Top Banner
87 TRADISI LISAN NATONI DALAM TUTURAN RITUAL SIUM ANA PADA MASYARAKAT BOTI DI NUSA TENGGARA TIMUR NATONI ORAL TRADITION IN RITUAL SPEECH OF SIUM ANA FOR BOTI COMMUNITY AT EAST NUSA TENGGARA Iswanto Intitut Agama Kristen Negeri (IAKN) Kupang, Jln.Cak Doko, Oebobo Telepon (0380) 8081905 Pos-el: [email protected] Diterima: 31 Maret 2020; Direvisi: 25 April 2020; Disetujui: 01 Juni 2020 ABSTRACT Repertoire oral tradition in Indonesia is a medium of community identity and culture. This paper is a research result of oral tradition in Boti community at East Nusa Tenggara. The problem of this research is how natoni’s oral tradition in the ritual speech of sium ana for Boti Community at East Nusa Tenggara? This research focuses on the specificity of natoni’s speech as a form of oral literature of Dawan community. The method used is a descriptive qualitative method with a phenomenological paradigm. Base on the data obtained, this research shows that the natoni ritual speech is reciprocal ritual utterances. The speaker is known as meo and is replied by a group of people known as atutas. The ritual of sium ana uses the locative figurative meaning which associated with belief to ancestors and the figurative meaning of material entities associated with gender. The novelty of this research is the use of cognitive semiotic theory modified by several theoretical principles and a phenomenological method with extensive development. Keywords: Natoni, Boti, and Sium Ana ABSTRAK Repertoar tradisi lisan di Indonesia merupakan sarana identitas masyarakat dan budaya. Tulisan ini adalah hasil penelitian tradisi lisan pada masyarakat Boti di Nusa Tenggara Timur. Permasalahan dalam penelitian ini ialah bagaimana tradisi lisan natoni dalam tuturan ritual sium ana oleh Masyarakat Boti di Nusa Tenggara Timur? Penelitian ini difokuskan pada kekhasan tuturan natoni sebagai salah satu bentuk sastra lisan masyarakat Dawan. Metode yang digunakan adalah metode deskriptif kualitatif dengan paradigma fenomenologi. Berdasarkan data yang diperoleh, penelitian ini memperlihatkan bahwa tuturan ritual natoni merupakan tuturan ritual resiprokal atau berbalas-balasan. Juru bicara dikenal dengan istilah meo dan dibalas oleh sekelompok masyarakat yang dikenal dengan istilah atutas. Tuturan ritual sium ana menggunakan makna figuratif lokatif yang berasosiasi dengan kepercayaan terhadap leluhur dan makna figuratif entitas kebendaan yang berasosiasi dengan gender. Temuan baru dalam penelitian ini ialah penggunaan teori semiotik kognitif yang dimodifikasi dengan beberapa prinsip teoritis lainnya dan metode fenomenologi dengan pengembangan yang luas. Kata kunci: Natoni, Boti, Sium ana PENDAHULUAN Fenomena budaya dapat dilihat sebagai perwujudan hubungan tanda yang bersistem, membentuk persepsi, diintepresentasikan dalam konteks, dan pada tataran tertinggi sebagai gambaran ideologi kelompok masyarakat tersebut. Pada tataran ini bahasa sebagai ekspresi budaya menelaah makna pada tataran tanda dengan asumsi asosiatif ide yang saling bergayut satu dengan yang lain. Gayutan ini juga terjadi pada tataran hubungan sosial, nilai dan norma budaya. Secara filosofi bahasa, hal ini terkait dengan paradigma kognitif-realis
10

WALASUJI Volume 11, No. 1, uni 2020

Oct 15, 2021

Download

Documents

dariahiddleston
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: WALASUJI Volume 11, No. 1, uni 2020

87

WALASUJI Volume 11, No. 1, Juni 2020:

TRADISI LISAN NATONI DALAM TUTURAN RITUAL SIUM ANA PADA MASYARAKAT BOTI DI NUSA TENGGARA TIMURNATONI ORAL TRADITION IN RITUAL SPEECH OF SIUM ANA

FOR BOTI COMMUNITY AT EAST NUSA TENGGARA

IswantoIntitut Agama Kristen Negeri (IAKN) Kupang,

Jln.Cak Doko, Oebobo Telepon (0380) 8081905

Pos-el: [email protected]: 31 Maret 2020; Direvisi: 25 April 2020; Disetujui: 01 Juni 2020

ABSTRACT Repertoire oral tradition in Indonesia is a medium of community identity and culture. This paper is a research result of oral tradition in Boti community at East Nusa Tenggara. The problem of this research is how natoni’s oral tradition in the ritual speech of sium ana for Boti Community at East Nusa Tenggara? This research focuses on the specificity of natoni’s speech as a form of oral literature of Dawan community. The method used is a descriptive qualitative method with a phenomenological paradigm. Base on the data obtained, this research shows that the natoni ritual speech is reciprocal ritual utterances. The speaker is known as meo and is replied by a group of people known as atutas. The ritual of sium ana uses the locative figurative meaning which associated with belief to ancestors and the figurative meaning of material entities associated with gender. The novelty of this research is the use of cognitive semiotic theory modified by several theoretical principles and a phenomenological method with extensive development.

Keywords: Natoni, Boti, and Sium Ana

ABSTRAKRepertoar tradisi lisan di Indonesia merupakan sarana identitas masyarakat dan budaya. Tulisan ini adalah hasil penelitian tradisi lisan pada masyarakat Boti di Nusa Tenggara Timur. Permasalahan dalam penelitian ini ialah bagaimana tradisi lisan natoni dalam tuturan ritual sium ana oleh Masyarakat Boti di Nusa Tenggara Timur? Penelitian ini difokuskan pada kekhasan tuturan natoni sebagai salah satu bentuk sastra lisan masyarakat Dawan. Metode yang digunakan adalah metode deskriptif kualitatif dengan paradigma fenomenologi. Berdasarkan data yang diperoleh, penelitian ini memperlihatkan bahwa tuturan ritual natoni merupakan tuturan ritual resiprokal atau berbalas-balasan. Juru bicara dikenal dengan istilah meo dan dibalas oleh sekelompok masyarakat yang dikenal dengan istilah atutas. Tuturan ritual sium ana menggunakan makna figuratif lokatif yang berasosiasi dengan kepercayaan terhadap leluhur dan makna figuratif entitas kebendaan yang berasosiasi dengan gender. Temuan baru dalam penelitian ini ialah penggunaan teori semiotik kognitif yang dimodifikasi dengan beberapa prinsip teoritis lainnya dan metode fenomenologi dengan pengembangan yang luas.

Kata kunci: Natoni, Boti, Sium ana

PENDAHULUAN

Fenomena budaya dapat dilihat sebagai perwujudan hubungan tanda yang bersistem, membentuk persepsi, diintepresentasikan dalam konteks, dan pada tataran tertinggi sebagai gambaran ideologi kelompok

masyarakat tersebut. Pada tataran ini bahasa sebagai ekspresi budaya menelaah makna pada tataran tanda dengan asumsi asosiatif ide yang saling bergayut satu dengan yang lain. Gayutan ini juga terjadi pada tataran hubungan sosial, nilai dan norma budaya. Secara filosofi bahasa, hal ini terkait dengan paradigma kognitif-realis

Page 2: WALASUJI Volume 11, No. 1, uni 2020

88

WALASUJI Volume 11, No. 1, Juni 2020:

membenturkan konsep linguistik secara utuh, akan tetapi penempatan linguistik mikro dan makro bertujuan sebagai alat bantu membedah struktur bahasa untuk dapat diinterpretasi lebih lanjut dan mendalam.

Paradigma praktis yang mendasari penelitian ini ialah etnografi masyarakat Boti sebagai lokus penelitian. Secara geografis Desa Boti terletak di Kecamatan Kie, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Luas wilayah Boti 17,69 Km2 yang terbagi atas empat dusun yaitu, Boti A, B, C, dan D. Wilayah Boti A, B dikategorikan sebagai Boti Dalam, sedangkan Wilayah Boti C dan D dikategorikan sebagai Boti Luar. Masyarakat Boti dalam masih memegang teguh kebudayaan asli termasuk di dalamnya kepercayaan asli yang dikenal dengan sebutan halaika. Wilayah Boti dalam (Boti A) adalah pusat pemerintahan kerajaan (daerah Kerajaan Boti/ sonaf1) dan pemerintahan administratif (kantor desa). Kehidupan masyarakat Boti secara adat dipimpin oleh usif2 sebagai kepala suku. Berbagai kegiatan yang terjadi dalam lingkungan masyarakatnya haruslah sepengetahuan sang raja. Raja berperan mengatur berbagai aspek kehidupan warga mulai dari kelahiran, perkawinan, hingga kematian. Sang usif mempunyai tanggung jawab sosial dan moral bagi kesejahteraan dan kebaikan warganya. Struktur sosial masyarakat Boti menempatkan panglima (meo3) sebagai pengawal raja. Tugas meo ‘panglima’ mengamankan wilayah/lingkungan kerajaan dan Desa Boti secara keseluruhan dari berbagai bahaya yang mengancam, terutama serangan

1 Sonaf: Daerah kerajaan, berada di kawasan wilayah Boti A. Wilayah sonaf sendiri terbagi dua yai-tu sonaf luar terdapat sekolah dasar Boti dan rumah kerajinan, sedangkan sonaf dalam terdapat rumah raja dan beberapa rumah adat. Raja Boti saat ini merupakan raja ke-7 berdasarkan garis keturunan raja dengan nama Namah Benu.

2Usif atau Uis “Raja/ Tuhan”.3 Meo ‘panglima/ wakil raja’. Meo feto atau dikenal

dengan panglima rendah didasarkan pada garis keturunan wanita sedangankan meo mone atau panglima tinggi di-dasarkan pada garis keturunan pria.

menurut pandangan Plato (Andurand & Bonnet, 2018).

Pandangan filosofis ini berkaitan dengan penggunaan teori semiotik de Saussure dengan beberapa penggabungan konsep lainnya. Prinsip-prinsip kognitif dalam semiotik de Saussure digunakan untuk mencari relasi tanda, mencari relasi referen (sistem penanda), dan membentuk bangunan persepsi terhadap suatu entitas (Iswanto, et al, 2018; Neilson, 2019; Sukhoverkhov, 2019; Thibault, 1997). Pada tataran sintagmatik dan paradigmatik konsep bahasa sebagai alat berpikir dan berkomunikasi harus dibentuk dari interaksi tanda yang saling berkaitan dan membentuk asosiatif teks hingga tataran intertekstual (Norton, 2019).

Prinsip-prinsip kognitif dalam semiotik de Saussure digunakan untuk mencari relasi tanda, mencari relasi refren (sistem penanda), membentuk bangunan persepsi terhadap suatu entitas (Shackell, 2019; Zlov, t.t.). Selain itu, digunakan juga analisis teks tuturan ritual menggunakan semiotik Morris yang mengacu pada tiga relasi dimensional yang mengaitkan tataran mikro dan makro linguistik pada tataran tanda (Long, 2019; Nasution dkk., 2019)concerned not only with communication but also with the construction and maintenance of reality. Semiotics supplies people with a new thinking mode, which can be used to analyze some phenomena or problems in many fields. A semiotic study of text scrutinizes the various signs in the text in an attempt to characterize their structure and identify potential meanings, especially socio-cultural meanings. Semioticity is one of the important characteristics in text. Semiotics seeks to analyze texts as structured wholes, involving identifying the components within the semiotic system, and the structural relations between these components. Semiotics stresses the semiotic structures and relations both within and outside the sign system, and their interactions.”,”container-title”:”Proceedings of the 1st International Symposium on Innovation and Education, Law and Social Sciences (IELSS 2019. Dalil ini tidak bertujuan

87—96

Page 3: WALASUJI Volume 11, No. 1, uni 2020

89

WALASUJI Volume 11, No. 1, Juni 2020:

musuh dari luar. Para meo ditempatkan di setiap perbatasan kerajaan. Pada wilayah Barat ditempatkan meo feto (panglima rendah) yang dikepalai oleh Bernadus Benu dan meo mone (panglima tinggi) oleh Bota Benu pada wilayah timur (Iswanto, 2018).

Karena sifatnya yang tertutup dengan budaya luar, masyarakat Boti Dalam masih melaksanakan budaya secara ketat tanpa dipengaruhi oleh perubahan di sekitarnya. Hal ini dapat teramati dalam tradisi lisan yang masih lengkap, tertata, dan diturunkan dari satu generasi ke generasi lainnya. Salah satu bentuk tradisi lisan tersebut ialah natoni. Tradisi lisan natoni memliki ciri khas yaitu dilakukan dengan berbalas-balasan. Pemimpin tuturan adat ialah seorang tetua adat yang berpangkat panglima ‘meo’ bisa juga oleh raja. Juru bicara ini dikenal dengan istilah atoni. Peranan atoni pada tuturan resiprokal atau berbalas-balasan diseimbangkan dengan atutas yang berfungsi sebagai penegas. Jumlah atutas tidaklah selalu sama, bergantung pada acara ritual yang dilaksanakan. Biasanya empat orang pada ritual yang dinggap sangat sakral dan bisa lebih dari pada acara ritual biasa. Kelompok atutas menjadikan tuturan ritual masyarakat Boti memiliki keunikan yang berbeda dengan kelompok masyarakat lainnya(Iswanto, 2018).

Berdasarkan penjelasan di atas, permasalahan dalam penelitian ini ialah bagaimana tradisi lisan natoni dalam Tuturan ritual sium ana pada masyarakat Boti di Nusa Tenggara Timur? Sedangkan tujuan penelitiannya yaitu mengetahui dan menganalisa tradisi lisan natoni dalam tuturan ritual Sium Ana pada masyarakat Boti di Nusa Tenggara Timur.

Beberapa pustaka yang menjadi landasan empiris dalam penelitian ini yaitu penelitian yang dilakukan oleh Iswanto (2018) dengan judul Supernatural Signification System Amuf on Death Ritual Speech Nen Fen Nahat in Boty Society. Penelitian ini dipublikasikan pada International Journal of Linguistics, Literature and Culture, 4(2), March 2018, 46-

57, Vol 4 No 2. Dalam pembahasannya, Iswanto meyampaikan ciri-ciri khusus dalam ritual masyarakat Boti yaitu otentifikasi, sistem bunyi yang harmonis, bentuk-bentuk pararelisme dan beberapa ciri lainnya. Pustaka ini akan digunkan sebagai bahan pembanding terhadap jenis tuturan ritual natoni sebagaimana dalam penelitian ini.

METODE

Khazanah budaya yang kompleks menghasilkan data teks yang membutuhkan pendekatan, dan analisis khusus hingga penyajian data. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan fenomenologi sebagai pendekatannya (Gallagher & Zahavi, 2010). Pendekatan ini menempatkan sebuah fenomena yang tampak bukanlah eksistensi sebenarnya. Pembentukan alur pengetahuan jauh berada di tataran ide individu, sosial dan metanarasi. Oleh sebab itu, dibutuhkan hermeneutik sebagai metode analisis teks (Ricœur & Thompson, 2016). Lebih lanjut, lokasi penelitian berada di Desa Boti, Kecamatan Kie, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Data penelitian diambil dari tuturan ritual yang masih digunakan dalam aktivitas masyarakat. Karakteristik data tuturan ritual yang dimaksud harus memenuhi persyaratan dituturkan pada peristiwa ritual dan bukan simulasi ritual. Hal ini bertujuan untuk mendapatkan data dengan tingkat kebenaran yang tinggi. Data yang diperoleh berbentuk data lisan yang diterjemahkan dalam bentuk data tulis (transkrip) dan digunakan untuk menjawab pertanyaan penelitian. Setelah data ditranskrip akan ditabulasi dan diberikan kode (coding) dengan teknik substantif kode menggunakan singkatan TR (Tuturan Ritual) KL (Kelahiran).

Langkah penelitian dapat dijelaskan sebagai berikut: (1) Pengumpulan data menggunakan metode observasi partisipan dan wawancara (in depth interview) dengan teknik elisitasi, dan cakap semuka; (2) analisis data yang bergerak secara induktif, yaitu dari data

Tradisi Lisan Natoni dalam Tuturan... Iswanto

Page 4: WALASUJI Volume 11, No. 1, uni 2020

90

WALASUJI Volume 11, No. 1, Juni 2020:

atau fakta menuju ke tingkat abstraksi yang lebih tinggi, termasuk juga melakukan sintesis dan mengembangkan teori (bila diperlukan dan datanya menunjang); (3) triangulasi data penelitian ; dan (4) penyajian data hasil analisis.

Sumber data utama dalam penelitian ini adalah masyarakat Boti, khususnya masyarakat Boti Dalam. Narasumber dalam penelitian ini adalah pemuka adat yang dipercayakan sebagai penutur dalam tuturan ritual, dan sebagai pembanding dipilih seorang narasumber pembanding. Narasumber utama ditetapkan Bota Benu yang memiliki jabatan sebagai panglima tinggi (meo mone) dan merupakan pemimpin panglima lainnya.

PEMBAHASAN

Masyarakat dengan budaya yang unik menjadi kajian yang menarik untuk ditelaah. Struktur kemasyarakatan yang kuat dan didasari dengan sistem kepercayaan agama asli, menjadi titik pijak fenomena bahasa-budaya dari bebagai sudut pandang pembahasan. Fenomena ini dapat dijumpai pada masyarakat Boti. Ritual-ritual rutin siklus kehidupan masih tertata rapi dan didasarkan pada agama asli yang tidak bercampur dengan agama-agama lain di sekelilingnya. Masyarakat ini menjadi begitu kuat mempertahankan nilai-nilai kultus yang terdapat dalam kepercayaan mereka. Makna-makna budaya menjadi milik bersama dan diimani secara sakral dan diwujudkan dalam kesucian hidup.

Kebermaknaan teks dapat terungkap apabila terpahami sistem penandaan yang ada dalam tuturan tersebut (Gołębiewska, 2019). Telah disampaikan pada bagian terdahulu bahwa penanda-penanda keberlisanan sangat kompleks dan rumit dibedah, apalagi sikap penutur dan masyarakat partisipan yang masih memandang tuturan ritual memiliki kekuatan gaib, setiap hembusan nafas dalam tuturan mengandung sejuta makna kegaiban, sehingga kata-kata yang keluar dari mulut tidaklah sekedar kata-kata biasa (Yakin & Totu, 2014).

Seperti masyarakat Dawan pada umum-nya, masyarakat Boti memiliki pengelompokan tuturan ritual berdasarkan fungsinya, sebagai berikut (Iswanto, 2018):

(1) Bonet. Bonet adalah jenis tuturan berirama atau puisi lisan yang seringkali dilagukan. Tuturan membentuk satuan-satuan berupa penggalan yang ditan-dai dengan jeda. Satuan-satuan ini membentuk bait atau kuplet. Jumlah larik tidak selalu sama. Ciri lainnya adalah pengulangan bentuk. Berdasarkan isi dan fungsinya, Bonet dibedakan atas empat jenis, yakni: bbennitu (puji-pujian kepada arwah), boen ba’e (puji-pujian dalam suasana ceria: kelahiran olen, menimang anak ko’an, penyambutan tamu futmanu-safemanu), dan nyanyian kerja (boenmepu).

(2) Heta. Heta juga merupakan sejenis puisi lisan Dawan, yang ditinjau dari segi struktur mirip dengan bonet. Jika bonet termasuk puisi ritual formal yang dinyanyikan dalam upacara adat, maka heta merupakan puisi lisan yang dituturkan dalam suasana santai tanpa dilagukan. Heta terdiri dari teka-teki (tekab) dan peribahasa.

(3) Tonis. Tonis merupakan ragam bahasa adat, sehingga penuturan tonis selalu dalam rangka adat. Tonis merupakan jenis sastra lisan Dawan yang diungkapkan dalam bentuk bahasa berirama (puisi) yang berbau prosa teratur (prosa lirik). Tonis terjalin dalam bentuk pasangan kata dalam larik dan bait-bait paralel yang berulang secara teratur. Seperti: Auni mnanu//kue mnanu “tombak panjang//kuku panjang” yang mengiaskan pejuang. Berdasarkan isinya, tonis dapat dibedakan atas dua jenis, yakni tonis pah (puisi yang berkaitan dengan leluhur) dan tonis lasi (puisi yang membicarakan masalah-masalah sosial).

87—96

Page 5: WALASUJI Volume 11, No. 1, uni 2020

91

WALASUJI Volume 11, No. 1, Juni 2020:

(4) Nu’u. Nu’u merupakan jenis prosa rakyat yang dituturkan dalam bahasa sehari-hari. Dalam masyarakat Dawan terdapat dua jenis nu’u, yakni nu’u yang hanya boleh dituturkan oleh tonis karena berkaitan dengan kebenaran hukum adat dan kesejarahannya, dan nu’u biasa, yang dituturkan oleh siapa saja, yang biasanya berupa cerita-cerita rakyat.

(5) Natoni merupakan sastra lisan yang lebih dekat dengan definisi tuturan. Digunakan dalam berbagai acara adat seperti peminangan, kelahiran, upacara syukur panen, dan beberapa acara lainnya. Natoni terdiri atas dua kelompok yaitu atnoni yang adalah juru bicara, diwakili oleh tua adat atau dikenal dengan istilah meo. Setelah atoni mengucapkan tuturan utama kemudian dibalas oleh sekelompok orang yang dikenal dengan sebutan atutas atau penegas.

Tuturan Ritual Sium Ana

Tuturan ritual menerima anak (natoni sium ana) diucapkan dan dilakukan setelah bayi berumur empat puluh hari. Telah disebutkan pada bagian terdahulu bahwa selama empat puluh hari sejak dilahirkan, bayi dikurung di sebuah rumah atau kamar dan tidak boleh keluar. Setelah hari keempat puluh bayi boleh keluar dari rumah tersebut dan diserahkan sebagai anggota keluarga, setelah itu sebagai anggota masyarakat Boti. Tuturan tersebut dilakukan oleh dua kelompok yaitu, kelompok I diwakili paman ibu bayi yang membopong bayinya dan ibu bayi yang didampingi penutur salah seorang pemimpin Halaika, kelompok kedua ayah bayi sebagai kepala keluarga dan salah seorang penutur pemimpin Halaika mewakili masyarakat Suku Boti. Kelompok pihak I dimarkahi dengan “A”, dan kelompok penerima dimarkahi dengan “B”). Keunikan dalam dialog ini adalah si bayi diperlakukan pihak yang sudah bisa diajak bekomunikasi, sekalipun sewaktu berbicara yang berbicara adalah penutur pemimpin Halaika, persepsi

mereka tetap memercayai pemimpin Halaika dikendalikan oleh roh bayi yang baru empat puluh hari lahir.

NATONI SIUM ANATuturan Terima BayiTranskripsi

A: Mu ko kau mé, o léko? B: U ta, o léko! A: Néu o ménam mu ko kau mé, o léko?B: U ko tuiun é tumbésam ma oma nao né

saénam, o léko.A: N éu oménam ma tupan bi mé, o léko?B: Tupan bi tumu timo ma héut manusam ma

séu puaham, o léko.A: Oménam tupan bi mé, o léko?B: Oménam ok na Naubnome ma na Misa’.A: Oménam mèk kau iké ma suti ai aumi suni

pah?B: Oménam èk iké suti o léko.A: Néu tumon kalu ma kohékot am uf am tunaf

pao nanin in o léko.

Terjemahan

A: Dari mana saya, yang mulia? B: Saya jawab, yang mulia!A: Nah, datang dari mana saya, yang mulia?B: Saya datang dari tumbes é / tumbesam dan

singgah di saenam, yang mulia.A: Nah, datang dan tidur di mana, yang mulia?B: Tidur di tumu timo dan memetik sirih dan

memetik pinang, yang mulia’.A: Datang dan tidur di mana, yang mulia?B: Sudah datang dengan dia Nabunomé dan

dia MisaA: Sudah datang membawakan alat pemintal

benang atau tombak parang , ya?B: Sudah datang membawakan alat pemintal

benang yang mulia (jika perempuan) Sudah datang membawakan tombak dan

parang (jika laki-laki)A: Nah, duduklah jika sudah ada kekuatan

dan bapak awal dan akhir menanti di sini’

Tradisi Lisan Natoni dalam Tuturan... Iswanto

Page 6: WALASUJI Volume 11, No. 1, uni 2020

92

WALASUJI Volume 11, No. 1, Juni 2020:

Dalam dialog serah terima bayi tersebut tidak ada partisipan penuturan yang jamak baik yang menyerahkan bayi maupun yang menerima, dan yang unik lagi tidak ada bentuk pronomina persona kedua baik tunggal maupun jamak sebagai bentuk bebas. Ini menunjukkan sikap yang bukan individualime yang egois (mementingkan diri sendiri), melainkan sikap positif atas tanggung jawab hidup dan kehidupan, bahwa baik buruknya manusia bukan menjadi beban orang lain, tetapi tiap-tiap insan manusia harus bertanggung jawab atas dirinya, maksudnya ‘jangan salahkan orang lain karena segala hal yang terjadi atas ulah diri dan tanggung jawabnya kepada adikodrati (Uisnéno, Uis Pahmanifu, dan amuf ‘Tuhan langit, Tuhan bumi dan roh leluhur). Demikianlah dalam masyarakat Boti terjalin persatuan dan kesatuan kehidupan komunal kolektif yang tercegah perselisihan antarwarganya), hidup rukun damai saling menjalin hubungan dalam satu kesatuan, dan persatuan atas kesadaran masing-masing warganya. Sejak bayi lahir telah ditanamkan sikap yang selalu memberlakukan pihak kedua adalah baik, maka dalam tuturan di atas selalu menggunakan istilah untuk menyebutkan pihak kedua o léko ‘yang baik, yang mulia’.

Tuturan ritual natoni sium anan ‘tuturan terima anak’ menggunakan bahasa figuratif, seperti kalimat (1)

mu ko kau mé o léko IIT PREP I S mana o baik ‘dari mana saya, o baik?’

Makna figuratif yang ditimbulkan dalam kalimat ini adalah adanya penyimpangan gramatikal preposisi muko ‘dari’ morfem mu- bentuk proklitik persona II tunggal. Dalam bahasa baku jika berkonstruksi dengan pronomin persona I tunggal mestinya pemarkah kohesinya juga proklitik pronomina persona I tunggal u ~ q dan karena mmenjadi bentuk tanya mestinya berkonstrusi dengan mé ‘mana’ menjadi u’mé dari ‘mana’ atau mèkko ‘dari mana’ dari konstruksi kalimat di atas au u’mé , o léko? ‘saya dari mana, yang baik?’

Penyimpangan gramatikal juga terjadi dengan pemilihaan bentuk pronomina I tunggal kau ‘aku’ bentuk ini digunakan jika menduduki objek dalam kalimat transitif atau bitransitif (Steinhaeur, H., 1996:225, Isu, 2000:5). Pemaknaan figuratif ini menarik untuk dkaji secara kontekstual, penutur yang mewakili bayi bertanya kepada ayah kandungnya sehingga menggunakan proklitik pronomina persona II tungal mu- ‘kau-‘ menimbulkan pemaknaan seakan-akan penindak terhadap pronomina persona I tunggal, yaitu bayi yang bertanya ‘Kau yang menyebabkan saya lahir dari mana? Pemaknaan ini ada kaitannya dengan kalimat (4), (6) dan (8).

u ko tumiun é tumbésam IT dari tunium e tumbesam

ma oma nao né saénam KONJ singgah PREP saenam

o léko kau baik

‘Saya dari Tumiun é Tumbesé dan singgah di Saenam, yang mulia.

tupan bi tumu timo ma héut tidur PREP tumu timo dan petik sirih

manusam ma séu puaham, o dan petik pinang,

lékokau baik

‘Tidur di Tumu Timo dan memetik sirih dan memetik pinang, yang mulia.’

omanam ok na n a u b n o m e datang PREP 3T nabnomé

ma na misaKONJ dia misa ’ ‘Sudah datang dengan Nabunomé dan dia Misa.’

Tumiun Tumbesé, Saenam, dan Tumu Timo adalah nama tempat. Tumiun Tumbesé terletak di sebelah timur, sehingga berasosiasi tempat matahari terbit, posisi sinar terang muncul. Secara kontekstual merupakan

87—96

Page 7: WALASUJI Volume 11, No. 1, uni 2020

93

WALASUJI Volume 11, No. 1, Juni 2020:

tempat asal au ‘aku’ ayah bayi yang baru lahir. Sedangkan Saenam adalah tempat yang disinggahi oleh ayah bayi, yang juga berada sebelah timur Boti di luar wilayah Boti ini memberika gambaran bahwa ayah bayi mendapat istri yang juga berasal dari tempat yang terang, tempat yang diberkati dan termuat pengakuan bahwa masyarakat Boti berasal dari wilayah timur (Amanatun). Jadi penyebutan nama-nama tempat tersebut untuk menunjukkan asal-usul nenek moyangnya bukan tempat yang secara faktual didiami (di Boti) Begitu pula Tumu Timo adalah tempat yang berada di sebelah timur di perbatasan dengan Boti yang dalam tuturan dinyatakan bahwa ayah bayi tidur di Tumu Timo dan memetik sirih pinang di sana. Memetik sirih pinang sebagai simbolisasi mengambil istri. Nabunomé dan Misa adalah nama marga, di daerah Tumu Timo, hal ini memberikan gambaran bahwa ayah dan ibu bayi berasal dari keluarga terhormat sehingga dinyatakan omanam ok na naubnome ma na misa ‘kau datang dengan Nabunomé dan Misa.’

Hal yang menarik pula adalah kalimat (9) dan (10) tentang identitas jenis kelamin dengan cara bertanya sebagaimana dituturkan pada awal kelahiran,A: o ménam mèk kau iké ma KONJ datang bawakan IT alat ike

suti ai aumi suni pah suti KONJ tombak parang ya

‘Kau sudah datang membawakan saya alat pemintal benang atau tombak parang, ya?’

B: o ménam ‘èk iké suti o léko Yang datang bawa iké suti, o

baik

‘yang sudah datang membawa alat pemintal benang, yang mulia.’

Verba oménam ‘datang’ bermarkahkan proklitik o- ‘kau’ merupakan alomorf ho ‘kau’ namun proklitik ini berbeda dengan yang melekat pada mèk ‘kau-bawa’. Pada verba menam ‘datang’ pronomina persona II tunggal ho

selaku subjek lesap bunyi h dan dikontraksikan sehingga terucapkan pekat pendek oménam ‘kau datang’. Sedangkan pada mèk proklitik m- sebagai pemarkah kohesi dengan subjek kalimat (yaitu o~ho ‘kau’). Jawab pertanyaan tersebut dinyatakan dengan kalimat dengan pemaknaan figuratif yang cukup unik, keunikan ditunjukkan verba bitransitif ‘èk ‘bawa’ walau didahului verba yang sama dengan larik sebelumnya tetapi dalam menjawab ini bukan berbentuk mèk, melainkan ‘èk ‘kubawakan’, yang proklitiknya perosona I tunggal (q~’) yang merujuk kepada au yang dinyatakan hanya dengan glotal stop. Satuan bentuk oménam ‘kau datang’ pemaknaan figuratifnya ‘kau datang (di bumi) kubawakan …’ atau secara sederhana dalam bahasa keseharian ‘kau lahir perempuan’.

Anak pertama bagi masyarakat Boti sangat penting, karena perkawinan baru dinyatakan direstui oleh adikodrati Uisnéno, Uis pahmmanifu, dan amuf (‘illah langit, bumi, dan roh leluhur’) jika pasangan tersebut telah berhasil bercocok tanam dan beternak, menenun dan menganyam keranjang atau oko, . Hal yang sangat menentukan adalah perkawinan yang telah melahirkan seorang anak, hal ini akan dibahas di bagian pembahasan tuturan perkawinan.

Bagian akhir tuturan ritual natoni sium ana ‘tuturan terima anak’ disampaikan oleh bayi kepada ayahnya. Hal ini mengundang pertanyaan, mengapa bayi yang baru lahir memberi petuah kepada orang tuanya, merupakan suatu hal yang mustahil dalam pola pikir yang biasa terjadi. Hal ini menguatkan bahwa penutur yang mewakili bayi dalam penuturannya dikuasai roh bayi dan roh leluhurnya, sehingga dalam dialog di atas orang tua bayi lebih banyak tunduk atau mendengar jawaban bayi, sebagaimana juga terlihat pada bagian akhir seperti berikut ini.

néu tumon kalu nakohékot ama uf VOK duduk ` KONJ 3J PREP kuat b a p a k leluhur ama tunaf `pao nanin es i, bapak moyang belakang nanti PREP ini

Tradisi Lisan Natoni dalam Tuturan... Iswanto

Page 8: WALASUJI Volume 11, No. 1, uni 2020

94

WALASUJI Volume 11, No. 1, Juni 2020:

‘Ya duduk jika dari mereka kita sudah kuat, bapak leluhur dan bapa moyang terkemudian menanti di sini,

Satuan bentuk nakohékot mengundang pemaknaan figuratif. Satuan bentuk ini merupakan kontraksi preposisi nako ‘dari’ dan adjektiva hékot ‘kuat’. Preposisi nako merupakan satuan bentuk proklitik pronomina persona III jamak na- ‘mereka’ dan preposisi ko ‘dari’. Sedangkan hékot adalah adjektiva yang disertai sufiks-t ‘yang menominalkan verba atau adjektiva, dengan makna gramatikal ‘hasil aktivitas/ke-adaan bentuk dasarnya’ (Steinhouer, H. 1998). Klausa ini terkandung makna figuratif karena telah lahir seorang anak bayi menjadikan posisi atau kedudukan ayahnya sudah mantap (‘dari mereka kita sudah kuat’), sudah direstui oleh leluhurnya (ama uf ama tunaf) ‘bapa yang awal dan yang akhir’ kehidupan berumah tangganya. Hal ini akan dibahas pada tuturan ritual perkawinan secara rinci, di antaranya adanya persepsi jika dalam tahun I berumah tangga tidah melahirkan anak dan/atau belum berhasil dalam bercocok tanam serta beternak. Pada pasangan tersebut terdapat sesuatu yang tidak beres, maka mereka perlu mengadakan upacara adat nakéti ‘pengakuan dosa dan memohon pengampunan’ baik kepada Uisnéno, uispah manifu, dan amuf (‘adikodrati langit, bumi, dan roh leluhur’).

Keunikan yang menarik juga adalah pemberiaan nama saat dilakukan upacara natoni sium ana ‘tuturan menerima anak’, nama yang diberikan oleh ayahnya sangat terikat oleh bayi. Nama yang disebutkan adalah nama-nama dari leluhurnya. Jika nama yang disebut oleh ayahnya (diwakili pemimpin Halaika), bayinya menangis berarti dia lahir bukan dari leluhur yang disebutkan. Begitu seterusnya hingga ditemukan nama yang menjadikan bayi tidak menangis lagi, jika nama-nama dari leluhur ayahnya tidak cocok (bayi masih menangis), dicari nama-nama dari leluhur ibunya. Hal ini terkandung muatan makna figuratif sebagai sebuah tradisi lisan masyarakat Boti bahwa roh bayi yang lahir yang diberikan oleh Uisnéno

adalah salah satu roh leluhur mereka (Bota Benu, 22 Juli 2019).

Natoni sium ana ‘tuturan menerima anak’ kata kekerabatan untuk menyebutkan leluhurnya ama ‘bapa’, ini terkandung makna secara implisit bahwa kepemimpinan masyarakat Boti mengikuti garis keturunan laki-laki.

Tradisi lisan natoni sium ana ‘tuturan menerima anak’ dipersepsikan sebagai kehadiran anak dalam sebuah keluarga sebagai salah satu wujud bahwa kehidupan keluarga tersebut diberkati dan direstui oleh adikodrati sang pencipta ama uf ama tunaf ‘yang awal dan yang akhir’. Baik kelahiran anak laki-laki maupun perempuan selalu ditanyakan jenis kelaminnya dengan alat kerja, memberikan gambaran bahwa persepsi masyarakat Boti bahwa keberadaan manusia di bumi untuk bekerja (mengelola alam semesta). Jenis pekerjaan laki-laki dan perempuan berbeda. Anak merupakan berkat yang harus disyukuri. Oleh karena itu, setelah terlahirnya anak pertama, pasangan suami istri akan mengadakan pesta/syukuran perkawinan mereka mengundang sanak saudara, kerabat yang dilaksanakan keluarga laki-laki didukung keluarga perempuan, serta anggota marga yang diundang, di rumahnya atau di rumah orang tua perempuan. Tentu semuanya tergantung kemampuan mereka. Keluarga yang sederhana cukup mengundang makan bersama yang diadakan dan dilaksanakan secara bersama pula apa adanya. Waktu pelaksanaannya pun tergantung kesiapan dan kemampuan keluarga laki-laki. Dalam penelitian ini penulis/penyusun mendapat pelaksanaan pesta perkawinan dari keluarga yang cukup, sehingga yang hadir cukup banyak, sebagaimana yang dibahas berikut.

PENUTUP

Tradisi lisan natoni merupakan salah satu bentuk sastra lisan masyarakat Dawan yang digunakan dalam acara penyambutan tamu, syukur panen (fuah pah), kelahiran, peminangan dan beberapa upacara adat lainnya. Masyarakat Boti termasuk ke dalam kelompok

87—96

Page 9: WALASUJI Volume 11, No. 1, uni 2020

95

WALASUJI Volume 11, No. 1, Juni 2020:

masyarakat Dawan yang masih menjaga tradisi lisan tersebut. Mereka juga masih memercayai agama asli yang dengan Halaika.

Tuturan ritual natoni sium anan ‘tuturan terima anak’ dituturkan dan dilaksanakan pada hari ke-40 yaitu hari seorang anak diperbolehkan keluar dari rumah adat ume kbubu bersama ibunya. Tuturan ini menggunakan bahasa figuratif yang berasosiatif dengan tempat dan entitas benda. Tempat menjelaskan asal-muasal dan entitas kebendaan menjelaskan gender. Jika anak tersebut adalah bayi laki-laki maka diasosiasikan dengan tombak dan parang. Jika bayi tersebut perempuan, maka diasosiasikan dengan ike dan suti.

Temuan baru (novelty) berupa teori semiotik kognitif yang dimodifikasi dengan beberapa prinsip teori lainnya. Teori semiotik kognitif belum dapat menganalisis tuturan ritual pada tingkatan persepsi sosial-budaya. Selain itu dikembangkan juga metode fenomenologi dengan pengambilan data luas (extensive data retrieval).

DAFTAR PUSTAKA

Andurand, A., & Bonnet, C. (2018). The divine Plato among Greeks and Romans: Banquet literature and the making of cultural memory in the Graeco-Roman Empire. 13.

Gallagher, S., & Zahavi, D. (2010). The phenomenological mind: An introduction to philosophy of mind and cognitive science (Repr). Routledge.

Gołębiewska, M. (2019). Edmund Husserl’s Semantics and the Critical Theses of Late Structuralism. Eidos. A Journal for Philosophy of Culture, 2019(1), 30–50. https://doi.org/10.14394/eidos.jpc. 2019.0003

Iswanto. (2018). Tuturan Ritual Kosmologi Masyarakat Boti di Nusa Tenggara Timur: Studi Linguistik. Udayana. https://e-perpus.unud.ac.id/repositori/disertasi?nim=1290171010

Iswanto, et al. (2018). Supernatural Signification System Amuf on Death Ritual Speech Nen

Fen Nahat in Boty Society. International Journal of Linguistics, Literature and Culture, 4(2), March 2018, 46-57, Vol 4 No 2. Retrieved from https://sloap.org/journals/index.php/ijllc/article/view/87

Long, J. (2019). Semiotic Study of English Text. Proceedings of the 1st International Symposium on Innovation and Edu-cation, Law and Social Sciences (IELSS 2019). Proceedings of the 1st International Symposium on Innovation and Education, Law and Social Sciences (IELSS 2019), Shenyang City, China. https://doi.org/10.2991/ielss-19.2019.72

Nasution, M. S., Rafli, Z., & Setiadi, S. (2019). Understanding the Meaning of Semiotics and the Culture of Human Rights Culture in ICT-based Java Wedding Recipes: Digital-based Semiotics Study. Proceedings of the International Conference on Interdisciplinary Language, Literature and Education (ICILLE 2018). Proceedings of the International Conference on Interdisciplinary Language, Literature and Education (ICILLE 2018), Yogyakarta, Indonesia. https://doi.org/10.2991/icille- 18.2019.47

Neilson, L. (2019). Linguistic Isolation: Ferdinand de Saussure’s Linguistic Theory and the Implications for Historiography. Armstrong Undergraduate Journal of History, 9(1). https://doi.org/10.20429/aujh.2019.090107

Norton, M. (2019). Meaning on the move: Synthesizing cognitive and systems concepts of culture. American Journal of Cultural Sociology, 7(1), 1–28. https://doi.org/10.1057/s41290-017-0055-5

Ricœur, P., & Thompson, J. B. (2016). Hermeneutics and the human sciences: Essays on language, action, and interpre-tation. Cambridge University Press.

Shackell, C. W. (2019). Finite Semiotics: A New Theory of Semiotics With Applications to Information Technology [PhD, Queensland

Tradisi Lisan Natoni dalam Tuturan... Iswanto

Page 10: WALASUJI Volume 11, No. 1, uni 2020

96

WALASUJI Volume 11, No. 1, Juni 2020:

University of Technology]. https://doi.org/10.5204/thesis.eprints.130796

Sukhoverkhov, A. V. (2019). Sign System Studies and Modern Socio-Anthropomorphism. Linguistic Frontiers, 2(1), 28–31. https://doi.org/10.2478/lf-2018-0015

Thibault, P. J. (1997). Re-reading Saussure: The dynamics of signs in social life. Routledge.

Yakin, H. S. Mohd., & Totu, A. (2014). The Semiotic Perspectives of Peirce and Saussure: A Brief Comparative Study. Procedia - Social and Behavioral Sciences, 155, 4–8. https://doi.org/10.1016/j.sbspro.2014.10.247

Zlov, V. (t.t.). Impoliteness in language and gesture: 103.

87—96