan. Pangelengkara pada
pertunjukan WKGK lakon Nila Candra oleh Dalang Ida Made Adi Putra
menunjukkan adegan kayonan sebagai pergantian dari babak I ke babak II
menceritakan Delem dan Sangut sedang bebincang. Kemudian muncul
Nila Candra memeriksa keadaan sorga dan neraka yang ia buat. Delem dan
Sangut memilih wanita-wanita yang akan dijadikan bidadari di sorga.
7) Siat
Pada adegan siat Kresna berperang melawan Nila Candra. Pihak
Kresna kalah dan lari ke hutan. Pasukan Nila Candra melihat Bima dan
adik-adiknya berada di dekat Narajadesa dan mengira mereka bersekutu
dengan Kresna, oleh sebab itu akhirnya terjadi perang antara Catur
Pandawa dengan Nila Candra. Catur Pandawa kalah, dan akhirnya
Dharmawangsa datang untuk mencari adik-adiknya. Karena melihat adik-
adiknya diikat Dharmawangsa marah dan berperang melawan Nila Candra.
Karena sama-sama kuat maka Dharmawangsa dan Nila Candra mamurti,
namun dihalangi oleh Bhagawan Andasinga.
8) Penyuud/penutup
Bhagawan Andasinga memberi saran kepada Dharmawangsa dan
Nila Candra untuk tidak berperang dan menyatukan aliran yang di anut
masing-masing. Nila Candra menganut aliran Budha yang dianugrahi oleh
Sang Hyang Wirocana dan Dharmawangsa menganut aliran Siwa. Jika
kedua aliran ini di satukan dan digunakan untuk membangun suatu negara
maka akan tercapai apa yang disebut dengan Santhi Jagad Dhita.
Pertunjukan WKGK lakon Nila Candra berakhir dengan ditandai tancap
kayonan.
4.3 Komponen Pertunjukan
Bentuk komponen pertunjukan yang disajikan dalam pegelaran Wayang
Kulit Gaya Karangasem dengan lakon Nila Candra oleh Dalang Ida Made Adi
Putra di Banjar Besang, Desa Ababi, Kecamatan Abang, Kabupaten Karangasem
meliputi beberapa komponen sebagai berikut.
4.3.1 Lakon
Dalam pertunjukan Wayang Kulit, memilih sebuah cerita / lakon sangatlah
penting karena tanpa adanya lakon sebuah pertunjukan Wayang Kulit tidak akan
bisa berlangsung. Seorang dalang biasanya terlebih duhulu akan memilih lakon
yang disukainya untuk dipentaskan. Pengertian lakon dalam pertujukan wayang
dapat diartikan sebagai cerita yang akan disajikan dalam pertunjukan tersebut.
Lakon dapat merujuk pada suatu judul cerita yang dipentaskan, dalam pertunjukan
ini lakon yang diangkat berjudul “Nila Candra”.
Lakon dalam seni pedalangan Bali secara umum sering disebut dengan
istilah lampahan. Sudiana (2006:81-82) berpendapat bahwa di Desa Sukawati
dikenal adanya beberapa jenis lakon seperti : Lampahan Unduk, Lampahan
Krakah, Lampahan Kataka Parwa, Lampahan Kawi Dalang, dan Lampahan
Reragragan. Pengertian masing-masing lakon itu dimaknai sebagai berikut :
Lampahan Unduk adalah lakon pokok yang bersumber dari Mahabharata dan
Ramayana, yang telah disadur dalam kesusatraan Jawa Kuno seperti parwa-parwa
dan kakawin-kakawin; Lampahan Krakah adalah lakon yang berdiri sendiri secara
otonom diluar yang tertulis pada Mahabharata atau pun kakawin Ramayana;
Lampahan Kataka Parwa adalah lakon karangan yang diakui kualitasnya;
Lampahan Kawi Dalang dan lampahan Reragragan adalah merupakan lakon
wayang hasil ciptaan para dalang.
Penggunaan lakon pokok yang bersumber dari epos Mahabharata dalam
seni pedalangan Bali sudah berlangsung sejak dahulu seperti beberapa lampahan
yang sering dipentaskan oleh dalang-dalang di Bali yaitu sebagai berikut: Kunti
Yadnya, Bima Suarga, Aswameda Yadnya dan lain sebagainya. Untuk dalang-
dalang di daerah Karangasem lampahan / cerita parwa sudah sering dipentaskan.
Begitu juga dengan Dalang Ida Made Adi Putra sendiri, walaupun beliau sering
mementaskan Wayang Ramayana, Wayang Cupak, dan Wayang Calonarang,
tetapi beliau lebih sering mementaskan Wayang Parwa seperti yang sedang dikaji
sekarang yaitu Wayang Kulit Parwa Bali Gaya Karangasem lakon Nila Candra.
4.3.1.1 Sinopsis
Tersebutlah seorang Raja yang bernama Sang Nila Candra yang
menjadi Raja di Negara Naraja Desa. Sebagai seorang Raja besar,
berwibawa dan tersohor serta di junjung tinggi oleh rakyatnya di ibaratkan
seperti Dewa Indra yang selalu memperhatikan rakyatnya sesuai dengan
kewajiban seorang Raja yaitu menghilangkan kesengsaraan rakyatnya.
Nila Candra memilki sifat yang baik hati, bijaksana, dan adil. Sang Nila
Candra menganut aliran Budha Paksa, amat tekun melakukun brata, tapa
dan samadi, sehingga Sang Hyang Wirocana memberikan anugerah
kesucian lahir dan batin.
. Pada Suatu hari yang Sang Nila Candra mengadakan sidang
dengan para Patih dan Bagawan Andasinga. Didalam persidangan Raja
mengemukakan suatu rencana untuk membangun sorga dengan maksud
agar semua rakyatnya tahu dengan sorga dan tahu apa yang dialami oleh
atma di sorga dan neraka nantinya setelah meninggal. Rencana Rajapun
disetujui oleh Patih dan para bahudanda kerajaan, maka Raja segera
memerintahkan untuk mencari tukang bangunan dan menyiapkan bahan-
bahan bangunan.
Setelah sekian lama selesailah bangunan duplikat sorga yang
berdiri dengan megahnya, serta lengkap dengan bagian-bagiannya masing-
masing, yaitu tempat sorga dan neraka, lengkap dengan bidadari dan
gandarwa. Begitu juga tempat di neraka, yaitu di Yamaniloka tempat
eksekusi atma dan disiksa sesuai dengan karma wasana yang dilakukan
pada saat hidupnya dengan petugas eksekutornya masing-masing. Setelah
semuanya selesai maka Raja mengundang semua rakyatnya untuk
mengunjungi sorga buatan itu secara bergilir, rakyatpun berduyun-duyun
mengunjungi sorga buatan Raja. Dengan sangat antusias rakyat
mengelilingi sorga dan melihat suka duka atma yang disiksa dan atma
yang mendapat tempat yang layak. Maka setelah rakyatnya mengetahui
bahwa demikianlah keadaan disorga, semenjak itu pula situasi kerajaan
dan wilayah serta rakyat kerajaan Naraja menjadi aman dan sentosa.
Pada suatu ketika Sang Nila Candra ingat kepada Sang Dharma
Wangsa yang merupakan sahabat baiknya, maka Nila Candra bermaksud
untuk mengundang Dharma Wangsa agar mau datang ke Naraja untuk
melihat duplikat sorga yang dibuatnya dan mau memberikan petunjuk-
petunjuk atas kekurangan yang ada pada sorga buatannya, karena Nila
Candra ingat bahwa Pandawa juga pernah ke sorga pada waktu mencari
atmanya Sang Pandu. Akhirnya Raja mengutus seorang patih untuk
menghadap Sang Yudisthira. Datanglah Sang Yudistira bersama Sang
Catur Pandawa ke Naraja Desa yang disambut oleh Sang Nila Candra.
Nila Candra menyampaikan tujuannya, mengapa Ia membuat duplikat
sorga? yaitu dengan maksud agar rakyatnya tahu apa itu “sorga”dan apa
itu “neraka” dan juga agar rakyatnya tahu dan mengerti serta percaya
dengan adanya hukum “Karma Pala”. Mendengar penjelasan Nila Candra
begitu, Sang Panca Pandawa kagum dengan Nila Candra karna tujuannya
sangat mulia sekali. Setelah cukup berbincang-bincang, maka Nila Candra
mengajak Panca Pandawa berkeliling di sorga buatannya sambil
menjelaskannya. Panca Pandawa sungguh kagum dan heran menyaksikan
sorga buatan Nila Candra sama persis dengan keadaan di sorga yang
sebenarnya. Setelah puas berkeliling maka Panca Pandawa mohon diri
untuk kembali ke Indraprasta
Dikisahkan di Kerajaan Dwarawati sedang diadakan sidang yang
dipimpin oleh Sang Kresna, yang dibahas didalam sidang tersebut adalah
Sang Kresna memerintahkan Sang Satyaki dan Sang Kerta Warma untuk
menyelidiki wilayah kerajaan dan mengecek keadaan rakyatnya, maka
berangkatlah Satyaki bersama Kerta Warma menglilingi wilayah Kerajaan
Dwarawati. Tanpa disadari perjalanannya sampai ke wilayah Kerajaan
Nila Candra yaitu di Naraja. Disana Satyaki dan Kerta Warma sempat
melihat bangunan megah dan mendapat informasi bahwa bangunan itu
adalah duplikat sorga. Melihat hal tersebut maka Satyaki dan Kerta Warma
segera kembali ke Dwarawati dan melaporkan bahwa disebuah Kerajaan
Naraja dengan Rajanya Sang Nila Candra membuat duplikat sorga. Setelah
menerima laporan seperti itu maka Sang Kresna amat marah kepada Nila
Candra karena menganggap Nila Candra terlalu lancang dan berani
menyamai keadaan Dewa di sorga (memada-mada). Saking marahnya
Sang Kresna bermaksud untuk memerangi Nila Candra dan
menghancurkan bangunan duplikat sorga Nila Candra. Maksud Sang
Kresna di setujui oleh Bala Dewa , Satyaki dan Kerta Warma, lalu Sang
Kresna bersama pasukannya menuju Puri Astina. Sesampai di Astina Sang
Kresna menghadap Yudistira dan menyampaikan maksud kedatangannya
serta sekaligus mengajak Pandawa untuk bergabung memerangi Nila
Candra. Mendengar ajakan Kresna begitu Yudistira menjelaskan tujuan
Nila Candra membangun sorga adalah untuk mengajarkan rakyatnya agar
berbuat, berkata dan berpikir sesuai dengan Trikaya Parisuda dan percaya
dengan adanya “Karma Pala” jadi apa salahnya Nila Candra?.Mendengar
penjelasan Yudistira begitu Sang Kresna terdiam sejenak dan akhirnya
Sang Kresna pergi tanpa pamit menuju Naraja. Setelah Kresna lenyap dari
pandangan Pandawa, maka Sang Bima mengajak Arjuna dan Nakula
Sahadewa untuk nonton peperangan Kresna melawan Nila Candra karena
yang akan berperang adalah orang-orang hebat dan sakti, sudah barang
tentu pastilah akan terjadi perang yang hebat.
Di ceritrakan bahwa pasukan Kresna telah sampai di Naraja dan
langsung disambut oleh Nila Candra, Kresna minta agar duplikat sorga itu
di bongkar dan mengatakan Nila Candra terlalu lancang terhadap dewa-
dewa yang ada di sorga. Perang mulut menjadi ramai dan akhirnya
dilanjutkan dengan perang senjata, pertempuran pun berlangsung amat
seru dan hebat, pasukan perang dikedua belah pihakpun jatuh berguguran.
Sedang asyikanya Sang Catur Pandawa nonton pertempuran dari kejauhan,
namun salah seorang patih Nila Candra melihat Bima bersama adik-
adiknya dan langsung menghampirinya serta menantang untuk berperang
karena dituduh memihak Kresna, Bima mengatakan tujuan sebenarnya
adalah hanya nonton saja, namun pernyataan Bima tidak dipercaya oleh
pihak Nila Candra dan tetap menantang untuk berperang, maka dengan
terpaksa Catur Pandawa terlibat dalam pertempuran itu,perang pun
menjadi tambah ramai.
Di kisahkan pihak Kresna sudah kewalahan menghadapi kesaktian
Nila Candra, sementara perang antara Bima dan adik-adiknya masih
berlangsung dengan hebatnya, tetapi berkat kesaktian Nila Candra, Arjuna
dan saudara-saudaranya dapat ditangkap dan di ikat. Sang Yudistira,
sepertinya ada pirasat buruk yang di rasakan, maka Yudistira berangkat
menyusul Catur Pandawa menuju Kerajaan Naraja. Sesampainya di
Naraja, Yudistira terkejut melihat adik-adiknya di ikat. Yudistira menjadi
amat marah dan langsung mengangkat senjata untuk berperang,maka
kalimosadapun dilepaskan dan menjadi api yang sangat besar dan
membara memenuhi arena pertempuran, melihat hal itu Sang Nila Candra
segera mengeluarkan ajiannya memuja Sang Wirocana, memohon agar
bisa membunuh Darmawangsa, tiba-tiba berdiri didepanya tiada lain
adalah Rsi Andasinga. Rsi Andasinga menasehati Nila Candra agar jangan
berperang melawan Darmawangsa karena Darmawangsa adalah titisan
Sang Hyang Dharma.dan di katakan pula kalau Darmawangsa terbunuh
maka jagad rayapun akan hancur. Sebab Nila Candra menganut aliran
Budha yang dianugrahi oleh Sang Hyang Wirocana dan Dharmawangsa
menganut aliran Siwa. Dharmawangsa merupakan simbol dari Sang
Hyang Akasa dan Nila Candra simbol dari Sang Hyang ibu pertiwi. Nila
Candra sebagai pradana dan Dharmawangsa sebagai purusa. Bhagawan
Andasinga memberi saran agar menyatukan kesaktian dan aliran Budha
dengan Siwa untuk dipakai membangun suatu negara agar tercapai apa
yang disebut dengan Santhi Jagad Ditha.
4.3.1.2 Pembabakan
Untuk mengetahui dengan jelas struktur dari lakon Nila Candra,
pemaparannya disesuaikan dengan hasil rekaman dan wawancara langsung
yang dilakukan oleh peneliti sendiri pada saat menonton secara langsung
pertunjukan WKGK oleh dalang Ida Made Adi Putra di Banjar Besang,
Desa Ababi, Kecamatan Abang, Kabupaten Karangasem.
Babak I, diawali dengan tabuh petegak cangak merengang yang
disesuaikan dengan suasana untuk menyambut penonton, baik yang sudah
datang maupun yang baru datang. Gending petegak ini juga digunakan
untuk mengisi kekosongan saat dalang mempersiapkan kelengkapan
pertunjukan. Dengan alunan tabuh gender wayang (gender dasa) membuat
suasana yang dihadirkan lebih religius. Dilanjutkan dengan tabuh gilak
kayonan, untuk mengiringi tari kayonan. Setelah itu kayonan di tancapkan
di tengah-tengah kelir. Dilanjutkan dengan jejer wayang, yaitu
menancapkan semua tokoh-tokoh wayang yang berperan dalam
pertunjukan wayang lakon Nila Candra. Ngancit wayang, yaitu satu per
satu tokoh-tokoh wayang yang akan digunakan dicabut dan diletakkan di
kanan dan kiri dalang. Setelah kelir kosong tabuh gilak kayonan kembali
dimainkan untuk mengiringi tari kayonan yang kedua (ngancit kayon).
Alas harum merupakan adegan dimana tabuh alas harum dimainkan dan
diikuti dengan suara nyanyian/tetembangan dari dalang. Biasanya dalam
pementasan wayang pada tahap alas harum ini dalang menembangkan
sebuah tembang sambil menarikan tokoh wayang. Tetapi dalang Ida Made
Adi Putra masih menggunakan struktur gaya khas Karangasem yaitu pada
tahap Alas harum, di dalam kelir masih kosong tidak ada tokoh wayang
yang muncul. Setelah Alas harum, dilanjutkan dengan penyacah parwa
yang diiringin dengan tabuh gender penyacah parwa. Melangkah ke
pembabakan cerita, dalam struktur pertunjukan WKGK tidak ada
petangkilan namun langsung ke tahap pangkatan Merdah dan Twalen yang
diiringi dengan tabuh pangkat. Pada adegan ini Merdah dan Twalen
membicarakan tentang kesuksesan Panca Pandawa dalam membangun
kerajaan Indraprasta dan hubungan baik antara Panca Pandawa dengan
Nila Candra. Adegan berikutnya diceritakan Kresna datang untuk
menghadap Dharmawangsa. Kresna menemui Dharmawangsa dengan
tujuan untuk mengajak Panca Pandawa untuk ikut berperang melawan Nila
Candra karena menurut Kresna tindakan Nila Candra menduplikasi sorga
itu salah. Dharmawangsa tidak mau ikut berperang karena menurut
Dharmawangsa tindakan Nila Candra membangun sorga buatan itu adalah
untuk memberikan pendidikan kepada rakyatnya agar percaya dengan
adanya hukum Karmapala. Disamping itu hubungan baik antara
Dharmawangsa dengan Nila Candra sangatlah baik. Karena
Dharmawangsa tidak mau ikut berperang, Kresna pergi tanpa berkata apa-
apa. Tanpa sepengetahuan Dharmawangsa Bima dan adik-adiknya pergi ke
Narajadesa hanya untuk menonton peperangan anatara Kresna melawan
Nila Candra.
Babak II, babad kayonan sebagai penggantian dari babak I ke
babak II diiringi dengan tabuh batel kayonan. Dikisahkan sekarang di
Narajadesa, Delem dan Sangut berbincang membicarakan kesuksesan Nila
Candra membangun sorga di Narajadesa dan tinggal menempatkan orang-
orang yang cocok untuk ditugaskan di sorga dan di neraka. Pada babak ini
tokoh Nila Candra muncul dan bertanya pada Delem dan Sangut tentang
kelengkapan di sorga dan neraka. Nila Candra memeriksa kelengkapan
sorga dan neraka yang dibangunnya. Nila Candra pergi, Delem dan Sangut
memilih wanita-wanita untuk dijadikan bidadari di sorga. Adegan ini
diiringi dengan tabuh gender rebong. Dilanjutkan dengan keadaan di
Yama loka, terdapat Cikrabala, Sang Hyang Yama, Jogor Manik, dan Sang
Suratma yang diperankan oleh orang-orang pilihan dari Nila Candra.
Kemudian datang Kresna beserta pasukannya ke Narajadesa untuk
menantang Nila Candra.
Babak III, babad kayon (persiapan perang). Perang terjadi antara
Kresna melawan patih diteruskan dengan melawan Nila Candra.
Kekalahan berada dipihak Kresna, kemudian Kresna lari menuju hutan.
Kresna dikejar oleh pasukan Nila Candra, dalam pengejaran itu, pasukan
Nila Candra bertemu dengan Bima dan adik-adiknya yaitu Arjuna, Nakula
dan Sahadewa. Bima dan adik-adiknya dianggap bersekutu dengan Kresna
oleh pasukan Nila Candra walaupun Bima sudah menjelaskan
kedatangannya hanya ingin menonton peprangan antara Kresna melawan
Nila Candra. Pasukan Nila Candra tetap tidak percaya kepada Bima dan
adik-adiknya dan menantang untuk berperang. Maka peperangan antara
Catur Pandawa dengan pasukan Nila Candra pun terjadi. Nila Candra
dapat mengalahkan Catur Pandawa. Merdah dan Twalen sedih melihat
kekalahan Catur Pandawa dan akhirnya Merdah dan Twalen melapor
kepada Dharmawangsa. Pada adegan ini tabuh gender yang mengiringi
adalah mesem. Dharmawangsa kemudian pergi ke Narajadesa. Melihat
adik-adiknya diikat, Dharmawangsapun marah dan menantang Nila
Candra, dan peperangan antara Dharmawangsa dan Nila Candrapun
terjadi. Karena sama-sama sakti, akhirnya baik Nila Candra maupun
Dharmawangsa mamurti (merubah wujud). Kemudian datanglah
Bhagawan Andasinga untuk menghalangi Dharmawangsa dan Nila Candra
mamurti, karena jika itu sampai terjadi dunia ini akan hancur. Sebab Nila
Candra menganut aliran Budha yang dianugrahi oleh Sang Hyang
Wirocana dan Dharmawangsa menganut aliran Siwa. Dharmawangsa
merupakan simbol dari Sang Hyang Akasa dan Nila Candra simbol dari
Sang Hyang ibu pertiwi. Nila Candra sebagai pradana dan Dharmawangsa
sebagai purusa. Bhagawan Andasinga memberi saran agar menyatukan
kesaktian dan aliran Budha dengan Siwa untuk dipakai membangun suatu
negara agar tercapai apa yang disebut dengan Santhi Jagad Ditha.
4.3.2 Dalang
Dalang adalah seseorang yang melaksanakan pertunjukan wayang kulit,
baik pria maupun wanita. Tugas dalang sangatlah berat, selain harus bisa
memainkan wayang, seorang dalang juga harus memiliki suara yang bagus,
mengerti nada, mengerti gamelan, memiliki wawasan yang luas baik itu
filosofi tentang keagamaan, sastra, dan budaya baik itu zaman dahulu atau
zaman modern saat ini. Dalang mempunyai peranan yang sangat penting
dalam pertunjukan wayang, tanpa adanya dalang pertunjukan wayang tidak
akan dapat berlangsung. Selain itu seorang dalang berkewajiban memberikan
petuah-petuah yang baik dan berguna bagi mayarakat melalui dialog-dialog
tokoh wayang, sehingga dengan menonton pertunjukan wayang, penonton
mendapatkan pengetahuan-pengetahuan secara tidak langsung.
Wicaksana (2009:25) menyebutkan seorang dalang juga dianggap sebagai
“guru masyarakat” hal ini berkenaan dari ungkapan secara implisit dalam
lontar Dharma Pewayangan, yang menyebutkan bahwa dalang berfungsi
sebagai guru loka. Bagaimana seorang dalang menyampaikan pesan-pesan
pendidikan lewat media wayang sehingga mampu menyedot orang-orang
duduk menonton di depan kelir.
Di Bali seorang dalang di dalam melaksanakan pertunjukan dibantu oleh
satu atau dua orang katengkong/tututan dan disetiap pertunjukan wayangnya
selalu diiringi dengan iringan tetabuhan yang dimainkan oleh pengrawit.
Dalang harus menguasai bahasa Kawi dan bahasa Bali, baik halus maupun
kasar sesuai dengan “anggah-ungguhing bhasa”, dipergunakan untuk
menterjemahkan atau memberikan interprestasi terhadap bahasa Kawi yang
diucapkan oleh raja atau pemimpinnya dan juga dengan sesama punakawan.
Seorang dalang harus menguasai dan mengetahui banyak cerita-cerita yang
dipergunakan sebagai lakon pertunjukan wayang. Untuk itu dalang harus rajin
membaca parwa dan kanda , kakawin, sejarah, tutur dan sastra-sastra lainnya
agar dalam pertunjukan wayang dapat bercerita dengan baik, dan tidak
menyimpang dari alur cerita.
Penelitan ini mengambil studi kasus Dalang Ida Made Adi Putra. Adapun
riwayat singkat mengenai Dalang Ida Made Adi Putra yaitu, Beliau berasal
dari Grya Bodha, Br. Besang, Desa Ababi, Kecamatan Abang, Kabupaten
Karangasem. Beliau lahir pada tahun 1959, merupakan anak pertama dari tiga
bersaudara dan sudah mempelajari tentang pewayangan dari tahun 1984.
Dalang Ida Made Adi Putra sudah sering mengikuti perlombaan maupun
festival dalang. Beliau pernah menjuarai lomba dalang calonarang, dan
wayang arja. Mengenai pendidikan Dalang Ida Made Adi Putra, beliau telah
menyelesaikan pendidikannya sampai dengan jenjang Diploma. Dari kecil
Beliau sudah diajarkan oleh ayahnya berkesenian. Beliau belajar mendalang
secara otodidak dengan sering menonton pertunjukan wayang dan belajar
dengan membaca tentang buku-buku pewayangan dan sastra sampai akhirnya
beliau mewinten dan menjadi dalang. Sampai saat ini beliau masih aktif
mendalang. Bidang seni lainnya yang ditekuninya adalah menari, baik itu
menari topeng, gambuh, arja dan lain sebagainya. Dalang Ida Made Adi Putra
juga bisa bermain gamelan, bisa dibilang Dalang Ida Made Adi Putra ini
merupakan seniman yang komplit. Selain menjadi seorang dalang beliau juga
merupakan seorang guru kesenian di salah satu sekolah menengah pertama di
Kabupaten Karangasem. Dalang Ida Made Adi Putra memiliki 2 orang putra,
kedua putranya tersebut menuruni bakat dari ayahnya yang pintar dalam
sastra dan seni.
4.3.3 Wayang
Rota (1977:6) mengatakan pertunjukan wayang, tidak lain maksudnya
untuk pemujaan kepada roh leluhur. Nenek moyang kita membuat wayang
untuk dapat membayangkan roh suci orang-orang yang telah meninggal baik
dalam waktu yang lama maupun singkat. Berbicara menegenai wayang yang
ada menurut I Gusti Bagus Sugriwa (1963:13-14) di dalam buku Ilmu
Pedalangan/Pewajangan Bali bahwa jenis wayang diuraikan menjadi wayang
kanan, wayang kiri dan wayang atas. Kita mengetahui bahwa wayang-wayang
itu dikeluarkan keruangan kelir sebagai pelaku cerita dipancangkan bertimpi-
timpi di pinggir kanan dan kiri kelir itu sendiri. Juga di sebelah kiri
dipancangkan menunduk menghadap kekiri. Wayang-wayang yang
dipasangkan di sebelah kanan adalah Pandawa, Dwarawati (Yaduwrseni
andaka) Pancala, dan dewa-dewa. Yang dipancangkan di sebelah kiri yaitu
golongan korawa dan raksasa-raksasa. Yang keluar dari atas adalah bagian
dewa-dewa yang bersifat pertengahan, seimbang tidak kanan dan tidak kiri,
paramartha yaitu berjiwa ketuhanan yang tingi, sempurna, berjiwa besar, adil
dan pemurah, sayang dan belas kasihan kepada orang dan kuat batinnya.
Di dalam pertunjukan dalang Ida Made Adi Putra dalam WKGK dengan
lakon Nila Candra mengacu pada deskripsi diatas bahwa juga menggunakan
grup wayang kiri dan grup wayang kanan. Akan tetapi di dalam pertunjukan itu
tidak memakai grup wayang atas karena selama pertunjukan yang peneliti
saksikan dari awal sampai akhir tidak ada adegan tokoh-tokoh wayang grup
wayang atas.
Tokoh-tokoh wayang yang digunakan dalam lakon Nila Candra ini adalah
Tokoh Panca Pandawa yakni Dharmawangsa, Bima, Arjuna, Sahadewa, dan
Nakula dalam hal ini berperan sebagai tokoh protagonis yaitu tokoh yang
berperan baik. Selain itu tokoh utama dalam cerita ini adalah tokoh wayang
Nila Candra. Tokoh wayang Kresna, Baladewa dan Kertawarma dalam lakon
ini bersifat Antagonis yaitu tokoh yang berperan jahat. Selain itu Tokoh
Tritagonis dalam lakon ini yaitu Bhagawan Andasinga yaitu tokoh yang tidak
memihak pada kelompok manapun, mempunyai peran penengah, bertugas
sebagai pelerai atau pendamai.
4.3.4 Iringan Gender Wayang
Bandem (1974:10) mengatakan musik yang digunakan untuk mengiringi
Wayang Kulit Bali disebut Gender Wayang. Tehnik permainan dari pada
musik/ gamelan ini adalah sangat elaborate, intricate, pholiponic, melodic
dan bermacam sistem kotekan atau interlocking figuration yang
dipergunakan. Umumnya gender wayang berlaras selendro. Dalam
pertunjukan WKGK dengan lakon Nila Candra oleh Dalang Ida Made Adi
Putra, tata iringannya masih menggunakan gender wayang yang berjumlah
empat tungguh gender yang terdiri dua tungguh gender besar, dan dua
itungguh gender kecil. Dari tiap pasangan gender besar maupun kecil terdapat
perbedaan tinggi rendah nada yang disebut dengan istilah ngumbang ngisep.
Nada yang lebih besar pada setiap pasangan dinamakan ngumbang sedangkan
yang lebih kecil dinamakan ngisep. Adapun nama-nama penabuh gender
adalah sebagai berikut:
Gender besar : 1) I Dewa Gede Widnyana
2) Ngurah Purniata
Gender kecil : 1) Mangku Raka
2) I Gede Gatot Eka Putra
4.3.5 Sound System
Pertunjukan WKGK lakon Nila Candra oleg Dalang Ida Made Adi Putra,
juga menggunakan inovasi alat pengeras suara seperti; unit sound system
terdiri atas satu buah amplifier, salon,(corong), dan mike. Mike dipasang
begitu rupa sehingga moncong mike tepat berada pada jarak bicara pas pada
bibir dalang yang membuat semua ucapan dalang dapat diperkeras begitu
rupa. Alhasil dalang tidak perlu mengerahkan kekuatan penuh suaranya agar
bisa dijangkau oleh semua .
Di samping sebuah mike ada juga satu unit amplifier sebagai alat untuk
menampung dan mengatur volume suara dalang yang disalurkan melalui
mike. Suara yang sudah ditampung di amplifier itu kemudian disalurkan di
kedua buah salon (corong) yang diposisikan sebelah menyebelah (kiri kanan)
panggung tempat pertunjukan WKGK lakon Nila Candra oleh Dalang Ida
Made Adi Putra. Dalam hal ini yang bertugas dalam mengatur sound sistem
dalam pertunjukan WKGK lakon Nila Candra adalah I Dewa Gede Suardana.
Menurut pengakuan dalang, adanya peralatan elektronik ini sangat membantu
efektifitas pengeluaran suaranya. Sehingga kendatipun melakukan
pementasan beberapa kali dalam sebualan tanpa sedikitpun dia merasa
mendapat masalah dalam hal suara.
Dengan penggunaan alat elektronik ini pada satu sisi para dalang dapat
mengirit suaranya sedangkan pada sisi yang lain para dalang justru menjadi
sedikit manja dan tidak biasa menggunakan segenap kemapuan suaranya.
Fasilitas dan kemanjaan seperti ini tidak pernah menjadi milik dalang-dalang
zaman dahulu. Inilah fakta dan kenyataan yang mau tak mau harus terjadi,
serta tak dapat dihindari kehadirannya.
4.3.6 Gedebong
Dalam pertujukan WKGK lakon Nila Candra gedebong atau batang pisang
ini berfungsi untuk dapat menjejerkan wayang-wayang yang mengambil
posisi di kelir ketika tokoh wayang itu berada dalam posisi berdiri.
Menunduk, atau duduk caranya dengan menancapkan tangkai wayang ke
dalam gedebong, dengan telapak kaki wayang masih berada di bibir atas
gedebong. Disamping itu gadebong berfungsi untuk menancapkan kayu
perentang kelir pada kedua ujungnya sehingga kelir menjadi begitu kencang
(kenyat).
Gedebong yang dipakai untuk pementasan Wayang Kulit ini pada
umumnya gedebong pisang batu. Tampaknya tidak ada falsafah apa-apa di
sini, semata-mata pohon pisang batu mempunyai batang pisang yang panjang
dibandingkan batang pisan yang lainnya, sehingga lebih gampang untuk
mengatur dan menyesuaikan dengan panjang kelir. Gedebong dalam
pementasan Wayang Kulit adalah makna simbolik yang diemban gedebong
itu sendiri. Di dalam lontar dharma pewayangan disebutkan bahwa gedegong
ingaran tanah, kelir ingaran langit, damar ingaran surya (DP-1). Jadi
gedebong itu lambang pertiwi atau tanah,kelir adalah lambang akasa atau
langit dan damar (blencong) adalah lambang teja atau surya, yang ketiga-
tiganya merupakan bagian dari panca mahabuta (pertiwi, apah, teja, bayu,
akasa) akhirnya dapat disimpulkan keterkaitan yang erat kehadiran gedebong
dalam pementasan Wayang Kulit dalam konteks fungsi dan makna.
4.3.7 Kelir
Dalam Ensiklopedi Mini Pewayangan Bali, dideskripsikan bahwa kelir
adalah tabir putih untuk menggelarkan wayang dan pelaksanaanya akan
tampak bayangan wayang. Kelir adalah simbol langit, sebagaimana
disebutkan dalam lontar Dharma Pewayangan, langit yang membatasi antara
dalang dengan penonton (secara filsafat). Didalam kenyataan banyak sekali
penonton yang justru ingin menonton di balik kelir (mengambil posisi
penonton di dekat dalang) sehingga bisa menyaksikan keahlian dalang
memainkan wayang.
Dalam pertunjukan Dalang Ida Made Adi Putra dalam WKGK lakon Nila
Candra menggunakan kelir yang lebih lebar dan dibuat sendiri oleh Beliau
yang berukuran panjang dan lebarnya 2,27 x 1,2 meter untuk menciptakan
sebuah pertunjukan yang indah, menarik, tidak monoton, dan artistik. Kelir
adalah sarana untuk menampilkan awal yang akan memberikan kesan
pertama dalam suatu pementasan Wayang Kulit. Dalang Ida Made Adi Putra
ketika diwawancara mengatakan dengan menggunakan kelir yang lebar akan
mempermudah dalang untuk memainkan wayang ketika adegan siat. Kelir
dalam konteks pementasan Wayang Kulit adalah sebagai simbul langit. Kelir
juga membatasi antara dunia dalang dengan dunia penonton, dan batas itu
tipis sekali.
4.3.8. Panggung
Panggung pementasan WKGK Dalang Ida Made Adi Putra dengan lakon
Nila Candra, mempunyai ukuran sebagai berikut. Panjang 4 (lima) meter,
lebar 5 (enam) meter tinggi 1,5 (satu setengah) meter dengan demikian luas
panggung 20 meter sehingga para pemain bisa bergerak secara leluasa untuk
pertunjukannya.
Menurut Harymawan (1988:177) bahwa panggung adalah sebuah
pertunjukan teater (termasuk pertunjukan wayang disebut sebagai playing
area atau daerah permainan. Jadi panggung adalah sebuah tempat dengan
ukuran tertentu sebagai tempat lalulintas atau bermainnya para aktor atau
aktris dalam sebuah pertunjukan teater lebih jauh dikemukakan oleh
Harymawan, bahwa:
Sebagai sebuah playing area, sebagai sebuah tempat untuk memainkan lakon, setidaknya harus memenuhi dua prinsip sehubungan dengan kemampuan daya pandang penonton, kedua prinsip itu adalah (a) lebar panggung dan jarak penonoton yang duduk pada posisi paling depan ditarik dua garis khayal kedua sisi lebar panggung ke arah penonton yang duduk paling depan dan paling tengah agar membentuk sudut 40 derajat. (b) sisi terbawah hingga sisi teratas agar membentuk sudut 60 derajat bila ditarik garis khayal ke arah penonton yang duduk pailing depan.
Dengan luas panggung 20 meter mampu menampung dalang beserta timnya
sebanyak 11 orang terdiri atas dalang 1 orang, ketengkong/ tututan 2 orang, 4
orang penabuh gender, 3 orang dekorasi dan panggung, dan 1 orang sound
system.
4.3.9 Blencong
Ensiklopedia Mini pewayangan Bali mendeskripsikan dengan amat
singkat tentang blencong yakni sebagai alat penerangan yang sangat berguna
dalam pertunjukan bayangan untuk memberikan hidupnya suasan. Dalam
pertunjukan WKGK oleh Dalang Ida Made Adi Putra masih menggunakan
blencong. Diameter blencong kurang lebih 30 cm, dengan tinggi secara
keseluruhan 30 cm dan 5 cm di antaranya berupa ujung tempat dimasukannya
sumbu yang terbuat dari benang(seperti sumbu kompor minyak tanah). Bahan
bakarnya adalah minyak kelapa dengan kapasitas sekitar 4 liter. Dalam
pertunjukan Wayang Kulit, ketengkong (personal pembantu dalang) yang
duduk di sebelah kanan dalang setiap sekitar 15 menit selalu menuangkan
minyak kelapa pada blencong yang tengah menyala, agar posisi minyak
kelapa di dalam blencong selalu penuh, sehingga nyala blencong tetap stabil.
4.3.10 Kropak / Gedog
Komponen utama dalam sebuah pertunjukan Wayang Kulit adalah dalang
dan sejumlah wayang. Tanpa adanya dalang pertunjukan tidak akan bisa
berjalan, begitu juga tanpa adanya sejumlah wayang pertunjukan wayang
kulit juga tidak akan bisa berjalan dengan sempurna. Wayang yang jumlahnya
puluhan bahkan lebih dari seratus disimpan secara teratur dan rapi dalam
sebuah tempat yang bernama kropak atau gedog.
Pada umumnya kropak/gedog wayang ini terbuat dari kayu jati yang
berbentuk sebuah kotak segi empat panjang. Pada bagin atas keropak/gedog
ini yang berfungsi sebagai penutup, dirancang begitu saja secara knock down
sehingga bisa dibuka dan ditutup, dilepaskan dan dipasang kembali sesuai
dengan kebutuhan. Artinya apabila melakukan pementasan, bagian atas itu
bisa dibuka (dilepas total dari badannya), sebaliknya bila selesai pementasan
ditutup kembali seperti sedia kala.untuk menjaga keamanan, dilengakap puala
dengan sebuah kunci. Keropak wayang diletakan di samping kiri pada waktu
pementasan.sedangkan penutup yang lepas diletakkan di sebelah kanan
dalang sebagai tempat wayang-wayang yang ikut dimainkan dalam
pementasan tersebut.
IGBN Pandji dkk (1987:10) mengatakan keropak/gedog dibuat dari kayu
yang keras (kayu nangka). Sebelah sisinya yang dekat dengan dalang dibuat
supaya bisa bergerak sehingga mudah untuk membuat variasi pukulan cepala.
Bidang inilah baik dari sisi dalam keropak itu sendiri maupun dari sisi luar
yang menjadi sasaran cepala yang dipegang dengan tangan maupun dijepit
dengan telunjuk dan ibu jari kaki kanan dalang, dalam mengiringi gerak dan
tari wayang yang sedang dipentaskan di kelir, atau persiapan sebelum wayang
itu berada di kelir. Pada kedua sisi lebar keropak itu dikaitkan masing-masing
sebuah rantai besi yang gunanya untuk dimasukan bambu atau alat lainnya
tatkala mengangkat keropak untuk dijinjing atau dipikul berdua.
Dalang Ida Made Adi Putra masih menggunakan kropak yang bahannya
dari kayu nangka. Karena Beliau sangat kreatif, sampai membuat
keropak/gedog yang digunakan saat ini pun sendiri tidak membeli. Untuk
ukuran keropak yang dimiliki oleh Dalang Ida Made Adi Putra lebarnya 64
cm, panjang 90 cm dan tingginya 22 cm. Sementara pada bidang kanan
keropak dirancang secara khusus agar bisa fleksibel/lentur.
4.3.11 Cepala
Cepala merupakan alat pemukul yang terbuat dari kayu yang biasanya
dipakai oleh dalang untuk memukul kropak kayu guna memberikan aksen
gerak. Cepala juga sering disebut dengan pengletakan, dan suara keropak
yang dipukul dengan cepala biasa disebut kletakan karena hasil dari
pukulannya menghasilkan bunyi “tak”. Menurut Sudiana (2004:1-2):
“.. cepala sangat penting peranannya dalam pertunjukan Wayang Kulit sesuai artinya dalam bahasa Sanskerta yaitu menggetarkan, mendebarkan, dalam arti ikut menghidupkan suasana. Cara pemakaiannya yaitu dengan kaki dan tangan. Jika pukulan dilakukan dengan tangan, cepala dijepit antara jari telunjuk dan jari tengah. Apabila pukulan dengan kaki kanan, cepala dijepit diantara ibu jari dan jari telunjuk. Posisi kaki pada waktu duduk dengan cara kaki kanan menindih kaki kiri dan duduk dekat dengan keropak (gedog)”.
Cepala / pengletakan digunakan untuk memberi aksen gerakan pada
tokoh wayang, memberi tanda kepada penabuh baik itu untuk memulai dan
mengakhiri sebuah adegan, selain itu juga kletakan memberikan suara dan
aksen suasana dalam pertunjukan WKGK oleh Dalang Ida Made Adi Putra
sesuai dengan lakon Nila Candra. Suara cepala mampu membangun aksen
suasana sesuai dengan yang dibutuhkan oleh dalang sekalipun tidak ada
gerakan dari wayang. Suara cepala yang jatuh pada akhir kalimat seorang
tokoh akan membuat indahnya dialog dan mempertegas maksud dari
dialog itu sendiri.
4.3.12 Ritual (Upakara)
Di Bali pada Setiap seni pertunjukan, baik pertunjukan wali, bebali,
maupun balih-balihan senantiasa membutuhkan sarana upakara yang
dipersembahkan kepada Ida Shang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasinya
sebagai dewa kesenian, untuk mengawali dan mengakhiri pertunjukan
tersebut. Dalam hal ini Bebanten yang dihaturkan yakni : pejatian, peras,
canang sari dan pebuu. Sedangkan untuk bebanten /sesajen gender yaitu :
peras, daksina, bayuan, tipat kelan, tehenan, ayunan segehan pesucian dan
ayam yang masih hidup. Sarana upakara itu ditujukan kepada Ida Sang
Hyang widhi Wasa, maksudnya agar Ida Sang Hyang Widhi Wasa
melimpahkan anugrah dan kesuksesan dalam pementasan. Setelah mantra
selesai dan prosesinya sudah selesai, banten itu diangkat dari atas tutup
keropak, kemudian dalang memukul-mukulkan telapak tanggannya sebanyak
tiga kali diatas tutup keropak, seolah-olah memberi tanda agar semua roh
wayang bagun dan siap untuk berpentas. Setelah tutup keropak dibuka dan
dipindahkan kesisi kanan dalang untuk alas wayang yang lain, kembali ada
banten atau upakara yang lain yang disebut banten wayang. Banten wayang
ini juga ditujukan kepada para dewa yang telah diacep dengan tujuan yang
sama pula.
BAB V
FUNGSI DAN MAKNA PERTUNJUKAN WAYANG KULIT GAYA
KARANGASEM LAKON NILA CANDRA
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008) fungsi berarti kegunaan
suatu hal dan makna berarti maksud atau pengertian yang diberikan kepada suatu
bentuk kebahasaan. Dalam mengkaji fungsi dan makna pertunjukan WKGK lakon
Nila Candra, penulis terfokus pada konteks pertunjukan tersebut sosio-kultural
masyarakat sekitar pada waktu dan tempat pertunjukan berlangsung penonton
yang ada ditempat pertunjukan. Pada tahap ini penulis tidak lagi mendalami
bentuk estetika yang ditampilkan WKGK melainkan telah bergeser untuk
mengamati unsur komunikatif, keterkaitan, kegunaan, manfaat termasuk
bagaimana pesan-pesan dan amanat yang terkandung dalam pagelaran itu
disampaikan pada saat pertunjukan berlangsung. Namun demikian penulis
menemukan adanya keterkaitan di antara bentuk pertunjukan wayang
sebagaimana terurai dalam bab sebelumnya dengan fungsi dan makna yang akan
penulis uraikan pada bab berikut ini. Unsur-unsur yang membentuk alur dan
struktur pertunjukan ternyata memiliki fungsi dan makna masing-masing dalam
sub bagian-bagiannya. Beranjak dari pandangan itu penulis akan membahas
fungsi dan makna pertunjukan WKGK lakon Nila Candra ini secara berturut-turut
dengan memperhatikan masing-masing komponen yang membentuk keutuhan
sebuah pertunjukan Wayang Kulit.
Bandem (1994:33) dalam tulisannya yang berjudul “Mengembangkan
Lingkungan Sosial yang Mendukung Wayang” juga mengamati fungsi kesenian
khususnya Wayang Kulit yang diyakini oleh orang Bali memiliki arti dan makna
sebagai: 1) penggugah rasa indah dan kesenangan; 2) pemberi hiburan sehat; 3)
media komunikasi; 4) persembahan simbolis; 5) penyelenggaraan keserasian
norma-norma masyarakat; 6) pengukuhan institusi sosial dan upacara keagamaan;
7) kontribusi terhadap kelangsungan dan stabilitas kebudayaan; dan 8) penciptaan
integritas masyarakat. Dari delapan fungsi dan makna yang di sebutkan Bandem
diatas, terdapat lima fungsi dan makna yang terkandung dalam pertunjukan
WKGK lakon Nila Candra yaitu sebagai pemberi hiburan sehat, media
komunikasi, upacara keagamaan (ritual), stabilitas kebudayaan/ pelestarian seni
budaya, dan penciptaan integritas/ mutu masyarakat. Semua fungsi dan makna
tersebut akan penulis jabarkan satu persatu sebagai berikut:
5.1. Fungsi Hiburan
Pertunjukan WKGK lakon Nila Candra apabila dikaitkan dengan hiburan
adalah merupakan suatu hiburan karena didalam pertunjukannya terdapat lelucon
atau lawakan yang dibuat oleh Dalang Ida Made Adi Putra. Menurut penulis, di
setiap pertunjukan Wayang Kulit pada adegan punakawan sudah dapat dipastikan
akan terdapat lelucon di dalamnya sehingga penonton merasa terhibur saat
menontonnya. Begitu juga dalam WKGK lakon Nila Candra oleh Dalang Ida
Made Adi Putra, Beliau merupakan orang yang lucu dalam kesehariannya. Jadi
sangat mudah bagi Beliau untuk membuat lelucon atau lawakan saat pementasan
WKGK lakon Nila Candra berlangsung. Dari hasil wawancara yang diperoleh,
Dalang Ida Made Adi Putra mengatakan lawakan atau lelucon yang ia buat
kadang sudah dipikirkan terlebih dahulu sebelum pementasan tetapi lebih sering
lawakan atau lelucon itu spontan ia dapat saat pementasan sedang berlangsung.
Dalang Ida Made Adi Putra menyampaikan semua lawakan atau lelucon
tersebut dengan luwes tidak kaku karena menggunakan bahasa bali sehari hari
atau bahasa bali madya, sehingga penonton mudah mengerti dan menangkap
maksud dan tujuan dari lawakan yang disampaikan oleh dalang. Disamping
hiburan itu berupa lelucon, Dalang Ida Made Adi Putra selalu menyelipkan
sebuah makna dan pesan-pesan dari setiap lelucon yang ia buat dengan gayanya
sendiri. Baik itu berupa sindiran, kritik sosial, ilmu pengetahuan, ajaran-ajaran
sastra dan lain sebagainya. Jadi setiap lelucon yang ia bawakan menjadi hiburan
yang sehat bagi para penonton dan masyarakat sekitar.
Merdah : kenkenang wake? Twalen : to delodne ade nak beling sing ade ngakuin to juang.
Tutug be belingane, bin telun gen lekad to. Merdah : jeg ade anak beling to juang sing ade ngakuin. Nyanan
mare ajak wake ape adane anu mesakapan, mekala kalaan jeg teke lantas nak mwani ngaba linggis. We ngujang kurnan yange sakapin ketoange lantas.
Twalen : sing nanang jeg nanang bani tanggung jawab. Nanang ye menghadapi to yen teke.
Merdah : sangkal keto nanang Twalen : nak nanang ne ngelah belingane to.
Dalam memilih dan merangkai kata, Dalang Ida Made Adi Putra sangat
teliti. Beliau mengatakan jika dalam pertunjukan Wayang Kulit kita tidak bisa
memilih kata atau kalimat yang tepat, maka nantinya akan berpengaruh pada
pertunjukan itu sendiri. Itu disebabkan karena kebanyakan penonton akan
menyerap apa yang dalang sampaikan pada saat pementasan dan kemudian
mempraktekkannya dalam kehidupan sehari-hari. Jadi dalang tidak boleh hanya
asal-asalan dalam berdialog. Seperti halnya tokoh-tokoh dalam pertunjukan
wayang itu memiliki komunikasi yang baik. Komunikasi adalah bagian yang
pokok di dalam pertunjukan Wayang Kulit.
Dalam Pertunjukan WKGK oleh dalang Ida Made Adi Putra lakon Nila
Candra apa bila dikaitkan dalam konteks komunikasi dalang cukup piawai menata
materi bahasa sesuai dengan fungsi retorika, seperti yang dikatkan Mardana
(2011:2) wayang kulit akan terasa menarik apabila dalangnya memiliki
kemampuan beretorika yang memadai. Tanpa adanya hal tersebut pertunjukan
wayang kulit akan terasa membosankan dan ditinggalkan oleh penontonnya.
Dengan kemampuan beretorika yang baik, seorang dalang mampu menarik
perhatian dan minat penonton. Pertunjukan WKGK lakon Nila Candra oleh
Dalang Ida Made Adi Putra, didalam menata materi bahasa telah mempergunakan
prinsip-prinsip yang ada dalam prinsip retorik. Materi lelucon atau lawakan yang
di sampaikan berupa gaya plesetan, gaya bahasa menyebabkan penonton dapat
terhibur setelah meresapi isi dan maksud materi gaya bahasa dan plesetan itu.
Hubungan materi hiburan dengan pertunjukan Wayang Kulit menurut
Mulyono (1978:96) mengatakan bahwa pertunjukan Wayang Kulit sebagai
kesenian tradisional mempunyai fungsi hiburan, di samping fungsi-fungsi yang
lain (seni, kejiwaan, pendidikan, dan ilmu pengetahuan).
Pertunjukan WKGK lanon Nila Candra oleh Dalang Ida Made Adi Putra
di banjar Besang, Desa Ababi Karangasem sangat menghibur penonton. Makna
dari Pertunjukan WKGK lakon Nila Candra oleh Dalang Ida Made Adi Putra
yaitu tercermin pada saat pertunjukan sedang berlangsung. Banyaknya tawa
penonton, dan mengikuti pertunjukan sampai akhir pertunjukan sudah bisa
dideskripsi bahwa fungsi hiburan yang diperankan sangatlah berhasil.
Keberhasilan itu semua karena pertunjukan Dalang Ida Made Adi Putra sangat
indah, lucu, dan menarik.
Sepanjang pertunjukan WKGK lakon Nila Candra oleh Dalang Ida
Made Adi Putra berhasil memancing tawa penonton disana sini. Artinya fungsi
makna dalam pertunjukan itu sebagai pemberi hiburan sehat untuk masyarakat
benar adanya, terbukti setiap lawakan yang disampaikan selalu disambut kompak
oleh penonton.
5.2 Fungsi Media Komunikasi
Komunikasi dapat diartikan sebagai pengiriman dan penerimaan pesan
atau berita antara dua orang atau lebih sehingga pesan yang dimaksud dapat
dipahami. Dalam pertunjukan WKGK lakon Nila Candra media komunikasi
berwujud aturan lisan. Terdapat banyak percakapan atau dialog yang lengkap
dalam setiap adegan dari awal sampai akhir pertunjukan sehingga komunikasi
antar tokoh-tokoh wayang berjalan lancar dan komunikatif.
Pertunjukan Wayang Kulit dilihat dari segi sastra termasuk kedalam seni
bertutur. Dalam seni bertutur terdapat sebuah istilah yang dinamakan retorika.
Dalam seni pertunjukan retorika sangatlah penting. Rota dan Suteja (1990:18)
mengutip pendapat dari Goris Keraf (1985:3) yang berpendapat bahwa:
“ retorika adalah suatu teknik pemakaian bahasa sebagai seni baik lisan maupun tulisan, yang didasarkan pada suatu pengetahuan yang tersusun baik. Ada dua aspek yang perlu diketahui seseorang dalam retorika, yaitu pengetahuan mengenai bahasa dan penggunaan bahasa dengan baik, dan kedua pengetahuan mengenai objek tertentu yang akan disampaikan dengan bahasa tadi.
Dari pendapat diatas jika dikaitkan dengan pertunjukan WKGK lakon Nila
Candra maka dapat dikatakan tujuan dari retorika adalah untuk menyampaikan
sesuatu dalam bentuk dialog atau percakapan harus lewat cara atau gaya tutur
baik, benar dan menarik. Dalam hal ini Dalang Ida Made Adi Putra dalam
pertunjukan WKGK lakon Nila Candra, sudah memilih ragam bahasa yang efektif
yang disesuaikan dengan situasi penonton. Selain itu Beliau juga sudah memilih
materi bahasa seperti kata-kata, ungkapan, dan istilah yang mudah diterima dan
dimengerti oleh masyarakat. Memilih gaya bahasa merupakan hal yang penting
karena apabila gaya bahasa yang digunakan tidak menarik maka penonton akan
merasa jenuh.
Sebagai media komunikasi pertunjukan Wayang Kulit secara tidak
langsung juga memiliki makna pendidikan karena disetiap percakapan atau dialog
ada terselip ilmu di dalamnya. Baik itu pengetahuan tentang sastra, agama,
kemasyarakatan dan lain sebagainya.
Contoh dialog :
Twalen : Jeg mesriet bene bulun sikut nanange ningeh munyin nani. Aruh.. yen orahang lege, lege ngelah pianak buka nani. Yen orahang sebet, sebet ngelah pianak nani. Ne be madan suka tan pawali duka.
Merdah : To maksud nanange kenken? Twalen : maksud nanange to, to nani kaden nawang satua Ida Sang
Jaratkaru. Ida Sang Jaratkaru megantung di tihing petunge akatih ulian sing ngelah cucu. Nanang kene sing ngelah cucu, cara nani lantas kayang jani nani sing nganten to. Manites nanang megantung di tihing petunge yen mati nanang sing megantung atman nanange ditu. Ne orahang
nani olas dangi ngelah apa adane nak tua. Dije tongos pangewales nanine tekenang nanang.
cucu to. Pang sing megantung atman nanange. Kayang jani yen saja bin nang bin ptang dina lantas nanang mati, bin telun neked be nanang ditu to jeg megantung atman nanange. Demen nani ngelah nanang atmane megantung ?
Merdah : kenkenang wake men? Twalen : cucu nanang gaenang to.. nang bin limang dina nanang
mati to bin petang dina nanang pang be ngelah cucu. Pang sing megantung.
Hubungan media komunikasi dengan pendidikan sangat erat dalam
pertunjukan WKGK lakon Nila Candra. Itu dapat dilihat dari isi cerita yang di
ambil yaitu Nila Candra. Dalam lakon ini tedapat banyak pengetahuan-
pengetahuan tentang nilai keagamaan, tentang nilai kepemimpinan dan tentang
nilai kesetiakawanan.
Contoh dialog :
Twalen : beneh. To.. to.. to.. Ida Sang Panca Pandawa tepukin nani kaden uling alit Ida suba sengsara. Uling alit Ida ba sentimenine ken Ida Sang Satus Korawa. Kanti suba duur kanti ngalas, kanti nyidayang jani bin mewali nangun pura, puri mekejang suba puput, to ngawinang panjak-panjake dini di Indraprasta peh jek mekejang sumuyup subakti teken Ida.
Merdah : keto nanang ? Twalen : beneh. Mawinan je pang bene nawang kenken nak dadi
pemimpin to. Merdah : kepatutane.. Twalen : yen dadi pemimin napi bin rakyat, bang malu to pak care
pengangon Merdah : pang care pengangon yen dadi pemimpin? Twalen : beneh.. Merdah : kenken pengangone to? Twalen : ngangonang sampi ngangonang kambing ape je angonang,
dedehang alihang tongos padang ne lumbung-lumbung, alihang tongos mesik ye pang ye wareg pang betek ye, yen be betek to nani to nani jeg ngetis dibongkol punyan nyuhe to, sampi betek, to mekejang betek, mendep be ye sing uyut
to. Yen nyidayang pang keto dadi pemimpin. de idewek gen penpenine malu.
Misalnya tentang agama dapat dilihat pada adegan Nila Candra
menjelaskan kepada Panca Pandawa bahwa ia membangun sorga untuk membuat
rakyatnya percaya dengan hukum Karma Pala, Nila Candra ingin rakyatnya
berbuat baik sehingga mewujudkan kehidupan yang damai. Kemudian tentang
kepemimpinan dapat dilihat dari sosok prabu Nila Candra yang memiliki sifat
bijaksana dalam memimpin rakyatnya, peduli terhadap rakyatnya dan
menginginkan semua rakyatnya hidup dengan damai. Nilai kesetiakawanan
terlihat dari sosok Dharmawangsa yang tidak mau menerima ajakan Kresna untuk
ikut berperang melawan Nila Candra karena ia dan Nila Candra tidak memiliki
masalah apapun.
Contoh dialog :
Bima : kija lakuna I bli Kresna?? Twalen : Ida jeg sampun mobos, beh lamun bli Sang
Dharmawangsa, Sang Panca Pandawa sing lakar nyak ajak tyang mesiat banggyang, depin tyang I Kresnsa bakal nyiatin ye.. mamuit….cos.. jek kente lantas ida..
Bima : hohoho…ngudyang dadi tumben jani jeg emosi bli Kresna. too.. bin melipetan mai.. to.. to.toto…melipetan mai..
Twalen : napi ye malih danda danda pekayunan ida..? Bima : mangkat ..Bli Kresna…..
Masyarakat Indonesia memiliki sebuah budaya gotong royong yang
diwariskan oleh nenek moyang. Seiring dengan perkembangan jaman, budaya
gotong-royong mulai memudar, apalagi di Bali khususnya menjadi daerah tujuan
wisata. Masyarakat sekarang lebih cenderung mementingkan diri sendiri atau
sikap individu masyarakat menjadi meningkat,itu kelihatan sekali pada kehidupan
masyarakat di perkotaan. Antara tetangga yang satu dengan tetangga yang lainnya
tidak saling mengenal dan acuh tak acuh. Sikap itu menyebabkan tidak ada
komunikasi antara sesama. Maka dari itu cara yang dipakai untuk mengurangi
masalah kehidupan masyarakat yang semakin depresi, yaitu dengan menyegarkan
kembali pikiran setidaknya melalui pertunjukan Wayang Kulit sebagai sebuah
media komunikasi.
5.3 Fungsi Upacara Keagamaan (Ritual)
Pertunjukan wayang kulit di Bali secara tradisional memang erat kaitannya
dengan dengan upacara penyucian atau pembersihan, dilihat dari keterlibatannya
di setiap jenis upacara. Purnamawati (2005:65) mengatakan:
“ bukan hanya dalam upacara Dewa Yadnya saja petunjukan wayang kulit dilakukan, akan tetapi sangat lazim juga dipertujukkan pada Rsi Yadnya (upacara madwijadi atau masulinggih), Pitra Yadnya (ngaben, nyekah, mamukur, maligia, dan lain-lain), Manusa Yadnya (pawiwahan, ngotonin, nelu bulanin, dan lain-lain), dan Bhuta Yadnya (mecaru). Secara konvensi otomatis para dalang berusaha menyesuaikan cerita yang dipentaskan dengan yadnya yang sedang digelar. Keterlibatan antara seni dengan agama merupakan hal yang wajar, relegi
senantiasa berhubungan dan diresapi oleh unsur estetis. Keduanya telah berakar
kuat dalam kehidupan masyarakat, dari hubungan itu mampu memperluas makna
dan nilai yang terkandung. Seni mengambil peranan dalam aktivitas atau tujuan
yang bersifat sosial maupun religius.
Agama atau religi adalah suatu ciri kehidupan sosial manusia yang
universal. Pertunjukan Wayang Kulit di Bali erat sekali hubungannya dengan
agama Hindu. Bagi masyarakat Bali yang mengenal adanya yadnya atau
persembahan yang dilandasi dengan ketulusan hati, berupa apa saja dan kepada
siapa saja (manifestasinya) akan diterima oleh Sang Hyang Widhi/Tuhan Yang
Maha Esa.
Menurut hasil wawancara yang penulis lakukan dengan Ida Made Adi Putra
bahwasannya pertunjukan WKGK lakon Nila Candra yang dilakukan di Banjar
Besang, Desa Ababi, Kecamatan Abang, Kabupaten Karangasem sudah jelas
bahwa pertunjukannya mempunyai fungsi ritual yaitu upacara Dewa Yadnya
/piodalan, yang memiliki makna sebagai sebuah persembahan untuk melengkapi
rentetan upacara. Di samping itu komponen-komponen pertujukannya juga
mempunyai fungsi ritual seperti berikut ini:
1) Gedebong (batang pohon pisang yang sudah besar), sebagai simbolis
pertiwi yaitu ; sat padat, dan sat cair, seperti kandungan yang ada pada gedebong
yakni menganndung unsur padat dan unsur cair, dengan fungsi untuk
menancapkan wayang dalam pementasan, dalam hal ini makna yang terkandung
dari gedebong itu sendiri yaitu berhubungaan dengan buwana agung
(makrokosmos) dikatakan sebagai symbol stiti, yaitu dalam tingkatan Tribuwana
disebut Bhur loka yaitu Bumi.
2) Dalang atau mangku dalang yang mementaskan pertunjukan sesuai
dengan cerita diambil, disini dalang memegang peranan penting, yakni
keberadaan pementasan wayang ditentukan oleh ki dalang, dapat merupakan
simbolis bahwa dalang melambangkan sebagai tuhan.
3) Kotak/ Keropak wayang, sebagai tempat penyimpanan wayang
sesudah dan sebelum pementasan, dan juga sebagai sangkan paraning dumadi
yakni asal mulanya segala mahluk hidup, karena dalam wayang terdapat segala
jenis mahluk seperti para dewa, manusia, binatang, tumbuhan. Semua tersimpan
menjadi satu kotak yang dapat mengisyratkan kepada manusia bahwa segala yang
ada di dunia ini akhirnya akan kembali ke asalnya.
4) Wayang adalah boneka dari kulit sebagai perumpamaan segala mahluk
yang akan bermain /berperan dalam dunia ini atau panggung dunia sandiwara,
dalam satu kotak/kropak wayang.
5) Sesajen/upakara merupakan perlengkapan pementasan yang dapat
berfungsi sebagai permakluman, penghubung antara dunia nyata dengan dunia
niskala (tidak nyata) dapat sebagai simbolis dari bentuk-bentuk abstrak, seperti
pensucian, pangelukatan, dan sarana perwujudan Tuhan.
5.4 Fungsi Stabilitas Kebudayaan
Stabilitas kebudayaan dapat juga diartikan sebagai sebuah tindakan
pelestarian guna menjaga keseimbangan kebudayaan yang ada di Bali agar tidak
hilang atau punah karena adanya sebuah kebudayaan modern yang baru muncul.
Sebuah seni pertunjukan klasik di Bali yang masih eksis sampai saat ini salah
satunya adalah pertunjukan Wayang Kulit. Pertunjukan Wayang Kulit masih
memiliki banyak peminat walaupun itu lebih banyak dari usia dewasa dan tua.
Namun seiring perkembangan jaman yang sudah modern, pertunjukan Wayang
Kulit mulai berinovasi, ini merupakan salah satu upaya agar Wayang Kulit tidak
ditinggalkan. Banyak dalang yang melakukan inovasi dalam pertunjukan
wayangnya sehingga menarik perhatian masyarakat dari semua golongan dan usia.
Baik itu orang kaya, miskin, tua, muda, remaja, dan anak-anak kecil pun menjadi
tertarik untuk menonton wayang.
Mengalirnya berbacam- macam kesenian modern akan mengancam
keberadaan kesenian tradisional. Generasi muda yang menjadi generasi penerus
kesenian tradisional harus mendapat perhatian lebih supaya tidak dipengaruhi dan
hanyut didalam kesenian modern. Di era globalisasi ini keberadaan kesenian
tradisional sangat mengkawatirkan keberadaannya. Dengan kepedulian kita
bersama maka kekawatiran itu tidak akan terjadi. Banyak negara-negara yang
sedang berkembang menghadapi masalah yang sama dengan modernisasi dan
globalisasi. Negara Indonesia adalah Negara yang kaya akan seni budaya yang
merupakan jati diri bangsa. Dalam konteks ini kesenian tradisional harus tetap
dijaga, dilindungi, dilestarikan dan dikembangkan keberadaanya.
Dalam rangka menyelamatkan dan menjaga kestabilan seni budaya Bali
terutama seni pewayangan, maka seni pewayangan harus dapat dipertahankan
sebagai sebagai kekayaaan budaya, baik dalam bentuk dokumenter (sumber
cerita) maupun dalam bentuk pertunjukannya. Dengan demikian yang dimaksud
stabilitas kebudayaan dalam hal ini mengandung makna menyimpan agar tidak
hilang, melestarikan agar tetap dapat diwariskan, mempertahankan agar tidak
dipengaruhi oleh budaya lain. Dari semua makna tersebut tujuannya adalah
supaya seni budaya Bali terutama pewayangan tidak lenyap dimakan zaman.
Seni pewayangan telah mempunyai peranan yang sangat penting dalam
mepertahankan kestabilan nilai budaya yang terkandung dalam cerita Mahabarata
dan Ramayana. Modernisasi yang membawa pengaruh budaya Barat masuk
kedalam repertoar kesenian Bali khususnya pewayangan, karena seni pewayangan
saat ini sifatnya sangat kreatif dan adaptif. Maka dari itu untuk menjaga kestabilan
kebudayaan terutama seni pertunjukan khususnya seni pewayangan, masyarakat
Bali sejak semula telah mengaitkan seni pewayangan dengan upacara keagamaan
dan setiap rincian upacara mengandung makna, sehingga upacara tersebut
mempunyai kekuatan besar dalam mempertahankan dan menyelamatkan seni
pewayangan khususnya seni pewayangan tradisional.
Upaya lain yang dilakukan untuk menjaga kestabilan kebudayaan yang ada
di Bali khususnya dalam seni pertunjukan pewayangan yaitu sudah banyak dalang
yang memberanikan diri keluar dari pakem tradisi sebuah pertunjukan wayang.
Dalang-dalang di Bali mulai berkreatifitas membuat suatu yang baru dan menarik
sehingga masyarakat tetap menyukai pertunjukan wayang kulit. Inovasi-inovasi
yang dilakukan oleh dalang yaitu mengganti komponen-komponen dalam
pertunjukan wayang dengan menggunakan alat-alat modern seperti lampu
blencong diganti dengan lampu listrik yang bervariasi, penambahan aksen-aksen
musik dengan menggunakan alat musik modern. Kelir yang biasanya hanya
berukuran kecil dibuat menjadi ukuran lebar. Upaya ini disambut baik oleh
masyarakat hingga saat ini pertunjukan wayang inovasi sangat banyak
peminatnya. Pertunjukan WKGK lakon Nila Candra oleh Ida Made Adi Putra,
juga merupakan sebuah pertunjukan yang sudah sedikit mengarah ke inovasi
namun tidak semuanya, itu semua dapat dilihat dari ukuran kelir yang digunakan
dalam pertunjukan WKGK lakon Nila Candra yang sudah menggunakan kelir
lebih lebar dari ukuran biasanya. Namun komponen lainnya masih tetap
digunakan oleh Dalang Ida Made Adi Putra karena Beliau tidak mau
menghilangkan unsure estetis tradisional dalam pertunjukan WKGK lakon Nila
Candra ini.
5.5 Fungsi Integritas Masyarakat
Penyelamatan kesenian khususnya pewayangan Bali sebagai warisan
budaya yang merupakan kegiatan yang sangat penting karena seni pewayangan
memiliki nilai filosofis yang tinggi sebagai pedoman budaya. Nilai filosofis yang
terkandung dalam seni pewayangan telah memberikan identitas terhadap budaya
dan masyarakat Bali. Nilai filosofi yang yang tinggi dalam pertunjukan wayang
diharapkan dapat memberikan sesuatu yang bermanfaat bagi masyarakat, sehingga
integritas masyarakat dapat lebih baik atau dalam kata lain mutu dari masyarakat
akan lebih terangkat setelah menonton dan memahami filosofi yang disampaikan
dalam pertunjukan wayang tersebut.
Contoh dialog :
Sangut : cang sing nawang masi...gending gendingan ne pidan-pidan nyen sing ade nawang ne ngae. Muh gae putrid cening ayu, ngijeng cening jumah nyen ngae gendingane sing ade nawang. Gendingan jani to gending gendingan dadi beli to mekejang nawang. Song brerong to Gung Raka Sidan ngenah to, metajen dek ulik to ngendingang. Tawang ne pidan pidan nyen?? Lagune ne pidaan to de engsapine gending ne pidan pidan. Yen nepidan to gendingane penuh dengan filsafat, dengan pendidikan. Sing je care jani judul judul gendingan jani jeg begbeg medemenan, percintaan, selingkuh, amonto doen gegendingane sing ade lenan.
Untuk menaikkan integritas masyarakat disetiap pertunjukannya Dalang
Ida Made Adi Putra selalu memberikan sebuah filosofi, tutur, atau pesan-pesan
yang dapat diterima oleh masyarakat dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari
dalam bermasyarakat. Dengan retorika, dan antawacana indah dan menarik
dalang Ida Made Adi Putra menyampaikan petuah-petuah dan pesan-pesan di
setiap adegan sehingga masyarakat yang menonton bisa memahami apa yang
sampaikan oleh dalang.
Selain itu jika dikaitkan dalam pertunjukan WKGK lakon Nila Candra,
lakon ini ini sarat dengan makna seperti contohnya dilihat dari segi kesusastraan
lakon Nila Candra ini diambil dari Kekawin Nila Candra, di dalam kekawin Nila
Candra tersebut menceritakan seorang raja yang bernama Nila Candra yang
beraliran Bhuda Tantrayana. Beliau memerintah sebuah kerajaan yang bernama
Narajadesa. Nila Candra merupakan seorang pemimpin yang bijaksana dan adil
dalam membangun negaranya. Dari sedikit penjelasan di atas dapat dikatakan
lakon Nila Candra ini dipentaskan untuk memberikan pengetahuan baru kepada
masyarakat, mengajarkan masyarakat untuk bisa menjadi seorang pemimpin yang
baik, dan tidak menjadi orang yang memiliki pikiran yang pendek dalam
mengambil keputusan. Dengan kata lain lakon Nila Candra dalam pertunjukan
WKGK oleh Dalang Ida Made Adi Putra ini bertujuan untuk mengajarkan para
penonton untuk menjadi orang yang baik dan melakukan sesuatu yang baik dalam
kehidupannya dan menambah integritas masyarakat dalam berbagai hal.
BAB VI
PENUTUP
6.1 Simpulan
Seperti yang telah diuraikan dalam kajian dengan seksama sebagaimana
diuraikan pada lima bab sebelumnya (Bab I sampai dengan Bab V), maka dapat
ditarik kesimpulan berdasarkan teori yang diterapkan dikaitkan dengan model
pertunjukan yang terdapat dalam WKGK lakon Nila Candra oleh Dalang Ida
Made Adi Putra. Ida Made Adi Putra sebagai seorang dalang yang berasal dari
Karangasem masih tetap menjaga kekhasan dari stuktur pertunjukan WKGK.
Bentuk struktur pertunjukan WKGK lakon Nila Candra memiliki sedikit
perbedaan dari struktur wayang pada umumnya yaitu pada tahap Alas harum
dimana wayang yang menjadi tokoh utama dalam cerita keluar untuk mengadakan
sebuah paruman, namun dari hasil wawancara dengan dalang Ida Made Adi Putra
pada struktur pertunjukan WKGK lakon Nila Candra yang dipentaskan oleh
Dalang Ida Made Adi Putra pada tahap Alas harum dalang hanya menyanyi/
menembang tanpa mengeluarkan tokoh apapun (kelir masih kosong) hanya ada
iringan dari tabuh gender Alas harum saja. Penyacah parwa dilakukan setelah
Alas harum yaitu untuk menceritakan secara singkatnya tentang lakon Nila
Candra. Kemudian perbedaan selanjutnya yaitu dalam WKGK tidak ada
petangkilan namun langsung kepada adegan pangkatan. Jadi bisa disebutkan
bahwa situasi patangkilan langsung dijadikan satu dengan pangkatan. Tahapan-
tahapan WKGK dengan lakon Nila Candra oleh Dalang Ida Made Adi Putra
berikutnya sama dengan tahapan-tahapan unsur-unsur Wayang Kulit pada
umumnya.
Pertunjukan WKGK lakon Nila Candra memberikan banyak manfaat
kepada penonton, Dengan demikian pertunjukan WKGK lakon Nila Candra
melahirkan beberapa fungsi dan makna seperti fungsi hiburan, fungsi media
komunikasi, fungsi upacara keagamaan (ritual), fungsi stabilitas kebudayaan dan
fungsi integritas masyarakat. Fungsi hiburan (sarat dengan banyolan dan
lawakan), fungsi pelestarian dan pengembangan budaya (menyeimbangkan antara
mempertahankan pakem-pakam yang ada dengan mengakomodasi perkembangan-
perkembangan yang baru).
Pertunjukan WKGK lakon Nila Candra oleh Dalang Ida Made Adi Putra
masih mengikuti aturan normatif yaitu mengikuti aturan-aturan yang ada pada
lontar Dharma Pawayangan. Semua dalang Wayang Kulit mayoritas berpegangan
pada aturan-aturan yang ada pada lotar Dharma Pawayangan, yang terasa masih
kaku dan kurang fleksibel. Maka dalang Ida Made Adi Putra di dalam pertunjukan
WKGK lakon Nila Candra terasa sedikit berbeda dengan mensiasati
pertunjukannya melalui sebuah kreativitas dalam upaya menarik minat
masyarakat akan pertunjukan Wayang Kulit.
Ida Made Adi Putra sebagai seorang dalang yang berasal dari Karangasem
masih tetap menjaga kekhasan dari stuktur pertunjukan WKGK. Beliau masih
tetap menggunakan bentuk pertunjukan tradisi walaupun sudah ada komponen
modern tambahan yang digunakan sebagai pelengkap pertunjukan. Terlihat
Penggunaan komponem tradisi yang masih dipertahankan yaitu meliputi,
Dadia…………… pira ya pintan lawas gati kunang ikang kala.
Kalanira mijil gumeter ikanang pertiwi apah teja bayu akasa lintang tranggana, ikanang kalihan surya muwang candra. Sahinganing Sang Hyang Apramada. Swasta ya paripurna tan kacawuhin ila-ila ikang sodsod sapa. Tan sah pretingkah ira apan sampun jangkep ikanang Asta dasa kalawan Parwa. Lwir pangekan nira Sang Hyang Guru Reka renikan de sira Bhagawan Kresna Dwipayana
Caritanan…………..arilamhpahira sira ratuning Narajadesa yaya mangaran Nila Candra. Sada kala nginkinaken ikanang swarga. Yata nimitanian antian kroda nira sira Natakesawa murdaning Dwarawati. Yaya karenga angerug ikanang swarga katekaning amejahaken sira Nila Candra. Samangkana…………pamurwan ikanang carita.
Aduh dah dah dah dah jalan maid ah jalan mai tutug nanang dah tutug nanang.
Merdah : Manggeh tan sedepana tuhu palaran mangut reseng hati.
Twalen : Jeg mesriet bene bulun sikut nanange ningeh munyin nani. Aruh.. yen orahang lege, lege ngelah pianak buka nani. Yen orahang sebet, sebet ngelah pianak nani. Ne be madan suka tan pawali duka.
Merdah : To maksud nanange kenken? Twalen : maksud nanange to, to nani kaden nawang satua Ida Sang
Jaratkaru. Ida Sang Jaratkaru megantung di tihing petunge akatih ulian sing ngelah cucu. Nanang kene sing ngelah cucu, cara nani lantas kayang jani nani sing nganten to. Manites nanang megantung di tihing petunge yen mati nanang sing megantung atman nanange ditu. Ne orahang
nani olas dangi ngelah apa adane nak tua. Dije tongos pangewales nanine tekenang nanang.
cucu to. Pang sing megantung atman nanange. Kayang jani yen saja bin nang bin ptang dina lantas nanang mati, bin telun neked be nanang ditu to jeg megantung atman nanange. Demen nani ngelah nanang atmane megantung ?
Merdah : kenkenang wake men? Twalen : cucu nanang gaenang to.. nang bin limang dina nanang
mati to bin petang dina nanang pang be ngelah cucu. Pang sing megantung.
Merdah : ne mare nak tua begug adane ne.. Twalen : sangkan orahang begug nanang? Merdah : kenkenang wake pang bin limang dine wake pang be
ngelah panak, pang nanang be ngelah cucu, wake nganten tonden.
Twalen : Nah nang bin abulan be bang tempo to. Bin bulan be bang tempo.
Merdah : pehh sayan-sayan dadi nak tua, orahang wake tonden nganten, nak beling doen sia bulan kenken nanang. Wake tonden nganten.
Twalen : jani sing kene nake malu pang kale nanang ngelah cucu to. Merdah : kenkenang wake? Twalen : to delodne ade nak beling sing ade ngakuin to juang.
Tutug be belingane, bin telun gen lekad to. Merdah : jeg ade anak beling to juang sing ade ngakuin. Nyanan
mare ajak wake ape adane anu mesakapan, mekala kalaan jeg teke lantas nak mwani ngaba linggis. We ngujang kurnan yange sakapin ketoange lantas.
Twalen : sing nanang jeg nanang bani tanggung jawab. Nanang ye menghadapi to yen teke.
Merdah : sangkal keto nanang Twalen : nak nanang ne ngelah belingane to. Merdah : dewa ratu nanang. Jeg sing suud suud nanang. Twalen : to ketoang malu to. Anggon ape adane pengelila cita keneh
gen to. Ngudiang sebet-sebet idewek hidup acepok dadi manusa, sing dadi sebet-sebet harus iraga setata ngalih pang liang. Kenken je ape je tepuk harus setata lege. Reh idewek mentik digumine tuah dini tongos masalah, sumber segala masalah dini di gumine.
Merdah : keto nang ? Twalen : beneh. To.. to.. to.. Ida Sang Panca Pandawa tepukin nani
kaden uling alit Ida suba sengsara. Uling alit Ida ba
sentimenine ken Ida Sang Satus Korawa. Kanti suba duur kanti ngalas, kanti nyidayang jani bin mewali nangun pura, puri mekejang suba puput, to ngawinang panjak-panjake dini di Indraprasta peh jek mekejang sumuyup subakti teken Ida.
Merdah : keto nanang ? Twalen : beneh. Mawinan je pang bene nawang kenken nak dadi
pemimpin to. Merdah : kepatutane.. Twalen : yen dadi pemimin napi bin rakyat, bang malu to pak care
pengangon Merdah : pang care pengangon yen dadi pemimpin? Twalen : beneh.. Merdah : kenken pengangone to? Twalen : ngangonang sampi ngangonang kambing ape je angonang,
dedehang alihang tongos padang ne lumbung-lumbung, alihang tongos mesik ye pang ye wareg pang betek ye, yen be betek to nani to nani jeg ngetis dibongkol punyan nyuhe to, sampi betek, to mekejang betek, mendep be ye sing uyut to. Yen nyidayang pang keto dadi pemimpin. de idewek gen penpenine malu.
Merdah : oo keto… Twalen : beneh. Merdah : nyak asane keto nang.. Twalen : nyak. Jani pekayunan Ida lakar nabdab yadnya. Ida Sang
Panca Pandawa suba rauh ibi. Merdah : rauh uling dije? Twalen : yeh kaden nani bareng kemu ke Narajadesa maan
undangan Merdah : duhh dewaratu saje nanang inget awake. Mula Ida Sang
Twalen : beneh.. kemu ke Narajadesa sareng ajin Ida Sang Prabu Nila Candra. Beh dewaratu Ida Sang Nila Candra masih nak kasub sakti.
Merdah : to tuah beneh nanang. Twalen : ne jani to kenken pekayunan Ida Sang Darmawangsa
mirib nak ade tuni, ape buin lakar kemu ker sing. Nanang jeg kelangen hatin nanang ditu dah…
Vokal Dalang : Dadia ta rimangkana durung asat.. Merdah : nyen ne nang….? (terkejut) Twalen : duh sing tawang nyen je ade rauh mirib dah.. Merdah : duh nyen ne nang..? Twalen : jalan dah jalan jalan….
Vokal dalang : (Bebaturan) Kresna… stuti nira tan tulus sinahuran Rsi Wara kala dara, Wirata suta Satyaki, Kertawarma, Rikala dara.
Kresna : kaka enak umegil marewentening Pandawa. Baladewa : tapan wihang tapan wihang enak peparang mangke Twalen : mamitang lugra titian aratu make murdaning Dwarawati
palungguh cokor Idewa. Dados sekadi gegeson peranda gata pisan pemargan aratu.
Kresna : Pawistan caraka ulun wus asunglugraha. Merdah : Inggih aratu, sang murdaning Indra Prastha wacanan ida
ampurayang titian I Kresna sekadi gegesonan Pranagata ngerauhin ragan palungguh I Ratu sekadi mangkin nenten sios jagi pacang aturang titiang.
Dharmawangsa : Ih Rahadian enak lah pada warahaken denira pada lampahira enak.
Twalen : Aratu Sang Nata Kesawa cokoridewa durusang mawacana aratu.
Kresna : Singgih Sri Narendra apan hana wiletik twitas umeter
umegil de sira tekap sira Kesawa. Ri kehanansira ratuning Narajadesa mangaran Nila Candra. Yaya lwir apramada angawe lawat ikanang swarga amada-mada tingkahing swargaloka ya ta nimitaniang Kresna prapta kaya mangke tansah bipraya aminang Panca Pandawa lawanira papareng angrug ikanang swarga amejahaken sira Prabu Nila Candra.
Merdah : Singgih Aratu sapangrawuh titian meriki sapunika enten wenten tios dwaning wenten piragin titian ipun retuning Narajadesa mangaran I Nila Candra pramada tingkahniya memada-mada tingkahing Swarga Loka. Purun ipun mekarya Swargan.Punika ke mahawinan titiang rawuh
meriki pacang ngiringang palungguh Bli. Kalih I adi-adi sang Catur Pandawa pacang mademang ipun I Nila Candra ngwugang punika Swargan ipune!
Darmawangsa : Dadyata ri wawu mangkana, kastunira…..singgih rahadian Sang Murdaning Dwarawati. Dadyata kaya singsal rineget tekap sira Dharmatanaya. Haywa geng krodha sira Rahadian. Apa nimitangnian mangkana? Apan sira ratuning Narajadesa mangaran Nila Candra tan hana salah. Apa nimitaniang sira anginkinaken ikanang Swarga? Apan kaharep nira tan hana mawanehan angurip wekas-weka lawan pretakjananira. Dadya ta weruh ri kaparan ikang karma phala. Samangkana samangkana kadiangapa mamejah?
Twalen : Aratu pidaging pawecanan ida, uduh dewa-dewa murdaning Dwarawatine, Idewa meraga Awatara, yan dados idih tiang sampunang I dewa wirosa ken makawinang aspunika? Dwaning ipun I Nila Candra nenten wenten sisip Ipune nenten wenten iwang. Napi mawinan Prabu Nila Candra purun mangardi swargan nenten wenten sios wantah ipun ngicenin papelajahan ring panjak ipune. Mangde percaya panjak ipune ring sane kabawos Karma Phala. Mangda sampunang ipun jeg napi wastane melaksana sekama-kama sakola-kola manah ipune kenten. Ngudyang raris ipun pademang, ngudyang raris uwugang. Titian ten taen peberatine jagi mekarya napi-napi, ipun ten naen taler meriki among titian nyaksiang kemanten.
Kresna : ihhh Sri Narendra mabener kaya pangartika. Kewala kaya mangke pamintaning Kresna kadiang apa pejahakena sira Nila Candra.
Merdah : aratu cutet ngiring sampunang malih akeh wenten wewilangan dwaning dosan ipune ageng kemanah antuk titian. Nggih pademang ipun I Nila Candra sapunapi kayun napi nenten?
Dharmawangsa :Rahadian kewala ksamakena apan sira Pandawa saking nguni-nguni saking sira Hyang Maha Raja Dewata lwir asawitra lawan sira kawitan nira sira i Nila Candra. Kadiang apa ulun arep aperang mejahaken sira Nila Candra.
Twalen : Aratu uduh dewa dewa to ngudyang lantas tyang mesiat ngematiang ye. Tiang sing ngelah masalah jak ye, ye sing ade pelih jak tyang sebuina uling pelelangit tyange, uling penglingsir tyange ajin tyange, becik hubungane merike mesawitra. Yen mangkin tyang lantas sareng kemu mesiat, ape lantas dadin tinge.?
Kresna : Dadia ta riwau mangkane wawang mangkata sira, singgih yayan mangkane menawa sira Pandawa wedin
Twalen : buihh nembe mangkin panggihin tityang Ida Sang Kresna, kroda mobos saking ajeng iratu. Sapunapi pikayun iratu ?
Dharmawangsa : caraka, kadiang apa ulun aperang apan tan hana salah nira.
Twalen : patut… to ngudyang raris iratu sareng meyuda. Melinggih aratu…
Dharmawangsa : mangkat….(bebaturan) Merdah : pihhh dewaratu nanang… Twalen : to Ida Sang Bima to, mireng mase uling di pungkur
kedesem kedesem Ida kenken ye jani Ida. Aduh aratu aratu…..
Bima : (bebaturan) Riangkat sang Pandawa enjing…twalen Twalen : tityang… Bima : aduh..hahahahaha…….. Twalen :sapunapi jeg ica iratu..? Bima : kija lakuna I bli Kresna?? Twalen : Ida jeg sampun mobos, beh lamun bli Sang
Dharmawangsa, Sang Panca Pandawa sing lakar nyak ajak tyang mesiat banggyang, depin tyang I Kresnsa bakal nyiatin ye.. mamuit….cos.. jek kente lantas ida..
Bima : hohoho…ngudyang dadi tumben jani jeg emosi bli Kresna. too.. bin melipetan mai.. to.. to.toto…melipetan mai..
Twalen : napi ye malih danda danda pekayunan ida..? Bima : mangkat ..Bli Kresna….. Kresna : ihh yayi Werkodara pwa kita, kadiang apa kita yen kita
aperang lawan sira Nila Candra, papareng lawan sira kakanta..?
Bima : puih.. Si aku ajakin bli mesiat..? Kresna : yogya kadiang ape?? Bima : yadiapin tampang akune care preman, kewala hatin akune
nak misi romantis bedik. Nglah aku mase penguna dika ngelah aku keneh. ngudyang aku nyiatin I Nila Candra, Nila Candra sing ade pelih kalawan aku. Sing ade pelih Nila Candra ken Pendawa. Tawang I Nila Candra tawang bli, ye ngae swargan anggona ngurukang panjak panjakne pang nawang ane madan Karmapala keto. I Nila Candra jeleme sakti maan panugrahan uling Ida Sang Hyang Wirocana ngambekang ke Bhudan.
Bima : nah jalan be mesiat…. Adi Arjuna…..enggalin adi mai mai…
Vocal Dalang : Ndah warnanan Sang Catur Pandawa…..tatkala prebata ta ka madria larih.. ….
Arjuna : kadiang apa kaka? Bima : adi Arjuna ngoyong adi jumah, si Aku lakar kemu ke
Narajadesa, mebalih I bli Kresna mesiat ngajak I Nila Candra ye pade sakti kenken ye pertarungane..? nak pade sakti mesiat kenken ye lakare. Sinah ade bakat duduk siasat meperangne pade sakti. Ngoyong adi ngoyong kemit I bli.
Arjuna : singgih kaka aiwa mangkana..apan Dananjaya arep tumuta..
Merdah : aratu atur ida I ari, bli bli agung sang Bima to ngudyang tityang pacang ring jumah, tityang pacang ngiring palungguh bli, pacang sareng mebalih
Bima : ooo keto nah..nah…lamun lakar milu ingetang kewala mebalih, mebalih kewala de engsap mapan idewek meraga kesatrya, medewek kesatrya senjata mula sing dadi lepas uling diawake.
Arjuna : mangkane…. Bima : beneh.. jemak senjata.. Arjuna : yan mangkana namya….(mangkat) Merdah : nang enggalin nang…. Nakula & Sahadewa : (bebaturan) Madria larih..duh ratagnira….kaka… Bima : bin I adi Nakula Sahadewa ngintil, kar kije milu ne? Nakula & Sahadewa : singgih kaka.. ulun bipraya tumut yayan sira nonton
kaka Kresna aperang lawan Nila Candra. Bima : oo keto ci karmilu mebalih jak bli keto..nah mun keto
jalan..jalan… kale ingetang ..ingetang mebalih.. Nakula & Sahadewa : singgih kaka… (mangkat) Twalen : dah.. Merdah : awake nanang Twalen : ne be likad…. Merdah : likad kenken nanang.. Twalen : unduk pemargin ida dwagung made, ida sang Arjuna,
Nakula, Sahadewa sing wikanine ken ida sang Dharmawangsa, jeg nyelebseb lakar nonton kemu..
Merdah : to kenape lantas..? I dewek mase mekite mebalih nang… Twalen : mekite mebalih… lan bareng tutug ida .. Merdah : duh mase dewek awake nanang…
marewentening Narajadesa. Anta juga sira Sang Catur Pandawa yaya bipraya anonton saking kadohan. Caritanan……….. rilampah sira…yaya sampun pascat anginkinaken ikanang swarga.
ci ngut… Sangut : nah…rek ayo rek mlaku mlaku nang tunjungan, sopo
ngerti nasib awak lagi mujur, kenal karo mbak yu sing dodol rujak cingur.
Delem :heheheheh… gending tai belek…ape gendingan ci to ngut sing kekeneh ben kaka…
Sangut : to gending jowo to… Delem : jeg megending jawa ci ngut…ne luungan ne luungan
gending bali-gending bali…. Sangut : Nah gending bali gending bali… Delem : ao.. Sangut : nah ..bantal siu cerorote limang atus Delem :hahaha jeg sayan sayan nyelekang gendingan ci ngut…jeg
watek leleklekan gendingang ci ngut…sing ade ngelah gendingan ne lenan.. jeg bantal siu cerorot biinn… ne luwungan ngut..
Sangut : to melem jelek orahang melem gendingane to? Tawag melem ne ngae gendingane to?
Delem : nyen ngae… Sangut : cang sing nawang masi...gending gendingan ne pidan-
pidan nyen sing ade nawang ne ngae. Muh gae putrid cening ayu, ngijeng cening jumah nyen ngae gendingane sing ade nawang. Gendingan jani to gending gendingan dadi beli to mekejang nawang. Song brerong to Gung Raka Sidan ngenah to, metajen dek ulik to ngendingang. Tawang ne pidan pidan nyen?? Lagune ne pidaan to de engsapine gending ne pidan pidan. Yen nepidan to gendingane penuh dengan filsafat, dengan pendidikan. Sing je care jani judul judul gendingan jani jeg begbeg medemenan, percintaan, selingkuh, amonto doen gegendingane sing ade lenan.
Delem : gendingan ci ne to ne tunyan..? Sangut : gendingan cange lagut keto kaden jelek to kaden sing ade
artine to..bise ngartinin gendingane to.? Delem : sebatek gendingan leleklekan kaka sing bisa ngartinin
lantas.
Sangut : nah artinin…..Bantal siu Delem : Ainggih aratu ida dane sareng sinamian. Atur uningayang
tityang puniki bantale ji siu siki. Sangut : adi polos keto… Delem : bah ngudyang ruwet ruwet..ujang sangetang ngartinin
monto be seken keto. Sangut : cerorote limang atus Delem : ah..cerorot ane cenik cenikan ji lamang atus besik. Sangut : mih..de ngejot elenan I dadong dogen ejotin
Delem : cai kemule demit jeg pragad dadong cine gen jotin.
Ngudyang sangkan dadong cine gen jotin ci. Ugan ci cenik memenci kepegatan yeh nyonyo. Nyat yeh nyonyon meme cine kale ci nu cenik, dadong ci ne ngempu ci to to to…be keto kopek dadong cine kledot kledotin ne suba lepek layu sing misi yeh. Sangkan bungut cine lanjung.
Sangut : sing je keto…. Nah lem cang ngartinin melem bise megending
beda bantal jawa jak bantal bali? Sangut : bantal jawa sing dadi daar..bantal bali dadi daar to.. Delem : ao… Sangut : baan…ntall dadiang dua to ban jak ntal Delem : baan jak ntal … Sangut : beneh…ne madan baan to tatakan meja cenik Delem : meja cenik Sangut : ao…meja bunder …man man man meceki lan jemak
baane muh. Jemak meja cenik anggon tatakan meceki to. Tatakan to…
Delem : aa baan to ntallll?? Sangut : ntal ne madan ntal lontar…ape isin lontre lem..? ape isin
lontare..? Delem : ne orahang ci lontar, yen cang nak biase negakin tikeh
ental, tuak ntal. Sangut : lontar ne madan lontar to.. to takepan daging lontare to
tatwa, agama, filsafat keto nyen pang melem nawang. Mantra-mantra ditu tongosne. Kayang mantra ape, mantra
pangleakan, mantra apa mantra pengayamayaman ape ade ditu di lontare.
Delem : keto..? Sangut : ao… Delem : bantal… cerorote limang atus .. Sangut : cerorot… Delem : ne madan cerorot..? Sangut : cara rot.. Delem : cara rot.. Sangut : nemadan cara tata cara awig awig, undang-undang. Delem : rot… Sangut : nemadan rot..rat..nemadan rat gumi..awig awig gumi,
undang undang gumi to ne patut jalanang iraga anggon de awag-awagina. De sekoda koda awak dadi masyarakat, nak mapan ade I dewek di dalam organisasi. Patut kenken ditu awig awige peraturan di undang-undange keto patut anggon jalanang.
Delem : I dadong dogen ejotin Sangut : I dadong.. melem nawang madan I dadong..? Delem : I dadong..?? Sangut : ao.. ape madan I dadong.. Delem : kurnane I kaki dadong adane… Sangut : jeg aluh keto.. I dadong I ida, da dadi ong Delem : to kenken mepladat pludutan bungut caine to.. Sangut : Ida dadi ong … Delem : dadi ong … Sangut : ao.. Delem : Ong apa ong dedalu ong bulan… Sangut : Ong ne madan ong to.. nawang madan ong??? Ong
petunggalan dasa agayan Ong Kara tunggal. Keto nyen pang melem nawang.
Delem : Behh apin ci keto, apin ci keto keduegang ci ne, ping telu ci dadi caleg sing taen lolos.
Sangut : Kemu aban ci melem! Nah tara ja jodoh cang nto mantak iseng-iseng nto!
Delem : Ci ke mule sing taen atep menyama ngajak kaka. Uling wibawa uling sebeng, sing san cai adung menyama ngajak kaka! Yan tawang cai kekene lakar mentik pang berek I pidan jek kal pecik nasne uli cenik.
Sangut : Melem kawuk-kawuk melem jani be nagih mecik-mecik! Delem : Bes sing pesan ci nyak adung menyama ngajak kaka!
Uling apa ci sing adung? Uling dedaran ci sube sing nyak adung ngajak kaka!
Sangut : Kayang dedaran cange sing nyak adung ken melem! Taen melem nepukin cang medaran?
Delem : Bes kaka menyama ngajak ci! Pepes kaka ngintip! Intip kaka cai di paon!
Sangut : Yan Melem apa dedaran meleme? Delem : Dedaran kaka semengan mara bangun Nasi Goreng! Sangut : Be keto misi telor mata sapi? Delem : Sing kanggo telor mata sapi! Sangut : Men telor mata apa? Delem : Telor mata gajah! Minumane kopi susu! Sangut : Telor mata gajah, kopi susu! Delem : Dedaran cai semengan aruh mara bangun mekamen
sarung meplidid care pir kamen sarunge! Ngojog jalikan dijalikane cai nyongkok sambilang cai nimbus kesela! Lebeng keselan caine cai nyeduh kopi, kopi pahit! Araah, dije ngalih bayu seger? Dije ngalih ci pang mawibawa cara kaka!
ngangeh sarapan ade sela, sela daar cang. Be je tepuk keto yang penting cang idup. Jaani be magenepan makananne puk! To pidan kaden makanane nto penyakit nto megenepan! Biasa nak ngajeng semengan nyemeng, nasi cacah mebenang-benang penyemenge misi baas nasi tulen makribisan dini ditu care anu siam bintang. Misi kuah pindang be merasa.
Delem : Yan kaka nganutin jaman! Yen tengai makanan kaka soroh makanan luar negeri!
Sangut : Luar negeri? Delem : Aoo! Sangut : Aapa makan melem luar negri? Delem : Burger! Sangut : Apa lem? Delem : Hamburger! Sangut : Haam… Delem : Hamburger! Sangut : Ham bereg-bereg! Delem : Mbeh, nyambat gen sing bisa cai salingan ngamah nyen! Sangut : Tara nyen taen ningehang cang keketo! Delem : cai nyanan tengai jek pesan tlengis makanan caine to
pesan klengis jukut kelor! Dija ngalih bayu seger? Sangut : Sing sanget sing cang masel-selan lem! Delem : Ci meseesaln? Mare cai Makita makan pang enak ci sing
nyidang nuutin kaka? Makanan kuren kaka pang tawang ci ngut!
Delem : Kurenan kaka nomer dua. Kurenan kaka ne cerikan! Sangut : ooo kurnan melem ne nomor 2 Delem : Semengan kuren kaka ne nomer dua aerobic! Sangut : Kuren melem ne nomer dua aerobic! Semengan nasi
gorenbg, telor mata gajah, kopi susu! Delem : Aoo,… Sangut : Jaen aerobike lem? Delem : Apa maksud cai ngorahang aerobic jaen! Sangut : Men melem kone semengan nasi goreng! Kurenan
meleme semengan aerobic! Delem : Kaden ci leleklekan aerobic nto?? Aerobik nto lari pagi. Sangut : Oh keto oo? Delem : Aooo!! Sangut nawang cai dije memarekan ne? Sangut : Cang takonin melem? Dini di Narajadesa! Ngiring Ida
Sang Prabu Nila Candra! Delem : Ida Sang Prabu Nila Candra sakti tan kabinawa! Kaicen
panugrahan! Sangut : Beneh kaiccen panugrahan olih Ida Sang Hyang
Wairocana! Ida ngelarang Kabudhaan! Keto pang ci nawang! Jani melem ngajak cang dinii memarekan! Pang nyak the maan kribis-kribisan ane madan melah! Reh I dewek dadi parekan pang ngelah ci ane madan pang I dewek ngelah masi ane madan prinsip! Konsep!
Delem : maksud ci nto? Sangut : Ulun teki katalian dening Bakti lawan Asih. Nto pang
keto kenken ida to patut pang sing ulian iraga naginag ida lakar cacad.
Delem : Ida Sang Nila Candra! Sangut : Ida ngae swargan! Delem : Ngai suragan! Pepindan di puri anggon swargan! Di puri
anggone swargan! Di bencingah anggone neraka loka! Sangut : Jek kenken je sube pragat wewangunan swargane
ngundang Ida Sang Pandawa! Aratu Sang Panca pandawa, dwaning swargan titiange sapunapi? Dwaning iratu riin polih ke swargan. Ngangkid ida Sang Raja Dewata Pandu! Saking kawahe ratu ke swargan manggihin swargane. Mangkin sapunapi swargan titiange kalih ring neraka?
Delem : Suba pasti jek suba pasti jek suba pas menurut Ida Sang Panca Pandawa. Men ane jani tinggal kurang penghuni. Kurang personil petugas-petugas ne.
Sangut : Jani matur ring ida, kenken pekayunan ida? Delem : Aratu prabu Sang Nila Candra! Nila Candra : Kunang ri Hyang Panca Tataghata… mretisteng
heredaya, Om Sri Bajra Jnana , Swalingga ring den mala. Sangut : mamitang lugra titiang aratu.. Nila Candra : Caraka huludawa…
Sangut : Ingggih titiag titian aratu… Nila Candra : Kadiang apa ikanang suwarga kalawan naraka loka apa
sampun pascat prasama. Sangut :inggih aratu sampun puput, puniki among titiang mangkin
milihin. Ring swargan tityang pacang milihin sapusira jagi anggen Batara Indra, Batara Siwa watek resi ring langit, sapu sira sane jagi anggen tityang widyadara widyadari kantun pacang milihin.
Nila Candra : yogya enak ceraka Sangut : inggih sampunang sumandya, ring neraka tityang kantun
pacang milihin sapusira jagi anggen Cikrabela, Jogormanik, Sang Hyang Yama, Sang Suratma punika mangkin tityang pacang nyelehin.
Nila Candra : mangkana ceraka enaklah pada papareng… Sangut : inggih aratu memargi. Yen sampun panjak-panjak ratu
uning ring sane mawasta Karma Pala pacang sayan-sayan becik puniki jagar druwene aratu.
Nila Candra : Yogya (mangkat) Delem : ngut kenken kenken wacanan Ida ngut..? Sangut : nah enggalang alihang jani ape adane to penghuni
penghuni, petugas-petugase ditu di Indraloka jak di neraka loka keto.
Delem : ne jani ci suba maan ngorahang lakar ngalih-ngalihin bajang-bajang suba ci maan ne kal anggon dedari..?
Sangut : aduh suba mare kude je maan..?? mare nenem maan.. Delem : pang genep pepitu.. pang genep pepitu.. Sangut : oo keto ne bensik be tonden maan to… Delem : to be mererodan to dedari dedarine to luh luhe to suba
ngasorang nyuh gading kembar, nah to luh luh bajang-bajang ajak mekejang, dwaning idewek lakar kapilih dadi dedari to jalan melahang laksanane melahang tingkahe mejalan pang nyak alep pang nyak jegeg to kenken je keto sube.
Sangut : oo… toto to mererodan lem… Delem : pih aeng jegeg jegegne ngut, mare nenem to mare nenem.. Sangut :inggek inggek sada nayog, kemikane ngemu.. Delem : mako…
Sangut : ape ngemu mako.. ngemu madu lem.. Delem : Pihh pihhh ne keto keto sube pilihin Sangut : ne cewek cewek anu ape adane kijang panter… Delem : apa cewek-cewek kijang panter pilihin cai.. Sangut : ne keto keto be kal kepilihin dadi widyadari maan ane
kijang panter… Delem : maksud ci kijang panter…? Sangut : kakinya panjang pantatnya bikin gemeter… Delem : jeleme sing kuangan bungut ci ngut…. Sangut : nahh to to to lem ade nak bajang clapat clapat bin sik lem.. Delem : kaka kar ngelemesin ngut…kaka kar ngelemesin ngut… Dayang : meh dewaratu jani gantine kal maan dadi dedari, kar
mepilih dadi dedari. Delem : pih yen tolih uling di duri nyak asane..man,… Dayang : adohh bli kar milih tyang dadi dedari..? Delem : nah yen dadi de je bin milu dadi dedari, kanggoang dadi
istri ketiga. Dayang : duh de ketoange tyang, tyang nak kari kar menuntut karir,
mumpung ade pemilihan kar dadi dedari tyang lakar milu. Delem : nah de je dadi dedari kan luwungan dadi kurnan… Dayang : oo keto bli.. to ngudyang melaib.. Sangut : to ngudyang melaib jeg kepe.. Delem : bah pang berek uling duri, uling duri baliin bli jek kulitne
kuning, gading, langsat, nasak munyine luwung ngerinting. Mare mekipekan kenken je bungutne care bemo.
Sangut : sangkan jeg tatas tatas nake malu, mare uling duri jeg saget bli ngelemesin.
Delem : kenkenang lantas uling duri luwung ngenahne.. too dedari suba, jani delokin di neraka loka ngut.
Sangut : di neraka loka.. Delem : beneh…. Sangut : nahh ne ne sang Cikrabala cikrabala, ehh cikrabala nah to
be to be dadi cikrabala kanggoang benin jin tapel, pokokne pang nyak mesib cikrabala keto.
Delem : Ao.. ne dadi Jogormanik pilihin ne gede ngut nene gede. Gede siteng, gede siteng…. Ane petugas kawah jambangane ne tukang ngeledokang ngeledokang to ne gede ne gundul. Pihh to gede gede to tetelu raksasa cikrabala to nang papat….
Cikrabala : ihhhhh ihhh wateking cikrabala…. Sangut : nah nyak be atep dadi cikrabala ne..pang nyak terus kene
nah…to pang care cikrabala asli ne kene be..cara raksasa Cikrabala : Yogya yogya.. kuda ngong maan gajih ? Sangut : pahh nakonang gajih cikrabala…. Cikrabala : maan tugas nyakcak nyakcak atma..
Sangut : aoo to be tugase nyakcak atma.. tetepang munyine kene pang tetep care raksasa..
asal ade atma melojokan ngong ngeledok. Apan agung dosa kurang pati ngong maan pilihan….
Sangut : adah ije tugase de….??? Jogormanik : aiwa de de.. ngong jani suba tugas di kawahe..ngong dadi
tukang masak atma.. Sangut : oooo dadi tukang ngelablab atma..? Jogormanik : Yogya… Sangut : cocok be cocok be,…. Jogormanik : Aiwa mangkana…. Sangut : adah ne Sang Suratma tedun ne… Aratu Sang Suratma.. Sang Suratma : ahahahahhaha….. aruh jeg ngong maan pilihan dadi Sang
Suratma.. Dadi sekretaris ngong maan pilihan.. nawang madan Suratma..?
Sangut : nyen ketakonin ? Sang Suratma : Suratma ngong be madan Sang Suratma..mun ade raksasa
paling baguse ngong Suratma, Suratma. Su surat.. Ma Atma tukang tulis tulis surate ngong be. Biasa ngong nulis surat. Be keto ibi ade lantas atma atma kene mati atma elektronik. Ije cai megae, tityang tukang elektronik keto ye mati. Sangkan bise cai mati?? Tityang mati kene setrum keto ye..men ape aban ci to ? mesaut ye atma..tityang padem puniki dwaning, anu eling je pidan Sang Suratma kocap tukang tukang surat mangda modern Sang Suratma mangda sampunang susah susah nulis, titiang pacang megapgapan laptop kenten. Sang Suratma gapgapine laptop, tawange taen kursus computer nenge Sang Suratma, atma degag cai ke ketoang, ee cikrabala jemak ne atma ewer tawanga ngong sing bisa melaptop, abaange keto, jemak ye cakcake ken cikrabala to. Nyen je main-main jak Sang Suratmajeg pragat simalu be panggilang cikrabala.be kudang atma kaden be celepang di kawahe, be cakcake kan watek cikrabala, ne bin ade atma pragrudug ne, adahh atma apa ne…aduh…Nah.. ne ci atma ne.?
Atma : nggih.. Sang Suratma : sangkan kene goban caine kenken cai mati ladne..??? Atma : tyang…. Sang Suratma : ngudyang kikil cai anggut-anggut..?ndas ci lengar? Atma : tyang… Sang Suratma : Ao ngudyang cai kene..? Atma : Apin tyang kene masalh buat lo..?
Sang Suratma : Adah…Sang Suratma ajak ci memasalah buat lo… Atma : kene je matin tyange to..tyang nagih sing kene tyang nak
matin tyange setruk..., struk tyang mati trus kene to. Masuk rumah sakit mekemo ping telu ndas tyange lengar tlah boke..sing ngidaang tyang seger mati tyang..
Sang Suratma : ooo beketo gaen ci di marcapada ngujang?? Atma : Tyang kenten pidan rajin tyang.. Sang Suratma : rajin ngudyang..? Atma : ngisid ngisidang sampan pisagane. Sang Suratma : maksud caine..? Atma : asal pisagane negulang sampi be sing ade jumahne, jemak
tyang kisidang tyang abet yang ke bringkit. Sang Suratma : adahh nyak be cai ne…tukang maling cai.. Atma : ten tyang ngemaling… Sang Suratma : to be madan ngemaling.. ci meorahan ken ne ngelahang
sampi? Atma : ten je tyang meoraan, si sing bange Sang Suratma : to be madan ngemaling.. Atma : o nike madan ngemaling..? tare je tyang nawang mdan
ngemaling to...nak tyang mekite nyemak. Sang Suratma : adah….cikrabala cakcak ne cakcak….... aah med be
ngencanang atma bes liune atma teka apa buin jani di marcapada nak ade megenep..ngaben masal, jek satus , satak cepokan teka atmane jeg bingung Sang Suratma lakar maca. Bin liu gati sing bakat ben maca tulis gidatne..terutama ne anak-anak muda ne anak-anak ABG liunan..atmane sing bakat ben maca tulis gidatne. Cai mati kena cai keto..?tyang mati nabrak tiang listrik, cai mati kenapa? Mati tabrakan palu jangkrik, jeg telah benyah tendasne kenkenang maca. Oraina maca tulis gidat bes gidatne be nyag tulis gidatne sing bakat ben maca. Jeg awag-awagin je ndasne. Adahh ne ada atma kenken pagrudug ne,…?? Adahh atma kenken ne..? adi ngaba cakra..? ne ade atma mati lumutan gadang gobane..
Kresna : Waduhh siapa ulun yayateki pitara sinengguh denta,,? Sang Suratma : amen sing atma ne tapuan.. Kresna : Nimitanian keka maweruha..ingulun weruh ri kita ya
wruhpanta lwir kaya Sang Suratma. Sang Suratma : berarti nyak cang cara Sang Suratma..? Kresna : Yogya.. Sang Suratma : dueg dueg cang mepayas pang cara Sang Suratma… men
nak ngudyang ne kadenang atma ? Kresna : Aiwa kita kweh ojar kinden maraka sira Nila Candra
apan degag Nila Candra, yayateki Kresna bipraya mejahaken Nila Candra.
Sang Suratma : adah… uwug jani swargane we…
Delem : ehh kenken Sang suratma dadi nekep jit melaib..? Sang Suratma : anu ade..ada atma gadang..ngaba cakra..madan I Kresna
nagih ngematian Prabu Nila Candra keto. Oo cang teka mai kar ngematiang Nila Candra keto betne…
Delem : adahh ngawag-ngawag to ngawag-ngawag. Aratuu Sang Prabu Nila Candra dauhin watek.. ah jani kene jani kene kaukin ne dadi Jogormanik, ne dadi Yama mekejang to kaukin ne gede-gede to, orahin mesiat. Patih-patih pada mekejang lan jani bareng-bareng.
Sang Suratma : aduhh buung ngong maan gajih..Suratma ne, mesiat payu…
Delem : ehhh ne suba kadung tugas dadi Jogormanik, dadi Sang Hyang Yama, mesiat mesiat matiang Kresna matiang Kresna teka ngusak asik.
Nila Candra : Delem… kadiang apa caraka? Delem : aratu puniki I Kresna puniki gelur-gelur ring
bencingah…nagih nguwugang Swargane nagih nyedayang I ratu.
Nila Candra : Yan Mangkana..ndan akena wateking balapeka sedaya katekaning para patih prasama nimitania aperang lawan sira Kresna..
Delem : ahhh melinggih melinggih dumun aratu.. Nila Candra : enak caraka….(mangkat) Delem : ehh watek patih pada mekejang..enggalin enggalin
matiang Kresna … (Terjadi peperangan antara pihak Kresna melawan
pihak Nila Candra.) Delem : ngut telah raksasane melaib ken I Kresna.. Sangut : bihh Ida Sang Kresna ngamuk mai… kenken je arsa salah
tampi.. Delem : ahh kresna jeleme belog..sangkaning iri ye..iri ye ken Ida
Sang Nila Candra. Aratu Sang Prabu Nila Candra medal aratu…puniki sampun melaib sami petugas-petugas naraka lokane melaib mekesami…
Nila Candra : (bebaturan) pretisteng jnyana nirmala ih Kresna pwa inganika, kadiang apa dadia kita wirosa prapta marewentening Narajadesa. Apa salah ningulun….
Kresna : Ih kita mangaran Nila Candra, mawas yan tan kiun kita angerug aken ikanang swarga, mawas katekaning kita pejah, lwir tekap ulun yayateki Kresna.
Nila Candra : apa salah ningulun..? taneken hulun aminta anginaken wang perihati.
Kresna : Aiwa kweh ojar, yan tan kiun kita angerug mawas aperang tanding lawan sira Kesawa.
Nila Candra : Tapuan mundur satapak yayateki, yan mangkana enak aperang tanding.
(perang Kresna dan Nila Candra)
BABAK III Vokal Dalang : Samangkana Kramanira, Caritayang paperangan sira
kita tan kahurungan pejah..siapa sinengguh denta yayateki Kresna.
Nila Candra : Kresna pwa kita dadia kita wirosa ariwang tanpa dosa. (perang Kresna dan Nila Candra) Delem : nak kenken unduke I Kresna melaib..to melaib
we,,….ngut melaib musuhe ngut melaib musuhe…. Sangut : Nyen to..? Delem : toto nyen adane to… I Pak Kresna.. Sangut : Ahh de misi pak Kresna.. Delem : melaib-melaib nyeluksuk nekep jit..kepung aratu
kepung…jalan kepung Kresnane…. Nila Candra : Eh Kresna aiwa kapi layu… Bima : Buih Arjuna..to tolih I bli Kresna… Baladewa, Satyaki,
Kertewarma melaib melaib nyeluksuk. To ketengah betbete lakune mengke..kenken undukne bli Kresna dadi melaib..Arjuna yatna yatna Nakula Sahadewa.
Bima : Duh yayi aiwa nunaning parayatna enak kewala manonton.
Twalen : Dah … Merdah : awake nanang,.. Twalen : uling nanang ngiring Ida dwagung made, nepukin Ida
Sang Kresna jeg melaib, nyeluksuk dibete… Merdah : Aduh nanang..kenken kalah Ida Sang Kresna.. Twalen : yen sing kalah ngujang melaib. Ubere to to pih,,sampingin
dah sampingin pang sing tepukina.. Merdah : aduh masa dewek awake nanang… Bima : Twalen… Twalen : titian…. Bima : I bli Kresna suba melaib.. Twalen : tityang manggihin taler Ida Sang Kresna melaib tur
nyeluksuk ke betbete… Bima : Yogya….jalan mengkeb sampingin sampingin pang sing
tepukina. Twalen : ngiring iratu sampingin.. pang ten tingalina pang ten
tawange ken ne nguber.. Bima : Yogya… Prajurit : ih siapa kita…?
Bima : Aku takonang ci.. Prajurit : Yogya… Bima : Si Aku Sang Bima ne adin-adin akune I Arjuna,
Nakula, Sahadewa to durin akune. Kenken? Prajurit : yan mangkana kita, Manawa atalang pati lawan sira
Kresna. Bima : nyen oraang cai melanin Kresna..?, Prajurit : kita Werkodara Bima : ah sing ade keto, ngudyang aku melanin Kresna, aku
sing milu-milu, aku nak mai mula mebalih, jak adin-adin akune mula mebalih mai!.
Prajurit : ah aiwa mangkana yan yukti kita nonton kadiang apa kita mangeges ikanang senjata.?
Bima : Si aku ngaba sanjata, si aku sang meraga kesatria, reh aku merasa kesatria aku sing taen ngelebang senjata.
Delem : kenken undukne adi ade Sang Bima dini..? pasti be bersekongkol kal milu nyiatin Prabu Nila Candra iratu ne..
Bima : Bah.. aiwa mangkana caraka mapan si aku I Bima sing taen merasa ngelah pelih. Sang Prabu Nila Candra masih sing ade ngelah masalah jak aku. Mula melah hubungane uling pidan.
Delem : men ngudiang iratu ngabe senjata mai yan mula sing kal mesiat..?
Bima : Aku suba nyambat aku nak kesatria, aku nak sing dadi ngejang senjata. Aku nak mepilih kar nyiatin jeleme. Sing sembarangan aku nyiatin.
Prajurit : Aduh aiwa mangkana tan percaya ulun yayateki, kita yayan kukuh kita prawira, enak aperang tanding lawan yeki prasama para patih ning sira Prabu Nila Candra.
Bima : ahh aku sing nyak mesiat, aku sing nyak mesiat reh aku sing ade masalah jak ci jak Nila Candra sing ade masalah.
Prajurit : Ah aiwa mangkana aperang, yan kita weding aperang pamuliha kita satrudenta kumkuman.
Bima : buihh…nyanget nyangetang munyin ci..yen si aku takut mesiat aku pang mulih nyangkutin kurnan aku keto
nyambat aku mai kar mebalih ci nantangin aku nundunin macan medem artine ci.
Prajurit : aiwa kweh ojar.. enak aperang Bima : Nah….. (perang antara pasukan Nila Candra dengan Catur
Pandawa)
Delem : ngut enggalin ngut…Aratu Sang Prabu Nila Candra..aratu telasanga para patih duwene aratu..kantos antek antek aratu sami pademanga aratu.
Nila Candra : kadiang apa dadia Werkodara, Dananjaya katekeng Nakula Sahadewa. Papareng atalang pati lawan sira Kresna. Apa dosan ingulun lawan sira Panca Pandawa.
Sangut : Aratu patut. To ngudayang ida Sang Bima, Arjuna, Nakula Sahadewa sareng mapilonan ring Ida Sang Kresna mabelapati.
Nila Candra : Yogyaa…. Sangut : napi iwang iratu napi sisip iratu.. Nila Candra : Yogya.. yan mangkana enak aperang tanding juga Sangut : mangkin iratu jagi sareng mesiat. Nila Candra : Yogya… (mangkat)… Twalen : dah Ida Sang Nakula Sahadewa metegul dah sing
ngidayang meklepesan. Meh jeg sing eling Ida ring raga jeg suba metegul. aduh kisidang dah kisidang kebongkol kayune jalan dah..
masih jeg metegul..jeg suba sing eling ken raga jeg kantu. Meh dewaratu dah kisidang dah kisidang..dibiingkol kayune dah…
Bima : Nila Candra sakti mula saja cai adin akune I Arjuna, Nakula, Sahadewa metegul yen sing mati ban aku I Nila Candra lek jengah aku dadi Bima…….
(perang Bima lawan Nila Candra) Bima :sakti apa anggona ngae Nila Candra mare gedig gebug
uling gada jeg mekelejing pesu api, tumben jani aku nepukin Nila Candra. Si aku be ngorahang kar mebalih mai masih cai jeg sahasa negul adin-adin akune mekejang. Kanti sing inget ken awak ngelimuh ye mekejang
Nila Candra : Aiwa kweh ojar, yen kita harep mejah aken Nila Candra, enak pejahaken.
Bima : ahh sing buungan cai mati. Nila Candra : tan pariwangde kabasta pwa kita Werkodara…. Bima : tulung……. Twalen : ne suba ne jejehin nanang, Ida Sang Dharmawangsa
menggahe tan kabinawa reh nani jak nanang ngiringang ida mai Gumanti nak mebalih jeg tantangine ken para patih patih I Nila Candra mekejang to kenkenang jani..
Merdah : Kantu ida kenken je care nak seda jeg mekrisikan sing. Twalen : nanang mase sebet atin nanange dah…sing bani nanang
kar mewali kemu… Merdah : men kenkenang lantas nanang..apin dini tongosang jeg
sing buungan nyan idewek buin lakar cangkilnge nanang…. Twalen : Pang sepalaan nyihnayang baktin nanange, baktin nanine
meparekan. Gending mesem : pustaka ilang kamalingan…… Twalen : meh dah sakit keneh nanange.. sing taen nanang nepukin
nemadan lege. Merdah : to patuh awake mase ngerasaang buka keto nanang…uling
alit ngemban Ida sang Panca Pandawa, nyeluksuk dialase roras tiban, atiban di Prabu wirata. Jani masih kekene to
Twalen : bin pidan je lakar tepuk ne madan satya. Betara yen betara sweca jeg pademang tityang . jani pang melah tangkil ring Ida Sang Dharmawangsa nguningayang indik rain-rain ida dah..
Merdah : Jalan nang jalan… Twalen : Mamitang lugra tityang aratu matur sisip tityang aratu.. Dharmawangsa : Kadiang apa caraka..?? Twalen : gumanti tityang neregdeg pemrgin rai-rain iratu Ida Sang
Catur Sanak, wus nangkilin iratu seperauh Ida Sang Kresna, melinggih raris Ida Sang Catur Sanak merika sareng mapikayunan nonton. Risampune raris nonton Ida Sang Kresna kalilih melaib ipun ke alase. Kepunga ring para patih para patihne jeg kecablek sareng rai-rain iratu. Irika lantas tantangina rai-rain iratu meyuda mesiat, sampun terang-terangan ngangken batak nonton masih ten gegane jeg tantangine. Mawinan ten mersidayang malih melempas rain-rain iratu Ida Sang Bima, Arjuna, Nakula, Sahadewa terpaksa sareng meyuda. Risampun meyuda tedun raris Ida Sang Nila Candra metegul rain-rain iratu sami
Dharmawangsa : Yayi Sang Catur Sanak yayi…kewala kesamakena yayateki sira kakanta meseh amaweh tulung kita patut…
Twalen : aratu ngiring-ngiring aratu dabdabang aratu… Dharmawangsa : Ihh Nila Candra pwa kalaganta, apa dosaning rantenku
Sang Catur Pandawa..? Rahadian ratuning Narajadesa, kadiang apa kita wirosa sahasa mastu sira Sang Catur Sanak ranten ingulun.?
Merdah : aratu ratu Sang Prabu Narajadesa, to ngudyang jeg wirasa negul adin-adin tityange napi iwang adin-adin tityange..?
Nila Candra : Duh Sang Aryadharma, apan sira Sang Catur Sanak,atalang pati lawan sira Kresna arep amejahaken sira Nila Candra.
Delem : nahh Sang Dharmawangsa pang tawang, I Bima, Arjuna, Nakula Sahadewa mebela pati ken I Kresna nagih ngematiang Ida Sang Nila Candra sapunika wacanan Ida
Dharmawangsa : Ah tan hana kaya mangkana aiwa kweh oja. Antian kroda sira Dharmatanaya yan tumut sirantenira. Ihh yan mangkana enak aperang tanding lawan sira Dharmatanaya
Merdah : ih ratu Sang Narajadesa Nila Candra yen keto jeg jani tyang malu lawan, jalan jak tyang pragatang mesiat.
Nila Candra :ihh yayan mangkana tapan wihang tapan wihang, tapan mundur satapak yayateki sira Nila Candra..
(perang antara Dharmawangsa melawan Nila Candra) Sangut : Ida Sang Kresna niwakang cakra tlah dadi bunga aas, jani
ida Sang Dharmawangsa buin niwakang senjata mare kene dadn ida Sang Nila Candra buin dadi bunga mekejang kenken nah…
(perang antara Dharmawangsa melawan Nila Candra) Twalen : dah keto yen nak sakti-sakti mesiat, Ida sang
Dharmawangsa niwakang senjata plek kene dadn ida Sang Nila Candra dadi bunga.
Merdah : Ida Sang Nila Candra niwakang senjata ken Ida Sang Dharmawangsa mare teked di ajeng jeg ulung mecepol panah ida sing nyidayang ngenen.
Twalen : ne be nak pade sakti pidan lakar pragat lantas siate to dewaratu merdah…
Merdah : kenken lakare penadine nanang…. Dharmawangsa : Apan sampun tan sidalah dening wateking sarwa yuda,
kadiang apa harep ta mangke..? Nila Candra : Enak mijil akena kunang kawisesanta Dharmawangsa : Ah tapuan hulun hadan pada papareng mangke. Vokal Dalang : Mijil aken kunang kawisesan, irika ta sira pada
gumeter ikanang pertiwi…. (Dharmawangsa dan Nila Candra mamurti) Bagawan Andasinga : Jayate palasara sunu aduh dewa dewa sang Nila
Candra, waduh I dewa Sang Dharmawangsa dadi pada wirosa maberawa, genjong gumine uwug mawas yan kita maberawa. Rug ikanang tri buwana…
Twalen : aduh……dah… Merdah : memeh nanang sareng kalih Ida maberawa nanang….Ida
Bagawan Andasinga tedun nanang.. Twalen : dewa dewa Sang Nila Candra, Sang Dharmawangsa
sampunang… to suud suud malu I dewa maberawa. Yen idewa terus maberawa lakar gumine uwug. Jagat tigane lakar uwug.
Merdah : duh nanang jalan jalan nang… Bagawan Andasinga : Aduhh nanak …Ahumm kita Nila Candra, waduh
kadiang apa pada kita salah penaha. Dadia aperang yaya tan hana pada salah. Mangke Nila Candra pinanugraha tekap sira Sang Hyang Wairocana angelaraken ikanang Budha.
Twalen : nunas lugra tityang ngojah bisama Ida Bagawan Andasinga, Dewa Sang Nila Candra to ngudyang dewa mesiat sareng Ida Sang Dharmawangsa..Idewa pade sing ngelah pelih to idewa pada mesiat pada salah tampi. I dewa Sang Nila Candra kicen panugrahan olih Ida Batara Budha, Ida Sang Hyang Wairocana. I dewa Sang Dharmawangsa ngemargiang ngambekang ne madan kasiwaan, yen idewa lantas meperagayan Siwa Budha lantas mesiat digumine, Ida Batara Budha maparagayan Sang Hyang Ibu pertiwi, Ida Batara Siwa maparagayan Sang Hyang Akasa. Siwa kalawaning Budha maparagayan purusa pradana, to yen idewa lantas metungkas idewa mesiat, kenken dadin gumine..?
Twalen : nene jani dewa tunggalang tunggalang adnyanan dewane mekedua, tunggalang pikayun idewane, anggon ngemelahang nemadan gumi, anggon ngemelahang pretakjana gumi pade mekejang. Tuwah idewa ne lakar ngewasa wasidi. Yen idewa Sang Hyang Sang meraga Budha sing wrh ken ketatwaan Siwa nora ya Budha, kenten masih idewa Sang meraga Siwa, nora ya wruh ring ketatwaan Budha, nenten idewa maparagayan Siwa.
Merdah : inggih aratu tityang ngojah adi-adi Sang Catur sanak pada makejang, ampurayang nake buka bli, keto masih Ida Sang Prabu Nila Candra, nak mapan pada-pada salah tampi, pang bisa idewa ngaksamayang. Ne jani keles-keles apa adane tegulan idewa.
Bima : Bli Dharmawangsa kewala aksamaang aku, aku sing meoraan mai ken bli ngajak I adi. Bes emosin akune tantangine..
Dharmawangsa : Aiwa mangkana yayi kewalalah pada sampurana. apan sira Prabu Nila Candra sira kang kasinanggeh Budha, inganika kasinanggeh Siwa prasamaenaklah mangke tunggalakena ikanang jnyana.
Bima : waduh nah nah nah nah.. yen keto kenken je bli cutet aku nuutang keneh bline.
Dharmawangsa : Mangkana yayateki juga sira Dananjaya katekeng Nakula Sahadewa.
Bima : nah..nah..nah pada papareng… Nila Candra : Enak narendra prasama ararian rumuhun
marewentening Narajadesa. Bima : nah yen keto jalan jalan singgah malu singgah Merdah : nanang selamat Ida Bagawan Andasinga rauh..yen sing
ida tedun jeg kenken ye penadin gumine.. Twalen : Jani suba ade pawarah Ida Bagawan Andasinga. Siwa
kalawaning Budha pang matunggalan anggen ngawehayu gumi sing keto dah.
Merdah : nah beneh suba yen keto nanang jalan to pragatang malu amone. Aksamayang kewanten tityang nunas ampura kadi puniki prasida antuk tityang.
TAMAT
Lampiran 2
Foto 1: Suasana latihan Tabuh Petegak Wayang Kulit lakon Nila Candra di Br. Besang, Desa Ababi, Kecamatan Abang, Kabupaten Karangasem.
Foto 2: Dalang Ida Made Adi Putra dalam pertunjukan WKGK lakon Nila Candra di Br. Besang, Desa Ababi, Kecamatan Abang, Kabupaten Karangasem. Lampiran 3
Foto 3: Adegan jejer wayang oleh Dalang Ida Made Adi Putra lakon Nila Candra
Foto 4 : gedebong sebagai simbol pertiwi dan dua buah mic dipasang dibelakang belencong untuk membantu agar suara Dalang Ida Made Adi Putra terdengar oleh penonton. Lampiran 4
Foto 5 : kelir yang digunakan saat pementasan WKGK lakon Nila Candra lebih lebar dari ukuran kelir pada umumnya.
Foto 6 : blencong yang digunakan saat pementasan WKGK lakon Nila Candra. Lampiran 5
Foto 7: Keropak/Gedog yang dimiliki dan dibuat sendiri oleh Dalang Ida Made Adi Putra.
Foto 8 : Tahap wawancara dengan kedua informan. Dalang Ida Made Adi Putra (kiri) dan Dalang Ida Made JD Bratha (kanan). Lampiran 6
Foto 9: Tokoh Wayang Nila Candra
Foto 10: Tokoh Wayang Kresna dan Nila Candra Lampiran 7