BAB IPENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Wawasan kebangsaan mengandung makna bahwa
seluruh warga negara Indonesia memiliki cara pandang yang
berwawasan nusantara. Adapun definisi wawasan nusantara adalah cara
pandang bangsa Indonesia terhadap rakyat, bangsa, dan wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang meliputi darat,
laut, dan udara diatasnya sebagai satu kesatuan politik, ekonomi,
sosial, budaya, pertahanan, dan keamanan (Pusbangtendik, 2011).
Wawasan ini menentukan cara suatu bangsa memanfaatkan kondisi
geografis, sejarah, sosial budayanya dalam mencapai cita-cita dan
menjamin kepentingan Indonesia serta bagaimana bangsa itu memandang
diri dan lingkungannya baik ke dalam maupun ke luar. Kondisi
geografis Indonesia terdiri dari ribuan pulau yang berada di atas
sabuk vulkanis, yang memanjang dari Sumatra hingga Maluku.
Keberadaan Indonesia pada sabuk vulkanis ini memungkinkan
daratannya mengandung mineral-mineral berharga dan batubara yang
potensial. Indonesia merupakan negara dengan produksi timah
terbesar kedua di dunia, tembaga keempat, nikel kelima, emas
ketujuh, dan batubara kedelapan terbesar di dunia. Hasil tambang
ini adalah sebagian kecil dari total hasil tambang mineral berharga
dan batubara yang dihasilkan bumi Indonesia. Jumlah total ekspor
hasil tambang mineral berharga dan batubara Indonesia adalah
US$11,9 juta atau sekitar 12,04% dari nilai ekspor Indonesia pada
2011 (BPS, 2011). Nilai ekspor hasil tambang yang besar di atas
diperoleh di tengah-tengah kontroversial pertambangan di Indonesia.
Sampai saat ini, perusahaan-perusahaan asing yang diberi kewenangan
untuk mengelola hasil tambang Indonesia bekerja dengan kekuatan
hukum Undang-undang (UU) No. 11 tahun 1967 tentang
ketentuan-ketentuan pokok pertambangan. UU ini memberikan Kontrak
Karya (KK) dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara
(PKP2B) kepada perusahaan Penanaman Modal Asing (PMA), sedangkan
kepada perusahaan lokal hanya diberikan Surat Ijin Penambangan
Daerah (SIPD). Kondisi SIPD berbanding terbalik dengan KK dan PKP2B
di mana perusahaan lokal tidak memperoleh seluruh ijin pengelolaan
hasil penambangan.UU No. 11 tahun 1967 ini menjerat bangsa
Indonesia untuk tunduk kepada PMA melalui KK dan PKP2B karena PMA
mendapatkan seluruh ijin penambangan (eksplorasi, eksploitasi,
pengolahan/metalurgi, dan pemasaran). Ijin penambangan ini masih
diperluas dengan adanya Conjunction dan Less specialist.
Conjunction adalah perjanjian negara Indonesia dengan PMA pengelola
pertambangan selama batas waktu yang telah ditentukan. Perjanjian
ini berlaku terus menerus selama waktu yang tertera dalam
perjanjian tanpa bisa diubah oleh pemerintah Indonesia. Adapun Less
Specialist adalah kewenangan yang diberikan pemerintah Indonesia
kepada pemegang KK untuk melakukan seluruh usaha penambangan (dari
hulu ke hilir). Dengan kondisi hukum yang menaungi PMA seperti di
atas, setiap tahunnya PT Freeport McMoran Indonesia menyumbang
rata-rata 10% (US$ 460 juta) dari keuntungan bersihnya kepada
pemerintah Indonesia. Bisa kita bayangkan berapa besar keuntungan
sesungguhnya yang diraih PT Freeport dari hasil pertambangan
tembaga, yang disebut dalam KK. KK Freeport ini tidak melibatkan
kontrak penambangan mineral ikutan (by product), seperti perak dan
emas, karena ijin penambangan yang tertulis dalam KK adalah hanya
tembaga.Untuk mengantisipasi kebocoran nilai ekonomi hasil tambang
Indonesia oleh perusahaan-perusahaan asing pemegang izin usaha
pertambangan, pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
menggagas undang-undang baru, yaitu UU No. 4 tahun 2009 tentang
pertambangan mineral dan batubara. UU No 4/2009 tidak hanya
mengatur hal-hal yang berkaitan langsung dengan pertambangan,
seperti pembatasan produksi dan ekspor hasil tambang, luas wilayah
usaha tambang, tetapi juga mengatur dampak usaha pertambangan
terhadap masyarakat dan lingkungan sekitarnya. UU ini adalah bentuk
penyempurnaan UU No. 11/1967. UU No. 4/2009 juga disempurnakan oleh
kebijakan pemerintah tahun 2014 mengenai kewajiban perusahaan
tambang untuk melakukan pemurnian/metalurgi di Indonesia.
1.2 Tujuan Penulisan Makalah
Makalah ini disusun dalam rangka implementasi mata kuliah
wawasan kebangsaan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk menganalisis
implikasi UU Nomor 11 Tahun 1967 dalam pengelolaan hasil tambang
Indonesia terhadap keberlangsungan Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
1.3 Dasar HukumLandasan hukum yang langsung berkaitan dengan
wawasan kebangsaan dalam pengelolaan hasil pertambangan adalah
sebagai berikut:a. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan.b. Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.c. UUD 1945
pasal 33 ayat 1, 2, dan 3. Pasal (1) Perekonomian disusun sebagai
usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan, pasal (2)
Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai
hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara, dan pasal (3) Bumi
dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh
negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.d.
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan
Kegiatan Penambangan dan Batubara.e. PP Nomor 55 Tahun 2010 tentang
Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pengelolaan Pertambangan
Mineral dan Batubara.f. Peraturan Menteri (Permen ESDM) Nomor 7
tahun 2012 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral melalui
Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral dan Pencarian Kepastian
Hukum Perusahaan di Sektor Pertambangan Batubara.
BAB IITINJAUAN PUSTAKA
2.1 Wawasan NusantaraIndonesia adalah negara kesatuan yang
berbentuk republik. Sebagai warga negara Indonesia, kita perlu
menyadari bahwa Indonesia bukanlah negara yang hanya dihuni oleh
satu suku bangsa, tetapi banyak suku bangsa dengan berbagai
keragaman yang menyertainya. Namun, kita bersyukur bahwa kesamaan
tujuan hidup anggota beragam suku bangsa itu telah menyatukan kita
menjadi satu bangsa besar yang menghuni negara kepulauan terbesar
di dunia ini. Selain itu, peran bahasa Indonesia sebagai perekat
persatuan bangsa juga tidak dapat dipungkiri. Dengan pemahaman ini,
rasa kebangsaan dalam negara kepulauan dengan kebhinnekaan ini
diharapkan makin berkembang (Pusbantendik, 2011). Wawasan nusantara
adalah cara pandang bangsa Indonesia terhadap rakyat, bangsa, dan
wilayah NKRI yang meliputi darat, laut, dan udara diatasnya sebagai
satu kesatuan politik, ekonomi, sosial, budaya, serta pertahanan
dan keamanan. Upaya peningkatan wawasan kebangsaan Indonesia, dapat
dilakukan dengan berbagai cara untuk memberikan pemahaman yang
komprehensif mengenai wawasan nusantara sebagai wawasan kebangsaan
Indonesia. Wawasan nusantara ini dapat ditinjau dari pembinaan
aspek ASTAGRATA. Astagrata yang terdiri tri gatra (geografi,
demografi, dan sumber kekayaan alam) merupakan ciri wawasan
nusantara dan ketahanan nasional bangsa Indonesia sehingga perlu
adanya upaya untuk meningkatkan pemahaman terhadap wawasan
kebangsaan Indonesia dalam tinjauan aspek astagrata dilakukan
melalui salah satu cara yaitu pembinaan tinjauan aspek sumber
kekayaan alam.Salah satu aspek yang dapat memperkuat wawasan
kebangsaan NKRI adalah pengelolaan sumber daya alam (SDA).
Pengelolaan sumber kekayaan alam mampu memberikan dan membuka
lapangan kerja bagi penduduk di daerah, membatasi kesenjangan
sosial yang ada antara pusat dan daerah, pengelolaan sumber
kekayaan alam utamanya diperuntukkan bagi kepentingan masyarakat di
daerah setempat, melibatkan masyarakat setempat dalam upaya
melestarikan dan menginventarisir kekayaan alam, perencanaan dan
pelaksanaan pengelolaan kekayaan alam menggunakan manajemen yang
transparan, sehingga diketahui dengan jelas arah aliran keuangan
dari hasil pengelolaan tersebut (Pusbantendik, 2011).
2.2 Potensi Hasil Tambang IndonesiaSampai saat ini, tidak kurang
dari 30% wilayah daratan Indonesia sudah dialokasikan bagi operasi
pertambangan, yang meliputi baik pertambangan mineral, batubara
maupun pertambangan galian C (bahan baku industri). Hal ini
menunjukkan begitu luasnya wilayah potensi pertambangan mineral
berharga dan batubara Indonesia. Posisi Indonesia yang berada di
atas sabuk vulkanis mendukung banyaknya ragam mineral berharga dan
batubara tersebut. Berikut adalah beberapa jenis mineral berharga
yang ada di dalam bumi Indonesia.
2.2.1 BatubaraCadangan batubara Indonesia hanya 0,5% dari
cadangan dunia, namun produksi Indonesia ada pada posisi ke-6
sebagai produsen dengan jumlah produksi mencapai 246 juta ton,
setelah China (2,761 juta ton), USA (1007 juta ton), India (490
juta ton), Australia (325 juta ton), Rusia (247 juta ton).
Indonesia juga menduduki peringkat ke-2 terbesar di dunia sebagai
eksportir, sejumlah (203 juta ton). Posisi pertama ditempati
Australia (252 juta ton), China sebagai produsen batubara terbesar
dunia, hanya menempati peringkat ke-7 sebagai eksportir (47 juta
ton). Indonesia lebih mengutamakan ekspor dibanding konsumsi dalam
negeri. Saat ini, batubara Indonesia 85,5% dipasarkan di India,
Cina, dan negara-negara lain. Sedangkan sisanya untuk kebutuhan
dalam negeri. Potensi laba yang selangit membuat banyak investor
berebut areal pertambangan batubara di berbagai daerah di tanah
Air. Seiring tingginya harga batubara di pasar internasional per
Oktober 2011, yaitu sebesar 119,24 dollar AS per ton. Daerah-daerah
penghasil batubara Indonesia, diantaranya Bukitasam (Pusatnya di
Tanjungenim, Sumatra Selatan), Kotabaru (Pulau Laut, Kalimantan
Selatan), Sungai Berau (Pusatnya di Samarinda, Kalimantan Timur),
Umbilin (Pusatnya di Sawahlunto, Sumatra Barat). Selain itu,
tambang batubara terdapat juga di Bengkulu, Jawa Barat, Papua, dan
Sulawesi Selatan (Arif, 2009).
2.2.2 EmasEmas merupakan logam mulia (inert) bersifat lunak dan
sering digunakan sebagai standar keuangan, perhiasan, dan peralatan
elektronik. Proses pembentukan emas adalah dari proses magmatisme
atau pengkonsentrasian di permukaan. Beberapa endapan terbentuk
karena proses metasomatisme kontak dan larutan hidrotermal.
Indonesia memiliki cadangan emas Indonesia berkisar 2,3% dari
cadangan emas dunia dan menduduki peringkat ke-7 yang memiliki
potensi emas terbesar di dunia. Adapun dari segi produksi emas,
Indonesia menduduki peringkat ke-6 dalam produksi emas di dunia
sekitar 6,7%. Daerah-daerah penghasil emas Indonesia, diantaranya
Bengkalis (Sumatra), Bolaang Mangondow (Sulawesi Utara), Cikotok
(Jawa Barat), Logas (Riau), Meuleboh (DI Aceh), dan Rejang Lebong
(Bengkulu). Selain itu terdapat juga di Lampung, Jambi, Kalimantan
Barat. Papua, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Selatan. Pabrik
pengolahan emas terdapat di Cikotok, Jawa Barat (Priyo, 2009).
2.2.3 TimahTimah adalah merupakan logam yang dapat ditempa
("malleable"), tidak mudah teroksidasi dalam udara sehingga tahan
karat dan ditemukan dalam bentuk campuran logam (aloy). Timah
umumnya digunakan untuk melapisi logam lainnya pada proses
pencegahan karat. Penambangan timah diperoleh terutama dari mineral
cassiterite yang terbentuk sebagai oksida. Jumlah cadangan timah di
Indonesia adalah nomor lima terbesar di dunia, yaitu 8,1% dari
cadangan timah dunia. Berdasarkan aspek produksi, Indonesia
menduduki peringkat ke-2, yaitu sebesar 26% dari jumlah produksi
dunia. Daerah-daerah yang mengandung timah di Indonesia
diantaranya, Bangkinang (Riau), Dabo (Pulau Singkep), Manggar
(Pulau Belitung), dan Ungai Liat (Pulau Bangka). Pabrik pelabuhan
bijih timah terdapat di Muntok (Pulau Belitung, Priyo, 2009).
2.2.4 TembagaTembaga merupakan logam yang dimanfaatkan untuk
berbagai keperluan, dari komponen listrik, koin, alat rumah tangga,
hingga komponen biomedik. Tembaga juga dapat dipadu dengan logam
lain hingga terbentuk logam paduan (aloy), seperti perunggu atau
monel. Logam ini juga dapat bersifat racun jika tembaga menumpuk
dalam tubuh akibat penggunaan alat masak berbahan tembaga. Proses
keracunan ini akan merusak hati manusia dan memacu
sirosis.Indonesia menduduki peringkat ke-7 untuk cadangan tembaga
dunia sekitar 4,1% dan menduduki peringkat ke-2 dari sisi produksi,
yaitu sebesar 10,4% dari produksi dunia. Daerah-daerah penghasil
tembaga utama di Indonesia adalah Cikotok (Jawa Barat), Kompara
(Papua), Sangkarapi (Sulawesi Selatan), Tirtamaya (Jawa Tengah).
Selain itu, terdapat juga di daerah Jambi dan Sulawesi Tengah.
2.2.5 NikelIndonesia mengandung cadangan nikel terbesar ke-8 di
dunia, yaitu 2,9% dari cadangan nikel dunia dan menduduki peringkat
ke-4 dunia dari sisi produksi sebesar 8,6%. Daerah-daerah penghasil
nikel Indonesia diantaranya, Bengkalis (Sumatra), Bolaang Mangondow
(Sulawesi Utara), Cikotok (Jawa Barat), Logas (Riau), Meuleboh (DI
Aceh), dan Rejang Lebong (Bengkulu). Sampai saat ini Indonesia
adalah negara yang memasok sekitar 50% kebutuhan nikel jepang
sehingga terjadi eksploitasi besar-besaran yang berakibat pada
pengurangan cadangan Nikel Indonesia. Jika sumber nikel baru tidak
ditemukan lagi, maka Indonesia hanya mempunyai cadangan nikel
sekitar 25 tahun lagi.
2.3 Kontroversi Pengelolaan Hasil Pertambangan IndonesiaFenomena
tambang di Indonesia dilingkupi dengan segala kompleksitas dan
kontradiksinya. Pada masa orde baru, pemerintah tebang pilih antara
PMA dengan PMDN (perusahaan penanaman modal dalam negeri) dalam
pengelolaan hasil tambang Indonesia. Sistem kapitalis yang dianut
para PMA yang diberi kewenangan oleh pemerintah Indonesia
mengindikasikan adanya ketidakberesan, karena satu sisi
pertambangan memungkinkan munculnya kompromi antara korporasi dan
pemerintah. Pada sisi lain juga memberi peluang bagi penyelenggara
negara untuk memanfaatkan posisi dan kemampuannya dalam perijinan
guna kepentingan pribadi. Pada sisi lain, ancaman dari pihak luar
dalam hal ini investor juga menambah kontroversi pengelolaan hasil
tambang di Indonesia. Pihak investor asing dapat pergi meninggalkan
Indonesia atau tidak berminat menanamkan modalnya di Indonesia jika
perangkat hukum yang diberlakukan tidak sesuai keinginan mereka.
Kontroversi lain yang muncul pada masalah pertambangan adalah
konflik dengan masyarakat sekitar daerah pertambangan. Akhir-akhir
ini banyak kasus yang terjadi di daerah pertambangan, namun yang
paling banyak menarik perhatian masyarakat Indonesia adalah yang
berkaitan dengan aktivitas PT. Freeport Indonesia di Papua Barat.PT
Freeport Indonesia (PTFI atau Freeport) adalah sebuah perusahaan
pertambangan yang mayoritas sahamnya dimiliki Freeport-McMoRan
Copper & Gold Inc. PT Freeport. Sejak tahun 1971, Freeport
Indonesia, masuk ke daerah keramat ini, dan membuka tambang
Erstberg. Sejak tahun 1971 itulah warga suku Amugme dipindahkan ke
luar dari wilayah mereka ke wilayah kaki pegunungan. Freeport
Indonesia telah melakukan eksplorasi di dua tempat di Papua,
masing-masing tambang Ertsberg (dari 1967 hingga 1988) dan tambang
Grasberg (sejak 1988), di kawasan Tembagapura, Kabupaten Mimika,
Provinsi Papua. Tambang Erstberg ini habis open-pit-nya pada 1989,
dilanjutkan dengan penambangan pada wilayah Grasberg dengan izin
produksi yang dikeluarkan Mentamben Ginandjar Kartasasmita pada
1996. Dalam izin ini, AMDAL produksi yang diizinkan adalah 300
ribu/ton/hari. Freeport-McMoRan berkembang menjadi perusahaan
dengan penghasilan US$ 6.555 miliar pada tahun 2007 dan menjadi
perusahaan tambang emas terbesar di seluruh dunia. Potensi tembaga
dan emas yang tersimpan di Grasberg dan Erstberg, serta pengelolaan
pertambangan Freeport yang tidak optimal bagi Negara Indonesia
mengakibatkan, manfaat ekonomi yang diperoleh pemerintah Indonesia
tidak maksimal. Bahkan, dapat dikatakan Indonesia mengalami
kerugian yang sangat besar karena tidak optimal, tidak adil, tidak
transparan dan bermasalahnya pengelolaan sumberdaya mineral itu.
2.3.1 Kontrak Karya yang Selalu Merugikan dari Generasi ke
GenerasiFreeport memperoleh kesempatan untuk mendulang mineral
berharga di Papua Barat melalui tambang Ertsberg sesuai Kontrak
Karya Generasi I (KK I) yang ditandatangani pada tahun 1967.
Freeport adalah perusahaan asing pertama yang mendapat manfaat KK
I. Dalam perjalanannya, Freeport telah berkembang dari perusahaan
yang relatif kecil menjadi salah satu raksasa dalam industri
pertambangan dunia. KK I dengan Freeport ini terbilang sangat
longgar, karena hampir sebagian besar materi kontrak tersebut
merupakan usulan yang diajukan oleh Freeport selama proses
negosiasi, artinya lebih banyak disusun untuk kepentingan Freeport.
Dalam operasi pertambangan, pemerintah Indonesia tidak mendapatkan
manfaat yang proposional dengan potensi ekonomi yang sangat besar
di wilayah pertambangan tersebut. Padahal posisi tawar pemerintah
Indonesia terhadap Freeport sangatlah tinggi, karena cadangan
mineral tambang yang dimiliki Indonesia di wilayah pertambangan
Papua sangat besar bahkan terbesar di dunia. Selain itu, permintaan
dunia akan tembaga, emas, dan perak di pasar dunia relatif terus
meningkat.Dengan kondisi cadangan mineral berharga yang besar,
Freeport memiliki jaminan atas pendapatan di masa mendatang.
Apalagi, bila ditambah dengan kenyataan bahwa biaya produksi yang
harus dikeluarkan relatif rendah, karena karakteristik tambang yang
open pit. Demikian pula emas yang semula hanya merupakan
by-product, dibanding tembaga, telah berubah menjadi salah satu
hasil utama pertambangan PT Freeport. Kontrak Karya I Freeport di
Papua Barat disusun berdasarkan UU No. 11 tahun 1967 antara
pemerintah Indonesia dengan Freeport Sulphur Company. Freeport
Indonesia bertindak sebagai kontraktor tunggal dalam eksplorasi,
ekploitasi, dan pemasaran tembaga Indonesia. Lahan eksplorasi
mencakup area seluas 10.908 hektar selama 30 tahun, terhitung sejak
kegiatan komersial pertama. KK I mengandung banyak sekali kelemahan
mendasar dan sangat menguntungkan pihak Freeport. Kelemahan
tersebut utamanya adalah sebagai berikut:a. Perusahaan yang
digunakan adalah Freeport Indonesia Incorporated, yakni sebuah
perusahaan yang terdaftar di Delaware, Amerika Serikat, dan tunduk
pada hukum Amerika Serikat. Dengan kata lain, perusahaan ini
merupakan perusahaan asing, dan tidak tunduk pada hukum
Indonesia.b. Dalam kontrak tidak ada kewajiban mengenai lingkungan
hidup, karena pada waktu penandatanganan KK pada tahun 1967 di
Indonesia belum ada UU tentang Lingkungan Hidup. Sebagai contoh,
akibat belum adanya ketentuan tentang lingkungan hidup ini, sejak
dari awal Freeport telah membuang tailing ke Sungai Aikwa sehingga
mengakibatkan kerusakan lingkungan.c. Pengaturan perpajakan sama
sekali tidak sesuai dengan pengaturan dalam UU Perpajakan yang
berlaku, baik jenis pajak maupun strukturnya. Demikian juga dengan
pengaturan dan tarif depresiasi yang diberlakukan, misalnya
Freeport tidak wajib membayar PBB atau PPN.d. Tidak sesuainya
struktur pajak maupun tarif pajak yang diberlakukan dalam KK I
dirasakan sebagai pelanggaran terhadap keadilan, baik terhadap
perusahaan lain, maupun terhadap Daerah. Freeport pada waktu itu
tidak wajib membayar selain PBB juga, land rent, bea balik nama
kendaraan, dan lain-lain, pajak yang menjadi pemasukan daerah.e.
Tidak ada kewajiban bagi Freeport untuk melakukan community
development. Akibatnya, keberadaan Freeport di Irian Jaya tidak
memberi dampak positif secara langsung terhadap masyarakat
setempat. Pada waktu itu, pertambangan tembaga di Pulau Bougenville
harus dihentikan operasinya karena gejolak sosial.f. Freeport
diberikan kebebasan dalam pengaturan manajemen dan operasi, serta
kebebasan dalam transaksi dalam devisa asing. Freeport juga
memperoleh kelonggaran fiskal, antara lain: tax holiday selama tiga
tahun pertama setelah mulai produksi. Untuk tahun berikutnya selama
tujuh tahun, Freeport hanya dikenakan pajak sebesar 35%. Setelah
itu, pajak yang dikenakan meningkat menjadi sekitar 41,75%.
Freeport juga dibebaskan dari segala jenis pajak lainnya dan dari
pembayaran royalti atas penjualan tembaga dan emas, kecuali pajak
penjualannya hanya 5%. Keuntungan yang sangat besar terus diraih
Freeport, hingga KK I diperpanjang menjadi KK II yang tidak
direnegosiasi secara optimal. Indonesia ternyata tidak mendapatkan
manfaat sebanding dengan keuntungan besar yang diraih Freeport.
Ketentuan-ketentuan fiskal dan finansial yang dikenakan kepada
Freeport ternyata jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan yang
berlaku pada negara-negara Asia dan Amerika Latin. Perpanjangan KK
II seharusnya memberi manfaat yang lebih besar, karena ditemukannya
potensi cadangan baru yang sangat besar di Grasberg. Kontrak telah
diperpanjang pada tahun 1991, padahal KK I baru berakhir pada tahun
1997. Kenyataan ini adalah kehendak orang-orang Amerika di
Freeport, dan merupakan indikasi adanya kepentingan pihak-pihak
yang terlibat dalam proses negosiasi untuk mendapat keuntungan
pribadi dari pertambangan di bumi Papua Barat itu. Adapun hal yang
menyangkut pengawasan atas kandungan mineral yang dihasilkan, dalam
KK I dan II Freeport, tidak ada satu pun yang menyebutkan secara
eksplisit bahwa seluruh operasi dan fasilitas pemurnian dan
peleburan harus seluruhnya dilakukan di Indonesia dan dalam
pengawasan Pemerintah Indonesia. Pasal 10 poin 4 dan 5 memang
mengatur tentang operasi dan fasilitas peleburan dan pemurnian
tersebut yang secara implisit menekankan perlunya proses pengolahan
metalurgi dilakukan di wilayah Indonesia, tapi tidak secara tegas
dan eksplisit bahwa hal tersebut seluruhnya (100%) harus dilakukan
atau berada di Indonesia. Hingga saat ini, hanya 29% saja dari
produksi konsentrat yang dimurnikan dan diolah di dalam negeri.
Sisanya (71%) dikirim ke luar negeri, di luar pengawasan langsung
pemerintah Indonesia. Di dalam KK Freeport, tidak ada satu pasal
pun yang secara eksplisit mengatur bahwa pemerintah Indonesia dapat
sewaktu-waktu mengakhiri Kontrak Freeport. Jika Freeport dinilai
melakukan pelanggaran-pelanggaran atau tidak memenuhi kewajibannya
sesuai dengan kontrak, maka KK tersebut juga tidak dapat dibatalkan
(aturan Conjunction). Sebaliknya, pihak Freeport dapat
sewaktu-waktu mengakhiri kontrak tersebut jika mereka menilai
pengusahaan pertambangan di wilayah kontrak pertambangannya sudah
tidak menguntungkan lagi secara ekonomis.2.4 Landasan Hukum
Landasan hukum utama yang berkaitan dengan wawasan kebangsaan dalam
pengelolaan hasil pertambangan Indonesia adalah didasari atas UUD
1945 pasal 33 ayat 1, 2, dan 3; pasal (1) Perekonomian disusun
sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan; pasal (2)
Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai
hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara; dan pasal (3) Bumi
dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh
negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Peraturan inti lainnya adalah UU No. 11 tahun 1967 tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan. UU ini telah menjerumuskan
bangsa Indonesia untuk tunduk kepada perusahaan asing (PMA) melalui
kontrak karya (KK). UU ini juga menebang pilih kesempatan
perusahaan lokal untuk bersaing dengan PMA karena PMA mendapatkan
seluruh ijin penambangan (eksplorasi, eksploitasi,
pengolahan/metalurgi, dan pemasaran). Ijin penambangan ini masih
diperluas dengan adanya Conjunction dan Lex specialis. Kegerahan
sebagian masyarakat Indonesia atas cacatnya UU No. 11/1967 memaksa
pemerintah dan DPR menggagas undang-undang baru, yaitu UU No. 4
tahun 2009 tentang pertambangan mineral dan batubara. UU No. 4/2009
tidak hanya mengatur hal-hal yang berkaitan langsung dengan
pertambangan, seperti pembatasan produksi dan ekspor hasil tambang,
luas wilayah usaha tambang, tetapi juga mengatur dampak usaha
pertambangan terhadap masyarakat dan lingkungan sekitarnya. UU ini
adalah bentuk penyempurnaan UU No. 11/1967. UU No. 4/2009 juga
disempurnakan oleh kebijakan pemerintah tahun 2014 mengenai
kewajiban perusahaan tambang harus melakukan pemurnian/metalurgi di
Indonesia.Industri pertambangan mineral dan batubara merupakan
industri yang padat modal (high capital), padat resiko (high risk),
dan padat teknologi (high technology). Selain itu, usaha
pertambangan juga tergantung pada faktor alam yang akan
mempengaruhi lokasi di mana cadangan bahan galian. Dengan
karakteristik kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara
tersebut maka diperlukan kepastian berusaha dan kepastian hukum di
dunia pertambangan minera dan batubara. Tahun 2009 merupakan babak
baru bagi pertambangan mineral dan batubara di Indonesia dengan
disahkannya UU No. 4, tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara (UU Minerba), menggantikan UU No. 11 Tahun 1967 tentang
ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan (UU No.11 tahun 1967).
Perubahan mendasar yang terjadi adalah perubahan dari sistem
kontrak karya (KK) dan PKP2B menjadi sistem perijinan, sehingga
pemerintah tidak lagi berada dalam posisi yang sejajar dengan
pelaku usaha dan menjadi pihak yang memberi ijin kepada pelaku
usaha di industri pertambangan Minerba. UU Minerba No. 4 tahun 2009
mengandung pokok-pokok pikiran sebagai berikut:1. Mineral dan
batubara sebagai sumber daya yang tak terbarukan dikuasai oleh
negara dan pengembangan serta pendayagunaannya dilaksanakan oleh
pemerintah pusat (Pemerintah) dan pemerintah daerah bersama dengan
pelaku usaha.2. Pemerintah selanjutnya memberikan kesempatan kepada
badan usaha yang berbadan hukum Indonesia, koperasi, perseorangan,
maupun masyarakat setempat untuk melakukan pengusahaan mineral dan
batubara berdasarkan izin, yang sejalan dengan otonomi daerah,
diberikan oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah sesuai dengan
kewenangannya masing-masing.3. Dalam rangka penyelenggaraan
desentralisasi dan otonomi daerah, pengelolaan pertambangan mineral
dan batubara dilaksanakan berdasarkan prinsip eksternalitas,
akuntabilitas, dan efisiensi yang melibatkan Pemerintah dan
pemerintah daerah.4. Usaha pertambangan harus memberi manfaat
ekonomi dan sosial yang sebesar-besar bagi kesejahteraan rakyat
Indonesia.5. Usaha pertambangan harus dapat mempercepat
pengembangan wilayah dan mendorong kegiatan ekonomi
masyarakat/pengusaha kecil dan menengah serta mendorong tumbuhnya
industri penunjang pertambangan.6. Dalam rangka terciptanya
pembangunan berkelanjutan, kegiatan usaha pertambangan harus
dilaksanakan dengan memperhatikan prinsip lingkungan hidup,
transparansi, dan partisipasi masyarakat.
Sistematika UU minerba No. 4/2009 adalah sebagai berikut:1.
Ketentuan Umum2. Asas dan Tujuan3. Penguasaan Mineral dan
Batubara4. Kewenangan Pengelolaan Pertambangan Mineral dan
Batubara5. Wilayah Pertambangan6. Usaha Pertambangan7. Izin Usaha
Pertambangan 8. Persyarataan Perizinan Usaha Pertambangan9. Izin
Pertambangan Rakyat10. Izin Usaha Pertambangan Khusus11.
Persyaratan Perizinan Usaha Pertambangan Khusus12. Data
Pertambangan13. Hak dan Kewajiban14. Penghentian Sementara Kegiatan
Izin Usaha Pertambangan dan Izin Usaha Pertambangan Khusus15.
Berakhirnya Izin Usaha Pertambangan dan Izin Usaha Pertambangan
Khusus16. Usaha Jasa Pertambangan17. Pendapatan Negara dan
Daerah18. Penggunaan Tanah untuk Kegiatan Usaha Pertambangan19.
Pembinaan, Pengawasan, dan Perlindungan Masyarakat20. Penelitian
dan Pengembangan serta Pendidikan dan Pelatihan21. Penyidikan22.
Sanksi Administratif23. Ketentuan Pidana24. Ketentuan Lain-lain25.
Ketentuan Peralihan26. Ketentuan Penutup
BAB IIIANALISIS PERMASALAHAN YANG BERKAITAN DENGAN KEBIJAKAN
PERTAMBANGAN DI INDONESIA
Wawasan kebangsaan dalam kerangka NKRI merupakan salah satu mata
diklat yang harus diikuti oleh seluruh peserta prajabatan golongan
III. Mata diklat ini bertujuan untuk membekali peserta prajabatan
dalam pemahaman tentang manajemen kepegawaian negara serta
peraturan pelaksanaannya yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas
sehari-hari pada unit kerja masing-masing. Masalah yang kami bahas
dalam tulisan ini mengangkat kasus yang menjadi masalah bangsa dan
kepentingan masyarakat Indonesia, yakni kebijakan pertambangan yang
selama ini memposisikan pihak asing terlalu strategis (terlalu
menguntungkan pihak asing). Bangsa Indonesia sendiri yang notabene
merupakan tuan rumah harus menjadi penonton di negeri sendiri,
ibarat ayam mati di tengah-tengah lumbung padi. Sebagai warga
negara yang berjiwa nasionalis terhadap NKRI, kondisi seperti ini
tidak dapat didiamkan terus-menerus. Dalam rangka menanggapi
kondisi tersebut, maka pada tanggal 12 Januari tahun 2009
Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) telah
resmi ditandatangani Presiden RI, yang disebut UU No. 4 tahun 2009,
menggantikan UU No. 11 tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Pertambangan. UU Minerba tidak mengenal lagi bentuk pengusahaan
pertambangan Kontrak Karya/Perjanjian Karya Pengusahaan
Pertambangan Batubara (PKP2B) berbasis kontrak/perjanjian
(privatrechtelijk), akan tetapi semuanya berbasis perizinan
(publiekrechtelijk) yang terdiri atas Izin Usaha Pertambangan
(IUP), Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) dan Izin Pertambangan
Rakyat (IPR), menggantikan Kuasa Pertambangan (KP).
3.1 Identifikasi masalahPermasalahan kebijakan pertambangan di
Indonesia yang selama ini menjadi perdebatan di kalangan politikus,
ekonom, akademisi, professional (praktisi) maupun masyarakat telah
merebak dimana-mana, sehingga dalam makalah ini kami mengangkat
beberapa masalah sebagai berikut: 1. Kebijakan peraturan pemerintah
di bidang pertambangan lebih berpihak kepada asing dalam pemberian
kontrak pertambangan dibandingkan dengan investor nasional
(lokal).2. KK dan PKP2B yang diberikan oleh pemerintah kepada
Penanaman Modal Asing (PMA) sangat merugikan bangsa Indonesia. 3.
Adanya mineral ikutan (by product) pada komoditas tambang yang
terambil oleh pihak penambang (asing) sangat merugikan negara.4.
Sulitnya kontrol produksi yang dapat dilakukan oleh pemerintah
terhadap konsentrat yang dibawa oleh pihak asing ke negaranya.
3.2 Prioritas MasalahMasalah-masalah yang telah diidentifikasi
selanjutkan dianalisis menggunakan pendekatan urgensi (urgent-U),
keseriusan (serious-S), dan dampak pada negara (growth-G), seperti
tertera pada Tabel 3.1. Analisis USG dilakukan dengan memberikan
skala penilaian 15 di mana nilai 1 (satu) adalah skala terendah dan
nilai 5 (lima) adalah skala tertinggi. Total nilai hasil analisis
USG terhadap masalah-masalah kemudian diprioritaskan dengan urutan
16 di mana prioritas pertama masalah yang terjadi adalah adanya
mineral ikutan (by product) pada komoditas tambang yang terambil
oleh pihak penambang (asing) sehingga sangat merugikan negara.
Tabel 3.1 Analisis USG terhadap masalah-masalah yang muncul
akibat kebijakan pemerintah di sektor pertambangan mineral dan
batubara.
MasalahUSGTotalPrioritas
Kebijakan pemerintah yang berpihak kepada asing.344112
Adanya mineral ikutan yang diambil oleh pihak asing.555151
Sulitnya kontrol produksi yang dilakukan oleh
pemerintah.23273
3.3 Deskripsi MasalahSeperti yang diperlihatkan pada Tabel 3.1,
hasil analisis USG memperlihatkan bahwa masalah mineral ikutan (by
product) menempati prioritas pertama dengan total nilai 15. Mineral
ikutan merupakan mineral yang memiliki nilai ekonomis bahkan
terkadang lebih tinggi daripada komoditas utama yang ditambang.
Bila masalah ini didiamkan dan dibiarkan terus-menerus, maka
kerugian yang dialami oleh negara semakin besar. Akar permasalahan
kerugian ini adalah kebijakan perundang-undangan sektor
pertambangan yang belum dapat menjamin atmosfer pertambangan yang
kondusif dan menguntungkan buat negara.
3.4 Analisis masalahMasalah yang dapat menimbulkan kerugian
terhadap negara selanjutnya dianalisis dengan metode tulang ikan
(fishbone). Hasil analisis tulang ikan terhadap permasalahan ini
ditampilkan pada Gambar 3.1. Pokok permasalahannya adalah
eksploitasi hasil tambang yang terjadi di PT. Freeport yang
mendorong lahirnya UU No. 4 tahun 2009, seperti yang terdapat pada
bagian kepala ikan pada Gambar 3.1. Pada kasus ini, undang-undang
tersebut diharapkan dapat diimplementasikan dengan baik oleh semua
pemangku kepentingan di sektor pertambangan.
Gambar 3.1. Analisis tulang ikan terhadap masalah yang terjadi
di PT. Freeport
Kompleksitas permasalahan tersebut akan dijabarkan secara rinci
sebagai berikut:1. Landasan hukum.Masih lemahnya UU No. 11 tahun
1967 tentang ketentuan-ketentuan pokok pertambangan.2. Bidang
politik.Banyaknya kepentingan politik oleh aparatur negara yang
terjadi di PT. Freeport.3. Sumberdaya manusia.Masih minimnya
pengetahuan penyelenggara negara (pemerintah) mengenai mineral
ikutan yang terdapat pada komoditas tambang dan masih rendahnya
kompetensi masyarakat Papua terhadap sektor pertambangan.4. Sistem
pengawasan pada sektor pertambangan yang belum optimal yang
berkaitan dengan mineral ikutan.5. Kewenangan dan lembaga
pengawasan.Kewenangan dan pengawasan kelembagaan belum efektif.6.
Sektor ekonomi.Pembagian keuntungan hasil tambang antara pemerintah
dan PT. Freeport tidak proprosional.
3.5 Solusi dan Rencana AksiPenyelesaian masalah yang dikemukakan
pada makalah ini adalah sebagai berikut:1. Untuk mengatasi kerugian
negara di bidang pertambangan maka lahirlah produk hukum berupa UU
No. 4 tahun 2009 tentang mineral dan batubara sebagai pengganti UU
No. 11 1967 tentang ketentuan-ketentuan pokok pertambangan.2. UU
No. 4 tahun 2009 masih memiliki beberapa kelemahan-kelemahan
sehingga pemerintah memberikan solusi dengan mengeluarkan PP No. 23
tahun 2010 tentang pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan mineral
dan batubara, PP No. 55 tahun 2010 tentang pembinaan dan pengawasan
penyelenggaraan pengelolaan usaha pertambangan mineral dan
batubara, Permen ESDM No. 7 tahun 2012 tentang peningkatan nilai
tambah mineral melalui kegiatan pengolahan dan pemurnian mineral
dan pencarian kepastian hukum berusaha di sektor pertambangan
batubara.3. Untuk memberikan devisa yang optimal bagi negara maka
solusi yang harus ditempuh adalah melarang PMA untuk mengekspor
hasil tambang setengah jadi (konsentrat) keluar dari Indonesia.
Konsekuensi logisnya adalah semua PMA diwajibkan untuk membangun
pabrik pengolahan dan pemurnian di Indonesia agar pemerintah dan
masyarakat Indonesia dapat mengontrol mineral ikutan dalam rangka
meningkatkan nilai tambah bagi negara.4. Pembentukan tim
investigasi dan pengawas (inspektur tambang) pada PT. Freeport pada
khususnya dan perusahaan tambang lainnya pada umumnya.
Rencana aksi yang diusulkan untuk menyelesaikan masalah terkait
pengolahan pertambangan di Indonesia adalah Pembentukan Tim
Investigasi dan Pengawas Pertambangan PT. Freeport. Usulan rencana
aksi tersebut tertera pada Tabel 3.2.Tabel 3.2 Rencana aksi untuk
menyelesaikan masalah pengelolaan hasil tambang di Indonesia, studi
kasus PT Freeport Indonesia
BAB IVSIMPULAN DAN SARAN
4.1SimpulanSimpulan pembahasan masalah yang telah kami uraikan
di atas adalah:1. Kerugian negara di bidang pertambangan dapat
dikurangi dengan adanya UU No. 4 tahun 2009 tentang mineral dan
batubara sebagai pengganti UU No. 11 tahun 1967 tentang
ketentuan-ketentuan pokok pertambangan.2. Akibat masih adanya
kelemahan-kelemahan yang terdapat pada UU No. 4 tahun 2009 maka
pemerintah mengeluarkan PP No. 23 tahun 2010, PP No. 55 tahun 2010
dan Permen ESDM No. 7 tahun 2012.3. Untuk mengatasi masalah mineral
ikutan agar dapat memberikan nilai tambah bagi negara, maka
pemerintah harus mewajibkan PMA untuk melakukan pengolahan dan
pemurnian mineral di dalam negeri (PMA wajib mendirikan pabrik
metalurgi di Indonesia).4. Untuk mengimplementasikan cita-cita
luhur dalam UUD 1945 pasal 33 dan UU No. 4 tahun 2009 dalam rangka
wawasan kebangsaan NKRI, maka perlu dibentuk tim pengawas di sektor
pertambangan yang dapat menciptakan iklim bisnis sektor
pertambangan yang kondusif, transparan dan akutabilitas.
4.2 SaranSaran untuk perbaikan system pengelolaan hasil
pertambangan di Indonesia adalah sebagai berikut:1. Agar
manifestasi dari UU No. 4 tahun 2009 dapat terlaksana dengan baik,
perlu dilakukan peningkatan kompetensi pada semua pemangku
kepentingan yang berhubungan dengan sektor pertambangan.2. Harus
ada kesadaran dan keberanian dari pemerintah untuk membuat
kebijakan yang berpihak kepada bangsa sendiri.
Ucapan terima kasihTerima kasih kami sampaikan khususnya kepada
Ibu Dra. Kokom Komala, M. Pd. selaku widyaiswara atas kepercayaan
yang diberikan kepada kelompok kami (kelompok 6) untuk menyusun
tugas mata kuliah Wawasan Kebangsaan Dalam Kerangka NKRI. Kepada
bapak dan ibu widyaiswara yang lainnya tak lupa pula kami sampaikan
terima kasih atas bimbingannya selama prajabatan gelombang 1
golongan III angkatan ke-1. Begitu juga kepada teman-teman peserta
prajabatan, terima kasih atas kerjasamanya.
DAFTAR PUSTAKA
Berita Resmi Statistika, Badan Pusat Statistik, No. 15/03/Th.
XIV, 1 Maret 2011.
Irwandi Arif, Seminar Nasional Lingkungan, Makasar 2009:
permasalahan dan tantangan industri pertambangan di masa akan
datang
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2010 tentang
Pelaksanaan Kegiatan penambangan dan batubara.
PP Nomor 55 Tahun 2010 tentang pembinaan dan pengwasan
penyelenggaraan pengelolaan pertambangan mineral dan batu bara.
Peraturan Menteri (Permen ESDM) Nomor 7 tahun 2012 tentang
peningkatan nilai tambah mineral melalui kegiatan pengolahan dan
pemurnian mineral dan pencarian kepastian hukum perusahaan di
sektor pertambangan batubara.
Priyo Pribadi, Seminar Nasional Lingkungan, Makasar 2009:
pengembangan wilayah berbasis sumberdaya mineral
Pusbangtendik, 2011. Wawasan Kebangsaan dalam Kerangka NKRI.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan
Pokok Pertambangan.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral
dan Batubara.
UUD 1945 pasal 33 ayat 1, 2, dan 3.
http://roeslyblog.wordpress.com/2011/05/31/tambang/
http://www.tarungnews.com/fullpost/berita-foto/1318444577/tambang-emas-freeport-kekayaan-negara-yang-terampas.html
26