Yogyakarta, Jumat 13 Februari 2015 Page 1 PENGAJIAN JUMAT PETANG BA’DA MAGHRIB KAJIAN HADITS TEMATIK MASJID MARGO RAHAYU NAMBURAN KIDUL YOGYAKARTA Wasiat Rasulullah Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam Kepada Abu Dzar Al-Ghifari . “Dari Abu Dzar radhiyallâhu ‘anhu, ia berkata: “Kekasihku (Rasulullah) Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam berwasiat kepadaku dengan tujuh hal: (1) supaya aku mencintai orang-orang miskin dan dekat dengan mereka, (2) beliau memerintahkan aku agar aku melihat kepada orang yang berada di bawahku dan tidak melihat kepada orang yang berada di atasku, (3) beliau memerintahkan agar aku menyambung silaturrahimku meskipun mereka berlaku kasar kepadaku, (4) aku dianjurkan agar memerbanyak ucapan lâ haulâ walâ quwwata illâ billâh (tidak ada daya dan upaya kecuali dengan pertolongan Allah), (5) aku diperintah untuk mengatakan kebenaran meskipun pahit, (6) beliau berwasiat agar aku tidak takut celaan orang yang mencela dalam berdakwah kepada Allah, dan (7) beliau melarang aku agar tidak meminta-minta sesuatu pun kepada manusia.” (Hadits Riwayat ath-Thabrani, Al-Mu’jam al-Kabîr, juz II, hal. 217, hadits no. 1626; Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad ibn Hanbal, juz V, hal. 159, hadits no. 21453 dan Al-Baihaqi, Syu’ab al-Îmân, juz V, hal. 104, hadits no. 3156, dari dari Abu Dzar. Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani menyatakan bahwa hadits ini shahih. Lihat: Shahîh at-Targhîb wa at-Tarhîb, juz I, hal. 199, hadits no. 811) Penjelasan Hadits di atas mengajarkan kepada diri kita – umat Islam – untuk melaksakan amal shalih dan meninggalkan perbuatan tercela. Pertama: Mencintai Orang-orang Miskin dan Dekat Dengan Mereka. Wasiat yang Rasulullah Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam tujukan untuk Abu Dzar ini, pada hakikatnya adalah wasiat untuk umat Islam secara umum. Dalam
18
Embed
Wasiat rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam kepada abu dzar al ghifari
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Yogyakarta, Jumat 13 Februari 2015 Page 1
PENGAJIAN JUMAT PETANG BA’DA MAGHRIB
KAJIAN HADITS TEMATIK MASJID MARGO RAHAYU NAMBURAN KIDUL YOGYAKARTA
Wasiat Rasulullah Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam
Kepada Abu Dzar Al-Ghifari
.
“Dari Abu Dzar radhiyallâhu ‘anhu, ia berkata: “Kekasihku (Rasulullah) Shallallâhu
‘Alaihi wa Sallam berwasiat kepadaku dengan tujuh hal: (1) supaya aku mencintai orang-orang miskin dan dekat dengan mereka, (2) beliau memerintahkan aku agar aku melihat kepada orang yang berada di bawahku dan tidak melihat kepada orang yang berada di atasku, (3) beliau memerintahkan agar aku menyambung silaturrahimku
meskipun mereka berlaku kasar kepadaku, (4) aku dianjurkan agar memerbanyak ucapan lâ haulâ walâ quwwata illâ billâh (tidak ada daya dan upaya kecuali dengan pertolongan Allah), (5) aku diperintah untuk mengatakan kebenaran meskipun pahit, (6) beliau berwasiat agar aku tidak takut celaan orang yang mencela dalam berdakwah kepada
Allah, dan (7) beliau melarang aku agar tidak meminta-minta sesuatu pun kepada
manusia.” (Hadits Riwayat ath-Thabrani, Al-Mu’jam al-Kabîr, juz II, hal. 217,
hadits no. 1626; Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad ibn Hanbal, juz V, hal. 159,
dari dari Abu Dzar. Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani menyatakan
bahwa hadits ini shahih. Lihat: Shahîh at-Targhîb wa at-Tarhîb, juz I, hal. 199,
hadits no. 811)
Penjelasan
Hadits di atas mengajarkan kepada diri kita – umat Islam – untuk melaksakan amal shalih dan meninggalkan perbuatan tercela.
Pertama: Mencintai Orang-orang Miskin dan Dekat Dengan Mereka. Wasiat yang Rasulullah Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam tujukan untuk Abu
Dzar ini, pada hakikatnya adalah wasiat untuk umat Islam secara umum. Dalam
Yogyakarta, Jumat 13 Februari 2015 Page 2
hadits ini, Nabi Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam berwasiat kepada Abu Dzar agar
mencintai orang-orang miskin dan dekat dengan mereka. Kita sebagai ummat
Islam hendaknya menyadari bahwa nasihat Beliau (Rasulullah) Shallallâhu
‘Alaihi wa Sallam ini tertuju juga kepada kita semua.
Orang-orang miskin yang dimaksud, adalah mereka yang hidupnya
tidak berkecukupan, tidak punya kepandaian untuk mencukupi kebutuhannya,
dan mereka tidak mau meminta-minta kepada manusia. Pengertian ini sesuai dengan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
. "Orang miskin itu bukanlah mereka yang berkeliling meminta-minta kepada orang lain agar diberikan sesuap dan dua suap makanan dan satu-dua butir kurma.” Para sahabat bertanya: “Ya Rasulullah, (kalau begitu) siapa yang dimaksud orang miskin itu?” Beliau menjawab,"Mereka ialah orang yang hidupnya tidak berkecukupan, dan dia tidak
mempunyai kepandaian untuk itu, lalu dia diberi shadaqah (zakat), dan mereka tidak
mau meminta-minta sesuatu pun kepada orang lain.”1
Islam menganjurkan umatnya berlaku tawadhu` terhadap orang-orang miskin, duduk bersama mereka, menolong mereka, serta bersabar bersama
mereka.
Ketika Rasulullah Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam berkumpul bersama
orang-orang miskin, datanglah beberapa pemuka Quraisy hendak berbicara dengan Beliau (Rasulullah) Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam, tetapi mereka enggan
duduk bersama dengan orang-orang miskin itu, lalu mereka menyuruh beliau agar mengusir orang-orang fakir dan miskin yang berada bersama beliau. Maka
masuklah dalam hati beliau keinginan untuk mengusir mereka, dan ini terjadi
dengan kehendak Allah Subhânahu wa Ta’ala. Lalu turunlah ayat:
1HR Muslim, Shahîh Muslim, juz III, hal. 95, hadits no. 2440 dan an-Nasâ`i,
Sunan an-Nasâiy, juz V, hal. 85, hadits no. 2572, dari Abu Hurairah radhiyallâhu ‘anhu.
Yogyakarta, Jumat 13 Februari 2015 Page 3
“Janganlah engkau mengusir orang yang menyeru Rabb-nya di pagi dan petang hari,
mereka mengharapkan wajah-Nya.” (QS al-An’âm/6: 52).2[2]
Mencintai orang-orang miskin dan dekat dengan mereka, yaitu dengan membantu dan menolong mereka, bukan sekadar dekat dengan mereka. Apa
yang ada pada kita, kita berikan kepada mereka karena kita akan diberikan kemudahan oleh Allah Subhânahu wa Ta’ala dalam setiap urusan, dihilangkan
kesusahan pada hari Kiamat, dan memeroleh pahala yang besar.
Rasulullah Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
... “Barangsiapa menghilangkan satu kesusahan dunia dari seorang mukmin, Allah akan menghilangkan darinya satu kesusahan di hari Kiamat. Dan barangsiapa yang memudahkan kesulitan orang yang dililit utang, Allah akan memudahkan atasnya di
dunia dan akhirat…”3
Beliau (Rasulullah) Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam juga bersabda:
.
"Orang yang membiayai kehidupan para janda dan orang-orang miskin bagaikan orang yang berjihad fî sabîlillâh.” –Saya (perawi) kira beliau bersabda-, “Dan bagaikan orang
yang shalat tanpa merasa bosan serta bagaikan orang yang berpuasa terus-menerus.”4
Rasulullah Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam selalu berkumpul bersama
orang-orang miskin, sampai-sampai beliau berdo’a kepada Allah agar
dihidupkan dengan tawadhu’, akan tetapi beliau mengucapkannya dengan kata "miskin".
Sunan ibn Mâjah, juz V, hal. 243, hadits no. 4128, dan Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qurân al-‘Azhîm, juz III, hal. 90.
3HR Muslim, Shahîh Muslim, juz VIII, hal. 71, hadits no. 7028; At-Tirmidz, Sunan at-Tirmidzi, juz IV, hal. 34, hadits no. 1425; Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, juz II, hal. 252, hadits no. 7421; Ath-Thabrani, Al-Mu’jam al-Kabîr, XIV, 30. Hadits no. 15682; dan Al-Baihaqi, Syu’ab al-Îmân, III, 218, hadits no. 1572; dari Abu Hurairah radhiyallâhu ‘anhu.
4HR al-Bukhari, Shahîh al-Bukhâriy, juz VIII, hal. 11, hadits no. 6007 dan Muslim, Shahîh Muslim, juz VIII, hal. 221, hadits no. 7659, dari Abu Hurairah.
Yogyakarta, Jumat 13 Februari 2015 Page 4
. “Ya Allah, hidupkanlah aku dalam keadaan miskin, matikanlah aku dalam keadaan miskin, dan kumpulkanlah aku bersama rombongan orang-orang miskin.”5
Ini adalah doa dari beliau Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam agar Allah
Subhânahu wa Ta’ala memberikan sifat tawadhu` dan rendah hati, serta agar
tidak termasuk orang-orang yang sombong lagi zhalim maupun orang-orang
kaya yang melampaui batas. Makna hadits ini bukanlah meminta agar beliau menjadi orang miskin, sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibnu Atsir
rahimahulâh, bahwa kata "miskin" dalam hadits di atas adalah tawadhu’.6 Sebab, di dalam hadits yang lain Rasulullah Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam
berlindung dari kefakiran.7
Beliau berdoa seperti ini, karena beliau mengetahui bahwa orang-orang miskin akan memasuki surga lebih dahulu daripada orang-orang kaya. Tenggang waktu antara masuknya orang-orang miskin ke dalam surga sebelum orang kaya
dari kalangan kaum muslimin adalah setengah hari, yaitu lima ratus tahun.
Rasulullah Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
.
“Orang-orang faqir kaum Muslimin akan memasuki surga sebelum orang-orang kaya
(dari kalangan kaum Muslimin) selama setengah hari, yaitu lima ratus tahun.”8
Orang–orang miskin yang masuk surga ini, adalah mereka yang taat
kepada Allah, mentauhidkan-Nya dan menjauhi perbuatan syirik, menjalankan sunnah dan menjauhi perbuatan bid’ah, menjalankan perintah-perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya.
5HR At-Tirmidzi, Sunan at-Tirmidzi, juz IV, hal. 577, hadits no. 2352 dari Anas
bin Malik; Ibnu Majah, Sunan ibn Mâjah, juz V, hal. 240, hadits no. 4126 dari Abu Sa’id al-Khudriy; dan Al-Baihaqi, As-Sunan al-Kubrâ, juz VII, hal. 12, hadits no. 13530 dari Anas bin Malik.
6Lihat: Ibn al-Atsir, An-Nihâyah fî Gharîb al-Hadîts, juz (II, hal. 385. 7Lihat: HR an-Nasâ`i, Sunan an-Nasâ’i, juz VIII, hal. 265 dan 268) dan al-
Hakim. Al-Mustadrak, juz I, hal. 531. 8HR Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad ibn Hanbal, juz II, hal. 243, hadits no.
Sebab terlambatnya orang-orang kaya memasuki surga selama lima
ratus tahun, adalah karena semua harta mereka akan dihitung dan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Subhânahu wa Ta’ala.
Dalam hadits yang lain Rasulullah Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam berdo’a
agar mencintai orang-orang miskin. Rasulullah Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam
bersabda:
.
“Ya Allah, aku memohon kepada-Mu agar aku dapat melakukan perbuatan-perbuatan baik, meninggalkan perbuatan munkar, mencintai orang miskin, dan agar Engkau
mengampuni dan menyayangiku. Jika Engkau hendak menimpakan suatu fitnah (malapetaka) pada suatu kaum, maka wafatkanlah aku dalam keadaan tidak terkena fitnah itu. Dan aku memohon kepada-Mu rasa cinta kepada-Mu, rasa cinta kepada orang-orang yang mencintaimu, dan rasa cinta kepada segala perbuatan yang
mendekatkanku untuk mencintai-Mu.”9
Selain itu, dengan menolong orang-orang miskin dan lemah, kita akan memeroleh rezeki dan pertolongan dari Allah Subhânahu wa Ta’ala.
Rasulullah Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
“Kalian hanyalah mendapat pertolongan dan rezeki dengan sebab adanya orang-orang
lemah dari kalangan kalian.”10
Beliau Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam juga bersabda:
9HR Malik bin Anas, Al-Muwaththa’, juz I, hal 218., hadits no. 508; At-
Tirmidzi, Sunan at-Tirmidzi, juz V, hal. 366, hadits no. 3233 ; Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad ibn Hanbal, juz V, hal. 243, hadits no. 22162; Al-Hakim, Al-Mustadrak, juz I, hal. 708, hadits no. 1932; Ath-Thabrani, Al-Mu’jam al-Kabîr, juz XV, hal. 22, hadits no. 16640; dan Al-Baihaqi, Ad-Da’awât al-Kabîr, juz I, hal. 294, hadits no. 207, dari Tsauban.
10HR al-Bukhari dari Mush’ab bin Sa’ad bin Abi Waqqash, Shahîh al-Bukhâriy, juz IV, hal. 44, hadits no. 2896;
Yogyakarta, Jumat 13 Februari 2015 Page 6
.
“Sesungguhnya Allah menolong ummat ini dengan sebab orang-orang lemah mereka di
antara mereka, yaitu dengan doa, shalat, dan keikhlasan mereka.”11[11]
Kedua: Melihat Kepada Orang Yang Lebih Rendah Kedudukannya
Dalam Hal Materi dan Penghidupan Rasulullah Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan kita agar
melihat orang yang berada di bawah kita dalam masalah kehidupan dunia dan
mata pencaharian. Tujuan dari hal itu, agar kita tetap mensyukuri nikmat yang
telah Allah berikan kepada kita. Rasulullah Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam
bersabda:
. “Lihatlah kepada orang yang berada di bawahmu dan jangan melihat orang yang berada di atasmu, karena yang demikian lebih patut, agar kalian tidak meremehkan nikmat
Allah yang telah diberikan kepadamu.”12
Nabi Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam melarang seorang Muslim melihat
kepada orang yang di atas. Maksudnya, jangan melihat kepada orang kaya, banyak harta, kedudukan, jabatan, gaji yang tinggi, kendaraan yang mewah,
rumah mewah, dan lainnya. Dalam kehidupan dunia terkadang kita melihat kepada orang-orang yang berada di atas kita. Hal ini merupakan kesalahan yang fatal. Dalam masalah tempat tinggal, misalnya, terkadang seseorang hidup
bersama keluarganya dengan "mengontrak rumah", maka dengan keadaannya ini hendaklah ia bersyukur karena masih ada orang-orang yang tidak memiliki
tempat tinggal dan tidur beratapkan langit. Begitu pun dalam masalah penghasilan, terkadang seseorang hanya mendapat nafkah yang hanya cukup
untuk makan hari yang sedang dijalaninya saja, maka dalam keadaan ini pun ia harus tetap bersyukur karena masih ada orang-orang yang tidak memiliki penghasilan dan ada orang yang hanya hidup dari menggantungkan harapannya
kepada orang lain.
Sedangkan dalam masalah agama, ketaatan, pendekatan diri kepada Allah, meraih pahala dan surga, maka sudah seharusnya kita melihat kepada
orang yang berada di atas kita, yaitu para nabi, orang-orang yang jujur, para
11HR An-Nasâ’i dari Mush’ab bin bin Sa’ad dari Ayahnya (Sa’ad bin Abi
syuhada’, dan orang-orang yang shalih. Apabila para salaf ash-shâlih sangat
bersemangat dalam melakukan shalat, puasa, shadaqah, membaca al-Qur`ân,
dan perbuatan baik lainnya, maka kita pun harus berusaha melakukannya seperti mereka. Dan inilah yang dinamakan berlomba-lomba dalam kebaikan.
Dalam masalah berlomba-lomba meraih kebaikan ini, Allah Subhânahu
wa Ta’ala berfirman:
“Dan untuk yang demikian itu, hendaknya orang berlomba-lomba.” (QS al-
Muthaffifîn/83: 26).
Rasulullah Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan kita melihat
kepada orang yang berada di bawah kita dalam masalah dunia, agar kita menjadi orang-orang yang bersyukur dan qana’ah. Yaitu merasa cukup dengan apa yang Allah telah karuniakan kepada kita, tidak hasad dan tidak iri kepada
manusia.
Apabila seorang muslim hanya mendapatkan makanan untuk hari yang sedang ia jalani sebagai kenikmatan yang paling besar baginya. Rasulullah
Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam telah menyinggung hal ini dalam sabdanya:
. “Siapa saja di antara kalian yang merasa aman di tempat tinggalnya, diberikan kesehatan pada badannya, dan ia memiliki makanan untuk harinya itu, maka seolah-
olah ia telah memiliki dunia seluruhnya.”13
Abu Dzar radhiyallâhu ‘anhu adalah teladan kita dalam hal ini. Beliau
mencari makan untuk hari yang sedang dijalaninya, sedangkan untuk esok harinya beliau mencarinya lagi. Beliau melakukan yang demikian itu terus-
menerus dalam kehidupannya. Mudah-mudahan Allah meridhai beliau.
Ketiga: Menyambung Silaturrahim, Meskipun Karib Kerabat Berlaku
Kasar. Imam Ibnu Manzhur rahimahullâh berkata tentang silaturrahim: “Al-
Imam Ibnu al-Atsir rahimahullâh berkata: ‘Silaturrahim adalah ungkapan mengenai perbuatan baik kepada karib kerabat karena hubungan senasab atau
13HR At-Tirmidzi dari ‘Ubaidullah bin Mihshan al-Khathmi dari Ayahya, Sunan
at-Tirmidzi, juz IX, hal. 150, hadits no. 2517.
Yogyakarta, Jumat 13 Februari 2015 Page 8
karena perkawinan, berlemah lembut kepada mereka, menyayangi mereka, memerhatikan keadaan mereka, meskipun mereka jauh dan berbuat jahat.
Sedangkan memutus silaturrahim, adalah lawan dari hal itu semua’.”14 Dari pengertian di atas, maka silaturrahim hanya ditujukan pada orang-
orang yang memiliki hubungan kerabat dengan kita, seperti kedua orang tua, kakak, adik, paman, bibi, keponakan, sepupu, dan lainnya yang memiliki
hubungan kerabat dengan kita.
Sebagian besar kaum muslimin salah dalam menggunakan kata silaturrahim. Mereka menggunakannya untuk hubungan mereka dengan rekan-rekan dan kawan-kawan mereka. Padahal silaturrahim hanyalah terbatas pada
orang-orang yang memiliki hubungan kekerabatan dengan kita. Adapun kepada
orang yang bukan kerabat, maka yang ada hanyalah Ukhuwwah Islamiyyah
(persaudaraan Islam).
Silaturrahim yang hakiki bukanlah menyambung hubungan baik dengan orang yang telah berbuat baik kepada kita, namun silaturrahim yang
hakiki adalah menyambung hubungan kekerabatan yang telah retak dan putus, dan berbuat baik kepada kerabat yang berbuat jahat kepada kita. Rasulullah Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
.
“Orang yang menyambung kekerabatan bukanlah orang yang membalas kebaikan, tetapi
orang yang menyambungnya adalah orang yang menyambung kekerabatannya apabila
diputus.”15
Imam al-‘Allamah ar-Raghib al-Asfahani rahimahullâh menyatakan bahwa rahim berasal dari kata rahmah yang berarti lembut, yang memberi
konsekuensi berbuat baik kepada orang yang disayangi.16 Ar-Rahîm, adalah salah satu nama Allah. Rahîm (kekerabatan), Allah
letakkan di ‘Arsy.
Rasulullah Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
.
14Lisân al-‘Arab, Juz XV, hal. 318. 15HR al-Bukhari dari ‘Abdullah bin ‘Amr al-‘Ash, Shahîh al-Bukhâriy, juz VIII,
“Rahîm (kekerabatan) itu tergantung di ‘Arsy. Dia berkata,"Siapa yang
menyambungku, Allah akan menyambungnya. Dan siapa yang memutuskanku,
Allah akan memutuskannya.”17
Menyambung silaturrahim dan berbuat baik kepada orang tua adalah wajib berdasarkan dalil-dalil dari Al-Qur`ân dan as-Sunnah. Sebaliknya, memutus silaturrahim dan durhaka kepada orang tua adalah haram dan
termasuk dosa besar.
Allah Subhânahu wa Ta’ala berfirman:
“… dan memutuskan apa yang diperintahkan Allah untuk disambungkan…” (QS al-
Baqarah/2: 27).
Dalam menafsirkan ayat di atas, al-Imam Ibnu Jarir ath-Thabari
berkata: “Pada ayat di atas, Allah menganjurkan hamba-Nya agar menyambung hubungan kerabat dan orang yang memiliki hubungan rahim, serta tidak
memutuskannya”.18
Rasulullah Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam mengaitkan antara
menyambung silaturrahim dengan keimanan terhadap Allah dan hari Akhir.
Beliau (Rasulullah) Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
. “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhir, hendaklah ia menyambung silaturrahim.”19
Dengan bersilaturrahim, Allah akan melapangkan rezeki dan
memanjangkan umur kita. Sebaliknya, orang yang memutuskan silaturrahim, Allah akan sempitkan rezekinya atau tidak diberikan keberkahan pada hartanya.
Adapun haramnya memutuskan silaturrahim telah dijelaskan oleh Rasulullah Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam dalam sabdanya:
.
17HR Muslim dari ‘Aisyah r.a., Shahîh Muslim, juz VIII, hal. 7, hadits no. 6683. 18Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân Fî Ta’wîl al-Qurân, juz I, hal. 221. 19HR al-Bukhari ‘Uqbah bin ‘Amir, Shahîh al-Bukhâriy, juz VIII, hal. 39, hadits
no. 6138.
Yogyakarta, Jumat 13 Februari 2015 Page 10
“Tidak masuk surga orang yang memutuskan silaturrahim.”20
Bersilaturrahim dapat dilakukan dengan cara mengunjungi karib kerabat, menanyakan kabarnya, memberikan hadiah, bersedekah kepada mereka
yang miskin, menghormati mereka yang berusia lebih tua dan menyayangi yang lebih muda dan lemah, serta menanyakan terus keadaan mereka, baik dengan
cara datang langsung, melalui surat, maupun dengan menghubunginya lewat telepon ataupun short message service (sms). Bisa juga dilakukan dengan meminta
mereka untuk bertamu, menyambut kedatangannya dengan suka cita,
memuliakannya, ikut senang bila mereka senang dan ikut sedih bila mereka sedih, mendoakan mereka dengan kebaikan, tidak hasad (dengki) terhadapnya,
mendamaikannya bila berselisih, dan bersemangat untuk mengokohkan hubungan di antara mereka. Bisa juga dengan menjenguknya bila sakit,
memenuhi undangannya, dan yang paling mulia ialah bersemangat untuk berdakwah dan mengajaknya kepada hidayah, tauhid, dan Sunnah, serta menyuruh mereka melakukan kebaikan dan melarang mereka melakukan dosa
dan maksiat.
Hubungan baik ini harus terus berlangsung dan dijaga kepada karib kerabat yang baik dan istiqamah di atas Sunnah. Adapun terhadap karib kerabat
yang kafir atau fasik atau pelaku bid’ah, maka menyambung kekerabatan dengan mereka dapat melalui nasihat dan memberikan peringatan, serta berusaha dengan sungguh-sungguh dalam melakukannya.21
Silaturrahim yang paling utama adalah silaturrahim kepada kedua
orang tua. Orang tua adalah kerabat yang paling dekat, yang memiliki jasa yang sangat besar, mereka memberikan kasih dan sayangnya sepanjang hidup mereka.
Maka tidak aneh jika hak-hak mereka memiliki tingkat yang besar setelah beribadah kepada Allah. Di dalam al-Qur`ân terdapat banyak ayat yang memerintahkan kita agar berbakti kepada kedua orang tua.
Birrul-walidain adalah berbuat baik kepada kedua orang tua, baik berupa
bantuan materi, doa, kunjungan, perhatian, kasih sayang, dan menjaga nama baik pada saat keduanya masih hidup maupun setelah keduanya meninggal
dunia. Birrul-walidain adalah perbuatan baik yang paling baik.
Diriwayatkan dari Sahabat ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallâhu ‘anhu,
ia berkata: Aku bertanya kepada Rasulullah Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam:
Muslim, Shahîh Muslim, juz VIII, hal. 7, hadits no. 6684. dari Jubair bin Muth’im.. 21Lihat: Syaikh Muhammad bin Ibrahim al-Hamd, Qathî`ah ar-Rahim: Al-
Mazhâhir al-Asbâb Subul al-‘Ilâj, hal. 21-22.
Yogyakarta, Jumat 13 Februari 2015 Page 11
. “Amal apakah yang paling utama?” Beliau menjawab,"Shalat pada waktunya (dalam riwayat lain disebutkan shalat di awal waktunya).” Aku bertanya,"Kemudian apa?”
Beliau menjawab,"Berbakti kepada kedua orang tua.” Aku bertanya,"Kemudian apa?”
Beliau menjawab,"Jihad di jalan Allah.”22
Selain itu, Allah Subhânahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya melarang kita
berbuat durhaka kepada kedua orang tua. Sebab, durhaka kepada kedua orang
tua adalah dosa besar yang paling besar.
Silaturrahim memiliki sekian banyak manfaat yang sangat besar, di antaranya sebagai berikut.
1. Dengan bersilaturrahim, berarti kita telah menjalankan perintah Allah dan Rasul-Nya.
2. Dengan bersilaturrahim akan menumbuhkan sikap saling tolong-menolong dan mengetahui keadaan karib kerabat.
3. Dengan bersilaturrahim, Allah akan meluaskan rezeki dan memanjangkan umur kita. Rasulullah Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam
bersabda bersabda:
.
“Barangsiapa yang suka diluaskan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaklah ia menyambung tali silaturrahim.”23
4. Dengan bersilaturrahim, kita dapat menyampaikan dakwah,
menyampaikan ilmu, menyuruh berbuat baik, dan mencegah berbagai kemungkaran yang mungkin akan terus berlangsunng apabila kita tidak
mencegahnya. 5. Silaturrahim sebagai sebab seseorang masuk surga.
Diriwayatkan dari Abu Ayyub al-Anshari Radhiyallahu anhu,
bahwasanya ada seorang laki-laki yang bertanya kepada Rasulullah
Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam: “Wahai Rasulullah, beritahukanlah
kepadaku suatu amal yang dapat memasukkanku ke dalam surga dan
menjauhkanku dari neraka,” maka Nabi Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam
bersabda:
22HR Muslim dari Abdullah bin Mas’ud, Shahîh Muslim, juz I, hal. 62, hadits no.
Muslim, Shahîh Muslim, juz VIII, hal. 8, hadits no. 6688, dari Anas bin Malik.
Yogyakarta, Jumat 13 Februari 2015 Page 12
. “Engkau beribadah kepada Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan menyambung silaturrahim.”24
Keempat: Memerbanyak Ucapan ‘Lâ Haula wa lâ Quwwata illâ Billâh’
(Tidak Ada Daya dan Upaya Kecuali Dengan Pertolongan Allah)
Mengapa Rasulullah Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam menyebutkan kalimat
lâ haulâ wa lâ quwwata illâ billâh?
Jawabannya, agar kita melepaskan diri kita dari segala apa yang kita merasa mampu untuk melakukannya, dan kita serahkan semua urusan kepada
Allah. Sesungguhnya yang dapat menolong dalam semua aktivitas kita hanyalah Allah Subhânahu wa Ta’ala, dan ini adalah makna ucapan kita setiap kali
melakukan shalat,
“Hanya kepada-Mu kami beribadah dan hanya kepada-Mu kami memohon
pertolongan.” (QS al-Fâtihah/1: 5)
Dan kalimat ini, adalah makna dari doa yang sering kita ucapkan
dalam akhir shalat kita:
.
“Ya Allah, tolonglah aku agar dapat berdzikir kepada-Mu, bersyukur kepada-Mu, dan
beribadah dengan baik kepada-Mu.”25
Pada hakikatnya seorang hamba tidak memiliki daya dan upaya kecuali dengan pertolongan Allah. Seorang penuntut ilmu tidak akan mungkin duduk di
majelis ilmu, melainkan dengan pertolongan Allah. Seorang guru tidak akan mungkin dapat mengajarkan ilmu yang bermanfaat, melainkan dengan
24HR al-Bukhari dari Abu Ayyub, Shahîh al-Bukhâriy, juz II, hal. 130, hadits no.
1396. 25HR Ahmad bin Hanbal dari Mu’adz bi Jabal, Musnad Ahmad ibn Hanbal, juz V,
hal. 244, hadits no. 22172.
Yogyakarta, Jumat 13 Februari 2015 Page 13
pertolongan Allah. Begitupun seorang pegawai, tidak mungkin dapat bekerja melainkan dengan pertolongan Allah.
Seorang hamba tidak boleh sombong dan merasa bahwa dirinya
mampu untuk melakukan segala sesuatu. Seorang hamba seharusnya menyadari
bahwa segala apa yang dilakukannya semata-mata karena pertolongan Allah. Sebab, jika Allah tidak menolong maka tidak mungkin dia melakukan segala
sesuatu. Artinya, dengan mengucapkan kalimat ini, seorang hamba berarti telah menunjukkan kelemahan, ketidakmampuan dirinya, dan menunjukkan bahwa ia
adalah orang yang sangat membutuhkan pertolongan Allah.
Kelima: Berani Mengatakan Kebenaran Meskipun Pahit. Pahitnya kebenaran, tidak boleh mencegah kita untuk
mengucapkannya, baik kepada orang lain maupun kepada diri sendiri. Apabila
sesuatu itu jelas sebagai sesuatu yang haram, syirik, bid’ah dan munkar, jangan sampai kita mengatakan sesuatu yang haram adalah halal, yang syirik dikatakan
tauhid, perbuatan bid’ah adalah sunnah, dan yang munkar dikatakan ma’ruf.
Menyembah kubur, misalnya, yang sudah jelas perbuatan syirik namun banyak para dai yang beralasan bahwa hal tersebut, adalah permasalahan yang masih diperselisihkan. Seorang dai harus tegas mengatakan kebenaran,
perbuatan yang bid’ah harus dikatakan bid’ah, dan perbuatan yang haram harus dikatakan haram, dengan membawakan dalil dan penjelasan para ulama tentang
keharamannya.
Sesungguhnya jihad yang paling utama ialah mengatakan kalimat yang haq (kebenaran) kepada penguasa.
. “Jihad yang paling utama ialah mengatakan kalimat yang haq (kebenaran) kepada
penguasa yang zhalim.”26
Yaitu dengan mendatangi mereka dan menasihati mereka dengan cara
yang baik. Jika tidak bisa, dapat dilakukan dengan menulis surat atau melalui orang yang menjadi wakil mereka, tidak dengan mengadakan orasi, provokasi,
demonstrasi. Dan tidak boleh menyebarkan aib mereka melalui mimbar, mimbar Jum’at, dan yang lainnya.
Islam telah memberikan ketentuan dalam menasihati para pemimpin (Ulil Amri). Rasulullah Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
26HR Ahmad bin Hanbal dari Abu Sa’id al-Khudriy, Musnad Ahmad ibn Hanbal,
juz III, hal. 19, hadits no. 11159.
Yogyakarta, Jumat 13 Februari 2015 Page 14
.
“Barangsiapa yang ingin menasihati penguasa, janganlah ia menampakkan dengan terang-terangan. Hendaklah ia pegang tangannya lalu menyendiri dengannya. Kalau
penguasa itu mau mendengar nasihat itu, maka itu yang terbaik. Dan bila si penguasa itu enggan (tidak mau menerima), maka sungguh ia telah melaksanakan kewajiban amanah yang dibebankan kepadanya.”27
Keenam: Tidak Takut Celaan Para Pencela Dalam Berdakwah Di
Jalan Allah. Dalam berdakwah di jalan Allah Subhânahu wa Ta’ala, banyak orang
yang menolak, mencela, dan lainnya. Hati yang sakit pada umumnya menolak kebenaran yang disampaikan. Ketika kebenaran itu kita sampaikan dan mereka
mencela, maka kita diperintahkan untuk terus menyampaikan dakwah yang haq dengan ilmu, lemah lembut, dan sabar.
Di antara akhlak yang mulia, adalah berani dalam menyampaikan
kebenaran, dan ini merupakan akhlak Salaf ash-Shâlih. Islam mencela sifat
penakut. Hal ini dapat tercermin dari perintah untuk maju ke medan perang dan tidak boleh mundur pada saat telah berhadapan dengan musuh. Disamping itu,
Rasulullah Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam berlindung kepada Allah dari sifat
pengecut. Beliau berdoa dalam haditsnya:
. “Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari sifat pengecut, aku berlindung kepada-Mu dari sifat kikir, aku berlindung kepada-Mu dari dikembalikan kepada umur yang paling hina (pikun), aku berlindung kepada-Mu dari fitnah dunia, dan aku
berlindung kepada-Mu dari adzab kubur.”28
Dakwah yang diberkahi Allah ini (dakwah kepada tauhid dan sunnah)
harus diperjuangkan oleh para dai, supaya tegak dan berkembang. Para da’i yang menyeru kepadanya tidak boleh merasa takut. Kepada para da’i yang
27HR ‘Amr bin Abi ‘Ashim adh-Dhahhak asy-Syaibani dari ‘Iyadh bi Ghanm,
As-Sunnah Li Abî ‘Āshim, juz II, hal. 521, hadits no. 1096. Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Lihat: Dhilâl al-Jannah, juz II, hal. 273.
28HR al-Bukhari dari ‘Amr bin Maimun al-Audiy, Shahîh al-Bukhâriy, juz IV, hal. 27, hadits no. 2822.
Yogyakarta, Jumat 13 Februari 2015 Page 15
menyeru kepada dakwah yang haq ini, jangan merasa takut apabila mendapat celaan, cobaan, penolakan, dan pertentangan. Jangan sekali-kali mundur dalam
menegakkan kebenaran dan tidak mau lagi berdakwah. Dakwah mengajak manusia kepada tauhid dan Sunnah harus terus berjalan meskipun orang mencela, mencomooh, dan menolaknya.
Seorang dai tidak boleh mundur dalam berdakwah di jalan Allah dan
tidak boleh takut, karena Allah yang akan menolong orang-orang yang berada di atas manhaj yang haq.
Dalam al-Qur`ân, Allah Subhânahu wa Ta’ala menyebutkan tentang
orang-orang yang menyampaikan risalah Allah, sedangkan mereka tidak takut. Allah Subhânahu wa Ta’ala berfirman:
“(Yaitu) orang-orang yang menyampaikan risalah-risalah Allah, mereka takut kepada-Nya dan tidak merasa takut kepada siapa pun selain kepada Allah. Dan cukuplah Allah
sebagai pembuat perhitungan.” (QS al-Ahzâb/33: 39)
Dan di antara ciri hamba yang dicintai Allah, adalah mereka tidak takut
celaan para pencela. Allah Subhânahu wa Ta’ala berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman! Barangsiapa di antara kamu yang murtad (keluar) dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum, Dia mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, dan bersikap lemah lembut terhadap orang-
orang yang beriman, tetapi bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah yang diberikan-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah
Ketujuh: Tidak Meminta-Minta Sesuatu Kepada Orang Lain
Yogyakarta, Jumat 13 Februari 2015 Page 16
Orang yang dicintai Allah, Rasul-Nya, dan manusia, adalah orang yang tidak meminta-minta kepada orang lain dan zuhud terhadap apa yang dimiliki
orang lain. Rasulullah Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam menyuruh umatnya agar
tidak meminta-minta kepada manusia, karena meminta-minta hukum asalnya
adalah haram. Seorang Muslim harus berusaha makan dengan hasil keringatnya sendiri, dengan usaha kita sendiri, dan bukan dari usaha dan belas kasihan orang lain. Seorang Muslim harus berusaha sendiri untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya, karena Allah yang akan menolongnya.
Masyarakat yang masih awam (kurang memahami ilmu agama), mereka berusaha untuk menghidupi keluarga mereka dengan berjualan, baik di
pinggir-pinggir jalan maupun di kendaraan umum, seperti bus dan kereta api. Yang demikian itu lebih mulia daripada dia meminta-minta kepada manusia. Seharusnya hal ini menjadi cambuk bagi para penuntut ilmu, agar mereka pun
berusaha memenuhi kebutuhan hidup mereka dengan keringat mereka sendiri, dan tidak bergantung kepada orang lain.
Rasulullah Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
“Sungguh, seseorang dari kalian mengambil talinya lalu membawa seikat kayu bakar di
atas punggungnya, kemudian ia menjualnya, sehingga dengannya Allah menjaga kehormatannya. Itu lebih baik baginya daripada ia meminta-minta kepada manusia. Mereka memberinya atau tidak memberinya.”29
Meminta-minta merupakan perbuatan yang sangat tercela, dan hukum asalnya adalah haram, kecuali untuk maslahat kaum Muslimin karena termasuk
tolong-menolong dalam kebaikan, seperti untuk pembangunan masjid, pondok pesantren, biaya hidup anak yatim, dan yang sepertinya. Ini pun harus dengan
cara yang baik, yaitu dengan mendatangi orang-orang yang kaya dan mampu atau diumumkan di masjid, bukan dengan cara meminta-minta di pinggir jalan. Sebab, perbuatan tersebut tidak ada contohnya dari Rasulullah Shallallâhu ‘Alaihi
wa Sallam dan para sahabatnya, serta merusak nama baik Islam dan kaum
muslimin. Adapun meminta-minta untuk kepentingan pribadi, maka hukumnya
haram dalam Islam.
Diriwayatkan dari Sahabat Qabishah bin Mukhariq al-Hilali radhiyallâhu ‘anhu, ia berkata, bahwa Rasulullah Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam
bersabda:
29HR al-Bukhari dari Abu Hurairah, Shahîh al-Bukhâriy, juz VIII, hal. 385,
hadits no. 2542.
Yogyakarta, Jumat 13 Februari 2015 Page 17
. “Wahai, Qabishah! Sesungguhnya meminta-minta tidak dihalalkan kecuali bagi salah
seorang dari tiga macam: (1) seseorang yang menanggung hutang orang lain, ia boleh meminta-minta sampai ia melunasinya, kemudian ia berhenti (tidak meminta-minta lagi), (2) seseorang yang ditimpa musibah yang menghabiskan hartanya, ia boleh meminta-minta sampai ia mendapatkan sandaran hidup, dan (3) orang yang ditimpa kesengsaraan hidup sehingga ada tiga orang yang berakal dari kaumnya mengatakan "Si
Fulan telah ditimpa kesengsaraan," ia boleh meminta-minta sampai ia mendapatkan sandaran hidup. Meminta-minta selain tiga hal itu, wahai Qabishah, adalah haram, dan orang yang memakannya adalah memakan yang haram.”30
Bahkan orang yang selalu meminta-minta, kelak pada hari Kiamat tidak ada daging sedikit pun pada wajahnya, sebagaimana ia tidak malu untuk
meminta-minta kepada manusia di dunia. Beliau Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam
bersabda:
.
“Seseorang senantiasa minta-minta kepada orang lain hingga ia akan datang pada hari
Kiamat dengan tidak ada sekerat daging pun di wajahnya.”31
Maksudnya bahwa pada hari Kiamat ia akan dikumpulkan di hadapan
Allah dalam keadaan wajahnya hanya tulang (tengkorak) saja, tidak ada daging
30HR Muslim dari Qabishah bin Mukhariq al-Hilali r.a., Shahîh Muslim, juz III,
hal. 97, hadits no. 2451. 31HR al-Bukhari, Shahîh al-Bukhîriy, juz II, hal. 153, hadits no. 1474 dan
Muslim, Shahîh Muslim, III, 96, hadits no. 2445. Abdullah bin Umar.
Yogyakarta, Jumat 13 Februari 2015 Page 18
padanya. Hal itu sebagai hukuman baginya, dan sebagai tanda dosa baginya ketika di dunia ia selalu minta-minta dengan wajahnya tanpa malu.32
Penutup
Mudah-mudahan tulisan ini bermanfaat untuk penulis dan para pembaca, dan wasiat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini dapat kita
laksanakan dengan ikhlas karena Allah Subhânahu wa Ta’ala. Mudah-mudahan
shalawat dan salam tetap tercurah kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, keluarga dan para sahabat beliau serta para pengikut setianya.