BAB VIII LAHAR DAN BATUAN KLASTIKA GUNUNGAPI Bab 8 ini merupakan bahasan akhir dari dasar-dasar volkanologi yang mencakup proses dan hasil kegiatan vokanisme. Pada bagian awal dari bab ini diuraikan tentang lahar sedang di bagian akhir dibahas mengenai batuan klastika gunungapi (volcaniclastic rocks). Pembahasan tentang lahar dimulai dari terminologi, faktor pembentuk dan jenis lahar, sifat aliran lahar dan ciri-ciri endapan lahar. Batuan klastika gunungapi tersebut di atas dapat dihasilkan oleh kegiatan erupsi eksplosiva, erupsi efusiva dan intrusi dangkal yang terdiri dari autoklastika, piroklastika, kataklastika dan epiklastika. Bahasan di bagian kedua ini dimaksudkan agar mahasiswa lebih memahami pemerian dan interpretasi dasar-dasar batuan gunungapi, khususnya yang mempunyai tekstur klastika. 8. 1 Terminologi Lahar Van Bemmelen (1949) mendefinisikan lahar adalah a mudflow containing debris and angular blocks of volcanic origin (suatu aliran lumpur yang mengandung bongkah-bongkah meruncing yang berasal dari kegiatan gunungapi). Neall (1976) mendefinisikan lahar sebagai a large mudflow composed of volcaniclastic detritus, often including large blocks, on or surrounding the flanks of a volcano (suatu aliran lumpur besar yang tersusun oleh bahan klastika gunungapi, sering termasuk bongkah- 8- 1
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB VIII LAHAR DAN BATUAN KLASTIKA GUNUNGAPI
Bab 8 ini merupakan bahasan akhir dari dasar-dasar volkanologi yang
mencakup proses dan hasil kegiatan vokanisme. Pada bagian awal dari bab ini
diuraikan tentang lahar sedang di bagian akhir dibahas mengenai batuan klastika
gunungapi (volcaniclastic rocks). Pembahasan tentang lahar dimulai dari
terminologi, faktor pembentuk dan jenis lahar, sifat aliran lahar dan ciri-ciri endapan
lahar. Batuan klastika gunungapi tersebut di atas dapat dihasilkan oleh kegiatan
erupsi eksplosiva, erupsi efusiva dan intrusi dangkal yang terdiri dari autoklastika,
piroklastika, kataklastika dan epiklastika. Bahasan di bagian kedua ini dimaksudkan
agar mahasiswa lebih memahami pemerian dan interpretasi dasar-dasar batuan
gunungapi, khususnya yang mempunyai tekstur klastika.
8. 1 Terminologi Lahar
Van Bemmelen (1949) mendefinisikan lahar adalah a mudflow containing
debris and angular blocks of volcanic origin (suatu aliran lumpur yang mengandung
bongkah-bongkah meruncing yang berasal dari kegiatan gunungapi). Neall (1976)
mendefinisikan lahar sebagai a large mudflow composed of volcaniclastic detritus,
often including large blocks, on or surrounding the flanks of a volcano (suatu aliran
lumpur besar yang tersusun oleh bahan klastika gunungapi, sering termasuk
bongkah-bongkah besar, yang terletak pada lereng dan di sekitar gunungapi). Di
dalam buku standardisasi pemetaan kawasan rawan bencana gunungapi lahar adalah
aliran massa yang berupa campuran air dan bahan lepas berbagai ukuran, mulai dari
abu, pasir, kerikil hingga bongkah, yang berasal dari letusan/ kegiatan gunungapi
(DSN, 1995). Varnes (1978) menamakan lahar sebagai aliran debris (debris flow)
apabila mengandung butiran kasar (kerakal-bongkah) lebih dari dari 50 %.
Sebaliknya bila bahan berukuran butir halus (abu-pasir) sangat dominan (lebih dari
50 %) maka aliran masa itu disebut aliran lumpur. Lebih lanjut apabila kandungan air
semakin banyak atau kandungan bahan padat semakin sedikit maka aliran lahar
menjadi semakin encer dan di Indonesia sering dinamakan banjir galodo atau banjir
bandang. Scott dkk. (1995) menyebut aliran debris apabila volume sedimen 60 %,
sedang sisanya adalah air. Aliran debris yang mengandung sedimen berbutir halus
8- 1
(lempung-pasir) 60 % disebut aliran lumpur. Cohesive debris flow adalah aliran
lumpur yang mengandung sedimen lempung 3-5 %. Sebaliknya, bila bahan
lempung < 3-5 % disebut non cohesive debris flow. Apabila volume sedimen antara
20-60 % saja disebut hyperconcentrated flow, sedangkan aliran sungai normal
(normal stream flow) dibatasi jika volume sedimen < 20 %. Gambar 8.1
memperlihatkan perbedaan granulometri mulai dari aliran debris hingga aliran sungai
normal. Grain flow adalah terminologi yang biasa digunakan untuk sedimen berbutir
pasir dengan sortasi baik dan masif, tidak ada struktur sedimen dan cukup tebal.
Gambar 8.1. Kurva kumulatif butiran di dalam lahar kohesif dan lahar non kohesif di G. Raainer, washington, USA. Tipe aliran yang berkembang dari aliran non kohesif menjadi aliran sungai normal (Scott et al., 1995).
8- 2
Lahar primer atau lahar letusan adalah lahar yang terbentuk sebagai akibat
terdorong dan meluapnya air danau kawah oleh magma yang sedang naik ke atas dari
dalam bumi ke permukaan pada saat terjadi letusan. Air danau kawah bercampur
dengan bahan magmatik membentuk lahar panas yang mengalir melalui sungai-
sungai yang berhulu di sekitar kawah gunungapi. Di Indonesia letusan gunungapi
yang terkenal menghasilkan lahar letusan adalah G. Kelut di Jawa Timur dan G. Awu
di Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara (Matahelumual, 1982, 1985; Alzwar, 1985).
Volume air danau kawah yang besar dapat meredam suara letusan dan melarutkan
sebagian besar bahan letusan. Dengan demikian suara letusan dapat tidak terdengar
oleh penduduk yang bermukim di daerah hilir sungai. Selain itu karena sebagian
besar bahan magmatik larut bersama air kawah menjadi aliran lahar letusan maka
bahan piroklas yang dilontarkan ke udara sangat sedikit. Sebagai contoh pada waktu
G. Kelut meletus tahun 1919, dimana volume air danau kawah mencapai 40 juta
meter kubik maka volume bahan hamburan hanya 2 juta meter kubik (Alzwar, 1985).
Sedangkan letusan tahun 1966 volume air kawah sekitar 21 juta meter kubik dan
bahan piroklas yang dihamburkan ke udara mencapai 90 juta meter kubik. Jarak
luncur lahar letusan juga tergantung pada besarnya volume air danau kawah; semakin
besar volume air di dalam kawah maka jarak luncur lahar letusan semakin jauh. Pada
tahun 1919 lahar letusan G. Kelut mengalir sejauh 36 km dari kawah, sedang pada
tahun 1966 jarak luncur lahar hanya 31 km (Matahelumual, 1982).
Apabila volume air danau kawah terlalu sedikit maka tidak terbentuk lahar
letusan. Hal ini terbukti pada letusan G. Kelut tahun 1951 dan 1990 dimana volume
air danau kawah hanya sekitar 2 juta meter kubik. Pada letusan awal air dan endapan
lumpur danau kawah dilontarkan ke udara dan kemudian jatuh bebas sebagai hujan
lumpur di sekitar kawah (Bronto, 1990).
Lahar primer juga dapat terjadi pada gunungapi yang tertutup salju, yaitu
apabila lapisan es itu mencair karena terlanda awan panas dan secara bersama-sama
air es dan bahan awan panas tersebut bercampur dan mengalir menuruni lereng
membentuk aliran lahar. Contoh kejadian lahar primer ini adalah di G. Nevado del
Ruiz di Colombia, Amerika Selatan (Tilling, 1989).
Lahar sekunder atau lahar hujan adalah lahar yang terjadi akibat percampuran
antara bahan piroklas yang belum lama diendapkan dengan air hujan. Dengan
8- 3
demikian lahar hujan dapat terjadi pada setiap gunungapi yang sedang atau baru saja
meletus jika ada hujan lebat dan lama di kawasan puncak dan lereng gunungapi itu.
Apabila pada saat mengalir lahar mengepulkan asap putih masyarakat umum
menamakan sebagai lahar panas. Kalau lahar yang sedang mengalir tidak
mengepulkan asap disebut lahar dingin. Sekalipun panas, temperatur lahar panas
tidak akan melebihi titik didih air (100 oC). Panasnya lahar dapat disebabkan oleh
pemanasan air danau kawah karena didorong dan kontak dengan magma pada saat
terjadi letusan, atau bercampurnya air hujan dengan endapan awan panas yang masih
bersuhu tinggi sekalipun sudah mengendap beberapa waktu lamanya. Karena lahar
panas dapat terjadi pada lahar primer atau lahar sekunder maka sebaiknya dibiasakan
untuk menggunakan istilah lahar letusan dan lahar hujan.
8.2 Faktor Pembentuk Lahar
Faktor utama pembentuk lahar adalah bahan lepas, air dan bentang alam.
Bahan lepas berasal dari endapan aliran piroklastika, endapan jatuhan piroklastika
terutama yang berbutir halus (abu), ditambah dengan tanah pelapukan dan batuan tua
yang berasal dari lereng, tebing dan dasar sungai yang ikut terangkut pada saat
terjadi aliran lahar. Semakin besar volume bahan lepas, terutama endapan
piroklastika aliran, maka kejadian lahar akan semakin besar dan berlangsung berkali-
kali atau cukup lama. Sebagai contoh letusan Mt. Pinatubo tahun 1991 di Filipina
(Newhall & Punongbayan, 1996) karena volume endapan piroklastika yang sangat
besar maka kejadian lahar melanda daerah yang sangat luas dan berlangsung hingga
lima tahun setelah letusan. Sebaliknya letusan G. Kelut 1990 dan G. Merapi 1994,
karena volume endapan piroklastika sangat sedikit maka aliran lahar hanya
berlangsung pada tahun pertama setelah letusan.
Air dapat berasal dari air hujan, air danau kawah, pencairan es dan air sungai.
Lahar yang terjadi karena airnya berasal dari pencairan es atau air sungai dapat
terjadi apabila aliran piroklastika yang bersuhu tinggi melanda daerah bersalju, atau
masuk ke dalam sungai besar yang berair banyak. Volume air akan mempengaruhi
kepekatan dan juga luas sebaran aliran lahar; semakin besar volume air maka lahar
yang terbentuk semakin encer dan jangkuan alirannya semakin luas dan jauh. Lahar
hujan biasanya terjadi apabila didahului oleh hujan lebat dengan curah hujan lebih
8- 4
dari 50 mm/jam, dalam waktu yang lama (3-5 jam) secara terus menerus dan jatuh di
daerah sebaran endapan piroklastika yang baru saja terbentuk.
Bentang alam sebagai faktor utama ketiga terbentuknya aliran lahar terutama
menyangkut sudut lereng dan beda tinggi. Semakin besar sudut lereng dan semakin
tinggi perbedaan elevasi maka efek gravitasi akan semakin besar. Dengan demikian
aliran lahar akan semakin cepat dan menyebar lebih luas. Sebaliknya jika sudut
lereng kecil dan beda tinggi sedikit maka efek gravitasi juga semakin kecil sehingga
aliran lahar tidak akan terlalu cepat dan sebarannya juga terbatas. Kecepatan aliran
lahar bervariasi dari 15 km/jam hingga 60 km/jam.
Sebagai faktor tambahan terbentuknya lahar adalah waktu. Lahar sering atau
biasa terjadi pada saat letusan gunungapi hingga 3 tahun kemudian. Lahar jarang
terjadi setelah 3-5 tahun dari kejadian letusan, lahar sangat jarang terjadi bila waktu
istirahat sudah melampaui 5-10 tahun, dan sejauh ini tidak pernah terjadi lahar
setelah istirahat lebih dari 10 tahun. Kejadian lahar yang semakin jarang dengan
bertambahnya waktu itu mungkin disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain
volume bahan pembentuk lahar semakin berkurang, terutama yang berbutir halus
(abu), endapan semakin padat dan kompak sehingga tidak mudah tererosi, serta
bentuk alur sungai dan proses erosi sudah kembali normal seperti sebelum terjadi
letusan.
Di Indonesia lahar-lahar bersekala besar yang biasa terjadi adalah lahar hujan
dan lahar letusan. Lahar dalam sekala kecil umumnya terbentuk karena aliran
piroklastika masuk ke aliran sungai, air sungai terbendung oleh runtuhan endapan
piroklastika, longsornya dinding danau kawah dan sebagai akibat tanah longsor yang
bersamaan dengan terjadinya kegiatan letusan gunungapi. Lahar hujan dapat terjadi
di luar kawasan gunungapi yang sedang meletus. Sebagai contoh pada saat G.
Galunggung di Kabupaten Tasikmalaya meletus pada tahun 1982 abunya terbawa
angin ke barat dan jatuh di daerah puncak dan lereng atas G. Guntur yang terletak di
wilayah Kabupaten Garut dan berjarak lk. 30 km di sebelah barat G. Galunggung.
Pada waktu terjadi hujan di G. Guntur, abu G. Galunggung itu bercampur air hujan
membawa bahan lepas dari lereng G. Guntur ke daerah yang lebih rendah sehingga
menimbulkan banjir lahar.
8- 5
8.3 Sifat aliran lahar
Sebagai suatu massa alir yang dipengaruhi oleh gaya beratnya sendiri atau
sebagai salah satu jenis aliran gravitasi maka lahar selalu mengalir mengikuti lembah
sungai dan dataran yang merupakan bagian terendah pada suatu daerah. Kemudahan
terbentuk lahar dan kekentalannya sangat dipengaruhi oleh banyak atau sedikitnya
bahan berpotensi menjadi lahar serta jumlah air yang tersedia. Semakin banyak
bahan padat yang terlarut akan semakin pekat aliran lahar. Sebaliknya, semakin
banyak air yang terkandung maka aliran lahar akan semakin encer. Aliran lahar pekat
umumnya terjadi pada tahap awal, selama letusan berlangsung atau beberapa saat
setelah kegiatan berhenti, sedangkan aliran lahar encer lebih banyak terjadi
kemudian. Lahar encer ini akan semakin encer dan berubah menjadi banjir bandang
atau banjir biasa. Penurunan kepekatan dapat pula terjadi pada suatu aliran lahar dari
bagian hulu ke hilir sungai bila suplai air sungai sangat banyak.
Semakin pekat suatu aliran lahar maka kekuatan daya angkutnya juga semakin
besar. Dengan demikian bongkah-bongkah batu besar yang berdiameter mencapai 3
– 5 m dan berada di sepanjang daerah aliran dapat terangkut karenanya. Sementara
kecepatan aliran lahar terutama ditentukan oleh kemiringan lereng bukit dan lembah
sungai. Selain itu, faktor campuran air dan abu halus yang berfungsi sebagai pelicin
juga berpengaruh. Jumlah air yang terlalu sedikit, setelah bercampur dengan abu
halus malah berfungsi sebagai semen atau perekat terhadap fragmen batuan
gunungapi yang lebih besar.
Aliran lahar relatif kecil, seperti di G. Merapi setelah terjadi guguran awan
panas pada tanggal 22 November 1994, terbentuk karena adanya curah hujan dengan
intensitas rata-rata 10 – 20 mm/jam dan berlangsung cukup lama (> 2jam).
Sementara lahar besar dapat terjadi bila curah hujan mencapai 50 – 80 mm/jam dan
berlangsung paling tidak selama 3 jam secara terus menerus.
Suatu aliran lahar umumnya mengandung bahan padat berbutir semakin halus
apabila jarak transportasi semakin jauh dari sumbernya. Selanjutnya bila jumlah
bahan padat tetapi lepas itu semakin berkurang maka lahar akan semakin encer dan
akhirnya hanya berupa banjir bandang biasa dimana endapannya biasa disebut
endapan banjir (endapan sungai atau fluvial deposits). Namun bila aliran lahar
mampu mengangkut banyak bahan lepas di lokasi yang dilaluinya dan keadaan
8- 6
lembah sungai memungkinkan lahar untuk mengalir secara terus menerus, maka
kandungan bahan lahar tersebut akan sangat bervariasi. Pada gunungapi di daerah
benua karena aliran sungainya besar dan panjang serta melalui berbagai macam
batuan non-gunungapi, maka komposisi endapan lahar sangat heterogen sehingga
nantinya dapat membentuk breksi poli komponen.
Disamping air dan rempah gunungapi, maka bentuk topografi dan pola aliran
sungai juga mempengaruhi sifat aliran lahar. Di daerah hulu sungai dimana tubuh
gunungapi mempunyai lereng yang sangat terjal (> 10 derajat) dan lembah sungai
berbentuk huruf “V” serta lurus maka aliran lahar akan tetap berada di lembah
sungai. Hal ini tidak akan membahayakan orang yang tinggal di punggung bukit.
Daerah lereng ini merupakan daerah sebaran endapan rempah gunungapi yang
merupakan sumber potensial untuk menjadi aliran lahar. Dengan kata lain apabila
terjadi hujan deras di daerah ini, maka sebagian material aliran lahar berasal dari
daerah ini.
Di daerah kaki gunungapi, sudut lereng berangsur-angsur menurun dari 10
derajat ke 3 derajat. Perubahan kemiringan lereng ini bersamaan dengan perubahan
bentuk dan pendangkalan sungai, yang mana dapat menyebabkan aliran lahar dapat
menyeleweng atau meluap keluar dari badan sungai. Penyelewengan dan luapan
banjir lahar itu sering membentuk aliran baru dan merusak daerah pemukiman,
daerah pertanian serta sarana kehidupan yang lain.
Pada hakekatnya aliran lahar baik aliran debris maupun aliran lumpur
mempunyai kecenderungan untuk bergerak lurus. Apabila lembah sungai membelok
dan aliran lahar masih mampu bergerak lurus maka akan terjadi penyimpangan.
Penyimpangan kemudian dapat masuk ke dalam lembah sungai yang lain atau
meluap di dataran sekitarnya (Gambar 8.2A).
Gambar 8.2B, memperlihatkan penampang topografi bagian lereng bawah dan
kaki suatu gunungapi, yang walaupun secara umum menurun tetapi ada bagian relatif
lebih landai/datar daripada bagian yang lain. Di bagian yang relatif landai/datar
itulah lahar kemungkinan dapat menyimpang atau meluap dan mengendap. Di bagian
lereng yang miring lebih terjal terjadi erosi dan transportasi kuat sehingga lahar
hanya mengalir di dalam lembah sungai. Di G. Galunggung, lahar meluap dari
sungai yang mempunyai kemiringan lembah < 30 %. Faktor lain terjadinya peluapan
8- 7
adalah disebabkan oleh aliran sungai yang membelok, kedalaman lembah sungai
kurang dari 25 m serta volume aliran lahar pada saat itu memang sangat besar.
Selanjutnya daerah luapan lahar akan tergerus dan menjadi aliran sungai baru yang
selalu dilalui aliran lahar berikutnya. Perubahan aliran sungai yang sangat cepat itu
sangat umum terjadi di daerah gunungapi yang sedang meletus karena pengaruh
pengendapan awan panas, lahar dan aliran lava.
Gambar 8.2 Penyimpangan dan pengendapan aliran lahar. Gambar 2A memper-lihatkan penyimpangan aliran lahar pada kelokan sungai sehingga lahar dapat menyebar di dataran dan masuk ke sungai di dekatnya. Gambar 2B menggambarkan penampang kaki gunungapi; pengendapan lahar terjadi di daerah yang miring lebih landai (a). sedang pada daerah yang miring lebih terjal merupakan daerah erosi/ pengangkutan lahar (b).
Di daerah dataran (sudut lereng < 3 derajat), bentuk lembah sungai sudah lebar,
dangkal dan sering berkelok-kelok (meandering). Apabila aliran lahar masih di
lembah sungai, maka aliran lahar akan lurus dan memotong kelokan sungai (Gambar
8.3A). Sedang apabila lembah sungai sudah sangat dangkal maka kemungkinan besar
aliran lahar akan meluap ke dataran di sekitarnya (Gambar 8.3B).
Kecepatan aliran lahar sangat bervariasi, tergantung pada sudut lereng dan
jumlah masa yang mengalir. Lahar di G. Merapi, Jawa Tengah bervariasi antara 5 – 7
m/detik, sedangkan di G. Kelut, Jawa Timur, antara 4 – 6 m/detik. Letusan G. Agung
8- 8
Gb. 2.A Gb. 2.B
di Bali pada tahun 1963, menghasilkan lahar hujan yang mempunyai kecepatan air
sekitar 8 m/detik. Aliran lahar tersebut disertai suara gemuruh, terutama akibat
beradunya batu-batuan selama dalam perjalanan.
Gambar 8.3 Sifat aliran lahar di dalam lembah banjir dan tekuk lereng suatu gunungapi. (A) Bentuk aliran sungai berkelok-kelok di lembah sungai/dataran banjir; aliran lahar cenderung lurus sesuai bentuk lembah. (B) Luapan aliran lahar dari badan sungai ke dataran disekitarnya sehingga membentuk kipas aliran/ endapan lahar.
8.4 Ciri-ciri Endapan lahar
Endapan lahar yang banyak mengandung fragmen (debris flows) apabila telah
membatu membentuk breksi lahar, sedang yang banyak mengandung butiran pasir
disebut batupasir. Ciri-ciri endapan lahar di lapangan dapat dikenali berdasar bentang
alam, tekstur, struktur, komposisi dan asosiasi batuan. Bentang alam endapan lahar
mempunyai ciri-ciri seperti tersebut di bawah ini.
a. Permukaan endapan relatif datar.
8- 9
b. Endapan mengisi lembah sungai (valley filling) sehingga endapan
cenderung menebal di bagian tengah lembah dan menipis di tepi sungai dan
dataran di sekitarnya.
c. Bila proses pelapukan dan erosi telah berjalan lanjut sedang batuan di
sekelilingnya kurang resisten maka endapan lahar membentuk punggungan
bukit atau gumuk.
Berdasar tekstur, struktur, komposisi dan asosiasinya endapan lahar
mempunyai ciri-ciri sebagai berikut.
1. Umumnya berbutir sedang (pasir) hingga kasar (kerakal-bongkah).
2. Bentuk butir kasar meruncing tanggung – membulat tanggung.
3. Dari daerah proksi (dekat sumber bahan) menuju daerah distal (jauh dari
sumber) butiran kasar menghalus dan bentuknya cenderung
menumpul/membulat.
4. Sumbu terpanjang bongkah sejajar dengan arah aliran.
5. Pemilahan buruk, kemas terbuka, bongkah mengambang di dalam matriks.
6. Endapan masif/tidak membentuk struktur sedimen, kecuali kepekatannya
sudah menurun sehingga membentuk hyperconcentrated flow dan aliran
sungai normal.
7. Endapan lahar dapat tersusun oleh monolitologi atau heterolitologi jika
tercampur dengan batuan tua dari dasar/tebing sungai-sungai yang
dilaluinya.
8. Endapan lahar dapat mengandung kayu atau arang.
9. Endapan lahar biasanya berselang-seling dengan endapan aliran
piroklastika dan aliran lava di daerah proksi, sedang di daerah distal
berselang-seling dengan endapan sungai biasa (fluvial deposits).
10. Endapan lahar berasosiasi dengan gunungapi komposit, gunungapi jamak
dan kaldera letusan.
11. Dibanding dengan endapan aliran piroklastika, endapan lahar lebih padu,
basah, berlumpur dan tekstur permukaan bom/blok gunungapi di dalamnya
sudah menghalus, terabrasi atau menumpul.
8- 10
8.5 Terminologi Batuan Klastika Gunungapi
Batuan gunungapi adalah batuan yang terbentuk sebagai hasil kegiatan
gunungapi, baik secara langsung maupun tidak langsung. Pengertian ‘langsung’
disini berarti bahwa bahan padat hasil erupsi/kegiatan gunungapi itu mengendap atau
membeku dan kemudian membatu secara insitu (di tempat itu juga). Batuan
gunungapi yang terbentuk secara langsung dari erupsi dan membatu secara insitu
tersebut sering diistilahkan batuan gunungapi primer (primary volcanic rocks).
Sebaliknya, bahan gunungapi yang setelah mengendap atau membatu kemudian
mengalami perombakan atau pengerjaan kembali dinamakan batuan gunungapi
sekunder atau pembentukannya tidak secara langsung oleh proses erupsi gunungapi.
Perombakan tersebut dilakukan oleh tenaga dari luar (exogenic processes), yaitu air,
angin dan es melalui proses pelapukan, erosi, transportasi dan pengendapan kembali.
Untuk bahan gunungapi yang baru saja dierupsikan dan diendapkan maka biasanya
masih bersifat lepas sehingga proses perombakannya tidak perlu melalui pelapukan
tetapi dapat langsung tererosi, misalnya pembentukan lahar yang telah dijelaskan di
atas. Batuan gunungapi pada prinsipnya adalah hasil pendinginan yang sangat cepat
dari magma pada waktu dierupsikan sehingga terbentuk batuan beku luar, batuan
intrusi dangkal dan batuan klastika gunungapi, khususnya batuan piroklastika.
Pendinginan dan pembekuan magma yang sangat cepat itu menyebabkan sebagian
unsur dan mineral tidak sempat mengkristal tetapi membentuk bahan amorf berupa
gelas gunungapi (volcanic glass). Dengan demikian ciri khas batuan gunungapi
adalah bertekstur gelas sampai hipokristalin porfiri dan selalu mengandung gelas
gunungapi dalam berbagai tingkatan persentase. Batuan beku luar dan batuan beku
intrusi dangkal merupakan lava koheren yang sudah banyak dibahas di dalam mata
kuliah dan buku-buku literatur tentang petrologi batuan beku sehingga tidak perlu
dibahas lagi disini. Bahasan selanjutnya di bawah ini dititik-beratkan pada batuan
klastika gunungapi.
Beberapa ahli telah mendefinisikan pengertian dari batuan klastika gunungapi
(volcaniclastic rocks). Pertama adalah Fisher (1961); Fisher (1966); Fisher & Smith
(1991) yang menyatakan bahwa batuan klastika gunungapi adalah the entire
spectrum of clastic materials composed in part or entirely of volcanic fragments,
formed by any particle-forming mechanism, transported by any mechanism,
8- 11
deposited in any physiographic environment or mixed with any other volcaniclastic
type or with any non volcanic fragment types in any proportion (seluruh bahan
bertekstur klastika yang tersusun sebagian atau seluruhnya oleh bahan klastika asal
gunungapi, terbentuk oleh mekanisme fragmentasi apa saja, diangkut secara
mekanisme apa saja, diendapkan dilingkungan fisiografi apa saja atau bercampur
dengan bahan gunungapi yang lain atau dengan bahan bukan asal gunungapi
berbagai tipe dan tingkatan). Pettijohn (1975); Walker & James (1992)
mendefinisikan batuan klastika gunungapi sebagai all fragmental volcanic rocks that
result from any mechanism of fragmentation (seluruh batuan gunungapi fragmental
sebagai hasil dari mekanisme fragmentasi apa saja). Senada dengan pendapat
tersebut maka Mathisen & McPherson (1991) menyatakan bahwa batuan klastika
gunungapi adalah a clastic rock containing volcanic material in whatever
proportion, and without regard to its origin (batuan bertekstur klastika yang
mengandung bahan asal gunungapi di dalam berbagai proporsi dan tanpa
mempermasalahkan asal-usulnya).
Berdasar proses pembentukannya, batuan klastika gunungapi dibagi menjadi 4
macam, yaitu 1. Batuan autoklastika, 2. Batuan piroklastika/ hidroklastika, 3.
Batuan kataklastika, dan 4. Batuan epiklastika. Pengertian batuan autoklastika
adalah batuan yang terbentuk karena terjadinya fragmentasi pada saat magma sedang
bergerak menerobos batuan samping di dalam bumi, atau fragmentasi yang terjadi
pada saat lava mengalir atau menumpuk di permukaan bumi. Fragmentasi terjadi
karena batuan samping, udara luar atau tubuh air (laut) jauh lebih dingin daripada
magma atau lava maka selama proses penerobosan atau ekstrusi juga sekaligus
mengalami pendinginan secara cepat terutama di bagian tepi, permukaan atau dasar
aliran dan kubah lava. Dengan demikian sekalipun bagian tengah/dalam tubuh
magma dan lava masih cair liat dan sangat panas maka di bagian luar sudah
mendingin dengan cepat dan retak-retak atau pecah-pecah sehingga di antara
pecahan itu kemudian disisipi oleh cairan magma yang berasal dari bagian dalam
yang membeku kemudian. Oleh sebab itu tubuh batuan beku yang mengalami
autoklastika hanyalah di bagian luar/tepi dengan ciri khas komposisi fragmen dan
masadasar tersusun oleh batuan beku dari magma yang sama, tetapi hanya berbeda
waktu pembekuannya. Bagian dalam atau tengah dari tubuh batuan beku yang
8- 12
terfragmentasikan itu masih tetap berupa batuan beku koheren yang masif (lihat Gb.
7.6 – 7.8, dan 7.13). Berhubung fragmen batuan beku autoklastika tersebut pada
umumnya berbutir kasar (diameter > 25m mm) dan bentuknya meruncing maka
batuannya sering disebut breksi autoklastika.
Batuan piroklastika dan hidroklastika sudah dijelaskan di dalam bab 6 sebagai
hasil letusan magmatik dan letusan freatik. Berdasar ciri-ciri deskriptifnya
endapan/batuan hasil letusan gunungapi tersebut dapat dibedakan menjadi bahan
jatuhan, bahan aliran dan bahan seruakan. Perbedaan yang sangat mencolok dengan
batuan autoklastika adalah pada matriks atau masa dasarnya. Di dalam batuan
autoklastika masa dasarnya tersusun oleh batuan beku (lava koheren), sedang matriks
di dalam batuan piroklastika adalah abu gunungapi atau dengan lapili skoria/
batuapung. Apabila batuan piroklastikanya terlaskan (welded pyroclastic rocks)
maka batuan itu dapat dibedakan dengan breksi autoklastika pada fragmen
penyusunnya yang kebanyakan berupa batuapung atau skoria, serta perubahan
vertikal endapan, yakni ke bagian atas dan bawah secara berangsur berubah dari
obsidian masif (densely welding), terlaskan sebagian (partial welding) dan akhirnya
menjadi bahan piroklastika tidak terlaskan (no welding).
Batuan kataklastika juga sudah disampaikan di dalam bab 8. Batuan ini
terbentuk sebagai akibat gerakan mekanik setelah bahan gunungapi tersebut
mengendap, membeku atau bahkan sudah membatu. Gerakan mekanik itu dapat
disebabkan oleh longsoran batuan gunungapi, seperti yang terjadi di Mt. St. Helens,
G. Raung, G. Galunggung, Mt. Bandai dan Mt. Bezymianny, longsoran kubah lava
seperti yang terjadi di G. Merapi, dan tersesarkan. Ciri-ciri yang penting dari batuan
kataklastika ini untuk batuan yang getas (fragile) mengalami fragmentasi membentuk
breksi dengan fragmen berbentuk sangat meruncing-meruncing tajam. Retakan-
retakan ada yang sudah mengalami pergeseran atau masih di tempat membentuk
retakan gergaji (jigsaw cracks), retakan prisma (prismatic jointings) atau retakan
mosaik. Sementara untuk batuan yang plastis biasanya terlipat-lipat. Lebih daripada
itu, baik batuan yang getas maupun yang plastis, keduanya mengalami pensesaran
secara normal, lateral dan menaik, namun tidak selalu dapat dikorelasikan antara
singkapan batuan di satu tempat dengan di tempat lain.
8- 13
Batuan gunungapi kelompok epiklastika adalah batuan gunungapi yang sudah
mengalami perombakan kemudian diendapkan kembali. Di dalam buku literatur lama
(misal Pettijohn, 1975) dinyatakan bahwa batuan sedimen epiklastika gunungapi
adalah hasil perombakan batuan gunungapi yang sudah ada atau yang lebih tua.
Perombakan dimulai dari proses pelapukan, erosi, transportasi dan kemudian
diendapkan kembali. Endapan piroklastika yang masih-lepas-lepas kemudian
mengalami erosi, transportasi dan resedimentasi tidak dimasukkan ke dalam batuan
epiklastika tetapi disebut batuan ‘piroklastika sekunder‘(secondary pyroclastic rocks)
atau resedimented (syn-eruptive) volcaniclastic deposits, McPhie et al., 1993). Proses
pengerjaan kembali endapan piroklastika yang masih lepas itu tidak perlu dimulai
dari pelapukan, sebagai contoh perombakan endapan awan panas oleh air hujan
sehingga membentuk lahar.
Pandangan lama tentang pengertian batuan epiklastika gunungapi tersebut
ternyata menimbulkan masalah. Pertama, endapan lahar dan endapan fluvium
sebagai hasil kegiatan sekunder letusan gunungapi masa kini masih dipandang
sebagai endapan piroklastika. Hal ini secara volcanologic sense tidak tepat, karena
sudah tidak mengendap secara insitu dan pada saat pengerjaan kembali sudah
bercampur dengan bahan rombakan lainnya. Kedua, berdasar ciri-ciri litologi di
lapangan sangat sulit untuk membedakan antara batuan gunungapi epiklastika hasil
perombakan batuan yang lebih tua dengan batuan ‘piroklastika sekunder’ karena
keduanya sudah mengalami proses pengerjaan kembali sehingga dari tekstur, struktur
dan komposisi sangat sukar dibedakan. Lebih daripada itu komponen gelas
gunungapi yang segar dan utuh juga tidak selalu dapat ditemukan sekalipun di dalam
batuan ‘piroklastika sekunder’.
Berdasarkan pertimbangan tersebut maka pengertian batuan epiklastika
gunungapi disini adalah seluruh batuan gunungapi yang sudah mengalami pengerjaan
kembali; tidak dipermasalahkan apakah dari batuan yang lebih tua atau dari endapan
yang masih lepas-lepas. Dengan kata lain batuan epiklastika gunungapi adalah
batuan sedimen bertekstur klastika dengan bahan asal dari hasil kegiatan gunungapi
atau disebut volcaniclastic sediments. Pemberian nama batuan epiklastika ini
mengikuti tata nama batuan sedimen klastika silikat (siliciclastic rocks) pada
umumnya, yakni secara deskriptif berdasar tekstur (bentuk dan ukuran butir), mulai
8- 14
dari breksi, konglomerat, batupasir, batulanau dan batulempung. Dinamakan breksi
apabila fragmennya berbentuk meruncing dan diameternya lebih dari 256 mm,
sedangkan konglomerat jika bentuknya membulat. Batupasir bahannya berukuran