Halaman 1 | Warta Buruh Migran | Desember 2010 Warta Buruh Migran | Edisi IV | Desember 2010 Klik www.buruhmigran.or.id Tim Redaksi Salam Redaksi Cianjur Gagasan memberikan perlindungan kepada Buruh Migran Indonesia (BMI) dilakukan pemerintah tanpa henti. Pelbagai undang-undang, peraturan presiden, peraturan menteri, hingga peraturan daerah dikeluarkan. Namun, di lapangan, kebijakan tersebut tidak ampuh menjaga dan melindungi BMI. Persoalan asuransi BMI misalnya, saat ini menjadi tema yang banyak diperbincangkan di media massa. Penunjukan konsorsium tunggal oleh Menakertrans menuai banyak protes, khususnya dari PPTKIS. Bagi BMI, asuransi adalah hal penting. Di samping mereka telah membayar premi sebesar 400 ribu rupiah, asuransi juga menjadi harapan atas jaminan dan kenyamanan kerja.Peraturan Menteri (Permen) Nomor 7 Tahun 2010 tentang Asuransi TKI sedikit memberikan harapan BMI. Permen baru ini memiliki beberapa perubahan, di antaranya nilai pertanggungan yang dinaikkan. Meskipun begitu, perusahaan asuransi harus melakukan perubahan cara pandang, dari dilayani menjadi melayani. Protes yang dilakukan BMI adalah persoalan sulitnya pengajuan klaim. Perusahaan asuransi seakan memperumit pemegang polis dengan alasan tidak dipenuhinya berkas sebagaimana yang disyaratkan. Karena itu, tidak heran jika selama ini perusahaan asuransi dianggap hanya mencari keuntungan sebanyak- banyaknya tanpa menjalankan kewajibannya. Seluruh tulisan dan foto dalam buletin ini dilisensikan dalam bendera Creative Common (CC). Siapapun bisa mengutip, menyalin, dan menyebarluaskan sebagian atau keseluruhan tulisan dengan menyebutkan sumber tulisan dan jenis lisensi yang sama, kecuali untukkepentingan komersil. Pendidikan keuangan untuk buruh migran dan keluarga yang digelar oleh Pusat Teknologi Komunitas Rumah Internet TKI (PTK Mahnettik) Cianjur (29-30/11/10) memberi banyak manfaat bagi pegiat PTK Mahnettik Cianjur. Rokoyah dan Puti Rahayu, fasilitator Pusat Pengembangan Sumberdaya Wanita (PPSW) Pasoendan secara bergantian mengarahkan peserta secara runtut untuk memahami persoalan pengelolaan ekonomi buruh migran. Peserta pelatihan diajak berhitung berapa besar biaya yang mereka keluarkan saat memutuskan berangkat ke luar negeri untuk menjadi buruh migran. Disadari atau tidak, sejak proses pemberangkatan hingga pemulangan biaya yang dikeluarkan sangat besar. Hal ini terkadang tidak sebanding dengan jumlah uang yang dikirim ke keluarga. “Persoalan utama adalah kesenjangan informasi, calon buruh migran tidak memiliki informasi tentang berapa biaya pembuatan paspor, berapa gaji yang diterima dalam kontrak kerja, berapa nilai konversi mata uang dan lain sebagainya” tutur Rokoyah Seperti disampaikan Rokoyah, buruh migran juga dituntut cerdas mempertimbangkan sesuatu, seperti tawaran berhutang pada agen perekrutan, kontrak kerja, dan pilihan menjadi pekerja atau memulai wirausaha. Fasilitator juga menyampaikan motivasi pada pegiat PTK Mahnettik Cianjur agar percaya diri mengembangkan potensi kelompok. Menghitung Ulang Biaya Migrasi Oleh: Salim Penanggung Jawab Yossy Suparyo Muhammad Irsyadul Ibad Pimpinan Redaksi Muhammad Ali Usman Tim Redaksi Fika Murdiana Hilyatul Auliya Fathulloh Kontributor 14 PTK Mahnettik Alamat Redaksi Jl.Veteran Gg.Janur Kuning No.11A Pandean Umbulharjo Y ogyakarta, Telp/Fax:0274-372378 E-mail:[email protected]Portal: http://buruhmigran.or.id Penerbitan buletin ini atas dukungan: Pegiat Buruh Migran di PTK Mahnet t ik Cianjur
Topik yang dibicarakan redaksi Pusat Sumber Daya Buruh Migran pada terbitan kali ini adalah persoalan asuransi buruh migran, profil usaha mantan buruh migran dan beberapa liputan dari daerah.
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Halaman 1 | Warta Buruh Migran | Desember 2010
Warta Buruh Migran| Edisi IV | Desember 2010
Klik www.buruhmigran.or.id
Tim Redaksi
Salam Redaksi Cianjur
Gagasan memberikan perlindungan kepada Buruh Migran
Indonesia (BMI) dilakukan pemerintah tanpa henti. Pelbagai
undang-undang, peraturan presiden, peraturan menteri, hingga
peraturan daerah dikeluarkan. Namun, di lapangan, kebijakan
tersebut tidak ampuh menjaga dan melindungi BMI. Persoalan
asuransi BMI misalnya, saat ini menjadi tema yang banyak
diperbincangkan di media massa. Penunjukan konsorsium
tunggal oleh Menakertrans menuai banyak protes, khususnya
dari PPTKIS.
Bagi BMI, asuransi adalah hal penting. Di samping mereka telah
membayar premi sebesar 400 ribu rupiah, asuransi juga menjadi
harapan atas jaminan dan kenyamanan kerja.Peraturan Menteri
(Permen) Nomor 7 Tahun 2010 tentang Asuransi TKI sedikit
memberikan harapan BMI. Permen baru ini memiliki beberapa
perubahan, di antaranya nilai pertanggungan yang dinaikkan.
Meskipun begitu, perusahaan asuransi harus melakukan
perubahan cara pandang, dari dilayani menjadi melayani. Protes
yang dilakukan BMI adalah persoalan sulitnya pengajuan klaim.
Perusahaan asuransi seakan memperumit pemegang polis
dengan alasan tidak dipenuhinya berkas sebagaimana yang
disyaratkan. Karena itu, tidak heran jika selama ini perusahaan
asuransi dianggap hanya mencari keuntungan sebanyak-
banyaknya tanpa menjalankan kewajibannya.
Seluruh tulisan dan foto dalam buletin ini dilisensikan dalam bendera Creative Common (CC). Siapapun bisa mengutip, menyalin, dan menyebarluaskan sebagian atau keseluruhan tulisan dengan menyebutkan sumber tulisan dan jenis lisensi yang sama, kecuali untukkepentingan komersil.
Pendidikan keuangan untuk buruh migran dan keluarga yang digelar
oleh Pusat Teknologi Komunitas Rumah Internet TKI (PTK
Mahnettik) Cianjur (29-30/11/10) memberi banyak manfaat bagi
pegiat PTK Mahnettik Cianjur. Rokoyah dan Puti Rahayu, fasilitator
Pusat Pengembangan Sumberdaya Wanita (PPSW) Pasoendan
secara bergantian mengarahkan peserta secara runtut untuk
memahami persoalan pengelolaan ekonomi buruh migran.
Peserta pelatihan diajak berhitung berapa besar biaya yang mereka
keluarkan saat memutuskan berangkat ke luar negeri untuk menjadi
buruh migran. Disadari atau tidak, sejak proses pemberangkatan
hingga pemulangan biaya yang dikeluarkan sangat besar. Hal ini
terkadang tidak sebanding dengan jumlah uang yang dikirim ke
keluarga.
“Persoalan utama adalah kesenjangan informasi, calon buruh
migran tidak memiliki informasi tentang berapa biaya pembuatan
paspor, berapa gaji yang diterima dalam kontrak kerja, berapa nilai
konversi mata uang dan lain sebagainya” tutur Rokoyah
Seperti disampaikan Rokoyah, buruh migran juga dituntut cerdas
mempertimbangkan sesuatu, seperti tawaran berhutang pada agen
perekrutan, kontrak kerja, dan pilihan menjadi pekerja atau
memulai wirausaha. Fasilitator juga menyampaikan motivasi pada
pegiat PTK Mahnettik Cianjur agar percaya diri mengembangkan
asuransi TKI selama masa penempatan. 3) Rp. 50.000,-
premi asuransi TKI pascapenempatan.
Jika dihitung jumlah TKI resmi yang bekerja di luar negeri
sebanyak 4 juta orang, maka total dana yang diterima oleh
konsorsium asuransi adalah sebesar 1,6 triliyun rupiah.
Namun, tidak berbeda dengan perusahaan-perusahaan
bisnis lain, perusahaan asuransi TKI juga lebih
memerhatikan keuntungan pribadi yang sebesar-besarnya.
Mereka seakan enggan bertanggung jawab terhadap
persoalan TKI dengan alasan tidak dipenuhinya syarat-
syarat pengajuan klaim asuransi sebagaimana yang telah
ditetapkan.
Halaman 7 | Warta Buruh Migran | Desember 2010
Seperti disebutkan dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor
7 Tahun 2010 Bab VII Pasal 26, persyaratan yang harus dipenuhi
oleh TKI yang mengajukan klaim, misalnya untuk korban PHK, di
antaranya:
1. Waktu pengajuan selambat-lambatnya 12 bulan setelah
terjadinya resiko (peraturan sebelunmnya hanya 30 hari).
2. Surat pengajuan klaim ditandatangani oleh TKI atau ahli
waris yang sah dan bermeterai.
3. Menyertakan KPA asli (Kartu Peserta Asuransi).
4. Surat perjanjian kerja.
5 .Surat perjanjian penempatan,
6. Surat keterangan PHK dari pengguna.
7. Surat keterangan Perwakilan R.I. di negara penempatan.
8. Surat penempatan dari Dirjen Pembinaan Penempatan
Tenaga Kerja Direktorat Penempatan Tenaga Kerja Luar
Negeri.
Banyaknya persyaratan wajib yang harus dipenuhi oleh TKI dan
keluarganya tersebut sangat menyulitkan karena mayoritas
mereka hanya mengenyam pendidikan sampai tingkat Sekolah
Dasar, banyak juga yang tidak dapat baca tulis, dan mayoritas
mereka tinggal di daerah pedesaan, sehingga mengalami
keterbatasan mendapatkan akses informasi dan pengetahuan.
Melihat rumitnya persyaratan yang dibutuhkan untuk mengurus
asuransi TKI, semakin mengarahkan kita pada kesimpulan
tentang adanya sebuah kesengajaan agar para TKI yang
berurusan dengan perusahaan asuransi tidak mendapatkan
haknya. Hal itu dibuktikan dengan dipersulitnya pengurusan klaim
asuransi TKI dari hulu ke hilir. Konspirasi ini juga melibatkan para
oknum PPTKIS dengan perusahaan asuransi TKI.
Banyak para oknum PPTKIS yang menawarkan diri untuk
menguruskan klaim asuransi dengan imbalan jumlah uang
tertentu jika berhasil mencairkan klaim tersebut. Bahkan besaran
succes fee tersebut hingga 50 persen. Para TKI yang sedang
dalam keadaan sulit ini hanya dapat menerima “peraturan” ini.
Alasan mereka, lebih baik dapat setengahnya daripada tidak
mendapatkan sama sekali.
Menurut ketua Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan
Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) Jumhur Hidayat, pada bulan
September lalu ada 36.000 klaim asuransi TKI yang bermasalah.
Alasan yang diberikan oleh perusahaan asuransi bermacam-
macam, mayoritas dikarenakan persyaratan yang tidak dipenuhi
oleh TKI atau keluarganya. Himpunan PPTKIS yang merasa
menemukan jalan buntu mengurus asuransi TKI pun melayangkan
surat kepada Presiden untuk mengadukan tidak dibayarkannya
klaim asuransi TKI.
Perlindungan TKI melalui sistem asuransi justru menjadikan
buruh migran komoditas ekonomi, bukan sebagai subjek
yang harus dilindungi. Seharusnya, sistem yang dibangun
benar-benar untuk kepentingan TKI dengan memperhatikan
kebutuhan dan fasilitas perlindungan yang dibutuhkan
selama bekerja di luar negeri. Untuk itu, dibutuhkan
konsorsium asuransi yang dapat menjalankan sistemnya
secara bertanggung jawab dan konsisten, sehingga
keberadaannya dapat benar-benar dirasakan manfaatnya
oleh TKI dan keluarganya.
Perusahaan asuransi yang bertanggung jawab, adalah
perusahaan yang mengubah paradigama, dari yang
sebelumnya hanya berorientasi pencarian keuntungan yang
sebesar-besarnya menjadi paradigma melayani dan
memberikan perlindungan asuransi yang optimal kepada
TKI dan keluarganya. Perusahaan asuransi juga dapat lebih
aktif dalam merespons setiap klaim yang diajukan oleh
pemegang polis. Perubahan paradigama ini merupakan
sebuah keniscayaan sebagai bentuk tanggung jawab dan
komitmen pada undang-undang dan pada nilai-niali
kemanusiaan yang selama menjadi motto para perusahaan
asuransi. [mau]
07 | Kajian
Muha mma d Ali Usma n, Pekerja Pusat Sumber Daya
Buruh Migran (PSD-BM)
Halaman 8 | Warta Buruh Migran | Desember 2010
08 | Inspirasi
Kesuksesan dapat diraih oleh siapa pun dan di mana pun,
asalkan ada kemauan kuat. Itulah prinsip yang senantiasa
menjadi semangat Neli Khuriyah (24), salah seorang mantan
Buruh Migran Perempuan (BMP) asal Cilacap. Selama menjalani
hari-harinya tujuh tahun terakhir di Hongkong sebagai seorang
Pekerja Rumah Tangga (PRT). Neli berangkat kerja ke Hongkong
pada 2003 melalui sebuah Pelaksana Penempatan Tenaga
Kerja Indoensia Swasta(PPTKIS) di Jakarta, dan pada bulan
Agustus 2010 Neli telah kembali ke Indonesia menjadi seorang
sarjana dengan gelar diploma.
Selama di Hongkong, Neli tidak seperti pekerja migran lain yang
lebih banyak menghabiskan waktu libur kerjanya dengan jalan-
jalan, kumpul bareng, atau menjelajah berbagai mal, baik untuk
belanja maupun sekadar cuci mata. Hari libur akhir pekan justru
ia nikmati dengan duduk belajar di bangku kuliah. Ia sangat
menyadari tidak selamanya ia akan menjadi seorang buruh.
Menurutnya, kerja sebagai BMP bukanlah sebuah tujuan, namun
hanya sebuah perantara untuk mendapatkan kehidupan yang
lebih baik.
“Kerja di Hongkong merupakan prioritas pertama saya sejak
awal. Sedangkan kuliah prioritas kedua,” ungkapnya.
Di lingkungan keluarganya, Neli kecil merupakan sosok pribadi
yang rajin dan bertanggung jawab. Kerja keras dan hidup mandiri
telah diajarkan oleh kedua orang tuanya sejak dini.
Berangkat Berstatus TKW, Pulang
Sudah SarjanaFika Murdiana
Neli (Kanan bawah), bersama kawan-kawannya sesama buruh migran saat mengikuti kuliah di Action Vision Mission College Hongkong Ltd
Semua pekerjaan rumah tangga menjadi tanggung jawab
bersama. Setiap orang mendapatkan tugas sesuai dengan
proporsinya. Hanya bekal inilah yang dapat membantu Neli
untuk menjalani tantangan kehidupannya.
Semasa kuliah, Neli mengambil program diploma di Kampus
Action Vision Mission College Hongkong Ltd., yang beralamat di
1/Floor, 23 Ngan Mok Street, Tin Hau Hongkong, pada jurusan
Teknologi Informasi. Program diploma ini ditempuhnya dalam
waktu satu tahun, dari April 2009-Maret 2010. Kampus AVM
memang hanya menyelenggarakan pendidikan untuk jenjang
diploma. Setiap mahasiswa di AVM hanya dibebani sebanyak 36
Satuan Kredit Semester (SKS) yang ditempuh dalam waktu 10
bulan.
“Neli menyadari tidak
selamanya ia akan menjadi
buruh migran”Kesadaran menempuh pendidikan lebih tinggi ini dilakukan Neli
untuk memenuhi keinginan kuliahnya yang terganjal oleh faktor
biaya setelah lulus Sekolah Menengah Atas (SMA).
Halaman 9 | Warta Buruh Migran | Desember 2010
09 | Inspirasi
Hongkong selama ini memang dikenal sebagai negara yang
sangat memerhatikan hak-hak pekerja dengan baik. Tidak heran
jika para Buruh Migran Indonesia (BMI) yang bekerja di
Hongkong dapat menikmati hari-harinya dengan nyaman. Selain
ada hari libur kerja, pihak perusahaan atau pengguna jasa juga
memberikan waktu cuti. Iklim kerja yang kondusif inilah yang
banyak menarik minat para calon TKI untuk memilih bekerja di
Hongkong, meskipun sebagai PRT.
Menurut Konsul Jenderal RI di Hongkong, Ferry Adamhar, setiap
bulan BMI baru yang bekerja di Hongkong sekitar 1000 orang.
Oleh karena itu, hingga Mei 2010 jumlah BMI di Hongkong
mencapai 136.000 orang. Jumlah ini telah mengungguli tenaga
karja asal Filipina dan Vietnam.
Kedua orang tuanya sehari-hari hidup dalam kesederhanaan
sebagaimana masyarakat desa lainnya. Penghasilan dari hasil
pertanian hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok,
tidak untuk sekolah yang lebih tinggi. Oleh karena itu, setelah
melihat kondisi perekonomian keluarga, selepas SMA Neli
memutuskan untuk bekerja ke Hongkong sebagai PRT.
Harapan yang diembannya hanya satu, membantu keluarga.
Menyekolahkan adik-adiknya hingga perguruan tinggi.
Pendidikan yang dulu bagi Neli hanya mimpi.
Banyak teman-teman Neli yang heran dan bertanya
bagaimana Ia dapat membagi waktu antara kerja dan kuliah.
Pertanyaan tersebut sangat wajar diajukan mengingat
pekerjaan sebagai PRT sangat padat. Bahkan, tidak jarang
seorang PRT baru dapat istirahat pada pukul 24.00. Neli
sangat bersyukur mendapatkan seorang majikan yang baik.
Sewaktu Neli meminta izin untuk melanjutkan pendidikan,
majikannya tidak keberatan. Ia hanya memberikan satu
syarat, kuliah tidak boleh mengganggu pekerjaannya.
Syarat ini pun diterima Neli dengan senang, karena memang
jadwal kuliah di AVM College hanya dilaksanakan pada hari
Minggu, yang notabene hari libur kerja. Meskipun begitu, Neli
pernah mendapatkan omelan dari sang majikan. “Saat itu,
saya sedang asyik belajar seorang diri di dalam kamar. Tiba-
tiba majikan memanggil dan ia meminta agar saya
menyelesaikan pekerjaan yang tersisa,” katanya seraya
tersenyum sambil mengingat masa lalu.
Fika Murdia na Ra hma n, Pekerja Pusat Sumber
Daya Buruh Migran (PSD-BM)
Maria, Berdaya Melalui
WirausahaOleh: Muhammad Ali Usman
Pagi itu tampak beberapa perempuan dengan lincah memainkan dua
tangannya mengiris lonjoran-lonjoran singkong hingga membentuk
bulat dan tipis. Di ujung sisi lain, tampak pula dua orang perempuan
sibuk menggoreng kripik singkong dan sukun. Suara khas
penggorengan pun menggemuruh tanpa henti, sesekali dipecah tawa-
tawa renyah perempuan-perempuan yang saling melempar canda.
Entah apa yang mereka obrolkan, yang tampak mereka sangat
menikmati pekerjaannya.
Itulah kesibukan sehari-sehari di tempat usaha milik Siti Maryam
Ghozali (45) atau yang lebih dikenal dengan Maria Bo Niok, salah
seorang mantan Tenaga Kerja Wanita (TKW) Hongkong. Bersama
suaminya, Stevie Sundah, pada tahun 2008 ia mendirikan sebuah
usaha produksi makanan ringan dengan nama UD Mari. Maria sengaja
memilih usaha makanan ringan karena potensi pasarnya yang terus
berkembang. Hingga hari ini, UD Mari telah memproduksi banyak jenis
makanan ringan, di antaranya kripik singkong, kripik sukun, kripik
pisang, dan kripik talas. “Makanan adalah jenis usaha yang tidak
pernah ada matinya,” katanya saat berbincang dengan saya ketika
berkunjung dengan suaminya ke kantor Infest di Jl. Veteran Pandeyan
Umbulharjo Yogyakarta beberapa waktu yang lalu.
Halaman 10 | Warta Buruh Migran | Desember 2010
10 | Inspirasi
Ide awal pendirian usaha makanan ringan ini bermula
ketika Maria melihat melimpahnya umbi-umbian di
daerahnya. Dengan niat ingin mengangkat hasil pertanian
dan para petani di daerahnya, Maria kemudian belajar
mengolah singkong menjadi sebuah makanan ringan yang
tidak kalah dengan makanan ringan produksi perusahaan
modern.
Maria mendapatkan keahlian mengelola singkong dari
sebuah pelatihan yang diselenggarakan oleh pemerintah
daerah Wonosobo. Dari bekal pelatihan itulah kemudian
Maria mengembangkan sendiri pengetahuan yang telah ia
dapat melalui uji coba produk.
Untuk menemukan kripik singkong rasa gadung, Maria
sempat melakukan uji coba beberapa kali sebelum
akhirnya sukses menemukan rasa baru ini. Untuk membuat
singkong rasa gadung, Maria menceritakan, pertama
singkong dibersihkan dari kulitnya. Kemudian diiris tipis-
tipis dan membentuk bulat.
Setelah itu, ketela direbus beberapa jam lantas direndam
di dalam air selama beberapa waktu. Ketika diangkat dari
rendaman dan digoreng, rasa khas singkong sudah hilang
dan berganti menjadi rasa gadung.
Pada awalnya, Maria hanya memroduksi kripik singkong
rasa gadung. Kripik singkong rasa gadung ini dibuat untuk
menarik hasrat pasar konusumen, di mana produk tersebut
masih belum banyak dijual di pasaran.
Maria mengenalkan produk makanannya pada pembeli di sebuah kegaiatan pameran
Akhirnya, dia memutuskan untuk menjadikan singkong rasa
gadung ini sebagai produk unggulan UD Mari. Selain itu, dia
juga terus mengembangkan berbagai produk makanan
ringan yang berbahan dasar makanan lokal.
Usaha berbahan dasar singkong ini sangat sesuai dengan
daerah Wonosobo yang dikenal sebagai salah satu sentra
penghasil singkong. Dengan mengandalkan suplai dari
daerah setempat, Maria secara tidak langsung telah
membantu para petani singkong di daerahnya. Harga
pasaran singkong di desanaya adalah Rp. 200, namun
Maria berani membelinya dengan harga Rp.1.500.
“Murahnya harga singkong yang hanya dihargai Rp. 200
sangat tidak adil. Para petani singkong telah menunggu
selama minimal 6 bulan hingga masa panen. Sebagian
besar tanaman mereka berada di daerah sekitar hutan.
Mereka membawa hasil panennya ke desa dengan cara
memikulnya,” ungkap Stevie. “Dengan harga Rp.1.500,
saya mengambil sendiri ke ladang singkongnya,”
tambahnya.
Kripik produk UD Mari telah mengalami beberapa kali masa
pengembangan kualitas produk, mulai dari tanpa merek
hingga sekarang diberi merek dan dikemas dengan plastik
menarik. Langkah ini dilakukan guna memenuhi
permintaan konsumen yang lebih menginginkan produk
yang higienis dan praktis, serta dalam rangka persaingan
produk. Meskipun saat ini banyak usaha sejenis di pasaran,
Maria mengaku tidak takut. Ia menyatakan bahwa
produknya mempunyai kekhasan tersendiri.
Halaman 11 | Warta Buruh Migran | Desember 2010
11 | Inspirasi
“Lahan pemasaran setiap perusahaan berbeda-beda. Ada
yang hanya diserahkan kepada para tengkulak, ada yang
dimasukkan ke toko-toko, dan ada yang langsung
dikirimkan sendiri ke toko-toko di luar daerah,” katanya.
Saat ini, produk UD Mari telah merambah puluhan daerah
di Jawa dan Bali, di antaranya Wonosobo, Banjarnegara,
Magelang, Yogyakarta, Purwokerto, Purworejo, dan Bali.
Meskipun produk UD Mari telah tersebar ke berbagai
daerah, salama ini Maria dan Stevie masih melakukan
pemasarannya sendiri. Hampir setiap pekan Stevia
mengirimkan produk-produknya secara langsung ke
berbagai daerah. Di tahun depan, Stevie akan merekrut
karyawan yang khusus untuk mengurus bagian pemasaran
sehingga dia dapat lebih berkonsentrasi di bagian produksi
dan pengembangan produk.
Maria termasuk perempuan yang aktif. Selain aktif di dunia
bisnis, ia juga seorang aktivis sosial dan sampai hari ini
masih aktif menulis. Ia telah menuliskan pengalaman-
pengalaman semasa menjadi BMP menjadi beberapa
buku, di antaranya Ranting Sakura yang menceritakan
pengalamannya sewaktu di Hongkong dan Taiwan, Geliat
Sang Kung Yan berisi biorgrafi dan memoarnya selama
menjadi buruh migran, dan Puteri Kelana sebuah kumpulan
puisi.
Semangat kewirausahaan seperti yang dilakukan oleh
Maria diharapkan dapat menumbuhkan minat masyarakat
dalam melakukan kegiatan-kegiatan produktif dalam
berbagai jenis usaha. Langkah ini merupakan salah satu
langkah untuk menciptakan kesempatan kerja sekaligus
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sehingga,
dalam jangka panjang akan dapat mengurangi jumlah
penempatan buruh migran yang bekerja di sektor informal.
Saat ini, pemerintah melalui Kementrian Tenaga Kerja dan
Transmigrasi juga telah menyelenggarakan Program Aksi
Kewirausahaan untuk para mantan TKI di 200 desa di
seluruh Indonesia. Diharapkan dari program ini akan
tercipta 125.000 wiraushawan baru sehingga dapat
menciptakan lapangan kerja dan menyerap tenaga kerja di
kawasan perdesaan di Indonesia. Program Desa Produktif
dilaksanakan dengan cara pemberian pelatihan dan modal
kerja sebesar Rp. 50 juta untuk setiap desa. Dana bantuan
tersebut dapat digunakan untuk berbagai kegiatan
ekonomi, misalnya pelatihan tenaga kerja, pelatihan
wirausaha mandiri, dan pelatihan lain yang disesuaikan
dengan potensi desa. (MAU)
Selanjutnya membuat bumbu yang tersiri dari gula bebeco,
vanili, garam, bumbu dicampur dengan pisang yang telah
digoreng. Pisang yang telah berbumbu digoreng lagi
(sebentar) dan ditiriskaan. Proses terakhir adalah
pengemasan. Pembuatan kripik pisang biasanya dilakukan
dua kali dalam seminggu.
Menurut Tukini dan Yuyun, mereka merasa kewalahan
melayani permintaan, karena keterbatasan tenaga.
“Walaupun pemasaran kripik pisang ini hanya di
Donomulyo, kami merasa kekurangan tenaga” Ungkap
Tukini dan Yuyun.
Wilayah pemasaran kripik pisang tersebut baru mencakup
Kecamatan Donomulyo, pemasarannya dengan cara
dititipkan di toko dan warung-warung. (HA)
Keripik pisang sudah sejak lama diproduksi masyarakat Desa
Kedungsalam, Kecamatan Donomulyo, Kabupaten Malang. Hasil
olahan keripik pisang ini berasa manis. Pembuatan keripik pisang
sangat sederhana, namun membutuhkan ketelatenan.
Tukini, Yuyun, dan Sarpi merupakan pegiat PTK Mahnettik Bina
Mandiri Desa Kedungsalam Kecamatan Donomulyo Kabupaten
Malang, yang mengolah kripik pisang. Proses produksi kripik
pisang tersebut didampingi oleh Dian Mutiara Universitas
Brawijaya dan Dinas tenaga Kerja Kabupaten Malang.
Pisang yang diolah biasanya adalah pisang Pisang Rojo Nongko,
Rojo Santen, Candi, Kepok, dan Gajih. Cara pembuatan kripik
pisang, pisang dikupas, kemudian Pisang diiris tipis
(menggunakan alat pasrah). Pisang yang telah diiris direndam
dengan air, kemudian dicuci dan ditiriskan. Setelah ditiriskan
pisang digoreng.
Pegiat PTK Mahnettik
Malang Produksi Kripik
PisangOleh: Hilyatul Auliya
Halaman 12 | Warta Buruh Migran | Desember 2010
12 | Resensi
““Warta Buruh Migran merupakan buletin online yang diterbitkan Warta Buruh Migran merupakan buletin online yang diterbitkan oleh Pusat Sumber Daya Buruh Migran setiap bulan.oleh Pusat Sumber Daya Buruh Migran setiap bulan.
Redaksi menerima berbagai tulisan dari rekan-rekan PTK Redaksi menerima berbagai tulisan dari rekan-rekan PTK
Mahnettik melalui email: Mahnettik melalui email: [email protected]@buruhmigran.or.id““
Judul Buku : Surat Kepada Presiden
Penulis : Cardi Syaukani, Arieya Sutrisno, Arman, Lili Purwani,
Titin Kartini, Tri Maryaningsih, Wawan Hartawan,
Yus Machrus
Penerbit : United Nation Development Fund for Woman (UNIFEM)
Tahun Terbit : Cetakan Pertama:Oktober 2010
Tebal : 70 Halaman
Beberapa waktu yang lalu (Jumat,19/11/2010) banyak orang
dikagetkan oleh pernyataan sikap yang dikeluarkan Presiden
Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono. Menanggapi
kasus penganiayaan Sumiati, Presiden tiba-tiba mengatakan
agar buruh migran yang diberangkatkan dibekali telepon
genggam.
Pernyataan tersebut langsung mendapat sorotan dan kritik dari
masyarakat, betapa sosok Presiden yang menjadi pemimpin
bangsa ternyata sama sekali tidak memahami inti masalah
(subtansi) perlindungan buruh migran. Pernyataan Presiden
tentang telepon genggam (HP) untuk buruh migran dinilai jauh
dari upaya serius pemerintah melindungi buruh migran.
Terlepas dari kritik yang dilontarkan banyak kalangan pada
Presiden tentang penanganan Buruh Migran Indonesia (BMI),
ada sebuah buku menarik yang ditulis oleh delapan pegiat
buruh migran dari beberapa daerah di Indonesia yang
merekam perjalanan mereka mendampingi buruh migran.
Buku berjudul Surat Kepada Presiden ini berisi kumpulan
tulisan ringan dari Arieya Sutrisno, seorang guru dari Cirebon,
Tri Maryaningsih, mantan pekerja rumah tangga (PRT) dari
Cilacap, Lili Purwani, mantan buruh migran asal Banyumas,
Titin Kartini, mantan buruh migran asal Kuningan,
Surat dari Mereka yang
Mengabdikan Diri untuk Hak-Hak BMIDiresensi oleh: Fathulloh
Arman, mantan buruh migran dari Malang, dan Wawan,
pegaiat paguyupan buruh migran di Blitar.
Melalui tulisan-tulisan yang mengalir lepas, mereka justru
memotret pelbagai kisah tentang buruh migran di daerah
masing-masing. Beberapa berupa informasi, pengalaman
mendampingi kasus, berbagai persoalan seputar buruh migran
seperti klaim asuransi, tes medis (medical check-up), gaji tidak
dibayar, dan lain-lain.
Seperti dituliskan Cardi Syaukani di halaman prakata, lewat
buku ini kita akan menjumpai kisah luar biasa dari
pengalaman para pegiat buruh migran di lapangan. Tri
Maryaningsih misalnya, pegiat asal Cilacap ini berjuang tanpa
lelah mendampingi beberapa kasus gaji buruh migran asal
daerahnya yang tidak dibayar. Dia berprinsip “keadaan susah
bukan berarti berakhir segalanya, masih ada yang tersisa dari
diri untuk diberikan orang lain, hati nurani.”
Prinsip Tri Maryaningsih dan kisah-kisah pegiat buruh migran
yang lain merupakan rekaman fakta yang terjadi di lapangan
dan tidak berlebihan jika surat yang mereka tujukan kepada
Presiden selaku wakil pemimpin bangsa untuk segera
membuka mata, dan bertindak cepat, mengurai persoalan