Walisongo berarti Sembilan orang Wali
Mereka adalah Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Giri,
Sunan Bonang, Sunan Dradjad, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan
Muria, serta Sunan Gunung Jati. Mereka tidak hidup pada saat yang
persis bersamaan. Namun satu sama lain mempunyai keterkaitan erat,
bila tidak dalam ikatan darah juga dalam hubungan guru-murid.
Maulana Malik Ibrahim yang tertua. Sunan Ampel anak Maulana
Malik Ibrahim. Sunan Giri adalah keponakan Maulana Malik Ibrahim
yang berarti juga sepupu Sunan Ampel. Sunan Bonang dan Sunan Drajad
adalah anak Sunan Ampel. Sunan Kalijaga merupakan sahabat sekaligus
murid Sunan Bonang. Sunan Muria anak Sunan Kalijaga. Sunan Kudus
murid Sunan Kalijaga. Sunan Gunung Jati adalah sahabat para Sunan
lain, kecuali Maulana Malik Ibrahim yang lebih dahulu
meninggal.
Mereka tinggal di pantai utara Jawa dari awal abad 15 hingga
pertengahan abad 16, di tiga wilayah penting. Yakni
Surabaya-Gresik-Lamongan di Jawa Timur, Demak-Kudus-Muria di Jawa
Tengah, serta Cirebon di Jawa Barat. Mereka adalah para intelektual
yang menjadi pembaharu masyarakat pada masanya. Mereka mengenalkan
berbagai bentuk peradaban baru: mulai dari kesehatan, bercocok
tanam, niaga, kebudayaan dan kesenian, kemasyarakatan hingga
pemerintahan.
Pesantren Ampel Denta dan Giri adalah dua institusi pendidikan
paling penting di masa itu. Dari Giri, peradaban Islam berkembang
ke seluruh wilayah timur Nusantara. Sunan Giri dan Sunan Gunung
Jati bukan hanya ulama, namun juga pemimpin pemerintahan. Sunan
Giri, Bonang, Kalijaga, dan Kudus adalah kreator karya seni yang
pengaruhnya masih terasa hingga sekarang. Sedangkan Sunan Muria
adalah pendamping sejati kaum jelata.
Era Walisongo adalah era berakhirnya dominasi Hindu-Budha dalam
budaya Nusantara untuk digantikan dengan kebudayaan Islam. Mereka
adalah simbol penyebaran Islam di Indonesia. Khususnya di Jawa.
Tentu banyak tokoh lain yang juga berperan. Namun peranan mereka
yang sangat besar dalam mendirikan Kerajaan Islam di Jawa, juga
pengaruhnya terhadap kebudayaan masyarakat secara luas serta dakwah
secara langsung, membuat sembilan wali ini lebih banyak disebut
dibanding yang lain. Masing-masing tokoh tersebut mempunyai peran
yang unik dalam penyebaran Islam. Mulai dari Maulana Malik Ibrahim
yang menempatkan diri sebagai tabib bagi Kerajaan Hindu Majapahit;
Sunan Giri yang disebut para kolonialis sebagai paus dari Timur
hingga Sunan Kalijaga yang mencipta karya kesenian dengan
menggunakan nuansa yang dapat dipahami masyarakat Jawa -yakni
nuansa Hindu dan Budha.
Maulana Malik Ibrahim (1)
Maulana Malik Ibrahim, atau Makdum Ibrahim As-Samarkandy
diperkirakan lahir di Samarkand, Asia Tengah, pada paruh awal abad
14. Babad Tanah Jawi versi Meinsma menyebutnya Asmarakandi,
mengikuti pengucapan lidah Jawa terhadap As-Samarkandy, berubah
menjadi Asmarakandi Maulana Malik Ibrahim kadang juga disebut
sebagai Syekh Magribi. Sebagian rakyat malah menyebutnya Kakek
Bantal. Ia bersaudara dengan Maulana Ishak, ulama terkenal di
Samudra Pasai, sekaligus ayah dari Sunan Giri (Raden Paku). Ibrahim
dan Ishak adalah anak dari seorang ulama Persia, bernama Maulana
Jumadil Kubro, yang menetap di Samarkand. Maulana Jumadil Kubro
diyakini sebagai keturunan ke-10 dari Syayidina Husein, cucu Nabi
Muhammad saw. Maulana Malik Ibrahim pernah bermukim di Campa,
sekarang Kamboja, selama tiga belas tahun sejak tahun 1379. Ia
malah menikahi putri raja, yang memberinya dua putra. Mereka adalah
Raden Rahmat (dikenal dengan Sunan Ampel) dan Sayid Ali Murtadha
alias Raden Santri. Merasa cukup menjalankan misi dakwah di negeri
itu, tahun 1392 M Maulana Malik Ibrahim hijrah ke Pulau Jawa
meninggalkan keluarganya. Beberapa versi menyatakan bahwa
kedatangannya disertai beberapa orang. Daerah yang ditujunya
pertama kali yakni desa Sembalo, daerah yang masih berada dalam
wilayah kekuasaan Majapahit. Desa Sembalo sekarang, adalah daerah
Leran kecamatan Manyar, 9 kilometer utara kota Gresik. Aktivitas
pertama yang dilakukannya ketika itu adalah berdagang dengan cara
membuka warung. Warung itu menyediakan kebutuhan pokok dengan harga
murah. Selain itu secara khusus Malik Ibrahim juga menyediakan diri
untuk mengobati masyarakat secara gratis. Sebagai tabib, kabarnya,
ia pernah diundang untuk mengobati istri raja yang berasal dari
Campa. Besar kemungkinan permaisuri tersebut masih kerabat
istrinya. Kakek Bantal juga mengajarkan cara-cara baru bercocok
tanam. Ia merangkul masyarakat bawah -kasta yang disisihkan dalam
Hindu. Maka sempurnalah misi pertamanya, yaitu mencari tempat di
hati masyarakat sekitar yang ketika itu tengah dilanda krisis
ekonomi dan perang saudara. Selesai membangun dan menata pondokan
tempat belajar agama di Leran, tahun 1419 M Maulana Malik Ibrahim
wafat. Makamnya kini terdapat di kampung Gapura, Gresik, Jawa
Timur.
Sunan Ampel (2)
Ia putera tertua Maulana Malik Ibrahim. Menurut Babad Tanah Jawi
dan Silsilah Sunan Kudus, di masa kecilnya ia dikenal dengan nama
Raden Rahmat. Ia lahir di Campa pada 1401 Masehi. Nama Ampel
sendiri, diidentikkan dengan nama tempat dimana ia lama bermukim.
Di daerah Ampel atau Ampel Denta, wilayah yang kini menjadi bagian
dari Surabaya (kota Wonokromo sekarang) Beberapa versi menyatakan
bahwa Sunan Ampel masuk ke pulau Jawa pada tahun 1443 M bersama
Sayid Ali Murtadho, sang adik. Tahun 1440, sebelum ke Jawa, mereka
singgah dulu di Palembang. Setelah tiga tahun di Palembang,
kemudian ia melabuh ke daerah Gresik. Dilanjutkan pergi ke
Majapahit menemui bibinya, seorang putri dari Campa, bernama
Dwarawati, yang dipersunting salah seorang raja Majapahit beragama
Hindu bergelar Prabu Sri Kertawijaya. Sunan Ampel menikah dengan
putri seorang adipati di Tuban. Dari perkawinannya itu ia
dikaruniai beberapa putera dan puteri. Diantaranya yang menjadi
penerusnya adalah Sunan Bonang dan Sunan Drajat. Ketika Kesultanan
Demak (25 kilometer arah selatan kota Kudus) hendak didirikan,
Sunan Ampel turut membidani lahirnya kerajaan Islam pertama di Jawa
itu. Ia pula yang menunjuk muridnya Raden Patah, putra dari Prabu
Brawijaya V raja Majapahit, untuk menjadi Sultan Demak tahun 1475
M. Di Ampel Denta yang berawa-rawa, daerah yang dihadiahkan Raja
Majapahit, ia membangun mengembangkan pondok pesantren. Mula-mula
ia merangkul masyarakat sekitarnya. Pada pertengahan Abad 15,
pesantren tersebut menjadi sentra pendidikan yang sangat
berpengaruh di wilayah Nusantara bahkan mancanegara. Di antara para
santrinya adalah Sunan Giri dan Raden Patah. Para santri tersebut
kemudian disebarnya untuk berdakwah ke berbagai pelosok Jawa dan
Madura. Sunan Ampel menganut fikih mahzab Hanafi. Namun, pada para
santrinya, ia hanya memberikan pengajaran sederhana yang menekankan
pada penanaman akidah dan ibadah. Dia-lah yang mengenalkan istilah
Mo Limo (moh main, moh ngombe, moh maling, moh madat, moh madon).
Yakni seruan untuk tidak berjudi, tidak minum minuman keras, tidak
mencuri, tidak menggunakan narkotik, dan tidak berzina. Sunan Ampel
diperkirakan wafat pada tahun 1481 M di Demak dan dimakamkan di
sebelah barat Masjid Ampel, Surabaya.
Sunan Giri (3)
Ia memiliki nama kecil Raden Paku, alias Muhammad Ainul Yakin.
Sunan Giri lahir di Blambangan (kini Banyuwangi) pada 1442 M. Ada
juga yang menyebutnya Jaka Samudra. Sebuah nama yang dikaitkan
dengan masa kecilnya yang pernah dibuang oleh keluarga
ibunyaseorang putri raja Blambangan bernama Dewi Sekardadu ke laut.
Raden Paku kemudian dipungut anak oleh Nyai Semboja (Babad Tanah
Jawi versi Meinsma). Ayahnya adalah Maulana Ishak. saudara
sekandung Maulana Malik Ibrahim. Maulana Ishak berhasil
meng-Islamkan isterinya, tapi gagal mengislamkan sang mertua. Oleh
karena itulah ia meninggalkan keluarga isterinya berkelana hingga
ke Samudra Pasai. Sunan Giri kecil menuntut ilmu di pesantren
misannya, Sunan Ampel, tempat dimana Raden Patah juga belajar. Ia
sempat berkelana ke Malaka dan Pasai. Setelah merasa cukup ilmu, ia
membuka pesantren di daerah perbukitan Desa Sidomukti, Selatan
Gresik. Dalam bahasa Jawa, bukit adalah giri. Maka ia dijuluki
Sunan Giri. Pesantrennya tak hanya dipergunakan sebagai tempat
pendidikan dalam arti sempit, namun juga sebagai pusat pengembangan
masyarakat. Raja Majapahit -konon karena khawatir Sunan Giri
mencetuskan pemberontakan- memberi keleluasaan padanya untuk
mengatur pemerintahan. Maka pesantren itupun berkembang menjadi
salah satu pusat kekuasaan yang disebut Giri Kedaton. Sebagai
pemimpin pemerintahan, Sunan Giri juga disebut sebagai Prabu
Satmata. Giri Kedaton tumbuh menjadi pusat politik yang penting di
Jawa, waktu itu. Ketika Raden Patah melepaskan diri dari Majapahit,
Sunan Giri malah bertindak sebagai penasihat dan panglima militer
Kesultanan Demak. Hal tersebut tercatat dalam Babad Demak.
Selanjutnya, Demak tak lepas dari pengaruh Sunan Giri. Ia diakui
juga sebagai mufti, pemimpin tertinggi keagamaan, se-Tanah Jawa.
Giri Kedaton bertahan hingga 200 tahun. Salah seorang penerusnya,
Pangeran Singosari, dikenal sebagai tokoh paling gigih menentang
kolusi VOC dan Amangkurat II pada Abad 18. Para santri pesantren
Giri juga dikenal sebagai penyebar Islam yang gigih ke berbagai
pulau, seperti Bawean, Kangean, Madura, Haruku, Ternate, hingga
Nusa Tenggara. Penyebar Islam ke Sulawesi Selatan, Datuk Ribandang
dan dua sahabatnya, adalah murid Sunan Giri yang berasal dari
Minangkabau. Dalam keagamaan, ia dikenal karena pengetahuannya yang
luas dalam ilmu fikih. Orang-orang pun menyebutnya sebagai Sultan
Abdul Fakih. Ia juga pecipta karya seni yang luar biasa. Permainan
anak seperti Jelungan, Jamuran, lir-ilir dan cublak suweng disebut
sebagai kreasi Sunan Giri. Demikian pula Gending Asmaradana dan
Pucung -lagi bernuansa Jawa namun syarat dengan ajaran Islam.
Beberapa babad menceritakan pendapat yang berbeda mengenai
silsilah Sunan Giri. Sebagian babad berpendapat bahwa ia adalah
anak Maulana Ishaq, seorang mubaligh yang datang dari Asia Tengah.
Maulana Ishaq diceritakan menikah dengan Dewi Sekardadu, yaitu
putri dari Menak Sembuyu penguasa wilayah Blambangan pada masa-masa
akhir kekuasaan Majapahit.Pendapat lainnya yang menyatakan bahwa
Sunan Giri juga merupakan keturunan Rasulullah SAW, yaitu melalui
jalur keturunan Husain bin Ali, Ali Zainal Abidin, Muhammad
al-Baqir, Ja'far ash-Shadiq, Ali al-Uraidhi, Muhammad an-Naqib, Isa
ar-Rumi, Ahmad al-Muhajir, Ubaidullah, Alwi Awwal, Muhammad Sahibus
Saumiah, Alwi ats-Tsani, Ali Khali' Qasam, Muhammad Shahib Mirbath,
Alwi Ammi al-Faqih, Abdul Malik (Ahmad Khan), Abdullah (al-Azhamat)
Khan, Ahmad Syah Jalal (Jalaluddin Khan), Jamaluddin Akbar
al-Husaini (Maulana Akbar), Ibrahim Zainuddin Al-Akbar
As-Samarqandy (Ibrahim Asmoro), Maulana Ishaq, dan Ainul Yaqin
(Sunan Giri). Umumnya pendapat tersebut adalah berdasarkan riwayat
pesantren-pesantren Jawa Timur, dan catatan nasab Sa'adah BaAlawi
Hadramaut.Dalam Hikayat Banjar, Pangeran Giri (alias Sunan Giri)
merupakan cucu Putri Pasai (Jeumpa?) dan Dipati Hangrok (alias
Brawijaya VI). Perkawinan Putri Pasai dengan Dipati Hangrok
melahirkan seorang putera. Putera ini yang tidak disebutkan namanya
menikah dengan puteri Raja Bali, kemudian melahirkan Pangeran Giri.
Putri Pasai adalah puteri Sultan Pasai yang diambil isteri oleh
Raja Majapahit yang bernama Dipati Hangrok (alias Brawijaya VI).
Mangkubumi Majapahit masa itu adalaha Patih Maudara.KisahSunan Giri
merupakan buah pernikahan dari Maulana Ishaq, seorang mubaligh
Islam dari Asia Tengah, dengan Dewi Sekardadu, putri Prabu Menak
Sembuyu penguasa wilayah Blambangan pada masa-masa akhir Majapahit.
Namun kelahirannya dianggap telah membawa kutukan berupa wabah
penyakit di wilayah tersebut. Maka ia dipaksa ayahandanya (Prabu
Menak Sembuyu) untuk membuang anak yang baru dilahirkannya itu.
Lalu, Dewi Sekardadu dengan rela menghanyutkan anaknya itu ke
laut/selat bali sekarang ini.Versi lain menyatakan bahwa pernikahan
Maulana Ishaq-Dewi Sekardadu tidak mendapat respon baik dari dua
patih yang sejatinya ingin menyunting dewi sekardadu (putri tunggal
Menak sembuyu sehingga kalau jadi suaminya, merekalah pewaris tahta
kerajaan. Ketika Sunan Giri lahir, untuk mewujudkan ambisinya,
kedua patih membuang bayi sunan giri ke laut yang dimasukkan ke
dalam peti.[rujukan?]Kemudian, bayi tersebut ditemukan oleh
sekelompok awak kapal (pelaut) - yakni sabar dan sobir - dan dibawa
ke Gresik. Di Gresik, dia diadopsi oleh seorang saudagar perempuan
pemilik kapal, Nyai Gede Pinatih. Karena ditemukan di laut, dia
menamakan bayi tersebut Joko Samudra.Ketika sudah cukup dewasa,
Joko Samudra dibawa ibunya ke Ampeldenta (kini di Surabaya) untuk
belajar agama kepada Sunan Ampel. Tak berapa lama setelah
mengajarnya, Sunan Ampel mengetahui identitas sebenarnya dari murid
kesayangannya itu. Kemudian, Sunan Ampel mengirimnya beserta
Makdhum Ibrahim (Sunan Bonang), untuk mendalami ajaran Islam di
Pasai. Mereka diterima oleh Maulana Ishaq yang tak lain adalah ayah
Joko Samudra. Di sinilah, Joko Samudra, yang ternyata bernama Raden
Paku, mengetahui asal-muasal dan alasan mengapa dia dulu
dibuang.Dakwah dan kesenianSetelah tiga tahun berguru kepada
ayahnya, Raden Paku atau lebih dikenal dengan Raden 'Ainul Yaqin
kembali ke Jawa. Ia kemudian mendirikan sebuah pesantren giri di
sebuah perbukitan di desa Sidomukti, Kebomas. Dalam bahasa Jawa,
giri berarti gunung. Sejak itulah, ia dikenal masyarakat dengan
sebutan Sunan Giri.Pesantren Giri kemudian menjadi terkenal sebagai
salah satu pusat penyebaran agama Islam di Jawa, bahkan pengaruhnya
sampai ke Madura, Lombok, Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku.
Pengaruh Giri terus berkembang sampai menjadi kerajaan kecil yang
disebut Giri Kedaton, yang menguasai Gresik dan sekitarnya selama
beberapa generasi sampai akhirnya ditumbangkan oleh Sultan
Agung.Terdapat beberapa karya seni tradisional Jawa yang sering
dianggap berhubungkan dengan Sunan Giri, diantaranya adalah
permainan-permainan anak seperti Jelungan, dan Cublak Suweng; serta
beberapa gending (lagu instrumental Jawa) seperti Asmaradana dan
Pucung.
Sunan Bonang (4)
Ia anak Sunan Ampel, yang berarti juga cucu Maulana Malik
Ibrahim. Nama kecilnya adalah Raden Makdum Ibrahim. Lahir
diperkirakan 1465 M dari seorang perempuan bernama Nyi Ageng
Manila, puteri seorang adipati di Tuban. Sunan Bonang dilahirkan
pada tahun 1465, dengan nama Raden Maulana Makdum Ibrahim. Dia
adalah putra Sunan Ampel dan Nyai Ageng Manila. Bonang adalah
sebuah desa di kabupaten Rembang. Nama Sunan Bonang diduga adalah
Bong Ang sesuai nama marga Bong seperti nama ayahnya Bong Swi Hoo
alias Sunan Ampel.Sunan Bonang wafat pada tahun 1525 M, dan saat
ini makam aslinya berada di Desa Bonang. Namun, yang sering
diziarahi adalah makamnya di kota Tuban. Lokasi makam Sunan Bonang
ada dua karena konon, saat beliau meninggal, kabar wafatnya beliau
sampai pada seoran g muridnya yang berasal dari Madura. Sang murid
sangat mengagumi beliau sampai ingin membawa jenazah beliau ke
Madura. Namun, murid tersebut tak dapat membawanya dan hanya dapat
membawa kain kafan dan pakaian-pakaian beliau. Saat melewati Tuban,
ada seorang murid Sunan Bonang yang berasal dari Tuban yang
mendengar ada murid dari Madura yang membawa jenazah Sunan Bonang.
Mereka memperebutkannya.Dalam Serat Darmo Gandhul, Sunan Bonang
disebut Sayyid Kramat merupakan seorang Arab keturunan Nabi
Muhammad.Daftar isi 1 Silsilah2 Karya Sastra 3 Keilmuan 4
ReferensiSilsilahTerdapat silsilah yang menghubungkan Sunan Bonang
dan Nabi Muhammad:[rujukan?]Sunan Bonang (Makdum Ibrahim) binSunan
Ampel (Raden Rahmat) Sayyid Ahmad Rahmatillah binMaulana Malik
Ibrahim binSyekh Jumadil Qubro (Jamaluddin Akbar Khan) binAhmad
Jalaludin Khan binAbdullah Khan binAbdul Malik Al-Muhajir (dari
Nasrabad,India) binAlawi Ammil Faqih (dari Hadramaut) binMuhammad
Sohib Mirbath (dari Hadramaut) binAli Kholi' Qosam binAlawi
Ats-Tsani binMuhammad Sohibus Saumi'ah binAlawi Awwal binUbaidullah
binMuhammad SyahrilAli Zainal 'Abidin binHussain binAli bin Abi
Thalib (dari Fatimah az-Zahra binti Muhammad SAW)Karya SastraSunan
Bonang banyak menggubah sastra berbentuk suluk atau tembang tamsil.
Antara lain Suluk Wijil yang dipengaruhi kitab Al Shidiq karya Abu
Sa'id Al Khayr. Sunan Bonang juga menggubah tembang Tamba Ati (dari
bahasa Jawa, berarti penyembuh jiwa) yang kini masih sering
dinyanyikan orang.Ada pula sebuah karya sastra dalam bahasa Jawa
yang dahulu diperkirakan merupakan karya Sunan Bonang dan oleh
ilmuwan Belanda seperti Schrieke disebut Het Boek van Bonang atau
buku (Sunan) Bonang. Tetapi oleh G.W.J. Drewes, seorang pakar
Belanda lainnya, dianggap bukan karya Sunan Bonang, melainkan
dianggapkan sebagai karyanya.Beliau juga menulis sebuah kitab yang
berisikan tentang Ilmu Tasawwuf berjudul Tanbihul Ghofilin. Kitab
setebal 234 hlmn ini sudah sangat populer dikalangan para
santri.KeilmuanSunan Bonang juga terkenal dalam hal ilmu
kebathinannya. Ia mengembangkan ilmu (dzikir) yang berasal dari
Rasullah SAW, kemudian beliau kombinasi dengan kesimbangan
pernapasan[rujukan?] yang disebut dengan rahasia Alif Lam Mim ( )
yang artinya hanya Allah SWT yang tahu. Sunan Bonang juga
menciptakan gerakan-gerakan fisik atau jurus yang Beliau ambil dari
seni bentuk huruf Hijaiyyah yang berjumlah 28 huruf dimulai dari
huruf Alif dan diakhiri huruf Ya'. Ia menciptakan Gerakan fisik
dari nama dan simbol huruf hijayyah adalah dengan tujuan yang
sangat mendalam dan penuh dengan makna, secara awam penulis artikan
yaitu mengajak murid-muridnya untuk menghafal huruf-huruf hijaiyyah
dan nantinya setelah mencapai tingkatnya diharuskan bisa baca dan
memahami isi Al-Qur'an. Penekanan keilmuan yang diciptakan Sunan
Bonang adalah mengajak murid-muridnya untuk melakukan Sujud atau
Salat dan dzikir. Hingga sekarang ilmu yang diciptakan oleh Sunan
Bonang masih dilestarikan di Indonesia oleh generasinya dan
diorganisasikan dengan nama Padepokan Ilmu Sujud Tenaga Dalam Silat
Tauhid IndonesiSunan Bonangdilahirkan pada tahun1465, dengan
namaRaden Maulana Makdum Ibrahim. Dia adalah putraSunan Ampeldan
Nyai Ageng Manila.Bonangadalah sebuah desa dikabupatenRembang. Nama
Sunan Bonang diduga adalah Bong Ang sesuai nama marga Bong seperti
nama ayahnya Bong Swi Hoo aliasSunan Ampel.
Berbicara tentangSunan Bonangyang namanya didepan tercantum
kata-kata Maulana Makdum, mengingatkan kita kembali kepada cerita
di dalam sejarah Melayu. Konon kabarnya dalam sejarah Melayu pun
dahulu ada pula tersebut tentang cendekiawan islam yang memakai
gelar Makdum, yaitu gelar yang lazim dipakai di India. kata atau
gelar Makdum ini merupakan sinonim kata Maula atau Malauy gelar
kepada orang besar agama berasal dari kata KhodamaYakhdamu dan
infinitifnya (masdarnya) khidmat. Maf'ulnya dikatakan makhdum
artinya orang yang harus dikhidmati atau dihormati karena
kedudukannya dalam agama atau pemerintahan Islam di waktu itu.
Dakwah Sunan BonangDalam berdakwah Raden Makdum Ibrahim ini
sering mempergunakan kesenian rakyat untuk menarik simpati mereka,
yaitu berupa seperangkat gamelan yang disebut Bonang. Bonang adalah
sejenis kuningan yang ditonjolkan dibagian tengahnya. Bila benjolan
itu dipukul dengan kayu lunak timbulah suara yang merdu di telinga
penduduk setempat.
Lebih-lebih bila Raden Makdum Ibrahim sendiri yang
membunyikanalatmusik itu, beliau adalah seorang wali yang mempunyai
cita rasa seni yang tinggi, sehingga apabila beliau bunyikan
pengaruhnya sangat hebat bagi pendengarnya.Setiap Raden Makdum
Ibrahim membunyikan Bonang pasti banyak penduduk yang datang ingin
mendengarnya. Dan tidak sedikit dari mereka yang ingin belajar
membunyikan Bonang sekaligus melagukan tembang-tembang ciptaan
Raden Makdum Ibrahim. Begitulah siasat Raden Makdum Ibrahim yang
dijalankan penuh kesabaran. Setelah rakyat berhasil direbut
simpatinya tinggal mengisikan saja ajaran agama Islam kepada
mereka.
Alat Musik Bonang
Tembang-tembang yang diajarkan Raden Makdum Ibrahim adalah
tembang yang berisikan ajaran agama Islam. Sehingga tanpa terasa
penduduk sudah mempelajari agama Islam dengan senang hati, bukan
dengan paksaan.Murid-murid Raden Makdum Ibrahim ini sangat banyak,
baik yang berada di Tuban, Pulau Bawean, Jepara, Surabaya maupun
Madura. Karena beliau sering mempergunakan Bonang dalam berdakwah
maka masyarakat memberinya gelar Sunan Bonang
Ajaran Sunan Bonang
Ajaran Sunan Bonang berintikan pada filsafat 'cinta'('isyq).
Sangat mirip dengan kecenderungan Jalalludin Rumi. Menurut Bonang,
cinta sama dengan iman, pengetahuan intuitif (makrifat) dan
kepatuhan kepada Allah SWT atau haq al yaqqin. Ajaran tersebut
disampaikannya secara populer melalui media kesenian yang disukai
masyarakat. Dalam hal ini, Sunan Bonang bahu-membahu dengan murid
utamanya, Sunan Kalijaga.
Sunan Bonang banyak melahirkan karya sastra berupa suluk, atau
tembang tamsil. Salah satunya adalah "Suluk Wijil" yang tampak
dipengaruhi kitab Al Shidiq karya Abu Sa'id Al Khayr (wafat pada
899). Suluknya banyak menggunakan tamsil cermin, bangau atau burung
laut. Sebuah pendekatan yang juga digunakan oleh Ibnu Arabi,
Fariduddin Attar, Rumi serta Hamzah Fansuri.
Sunan Bonang juga menggubah gamelan Jawa yang saat itu kental
dengan estetika Hindu, dengan memberi nuansa baru. Dialah yang
menjadi kreator gamelan Jawa seperti sekarang, dengan menambahkan
instrumen bonang. Gubahannya ketika itu memiliki nuansa dzikir yang
mendorong kecintaan pada kehidupan transedental (alam malakut).
Tembang "Tombo Ati" adalah salah satu karya Sunan Bonang.
Dalam pentas pewayangan, Sunan Bonang adalah dalang yang piawai
membius penontonnya. Kegemarannya adalah menggubah lakon dan
memasukkan tafsir-tafsir khas Islam. Kisah perseteruan
Pandawa-Kurawa.
Makam Sunan BonangSunan Bonang sering berdakwah keliling hingga
usia lanjut. Beliau meninggal dunia pada saat berdakwah di Pulau
Bawean.Berita segera disebarkan ke seluruh tanah jawa. Para murid
berdatangan dari segala penjuru untuk berduka cita dan memberikan
penghormatan yang terakhir.Murid-murid yang berada di Pulau Bawean
hendak memakamkan beliau di Pulau Bawean. Tetapi murid yang berasal
dari Madura dan Surabaya menginginkan jenasah beliau dimakamkan di
dekat ayahnya yaitu Sunan Ampel di Surabaya.
Dalam hal memberikan kain kafan pembungkus jenasah mereka pun
tak mau kalah. Jenasah yang sudah dibungkus dengan kain kafan milik
orang bawean masih ditambah lagi dengan kain kafan dari
Surabaya.Pada malam harinya, orang-orang Madura dan Surabaya
menggunakan ilmu sirep untuk membikin ngantuk orang-orang Bawean
dan Tuban. Lalu mengangkut jenasah Sunan Bonang kedalam kapal dan
hendak dibawa ke Surabaya. Karena tindakannya tergesa-gesa kain
kafan jenasah tertinggal satu.
Kapal layar segera bergerak ke arah Surabaya, tetapi ketika
berada diperairan Tuban tiba-tiba kapal yang dipergunakan tidak
bisa bergerak akhirnya jenasah Sunan Bonang dimakamkan di Tuban
yaitu sebelah barat Mesjid Jami Tuban.Sementara kain kafannya yang
ditinggal di Bawean ternyata juga ada jenasahnya. Orang-orang
Bawean pun menguburkannya dengan penuh khidmat.
Pasujudan Sunan Bonang
Dengan demikian ada dua jenasah Sunan Bonang, inilah karomah
atau kelebihan yang diberikan Allah kepada beliau. Dengan demikian
tak ada permusuhan diantara murid-muridnya.
Sunan Bonang wafat pada tahun 1525 M. Makam yang dianggap asli
adalah yang berada dikota Tuban sehingga sampai sekarang makam itu
banyak yang diziarahi orang darisegalapenjuru tanah air.
- See more at:
http://garissinggung.blogspot.com/2013/06/sejarah-sunan-bonang-raden-maulana.html#sthash.l9MwP7Cd.dpuf
Sunan Kalijaga (5)
Dialah wali yang namanya paling banyak disebut masyarakat Jawa.
Ia lahir sekitar tahun 1450 Masehi. Ayahnya adalah Arya Wilatikta,
Adipati Tuban -keturunan dari tokoh pemberontak Majapahit,
Ronggolawe. Masa itu, Arya Wilatikta diperkirakan telah menganut
Islam Nama kecil Sunan Kalijaga adalah Raden Said. Ia juga memiliki
sejumlah nama panggilan seperti Lokajaya, Syekh Malaya, Pangeran
Tuban atau Raden Abdurrahman.Terdapat beragam versi menyangkut
asal-usul nama Kalijaga yang disandangnya. Masyarakat Cirebon
berpendapat bahwa nama itu berasal dari dusun Kalijaga di Cirebon.
Sunan Kalijaga memang pernah tinggal di Cirebon dan bersahabat erat
dengan Sunan Gunung Jati. Kalangan Jawa mengaitkannya dengan
kesukaan wali ini untuk berendam (kungkum) di sungai (kali) atau
jaga kali. Namun ada yang menyebut istilah itu berasal dari bahasa
Arab qadli dzaqa yang menunjuk statusnya sebagai penghulu suci
kesultanan. Masa hidup Sunan Kalijaga diperkirakan mencapai lebih
dari 100 tahun. Dengan demikian ia mengalami masa akhir kekuasaan
Majapahit (berakhir 1478), Kesultanan Demak, Kesultanan Cirebon dan
Banten, bahkan juga Kerajaan Pajang yang lahir pada 1546 serta awal
kehadiran Kerajaan Mataram dibawah pimpinan Panembahan Senopati. Ia
ikut pula merancang pembangunan Masjid Agung Cirebon dan Masjid
Agung Demak. Tiang tatal (pecahan kayu) yang merupakan salah satu
dari tiang utama masjid adalah kreasi Sunan Kalijaga. Dalam dakwah,
ia punya pola yang sama dengan mentor sekaligus sahabat dekatnya,
Sunan Bonang. Paham keagamaannya cenderung sufistik berbasis salaf
-bukan sufi panteistik (pemujaan semata). Ia juga memilih kesenian
dan kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah. Ia sangat toleran
pada budaya lokal. Ia berpendapat bahwa masyarakat akan menjauh
jika diserang pendiriannya. Maka mereka harus didekati secara
bertahap: mengikuti sambil mempengaruhi. Sunan Kalijaga
berkeyakinan jika Islam sudah dipahami, dengan sendirinya kebiasaan
lama hilang. Maka ajaran Sunan Kalijaga terkesan sinkretis dalam
mengenalkan Islam. Ia menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta
seni suara suluk sebagai sarana dakwah. Dialah pencipta Baju takwa,
perayaan sekatenan, grebeg maulud, Layang Kalimasada, lakon wayang
Petruk Jadi Raja. Lanskap pusat kota berupa Kraton, alun-alun
dengan dua beringin serta masjid diyakini sebagai karya Sunan
Kalijaga. Metode dakwah tersebut sangat efektif. Sebagian besar
adipati di Jawa memeluk Islam melalui Sunan Kalijaga. Di antaranya
adalah Adipati Padanaran, Kartasura, Kebumen, Banyumas, serta
Pajang (sekarang Kotagede Yogya). Sunan Kalijaga dimakamkan di
Kadilangu -selatan Demak.Sunan Gunung Jati (6)
Banyak kisah tak masuk akal yang dikaitkan dengan Sunan Gunung
Jati. Diantaranya adalah bahwa ia pernah mengalami perjalanan
spiritual seperti Isra Miraj, lalu bertemu Rasulullah SAW, bertemu
Nabi Khidir, dan menerima wasiat Nabi Sulaeman. (Babad Cirebon
Naskah Klayan hal.xxii). Semua itu hanya mengisyaratkan kekaguman
masyarakat masa itu pada Sunan Gunung Jati. Sunan Gunung Jati atau
Syarif Hidayatullah diperkirakan lahir sekitar tahun 1448 M. Ibunya
adalah Nyai Rara Santang, putri dari raja Pajajaran Raden Manah
Rarasa. Sedangkan ayahnya adalah Sultan Syarif Abdullah Maulana
Huda, pembesar Mesir keturunan Bani Hasyim dari Palestina. Syarif
Hidayatullah mendalami ilmu agama sejak berusia 14 tahun dari para
ulama Mesir. Ia sempat berkelana ke berbagai negara. Menyusul
berdirinya Kesultanan Bintoro Demak, dan atas restu kalangan ulama
lain, ia mendirikan Kasultanan Cirebon yang juga dikenal sebagai
Kasultanan Pakungwati. Dengan demikian, Sunan Gunung Jati adalah
satu-satunya wali songo yang memimpin pemerintahan. Sunan Gunung
Jati memanfaatkan pengaruhnya sebagai putra Raja Pajajaran untuk
menyebarkan Islam dari pesisir Cirebon ke pedalaman Pasundan atau
Priangan. Dalam berdakwah, ia menganut kecenderungan Timur Tengah
yang lugas. Namun ia juga mendekati rakyat dengan membangun
infrastruktur berupa jalan-jalan yang menghubungkan antar wilayah.
Bersama putranya, Maulana Hasanuddin, Sunan Gunung Jati juga
melakukan ekspedisi ke Banten. Penguasa setempat, Pucuk Umum,
menyerahkan sukarela penguasaan wilayah Banten tersebut yang
kemudian menjadi cikal bakal Kesultanan Banten. Pada usia 89 tahun,
Sunan Gunung Jati mundur dari jabatannya untuk hanya menekuni
dakwah. Kekuasaan itu diserahkannya kepada Pangeran Pasarean. Pada
tahun 1568 M, Sunan Gunung Jati wafat dalam usia 120 tahun, di
Cirebon (dulu Carbon). Ia dimakamkan di daerah Gunung Sembung,
Gunung Jati, sekitar 15 kilometer sebelum kota Cirebon dari arah
barat.
Sunan Drajat (7)
Nama kecilnya Raden Qosim. Ia anak Sunan Ampel. Dengan demikian
ia bersaudara dengan Sunan Bonang. Diperkirakan Sunan Drajat yang
bergelar Raden Syaifuddin ini lahir pada tahun 1470 M Sunan Drajat
mendapat tugas pertama kali dari ayahnya untuk berdakwah ke pesisir
Gresik, melalui laut. Ia kemudian terdampar di Dusun Jelog pesisir
Banjarwati atau Lamongan sekarang. Tapi setahun berikutnya Sunan
Drajat berpindah 1 kilometer ke selatan dan mendirikan padepokan
santri Dalem Duwur, yang kini bernama Desa Drajat,
Paciran-Lamongan. Dalam pengajaran tauhid dan akidah, Sunan Drajat
mengambil cara ayahnya: langsung dan tidak banyak mendekati budaya
lokal. Meskipun demikian, cara penyampaiannya mengadaptasi cara
berkesenian yang dilakukan Sunan Muria. Terutama seni suluk. Maka
ia menggubah sejumlah suluk, di antaranya adalah suluk petuah
berilah tongkat pada si buta/beri makan pada yang lapar/beri
pakaian pada yang telanjang. Sunan Drajat juga dikenal sebagai
seorang bersahaja yang suka menolong. Di pondok pesantrennya, ia
banyak memelihara anak-anak yatim-piatu dan fakir miskin.
Sunan Kudus (8)
Nama kecilnya Jaffar Shadiq. Ia putra pasangan Sunan Ngudung dan
Syarifah (adik Sunan Bonang), anak Nyi Ageng Maloka. Disebutkan
bahwa Sunan Ngudung adalah salah seorang putra Sultan di Mesir yang
berkelana hingga di Jawa. Di Kesultanan Demak, ia pun diangkat
menjadi Panglima Perang.Sunan Kudus banyak berguru pada Sunan
Kalijaga. Kemudian ia berkelana ke berbagai daerah tandus di Jawa
Tengah seperti Sragen, Simo hingga Gunung Kidul. Cara berdakwahnya
pun meniru pendekatan Sunan Kalijaga: sangat toleran pada budaya
setempat. Cara penyampaiannya bahkan lebih halus. Itu sebabnya para
wali yang kesulitan mencari pendakwah ke Kudus yang mayoritas
masyarakatnya pemeluk teguh-menunjuknya. Cara Sunan Kudus mendekati
masyarakat Kudus adalah dengan memanfaatkan simbol-simbol Hindu dan
Budha. Hal itu terlihat dari arsitektur masjid Kudus. Bentuk
menara, gerbang dan pancuran/padasan wudhu yang melambangkan
delapan jalan Budha. Sebuah wujud kompromi yang dilakukan Sunan
Kudus. Suatu waktu, ia memancing masyarakat untuk pergi ke masjid
mendengarkan tabligh-nya. Untuk itu, ia sengaja menambatkan sapinya
yang diberi nama Kebo Gumarang di halaman masjid. Orang-orang Hindu
yang mengagungkan sapi, menjadi simpati. Apalagi setelah mereka
mendengar penjelasan Sunan Kudus tentang surat Al Baqarah yang
berarti sapi betina. Sampai sekarang, sebagian masyarakat
tradisional Kudus, masih menolak untuk menyembelih sapi. Sunan
Kudus juga menggubah cerita-cerita ketauhidan. Kisah tersebut
disusunnya secara berseri, sehingga masyarakat tertarik untuk
mengikuti kelanjutannya. Sebuah pendekatan yang tampaknya
mengadopsi cerita 1001 malam dari masa kekhalifahan Abbasiyah.
Dengan begitulah Sunan Kudus mengikat masyarakatnya. Bukan hanya
berdakwah seperti itu yang dilakukan Sunan Kudus. Sebagaimana
ayahnya, ia juga pernah menjadi Panglima Perang Kesultanan Demak.
Ia ikut bertempur saat Demak, di bawah kepemimpinan Sultan Prawata,
bertempur melawan Adipati Jipang, Arya Penangsang.
Sunan Muria (9)
Ia putra Dewi Saroh adik kandung Sunan Giri sekaligus anak Syekh
Maulana Ishak, dengan Sunan Kalijaga. Nama kecilnya adalah Raden
Prawoto. Nama Muria diambil dari tempat tinggal terakhirnya di
lereng Gunung Muria, 18 kilometer ke utara kota Kudus Gaya
berdakwahnya banyak mengambil cara ayahnya, Sunan Kalijaga. Namun
berbeda dengan sang ayah, Sunan Muria lebih suka tinggal di daerah
sangat terpencil dan jauh dari pusat kota untuk menyebarkan agama
Islam. Bergaul dengan rakyat jelata, sambil mengajarkan
keterampilan-keterampilan bercocok tanam, berdagang dan melaut
adalah kesukaannya. Sunan Muria seringkali dijadikan pula sebagai
penengah dalam konflik internal di Kesultanan Demak (1518-1530), Ia
dikenal sebagai pribadi yang mampu memecahkan berbagai masalah
betapapun rumitnya masalah itu. Solusi pemecahannya pun selalu
dapat diterima oleh semua pihak yang berseteru. Sunan Muria
berdakwah dari Jepara, Tayu, Juana hingga sekitar Kudus dan Pati.
Salah satu hasil dakwahnya lewat seni adalah lagu Sinom dan
KinantiKisah dan Sejarah Sunan KalijagaMenurut sejarah, Raden Mas
Syahid atau yang kemudian bergelar "Sunan Kalijaga" adalah putera
dari Ki Tumenggung Wilatikta yaitu Bupati Tuban. Ada juga yang
mengatakan bahwa nama lengkap ayah Sunan Kalijaga ialah Raden Sahur
Tumenggung Wilatikta. Bahkan dikatakan dalam suatu cerita bahwa
dalam perkawinannya dengan Dewi Saroh binti Maulana Ishak, Sunan
Kalijaga memperoleh 3 orang putera, masing-masing ialah :1. Raden
Umar Said (Sunan Muria)2. Dewi Ruqayyah.3. Dewi Sofiyah.Ada cerita
lain yang tersebut di dalam buku "Pustaka Darah Agung", bahwa
karena Sunan Kalijaga lama berguru dengan Sunan Syarif Hidayatullah
Cirebon, maka beliau pernah kawin dengan Dewi Sarokah, yaitu anak
puteri Sunan Syarif Hidayatullah dan memperoleh 5 (lima) orang
anak, yaitu :1. Kanjeng Ratu Pembayun yang menjadi isteri Raden
Trenggono (Demak).2. Nyai Ageng Pahenggak yang kemudian kawin
dengan Kyai Ageng Pakar.3. Sunan Hadi (yang menjadi Panembahan
Kali) menggantikan Sunan Kalijaga sebagai Kepala Perdikan
Kadilangu.4. Raden Abdurrahman.5. Nyai Ageng Ngerang.Sunan Kalijaga
disebut juga dengan nama-nama seperti Raden Syahid, Raden
Abdurrahman, Lokojoyo, Jogoboyo dan Pangeran Tuban. Sewaktu masih
usia muda Raden Syahid pernah berguru dengan Sunan Ampel dan juga
kepada Sunan Bonang, pada suatu saat beliau diperin-tahkan untuk
menuju Cirebon berguru kepada Syekh Syarif Hidayatullah (Sunan
Gunung Jati). Lalu diperintahkan bertapa di pinggiran sungai di
suatu desa bernama "Kalijaga". Selain itu Raden Syahid yang
kemudian lebih dikenal dengan sebutan Sunan Kalijaga itu tergolong
anak muda yang cerdas, terampil, pemberani dan berjiwa besar.
Ilmu-ilmu yang diambil dari gurunya antara lain ialah ilmu hakekat,
ilmu syariah, ilmu kanuragan, ilmu filsafat, ilmu kesenian dan lain
sebagainya, sehingga beliau dikenal masyarakat pada saat itu
sebagai seorang ahli tauhid, mahir dalam ilmu syariat, mampu
menguasai ilmu strategi perjuangan dan juga seorang failasof.
Bahkan ahli pula di bidang sastra sehingga terkenal juga sebagai
seorang pujangga karena syair-syairnya yang indah, terutama
syair-syair Jawa. Setelah selesai bertapa dan menuntut ilmu Sunan
Kalijaga kembali ke Demak dan oleh kalangan Walisongo di Demak
beliau diberi sebutan Kalijaga"Lantaran ilmu-ilmu dan kemampuan
pribadi yang dimiliki itu, akhirnya Sunan Kalijaga termasuk salah
seorang anggota kelompok "Walisongo" atau "Wali Sembilan" yang
bergerak dibawah pengaturan kekuasaan Sultan Patah di Demak. Beliau
ditugaskan oleh kelompok Walisongo ini untuk menggarap masyarakat
di daerah-daerah pedalaman yang kondisinya sangat rawan, karena
perilaku kehidupan mereka yang sangat tidak terpuji, misalnya di
daerah yang sering terjadi pencurian dan pembunuhan, di daerah yang
masyarakatnya suka berjudi, meminum minuman keras dan lain
sebagainya.Sunan Kalijaga dan Masjid KadilanguSewaktu Sunan
Kalijaga masih hidup, Masjid Kadilangu itu masih berupa Surau
kecil. Setelah Sunan Kalijaga wafat dan digantikan oleh puteranya
yang bernama Sunan Hadi (putera ketiga). Surau tersebut
disempurnakan bangunannya hingga berupa masjid seperti terlihat
sekarang ini. Disebutkan di sebuah prasasti yang terdapat di atas
pintu masjid sebelah dalam yang berbunyi : "Meniko titi mongso
ngadekipun masjid ngadilangu hing dino Ahad Wage tanggal 16 sasi
dzul-hijjah tahun tarikh jawi 1456, (ini waktunya berdiri Masjid
Kadilangu pada hari Ahad Wage tanggal 16 bulan Dzul-hijjah tahun
tarikh Jawa 1456). Tulisan tersebut aslinya bertulisan huruf Arab.
Menurut tutur rakyat Masjid Kadilangu ini sudah beberapa kali
mengalami perbaikan di sana sini, sehingga banyak bagian
bangunannya yang sudah tidak asli, terutama bagian luarnya.Di
Cirebon tepatnya di desa Kalijaga telah terdapat sebuah masjid
kuno, letaknya bersebelahan dengan petilasan pertapaan Sunan
Kalijaga. Masjid ini oleh masyarakat Cirebon khususnya dikenal
dengan nama "Masjid Sunan Kalijaga". Masjid ini tampak sudah tua,
meskipun sudah dilakukan perbaikan terutama bagian dinding luar.
Ada beberapa pendapat tentang berdirinya Masjid Kadilangu1. Ada
yang mengatakan, bahwa masjid tersebut berdiri sebelum Sunan
Kalijaga berada di tempat pertapaannya itu. Pada waktu Sunan
Kalijaga bertapa, setiap waktu shalat beliau mengerjakan shalatnya
di dalam masjid tersebut. Sehingga masyarakat sekeliling pada waktu
itu menyebutnya dengan nama masjid Sunan Kalijaga.2. Ada yang
mengatakan, bahwa masjid tersebut berdiri setelah Sunan Kalijaga
selesai melakukan tapa (semedi). Berhubung masjid tersebut letaknya
berdampingan dengan tempat pertapaan Sunan Kalijaga, maka olen
masyarakat kemudian dinamai masjid "Sunan Kalijaga".Kedua pendapat
tersebut memang sulit untuk dibuktikan kebenarannya, karena memang
sampai sekarang tutur rakyat tersebut tidak dapat dibuktikan dengan
bukti-bukti nyata peninggalan sejarah. Tapi yang jelas sampai
sekarang masyarakat Cirebon pada menyebut masjid tersebut dengan
nama "Masjid Sunan Kalijaga".Masjid ini tampak kelihatan dari luar
sangat angker, mungkin karena letaknya yang berada di tengah-tengah
hutan yang penuh dengan ratusan binatang "kera". Di sekeliling
masjid tersebut hanya ada penduduk yang jumlah-nya sedikit, kurang
lebih terdiri dari sembilan rumah. Masjid ini tampak kurang
berfungsi, baik untuk berjamaah shalat lima waktu maupun sebagai
tempat atau pusat kegiatan penyiaran agama Islam.Cetak Kembali
Perjuangan Sunan KalijagaPada saat giat-giatnya para Walisongo
berjuang menyiarkan agama Islam, maka Sunan Kalijaga yang termasuk
di dalamnya tidak ketinggalan untuk bangkit memperjuangkan syiar
dan tegaknya agama Islam, khususnya di tanah Jawa. Beliau termasuk
kalangan mereka para Wali yang masih muda, tetapi mempunyai
kemampuan yang luar biasa, baik kecerdasan dan ilmu-ilmu yang
dimiliki, maupun kondisi umur dan tenaga yang masih muda bila
dibanding-kan dengan yang lainnya.Ternyata Sunan Kalijaga di dalam
gerak perjuangannya tidak lepas dari penugasan khusus dan bimbingan
yang diberikan oleh para sesepuh Walisongo, misalnya bimbingan yang
diberikan oleh Sunan Ampel dan Sunan Bonang di samping dari pihak
Kesultanan Patah di Demak. Beliau mendapatkan tugas terutama untuk
menggarap rakyat di daerah-daerah yang rawan tata kerama, rawan
tata susila dan masih kuat dipengaruhi oleh kepercayaan-kepercayaan
agama Hindu dan Budha serta masih melakukan kebiasaan-kebiasaan
warisan nenek moyang mereka. Karena itu Sunan Kalijaga benar-benar
membanting tulang tidak hanya melakukan dakwah di suatu daerah
saja, melainkan hilir mudik, keluar masuk hutan dan pegunungan,
siang malam terus melakukan tugasnya itu. Beliau terus keliling
dari daerah satu ke daerah yang lainnya, sehingga terkenal sebagai
"Muballigh Keliling".Selain itu Sunan Kalijaga telah mampu
menciptakan cara-cara khusus di dalam menyampaikan ajaran agama
isiam kepada rakyat, tidak sebagaimana yang ditempuh oleh yang
lainnya. Beliau memberanikan diri bertabligh atau berdakwah dengan
melalui pertunjukan kesenian berupa "Wayang" lengkap dengan
gamelannya. Sedangkan cerita-cerita yang ada di dalam lakon
pewayangannya itu diramu (dicampur halus) dengan butir-butir
tuntunan agama Islam dan diselingi dengan syair-syair jawa yang
mengandung ajaran agama Islam pula, sehingga rakyat yang menonton
dan mendengarkan cerita wayang yang dipertunjukkan Sunan Kalijaga
itu tidak merasakan bahwa dirinya sudah mulai kemasukan ajaran
agama Islam.Cara-cara dakwah Sunan Kalijaga yang semacam ini
diterapkan dalam perjuangannya itu lantaran adanya
pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut :a. Bahwa rakyat dan
penduduk tanah Jawa pada saat itu masih kuat dipengaruhi oleh
kepercayaan agama Hindu dan Budha atau juga oleh kepercayaan
warisan nenek moyang mereka dahulu, sehingga tidak mungkin begitu
saja mudah untuk dialihkan kepercayaannya. Karena itu haijus
pelan-pelan memasukkannya ajaran agama Islam, tidak bisa melalui
kekerasan.b. Bahwa rakyat di tanah Jawa pada saat itu masih kuat di
dalam memegang adat-istiadat dan budaya nenek moyangnya, baik yang
bersumber dari ajaran agama Hindu dan Budha, maupun kepercayaan
animisme yang mereka yakini salama itu, sehingga tidak mudah
merubah begitu saja terhadap adat-istiadat dan budaya tersebut,
tetapi Sunan Kalijaga justru membiarkan adat-istiadat dan budaya
tersebut tetap berjalan di tengah-tengah mereka, hanya saja sedikit
demi sedikit adat-istiadat dan budaya itu dimasuki dengan ajaran
agama Islam, baik yang menyangkut hakekat (tauhid) maupun syariah
serta akhlaqul karimah.Dengan pertimbangan keadaan rakyat yang
seperti itu maka Sunan Kalijaga harus berpikir untuk menemukan cara
yang paling tepat. dalam perjuangan mengajak mereka memeluk agama
Islam, maka ditemvkanlah jalan yaitu bertabligh dengan menyuguhkan
"kesenian wayang" yang saat itu sedang digemari oleh masyarakat di
tanah jawa ini.Tidak hanya cara itu saja yang ditempuh oleh Sunan
Kalijaga, tetapi beliau bahkan sering bercampur-bawur dengan rakyat
yang boleh dikatakan masih "abangan". Demikian menurut berita
rakyat yang bisa diterima. Suatu saat beliau bercampur dengan
orang-orang yang masih kotor pribadinya dari prilaku terpuji,
misalnya orang-orang yang kesukaannya mengadu ayam, berjudi,
meminum minuman keras juga terhadap orang yang pekerjaaannya
mencuri dan lain sebagainya. Beliau bercampur dengan mereka itu
sedikitpun tidak memperlihatkan "sikap fanatik" terhadap mereka
melainkan justru Sunan Kalijaga membina dan membimbing mereka
secara pelan-pelan menuju jalan yang benar sesuai dengan tuntunan
ajaran agama Islam. Akhirnya prilaku rakyat yang semacam itu dapat
dirubah oleh Sunan Kalijaga dengan tatanan tuntunan ajaran agama
Islam, meskipun harus memutar otak dan membanting tulang. Mereka
menjadi sadar, bahwa apa yang diperbuat semuanya itu telah
merugikan dirinya dan dapat berakibat fatal terhadap rakyat
banyak.Sementara itu ada juga orang yang beranggapan, bahwa sikap
dan prilaku Sunan Kalijaga yang sering terlihat "sok campur dengan
orang-orang jelek, sok campur dengan orang-orang abangan" lalu
memberikan penilaian dan bahkan memberikan sebutan sebagai "Wali
Abangan". Berdasar cerita di atas tadi, maka sebutan dan anggapan
tersebut adalah "tidak benar", karena apa yang diperbuat oleh Sunan
Kalijaga seperti itu sesungguhnya merupakan sikap menjalankan
perintah dari Walisongo bukan karena sikap laku dirinya lantaran
kebodohannya.Hampir seluruh masa hidup Sunan Kalijaga benar-benar
dipergunakan untuk berjuang demi syiarnya agama Islam, khususnya di
tanah Jawa sebagaimana para Wali yang lainnya. Akhirnya beliau
wafat, sayang sampai sekarang belum ada ahli sejarah satupun yang
dapat menemukan tahun wafatnya. Bahkan juga tahun kelahiran beliau
hanya ada berita-berita dari rakyat yang menyatakan bahwa Sunan
Kalijaga wafat setelah berumur panjang sekali, se-hingga pada masa
hidupnya dapat mengalami masa kekuasaan 3 (tiga) kerajaan, yaitu
:1. Pertama Masa kekuasaan kerajaan Majapahit.2. Kedua Masa
kekuasaan kerajaan Demak.3. Ketiga Masa kekuasaan kerajaan
Pajang.Sampai sekarang hanya bisa diketahui makamnya, yaitu di desa
"Kadilangu" Kab. Demak, kurang lebih 2 (dua) km. dari Masjid Agung
DemakSunan Kalijaga dan Kotang Onto KusumoMenurut cerita rakyat
yang dituturkan turun temurun sampai sekarang menyatakan, bahwa
dahulu sewaktu para Walisongo sudah selesai menunaikan shalat
Shubuh di Masjid Agung Demak, tiba-tiba terlihatlah ada sebuah
"bungkusan" yang terletak di depan Mikhrab. Sehingga Sunan Bonang
pun meminta supaya Sunan Kalijaga mengambil dan memeriksanya.
Ketika dibuka oleh Sunan Kalijaga ternyata bungkusan tersebut
berisi "baju" (kotang), kulit kambing dan secarik kertas yang
menerangkan baju itu adalah anugerah dari Nabi Muhammad saw. dan
juga kulit kambing yang ada untuk dibuat baju. Kedua baju itu
sampai sekarang masih terawat baik, yang pertama "baju ontokusumo"
dan yang kedua yakni yang terbuat dari kulit kambing dinamai "baju
Kyai Gondil". Menurut cerita, baju ontokusumo sekarang disimpan di
musium kraton Solo dan baju Kyai Gondil sekarang tersimpan dalam
makam Sunan Kalijaga di Kadilangu (Demak).Namu ada juga yang
menerangkan bahwa bungkusan itu tidak terletak di depan mikhrab,
akan tetapi bergantung di atas mikhrab, dan oleh Sunan Bonang
bungkusan itu lalu dikait dengan tongkatnya. Ternyata bungkusan itu
dari kulit kambing yang di dalamnya terdapat surat dan baju
Ontokusumo. Isi surat itu menyatakan bahwa Nabi Muhammad saw. telah
menganugerahkan baju Ontokusumo kepada Sunan Kalijaga dan agar
kulit kambing itupun dibuat baju juga. Setelah baju Ontokusumo itu
dipakai oleh Sunan Kalijaga, maka para Wali yang lain kagum
melihat-nya, sebab warnanya berbeda-beda menurut pandangan
masing-masing Wali. Ada yang mengatakan warnanya hitam ada yang
mengatakan merah, ada yang mengatakan kuning, putih dan lain-lain,
sehingga boleh dikatakan bahwa warna baju itu bisa
berubah-ubah.Oleh Sunan Bonang kulit kambing itu dibuatnya baju
(kotang) menurut ukuran baju Ontokusumo yang ada dalam bungkusan
itu. Ternyata setelah selesai, terlalu sempit untuk dipakainya.
Lalu para Wali yang lain ingin mencoba baju itu, juga tidak ada
yang pas. Ada yang terlalu sempit ada pula yang terlalu longgar.
Akhirnya baju dari kulit kambing itu dikembalikan kepada Sunan
Kalijaga dan oleh Sunan Bonang baju itu dinamakan Baju "Kyai
GondilJasa-jasa Sunan KalijagaJasa Sunan Kalijaga sangat sukar
dihitung karena banyaknya. Beliau dikenal sebagai Mubaligh, ahli
seni, budayawan, ahli filsafat, dalang wayang kulit dan sebagainya.
Untuk lebih detailnya silakan Anda baca rangkuman berikut ini:
Sunan Kalijaga sebagai MubalighBeliau dikenal sebagai ulama besar,
seorang Wali yang memiliki karisma tersendiri diantara Wali-Wali
lainnya. Dan paling terkenal di kalangan atas maupun dari kalangan
bawah. Hal itu disebabkan Sunan Kalijaga suka berkeliling dalam
berdakwah, sehingga beliau juga dikenal sebagai Syekh Malaya yaitu
mubaligh yang menyiarkan agama Islam sambil mengembara. Sementara
Wali lainnya mendirikan pesantren atau padepokan untuk mengajar
murid-muridnya.Caranya berdakwah sangat luwes, rakyat Jawa yang
pada waktu itu masih banyak menganut kepercayaan lama tidak
ditentang adat istiadatnya. Beliau dekati rakyat yang masih awam
itu dengan cara halus, bahkan dalam berpakaian beliau tidak memakai
jubah sehingga rakyat tidak merasa angker dan mau menerima
kedatangannya dengan senang hati.Pakaian yang dikenakan sehari-hari
adalah pakaian adat Jawa yang di desain dan disempurnakan sendiri
secara Islami. Adat istiadat rakyat, yang dalam pandangan Kaum
Putihan dianggap bidah tidak langsung ditentang olehnya selaku
Pemimpin Kaum Abangan. Pendiriannya adalah rakyat dibuat senang
dulu, direbut simpatinya sehingga mau menerima agama Islam, mau
mendekat pada para Wali. Sesudah itu barulah mereka diberi
pengertian Islam yang sesungguhnya dan dianjurkan membuang adat
yang bertentangan dengan agama Islam.Kesenian rakyat baik yang
berupa gamelan, gencing dan tembang-tembang dan wayang dimanfaatkan
sebesar-besarnya sebagai alat dakwah. Dan ini ternyata membawa
keberhasilan yang gemilang, hampir seluruh rakyat Jawa pada waktu
itu dapat menerima ajakan Sunan Kalijaga untuk mengenal agama
Islam. Sunan Kalijaga Sebagai Ahli BudayaGelar tersebut tidak
berlebihan karena beliaulah yang pertama kali menciptakan seni
pakaian, seni suara, seni ukir, seni gamelan, wayang kulit, bedug
di mesjid, Grebeg Maulud, seni tata kota dan lain-lain. Seni
Pakaian:Beliau yang pertama kali menciptakan baju taqwa. Baju taqwa
ini pada akhirnya disempurnakan oleh Sultan Agung dengan dester
nyamping dan keris serta rangkaian lainnya. Baju ini masih banyak
di pakai oleh masyarakat Jawa, setidaknya pada upacara pengantin.
Seni Suara:Sunan Kalijagalah yang pertama kali menciptakan tembang
Dandang Gula dan Dandang Gula Semarangan. Seni Ukir:Beliau pencipta
seni ukir bermotif dedaunan, bentuk gayor atau alat menggantungkan
gamelan dan bentuk ornamentik lainnya yang sekarang dianggap seni
ukir Nasional. Sebelum era Sunan Kalijaga kebanyakan seni ukir
bermotifkan manusia dan binatang. Bedug atau Jidor di
Mesjid:Beliaulah yang pertama kali mempunyai ide menciptakan Bedug
di masjid, yaitu memerintahkan muridnya yang bernama Sunan Bajat
untuk membuat Bedug di masjid Semarang guna memanggil orang untuk
pergi mengerjakan shalat jamaah. Grebeg Maulud:Ini adalah acara
ritual yang diprakarsai Sunan Kalijaga, asalnya adalah tabliqh atau
pengajian akbar yang diselenggarakan para wali di Masjid Demak
untuk memperingati Maulud Nabi. Gong Sekaten:Adalah gong ciptaan
Sunan Kalijaga yang nama aslinya adalah Gong Syahadatain yaitu dua
kalimat Syahadat. Bila gong itu dipukul akan berbunyi bermakna: di
sana di situ, mumpung masih hidup, berkumpullah untuk masuk agama
Islam. Pencipta Wayang Kulit:Pada jaman sebelum Sunan Kalijaga,
wayang bentuknya seperti manusia, dengan adegan demi adegan wayang
tersebut digambar pada sebuah kertas. Dan ini diharamkan oleh Sunan
Giri.Karena diharamkan oleh Sunan Giri, Suna Kalijaga membuat
kreasi baru, bentuk wayang dirubah sedemikian rupa, dan digambar
atau di ukir pada sebuah kulit kambing, satu lukisan adalah satu
wayang, sedang di jaman sebelumnya satu lukisan adalah satu adegan.
Gambar yang ditampilkan oleh Sunan Kalijaga tidak bisa disebut
gambar manusia, mirip karikatur bercita rasa tinggi. Diseluruh
dunia hanya di Jawa inilah ada bentuk wayang seperti yang kita
lihat sekarang. Itulah ciptaan Sunan Kalijaga. Sebagai Dalang:Bukan
hanya pencipta wayang saja, Sunan Kalijaga juga pandai mendalang.
Sesudah peresmian Masjid Demak dengan shalat Jumat, beliaulah yang
mendalang bagi pagelaran wayang kulit yang diperuntukkan menghibur
dan berdakwah kepada rakyat. Lakon yang dibawakan seringkali
ciptaannya sendiri, seperti ; Jimat Kalimasada, Dewi Ruci, Petruk
Jadi Raja, Wahyu Widayat dan lain-lain. Dalang dari kata dalla
artinya menunjukkan jalan yang benar. Ahli Tata Kota:Baik di Jawa
maupun Madura seni bangunan tata kota yang dimiliki biasanya selalu
sama. Sebab Jawa dan Madura mayoritas penduduknya adalah Islam.
Para penguasanya kebanyakan meniru cara Sunan Kalijaga dalam
membangun tata kota.Tehnik bangunan Kabupaten atau Kota Praja
biasanya terdiri dari:1. Istana atau Kabupaten2. Alun-alun3. Satu
atau dua pohon beringin4. MasjidLetaknya juga sangat teratur, bukan
sembarangan. Alun-alun berasal dari kata Allaun artinya banyak
macam atau warna. Diucapkan dua kali Allaun-allaun yang maksudnya
menunjukkan tempat bersama ratanya segenap rakyat dan penguasa di
pusat kota.Waringin: dari kata Waraain artinya orang yang sangat
berhati-hati. Orang-orang yang berkumpul di alun-alun itu sangat
hati-hati memelihara dirinya dan menjaga segala hukum atau
undang-undang, baik undang-undang negara atau undang-undang agama
yang dilambangkan dengan dua pohon beringin yaitu Al-Quran dan
hadits Nabi. Alun-alun biasanya berbentuk segi empat hal ini
dimaksudkan agar dalam menjalankan ibadah seseorang itu harus
berpedoman lengkap yaitu syariat, hadiqat dan tariqat dan marifat.
Jadi tidak dibenarkan hanya mempercayai yang hakikat saja tanpa
mengamalkan syariat agama Islam. Untuk itu disediakan Masjid
sebagai pusat kegiatan ibadah.Letak istana atau kantor kabupaten:
letak istana atau pendapat kabupaten biasanya berhadapan dengan
alun-alun dan pohon beringin. Letak istana atau kabupaten itu
biasanya menghadap ke laut dan membelakangi gunung. Ini artinya
para penguasa harus menjauhi kesombongan, sedang menghadap ke laut
artinya penguasa itu hendaknya berhati pemurah dan pemaaf seperti
luasnya laut. Sedang alun-alun dan pohon beringin yang berhadapan
dengan istana atau kabupaten artinya penguasa harus selalu
mengawasi jalannya undang-undang dan rakyatnyaisah Kampung Kalijaga
MonyetKalijaga adalah nama kampung sekaligus daerah keramat yang
terletak di Harjamukti, Cirebon. Menurut cerita, Sunan Kalijaga
pernah singgah dan menyebarkan agama Islam di Kampung Kalijaga
Monyet ini. Kenapa disebut Kampung Kalijaga Monyet? Karena di situs
keramat tersebut tinggal sekawanan monyet yang konon merupakan
monyet sabdaan Sunan Kalijaga. Berikut ini ceritanya.Pada suatu
hari Sunan Kalijaga dan para santrinya hendak menggelar sholat
Jumat ketika tengah singgah dan menyiarkan ajaran agama Islam di
kampung tersebut. Namun jamaah yang terkumpul hanya berjumlah 39
orang, sementara berdasarkan Al Quran dan Hadits jumlah jamaah
minimal untuk menggelar sholat Jumat adalah 40 orang. Oleh sebab
itu Sunan Kalijaga menyuruh salah satu santrinya untuk mencari
tambahan seorang jamaah lagi agar sholat Jumat dapat
diselenggarakan. Si santri lantas menemukan seorang warga bernama
Fathul yang sedang memancing ikan di sungai. Tetapi Fathul menolak
ajakan untuk menunaikan sholat Jumat.Sunan Kalijaga meminta
santrinya untuk mengajak Fathul sekali lagi. Namun pemuda tersebut
kembali menolak dengan alasan rezekinya hari itu sedang baik.
Penolakan Fathul terdengar sampai ke telinga Sunan Kalijaga, yang
karena jengkelnya kemudian berkata, Hanya monyet yang tidak mau
beribadah. Sesaat kemudian, Fathul tumbuh ekor dan berubah menjadi
monyet.Fathul pun menyesal. Namun apa mau dikata, nasi telah
terlanjur menjadi bubur. Konon, ketika sholat Jumat ada seekor
monyet yang berubah menjadi manusia, lalu setelah sholat Jumat
selesai ia berubah menjadi monyet kembali. Ketika sholat Jumat
berlangsung pun tidak ada monyet berkeliaran di masjid
ini.Monyet-monyet yang hingga hari ini masih berada di Kalijaga
menurut cerita adalah keturunan Fathul. Jumlahnya 40 ekor, tidak
pernah berubah meskipun terkadang ada yang lahir dan meninggal.
Sedangkan makam beberapa santri/ pengikut Sunan Kalijaga juga
terdapat disana hingga kini masih ramai dikunjungi peziarahMakam
Sunan KalijagaSunan Kalijaga wafat dan dimakamkan di desa
"Kadilangu" Demak. Menurut cerita rakyat Sunan Kalijaga bertempat
di desa Kadilangu dimungkinkan karena pertimbangan supaya dekat
dengan Demak sebagai pusat pemerintahan Islam saat itu. Dengan
demikian memudahkan beliau mengadakan kontak dengan pusat
pemerintahan. Sampai akhir hayatnya beliau berada di desa Kadilangu
dan dimakamkan di desa ini juga.Setiap hari makam Sunan Kalijaga
banyak dikunjungi orang yang kebanyakan bertujuan untuk ziarah di
makam beliau, meskipun kadang-kadang ada juga yang datang sekedar
hanya ingin tahu makam pembuat sejarah penting di tanah Jawa ini.
Pada hari-hari tertentu makam Sunan Kalijaga ramai, banyak orang
berziarah, terutama hari Ahad, Kamis dan Jumu'ah. Bahkan lebih
ramai lagi pada hari Kamis malam Jumu'ah Kliwon, baik yang tua
maupun yang muda. Terlihat pada waktu mereka berziarah di makamnya,
ada yang membaca surat Yaa-siin, ada yang membaca Tahlil dan bahkan
ada yang terus melakukan riyadlah beberapa hari di makam
tersebut.Biasanya pada tanggal 10 Dzul-hijjah, makam Sunan Kalijaga
juga ramai dikunjungi orang, karena ingin melihat atau mengikuti
upacara penjamasan benda-benda pusaka terutama yang berupa "Kelambi
Kyai Gondil", sebagian tutur rakyat bukan saja Klambi Kyai Gondil
yang disucikan, tetapi juga "Klambi Onto Kusumo"juga.Orang
tuaAyahSunan Gunung Jati bernama Syarif Hidayatullah, lahir sekitar
tahun 1450. Ayahnya adalah Syarif Abdullah bin Nur Alam bin
Jamaluddin Akbar, seorang Mubaligh dan Musafir besar dari Gujarat,
India yang sangat dikenal sebagai Syekh Maulana Akbar bagi kaum
Sufi di tanah air. Syekh Maulana Akbar adalah putra Ahmad Jalal
Syah putra Abdullah Khan putra Abdul Malik putra Alwi putra Syekh
Muhammad Shahib Mirbath, ulama besar di Hadramaut, Yaman yang
silsilahnya sampai kepada Rasulullah melalui cucunya Imam
Husain.IbuIbu Sunan Gunung Jati adalah Nyai Rara Santang (Syarifah
Muda'im) yaitu putri dari Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi dari
Nyai Subang Larang, dan merupakan adik dari Kian Santang dan
Pangeran Walangsungsang yang bergelar Cakrabuwana / Cakrabumi atau
Mbah Kuwu Cirebon Girang yang berguru kepada Syekh Datuk Kahfi,
seorang Muballigh asal Baghdad bernama asli Idhafi Mahdi bin Ahmad.
Ia dimakamkan bersebelahan dengan putranya yaitu Sunan Gunung Jati
di Komplek Astana Gunung Sembung ( Cirebon )Silsilah.Sunan Gunung
Jati @ Syarif Hidayatullah Al-Khan bin.Sayyid 'Umadtuddin Abdullah
Al-Khan bin.Sayyid 'Ali Nuruddin Al-Khan @ 'Ali Nurul 'Alam
bin.Sayyid Syaikh Jumadil Qubro @ Jamaluddin Akbar
al-Husaini.Sayyid Ahmad Shah Jalal @ Ahmad Jalaludin Al-Khan
bin.Sayyid Abdullah Al-'Azhomatu Khan bin.Sayyid Amir 'Abdul Malik
Al-Muhajir (Nasrabad,India) bin.Sayyid Alawi Ammil Faqih
(Hadhramaut) bin.Muhammad Sohib Mirbath (Hadhramaut)bin.Sayyid Ali
Kholi' Qosim bin.Sayyid Alawi Ats-Tsani bin.Sayyid Muhammad Sohibus
Saumi'ah bin.Sayyid Alawi Awwal bin.Sayyid Al-Imam 'Ubaidillah
bin.Ahmad al-Muhajir bin.Sayyid 'Isa Naqib Ar-Rumi bin.Sayyid
Muhammad An-Naqib bin.Sayyid Al-Imam Ali Uradhi bin.Sayyidina
Ja'far As-Sodiq bin.Sayyidina Muhammad Al Baqir bin.Sayyidina 'Ali
Zainal 'Abidin bin.Al-Imam Sayyidina Hussain.Al-Husain putera Ali
bin Abu Tholib dan Fatimah Az-Zahra binti MuhammadSilsilah dari
Raja Pajajaran.Sunan Gunung Jati @ Syarif Hidayatullah.Rara Santang
(Syarifah Muda'im).Prabu Jaya Dewata @ Raden Pamanah Rasa @ Prabu
Siliwangi II.Prabu Dewa Niskala (Raja Galuh/Kawali).Niskala Wastu
Kancana @ Prabu Siliwangi I.Prabu Linggabuana @ Prabu Wangi (Raja
yang tewas di Bubat)Pertemuan orang tuanyaPertemuan Rara Santang
dengan Syarif Abdullah cucu Syekh Maulana Akbar masih
diperselisihkan. Sebagian riwayat (lebih tepatnya mitos)
menyebutkan bertemu pertama kali di Mesir, tapi analisis yang lebih
kuat atas dasar perkembangan Islam di pesisir ketika itu, pertemuan
mereka di tempat-tempat pengajian seperti yang di Majelis Syekh
Quro, Karawang (tempat belajar Nyai Subang Larang ibu dari Rara
Santang) atau di Majelis Syekh Datuk Kahfi, Cirebon (tempat belajar
Kian Santang dan Pangeran Walangsungsang, kakanda dari Rara
Santang).Syarif Abdullah cucu Syekh Maulana Akbar, sangat mungkin
terlibat aktif membantu pengajian di majelis-majelis itu mengingat
ayah dan kakeknua datang ke Nusantara sengaja untuk menyokong
perkembangan agama Islam yang telah dirintis oleh para
pendahulu.Pernikahan Rara Santang putri dari Prabu Siliwangi dan
Nyai Subang Larang dengan Abdullah cucu Syekh Maulana Akbar
melahirkan seorang putra yang diberi nama Raden Syarif
Hidayatullah.Perjalanan HidupProses belajarRaden Syarif
Hidayatullah mewarisi kecendrungan spiritual dari kakek buyutnya
Syekh Maulana Akbar sehingga ketika telah selesai belajar agama di
pesantren Syekh Datuk Kahfi ia meneruskan ke Timur Tengah. Tempat
mana saja yang dikunjungi masih diperselisihkan, kecuali (mungkin)
Mekah dan Madinah karena ke 2 tempat itu wajib dikunjungi sebagai
bagian dari ibadah haji untuk umat Islam.Babad Cirebon menyebutkan
ketika Pangeran Cakrabuwana membangun kota Cirebon dan tidak
mempunyai pewaris, maka sepulang dari Timur Tengah Raden Syarif
Hidayatullah mengambil peranan mambangun kota Cirebon dan menjadi
pemimpin perkampungan Muslim yang baru dibentuk itu setelah Uwaknya
wafat.PernikahanMemasuki usia dewasa sekitar di antara tahun
1470-1480, ia menikahi adik dari Bupati Banten ketika itu bernama
Nyai Kawunganten. Dari pernikahan ini, ia mendapatkan seorang putri
yaitu Ratu Wulung Ayu dan Maulana Hasanuddin yang kelak menjadi
Sultan Banten I.Kesultanan DemakMasa ini kurang banyak diteliti
para sejarawan hingga tiba masa pendirian Kesultanan Demak tahun
1487 yang mana ia memberikan andil karena sebagai anggota dari
Dewan Muballigh yang sekarang kita kenal dengan nama Walisongo.
Pada masa ini, ia berusia sekitar 37 tahun kurang lebih sama dengan
usia Raden Patah yang baru diangkat menjadi Sultan Demak I bergelar
Alam Akbar Al Fattah. Bila Syarif Hidayat keturunan Syekh Maulana
Akbar Gujarat dari pihak ayah, maka Raden Patah adalah keturunannya
juga tapi dari pihak ibu yang lahir di Campa.Dengan diangkatnya
Raden Patah sebagai Sultan di Pulau Jawa bukan hanya di Demak, maka
Cirebon menjadi semacam Negara Bagian bawahan vassal state dari
kesultanan Demak, terbukti dengan tidak adanya riwayat tentang
pelantikan Syarif Hidayatullah secara resmi sebagai Sultan
Cirebon.Hal ini sesuai dengan strategi yang telah digariskan Sunan
Ampel, Ulama yang paling di-tua-kan di Dewan Muballigh, bahwa agama
Islam akan disebarkan di P. Jawa dengan Kesultanan Demak sebagai
pelopornya.Gangguan proses IslamisasiSetelah pendirian Kesultanan
Demak antara tahun 1490 hingga 1518 adalah masa-masa paling sulit,
baik bagi Syarif Hidayat dan Raden Patah karena proses Islamisasi
secara damai mengalami gangguan internal dari kerajaan Pakuan dan
Galuh (di Jawa Barat) dan Majapahit (di Jawa Tengah dan Jawa Timur)
dan gangguan external dari Portugis yang telah mulai expansi di
Asia Tenggara.Tentang personaliti dari Syarif Hidayat yang banyak
dilukiskan sebagai seorang Ulama kharismatik, dalam beberapa
riwayat yang kuat, memiliki peranan penting dalam pengadilan Syekh
Siti Jenar pada tahun 1508 di pelataran Masjid Demak. Ia ikut
membimbing Ulama berperangai ganjil itu untuk menerima hukuman mati
dengan lebih dulu melucuti ilmu kekebalan tubuhnya.Eksekusi yang
dilakukan Sunan Kalijaga akhirnya berjalan baik, dan dengan
wafatnya Syekh Siti Jenar, maka salah satu duri dalam daging di
Kesultana Demak telah tercabut.Raja Pakuan di awal abad 16, seiring
masuknya Portugis di Pasai dan Malaka, merasa mendapat sekutu untuk
mengurangi pengaruh Syarif Hidayat yang telah berkembang di Cirebon
dan Banten. Hanya Sunda Kelapa yang masih dalam kekuasaan Pakuan.Di
saat yang genting inilah Syarif Hidayat berperan dalam membimbing
Pati Unus dalam pembentukan armada gabungan Kesultanan Banten,
Demak, Cirebon di P. Jawa dengan misi utama mengusir Portugis dari
wilayah Asia Tenggara. Terlebih dulu Syarif Hidayat menikahkan
putrinya untuk menjadi istri Pati Unus yang ke 2 pada tahun
1511.Kegagalan expedisi jihad II Pati Unus yang sangat fatal pada
tahun 1521 memaksa Syarif Hidayat merombak Pimpinan Armada Gabungan
yang masih tersisa dan mengangkat Tubagus Pasai (belakangan dikenal
dengan nama Fatahillah),untuk menggantikan Pati Unus yang syahid di
Malaka, sebagai Panglima berikutnya dan menyusun strategi baru
untuk memancing Portugis bertempur di P. Jawa.Sangat kebetulan
karena Raja Pakuan telah resmi mengundang Armada Portugis datang ke
Sunda Kelapa sebagai dukungan bagi kerajaan Pakuan yang sangat
lemah di laut yang telah dijepit oleh Kesultanan Banten di Barat
dan Kesultanan Cirebon di Timur.Kedatangan armada Portugis sangat
diharapkan dapat menjaga Sunda Kelapa dari kejatuhan berikutnya
karena praktis Kerajaan Hindu Pakuan tidak memiliki lagi kota
pelabuhan di P. Jawa setelah Banten dan Cirebon menjadi
kerajaan-kerajaan Islam.Tahun 1527 bulan Juni Armada Portugis
datang dihantam serangan dahsyat dari Pasukan Islam yang telah
bertahun-tahun ingin membalas dendam atas kegagalan expedisi Jihad
di Malaka 1521.Dengan ini jatuhlah Sunda Kelapa secara resmi ke
dalam Kesultanan Banten-Cirebon dan di rubah nama menjadi Jayakarta
dan Tubagus Pasai mendapat gelar Fatahillah.Perebutan pengaruh
antara Pakuan-Galuh dengan Cirebon-Banten segera bergeser kembali
ke darat. Tetapi Pakuan dan Galuh yang telah kehilangan banyak
wilayah menjadi sulit menjaga keteguhan moral para pembesarnya.
Satu persatu dari para Pangeran, Putri Pakuan di banyak wilayah
jatuh ke dalam pelukan agama Islam. Begitu pula sebagian Panglima
Perangnya.Perundingan Yang Sangat MenentukanSatu hal yang sangat
unik dari personaliti Syarif Hidayatullah adalah dalam riwayat
jatuhnya Pakuan Pajajaran, ibu kota Kerajaan Sunda pada tahun 1568
hanya setahun sebelum ia wafat dalam usia yang sangat sepuh hampir
120 tahun (1569). Diriwayatkan dalam perundingan terakhir dengan
para Pembesar istana Pakuan, Syarif Hidayat memberikan 2 opsi.Yang
pertama Pembesar Istana Pakuan yang bersedia masuk Islam akan
dijaga kedudukan dan martabatnya seperti gelar Pangeran, Putri atau
Panglima dan dipersilakan tetap tinggal di keraton masing-masing.
Yang ke dua adalah bagi yang tidak bersedia masuk Islam maka harus
keluar dari keraton masing-masing dan keluar dari ibukota Pakuan
untuk diberikan tempat di pedalaman Banten wilayah Cibeo
sekarang.Dalam perundingan terakhir yang sangat menentukan dari
riwayat Pakuan ini, sebagian besar para Pangeran dan Putri-Putri
Raja menerima opsi ke 1. Sedang Pasukan Kawal Istana dan
Panglimanya (sebanyak 40 orang) yang merupakan Korps Elite dari
Angkatan Darat Pakuan memilih opsi ke 2. Mereka inilah cikal bakal
penduduk Baduy Dalam sekarang yang terus menjaga anggota pemukiman
hanya sebanyak 40 keluarga karena keturunan dari 40 pengawal istana
Pakuan. Anggota yang tidak terpilih harus pindah ke pemukiman Baduy
Luar.Yang menjadi perdebatan para ahli hingga kini adalah opsi ke 3
yang diminta Para Pendeta Sunda Wiwitan. Mereka menolak opsi
pertama dan ke 2. Dengan kata lain mereka ingin tetap memeluk agama
Sunda Wiwitan (aliran Hindu di wilayah Pakuan) tetapi tetap
bermukim di dalam wilayah Istana Pakuan.Sejarah membuktikan hingga
penyelidikan yang dilakukan para Arkeolog asing ketika masa
penjajahan Belanda, bahwa istana Pakuan dinyatakan hilang karena
tidak ditemukan sisa-sisa reruntuhannya. Sebagian riwayat yang
diyakini kaum Sufi menyatakan dengan kemampuan yang diberikan Allah
karena doa seorang Ulama yang sudah sangat sepuh sangat mudah
dikabulkan, Syarif Hidayat telah memindahkan istana Pakuan ke alam
ghaib sehubungan dengan kerasnya penolakan Para Pendeta Sunda
Wiwitan untuk tidak menerima Islam ataupun sekadar keluar dari
wilayah Istana Pakuan.Bagi para sejarawan, ia adalah peletak konsep
Negara Islam modern ketika itu dengan bukti berkembangnya
Kesultanan Banten sebagi negara maju dan makmur mencapai puncaknya
1650 hingga 1680 yang runtuh hanya karena pengkhianatan seorang
anggota istana yang dikenal dengan nama Sultan Haji.Dengan segala
jasanya umat Islam di Jawa Barat memanggilnya dengan nama lengkap
Syekh Maulana Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati
Rahimahullah.RiwayatMasa hidup Sunan Kalijaga diperkirakan mencapai
lebih dari 100 tahun. Dengan demikian ia mengalami masa akhir
kekuasaan Majapahit (berakhir 1478), Kesultanan Demak, Kesultanan
Cirebon dan Banten, bahkan juga Kerajaan Pajang yang lahir pada
1546 serta awal kehadiran Kerajaan Mataram dibawah pimpinan
Panembahan Senopati. Ia ikut pula merancang pembangunan Masjid
Agung Cirebon dan Masjid Agung Demak. Tiang "tatal" (pecahan kayu)
yang merupakan salah satu dari tiang utama masjid adalah kreasi
Sunan Kalijaga.KelahiranSunan Kalijaga diperkirakan lahir pada
tahun 1450 dengan nama Raden Said. Dia adalah putra adipati Tuban
yang bernama Tumenggung Wilatikta atau Raden Sahur. Nama lain Sunan
Kalijaga antara lain Lokajaya, Syekh Malaya, Pangeran Tuban, dan
Raden Abdurrahman. Berdasarkan satu versi masyarakat Cirebon, nama
Kalijaga berasal dari Desa Kalijaga di Cirebon. Pada saat Sunan
Kalijaga berdiam di sana, dia sering berendam di sungai (kali),
atau jaga kali.SilsilahMengenai asal usul beliau, ada beberapa
pendapat yang menyatakan bahwa beliau juga masih keturunan Arab.
Tapi, banyak pula yang menyatakan ia orang Jawa asli. Van Den Berg
menyatakan bahwa Sunan Kalijaga adalah keturunan Arab yang
silsilahnya sampai kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam.
Sementara itu menurut Babad Tuban menyatakan bahwa Aria Teja alias
'Abdul Rahman berhasil mengislamkan Adipati Tuban, Aria Dikara, dan
mengawini putrinya. Dari perkawinan ini ia memiliki putra bernama
Aria Wilatikta. Menurut catatan Tome Pires, penguasa Tuban pada
tahun 1500 M adalah cucu dari peguasa Islam pertama di Tuban. Sunan
Kalijaga atau Raden Mas Said adalah putra Aria Wilatikta. Sejarawan
lain seperti De Graaf membenarkan bahwa Aria Teja I ('Abdul Rahman)
memiliki silsilah dengan Ibnu Abbas, paman Muhammad. Sunan Kalijaga
mempunyai tiga anak salah satunya adalah Umar Said atau Sunan
Muria.PernikahanDalam satu riwayat, Sunan Kalijaga disebutkan
menikah dengan Dewi Saroh binti Maulana Ishak, dan mempunyai 3
putra: R. Umar Said (Sunan Muria), Dewi Rakayuh dan Dewi
Sofiah.Berda'wahMenurut cerita, Sebelum menjadi Walisongo, Raden
Said adalah seorang perampok yang selalu mengambil hasil bumi di
gudang penyimpanan Hasil Bumi. Dan hasil rampokan itu akan ia
bagikan kepada orang-orang yang miskin. Suatu hari, Saat Raden Said
berada di hutan, ia melihat seseorang kakek tua yang bertongkat.
Orang itu adalah Sunan Bonang. Karena tongkat itu dilihat seperti
tongkat emas, ia merampas tongkat itu. Katanya, hasil rampokan itu
akan ia bagikan kepada orang yang miskin. Tetapi, Sang Sunan Bonang
tidak membenarkan cara itu. Ia menasihati Raden Said bahwa Allah
tidak akan menerima amal yang buruk. Lalu, Sunan Bonang menunjukan
pohon aren emas dan mengatakan bila Raden Said ingin mendapatkan
harta tanpa berusaha, maka ambillah buah aren emas yang ditunjukkan
oleh Sunan Bonang. Karena itu, Raden Said ingin menjadi murid Sunan
Bonang. Raden Said lalu menyusul Sunan Bonang ke Sungai. Raden Said
berkata bahwa ingin menjadi muridnya. Sunan Bonang lalu menyuruh
Raden Said untuk bersemedi sambil menjaga tongkatnya yang
ditancapkan ke tepi sungai. Raden Said tidak boleh beranjak dari
tempat tersebut sebelum Sunan Bonang datang. Raden Said lalu
melaksanakan perintah tersebut. Karena itu,ia menjadi tertidur
dalam waktu lama. Karena lamanya ia tertidur, tanpa disadari akar
dan rerumputan telah menutupi dirinya. Tiga tahun kemudian, Sunan
Bonang datang dan membangunkan Raden Said. Karena ia telah menjaga
tongkatnya yang ditanjapkan ke sungai, maka Raden Said diganti
namanya menjadi Kalijaga. Kalijaga lalu diberi pakaian baru dan
diberi pelajaran agama oleh Sunan Bonang. Kalijaga lalu melanjutkan
dakwahnya dan dikenal sebagai Sunan Kalijaga.Dalam dakwah, ia punya
pola yang sama dengan mentor sekaligus sahabat dekatnya, Sunan
Bonang. Paham keagamaannya cenderung "sufistik berbasis salaf"
-bukan sufi panteistik (pemujaan semata). Ia juga memilih kesenian
dan kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah.Ia sangat toleran
pada budaya lokal. Ia berpendapat bahwa masyarakat akan menjauh
jika diserang pendiriannya. Maka mereka harus didekati secara
bertahap: mengikuti sambil memengaruhi. Sunan Kalijaga berkeyakinan
jika Islam sudah dipahami, dengan sendirinya kebiasaan lama hilang.
Tidak mengherankan, ajaran Sunan Kalijaga terkesan sinkretis dalam
mengenalkan Islam. Ia menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta
seni suara suluk sebagai sarana dakwah. Beberapa lagu suluk
ciptaannya yang populer adalah Ilir-ilir dan Gundul-gundul Pacul.
Dialah menggagas baju takwa, perayaan sekatenan, garebeg maulud,
serta lakon carangan Layang Kalimasada dan Petruk Dadi Ratu
("Petruk Jadi Raja"). Lanskap pusat kota berupa kraton, alun-alun
dengan dua beringin serta masjid diyakini pula dikonsep oleh Sunan
Kalijaga.Metode dakwah tersebut sangat efektif. Sebagian besar
adipati di Jawa memeluk Islam melalui Sunan Kalijaga; di antaranya
adalah adipati Pandanaran, Kartasura, Kebumen, Banyumas, serta
PajangSejarah Sunan Bonang Posted by Aris Fourtofour on Rabu, 14
November 2012Sejarah Sunan Bonang- Sunan Bonang dilahirkan pada
tahun 1465. Dia adalah putra Sunan Ampel yang berarti juga cucu
Maulana Malik Ibrahim dan ibunya Nyai Ageng Manila. Nama kecilnya
adalah Raden Makdum Ibrahim. Bonang adalah sebuah desa di kabupaten
Jepara.
Sunan Bonang
Berbicara tentang Sunan Bonang yang namanya didepannya tercantum
kata-kata Maulana Makdum, mengingatkan kita kembali kepada cerita
di dalam sejarah Melayu. Konon kabarnya dalam sejarah Melayu pun
dahulu ada pula tersebut tentang cendekiawan islam yang memakai
gelar Makdum, yaitu gelar yang lazim dipakai di India. kata atau
gelar Makdum ini merupakan sinonim kata Maula atau Malauy gelar
kepada orang besar agama berasal dari kata KhodamaYakhdamu dan
infinitifnya (masdarnya) khidmat. Maf'ulnya dikatakan makhdum
artinya orang yang harus dikhidmati atau dihormati karena
kedudukannya dalam agama atau pemerintahan Islam di waktu itu.
Salam, seorang besar yang mengepalai suatu departemen ketika
terjadi pembentukan adat yang berdasarkan Islam, tatkala agama
Islam memasuki lingkungan Minangkabau, juga berpangkat Makdum.
Rupanya Makhdum atau Mubaligh Islam yang berpangkat atau bergelar
Makhdum itu datang ke Malaka dalam abad ke XV, ketika Malaka
mencapai puncak kejayaannya.
Sunan Bonang wafat pada tahun 1525 M, dan saat ini makam aslinya
berada di Desa Bonang. Namun, yang sering diziarahi adalah makamnya
di kota Tuban. Lokasi makam Sunan Bonang ada dua karena konon, saat
beliau meninggal, kabar wafatnya beliau sampai pada seorang
muridnya yang berasal dari Madura. Sang murid sangat mengagumi
beliau sampai ingin membawa jenazah beliau ke Madura. Namun, murid
tersebut tak dapat membawanya dan hanya dapat membawa kain kafan
dan pakaian-pakaian beliau. Saat melewatiTuban, ada seorang murid
Sunan Bonang yang berasal dari Tuban yang mendengar ada murid dari
Madura yang membawa jenazah Sunan Bonang. Mereka
memperebutkannya.
Karya SastraSunan Bonang banyak melahirkan karya sastra berupa
suluk, atau tembang tamsil. Antara lain Suluk Wijil yang tampak
dipengaruhi kitab Al Shidiq karya Abu Sa'id Al Khayr (wafat pada
899). Suluknya banyak menggunakan tamsil cermin, bangau atau burung
laut. Sebuah pendekatan yang juga digunakan oleh Ibnu Arabi,
Fariduddin Attar, Rumi serta Hamzah Fansuri. Sunan Bonang juga
menggubah tembang Tamba Ati (dari bahasa Jawa, berarti penyembuh
jiwa) yang kini masih sering dinyanyikan orang.
Ada pula sebuah karya sastra dalam bahasa Jawa yang dahulu
diperkirakan merupakan karya Sunan Bonang dan oleh ilmuwan Belanda
seperti Schrieke disebut Het Boek van Bonang atau buku (Sunan)
Bonang. Tetapi oleh G.W.J. Drewes, seorang pakar Belanda lainnya,
dianggap bukan karya Sunan Bonang, melainkan dianggapkan sebagai
karyanya.
Sunan Bonang juga terkenal dalam hal ilmu kebathinannya. Beliau
mengembangkan ilmu (dzikir) yang berasal dari Rasullah SAW,
kemudian beliau kombinasi dengan kesimbangan pernafasan yang
disebut dengan rahasia Alif Lam Mim ( ) yang artinya hanya Allah
SWT yang tahu. Sunan Bonang juga menciptakan gerakan-gerakan fisik
atau jurus yang Beliau ambil dari seni bentuk huruf Hijaiyyah yang
berjumlah 28 huruf dimulai dari huruf Alif dan diakhiri huruf Ya'.
Beliau menciptakan Gerakan fisik dari nama dan simbol huruf
hijayyah adalah dengan tujuan yang sangat mendalam dan penuh dengan
makna, secara awam penulis artikan yaitu mengajak murid-muridnya
untuk menghafal huruf-huruf hijaiyyah dan nantinya setelah mencapai
tingkatnya diharuskan bisa baca dan memahami isi Al-Qur'an.
Penekanan keilmuan yang diciptakan Sunan Bonang adalah mengajak
murid-muridnya untuk melakukan Sujud atau Sholat dan dzikir. Hingga
sekarang ilmu yang diciptakan oleh Sunan Bonang masih dilestarikan
di Indonesia oleh generasinya dan diorganisasikan dengan nama
Padepokan Ilmu Sujud Tenaga Dalam Silat Tauhid Indonesia
Dalam pentas pewayangan, Sunan Bonang adalah dalang yang piawai
membius penontonnya. Kegemarannya adalah menggubah lakon dan
memasukkan tafsir-tafsir khas Islam. Kisah perseteruan
Pandawa-KurawaKisahnya.Setelah menyaksikan betapa hebat karomah
orang yang berjubah puith itu yang tak lain adalah Sunan Bonang,
Putra dari Sunan Ampel yang bermukim di Surabaya.Karomah Sunan
Bonang yang mampu merubah buah aren menjadi emas seluruhnya
merupakan keajaiban, dan bukan sembarang orang bisa
melakukannya.
Ucapan-ucapan dari orang tua berjubah putih tersebut masih
terngiang di telinganya, yaitu tentang beramal dengan barang haram
yang disamakan dengan mencuci pakaian dengan air kencing, tentang
berbagai hal yang terkait dengan upaya memberantas kemiskinan.
Raden Said memutuskan untuk mengejar orang itu. Segenap
kemampuan dikerahkannya untuk berlari cepat hingga akhirnya dia
dapat melihat bayangan orang itu dari kejauhan.Sepertinya orang tua
itu berjalan santai saja dalam melangkahkan kaki, tapi Raden Said
tak pernah bisa menyusulnya. Jatuh bangun, terseok-seok dan berlari
lagi. Demikianlah, setelah tenaganya terkuras habis, dia baru
sampai dibelakang lelaki berjubah putih itu.
Raden Said Meminta jadi Murid.Lelaki berjubah putih itu berhenti
bukan karena kehadiran Raden Said melainkan di depannya terbentang
sungai yang cukup lebar. Tak ada jembatan penyeberangan dan sungai
itu tampaknya dalam, dengan apa dia akan menyeberang."Tunggu...,"
ucap Raden Said ketika melihat orang tua itu hendak melangkahkan
kakinya lagi untuk melewati sungai.Dengan terengah-engah Raden Said
berkata,"Sudilah kiranya Tuan menerima saya sebagai murid...."
pintanya dengan nafas turun naik dengan cepatnya.
"Menjadi muridku?" tanya lelaki itu sembari menoleh ke
belakang."Mau belajar apa?" imbuhnya lebih lanjut."Apa saja, asal
Tuan menerima saya sebagai murid," jawan Raden Said."Berat...berat
sekali anak muda. Bersediakah engkau menerima syarat-syaratnya?"
tanya lelaki berjubah putih."Saya bersedia," jawan Raden Said.
Lelaki tua itu kemudian menancapkan tongkatnya di tepi sungai.
Raden Said diperintahkan menungguinya. Tak boleh beranjak dari
tempat itu sebelum lelaki itu kembali untuk menemui Raden
Said.Raden Said menerima syarat ujian itu.
Selanjutnya, lelaki berjubah putih itu menyeberangi
sungai.Sepasang mata Raden Said terbelalak karena heran, lelaki itu
berjalan di atas air bagaikan berjalan di daratan saja. Kakinya
tidak basah terkena air. Ia semakin yakin bahwa calon gurunya itu
adalah seorang lelaki berilmu tinggi, waskita dan mungkin saja
golongan para wali.
Semedi Berakhir.Setelah lelaki itu hilang dari pandangan Raden
Said, pemuda itu duduk bersila. Dia teringat suatu kisah ajaib yang
dibacanya di dalam Al Qur'an yaitu Kisah Ashabul Kahfi. Maka ia pun
segera berdoa kepada Allah SWT agar ditidurkan seperti para pemuda
di Gua Kahfi ratusan tahun silam.Doa Raden Said dikabulkan oleh
Allah SWT. Raden Said tertidur dalam semedinya selama 3 tahun.
Akar dan rerumputan telah merambati sekujur tubuhnya dan hampir
menutupi sebagian besar anggota tubuhnya.Setelah 3 tahun lamanya,
lelaki berjubah putih itu datang untuk menemui Raden Said. Tapi
Raden Said tidak bisa dibangunkan. Raden Said baru bisa dibangunkan
setelah lelaki berjubah putih itu mengumandangkan Azan.
Kemudian tubuh Raden Said dibersihkan dan diberi pakaian baru
yang bersih. Selanjutnya Raden Said dibawa ke Tuban.Mengapa dibawa
ke Tuban?Ya karena lelaki berjubah putih itu adalah Sunan Bonang,
salah seorang putra Sunan Ampel yang diberi tugas oleh ayahnya
untuk berdakwah di sana.Meski demikian, kehadiran Raden Said tidak
diketahui oleh keluarganya.
Raden Said kemudian diberi pelajaran agama sesuai dengan
tingkatannya, yakni tingkat para Wali Allah, Waliullah. Di kemudian
hari, Raden Said terkenal denagn sebutan Sunan Kalijaga