Volume 15 - Nomor 1 Juni 2016 TERAKREDITASI No. 609/AU3/P2MI-LIPI/03/2015
Volume 15 - Nomor 1 Juni 2016
TERAKREDITASI No. 609/AU3/P2MI-LIPI/03/2015
REVIEW PENELITIAN TANAMAN INDUSTRI
Volume 15 Nomor 1, Juni 2016
TERAKREDITASI No. 609/AU3/P2MI-LIPI/03/2015
KATA PENGANTAR
Majalah Perspektif Review Penelitian Tanaman Industri Volume 15 Nomor 1, Juni 2016 memuat 6
artikel karya tulis ilmiah. Topik yang disajikan meliputi: (1) Abaka (Musa textilis Nee) Sebagai
Sumber Serat Alam; Penghasil Bahan Baku Pulp Kertas dan Sumber Pendapatan Petani, (2)
Strategi Penelitian dan Pengembangan Menghadapi Dinamika Perkembangan Lada Dunia, (3)
Prospek Pengembangan Bioinsektisida Nucleopolyhedrovirus (NPV) Untuk Pengendalian Hama
Tanaman Perkebunan di Indonesia, (4) Prosfek Pengembangan Bakteri Endofit Sebagai Agens
Hayati Pengendalian Nematoda Parasit Tanaman Perkebunan, (5) Pemanfaatan Teknologi
Genomika dan Transformasi Genetik Untuk Meningkatkan Produktivitas Kelapa Sawit, dan (6)
Strategi Stabilisasi Kinerja Pasar Cengkeh Nasional
Semoga artikel yang disajikan dapat memberikan tambahan ilmu pengetahuan dan bermanfaat
bagi para pembaca.
Bogor, Juni 2016
Ketua Dewan Redaksi
Prof. Dr. Deciyanto Soetopo
ISSN 1412-8004
REVIEW PENELITIAN TANAMAN INDUSTRI
Volume 15 Nomor 1, Juni 2016
TERAKREDITASI No. 609/AU3/P2MI-LIPI/03/2015
Penanggung Jawab : Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan
Pemimpin Redaksi merangkap Anggota : Prof. Dr. Deciyanto Soetopo (Entomologi)
Anggota Redaksi :
Prof. Dr. Bambang Prastowo (Mekanisasi Pertanian) Prof. Dr. I Wayan Laba (Entomologi)
Prof. Dr. Elna Karmawati (Entomologi) Dr. Ir. I Ketut Ardana (Sosial Ekonomi)
Dr. Ir. Syafaruddin (Bioteknologi)
Redaksi Pelaksana :
Dr. Iwa Mara Trisawa Agus Budiharto
Bursatriannyo, S.Kom
Alamat Redaksi : Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan
Jl. Tentara Pelajar No. 1 Bogor 16111 Telp. (0251) 8313083. Faks. (0251) 8336194
e-mail : [email protected], [email protected] Website: www.perkebunan.litbang.pertanian.go.id
Sumber Dana : DIPA 2016, Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Perkebunan
Foto Sampul Depan : Tanaman Abaka (Musa textilis Nee) (inset: Bibit hasil kultur jaringan dan serat abaka grade exelent)
Disain Sampul dan Tata Letak : Agus Budiharto
Perspektif Review Penelitian Tanaman Industri diterbitkan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan, memuat makalah tinjauan (review) penelitian tanaman perkebunan, terbit pertama kali Juni 2002 frekuensi terbit 2 (dua) kali setahun. Tulisan dan gambar yang dimuat dalam majalah ini dapat dikutip dengan mencantumkan (menuliskan) sumbernya.
ISSN 1412-8004
REVIEW PENELITIAN TANAMAN INDUSTRI
Volume 15 Nomor 1, Juni 2016
TERAKREDITASI No. 609/AU3/P2MI-LIPI/03/2015
DAFTAR ISI
Abaka (Musa textilis Nee) Sebagai Sumber Serat Alam, Penghasil
Bahan Baku Pulp Kertas dan Sumber Pendapatan Petani
BUDI SANTOSO, MASTUR, dan FITRININGDYAH TRI KADARWATI .................... 01 - 10
Strategi Penelitian dan Pengembangan Menghadapi Dinamika
Perkembangan Lada Dunia
ROSIHAN ROSMAN............................................................................................................ 11 - 17
Prospek Pengembangan Bioinsektisida Nucleopolyhedrovirus (NPV)
Untuk Pengendalian Hama Tanaman Perkebunan di Indonesia
SAMSUDIN .......................................................................................................................... 18 - 30
Prosfek Pengembangan Bakteri Endofit Sebagai Agens Hayati
Pengendalian Nematoda Parasit Tanaman Perkebunan
RITA HARNI .................................................................................................................... 31 - 49
Pemanfaatan Teknologi Genomika dan Transformasi Genetik Untuk
Meningkatkan Produktivitas Kelapa Sawit
I MADE TASMA .................................................................................................................. 50 - 72
Strategi Stabilisasi Kinerja Pasar Cengkeh Nasional
AGUS WAHYUDI ................................................................................................................. 73 - 85
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian
PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERKEBUNAN Jl. Tentara Pelajar No. 1 Bogor 16111
2016
ISSN 1412-8004
Perspektif Vol. 15 No. 1 /Juni 2016. Hlm 01 – 10 DOI: http://dx.doi.org/10.21082/psp.v15n1.2016.01-10
ISSN: 1412-8004
Abaka Sebagai Sumber Serat Alam, Penghasil Bahan Baku Pulp Kertas dan Sumber Pendapatan Petani (BUDI SANTOSO et al.) 1
ABAKA (Musa textilis Nee) SEBAGAI SUMBER SERAT ALAM,
PENGHASIL BAHAN BAKU PULP KERTAS DAN SUMBER
PENDAPATAN PETANI
Abaca (Musa textilis Nee) As Thesourceof Naturalfiber, Producingraw Materialfor
Pulp and Source of Farmer Income
BUDI SANTOSO, MASTUR, dan FITRININGDYAH TRI KADARWATI
Balai PenelitianTanaman Pemanis dan Serat
Indonesian Sweetener and Fiber Crops Research Institute
Jl. Raya Karangploso Km 4 PO Box 199 Malang, Indonesia
E-mail: [email protected]
ABSTRAK
Abaka penghasil serat alam yang menjadi bahan baku
pulp kertas uang. Serat alam yang berasal dari abaka,
mempunyai sifat ramah lingkungan dan berkearifan
lokal, sangat disukai oleh para konsumen pabrikan.
Dewasa ini kebutuhan serat abaka di dalam negeri
masih dipenuhi dari impor. Pulp dan kertas yang
berasal dari abaka mempunyai keunggulan di
antaranya tahan sobek, kalau sudah menjadi kertas
sulit dipalsukan atau kertas yang dihasilkan
digunakan untuk , kertas yang sulit ditiru, materai,
kertas dukomen(segel, sertifikat, ijazah dan kertas
penting lainnya). Bank Indonesia (BI) mulai tahun
2014 lebih serius untuk menggunakan bahan baku
serat kapas dan serat abaka dalam negeri. Hal ini
sesuai dengan Undang-Undang Mata Uang N0. 7
Tahun 2011 pada pasal 9 (2) agar mengutamakan
bahan baku dalam negeri (lokal) dengan menjaga
mutu, keamanan dan harga yang bersaing dalam
mencetak Uang Rupiah. Panen perdana abaka pada
umur 18-20 bulan setelah tanam. Pada saat itu belum
ada pendapatan bagi petani, adanya tumpangsari
antara cabai + abaka memberikan sumber pendapatan,
karena cabai merupakan tanaman semusim sehingga
hasil panen cabai dapat membantu dalam memenuhi
kebutuhan petani dalam masalah keuangan.
Disamping itu masih ada tanaman tegakan (jabon,atau
sengon). Pola tumpangsari abaka + cabai kecil bisa
memberikan keuntungan sebesar Rp. 21.333.000,-
Dengan demikian pengembangan abaka mempunyai
prospek yang cukup baik. Tujuan dari pada penulisan
review ini untuk memberikan dukungan eksistensi
inovasi pengembangan abaka sebagai sumber serat
alam yang memberikan kontribusi dalam
menyediakan bahan baku kertas uang yang dicanakan
oleh Bank Indonesia (BI)dan membuka lapangan kerja
di pedesaan, serta memberikan sumber pendapatan
para petani.
Kata Kunci: Abaka, cabai kecil, sumber pendapatan
tumpangsari.
ABSTRACT
Abaca-producing natural fiber as raw material for
pulp paper money. Natural fibers derived from abaca,
have environmentally friendly nature and local
wisdom, highly favored by consumers manufacturer.
Nowadays the need for abaca fiber in the country is
still imported. Pulp and paper are derived from abaca
has advantages including a tear-resistant, when it
becomes difficult falsified paper or paper produced is
used for Paper that is difficult to imitate, stamp paper
dukomen (seals, certificates, diplomas and other
important papers). Bank Indonesia (BI) in 2014 is more
serious to use raw materials of cotton fiber and abaca
fiber in the country. This is in accordance with the
Currency Act N0. 7 Year 2011 on article 9 (2) in order to
give priority to domestic raw materials (local) to
maintain the quality, safety and competitive prices in
the printing Rupiah. The first harvest abaca at age 18-
20 months after planting. At that time there has been
no income for farmers, their inter-cropping between
chili + abaca provide a source of income, because chili
is a seasonal crop that yields chilli can assist in meeting
the needs of farmers in financial trouble. Besides, there
is no plant stand (Jabon, or sengon). The pattern of
intercropping abaca + small chilli may generate profits
of Rp. 21.333 million, - thus the development of abaca
2 Volume 15 Nomor 1, Juni 2016 : 01 - 10
has good prospects. The purpose of the writing of this
review is to provide support for the existence of abaca
development innovation as a source of natural fiber
which contribute in providing raw materials of paper
money dicanakan by Bank Indonesia and to create
employment in rural areas, and provide a source of
income of farmers
Key word: Abaca, cayenne pepper, source farmers
income, intercropping.
PENDAHULUAN
Abaka (Musa textilis Nee) merupakan
tanaman tahunan, penghasil serat alam.
Kekuatan serat kering abaka di atas rata-rata
komoditas serat lainnya (Bledzki et al., 2007).
Serat yang dihasilkan berasal dari pelepah batang
yang ramah terhadap lingkungan dan
berkelanjutan (Mwaikambo, 2006). Permasalahan
utama pada saat ini di antaranya kebutuhan serat
abaka nasional masih impor. Demkian pula
kebutuhan dunia akan serat abaka juga belum
terpenuhi. Produksi serat abaka internasional
sebesar 65.000 ton/tahun, sedang permintaan
sudah mencapai 85.000 ton/tahun, sehingga
masih kekurangan sekitar 20.000 ton/tahun. Serat
abaka banyak digunakan untuk bahan baku pulp
kertas (Manish Kumar dan Deepak Kumar, 2011).
Pulp dan kertas yang berasal dari abaka
mempunyai keunggulan di antaranya tahan
sobek, kalau sudah menjadi kertas sulit
dipalsukan atau kertas yang dihasilkan
digunakan untuk pkertas yang sulit ditiru,
materai, kertas dukomen (segel, sertifikat, ijazah
dan kertas pentinglainnya). Menurut Jose C. de
Rio dan Ana Gutierrez (2006); dikemukakan
bahwa serat abaka digunakan sebagai bahan
baku pulp kertas berkualitas tinggi. Bank
Indonesia (BI) mulai tahun 2014 lebih serius
untuk menggunakan bahan baku serat kapas dan
serat abaka dalam negeri. Hal ini sesuai dengan
Undang-Undang Mata Uang N0. 7 Tahun 2011
pada pasal 9 (2) agar mengutamakan bahan baku
dalam negeri (lokal) dengan menjaga mutu,
keamanan dan harga yang bersaing dalam
mencetak Uang Rupiah. Philipina dan Jepang
menggunakan kertas uang campuran serat abaka
(Suratos, 2001).
Hasil panen serat Abaka baru dapat
dinikmati oleh petani dalam kurun waktu sekitar
18-20 bulan. Selang waktu menunggu hasil panen
tersebut, petani memperoleh tambahan
pendapatan dari tanaman sela seperti cabai,
kacang tanah dan jagung. Usahatani cabai rawit
dalam waktu sekitar 6 bulan cukup memberikan
pendapatan yang menggembirakan. Pemanfaatan
lahan yang efisien melalui pola tumpangsari
cabai rawit + abaka dapat meningkatkan
pendapatan petani, baik penerimaan dari cabai
maupun penerimaan dari abaka. Secara umum
petani di Indonesia dikelompokan ke dalam
kategori petani subsisten artinya kepemilikan
lahan yang sempit (0,30 ha), modal sedikit dan
sulit menerima teknologi baru. Hadirnya abaka
membuka lapangan kerja di pedesan, selain itu
membantu dalam penyediaan serat nasional,
sehingga dapat menghemat devisa Negara.
Dasar pertimbangan lain bahwa lahan yang
sesuai untuk abaka di tanah air cukup luas.
Abaka tumbuh baik pada tanah subur, volcan
atau alluvial, retensi air tinggi, curah hujan 2.000-
3.000 mm/tahun (tidak ada bulan kering,
kelembaban udara 78-88%, suhu optimal 20oC-
27oC dan ketinggian tempat sampai 1.000 m di
atas permukaan laut (Bande etal., 2012). Secara
alami abaka tumbuh pada hutan tropis campuran
dengan tanaman lain.
Pada daerah gugusan kepulauan seperti
pulau Nias, Sangir Talaud dan dataran tinggi
(700 sampai dengan 900 m di atas permukaan
laut) sebagai tempat yang cocok untuk
kelangsungan pertumbuhan M. textilis. Lereng-
lereng gunung berapi yang umumnya mendapat
irupsi berupa abu, lahar dan belerang serta tanah
mineral memiliki tingkat kesuburan lahan yang
baik dan sangat ideal untuk pertumbuhan abaka
(Romel et al., 2011).
Pada budidaya abaka diperlukan naungan
agar tidak mendapat penetrasi matahari secara
langsung. Bande et al., (2012) melaporkan
pemberian naungan hingga 50% dapat
menghasilkan serat abaka yang lebih tinggi
dibandingkan tanpa naungan. Oleh karena itu
masuknya tanaman sengon, albasia, akasia bulat,
tanaman kayu berdaun menjari (pinus), jabon
dan kayu tegakan lunak pada pola tumpangsari
yang menghasilkan naungan baik bagi abaka.
Abaka Sebagai Sumber Serat Alam, Penghasil Bahan Baku Pulp Kertas dan Sumber Pendapatan Petani (BUDI SANTOSO et al.) 3
Cabai rawit sebagai tanaman musiman yang
ditanam di bawah abaka, dipanen saat umur 6
bulan setelah tanam. Ketiga komoditas tersebut
mempunyai habitus yang berbeda-beda. Kondisi
yang demikian cocok untuk ditanam secara
tumpangsari. Menurut Guritno (1996 dalam
Santoso, 2007) syarat suatu tanaman dapat
ditumpangsarikan bilamana ada ketidak samaan
dalam hal tinggi tanaman, kebutuhan cahaya, air,
CO2, pengambilan unsur hara, dan berbedaan
lintasan siklus karbon Dengan permasalahan
yang demikian kiranya tidak berlebihan
bilamana pengembangan abaka harus di
pertahanakan agar seluruh permasalahan yang
ada dapat di selesaikan dengan baik.
Tumpangsari adalah suatu bentuk pola
tanam dengan menanam lebih dari satu jenis
tanaman pada lahan yang sama dalam waktu
yang bersamaan atau hampir bersamaan
(Papendick et al., 1976 dalam Zulkarnain 2005).
Beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam
pola tumpangsari yaitu jenis komoditas yang
diusahakan, susunan perakaran tanaman, habitat
tanaman, respon tanaman terhadap faktor
lingkungan seperti air, cahaya, hara, CO2 dan
suhu serta kelembaban udara. Komponen
lingkungan tersebut pada sistem tumpangsari,
masing-masing salin diperebutkan oleh tanaman.
Menurut Riajaya dan Kadarwati (2014)
dikemukanan bahwa pada sistem tumpangsari
selalu terjadi kompetisi akan ruang, CO2, cahaya,
air dan nutrisi antar tanaman. Abaka dalam pola
tumpangsari sebagai tanaman pokok atau utama.
Kerapatan tanaman abaka (jarak tanam 3 m x 3
m) dengan populasi tanaman sekitar 1.000 pohon
per ha, kondisi ini sudah termasuk saluran
drainase. Pada sistem penyerapan karbon
dioksidanya (CO2) abaka tergolong ke dalam
tanaman siklus C3 atau 3 karbon. Menurut
Ochie, 2010 bahwa tumbuhan dengan jalur C3
umumnya mempunyai laju fotosintesis yang
lebih rendah dibandingkan dengan tumbuhan
C4, terutama dalam intensitas cahaya tinggi.
Pada tumbuhan abaka terjadi peningkatan
efisiensi fotosintesis, penyebab utama yaitu tidak
adanya fotorespirasi yang dapat diukur. Hal ini
terjadi pada saat fotorespirasi mengalami
kehilangan CO2 dalam jaringan fotosintetik dan
membutuhkan naungan agar dapat tumbuh
dengan normal.
Tujuan dari pada penulisan review ini
untuk memberikan dukungan eksistensi inovasi
pengembangan abaka sebagai sumber serat alam
yang memberikan kontribusi dalam
menyediakan bahan baku kertas uang yang
dicanakan oleh Bank Indonesia dan membuka
lapangan kerja di pedesaan, serta memberikan
sumber pendapatan para petani.
POLA TUMPANGSARI ABAKA + CABAI
KECIL + KAYU TEGAKAN
Usahatani pola tumpangsari dengan harapan
mendapatkan hasil yang optimal. Untuk
mengukur hasil tersebut salah satunya adalah
dengan memanfaatkan penggunaan lahan yang
efisien. Pola tumpangsari disamping untuk
mendapatkan hasil ganda juga, bertujuan
memperoleh pendapatan yang berkesinam-
bungan dalam kurun waktu 18-20 bulan. Apakah
pola tumpangsari lebih menguntungkan dari
pada monkultur dapat didekati dengan Land
Equivalen Ratio (LER).
LER atau dikenal dengan istilah Nilai
Kesetaraan Lahan (NKL) dapat dirumuskan
sebagai berikut :
YSts YPts
NKL = +
YSm YPm
Sumber : Mulyaningsih dan Hariyono (2013)
Dimana :
NKL : Nilai Kesetaraan Lahan
YStm : Hasil tanaman sela tumpangsari
YSm : Hasil tanaman sela monokultur
YPts : Hasil tanaman Pokok tumpangsari
YPm : Hasil tanaman Pokok monokultur
Bila NKL >1, mempunyai arti bahwa
pertanaman tumpangsari lebih efisien dalam
memanfaatkan lahan dibanding pada
pertanaman monokultur, sebaliknya manakala
hasil yang diperoleh <1 monokultur sangat
efisien daripada tumpangsari.
Ketika hasilnya dihitung secara B/C ratio,
ternyata nilai antara tambahan pendapatan
4 Volume 15 Nomor 1, Juni 2016 : 01 - 10
(benefit) dibagi dengan tambahan biaya usahatani
(cost) dari pola monokultur ke pola tumpangsari
>1, maka pengembangan abaka secara
tumpangsari dapat diteruskan, karena sangat
menguntungkan.
Dalam sistem pola tanam tumpangsari
terdapat berbagai macam tipe (Lithourgidis et al.,
2011) yaitu :
1. Mixed cropping (pola tanam campuran,
tanam bersamaan atau ada jeda dalam
kurun waktu1 tahun)
2. Relay cropping (pola tanam pergiliran 2 atau
lebih komoditas dalam kurun waktu 1
tahun).
3. Strip cropping (pola tanam berbaris, 2 atau
lebih komoditas kurun waktu 1 tahun)
4. Multiple cropping (pola tanam bermacam–
macam komoditas, waktu tanam bersamaan
dalam kurun waktu 1 tahun
Pada umumnya di Indonesia tumpangsari
yang digunakan untuk abaka adalah Mixed
cropping (pola tanam campuran, tanam
bersamaan atau ada jeda dalam kurun waktu 1
tahun)
Peningkatan daya saing dan implementasi
pengembangan komoditas abaka dan cabai kecil
serta tanaman sela (sengon) secara tumpangsari,
mendukung pencapaian ketahanan pangan,
menghemat devisa negara dan sekaligus
menekan inflansi. Komoditas cabai merupakan
produk pertanian yang sering menganggu
stabilitas perekonomian. Pada saat tertentu harga
melambung tinggi dan dalam waktu yang
singkat harga merosot tajam. Oleh karena itu
cabai dikelompokan ke dalam komoditas
strategis yang harus dapat dikendalikan. Dalam
mendukung penyediaan cabai nasional yang
cukup, pola tumpangsari abaka + cabai kecil +
kayu tegakan (sengon) ikut memberikan
kontribusi terhadap program pemerintah
terutama keberadaan cabai.
Intensifikasi sektor pertanian sebagai upaya
dalam mengoptimalkan lahan untuk
mendapatkan produksi yang tinggi, perlu terus
ditingkatkan. Sementara ekstensifikasi, sulit
dilaksanakan dan tingkat keberhasilannya
rendah, karena banyak lahan-lahan produktif
beralih fungsi menjadi perumahan atau sarana
umum yang diperlukan oleh masyarakat banyak
dan konservasi lahan hutan sangat diperlukan
serta harus berhasil. Pendekatan melalui efisiensi
lahan dengan system pola tumpangsari sebagai
langkah yang sesuai, tanpa menambah perluasan
areal lahan baru.
Sengon tanaman kayu tegakan yang
digolongkan kedalam kelompok leguminose.
Laju pertumbuhan sengon, sangat cepat sehingga
sesuai digunakan sebagai tanaman naungan.
Abaka memperlukan pelindung dari intensitas
cahaya matahari secara langsung. Oleh karena itu
hadirnya sengon di pertanaman abaka dalam
bentuk tumpangsari, membantu sekali.
Disamping itu tanaman leguminose dapat
menarik nitrogen dari udara. Menurut Lay dan
Heliyanto (2013), dikemukakan bahwa abaka
tumbuh baik di bawah pohon akasia
(leguminose) karena tanaman ini menghasilkan
nitrogen. Secara umum nitrogen di dalam tanah
sedikit sekali, sehingga ada tambahan nitrogen
dari luar dapat meningkatkan tingkat kesuburan
lahan. Keunggulan dari tanaman kayu tegakan
(sengon) adalah menghasilkan humus, melalui
daun-daun yang jatuh ke tanah dan menjadi
bahan organik. Dampak yang nyata pada proses
tersebut pertumbuhan abaka menjadi lebih baik.
EKSISTENSI INOVASI TEKNOLOGI
PENGEMBANGAN ABAKA
Pada pengembangan abaka masalah yang
penting adalah dalam perbanyakan bibit dan
varietas unggul yang tahan terhadap penyakit
Fusarium (Teodora et al., 2012). Penggandaan
bibit abaka yang sembarangan, penyebab
kegagalan yang patal dalam pengembangan.
Disamping itu dalam pengelolaan pasca panen
diperlukan mesin dekortikasi untuk proses
penyeratan batang abaka. Kebutuhan bibit abaka
dengan populasi tanaman yang rapat dapat
mencapai 1.000 sampai dengan 1.100 tanaman
per ha. Model tanamnya bisa berupa single row
dengan jarak tanm (3 m x 3 m), atau ( 2,5 m x 2,5
m) (Marlito et al., 2012). Tetapi juga ada yang
menggunakan double row (2,75 x 2,75 m) + 5 m.
Bidang masalah adalah bagaimana dalam
menyediaakan bibit abaka dalam jumlah yang
banyak tersebut. Saat ini sudah tersedia teknologi
untuk mendukung pengembangan abaka yaitu
Abaka Sebagai Sumber Serat Alam, Penghasil Bahan Baku Pulp Kertas dan Sumber Pendapatan Petani (BUDI SANTOSO et al.) 5
perbanyakan bibit abaka dengan sistem kultur
jaringan (Gambar 1). Keunggulan bibit abaka
yang berasal dari kultur jaringan adalah cepat
dalam pengadaannya, walaupun dalam jumlah
yang banyak; bibit seragam karena diambil dari
bagian vegetatif tanaman; dan bebas serangan
hama dan penyakit.
Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian telah mempunyai klon-klon unggul
abaka dari hasil ekplorasi, karakterisasi, uji daya
hasil dan plasma nutfah. Pada tahun 20010 telah
dilakukan uji multi lokasi klon-klon abaka di
beberapa tempat untuk dilepas menjadi varietas
baru. Tahun 2016 direncanakan akan dilepas 2-3
varietas baru dari abaka.
Pertanaman abaka yang terserang penyakit
Fusarium yang dicirikan dengan kelayuan pada
bagian ujung daun, terus menyebar ke seluruh
tanaman dan berakhir dengan kematian.Pada
tahun 2007 Litbangtan mempergunakan mutasi
radiasi, berhasil memperoleh klon abaka yang
toleran terhadap Fusarium. Hasil penelitian
Purwati et al., (2007) menujukkan bahwa
perlakuan induksi mutasi penggunaan mutagen
kimia EMS dan seleksi in vitro dengan 40% fitrat
F. oxysporum isolate atau 50 mg/l fusarat
menghasilkan klon-klon abaka yang toleran
terhadap penyakit Fusarium. Menurut Lestari
(2013) dikemukakan bahwa kendala utama
dalam pengembangan tanaman abaka di daerah
tropis adalah penyakit layu yang disebabkan oleh
cendawan F. oxysporum. Lebih lanjut dikatakan
bahwa serangan jamur F. oxysporum ini
mengakibatkan kerusakan sebanyak 5% sampai
dengan 65%. Hasil penelitian Sulistyowati et al.,
(2009) menyebutkan bahwa untuk memperbaiki
sifat genetik abaka adalah melalui transfer gen
spesifik dengan vector Agrobacterium tumefaciens,
dan berhasil memperoleh 4% kalus transforman
yang mengandung Chilinase.
Panen abaka yang diambil berupa batang
tanaman, kemudian pelepah yang menempel
pada batang, dikelupas satu demi satu untuk
diambil seratnya. Hasil pelepah batang abaka
tersebut diproses dalam mesin dekortikator.
Badan Liitbang Pertanian sudah membuat
prototype mesin dekortikator dengan rendemen
serat sekitar 4 sampai dengan 4,5% (Gambar 2).
Di Philipina mesin dekortikator mempunyai
rendemen serat hanya 3 sampai dengan 3,5%
(Vijayalakshmi et al., 2014). Mesin giling serat
tersebut bisa dipindah-pindah atau fortable,
mendekati hasil panen batang abaka di lokasi
pertanaman, sehingga biaya pasca panen lebih
murah.
Berdasarkan kualitas serat kering abaka
dibedakan menjadi 4 kelas yaitu:1). Grade excellent
(kelas utama) S2, S3 (Gambar 4), 2). Grade good
(kelas baik) I, G,H, 3). Grade fair (Kelas sedang)
JK,M1, dan 4). Grade residual (kelas terjelek) Y, OT
(PT. Kertas Leces, 2013). Kualitas serat abaka
dibentuk sejak ada di pertanaman, mulai dari
pemilihan klon unggul abaka, pemeliharaan
tanaman abaka, pada saat panen sudah masak,
artinya tanaman abaka sudah mengakhiri masa
vegetatif dan memasuki masa generatif. Bilamana
Gambar 1. Hasil kultur jaringan abaka klon
tangangon
Foto
: R
ully
Gambar 2. Model mesin dekortikator abaka
prototipe
F
oto
: H
asto
no
et
al.
6 Volume 15 Nomor 1, Juni 2016 : 01 - 10
Tabel 1. Keragaan usahatani Abaka tumpangsari dengan cabai rawit (kecil) per ha di daerah Kabupaten
Tumanggung Jawa tengah.
Kegiatan abaka/ha Biaya /ha Kegiatan cabai/ha Biaya /ha
I. Biaya produksi I. Biaya produksi a. Sarana produksi a. Sarana produksi
Bibit Rp. 5.000.000,- Bibit Rp. 240.000,- Pupuk kandang Rp. 1.000.000,- Pupuk kandang Rp. 60.000,- Pupuk Urea Rp. 480.000,- Pupuk Urea Rp. 96.000,- Pupuk TSP Rp. 200.000,- Pupuk TSP Rp. 120.000,- Pupuk KCl Rp. 260.000,- Pupuk NPK Rp. 720.000,- Pestisida Rp. 150.000,- Pupuk daun Rp. 96.000,- Karbofuran 3 G Rp. 100.000,- Pestisida Rp. 75.000,- Fungisida Rp. 50.000,- Kapur pertanian
Kayu/bambu ajir Rp. 105.000,- Rp. 1.800.000,-
b. Pengolahan tanah dengan traktor Rp. 400.000,-
b.Pengolahan tanah Pembuatan surjan
Rp. 3.010.000,-
c.Tenaga kerja
Pengolahan bedengan Rp. 735.000,-
Pengajiran dan lubang tanam Rp. 2.625.000,- c. Tenaga kerja Penanaman Rp. 455.000,- Penanaman dan penyulaman Rp. 175,000,- Pemeliharaan (penyiangan, pemupukan, pembersihan daunkering dan penyulaman)
Rp. 875.000,- Pempukan Penyiraman Pemasangan ajir Perbaikan saluran Pengendalian HPT Panen dan angkut
Rp. 270.000,- Rp. 1.770.000,- Rp. 315.000,- Rp. 140.000,- Rp. 525.000,- Rp. 2.520.000,- Panen dan pasca panen Rp. 2.100.000,-
Total biaya produksi/ha (100%) Rp. 13.695.000,- Total biaya produksi/ha (60%) Rp. 10.972.000,-
II. Pendapatan II. Pendapatan Produksi abaka Rp. 16.000.000,- Produksi cabai Rp. 30.000.0000,- Keuntungan(II-I) Rp. 2.305.000,- Keutungan (II-I) Rp. 19.028.000,-
Keterangan : Populasi abaka 1 ha penuh 100%, sedang populasi cabai 1 ha hanya 60% karena ditumpangsari
dengan abaka
tanaman abaka dipanen masih umur muda maka,
kualitas serat yang dihasilkan kurang baik,
kekuatan seratnya mudah putus. Sebaliknya
manakala pada saat panen umur abaka terlalu
tua, sudah keluar ontong dan buah kecil-kecil,
serat yang dihasilkan juga jelek, rapuh dan warna
serat kecoklatan. Oleh karena itu panen abaka
harus tepat waktu, agar kualitas serat yang
dihasilkan bisa digolongkan kedalam kelas
utama atau kelas yang baik.Tanaman abaka yang
siap untuk dipanen disajikan pada Gambar 3.
USAHATANI TUMPANGSARI ABAKA
DAN CABAI RAWIT
Prinsip tumpangsari adalah untuk
mendapatkan hasil yang ganda artinya selain
panen tanaman utama juga memperoleh panen
tanaman selanya baik yang semusim maupun
yang tahunan. Hasil usahatani abaka
tumpangsari dengan cabai disajikan pada Tabel
1.
Gambar 3. Batang abaka siap dipanen
Sumber : Santoso dan Purwati, 2011.
Gambar 4. Serat abaka dengan grade excelent
Sumber : Fibra de abaca, 2014.
Abaka Sebagai Sumber Serat Alam, Penghasil Bahan Baku Pulp Kertas dan Sumber Pendapatan Petani (BUDI SANTOSO et al.) 7
Sengon (Paraserianthes falcataria L. Nielsen)
mempunyai tipe daun yang menjari, kecil-kecil
dan tajuk yang tidak rapat, sehingga sangat
sesuai untuk tumpangsari. Menurut Mugiyana
(2010) dikemukakan bahwa hal paling utama
dalam pola tumpangsari yaitu pengaturan jarak
tanam. Lebih lanjut dikemukakan bahwa jarak
tanam harus diatur dengan tujuan agar intensitas
cahaya matahari dan nutrisi harus mampu
mencukupi kebutuhanan tanaman pokok
ataupun tanaman sela yang lain. Jarak tanam
sengon 4 m x 1 m dengan populasi tanaman
sebanyak 2.500 tanaman per ha, tetapi selama
pertumbuhan harus dijarangi agar tanaman tidak
mengalami gangguan, baik tinggi maupun
diameter batang.
Dari Tabel 1 menunjukkan bahwa pola
usahatani tumpangsari abaka + cabai kecil dapat
memberikan keuntungan sebesar Rp. 21.333.000/
ha.
Penjarangan (50% dari populasi) dilakukan
setelah umur 1 tahun, sisa tanaman dari
penjarangan tinggal 1.250 pohon per ha. Pada
pola tumpangsari abaka + cabai + sengon,
populasi tanaman sengon tidak terlalu banyak,
sekitar 275 pohon saja per ha. Jarak tanam segon
sangat jarang 6 m x 6 m, sehingga kebutuhan
bibit dapat dihemat. Hal ini terjadi karena
tanaman segon sebagai tanaman naungan abaka,
telah diatur sedemikian rupa jarak tanamnya,
sehingga tidak terlalu rapat. Kanopi dari
tanaman abaca dan cabai diharapkan masih
mampu berfungsi untuk meluruskan batang
kayu etiolasi.
Berdasarkan perhitungan pengukuran kayu,
setiap 5 pohon kayu segon yang berdiameter
batang sebesar 30 cm, berumur 6 tahun akan
menghasilkan kayu sebanyak 1 m3 (Mugiyana,
2010). Harga kayu segon dipasaran bebas Rp.
750.000,- setiap 1 m3. Pendapatan dari hasil kayu
sengon adalah 275/5 x Rp. 750.000 - Rp.
41.250.000,- per ha. Pada pola tumpangsari,
populasi tanaman sela di masing-masing
komoditas berkurang, kecuali pada tanaman
pokoknya. Menurut Suwarto et al., (2005)
dikemukakan bahwa sistem tumpangsari tetap
mampu meningkatkan produktivitas lahan,
walupun terjadi penurunan hasil pada masing-
masing komoditas, akibat dari kompetisi. Pola
tumpangsari abaka + cabai kecil + kayu tegakan
sengon disajikan pada Gambar 5.
Gambar 5. Pola tumpangsari abaka + cabai kecil +
kayu tegakan
Keragaan usahatani pola tumpangsari
Pola tumpangsari abaka + cabai kecil + kayu
tegakan (sengon) diperagakan dalam kurun
waktu 1 tahun sebagai berikut :
Bulan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Sumber : Untung et al. (2013).
Keterangan: Abaka berproduksi pada umur 16 bulan, sedang
cabai kecil berproduksi pada umur 6 bulan, kemudian
dilanjutkan musim tanam cabai berikutnya dan panen pada
selang 6 bulan. Sengon pada jangka waktu 1 tahun masih
belum terpanen diperkirakan umur berproduksi mencapai 6
tahun.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kebutuhan serat dalam negeri untuk abaka
masih dipenuhi dari impor. Pulp kertas dari serat
abaka mempunyai keunggulan komperatif.
Bank Indonesia (BI) mulai tahun 2014 lebih
serius untuk menggunakan bahan baku serat
kapas dan serat abaka dalam negeri. Hal ini
sesuai dengan Undang-Undang Mata Uang N0. 7
Tahun 2011 pada pasal 9 (2) agar mengutamakan
bahan baku dalam negeri (lokal) dengan menjaga
mutu, keamanan dan harga yang bersaing dalam
mencetak Uang Rupiah. Oleh karena itu
peningkatan produksi abaka nasional perlu
ABAKA
CABAI KECIL CABAI KECIL
KAYU TEGAKAN (SENGON)
Foto
: M
astu
r
8 Volume 15 Nomor 1, Juni 2016 : 01 - 10
dipacu, apalagi ditambah dengan program
swasembada bahan baku kertas uang pada tahun
2014 mulai diterapkan.
Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian telah mendapatkan teknologi
perbanyakan bibit abaka dengan sistem kultur
jaringan. Disamping itu klon-klon unggul abaka
dari hasil ekplorasi, karakterisasi, uji daya hasil
dan plasma nutfah telah dilaksanakan. Pada
tahun 2010 telah dilakukan uji multi lokasi klon-
klon abaka dibeberapa tempat untuk dilepas
menjadi varietas baru. Tahun 2016 direncanakan
akan dilepas 2-3 varietas baru dari abaka. Klon
unggul baru abaka tersebut toleran terhadap
penyakit Fusarium.
Teknologi mesin pasca panen berupa mesin
penyeratan secara fortable abaka dan dapat
meningkatkan rendemen serat sebesar 4 sampai
dengan 5%, serta kualitas serat yang diperoleh
dalam grade excellent.
Pengembangan abaka perlu dipertahankan
karena dapat membuka lapangan kerja di
pedesaan dan menghemat devisa negara.
Usahatani pola tumpangsari abaka + Cabai
kecil (rawit) dalam kurun waktu (16 bulan)
memberikan untungan sebesar Rp 21.333.000,-/ha
,.Nilai tambah pendapatan dari Cabai kecil dapat
digunakan untuk keperluan hidup petani sambil
menunggu hasil dari kayu tegakan. Secara
nasional ikut membantu dalam penyediaan cabai
kecil untuk memenuhi kebutuhan masyarakat
dan memperkuat ketahanan pangan.
Pengembangan abaka dengan pola
tumpangsari mempunyai prospek yang baik, dan
mempunyai nilai ekonomi yang kreatif, serta
secara makro dapat menekan inflasi. Cabai
tergolong komoditas yang harganya sulit untuk
dikendalikan oleh Pemerintah. Secara mikro bisa
meningkatkan sumber pendapatan petani di
pedesaan dan membuka lapangan kerja disektor
pertanian.
Pemerintah wajib ikut mendukung dalam
pengembangan abaka melalui program-program
yang ada di Kementerian Pertanian, terutama
pada daerah baru maupun sentra pengembangan
abaka. Di Kabupaten Kepulauan Talaud
membutuhkan sentuhan, agar percepatan
teknologi inovasi abaka yang sudah ada
disosialisakan.
DAFTAR PUSTAKA
Anonymous. 2014. Fibra de abaca.jpg.
http://commons.wikimedia.org/wiki/File:
Fibra_de_abaca. jpg. Diakses tanggal 25
Juni 2014.
Bande, M.B., J. Grenz, V.B. Asio and Saueborn
J.2012. Morphplogical and physiological
of Abaca (Musa textilis var. Laylay) to
shade, irrigation and fertilizer
supplication at different stages of plant
growth. International Journal of Agri
Science. 3(2):157-75.
Bande, M.M., J. Grenz, V.B. Asio and Saverborn.
2012. Production of high quality abaca
(Musa textilis Nee) fibre under different
shading, irrigation and fertilizer
management system in Leyte Philippine.
Paper presented at the Internasional
Sceintific Conference on Susainable Land
Use and Rural Development Morentani
Areas, Hohenhein, Stuttgart, 16-18 April
2012.
Bledzki, A.K., A.A. Mamun, and O. Faruk. 2007.
Abaca fibre reinforced PP composites and
comparison with jute and flax PP
composite. Express Polymer Letters 1(11):
755-762.
Guearte, R.C. 2014. Utilization of abaca of (Musa
textilis Nee) fibre in the automotion
industry. The case of the PPP abaca
Project in The Phillipina.
Herlina. 2011. Kajian Variasi Jarak dan Waktu
Tanam Jagung Manis dalam Sistem
Tumpangsari Jagung Manis (Zea mays
saecharata Sturt) dan Kacang Tanah
(Arachis hypogea L.). Tesis. Program Pasca
Sarjana Universitas Andalas Padang. 38
hlm.
Jose C. de Rio and Ana Gutierrez. 2006. Chemical
Composition of Abaca (Musa textilis) Leaf
Fibers Used for Manufacturing of High
Quality Paper Pulps. Abstract J. Agric.
Food Chem., 2006, 54 (13):4600-4610.
http://www.google.coiul/abaca fibre
product journal. Diakses tanggal 30 Juni
2014.
PT. Kertas Leces. 2013. Prospek Binis Serat Abaka
dalam Rangka Peningkatan Ekonomi
Abaka Sebagai Sumber Serat Alam, Penghasil Bahan Baku Pulp Kertas dan Sumber Pendapatan Petani (BUDI SANTOSO et al.) 9
Masyarakat di Kabupaten Daerah
Tertinggal. Workshop Percepatan
Pembangunan Daerah Tertinggal Melalui
Pengembangan Pisang Abaka. Hlm. 1-9.
PT. Antako Wisena. 2014. Usahatani cabai
rawit.www.antakowisena.com
antakowisena.indonetwork.net. Diakses
tanggal 20 Juni 2014.
Vijayalakshmi, K. ., Ch. Y.K. Neeraja, A. Kaviatha
and J. Hajavadana. 2014. Abaca Fibre
Transaction on Engineering and Sciences
2:16-19.
Kadarwati, F.T. 2013. Peningkatan Produktivitas
Pendapatan Petani Kapas. Dalam:
Teknologi Budidaya Kapas. IAARD
Press. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Hlm. 89-105.
Lay, A. dan B. Heliyanto. 2013. Abaka (Musa
textilis Nee) dan Prospek Pengembangan-
nya di Kabupaten Kepulauan Talaud
Sulawesi Utara. IPB Press. Bogor. 136
hlm.
Lestari, E.G. 2013. Pembentukan Galur Unggul
Tanaman Melalui Peningkatan Ke-
ragaman Genetik Dengan Metode Variasi
Somaklonal. Journal Pengembangan
Inovasi Pertanian. Pemuliaan Konven-
sional dan Non-Konvensional untuk
Tanaman dan Ternak. Badan Penelitian
dan Pengembangan Pertanian.
Kementerian Pertanian. 6 (2): 53-61.
Lithourgidis, A.S., C.A. Dordas, C.A. Damalas,
and D.N. Ulachostergias. 2011. Annual
intercops an alternative path way for
sustainable agriculture. Australian
Journal of Crop Science 5(4):396-410.
Manish Kumar and Deepak Kumar. 2011.
Comparative od pulping of banana stem.
International Journal of Fiber and Textile
Research 1(1) : 1-5.
Marlito, M., J. Bande, B. Grenz Victor, Ssio and J.
Saueborn. 2012. Nutriet Uptake Fiber
Yield of Abaca (Musa textilis var. Laylay)
as affected by shade, irrigation and
fertilizer application. Annals of Tropical
Research 34(1) : 1-28.
Mugiyana. 2010. Budidaya Sengon dengan
Sistem Tumpangsari. Http://accounts
google.Com/savicelogin.
mugiyana.blogspot.com/2010/08/blog-
post.html. Diakses tanggal 20 Juni 2014.
Mulyaningsih, S., dan B. Hariyono. 2013.
Pengaruh Macam Tanaman Sela
Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Jarak
Pagar (Jatropha curcas L.) Hasil
Rehabilitasi Tahun Ketiga. Buletin
Tanaman Tembakau, Serat dan Minyak
Industri. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Perkebunan.Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
5(2):69-77.
Mwaikambo L.Y. 2006. Review of the History
Properties and Aplication of Plant Fibres.
African Journal of Science and Tecnology.
Science and Engineering 7(2): 120-133.
Ochie. 2010. Tanaman C4. http://ssp09-unhaz.
Diakses tanggal 18 Juni 2014.
Purwati, R.L., U. Setyo-Budi dan Sudarsono.
2007. Penggunaan asam fusarat dalam
seleksi in vitro untuk resistensi abaka
terhadap Fusarium oxysporum f. sp.
cubense. Bogor. Journal Littri 13(2):64-72.
Romel, B., Armecin, Wilfredo, C. Cosico and B.B.
Rodrigo, 2011. Characterization of the
Different Abaca Based Agro-Ecosystem
in Leyte, Philippines. Taylor and Francis
Group. Journal of natural Fibers (8) : 111-
125.
Riajaya, P.D. dan Kadarwati, FT. 2014.
Kesesuaian Galur-Galur Harapan Kapas
Berdaun Okra dalam Sistem
Tumpangsari dengan Kedelai. Buletin
Tanaman Tembakau, Serat dan Minyak
Industri 6(1):11-20.
Santoso, B. 2007. Pengaruh Tanaman Kacang
Tanah dan Jagung Terhadap
Pertumbuhan Agave sisalana Perrine
dalam Sistem Tumpangsari di Lahan
Kering Berkapur.Journal Agritek.
15(6):1358-1363.
Santoso, B., dan R.D. Purwati. 2011. Abaka (Musa
textilis Nee) Bahan Baku Serat Alam
Berkualitas Tinggi. Penerbit Tunggal
Mandiri. Malang. 120:94 hlm.
Sridach, W. 2015. The environmentally benigu
pulping prosess of non wood fibers.
Suranarce. Sci. Technol 17(2):105-123.
10 Volume 15 Nomor 1, Juni 2016 : 01 - 10
Sulistyowati L., R.D., Purwati, Suharsono dan G.
Iskarlia. 2009. Transformasi gen chitinase
dari jamur Trichoderma asperillum pada
kalus Abaka. Agrivita Jurnal Ilmu
Pertanian. 31(3):205-213.
Suratos, A.I. 2001. The use of abaca in the
manufacture of banknote paper. Ai paper
presented at the 2001 currency Confrence,
Barcelona, Spani, April 8-11.
Suwarto, Sudirman, Y., Handoko dan M.A.
Chezin. 2005. Kompetisi tanaman jagung
dan ubikayu dalam sistem tumpangsari.
Journal Agronomi Indonesia IPB.
http//journal ipb.acid. Diakses tanggal 26
Juni 2014. 33(2):1-7.
Teodora, O., D. Olivia, P. Damasco, Irish T.
Lobina, Marita, S., Pinili, G. Antonio,
Lalusin, T. Keiko, and Natsuanki. 2012.
Induction of putative resistant lines of
abaca (Musa textilis Nee) to banana
bunchy top virus and banana bract
mosaic virus throughin vitro mutagenesi.
J. ISSAAS 18(1) : 87-99.
Untung, SB., Marjani dan B. Santoso. 2013.
Evaluasi Potensi Produktivitas dan Mutu
Serat Abaka. Rencana Operasional
Penelitian Pertanian. Balai Penelitian
Tanaman Pemanis dan Serat. Hlm. 1-8.
Zulkarnain. 2005. Pertumbuhan dan Hasil Selada
pada Berbagai Kerapatan Jagung dalam
Pola Tumpangsari. Journal Ilmu-Ilmu
Pertanian 1(2):94-101.
Perspektif Vol. 15 No. 1 /Juni 2016. Hlm 11 -17 DOI: http://dx.doi.org/10.21082/psp.v15n1.2016.11-17
ISSN: 1412-8004
Strategi Penelitian dan Pengembangan Menghadapi Dinamika Perkembangan Lada Dunia (ROSIHAN ROSMAN) 11
STRATEGI PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN MENGHADAPI
DINAMIKA PERKEMBANGAN LADA DUNIA Research and Development Strategy to Face World Dynamics of Development of Pepper
ROSIHAN ROSMAN
Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat
Indonesian Spice and Medicinal Crops Research Institute
Jalan Tentara Pelajar No 3 Bogor, 16111, Jawa Barat, Indonesia
E-mail: [email protected]
ABSTRAK
Indonesia merupakan salah satu produsen utama lada
dunia. Saat ini, mengalami persaingan yang cukup
kuat dari negara lainnya. Permasalahan yang muncul
saat ini adalah rendahnya produktivitas dan mutu.
Produktivitas lada Indonesia masih di bawah 1000
kg/ha, sedangkan negara lain sudah lebih dari 2000
kg/ha. Rendahnya mutu disebabkan oleh cara
pengolahan yang masih tradisional. Rendahnya
produktivitas disebabkan banyaknya tanaman tua dan
rusak, serangan hama penyakit, dan kurangnya
pemeliharaan tanaman. Untuk menghadapi dinamika
perkembangan lada dunia diperlukan upaya-upaya
peningkatan produksi, produktivitas dan mutu agar
Indonesia mampu meningkatkan daya saing di pasar
Internasional. Peningkatan produksi dan mutu dapat
dilakukan dengan memperbaiki teknologi budidaya
dan pasca panen. Adapun strategi yang diperlukan
adalah (1) menyusun program penelitian dan
pengembangan yang lebih spesifik lokasi dan berbasis
pada kondisi agroekologi, terutama sifat fisik, kimia
dan biologi tanah serta iklim daerah pengembangan.
(2) Mensosialisasikan hasil penelitian dan
menginformasikan dinamika perkembangan lada
dunia ditingkat lapang.
Kata kunci : Lada, penelitian dan pengembangan.
ABSTRACT
Indonesia is one of the world’s main - pepper
producers. Now days, Indonesian pepper experienced
a fairly strong competition from other countries.
Problem arising to day is low productivity and quality.
Productivity of Indonesia pepper below 1000 kg/ha,
whereas other countries have more than 2000 kg/ha.
Low quality due to processing methods are still
tradisional. Low productivity because many older
plants, damaged, pests, and diseases, and lack of
maintenance. To face the dynamic development of the
world pepper, needed efforts to increase production,
productivity and quality, so that Indonesia can
improve the competitiveness in the international
market. Increasing of production and quality can do
the improvement of cultivation technology and post
harvest. As for the necessary policy are (1) establish of
research and development programs of a more site-
specific and based on agro-ecological conditions,
especially physical, chemical and biological
characterization of soil and climate of development
region, and (2) socialization result of the research and
inform pepper dynamic development in the field.
Key words : Pepper, research, development
PENDAHULUAN
Lada merupakan salah satu komoditas
pertanian Indonesia dalam menghasilkan devisa
negara, selain minyak sawit, karet, dan kopi.
Indonesia telah lama mengembangkan tanaman
lada sejak sebelum kemerdekaan Indonesia.
Kebutuhan akan lada terus meningkat, sejalan
dengan meningkatnya jumlah penduduk dunia.
Lada sangat dibutuhkan terutama sebagai
rempah (Listyati, 2007).
Meskipun tanaman lada bukan tanaman asli
Indonesia peranannya dalam perekonomian
nasional sangatlah besar. Lada Indonesia berasal
dari pantai Ghats, Malabar, India (Wahid, 1996;
Setiawan dan Wahyudi, 2014; Hadipoentyanti,
2007). Tanaman lada (Piper nigrum L.) termasuk
ke dalam keluarga piperaceae (Nuryani, 1996)
12 Volume 15 Nomor 1, Juni 2016 : 11 -17
dan saat ini telah menyebar di hampir seluruh
propinsi di Indonesia.
Indonesia merupakan salah satu anggota
dari mesyarakat perladaan dunia (International
Pepper Community atau disingkat IPC). Lainnya
adalah India, Brazil, Srilanka, Malaysia dan
Vietnam. Menurut Ditjenbun (2015) bahwa tahun
2015 produksi lada Indonesia diperkirakan
mencapai 88,296 ribu ton dengan total volume
ekspor 33,645 ribu ton atau dengan nilai ekspor
sekitar USD 319,824 juta. Tahun 2016
diperkirakan produksi meningkat menjadi 89,303
ribu ton. Peningkatan produksi di tahun-tahun
mendatang diperlukan upaya peningkatan
perdagangan dan konsumsi untuk mengatasi
surplus berlebihan. Surplus berlebihan dapat
berdampak pada penurunan harga dan
menurunkan pendapatan petani. Harga lada
putih tahun 2016 berkisar antara Rp147.500-
Rp170.000 per kg. Namun di tingkat petani hanya
sekitar Rp125.000-Rp135.000 per kg, naik Rp.
25.000-Rp.35.000 dari dua tahun lalu , sedangkan
lada hitam Rp 120.000-Rp 122.000,- per kg dan
ditingkat petani Rp. 90.000,-.
Untuk meningkatkan produksi lada
Indonesia masih memungkinkan karena lahan
yang sesuai untuk lada masih cukup luas yaitu
lebih dari 100 ribu hektar (Wahid et al., 1985;
Wahid et al., 1993; Rosman et al., 1996), biaya
produksi juga lebih rendah dibanding negara
pesaing, teknologi budi daya lada secara efisien
serta peluang melakukan diversifikasi produk
masih memungkinkan.
Adanya permasalahan yang muncul di
lapang yang menyebabkan produktivitas rendah
perlu disikapi secara bijak. Munculnya hama dan
penyakit, sarana dan prasarana yang masih
lemah, serta teknologi yang masih konvensional
perlu mendapat perhatian. Hama penggerek
batang merupakan kendala produksi yang
penting dalam usaha tani lada (Soetopo, 1996),
sedangkan penyakit adalah busuk pangkal
batang lada (Manohara, 1996; Harni dan Amaria,
2012; Setiyono dan Nursalam, 2007), penyakit
kuning (Harni dan Ibrahim, 2011) dan penyakit
kerdil (Miftakhurohmah et al., 2016; Balfas et al.,
2007). Busuk pangkal batang lada sudah
menyebar di seluruh pertanaman lada (Manohara
et al., 2005). Saat ini muncul adanya masalah pada
sistim pengolahan yang tidak higienis. Adanya
ancaman dari negara pesaing. Pengolahan lada
masih tradisional dan menggunakan air bekas
tambang timah (Kemala dan Karmawati, 2007).
Selain itu menurut Yuhono (2007) juga adanya
kendala pada peran kelembagaan di tingkat
petani dan di tingkat pemasaran yang belum
berpihak kepada petani. Lebih detil pada bagian
berikutnya dari tulisan ini, pembahasan akan
lebih menekankan kepada perkembangan
tanaman lada, penelitian dan strategi
meningkatkan produktivitas tanaman lada
Indonesia.
PERKEMBANGAN LADA DUNIA
Produksi lada Indonesia menempati posisi
kedua, setelah Vietnam. Kebutuhan dunia sekitar
400.000 ton. Berdasarkan data FAO tahun 2015,
areal panen Indonesia pada tahun 2012, lada
luasnya 178.600 ha, dengan produksi 88.200
ton/ha, namun produktivitasnya rendah hanya
0,493 ton/ha. Jika dibandingkan dengan Vietnam
luas areal panen hanya 47.092 ha, produksinya
152300 ton/ha dan produktivitasnya 3,234 ton/ha
(FAO, 2015). Tingkat produktivitas lada
Indonesia dibanding Vietnam pada 20 tahun
terakhir (1993-2012) (Gambar 1). Dari tahun ke
tahun tingkat produktivitas Indonesia hanya di
bawah 1000 kg/ha, sedangkan Vietnam lebih dari
1500-3500 kg/ha. Lebih lanjut jika kita
bandingkan dengan negara penghasil lainnya
(Tabel 1), Produktivitas lada Indonesia hanya
sedikit di atas India yaitu 0,291 ton/ha.
Gambar 1. Produktivitas lada Indonesia dan
Vietnam tahun 1993-2012 (kg/ha)
Sumber : Diolah dari data FAO, 2015
Strategi Penelitian dan Pengembangan Menghadapi Dinamika Perkembangan Lada Dunia (ROSIHAN ROSMAN) 13
Rendahnya produktivitas mengharuskan
Indonesia untuk mengkaji ulang teknologi yang
diterapkan di lapang. Bila hal ini dibiarkan
lambat laun Indonesia akan tersusul oleh negara
lain dan tidak tertutup kemungkinan akan
menurun peringkatnya atau tidak lagi menjadi
produsen utama di dunia.
Jika dilihat dari sisi persentase area panen
dan produksi terhadap total area panen dan
produksi dunia (Tabel 2), ternyata sejak tahun
1985 Indonesia tidak memperlihatkan
kemampuan persentase produksi yang lebih baik
dengan meningkatnya persentase area panen.
Namun sebaliknya dengan Vietnam, persentase
area panen yang hanya 8,72% total area panen
dunia, bahkan tahun 1985 yang hanya 0,92%
mampu melejit melampaui persentase produksi
Indonesia yaitu 33% . Indonesia hanya 19,11%.
Kondisi ini menunjukkan bahwa ada kendala
yang terjadi pada perkembangan lada Indonesia.
Indonesia belum mampu menghasilkan lada
dengan produksi _lebih dari 1.500 ton/ha. Ada
dugaan bahwa rendahnya produktivitas akibat
rendahnya tingkat kesuburan tanah dan
munculnya serangan hama serta penyakit.
Namun parameter apa yang menyebabkan
rendahnya tingkat kesuburan dan berapa tingkat
serangan hama dan penyakit belum diketahui
secara pasti. Akan tetapi dari data _ statistik
diperoleh bahwa luas area yang rusak berkisar
antara 14-17% (Ditjenbun 2012). Bila ditinjau dari
sisi serangan penyakit, maka penyakit busuk
pangkal batang (BPB) dapat menyerang area
pertanaman sebesar 10-15% setiap tahunnya
(Kasim, 1990). Penyakit busuk pangkal batang
merupakan penyakit yang mematikan pada lada
di Indonesia (Chaerani et al., 2013; Wahyuno et
al., 2009). Selain itu, di Bangka terjadi alih fungsi
lahan, lahan produktif telah berubah menjadi
lahan sawit dan rusaknya tanaman lada akibat
ditelantarkan petani yang beralih ke
penambangan (Ferry et al., 2010; 2013).
PERMASALAHAN DAN PELUANG
PEMECAHAN MASALAH LADA
INDONESIA
Masalah rendahnya produktivitas lada
Indonesia yang hanya 0,493 ton/ha menurut FAO
(Tabel 1), berbeda dengan data yang ditunjukkan
oleh Direktorat Jenderal Perkebunan, luas areal
lada Indonesia tahun 2012 adalah 177.787 ha.
Produksi 87.841 ton, produktivitasnya 771 kg/ha
dari 113.978 ha areal panen. Meskipun adanya
perbedaan data, namun kedua data tersebut tetap
menunjukkan bahwa rata-rata produktivitas lada
Indonesia di bawah 1.000 kg/ha. Ada beberapa
propinsi yang memiliki kemampuan antara
1.500-1.800 kg/ha, namun belum mendekati
kemampuan varietas unggul yang sesungguhnya
dan produktivitas negara lain seperti Vietnam.
Propinsi yang memiliki produktivitas tertinggi
adalah Propinsi Bangka Belitung sebesar 1.534
kg/ha, sedangkan kabupaten yang memiliki
produktivitas tertinggi adalah Kabupaten Bangka
Selatan sebesar 1.756 kg/ha, diikuti oleh Kota
Solok sebesar 1.667 kg/ha, Kabupaten Pontianak
1.539 kg/ha dan Kabupaten Bangka 1.591 kg/ha
selebihnya memiliki produktivitas di bawah 1500
kg/ha (Ditjenbun, 2013). Kondisi ini
menunjukkan bahwa setidaknya beberapa
wilayah lain juga berpotensi untuk menghasilkan
dengan tingkat produktivitas lebih dari 1.500
kg/ha, bila lahan dan iklim yang digunakan
Tabel 1. Sepuluh besar negara penghasil lada
dunia
No Negara
Areal
(ha)
Produksi
(ton)
Produktivitas
(ton/ha)*
1 Vietnam 47.092 152.300 3,234
2 Indonesia 178.600 88.200 0,493
3 India 185.000 54.000 0,291
4 Brazil 19.427 43.345 2,231
5 RRC 17.125 31.200 1,821
6 Malaysia 11.042 26.000 2,354
7 Srilanka 38.450 24.950 0.648
8 Madagascar 5.000 5.000 1,000
9 Thailand 1.200 4.500 3,750
10 Philippines 3.497 3.248 0.928
Sumber : FAO (2015).
Tabel 2. Persentase area panen dan produksi
Indonesia dan Vietnam terhadap dunia
Tahun
Area panen (%) Produksi (%)
Indonesia Vietnam Indonesia Vietnam
2012 33,09 8,72 19,11 33,00
2003 26,58 6,04 21,53 21,16
1994 19,55 1,80 24,17 5,17
1985 23,36 0,95 28,41 0,92
Sumber : FAO, 2015
14 Volume 15 Nomor 1, Juni 2016 : 11 -17
memenuhi persyaratan tumbuh lada dan
menggunakan varietas unggul serta teknologi
yang tepat, terutama pemupukan.
Masih rendahnya wilayah lain perlu
dukungan diseminasi hasil penelitian, terutama
mengenai perlunya kesesuaian lahan dan iklim,
penggunaan varietas unggul dan pemupukan
yang tepat untuk diterapkan. Bila melalui ke tiga
cara ini tidak bisa dicapai berarti mengharuskan
adanya perbaikan teknologi secara menyeluruh.
Teknologi yang dimaksud adalah mulai dari
kesesuaian lahan, penanaman, pemeliharaan
sampai panen dan pasca panen.
Kesesuaian lahan dan iklim sangat
menentukan tingkat keberhasilan pengembangan
tanaman. Lahan dan iklim yang tidak sesuai akan
berpeluang besar menyebabkan kegagalan dalam
pengembangan. Sebelum mengembangkan
tanaman ada beberapa cara dalam memanfaatkan
teknologi yang ada yaitu dengan cara
menggunakan peta kesesuaian lada yang ada
(Wahid et al., 1985), sekaligus untuk arah
pengembangannya dan menggunakan model
simulasi (Rosman, 2014). Pada model simulasi
selain akan didapat tingkat kesesuaian lahan dan
iklim juga dapat menentukan kelayakan
ekonominya.
Penggunaan varietas unggul sangat penting.
Varetas unggul lada yang berdaya hasil tinggi
(1,97-4,67 ton/ha/tahun) yaitu Natar 1, Natar 2,
Petaling 1, Petaling 2, Cunuk, Lampung Daun
Kecil (LDK), dan Bengkayang (Dhalimi, 2011).
Ketujuh varietas unggul ini perlu diberdayakan
di berbagai wilayah pengembangan dengan
memperhatikan tingkat kesesuaian lahannya.
Varietas Natar 1 agak toleran terhadap penyakit
busuk pangkal batang (Nuryani et al., 2007) dan 3
nomor lada hibrida tahan penyakit busuk
pangkal batang hasil persilangan antar spesies
lada (Setiyono et al., 2010)
Pemupukan sebagai upaya perbaikan
tingkat kesuburan tanah akan membantu
tambahan unsur hara bagi tanaman lada. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa unsur hara yang
dibutuhkan tanaman lada tergantung jenis tanah.
Pemupukan pada jenis tanah Podsolik (Zaubin et
al., 1990) lebih tinggi dosisnya dari pada dosis
pupuk di Latosol (Wahid, 1984). Pupuk yang
dapat diberikan berdasarkan umur dapat dilihat
Tabel 3. Dosis diperkirakan akan lebih besar lagi
dengan meningkatnya umur tanaman (Tabel 3).
Yang menjadi pertanyaan adalah akankah upaya
ini menjadi masalah dalam penerapannya oleh
petani? Tentunya pemberian pupuk dengan dosis
tinggi akan mememerlukan biaya yang tinggi.
Hal ini akan memberatkan petani yang
umumnya memiliki keterbatasan dana. Ada cara
lain agar efisiensi dalam penggunaan pupuk
dapat diterapkan yaitu dengan menganalisis
tanah sebelum pemberian pupuk terhadap tanah.
Namun demikian akan muncul masalah pula
pada petani, karena akan sulit pelaksanaannya.
Petani yang jauh lokasinya dari institusi yang
menangani analisis menjadi kendala. Dengan
demikian diperlukan cara praktis untuk
menentukan dosis pemberian pupuk yang tepat.
Adanya peta kesuburan tanah dan penyuluh
sangat diperlukan. Peta kesuburan tanah untuk
setiap kecamatan atau kabupaten akan
memudahkan pelaksanaan penerapan dosis yang
dibutuhkan bagi tanaman lada. Penyuluh yang
handal di tingkat kecamatan untuk
menterjemahkan hasil penelitian akan membantu
petani berupaya lebih baik dalam mengelola
tanamannya.
Pendekatan dalam penggunaan dosis yang
tepat dapat diturunkan dengan memperhatikan
kandungan hara di tanah. Balai Penelitian Tanah
(2009) telah membagi 5 tingkat kesuburan tanah
untuk unsur N, P, K, Ca dan Mg di tanah.
Dengan pendekatan ke lima tingkatan ini dapat
dijadikan pedoman dalam upaya pemberian
pupuk. Bila kondisi N, P dan K di tanah sedang
Tabel 3. Pemupukan anjuran pada tanaman lada
(g/tahun) per pohon.
Umur
(tahun)
Dosis pupuk NPKMg Waktu
pemberian
<1 15-25 g Urea+10-15 g
TSP+5 g KCl+5 g kiserit
4 kali agihan,
interval 3 bulan
1-2 30-50 g Urea+20-30 g
TSP+10-30 g KCl+10 g
kiserit
4 kali agihan,
interval 3 bulan
2-3 100 g Urea+100 g
TSP+75 g KCl
4 kali agihan,
interval 3 bulan
>3 450 g Urea+450 g
TSP+450 gKCl
3 kali agihan,
interval 40 hari
Sumber : Wahid, (1984) ; Zaubin et al (1990);
Usman et al (1996)
Strategi Penelitian dan Pengembangan Menghadapi Dinamika Perkembangan Lada Dunia (ROSIHAN ROSMAN) 15
sampai tinggi yaitu N lebih dari 0,21 %, P lebih
dari 8 ppm, K lebih dari 21mg/100 g, Ca > 6
me/100 g tanah dan Mg > 1,1 me/100 g tanah,
maka dosis pupuk yang akan diberikan ke tanah
pada tanaman lada memungkinkan untuk
dikurangi. Pemberian pupuk dapat dikurangi
hingga ½ dosis (Tabel 3).
Cara lain yang bisa diupayakan dalam
meningkatkan kesuburan tanah adalah dengan
pola tanam. Selain meningkatkan kesuburan
tanah juga akan menambah pendapatan petani.
Hasil penelitian Dwiwarni dan Pujiharti (1994) di
Lampung pada lada dengan jarak 3 x 3 m, jenis
tanah podsolik merah kuning, ketinggian 100 m
di atas permukaan laut, dengan curah hujan 2160
mm/tahun. Pupuk yang digunakan tahun
pertama 480 g urea + 400 g TSP + 512 g KC + 256
g. Tahun kedua 960 g urea+960 g TSP+ 1056 g
KCL + 256 g kiserit. Tahun ketiga dan keempat
masing-masing 3980 g urea + 3980 g TSP + 4190 g
KCl + 1020 g kiserit. Pemupukan padi dan jagung
sesuai anjuran. Tanaman padi 900 g urea + 900 g
TSP + 300 g KCl. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa penanaman tanaman sela diantara
tanaman lada tidak berpengaruh negatif terhadap
pertumbuhan dan produksi lada. Sampai pada
tahun ketiga, pendapatan tertinggi tiap hektar
diperoleh dari pola tanam lada + (jagung-jagung)
diikuti lada + (padi-jagung). Pada penelitian ini
tidak diuraikan mengenai perubahan tingkat
kesuburan tanah. Namun adanya tanaman sela
menurut Dhalimi et al., (1996), dapat
memperbaiki iklim mikro. Selain itu, pupuk yang
diberikan untuk tanaman sela sebagian
dimanfaatkan pula oleh tanaman lada sehingga
pertumbuhannya lebih baik. Biomas tanaman
sela juga dapat sebagai sumber bahan organik.
Pengembangan pola tanam lada dengan
berbagai jenis tanaman lain sangat
memungkinkan. Berbagai pola tanam lada
dengan tanaman lain ada yang dilakukan yaitu
dengan kelapa, jahe, kunyit, temu lawak dan
kencur, papaya, pisang dan cabai.
STRATEGI PENGEMBANGAN LADA
INDONESIA DALAM MENGHADAPI
DINAMIKA LADA DUNIA
Semakin kuatnya persaingan lada dunia
mengharuskan Indonesia meningkatkan
produktivitas dan daya saing. Dinamika
perkembangan lada dunia perlu dipejari dan
diantisipasi kemungkinan dampaknya bagi
Indonesia. Sebetulnya, luas areal pengembangan
lada yang ada saat ini, sudah cukup luas, bahkan
bila mampu menghasilkan > 2,5 ton saja telah
dapat memenuhi kebutuhan lada dunia. Namun
berbagai permasalahan yang muncul belum
secara maksimal dapat diatasi. Hal ini terbukti
dari rendahnya produktivitas dan berkurangnya
jumlah petani lada. Jumlah tanaman yang
menghasilkan luasnya 113978 ha. Bila dari luasan
ini saja, dua tahun kedepan diusahakan
produktivitasnya mampu menghasilkan 1,5
ton/ha, maka produksi Indonesia akan meningkat
menjadi > 150000 ton. Namun, pada saat itu
Indonesia harus mampu bersaing dengan negara
lainnya di tingkat pasar.
Berdasarkan permasalahan lada dan
antusias sebagian besar petani untuk
mengembangkan tanaman lada, maka
pengembangannya perlu mendapat perhatian.
Arahan dan strategi yang mendukung
pengembangan sangat diperlukan. Untuk itu
beberapa hal yang perlu menjadi perhatian
dalam pengembangan lada adalah pentingnya
meningkatkan produktivitas dengan dukungan
varietas unggul dan teknologi yang tepat,
meningkatkan ketahanan petani lada,
meningkatkan kemampuan bersaing di pasar
dunia, memanfaatkan pasar domestik, dan
diversifikasi produk. Secara keseluruhan
pengembangan lada haruslah juga didukung oleh
sarana dan prasarana yang baik hingga
pemasaran hasil. Saat ini sarana jalan di sebagian
wilayah pertanaman masih perlu diperbaiki agar
pengangkutan ke tempat pengolahan maupun
pasar lebih efisien.
Strategi ke depan di bidang penelitian
adalah menyusun program penelitian yang
menekankan upaya meningkatkan produktivitas
lada, namun efisien dari segi biaya usahatani.
Upaya lain adalah meningkatkan kajian hasil
penelitian lada di berbagai wilayah sentra
produksi sebagai upaya sekaligus diseminasi
hasil penelitian untuk mendukung pengembang-
an lada. Hasil penelitian Karmawati dan Supriadi
(2007) bahwa pnyebab menurunnya produksi
16 Volume 15 Nomor 1, Juni 2016 : 11 -17
lada di Lampung adalah kurangnya adopsi
teknologi.
Dukungan institusi terkait, dalam upaya
mendukung pengembangan tanaman lada perlu
lebih ditingkatkan. Menurut Kusuma dan
Haryanto (2007), koordinasi yang berkesinam-
bungan dari semua pemangku kepentingan yang
bergerak dalam industri lada sangat diperlukan.
Untuk itu, dalam upaya mendukung
pengembangan lada di Indonesia, maka
penelitian yang perlu mendapat prioritas adalah
penelitian ke arah perbaikan tingkat kesuburan
tanah dan pengendalian hama dan penyakit yang
berbasis pada efisiensi biaya.
KESIMPULAN
Dalam menghadapi dinamika perkem-
bangan lada dunia serta meningkatkan daya
saing lada Indonesia, maka Indonesia perlu
menyusun suatu program yang terpadu dengan
menekankan pada upaya peningkatan
produktivitas dan mutu lada. Produktivitas lada
Indonesia masih dibawah 1000 kg/ha, sedangkan
negara lain sudah lebih dari 2500 kg/ha. Untuk
meningkatkan daya saing lada Indonesia di pasar
dunia, maka strategi yang diperlukan adalah (1)
menyusun program penelitian dan
pengembangan yang lebih spesifik lokasi dan
berbasis pada kondisi agroekologi, terutama sifat
fisik, kimia dan biologi tanah serta iklim daerah
pengembangan. (2) Mensosialisasikan hasil
penelitian dan menginformasikan dinamika
perkembangan lada dunia di tingkat lapang hasil
penelitian yang mampu meningkatkan
produktivitas tanaman, efisien dan
meningkatkan pendapatan petani lada.
DAFTAR PUSTAKA
Balai Penelitian Tanah. 2009. Analisis Kimia
Tanah, Tanaman, Air, dan Pupuk.
Petunjuk Teknis edisi 2. : 234 hlm.
Balfas R, I. Lakani, Samsudin dan Sukamto. 2007.
Penularan penyakit kerdil pada tanaman
lada oleh tiga jenis serangga vektor.
Jurnal Littri 13 (4) : 136-141.
Chaerani, S Koerniati dan D Manohara. 2013.
Analisis keragaman genetik Phytophthora
capsici asal lada (Piper nigrum L.)
menggunakan penanda molekuler. Jurnal
Littri 19 (1) : 23-32
Dhalimi A. 2011. Inovasi teknologi budidaya
tanaman dalam penerapan praktek
pertanian sehat pada lada. Makalah Orasi
pengukuhan Profesor Riset. Kementerian
Pertanian. 47 hlm.
Dhalimi. A, M. Syakir dan A Wahyudi. 1996. Pola
tanam lada. Monograf lada (1). P. 76-84.
Ditjenbun. 2012. Statistik Perkebunan Indonesia.
Lada 2011-2013. Direktorat Jenderal
Perkebunan.
Ditjenbun. 2013. Statistik Perkebunan Indonesia.
Lada 2012-2014. Direktorat Jenderal
Perkebunan. 41 hlm.
Ditjenbun. 2015. Statistik Perkebunan indonesia.
Lada. 2014-2016. Direktorat Jenderal
Perkebunan. 36 hlm.
Dwiwarni dan Pujiharti. 1994. Pemanfaatan lahan
di antara tanaman lada dengan tanaman
pangan. PembLittri 20 (1-2). P. 40-47
FAO, 2015. http://faostat.fao.org/site/567/
DesktopDefault.aspx?PageID=567#ancor
diunduh tgl 3-3-2015
Ferry Y, J Towaha dan K.D. Sasmita. 2010.
Perbaikan lahan bekas tambang timah :
Study kasus uji media campuran tanah
bekas tambang dengan beberapa macam
kompos untuk budidaya lada. Bul. Riset
Tanaman Rempah dan Aneka Tanaman
Industri 1(6):295-308.
Ferry Y, J. Towaha dan K.D. Sasmita. 2013.
Pemanfaatan kompos tanaman air
sebagai pembawa inokulan mikoriza
pada budidaya lada perdu di lahan bekas
tambang timah. Jurnal Littri 19 (1) : 15-22.
Hadipoentyanti, E. 2007. Karakteristik lada
mutan hasil iradiasi. Prosiding Seminar
Nasional Rempah Hlm. 67-70.
Harni, R dan Ibrahim. 2011. Potensi bakteri
endofit menginduksi ketahanan tanaman
lada terhadap infeksi Meloidogyne
incognita. Jurnal Littri 17 (3) : 118-123.
Harni, R. dan W. Amaria. 2012. Potensi bakteri
kitinolitik untuk pengendalian penyakit
busuk pangkal batang lada (Phytophthora
capsici). Bul. Riset Tanaman Rempah dan
Industri 3(1): 7-12.
Strategi Penelitian dan Pengembangan Menghadapi Dinamika Perkembangan Lada Dunia (ROSIHAN ROSMAN) 17
Karmawati, E. dan H. Supriadi. 2007. Keragaan
usahatani lada di Lampung. Prosiding
Seminar Nasional Rempah Hlm. 196-202.
Kasim R. 1990. Pengendalian penyakit busuk
pangkal batang secara terpadu. Bul.
Tanaman Industri 1 : 16-20.
Kemala, S. dan E. Karmawati. 2007. Keragaan
agribisnis lada di Bangka. Prosiding
seminar Nasional Rempah Hlm. 183-187
Kusuma, D.E.I. dan N. Haryanto. 2007. Potensi
dan permasalahan lada. Prosiding
seminar Nasional Rempah Hlm. 13-20
Listyati D. 2007. Perkembangan luas areal,
produksi dan prospek agribisnis lada
Indonesia. Prosiding seminar nasional
Rempah. Hlm. 346-351.
Manohara D. 1996. Penyakit busuk pangkal
batang dan pengendaliannya. Monograf
tanaman lada No 1. Balai Penelitian
Tanaman Rempah dan Obat. 115-119.
Manohara D., D. Wahyuno dan R. Noveriza.
2005. Penyakit busuk pangkal batang
tanaman lada dan strategi
pengendaliannya. Perkembangan
Teknologi Tanaman Rempah dan Obat
17(2):41-57
Miftakhurohmah, M. Mariana dan D. Wahyuno.
2016. Deteksi piper yellow mottle virus
(PYMoV) penyebab penyakit kerdil pada
tanaman lada secara Polymerase Chain
Reaction (PCR). Bul Littro 27 (1) : 77-84.
Nuryani, Y. 1996. Klasifikasi dan karakteristik
tanaman lada (Piper nigrum L.). Monograf
tanaman lada No 1. Balai Penelitian
Tanaman Rempah dan Obat. Hlm. 33-46.
Nuryani, Y., R.T. Setiyono dan H. Supriadi.
Adaptabilitas nomor-nomor lada hibrida
tahan penyakit busuk pangkal batang.
Prosiding Seminar Nasional Rempah:
Hlm. 245-249.
Rosman, R. 2014. Model simulasi kelayakan lahan
pengembangan lada organic. Prosiding
Seminar Nasional Pertanian Organik.
Badan Litbang Pertanian. Hlm. 77-82.
Rosman, R., P. Wahid, dan R. Zaubin. 1996.
Pewilayahan pengembangan tanaman
lada di Indonesia. Monograf Tanaman
Lada. Monograf 1 : 67-75.
Setiawan dan A Wahyudi. 2014. Pengaruh
giberelin terhadap pertumbuhan
beberapa varietas lada untuk penyediaan
benih secara cepat. Bul. Littro 25(2).:111-
118.
Setiyono, R.T. dan Nursalam. 2007. Ketahanan
lada hibrida LH 4-5-5 dan LH 6-2
terhadap penyakit busuk pangkal batang.
Prosiding seminar Nasional Rempah.
Hlm. 79-86.
Setiyono, R.T., E.T. Bambang dan L. Udarno.
2010. Evaluasi daya tahan lada hibrida
terhadap penyakit busuk pangkal batang
(BPB). Buletin Ristri 1(5) : 261-270.
Usman, R. Zaubin dan P. wahid. 1996. Aspek
pemeliharaan dan budidaya lada. Balai
Penelitian Tanaman Rempah dan Obat.
Monograf Tanaman Lada 1: 85-92.
Wahid, P. 1996. Sejarah perkembangan dan
daerah penyebarannya. Balai Penelitian
Tanaman Rempah dan Obat. Monograf
Tanaman Lada 1:1-11.
Wahid, P., I. Las dan R. Zaubin. 1985. Peta
Kesesuaian Iklim dan Lahan untuk
Tanaman Lada. Balai Penelitian Tanaman
Rempah dan Obat.
Wahid, P., R Rosman dan Y. Baharsyah, 1993,
Pewilayahan pembangunan pertanian
Kalimantan. Bul. PERHIMPI 1(2).
Wahid, P. 1984. Pengaruh naungan dan
pemupukan terhadap pertumbuhan dan
produksi lada (Piper nigrum L.). Seminar
bulanan Balittri Tanjung Karang, 11
Februari 1984.
Wahyuno, D., D. Manohara dan R.T. Setiyono.
2009. Ketahanan beberapa lada hasil
persilangan terhadap Phytophthora capsici
asal lada. Jurnal Littri 15 (2) : 77-83.
Yuhono. 2007. Sistim agribisnis lada dan strategi
pengembangan. Jurnal Litbang Pertanian,
26(2):76-81.
Zaubin R, P Wahid dan Y. Nuryani. 1990.
Pengaruh pemupukan N,P dan K
terhadap pertumbuhan dan hasil lada di
Bangka. Pembr Littri 16(1) : 5-9.
Perspektif Vol. 15 No.12 /Jun 2016. Hlm 18 -30 DOI: http://dx.doi.org/10.21082/psp.v15n1.2016.18-30
ISSN: 1412-8004
18 Volume 15 Nomor 1, Jun 2016 : 18-30
PROSPEK PENGEMBANGAN BIOINSEKTISIDA
NUCLEOPOLYHEDROVIRUS (NPV) UNTUK PENGENDALIAN HAMA
TANAMAN PERKEBUNAN DI INDONESIA
Prospect of Development of Nucleopolyhedrovirus (NPV) Bioinsecticide Against Insect
Pests of Estate Crops in Indonesia
SAMSUDIN Balai Penelitian Tanaman Industri dan penyegar
Indonesian Research Institute for Industrial and Beverage Crops
Jalan Raya Pakuwon Km 2, Parungkuda, Sukabumi 43357, Indonesia
E-mail: [email protected]
ABSTRAK
Penggunaan insektisida kimia untuk mengendalikan
hama tanaman perkebunan terbukti kurang efektif,
tidak praktis, mahal, dan mencemari lingkungan.
Virus patogen serangga (VPS) terutama
nucleopolyhedrovirus (NPV) memiliki potensi untuk
dikembangkan menjadi bioinsektisida yang efektif,
efesien dan ramah lingkungan. NPV memiliki
kemampuan bertahan di alam karena partikel virusnya
terbungkus oleh polihedra dan mampu menyebar
secara alami melalui proses penularan vertikal dan
horisontal. Larva yang mati terinfeksi NPV sering
ditemukan menggantung dengan kedua tungkai semu
bagian abdomen menempel pada daun atau ranting
tanaman. Penelitian untuk meningkatkan virulensi,
spektrum inang dan persistensinya telah dilakukan
untuk mengatasi beberapa kelemahan NPV apabila
dikembangkan menjadi bioinsektisida. Beberapa NPV
yang menginfeksi hama tanaman perkebunan dan
berpotensi untuk dikembangkan di Indonesia, antara
lain: Spodoptera litura NPV (SlNPV), S. exigua NPV
(SeNPV), Helicoverpa armigera NPV (HaNPV), Sethotosea
asigna NPV (SaNPV), Hyposidra talaca NPV (HtNPV)
dan Maenas maculifascia NPV (MmNPV). Berdasarkan
beberapa keunggulan NPV dibandingkan dengan
insektisida kimia, maka pengembangan bioinsektisida
NPV untuk pengendalian hama tanaman perkebunan
di Indonesia memiliki prospek yang sangat baik.
Kata kunci: Nucleopolyhedrovirus, bioinsektisida,
hama, tanaman perkebunan.
ABSTRACT
Chemical insecticides for estate crop pests control are
ineffective, impractical, expensive, and causing
environmental pollutions. The entomopathogenic virus
(EPV) mainly the nucleopolyhedrovirus (NPV) can be
developed as an effective, efficient, and
environmentally friendly biopesticide. NPV can be
survived in the field in the form of polyhedra and
spread naturally through the vertical and horizontal
transmission process. The infected larvae usually hang
by pseudolegs to the leaves or entrees. Research to
increase virulence, host spectrum and its persistence
has been done to overcome some weaknesses of NPV if
developed as biopesticide. Some NPV isolates that
infect the estate crop pests and potential to be
developed in Indonesia, among others: Spodoptera litura
NPV (SlNPV), S. exigua NPV (SeNPV), Helicoverpa
armigera NPV (HaNPV), Sethotosea asigna NPV
(SaNPV), Hyposidra talaca NPV (HtNPV) and Maenas
maculifascia NPV (MmNPV). Based on several
advantages of NPV compared with the chemical
insecticides, the development of NPV biopesticide for
controlling estate crop pests in Indonesia has very
good prospects.
Keyword: Nucleopolyhedrovirus, bioinsecticide, pests,
estate crops.
PENDAHULUAN
Upaya pengendalian hama tanaman
perkebunan secara teknis menghadapi masalah
karena karakter tanaman perkebunan umumnya
berupa perdu dan pohon besar. Penggunaan
insektisida kimia selain membutuhkan volume
yang cukup besar, juga tidak efektif untuk
pengendalian hama yang menyerang bagian
kayu, ranting atau pucuk. Pemanfaatan musuh
Prospek Pengembangan NPV Untuk Pengendalian Hama Tanaman Perkebunan (SAMSUDIN) 19
alami merupakan salah satu teknologi
pengendalian hama tanaman perkebunan yang
diharapkan akan lebih efesien dan efektif. Salah
satu musuh alami yang berpotensi untuk
dikembangkan sebagai agens hayati adalah virus
patogen serangga (VPS), karena memiliki tingkat
persistensi di alam dalam waktu yang cukup
lama dan dapat berkembang secara alamiah
melalui proses penularan baik secara vertikal
maupun horisontal.
Pemanfaatan VPS untuk pengendalian
hama tanaman mulai dikenal pada awal tahun
1900-an. Beberapa jenis Baculovirus telah
digunakan untuk pengendalian hama dari
kelompok Hymenoptera, Lepidoptera dan
Coleoptera pada tanaman kelapa, kapas dan
kubis (Bonning dan Hammock, 1996). Pada tahun
1943, nucleopolyhedrovirus (NPV) dimanfaatkan
untuk pengendalian hama Gilpinia hercyniae dan
mampu menekan populasi hama tersebut sampai
90% (Cunningham dan Entwistle, 1981). Pada
pertengahan tahun 1960 ditemukan nonoccluded
baculovirus yang merupakan patogen kumbang
badak Oryctes rhinoceros dari Malaysia (Huger,
1966). Virus tersebut digunakan untuk
mengendalikan kumbang kelapa di Kepulauan
Fiji, dan berhasil mengurangi populasi antara 40 -
90%, sehingga 4 - 6 tahun kemudian kerusakan
tanaman kelapa di seluruh kepulauan tersebut
selalu di bawah 20% (Bedford, 1981).
Nucleopolyhedrovirus (NPV) merupakan
VPS yang paling penting di antara famili
Baculoviridae, sebab sebagian besar diketahui
sebagai patogen dari berbagai hama tanaman,
khususnya pada stadia larva Lepidoptera
(Murillo et al., 2003). Beberapa negara maju telah
memproduksi bioinsektisida NPV dengan
menggunakan teknologi tinggi secara massal,
akan tetapi harga produknya masih sangat mahal
(Stair dan Fraser, 1981; Bull et al., 1979). Young
(1989) mengemukakan beberapa masalah yang
berkaitan dengan produksi dan pemanfaatan
bioinsektisida VPS, antara lain: permintaan pasar
yang masih kecil, regulasi dari pemerintah belum
ada, biaya produksi mahal, belum ada
standarisasi produk dan teknologi aplikasinya
yang masih terbatas. Oleh karena itu Lacey et al.
(2001) menyatakan bahwa bioinsektisida NPV ini
sangat ideal untuk dikembangkan dalam skala
kecil di negara-negara berkembang, karena
sumber daya manusia yang banyak dan murah,
serta luasan areal lahan garapan yang kecil.
Tujuan dari penulisan ini adalah untuk
menguraikan bioekologi NPV, hasil-hasil
penelitian tentang pemanfaatan NPV untuk
pengendalian hama, serta prospek pemanfaatan
dan pengembangannya menjadi bioinsektisida
untuk pengendalian hama perkebunan di
Indonesia.
BIOEKOLOGI NPV
Karakter Morfologi NPV
NPV merupakan salah satu anggota genus
Baculovirus, famili Baculoviridae. Berdasarkan
tipe morfologi luar baculoviridae terdiri atas 3
subgroup yaitu: nuclear polyhedrosis virus atau
nucleopolyhedrovirus (NPV), granulosis virus
atau granulo-virus (GV) dan non-occluded
baculovirus (NOB) yang tidak memiliki kristal
protein (Tanada dan Kaya, 1993; Narayanan,
2004). Kristal protein dari NPV berbentuk segi
banyak (polyhedral) dengan diameter 0.2 – 20.0
μm yang biasanya dapat dilihat di bawah
mikroskop cahaya biasa, dan umumnya
mengandung lebih dari satu virion (Pionar dan
Thomas, 1984).
Ciri khas NPV menurut Tinsley dan Kelly
(1985) adalah adanya nukleokapsid berbentuk
batang yang mengandung untaian ganda asam
deoksiribonukleat (DNA) dengan panjang 250–
400 nm dan lebar 40–70 nm. Berdasarkan jumlah
nukleokapsid, NPV dibedakan menjadi dua
kelompok, yaitu single nukleokapsid (SNPV) dan
multi nucleokapsid (MNPV) (Washburn et al.,
2003; Inceoglu et al., 2006). Pada kelompok SNPV
tiap envelop berisi satu nuckleokapsid,
sedangkan pada MNPV berisi 2 - 200
nukleokapsid (Kalmakoff dan Ward, 2003).
Menurut Ignoffo dan Couch (1981) pada
umumnya SNPV mempunyai inang yang lebih
spesifik dibandingkan dengan MNPV. Ciri khas
lain dari NPV adalah partikel virus atau
virionnya terbungkus oleh selubung protein
(occlusion bodies) yang disebut dengan polihedra
(Tanada dan Kaya, 1993). Polihedra merupakan
karakter morfologi NPV yang dapat bertahan di
alam dalam waktu yang cukup lama. Menurut
20 Volume 15 Nomor 1, Jun 2016 : 18-30
Okada (1977) NPV dalam bentuk polihedra
tersebut dapat bertahan di dalam tanah selama 3
tahun.
Siklus Hidup NPV
NPV telah ditemukan menginfeksi lebih dari
600 spesies serangga (Beard et al., 1989; Woo et al.,
2007), terutama pada ordo Lepidoptera sebanyak
150 spesies (Tanada dan Hess dalam Adam dan
Bonami, 1991). Sebagian besar NPV bersifat
spesifik inang, oleh sebab itu penamaan NPV
umumnya disesuaikan dengan nama inang
dimana pertama kali diisolasi dan diidentifikasi
(CAB, 2000).
NPV memperbanyak diri di dalam inti sel
(nucleus) serangga inang. Untuk dapat
menginfeksi sel serangga inang, polihedra NPV
harus tertelan bersama dengan pakan yang
dikonsumsinya melalui alat mulut, kemudian
pada saluran pencernaan akan menginfeksi inti
sel inang (Adam dan Bonami, 1991). Menurut Li
dan Blissard (2009) gen gp64 yang terdapat pada
protein selubung NPV memegang peranan
penting sebagai reseptor pengikat sel serangga
inang yang kinerjanya dimediasi oleh kondisi pH
rendah dan masuk ke dalam sel inang melalui
proses endositosis.
Proses infeksi NPV pada sel inang melalui
dua tahap. Pada tahap pertama (primer) NPV
menyerang usus tengah (midgut), kemudian
pada tahap selanjutnya (sekunder) akan
menyerang sel-sel dari organ tubuh yang lain,
seperti sel darah (leucosit dan limfosit), trakea,
hypodermis, dan sel lemak (Ignoffo and Couch,
1981). Proses infeksi primer terjadi karena pada
kondisi alkalis pada usus tengah badan inklusi
akan melepas virion dari selubung proteinnya
(Etebari et al., 2007). Virion-virion tersebut
kemudian akan menembus jaringan peritrofik
dan mikrovili, dan akan memisahkan sel-sel
kolumnar dan goblet. Kemudian pada infeksi
sekunder, virion-virion yang baru terbentuk akan
menginfeksi seluruh sel jaringan serangga.
Pembentukan badan inklusi (polihedra) terjadi
sebagai hasil infeksi sekunder pada jaringan sel
darah, trakea, hypodermis, dan sel lemak
(Kalmakoff dan Ward, 2003). Pada akhir infeksi
tubuh larva menjadi rapuh dan hancur dengan
mengeluarkan cairan yang berisi partikel virus.
Pupa yang berasal dari larva yang terinfeksi NPV
menunjukkan adanya perubahan warna tubuh
menjadi kehitaman dengan tekstur rapuh dan
mengeluarkan cairan keruh (Samsudin dan
Santoso, 2014). Gambar 1 menunjukkan siklus
hidup NPV di alam dan menjadi cara penularan
horisontal dari serangga yang terinfeksi ke
serangga lain yang sehat.
Gambar 1. Proses penularan NPV secara
horisontal. (Sumber: Samsudin,
2011)
Gejala Infeksi NPV
Serangga inang yang terinfeksi NPV akan
mengalami abnormalitas secara morfologi,
fisiologi dan perilaku (Pionar dan Thomas, 1984).
Menurut Adam and McClintock dalam Adam dan
Bonami (1991) di alam kematian larva akibat
terinfeksi NPV sering ditemukan dengan tanda
tubuh larva menggantung dengan kedua tungkai
semu bagian abdomen menempel pada daun
atau ranting tanaman membentuk huruf ‚V‛
terbalik. Oleh karena itu Hoffmann dan
Frodsham (1993) menyatakan bahwa penyakit
yang diakibatkan oleh infeksi NPV sering disebut
dengan penyakit layu ulat (caterpillar wilt) atau
penyakit ulat ujung pohon (tree top) (Gambar 2).
Waktu yang dibutuhkan NPV untuk
mematikan inangnya dipengaruhi oleh banyak
faktor, antara lain: umur inang, suhu, dan jumlah
polihedra yang tertelan. Isolat-isolat virus yang
memiliki virulensi tinggi mampu mematikan
larva inangnya dalam waktu 2 – 5 hari, tetapi
isolat yang kurang virulen membutuhkan 2 – 3
minggu (Granados dan William, 1986). Menurut
Narayanan (2004) infeksi NPV juga dapat terjadi
Terinfeksi
Larva sehat
Partikel
Terinfeksi lanjut
Proses infeksi
Prospek Pengembangan NPV Untuk Pengendalian Hama Tanaman Perkebunan (SAMSUDIN) 21
pada larva instar awal akibat kontaminasi pada
telur. Proses penularan NPV melalui telur
serangga inang merupakan salah bentuk
penularan alamiah secara vertikal.
Gambar 2. Gejala infeksi NPV pada larva
serangga inang (Sumber: Foto
Samsudin)
PENELITIAN UNTUK MENINGKATKAN
KINERJA NPV DALAM
MENGENDALIKAN HAMA
Kelemahan NPV apabila dikembangkan
menjadi bioinsektisida, antara lain:
membutuhkan waktu relatif lama untuk
mematikan inangnya, sehingga serangga yang
terinfeksi masih dapat menimbulkan kerugian
(Bonning dan Hammock, 1996; Dushoff dan
Dwyer, 2001), memiliki inang yang spesifik,
sehingga terlalu mahal untuk dikembangkan
dalam skala industri (McCutchen et. al., 1991) dan
cepat menjadi tidak aktif di lapangan akibat sinar
ultra violet (UV) dari matahari (Ignoffo et al.,
1991; Monobrullah, 2003; McIntosh et al., 2004;
Mondragon et al., 2007; Mehrvar et al., 2008).
Penelitian untuk mempercepat kinerja NPV
dan meningkatkan virulensi serta kisaran
inangnya telah dilakukan dengan memanfaatkan
teknologi biologi molekuler. Rekayasa genetik
pada Autographa californica NPV (AcNPV) dengan
membuang gen EGT dapat mengurangi aktifitas
makan dari S. frugiperda yang terinfeksi virus
rekombinan tersebut dan mematikan 30% lebih
cepat dari larva yang terinfeksi wild-type AcNPV
(O’Reilly dan Miller, 1991), sedangkan Lymantria
dispar NPV (LdNPV) yang dibuang gen EGT
dilaporkan mematikan larva L. dispar rata-rata
20% lebih cepat dibandingkan yang terinfeksi
LdNPV asalnya (Treacy, 1999). Rekombinan
AcNPV yang mengandung gen pengkode racun
syaraf (neurotoxin) kalajengking Androctonus
australis (AaIT) (rAcNPV-AaIT) dapat membunuh
serangga Lepidoptera kurang dari setengah
waktu yang dibutuhkan oleh AcNPV asalnya dan
mampu menghentikan makan 8-10 jam sebelum
mati (McCutchen et. al., 1991). Virus rekombinan
Bombyx mori NPV (rBmNPV) yang
mengekspresikan hormon diuretik Manduca sexta
dapat mematikan ulat sutera rata-rata 20% lebih
cepat daripada yang terinfeksi BmNPV asalnya
(Maeda, 1989). Gen yang mengkodekan enzim
juvenil hormone esterase (JHE) telah berhasil
disisipkan pada genom AcNPV dan rekombinan
AcNPV-JHE ini mampu menurunkan makan
sampai 66% dan mematikan larva T. ni 20% - 30%
lebih cepat dibandingkan dengan AcNPV asalnya
(Hammock et al., 1990; Bonning dan Hammock,
1996).
Beberapa gen yang menentukan kisaran
inang telah berhasil diidentifikasi dan diisolasi.
Salah satunya adalah gen host range factor 1 (hrf-1)
yang bertanggung jawab dalam menentukan
kisaran inang diisolasi dari LdNPV. Rekombinan
AcNPV-hrf-1 mampu menormalkan sintesis
protein dan meningkatkan keberhasilan replikasi
virus pada kultur sel line Ld652Y dan pada larva
L. dispar. Hasil ini menunjukkan bahwa hrf-1
berperan dalam keberhasilan replikasi dalam
kultur sel dan dapat memperluas kisaran inang
AcNPV (Ishikawa et al., 2004). Spenger et al.
(2002) melaporkan bahwa protein pembungkus
GP64 pada AcNPV menentukan aktifitas
permukaan partikel virus terikat pada sel inang
dan sangat penting dalam proses masuknya virus
pada sel inang. Penyisipan gen gp64 rekombinan
ini pada beberapa baculovirus dapat memperluas
kisaran inangnya dan meningkatkan daya tahan
partikel NPV terhadap sinar ultra violet di
lapang.
Hasil-hasil penelitian tentang bahan yang
menjadi UV protektan NPV telah mampu
menjawab salah satu kelemahan bioinsektisida
NPV setelah diaplikasikan. Beberapa bahan telah
diuji untuk mempertahankan persistensi NPV
terhadap paparan sinar ultraviolet (UV), antara
lain: pencerah fluorescen (fluorescent brightener)
pada Spodoptera frugiperda NPV (SfNPV) (Hamm
22 Volume 15 Nomor 1, Jun 2016 : 18-30
et al., 1994; Martinez et al., 2003; Mondragon et al.,
2007), Lymantria dispar NPV (LdNPV) (Dougherty
et al., 2006), S. exigua NPV (SeNPV) (Kao et al.,
1991; Murillo et al., 2003; Lasa et al., 2007),
Titanium dioksida (TiO2) pada Helicoverpa zea NPV
(HzNPV) (Farrar et al., 2004), oksida besi pada
Homona magnanima GV (HomaGV) (Asano, 2005),
Congo red dan Tinopal LPW pada L. dispar NPV
(LdMNPV) (Shapiro dan Shepard, 2008), adjuvan
pada H. armigera NPV (HaNPV) (Mehrvar et al.
2008), ekstrak teh hijau pada S. exigua NPV
(SeNPV) (Shapiro et al., 2008), ekstrak teh, kopi
dan kakao pada S. exigua (SeNPV) (El Salamouny
et al., 2009), dan filtrat bengkuang pada S. exigua
(SeNPV) (Samsudin et al., 2011).
Hasil penelitian Martinez et al. (2003)
mendapatkan 5 bahan pelindung partikel NPV
dari paparan sinar UV dan mampu
meningkatkan prevalensi kematian larva 87,7 –
100%, yaitu: Blankophor BBH, Calcoflour M2R,
Leucophor AP, Leucophor SAC dan Leucophor
UO. Lasa et al. (2007) melaporkan bahwa
penambahan 0.1% Leucophor AP pada formulasi
SeNPV secara nyata meningkatkan mortalitas
larva S. exigua. Hasil penelitian Asano (2005)
menunjukkan bahwa penambahan oksida besi
(iron oxide) 1 - 4 mg/ml pada formula biopestisida
granulovirus (GV) dapat menurunkan inaktivasi
GV akibat penyinaran UV dengan perbandingan
1/6 sampai 1/18 dibandingkan kontrol. Shapiro
dan Shepard (2008) melaporkan bahwa
penambahan Congo red dan Tinopal LPW dapat
mengurangi nilai LC50 dari Lymantria dispar NPV
(LdMNPV) masing-masing 26 dan 360 kali lipat
daripada kontrol. Sementara itu hasil penelitian
Farrar et al. (2004) menunjukkan bahwa Titanium
dioksida (TiO2) dapat memantulkan cahaya UV
dan dapat meningkatkan persistensi polihedra
Helicoverpa zea nucleopolyhedrovirus (HzNPV) di
lapangan.
Upaya lainnya untuk meningkatkan kinerja
bioinsektisida NPV di lapangan dilakukan
dengan cara menambahkan bahan pemicu kinerja
(enhancer) (Lacey et al., 2001; Suhas et al., 2009;
Samsudin dan Santoso, 2012) dan
mengkombinasikan dengan bahan yang bekerja
secara sinergis (Dodin et al., 2001; Samsudin,
2001; Arifin, 2006). Hasil beberapa penelitian
menunjukkan bahwa NPV bekerja secara sinergis
dengan ekstrak biji mimba (Azadirachta indica)
(Dodin et al., 2001; Kumar et al., 2007), nematoda
Steinernema carpocapsae (Gothama et al., 1996),
bakteri Pseudomonas fluorescen (Jeyarani et al.,
2005) dan jamur Metarhizium anisopliae (Ramle et
al., 2005).
PENELITIAN PEMANFAATAN NPV
UNTUK MENGENDALIKAN HAMA
PERKEBUNAN DI INDONESIA
Penelitian tentang pemanfaatan NPV untuk
mengendalikan hama tanaman perkebunan di
Indonesia sudah mulai dilakukan sejak tahun
1980-an. Beberapa hasil penelitian menunjukkan
bahwa NPV efektif mengendalikan ulat grayak
Spodoptera litura dan S. exigua yang merupakan
hama utama tanaman tembakau dan kapas di
Indonesia. Arifin (1988) melaporkan bahwa
penggunaan S. litura NPV (SlNPV) dengan
konsentrasi 2,3 x 107 PIBs/ml dan volume semprot
sebesar 50 ml/m2, efektif untuk mengendalikan S.
litura instar 1-3, dengan waktu kematian awal
pada 6 hari setelah aplikasi (hsa) dan kematian
sebesar 80% terjadi pada 12 hsa. Arifin dan Bedjo
(2007) juga melaporkan bahwa dua isolat SlNPV
yaitu isolat B01 dan B02 dengan dosis 1,5 X 1012
PIBs/ha mampu menurunkan populasi S. litura
antara 90,0 – 94% pada 6 hsa. Shepard et al. (1996)
melaporkan penemuan dua isolat S. exigua NPV
(SeNPV) lokal Indonesia yang memiliki potensi
untuk dikembangkan menjadi bioinsektisida.
Hasil pengujian dua isolat tersebut yang
dilakukan oleh Samsudin (1999) menunjukkan
bahwa keduanya sangat patogenik terhadap
larva S. exigua di Laboratorium, dengan nilai LC50
terhadap larva instar 3 sebesar 9.9 x 104 PIBs/ml
dan LT50 selama 5 hari. Bahkan, SeNPV tersebut
saat ini telah dikembangkan menjadi
bioinsektisida dalam bentuk formula tepung
(powder) yang diperkaya dengan UV protectant
dan enhancer (Samsudin et al., 2011; Samsudin
dan Santoso, 2012).
Selain SlNPV dan SeNPV, pemanfaatan
Helicoverpa armigera NPV (HaNPV) untuk
pengendalian hama penggerek buah kapas dan
tembakau juga telah dilakukan. Beberapa isolat
HaNPV lokal Indonesia efektif mampu
mengendalikan H. armigera pada tanaman
Prospek Pengembangan NPV Untuk Pengendalian Hama Tanaman Perkebunan (SAMSUDIN) 23
kedelai, kapas dan tembakau (Asri et al., 2003;
Bedjo, 2011; 2012). Penelitian dan pemanfaatan
VPS untuk pengendalian ulat api Sethotosea asigna
pada tanaman kelapa sawit sudah dilakukan
(Samsudin, 2012). Pusat Penelitian Kelapa Sawit
(PPKS) Medan saat ini telah menggunakan β-
nudaurelia virus dan Multiple Nucleopolyhedrovirus
(MNPV) untuk pengendalian ulat api khususnya
jenis S. asigna. Penggunaan kedua jenis virus
tersebut mampu menurunkan populasi S. asigna
sampai 98% (Sudharto et al., 2011). Menurut Azis
(2009) virus β-nudaurelia paling efektif
mengendalikan ulat api dan sangat potensial
untuk dikembangkan sebagai bioinsektisida
pengendali ulat api pada tanaman kelapa sawit
di Indonesia.
Beberapa penelitian tentang pemanfaatan
NPV untuk pengendalian hama penting tanaman
perkebunan di Indonesia lainnya masih pada
tahap laboratorium. Seperti virus ulat jengkal
pada tanaman teh Hyposidra talaca NPV (HtNPV)
dan virus ulat bulu pada tanaman Ylang-ylang
Maenas maculifascia NPV (MmNPV). Wijanarko
(1998) telah meneliti gejala infeksi HtNPV pada
ulat jengkal H. talaca. Sedangkan Atmadja et al.
(2009) melaporkan bahwa MmNPV efektif
mengendalikan larva instar 3 dari M. maculifascia
sampai 68,3% di laboratorium.
PROSPEK PEMANFAATAN DAN
PENGEMBANGAN NPV UNTUK
PENGENDALIAN HAMA PERKEBUNAN
DI INDONESIA
Pemanfaatan virus patogen serangga (VPS)
untuk pengendalian hama perkebunan
sebenarnya bukan merupakan hal yang baru.
Sejak tahun 1950an beberapa negara telah mulai
memproduksi bioinsektisida NPV untuk
mengendalikan hama tanaman hutan dan
perkebunan. Glare et al. (2003) melaporkan
bahwa bioinsektisida berbahan Lymantria dispar
NPV (LdNPV) dengan merk Gypchek diproduksi
di Amerika Serikat sejak tahun 1950 dan dipakai
pada lahan sekitar 20.000 hektar. Sedangkan
Disparvirus yang juga berbahan LdNPV
diproduksi di Canada sejak tahun 1995 dan
digunakan pada lahan sekitar 1.300 hektar.
Sementara itu Virin-Ensh diproduksi di Rusia
sejak tahun 1983 dan Biola diproduksi di
Republik Cehnya sejak tahun 1996. Beberapa
jenis NPV yang telah dikembangkan sebagai
agens hayati hama perkebunan di dunia terlihat
dalam Tabel 1.
Sejalan dengan tuntutan pasar global
terhadap produk-produk komoditas perkebunan
saat ini, maka teknologi pengendalian hama
tanaman perkebunan dengan mengandalkan
pestisida kimia sintetik sudah tidak relevan lagi.
Tabel 1. NPV yang dikembangkan sebagai bioinsektisida untuk pengendalian hama tanaman
perkebunan
Komoditas Hama sasaran Virus Nama produk
Tembakau
Kapas
Teh
Kelapa sawit
Ylang ylang
Spodoptera litura
Spodoptera exigua
Helicoverpa zea
Helicoverpa armigera
Heliothis virescens
Helicoverpa zea
Helicoverpa armigera
Spodoptera littoralis
Hyposidra talaca
Buzura suppessaria
Setothosea asigna
Maenas maculifascia
Lymantria dispar
SlNPV
SeNPV
HzNPV
HaNPV
HvNPV
HzNPV
HaNPV
SltNPV
HtNPV
BsNPV
SaMNPV
MmNPV
LdNPV
VITURA
Spod-X, VIREXI
Gemstar LC, Elcar
HELICOVEX
Biotrol
Gemstar LC, Elcar
HELICOVEX
Spodopterin
*
*
*
*
Gypcheck, Disparvirus
Keterangan: (* : belum ada nama produk)
24 Volume 15 Nomor 1, Jun 2016 : 18-30
Menurut Chandler et al. (2011) penggunaan
biopestisida akan memegang peranan penting
dalam strategi tersebut karena secara nyata akan
meminimalkan penggunaan pestisida kimia.
Erayya et al. (2013) menyatakan bahwa NPV akan
menjadi biopestisida yang paling penting di masa
yang akan datang. Sementara itu, Beas-Catena et
al. (2014) menyatakan bahwa bioinsektisida NPV
memiliki peluang untuk menggantikan
insektisida kimia, karena selain ramah
lingkungan, juga dapat diproduksi massal,
diformulasi, dikemas, disimpan dan dipasarkan
sebagaimana pestisida kimia.
Beberapa keunggulan NPV dibandingkan
dengan insektisida kimia, antara lain: bersifat
spesifik inang sehingga tidak mengganggu
organisme bukan sasaran (Samsudin, 1999),
dapat menular secara horisontal dan vertikal
(Vilaplana et al., 2010) dapat ditularkan oleh
predator yang telah memangsa inang yang
terinfeksi (Gupta et al., 2014), mampu bertahan di
permukaan tanah selama beberapa tahun (Glare
et al., 2003), efektif menanggulangi resistensi
hama terhadap insektisida kimia (Duraimurugan
dan Regupathy, 2005), mampu melestarikan
musuh alami dan akan meningkatkan
biodiversitas (Young, 1989; Lacey et al., 2001;
Armenta et al., 2003), dapat diintegrasikan
dengan teknologi pengendalian lainnya
(Gothama et al., 1996; Castillejos et al., 2002;
Takatsuka dan Kunimi, 2002), bahkan bekerja
sinergis apabila dipadukan dengan pestisida
nabati (Kumar et al., 2007).
Upaya pengembangan bioinsektisida NPV
untuk pengendalian hama tanaman perkebunan
di Indonesia merupakan peluang sekaligus
menjadi tantangan bagi para peneliti. Indonesia
merupakan negara yang memiliki keragaman
hayati yang melimpah, sehingga kegiatan
eksplorasi dari hama-hama utama tanaman
perkebunan memiliki peluang untuk
mendapatkan isolat-isolat NPV baru yang lebih
virulen. Menurut Arifin (2010) inti dari proses
produksi bioinsektisida NPV ada 3 tahapan
kegiatan, yaitu: a) pembiakan masal serangga
inang dengan menggunakan pakan buatan, b)
perbanyakan NPV secara in vivo menggunakan
larva serangga inang, dan 3) pemformulasian
bioinsektisida.
Pembiakan massal serangga inang
merupakan tantangan yang paling berat dan
sulit, karena tidak semua serangga hama utama
tanaman perkebunan dapat dibiakkan secara
massal menggunakan pakan buatan. Menurut
Elvira et al. (2010) efesiensi dalam perbanyakan
massal ini merupakan kunci utama produksi
bioinsektisida NPV secara komersial. Tantangan
lain yang sering dihadapi dalam proses
perbanyakan NPV secara in vivo adalah
menghindari adanya kontaminasi mikroba
saprofit (Young, 1989; Lasa et al., 2008), karena
NPV tidak menghasilkan antibiotik yang dapat
menghambat tumbuhnya mikroba lain.
Pengembangan produk bioinsektisida NPV
dalam skala komersial juga harus
memperhatikan beberapa syarat, sebagaimana
yang disampaikan oleh Gasic dan Tanovic (2013),
yaitu: ekonomis diproduksi, memiliki stabilitas
persistensi di penyimpanan, aktifitas residual
yang tinggi, mudah diaplikasikan, dapat
dicampur dan digunakan serta memiliki
konsistensi keefektifan untuk mengendalikan
hama sasaran.
Pengembangan bioinsektisida NPV untuk
mengendalikan Spodoptera litura, S. exigua, dan
Helicoverpa armigera dalam skala luas sebenarnya
sudah dapat dilakukan di Indonesia. Isolat-isolat
NPV yang virulen untuk ketiga hama tersebut
telah ada dan teknologi perbanyakan massal
serangga inang, perbanyakan massal NPV dan
formulasinya juga telah tersedia (Arifin, 2010;
Bedjo, 2011; Samsudin, 2011). Beberapa masalah
yang mungkin akan dihadapi dalam upaya
pengembangan bioinsektisida NPV dalam skala
besar antara lain: permintaan pasar yang masih
kecil, regulasi dari pemerintah belum ada, biaya
produksi mahal, belum ada standarisasi produk
dan teknologi aplikasinya yang masih terbatas.
Oleh sebab itu keberlanjutan program ini akan
terjamin apabila dilakukan secara kolektif
melalui kelompok-kelompok tani yang difasilitasi
oleh pemerintah. Upaya untuk mengakselerasi
pengembangan bioinsektisida NPV tersebut
adalah mendorong pihak pemerintah melakukan
sosialisasi kepada para petani tentang keefektifan
dan manfaat penggunaan bioinsektisida NPV
untuk mengendalikan hama perkebunan.
Prospek Pengembangan NPV Untuk Pengendalian Hama Tanaman Perkebunan (SAMSUDIN) 25
KESIM PULAN
NPV mampu bertahan cukup lama di alam
dalam bentuk polihedra dan dapat menyebar
secara alami melalui proses penularan vertikal
dan horisontal. Infeksi NPV sangat mudah
dikenali dari tandanya, yaitu tubuh larva
menggantung dengan kedua tungkai semu
bagian abdomen menempel pada daun atau
ranting tanaman membentuk huruf ‚V‛ terbalik.
Beberapa kelemahan NPV telah diatasi dengan
upaya peningkatan virulensi, kisaran inang, dan
persistensinya setelah aplikasi di lapangan.
Beberapa NPV yang telah diteliti dan
dimanfaatkan dalam skala terbatas untuk
mengendalikan hama perkebunan di Indonesia,
adalah: Spodoptera litura NPV (SlNPV), S. exigua
NPV (SeNPV), Helicoverpa armigera NPV
(HaNPV), Sethotosea asigna NPV (SaNPV),
Hyposidra talaca NPV (HtNPV) dan Maenas
maculifascia NPV (MmNPV). Dengan dukungan
teknologi perbanyakan massal serangga inang,
perbanyakan NPV dan formulasi yang ada serta
peran aktif pemerintah dan swasta, maka isolat-
isolat NPV tersebut dapat dikembangkan
menjadi bioinsektisida dalam skala besar.
Pengembangan bioinsektisida NPV untuk
mengendalikan hama perkebunan di Indonesia
cukup prospektif.
DAFTAR PUSTAKA
Adams, J.R. and J.R. Bonami. 1991. Atlas of
Invertebrata Viruses. CRC Press: Boca
Raton, Florida. 684 p.
Adams, J.R. and T.J. McClintock. 1991.
Baculoviridae. Nuclear polyhedrosis
virus. Part I. Nuclear polyhedrosis
viruses of insects. In Adam, J.R. and J.R.
Bonami. (Eds.) Atlas of Invertebrate
Viruses. CRC Press: Boca Raton, Florida.
87-204.
Arifin, M. 1988. Pengaruh konsentrasi dan
volume nuclear polyhedrosis virus
terhadap kematian ulat grayak kedelai
(Spodoptera litura F.). Penelitian Pertanian.
8(1): 12-14.
Arifin, M. 2006. Kompatibilitas SlNPV dengan
HaNPV dalam Pengendalian Ulat Grayak
dan Ulat Pemakan Polong Kedelai.
Penelitian Pertanian Tanaman Pangan. 25
(1): 65-70.
Arifin, M. dan Bedjo. 2007. Keefektifan beberapa
isolat SlNPV dan kombinasinya dalam
pengendalian ulat grayak pada kedelai.
Prosiding Seminar Nasional Komunikasi
Hasil-hasil Penelitian Pertanian dan
Peternakan dalam Sistem Usahatani
Lahan Kering. Kupang, 7-8 Desember
2007. Buku 1: 222-228.
Arifin, M. 2010. Bioinsektisida SlNPV untuk
mengendalikan ulat grayak mendukung
swasembada kedelai. Orasi Pengukuhan
Profesor Riset Bidang Entomologi (Hama
dan Penyakit Tanaman) pada Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Kementerian Pertanian. Bogor, 6
September 2010. 54 p.
Armenta, R. dan A.M. Mertinez, J.W. Chapman,
R. Magallanes, D. Goulson, P. Caballero,
R.D. Cave, J. Cisneros, J. Valle, V.
Castillejos, D.I. Penagos, L.F. Garcia, and
T. William. 2003. Impact of a
nucleopolyhedrovirus bioinsecticide and
selected synthetic insecticides on the
abundance of insect natural enemies on
maize in Southern Mexico. J. Econ.
Entomol. 96(3): 649-661.
Asano, S. 2005. Ultraviolet protection of a
granulovirus product using iron oxide.
Appl Entomol Zool, 40(2): 359-364.
Asri, M.T., Isnawati, dan M.T. Hidayat. 2003.
Konsentrasi virus HaNPV isolat
Yogyakarta yang efektif untuk
mengendalikan ulat Helicoverpa armigera.
Jurnal Pendidikan Matematika dan Sains,
3(8): 150-154.
Atmadja, W.R., T.E. Wahyono, dan N. Tarigan.
2009. Efektivitas patogen serangga
sebagai agensia hayati untuk
mengendalikan Maenas maculifascia pada
tanaman ylang-ylang (Canangium
odoratum). Bull. Littro, 2(1): 68-76.
26 Volume 15 Nomor 1, Jun 2016 : 18-30
Azis, A. 2009. Kajian potensi virus β-nudaurelia
untuk pengendalian hama ulat api
(Thosea asigna) pada tanaman kelapa.
Jurnal Penelitian Pertanian Terapan, 9(2):
90-94.
Beard, C.B., J.F. Butler, and J.E. Muriniak. 1989. A
Baculovirus in the flea, Pulex simulans. J.
Invert. Pathol., 54:128-131.
Beas-Catena, A., A. Sanchez-Miron, F. Garcia-
Camaacho, A. Contreras-Gomez, and E.
Molina-Grima. 2014. Baculovirus
biopesticides: an overview. The Journal of
Animal & Plant Sciences, 24(2): 362-373.
Bedford, G.O. 1981. Control of Rhinoceros beetle
by baculovirus In HD Burges (Eds.)
Microbial Control of Pest and Plant
Diseases 1970-1980. Academic Press, New
York. 409-426.
Bedjo. 2011. Pemanfaatan biopestisida SlNPV dan
HaNPV untuk pengendalian Spodoptera
litura dan Helicoverpa armigera pada
tanaman kedelai. Suara Perlindungan
Tanaman, 1(3): 7-12.
Bedjo. 2012. Evaluasi beberapa isolat Helicoverpa
amigera nuclear polyhedrosis virus
(HaNPV) untuk pengendalian hama
pemakan polong kacang hijau. Suara
Perlindungan Tanaman, 2(1): 1-5.
Bonning, B.C. and B.D. Hammock. 1996.
Development of recombinant
baculoviruses for insect control. Annu.
Rev. Entomol., 41: 191-210.
Bull, D.L., V.S. House, J.R. Ables, and R.K.
Morrison. 1979. Selective methods for
managing insect pests of cotton. J. Econ.
Entomol., 72:841-846.
CAB INTERNATIONAL. 2000. Crop Protection
Compendium. Wallingford, UK.
Castillejos, V., J. Trujillo, L.D. Ortega, J.A.
Santizo, J. Cisneros, D.I. Penagos, J. Valle,
and T. Williams. 2002. Granular
phagostimulant nucleopolyhedro-virus
formulations for control of Spodoptera
frugiperda in maize. Biol. Contr., 24: 300-
310.
Chandler, D., A. Bailey, G.M. Tatchell, G.
Davidson, J. Greaves, and W.P. Grant.
2011. The Development, Regulation and
Use of Biopesticides for Integrated Pest
Management. Philosophical Transaction
of The Royal Society B, 386: 2-13.
Cunningham, J.C. and P.F. Entwistle. 1981. Control
of Sawfly by Baculovirus, In Burges, H.D.
(Eds.) Microbial Control of Pest and Plant
Diseases 1970 - 1980. Academic Press, New
York. P. 379-407.
Dodin, K., M. Arifin, dan Harnoto. 2001.
Kompatibiltas SlNPV dengan ekstrak biji
mimba untuk mengendalikan ulat grayak
pada kedelai. Prosiding Seminar Hasil
Penelitian Rintisan dan Bioteknologi
Tanaman. 343-347.
Dougherty, E.M., N. Narang, M. Loeb, D.E. Lynn,
and M. Shapiro. 2006. Fluorescent
brightener inhibits apoptosis in
baculovirus-infected gypsy moth larval
midgut cells. Biocon. Sci. Tech. 16(1/2):
157-168.
Duraimurugan, P. and A. Regupathy. 2005. Push-
pull strategy with trap crops, neem and
nuclear polyhedrosis virus for insecticide
resistance management in Helicoverpa
armigera (Hubner) in cotton. American
Journal of Applied Sciences. 2(6): 1042-
1048.
Dushoff, J. and G. Dwyer. 2001. Evaluating the
risks of engineered viruses: modeling
pathogen competition. Ecol. Appl. 11(6):
1602 – 1609.
Elvira, S., N. Gorria, D. Munoz, T. Williams, and
P. Caballero. 2010. A simplified low-cost
diet for rearing Spodoptera exigua
(Lepidoptera: Noctuidae) and its effect on
S. exigua nucleopolyhedrovirus
production. J. Econ. Entomol. 103(1): 17-
24.
El Salamouny, S., D. Ranwala, M. Shapiro, B.M.
Shepard, and B.R. Farrar. 2009. Tea,
coffee, and cocoa as ultraviolet radiation
protectants for the beet armyworm
nucleopolyhedrovirus. J. Econ. Entomol.,
102(5):1767-1773.
Prospek Pengembangan NPV Untuk Pengendalian Hama Tanaman Perkebunan (SAMSUDIN) 27
Erayya, J. Jagdish, P.K. Sajeesh, and V.
Upadhyay. 2013. Nuclear Polyhedrosis
Virus (NPV), A Potential Biopesticide: A
Review. Research Journal of Agriculture
and Forestry Sciences, 1(8): 30-33.
Etebari, K., L. Matindoost, S.Z. Mirhoseini, and
M.W. Turnbull. 2007. The effect of
BmNPV infection on protein metabolism
in silkworm (Bombyx mori) larva. ISJ, 4:
13-17.
Farrar Jr.R.R., M. Shapiro, and I. Javaid. 2004.
Photostabilized titanium dioxide and a
fluorescent brightener as adjuvants for a
nucleopolyhedrovirus. BioControl 48(4):
543-560.
Gasic, S. and B. Tanovic. 2013. Biopesticide
Formulations, Possibility of Application
and Future Trends. Pestic. Phytomed.
Belgrade, 28(2): 97-102.
Glare, T.R., P.J. Walsh, M. Kay, and N.D. Barlow.
2003. Strategies for the eradication or
control of gypsy moth in New Zealand.
Agresearch. 165 p.
Gothama, A.A.A., G.W. Lawrence, and P.P.
Sikorowski. 1996. Activity and
persistence of Steinernema carpocapsae and
Spodoptera exigua nuclear polyhedrosis
virus against S. exigua larvae on soybean.
J. Nematol. 28(1): 68-74.
Granados, R.R. and B.K. William. 1986. In Vivo
Infection and Replication of Baculviruses
in The Biology of Baculoviruses. CRC
Press. Boca Raton, Florida. 90-104.
Gupta, R.K., M. Gani, P. Jasrotia, K. Srivastava,
and V. Kaul. 2014. A comparison af
infectivity between polyhedra of the
Spodoptera litura multiple
nucleopolyhedro- virus before and after
passage through the gut of the stink bug
Eocanthecona furcellata. Journal of Insect
Science 14(96).
Hamm, J.J., L.D. Chandler, and H.R. Sumner.
1994. Field tests with fluorescent
brightener to enhance infectivity of fall
armyworm (Lepidoptera: Noctuidae)
nuclear polyhedrosis virus. Florida
Entomologist 77(4): 425-434.
Hammock, B.D., B.C. Bonning, R.D. Possee, T.N.
Hanzlik, and S. Maeda. 1990. Expression
and effects of juvenile hormone esterase
in a baculovirus vector. Nature 344: 458 –
461.
Hoffmann, M.P. and A.C. Frodsham. 1993.
Natural Enemies of Vegetable Insect Pest.
Cooperative Extention. Cornell
University. Ithaca. New York. 63 p.
Huger, A.M. 1966. A virus disease of the Indian
rhinoceros beetle, Oryctes rhinoceros (L.)
caused by a new type of insect virus,
Rhabdionvirus oryctes gen. J. Invert.
Pathol. 8: 38-51.
Ignoffo, C.M. and T.L. Cough. 1981. The
Nucleopolyhedrosis virus of Heliothis
spp. as a microbial insecticide In Burges
HP (Ed.) Microbial Control of Pest dan
Plant Diseases 1970-1980. Academic Press
London dan New York, NY. 29-362.
Ignoffo, C.M., B.S. Shasha, and Shapiro. 1991.
Sunlight ultraviolet protection of Heliothis
nuclear polyhedrosis virus through
starch-encapsulation technology. J.
Invert. Pathol. 57: 134-136.
Inceoglu, A.B., S.G. Kamita, and B.D. Hammock.
2006. Genetically modified baculoviruses:
a historical overview and future outlook.
Adven. Vir. Res. 68: 323- 326.
Ishikawa, H., M. Ikeda, C.A.F. Alves, S.M. Theim,
and M. Kobayashi. 2004. Host range
factor 1 from Lymantria dispar
nucleopolyhedrovirus (NPV) is an
essential viral factor required for
productive infection of NPVs in IPLB-
Ld652Y cells derived from L. dispar. J.
Virol. 78(22):12703 – 12708.
Jeyarani, S. N. Sathiah, and P. Karuppuchamy.
2005. Influence of Pseudomonas fluorescens
and a Nucleopolyhedrovirus on Cotton
Bollworm Helicoverpa armigera (Hubner).
Tropical Agricultural Research, 17: 221-
230.
Kalmakoff and Ward. 2003. Baculoviruses.
Univerdity of Otago, Dunedin, New
Zealand. http://www.microbiology-
bytes.com/virology. [Desember 2011].
28 Volume 15 Nomor 1, Jun 2016 : 18-30
Kao, S.S., W.T. Hsia, and L.H. Huang. 1991.
Effectiveness of adjuvants for nuclear
polyhedrosis virus against the beet
armyworm Spodoptera exigua
(Lepidoptera: Noctuidae). Chinese J.
Entomol. 11: 330-334.
Kumar, N. S., K. Murugan, and W. Zhang. 2007.
Additive interaction of Helicoverpa
armigera Nucleopolyhedrovirus and
Azadirachtin. Biocontrol, 53: 869-880.
Lacey, L.A., R. Frutos, H.K. Kaya, and P. Vail.
2001. Insect pathogens as biological
control agents: do they have a future?.
Biol. Cont. 21: 230-248.
Lasa, R., C. Ruiz-Portero, M.D. Alcazar, J.E.
Belda, P. Caballero, and T. William. 2007.
Efficacy of optical brightener
formulations of Spodoptera exigua multiple
nucleopolyhedrovirus (SeMNPV) as a
biological in greenhouse of Southern
Spain. Biol. Cont. 40: 89-96.
Lasa, R, T. William, and P. Caballero. 2008.
Insecticidal properties and microbial
contaminants in Spodoptera exigua
multiple nucleopolyhedrovirus
(Baculoviridae) formulation stored at
different temperatures. J. Econ. Entomol.
101(1):42-49.
Li, Z. and G.W. Blissard. 2009. The Autographa
californica multicapsid
nucleopolyhedrovirus GP64 protein:
Analysis of transmembrane domain
length and sequence requirements. J.
Virol. 89(9):4447-4461.
Maeda, S. 1989. Increased insecticidal effect of a
recombinant baculovirus carrying a
synthetic diuretic hormone. Biochem.
Biophys. Res. Comm. 165: 1177 – 1183.
Martinez, A.M., O. Simon, T. Williams, and P.
Caballero. 2003. Effect of optical
brighteners on the insecticidal activity of
a nucleopolyhedrovirus in three instars of
Spodoptera frugiperda. Ent. Exp. App. 109:
139-146.
McCutchen, B.F., P.V. Choudary, R. Crenshaw,
D.W. Maddox, K. Majima, B.D.
Hammock, and E. Fowler. 1991.
Insecticidal effects of an insect-specific
neurotoxin expressed by recombinant
baculovirus. Virol. 184: 777 – 780.
McIntosh, A.H., J.J. Grasela, L. Lua, and S.C.
Braunagel. 2004. Demonstration of the
effects of fluorescent proteins in
baculoviruses exposed to ultraviolet light
inactivation. J. Insect. Sci. 4:31-39.
Mehrvar, A., R.J. Rabindra, K. Veenakumari, and
G.B. Narabenchi. 2008. Evaluation of
adjuvants for increased of HearNPV
against Helicoverpa armigera (Hubner)
using suntest machine. J. Biol. Sci. 1-8.
Mondragon, G., S. Pineda, A. Martinez, and A.M.
Martinez. 2007. Optical brightener
Tinopal C1101 as an ultraviolet protectant
for a nucleopolyhedro-virus. Commun.
Agric. Appl. Biol. Sci. 72(3): 543-547.
Monobrullah, Md. 2003. Optical brighteners-
pathogenicity enhancers of entomo-
pathogenic viruses. Current Sci., 84(5):
640 – 645.
Murillo, R., R. Lasa, D. Goulson, T. Williams, D.
Munoz, and P. Caballero. 2003. Effect of
tinopal LPW on the insecticidal
properties and genetic stability of the
nucleopolyhedrovirus of Spodoptera
exigua (Lepidoptera: Noctuidae). J. Econ.
Entomol., 96(6): 841-846.
Narayanan, K. 2004. Insect defence: its impact on
microbial control of insect pests. Current
Sci. 86(6): 800-814.
Okada, M. 1977. Studies on the utilization and
mass production of SlNPV for control of
the tobacco cutworm, Spodoptera litura F.
Rev. Pl. Protec. Res. 10: 102-128.
O’Reilly, D.R. and L.K. Miller. 1991.
Improvement of a baculovirus pesticide
by deletion of the egt gene. Bio/Tech. 9:
1086-1089.
Pionar, O.G. Jr. and G.M. Thomas. 1984.
Laboratory Guide to Insect Pathogens
and Parasites. Plenum Press, New York.
392 p.
Prospek Pengembangan NPV Untuk Pengendalian Hama Tanaman Perkebunan (SAMSUDIN) 29
Ramle, M., M.B. Wahid, K. Norman, T.R. Glare,
and T.A. Jackson. 2005. The incidence and
use of Oryctes virus for control of
rhinoceros beetle in oil palm Plantation in
Malaysia. Journal of Invertebrate
Pathology. 89: 85-90.
Samsudin. 1999. Karakterisasi virus patogen
dari ulat bawang Spodoptera exigua
(Lepidoptera: Noctuidae) isolat
indonesia. Tesis Program Magister
Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian
Bogor. 56 h.
Samsudin. 2001. Keefektifan kombinasi
Anagrapha falcifera NPV (AfNPV) dengan
Spodoptera litura NPV (SlNPV) untuk
mengendalikan ulat grayak pada kedelai.
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Rintisan dan Bioteknologi Tanaman,
Bogor, 26-27 Desember 2001. 348-351.
Samsudin. 2011. Uji patologi dan perbaikan
kinerja Spodoptera exigua
nucleopolyhedrovirus (SeNPV). Disertasi
Program Doktor Sekolah Pascasarjana
Institut Pertanian Bogor. 109 h.
Samsudin, T. Santoso, A. Rauf, dan Y.M.
Kusumah. 2011. Keefektifan bahan
pelindung alami dalam mempertahankan
infektifitas Spodoptera exigua
nucleopolyhedrovirus (SeNPV). Berita
Biologi. 10(6): 689-697.
Samsudin. 2012. Virus patogen serangga sebagai
agens hayati pengendali hama tanaman
perkebunan yang efektif. Info Tek. 4(4):
15.
Samsudin dan T. Santoso. 2012. Infektifitas
Spodoptera exigua nucleopolyhedrovirus
(SeNPV) yang diperkaya dengan bahan
pengaktif terhadap larva Spodoptera
exigua Huebner. Berita Biologi. 11(3): 297-
304.
Samsudin dan T. Santoso. 2014. Uji Patologi
Spodoptera exigua Nucleopolyhedrovirus
(SeNPV) pada Larva S. exigua Huebner
(Lepidoptera: Noctuidae). Jurnal Biologi
Indonesia. 10(2): 169-178.
Shapiro, M., and B.M. Shepard. 2008. Relative
efficacies of congo red and tinopal LPW
on the activity of the gypsy moth
(Lepidoptera: Lymantriidae) nucleopoly-
hedrovirus and cypovirus. J. Agric.
Urban. Entomol. 25(4): 233-243.
Shapiro, M., S.E. Salamouny, and B.M. Shepard.
2008. Green tea extracts as ultraviolet
protectants for the beet armyworm,
Spodoptera exigua, nucleopolyhedrovirus.
Biocon Sci. Tech. 18: 591-603.
Shepard, E.F., B.M. Shepard, and A. Rauf. 1996.
Virus of Spodoptera exigua. Palawija/
Vegetable IPM Newsletter. 1(1) : 2-3.
Spenger, A.R., Grabherr, L. Tollner, H. Katinger,
and W. Ernst. 2002. Altering the surface
properties of baculovirus Autographa
californica NPV by insertional
mutagenesis of envelope protein gp64.
Eur. J. Biochem. 269: 4458 – 4467.
Stairs, G.R. and T. Fraser. 1981. Changes in
growth dan virulence of nuclear
polyhedrosis virus. J. Inver. Pathol.
35:230-235.
Sudharto, A. Susanto, R.Y. Purba, dan B. Drajat.
2011. Teknologi Pengendalian Hama dan
Penyakit pada Kelapa Sawit: Siap Pakai
dan Ramah Lingkungan. Pusat Penelitian
Kelapa Sawit. 3 h.
Suhas, Y., J.B. Gopali, B.V. Patil, and S. Lingappa.
2009. Effect of different adjuvants in
enhancing the efficacy of HaNPV against
Helicoperva armigera (Hubner) in
pigeonpea. Karnataka J. Agric. Sci. 22(3):
502-503.
Takatsuka, J. and Y. Kunimi. 2002. Lethal effects
of Spodoptera exigua nucleopoly-
hedrovirus isolated in Shiga Prefecture,
Japan, on larvae of the beet armyworm,
Spodoptera exigua (Lepidoptera:
Noctuidae). Appl. Entomol. Zool. 37(1):
93–101.
Tanada, Y. and R.T. Hess. 1991. Baculoviridae.
Granulosis viruses. In Adam, J.R. and J.R.
Bonami (Eds.). Atlas of Invertebrate
Viruses. CRC Press: Boca Raton, Florida.
227 – 257.
30 Volume 15 Nomor 1, Jun 2016 : 18-30
Tanada, Y. and H.K. Kaya. 1993. Insect Pathology.
Academic Press. San Diego. California. p.
78-98.
Tinsley, T.W. and D.C. Kelly. 1985. Taxonomy
and Nomenclatures of Insect Pathogenic
Viruses. p. 3-26. In Maramorosch, K. and
Sherman, K.E. (Eds.). Viral Insectisides
for Biological Control. Academic Press.
London.
Treacy, M.F. 1999. Recombinant baculoviruses. In
Hall, F.R. and J.M. Julius. 1999.
Biopesticides Use and Delivery. Humana
Press. Totowa, New Jersey. 321 – 340.
Vilaplana, L., K. Wilson, E.M. Redman, and J.S.
Cory. 2010. Pathogen persitence in
migratory insects: high levels of
vertically-transmitted virus infection in
field populations of the African
armyworm. Evol. Ecol. 24: 147-160.
Washburn, J.O., D. Trudeau, J.F. Wong, and L.E.
Volkman. 2003. Early pathogenesis of
Autographa californica multiple
nucleopolyhedrovirus and Helicoverpa zea
single nucleopolyhedrovirus in Heliothis
virescens: a comparison of the ‘M’ and ‘S’
strategies for establishing fatal infection.
J. Gen Virol., 84: 343-351.
Wijarnako, A. 1998. Mengendalikan hama
dengan musuh alami. Institute For
Science and Technology Studies Chapter
Japan. htt://istecs.org/Publication/
Dimensi].
Woo, S.D., J.Y. Roh, J.Y. Choi, and B.R. Jin. 2007.
Propagation of Bombyx mori
nucleopolyhedrovirus in nonpermissive
insect cell lines. J. Microbiol., 45(2): 133-
138.
Young, S.Y. 1989. Problems associated with the
production and use of viral pesticides.
Mem. Inst. Oswaldo Cruz. 84(3): 67-73.
Perspektif Vol. 15 No.12 /Jun. 2016. Hlm 31 -49 DOI: http://dx.doi.org/10.21082/psp.v15n1.2016.31-49
ISSN: 1412-8004
Prospek Pengembangan Bakteri Endofit Sebagai Agens Hayati Pengendalian Nematoda Parasit ... (RITA HARNI) 31
PROSFEK PENGEMBANGAN BAKTERI ENDOFIT SEBAGAI AGENS
HAYATI PENGENDALIAN NEMATODA PARASIT TANAMAN
PERKEBUNAN The Prospect of Developing Endophytic Bacteria as Nematodes Biological Control
Agents in Estate Crops
RITA HARNI
Balai Penelitian Tanaman Industri dan Penyegar
Indonesian Industrial and Beverage Crops Research Institute
Jalan Raya Pakuwon Km 2, Parungkuda, Sukabumi 43357. Jawa Barat, Indonesia
E-mail: [email protected]
ABSTRAK
Nematoda parasit tanaman merupakan salah satu
organisme pengganggu tumbuhan (OPT) penting yang
menyerang berbagai tanaman perkebunan seperti lada,
nilam, kopi, tembakau dan jahe. Nematoda
Meloidogyne, Pratylenchus, dan Radopholus merupakan
nematoda parasit yang paling merusak pada
komoditas tersebut. Kerugian akibat nematoda pada
tanaman lada dapat menurunkan produksi 32%, pada
tanaman nilam 75%, 58% pada jahe dan 57% pada
tanaman kopi. Pengendalian nematoda yang banyak
digunakan saat ini adalah penggunaan bakteri endofit.
Bakteri endofit adalah bakteri yang hidup
mengkolonisasi jaringan tanaman inang tanpa
menimbulkan efek negatif, bahkan banyak memberi
keuntungan terhadap inangnya, karena berfungsi
sebagai agens hayati, dan pemicu pertumbuhan
tanaman. Mekanisme bakteri endofit dalam
mengendalikan nematoda adalah menginduksi
ketahanan, kompetisi ruang, dan menghasilkan
metabolit anti nematoda yang berpengaruh terhadap
penetrasi, reproduksi dan populasi nematoda.
Penggunaan bakteri endofit Achromobacter xylosoxidans,
Bacillus cereus, Alcaligenes faecalis, B subtilis dan
Pseudomonas putida pada tanaman nilam dapat
menekan populasi nematoda P. brachyurus sebesar
54,8-70,6%. Bakteri endofit Bacillus sp. dan Pseudomonas
sp. dapat menekan kejadian penyakit kuning, menekan
populasi nematoda R. similis dan M. incognita, serta
meningkatkan jumlah bunga per ruas dan bobot basah
pada tanaman lada. Bakteri endofit B. pumilus dan
Bacillus mycoides dapat menekan populasi dan jumlah
puru akar nematoda M. incognita 33 - 39% pada
tanaman kopi. Prospek pengembangan bakteri endofit
untuk mengendalikan nematoda parasit pada tanaman
perkebunan sangat menjanjikan karena bakteri endofit
sebagai agens hayati lebih unggul dari agens yang lain,
dapat diisolasi dari semua bagian tanaman, dan media
perbanyakannya murah, aplikasi mudah serta tidak
berulang-ulang. Bakteri endofit dapat bersifat sebagai
agens pengendali hayati dan pemicu pertumbuhan,
pengunaannya dapat mengurangi pengunaan pestisida
sintetis dan pupuk anorganik sehingga sangat
mendukung pertanian yang berkelanjutan.
Kata kunci: Bakteri endofit, nematoda parasit, tanaman
perkebunan, agens hayati
ABSTRACT
Plant parasitic nematodes are one of the most
important plant pests that attack a variety of estate
crops like pepper, patchouli, coffee, tobacco and
ginger. Meloidogyne, Pratylenchus, and Radopholus the
most destructive parasitic nematodes in these
commodities. Yield Losses due to nematodes on black
pepper can reduce the production of 32%, 75% in
patchouli, 58% ginger and 57% at the coffee.
Controlling nematodes are widely used at this time are
endophytic bacteria. Endophytic bacteria are live
bacteria that colonize the host plant tissues without
causing any negative effects, but giving many benefits
to their host, because it can be as biological agents, and
trigger the growth of plants. Mechanism of action
endophytic bacteria in controlling nematodes are
induce resistance, competition nische, and produce
anti-nematode metabolites, that affect on the
penetration, reproduction and nematode populations.
The use of endophytic bacteria Achromobacter
xylosoxidans (TT2), Bacillus cereus (MSK), Alcaligenes
36 Volume 15 Nomor 1,Juni 2016 : 31 -49
faecalis (NJ16), Bacillus subtilis (NJ57) and Pseudomonas
putida (EH11) on patchouli can suppress nematode
populations of P. brachyurus at 54.8 to 70.6 %.
Endophytic bacteria Bacillus sp. and Pseudomonas sp.
can reduce the incidence of yellow disease and
nematode populations of R. similis and M. incognita, as
well as increase the number of flowers/ node and the
wet weight of the black pepper, and endophytic
bacteria Bacillus pumilus and B. mycoides can suppress
the population and the number of root knot nematode
M. incognita 33 - 39% of the coffee plant. Development
of endophytic bacteria to control parasitic nematodes
in estate crop is very promising because of endophytic
bacteria as a biological control agent is superior to
another agent, can be isolated from all parts of the
plant, propagation media inexpensive, easy application
and not repetitive. Endophytic bacteria may be of
biological agents and plant growth promoters, its use
can reduce synthetic pesticides and synthetic fertilizers
so very supportive to sustainable agriculture.
Keywords: Endophytic bacteria, plant parasitic
nematodes, estate crops, biological
control
PENDAHULUAN
Nematoda parasit merupakan salah satu
jenis organisme pengganggu tumbuhan (OPT)
penting yang menyerang berbagai jenis tanaman
utama di Indonesia dan negara-negara tropis
lainnya. Kerugian yang ditimbulkannya dapat
mencapai 25% dari potensi produksi. Di
Indonesia serangan nematoda parasit yang
merugikan sudah dilaporkan pada berbagai
tanaman baik pada tanaman pangan seperti padi,
kedelai dan jagung, pada tanaman holtikultura
seperti pisang, tomat, kentang maupun pada
tanaman perkebunan (nilam,lada, kopi, jahe dan
tebu).
Pada tanaman perkebunan, beberapa genus
nematoda parasit tanaman telah dilaporkan di
antaranya adalah Meloidogyne, Radopholus,
Pratylenchus, Rotylenchulus, dan Helicotylenchus.
Nematoda-nematoda tersebut menyerang
tanaman lada, nilam, jahe, kopi dan tebu. Pada
tanaman lada, nematoda parasit yang sering
dilaporkan adalah Radopholus similis dan
Meloidogyne incognita yang dikenal dengan
penyebab penyakit kuning. Akibat serangan
nematoda pada tanaman lada dapat menurunkan
hasil sampai 32% (Mustika, 1996). Pada tanaman
nilam, nematoda yang sangat merugikan adalah
Pratylenchus brachyurus, R. similis dan Meloidogyne
spp, serangan nematoda tersebut dapat
menurunkan hasil sampai 75% (Harni et al., 2007;
2012a). Pada tanaman kopi nematoda yang sering
menyerang adalah Pratylenchus coffeae, R. similis,
dan Meloidogyne spp (Harni, 2013). Serangan
nematoda ini dapat menyebabkan pertumbuhan
tanaman terganggu dan menurunkan produksi
baik kuantitas maupun kualitas. Serangan P.
coffeae pada kopi Robusta dapat menurunkan
produksi sampai 57%, sedangkan serangan R.
similis bersama-sama dengan P. coffeae pada kopi
Arabika dapat mengakibatkan kerusakan 80%
dan tanaman akan mati pada umur kurang dari 3
tahun (Wiryadiputra, 2006).
Pengendalian nematoda parasit yang banyak
dilakukan petani saat ini adalah mengunakan
nematisida sintetik karena cara pengendalian ini
yang dianggap dapat mengendalikan nematoda
secara cepat dan praktis. Pengendalian
menggunakan nematisida sintetik ternyata
kurang efektif karena memberikan beberapa
dampak negatif seperti pencemaran lingkungan,
berbahaya bagi kesehatan dan matinya
organisme bukan target. Untuk mengurangi
dampak tersebut perlu dicari alternatif
pengendalian lain yang ramah lingkungan salah
satunya adalah pengendalian biologi dengan
bakteri endofit.
Bakteri endofit adalah bakteri yang hidup
mengkolonisasi jaringan bagian dalam tanaman
tanpa menyebabkan gangguan pada tanaman
tersebut dan kebanyakan dari bakteri endofit
adalah menguntungkan (Hallmann, 2001).
Keunggulan bakteri endofit sebagai agens hayati
nematoda adalah 1) bakteri endofit mudah
untuk dikulturkan pada media buatan; 2) dapat
digunakan sebagai seed treatments (perlakuan
benih); 3) mengurangi kerusakan akar lebih
awal; 4) terhindar dari kompetisi dengan
mikroba lain dan memiliki kemampuan dalam
mempengaruhi tanaman merespon serangan
patogen; 5) tidak bersifat fitotoksik (tidak
beracun bagi tanaman) ; 6) meningkatkan
pertumbuhan tanaman; 7) menggunakan eksudat
akar untuk perbanyakannya; dan 8) menginduksi
ketahanan tanaman (Hallmann, 2001; Siddiqui
Prospek Pengembangan Bakteri Endofit Sebagai Agens Hayati Pengendalian Nematoda Parasit ... (RITA HARNI) 37
dan Saukat, 2003; Bacon dan Hinton 2007; Sikora
et al., 2007).
Penggunaan bakteri endofit untuk
mengendalikan nematoda pada tanaman
perkebunan seperti kopi, lada, dan nilam telah
dilaporkan oleh Mekete et al. (2009), Harni dan
Ibrahim (2011), Harni dan Munif (2012), Harni
dan Khaerati (2013) serta Harni et al. (2014).
Penggunaan bakteri endofit dapat menekan
populasi nematoda P. brachyurus sebesar 54,8-
70,6% (Harni et al., 2012a) dan meningkatkan
terna nilam sebesar 23.62-57.48%. Bakteri endofit
dapat menekan kejadian penyakit kuning dan
menekan populasi nematoda, serta
meningkatkan jumlah bunga per ruas dan bobot
basah lada (Harni dan Munif, 2012). Selanjutnya
Mekete et al. (2009), menggunakan bakteri
endofit Bacillus pumilus dan B. mycoides untuk
mengendalikan nematoda M. incognita pada
tanaman kopi. Kedua bakteri tersebut dapat
menekan populasi dan jumlah puru akar
nematoda 33 dan 39%.
Tulisan ini membahas tentang nematoda
parasit pada tanaman perkebunan, dan
pengendaliannya mengunakan bakteri endofit
serta prospek pengembangan bakteri endofit
sebagai agens hayati nematoda.
BAKTERI ENDOFIT SEBAGAI AGENS
HAYATI NEMATODA
Bakteri endofit adalah bakteri yang hidup
bersimbiosis mutualisme dengan tanaman.
Menurut Kado (1992), bakteri endofit adalah
bakteri yang hidup dalam jaringan tumbuhan,
tetapi tidak merugikan tumbuhan inangnya,
sedangkan menurut Sikora et al. (2007), endofit
adalah bakteri yang sebagian dari siklus
hidupnya mengkolonisasi jaringan internal
tanaman. Penggunaan bakteri endofit sebagai
agens hayati nematoda memberikan keuntungan
lebih, karena memiliki relung yang sama dengan
patogen (Hallmann, 2001) yaitu dengan
mengkolonisasi jaringan akar. Hal ini sangat
menguntungkan untuk pengendalian patogen
yang menyerang akar seperti nematoda parasit
tanaman. Seluruh siklus hidup bakteri endofit
juga berada dalam jaringan akar seperti
nematoda parasit, sehingga target pengendalian
lebih cepat mencapai sasaran.
Penggunaan bakteri endofit untuk
mengendalikan nematoda parasit tanaman relatif
masih baru. Awalnya Hallmann et al. (1995)
mengisolasi bakteri endofit dari akar mentimun
dan kapas, hasil isolasi diperoleh bakteri endofit
Aerococus viridans, Bacillus megaterium, B. subtilis,
Pseudomonas chlororaphis, P. vesicularis, Serratia
marcescens dan Sphingomonas pancimobilis.
Bakteri-bakteri tersebut dapat menekan jumlah
puru dan populasi M. incognita sampai 50%.
Selanjutnya Hallmann et al. (1997) melaporkan
bahwa perlakuan bakteri endofit melalui benih
dapat mengendalikan nematoda M. incognita
pada tanaman kapas. Setelah itu beberapa
peneliti melaporkan penggunaan bakteri endofit
untuk mengendalikan nematoda parasit di
antaranya Siddiqui dan Shaukat (2003)
menggunakan Pseudomonas. aeruginosa dan P.
fluorescens untuk mengendalikan M. javanica pada
tanaman tomat, dan kedele. Mahdy et al. (2001b)
menggunakan Rhizobium etli untuk
mengendalikan M. javanica, Globodera pallida, dan
Heterodera schachtii pada tomat, kedele dan
kentang. Saat ini sudah banyak peneliti yang
melaporkan penggunaan bakteri endofit untuk
mengendalikan nematoda parasit tanaman baik
pada tanaman pangan, hortikultura dan
perkebunan.
Pada awalnya penggunaan bakteri endofit
sebagai agens hayati nematoda terfokus pada
nematoda endoparasit menetap (sedentary
endoparasitic) seperti nematoda puru akar
(Meloidogyne) dan nematoda sista (Globodera dan
Heterodera)( Siddiqui and Shaukat, 2003; Sikora et
al., 2007). Hal ini terjadi karena nematoda
endoparasit menetap seluruh siklus hidupnya
berada dalam jaringan akar dan bakteri endofit
juga berada dalam jaringan yang sama, sehingga
penggunaan bakteri endofit sebagai agens hayati
nematoda sangat tepat karena sasaran yang akan
dituju berada pada niche yang sama. Akhir-akhir
ini bakteri endofit juga dimanfaatkan untuk
mengendalikan nematoda migratory endoparasitic
(endoparasit berpindah) seperti Radophulus dan
Pratylenchus. Hackenberg et al. (2000)
menggunakan P. chlororaphis Sm3 untuk
mengendalikan nematoda peluka akar
38 Volume 15 Nomor 1,Juni 2016 : 31 -49
Pratylenchus penetrans pada tanaman strawberi.
Bakteri endofit dapat mengurangi populasi
sebesar 41-61% serta mampu meningkatkan
pertumbuhan tanaman. Mahdy et al. (2001)
menggunakan R. etli untuk mengendalikan
Pratylenchus zeae pada jagung. Selanjutnya Harni
et al. (2010; 2012a; 2014) mengunakan bakteri
endofit untuk mengendalikan nematoda P.
brachyurus pada tanaman nilam, serta Harni dan
Khaerati (2013) menggunakan bakteri endofit
untuk mengendalikan P. coffeae pada tanaman
kopi (Tabel 1).
MEKANISME BAKTERI ENDOFIT
MENGENDALIKAN NEMATODA
PARASIT TANAMAN
Mekanisme bakteri endofit dalam
mengendalikan nematoda di dalam akar adalah
menginduksi ketahanan, kompetisi ruang, dan
menghasilkan metabolit anti nematoda (Sikora et
al., 2007; Bacon dan Hinton, 2007; Tian et al.,
2007).
A. Induksi Ketahanan
Induksi ketahanan sistemik (IKS) adalah
ketahanan tanaman terinduksi oleh agen biotik
non-patogenik seperti rizobakteria, endofit dan
plant growth promoting rhizobacteria (PGPR) (Van
Loon dan Baker 2006). Mikroorganisme ini
mengaktifkan lintasan transduksi signal yang
melibatkan asam jasmonik dan etilen tanaman
untuk mengaktifkan gen-gen ketahanan.
Belakangan ini dilaporkan bahwa ketahanan
terinduksi oleh PGPR/endofit sering dikaitkan
dengan IKS, namun beberapa spesies PGPR dan
endofit juga dapat memicu systemic acquire
resistance (SAR). SAR disebut juga dengan
ketahanan perolehan, ketahanan ini terinduksi
karena penambahan senyawa kimia atau
menginokulasikan patogen nekrotik. lnduksi
SAR dicirikan dengan terbentuknya akumulasi
asam salisilat dan PR protein (pathogenesis-related
proteins). Faktor yang dapat menicu IKS adalah
senyawa kimia (siderofor, antibiotik dan ion Fe)
yang dihasilkan bakteri, dan komponen sel
bakteri (dinding sel mikroba, flagella, filli,
membran lipopolisakarida) (Van Loon dan
Bakker, 2006).
Mekanisme bakteri endofit yang
menginduksi IKS adalah dengan menghasilkan
senyawa tertentu seperti lipopolysacharida (LPS).
Hasil percobaan Reitz et al. (2000) menggunakan
teknik split-root, menunjukkan bahwa perlakuan
sistem perakaran dengan LPS dari rhizobacteria
Rhizobium etli dapat menurunkan penetrasi akar
Tabel 1. Bakteri endofit sebagai agens hayati untuk mengendalikan nematoda parasit pada beberapa
jenis tanaman
Spesies nematoda Bakteri endofit Tanaman inang Pustaka
Meloidogine incognita Brevundimonas vesicularis, Burkholderia cepacia, Cedecea davisae, Pantoe agglomerans, Pseudomonas aeroginosa, P. fluorescens, P. putida, Rhizobium etli, Serratia marcescens, B. subtilis,
Kapas, ketimun, kedele, kacang tanah, cabai, kentang, tomato
Hallmann et al., (1995; 1997;2001); Mahdy et al., 2001b; Siddiqui and Shaukat 2003; Munif et al., 2013.
M. Javanica P. aeroginosa, P. fluorescens, R. etli Tomat, kedelai Mahdy et al., 2001; Siddiqui and Ehtesshamul Haque 2001; Siddiqui dan Shaukat 2003
Globodera pallida R. etli Kentang Rache dan sikora 1992; Mahdy et al., 2001a
Heterodera schachtii R. etli Sugar beet Mahdy et al., 2001a Pratylenchus brachyurus A. xylosoxidans, A. faecalis, P. putida,
Bacillus cereus, B. subtilis Nilam Harni et al., 2007; 2010; 2011;
2012a; 2014 R. similis Bacillus sp. Lada Harni dan Ibrahim 2011; Harni
dan Munif 2012; Munif dan Harni 2011; Munif dan Kristina 2012.
Pratylenchus. coffeae, M. incognita
Bacillus sp., B. pumilus dan B. mycoides Kopi Mekete et al., 2009; Harni dan Khaerati 2013; Harni, 214
Pratylenchus zeae Rhizobium etli Jagung Mahdy et al., 2001a
Prospek Pengembangan Bakteri Endofit Sebagai Agens Hayati Pengendalian Nematoda Parasit ... (RITA HARNI) 39
oleh nematoda sista (Globodera pallida). Hasil
mereka menunjukkan LPS dari R. etli bertindak
sebagai senyawa penginduksi ketahanan
sistemik terhadap G. palida pada akar kentang.
Menurut Sikora et al. (2007), akibat dari IKS
akan mempengaruhi proses fisiologis di dalam
akar seperti mencegah proses makan nematoda,
mencegah terbentuknya feeding site, menghambat
penetrasi, dan reproduksi nematoda. Selain LPS
mekanisme bakteri endofit dalam menekan
perkembangan nematoda adalah menghasilkan
senyawa fenolik seperti asam salisilat dan
peroksidase (Harni et al., 2012b; Harni dan
Ibrahim, 2011; Harni dan Khaerati, 2013). Bakteri
endofit Achromobacter xylosoxidans TT2,
Alcaligenes faecalis NJ16 dan Pseudomonas putida
EH11 dapat menekan populasi nematoda P.
brachyurus dengan peningkatan aktivitas asam
salisilat dan peroksidase.
Induksi respon pertahanan fisik dan mekanik
Bakteri endofit berpengaruh terhadap
perubahan fisik tanaman inang berupa penebalan
dinding sel tanaman. Kimmons et al. (1989)
melaporkan terjadi penebalan dinding
endodermis akar tanaman tall fescue yang
terinfeksi endofit, sehingga mengurangi
kemampuan P. scribneri menginfeksi akar.
Penelitian lain yang mengindikasikan bahwa
bakteri endofit dapat menginduksi ketebalan
dinding sel adalah tanaman tall fescue yang
diinfeksi endofit dapat mengurangi infeksi M.
marylandi menembus stele akar.
Induksi respon pertahanan biokimia
Perubahan lain yang terjadi karena infeksi
endofit adalah terjadinya peningkatan akumulasi
senyawa fenol (Biggs, 1992). Fenol merupakan
senyawa aktif yang memegang peranan penting
terhadap penekanan mikroba termasuk
nematoda yang menyerang jaringan tanaman.
Senyawa ini membuat suatu lingkungan yang
toksik untuk perkembang biakan nematoda.
Anita et al. (2004) melaporkan bahwa terjadi
akumulasi senyawa fenol setelah tanaman
diinokulasi dengan P. fluorescens PfI agens
biokontrol M. incognita. Senyawa fenol juga
dapat meningkatkan hasil interaksi tanaman dan
mikroorganisme dengan aktifitas secara tidak
langsung sebagai signal untuk mekanisme
ketahanan. Sebagai contoh, flavonoid penting
dalam pembuatan interaksi mutualisme yang
terjadi antara akar legum dan Rhizobium serta
Bradyrhizobium sp.
Beberapa peneliti menjelaskan peranan
bakteri endofit menginduksi akumulasi senyawa
fenol. Compant et al. (2005) menunjukkan bahwa
bakteri endofit Burkholderia phytofirmans
menginduksi akumulasi senyawa fenol dan
penguatan dinding eksodermis pada tanaman
anggur. Schulz et al. (1999) melaporkan endofit
Cryptosporiopsis sp. dan Fusarium sp.
meningkatkan konsentrasi senyawa fenol pada
akar pinus (Larix larcina) dan barley (Holdeum
vulgare) dibanding tanpa endofit.
B. Produk Metabolit Sekunder Anti
Nematoda
Produksi senyawa metabolit sekunder yang
dihasilkan bakteri endofit biasanya terekpresi
pada saat bakteri endofit belum masuk ke dalam
jaringan tanaman. Mekanisme ini digunakannya
untuk bertahan hidup (survival) pada saat bakteri
berada di rizosfir. Metabolit yang dihasilkan
bakteri endofit dapat berupa antibiotik, enzim,
senyawa HCN, dan siderofor. Li et al. (2002)
melaporkan bahwa produksi metabolit toksik
dalam kultur filtrat dari isolat bakteri endofit
Bulkholderia ambifaria dari akar jagung dapat
menghambat penetasan telur dan mobilitas larva
stadia kedua M. incognita, sedangkan bakteri
Pseudomonas aeruginosa menghasilkan senyawa
toksik yang dapat membunuh larva M. javanica
(Sidiqui dan Ehteshamul-Haque, 2001). Produksi
antibiotik 2,4 diacetylpholoroglucinol oleh P.
fluorescens dalam kultur menurunkan penetasan
telur dan membunuh larva M. javanica (Siddiqui
dan Shaukat, 2003).
Enzim ektraseluler yang dihasilkan bakteri
endofit di antaranya adalah kitinase, protease
dan selulase. Enzim kitinase merupakan enzim
penting yang dihasilkan oleh bakteri antagonis
untuk mengendalikan patogen terutama patogen
tular tanah, karena enzim ini dapat
mendegradasi dinding sel patogen yang disusun
oleh senyawa kitin, seperti dinding sel cendawan,
nematoda dan serangga. Oku (1994) melaporkan
40 Volume 15 Nomor 1,Juni 2016 : 31 -49
bahwa aktivitas kitinase berkorelasi positif
dengan tingkat induksi ketahanan sistemik.
Peranan enzim ini dalam ketahanan terhadap
serangan patogen, melalui penghambatan
pertumbuhan dengan menghidrolisis dinding sel
patogen, dan pelepasan elicitor endogen yang
kemudian memacu reaksi ketahanan sistemik
pada tanaman inang, sehingga terjadi penurunan
atau penghambatan invasi patogen.
Enzim kitinase banyak dimanfaatkan untuk
mengendalikan nematoda karena enzim ini dapat
mendegradasi lapisan tengah dari telur nematoda
seperti Meloidogyne javanica, Rotylenchulus
reniformis, Tylenchulus semipenetrans dan
Pratylenchus minyus (Tian et al., 2000) serta lapisan
luar telur Heterodera schachtii dan H. glycines
(Perry and Trett, 1986 dalam Tian et al., 2000).
Kitinase juga dapat membunuh Tylenchus dubius
dengan menghasilkan senyawa yang dapat
merubah struktur kutikula nematoda (Tian et al.,
2000).
Peranan enzim protease yang dihasilkan
oleh bakteri endofit adalah mendegradasi
dinding sel patogen. Di samping berfungsi untuk
mendegradasi dinding sel patogen, protease
dapat digunakan oleh bakteri untuk melakukan
penetrasi secara aktif ke dalam jaringan tanaman,
terutama bakteri yang bersifat endofit. Benhamou
et al. (1996) melaporkan bahwa enzim selulase
dan pektinase yang dihasilkan oleh P. fluorescens
dapat digunakan oleh bakteri tersebut untuk
mengkolonisasi daerah intersellular jaringan
korteks akar, sehingga terjadi penghambatan
invasi patogen. Di samping itu, Siddiqui dan
Shaukat (2003) menjelaskan bahwa protease yang
dihasilkan bakteri P. fluorescens dapat
menghambat penetasan telur M. javanica.
C. Kompetisi Ruang
Bakteri endofit dapat menkolonisasi
tanaman dengan cepat menempati ruang antar
atau intraseluler dan tidak meninggalkan ruang
untuk patogen, sehingga dapat
menghambat/mencegah infeksi patogen pada
tanaman. Kolonisasi jaringan tanaman oleh
endofit dimulai dari perkecambahan, penetrasi
epidermis dan kolonisasi jaringan (Petrini, 1991)
Setelah endofit berhasil masuk dalam jaringan
inang, endofit akan menempati ruang dan
mendapatkan nutrisi yang disediakan oleh
tanaman berupa eksudat dan melindungi
tanaman inang dari serangan mikroorganisme
lainnya. Pemanfaatan eksudat/substrat oleh
bakteri endofit mengakibatkan tidak tersedia
nutrisi untuk patogen. Selain itu, setelah
kolonisasi bakteri endofit tanaman akan
menghasilkan lignin yang akan memperkuat
dinding sel sehingga patogen sulit untuk
menginfeksi tanaman (Gao et al., 2010).
Dalam aplikasinya bakteri endofit dapat
digunakan dalam mengurangi populasi
nematoda melalui metabolit sekunder yang
dihasilkan bakteri yang dikeluarkan melalui
eksudat akar tanaman. Menurut Hasky-Gunther
et al., (1998), Sifat antagonis dari bakteri endofit
terhadap nematoda parasit dapat menyebabkan
reaksi hipersensitif dalam tanaman sehingga akar
menjadi kurang menarik bagi nematoda. Perilaku
nematoda sangat tergantung pada komponen
tertentu dalam eksudat akar tanaman. Sikora dan
Hoffinann-Hergarten (1993) menyatakan bahwa
metabolisme bakteri merupakan komponen
penting sebagai elicitor antara parasit dan
tanaman. Bakteri endofit dapat menghasilkan
metabolit melalui eksudat akar yang bersifat
racun bagi nematoda seperti phytoalexins. Peran
dari metabolit yang dihasilkan bakteri terhadap
namatoda adalah dapat mengurangi reproduksi
seperti berkurangnya jumlah telur nematoda
(Sikora et al., 2007). Perlakuan P. aeruginosa ke
dalam tanah dapat mengurangi jumlah telur M.
javanica pada tanaman tomat (Siddiqui dan
Ehteshamul-Haque, 2000). Disamping itu aplikasi
bakteri endofit dapat melalui rotasi tanaman,
sebagai contoh tanaman koro benguk (Mucuna
deeringiana) digunakan sebagai tanaman perotasi
untuk mengendalikan nematoda karena
mengandung bakteri endofit yang mampu
menghambat penetrasi nematoda Meloidogyne
spp (Kloepper et al., 1999).
Prospek Pengembangan Bakteri Endofit Sebagai Agens Hayati Pengendalian Nematoda Parasit ... (RITA HARNI) 41
EFIKASI BAKTERI ENDOFIT PADA
TANAMAN PERKEBUNAN
Lada
Lada merupakan tanaman rempah yang
mempunyai nilai ekonomi tinggi, salah satu
masalah yang dihadapi pada tanaman lada
adalah serangan nematoda parasit tanaman,
yaitu R. similis dan M. incognita, patogen
penyebab penyakit kuning di daerah Bangka dan
Kalimantan Barat (Mustika, 1990). Akibat dari
serangan penyakit ini dapat menimbulkan
kerugian yang sangat besar yaitu sekitar 32%
(Mustika, 2000).
Penggunaan bakteri endofit untuk
mengendalikan nematoda M. incognita pada
tanaman lada telah dilaporkan oleh Harni dan
Ibrahim (2011). Hasil penelitian, bakteri endofit
dapat menekan jumlah puru dan populasi
nematoda di dalam akar, penekanan tertinggi
pada isolat MSK 97,93% tidak berbeda nyata
dengan isolat BAS, TT, dan NJ46 yaitu 97,35;
95,22 dan 92,14%. Selanjutnya Munif dan Harni
(2011) juga menguji bakteri endofit yang diisolasi
dari akar tanaman lada untuk mengendalikan
nematoda M. incognita pada tanaman lada. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa bakteri endofit
dapat menurunkan jumlah puru pada akar dan
populasi larva nematoda M. incognita di dalam
tanah hingga mencapai 90%.
Selanjutnya bakteri endofit diuji pada
tanaman lada yang terserang penyakit kuning
yang disebabkan oleh nematoda R. similis dan M.
incognita. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
perlakuan agens hayati endofit dapat menekan
kejadian penyakit kuning dan populasi nematoda
di dalam akar (Tabel 2, Gambar 1). Penekanan
populasi nematoda oleh endofit lebih nyata pada
6 bulan setelah aplikasi. Penekanan populasi
nematoda tertinggi pada isolat ANIC dan TRI
Tabel 2. Pengaruh agens hayati endofit terhadap kejadian penyakit kuning dan populasi nematoda (3
dan 6 bulan setelah aplikasi)
Perlakuaan Persentase kejadian
penyakit kuning
Populasi nematoda 3
bulan setelah aplikasi
Populasi nematoda 6
bulan setelah aplikasi
MER7 13,3b 450 ab 260 b
AA2 3,3b 200 b 195 c
ANIC 6,7b 25 c 50 d
TT2 3,3b 380 ab 275 b
TRI 3,3b 30 c 50 d
Karbofuran 6,7b 50 c 70 d
Kontrol 33,3a 507 a 825 a
Angka yang diikuti oleh huruf kecil yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji Tukey pada
taraf 5%. Sumber Harni dan Munif, 2012.
A B
Gambar 1. Tanaman lada terserang penyakit kuning (A), tanaman lada diberi endofit (B).
42 Volume 15 Nomor 1,Juni 2016 : 31 -49
yaitu penekananya sama dengan nematisida
kimia karbofuran. Selain itu perlakuan agens
hayati endofit dapat meningkatkan jumlah bunga
per ruas dan bobot basah lada (Harni dan Munif
2012).
Nilam
Nematoda peluka akar (Pratylenchus
brachyurus) merupakan masalah utama yang
dihadapi oleh petani nilam di Indonesia,
terutama di daerah-daerah sentra produksi nilam
seperti Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat,
Lampung, Jawa Barat, dan Jawa Tengah (Harni
dan Mustika, 2000). Kerusakan akibat serangan
nematoda tersebut pada tanaman nilam dapat
menurunkan hasil sampai 85% (Mustika et al.,
1995). Selain menghambat pertumbuhan
tanaman, infeksi P. brachyurus juga menurunkan
kandungan klorofil dan kadar minyak pada
kultivar yang rentan dan agak tahan (Sriwati
1999).
Penggunaan bakteri endofit untuk
mengendalikan nematoda pada nilam pertama
kali dilaporkan oleh Harni et al. (2007) bahwa
bakteri endofit potensial digunakan sebagai
agens hayati nematoda P. brachyurus. Selanjutnya
Harni (2010), mengisolasi bakteri endofit dari
perakaran nilam dan diperoleh 5 jenis bakteri
endofit yaitu Achromobacter xylosoxidans (TT2),
Bacillus cereus (MSK), Alcaligenes faecalis (NJ16),
Bacillus subtilis (NJ57) dan Pseudomonas putida
(EH11). Bakteri endofit tersebut potensial
mengendalikan nematoda P. brachyurus pada
tanaman nilam. Mekanisme bakteri endofit
dalam mengendalikan nematoda P. brachyurus
pada nilam di antaranya adalah menghasilkan
metabolit sekunder yang bersifat nematisida
yaitu enzim kitinase dan antibiotik 2,4
diacetylpholoroglucinol (Harni et al., 2010). Senyawa
metabolit sekunder yang dihasilkan bakteri
endofit biasanya terekpresi pada saat bakteri
endofit belum masuk ke dalam jaringan tanaman.
Mekanisme ini digunakan untuk bertahan hidup
(survival) pada saat bakteri berada di rizosfir.
Metabolit yang dihasilkan bakteri endofit dapat
membunuh nematoda, menekan penetasan telur,
dan menurunkan mobilitas nematoda (Li et al.,
2002; Sidiqui dan Ehteshamul-Haque, 2001;
Siddiqui dan Shaukat, 2003). Di samping itu
bakteri endofit juga dapat mengkolonisasi
jaringan tanaman dan menginduksi ketahanan
tanaman dengan peningkatan kadar asam
salisilat, senyawa fenol dan peroksidase dalam
jaringan akar (Harni et al., 2012b).
Bakteri endofit sebagai biokontrol nematoda
akan mempengaruhi penetrasi, reproduksi, dan
populasi nematoda (Sikora et al., 2007). Proses
berkurangnya penetrasi nematoda ke dalam akar,
karena bakteri endofit mengkolonisasi epidermis
akar. Nematoda parasit berpindah seperti P.
brachyurus menimbulkan kerusakan bersifat
distruktif pada akar karena mereka
mengkonsumsi isi sel akibatnya sel akan rusak
dan mati. Rusaknya sel akar mengakibatkan
proses penyerapan air dan hara terganggu
sehingga kebutuhan tanaman tidak terpenuhi.
Tidak terpenuhinya nutrisi yang dibutuhkan
tanaman nilam menyebabkan pertumbuhan
tanaman terhambat, proses fotosintesa
terganggu, sehingga menyebabkan daun
berwarna kuning. Terhambatnya proses tersebut
mengakibatkan tanaman menjadi kerdil.
Pengaruh positif bakteri endofit terhadap
pertumbuhan tanaman nilam adalah tanaman
dapat tumbuh lebih baik dibanding dengan
tanaman tanpa bakteri endofit. Terjadinya hal
tersebut, karena bakteri endofit dapat menekan
perkembangan nematoda dan juga dapat
meningkatkan pertumbuhan tanaman dengan
menghasilkan hormon pertumbuhan seperti
indole acetic acid (IAA), sitokinin dan
meningkatkan kesediaan unsur hara seperti N, P
dan K (Khalid et al., 2004; Thakuria et al., 2004).
Perlakuan bakteri endofit pada tanaman nilam
dapat meningkatkan berat terna dan total minyak
nilam dibanding tanaman tanpa endofit (Tabel 4)
(Harni et al., 2014). Perlakuan bakteri endofit A.
xylosoxidans TT2, memberikan pengaruh tertinggi
terhadap produksi terna dan total minyak nilam
yaitu 4 kg dan 85 ml tetapi tidak berbeda nyata
dengan A. faecalis NJ16 dan P. putida EH11 yaitu
3,56 kg dan 81 ml; 2,9 kg dan 73 ml. Hasil ini
sama dengan karbofuran (nematoda sintetik)
yaitu 2,94 kg dan 74 ml.
Hasil analisis kadar minyak dan patchouli
alkohol pada perlakuan bakteri endofit tidak
berpengaruh nyata terhadap kadar minyak dan
patchouli alkohol (Tabel 3). Kadar minyak yang
Prospek Pengembangan Bakteri Endofit Sebagai Agens Hayati Pengendalian Nematoda Parasit ... (RITA HARNI) 43
diperoleh adalah 2,55-3,25% dan kadar patchouli
alkohol 33,43-35,67%. Walaupun kadar minyak
dan patchouli alcohol tidak berbeda nyata, tetapi
lebih tinggi dari yang dilaporkan Nuryani et al.
(2005) yaitu 2,89% dan 32,95%.
Kopi
Rendahnya produktivitas kopi Indonesia
salah satunya disebabkan oleh serangan
nematoda parasit tanaman yaitu Pratylenchus
coffeae, R. similis dan Meloidogyne sp. Serangan
nematoda ini dapat menyebabkan pertumbuhan
tanaman terganggu dan menurunkan produksi
baik kuantitas maupun kualitas. Nematoda P.
coffeae merupakan nematoda endoparasit
berpindah yang menyerang akar tanaman kopi
dan menyebabkan terjadinya luka akar (root
lesion), sehingga pengangkutan hara tanaman
terganggu (Wiryadiputra, 2006; Harni, 2013).
Luka akibat serangan nematoda juga merupakan
jalan masuk bagi patogen lain, seperti jamur dan
bakteri.
Penggunaan bakteri endofit untuk
mengendalikan nematoda pada tanaman kopi
telah dilaporkan oleh Mekete et al. (2009), bakteri
endofit Bacillus pumilus dan B. mycoides
digunakan untuk mengendalikan nematoda
Meloidogyne incognita pada tanaman kopi. Kedua
bakteri tersebut dapat menekan populasi dan
jumlah puru akar nematoda 33% dan 39%. Harni
dan Khaerati (2013) juga telah mengisolasi
beberapa isolat bakteri endofit dari perakaran
kopi di daerah Lampung, dan Jawa Barat. Hasil
isolasi diperoleh 422 isolat dan 3 di antaranya
potensial untuk mengendalikan nematoda
Pratylenchus coffea pada tanaman kopi di rumah
kaca. Bakteri endofit dapat menekan jumlah puru
dan populasi nematoda Meloidogyne spp. pada
tanaman kopi. Isolat terbaik yang dapat
menekan jumlah puru dan populasi nematoda
adalah Bacillus PG132 dan PG76 yaitu 59,8 dan
74,4%. Bakteri endofit juga dapat meningkatkan
pertumbuhan tanaman di banding dengan
kontrol (Tabel 4). Isolat terbaik dalam
Tabel 3. Pengaruh bakteri endofit terhadap produksi terna, kadar minyak dan patchouli alcohol tanaman
nilam
No. Isolat bakteri endofit
Terna (kg)
Kadar minyak
(%)
Kadar patchouli
alcohol (%)
Total minyak
nilam (ml)
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
A. xylosoxidans TT
B. cereus MSK
A. faecalis NJ16
B. subtilis NJ57
P. putida EH11
Karbofuran
Tanpa bakteri endofit
4,00 ± 1,40a
2,26 ± 0,84b
3,56 ± 0,36ab
2,60 ± 0,29b
2,90 ± 0,84ab
2,94 ± 0,37ab
2,54 ± 0,51b
3,03 a
3,25 a
3,10 a
2,62 a
2,55 a
3,03 a
2,81 a
33,43 a
34,35 a
34,84 a
35,67 a
34,03 a
34,12 a
33,15 a
84 a
59
81
66
73
74
66
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji
jarak berganda Duncan, α = 0,05. Sumber: Harni et al. (2014)
Tabel 4. Pengaruh beberapa isolat bakteri endofit terhadap jumlah puru dan populasi nematoda
Meloidogyne spp. pada tanaman kopi
No. Perlakuan Jumlah puru Pengurangan
jumlah puru
(%)
Populasi
(ekor)
Pengurangan
populasi (%)
1. LW 15 32,3 42,9 132,4 65,6
2. PG76 39,3 30,5 146,0 62,1
3. PG132 22,7 59,8 98,6 74,4
4. Karbofuran (pembanding) 32,3 42,9 150,0 61,1
5. Kontrol + 56,6 - 385,2 -
Sumber: Harni (2014).
44 Volume 15 Nomor 1,Juni 2016 : 31 -49
meningkatkan pertumbuhan tanaman kopi
adalah isolat Bacillus sp. PG76.
PROSPEK PENGEMBANGAN BAKTERI
ENDOFIT SEBAGAI AGENS HAYATI
NEMATODA
Prospek pengembangan bakteri endofit
sebagai agens hayati nematoda sangat
menjanjikan, sejalan dengan dukungan terhadap
pembangunan pertanian yang ramah lingkungan,
terutama pada sistem pertanian organik di
negara-negara maju atau pada pertanian secara
umum di negara-negara berkembang.
Penggunaan bakteri endofit sebagai agens hayati
mempunyai banyak kelebihan, di antaranya cara
isolasi yang mudah dan dapat dibiakkan pada
media buatan, cara aplikasinya mudah dan tidak
berulang-ulang, serta dapat memicu
pertumbuhan tanaman (Halmann, 2001; Siddiqui
dan Shaukat 2003).
Bakteri endofit dapat diisolasi dari semua
bagian tanaman seperti akar, batang, daun,
bunga dan buah. Metode isolasi sangat mudah
hanya dengan teknik sterilisasi permukaan
tanaman menggunakan desinfektan, seperti
sodium hipoklorit, etanol, hidrogen peroksida,
merkuri klorida, atau kombinasi dari dua atau
lebih senyawa tersebut (Pleban et al., 1995). Di
samping itu bakteri endofit dapat diperbanyak
pada media buatan seperti media Nutriens agar
(NA), Triptic soya Agar (TSA), Kings B, Lauria
Agar (LA).
Aplikasi bakteri endofit dapat dilakukan
melalui perlakuan benih, penyiraman ke tanah,
penyemprotan suspensi, dan perendaman akar.
Aplikasi bakteri endofit melalui perlakuan benih
dengan perendaman biji telah dilaporkan oleh
Munif dan Hipi (2011) bahwa perlakuan bakteri
endofit melalui perlakuan benih dapat
meningkatkan panjang akar dan tinggi tanaman
jagung. Selanjutnya Harni dan Khaerati (2013)
melaporkan perlakuan bakteri endofit terhadap
bibit kopi melalui seed treatment dapat
meningkatkan persentase tumbuh, tinggi
tanaman, jumlah daun, dan diameter batang.
Perlakuan bakteri endofit dapat juga di
aplikasikan melalui perendaman setek. Harni et
al. (2006) menyatakan pemberian bakteri endofit
nyata mempengaruhi pertumbuhan (tinggi
tanaman, jumlah daun, dan jumlah cabang akar)
dan kualitas bibit (tumbuh sangat baik, seragam,
daun subur).
Bakteri endofit dapat juga diaplikasikan
melalui penyiraman ke dalam tanah. Munif
(2001) mengaplikasikan bakteri endofit ke dalam
tanah pada bibit tomat, bakteri endofit dapat
meningkatkan panjang akar tomat dan menekan
populasi nematoda puru akar (Meloidogyne
incognita). Selanjutnya Harni et al. (2006)
melaporkan bahwa perlakuan bakteri endofit
penyiraman ke dalam tanah dapat menekan
populasi nematoda P. brachyurus dan
meningkatkan pertumbuhan, tetapi perlakuan
dengan perendaman akar lebih baik menekan
populasi nematoda dan lebih ekonomis.
Bakteri endofit sebagai agens hayati
nematoda telah terbukti efektif dalam
mengendalikan nematoda parasit tanaman
seperti pada tanaman lada, nilam, kopi, tomat,
kentang dan kedelai. Pengendalian nematoda
yang banyak dilakukan saat ini adalah
pengunaan nematisida sintetik. Pengunaan
nematisida sintetik selain harganya yang mahal
juga tidak dianjurkan untuk digunakan secara
terus menerus karena dapat mencemari
lingkungan, terbunuhnya organisme bukan
sasaran, dan terdapatnya residu pada produk
pertanian. Pembangunan pertanian saat ini
diarahkan kepada pembangunan yang
berwawasan lingkungan dan berkelanjutan.
Pengunaan bakteri endofit salah satunya dapat
menjadi teknologi pengendalian nematoda
parasit tanaman sebagai pengganti nematisida
sintetis karena pengaruhnya sama dalam
mengendalikan nematoda. Di samping itu
produk ini ramah lingkungan dan harganya lebih
murah dibandingkan dengan penggunaan
pestisida sintetis.
Selain sebagai agens hayati bakteri endofit
juga dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman
karena dapat menghasilkan hormon tumbuh
seperti auxin, sitokinin dan pelarut P serta
beberapa dapat mengfiksasi N. Pengunaan
bakteri endofit juga dapat mengefisienkan
pengunaan pupuk buatan (an organik). Hasil
penelitian (Surette et al., 2003; Asghar et al., 2002),
bakteri endofit dapat meningkatkan
Prospek Pengembangan Bakteri Endofit Sebagai Agens Hayati Pengendalian Nematoda Parasit ... (RITA HARNI) 45
pertumbuhan tanaman, baik secara langsung
ataupun tidak langsung. Secara langsung, bakteri
ini dapat menyediakan nutrisi bagi tanaman,
seperti nitrogen, fosfat, dan mineral lainnya serta
menghasilkan hormon pertumbuhan seperti
etilen, auxin dan sitokinin (Thakuria et al. 2004).
Efek lain dari bakteri endofit adalah peningkatan
penyerapan mineral seperti besi, fosfor dan
nitrogen (Sturz dan Nowak 2000; Surette et al.
2003). Beberapa jenis bakteri endofit seperti
Azospirillum, Enterobacter cloacae, Alcaligenes,
Acetobacter diazotrophicus, Herbaspirillum
seropedicae, Ideonella dechlorantans, dan Azoarcus
sp. telah terbukti meningkatkan fiksasi nitrogen
pada tanaman padi (Elbeltagy et al. 2001). Ladha
dan Reddy (1995) melaporkan bahwa sebanyak
200 kg N/ha/tahun dapat dihasilkan oleh bakteri
endofit.
Bakteri endofit dilihat dari fungsinya
sebagai agens hayati dan pemicu pertumbuhan
tanaman sangat prospek untuk digunakan pada
sistem pertanian yang ramah lingkungan
(pertanian organik). Pada saat ini produk-produk
pertanian untuk di ekspor harus bebas dari
bahan-bahan berbahaya bagi kesehatan seperti
pestisida maupun pupuk sintetis. Prospek
penggunaan biopestisida seperti agens hayati
sangat terbuka, terutama pada sistem pertanian
organik di negara-negara maju atau pada
pertanian secara umum di negara-negara
berkembang seiring dengan harga pestisida
sintetis yang semakin mahal. Salah satu
contohnya adalah, penggunaan biopestisida
(Niranjan Raj et al., 2005). Namun demikian,
pengembangan biopestisida masih menghadapi
kendala karena daya kerjanya lambat, dan
kurang stabilitas di lapangan.
Selain peluang yang ada tersebut dalam
pemanfaatan bakteri endofit sebagai agens
pengendali nematoda parasit tanaman terdapat
beberapa tantangan yang dapat menjadi kendala
dalam pemanfaatan pengendalian hayati patogen
tanaman, untuk itu perlu dicari pemecahannya.
Banyak informasi tentang kegagalan
pengendalian hayati di lapangan kondisi ini
timbul karena pada umumnya mereka tidak atau
kurang mempertimbangkan adanya tantangan di
dalam mengerjakan dan menerapkan
pengendalian hayati terhadap patogen tanaman.
Beberapa tantangan yang ada dalam bekerja
dengan pengendali hayati, di antaranya 1) masa
hidup agensia hayati yang terbatas, 2) agensia
hayati dapat berubah fungsi, 3) terjadinya
pencemaran lingkungan, dan 4) terbatasnya
penyebaran agensia hayati (Soesanto, 2009).
KESIMPULAN
Nematoda parasit tanaman merupakan
salah satu faktor pembatas dalam budidaya
tanaman perkebunan seperti lada, nilam, kopi,
jahe dan tebu. Pengendalian nematoda
mengunakan bakteri endofit mempunyai prospek
yang baik karena berada dalam nische yang sama
dengan patogen dan tidak harus bersaing dalam
ekosistem yang baru dan komplek. Keunggulan
lain dari bakteri endofit sebagai agens hayati
adalah dapat memicu pertumbuhan tanaman
dengan menghasilkan auxin, sitokinin dan
gibrelin dan merangsang pertumbuhan akar.
Bakteri endofit dalam mengendalikan nematoda
dengan mekanisme menginduksi ketahanan,
kompetisi nische dan menghasilkan metabolit
sekunder anti nematoda. Bakteri endofit akan
mempengaruhi penetrasi, reproduksi, dan
populasi nematoda di dalam akar. Prospek
pengembangan bakteri endofit kedepan sangat
terbuka karena bakteri endofit dapat diisolasi
dari semua bagian tanaman, media
perbanyakannya murah, aplikasi mudah dan
tidak berulang-ulang. Bakteri endofit dapat
bersifat agens pengendali hayati dan pemicu
pertumbuhan, pengunaannya dapat mengurangi
pengunaan pestisida sintetis dan pupuk an
organik sehingga sangat mendukung untuk
pertanian yang berkelanjutan.
DAFTAR PUSTAKA
Anita, B., G. Rajendran, R. Samiyappan. 2004.
Induction of systemic resistance in
tomato against root-knot nematode,
Meloidogyne incognita by Pseudomonas
fluorescens. Nematologica Mediterranea 32:
47-51.
Asghar, H., Z. Zahir, M. Arshad, dan A. Khaliq.
2002. Relationship between in vitro
production of auxins by rhizobacteria
46 Volume 15 Nomor 1,Juni 2016 : 31 -49
and their growth-promoting activities in
Brassica juncea L. Biol and Fertil Soils 35:
231-237.
Bacon, C.W, and S.S. Hinton. 2007. Bacterial
endophytes: The endophytic nische, its
occupants, and its utility. Dalam:
Gnanamanickam SS. Gnanamanickam
(ed.). Plant-Associated Bacteria. Springer,
Berlin. pp. 155–194.
Benhamou, N., RR. Belanger, and Paulitz T. 1996.
Ultrastructural and cytochemical aspects
of the interaction between Pseudomonas
fluorescens and Ri T-DNA transformed
pea roots: host response to colonization
by Pythium ultimum Trow. Planta 199:105-
117.
Biggs, A.R. 1992. Anatomical and physiological
responses of bark tissue to mechanical
injury. Di dalam: Blanchette, RA and
Biggs, AR (ed). Defense Mechanisms of
Woody Plants Agains Fungi. Germany.
pp. 13-40.
Compant, S., B. Reiter, J. Nowak, and E. Ait
Barka. 2005. Endophytic colonization of
Vitis vinifera. Applied Enviromental
Microbiology 71: 1685-1693.
Elbeltagy, A., K. Nishioka, T. Salo, Ye B, T.
Hamada, T. Isawa, H. Mitsam, and K.
Minomusawa. 2001. Endophytic
colonization and in planta nitrogen
fixation by a Herbaspirillum sp. isolated
from wild rice species. Applied and
Environmental microbiology. 67: 5285-
5293.
Gao, FK, Dai, CC and Liu, XZ 2010, Mechanisms
of fungal endophytes in plant protection
against pathogens, African Journal of
Microbiology Research 4:1346–1351.
Hallmann J, Kloepper JW, Rodriguez-Kabana R,
Sikora RA. 1995. Endophytic
rhizobacteria as antagonists of
Meloidogyne incognita on cucumber.
Phytopathology 85: 1136.
Hallmann, J., A. Quadt-Hallmann, W.F.
Mahaffee, and J.W. Kloepper. 1997.
Bacterial endophytes in agricultural
crops. Canadian Journal of Microbiology
43: 895-914.
Hallmann, J. 2001. Plant interaction with
endophytic bacteria. Dalam: Jeger, MJ.
and NJ. Spence, editor. Biotic Interaction
In Plant-Pathogen Associations. CAB
International.
Harni, R. dan I. Mustika. 2000. Pengaruh
infestasi Pratylenchus brachyurus,
Meloidogyne incognita dan Radopholus
similis pada tanaman nilam. Bulettin
Balittro. 11(2): 47-54.
Harni, R., A. Munif, Supramana, dan I. Mustika.
2006. Pengaruh metode aplikasi bakteri
endofit terhadap perkembangan
nematoda peluka akar (Pratylenchus
brachyurus ) pada tanaman nilam. Jurnal
Littri 12(4):161 – 165.
Harni, R., A. Munif, Supramana, I. Mustika. 2007.
Pemanfaatan bakteri endofit untuk
mengendalikan nematode peluka akar
(Pratylenchus brachyurus) pada tanaman
nilam. Jurnal Hayati 14 (1): 7-12.
Harni, R., Supramana, S.M. Sinaga, Giyanto, dan
Supriadi. 2010. Pengaruh filtrat bakteri
endofit terhadap mortalitas, penetasan
telur dan populasi nematoda peluka akar
Pratylenchus brachyurus pada tanaman
nilam. Jurnal littri 16 (1): 43-47.
Harni, R. 2010. Bakteri endofit untuk
mengendalikan nematoda peluka akar
(Pratylenchus brachyurus ) pada tanaman
nilam. Disertasi Program Doktor IPB.
Bogor.
Harni, R., Supramana, S.M. Sinaga, Giyanto, dan
Supriadi. 2012b. Keefektifan bakteri
endofit untuk mengendalikan nematoda
Pratylenchus brachyurus pada tanaman
nilam. Jurnal Littri 17(1):6-10.
Harni, R. Supramana, and Supriadi. 2012a.
Potential use of endophytic bacteria to
control Pratylenchus brachyurus on
patchouli. Indonesian Journal of
Agricultural Science 13(2): 84-93.
Harni, R. dan M.S.D. Ibrahim. 2011. Potensi
bakteri endofit untuk menginduksi
ketahanan tanaman terhadap infeksi
Meloidogyne incognita pada tanaman lada.
Jurnal Littri 17(3):118-123.
Prospek Pengembangan Bakteri Endofit Sebagai Agens Hayati Pengendalian Nematoda Parasit ... (RITA HARNI) 47
Harni, R., Supramana, S.M. Sinaga, Giyanto, dan
Supriadi. 2012b. Mekanisme bakteri
endofit mengendalikan nematoda
Pratylenchus brachyurus pada tanaman
nilam. Buletin Penelitian Tanaman
Rempah dan Obat 23(1):102-114.
Harni, R. dan A. Munif. 2012. Pemanfaatan Agens
hayati endofit untuk mengendalikan
penyakit kuning pada tanaman lada.
Buletin Riset Tanaman Rempah dan
Aneka Tanaman Industri 3 (3): 201-206.
Harni, R. dan Khaerati. 2013. Evaluasi bakteri
endofit untuk mengendalikan nematoda
Pratylenchus coffeae pada tanaman kopi.
Bulletin Ristri 4(2): 109-116.
Harni, R. 2013. Strategi pengendalian nematoda
parasit pada tanaman kopi di Indonesia.
Dalam: Bunga Rampai Inovasi Teknologi
Tanaman Kopi untuk Perkebunan
Rakyat. p107-114.
Harni, R. 2014. Pengaruh beberapa isolat bakteri
endofit terhadap nematoda puru akar
(Meloydogyne spp.) pada tanaman kopi.
Prosiding Perlindungan Tanaman II,
Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Harni, R., Supraman, and Supriadi. 2014. Eficacy
of endophytic bacteria in reducing plant
parasitic nematode Pratylenchus
brachyurus. Indonesian Journal of
Agricultural Science 15 (1):29-34.
Hackenberg, G, A. Muehlchen, T. Forge, and T.
Vrain. 2000. Pseudomonas chlororaphis
strain Sm3, bacterial antagonist of
Pratylenchus penetrans. J. Nematol
32:183-189.
Hasky-Gunther, K., S. Hoffmann-Hergarten, and
R.A. Sikora. 1998. Resistance against the
potato cyst nematode Globodera pallida
systemically induced by the rhizobacteria
Agrobacterium radiobacter (G12) and
Bacillus sphaericus (B43). Fundam. Appl.
Nematol. 21 (5):511-517.
Kado, C.I. 1992. Plant pathogenic bacteria. Dalam:
A. Balows, H. G. Truper, M. Dworkin, W.
Harder, K.-H. Schleifer (Eds.), The
Prokaryotes. New York. Springer-Verlag.
Khalid A, M. Arshad, and Z.A. Zahir. 2004.
Screening plant growth promoting
rhizobacteria for improving growth and
yield of wheat . App Microb 96:473-479.
Kimmons, C.A., K.D. Gwinn, and E.C. Bernard.
1989. Reproduction of selected nematode
spesies on endophyte infected tall fescue.
Phytophathology 79: 374.
Kloepper, JW, R. Rodriguez-Ubana, GW.
Zehnder, JF. Murphy, EA. Sikora, and C.
Fernández. 1999, Plant root-bacterial
interactions in biological control of
soilborne diseases and potential
extension to systemic and foliar diseases,
Australasian, Plant Pathology 28:21–26.
Ladha, J.K. and PM. Reddy. 1995. Introduction:
assessing opportunities for nitrogen
fixation in rice a frontier project. Plant
and Soil 194:1-10.
Li, W., DP. Roberts, PD. Dery, LSF. Meyer, S.
Lohrke, RD. Lumsden, and KP. Hebbar.
2002. Broad spectrum antibiotic activity
and disease suppression by the potential
biocontrol agent Burkholderia ambifaria
BC-F. Crop Protection 21:129-135.
Mahdy, M., J. Hallmann, and RA. Sikora. 2001a.
Influence of plant species on the
biological control activity of the
antagonistic rhizobacterium Rhizobium
etli strain G12 toward the root-knot
nematode Meloidogyne incognita. Meded
Rijksuniv Gent Fak Landbouwkd Toegep
Biol Wet 66: 655–662.
Mahdy, M., J. Hallmann., and RA. Sikora. 2001b.
Biological control of different species of
the root-knot nematode Meloidogyne with
the plant health-promoting rhizobac-
terium Bacillus cereus S18. Mededelingen
Landbouwkundige Faculteit Universiteit
Gent .
Mekete, T., J. Hallmann, K. Sebastian, and R.
Sikora. 2009. Endophytic bacteria from
Ethiopian coffee plants and their
potential to antagonise Meloidogyne
incognita. Nematology, 11(1):117-127.
Munif, A. 2001. Studies on the importance of
endophytic bacteria for the biological
control of the root-knot nematode
Meloidogyne incognita on tomato.
Inaugural-Dissertation. Institut fur
48 Volume 15 Nomor 1,Juni 2016 : 31 -49
Pflanzenkrankheiten der Rheinischen
Friedrich – Wilhelms. Universitat Bonn.
Munif, A., J. Hallmann, and R.A. Sikora. 2013.
The influence of endophytic bacterie on
Meloidogyne incognita infection and
tomato plant growth. J. ISSAAS 19(2):68-
74.
Munif, A. dan R. Harni. 2011. Keefektifan bakteri
endofit untuk mengendalikan nematoda
Meloidogyne incognita pada tanaman lada.
Buletin Riset Tanaman Rempah dan
Aneka Tanaman Industri 2(3): 377-382.
Munif dan Hipi. 2011. Keragaman bakteri endofit
dan rizosfer dari tanaman jagung (Zea
mays) pada media tanam dan varietas
yang berbeda. Seminar Nasional Serealia,
Maros, 3-4 Oktober 2011.
Munif, A. dan Kristina. 2012. Hubungan bakteri
endofit dan nematoda parasit penyebab
penyakit kuning pada tanaman lada di
Provinsi Bangka Belitung. Buletin Riset
Tanaman Rempah dan Aneka Tanaman
Industri 3(1):71-78.
Mustika I. 1990. Studies on the interaction of M.
incognita, R. similis and Fusarium solani on
black pepper (Piper nigrum L.).
Wageningen Agric Univ. Netherlands 127
p.
Mustika, I., A. Rahmat, dan Suyanto. 1995.
Pengaruh pupuk, pestisida dan bahan
organik terhadap pH tanah, populasi
nematoda dan produksi nilam. Medkom
Penelitian dan Pengembangan Tantri
15:70-74.
Mustika, I. 1996. Penyakit kuning lada dan upaya
pengendaliannya. Monograf lada.
Balittro. Hlm. 130-141.
Mustika I. 2000. Penyakit kuning dan cara
pengendaliannya. Dalam Hama dan
Penyakit Utama Tanaman Lada Serta
Teknik Pengendaliannya. Booklet. Proyek
Penelitian PHT Tanaman Perkebunan.
Hlm. 74-84.
Niranjan Raj, S., HS. SHETTY, and MS. Reddy.
2005. PGPR:Potential green alternative
for plant productivity. In; Z.A. Siddiqui
(ed.), PGPR: Biocontrol and
Biofertilization. Springer, Dordrecht, The
Netherlands. p. 197-216
Nuryani Y, Emizar, and Wiratno. 2005. Patchouli
Cultivation. Circular No. 12. Research
Institute for Medicinal and Aromatic
Crops. Bogor.
Oku, H. 1994. Plant Pathogenesis and Disease
Control. London: Lewis Publ.
Oostendorp, M. and RA. Sikora. 1990. 177 uitro
interrelationships between rhizosphere
bacteria and Heterodera schachtii. Revue de
Nématologie, 13: 269-274.
Pleban, S., F. Ingel, and I. Chet. 1995. Control of
Rhizoctonia solani and Sclerotium rolfsii in
the greenhouse using endophytic Bacillus
spp. European J. Plant Pathol 101:665-
672.
Petrini O. 1992. Fungall endhophytes of tree
leaves. Dalam: Andrews, J.H., and S.S.
Hirano, [editor]. Microbial Ecology of
Leaves. Berlin: Springer Verlag. [CABI]
Commonweal Agricultural Bureaux
International. 2004. Crop Protection
Compendium. P. 179 – 196
Racke, J, and R.A. Sikora. 1992. Isolation,
formulation and antagonistic activity of
rhizobacteria toward the potato cyst
nematode Globodera pallida. Soil Biology
and Biochemistry 24, 521-526.
Reitz, M., K. Rudolph, I. Schroder, S. Hoffmann-
Hergarten, J. Hallmann, and R.A. Sikora.
2000. Lipopolysaccharides of Rhizobium
etli G12 act in potato roots as an inducing
agent of systemic resistance to infection
by cyst nematode Globodera pallida.
Applied and Environ. Microbiol
66(8):3515-3518.
Schulz B, Rommert A, Dammann U, Aust H,
Strack D. 1999. The endophyte-host
interaction: a balanced antagonism.
Mycological Research 103: 1275-1283.
Siddiqui, I.A., and S.S. Shaukat. 2003. Endophytic
bacteria: prospects and opportunities for
the biological control of plant parasitic
nematodes. Nematological Mediterranca
31:111-120.
Siddiqui, I.A., S. Ehteshamul-Haque, and SS.
Shaukat. 2001. Use of rhizobacteria in the
control of root rot-root knot disease
complex of mungbean. Journal of
Phytopathology 149, 337–346.
Prospek Pengembangan Bakteri Endofit Sebagai Agens Hayati Pengendalian Nematoda Parasit ... (RITA HARNI) 49
Sikora, R.A., K. Schafer, and A.A. Dababat. 2007.
Modes of action associated with
microbially induced in planta
suppression of plant parasitic nematodes.
Australasian Plant Pathology 36:124-134.
Sikora, R.A. and S. Hoffmann-Hergarten. 1993.
Biological control of plant parasitic
nematodes with plant-health-promoting
rhizobacteria. Pp. 166-172. In: Pest
management: Biotechnology based
technologies. R.D. Lumsden and J.L.
Vaughn ieds). American Chemical
Society, Washington,USA.
Sriwati, R. 1999. Ketahanan beberapa kultivar
nilam (Pogostemon cablin Benth.) terhadap
Pratylenchus irachyurus (Godfrey) Filipjev.
& Stekhoven [tesis]. Bogor: Program
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Sturz, A.V., B.R. Christie, B.G. Matheson, W.J.
Arsenault, and N.A. Buchanan. 1999.
Endophytic bacterial communities in the
periderm of potato tubers and their
potential to improve resistance to soil-
borne plant pathogens. Plant Pathol
48:360–369.
Sturz, A.V, and Nowak, J. 2000. Endophytic
communities of rhizobacteria and the
strategies required to create yield
enhancing associations with crops. Appl
Soil Ecol 15:183–190.
Soesanto, L. 2009. Pengendalian hayati patogen
tanaman : peluang dan Tantangan dalam
menunjang ketahanan pangan
berkelanjutan. Pidato Pengukuhan
Jabatan Guru Besar Pada Fakultas
Pertanian, Universitas Jenderal
Soedirman. Purwokerto. P 46.
Surette, M.A., AV. Sturz, RR. Lada, J. Nowak.
2003. Bacterial endophytes in processing
carrots (Daucus carota L. var. sativus):
their localization, population density,
biodiversity and their effects on plant
growth. Plant Soil 253:381–390
Thakuria, D., N.C. Talukdar, C. Goswami, S.
Hazarika, and R.C. Boro. 2004.
Characterization and screening of
bacteria from rhizosphere of rice grown
in acidic soils of Assam. Current Science
86:978-985.
Tian H, Riggs RD, Crippen DL. 2000. Control of
soybean cyst nematode by chitinolytic
bacteria with chitin subtrate. J.
Nematology 32:370-376.
Tian, B., J. Yang, and K. Zhang. 2007. Bacteria
used in the biological control of plant-
parasitic nematodes: populations,
mechanisms ofaction, and future
prospects. FEMS Microbiol Ecol 61 : 197–
213.
Van Loon L.C. and P.A.H.M Bakker. 2006.
Induced systemic resistance as a
mechanism of disease suppression by
rhizobacteria. Di dalam: Siddiqui ZA.
Publishing Springer. PGPR: Biocontrol
and Biofertilization. Nederland. p 39-66.
Wiryadiputra, S. 2006. World Reports Indonesia.
In Sauza R.M. Ed. Plant-Parasitic
Nematodes of Coffee. Springer. P. 277-
284.
Perspektif Vol. 15 No. 1 /Juni 2016. Hlm 50 -72 DOI: http://dx.doi.org/10.21082/psp.v15n1.2016.50-72
ISSN: 1412-8004
50 Volume 15 Nomor 1, Jun 2016 : 50 -72
PEMANFAATAN TEKNOLOGI GENOMIKA DAN TRANSFORMASI
GENETIK UNTUK MENINGKATKAN PRODUKTIVITAS KELAPA SAWIT
The Use of Genomic and Genetic Transformation Technologies for Oil Palm
Productivity Improvement
I MADE TASMA
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian
Indonesian Center for Agricultural Biotechnology and Genetic Resources Research and Development
Jalan Tentara Pelajar 3A Bogor 16111- Indonesia
e-mail:[email protected].
ABSTRAK
Salah satu kendala budidaya kelapa sawit adalah
rendahnya produktivitas dengan rataan nasional 4 ton
minyak/ha/tahun jauh dari potensinya yang dapat
mencapai 18,5 ton minyak/ha/tahun. Pemuliaan
kelapa sawit secara konvensional sangat lambat dan
perlu waktu panjang. Diperlukan 10-12 tahun hanya
untuk menyelesaikan satu siklus pemuliaan. Aplikasi
teknologi genomika melalui pemuliaan berbantuan
marka dan rekayasa genetika mempercepat siklus
pemuliaan, mengurangi luas lahan untuk uji daya
hasil, dan mempercepat pelepasan varietas unggul
kelapa sawit. Tujuan dari tulisan ini untuk mengulas
pemanfaatan teknologi genomika dan transformasi
genetik untuk perbaikan produktivitas kelapa sawit
dan potensi aplikasinya untuk perbaikan produktivitas
kelapa sawit di Indonesia. Teknologi genomika telah
menghasilkan peta genom acuan dua spesies kelapa
sawit (Elaeis guineensis dan Elaeis oleifera) yang
menghasilkan gen Shell (Sh) yang mengendalikan
heterosis hasil minyak, ditemukan mekanisme
terbentuknya buah mantel, dan sebagai fondasi untuk
penemuan gen-gen unggul dan pengembangan marka
molekuler kapasitas tinggi yang mengakselerasi
program pemuliaan kelapa sawit. Pemanfaatan marka
gen Sh dan kit pendeteksi bibit penghasil buah mantel
mempercepat siklus pemuliaan kelapa sawit dan
sarana seleksi bibit tenera unggul untuk menjamin
peningkatan produktivitas kelapa sawit. Perbanyakan
individu tanaman unggul terpilih dengan teknik kultur
in vitro menjamin penggunaan bibit yang seragam di
lapang. Teknologi rekayasa genetika potensial
digunakan untuk perbaikan bahan tanaman kelapa
sawit dengan kualitas dan gizi minyak tinggi serta
produk kelapa sawit yang dapat digunakan sebagai
bioplastik. Resekuensing tiga genotipe kelapa sawit
Indonesia menghasilkan jutaan variasi genom sebagai
sumberdaya pemuliaan bernilai tinggi untuk
percepatan program pemuliaan kelapa sawit nasional.
Teknologi genomika dan rekayasa genetika sangat
potensial diaplikasikan di Indonesia mendukung
program perbaikan produktivitas dan mutu minyak
kelapa sawit nasional.
Kata kunci: Kelapa sawit, Elaeis guineensis, Elaeis
oleifera, genomika, marka DNA,
transformasi genetik, seleksi berbantuan
marka.
ABSTRACT
One of the main constrains oil palm cultivation in
Indonesia is the low productivity with national yield
average of 4 ton oil/ha/year much lower than the yield
potential of up to 18.5 ton oil/ha/year. Conventional
breeding method is a slow process and time
consuming. It takes 10-12 years just to complete a
breeding cycle. Applying genomic together with DNA
tansformation methods should expedite oil palm
breeding program. The objective of this manuscript
was to review the application of genomic and DNA
transformation technologies to improve oil palm
productivity and its potential use for yield
improvement program in Indonesia. Genomic
technology has resulted reference genome sequence
map of two oil palm species (E. guineensis and E.
oleifera) that resulted the isolation of Sh gene
controlling oil yield heterosis, discovery of mantled
fruit mechanism, and as a foundation for superior gene
and tait-associated marker discoveries to accelerate oil
palm breeding program. The use of Sh gene markers
together with mantled fruit detection kit at early stages
of plant development accelerates oil palm breeding
Pemanfaatan Tekn. Genomika dan Transformasi Genetik Untuk Meningkatkan Produktivitas Kelapa Sawit (I MADE TASMA) 51
cycle and facilitates mantled seedling detection to
guarantee productivity improvement. Multiplication of
superior individual plants using in vitro culture should
guaranty plantation high productivity in the field.
Genetic engineering technique is potentially applied to
improve palm oil quality and nutrition content as well
as developing products useful for producing
bioplastics. Resequencing studies of three Indonesian
oil palm genotypes resulted millions of genomic
variations (SNPs and Indels) important for high valued
breeding resources to accelerate national oil palm
breeding programs. Genomic as well as DNA
transformation technologies are potentially applied in
Indonesia to support national oil palm productivity
and oil quality improvement programs.
Key words: Oil palm, Elaeis guineensis, Elaeis oleifera,
genomics, DNA marker, genetic
transformation, marker-assisted selection.
PENDAHULUAN
Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.)
merupakan tanaman penghasil minyak nabati
yang paling produktif di dunia apabila
dibandingkan dengan jenis tanaman penghasil
minyak nabati lainnya seperti kanola, kelapa,
kedelai, dan bunga matahari. Walaupun kelapa
sawit hanya ditanam pada areal sekitar 5% dari
total areal tanaman penghasil minyak nabati
dunia, tetapi kelapa sawit mampu menghasilkan
sekitar 33% dari total produksi minyak nabati
dunia dan menghasilkan sekitar 45% dari total
produksi minyak makan dunia (Singh et al.,
2013b; Pootakham et al., 2015).
Produktivitas minyak tanaman kelapa sawit
per satuan luas lahan 3-8 kali lebih tinggi jika
dibandingkan dengan tanaman penghasil minyak
nabati lainnya. Pada tahun 2012, misalnya
sebanyak 56,2 juta ton minyak kelapa sawit
dihasilkan oleh lahan hanya seluas17,24 juta ha.
Pada tahun yang sama, pertanaman kanola seluas
36,4 juta ha hanya mampu menghasilkan minyak
kanola 23,6 juta ton (Singh et al., 2013b; Barcelos
et al., 2015). Dengan demikian kelapa sawit
diharapkan mampu memenuhi pertumbuhan
permintaan minyak nabati dunia dalam jumlah
besar dengan volume permintaan yang
diperkirakan mencapai 240 juta ton minyak
nabati pada tahun 2050 (Corley, 2009).
Produktivitas kelapa sawit rata-rata dunia
saat ini hanya sekitar 3,5 ton minyak/ha/tahun,
jauh dari potensinya yang diestimasi dapat
mencapai 18,5 ton minyak/ha/tahun dengan
mempertimbangkan semua atribut fisiologi
optimal (Corley, 1998). Potensi hasil tersebut di
atas adalah sekitar dua kali lipat dari
produktivitas varietas kelapa sawit terbaik yang
tersedia di pasar benih kelapa sawit saat ini.
Produktivitas kelapa sawit yang luar biasa tinggi
(12-13 ton minyak/ha/tahun) dapat diantisipasi
apabila individu-individu tanaman penghasil
tinggi tersebut dapat diperbanyak secara masal
dengan teknik klonal yang handal tanpa
menghasilkan buah abnormal (Sharma dan Tan,
1997; Ting et al., 2013). Namun perbanyakan
klonal menggunakan metode somatic
embryogenesis (SE) masih menghadapi kendala
lamanya proses untuk menghasilkan bibit klonal
kelapa sawit SE dan munculnya buah abnormal
(buah mantel) yang merugikan petani pekebun
(Ong-Abdullah et al., 2015).
Peta genom rujukan dua spesies kelapa
sawit (Singh et al., 2013a; Jin et al., 2016), yaitu
spesies asal Afrika (E. guineensis) dan kelapa
sawit asal Amerika (E. oleifera) merupakan modal
utama untuk menemukan gen-gen unggul
mendukung perbaikan varietas unggul
produktivitas tinggi melalui aplikasi pemuliaan
berdasarkan marker-assisted selection (MAS)
menggunakan materi genetik dari aksesi-aksesi
kedua spesies kelapa sawit (E. guineensis dan E.
oleifera) serta teknologi rekayasa genetika untuk
perbaikan varietas kelapa sawit untuk ketahanan
penyakit utama dan kualitas minyak yang lebih
sehat dan bernilai gizi tinggi untuk dikonsumsi
manusia. Dengan teknologi genomika dan
transformasi genetik, ketimpangan daya hasil
yang dicapai saat ini (4 ton/ha) dan potensi hasil
(18,5 ton/ha) dapat dipersempit (Seng et al., 2011;
Jin et al., 2016).
Tujuan dari tulisan ini untuk mengulas
status teknologi genomika dan aplikasinya pada
pemuliaan kelapa sawit dimulai dari
diselesaikannya sekuen genom acuan dua spesies
kelapa sawit, penemuan gen penyandi produksi
minyak (Sh), mekanisme terjadinya buah mantel,
pemetaan gen-gen penting, deteksi dan
pemanfaatan karakter unggul dari spesies
52 Volume 15 Nomor 1, Jun 2016 : 50 -72
kerabat liar (E. oleifera), teknik regenerasi in
vitro,dan pemanfaatan teknologi transformasi
genetik untuk perbaikan produktivitas dan mutu
dan gizi minyak kelapa sawit. Tujuan lainnya
adalah untuk menganalisis potensi pemanfaatan
teknologi genomika untuk digunakan pada
program perbaikan produktivitas pertanaman
kelapa sawit di Indonesia.
TIGA TIPE KELAPA SAWIT
Genus Elaeis termasuk famili Arecaceae,
merupakan salah satu famili tanaman berbunga
(flowering plants) tertua di dunia (Purseglove,
1972). Genus Elaeis terdiri dari dua spesies yaitu
E. guineensis yang berasal dari Afrika Barat dan E.
oleifera yang berasal dari Amerika Tengah dan
Amerika Selatan (Zeven, 1965; Meunier dan
Boutin, 1975; Cochard et al., 2005). E. guineensis
tipe tenera mempunyai kandungan minyak
tinggi sehingga spesies ini telah lama digunakan
dalam industri perkebunan kelapa sawit di
dunia. E. oleifera dipihak lain memiliki
kandungan asam lemak tak jenuh (unsaturated
fatty acid) lebih tinggi, kaya vitamin A dan
vitamin E, tanamannya lebih pendek dan tahan
serangan penyakit penting (Cochard et al., 2005;
Barcelos et al., 2015). Kedua spesies dapat
disilangkan untuk menghasilkan biji fertil
(Hardon dan Tan, 1969; Tandon et al., 2001).
Tanaman kelapa sawit pertama kali dibawa
ke Indonesia dari Afrika Barat melalui Mauritius
dan Amsterdam pada tahun 1884 (Corley dan
Tinker, 2003) ketika empat tanaman kelapa sawit
ditanam di Kebun Raya Bogor sebagai tanaman
hias. Industri perkebunan kelapa sawit dimulai
pada awal abad ke 20 (sekitar 1920) dan
walaupun tanaman memiliki siklus pemuliaan
yang panjang (10-12 tahun), memerlukan areal
luas untuk uji daya hasil, materi genetik dengan
produktivitas minyak tinggi (12 ton/ha/tahun)
telah berhasil diperoleh dalam waktu < 100 tahun
(Corley dan Tinker, 2003).
Buah kelapa sawit termasuk buah pelok
(drupe) terdiri dari mesocarp (mengandung
minyak kasar, CPO), endocarp (cangkang buah,
shell), dan kernel (biji) (Montoya et al., 2014;
Hartley, 1988; Billote et al., 2010). Berdasarkan
jenis ketebalan cangkang buahnya, dikenal tiga
tipe kelapa sawit yaitu dura, pisifera, dan tenera
dengan kandungan minyak setiap tipe berbeda,
tergantung pada ada atau tidak adanya gen
penyandi ketebalan cangkang (Shell gene, Sh)
yang menyandi jenis ketebalan lapisan lignin dari
cangkang yang membungkus biji (Purba et al.,
2000) (Gambar 1). Tipe kelapa sawit dura
memiliki cangkang tebal (2-8 mm) dan mampu
menghasilkan minyak sekitar 5,3 ton/ha/tahun.
Tipe pisifera, tidak memiliki cangkang, biasanya
memiliki bunga betina steril dan tandannya cepat
membusuk sebelum memproduksi minyak
(Singh et al. 2013b; Barcelos et al., 2015).
Persilangan antara tipe dura dan pisifera
menghasilkan kelapa sawit tipe tenera yang
merupakan turunan hibrida F1 dengan cangkang
berukuran tipis (0,5-3 mm). Tipe tenera ini
memiliki kemampuan menghasilkan minyak
lebih tinggi dibanding tipe dura, sekitar 7,4 ton
minyak/ha/tahun (Hartley, 1988). Karena
keunggulannya tersebut, maka tipe hibrida F1
tenera ini telah lama digunakan sebagai bibit
unggul untuk memproduksi minyak kelapa sawit
secara kommersial oleh berbagai jenis
perkebunan kelapa sawit di Asia Tenggara
(Rajanaidu et al., 2000; Purba et al., 2000; Seng et
al., 2011).
Gen Sh diwariskan secara kodominan
dimana ketiga genotipe tanaman (homosigot
dominan, heterosigot, dan homosigot resesif)
dapat dibedakan dengan jelas (Beirnaert dan
Vanderweyen, 1941; Singh et al., 2013b). Tipe
dura memiliki genotipe homosigot dominan
Sh/Sh dan tipe pisifera memiliki genotipe
homosigot resesif (sh/sh). Bunga betina tipe
pisifera biasanya steril. Tipe tenera yang
merupakan keturunan F1 dari tipe dura dan
pisifera, memiliki genotipe heterosigot (Sh/sh)
(Gambar 1) (Hartley, 1988; Billote et al., 2010;
Singh et al., 2013b).
Identifikasi tipe kelapa sawit secara
konvensional biasanya dilakukan dengan cara
membelah buah kelapa sawit secara melintang
(Gambar 1). Pengujian ini baru dapat dilakukan
setelah tanaman mulai berproduksi dan
menghasilkan tandan buah (Singh et al., 2013b;
Ting et al., 2014). Identifikasi dengan cara
konvensional ini, tidak dapat dilakukan pada
tanaman yang belum menghasilkan, apalagi
Pemanfaatan Tekn. Genomika dan Transformasi Genetik Untuk Meningkatkan Produktivitas Kelapa Sawit (I MADE TASMA) 53
tanaman yang masih pada fase pembibitan.
Padahal, kepastian jenis bahan tanam (dura,
pisifera, atau tenara) yang ditanam petani
pekebun sangat menentukan produktivitas
kelapa sawit di perkebunan kelapa sawit.
Menanam bibit yang bukan tipe tenera (dura dan
pisifera) mengakibatkan berkurangnya produksi
tandan buah segar (TBS) dan produksi minyak
kelapa sawit kasar (crude palm oil, CPO) per
satuan luas.
Produktivitas pertanaman di kebun menjadi
tidak optimal karena pertanaman tidak hanya
tipe tenera tetapi bercampur dengan tipe lainnya
(dura atau pisifera), yang mengakibatkan tingkat
produktivitas TBS bisa mencapai hanya 50%,
sedangkan rendemen minyak CPO dapat
mencapai maksimal hanya 17-18% tergantung
tingkat kontaminasi pertanaman dari tipe non
tenera (Singh et al., 2013b). Untuk mengurangi
tingkat kerugian petani pekebun sebagai akibat
dari kontaminasi bibit bukan tenera, identifikasi
tanaman bukan tenera tersebut harus dapat
dilakukan pada saat fase bibit (nursery). Disinilah
kekuatan teknologi genomika yang mengisolasi
gen ketebalan cangkang (Sh). Identifikasi marka
molekuler gen Sh tersebut akan membantu
deteksi tanaman non tenera pada fase bibit yang
menghindari kerugian petani dan menjamin
produktivitas tinggi bibit unggul yang ditanam
petani pekebun.
GENOM, BAHAN TANAM, DAN
PEMULIAAN KONVENSIONAL KELAPA
SAWIT
Genom Kelapa Sawit
Kelapa sawit termasuk tanaman diploid
yang memiliki 16 kromosom (2n=32) dengan
ukuran genom 1,8 miliar basa (giga basa, Gb)
(Bennett dan Smith, 1991; Singh et al., 2013a).
Analisis sekuen genom total E. guineensis tipe
pisifera dan E. oleifera menunjukkan bahwa
genom kelapa sawit sangat kaya dengan genom
duplikasi (duplicated regions) mengindikasikan
bahwa kelapa sawit mempunyai riwayat genom
tetraploid (paleo tetraploid) (Singh et al., 2013a).
Sebanyak 57% genom E. guineensis merupakan
sekuen berulang (repeated sequences) dimana 73%
dari elemen berulang tersebut absen pada genom
E. oleifera. Analisis sekuen transkriptom dari 30
jaringan tanaman kelapa sawit menunjukkan
bahwa genom kelapa sawit diprediksi
mengandung sedikitnya 34.802 gen (Singh et al.,
2013a). Namun, analisis sekuen genom total E.
guineensis tipe dura memprediksi bahwa kelapa
Keterangan:
Panel (a), tipe buah dari genotipe dura (Sh/Sh) memiliki
cangkang berbahan lignin (lignified shell) tebal yang
mengelilingi kernel dalam buah kelapa sawit dimana
cangkang serupa absen pada genotipe pisifera (sh/sh). Hasil
persilangan tipe dura dan tipe pisifera menghasilkan
genotipe hibrida F1 tenera (Sh/sh) yang memiliki ketebalan
cangkang tipis/medium. Panel (b), cangkang (lapisan lignin)
buah dari tipe dura, tenera, dan pisifera yang diwarnai
dengan zat pewarna phloroglucinol untuk pewarnaan lignin
(warna merah) dari cangkang buah. Sumber: Singh et al.
(2013b).
Gambar 1. Tiga tipe buah kelapa sawit (Elaeis guineensis).
54 Volume 15 Nomor 1, Jun 2016 : 50 -72
sawit E. guineensis tipe dura memiliki 36.015 gen
dan 75% gen tersebut mengkode protein yang
ada di data base genom berbagai spesies tanaman
(Jin et al., 2016).
Bahan tanam unggul
Bahan tanam kelapa sawit unggul
merupakan modal utama untuk mendapatkan
produktivitas tinggi. Dengan bahan tanam
unggul maka produksi tandan buah segar (TBS)
dan produksi minyak jauh lebih tinggi
dibandingkan penggunaan bibit asalan. Varietas
tenera merupakan bahan tanam yang paling
banyak digunakan dalam perkebunan kelapa
sawit komersial saat ini (Toruan-Mathius et al.,
1997; Purba et al., 2000; Barcelos et al., 2015), sebab
hibrida F1menunjukkan keragaan fenotipe
superior melebihi kedua tetuanya. Tipe tenera
lebih disukai untuk digunakan sebagai bahan
tanam komersial karena mempunyai proporsi
kandungan minyak di dalam mesocarp buahnya
30% lebih tinggi dibandingkan dengan tipe dura
(Setiyo et al., 2001, Fauzi et al., 2012). Beberapa
tenera unggul persentase daging buahnya dapat
mencapai 90% dan kandungan minyak per
tandannya dapat mencapai 28% (Purba et al.,
2000; Singh et al., 2013b).
Meskipun target produsen kelapa sawit
adalah untuk menanam hanya bibit tenera, tetapi
kontaminasi non-tenera dapat terjadi karena
beberapa sebab, termasuk diantaranya
penggunaan serbuk sari dari tanaman non
pisifera tanpa sengaja, penyerbukan sendiri pada
bunga tetua betina tipe dura, dan penyerbukan
dari bunga tanaman tipe dura yang ada di sekitar
kebun persilangan (Corley, 2009). Kontaminasi
ini menjadi masalah karena fenotipe buah dari
bibit yang ditanam baru dapat diidentifikasi
setelah tanaman mulai berproduksi dan
menghasilkan buah normal, yaitu pada saat
tanaman di lapang sudah berumur sekitar 5-6
tahun. Pada kondisi tanaman sudah mulai
menghasilkan, penggantian kontaminasi non
tenera sangat sulit dilakukan karena tanaman
muda pengganti tidak akan tumbuh normal
sebagai akibat tanaman muda tersebut tertutup
oleh kanopi dari pertanaman di sekitarnya yang
jauh lebih tua dengan perkembangan kanopi
yang sudah maksimal. Oleh sebab itu, metode
deteksi bibit yang bukan tipe tenera pada fase
pembibitan menjadi sangat penting. Aplikasi
teknologi genomika membantu mendesain marka
molekuler gen Sh yang dapat digunakan untuk
identifikasi tanaman non tenera pada fase bibit
(Singh et al., 2013b).
Pemuliaan Kelapa Sawit Konvensional
Kelapa sawit termasuk tanaman tahunan
menyerbuk silang dan industri perkebunan
kelapa sawit di dunia sampai saat ini umumnya
mengaplikasikan metode pemuliaan
konvensional yang diadopsi dari metode
pemuliaan jagung yang merupakan tanaman
semusim menyerbuk silang dengan metode
pemuliaannya yang sangat maju. Ada dua jenis
metode pemuliaan yang diaplikasikan pada
kelapa sawit yaitu metode modified recurrent
selection (MRS) yang diaplikasikan di Timur Jauh
(Far East) pertama kali dikembangkan oleh
Unilever, dan metode modified reciprocal recurrent
selection scheme (MRRS) yang diaplikasikan di
Afrika Barat dan Indonesia yang pertama kali
dikenalkan oleh CIRAD (Centre de Co-operation
Internationale en Recherche Agronomique pour le
Development, France) (Purba et al., 2000; Soh et al.,
2003; Soh at al., 2009).
Pada metode MRRS, tetua Dura (D) dan
Tenera (T) diidentifikasi melalui keragaan dari uji
progeni (progeny test) dari turunan silangan D x T.
Tetua D dan T yang menunjukkan keragaan
terbaik dari hasil uji progeni kemudian diserbuk
sendirikan atau diserbuk secara terbuka (sibbed)
dan D dan pisifera (P) yang dihasilkan digunakan
sebagai pasangan tetua unggul untuk
dikomersialkan. Untuk mempercepat program
pemuliaan, penyerbukan sendiri dan
penyerbukan terbuka dibuat bersamaan dengan
uji progeni, namun metode ini memerlukan lahan
yang sangat luas, sumberdaya pemuliaan dan
biaya yang sangat mahal (Soh, 1999).
Pada pemuliaan menggunakan teknik MRS,
genotipe tipe dura (D) diseleksi berdasarkan
keragaan famili dan keragaan individu tanaman
sehingga metode ini juga dikenal dengan metode
seleksi berdasarkan famili dan individu tanaman
(Rosenquist, 1990) tanpa adanya uji keturunan
(progeny test) dari tipe D. Tanaman genotipe
pisifera (P) dipilih berdasarkan keragaan
Pemanfaatan Tekn. Genomika dan Transformasi Genetik Untuk Meningkatkan Produktivitas Kelapa Sawit (I MADE TASMA) 55
pesilangan setetua (sib) tipe T pada persilangan T
x T/P. Genotipe tipe P yang terpilih kemudian
disilangkan dengan tipe D terpilih untuk
membentuk genotipe tipe hibrida T yang
digunakan pada uji keturunan dan T yang
menunjukkan keragaan superior (unggul)
dianggap bahwa tetua P terpilih dapat digunakan
untuk pembentukan benih unggul D x P
menggunakan tipe D yang menunjukkan daya
gabung umum terbaik dengan tipe P terpilih.
Kombinasi persilangan D x P terbaik tersebut
kemudian digunakan untuk membuat
persilangan untuk pembentukan benih tipe T
komersial. Keuntungan dari metode ini, bahwa
sistem pemuliaan ini dapat dengan cepat
menghasilkan varietas unggul kelapa sawit tipe T
walaupun tetua D belum sempat diuji
keturunannya (Soh dan Hor, 2000)
Sebagai tanaman tahunan, kelapa sawit
mempunyai siklus generasi yang panjang. Buah
kelapa sawit menjadi matang setelah berumur 5
bulan sejak dilakukan penyerbukan. Perlu waktu
100-120 hari untuk mengecambahkan benih
termasuk 40-60 hari perlakuan panas pada benih
(heat treatment), diikuti 10-12 bulan
menumbuhkannya di pembibitan. Tanaman
kemudian baru mulai berbuah pada umur 2-3
tahun setelah penanaman di lapang (Mayes et al.,
2008). Pada umur pertanaman di lapang 2-3
tahun ini, tipe buah (dura, pisifera, atau tenera)
kemudian baru dapat diidentifikasi dan
pengamatan komponen hasil baru dapat dimulai.
Secara keseluruhan, dengan demikian akan
diperlukan setidaknya 8-10 tahun bahkan
umumnya 10-12 tahun untuk menyelesaikan satu
siklus pemuliaan (Wong dan Bernardo, 2008),
agar data pengamatan materi genetik yang diuji
lengkap dan tanaman yang terpilih dapat
diperoleh untuk digunakan pada siklus
pemuliaan berikutnya.
Rival (2007) melaporkan beberapa kendala
utama yang dihadapi oleh pemulia kelapa sawit
konvensional pada pemuliaan kelapa sawit
secara konvensional, diantaranya adalah
panjangnya setiap generasi dan siklus seleksi (10-
12 tahun) yang memerlukan areal penelitian yang
luas; terbatasnya pengetahuan diversitas genetik
dan tingkat heterosigositas dari materi genetik
yang diuji; kompleksnya ekspresi fenotipik dari
karakter kuantitatif yang diinginkan menjadi
target pemuliaan; dan tidak tersedianya metode
untuk menentukan ketiga tipe kelapa sawit
(dura, pisifera, atau tenera) sejak dini
pertumbuhan tanaman yaitu pada level bibit
sebelum bibit tersebut ditanam di lapang.
Konfirmasi tipe kelapa sawit (bentuk buah
dan ketebalan cangkang) yang dimiliki pada level
bibit menggunakan marka molekuler untuk
ketebalan cangkang menjadi sangat penting.
Sebagai contoh, hanya 50% tipe pisifera
diharapkan diperoleh pada persilangan T x P.
Jika identitas P dapat diketahui sejak dini pada
level bibit, maka hanya tipe P yang akan ditanam
di lapang sehingga pemuliaan dan uji individu P
akan dapat dilakukan dengan lebih fokus dan
akan mendapatkan tipe P unggul lebih cepat dan
dengan cara yang jauh lebih efektif dan efisien.
Dengan bantuan marka molekuler gen ketebalan
cangkang buah (Sh) akan menghemat
penggunakan sumber daya pemuliaan, karena
penggunaannya akan lebih efisien dan efektif
sehingga varietas unggul baru akan diperoleh
lebih cepat dengan biaya yang lebih murah
dibandingkan dengan pemuliaan metode
konvensional.
SEKUEN GENOM ACUAN UNTUK
AKSELERASI PROGRAM PEMULIAAN
KELAPA SAWIT
Untuk mengeksplorasi kandungan genetik
total dan potensi genetiknya secara utuh
diperlukan melakukan pengurutan susunan basa
genom total (whole genome sequencing) dari genom
kelapa sawit. Langkah awal untuk identifikasi
urutan basa komprehensif tersebut, diperlukan
adanya peta genom acuan (reference genome
sequence) kelapa sawit seperti telah dilakukan
pada spesies tanaman penting lainnya seperti
padi (Yu et al., 2002), jagung (Schnable et al.,
2009), kedelai (Schmutz et al., 2010), kakao
(Argout et al., 2011), kentang (Xu et al., 2011), date
palm (Al-Dous et al., 2011), dan pisang (D’Hont et
al., 2012). Sekuen genom acuan ini menjadi
pedoman untuk studi lanjutan dari berbagai
individu aksesi/genotipe anggota spesies
maupun spesies yang berkerabat dekat dengan
kelapa sawit. Revolusi teknologi sekuensing
56 Volume 15 Nomor 1, Jun 2016 : 50 -72
DNA dengan teknologi NGS menurunkan biaya
sekuensing genom yang memungkinkan
menyekuen lebih banyak genom spesies tanaman
dengan biaya yang terjangkau (Varsney et al.,
2009; Varsney et al., 2012; Tasma 2015b; Tasma
2016a).
Saat ini sekuen genom acuan kelapa sawit
dari dua spesies kelapa sawit telah tersedia untuk
umum (Singh et al., 2013a; Jin et al., 2016).
Ukuran genom kelapa sawit diperkirakan sebesar
1,8 GB dan dari ukuran genom tersebut 1,54 GB
sudah selesai disekuen dan urutan basanya telah
tertata dengan baik. Sekuen genom acuan ini
menggunakan genotipe kelapa sawit E. guineensis
tipe pisifera AVROS dan spesies kerabat liar
kelapa sawit (E. oleifera) yang telah dipublikasi
dan sekuennya dapat diakses oleh publik (Singh
et al., 2013a). Akhir-akhir ini dilaporkan juga
sekuen genom E. guineensis tipe dura (Jin et al.,
2016) yang memperkaya informasi data sekuen
genom kelapa sawit secara keseluruhan.
Ketersediaan sekuen genom acuan dari dua
spesies kelapa sawit tersebut sangat penting
dalam studi genom komparasi (comparative
genomic study) antara kedua spesies, dimana
kedua spesies tersebut dapat disilangkan untuk
introgresi karakter penting yang dimiliki E.
oleifera, namun karakter tersebut tidak dimiliki
oleh spesies E. guineensis, karena hasil silangan
kedua spesies menghasilkan biji fertil (Hardon
dan Tan, 1969; Tandon et al., 2001). Spesies E.
oleifera dilaporkan memiliki beberapa keunggulan
fenotipe seperti misalnya batangnya yang pendek
(laju pertumbuhan batang yang lambat); tahan
terhadap serangan beberapa penyakit penting;
komposisi minyaknya yang kaya akan vitamin A
dan vitamin E; minyaknya lebih sehat untuk
dikonsumsi karena kandungan asam lemak tak
jenuh (unsaturated fatty acid) yang tinggi (Barcelos
et al., 2015). Pengetahuan sekuen acuan E. oleifera
melalui studi genomika modern, dengan
demikian menjadi sangat penting untuk
mengetahui potongan-potongan DNA yang
mengendalikan karakter-karakter unggul
tersebut untuk digunakan pada program
pemuliaan untuk memperbaiki kelemahan dari
varietas unggul spesies E. guineensis yang
tersedia saat ini.
Genom kedua spesies juga kaya dengan area
duplikasi genom (genome duplication regions) yang
mengindikasikan bahwa kelapa sawit pada
awalnya merupakan tanaman tetraploid (paleo
tetraploid) dan pada proses evolusinya genom
kelapa sawit berubah menjadi tanaman dengan
genom diploid. Sekitar 57% sekuen E. guineensis
adalah sekuen berulang (repeated elements),
dimana 73% dari element berulang tersebut absen
pada genom E. oleifera (Singh et al., 2013a) yang
menunjukkan bahwa telah terjadi spesiasi tingkat
molekuler (molecular speciation) yang intensif
yang juga kelihatannya berpengaruh terhadap
tingkat fertilitas dari benih yang dihasilkan dari
persilangan kedua spesies tersebut (Barcelos et
al., 2015).
Genom kelapa sawit diprediksi memiliki
sedikitnya 34.802 gen berdasarkan analisis data
sekuen genom dan data sekuen transcriptome dari
30 tipe jaringan tanaman kelapa sawit (Singh et
al., 2013a). Untuk mempelajari tingkat metilasi
genom kelapa sawit yang terkait dengan studi
epigenetika, telah juga disekuen pustaka genom
dari E. guineensis yang telah difilter kandungan
metilnya (methylated-filter libraries) (Low et al.,
2014). Dari data tersebut telah ditemukan
mekanisme terjadinya fenomana buah mantel
kelapa sawit yang diakibatkan oleh hilangnya
senyawa metil pada retrotransposon Karma pada
gen DEFICIENS (Ong-Abdullah et al., 2015).
Analisis penemuan SNP melalui penjajaran data
resekuen genom pada masing-masing spesies
diperoleh berturut-turut sebanyak 2,30 dan 2,83
variasi single nucleotide polymorphisms (SNPs)
untuk E. guineensis dan E. oleifera pada setiap 100
basa sekuen.
GEN TUNGGAL PENGENDALI
KANDUNGAN MINYAK PADA BUAH
DIISOLASI
Gen mayor tunggal yang dikenal dengan
gen ketebalan cangkang (Shell gene, Sh) telah
diisolasi dari genom kelapa sawit berkat bantuan
teknologi sekuensing dan genomika modern serta
regulasi gen tersebut mengendalikan daya hasil
minyak tanaman kelapa sawit (Singh et al.,
2013b). Identifikasi gen pengendali ketebalan
cangkang buah kelapa sawit dan mutasinya
Pemanfaatan Tekn. Genomika dan Transformasi Genetik Untuk Meningkatkan Produktivitas Kelapa Sawit (I MADE TASMA) 57
memunculkan tipe buah dura, tenera dan pisifera
menjelaskan fenomena heterosis gen tunggal
pada tanaman kelapa sawit tipe tenera (Singh et
al., 2013b). Protein dari gen Shell adalah protein
faktor transkripsi MADS box tipe II yang
memiliki homologi dengan protein Seedstick
(STK) pada tanaman model Arabidopsis thaliana
dan protein OsMADS13 pada tanaman padi.
Protein-protein tersebut merupakan anggota
jaringan protein faktor transkripsi yang
mengendalikan proses diferensiasi bakal biji
(ovule), biji, dan endocarp yang memiliki lignifikasi
pada A. thaliana serta diferensiasi bakal biji (ovule)
dan fertilitas pada tanaman padi (Favaro, 2003;
Pinyopich, 2003; Dinneny dan Yanofsky, 2005).
Protein MADS-box berfungsi melalui proses
heterodimerisasi dengan protein anggota MADS-
box keluarga lainnya. Seperti yang diperkirakan
dari analisis homologi, protein Shell tipe liar (wild
type) melakukan proses heterodimerisasi atau
bergandengan dengan protein Sepallata MADS-
box dari tanaman padi yang bernama OsMADS24
dari hasil pembuktian menggunakan analisis
yeast two hybrid system (Singh et al., 2013b). Alel
dari mutan shMPOB ditemukan di antara progeni
turunan tenera T128 dari Nigeria yang memiliki
perubahan nukleotida ‚T‛menjadi ‚C‛ yang
berakibat pada perubahan asam amino ‘leusin’
menjadi ‘prolin’ pada lokasi penting yaitu lokasi
terkonservasi (conserved region) dari domain
protein MADS-box. Alel mutan shAVROS yang
teridentifikasi dari silsilah 50 tahun persilangan
yang memisahkan alel pisifera AVROS yang
berasal dari Kongo (Afrika) memiliki perubahan
nukleotida ‚A‛ menjadi ‚T‛ yang menyebabkan
perubahan asam amino ‘lysine’ menjadi ‘arginin’
(Singh et al., 2013b). Kedua mutasi ini terjadi
dalam struktur alfa heliks (alpha helix structure)
dari protein MADS-box. Struktur ini biasa
ditemukan pada semua domain MADS-box yang
terlibat untuk proses heterodimerisasi dan ikatan
untuk DNA.
Kelapa sawit dengan tipe buah dura yang
bercangkang tebal adalah homozygot untuk
nukleotida tipe liar atau wild type (ShDeliDura) pada
masing-masing dua posisi varian nukleotida.
Heterosigositas baik untuk alel shMPOB atau
shAVROS (ShDeliDura/ shMPOB atau ShDeliDura/shAVROS)
menghasilkan tipe buah tenera bercangkang
medium atau tipe tenera. Kelapa sawit
homozigot untuk masing-masing mutasi atau
heteroallelic untuk kedua mutasi (heterozygot
untuk mutasi shAVROS pada satu kromosom dan
mutasi heterozigot shMPOB pada kromosome yang
lainnya) menghasilkan tipe buah pisifera yang
tidak bercangkang. Kasus dimana tipe pisifera
tanpa cangkang yang memiliki kedua alel shAVROS
dan shMPOB yang tidak saling melengkapi
fungsinya membuktikan identitas dari gen Shell
(Singh et al., 2013b).
Penemuan pendeteksi gen Shell dan gen
mutan yang terlibat dalam penentuan tipe bentuk
buah memungkinkan pengujian secara molekuler
yang lebih akurat dan lebih tepat untuk
memprediksi tipe bentuk buah pada fase
pembibitan sebelum bibit kelapa sawit ditanam
di lapangan. Deteksi ini dapat menentukan
tingkat persentase kontaminasi non tenera (dura
atau pisifera) di perkebunan sehingga dapat
digunakan untuk mengukur dampak ekonomi
akibat ketidakmurnian (kontaminasi) bibit tenera
oleh bibit non tenera yang ditanam di lapang. Kit
untuk deteksi kemurnian bibit tenera secara
akurat yang disintesis berdasarkan sekuen gen Sh
telah dikembangkan berkat tersedianya data
sekuen genom rujukan kelapa sawit yang
memfasilitasi penemuan dan isolasi gen penting
ini. Metode deteksi akurat ini telah ditemukan
untuk membantu industri perkebunan kelapa
sawit untuk deteksi materi genetik unggul kelapa
sawit pada fase awal pertumbuhan tanaman
(pada fase pembibitan) yang mencegah
penanaman bibt yang bukan tenera unggul.
Teknologi genomika modern telah mampu
mengisolasi gen vital (Sh) yang menentukan
tinggi rendahnya hasil minyak suatu genotipe
kelapa sawit.
Anggota famili gen Mad-box lainnya selain
gen Sh yang perlu menjadi perhatian untuk
perbaikan bahan tanaman kelapa sawit ke depan
antara lain Agamous-like15 (Agl15) yang
meregulasi peningkatan keberhasilan
embriogenesis somatik pada Arabaidopsis. Fungsi
gen ini adalah mengkatabolisme asam giberelat
yang sangat relevan dengan proses
embriogenesis somatik dengan target gen-gen
yang dipengaruhi ekspresinya adalah Leafy
Cotyledon2, Fusca3, dan ABA Insensitive3, yang
58 Volume 15 Nomor 1, Jun 2016 : 50 -72
proteinnya merupakan regulator kunci pada
proses embriogenesis somatik tanaman (Zheng et
al., 2009). Gen dengan fungsi mirip dengan Agl15
yang menstimulasi proses embrio somatik pada
tanaman dikenal dengan gen Baby Boom (BBM)
yang diisolasi dari genom Brassica napus, dan Bn-
BBM hanya diekspresikan pada proses
embriogenesis dan perkembangan biji (Boutilier
et al., 2002). Overekspresi gen ini pada Brassica
napus dan Arabidopsis menginduksi
embryogenesis pada kedua tanaman tanpa
diperlukan adanya tambahan zat pengatur
tumbuh dari luar kultur (Boutilier et al., 2002).
Transformasi genetik kedua gen ini (Agl15 dan
Bn-BBM) ke genom kelapa sawit unggul
diharapkan mampu meningkatkan keberhasilan
perbanyakan klonal kelapa sawit melalui teknik
embrio somatik yang saat ini tingkat keberhasilan
dan efisiensinya masih sangat rendah.
REGENERASI IN VITRO KELAPA SAWIT
UNTUK PERBANYAKAN
KLONAL DAN TRANSFORMASI GENETIK
GEN UNGGUL
Regenerasi tanaman kelapa sawit secara in
vitro sangat penting untuk memperbanyak
individu tanaman unggul secara klonal. Individu
tanaman unggul dengan produktivitas tinggi
individu terpilih yang dapat mencapai 12-13 ton
minyak/ha/tahun dapat dilakukan secara
vegetatif menggunakan teknik in vitro. Bahan
tanam yang ditanam di lapang menjadi seragam
dan merupakan klon dari individu unggul
terpilih. Penguasaan metode regenerasi in vitro
yang handal dan dengan pengulangan metode di
laboratorium masih tetap menghasilkan bahan
tanaman dengan kualitas dan kuantitas yang
sama (reproducibilty tinggi) juga merupakan
prasyarat mendasar agar dapat melaksanaan
penelitian transformasi genetik menggunakan
teknik rekayasa genetika untuk merakit tanaman
transgenik yang memiliki karakter unggul target
pemuliaan.
Perbanyakan individu terpilih tanaman
kelapa sawit unggul melalui kultur in vitro
meningkatkan produktivitas tanaman di lapang
sekitar 30% lebih tinggi dibandingkan dengan
menggunakan benih hibrida komersial D x P
(Wahid et al., 2005). Namun demikian, secara
umum perbanyakan tanaman kelapa sawit
dengan teknik kultur in vitro saat ini masih belum
efisien karena memerlukan waktu panjang dan
tenaga banyak untuk memproduksi bibit klonal.
Hanya sekitar 15% eksplan yang digunakan akan
menghasilkan kalus dan hanya 3% kalus akan
menghasilkan embrio somatik (Soh et al., 2006).
Induksi, pematangan, dan tingkat
pengecambahan embrio somatik pada tanaman,
termasuk kelapa sawit dipengaruhi oleh
beberapa faktor diantaranya adalah komposisi
media, vitamin, asam amino, dan zat pengatur
tumbuh seperti auksin dan sitokinin (Asad et al.,
2009).
Somatik embriogenesis kelapa sawit sudah
berhasil dilakukan oleh cukup banyak peneliti
menggunakan metode yang berbeda-beda baik
dari segi komposisi media, zat pengatur tumbuh,
dan sumber eksplan yang digunakan (Mariska et
al., 2012; Marbun et al. 2015; Kerdsuwan dan Te-
Chato, 2015). Mariska et al. (2012) sebagai contoh,
menguji berbagai komposisi media kultur untuk
menghasilkan embrio somatik menggunakan
eksplan spear (daun muda yang belum
membentuk klorofil) yang diuji pada lingkungan
kultur berbeda. Komposisi media terbaik untuk
proliferasi kalus embrionik adalah MS diperkaya
dengan casein hidrolisat 500 mg/l, sukrosa 30 g/l,
arang aktif 3 g/l dan 2,4-D 50 mg/l. Formulasi
media optimum untuk pendewasaan tunas
adalah MS modifikasi diperkaya dengan BA 0,5
mg/l, kinetin 0,05 mg/l dan arang aktif 3 g/l. Dari
penelitian ini telah dihasilkan ratusan struktur
embrio somatik kelapa sawit dengan kotiledon
dan tunas (Mariska et al., 2012). Marbun et al.
(2015) melaporkan peningkatan induksi embrio
somatik kelapa sawit menggunakan teknik
temporary immersion system (TIS) menggunakan
media dan interval waktu perendaman yang
berbeda. Komposisi media terbaik untuk
meningkatkan proliferasi kalus embriogenik
menggunakan TIS adalah MSD dengan interval
waktu perendaman setiap tiga jam selama tiga
menit. Kerdsuwan dan Te-Chato (2015) berhasil
mengiduksi embrio somatik kelapa sawit
menggunakan eksplan akar yang ditumbuhkan
pada media OPCM yang diperkaya dengan 3%
sukrosa, 200 mg/l asam askorbat dan 0,5 mg/l
Pemanfaatan Tekn. Genomika dan Transformasi Genetik Untuk Meningkatkan Produktivitas Kelapa Sawit (I MADE TASMA) 59
NAA. Telah diperoleh sebanyak 1,2 embrio
somatik dari setiap eksplan akar dengan
persentase pembentukan embrio somatik yang
dapat mencapai 80%.Keberahasilan perbanyakan
in vitro kelapa sawit ini merupakan modal dasar
dan fondasi sangat penting untuk dapat
melakukan penelitian transformasi genetik gen-
gen penting dalam rangka perakitan tanaman
transgenik kelapa sawit pembawa gen-gen
unggul yang menjadi target pemuliaan.
MEKANISME BUAH MANTEL
DIKETAHUI DAN DETEKSI MUTAN
MANTEL PADA FASE BIBIT
DIKEMBANGKAN
Mekanisme terjadinya abnormalitas buah
kelapa sawit (yang lebih dikenal dengan buah
mantel) telah diketahui dan telah dilaporkan
pada majalah Nature 2015 (Ong-Abdullah et al.,
2015). Abnormalitas buah merupakan masalah
utama perbanyakan tanaman kelapa sawit
dengan menggunakan teknik kultur in vitro yang
dapat menghasilkan variasi somaklonal pada
bibit. Celakanya lagi, bahwa abnormalitas dari
bibit yang ditanam tersebut baru dapat diketahui
setelah tanaman berproduksi yaitu setelah
tanaman berumur sekitar 4-6 tahun setelah tanam
di lapang. Dengan diketahuinya mekanisme
terjadinya buah mantel tersebut, terbuka jalan
untuk mengembangkan metode deteksi bahan
tanam yang berpotensi menghasilkan buah
mantel pada fase awal pertumbuhan tanaman
(fase bibit) sehingga bahan tanaman hasil
perbanyakan dengan teknik kultur in vitro dapat
dianalisis pada level bibit tingkat
abnormalitasnya dan bibit yang ditanam oleh
petani pekebun adalah benar-benar bibit normal
yang menghasilkan tanaman kelapa sawit yang
berbunga dan berbuah normal di lapang. Metode
deteksi dini ini tentu menghemat waktu, biaya,
dan meyakinkan petani pekebun bahwa bibit
yang mereka tanam adalah bibit unggul yang
berbuah normal, yang akan berdampak pada
produktivitas per hektar dan berpengaruh juga
pada produksi kelapa sawit nasional, pendapatan
petani pekebun dan pendapatan negara dari
pajak. Dengan diketahuinya bibit yang ditanam
unggul (benar-benar tipe tenera normal) dan
dapat berbunga dan berbuah normal,
menguntungkan petani pekebun dan juga negara
produsen minyak kelapa sawit.
Terjadinya buah mantel karena fenomena
epigenetik selama proses perbanyakan bahan
tanam dengan teknik in vitro. Epigenetik
menghasilkan fenotipe berbeda bukan karena
perbedaan sekuen pada gen pengendali karakter
pembungaan atau buah tetapi karena perbedaan
ekspresi gen pengendali karakter tersebut.
Ekspresi gen ditentukan salah satunya pada ada
tidaknya metilasi pada sekuen gen. Analisis
epigenetic wide association study (EWAS) dan
bisulfite sequencing genom kelapa sawit berbuah
normal dan yang berbuah mantel menunjukkan
bahwa proses epigenetik pada buah mantel
kelapa sawit ini terjadi karena hilangnya gugus
metil (hypomethylated) pada retrotransposon yang
diberi nama ‘karma’ berlokasi pada intron
(tepatnya pada tempat pemotongan intron, intron
splicing site) dari sekuen gen pembungaan yang
dinamakan dengan gen DEFISIENS (Ong-
Abdullah et al., 2015). Hilangnya gugus metil
pada tempat pemotongan intron (inton splicing
site) tersebut menyebabkan proses pemotongan
intron pada pembentukan messenger RNA
(mRNA) gen tidak menggunakan normal exon
untuk pemotong intron, tetapi sebagai gantinya
menggunakan retrotransposon ‘karma’ dan
produk pemotongan intron ini menghasilkan
bacaan mRNA gen DEFISIENS berbeda dari pada
cara pemotongan intron normal dan sebagai
akibatnya menghasilkan protein mutan dan
fenotipe bunga mantel (Gambar 2c) (Ong-
Abdullah et al. 2015). Tanaman dengan buah
mantel yang memiliki ‘karma’ dengan tanpa
gugus metil pada splicing site intron gen
DDEFISIENS disebut dengan karma jelek (bad
karma). Dipihak lain, adanya gugus metil pada
intron splicing site ‘karma’ yang menghasilkan
bunga dan buah normal disebut dengan karma
baik (good karma) (Gambar 2a).
Mekanisme epigenetik buah mantel diatas
menghasilkan metode uji sederhana untuk
membedakan tanaman yang mampu
menghasilkan buah normal dari tanaman yang
berpotensi menghasilkan buah mantel. Uji
epigenetik sederhana (simple epigenetic test), mirip
dengan metode deteksi murah pada orang hamil
60 Volume 15 Nomor 1, Jun 2016 : 50 -72
untuk mendeteksi panel penyakit pada bayi yang
masih dalam kandungan sedang dikembangkan
untuk dapat mendeteksi tanaman yang
berpotensi menghasilkan buah mantel pada fase
bibit dan bahkan pada fase planlet pada
perbanyakan bibit yang akan meningkatkan
produktivitas kelapa sawit. Dengan metode
deteksi ini bibit unggul akan dapat diperbanyak
dengan cepat menggunakan teknik kultur in vitro
(in vitro culture) tanpa ada kekhawatiran akan
menghasilkan tanaman mantel. Metode deteksi
ini dan bibit normal yang terseleksi berdampak
pada peningkatan produktivitas kelapa sawit per
satuan luas dan peningkatan produktivitas
minyak kelapa sawit nasional termasuk juga
peningkatan pendapatan petani pekebun dan
pendapatan negara dari pajak disamping juga
mengurangi luasan lahan yang dipergunakan
untuk perluasan perkebunan kelapa sawit.
Dampak penemuan mekanisme buah mantel
sebagai hasil pemanfaatan teknologi genomika
modern dari sekuen genom rujukan kelapa sawit,
teknologi EWAS untuk pemetaan metilasi pada
genom total, dan bisulfite resequencing genom
untuk genotipe dengan buah normal dan
genotipe dengan buah mantel telah
menghasilkan teknologi yang secara nyata akan
meningkatkan produktivitas kelapa sawit per
satuan luas yang akan mengurangi pemanfaatan
lahan untuk menghasilkan tonase minyak kelapa
sawit yang sama.
PENGEMBANGAN VARIETAS KELAPA
SAWIT TIPE IDEAL
Pemanenan buah kelapa sawit yang
umumnya dilakukan secara manual biayanya
sangat mahal, sulit dilakukan terutama pada
tanaman kelapa sawit berumur lanjut yang
ketinggiannya bisa mencapai 25-30 m perlu
tenaga intensif (Corley dan Tinker, 2003). Perlu
sistem mekanisasi untuk memanen buah kelapa
sawit dengan batang tinggi, tandan buah jatuh ke
tanah ada yang terlepas dari tandan buah sebagai
akibat benturan buah dengan tanah disaat buah
jatuh dari ketinggian. Diperlukan tenaga kerja
tambahan untuk memungut buah yang terlepas
pada saat panen.
Alternatif yang lebih menarik adalah
merakit varietas unggul dengan batang pendek
(laju pertumbuhan batang lambat) yang menjadi
tantangan tersendiri bagi pemulia kelapa sawit.
Tanaman dengan batang pendek lebih ekonomis
dibudidayakan disamping memperpanjang masa
produktivitas tanaman kelapa sawit di lapang.
A B C
Gambar 2. Keragaan buah kelapa sawit normal
(gambar paling kiri) dan buah
mantel (mantled fruit, gambar paling
kakan).
Keterangan: Panel A, buah normal; panel B, buah mantel
fertil; panel C, buah mantel partenokarpi. Keragaan buah
utuh (gambar paling atas), irisan buah longitudinal
(gambar tengah), dan irisan buah melintang (gambar paling
bawah). Panah warna hitam menunjukkan karpel semu
(pseudocarpels), dan panah warna putih menunjukkan biji
(kernel) buah kelapa sawit. Peneliti genomika telah
menemukan mekanisme terjadinya buah mantel yaitu
hilangnya unsur metil pada transposon ‚Karma‛ yang
berlokasi pada gen DEFICIENS yang dapat menyebabkan
terjadinya buah mantel (mantled fruit) karena mekanisme
epigenetik (epigenetic mechanism). Menggunakan
mekanisme epigenetik tersebut, test kit sederhana
dikembangan dan bisa digunakan petani pekebun untuk
mengidentifikasi bibit tanaman mutan yang potensiall
menghasilkan buah abnormal pada fase awal pertumbuhan
tanaman (pada fase bibit) bahkan tanaman masih pada fase
kultur jaringan dan memisahkan tanaman abnormal
(dengan buah mantel) dari tipe bibit yang menghasilkan
buah normal. Sumber: Ong-Abdullah et al. (2015).
Pemanfaatan Tekn. Genomika dan Transformasi Genetik Untuk Meningkatkan Produktivitas Kelapa Sawit (I MADE TASMA) 61
E. guineensis yang berasal dari Afrika Barat
saat ini banyak dibudidayakan oleh industri
perkebunan kelapa sawit di dunia khususnya
yang dominan di Asia Tenggara mempunyai laju
pertumbuhan batang (height increment) cukup
cepat, yaitu 45-75 cm/tahun. Laju pertumbuhan
batang E. oleifera yang berasal dari Amerika
Selatan jauh lebih lambat yaitu sekitar 5-10
cm/tahun (Corley dan Tinker, 2003). Hibrida F1
hasil persilangan E. guineensis dan E. oleifera
mempunyai laju pertumbuhan batang medium
(mid-parent heigh increment) berkisar 15 – 25
cm/tahun yang menunjukkan kemanfaatan dari
introgresi gen batang pendek dari spesies kerabat
liar E. oleifera ke genom kelapa sawit budidaya E.
guineensis. Strategi ini memungkinkan industri
kelapa sawit di dunia untuk menciptakan
berbagai genotipe F1 hasil silangan kedua
spesies, salah satunya adalah seri genotipe kelapa
sawit berbatang pendek di Malaysia dengan laju
pertumbuhan batang 40 cm/tahun dengan
potensi hasil 7 ton/ha/tahun (Rajanaidu, 1994;
Rajanaidu et al., 2000). Di Kosta Rika juga telah
dikembangkan genotipe kelapa sawit berbatang
pendek dan toleran temperatur rendah dan
kekeringan hasil persilangan antara E. guineensis
Ekona dan E. oleifera Bamenda (Barcelos et al.,
2015).
Quantitative trait loci (QTL) yang
mengendalikan karakter laju pertumbuhan
batang sudah dipetakan pada kromosom (linkage
group) 5 pada genom kelapa sawit dan QTL
tersebut dapat menjelaskan 51% varian fenotipik
tinggi batang yang dikatagorikan sebagai QTL
mayor yang berperan penting dalam menentukan
fenotipe tinggi batang (Lee et al., 2015). Analisis
lokasi QTL lebih detil pada sekuen genom
rujukan menunjukkan bahwa QTL tersebut
berada pada kisaran sekuen DNA sepanjang 65,6
kb, pada area sekuen tersebut ditemukan delapan
gen, salah satunya adalah gen penyandi
asparagine synthase-related protein yang diduga
sebagai gen pengendali QTL tinggi batang pada
progeni tenera pada penelitian ini (Lee et al.,
2015).
Satu progeni tanaman hibrida F1 hasil
persilangan E. oleifera dengan E guineensis yang
dilakukan di Kosta Rika menunjukkan fenotipe
selain batangnya pendek juga menunjukkan
fenotipe daun yang jauh lebih pendek
dibandingkan dengan varietas kelapa sawit E
guineensis standar dura x pisifera.
Pengembangan hibrida ini lebih lanjut
menghasilkan bahan tanam unggul COMPACT
yang dijual secara komersial. Laju pertumbuhan
batang varietas COMPACT < 40 cm/tahun
(Escobar dan Alvarado, 2004). Dibandingkan
dengan panjang daun (7-8 m) pada bibit unggul
standar dura x pisifera, varietas COMPACT
mempunyai panjang daun 6,5 m yang
meningkatkan jumlah populasi menjadi 180-200
tanaman/ha dibandingkan dengan 138-143
tanaman pada perkebunan standar
menggunakan bibit hibrida F1 dura x pisefera
(Corley dan Tinker, 2003; Escobar dan Alvarado,
2004).
Hasil persilangan COMPACT dengan
standar E. guineensis seperti Deli Dura
menghasilkan panjang daun 6,5-6,9 m yang juga
masih lebih baik dibandingkan standar varietas
kelapa sawit E. guineensis. Varietas baru yang
mendekati tipe ideal tersebut tentu
menguntungkan petani pekebun karena
meningkatkan jumlah populasi yang ditanam per
hektar yang berimplikasi pada kenaikan
produktivitas kelapa sawit/ha dan efisiensi dalam
pemanfaatan lahan. Pemanfaatan teknologi
genomika modern dan tersedianya sekuen
genom rujukan dua varietas kelapa sawit sangat
menentukan keberhasilan dan kecepatan
identifikasi dan isolasi gen-gen penting ini (gen
pengendali batang pendek dan gen pengendali
panjang daun yang menentukan masa
produktivitas, kemudahan panen, lebar kanopi
pertanaman dan jumlah pohon yang bisa
ditanam per satuan luas). Marka DNA yang
didesain berdasarkan gen-gen penting ini
digunakan untuk mempercepat introgresi
karakter unggul dan menyeleksinya
menggunakan teknik MAS. Teknologi genomika
mengakselerasi pemuliaan tanaman tipe ideal
dengan produktivitas tinggi ini yang
berimplikasi pada perbaikan produktivitas
kelapa sawit.
62 Volume 15 Nomor 1, Jun 2016 : 50 -72
PENGEMBANGAN VARIETAS DENGAN
MUTU MINYAK TINGGI
Delapan puluh persen minyak kelapa sawit
dunia digunakan untuk industri makanan dan
20% sisanya digunakan untuk industri
oleochemical seperti sabun, deterjen, pelarut,
bahan pelumas (lubricant), bioplastik dan
biodiesel (Rosillo-Calle et al., 2009). Akhir-akhir
ini dengan berkembangnya industri bahan bakar
terbarukan, minyak kelapa sawit bersama-sama
dengan minyak nabati lainnya juga dimanfaatkan
sebagai bahan bakar substitusi solar (biodiesel).
Jenis minyak kelapa sawit dengan
kandungan lemak tak jenuh (unsaturared fatty
acid) tinggi lebih disukai untuk digunakan
sebagai produk makanan karena lebih sehat,
demikian juga untuk tujuan biodiesel minyak
kelapa sawit dengan kandungan lemak tak jenuh
tinggi juga lebih diminati (Oguma et al., 2012;
Barcelos et al., 2015). Minyak kelapa sawit
mengandung sekitar 50% asam lemak jenuh
(saturated fatty acid) yang terdiri dari 40% asam
palmitat (C14:0), 5% asam stearat (C18:0) dan
sejumlah kecil asam miristat/miristic acid (C14:0).
Sebagian porsi lainnya adalah asam lemak tak
jenuh (unsaturated fatty acid) yang terdiri 40%
asam oleat (C18:1) dan 10% asam linoleat tak
jenuh poli/polyunsaturated linoleic acid (C18:2)
(Sabanthamurthi et al., 2000; Noh et al., 2002;
Prada et al., 2011).
Pada program pemuliaan perbaikan kualitas
minyak kelapa sawit, karakter minyak dengan
kandungan asam lemak tidak jenuh (unsaturated
fatty acid) yang tinggi menjadi target pemulia
untuk mendapatkan minyak kelapa sawit dengan
mutu tinggi. Indeks iodin (iodine index) biasanya
digunakan untuk mengukur tingkat ketidak
jenuhan asam lemak pada genotipe kelapa sawit
(Cadena et al., 2013). Minyak dari E. guineensis
mempunyai nilai iodin (iodine value) sekitar 50-
60% sedangkan minyak E. oleifera memiliki nilai
iodin 70-80% (Chavez dan Sterling, 1991).
Hibrida F1 hasil silangan E. guineensis dan
E.oleifera menghasilkan minyak dengan nilai
iodin 58-71% (Ong et al., 1981). Hasil penelitian
Montoya et al. (2014) menunjukkan bahwa gen-
gen pengendali karakter komposisi minyak ini
tidak berpautan dengan komponen hasil biomas
seperti hasil TBS dan persentase minyak pada
buah (mesocarp). Informasi ini menggembirakan
pemulia karena memudahkan pemulia
memperbaiki komposisi minyak kelapa sawit
untuk meningkatkan kandungan asam lemak
tidak jenuh minyak kelapa sawit.
Telah ditemukan beberapa SNP yang berada
pada gen kandidat yang berasosiasi dengan QTL
karakter biosintesis lemak tak jenuh asam oleat
(C18:1), hasil analisis sekuen intensif dari sekuen
genom kelapa sawit (Singh et al., 2013a; Montoya
et al., 2014). Hal ini memfasilitasi introgresi gen-
gen pengendali karakter komposisi minyak
kualitas tinggi dari E. oleifera ke genom kelapa
sawit E. guineensis menggunakan teknik MAS
atau metode seleksi genom (genomic selection).
Aplikasi teknologi genomika mempercepat
transfer gen unggul kualitas minyak tinggi dari
genom E. oleifera ke genom E. guineensis.
KEMAJUAN DAN POTENSI APLIKASI
TEKNOLOGI REKAYASA
GENETIKA PADA TANAMAN KELAPA
SAWIT
Teknologi rekayasa genetika dengan
semua kelebihannya dibandingkan teknik
pemuliaan konvensional adalah alat untuk
menciptakan produk dengan nilai tambah tinggi
dari tanaman produk rekayasa genetika (PRG)
kelapa sawit. Teknik rekayasa genetika
mengatasi masalah rendahnya keragaman
sumber gen (gene pool) kelapa sawit dengan
sejarah cikal bakal varietas yang ada saat ini
diawali dari pemanfaatan empat tanaman koleksi
Kebun Raya Bogor untuk program pemuliaan
kelapa sawit. Pemanfaatan sumber-sumber gen
dari luar termasuk lintas genus dan kingdom
memungkinkan dilakukan dengan teknik
transformasi genetik. Namun rekayasa genetika
juga memerlukan teknik transformasi dan sistem
regenerasi in vitro yang handal. Sistem
regenerasi tersebut telah tersedia pada kelapa
sawit dan dengan modal sistem regenerasi in
vitro yang cukup handal tersebut, tanaman
transgenik kelapa sawit telah berhasil dirakit
pada tahun 1996 yang pada mulanya diarahkan
untuk karakter mutu minyak tinggi kelapa sawit
(Kadir, 2003).
Pemanfaatan Tekn. Genomika dan Transformasi Genetik Untuk Meningkatkan Produktivitas Kelapa Sawit (I MADE TASMA) 63
Perakitan varietas kelapa sawit tansgenik
pada mulanya diarahkan untuk perbaikan mutu
minyak dengan komposisi minyak yang lebih
sehat dengan kandungan asam lemak tidak jenuh
yang tinggi menggunakan gen-gen yang
berperan penting pada proses biosintesis asam
lemak. Untuk meningkatkan komposisi asam
oleat (asam lemak tak jenuh) dengan teknik
rekayasa genetika dari gen yang menyandi enzim
kunci pada biosintesis asam palmitat yaitu b-
ketoacyl-ACPsynthaseII (KASII) atau gen
penyandi palmitoyl-ACP thio esterase
(Sambanthamurthi et al., 2009). Aktivitas enzim
KASII dilaporkan berkorelasi positif dengan
kandungan asam lemak tak jenuh pada seri
genotip kelapa sawit PORIM di Malysia
(Sambanthamurthi et al., 2009).
Hasil studi pada tanaman model A. thaliana
menunjukkan bahwa penurunan tingkat aktivitas
enzim KASII sudah mencukupi untuk
mengkonversi minyak pada biji Arabidopsis
menyerupai karakteristik minyak kelapa sawit
(Pidkowich et al., 2007). Penggunaan promoter
yang diekspresikan spesifik pada mesocarp kelapa
sawit (mesocarp-specific promoter) dan aplikasi
metode antisense RNA dari gen KASII dan gen
palmitoyl-ACP thio esterase diharapkan
menghasilkan tanaman transgenik dengan
komposisi minyak yang kaya akan asam lemak
tak jenuh seperti asam oleat. Teknologi rekayasa
genetika, disamping aplikasi teknologi genomika,
dengan demikian juga berperan penting dan
cukup prospekstif untuk menghasilkan bahan
tanaman unggul kelapa sawit dengan
karakteristik minyak katagori sehat dan
berkualitas tinggi untuk tujuan industri karena
kandungan asam lemak tak jenuhnya yang
tinggi.
Kegiatan rekayasa genetik lainnya adalah
penciptaan produk bioplastik dengan
mentransformasikan tiga gen dari bakteri yang
mengkode enzim 3-ketothiolase (bktB), acetoacetyl-
CoA reductase (phaB) dan PHB synthase (phaC)
yang terlibat pada biosintesis PHB dari Acetyl-
COA pada bakteri ditransformasi ke kalus
embriogenik kelapa sawit (Parveez et al., 2008).
Untuk menghasilkan copolymer
polyhydroxybutyrate–co-valerate (PHBV), gen
threonine dehydratase (tdcB) dari Escherichia coli
ditransformasi ke kalus embriogenik kelapa sawit
untuk menghasilkan propionyl-CoA, substrat dari
hydroxyvalerate. Gen-gen ini diekspresikan di
bawah kendali promoter Ubiquitin dari jagung.
Penelitian ini menghasilkan ratusan planlet
transgenik mengandung transgen stabil yang
dipelihara pada fasilitas uji terbatas (FUT).
Dengan kontroversi pemanfaatan PRG
untuk pangan dan pakan, dalam jangka pendek,
pemanfaatan hasil penelitian rekayasa genetika
kelapa sawit masih menghadapi tantangan
pemasaran global, khususnya untuk ekspor ke
negara-negara Uni Eropa (UE) termasuk Inggris
yang kebanyakan anggota UE masih belum dapat
menerima pangan PRG. PRG kelapa sawit yang
dihasilkan sampai saat ini masih pada tahapan
penelitian dan belum memasuki tahapan
komersialisasi diantaranya karena kontroversi
PRG untuk pangan. Dengan demikian, hasil PRG
ini ke depan sebaiknya perlu lebih diarahkan
untuk produk-produk kelapa sawit bernilai
tinggi non pangan seperti misalnya minyak sawit
yang diolah untuk tujuan biodiesel dan bukan
untuk tjuan produk pangan. PRG yang
dihasilkan dengan demikian, sebaiknya lebih
diarahkan untuk perakitan produk-produk
industri yang non pangan. Ke depan dengan
semakin meningkatnya jumlah penduduk dunia,
berkurangnya ketersediaan lahan pertanian,
meningkatnya cekaman lingkungan, dan
berkurangnya ketersediaan air, kecukupan
pangan dunia kelihatannya salah satunya akan
dicukupi oleh pangan PRG. Dengan semakin
ketatnya uji keamanan produk PRG, pangan PRG
ke depan kemungkinan akan menjadi salah satu
alternatif mengatasi defisit pangan dunia,
sehingga penelitian rekayasa genetika menjadi
sangat penting untuk dikuasai yang
pelaksanaannya mesti dimulai dari saat sekarang
ini kalau tidak mau ketinggalan aspek
penguasaan teknologinya.
RESEKUENSING GENOM TOTAL
GENOTIPE KELAPA SAWIT INDONESIA UNTUK AKSELERASI PEMULIAAN
KELAPA SAWIT NASIONAL
Tersedianya sekuen genom acuan (reference
genome sequence) kelapa sawit (Singh et al. 2013a;
Jin et al., 2016) membuka strategi untuk
64 Volume 15 Nomor 1, Jun 2016 : 50 -72
meresekuen berbagai genotipe kelapa sawit
menggunakan teknologi next generation sequencing
(NGS). Sekali suatu peta genetik sekuen genom
acuan suatu spesies tanaman tersedia, peneliti
genomika dapat melakukan resekuensing
individu aksesi kedua, ketiga, keempat, kelima,
dan seterusnya dari anggota spesies yang sama
menggunakan very low-cost short read technologies
(NGS) seperti HiSeq dari Illumina (Thomson,
2014; Tasma 2014a; Tasma 2015b; Tasma 2016a).
Untaian sekuen pendek (100 -150 bp) tidak perlu
diassembly satu dengan yang lainnya, tetapi
dipetakan kembali ke sekuen genom acuan untuk
mengidentifikasi perbedaan genetik antara
sekuen acuan dan sekuen individu kedua, ketiga,
dan seterusnya. Dengan demikian, sejumlah
perbedaan dapat didokumentasikan dan
perbedaan genetik ini digunakan untuk
menjelaskan perbedaan antar genotipe (varietas)
dalam suatu spesies, misalnya daya hasil,
ketahanan hama dan penyakit, tinggi batang,
panjang kanopi, waktu pembungaan, komposisi
asam lemak pada minyak, serta toleransi
kekeringan (Tasma, 2015a; Tasma 2016a).
Penelitian resekuensing dapat digunakan dalam
survey keragaman dalam spesies, penemuan
metode genotyping marka SNP kapasitas tinggi
untuk percepatan pelabelan gen/QTL unggul
dengan populasi persilangan atau populasi
plasma nutfah diversitas luas melalui metode
genome wide association studies (GWAS).
Tersedianya peta genom acuan
memungkinkan penelitian resekuensing untuk
mengerti lebih baik terhadap susunan genom
individu koleksi plasma nutfah (Tasma, 2015b;
2016a). Informasi genotipe individu plasma
nutfah memfasilitasi percepatan penemuan
berbagai variasi genetik untuk mendukung
program pemuliaan tanaman yang terarah, lebih
cepat dan lebih akurat menggunakan metode
pemuliaan paradigma baru yaitu pemuliaan
tanaman berbasis data genomika (Tasma 2014a;
Tasma 2015a). Hal ini didukung oleh tersedianya
peta genetik marka molekuler densitas tinggi
kelapa sawit untuk mempercepat pelabelan gen-
gen/QTL unggul serta karakterisasi secara akurat
koleksi plasma nutfah kelapa sawit (Bilotte et al.,
2005; Tasma dan Arumsari, 2013; Tasma, 2014b).
Program pemuliaan tanaman ke depan akan
lebih berfokus pada komparasi komposisi genom
individu plasma nutfah yang membuka peluang
penggunaan kombinasi strategi baru pemetaan
genetik dan analisis evolusi untuk penemuan dan
pemanfaatan variasi genetik SDG tanaman
dengan lebih optimal dan lebih komprehensif
untuk menunjang program pemuliaan tanaman
yang sinambung dan lestari (Tasma, 2015a;
Tasma 2015b). Resekuensing berbagai galur
unggul (superior lines) dan individu aksesi plasma
nutfah juga dapat mengidentifikasi keunikan
setiap genotipe SDG tanaman. Hal ini akan
menjadi identitas dari varietas, galur, maupun
individu aksesi sebagai sidik jari dari individu
tersebut seperti telah dilaporkan sebelumnya
(Tasma, 2015a; Tasma 2016a).
Di Indonesia penelitian resekuensing genom
kelapa sawit sudah dilakukan di Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian yang
dimulai sejak tahun 2011. Resekuensing
dilakukan terhadap tiga genotipe kelapa sawit
Indonesia yaitu tipe dura, pisifera, dan spesies
kerabat liar kelapa sawit E. oleifera asal Brasil
menggunakan teknologi NGS Hiseq. Penjajaran
data resekuen tersebut dengan sekuen genom
rujukan kelapa sawit (Singh et al., 2013a)
menghasilkan lebih dari 3,34 juta variasi genom
yang terdiri dari 3,0322 juta single nucleotide
polymorphism (SNP) dan 303.109 insersi dan delesi
(Indel) (Tasma 2015b; Tasma et al. 2015; Tasma et
al., 2016b). Dari penjajaran data sekuen tersebut
telah diperoleh satu variasi genom pada setiap
197 basa pada genom kelapa sawit (Tabel 1).
Dari 3,34 juta variasi genom yang terdeteksi
berdistribusi pada berbagai lokasi pada genom
kelapa sawit [di hulu lokasi gen, di hilir,
intergenik, dan pada gen (exon dan intron)].
Namun, kebanyakan varian DNA yang
diidentifikasi berada di luar gen (Tabel 2; Tasma
et al. 2016b). Hanya 55.772 SNP dan Indel (1,25%)
yang ditemukan berada pada protein coding region
(exon). Diantara variasi DNA yang ada pada exon
tersebut, 30.493 SNP menyebabkan mutasi
missense (mutasi yang merubah komposisi asam
amino) dan 824 SNP menyebabkan mutasi
nonsense (mutasi yang menghasilkan stop codon),
yang akan mempengaruhi fenotipe tanaman,
serta 22.224 SNP merupakan silent mutation
(mutasi yang tidak mempengaruhi fenotipe).
Pemanfaatan Tekn. Genomika dan Transformasi Genetik Untuk Meningkatkan Produktivitas Kelapa Sawit (I MADE TASMA) 65
Tabel 1. Variasi genom yang terdeteksi pada setiap kromosom kelapa sawit hasil analisis penjajaran sekuen genom tiga genotipe kelapa sawit Indonesia (dura, pisifera dan E. oleifera asal Brasil) dengan sekuen genom rujukan kelapa sawit E. guineensis
Kromosom* Panjang sekuen (pb)
Jumlah basa berubah (pb) *
Laju perubahan (Change rate) **
Eg_Chr01 68,432,966 325,213 210
Eg_Chr02 65,556,141 347,672 188
Eg_Chr03 60,058,032 300,326 199
Eg_Chr04 57,248,047 291,200 196
Eg_Chr05 51,953,839 282,277 184
Eg_Chr06 44,354,769 200,964 220
Eg_Chr07 43,453,266 211,879 205
Eg_Chr08 40,192,799 198,996 201
Eg_Chr09 38,054,796 182,000 209
Eg_Chr10 31,889,635 147,495 216
Eg_Chr11 30,067,610 157,672 190
Eg_Chr12 28,799,275 169,641 169
Eg_Chr13 27,816,170 147,132 189
Eg_Chr14 24,378,543 139,278 175
Eg_Chr15 24,313,565 125,175 194
Eg_Chr16 21,370,583 108,391 197
Total/Rataan 657,940,036 3,335,311 197
Keterangan: *Eg = Elaeis guineensis Jacq. **Laju perubahan rata-rata = 197, artinya rata-rata ditemukan satu variasi DNA pada setiap 197 basa pada genom kelapa sawit hasil penelitian ini. pb=pasang basa. Sumber: Tasma et al. (2016b).
Variasi pada exon ini sangat penting karena
dapat berujung pada penemuan dan isolasi gen-
gen unggul (Tasma 2015b; Tasma 2016a).
Diperlukan studi genomika fungsional (functional
genomics) untuk menguji fungsi variasi genom
tersebut khususnya variasi genom yang merubah
susunan asam amino dan stop codon yang dapat
merubah fenotip tanaman dan pada ujungnya
peneliti dapat mengisolasi gen-gen penting
bernilai ekonomi tinggi (Tasma 2015a; Tasma
2016b). Marka yang didesain dari gen-gen
unggul yang diisolasi dari penelitian ini
digunakan untuk percepatan seleksi karakter
unggul dengan teknik MAS yang mempercepat
program pemuliaan kelapa sawit. Teknologi
transformasi genetik dapat juga diaplikasikan
pada gen-gen unggul untuk mengintegrasikan
karakter tersebut ke genom varietas unggul
kelapa sawit yang belum memiliki karakter
unggul tersebut.
Variasi-variasi DNA yang diidentifikasi di
atas, dengan demikian merupakan sumber daya
pemuliaan yang bernilai sangat tinggi untuk
tujuan penemuan gen dan juga untuk
pengembangan marka DNA yang mendukung
percepatan program pemuliaan kelapa sawit
nasional. Jutaan SNP yang telah diidentifikasi
pada penelitian ini, setelah diverifikasi dapat
digunakan untuk mensintesis sistem genotyping
kapasitas tinggi (high throughput genotyping
system) seperti SNP chip kelapa sawit densitas
tinggi untuk percepatan pelebelan gen/QTL
unggul (Tasma 2015b; Tasma 2016a). SNP chip ini
akan memperkaya SNP chip yang sudah ada saat
ini yang terdiri dari 4.451 SNP (Ting et al., 2014).
Genotying 199 individu F1 populasi persilangan
interspesifik E guineesis x E. Oleifera dapat
diselesaikan hanya dalam waktu tiga bulan dan
menghasilkan peta genetik dengan kandungan
marka molekuler yang padat dibanding peta
genetik kelapa sawit sebelumnya berdasarkan
marka AFLP dan SSR (Barcelos et al., 2002; Singh
et al., 2009; Billotte et al., 2010; Ting et al., 2013).
SNP chip tersebut memfasilitasi percepatan
pelabelan gen-gen unggul dan aplikasinya pada
pemuliaan yang pada akhirnya mempersingkat
siklus pemuliaan tanaman kelapa sawit (Yang et
al., 2014).
Tabel 2. Lokasi terjadinya perubahan variasi
DNA pada genom kelapa sawit yang diperoleh pada penelitian resekuensing tiga genotipe kelapa sawit Indonesia
Tipe perubahan Jumlah perubahan (bp)
Frekuensi perubahan (%)
Downstream 551,772 12.340
Exon 55,870 1.249
Intergenic 2,782,751 62.232
Intron 492,316 11.010
None 4,234 0.095
Splice_site_acceptor 284 0.006
Splice_site_donor 285 0.006
Upstream 584,063 13.062
Sumber: Tasma et al. (2016b)
66 Volume 15 Nomor 1, Jun 2016 : 50 -72
Teknologi genomika maupun teknologi
rekayasa genetika, dengan demikian sangat
potensial untuk diaplikasikan di Indonesia untuk
akselerasi program pemuliaan kelapa sawit
nasional dalam rangka meningkatkan
produktivitas kelapa sawit nasional diantaranya
dengan memanfaatkan karakter-karakter unggul
dari E. oleifera untuk diintegrasikan ke varietas
unggul E. guineensis menggunakan teknik
genomika didukung oleh teknologi transformasi
genetik.
Diselesaikannya sekuen genom rujukan
dua spesies kelapa sawit, merevolusi metode
pemuliaan kelapa sawit global. Ditemukannya
gen pengendali hasil minyak buah sawit (Sh) dan
teknik deteksinya mempercepat siklus
pemuliaan. Diketahuinya mekanisme buah
mantel dan kit deteksinya mencegah penggunaan
bibit yang berpotensi menghasilkan buah mantel.
Kedua karakter bernilai ekonomi tinggi tersebut,
berperan penting untuk meningkatkan
produktivitas kelapa sawit global.
Pengembangan tanaman kelapa sawit tipe ideal
meningkatkan populasi tanaman per satuan luas.
Semua ini dalam rangka untuk meningkatkan
ketahanan pangan dan ketahanan energi nasional
serta untuk menjaga kelestarian lingkungan
global.
KESIMPULAN
Teknologi genomika telah menghasilkan
peta genom rujukan dua spesies kelapa sawit E.
guineensis dan E. oleifera yang menghasilkan gen
Shell (Sh) yang mengendalikan produktivitas
minyak, mekanisme terbentuknya buah mantel,
dan sebagai fondasi untuk pengembangan marka
molekuler dan penemuan gen-gen unggul untuk
akselerasi program pemuliaan kelapa sawit.
Resekuensing tiga genotipe kelapa sawit
Indonesia telah menghasilkan jutaan variasi SNP
dan Indel sebagai sumberdaya pemuliaan
bernilai tinggi untuk identifikasi gen dan QTL
unggul dan pengembangan marka DNA untuk
mempercepat pelabelan gen-gen unggul bernilai
ekonomi tinggi. Marka DNA memfasilitasi
introgresi karakter unggul dari spesies E. oleifera
ke genom E. guineensis menggunakan teknologi
MAS. Pemanfaatan marka DNA gen ketebalan
cangkang mempercepat siklus pemuliaan kelapa
sawit dan kit pendeteksi bibit berpotensi
menghasilkan buah mantel dan sarana seleksi
bibit tenera unggul pada level bibit untuk
menjamin peningkatan produktivitas kelapa
sawit. Perbanyakan individu bahan tanaman
unggul dengan teknik kultur in vitro menjamin
penggunaan bibit unggul yang seragam dan
peningkatan produktivitas pertanaman kelapa
sawit di lapang. Teknologi rekayasa genetika
potensial digunakan untuk perbaikan bahan
tanaman yang menghasilkan minyak dengan
kualitas dan kandungan gizi tinggi serta produk
kelapa sawit yang dapat digunakan sebagai
bioplastik, sehingga penelitian transformasi gen
yang mengendalikan karakter di atas perlu
dilakukan. Dengan aplikasi teknologi genomika,
produktivitas kelapa sawit meningkat untuk
mendekati potensi hasil 18,5 ton
minyak/ha/tahun. Teknologi genomika dan
rekayasa genetika sangat potensial diaplikasikan
di Indonesia untuk memperbaiki produktivitas
kelapa sawit nasional disertai mutu minyak yang
lebih baik untuk kesehatan manusia dan untuk
tujuan industri.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Dous, E.K., B. George, M.E. Al-Mahmoud,
M.Y. Al-Jaber, H. Wang, Y.M. Salameh,
E.K. Al-Azwani, S. Chaluvadi, A.C.
Pontaroli, J. DeBarry, V. Arondel, J.
Ohlrogge, I.J. Saie, K.M. Suliman-Elmeer,
J.K. Bennetzen, R.R. Kruegger, and J.A.
Malek. 2011. De novo genome sequencing
and comparative genomics of date palm
(Phoenix dactylifera). Nat. Biotechnol. 29:
521-527.
Argout, X., J. Salse, J.M. Aury, M.J. Guiltiman, G.
Droc, J. Gouzy, M. Allegre, C. Chaparro,
T. Legavre, S.N. Maximova, et al. [68
authors]. 2011. The genome of Theobroma
cacao. Nature Genetics 43: 101-108.
Asad, S., M. Arshad, S. Mansoor, and Y. Zafar.
2009. Effect of various amino acids on
shoot regeneration of sugarcane
(Sacchrum officinarum L.). Afr. J.
Biotechnol. 8:1214–1218.
Pemanfaatan Tekn. Genomika dan Transformasi Genetik Untuk Meningkatkan Produktivitas Kelapa Sawit (I MADE TASMA) 67
Barcelos, E., P. Amblard, J. Berthaud, and M.
Seguin. 2002. Genetic diversity and
relationship in American and African oil
palm as revealed by RFLP and AFLP
molecular markers. Pesqui. Agropecu.
Brasileira 37: 1105–1114.doi:
10.1590/S0100-204X2002000800008.
Barcelos, E., S. de A. Rios, R. N. V. Cunha, R.
Lopes, S. Y. Motoike, E. Babiychuk, A.
Skirycz and S. Kushnir. 2015. Oil palm
natural diversity and the potential for
yield improvement. Frontiers Plant Sci. 6:
1-15.
Beirnaert, A. and R. Vanderweyen. 1941.
Contribution a l’etude genetique et
biometrique des varietes d’Elaeis
guineensis Jacq. Publications de l’institut
national pour l’etude agronomique du
Congo Belge, serie scientifique 27.
Bennett, M.D. and J.B. Smith. 1991. Nuclear DNA
amounts in angiosperm. Phylosophical
Transactions of the Royal Society London
B 334: 309-345.
Benor, S., M. Zhang, Z. Wang, H. Zhang. 2008.
Assessment of genetic variation in tomato
(Solanum lycopersicum L.) inbred lines
using SSR molecular markers. J. Genet.
Genomics 35:373-379.
Billotte, N., N. Marseillac, A.M. Risterucci, B.
Adon, P. Brotteir, F.C. Baurens, R. Singh,
A. Herran, H. Asmady, C. Billot, P.
Amblard, T. Durrand-Gasselin, B.
Courtois, D. Asmono, S.C. Cheah, W.
Rohde, and A. Charrier. 2005.
Microsatellite-based high density linkage
map in oil palm (Elaeis guineensis Jacq.).
Theor. Appl. Genet. 110 (4) : 754–765.
Billotte, N., M.F. Jourjon, N. Marseillac, A. Berger,
A. Flori, H. Asmady, B. Adon, R. Singh,
B. Nouy, and F. Potier. 2010. QTL
detection by multi-parent linkage
mapping in oil palm (Elaeis guineensis
Jacq.). Theor. Appl. Genet. 120: 1673–
1687.
Boutilier, K., R. Offringa, V.K. Sharma, H. Kieft,
T. Ouellet, L. Zhang, J. Hattori, C.-M. Liu,
A.A.M. van Lammeren, B.L.A. Miki,
J.B.M. Custers, and M.M. van Lookeren
Campagne. 2002. Ectopic expression of
BABY BOOM triggers a conversion from
vegetative to embryonic growth. Plant
Cell 14: 1737–1749.
Cadena, T., F. Prada, A. Perea, and H.M. Romero.
2013. Lipase activity, meso- carp oil
content, and iodine value in oilpalm
fruits of Elaeis guineensis, Elaeis oleifera,
and the interspecific hybrid O x G (E.
oleifera x E. guineensis). J. Sci. Food Agric.
93: 674–680. doi:10.1002/jsfa.5940.
Chavez, C., and F. Sterling. 1991.Variation in the
total of unsaturated fattyacids in oi
extracted from different oil palm
germplasm. ASD Oil Palm Papers 3: 5–8.
Cochard, B., P. Amblard, and T. Durand-
Gasselin. 2005. Oil palm genetic
improvement and sustainable
development. Oleagineux Corps Gras
Lipides 12: 141–147.
Corley, R.H.V. dan I. H. Law. 1997. The future for
oil palm clones. Dalam: Pushparajah, E.,
editor. Plantation management for the
21st century. Incorp. Soc. Planters; Kuala
Lumpur. p. 279-289.
Corley, R.H.V. 1998. ‚What is the upper limit to
oil extraction ratio?‛, In Proceedings of
International Conferenceon Oil and
Kernel Production in Oil Palm–AGlobal
Perspective, eds N. Rajanaidu, I.E.
Henson, and B.S. Jalani (Kuala Lumpur:
Palm Oil Research Institute of Malaysia),
pp. 256–269.
Corley, R. H. V. and P.B. Tinker. 2003. In: The
Oil Palm 4th edn, pp. 1–26. Blackwell
Science.
Corley, R.H.V. 2009. How much palm oil do we
need? Environ. Sci. Policy 12: 134–139.
doi:10.1016/j.envsci.2008.10.011
D’Hont, A., F. Denoeud, J. MarcAury, et al. [62
authors]. 2012. The banana (Musa
acuminata) genome and the evolution of
monocotyledonous plants. Nature 488:
213-219.
Dinneny, J. R. and M.F. Yanofsky. 2005. Drawing
lines and borders: how the dehiscent fruit
of Arabidopsis is patterned. Bioessays 27:
42–49.
68 Volume 15 Nomor 1, Jun 2016 : 50 -72
Escobar, R. and A. Alvarado. 2004. Strategies in
production of oil palm compact seeds
and clones. Exp. Agric. 27: 13–26.
Fauzi, Y., Y.E. Widyastuti, I. Setyawibawa., dan
R.H. Paeru. 2012. Kelapa Sawit:
Budidaya, Pemanfaatan Hasil dan
Limbah, Analisis Usaha dan Pemasaran.
Penebar Swadaya, Jakarta. 234 hal.
Favaro, R., A. Pinyopich, R. Battaglia, M. Kooiker,
L. Borghi, G. Ditta, M.F. Yanofsky, M.M.
Kater, and L. Colombo. 2003. MADS-box
protein complexes control carpel and
ovule development in Arabidopsis. Plant
Cell 15: 2603–2611.
Fofana, I.J., D. Ofori, M. Poitel, D. Verhaegen.
2009. Diversity and genetic structure of
teak (Tectona grandis L.f) in its natural
range using DNA microsatellite markers.
New Forests 37:175-195.
Hardon,J., and G. Tan. 1969. Interspecific hybrids
in the genus Elaeis I. cross-ability,
cytogenetics, and fertility of F1 hybrids of
E. guineensis X E. oleifera. Euphytica 18:
372–379. doi: 10.1007/BF00397784.
Hartley, C.W.S. 1988. The botany of oil palm. In:
The oil palm. 3rd edition. pp. 47-94.
Longman, London.
Jin, J., M. Lee1, B. Bai, Y. Sun, J. Qu,
Rahmadsyah, Y. Alfiko, C. H. Lim, A.
Suwanto, M. Sugiharti, L. Wong, J. Ye,
N.-H. Chua, and G. H. Yue. 2016. Draft
genome sequence of an elite Dura palm
and whole-genome patterns of DNA
variation in oil palm. DNA Research 23
(4): 1-7. doi: 10.1093/dnares/dsw036.
Kadir, A.P.G. 2003. Novel products from
transgenic oil palm. AgBiotechNet 113
(1): 1-9.
Kerdsuwan, S. and S. Te-Chato. 2015. Direct
somatic embryo formation from roots of
in vitro-seedlings of oil palm (Elaeis
Guineesis Jacq.). Walailak J. Sci. & Tech.
13(1): 45-53.
Lee, M., J. H. Xia, Z. Zou, J. Ye, Rahmadsyah, Y.
Alfiko, J. Jin, J. V. Lieando, M. I.
Purnamasari, C. H. Lim, A. Suwanto, L.
Wong, N.-H. Chua, and G. H. Yue. 2015.
A consensus linkage map of oil palm and
a major QTL for stem height. Sci.Rep. 5:
8232. doi: 10.1038/srep08232.
Low, E.T., R. Rosli, N. Jayanthi, A.H. Mohd-
Amin, N. Azizi, K.L. Chan. 2014.
Analyses of hypomethylated oil palm
gene space. PLoS ONE 9: e86728.
doi:10.1371/journal.pone.0086728.
Marbun, C. L. M., N. Toruan-Mathius, Reflini, C.
Utomo, and T. Liwang. 2015.
Micropropagation of embryogenic callus
of oil palm (Elaeis guineensis Jacq.) using
Temporary Immersion System. Procedia
Chemistry 14: 122 – 129.
Mariska, I., I.M. Tasma, A. Warsun, D. Satyawan,
E.G. Lestari, R. Purnamaningsih, R.
Yunita, B. Martono, P. Lestari, H.
Rijzaani, R. Purba, D. Asmono,
Syafaruddin, I. Roostika, dan N. Nova.
2012. Penelitian peningkatan
produktivitas kelapa sawit (>15%) dan
kadar minyak (>10%) dengan
abnormalitas < 2% melalui molecular
breeding. Laporan Akhir Penelitian APBN
Puslitbangbun. 67 hal.
Mayes, S., F. Hafeez, Z. Price, D. Macdonald, N.
Billotte, and J. Roberts. 2008. Molecular
research in oil palm, the key oil crop for
the future. In: Genomcs of Tropical Crop
Plants, pp. 371-404 (Eds. P. H. Moore and
R. Ming) Springer.
Meunier, J. and D. Boutin. 1975. L’Elaeis
melanococca et l’hybride Elaeis
melanococca x Elaeis guineensis. premie`res
donne´es. Ole´agineux 30: 5–8.
Montoya, C., B. Cochard, A. Flori, D. Cros, R.
Lopes, T. Cuellar, S. Espeout, I. Syaputra,
P. Villeneuve, M. Pina, E. Ritter, T. Leroy,
and N.Billotte. 2014. Genetic architecture
of palm oil fatty acid composition in
cultivated oil palm (Elaeis guineensis Jacq.)
compared to its wild relative E. oleifera
(H.B.K) Corte´s. PLoS ONE 9 (5): e95412.
doi:10.1371/journal.pone.009541214.
Noh, A., N. Rajanaidu, A. Kushairi, M.Y. Rafil,
and M. A. Din A. 2002. Variability in
fatty acid composition, iodine value and
carotene content in the MPOB oil palm
germplasm collection from Angola. J. Oil
Palm Res. 14: 18–23.
Pemanfaatan Tekn. Genomika dan Transformasi Genetik Untuk Meningkatkan Produktivitas Kelapa Sawit (I MADE TASMA) 69
Oguma, M., Y.J. Lee, and S. Goto. 2012. An
overview of biodiesel in Asian countries
and the harmonization of quality
standards. Int. J. Automotive
Technology 13: 33–41. doi:10.1007/s12239
Ong, S.H., C.C. Chuah, and H.P. Sow. 1981.The
co-dominance theory: genetic
interpretations of analyses of mesocarp
oils from elaein Elaeis guineensis, Elaeis
oleifera, and their hybrids. J. Am. Oil
Chemists Soc. 58: 1032–1038.doi:
10.1007/BF02679320.
Ong-Abdullah, M., J. M. Ordway, N. Jiang, O.
Siew–Eng, K. Sau-Yee, N. Sarpan, N.
Azimi, A. T. Hashim, Z. Ishak, S. K.
Rosli, F. A. Malike, N. A. A. Bakar, M.
Marjuni, N. Abdullah, Z. Yaakub, M. D.
Amiruddin, R. Nookiah, R. Singh1, E.T.
L. Low, K.L. Chan, N. Azizi, S. W. Smith,
B. Bacher, M. A. Budiman, A. V. Brunt, C.
Wischmeyer, M. Beil, M. Hogan, N.
Lakey, C. C. Lim, X. Arulandoo, C. K.
Wong, C. N. Choo, W. C. Wong, Y. Y.
Kwan, S. S. R. S. Alwee, R.
Sambanthamurthi, and R. A.
Martienssen. 2015. Loss of Karma
transposon methylation underlies
the mantled somaclonal variant of oil
palm. Nature 525 (7570): 533–537.
doi:10.1038/nature15365.
Parveez, G. K.A., B. Bohari, N.H. Ayub, A.M.M.
Yunus, O.A. Rasid, A.T. Hashim, Z.
Ishak, M.A.A. Manaf, A.K. Din, G. York,
Y.B. Jo and A.J. Sinskey. 2008.
Transformation of phb and phbv genes
driven by maize ubiquitin promoter into
oil palm for the production of
biodegradable plastics. Journal of Oil
Palm Research Special Issue on Malaysia-
MIT Biotechnology Partnership
Programme 2: 77-86
Pidkowich, M.S., H.T. Nguyen, I. Heilmann, T.
Ischebeck,and J. Shanklin. 2007.
Modulating seed b-ketoacyl-acyl carrier
protein synthase II level converts the
composition of a temperate seed oil to
that of a palm-like tropical oil. Proc.Natl.
Acad.Sci.U.S.A. 104: 4742–
4747.doi:10.1073/pnas.0611141104.
Pinyopich, A., G.S. Ditta, B. Savidge, S. J.
Liljegren, E. Baumann, E. Wisman, and
M.F. Yanofsky. 2003. Assessing the
redundancy of MADS-box genes during
carpel and ovule development. Nature
424: 85–88.
Pootakham, W., N. Jomchai, P. Ruangareerate, J.
R. Shearman, C. Sonthirod, D.
Sangsrakru, S. Tragoonrung, and S.
Tangphatsornruang. 2015. Genome-wide
SNP discovery and identification of QTL
associated with agronomic traits in oil
palm using genotyping-by-sequencing
(GBS). Genomics 105: 288–295.
Prada, F., I.M. Ayala-Diaz, W. Delgado, R. Ruiz-
Romero, and H.M. Romero. 2011. Effect
of fruit ripening on content and chemical
composition of oil from three oil palm
cultivars (Elaeis guineensis Jacq.) grown in
Colombia. J Agric. Food Chem. 59: 10136–
10142. doi:10.1021/jf201999d.
Purba, A., J. Noyer, L. Baudouin, X. Perrier, S.
Hamon, and P. Lagoda. 2000. A new
aspect of genetic diversity of Indonesian
oil palm (Elaeis guineensis Jacq.) as
revealed by isoenzyme and AFLP
markers and its consequences for
breeding. Theor. Appl. Genet. 101: 956–
961.
Purseglove, J. W. 1972. In Tropical Crops
(Monocotyledons). Longman, London.
pp 416–510.
Rajanaidu, N. 1994. PORIM Oil Palm Genebank:
Collection, Evaluation, Utilization, and
Conservation of Oil Palm Genetic
Resources. Kuala Lumpur: Palm Oil
Research Institute of Malaysia.
Rajanaidu, N., A. Kushairi, M. Rafii, M. Din, I.
Maizura, and B. Jalani. 2000. ‚Oil palm
breeding and genetic resources,‛in
Advances in Oil Palm Research, eds
Y.Basiron, B.S.Jalani, and K.W.Chan
(KualaLumpur: Malaysian Palm Oil
Board). pp.171–227.
Sambanthamurthi, R., K. Sundram , and Y. Tan.
2000. Chemistry and biochemistry of
palm oil. Prog. Lipid Res. 39: 507–558.
Schmutz, J., S.B. Cannon, J. Schlueter, J. Ma, et al.
[44 authors]. 2010. Genome sequence of
70 Volume 15 Nomor 1, Jun 2016 : 50 -72
the paleopolyploid soybean. Nature 463:
178-183.
Schnable, P.S., D. Ware, R.S. Fulton, J.C. Stein, et
al. [152 authors]. 2009. The B73 maize
genome: complexity, diversity, and
dynamics. Science 326: 1112-1115.
Sharma, M., and Y. Tan. 1997. Oil palm breeding
programme and the performance of D x P
planting materials at United Plantations
Berhad. Planter 73: 591–610.
Rival, A. 2007. Oil Palm. In: Transgenic Crops VI,
Biotechnology in Agriculture and Forestry.
Volume 61, pp. 59_80 (Eds. E.C. Pua and
M.R. Davey) Springer_Verlag Berlin
Heidelberg, New York.
Rosenquist, E.A. 1990. An overview of breeding
technology and selection in Elaeis
guineesis. In: Proceedings of the 1989
International Palm Oil Development
Conference – Agriculture. pp.5_26. Palm
Oil Research Institute Malaysia, Kuala
Lumpur, Malaysia.
Rosillo-Calle, F., L. Pelkmans, and A. Walter.
2009. A global overview of vegetable
oils, with reference to biodiesel. IEA Task
40. A Report.
Sambanthamurthi, R., R. Singh, A.P.G. Kadir,
M.O. Abdullah, and A. Kushairi. 2009.
‚Opportunities for the oil palm via
breeding and biotechnology,‛ in Breeding
Plantation Tree Crops: Tropical Species,
eds S.Mohan Jain and P.M. Priyadarshan
(NewYork:Springer), pp. 377–421.
doi:10.1007/978-0-387- 71201-7
Seng, TY, M.S.S. Hawa, C.W. Chin, N.C. Ting, R.
Singh, Q.Z. Faridah, S.G.Tan, S.S.R.
Alwee. 2011. Genetic linkage map of a
high yielding FELDA Deli x Yangambi oil
palm cross. PLoS ONE 6 (11): e26593. doi:
10.1371/journal.pone.0026593.
Setiyo, I.E., Sudarsono, dan D. Asmono. 2001.
Pemetaan dan keragaman genetik RAPD
pada kelapa sawit Sungai Pancur (Rispa)
(Tesis). Institut Pertanian Bogor, Bogor.
56 hlm.
Singh, R., S.G. Tan, J.M. Panandam, R.A.
Rahman, L.C. Ooi, and E.T. Low. 2009.
Mapping quantitative trait loci (QTLs) for
fatty acid composition in an interspecific
cross of oil palm. BMC Plant Biol. 9: 114.
doi:10.1186/1471-2229- 9-114.
Singh, R., M. Ong-Abdullah, E.-T. L. Low, M. A.
Manaf, R. Rosli, R. Nookiah, L. C.-L.
Ooi, S.E. Ooi, K.L. Chan, M.A. Halim, N.
Azizi, J. Nagappan, B. Bacher, N. Lakey,
S.W. Smith, D. He, M. Hogan, M. A.
Budiman, E.K. Lee, R. Desalle, D.
Kudrna, J.L. Goicoechea, R.A. Wing, R.K.
Wilson, R.S. Fulton, J.M. Ordway, R.A.
Martienssen, and R. Sambanthamurthi.
2013a. Oil palm genome sequence reveals
divergence of interfertile species in Old
and New worlds. Nature 500: 335-339.
Singh, R., L. L. Eng-Ti, L. C. L. Ooi, M. Ong-
Abdullah, N. C. Ting, J. Nagappan, R.
Nookiah, M. D. Amiruddin, R. Rosli, M.
A. A. Manaf, K. L. Chan, M. A. Halim, N.
Azizi, N. Lakey, S. W. Smith, M. A.
Budiman, M. Hogan, B. Bacher, A. V.
Brunt, C. Wang, J. M. Ordway, R.
Sambanthamurthi, and R. A.
Martienssen. 2013b. The oil palm Shell
gene controls oil yield and encodes a
homologue of SEEDSTICK. Nature 500:
340–344. doi:10.1038/nature12356.
Soh, A.C. 1999. Breeding of plants and selection
methods in oil palm. In:Proceeding of the
Symposium on the Science of Oil Palm
Breeding, pp.65_95 (Eds. N. Rajanaidu and
B.S. Jalani). Palm Oil Research Institute,
Kuala Lumpur, Malaysia.
Soh, A.C. and T. Y. Hor. 2000. Combining ability
correlations for bunch yield and its
component components in outcrossed
populations in oil palm. In: Proceedings
of the International Symposium on Oil
Palm Genetic Resources and
Utilization.pp. M1_M14 (Eds. N.
Rajanaidu and D. Ariffin) Malaysian
Palm Oil Board, Kuala Lumpur,
Malaysia.
Soh, A.C., C.K. Wong, Y. W. Ho, and C. W.
Choong. 2009. Oil Palm. In: Oil Crops,
Handbook of Plant Breeding 4, Chapter 11,
pp. 333-368 (Eds. J. Vollmann and I.
Rajcan) Springer Science.
Soh, A.C., G. Wong, T.Y. Hor, C.C. Tan, and P.S.
Chew. 2003. Oil palm genetic
Pemanfaatan Tekn. Genomika dan Transformasi Genetik Untuk Meningkatkan Produktivitas Kelapa Sawit (I MADE TASMA) 71
improvement. In: Plant Breeding Reviews,
pp. 165_219 (Eds. J. Janick) John Wiley &
Sons, Inc.
Soh, A.C., G. Wong, and C.C. Tan CC. 2006.
Progress and challenges in commercial
mass propagation of clonal oil palm. In:
Sutarta, editor. Proceedings International
Oil Palm Conference, Bali. p. 226-240.
Tandon, R., T.N. Manohara, B.H.M. Nijalingappa,
and K.R. Shivanna. 2001. Pollination and
pollen-pistil interaction in oil palm, Elaeis
guineensis. Ann.Bot. 87: 831–838.
doi:10.1006/anbo.2001.1421.
Tasma, I.M. 2014a. Single nucleotide polymorphism
(SNP) sebagai marka DNA masa depan.
Warta Biogen 10 (3): 7-10.
Tasma, I.M., H. Rijzaani, D. Satyawan, P. Lestari,
D. W. Utami, I. Rosdianti, A. R. Purba, E.
Mansyah, A. Sutanto, R. Kirana,
Kusmana, A. Anggraeni, M. Pabendon,
and, Rubiyo. 2015. Next-Gen-Based DNA
Marker Development of Several
Importance Crop and Animal Species.
Manuscript Presented at the 13th
SABRAO Congress and International
Conference, 14-16 September 2015, IPB
International Convention Center, Bogor,
Indonesia. 8 pp.
Tasma, I.M., dan S. Arumsari. 2013. Analisis
diversitas genetik aksesi kelapa sawit
Kamerun berdasarkan marka SSR. Jurnal
Littri 19(4): 194-202.
Tasma, I.M. 2014b. Skrining marka SSR dan
Analisis filogenetik aksesi kelapa sawit
menggunakan marka mikrosatelit.
Buletin Palma 15 (1): 1-13.
Tasma, I.M. 2015a. Pemanfaatan teknologi
sekuensing genom untuk mempercepat
program pemuliaan tanaman. J. Litbang
Pertanian 34 (4): 159-168.
Tasma, I.M. 2015b. The use of advanced genomic
platforms to accelerate breeding
programs of the Indonesian Agency for
Agricultural Research and Development
Internat. J. Biosci. Biotechnol. 2 (2): 43-53.
Tasma, I.M., D. Satyawan, H. Rijzaani, I.
Rosdianti, P. Lestari, and Rubiyo. 2016a.
Genomic variation of five Indonesian
cacao (Theobroma cacao L.) varieties based
on analysis using next generation
sequencing. Indonesian J. of Agric. Sci.
(Accepted).
Tasma, I.M., H. Rijzaani, A. R. Purba, and D.
Satyawan. 2016b. Characterization of
genomic variation on three Indonesian oil
palm (Elaeis guineensis Jacq.) genotypes
using next generation sequencing.
Manuscript in preparation.
Tasma, I.M. 2016a. Resekuensing genom, metode
baru karakterisasi variasi SDG tanaman
secara komprehensif mendukung
akselerasi program pemuliaan tanaman.
Warta Biogen 12 (1): 2-6.
Tasma, I.M. 2016b. Pemanfaatan teknologi DNA
untuk akselerasi program pemuliaan
ketahanan tanaman kakao terhadap
hama dan penyakit utama. J. Litbang
Pert. 35 (Accepted).
Thomson, M.K. 2014. High throughput SNP
genotyping to accelerate plant breeding.
Plant Breed. Biotech. 2 (3): 195-212.
Ting, N.-C., J. Jansen, J. Nagappan, Z. Ishak, C.-
W. Chin, S.-G. Tan, S.-C. Cheah, R. Singh.
2013. Identification of QTLs associated
with callogenesis and embryogenesis in
oil palm using genetic linkage maps
improved with SSR markers. PLoS ONE
8(1): e53076. doi:10.1371/journal.pone.
0053076.
Ting, N.C. , J. Jansen, S. Mayes, F. Massawe, R.
Sambanthamurthi, L. C.-L. Ooi1, C.W.
Chin, X. Arulandoo, T.-Y. Seng, S. S. R. S.
Alwee, M. Ithnin and R. Singh. 2014.
High density SNP and SSR-based genetic
maps of two independent oil palm
hybrids. BMC Genomics 15: 309-320.
Toruan-Mathius, N., T. Hutabarat, U. Djulaicha,
A.R. Purba, and T. Hutomo. 1997.
Identification of oil palm (Elaeis guineensis
Jacq.) Dura, Pisifera, and Tenera by
RAPD markers. Proc. IBC. 97: 237 – 248.
Varshney, R.K., S.N. Nayak, G.D. May, and J.A.
Jackson. 2009. Next-generation
sequencing technologies and their
implications for crop genetics and
breeding. Trends in Biotechnology 9: 522-
530.
72 Volume 15 Nomor 1, Jun 2016 : 50 -72
Varshney, R.K., W. Chen, Y. Li, A.K. Bharti, R.K.
Saxena, J.A. Schlueter, M.T.A. Donoghue,
S. Azam, G. Fan, A.M. Whaley, D.
Andrew et al. [31 authors]. 2012. Draft
genome sequence of pigeonpea (Cajanus
cajan), an orphan legume crop of
resource-poor farmers. Nature
Biotechnology 30: 83-89.
doi:10.1038/nbt.2022.
Wahid, M.B., S.N.A. Abdullah, and I.E. Henson.
2005. Oil palm-achivements and
potential. Plant Prod. Sci. 8:288–292.
Wong, C.K., and R. Bernardo. 2008. Genome
wide selection in oil palm:increasing
selection gain per unit time and cost with
small populations. Theor. Appl. Genet.
116: 815–824. doi:10.1007/s00122-008-
0715-5.
Xu, X., S. Pan, S. Cheng, B. Zhang, et al. [94
authors]. 2011. Genome sequence and
analysis of the tuber crop potato. Nature
475: 189-195.
Yang, W., Z. Guo, C. Huang, L. Duan, G. Chen,
and N. Jiang. 2014. Combining high-
throughput phenotyping and genome-
wide association studies to reveal natural
genetic variation in oil palm.
Nat.Commun. 5: 5087. doi:10.1038/
ncomms6087.
Yu J, Hu S, Wang J, Wong GK, et al. [85 authors].
2002. A draft sequence of the rice genome
(Oryza sativa L. ssp. indica). Science 296:
79-92.
Zeven. 1965. On the origin of the oil palm (Elaeis
guineensis Jacq.). J. Niger. Inst. Oil Palm
Res. 4: 218.
Zheng, Y., N. Ren, H. Wang, A. J. Stromberg, and
S. E. Perry. 2009. Global identification of
targets of the Arabidopsis MADS domain
protein AGAMOUS-Like15. Plant Cell 21:
2563–2577.
Perspektif Vol. 15 No. 1 /Juni 2016. Hlm 73 -85 DOI: http://dx.doi.org/10.21082/psp.v15n1.2016.73-85
ISSN: 1412-8004
Strategi Stabilisasi Kinerja Pasar Cengkeh Nasional (AGUS WAHYUDI) 73
STRATEGI STABILISASI KINERJA PASAR CENGKEH NASIONAL
Stabilitation Strategy of National Clove Market Performance
AGUS WAHYUDI
Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat
Indonesian Spice and Medicinal Crops Research Institute
Jalan Tentara Pelajar No. 3 Bogor 16111, Indonesia
E-mail: [email protected]
ABSTRAK
Cengkeh (Syzigium aromaticum L. Marr. and Perr.)
merupakan salah satu bahan baku industri rokok
kretek di Indonesia. Kinerja pasar cengkeh mengalami
pasang surut dalam empat dasawarsa terakhir.
Permintaan cengkeh untuk industri rokok kretek
mengalami pertumbuhan, sedangkan produksi
cengkeh berfluktuasi dalam jangka pendek dan
cenderung meningkat dalam sepuluh tahun terakhir.
Tinjauan ini bertujuan untuk menganalisis strategi
stabilisasi kinerja pasar cengkeh melalui
pengembangan program dan kebijakan manajemen
pasok cengkeh nasional. Kerangka analisis yang
digunakan dalam mengembangkan strategi adalah (1)
analisis situasi, (2) analisis strategi untuk mencapai
situasi yang diinginkan, dan (3) analisis kebijakan
untuk percepatan terwujudnya situasi tersebut. Situasi
pasar cengkeh menunjukkan hampir seimbangnya
permintaan industri rokok dengan produksi nasional
dalam jangka panjang. Strategi yang dapat dilakukan
adalah dengan mendorong produktivitas tanaman
melalui program intensifikasi dan rehabilitasi
tanaman. Perluasan areal secara alami akan terjadi jika
situasi keseimbangan antara permintaan dan pasok
diupayakan terjaga. Fluktuasi harga yang terjadi
jangka pendek karena adanya fluktuasi produksi
tahunan ditangani melalui manajemen rantai pasok.
Kebijakan teknis, kelembagaan dan keuangan
diperlukan dengan memfasilitasi akses petani untuk
memperoleh pembiayaan perbankan seperti
pembiayaan panen dan pasca panen serta penerapan
sistem resi gudang untuk memberi alternatif kepada
petani pada saat harga turun.
Kata kunci: Cengkeh, Syzigium aromaticum L. Marr.
and Perr, kinerja pasar, industri rokok
kretek, permintaan, produksi nasional,
intensifikasi dan rehabilitasi.
ABSTRACT
Clove (Syzigium aromaticum L. Marr. and Perr.) is one
of the main raw materials in the kretek cigarette
industry. The development of the clove market
performance experienced ups and downs in the last
four decades. The demand for clove almost
consistently grew, while the production fluctuate in the
short term and tends to increased in the last ten years.
This review is aimed to analyze the market
performance stabilization strategy through the
development of national program and supply
management policies. The analytical framework used
in developing the strategy are (1) the analysis of the
situation, (2) analysis of strategies for achieving the
desired situation, and (3) analysis of the policies
needed to accelerate the realization of the situation.
Clove market situation that occurs at this time shows
nearly balanced, in which the demand for cigarette
industry can almost be met from national production
in the long term. Therefore, the strategies are to
encourage national production by pushing plant
productivity through intensification and rehabilitation
of existing plants. Area extention will naturally happen
if the situation of balance between demand and supply
maintained in the long term. Price fluctuations that
occur because of their short-term fluctuations in the
production of each year handled through supply chain
management. Therefore technical policy, institutional
and financial required to facilitate the access of farmers
to acquire bank financing such schemes to harvest and
post-harvest financing and implementation of
warehouse receipt system to provide alternatives to
farmers when the price fall.
Keywords: Clove (Syzigium aromaticum L. Marr. and
Perr.), market performance, clove cigarette
industry, demand, national production,
intensification and rehabilitation.
74 Volume 15 Nomor 1, Juni 2016 : 73 -85
PENDAHULUAN
Cengkeh (Syzigium aromaticum L. Marr. and
Perr.) adalah tanaman yang bunganya digunakan
sebagai rempah dalam berbagai kuliner terutama
di Asia. Di Indonesia cengkeh selain sebagai
rempah juga merupakan bahan baku penting
dalam industri rokok kretek. Dalam sejarah,
tercatat bahwa pencampuran tembakau dengan
cengkeh sudah dicatat Rumphius di Ambon pada
abad ke 17. Industri rokok kretek yang sangat
banyak memerlukan cengkeh, baru berkembang
di Jawa mulai 1927. Pabrik-pabrik rokok kretek
dibangun di Kudus, Kediri, Blitar, Tulungagung
dan Mojokerto. Kebutuhan cengkeh meningkat
pesat, sehingga pada dasawarsa 1950-1960an
Indonesia kadang harus mengimpor cengkeh
(Semangun, 2014). Mengingat devisa yang
dibutuhkan untuk mengimpor sangat besar maka
pada tahun 1990 ditetapkan program
swasembada cengkeh.
Produksi rokok kretek telah berkembang
dari sebuah industri tradisional ke sektor
manufaktur bernilai tambah, menyerap tenaga
kerja dan sumber pendapatan pemerintah.
Perusahaan rokok kretek telah mampu bersaing
dengan perusahaan rokok besar asing penghasil
rokok "putih”, yang berasal dari akhir abad ke-
19, industri hanya tumbuh setelah Perang Dunia
II. Keberhasilan ini terbatas terutama untuk
empat perusahaan terbesar yang sangat
terkonsentrasi di Jawa Tengah dan Jawa Timur,
namun konsumsi tersebar luas di seluruh
nusantara didukung intervensi pemerintah,
dalam tenaga kerja, perpajakan (cukai), harga
dan investasi (Tarmidi, 1996).
Tembakau dan sektor industri rokok,
mempunyai kaitan ke belakang (backward
linkages) dan ke depan (forward linkages) dengan
sektor hilirnya (Hadi dan Friyatno, 2008).
Industri tembakau Indonesia dihadapkan kepada
situasi dilematik dan kontroversi perannya
dalam perekonomian nasional dan dampak
negatif yang ditimbulkannya bagi kesehatan dan
lingkungan (Rachmat, 2010).
Mengingat populasi dan prevalensi merokok
yang besar, Indonesia menempati urutan kelima
di antara negara-negara dengan konsumsi
tembakau tertinggi secara global. Lebih dari 62%
laki-laki dewasa Indonesia merokok secara
teratur, dan berkontribusi terhadap beban
penyakit tidak menular dan tuntutan yang besar
pada sistem perawatan kesehatan. Kebijakan
pengendalian tembakau tetap rendah dalam
agenda politik kesehatan publik selama
bertahun-tahun. Salah satu alasan adalah
kontribusi tembakau terhadap pendapatan
pemerintah dan penyerapan tenaga kerja sektor
industri (Achadi et al., 2005).
Saat ini industri rokok kretek Indonesia
merupakan industri besar dan telah lama
berkembang serta sumber pendapatan negara,
maka penyediaan bahan baku cengkeh secara
kontinu menjadi sangat penting. Industri rokok
kretek dikuasai oleh empat perusahaan besar dan
lebih dari 1000 perusahaan kecil dan menengah.
Keempat perusahaan tersebut adalah Gudang
Garam, Djarum, Sampoerna, dan Bentoel dengan
pangsa pasar total sekitar hampir 80% (Tabel 1).
Perusahaan menengah dan kecil makin
menyusut, dari semula lebih dari 3000
perusahaan menjadi kurang dari 1000 yang masih
bertahan.
Produksi rokok kretek Indonesia mengalami
pertumbuhan yang positif walaupun dengan
adanya kampanye anti rokok, pertumbuhan
Tabel 1. Pangsa pasar perusahaan rokok kretek
Tahun Gudang
Garam
Djarum Sampoerna Bentoel Lainnya
2008 47.9 % 12.8 % 11.9 % 10.3 % 17.1 %
2009 39.1 % 15.6 % 13.1 % 11.0 % 21.2 %
2010 35.5 % 18.0 % 15.2 % 11.9 % 19.4 %
2011 35.6 % 16.9% 16.6% 10.7% 20.2%
2012 33.7 % 15.3% 16.4% 10.1% 24.5%
Rerata 38.36% 15.72% 14.64% 10.80% 20.48%
Sumber: Poniran (2013) diolah dari GAPPRI
Strategi Stabilisasi Kinerja Pasar Cengkeh Nasional (AGUS WAHYUDI) 75
tersebut agak melambat terutama dalam dua
tahun terakhir. Proporsi produksi Sigaret Kretek
Mesin (SKM) termasuk rokok ringan semakin
tinggi dibandingkan dengan Sigaret Kretek
Tangan (SKT) dan Sigaret Klobot (SKL). Hal ini
sesuai dengan perkembangan konsumsi rokok
dunia seperti yang dilaporkan oleh Gilmore
(2012) bahwa volume rokok global sudah
menurun, namun keuntungan industri terus
meningkat. Hal ini karena kekuatan perusahaan
rokok untuk meningkatkan harga lebih tinggi
daripada penurunan volume. Kondisi tersebut
berpengaruh terhadap kebutuhan bahan baku
cengkeh. Pertumbuhan kebutuhan cengkeh pada
masa yang akan datang diperkirakan semakin
berkurang.
Produksi cengkeh nasional sesuai karakter
tanamannya mengalami fluktuasi, sehingga
dikenal produksi cengkeh dengan panen raya,
panen sedang dan panen kecil. Pada saat penen
raya produksi cengkeh dapat mencapai 600
kg/ha, panen sedang sekitar 300 kg/ha, dan panen
kecil sekitar 100 kg/ha. Rata-rata produktivitas
cengkeh diperkirakan mencapai 250-350 kg/ha
(Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian,
2014).
Rendahnya produktivitas cengkeh
disebabkan oleh kondisi tanaman kurang
terawat, terutama karena masih endemiknya
penyakit bakteri pembuluh kayu cengkeh (BPKC)
dan hama penggerek batang cengkeh. Penyakit
BPKC dikenal juga dengan sebutan “penyakit
Sumatera” yang disebabkan oleh bakteri
Pseudomonas syzygii, sementara “mati bujang”,
yang lebih bersifat non patogenik oleh faktor
tanah dan lingkungan. Selain itu juga ada
penyakit gugur daun cengkeh (GDC) di Sulawesi
Utara dan cacar daun cengkeh (CDC) yang
bermula dari Lampung. Hama penggerek terdiri
atas penggerek batang (Nothopeus hemipterus, N.
fasciatipennis, dan Hexamitodera semivelutina),
penggerek cabang (Xyleborus sp. dan Ardela sp.),
dan penggerek ranting (Coptocercus biguttatus)
(Ruhnayat et al. 2014).
Saat ini aplikasi Sistem Pakar Diagnosis
Penyakit Tanaman Cengkeh dengan Metode
Inferensi Forward Chaining, dapat membantu
mengidentifikasi penyakit cengkeh dan langkah-
langkah yang harus diambil dalam penanganan
atau pencegahan penyakit (Hananto et al., 2014).
Selain itu pemeliharaan yang pada umumnya
minimum, terutama pemeliharaan cengkeh
setelah panen raya. Kondisi tanaman setelah
panen sangat memerlukan pemupukan untuk
memulihkan kondisi pucuk yang rusak akibat
pemetikan bunga. Pada saat harga cengkeh
rendah karena panen raya mengakibatkan
pendapatan petani tidak mencukupi untuk
melakukan pemeliharaan yang diperlukan. Pada
musim panen berikutnya produksi turun karena
kondisi tanaman masih belum pulih.
Produksi cengkeh yang berfluktuasi dan
kebutuhan cengkeh yang meningkat secara
konsisten mengakibatkan kondisi pasar cengkeh
tidak stabil, yang ditunjukkan oleh fluktuasi
harga yang tinggi antar periode, yaitu harga yang
sangat rendah pada dasawarsa tahun 1990an dan
meningkat tajam dalam lima tahun pertama
dasawarsa 2000an, kemudian turun lagi pada
lima tahun kedua, pada akhirnya merambat
meningkat pada lima tahun pertama dasawarsa
2010an (Tabel 2).
Tabel 2. Fluktuasi harga cengkeh antar periode*
(Rp/kg)
Tahun Harga
Nominal
Harga
Konstan**
1991-95 6.400 7.122
1996-00 14.700 16.391
2001-05 39.220 42.375
2006-10 46.900 47.738
2011-15 55.490 53.961
Keterangan: Diolah dari Pusat Data dan Sistem
Informasi Pertanian (2014); **tahun
dasar 2010
Kinerja pasar yang tidak stabil
mengakibatkan risiko berusahatani yang
ditanggung petani maupun pengguna cengkeh
(industri rokok kretek). Risiko usahatani yang
paling besar adalah risiko kerugian pada saat
harga rendah, sedangkan upah panen cengkeh
meningkat. Seringkali petani membiarkan
cengkeh tidak dipanen karena harga cengkeh
lebih murah daripada biaya panen. Misalnya
pada saat ini upah petik cengkeh basah di
Sulawesi Utara mencapai Rp 10.000/kg, yang
setara dengan Rp 40.000/kg cengkeh kering. Jika
76 Volume 15 Nomor 1, Juni 2016 : 73 -85
harga jual kurang dari Rp 40.000/kg, lebih baik
petani membiarkan cengkehnya tidak dipanen.
Risiko ketidakstabilan harga ini juga dihadapi
oleh industri rokok yang harus mengelola stok
cengkeh dalam jumlah besar sehingga
menimbulkan biaya gudang yang tinggi.
Upaya stabilisasi harga cengkeh pernah
dilakukan oleh pemerintah melalui Badan
Pemasaran dan Penyangga Cengkeh (BPPC) pada
awal tahun 1990an (1992-1994), karena harga
jatuh sangat rendah dalam waktu yang cukup
lama akibat program pengembangan yang tidak
terkontrol. Upaya pengendalian harga tersebut
mengalami kegagalan kemungkinan karena
pengelolaan stok yang kurang baik, sehingga
sebagian petani tidak hanya membiarkan
cengkehnya tidak dipanen tetapi juga ditebang
diganti dengan tanaman lain.
Karakter pasar cengkeh yang tidak stabil
tersebut dan pelajaran tentang kegagalan pasar
yang pernah terjadi, maka tinjauan ini dilakukan
untuk menganalisis strategi stabilisasi kinerja
pasar melalui pengembangan program dan
kebijakan manajemen pasok cengkeh nasional.
KERANGKA STRATEGI STABILISASI
KINERJA PASAR
Strategi adalah konsep dasar untuk
mencapai tujuan melalui pelaksanaan program
dan kebijakan untuk mengatasi permasalahan
yang dihadapi. Dengan demikian tujuan yang
diinginkan dalam jangka panjang dapat
diwujudkan. Strategi berisi program yang
terstruktur dalam rantai rencana aksi yang terdiri
atas mata rantai kegiatan yang harus
dilaksanakan oleh para pelaku untuk mencapai
tujuan. Dalam rantai rencana aksi dan mata
rantai kegiatan tersebut umumnya terdapat
kendala dan permasalahan, sehingga diperlukan
kebijakan yang relevan untuk mengatasinya.
Perencanaan strategi seringkali mengacu pada
metode tertentu seperti perencanaan strategi
untuk sistem informasi menggunakan metode
Ward dan Peppard (Wedhasmara, 2014).
Secara umum pengembangan strategi harus
merespon perkembangan lingkungan yang
bergejolak maupun relatif stabil. Menurut
Fiegener (1997), meskipun desain proses
pengkajian strategi serupa baik lingkungan yang
dinamis maupun stabil, hubungan antara
variabel desain dan efektivitas, pengendalian
strategis bervariasi sesuai dengan kondisi
lingkungan. Ada dua pilar yang membentuk
dasar dari strategi pembangunan (1) menciptakan
iklim yang baik untuk investasi dan
pertumbuhan produktivitas, dan (2)
memberdayakan orang untuk berpartisipasi
dalam pertumbuhan itu (Stern, 2002).
Suatu entitas pasti menginginkan perbaikan
situasi dari situasi yang terjadi pada saat ini.
Situasi akhir yang diinginkan dari suatu periode
tersebut disebut sebagai tujuan akhir. Perbedaan
antara situasi saat ini dengan situasi yang
diinginkan disebut sebagai kesenjangan situasi.
Untuk menjembatani kesenjangan situasi tersebut
perlu program-program pengembangan yang
masing-masing program mengandung rencana
aksi yang harus dilaksanakan setiap tahun.
Dalam pelaksanaan rencana aksi dapat
diperkirakan permasalahan yang akan timbul,
sehingga merupakan keharusan untuk disiapkan
kebijakan yang tepat, jika permasalahan tidak
bisa diselesaikan oleh entitas yang bersangkutan.
Kebijakan tersebut dapat melibatkan berbagai
pihak untuk mengatasinya (Gambar 1).
Pasar komoditas adalah entitas lembaga
yang memfasilitasi transaksi jual beli antara
penjual dan pembeli. Secara teoritik
kesanggupan untuk membeli komoditas pada
berbagai tingkat harga disebut sebagai
permintaan, sedangkan kesediaan untuk
menjualnya disebut pasokan. Indikator kinerja
Gambar 1. Kerangka umum pengembangan strategi
Strategi Stabilisasi Kinerja Pasar Cengkeh Nasional (AGUS WAHYUDI) 77
pasar komoditas adalah tingkat harga dan
stabilitas harga. Tingkat harga yang sesuai
adalah harga minimum yang dapat menutup
biaya produksi, sekaligus pembeli sanggup
membeli sesuai dengan jumlah yang diinginkan.
Stabilitas harga menjadi sangat penting agar
pembeli dan penjual dapat merencanakan
pembelian dan produksi dengan baik.
Strategi stabilisasi pasar dapat dirumuskan
dengan mempelajari situasi pasar, terutama yang
berkaitan dengan kinerja pasar cengkeh dari
aspek tingkat harga dan stabilitas harga. Selain
itu perlu dipelajari kecenderungan harga dalam
periode yang akan datang. Jika kecenderungan
harga tersebut kurang sesuai dengan yang
diinginkan maka perlu strategi untuk
menyesuaikan. Permasalahan yang umumnya
diperkirakan muncul dalam pelaksanaan dapat
disiapkan kebijakan yang sesuai.
SITUASI PASAR CENGKEH
Harga Cengkeh
Dalam tiga tahun terakhir (2013-2015),
perkembangan pasar cengkeh bergejolak relatif
terbatas dengan variasi harga kurang dari 25%,
dengan rata-rata harga sekitar Rp 100 ribu.
Pergerakan harga cenderung meningkat pada
sepuluh tahun sebelumnya (2003-2012) dari
kurang dari Rp 30 ribu pada 2003 menjadi sekitar
Rp 60 ribu pada 2012. Lima tahun sebelumnya
(1998-2003) pergerakan harga secara nominal
mengalami kecenderungan yang meningkat dari
sekitar Rp 10 ribu pada 1998 menjadi lebih dari
Rp 30 ribu pada 2003 (Gambar 2). Mengingat
bahwa harga menentukan kinerja produksi maka
pada umumnya petani kurang bergairah dalam
memelihara pertanaman cengkeh, karena dalam
jangka panjang harga cengkeh cenderung rendah.
Menurut penelitian Situmeang (2008)
peningkatan harga cengkeh domestik sebesar 20
persen menyebabkan produktivitas, luas areal,
produksi, ekspor, dan penawaran cengkeh
mengalami peningkatan, sedangkan impor,
konsumsi industri rokok kretek, produksi rokok
kretek, harga cengkeh impor, dan harga cengkeh
ekspor menurun.
Secara teoritik ada dua penjelasan untuk
dinamika harga hasil pertanian. Pertama,
fluktuasi harga mengikuti logika sarang laba-laba
dan model yang didorong adanya kesalahan
ekspektasi yang menimbulkan dinamika yang
kompleks dan mungkin kekacauan. Kedua
berasal dari tradisi dinamika ekspektasi rasional
yang didorong oleh guncangan nyata. Bukti
empiris cenderung mendukung yang terakhir,
tetapi tidak konklusif (Gouel, 2012).
Cengkeh adalah tanaman tahunan, analisis
harganya harus jangka panjang. Pasar cengkeh
yang digambarkan oleh perkembangan dalam
kurun waktu 2001-2015 mencerminkan bahwa
pasar tidak stabil. Pasar yang tidak stabil
menyulitkan petani untuk secara konsisten
memelihara tanamannya. Bagi konsumen
(perusahaan rokok kretek) ketidakstabilan harga
menyulitkan perencanaan pemasaran terutama
dalam penentuan harga jual karena harga pokok
berubah-ubah.
Harga cengkeh yang sangat rendah selama
dua dasawarsa hingga tahun 2000, menjadikan
kinerja pasar cengkeh tidak mampu mendorong
para petani untuk sekedar mempertahankan
kebunnya. Areal yang pernah mencapai 700 ribu
ha menyusut hingga 400 ribu, akibatnya
kecenderungan peningkatan harga sejak awal
2000an secara perlahan dapat mendorong
terjadinya kembali peningkatan areal menjadi 500
ribu ha pada 2015 (Gambar 3).
Fluktuasi produksi cengkeh menunjukkan
perilaku musiman yang memiliki siklus empat
tahunan terjadi panen raya. Produksi cengkeh
yang tinggi tidak langsung diikuti oleh harga
yang rendah sebaliknya produksi cengkeh yang
Gambar 2. Perkembangan harga nominal cengkeh
nasional (Pusat Data dan Sistem
Informasi Pertanian, 2014)
78 Volume 15 Nomor 1, Juni 2016 : 73 -85
rendah langsung diikuti oleh harga yang tinggi.
Dalam jangka panjang, harga mengarah ke titik
keseimbangan (siklus konvergen). Harga di
tingkat pabrik rokok lebih berfluktuasi
dibandingkan di tingkat petani (Duakaju, 2004).
Telah dikemukakan bahwa ketidakstabilan
pasok disebabkan terutama oleh karakter
produksi tanaman cengkeh yang cenderung tidak
stabil. Setelah panen raya, hampir seluruh pucuk
mengalami kerusakan, sehingga pada umumnya
tahun berikutnya panen kecil. Hal ini karena
proses pemulihan akibat panen belum tuntas.
Sejalan dengan pemulihan yang berlangsung
pada tahun berikutnya panen sedang dan disusul
panen raya kembali. Tentu hal demikian tidak
selalu konsisten, karena banyak faktor
lingkungan yang berpengaruh seperti ketepatan
iklim dan ketersediaan unsur hara (Gambar 4).
Selain itu faktor-faktor perdagangan luar negeri
seperti ekspor dan impor, harga produk yang
relevan juga berpengaruh terhadap kestabilan
pasok dan harga. Menurut Nazlioglu dan Soytas
(2012) harga minyak dan nilai tukar berpengaruh
langsung terhadap harga komoditas pertanian.
Studi Byerlee et al. (2006) mengemukakan
bahwa mengelola risiko harga merupakan
tantangan di tengah reformasi pasar yang sedang
berlangsung. Hal ini menyangkut (i) sumber dan
besaran ketidakstabilan harga; (ii) biaya ekonomi
dan sosial dari ketidakstabilan harga; (iii)
pelajaran dari reformasi pasar; (iv) desain
reformasi kebijakan yang efisien, stabil dan
melindungi kepentingan orang miskin; dan (v)
respon kebijakan potensi ketidakstabilan harga
pangan di lingkungan liberalisasi pasar.
Gambar 4. Perkembangan produksi cengkeh
1980-2013 (Pusat Data dan Sistem
Informasi Pertanian, 2014)
Gambar 5. Perkembangan impor dan ekspor
cengkeh 1980-2013 (Pusat Data dan
Sistem Informasi Pertanian, 2014).
Produksi cengkeh saat ini hingga beberapa
tahun kedepan diperkirakan antara 100–120 ribu
ton. Pertumbuhan produksi yang terjadi
diperkirakan lebih karena peningkatan intensitas
pemeliharaan daripada perluasan areal. Harga
yang membaik dalam beberapa tahun terakhir
mendorong petani untuk melakukan
pemeliharaan tanaman intensif. Mengingat
bahwa tanaman cengkeh pada saat panen
mengalami kerusakan pada pucuk-pucukmya
karena pemetikan bunga, maka untuk pemulihan
memerlukan hara tanah. Oleh karena itu
pemupukan setelah panen menjadi sangat
menentukan kecepatan pemulihan, sehingga
pembungaan pada periode berikutnya dapat
terpenuhi kebutuhan haranya.
Selain dari produksi dalam negeri, pasokan
ada yang berasal dari impor, yang hingga saat ini
Gambar 3. Perkembangan areal cengkeh 1980-2013
(Pusat Data dan Sistem Informasi
Pertanian, 2014)
Strategi Stabilisasi Kinerja Pasar Cengkeh Nasional (AGUS WAHYUDI) 79
dikendalikan pemerintah. Izin impor dikeluarkan
oleh Kementerian Perdagangan dengan
memperhatikan kondisi pasokan terutama
produksi dalam negeri. Dengan demikian
lonjakan harga yang terlalu tinggi dapat
dihindari. Negara produsen cengkeh selain
Indonesia yang mendominasi sekitar 70% dari
produksi dunia adalah Madagaskar, Tanzania,
India dan lainnya dengan jumlah yang relatif
kecil. Impor yang agak signifikan pada 2011-2012
yang mencapai 15 ribu ton (Gambar 5).
Permintaan Cengkeh
Kestabilan harga cengkeh secara mendasar
tergantung pada stabilitas permintaan untuk
rokok kretek dan stabilitas pasokan yang
dihasilkan oleh petani. Walaupun banyak faktor
yang menyebabkan ketidakstabilan permintaan
cengkeh sebagai turunan permintaan dari
permintaan rokok kretek, tetapi secara umum
daya beli masyarakat dan kebijakan pemerintah
untuk meningkatkan kesadaran masyarakat
tentang bahaya rokok dalam jangka panjang juga
akan berdampak pada pertumbuhan produksi
rokok.
Dari sisi permintaan, sebagian besar, sekitar
95% dari produksi cengkeh digunakan untuk
bahan baku industri rokok kretek, yang
mengalami pertumbuhan positif sekitar 4.7% per
tahun. Walaupun demikian, pertumbuhan
tersebut disertai dengan perubahan komposisi
yang sangat signifikan. Produksi rokok ringan
(mild) mengalami pertumbuhan yang paling
pesat dibandingkan dengan SKM (sigaret kretek
mesin) apalagi SKT (sigaret kretek tangan), yang
pada akhirnya dapat diperkirakan bahwa
produksi rokok ringan akan mendominasi.
Mengingat bahwa kebutuhan cengkeh untuk
rokok ringan kurang jauh daripada SKM apalagi
SKT, maka kebutuhan cengkeh nasional pun
tidak bertumbuh linear terhadap pertumbuhan
produksi rokok kretek.
Studi Sugiharti et al. (2015), menunjukkan
bahwa perilaku merokok di Indonesia
berdasarkan data IFLS tahun 2000 dan 2007,
berbanding terbalik dengan tingkat pendidikan.
Individu berpendidikan setara sekolah dasar (SD)
mempunyai kecendrungan merokok lebih
banyak dibanding dengan yang berpendidikan
lebih tinggi. Dikaitkan dengan tingkat
pendapatan dan status kepemilikan rumah, studi
ini menemukan bahwa perilaku merokok
berkaitan dengan penduduk berpendapatan
rendah dan menengah. Dengan demikian dengan
semakin baiknya tingkat pendidikan dan
pendapatan, permintaan rokok kretek semakin
berkurang dan demikian pula kebutuhan
cengkeh.
Produksi rokok kretek diperkirakan tumbuh
4-5% per tahun, tetapi kebutuhan cengkeh per
batang akan berkurang sejalan dengan
meningkatnya proporsi produk rokok ringan
(mild). Penurunan kebutuhan cengkeh per
batang rokok diperkirakan sekitar 3%.
Diperkirakan dalam beberapa tahun kedepan
kebutuhan cengkeh rata-rata kurang dari 5 ton
per milyar batang. Perkiraan penggunaan
cengkeh untuk industri rokok kretek jika target
produksi total 360 milyar batang pada 2015,
dengan kebutuhan rata-rata tertimbang sebesar 3-
4 ton per milyar batang, diperoleh kebutuhan
cengkeh sebesar 108-144 ribu ton per tahun,
dengan nilai tengah 126 ribu ton per tahun.
Permintaan cengkeh untuk rempah boleh
dikatakan relatif kecil, tidak linear terhadap
pertumbuhan penduduk, karena hanya beberapa
etnis penduduk Indonesia yang menggunakan
cengkeh sebagai rempah utama (Badan Litbang
Pertanian, 2007). Seperti dicatat dalam sejarah
bahwa bunga cengkeh merupakan salah satu
rempah yang diburu bangsa Eropa di wilayah
timur Kepulauan Nusantara, sebagai daerah asal
tanaman cengkeh. Perkembangan permintaan
rempah ini menjadi relatif minor sejak awal 1970,
sejak pesatnya perkembangan industri rokok
kretek.
Selain permintaan dalam negeri, ada juga
permintaan cengkeh untuk ekspor ke beberapa
negara Asia dan Eropa. Menurut Segarani dan
Martini (2015) dan Irawan dan Darsono (2012)
luas lahan, jumlah produksi dan kurs dollar
secara simultan berpengaruh signifikan pada
volume ekspor cengkeh Indonesia tahun 1993-
2012. Berati ada peluangu untuk membuka
ekspor jika terjadi kelebihan produksi dalam
negeri, walaupun daya serap pasar ekspor
relative kecil, hanya sekitar 5.000 ton tiap tahun.
80 Volume 15 Nomor 1, Juni 2016 : 73 -85
Situasi Pasar Ideal
Situasi pasar yang diinginkan oleh semua
pihak baik produsen maupun konsumen adalah
situasi pasokan dan permintaan sedemikian
sehingga harga cengkeh stabil pada kisaran harga
yang dapat memberikan insentif produksi dan
sekaligus tidak memberatkan harga pokok rokok
kretek secara berlebihan. Berdasarkan
pengalaman dalam lima tahun terakhir, harga
bergerak di sekitar Rp 100 ribu/kg. Petani
cengkeh mulai bergairah untuk melakukan
intensifikasi dan rehabilitasi, tetapi untuk
penanaman di kebun baru belum terlihat. Hal ini
menunjukkan bahwa harga cengkeh tersebut
merupakan keinginan petani untuk dapat
mempertahankan dan memelihara pertanaman
cengkehnya secara baik.
Menurut Rumagit (2007) harga riil cengkeh
lima tahun sebelumnya sangat berpengaruh
terhadap perkembangan areal dan produktivitas
tanaman. Pengaruh harga dan produksi bersifat
timbal balik. Harga tinggi dapat mendorong
petani untuk melakukan perluasan secara
berlebihan. Pada gilirannya harga dapat turun
lagi karena produksi berlebih. Dengan demikian
agar harga tetap terjaga pada tingkat yang
diinginkan maka produksi dalam jangka
menengah, lebih baik ditingkatkan dari kebun
yang ada pada saat ini, melalui intensifikasi dan
rehabilitasi.
Pada saat ini petani harus menghadapi
kenyataan bahwa biaya produksi cengkeh relatif
tinggi. Hal ini terutama karena upah yang sangat
tinggi terutama panen. Di daerah sentra
produksi cengkeh biaya panen cengkeh
merupakan komponen biaya terbesar dari biaya
produksi. Seperti di Sulawesi Utara biaya panen
mencapai Rp 10.000 per kg basah atau Rp 40.000
per kg kering. Bahkan Simbar et al. (2014)
menyatakan besarnya biaya panen di Kecamatan
Tareran mencapai Rp. 40.352,47 per kg dan rata-
rata produksi 468,3 kg. Jika produksi kebunnya
tidak banyak maka biaya panen akan semakin
tinggi. Dengan asumsi bahwa biaya
pemeliharaan untuk cengkeh sebessar Rp 20.000
per kg kering maka harga pokok cengkeh di
tingkat petani sudah mencapai Rp 60.000. Jika
keuntungan petani yang layak untuk
mempertahankan kondisi tanaman cengkeh
sebesar 25% maka harga yang pantas diterima
petani minimum sekitar Rp 75.000 per kg.
STRATEGI STABILISASI PASAR DAN
HARGA
Dari sisi pasok, saat ini lebih dari 90 %
cengkeh dihasilkan dari kebun milik petani.
Menurut Statistik dari Pusat Data dan Sistem
Informasi Pertanian (2014) luas total kebun pada
2014 hampir mencapai 500 ribu ha dengan
perkiraan luas kebun produktif sekitar 400 ribu
ha. Dengan produktivitas rata-rata dalam
beberapa tahun terakhir 250-350 kg/ha (Gambar
5), maka potensi produksi nasional rata-rata
mencapai 100-135 ribu ton per tahun, dengan
nilai tengah 117,5 ribu ton. Jika dibandingkan
dengan kebutuhan cengkeh yang diperkirakan
sekitar 108-144 ribu ton dengan nilai tengah 126
ribu ton maka kekurangan cengkeh yang terjadi
saat ini sekitar 8-9 ribu ton per tahun.
Berdasarkan situasi tersebut dapat diketahui
bahwa kebutuhan dan produksi hampir
berimbang dengan kecenderungan defisit
terutama pada saat terjadinya panen kecil dan
panen sedang. Dengan gambaran tersebut,
sebenarnya dengan peningkatan produktivitas
rata-rata katakanlah sebesar 10%, kebutuhan
dapat terpenuhi dari produksi dalam negeri.
Selain itu karena terjadi fluktuasi produksi maka
diperlukan manajemen rantai pasok agar pada
saat panen raya harga tidak jatuh.
Gambar 5. Perkembangan produktivitas cengkeh
1980-2013 (Pusat Data dan Sistem
Informasi Pertanian, 2014)
Strategi Stabilisasi Kinerja Pasar Cengkeh Nasional (AGUS WAHYUDI) 81
Program
Stabilisasi kinerja pasar cengkeh dengan
indikator kestabilan harga jangka panjang
merupakan suatu keniscayaan. Upaya yang
harus dilaksanakan untuk dapat mencapai harga
yang stabil dalam jangka panjang dan jangka
pendek adalah pengendalian pasok. Secara
umum upaya pengendalian harga jangka panjang
dapat ditempuh dengan pengendalian areal dan
produktivitas dan pengendalian harga jangka
pendek melalui manajemen rantai pasok.
Situasi yang terjadi saat ini, harga rata-rata
sekitar Rp 100.000 per kg dengan gejolak sekitar
25%. Pada kondisi harga ini terlihat petani
bergairah untuk kembali ke kebun dengan
memelihara tanamam, untuk peningkatkan
produktivitas. Jika situasi ini dianggap sebagai
situasi yang mendekati ideal bagi petani dan
pabrik rokok, maka agar kondisi tersebut dapat
dipertahankan perlu diprogramkan kegiatan
yang sesuai. Untuk program jangka panjang
agar areal cengkeh tidak mengalami peningkatan
atau penurunan yang drastis maka perluasan
areal dijaga agar terjadi secara alami saja, tidak
perlu didorong dengan upaya khusus.
Program yang harus dilaksanakan adalah
peningkatan produktivitas, melalui intensifikasi
dan rehabilitasi tanaman yang tua, rusak dan
yang mati disulam. Diperkirakan melalui kedua
program ini produktivitas tanaman bisa
mencapai 500 kg/ha pada saat panen raya dan
300 kg/ha pada saat panen kecil. Melalui
intensifikasi diharapkan perbedaan produktivitas
antara panen besar dan panen kecil tidak terlalu
jauh. Dengan produktivitas rata-rata 400 kg/ha
dan areal tanaman menghasilkan 400.000 ha
maka produksi nasional sudah mencapai 160.000
ton. Hal ini didukung oleh hasil penelitian
Adyatma dan Budiana (2013) bahwa peningkatan
penggunaan pupuk dan pemeliharaan
berpengaruh nyata terhadap produktivitas
cengkeh.
Berdasarkan perkiraan kecenderungan
permintaan dalam lima tahun mendatang yang
paling tinggi dapat mencapai 144.000 ton, maka
kebutuhan nasional dapat dipenuhi dan sebagian
untuk stok dan kemungkinan ekspor. Melalui
program penyeimbangan pasok dan permintaan
diharapkan harga akan dapat stabil dalam jangka
panjang.
Mengingat produksi cengkeh yang
berfluktuasi, pada saat panen raya pasok jangka
pendek dan bisa secara lokal mendadak
meningkat tajam. Hal ini terjadi jika para petani
melepas langsung semua hasil panen pada saat
yang bersamaan. Dorongan ini sangat kuat
mengingat biaya panen yang dikeluarkan oleh
petani cukup besar dan seringkali membiayainya
dengan hutang jangka pendek. Pada gilirannya
harga dapat turun walaupun bersifat sementara.
Untuk kestabilan harga jangka pendek
program yang harus dijalankan adalah
“manajemen rantai pasok”. Rantai pasok
cengkeh, pada umumnya petani menjual cengkeh
hasil panennya kepada pedagang pengumpul
yang kemudian menjualnya kepada pedagang
antar pulau yang sebagian besar merupakan
kepanjangan tangan pabrik rokok kretek di Jawa.
Saat paling kritis pelepasan cengkeh milik petani
kepada pedagang pengumpul selepas panen.
Hal ini karena untuk membiayai panen petani
pada umumnya hutang, sehingga penjualan
setelah panen karena terdesak oleh telah jatuh
temponya hutang tersebut. Agar hal tersebut
tidak terjadi maka diperlukan manajemen rantai
pasok, terutama peran petani untuk dapat
menyimpan sementara cengkehnya pada saat
harga turun, melalui kebijakan resi gudang yang
sudah diundangkan tetapi belum dilaksanakan.
Rencana Kegiatan
Intensifikasi merupakan program perbaikan
dan pemeliharaan kebun cengkeh untuk kondisi
kebun yang sebagian besar kondisi tanamannya
masih baik (minimum 75%). Rehabilitasi
tanaman seperti program intensifikasi tetapi
kondisi tanamannya hanya sebagian kecil yang
masih baik (minimum 40%) dan masih
memungkinkan untuk diperbaiki kondisinya.
Untuk mendukung pengembangan, perlu
diperhatikan kondisi lahan dan iklim yang
dibutuhkan tanaman cengkeh. Pengembangan
cengkeh sebaiknya ke arah wilayah yang sesuai
dengan persyaratan tumbuh tanaman. Peta
kesesuaian lahan dan iklim dapat dijadikan
pedoman ke arah mana sebaiknya tanaman
dikembangkan. Berdasarkan peta lahan dan iklim
82 Volume 15 Nomor 1, Juni 2016 : 73 -85
ditentukan arah perluasan dan teknologi yang
dibutuhkan untuk suatu daerah (Setiawan dan
Rosman, 2015).
Untuk melaksanakan program intensifikasi
dan rehabilitasi (perbaikan dan pemeliharaan
kebun) perlu adanya rencana kegiatan yang
terstruktur. Secara sekuensial kegiatan perbaikan
dan pemeliharaan kebun cengkeh dimulai
dengan perbaikan kondisi tanah, penanaman
kembali untuk melengkapi tanaman sehingga
populasi kembali utuh, diikuti perbaikan
pemeliharaan tanaman dengan pemupukan dan
perlakuan lainnya, serta panen dan penanganan
pasca panen.
Dari kegiatan tersebut, faktor kritis yang
harus dipecahkan agar program intensifikasi dan
rehabilitasi tersebut dapat berhasil dan
berkelanjutan adalah penyediaan benih bermutu
untuk penanaman kembali, penyediaan pupuk
dan pestisida, dan penyediaan tenaga kerja
terutama untuk pemeliharaan, panen dan pasca
panen.
Penyediaan benih bermutu dapat dilakukan
petani sendiri dari varietas unggul seperti tipe
Zanzibar atau Sikotok dari kebun sendiri yang
baik. Ini merupakan salah satu bentuk
pembangunan partisipatif melalui pemberdayaan
petani untuk peningkatan pendapatan.
Penyediaan pupuk organik dan agensia hayati
dapat menjadi kegiatan pemberdayaan petani
melalui pengembangan produksi kompos dan
pupuk kandang. Penggunaan kompos dan
agensia hayati atau pestisida nabati dapat
menghemat biaya dan memperbaiki lingkungan
mikro tanaman, karena tanpa substitusi tersebut
biaya pupuk dan pestisida kimia cukup besar.
Panen dan pasca panen merupakan kegiatan
yang memerlukan biaya yang besar. Misalkan
untuk kebun dengan produktifitas 400 kg/ha
membutuhkan biaya panen Rp 16 juta. Petani
yang pada saat panen tidak memiliki uang tunai,
biasanya berhutang untuk segera dibayar setelah
cengkeh selesai dikeringkan. Kondisi ini yang
tidak diinginkan karena akan terjadi kelebihan
pasok sehabis panen sehingga harga dapat turun.
Konsep resi gudang kiranya dapat digunakan
untu menangatasi kebutuhan harga untuk
menghindari turunnya harga.
KEBIJAKAN
Menurut Gouel (2013) kebijakan stabilisasi
harga timbul sebagai akibat dari koordinasi
internasional dan domestik. Demi kepentingan
nasional banyak negara menyesuaikan kebijakan
perdagangan untuk mengambil keuntungan dari
pasar dunia. Hansen et al. (2009) menyatakan
bahwa kebijakan perdagangan komoditas
pertanian dapat diarahkan untuk menahan
penurunan harga atau mendorong peningkatan
harga, agar diperoleh harga yang stabil. Hal ini
memungkinkan untuk cengkeh mengingat
bahwa Indonesia merupakan produsen cengkeh
dengan pangsa pasar mencapai lebih dari 90%.
Bellemare (2015) mengemukakan, untuk
produk pangan di Amerika, harga yang stabil
memberikan kepastian kepada petani untuk
mengalokasikan sumberdaya. Siregar (2011)
fluktuasi harga cengkeh dalam waktu singkat
menimbulkan ketidakpastian bagi pelaku usaha.
Perusahaan tembakau kesulitan memperoleh
cengkeh dengan harga wajar. Sedangkan petani
sulit memastikan perencanaan produksi dalam
waktu panjang karena tidak memiliki prediksi
penghasilan di masa yang akan datang.
Kebijakan yang diperlukan untuk dapat
menunjang keberhasilan intensifikasi dan
rehabilitasi adalah kebijakan teknis, kelembagaan
dan keuangan terutama untuk penyediaan input
produksi dan pemasaran produk.
Kebijakan input yang diperlukan terutama
kebijakan untuk menjamin ketersediaan benih
bermutu secara berkelanjutan yang meliputi
kebijakan untuk pengembangan penangkaran
benih. Kebijakan ini meliputi tersedianya sumber
benih yang memenuhi standar teknis, tersedianya
sistem produksi benih bermutu yang efektif dan
murah, serta adanya sistem pengawasan
peredaran benih. Kebijakan ini dapat berjalan
dengan baik jika sistem kelembagaan perbenihan
yang dapat berbasis pada usaha individu atau
kelompok dapat berjalan dengan baik.
Mengingat bahwa produksi benih yang efektif
dan efisien harus mencapai skala usaha tertentu
maka tersedianya modal usaha menjadi penting.
Oleh karena itu kebijakan untuk
mengembangkan skema kredit mikro atau kecil
sangat diperlukan.
Strategi Stabilisasi Kinerja Pasar Cengkeh Nasional (AGUS WAHYUDI) 83
Kebijakan teknis untuk penyediaan pupuk
organik dan pestisida nabati juga agensia hayati
sangat diperlukan agar petani dapat
menyediakan sebagian besar pupuk dan pestisida
secara mandiri. Pupuk dan pestisida kimia masih
sangat diperlukan hanya dalam jumlah yang
lebih sedikit sehingga biaya produksi dapat
ditekan.
Kebijakan teknis dan keuangan sangat
diperlukan untuk penyediaan tenaga kerja panen
dan penanganan pasca panen. Panen bersamaan
memerlukan tenaga kerja yang banyak, sehingga
upah juga meningkat. Diperlukan kebijakan
teknis, tersedianya peralatan panen untuk
mempercepat proses panen sehingga kelangkaan
tenaga kerja bisa dikurangi. Selain itu panen
cengkeh membutuhkan biaya yang besar
sehingga sangat diperlukan pengembangan
skema pembiayaan panen dan penanganan pasca
panen agar petani tidak berhutang kepada
pelepas uang. Kebijakan ini sekaligus untuk
mengatasi penjualan cengkeh segera setelah
panen sehingga pasok dalam jangka pendek
dapat meningkat tajam dan harga turun.
Stabilitas harga sangat penting dalam
produksi cengkeh secara berkelanjutan. Oleh
karena itu penerapan sistem resi gudang yang
telah diundangkan sangat penting untuk
dilaksanakan manakala harga cengkeh turun.
Melalui pengelolaan sistem resi gudang ini
diharapkan harga cengkeh dalam jangka
menengah dan pendek dapat lebih stabil.
Kegagalan Kebijakan Pasar
Sebagaimana telah dikemukakan bahwa
harga cengkeh sangat rendah terutama pada
periode awal tahun 1990an. Kondisi tersebut
mendorong pemerintah melakukan intervensi
untuk memperbaiki harga di tingkat petani. Hal
ini karena pemerintah melihat bahwa struktur
pasar cengkeh nasional sangat timpang, petani
yang jumlahnya sangat banyak harus
berhadapan dengan industri rokok kretek yang
80% dikuasai oleh empat perusahaan besar,
Gudang Garam, Djarum, Sampoerna, dan
Bentoel.
Kebijakan pemerintah melalui Keputusan
Presiden Nomor 20/1992 tentang tataniaga
cengkeh menetapkan pembentukan Badan
Pemasaran dan Penyangga Cengkeh (BPPC)
sebagai lembaga yang diberikan kewenangan
untuk membeli dan menjual hasil produksi
cengkeh dari petani. Unsur BPPC terdiri atas
Inkud (koperasi), PT Kerta Niaga (BUMN), dan
PT Kembang Cengkeh Nasional (swasta). Modal
BPPC diperoleh dari Kredit Likuiditas Bank
Indonesia (KLBI) untuk membeli cengkeh petani
dan kemudian menjual ke perusahaan rokok
kretek. Berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 1
tahun 1992 yang mengatur harga pembelian dan
penjualan cengkeh, selisih harganya menjadi
Dana Penyertaan Modal (DPM) dan Simpanan
Wajib Khusus Petani (SWKP). Dalam prakteknya
Instruksi Presiden tersebut tidak dilaksanakan
dengan baik, hingga BPPC bubar sebagian besar
dana tersebut tidak dibayarkan.
Sebagai akibat gagalnya kebijakan
pemerintah tersebut, harga cengkeh tidak
beranjak, sebagian petani merasa bahwa cengkeh
bukan tanaman yang menguntungkan sehingga
terjadi konversi areal yang besar menjadi
tanaman lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa
pasar cengkeh telah gagal mengalokasikan
sumberdaya dan manfaat secara adil kepada
produsen dan konsumen cengkeh. Faktor utama
penyebab kegagalan kebijakan ini adalah
pelaksana kebijakan publik yang seharusnya
menjadi domain pemerintah diserahkan kepada
badan usaha yang mencari keuntungan, sehingga
perilaku BPPC dipastikan tidak seperti yang
diharapkan pemerintah. Sebagaimana
dikemukakan Birkland (2014), masalah publik
dan privat harus dipilah demikian pula
solusinya, masalah publik harus ditangani oleh
pemerintah.
Sebuah penelitian sejarah membandingkan
BPPC dengan VOC pada zaman Belanda di
Maluku, menemukan bahwa pertama, monopoli
pasar yang dilakukan oleh VOC bertujuan untuk
menguasai ekspor cengkeh sedangkan BPPC
bertujuan menguasai pasar perdagang cengkeh
dalam negeri. Kedua, VOC mengkondisikan
pasar perdagangan cengkeh di Maluku Selatan
pada posisi oligopsoni, monopsoni sekaligus
monopoli. Untuk BPPC, pasar terkondisikan
pada level politik/agregat menjadi monopolis-
monopsonis yang sering disebut sebagai bilateral
monopoli. Di tingkat lokal, pasar terkondisikan
84 Volume 15 Nomor 1, Juni 2016 : 73 -85
pada Monopoli-monopsoni dan monopoli-
oligopsoni. Ketiga, ketika intervensi pasar, VOC
menerapkan pola beaurocratic and armed trade,
(berdagang yang didasari birokrasi dan tentara).
BPPC mengintegrasikan power and business yaitu
merealisasikan kepentingan dengan
memanfaatkan kekuasaan (La Rahman dan
Suryo, 2011).
KESIMPULAN
Pasar cengkeh saat ini menunjukkan situasi
yang hampir seimbang, permintaan industri
rokok kretek hampir dapat dipenuhi produksi
nasional dalam jangka panjang. Strategi
stabilisasi harga pada tingkat harga yang
diinginkan memerlukan upaya jangka panjang
dan jangka pendek. Kebutuhan industri rokok
kretek dalam jangka panjang dapat dipenuhi dari
produksi dalam negeri dengan upaya dengan
mendorong produktivitas melalui intensifikasi
dan rehabilitasi. Perluasan secara alami akan
terjadi jika harga dirasakan cukup memadai bagi
petani untuk menutup biaya produksi dan
memperoleh marjin keuntungan.
Mengingat karakter produksi cengkeh yang
berfluktuasi tiap tahun maka diperlukan adanya
manajemen rantai pasok agar fluktuasi tersebut
lebih kecil pengaruhnya terhadap harga.
Manajemen rantai pasok ditujukan untuk
meningkatkan kemampuan petani untuk
menahan cengkeh pada saat harga rendah
dengan mengembangkan skema kredit untuk
pembayaran tenaga panen dan penanganan
pasca panen. Selain itu sistem resi gudang perlu
dilaksanakan terutama untuk antisipasi jatuhnya
harga pada saat panen raya. Kegagalan
kebijakan pasar cengkeh yang pernah
dilaksanakan oleh BPPC merupakan pelajaran
berharga dan berdampak luas.
Kebijakan teknis, kelembagaan dan
keuangan diperlukan sebagai pendukung dan
pendorong program intensifikasi dan rehabilitasi.
Kebijakan yang harus diimplementasikan dengan
baik adalah kebijakan perbenihan cengkeh,
kebijakan pengembangan produksi pupuk
organik, pestisida nabati dan agensia hayati, serta
tenaga kerja untuk panen cengkeh.
DAFTAR PUSTAKA
Achadi, A., W. Soerojo, and S. Barber. 2005. The
relevance and prospects of advancing
tobacco control in Indonesia. Health
policy 72(3):333-349.
Adyatma, I., dan D. N. Budiana. 2013. Analisis
Efisiensi Penggunaan Faktor Produksi
pada Usahatani Cengkeh di Desa
Manggissari. E-Jurnal Ekonomi Pem-
bangunan Universitas Udayana 2(9):1-9
Badan Litbang Pertanian. 2007. Prospek dan Arah
Pengembangan Agribisnis Cengkeh. Badan
Litbang Pertanian Jakarta. 72 hlm.
Birkland, T.A. 2014. An introduction to the
policy process: Theories, concepts and
models of public policy making.
Routledge. 312p.
Bellemare, M. F. 2015. Rising food prices, food
price volatility, and social unrest.
American Journal of Agricultural
Economics 97(1):1-21.
Byerlee, D., T. S. Jayne, and R. J. Myers. 2006.
Managing food price risks and instability
in a liberalizing market environment:
Overview and policy options. Food Policy
31(4):275-287.
Duakaju, N. N. 2004. Perilaku harga dalam
pemasaran cengkeh di Indonesia. Jurnal
Ekonomi Pertanian 1(1):1-24.
Fiegener, M. K. 1997. The control of strategy in
dynamic versus stable environments.
Journal of Managerial Issues p 72-85.
Gilmore, A. B. 2012. Understanding the vector in
order to plan effective tobacco control
policies: an analysis of contemporary
tobacco industry materials. Tobacco
Control 21(2):119-126.
Gouel, C. 2012. Agricultural price instability: a
survey of competing explanations and
remedies. Journal of Economic Surveys
26(1):129-156.
Gouel, C. 2013. Food price volatility and domestic
stabilization policies in developing
countries (No. w18934). National Bureau of
Economic Research.
Hadi, P.U. dan S. Friyatno. 2008. Peranan sektor
tembakau dan industri rokok dalam
perekonomian Indonesia. Analisis Tabel I-
Strategi Stabilisasi Kinerja Pasar Cengkeh Nasional (AGUS WAHYUDI) 85
O Tahun 2000. Jurnal Agro Ekonomi 20(1):
90-121.
Hananto, P. E., P. S. Sasongko, and A. Sugiharto.
2014. Sistem Pakar Diagnosis Penyakit
Tanaman Cengkih Dengan Metode
Inferensi Forward Chaining. Journal of
Informatics and Technology 1(3), 1-14.
Hansen, J., F.Tuan, A. Somwaru, and R. Seeley.
2009. Impact of China’s agriculture policies
on domestic and world commodity
markets. In Contributed Paper prepared
for presentation at the International
Association of Agricultural Economics
Conference, Beijing, China, August. Pp. 16-
22).
Irawan, R.S dan E.W.R. Darsono, 2012. Analisis
Ekspor Cengkeh di Indonesia. Sumber, 72:
5-941.
Kario, N.H., 2014. Analisis Usaha Panen Cengkeh
Di Kabupaten Minahasa Tenggara Propinsi
Sulawesi Utara. AGRITECH 16(2).
La Raman, S. dan D. Suryo. 2011. Kompani dan
BPPC; Perbandingan Praktek Monopoli
Pasar Dalam Perdagangan Cengkih Di
Maluku Selatan Masa VOC dan Orde Baru
Disertasi Doktor, Universitas Gadjah
Mada. 247p.
Nazlioglu, S. and U. Soytas. 2012. Oil price,
agricultural commodity prices, and the
dollar: A panel cointegration and causality
analysis. Energy Economics, 34(4):1098-
1104.
Poniran, P. 2013. Strategi The Boston Consulting
Group Untuk Memastikan Kesinambungan
Produk PT Gudang Garam Tbk Kediri.
WACANA, Jurnal Sosial dan Humaniora,
16(1):1-14.
Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian. 2014.
Outlook Komoditi Cengkeh. Pusat Data
dan Sistem Informasi Pertanian. Sekretariat
Jenderal Kementerian Pertanian. 63p
Rachmat, M. 2010. Pengembangan Ekonomi
Tembakau Nasional: Kebijakan Negara
Maju dan Pembelajaran Bagi Indonesia.
Analisis Kebijakan Pertanian. Maret. 8(1): :
67-83
Ruhnayat, A., D. Wahyuno, D. Manohara, dan R.
Rosman. 2014. Budidaya Cengkeh dalam
buku Cengkeh: Sejarah, Budidaya dan
Industri. Indesso dan Magister Biologi
Universitas Kristen Satya Wacana.
Salatiga. 388p
Rumagit, G. A. 2007. Kajian ekonomi keterkaitan
antara perkembangan industri cengkeh
dan industri rokok kretek nasional.
Disertasi Program Pascasarjana IPB. 198 p.
Segarani, L.P.M. dan D.P. Martini, 2015.
Pengaruh Luas Lahan, Jumlah Produksi,
dan Kurs Dollar pada Ekspor Cengkeh di
Indonesia. E-Jurnal Ekonomi Pem-
bangunan Universitas Udayana, 4(4). P.
272-283.
Semangun, H. 2014. Sejarah Cengkeh dalam
buku Cengkeh: Sejarah, Budidaya dan
Industri. Indesso dan Magister Biologi
Universitas Kristen Satya Wacana.
Salatiga. 388 hlm.
Setiawan, S., dan R. Rosman, 2015. Status
Penelitian, Penerapan Teknologi dan
Strategi Pengembangan Tanaman Cengkeh
Berbasis Ekologi. Perspektif, 14(1). p27 -36
Simbar, R., E. O. Laoh, W. M. Wangke and E. G.
Tangkere. 2014. Struktur Biaya Panen
Cengkeh Di Desa Kaneyan Kecamatan
Tareran Kabupaten Minahasa Selatan. In
COCOS, 5(3).
Stern, N. 2002. A Strategy for Development.
In World Bank Conference on
Development Economics. Pp 11-17.
Siregar, A. R. 2011. Analisis Disparitas Harga Dan
Potensi Persaingan Tidak Sehat Pada
Distribusi Cengkeh. Jurnal AGRIBISNIS 10
(3) :32-37.
Situmeang., T. H. 2008. Analisis Produksi,
Konsumsi, dan Harga Cengkeh Indonesia.
Fakultas Pertanian. Institut Pertanian
Bogor. Skripsi. 160p.
Sugiharti, L., N. M. Sukartini, dan T.Handriana.
2015. Konsumsi Rokok Berdasarkan
Karakteristik Individu di Indonesia. Jurnal
Ekonomi Kuantitatif Terapan 8(1):34-45.
Tarmidi, L. T. 1996. Changing structure and
competition in the kretek cigarette
industry. Bulletin of Indonesian Economic
Studies 32(3), 85-107
Wedhasmara, A. 2014. Langkah-langkah
perencanaan strategis sistem informasi
dengan menggunakan metode Ward and
Peppard. Jurnal Sistem Informasi 1(1):14-
22.
86 Volume 15 Nomor 1, Juni 2016 : 73 -85
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih dan penghargaan diberikan kepada para pakar yang telah bersedia sebagai
penelaah Perspektif Review Penelitian Tanaman Industri. Berikut ini nama pakar yang telah
berpartisipasi:
Nama Alamat Disiplin Ilmu
Prof. Dr. Ir. I Wayan
Rusastra, MS
Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan
Pertanian, Balitbang Pertanian, Kementerian
Pertanian,
Jl. Tentara Pelajar No. 3C, Cimanggu, Bogor
16111, Jawa Barat, Indonesia.
Ekonomi Pertanian
Dr. Ir. Agus Wahyudi, MS Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat,
Puslitbang Perkebunan, Balitbang Pertanian,
Kementerian Pertanian
Jl. Tentara Pelajar No. 3, Cimanggu, Bogor
16111, Jawa Barat, Indonesia
Ekonomi Pertanian
Dr. Ir. Pudjianto, M.Si. Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas
Pertanian, Institut Pertanian Bogor
Jl. Kamper, Kampus IPB Dramaga, Bogor
16680, Jawa Barat, Indonesia
Hama dan Penyakit
Tanaman
Prof. Dr. Supriadi, M.Sc. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat,
Puslitbang Perkebunan, Balitbang Pertanian,
Kementerian Pertanian
Jl. Tentara Pelajar No. 3, Cimanggu, Bogor
16111, Jawa Barat, Indonesia
Penyakit Tanaman
Prof. Dr. Ir. Ika Mariska Pusat Penelitian dan Pengembangan
Perkebunan, Badan Litbang Pertanian,
Kementerian Pertanian.
Jl. Tentara Pelajar No. 1, Cimanggu, Bogor
16111, Jawa Barat, Indonesia
Bioteknologi Pertanian
Dr. Ir. Pasril Wahid, MS Fakultas Pertanian, Universitas Nusa Bangsa
Jl. KH. Sholeh Iskandar KM. 4, Cibadak,
Tanah Sereal, Cibadak, Tanah Sereal, Kota
Bogor, Jawa Barat 16166
Agronomi
PEDOMAN BAGI PENULIS
Pengertian : Review Penelitian Tanaman Industri merupakan karya
tulis tinjauan yang berisi suatu kajian hasil-hasil penelitian yang
berupa olah pikir analisis dan sintesis sejumlah hasil penelitian
yang telah diterbitkan, agar diperoleh informasi yang benar, valid,
dan relevan dengan tujuan untuk memacu dan memberi informasi
perkembangan ilmu dan teknologi di Indonesia.
Bahasa : Review memuat tulisan dalam Bahasa Indonesia dan
Bahasa Inggris dengan baik sesuai kode etik penulisan serta
mengikuti Pedoman Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Struktur : Naskah disusun dalam urutan sebagai berikut : judul
tulisan, nama penulis dengan alamat instansinya, abstrak dalam
Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris (200 – 300 kata) dan kata
kunci (Bahasa Indonesia dan Inggris), pendahuluan, topik-topik yang
dibahas, kesimpulan dan saran, serta daftar pustaka.
Bentuk Naskah : Naskah diketik di atas kertas kuarto putih pada
satu permukaan saja, memakai dua spasi dan bentuk huruf Arial
ukuran 12 pt. Pinggir kiri kanan tulisan disediakan ruang kosong
minimal 3,5 cm dari pinggir kertas. Panjang naskah sebaiknya tidak
melebihi 20 halaman termasuk tabel dan gambar.
Judul Naskah : Judul tulisan merupakan suatu ungkapan yang dapat
menggambarkan fokus masalah yang dibahas dalam tulisan tersebut,
dan dicantumkan dengan dua bahasa, Indonesia dan Inggris. Nama
dan instansi tempat kerja penulis dengan alamat yang jelas
dicantumkan di bawah judul. Apabila penulisnya lebih dari satu maka
penulisannya disesuaikan dengan kode etik penulisan.
Pendahuluan: Berisi suatu pengantar atau paparan tentang latar
belakang topik, ruang lingkup bahasan dan tujuan review. Jika
diperlukan, sajikan pengertian-pengertian dan cakupan bahasan.
Topik bahasan : Informasi tentang topik yang dibahas dan disusun
dengan urutan logika secara sistematis, termasuk sintesis dan
analisis. Misalnya, pengungkapan status perkembangan ilmu dan
teknologi, penjelasan tentang perbedaan pendapat, pengungkapan
konsepsi baru, pengungkapan pemecahan masalah untuk bahan
kebijakan, dan pengungkapan aspek yang perlu dibuktikan
kebenarannya atau yang perlu memperoleh dukungan disiplin lain.
Kesimpulan dan Saran : Merupakan inti sari pembahasan dan
dapat berisi himbauan tergantung dari materi bahasan.
Daftar Pustaka : Pustaka yang dirujuk hendaknya rujukan yang
terbaru dan mutakhir yaitu rujukan yang terbit dalam 5-10 tahun
terakhir. Pustaka primer diharapkan lebih banyak daripada pustaka
sekunder. Jumlah rujukan tergantung pada luasnya topik atau
banyaknya penelitian dari topik yang dibahas dan disarankan karya
tulis tinjauan kurang lebih menggunakan 30 rujukan yang relevan,
agar topik yang dibahas terdiri atas hasil penelitian yang cukup
banyak. Contoh Penulisan Sumber Acuan :
Jurnal
Azrai, M., F. Kasim, Sutrisno, dan S. Moeljopawiro. 2003. Identifikasi
lokus karakter kuantitatif ketahanan penyakit bulai pada
jagung menggunakan RFLP. Jurnal Bioteknologi Pertanian
8(1) : 8-14.
Trisawa, I.M. dan I.W. Laba. 2006. Keefektifan Beauveria bassiana
dan Spicaria sp. terhadap kepik renda lada Diconocoris
hewetti (Dist.) (Hemiptera: Tingidae). Bulletin Penelitian
Tanaman Rempah dan Obat XVII(2) : 99-106.
Buku
Bradbury, J.F. 1986. Guide to Plant Pathogenic Bacteria. CAB
International Mycological Institute. Ferry Lane, Kew Surrey,
England. 329 pp.
Bab dalam buku
Weiss, R. 1984. Experimental biology and assay of RNA tumor
viruses. Dalam : R. Weiss, N. Teich, H. Varmus, and Coffin
J. (ed). RNA Tumor Viruses. Vol. 1, New York : Cold Spring
Harbor Laboratory. p. 209-260.
Abstrak
Rusmana I., R.S. Hadioetomo 1991. Bacillus thuringiensis Berl. dari
peternakan ulat sutera dan toksisitasnya. Abstrak Pertemuan
Ilmiah Tahunan Perhimpunan Mikrobiologi Indonesia. Bogor,
2-3 Des 1991, A-26, hlm 26.
Prosiding
Raffiudin, R., D. Nandika, M. Amir, and N. Sugiri. 1991. Populasi
flagelata pada usus rayap Captotermes curvignatus
Holmgren dengan pemberian pakan tiga jenis kayu. Dalam
Prosiding Seminar Ilmiah dan Kongres Nasional Biologi X,
Vol. 2. Bogor, 24-26 September 1991. Hlm 482-487.
Skripsi/Tesis/Disertasi
Tjahyadi, M.R. 1994. Bakteri penghambat Vibrio harveyi untuk
menanggulangi penyakit berpendar pada larva udang windu
(Panacus monodon Fab.). Skripsi. Institut Pertanian Bogor.
45 hlm.
Informasi dari Internet
Anonymous. 2006. Bukholderia cepacia and other Burkholderia.
http://www3.nbnet.nb.ca/normap/bcepacia.htm.[Sept 2006]
Chen, H.J., W.C. Hou, and Y.H. Lin. 2000. Isolation and charac-
terization of a cDNA clone for type II metallo-thionein-like
protein from senescent leaves of sweet potato (Ipomoea
batatas cv. Tainong 57). (PGR00-001) Plant Physiol
122:291. http://www.tarweed.com/ pgr/. [18 Jan 2001].
Tabel : Judul tabel singkat dan jelas, dengan catatan bawah
termasuk sumbernya (apabila data atau angka-angka dalam tabel
tersebut berasal dari sumber lain).
Gambar dan Grafik : Gambar dan grafik disajikan dengan jelas.
Keterangan gambar dan grafik dibuat dalam bentuk catatan bawah
disertai dengan sumbernya. Foto hitam putih atau berwarna dicetak
ukuran poscard dengan mutu tajam dan jelas dengan posisi
berdiri/vertikal disertai dengan asal sumber dan keterangannya.
Lain-lain : Redaksi hanya menerima naskah yang belum pernah
dipublikasikan dan tidak dalam proses penerbitan pada publikasi lain.
Dewan Redaksi melakukan koreksi dan perbaikan serta mengubah
format sesuai dengan sifat Review yang informatif tanpa mengubah
arti dari naskah. Dewan Redaksi akan mengembalikan naskah
kepada penulis untuk diperbaiki sesuai dengan hasil koreksi redaksi.
Naskah yang tidak dapat diterima dengan alasan sesuai dengan
keputusan rapat Dewan Redaksi akan diberitahukan kepada penulis
melalui surat.
Surat Menyurat : Naskah tulisan dikirim rangkap dua dan diberi
pengantar dari Kepala Satuan Kerja, serta dialamatkan kepada :
Redaksi Pelaksana Perspektif, Pusat Penelitian dan Pengembangan
Perkebunan, Jl. Tentara Pelajar No.1 Bogor 16111, Telp. 0251-
8313083, Fax. 0251– 8336194.