-
- 1 -
Vol. VI, No. 03/I/P3DI/Februari/2014H U K U M
Info Singkat 2009, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan
Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RIwww.dpr.go.idISSN
2088-2351
Kajian Singkat terhadap Isu-Isu Terkini
IMPLIKASI PUTUSAN MK NO. 14/PUU-IX/2013 TERHADAP PENYELENGGARAAN
PEMILU
DI INDONESIA Marfuatul Latifah*)
Abstrak
Beberapa waktu yang lalu MK telah membacakan Putusan No.
14/PUU-IX/2013. Putusan tersebut menyatakan bahwa Pasal 3 Ayat (5),
Pasal 12 Ayat (1), (2), Pasal 14 Ayat (2), dan Pasal 112 UU No.42
Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden tidak
sah dan tidak mengikat karena bertentangan dengan UUD 1945. Namun
demikian, putusan yang membutuhkan selang waktu 10 bulan untuk
dibacakan tersebut baru dapat diberlakukan pada Pemilu dan Pilpres
2019. Hal tersebut akan berimplikasi pada praktek penyelenggaraan
Pemilu di Indonesia, baik bagi pemilu yang pelaksanaannya sudah
dekat maupun Pemilu pada masa yang akan datang.
PendahuluanPada tanggal 23 Januari 2014 Mahkamah
Konstitusi (MK) membacakan putusan uji materiil atas UU No. 42
tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (UU
Pilpres) yang diajukan oleh Effendi Gazali. Dalam permohonan
tersebut, setidak-tidaknya terdapat lima pasal yang diuji.
Pasal-Pasal tersebut adalah Pasal 3 Ayat (5), Pasal 9, Pasal 12
Ayat (1), (2), Pasal 14 Ayat (2), dan Pasal 112 UU No.42 Tahun 2008
tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Berdasarkan
pokok perkara dalam permohonan tersebut setidak-tidaknya ada dua
hal yang dipersoalkan, yaitu, pertama soal pelaksanaan Pemilu
Legislatif (Pileg) yang terpisah dengan Pemilihan Presiden
(Pilpres), dan yang kedua adanya ambang batas pencalonan presiden
(presidential threshold).
Atas perkara tersebut MK kemudian mengeluarkan putusan yang
menyatakan bahwa Pasal 3 Ayat (5), Pasal 12 Ayat (1), (2), Pasal 14
Ayat (2), dan Pasal 112 UU Pilpres bertentangan dengan Pasal 22E
ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
(UUD 1945). Dengan adanya putusan tersebut MK memutuskan bahwa
pelaksanaan Pileg yang tidak bersamaan dengan Pilpres
inkonstitusional, sehingga pasal-pasal yang telah disebutkan
sebelumnya tidak sah dan tidak memiliki kekuatan hukum. Namun
demikian, dalam sidang perkara tersebut MK tidak mengabulkan
permasalahan yang kedua, yaitu pemohonan untuk menyatakan bahwa
ambang batas pencalonan presiden bertentangan dengan UUD 1945.
Dalam putusan uji materiil MK juga mengeluarkan putusan lain
yang kemudian cukup menuai reaksi dari berbagai pihak
*) Peneliti Muda Tim Hukum pada Pusat Pengkajian, Pengolahan
Data, dan Informasi (P3DI) Setjen DPR RI, e-mail:
[email protected]
-
- 2 -
baik di kalangan akademisi, politisi maupun masyarakat
Indonesia. Hal tersebut karena setelah menyatakan Pilpres yang
tidak dilaksanakan secara bersamaan dengan Pileg merupakan kegiatan
yang inkonstitusional, MK menyatakan bahwa ketentuan tersebut
berlaku untuk penyelenggaraan Pemilu tahun 2019 dan pemilu
seterusnya.
Sikap mendua yang tercantum dalam putusan MK tersebut cukup
menarik perhatian karena setelah membatalkan pasal yang menjadi
pijakan hukum bagi pelaksanaan Pemilu 2014 yang sudah di ambang
mata, MK kemudian membuat masyarakat bertanya-tanya bagaimana
legalitas penyelenggaraan Pemilu 2014 dan bagaimana kekuatan hukum
dari hasil penyelenggaraan Pemilu 2014 tersebut, serta implikasi
apa saja yang akan timbul.
Putusan Multitafsir Sebelum putusan atas permohonan
uji materiil tersebut dibacakan, pada Desember 2013, Yusril Ihza
Mahendra selaku ketua Majelis Syura Partai Bulan Bintang mengajukan
permohonan yang secara substansi sama dengan permohonan yang
diajukan oleh Effendi Gazali. Hanya saja permohonan yang diajukan
oleh Yusril berbeda dari sisi kepentingan dan kedudukan hukum
sebagai pemohon. Pada permohonan ini Yusril mengajukan permohonan
dengan pertimbangan bahwa dirinya tidak bisa secara otomatis maju
sebagai calon Presiden di Pemilu 2014 karena harus menunggu hasil
Pileg yang diikuti oleh partainya.
Berbeda dengan Yusril, Effendi Gazali mengajukan permohonan uji
materiil dilandaskan pada pemikirannya pada hak sebagai rakyat
Indonesia yang tidak terpenuhi untuk mendapatkan Pemilu yang hemat
dan efisien serta berkualitas ketika Pilpres tidak dilaksanakan
bersamaan dengan Pileg dan calon presiden yang tersedia hanya
berdasarkan hasil Pileg. Artinya calon presiden lain yang
berkualitas belum tentu dapat maju pada Pilpres.
Lebih jauh Effendi Gazali menyatakan bahwa pelaksanaan Pileg
yang lebih dahulu dari Pilpres bertentangan dengan Pasal 22E UUD
1945 karena tidak sesuai dengan kehendak pembuat undang-undang
dasar (original intent). Pendapat tersebut berdasarkan bukti yang
tercantum dalam risalah Rapat Komisi A Sidang Tahunan MPR Tahun
2001 tanggal 4 sampai 8 November 2001. Dalam risalah
rapat tersebut ditemukan dialog terkait dengan pelaksanaan Pileg
dan Pilpers antara anggota MPR, Tjetje Hidayat Patmadinata dengan
Ketua Komisi A, Slamet Efendy Yusuf.
Risalah percakapan tersebut menjelaskan bahwa pelaksanaan
pemilihan dilakukan secara serentak dengan menggunakan lima kotak
suara yang harus diisi oleh rakyat Indonesia yang melaksanakan hak
pilih. Kelima kotak tersebut masing-masing untuk anggota DPRD
tingkat kabupaten/kota, DPRD tingkat provinsi, anggota DPD, anggota
DPR RI, serta kotak terakhir untuk pasangan calon presiden dan
wakil presiden.
Sedangkan soal ambang batas pencalonan presiden yang juga
menjadi materi gugatan, pengajuan gugatan tersebut karena perolehan
kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau
memperoleh 25 persen dari suara sah nasional dalam Pileg sebagai
penentuan ambang batas bagi partai politik yang ingin mengajukan
calon presiden, bertentangan dengan semangat pemilihan serentak
yang tercantum dalam kehendak pembuat UUD sebagaimana yang telah
disebutkan sebelumnya. Selanjutnya pemohon juga menyatakan bahwa
ketika Pemilu dilaksanakan secara serentak maka secara otomatis
akan mengeliminir ketentuan mengenai ambang batas yang menjadi
prasyarat pengajuan calon presiden dan wakil presiden.
Atas permohonan tersebut, majelis hakim konstitusi melalui
putusan MK No. 14/PUU-IX/2013, mengabulkan permohonan Effendi
Gazali agar pemilu dilaksanakan secara serentak. Hal tersebut
karena majelis hakim yang diketuai oleh Hamdan Zoelva menyatakan
bahwa permohonan tersebut memiliki dasar yang cukup kuat sehingga
pasal mengenai pelaksanaan Pilpres setelah adanya hasil Pileg
dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai
kekuatan mengikat.
Walaupun demikian, MK menyatakan bahwa keputusan tersebut tidak
bisa diberlakukan pada pemilihan presiden dan wakil presiden yang
akan dilaksanakan pada tahun 2014. MK dalam amar putusannya
menyatakan bahwa pemilu secara serentak hanya berlaku pada Pemilu
2019 dan seterusnya. Alasan MK menunda berlakunya putusan tersebut
antara lain karena terbatasnya waktu, tahapan penyelenggaraan
Pemilu 2014 telah dan sedang berjalan mendekati waktu pelaksanaan,
peraturan perundang-undangan, tata cara pelaksanaan pemilihan umum,
dan persiapan teknis telah diimplementasikan.
-
- 3 -
Selain itu, dengan adanya keputusan MK yang mengeliminasi
ketentuan pelaksanaan Pilpres setelah Pileg, maka diperlukan aturan
baru sebagai dasar pelaksanaan Pilpres dan Pileg secara serentak
melalui undang-undang. Jika aturan tersebut dipaksakan untuk dibuat
dan di selesaikan demi pelaksanaan pemilu 2014 secara serentak,
majelis khawatir waktu yang tersisa tidak cukup memadai untuk
membentuk peraturan perundang-undangan yang baik dan
komprehensif.
Sementara mengenai permohonan yang kedua, yaitu adanya
presidential threshold, MK menolak permohonan tersebut sehingga
pasal 9 UU Pileg masih dinyatakan sesuai dengan UUD 1945 karena
merupakan penjabaran dari Pasal 6A UUD 1945 sehingga masih memiliki
kekuatan mengikat.
Putusan tersebut menuai berbagai reaksi dari berbagai kalangan
baik akademisi, politisi, maupun masyarakat. Pada umumnya partai
politik besar yang menjadi peserta Pemilu 2014 menyatakan bahwa
putusan tersebut menguntungkan semua pihak. Salah satu politisi
PDIP, Eva Kusuma Sundari, menyatakan bahwa putusan yang dikeluarkan
MK merupakan putusan yang mengedepankan kepentingan bangsa dan
negara. Menurutnya ketika pemilu serentak langsung dilaksanakan
pada tahun ini maka hal tersebut akan mengganggu perencanaan dan
strategi yang telah disiapkan oleh PDIP selama ini. Eva juga
menegaskan bahwa pelaksanaan pemilu serentak tanpa perencanaan yang
matang akan mengganggu kualitas pemilu dan mengakibatkan kacaunya
Daftar Pemilih Tetap.
Berbeda dengan pendapat yang dikemukakan oleh politisi,
akademisi Saldi Isra menyatakan bahwa sikap ambigu putusan MK
tersebut tentunya akan memicu perdebatan mengenai keabsahan
konstitusionalitas pemilu 2014 sendiri, bahkan bukan tidak mungkin
perdebatan akan terus hadir sampai tahapan akhir penyelenggaraan
pemilu serta hasilnya.
Legitimasi Putusan MK Terlepas dari reaksi yang timbul,
putusan
MK berdasarkan ketentuan yang diatur dalam UU No. 8 Tahun 2011
tentang MK merupakan putusan yang bersifat final dan mengikat.
Selain itu putusan MK merupakan putusan tingkat pertama dan
terakhir. Oleh karena itu, selanjutnya akan dikaji implikasi yang
akan timbul ketika putusan tersebut dijadikan pijakan bagi
pelaksanaan Pemilu 2014.
Terkait dengan hal tersebut, Yusril Ihza Mahendra menyatakan
bahwa konsekuensi
dari Putusan MK yang bersifat mendua ini adalah pelaksanaan
Pemilu 2014 dilakukan berdasarkan pasal-pasal yang sudah
inkonstitusional yang menyebabkan pemilu 2014 kehilangan sandaran
yuridisnya. Konsekuensinya, hasil dari pemilihan tersebut juga
inkonstitusional. Konsekuensi lebih lanjut, DPR, DPR, DPRD, serta
presiden dan wapres yang terpilih dalam pemilu 2014 juga akan
inkonstitusional. Hal ini akan membahayakan stabilitas nasional
sehingga memicu ketidakpercayaan rakyat terhadap lembaga
demokrasi.
Senada dengan pendapat yang dikemukakan oleh Yusril, Margarito
Kamis menyatakan bahwa Putusan MK tersebut semakin membuat Pemilu
tidak memiliki pijakan yang kuat. Terkait dengan penundaan
penyelenggaraan pemilu secara serentak sampai dengan tahun 2019,
Margarito menyatakan bahwa hal tersebut akan menjadi dagelan
politik sebab kita membenarkan hal yang sudah kita akui salah dan
tetap dijalankan.
Sedangkan Abdul Hakim Garuda Nusantara menyatakan bahwa
legitimasi terhadap putusan MK tersebut dapat dilihat dari tiga
konsep legitimasi, yaitu legitimasi hukum, sosiologis, dan moral.
Putusan MK No. 14/PUU-IX/2013 disandarkan pada metode penafsiran
original intent anggota MPR yang terdapat dalam risalah rapat.
Pendapat yang diungkapkan oleh anggota MPR tersebut belum tentu
mewakiili pandangan seluruh anggota MPR yang turut dalam proses
memutuskan amandemen UUD 1945. Sangatlah mungkin ketika MK
menggunakan metode lain dalam melakukan penafsiran atas uji
materiil pasal-pasal tersebut, putusannya akan berbeda seperti yang
terjadi pada tahun 2009 atas permohonan uji materiil yang berbeda
namun terkait substansi yang sama.
Dengan demikian yang menentukan sebuah hal konstitusional adalah
pendapat MK melalui metode penafsiran yang digunakannya bukan
semata-mata UUD 1945 menyatakan demikian, karena UUD 1945 bukanlah
pengaturan yang bersifat lugas hanya pengaturan yang bersifat umum.
Ketentuan yang tercantum dalam UUD 1945 perlu mendapatkan tafsiran
lebih lanjut agar lebih jelas maksud yang terkandung didalamnya.
Dengan adanya penafsiran MK melalui putusan No. 14/PUU-IX/2013
tersebut, maka dapat dikatakan putusan ini telah memenuhi legalitas
secara hukum sebab dikeluarkan oleh lembaga yang berwenang
melakukan penafsiran terhadap ketentuan yang diatur dalam UUD
-
- 4 -
1945. Selanjutnya putusan MK tersebut
sepertinya telah memperoleh sambutan hangat dari parpol-parpol
kelas atas, seperti Golkar, PDIP dan Demokrat. Hal ini menunjukkan
putusan MK tersebut dinilai bermanfaat dan diterima oleh masyarakat
walaupun hanya melalui cerminan parpol. Hal ini dapat mempertegas
bahwa putusan MK No. 14/PUU-IX/2013 memenuhi legitimasi
sosiologis.
Dalam putusan tersebut, MK berpendapat bahwa penundaan
pelaksanaan pemilu serentak sampai dengan 2019 bertujuan untuk
menyiapkan peraturan hukum dan teknis terkait penyelenggaraan
pemilu yang baik dan komprehensif, dengan jeda waktu yang ada
antara 2014 sampai dengan 2019 DPR dan pemerintah memiliki banyak
waktu untuk menyusun peraturan hukum dan teknis terkait
penyelenggaraan pemilu serentak, efisien, dan berbiaya murah yang
komprehensif.
Dengan adanya regulasi yang komprehensif terkait dengan pemilu
serentak, efisien dan berbiaya murah pelaksanaan pemilu di masa
yang akan datang akan cenderung terhindar dari keributan besar jika
dibandingkan dengan pelaksanaan pemilu serentak yang dipaksakan
tahun ini dan berpotensi konflik. Atas dasar hal-hal tersebut maka
putusan MK dapat di nyatakan memenuhi legitimasi secara moral.
Penutup Putusan MK telah memenuhi ketiga
unsur legitimasi sebagaimana ditegaskan di atas. Dengan
demikian, kita dapat dapat menyimpulkan bahwa putusan MK tersebut
telah memiliki legitimasi, sehingga pelaksanaan pemilu 2014
walaupun tidak dilaksanakan secara serentak dapat berjalan tanpa
kekhawatiran akan keabsahannya.
Dengan dibatalkannya pengaturan mengenai penyelenggaraan Pilpres
setelah Pileg, maka Indonesia di masa yang akan datang sangat
membutuhkan regulasi terkait Pemilu yang lebih baik dan
komprehensif. Hal tersebut dapat dilakukan dengan melakukan
kodifikasi terhadap pengaturan mengenai penyelenggaraan Pemilu.
Kodifikasi yang dimaksud tidak hanya melakukan penggabungan
regulasi saja, perlu juga dilakukan singkronisasi atas pasal-pasal
yang ada dan melakukan harmonisasi substansi antara ketentuan yang
ada didalamnya baik untuk Pileg maupun Pilpres.
Rujukan1. MK Tak Ubah Pemilu 2014, Republika,
24 Januari 2014, hlm. 1.2. Pemilu Serentak 2019 Putusan
Bijak,
Media Indonesia, 24 Januari 2014, hlm. 1.3. Saldi Isra, Jalan
Panjang Menuju Pemilu
Serentak, Media Indonesia, 27 Januari 2014, hlm. 14.
4. Meragukan Keabsahan Pemilu Setelah Putusan MK, Majalah Forum
Keadilan Tahun XXII/27 Jan-02 Feb 2014, hlm.12-15.
5. Agust Reiwanto, Implikasi Hukum Putusan MK tentang Pemilu
Serentak, Media Indonesia, 29 Januari 2014, hlm. 7.
6. Abdul Hakim Garuda Nusantara, Legitimasi Konstitusional
Pemilu 2014, Kompas, 6 Februari 2014, hlm. 7.
-
- 5 -
Vol. VI, No. 03/I/P3DI/Februari/2014HUBUNGAN INTERNASIONAL
Info Singkat 2009, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan
Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RIwww.dpr.go.idISSN
2088-2351
Kajian Singkat terhadap Isu-Isu Terkini
MASYARAKAT SIPIL DAN TRANSISI DEMOKRASI DI TIMUR TENGAH
Humphrey Wangke*)
Abstrak
Masyarakat sipil merupakan kelompok-kelompok di dalam sebuah
gerakan sosial yang tidak terikat dalam bentuk organisasi atau
keanggotaan, namun lebih diikat oleh jaringan sosial dari para
pendukungnya. Berbekal kemampuan itu, masyarakat sipil mampu
mengendalikan kesewenang-wenangan kalangan atas di negaranya.
Revolusi Arab Spring di Mesir, Tunisia, Yaman, dan Suriah adalah
bukti bagaimana kekuatan masyarakat sipil dapat menjadi pendorong
dalam upaya demokratisasi melawan rezim penguasa yang lalim.
Latar BelakangProses perubahan pemerintahan negara-
negara di Timur Tengah yang dimulai sejak Desember tahun 2010
hingga saat ini masih belum memperlihatkan hasilnya. Konflik
kekerasan baik secara horizontal maupun vertikal masih belum
menunjukkan tanda-tanda akan berakhir. Berbagai upaya masih terus
dilakukan agar proses transisi menuju negara yang lebih demokratis
seperti yang dikehendaki oleh revolusi tahun 2010 yang dikenal
dengan sebutan Arab Spring bisa terlaksana secara damai.
Arab Spring telah membawa perubahan mendasar dalam dinamika
partisipasi politik di dunia Arab. Di bawah sistem otoriter di
Tunisia, Mesir, Libya, Suriah, dan negara-
negara Arab lainnya, partisipasi politik formal sebagian besar
terbatas pada kegiatan partai yang berafiliasi dengan rezim yang
berkuasa, partisipasi masyarakat sipil terkooptasi, atau pemungutan
suara dalam pemilihan tidak transparan dan sering terjadi penipuan.
Partisipasi politik informal seperti melalui jaringan sosial
seperti facebook dan twitter, gerakan politik bawah tanah, dan
gerakan sosial, seringkali menjadi satu-satunya cara bagi warga
negara untuk menantang rezim mereka.
Meskipun revolusi Arab Spring tidak sepenuhnya membalikkan tren
ini di seluruh negara-negara Arab, tetapi fenomena ini telah
membawa perubahan yang signifikan pada sejumlah perbaikan kunci
yang memfasilitasi
*) Peneliti Utama Tim Hubungan Internasional pada Pusat
Pengkajian, Pengolahan Data, dan Informasi (P3DI) Setjen DPR RI,
e-mail: [email protected]
-
- 6 -
partisipasi politik formal, terutama di Mesir dan Tunisia. Namun
demikian, ada juga sejumlah tantangan penting dalam mengembangkan
partisipasi politik formal di dunia Arab di era transisi demokrasi
saat ini. Tuntutan perubahan yang terjadi di Suriah sejak tiga
tahun lalu hingga saat ini masih belum menunjukkan tanda-tanda akan
berakhir. Medan pertempuran bukan hanya terjadi di kota Homs dan
Allepo di Suriah tetapi juga di Kota Genewa di Swiss, tempat
berlangsung perundingan antar-pihak yang bertikai di Suriah.
Di Mesir, setelah tiga tahun revolusi, sekurang-kurangnya ada
tiga hal yang belum berubah, yaitu pertama, militer masih tetap
berkuasa sama seperti sebelum revolusi; kedua, Al-Ikhwanul
Al-Muslimin (IM) tetap dilarang untuk ambil bagian dalam percaturan
politik. IM bahkan telah dinyatakan sebagai organisasi terlarang.
Ketiga, Mesir tetap mempertahankan diri sebagai negara yang
pluralis yang secara tegas disebut dalam konstitusi baru.
Konstitusi baru Mesir telah mendapat persetujuan 98,1 persen
pemilih dalam referendum yang diadakan pada tanggal 14-15 Januari
2014 ditengah-tengah konflik antara pendukung IM dan petugas
keamanan..
Tunisia sejauh ini menjadi satu-satunya negara yang berhasil
memasuki era demokrasi pasca-tumbangnya rezim diktator Presiden
Zine al-Abidine Ben Ali melalui revolusi rakyat tahun 2011. Pada
tanggal 27 Januari 2014, konstitusi baru Tunisia berhasil disahkan.
Konstitusi tersebut merupakan konstitusi kedua setelah konstitusi
tahun 1959. Sama seperti konstitusi tahun 1959, konstitusi baru ini
tetap mempertahankan prinsip emansipasi wanita dan identitas negara
sipil. Konstitusi baru ini juga menegaskan Islam sebagai agama
negara. Konstitusi tahun 1959 selama ini dikenal sebagai konstitusi
paling sekular di negara-negara Arab. PM Mahdi Jomaah yang ditunjuk
pada tanggal 14 Desember 2013 akan segera menyiapkan pemilu
legislatif dan presiden berdasarkan konstitusi yang baru
tersebut.
Tujuan dari tulisan ini adalah untuk menjelaskan mengapa proses
transisi demokrasi di Timur Tengah pasca-Arab Spring berjalan
sangat lamban?
Transisi Demokrasi Secara teoritis, transisi demokrasi
dibedakan dalam dua fase, yaitu fase pembebasan dari
pemerintahan yang otoriter dan pembentukan konstitusi yang
demokratis.
Jika kekuasaan represif masih bertahan selama masa transisi maka
proses yang pertama akan terjadi. Tetapi jika lembaga represif itu
dapat dihancurkan maka proses kedua akan terjadi. Jika transisi
demokrasi ingin berlangsung secara simultan, maka ada tiga
persyaratan yang harus dipenuhi, yaitu: 1) sejumlah besar tokoh
reformis pemerintah harus dapat mencapai kesepakatan dengan
kelompok moderat dari lawannya; 2) para reformis harus dapat
membujuk militer agar mau bekerja sama melakukan perubahan
kelembagaan; dan 3) kelompok moderat harus berisi sekutu mereka
sendiri.
Setiap tahapan transisi demokrasi memiliki konsekuensi yang
berbeda mengingat bentuk pemerintahan negara-negara Arab memiliki
tipe yang berbeda. Michelin Ishay membedakan pemerintahan
negara-negara Arab dalam 3 tipe, yaitu: 1) negara homogen,; 2)
negara otoriter; dan 3) monarki kaya.
Negara yang masyarakatnya homogen secara etnik dan agama seperti
Mesir dan Tunisia sangat mudah dimobilisasi untuk meruntuhkan rezim
pemerintahan yang rapuh karena kekurangan manusia dan modal ekonomi
untuk melakukan transisi demokrasi secara damai. Namun demikian,
negara-negara yang homogen biasanya lemah dari sisi demokrasi
karena belum mempunyai masyarakat sipil yang tangguh.
Negara yang otoriter seperti Libya, Suriah dan Yaman lebih
lambat dalam melakukan pembebasan karena memiliki masyarakat sipil
yang terfragmentasi dalam bentuk sektarian atau suku yang
seringkali tumpang tindih dengan pembagian ekonomi. Sebaliknya,
negara-negara monarki kaya praktis tidak memiliki masyarakat sipil.
Meskipun demikian, monarki keturunan Arab terbukti lebih stabil
daripada rezim yang mendasarkan legitimasi mereka pada ideologi
yang belum tentu kebal terhadap perubahan rezim.
Peran Masyarakat Sipil dalam Transisi Demokrasi: Kasus
Tunisia
Masyarakat sipil dapat didefinisikan sebagai struktur sosial
yang secara spontan terpisah dari negara. Untuk membantu
mengembangkan demokrasi, masyarakat sipil mempunyai peran penting
dalam memajukan partisipasi politik rakyat. Kelebihan lainnya dari
masyarakat sipil adalah kemampuannya dalam membatasi dan mengontrol
kekuasaan pemerintahan, serta mengekspos korupsi dan penyalahgunaan
kekuasaan. Kelompok masyarakat sipil juga mempunyai kemampuan
-
- 7 -
memberikan informasi kepada masyarakat mengenai isu-isu
spesifik. Karena itu, masyarakat sipil dinilai istimewa karena
nilai strategis yang disandangnya itu.
Masyarakat sipil hanya bisa lahir dari sebuah komunitas yang
mampu berpartisipasi secara aktif dalam proses politik. Karena itu,
partisipasi politik yang dihasilkannya selalu berkaitan dengan
proses pembebasan. Kemunculannya tidak terlepas dari revolusi
industri di negara-negara Barat. Ketika itu, industrialisasi
melahirkan nilai-nilai kewirausahaan yang merangsang produktivitas
masyarakat. Akibatnya, muncul kelompok yang memiliki beberapa
kelebihan, antara lain kekuatan dan kemandirian ekonomi,
profesionalisme, dan intelektualitas.
Keberhasilan Tunisia dalam proses transisi demokrasi tidak
terlepas dari peran masyarakat sipil didalamnya. Meskipun Tunisia
tidak memiliki masyarakat sipil dalam jumlah yang besar sebagaimana
di negara-negara yang sudah maju tingkat demokrasinya, akan tetapi
kemajuan perekonomian negara itu telah membantu mempercepat proses
pembentukan kelompok masyarakat sipil melalui komunikasi
elektronik. Mereka bukan hanya berperan penting dalam masa
transisi, tetapi juga telah memimpin dan bekerja sama dengan pihak
eksternal melawan kediktatoran.
Masyarakat sipil Tunisia telah berpartisipasi dalam sebuah
proses yang secara berkelanjutan menekankan pentingnya kemerdekaan,
demokrasi, kebebasan, kesetaraan dan keadilan sosial. Perkembangan
masyarakat sipil di Tunisia tidak dimaksudkan untuk menggantikan
partai politik tetapi sebaliknya dimaksudkan untuk membangun
proyek-proyek politik di mana orang-orang dapat beroperasi.
Transisi demokrasi di Tunisia dinilai sangat berhasil mengingat
kelompok masyarakat sipil negara ini sangat diatur, dibatasi, dan
seringkali dilarang. Rezim yang berkuasa seringkali mengendalikan
dan bahkan mengooptasi organisasi masyarakat sipil untuk tujuan
mereka sendiri. Kendati demikian, meskipun peraturan yang
dikeluarkan oleh rezim merupakan bentuk dari penindasan, akan
tetapi kelompok masyarakat sipil di Tunisia memperoleh manfaat dari
kohesifitas dan sikap toleran yang dimilikinya selama ini yaitu
sebuah masyarakat yang bebas dari konflik etnik.
Transisi demokrasi di Tunisia dimulai sejak tahun 2011 dengan
melakukan proses reformasi konstitusi. Reformasi kelembagaan
dimulai dari pemilik otoritas yang lebih
tinggi, mendistribusikan kekuasaan presiden yang sangat besar ke
lembaga-lembaga pemerintahan, dan memilih anggota parlemen yang
baru. Pemerintah sementara Tunisia juga membentuk komite khusus
yang ditugasi menangani masalah-masalah terkait dengan konstitusi
seperti keamanan dan korupsi serta kebenaran dan rekonsiliasi.
Sebuah komisi pemilihan umum dibentuk dengan melibatkan tokoh
oposisi Kemal Jendoubi sebagai ketuanya, dan ditugasi menetapkan
parameter bagi Majelis Konstituante Nasional untuk kelancaran
pemilu.
Semangat solidaritas di kalangan kelas menengah Tunisia meskipun
dalam jumlah yang sangat terbatas telah menandai dimulainya sejarah
baru di Timur Tengah sebagai agen perubahan dan menjadi titik awal
dimulainya kebebasan berserikat dan reformasi kelembagaan untuk
kegiatan masyarakat sipil. Munculnya masyarakat sipil dan
pemberdayaan masyarakat sering disebut sebagai salah satu pendorong
demokratisasi. Tunisia menjadi negara pertama dari negara-negara
Arab Spring yang merasakan pentingnya peran organisasi masyarakat
sipil dalam hubungan negara-masyarakat dan lembaga dan pengaruhnya
terhadap berbagai aktivis sipil.
Apa yang Dapat Dilakukan Indonesia
Pasca reformasi tahun 1998, Indonesia telah berubah menjadi
negara demokrasi terbesar di Asia Tenggara. Salah satu keberhasilan
memajukan demokrasi adalah pemberdayaan masyarakat sipil. Dalam
menghadapi masa transisi negara-negara Timur Tengah pasca revolusi
Arab Spring, Indonesia dapat berperan sebagai fasilitator
perdamaian. Pengalaman Indonesia dalam menyelesaikan konflik di
Kamboja tahun 1997-1998, operasi penjaga perdamaian di Timor Leste
tahun 1999, rekonsiliasi Aceh tahun 2005, topan Nargis di Myanmar
tahun 2008 adalah contoh kasus mediasi dan resolusi yang berhasil
diselesaikan ASEAN dimana Indonesia aktif terlibat.
DPR RI juga dapat memanfaatkan forum pertemuan Organisasi
Konperensi Persatuan Negara-negara Islam (PUIC) untuk mencari
solusi damai di Timur tengah. Pertemuan PUIC yang akan berlangsung
di Teheran dalam bulan Februari ini dapat menjadi awal dari
partisipasi aktif DPR RI dalam menjalankan diplomasi parlementer di
Timur Tengah. Dalam pertemuan itu, Indonesia dapat mengusulkan
-
- 8 -
langkah-langkah perdamaian di Timur Tengah atas dasar persatuan
sesama muslim. Persatuan merupakan hal yang paling mendasar bagi
umat Islam dan karenanya harus menjauhi sifat ekstrim dan fanatisme
kelompok agar dapat tercipta suatu pendekatan dan kerja sama
diantara kelompok Muslim. Atas dasar itu, Indonesia dapat
mengusulkan perlunya dialog untuk menyelesaikan perselisihan di
Timur Tengah.
RujukanAlan Richards, Summer, 2005, Democra-1. cy in the Arab
Region: Getting There From Here, Middle East Policy, Vol. XII, No.
2.Arab World Has Changed, so should US, 2. The Jakarta Post, 28
Januari 2014.Bursa Calon Presiden Mulai Memanas, 3. Kompas, 28
Januari 2014.Jason William Boose, Democratization 4. and Civil
Society: Libya, Tunisia and the Arab Spring, International Journal
of So-cial Science and Humanity, Vol. 2, No. 4, July 2012.Jenderal
Al-Sisi Maju pada Pemilihan 5. Presiden, Media Indonesia, 7
Februari 2014.Konstitusi Baru Disahkan, Kompas, 28 6. Januari
2014Micheline Ishay, The Spring of Arab Na-7. tions? Paths toward
Democratic Transi-tion, Philosophy and Social Criticism, Vol. 1,
No. 11, 2013.Trias Kuncahyono, Revolusi Mesir Tiga 8. Tahun Telah
Berlalu, Kompas, 25 Januari 2014.Tunisia finally passes progressive
consti-9. tution, The Jakarta Post, 28 Januari 2014.
-
- 9 -
Vol. VI, No. 03/I/P3DI/Februari/2014KESEJAHTERAAN SOSIAL
Info Singkat 2009, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan
Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RIwww.dpr.go.idISSN
2088-2351
Kajian Singkat terhadap Isu-Isu Terkini
KONTRIBUSI PSYCHOLOGICAL FIRST AID (PFA)
DALAM PENANGANAN KORBAN BENCANA ALAMSulis Winurini*)
Abstrak
Bencana memberikan dampak secara fisik dan psikologis. Oleh
sebab itu, pemberian bantuan kepada korban bencana harus bersifat
menyeluruh. Psychological First Aid (PFA) adalah bentuk pertolongan
pertama untuk meredakan reaksi emosional seseorang terhadap
peristiwa bencana yang dialaminya untuk menghindari dampak negatif
lebih lanjut. PFA memfasilitasi korban untuk pulih, kembali menjadi
individu yang sehat secara fisik dan mental. Beberapa penelitian
menyebutkan bahwa PFA memiliki manfaat bagi korban dan manfaatnya
bahkan bisa dirasakan dalam jangka panjang.
PendahuluanMengawali tahun 2014, bencana alam
terjadi secara hampir bersamaan di Indonesia. Bencana pertama
adalah letusan Gunung Sinabung di Sumatera Utara. Musibah ini
menewaskan 16 orang dan hingga saat ini pengungsi bertambah setiap
harinya, mencapai angka 31.739 jiwa. Badan Nasional Penanggulangan
Bencana (BNPB) menyatakan saat ini ada 19 gunung lainnya di
Indonesia berstatus waspada. Bencana kedua adalah gempa bumi yang
mengguncang wilayah Jawa Tengah. Gempa dengan kekuatan 6.5 Skala
Richter ini dirasakan amat kuat di Kebumen, Purworejo, Yogyakarta,
dan sejumlah wilayah pesisir Pantai Selatan Jawa. Selain kedua
bencana tersebut, BNPB mencatat adanya 182 kejadian bencana
hidrometeorologi di bulan Januari 2014. Termasuk di dalamnya
adalah
banjir di wilayah Jakarta dan Pantura; banjir bandang di Manado
dan Kudus; tanah longsor di Jombang, Semarang, Situbondo, Malang,
Jepara, dan beberapa daerah lainnya. Kasus yang sama bencana angin
puting beliung di beberapa daerah di Pulau Sulawesi, Jawa, dan Nusa
Tenggara. BNPB memperkirakan tren bencana hidrometeorologi ini
masih akan terus meningkat. Ancaman banjir dan longsor
diprediksikan akan terus berlanjut hingga Maret 2014 di sebagian
besar wilayah di Indonesia.
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana
menggambarkan bencana sebagai peristiwa yang mengancam dan
mengganggu kehidupan masyarakat serta menimbulkan korban jiwa,
kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, serta adanya dampak
psikologis. Definisi tersebut memperlihatkan bahwa
*) Peneliti Muda bidang Psikologi Tim Kesejahteraan Sosial pada
Pusat Pengkajian, Pengolahan Data, dan Informasi (P3DI) Setjen DPR
RI, e-mail: [email protected]
-
- 10 -
bencana merupakan pengalaman yang tidak menyenangkan. Bencana
alam adalah peristiwa yang sulit diprediksi dan mengancam
keselamatan jiwa. Seseorang yang terkena bencana bisa kehilangan
orang-orang yang disayangi, harta benda, mata pencaharian,
sekaligus kesulitan memenuhi kebutuhan hidup dalam waktu yang
bersamaan.
Pengalaman yang tidak menyenangkan ini berakibat pada
ketidakseimbangan kondisi psikologis pada korban, misalnya seperti
yang dialami pengungsi letusan Gunung Sinabung. Setelah enam bulan
lamanya mereka mengungsi, mereka mengalami kebingungan. Salah satu
pengungsi mengeluhkan tidak tahu harus ke mana lagi karena
tempatnya mencari nafkah sudah hancur terkena lumpur lahar dingin.
Sementara pengungsi lainnya mengalami perasaan frustasi, jenuh, dan
bingung dengan keadaannya saat ini yang dianggap penuh
ketidakpastian. Apa yang mereka rasakan ini mewakili keluhan semua
korban bencana yang mengalami permasalahan yang sama.
Reaksi ini merupakan hal yang wajar karena umumnya korban
bencana mengalami reaksi emosional awal seperti kebingungan,
ketakutan, putus asa, ketidakberdayaan, sulit tidur, sakit fisik,
cemas, marah, shock, dorongan agresivitas, ketidakpercayaan,
keguncangan spiritual, dan kehilangan rasa percaya diri. Reaksi
yang demikian merupakan reaksi yang normal dialami oleh mereka
sebagai bentuk penyesuaian dirinya terhadap kejadian bencana. Namun
demikian, kendati dianggap sebagai reaksi normal sekalipun,
reaksi-reaksi semacam ini tetap perlu diatasi karena apabila tidak,
akan mengganggu fungsi psikis, sosial, dan spiritual, yang pada
akhirnya akan memperlemah kemampuan bertahan korban.
Salah satu intervensi yang digunakan untuk mengatasi reaksi
emosional awal di atas adalah Psychological First Aid (PFA). PFA
merupakan tanggapan pertama, dalam durasi yang singkat, yang
diberikan kepada orang yang mengalami tekanan karena bencana atau
keadaan darurat untuk membantu keadaan pada saat itu. Evolusi
konsep dan operasionalisasi PFA telah menjadikan tindakan ini
diakui secara internasional dan menghasilkan sejumlah rekomendasi
dan panduan yang baik. PFA saat ini direkomendasikan oleh National
Institute for Mental Health, the National Child Traumatic Stress
Network, World Health Organisation, dan lembaga ternama lain
seperti International Red Cross.
Apakah PFA Itu?Menurut WHO (2011), PFA merupakan
perawatan dasar yang bersifat praktis, suportif, dan humanis,
yang digunakan untuk menolong orang yang mengalami tekanan karena
bencana atau keadaan krisis, diberikan segera setelah bencana
terjadi, dengan pendekatan yang tidak memaksa dan disesuaikan
dengan nilai-nilai yang berlaku. PFA memfokuskan kepada beberapa
hal, yaitu sebagai berikut: 1) penyediaan dukungan dan perawatan
praktis yang bersifat tidak memaksa; 2) pengenalan dan pemenuhan
kebutuhan dasar; 3) kesediaan untuk mendengarkan korban tanpa
memaksanya berbicara; 4) kesediaan untuk membuat korban merasa
nyaman; 5) membantu korban mendapatkan informasi tentang pelayanan
dan dukungan sosial; dan 6) melindungi korban dari hal-hal yang
membahayakan.
PFA bukanlah suatu pendekatan yang hanya bisa dilakukan oleh
praktisi kesehatan mental atau tenaga profesional, tetapi bisa
dilakukan oleh masyarakat yang bertugas saat tanggap darurat. PFA
juga bukan berupa konseling, tanya jawab, atau diskusi psikologis
yang digunakan untuk menganalisa apa yang terjadi pada diri korban.
PFA justru merupakan bentuk alternatif dari diskusi psikologis.
Melalui PFA korban bisa menceritakan permasalahannya apabila memang
ingin menceritakannya. PFA adalah pertolongan psikologis pertama
kepada korban bencana yang dilakukan dengan membuatnya merasa
nyaman, aman, tenang dan penuh harapan.
Menurut beberapa penelitian, PFA justru menolong pemulihan dalam
jangka waktu panjang. PFA tidak hanya memberikan ketenangan kepada
korban tetapi juga membantu korban untuk mampu berhubungan dengan
yang lain, mampu mengakses dukungan emosi, fisik dan sosial, serta
mampu menolong diri mereka sendiri, baik sebagai individual maupun
komunitas.
Secara umum, PFA memiliki 3 (tiga) prinsip, yaitu melihat,
mendengar, dan menghubungkan. Masing-masing akan dijelaskan sebagai
berikut:1. Melihat, tercakup di dalamnya adalah
mengecek reaksi distress yang serius, mengecek keselamatan, dan
mengecek kebutuhan dasar korban;
2. Mendengar, tercakup di dalamnya adalah mendekati mereka yang
memerlukan dukungan, bertanya tentang perhatian dan kebutuhannya,
mendengar keluhannya, menerima semua perasaan yang mereka
tumpahkan, dan membantunya merasa
-
- 11 -
tenang;3. Menghubungkan, tercakup di dalamnya
adalah menolong mereka yang tertekan untuk mendapatkan kebutuhan
dasarnya, membantu mereka mengakses pelayanan dan mengatasi
permasalahannya, membantu mereka mendapatkan informasi yang
faktual, membantu mereka menghubungi orang-orang terdekat, serta
mempermudah mereka mendapatkan akses dukungan sosial.
Kontribusi PFA terhadap Pemulihan Psikologis Korban Bencana
Prinsip-prinsip yang diterapkan di dalam PFA didasari kepada
pemenuhan kebutuhan dasar korban. Menurut Nicolds (1969 dalam
Rusmiyati, 2012), kebutuhan dasar manusia meliputi: 1) rasa aman
dari ancaman lingkungan serta aman dari gangguan penyakit; 2) kasih
sayang, baik dari keluarga maupun masyarakat di lingkungannya; 3)
mencapai cita-cita dalam kondisi kehidupan sesuai yang diinginkan;
dan 4) penerimaan eksistensi diri di tengah masyarakat sekitarnya.
Pengalaman kehilangan akibat bencana membuat korban kesulitan
memenuhi kebutuhan dasarnya tersebut.
Untuk memulihkan korban, PFA memfasilitasi korban untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan dasarnya. Hapsarini Nelma (2014) menguatkan
pandangan WHO bahwa kunci agar seseorang dapat bertahan dalam
kondisi darurat seperti bencana adalah adanya rasa aman,
ketenangan, keterhubungan dengan lingkungan sosial, pandangan
positif terhadap kemampuan diri, serta akses terhadap ketersediaan
pemenuhan kebutuhan fisik dan psikologis. Dengan mengacu kepada 3
(tiga) prinsipnya, PFA berupaya meningkatkan kemampuan bertahan
korban. Hal ini sejalan dengan penjelasan WHO (2003) mengenai
konsep kesehatan mental, yaitu sebagai berikut:
Concepts of mental health include subjective wellbeing,
perceived self-efficacy, autonomy, competence, intergenerational
dependence and recognition of the ability to realize ones
intellectual and emotional potential. It has also been defined as a
state of wellbeing whereby individuals recognize their abilities,
are able to cope with the normal stresses of life, work
productively and fruitfully, and make a
contribution to their communities.
Pernyataan tersebut menjelaskan bahwa untuk sehat secara mental,
seseorang harus
sadar dengan kemampuan yang dimiliki, mampu mengatasi stres di
dalam kehidupan, mampu bekerja secara produktif, dan berkontribusi
di dalam komunitas. PFA lebih dari hanya memenuhi kebutuhan dasar
korban. PFA mendukung korban untuk memenuhi kebutuhannya sendiri,
membantu memecahkan masalahnya sendiri, mendukung harapan bahwa
segalanya akan pulih, serta meyakinkan korban bahwa yang dirasakan
adalah normal. Melalui upayanya tersebut, PFA mendukung kapasitas
korban untuk dapat pulih sehingga mampu mengatasi situasi sulit dan
mampu menolong diri sendiri, dalam artian tidak menggantungkan diri
pada lingkungan.
PFA di IndonesiaDi Indonesia, PFA diterapkan
bersamaan dengan psychosocial support, yang dilakukan oleh
Palang Merah Indonesia (PMI) pascabencana tsunami Aceh tahun 2004
lalu. Sementara dari sisi pemerintah, pemberian bantuan masih
banyak terfokus kepada bantuan fisik, sementara bantuan nonfisik,
seperti halnya PFA, belum banyak terlihat.
Pilot project mengenai PFA sebenarnya pernah dilakukan pada
tahun 2010, yaitu pada saat bencana Merapi. Dalam rangka menyikapi
kasus-kasus terkait kesehatan jiwa pasca bencana Merapi, pada saat
itu BNPB bekerja sama dengan Kementerian Kesehatan untuk
menyelenggarakan pembekalan PFA bagi 200 relawan dari perawat jiwa
dan tenaga kesehatan jiwa yang telah bekerja di rumah sakit.
Setelah mendapat pembekalan, mereka dimobilisasi ke tempat
pengungsian untuk mendampingi korban bencana selama 1 bulan. Dengan
adanya pilot project ini, maka kesiapan tenaga terlatih di semua
daerah bencana diharapkan bisa meningkat. Namun demikian, ketika
bencana secara beruntun terjadi pada tahun 2014, ketersediaan
tenaga untuk PFA masih menjadi permasalahan.
PenutupPerlunya penanganan korban bencana
terkait masalah psikologisnya menuntut beberapa tindakan sebagai
berikut. Pertama, peningkatan DPR RI melalui Komisi VIII dan Komisi
IX DPR RI untuk mendorong pemerintah, terutama BNPB dan kementerian
terkait penanggulangam bencana (Kementerian Sosial, Kementerian
Kesehatan, Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraaan Rakyat),
untuk melakukan tindakan konkrit berkenaan dengan penanganan
bencana yang bersifat
-
- 12 -
nonfisik, di samping yang bersifat fisik. Dalam hal ini, PFA
perlu dipertimbangkan sebagai salah satu layanan permanen dalam
penanganan bencana karena bisa menghambat munculnya gangguan
kejiwaan pada mereka yang terkena efek bencana. Kedua, perlunya
memasukan substansi PFA dalam pedoman penanganan bencana karena
pedoman ini akan mempermudah koordinasi penanganan bencana antara
pusat dengan daerah. Ketiga, mengelola pelayanan PFA agar
terintegrasi dengan layanan penanggulangan bencana lainnya.
Mengingat PFA bukan tindakan pertolongan yang profesional dan hanya
berupa perawatan dasar yang digunakan sebagai tanggapan pertama,
maka PFA perlu terintegrasi dengan layanan profesional lainnya
seperti layanan pemenuhan kebutuhan dasar, layanan medis, layanan
kesehatan jiwa, dan lain sebagainya. Keempat, perlu ditetapkan
mekanisme koordinasi yang jelas di dalam kebijakan penanggulangan
bencana. Kelima, melakukan pembekalan PFA bagi tenaga relawan
diperlukan supaya mereka mampu bertindak sesuai kebutuhan.
Pembekalan perlu diberikan terutama kepada tenaga lokal di daerah
rentan bencana supaya penanganan bisa dilakukan dengan cepat dan
tepat. Keenam, masyarakat yang rentan terkena bencana perlu
diberikan edukasi tentang pertolongan pertama untuk meningkatkan
kemandirian dan ketangguhan menghadapi bencana.
RujukanUndang-undang Nomor 24 Tahun 2007 1. Tentang
Penanggulangan Bencana.WHO.2003.Investing in Mental Health, 2.
http://www.who.int/mental_health/me-dia/investing_mnh.pdf, diakses
tanggal 12 Februari 2014.World Health Organization, Psy-3.
chological First Aid: Guide for Fields Workers,
http://whqlibdoc.who.int/publications/2011/9789241548205_eng.pdf,
diakses pada tanggal 3 Februari 2014.Psychological First Aid dan
Pengemban-4. gannya Dalam Penanggulangan Bencana,
http://www.puskrispsiui.or.id/pfa-dan-pengembangannya-dalam-penanggulan-gan-bencana-wahyu-cahyono/,
diakses pada tanggal 3 Februari 2014.137 Tewas dan 1,1 Juta
Mengungsi Akibat 5. Bencana Selama Januari 2014,
http://www.beritasatu.com/nasional/163361-137-tewas-dan-11-juta
mengungsi-akibat-ben-cana-selama-januari-2014.html, diakses pada
tanggal 3 Februari 2014.
Kumpulan Berita Tanah Longsor ,http://6.
www.merdeka.com/tag/t/tanah-longsor/, diakses pada tanggal 3
Februari 2014.Hapsarini Nelma, Bantuan Psikologis Ben-7. cana,
Republika, 24 Januari 2014.Korban Awan Panas Sinabung Bertam-8. bah
Jadi 16 Orang,
regional.kompas.com/read/2014/02/05/1016067/Korban.Awan.Panas.Sinabung.Bertambah.Jadi.16.Orang,
diakses pada tanggal 3 Februari 2014.Ini 5 bencana besar dalam 1
bulan terakh-9. ir,
http://www.merdeka.com/peristiwa/ini-5-bencana-besar-dalam-1-bulan-tera-khir/gempa-65-sr-guncang-kebumen-ja-wa-tengah.html,
diakses pada tanggal 28 Januari 2014.Pengungsi Sinabung Ingin
Segera Dire-10. lokasi,
http://www.antarajateng.com/de-tail/index.php?id=91238#.UvOyuVOiK50,
diakses pada tanggal 3 Februari 2014.Noriyu: Kementerian Kesehatan
Tak 11. Boleh Gagap Bencana, Andalkan Saja PFA,
http://metrobali.com/2014/01/22/noriyu-kementrian-kesehatan-tak-boleh-gagap-bencana-andalkan-saja-pfa/,
diakses pada tanggal 3 Februari 2014.Pemerintah Pantau Kesehatan
Jiwa Para 12. Pengungsi,
http://mis.bnpb.go.id/web-site/asp/berita_list.asp?id=179, diakses
pada tanggal 3 Februari 2014. Catharina Rusmiati,Penanganan Dampak
13. Sosial Psikologis Korban Bencana Merapi,
puslit.kemsos.go.id/upload/post/files/1d9dd7c11ce880b889bbc6397c241b1.pdf,
di-akses pada tanggal 3 Februari 2014.
-
- 13 -
Vol. VI, No. 03/I/P3DI/Februari/2014EKONOMI DAN KEBIJAKAN
PUBLIK
Info Singkat 2009, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan
Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RIwww.dpr.go.idISSN
2088-2351
Kajian Singkat terhadap Isu-Isu Terkini
PERSPEKTIf EKONOMI KEbIjAKAN PENANGGULANGAN bANjIR
Ariesy Tri Mauleny*)
Abstrak
Banjir merupakan fenomena alam sebagai dampak kerusakan
lingkungan dan tingginya curah hujan, terjadi pada ruang dan waktu
yang seharusnya dapat diprediksi. Banjir potensial menimbulkan
resiko kerugian ekonomi yang menjadikan pertumbuhan ekonomi yang
tinggi menjadi semu. Kebijakan penanggulangan yang dilakukan belum
efektif, terbukti dari semakin sering dan parahnya dampak banjir
yang terjadi. Perlu kerja sama semua pihak dalam menciptakan
terobosan inovatif dalam masterplan pencegahan dan penanggulangan
banjir.
PendahuluanBanjir adalah fenomena alam yang
potensial menimbulkan kerusakan, terjadi pada kondisi, waktu dan
daerah tertentu. Risiko kerugian akibat banjir akan meningkat pada
daerah yang padat penduduknya. Selain itu, penutupan lahan dan
penggunaan lahan juga sangat berpengaruh terhadap aliran sungai
atau limpasan (run off) permukaan.
Banjir menyebabkan mobilitas transportasi orang dan barang
menuju Jakarta sebagai pusat perkotaan dan pemerintahan hamnpir
lumpuh, jalur transportasi publik, baik bus maupun kereta api,
terganggu sehingga menghambat perekonomian sektor riil. Kerugian
yang terjadi menjadikan capaian pertumbuhan ekonomi yang tinggi
menjadi semu dikarenakan belum mengakomodasi
nilai kerusakan lingkungan. Aparat birokrasi terkadang lebih
mementingkan target perolehan retribusi dan pendapatan asli daerah
daripada menggalakkan upaya konservasi dan memperbaiki tata
kota.
Banjir beresiko menaikkan harga kebutuhan pokok 10 hingga 20
persen karena distribusi barang-barang terhambat. Fakta memunculkan
kritik bahwa penyebabnya kebijakan ekonomi, kebijakan tata ruang,
dan kebijakan lainnya yang antilingkungan hidup, baik di Jakarta
atau di luar Jakarta. Kerakusan ekonomi menyebabkan kerusakan
lingkungan karena pembangunan ekonomi pasar tidak mengindahkan
kaidah-kaidah etika lingkungan dan kepentingan sosial yang
luas.
Persaingan pasar yang berorientasi kepentingan modal menyebabkan
kepentingan
*) Peneliti Muda Bidang Ekonomi dan Kebijakan Publik pada Pusat
Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Setjen DPR RI,
e-mail: [email protected].
-
- 14 -
lingkungan hidup dikesampingkan di bawah otoritas pasar.
Konsekuensinya, kebijakan perekonomian menabrak jalur hijau,
mengubah serapan air menjadi bangunan, menghilangkan waduk kecil
dan serangkaian kebijakan anti-lingkungan hidup lainnya. Pasar
memang dapat menggerakkan ekonomi tetapi tidak dapat mengakomodasi
nilai-nilai moral dan etika. Pembangunan ekonomi Jabodetabek yang
cepat menempatkan pemilik modal dan investor sebagai pahlawan
pertumbuhan. Kepentingan sosial dan lingkungan pasti terabaikan
jika etika, moral, dan regulasi tidak ditegakkan untuk menahan
dampak eksternalitas negatif pasar.
Penyebab Banjir dan Dampaknya terhadap Perekonomian
Bencana banjir yang melanda daerah-daerah rawan di Indonesia
pada dasarnya disebabkan tiga hal. Pertama, kegiatan manusia yang
menyebabkan terjadinya perubahan tata ruang dan berdampak pada
perubahan alam. Kedua, peristiwa alam seperti curah hujan yang
sangat tinggi, kenaikan permukaan air laut, dan badai. Ketiga,
pendangkalan sungai akibat sedimentasi, penyempitan alur sungai,
dan sebagainya.
DKI Jakarta (DKI) merupakan daerah yang paling rentan terhadap
perubahan iklim. Dari 530 wilayah kota di tujuh negara yang dikaji,
yakni Indonesia, Thailand, Kamboja, Laos, Vietnam, Malaysia dan
Filipina, lima wilayah kota administrasi di DKI Jakarta masuk dalam
10 besar kota yang rentan terhadap perubahan iklim, dengan urutan
sebagai berikut: 1) Jakarta Pusat; 2) Jakarta Utara; 3) Jakarta
Barat; 4) Mandol Kiri (Kamboja); 5) Jakarta Timur; 6) Rotano Kiri
(Kamboja); 7) National Capital Region (Filipina), 8) Jakarta
Selatan; 9) Bandung (Jawa Barat); 10) Surabaya (Jawa Timur).
Pada tahun 2014, banjir di Jakarta telah berlangsung hampir
sebulan penuh dimulai dari 12 Januari dan menghampiri
wilayah-wilayah rawan banjir datang dan pergi dengan tingkat
kerugian yang semakin meningkat. Hal ini terjadi karena tingginya
curah hujan (2.000-4.000 mm/tahun), air laut pasang, permukaan laut
yang meningkat, aliran 13 sungai, 40 persen dataran rendah,
tingginya pertumbuhan penduduk, penurunan kualitas lingkungan di
daerah hulu, tidak terkontrolnya perubahan penggunaan lahan,
banyaknya hunian ilegal di daerah bantaran sungai, sistem drainase
yang kurang baik, dan penurunan muka tanah (1-28 cm/tahun).
Tabel Persandingan Deskripsi Banjir Tahun 2002 s.d. 2014
Deskripsi 2002 2007 2013 2014Curah Hujan 361,7mm
(rata-rata DKI Jakarta selama 10 hari)
327mm (rata-rata Jabodetabek selama 6 hari)
250-300mm (rata-rata DKI Jakarta)
135-195mm (Jakarta), 76-118,5mm (Bogor), 65-147mm (depok)
Luas Genangan 331 km2 di Jakarta100 km2 di Botabek
454,8 km2 di Jakarta221km2 di Tanggerang 250 km2 total Depok,
Bogor, Bekasi
500 RT, 203 RW di 44 kelurahan yang tersebar di 25 kecamatan di
Jakarta
564 RT di 97 kelurahan di 30 kecamatan di DKI Jakarta
Korban Jiwa 80 orang 79 orang (status 12 Feb 07)
20 orang (status 22 Januari 13)
23 orang (status 26 Januari 2014)
Jumlah Pengungsi
381 orang 590.407 orang (status 6 Feb 07)
33.500 orang di Jakarta (status 22 Januari 2013)
63.958 orang di Jakarta (status 21 Januari 2014)
Dampak Kerusakan
Langsung: Rp5,4TEkonomi: Rp4,5T
Langsung: Rp5,2TEkonomi: Rp3,6T
Total Kerugian Langsung dan Ekonomi: Rp20T (data Antara)
Langsung: Rp12T untuk DKI JakartaEkonomi: n.a
Laju Inflasi 1,99 persen 1,07 persen 0,88 persen 1,05 persen
Sumber: diolah dari data Bappenas dan berbagai media massa
Penurunan muka tanah di Jakarta disebabkan pengambilan air tanah
yang masif dan beban bangunan/gedung yang melebihi kapasitasnya.
Pada tahun 2013, DKI membuat 1.507 sumur resapan di sejumlah titik
untuk memasukkan air 52.997 meter kubik per hari. Menurut Indonesia
Water Institute, volume tersebut jauh lebih kecil daripada volume
air yang disedot warga dan sektor usaha yaitu 602.739 meter kubik
per hari.
Terjadinya banjir menurut eksternalitas disebabkan oleh tidak
memadainya pengelolaan barang-barang publik, seperti sungai dan
saluran air. Sungai yang semakin dangkal dan menyempit merupakan
fenomena ekonomi, yang akan mengurangi kemampuan menampung air.
Agar barang-barang publik tersebut dapat dikelola dengan optimal,
maka diperlukan partisipasi dari pemerintah dan masyarakat. Peranan
pemerintah jelas sebagai penyedia, pengelola, dan penanggung jawab
barang publik sementara masyarakat dibebani pemerintah dengan pajak
agar mempunyai sejumlah dana untuk pengelolaan barang-barang
publik.
Tidak kalah pentingnya adalah peran pengguna barang publik,
yaitu masyarakat dan pengusaha. Selain sebagai pembayar pajak,
andil mereka juga memberikan sumbangan dalam bentuk kepedulian
menjaga dan memelihara barang publik agar memberikan manfaat
optimal. Apabila banjir dipandang sebagai fenomena ekonomi,
berlakulah hukum permintaan dan penawaran, yang menuntut semakin
baiknya kualitas sungai dan saluran air, sehingga beresiko pada
meningkatnya kebutuhan anggaran untuk pengelolaan barang-barang
publik dan mendorong
-
- 15 -
pemerintah mengeluarkan kebijakan menaikkan pajak. Namun sebelum
dilakukan perlu dikaji apakah pengelolaan barang-barang publik
sudah efisien dan efektif?
Secara keseluruhan dampak bencana banjir terhadap perekonomian
dapat dibagi menjadi tiga bagian. Pertama, dampak langsung meliputi
kerugian finansial dari kerusakan aset-aset ekonomi (tempat
tinggal, tempat usaha, pabrik, infrastruktur, lahan pertanian
perkebunan dan sebagainya). Dalam istilah ekonomi, nilai kerugian
ini dikategorikan sebagai stock value. Adanya bencana banjir
menyebabkan penurunan stock value dari perekonomian. Kedua, dampak
tidak langsung meliputi terhentinya proses produksi, hilangnya
output dan sumber penerimaan. Dalam istilah ekonomi, nilai kerugian
ini dikategorikan sebagai flow value. Ketiga, dampak sekunder atau
lanjutan yang bisa berwujud terhambatnya pertumbuhan ekonomi,
terganggunya rencana-rencana pembangunan yang telah disusun,
meningkatnya defisit neraca pembayaran, meningkatnya hutang publik
dan meningkatnya angka kemiskinan.
Kebijakan PenanggulanganSebagai ibukota negara, Jakarta
seharusnya telah bertransformasi menjadi kota jasa modern yang
mampu menciptakan kegiatan produktif yang bernilai tambah tinggi.
Pemerintah bisa secara aktif menawarkan mekanisme insentif agar
pabrik-pabrik yang bernilai tambah rendah bersedia keluar Jakarta
secara sukarela. Warga Jakarta memperoleh insentif untuk berpindah
dari kawasan padat dan kumuh ke kawasan pemukiman baru yang
dibangun secara terpadu.
Paradigma pengurangan resiko bencana banjir merubah responsif
menjadi preventif dengan pendekatan manajemen resiko. Pertama-tama
dilakukan tindakan memisahkan potensi bencana yang mengancam dengan
elemen beresiko (element at risk) atau pencegahan (risk avoidance).
Apabila potensi bencana dengan elemen beresiko tersebut tidak dapat
dipisahkan maka upaya yang dilakukan adalah pengurangan resiko
(risk reduction). Bila pengurangan resiko sudah dilakukan dan masih
tetap ada resiko maka dilakukan pengalihan resiko ke pihak lain
(risk transfer). Jika masih tetap ada resiko maka menerima resiko
(risk acceptance) dengan upaya-upaya kesiapsiagaan.
Dalam rangka terlaksananya risk avoidance, pembangunan
seharusnya tidak lagi menempatkan DKI sebagai pusat
segala kegiatan ekonomi, tetapi secara aktif memperluas basis
kegiatan ekonomi ke luar DKI, dimulai dari sistem transportasi dan
memperlancar terbentuknya kawasan bisnis yang tersebar di pinggiran
Jakarta serta daerah sekitarnya, bukan sekedar mengutamakan
kelancaran arus manusia masuk ke pusat kota. Revitalisasi
infrastruktur jalur kereta api yang sudah ada di sekeliling Jakarta
patut dilakukan sehingga tercipta sentra-sentra bisnis yang lebih
tersebar dan lebih cepat mendorong efek penularan ke daerah yang
semakin jauh dari Jakarta. Tanpa mendorong agar pembangunan di
daerah-daerah lain lebih cepat, maka Jakarta tidak akan pernah
mampu menyelesaikan masalah-masalah klasiknya, yaitu banjir.
Dalam rangka menjadikan Jabodetabek tahan bencana perlu
dilakukan penyesuaian antara gedung dan hunian; sebanyak 45 persen
untuk mengurangi penggunaan air tanah, sampah, dan ruang hijau;
sebanyak 27,5 persen untuk memperbesar area penyerapan air hujan
dan ruang biru; sebanyak 27,5 persen memperbesar penampungan air
melalui danau, waduk dan kanal-kanal banjir. Sementara area hunian
di Jakarta saat ini 43.550 hektar (65 persen) dari luas wilayah
67.000 hektar dengan jumlah penduduk sebanyak 9 juta orang. Hal ini
terjadi karena besarnya penggunaan air tanah, tingginya fenomena
urbanisasi dan lemahnya penegakkan aturan.
Peran DPR dan Prinsip Otonomi Daerah
Pemerintah memerlukan dana yang lebih besar untuk mengatasi
bencana banjir melalui pembangunan, pengembangan dan pemeliharaan
infrastruktur. DPR berperan dalam memastikan tersedianya alokasi
anggaran bagi penanggulangan bencana banjir dan digunakan
sebenar-benarnya sesuai peruntukkannya melalui pembahasan RUU APBN.
Melalui fungsi legislasi, DPR berperan dalam menghasilkan peraturan
perundang-undangan yang dapat memaksa penduduk dan pengusaha
melakukan aktivitas perekonomian yang ramah lingkungan. Untuk lebih
mengefektifkan pelaksanaan fungsi pengawasan, DPR berperan dalam
memastikan ketersediaan kebijakan pemerintah dan peraturan
perundangan dibawahnya yang mendukung upaya-upaya penanggulangan
bencana banjir. DPR juga meminta Badan Pemeriksa Keuangan dan
Komisi Pemberantasan Korupsi juga mulai fokus untuk mengawasi
kualitas proyek-proyek infrastruktur apakah sesuai dengan
spesifikasi dan harga yang wajar atau harga tidak dimark-
-
- 16 -
up yang menyebabkan kerugian uang negara.Pelaksanaan otonomi
daerah yang
tepat seharusnya semakin memberi ruang bagi terciptanya
kesinambungan kerja-kerja pembangunan yang mengedepankan aspek
lingkungan, namun seringkali permasalahan yang muncul justru dari
pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah maupun
antar pemerintah daerah sendiri. Terkadang pemerintah daerah sulit
berkoordinasi dalam menciptakan pembangunan daerah yang lebih
berkelanjutan ditengah keterbatasan rupiah yang dimiliki daerah.
Kebijakan pembangunan antar pemerintah daerah dalam menghilangkan
dampak negatif eksternalitas namun tetap mencapai pertumbuhan dan
mempertahankan daya saing daerah melalui instrumen ekonomi
lingkungan hidup.
Saat ini, peraturan perundangan di daerah dirasakan terbatas dan
belum mencerminkan instrumen ekonomi lingkungan hidup, sehingga
penegakan hukum masih terbatas pada penggunaan lahan secara ilegal
dan pelanggaran garis sempadan sungai, padahal instrumen ekonomi
lingkungan hidup adalah seperangkat kebijakan ekonomi untuk
mendorong pemerintah, pemerintah daerah atau setiap orang ke arah
pelestarian lingkungan hidup. Penting untuk dicermati, upaya-upaya
preventif bagaimana menjalankan penegakan hukum yang lebih keras
terhadap perusak barang publik. Misalnya terhadap pembuang sampah
sembarangan, pencemaran oleh pabrik, pembangunan liar oleh
penduduk, dan pembangunan oleh pengembang yang mengabaikan jalur
hijau dan daerah resapan.
PenutupParadigma pengurangan resiko bencana
banjir mengubah pola pikir yang responsif menjadi preventif
dengan pendekatan manajemen resiko. Banjir merupakan salah satu
fenomena alam yang potensial menimbulkan kerusakan, terjadi pada
kondisi, waktu, dan daerah tertentu. Resiko kerugian banjir pun
baik secara langsung maupun tidak langsung bisa diprediksi semakin
meningkat dari tahun ke tahun meskipun berbagai upaya telah
dilakukan untuk menanggulanginya. Hal ini mengharuskan pemerintah
dan stakeholders terkait melakukan terobosan dan upaya kerja sama
semua pihak dalam menciptakan masterplan penanggulangan banjir
Jabodetabek. DPR perlu memastikan Pemerintah mendorong DKI Jakarta
sebagai pilot project pelaksanaan otonomi daerah yang
lebih baik.DPR melalui ketiga fungsinya berperan
penting dalam penanggulangan bencana banjir. DPR berperan dalam
pengalokasian anggaran yang menjamin tersedianya dana di setiap
Kementerian terkait agar tindakan preventif dalam upaya pencegahan
dan penanggulangan banjir. Melalui fungsi legislasi, DPR dapat
memperkuat peraturan perundang-undangan yang memaksa semua pihak
menciptakan perekonomian yang ramah lingkungan. DPR juga perlu
memperkuat pengawasan atas kinerja pemerintah dan jajarannya dalam
upaya penanggulangan banjir yang lebih efektif.
Rujukan1. Badan Nasional Penanggulangan Bencana,
Rencana Nasional Penanggulangan Bencana 2010-2014, Lampiran
Peraturan Kepala BNPB Nomor 3 Tahun 2010.
2. Banjir Dampak Salah Urus, Kompas, 7 Februari 2014, hal 1.
3. Jan Sopaheluwakan, Penanggulangan Banjir; Jadikan Jakarta
Tahan Bencana, Kompas, 24 Januari 2014, Hal.14.
4. DKI Jakarta Rentan Perubahan Iklim,
http://www.beritajakarta.com/2008/id/berita_detail.asp?nNewsId=33477,
diakses tanggal 4 Februari 2014.
5. Dampak Banjir Terhadap Perekonomian Nasional,
http://rri.co.id/index.php/editorial/183/Dampak-Banjir-Terhadap-Perekonomian-Nasional#.Uu3lcvldWzQ,
diakses tanggal 10 Februari 2014.
6. Kerugian Banjir Jakarta,
http://www.tribunnews.com/nasional/2014/01/29/total-kerugian-karena-banjir-di-seluruh-indonesia-bisa-mencapai-rp-50-t,
diakses 3 Februari 2014.
-
- 17 -
Vol. VI, No. 03/I/P3DI/Februari/2014PEMERINTAHAN DALAM
NEGERI
Info Singkat 2009, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan
Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RIwww.dpr.go.idISSN
2088-2351
Kajian Singkat terhadap Isu-Isu Terkini
FUNGSI PENDIDIKAN POLITIK
PERS NASIONAL DALAM PEMILU 2014Ahmad budiman*)
Abstrak
Keberadaan persuratkabaran (pers) nasional pada Pemilu 2014
mampu mendorong masyarakat untuk berpartisipasi aktif dan cerdas
memilih calon wakil rakyat yang akan duduk di parlemen. Pers
nasional berfungsi sebagai media pendidikan politik, alat kontrol
sosial, dan alat informasi dan aspirasi masyarakat. Persoalannya
adalah prinsip independensi dan netralitas media tidak begitu saja
dapat ditegakkan. Independen dalam arti merdeka menjalankan
ideologi jurnalisme. Netral artinya berimbang, akurat, tidak
memihak, kecuali kepentingan publik terutama pada tahun politik
2014 ini.
*) Peneliti Madya bidang Komunikasi Politik tim Politik Dalam
Negeri pada Pusat Pengkajian Data dan Informasi (P3DI) Setjen DPR
RI, email: [email protected]
PendahuluanPelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu)
2014 sesungguhnya bisa dijadikan salah satu indikator untuk
menilai kualitas pelaksanaan tugas pers nasional dalam menyajikan
berita kepada masyarakat. Kita harus mengakui bahwa pers nasional
merupakan wadah sekaligus kekuatan informasi dan komunikasi yang
memiliki kedudukan yang strategis dalam pembentukan opini publik,
terutama opini mengenai Pemilu 2014.
Pemilu 2014 baik Pemilu legislatif pada tanggal 9 April 2014
yang akan memilih para anggota legislatif (DPR RI, DPD RI, DPRD
Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota) dan Pemilu Presiden pada tanggal 9
Juli 2014 yang akan
memilih presiden dan wakil presiden adalah agenda politik bangsa
karena merupakan arah penentu perjalanan nasib bangsa Indonesia.
Pelaksanaan Pemilu legislatif 2014 dikuti oleh 15 kontestan partai
politik (parpol) yang lolos verifikasi terdiri dari 13 parpol
nasional dan 3 parpol lokal di Provinsi Aceh. Salah satu indikator
dari penilaian keberhasilan pelaksanaan agenda bangsa ini yaitu
tingkat partisipasi masyarakat dalam kegiatan Pemilu.
Namun sayangnya, partisipasi politik masyarakat dari pemilu ke
pemilu cenderung mengalami penurunan. Pada tahun 1999
partisipasinya sebesar 92,7 persen; tahun 2004 sebesar 84,07
persen; dan tahun 2009 sebesar 71 persen. Lalu pertanyaannya,
apakah Pemilu
-
- 18 -
2014 dengan total jumlah pemilih 186.612.255 orang dimana 20-30
persen nya adalah pemilih pemula, juga akan mengalami penurunan
tingkat partisipasinya dalam Pemilu?
Kondisi seperti ini jelas sejauh mungkin harus dicegah dan
sebaliknya harus terjadi peningkatan angka partisipasi masyarakat
dalam memilih. Oleh karenanya, peranan pers sebagai media informasi
dan komunikasi tentunya merupakan sebuah komponen penting dalam
menyosialisasikan sekaligus memantau pelaksanaan dan perkembangan
Pemilu 2014 yang akan di laksanakan serentak di seluruh Indonesia
pada tanggal 9 April 2014 mendatang.
Pers dalam Pemilu 2014Pengertian pers menurut Undang-
Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers yaitu lembaga sosial dan
wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik
meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan
menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara dan gambar
serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan
menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran
yang tersedia. Berdasarkan pengertian tentang pers tersebut, maka
dalam konteks pelaksanaan Pemilu 2014, pers nasional berfungsi
sebagai media pendidikan politik, alat kontrol sosial, dan alat
informasi dan aspirasi masyarakat.
Persoalannya apakah dalam menjalankan ketiga fungsi yang
dimilikinya secara optimal, pers nasional dapat bekerja dengan
profesional dan independen? Masih banyak pihak yang meragukan
kondisi ideal seperti ini. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)
misalnya, pernah mengimbau insan pers untuk tidak melakukan,
setidak-tidaknya, black campaign menjelang Pemilu 2014 karena
walaupun kecil (hanya sekitar 3 persen) hal ini akan mengganggu
proses pemilu.
Kepemilikan media baik cetak maupun penyiaran juga bisa menjadi
penentu bagi terpenuhinya prinsip objektivitas penyajian berita
kepada masyarakat. Beberapa kasus menunjukkan keterlibatan media
massa dengan kegiatan politik, tidak semata-mata mencerminkan
perhatian media terhadap politik. Sebaliknya, secara tersirat
justru menunjukkan adanya relasi kepentingan antara media tersebut
dengan kekuatan politik yang diberitakan. Kepentingan dimaksud,
dapat berupa kepentingan ekonomi, politik, ataupun ideologi.
Sedangkan di sisi lain, ditataran
politik nasional, banyak partai politik berusaha menguasai media
(pers) untuk berbagai kepentingan, menyampaikan suara partai dan
mempengaruhi massa partai, menjaga nama baik partai bersangkutan,
dan bahkan kalau perlu menyerang partai lain.
Menurut Ibnu Hamad, tugas paling mendasar yang dibebankan kepada
media dalam percaturan politik adalah memenangkan wacana politik
dengan memonopoli kebenaran. Usaha ini dilatarbelakangi alasan
mengingat wacana politik memiliki posisi berkenaan nantinya yang
akan menentukan persepsi dan opini publik terhadap suatu partai
atau penguasa. Potensi demikian terutama di Indonesia, memiliki
sejarah yang panjang, mulai masa berlakunya rezim kolonial hingga
masa kemerdekaan, dan bahkan hingga disetiap berlakunya sistem
politik era demokrasi liberal, era demokrasi terpimpin, era
demokrasi Orde Baru, hingga dimasa sistem politik yang disebut era
reformasi, di mana setiap penguasa cenderung menunjukkan hubungan
simbiosis mutualistis dengan pers, termasuk dunia penyiaran.
Independensi pers baik karena pengaruh kepemilikan atau memihak
pada salah satu kepentingan menjadi sebuah pertanyaan di tahun
politik ini.
Pertarungan kepentingan oligarki elit dan kepentingan publik
melalui media massa, merupakan kecenderungan yang sangat mudah
terjadi di tengah proses politik utamanya pada tahun politik 2014.
Biaya politik persaingan pemilu di tingkat nasional (sebagai
anggota legislatif dan paket presiden/wakil presiden), yang semakin
mahal, juga menjadi pendorong bagi pentingnya setiap pemangku
kepentingan untuk merebut akses informasi melalui pers baik cetak
maupun elektronik (penyiaran).
Patut kita sadari bahaya atas upaya memenangkan wacana politik
dengan memonopoli kebenaran oleh pers, yaitu pers sudah benar-benar
tidak bisa lagi menjalankan fungsinya sebagai lembaga pencari dan
penyebarluasan informasi secara independen. Pers adalah alat
politik dari penguasa partai sekaligus pemilik media, untuk
membentuk opini publik. Masyarakat hanya boleh mempercayai apa yang
disampaikan penguasa partai/pemilik media itu saja yang paling
benar, sedangkan yang dilakukan oleh partai lain adalah keliru.
Persoalan independensi media memang terkait dengan terpenuhinya
kebutuhan informasi bagi masyarakat. Pada tataran konsep, pakar
media, Bill Kovach dan Tom Rosentiel, merumuskan tujuan utama
jurnalisme adalah menyediakan informasi
-
- 19 -
yang dibutuhkan publik agar mereka bisa hidup merdeka dan
mengatur diri sendiri. Selanjutnya dalam menjalankan tugas untuk
mencapai tujuan itu terdapat sembilan elemen, antara lain:
kewajiban utama jurnalisme adalah pada kebenaran; berupaya membuat
yang penting menarik dan relevan; loyalitas pertama kepada publik;
disiplin dalam verifikasi; menjaga independensi terhadap
narasumber; harus berlaku sebagai pemantau kekuasaan; harus
menyediakan forum publik untuk kritik ataupun dukungan warga; juga
harus menjaga berita agar komprehensif dan proporsional.
Pada tataran normatif, UU Pers menyatakan peranan pers nasional
antara lain memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui, menegakkan
nilai demokrasi, serta mendorong terwujudnya supremasi hukum dan
HAM, mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi tepat,
akurat dan benar, melakukan pengawasan, kritik dan saran terhadap
hal yang berkaitan dengan kepentingan umum, serta memperjuangkan
keadilan dan kebenaran (Pasal 6). UU Pers juga secara jelas
menyatakan, wartawan memiliki dan menaati Kode Etik Jurnalistik
(KEJ). Mukadimah KEJ juga merumuskan ideologi jurnalisme. Dengan
demikian, jurnalisme bukan hanya sesuatu yang bersifat teknis
penyajian, melainkan terdapat idealisme. Jurnalistik adalah
implementasi dari ideologi jurnalisme
Dalam jurnalisme dan kegiatan jurnalistik, terdapat prinsip
independensi dan netralitas yang harus ditegakkan. Independen dalam
arti merdeka menjalankan ideologi jurnalisme. Netral artinya
berimbang, akurat, tak memihak, kecuali kepentingan publik.
Independensi dan netralitas itu berbeda, tetapi satu kesatuan yang
tak dapat dipisahkan. Bila ingin menjadi media yang baik, kedua
prinsip itu harus dijalankan.
Sementara itu, Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) dan Standar
Program Siaran (SPS) yang dikeluarkan Komisi Penyiaran Indonesia
(KPI) juga menyatakan dalam satu tarikan napas: Lembaga penyiaran
wajib menjaga independensi dan netralitas isi siaran dalam setiap
program siaran (Pasal 11 Ayat 2 P3). Dalam SPS diatur secara lebih
detail dan tegas bahwa independensi dan netralitas harus dijaga
dengan antara lain menyatakan bahwa program siaran wajib
dimanfaatkan untuk kepentingan publik, tidak untuk kelompok
tertentu, dan dilarang untuk kepentingan pribadi pemilik dan
kelompoknya (Pasal 11). Selanjutnya, program jurnalistik harus
akurat, adil, berimbang, dan tidak berpihak (Pasal 40).
Undang-Undang Nomor 8 tahun 2012
tentang Pemilu Legislatif, Pasal 96 mengatur soal larangan:
menjual blocking segment dan blocking time, menerima program
sponsor dalam format atau segmen apa pun yang dapat dikategorikan
iklan kampanye pemilu, serta menjual spot iklan yang tidak
dimanfaatkan oleh peserta pemilu kepada peserta pemilu lainnya.
Pasal 97, batas maksimum pemasangan iklan kampanye pemilu di
televisi secara kumulatif sebanyak 10 spot berdurasi paling lama 30
detik untuk setiap stasiun televisi setiap hari pada masa kampanye.
Di radio, 10 spot berdurasi paling lama 60 detik
Independensi media sesungguhnya menjadi penentu dari kepercayaan
publik terhadap penyajian isi media, terutama terkait kegiatan
Pemilu 2014. Kepercayaan publik untuk menggunakan dan mengakses
media akan berdampak besar bagi meningkatkanya pengetahuan publik
terhadap urgensi pelaksanaan Pemilu 2014. Apalagi bila hal ini
dilakukan oleh para pemilih pemula yang memang memiliki
karakteristik yang berbeda dengan karakter pemilih lainnya.
Pemilih pemula cenderung kritis, mandiri, independen, anti
status quo atau tidak puas dengan kemapanan, pro perubahan dan
sebagainya. Karakteristrik itu cukup kondusif untuk membangun
komunitas pemilih cerdas dalam pemilu yakni pemilih yang memiliki
pertimbangan rasional dalam menentukan pilihannya. Misalnya karena
integritas tokoh yang dicalonkan partai politik, track record-nya
atau program kerja yang ditawarkan.
Perilaku pemilih pemula erat kaitannya dengan faktor sosiologis
dan psikologis dalam menjatuhkan pilihan politiknya jika ditinjau
dari studi voting behaviors. Preferensi yang dijadikan sandaran
dalam melakukan pemilihan cenderung tidak stabil atau mudah
berubah-ubah sesuai dengan informasi yang ia terima.
Pemilih pemula perlu mendapatkan pendidikan politik yang secara
spesifik, dalam pendidikan pemilih pemula, disampaikan arti penting
suara pemilih pemula dalam pemilu, berbagai hal yang terkait dengan
pemilu, seperti fungsi pemilu, sistem pemilu, tahapan pemilu,
peserta pemilu, lembaga penyelenggara pemilu dan sebagainya.
Tujuannya agar pemilih pemula memahami apa itu pemilu, mengapa
perlu ikut pemilu dan bagaimana tatacara menggunakan hak pilih
dalam pemilu. Setelah pemilih pemula memahami berbagai persoalan
pemilu diharapkan dapat berpartispasi menggunakan hak pilihnya.
Pelaksanaan tugas pers yang netral dan indepedenden akan mampu
mengarahkan
-
- 20 -
pemilih pemula supaya menjadi pemilih yang kritis dan rasional
(critical and rational voters). Artinya dalam menjatuhkan
pilihannya bukan karena faktor popularitas, kesamaan etnis, dan
kedekatan emosional, namun karena faktor rekam jejak, visi misi,
kredibilitas dan pengalaman birokrasi. Upaya tersebut adalah bagian
dari political empowerment bagi warga negara terutama perilaku
pemilih pemula dan karena melihat potensi suara pemilih pemula yang
signifikan pada Pemilu 2014.
Penutup Pers memang memiliki peran vital dan
strategis dalam memantau pemilu 2014 akan datang. Peran Pers
dalam Pemilu 2014 ini harus menyajikan informasi yang benar-benar
akurat, tepat dan berimbang. Keberadaan Pers nasional pada Pemilu
2014 mampu mendorong masyarakat untuk berpartisipasi aktif dan
cerdas memilih calon wakil rakyat yang akan duduk di Dewan
Perwakilan Rakyat sehingga lembaga negara ini bisa berjalan lebih
profesional kedepannya.
Penyempurnaan regulasi khususnya terkait dengan media penyiaran
juga sedang dilakukan. Independensi lembaga penyiaran swasta,
dijaga melalui pasal yang mengatur tentang kepemilikan media
penyiaran, kepemilikan silang media dan keanekaragaman isi siaran
serta pengaturan waktu iklan (termasuk juga iklan politik).
Kewajiban untuk menjalankan sistem penyiaran berjaringan juga
menyebabkan semakin terdistribusikannya konten siaran yang
dikondisikan atas prosentasi isi siaran media penyiaran. Atas
pelaksanaan itu semua, perlu diperkuat peran regulator penyiaran
untuk mengawasi dan memberikan sanksi bila terjadi pelanggaran atas
aturan tersebut.
Bila ingin menjadi media pers nasional yang baik, maka
independensi dan netralitas harus ditegakkan. Bila tidak, pers akan
ditinggalkan audience, serta bisa mendapat sanksi etik dan/atau
hukum. Semakin tinggi derajat independensi dan netralitas media,
semakin tinggi pula kredibilitasnya, serta semakin disukai dan
semakin mampu membentuk opini publik. Namun, sulit kiranya
menciptakan media yang sepenuhnya independen dan netral.
RujukanIbnu Hamad, Konstruksi Realitas Politik 1. dalam Media
Massa Sebuah Studi Critical Discourse Analysis terhadap
Berita-Berita Politik, 2007, Jakarta, Penerbit Yayasan Obor
Indonesia. Jelang Pemilu 2014, Presiden SBY Imbau 2. Pers Hindarkan
Black Campaign,
http://www.majalahpotretindonesia.com/index.php/potret-utama/nasional/item/375-jelang-pemilu-2014-presiden-sby-imbau-pers-hindarkan-black-campaign,
diakses tanggal 4-2-2014.Mahfudz Siddiq, Independensi Media 3.
Penyiaran di Tahun Politik, makalah dis-ampaikan pada acara Diskusi
di Aliansi Jurnalistik Independen (AJI), Jakarta, 11 Desember 2013.
Menggelorakan Semangat Pemilih Pe-4. mula,
http://mpn.kominfo.go.id/index.php/2014/01/22/menggelorakan-seman-gat-pemilih-pemula/,
diakses tanggal 4-2-2014.Menjaga Idealisme, Tantangan Pers 5.
Nasional, http://www.balipost.co.id/balipostcetak/2004/3/7/b1.html,
diakses tanggal 4-2-2014.Rizaldi Nazaruddin, Peran Vital Pers di 6.
Arena Pemilu 2014,
http://www.radar-banjarmasin.co.id/berita/detail/65541/peran-vital-pers-di-arena-pemilu-2014.html,
diakses tanggal 4-2-2014.