1 VOLATILE FOOD: STUDI KASUS JAWA TIMUR 1 Oleh: CANDRA FAJRI ANANDA 2 A. Latar Belakang Pangan merupakan komoditas strategis yang menjadi salah satu pusat perhatian dalam penyumbang inflasi. Pangan dikategorikan sebagai bahan-bahan makanan yang diolah untuk memenuhi kebutuhan vitamin dan nutrisi bagi tubuh manusia. Pangan yang tergolong sebagai bahan-bahan makanan pokok diklasifikasikan menjadi sembilan bahan pokok (sembako) yang terdiri dari: beras, telur, gula, bawang merah, bawang putih, cabe, tepung terigu, daging, dan minyak goreng. Sembilan bahan makanan pokok tersebut memiliki fluktuasi harga yang sangat sensitif. Ketika pada tertentu, seperti menjelang bulan Ramadhan dan hari raya Idul Fitri, menjelang Natal dan Tahun Baru, dan hari-hari besar lainnya, permintaan kebutuhan pangan sangat tinggi sehingga mendorong kenaikan harga pangan. Kenaikan harga pangan, juga dapat dilihat dari sisi supply-nya. Iklim dan cuaca yang sulit diprediksi berdampak pada produksi pangan. Gagal panen karena faktor cuaca, serangan hama, dan bencana alam berdampak pada berkurangnya produksi pangan sehingga menipisnya supply pangan berdampak pada melambungnya harga pangan. Kasus- kasus seperti ini seringkali muncul, misalnya kenaikan harga cabe, daging sapi, kedelai, dan sebagainya. Kondisi ini diperparah dengan konversi lahan yang semakain tinggi, dimana lahan pertanian produktif beralih fungsi menjadi daerah kawasan industri, kawasan perkantoran, dan perumahan. Dampak akhirnya, kenaikan harga pangan mendorong kenaikan laju inflasi yang cukup tinggi. Kenaikan harga pangan tidak hanya terjadi di daerah bukan penghasil pangan, akan tetapi juga terjadi di daerah-daerah penghasil pangan seperti Jawa Timur. Jawa Timur merupakan salah satu penyangga pangan nasional. Jawa Timur merupakan penghasil 1 Disampaikan dalam konsinyering kajian volatile food yang diselenggarakan oleh KPPU Wilayah Kerja KPD Surabaya. 2 Dekan dan Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis – Universitas Brawijaya
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
VOLATILE FOOD: STUDI KASUS JAWA TIMUR1
Oleh: CANDRA FAJRI ANANDA2
A. Latar Belakang
Pangan merupakan komoditas strategis yang menjadi salah satu pusat perhatian
dalam penyumbang inflasi. Pangan dikategorikan sebagai bahan-bahan makanan yang
diolah untuk memenuhi kebutuhan vitamin dan nutrisi bagi tubuh manusia. Pangan yang
tergolong sebagai bahan-bahan makanan pokok diklasifikasikan menjadi sembilan bahan
pokok (sembako) yang terdiri dari: beras, telur, gula, bawang merah, bawang putih, cabe,
tepung terigu, daging, dan minyak goreng. Sembilan bahan makanan pokok tersebut
memiliki fluktuasi harga yang sangat sensitif. Ketika pada tertentu, seperti menjelang bulan
Ramadhan dan hari raya Idul Fitri, menjelang Natal dan Tahun Baru, dan hari-hari besar
lainnya, permintaan kebutuhan pangan sangat tinggi sehingga mendorong kenaikan harga
pangan.
Kenaikan harga pangan, juga dapat dilihat dari sisi supply-nya. Iklim dan cuaca
yang sulit diprediksi berdampak pada produksi pangan. Gagal panen karena faktor cuaca,
serangan hama, dan bencana alam berdampak pada berkurangnya produksi pangan
sehingga menipisnya supply pangan berdampak pada melambungnya harga pangan. Kasus-
kasus seperti ini seringkali muncul, misalnya kenaikan harga cabe, daging sapi, kedelai, dan
sebagainya. Kondisi ini diperparah dengan konversi lahan yang semakain tinggi, dimana
lahan pertanian produktif beralih fungsi menjadi daerah kawasan industri, kawasan
perkantoran, dan perumahan. Dampak akhirnya, kenaikan harga pangan mendorong
kenaikan laju inflasi yang cukup tinggi.
Kenaikan harga pangan tidak hanya terjadi di daerah bukan penghasil pangan,
akan tetapi juga terjadi di daerah-daerah penghasil pangan seperti Jawa Timur. Jawa Timur
merupakan salah satu penyangga pangan nasional. Jawa Timur merupakan penghasil
1 Disampaikan dalam konsinyering kajian volatile food yang diselenggarakan oleh KPPU Wilayah
Kerja KPD Surabaya.
2 Dekan dan Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis – Universitas Brawijaya
2
utama komoditi pangan seperti beras, gula, daging, telur, dan kedelai, jagung, serta
komoditi pangan lainnya.
B. Volatile Food: Perspektif Toeri
a. Permintaan dan Penawaran
Permintaan adalah kebutuhan masyarakat/individu terhadap suatu jenis barang,
dan tergantung kepada factor-faktor antara lain: Harga barang itu sendiri (Px), Harga
barang lain (Py), Pendapatan konsumen (Inc), Cita rasa (T), Iklim (S), Jumlah penduduk
(Pop), Ramalan masa yang akan datang (F), sehingga fungsi permintaan adalah:
Dalam konteks pergerakan harga pangan, ketika pendapatan masyarakat naik, maka
dapat menyebabkan kenaikan harga barang, asumsinya dari sisi suplly tidak ada
perubahan. Kondisi ini dapat terjadi ketika di negara-negara berkembang seperti
Indonesia karena sebagian masyarkatnya masih tergolong menengah ke bawah,
sehingga ketika pendapatan naik maka proporsi pendapatan yang digunakan untuk
konsumsi juga ikut naik.
Sedangkan Penawaran dalah banyaknya barang yang ditawarkan oleh penjual pada
suatu pasar tertentu, pada periode tertentu, dan pada tingkat harga tertentu. Faktor-
faktor yang mempengaruhi penawaran adalah Harga( Px), Harga barang lain (Py), biaya
faktor produksi (Fp), Teknologi (T), Tujuan perusahaan, dan Ekspektasi (ramalan).
Secara matematis fungsi penawaran adalah:
Qs = F (Px, Py, Fp, T ....... )
Teknologi pada sektor pproduksi pangan (on farm) saat ini masih relatif tradisional,
sehingga hal ini berpengaruh pada kurang maksimalnya produksi pangan.
b. Inflasi
Secara teori inflasi dapat didefinisikan suatu keadaan dimana peredaran uang
secara umum lebih besar dibandingkan peredaran barang di suatu negara/wialyah pada
periode tertentu. Dapat dikatan inflasi apabila memenuhi 3 (tiga) syarat utama yaitu: 1)
Qd = F.(Px, Py, Ine,T,S, Pop,F
3
terjadi kenaikan harga; 2) Terjadi secara umum; dan 3) Berlangsung terus menerus. Jika
dari salah satu syarat tersebut tidak terpenuhi maka suatu negara/wilayah tidak dapat
dikatakan mengalami inflasi. Sebagai contoh, Misalkan terjadi kenaikan harga cabe sebesar
20% di Indonesia. Bila kenaikan harga cabe tidak diikuti dengan kenaikan komoditas atau
barang - barang secara umum maka tidak dapat dikatakan bahwa Indonesia mengalami
inflasi. Seandainya juga terjadi kenaikan BBM yang mendorong harga - harga barang secara
umum naik namun hanya berlangsung sesaat juga tidak dapat dikatakan sebagai suatu
keadaan dimana negara berada dalam keadaan inflasi
Inflasi bila ditinjau dari tarikan permintaan dan penawaran, maka penyebab inflasi
dapat digolongkan menjadi 3 (tiga), yaitu: 1) Demand pull inflation, merupakan suatu
keadaan dimana inflasi di sebabkan oleh kenaikan permintaan agregat yang lebih besar
daripada kenaikan penawaran agregat; 2) Cost push inflation merupakan suatu keadaan
dimana penawaran agregat mengalami penurunan; 3) Mixed Inflation,
Merupakan gabungan antara demand pull inflation dan cost push inflation.
Permasalahan inflasi selalu dihadapi oleh setiap negara. Berbagai negara
memberikan perhatian serius terhadap inflasi, salah satu kebijakan yang umum digunakan
oleh negara-negara didunia adalah dengan menerapkan Inflation Targeting Framework
(ITF). Secara umum, Inflation Targeting Framework (ITF) merupakan kerangka kerja
kebijakan moneter yang secara eksplisit mentargetkan inflasi dan kebijakan moneter
secara transparan dan konsisten diarahkan untuk mencapai sasaran inflasi dimaksud.
Meskipun definisi berbeda secara rinci, terdapat konsensus umum mengenai karakteristik
pokok dari rezim kebijakan moneter ini, yaitu: adanya sasaran inflasi yang secara eksplisit
menjadi tujuan utama pemeliharan kestabilan harga oleh bank sentral, terbatasnya
dominasi fiskal dan tidak adanya sasaran nominal yang lain, dan otoritas moneter yang
dibekali dengan independensi instrumen dan beroperasi secara transparan dan terbuka
kepada publik.
Negara-negara yang menerapkan kebijakan Inflation Targeting
mengimplementasikan suatu “rule”, seperti Taylor rule dalam merespon terhadap tekanan
inflasi ke depan. Secara spesifik, instrumen suku bunga digunakan untuk melengkapi
kebijakan moneter, yang disesuaikan apabila terjadi deviasi antara prakiraan inflasi yang
4
akan datang (forecast inflasi) dengan target inflasi yang telah ditetapkan, serta apabila
proyeksi atas aggregat permintaan telah melebihi kapasitas perekonomian.
Dalam memperkuat kekuatan model dalam pencapaian target inflasi diperlukan
set indicator variables yang penting sebagai information variables. Secara umum
information variables merupakan sebuah set variabel indikator yang mempunyai
kandungan informasi untuk memprediksi inflasi yang akan datang. Sebuah variabel dapat
berperan sebagai information variabel ataupun sebagai intermediate target, tergantung
dari framework kebijakan moneter yang digunakan.
Sebagai contoh, nilai tukar dalam rezim nilai tukar tetap merupakan intermediate
target, namun dalam rezim nilai tukar fleksibel merupakan information variable. Contoh
lain, uang beredar yang berperan sebagai intermediate target dalam framework monetary
targeting, dapat berperan sebagai information variable dalam framework Inflation
Targeting. Peranan dari suatu variable “hanya” sebagai information variable berbeda
dengan peranannya sebagai intermediate target. Dalam framework intermediate targeting,
variabel tersebut harus memiliki hubungan struktural dengan variabel yang menjadi
sasaran akhir yaitu inflasi, lebih dari sekedar memiliki ‘forecasting power’ atau ‘leading
indicator’ inflasi. Lebih dari itu hubungan struktural tersebut harus stabil. Tentu saja
variabel yang menjadi intermediate target harus dapat dikontrol oleh bank sentral melalui
instrumen yang dimiliki, sehingga intermediate target itu berupa variabel finansial, seperti
suku bunga jangka panjang atau uang beredar.
Sementara itu, variabel yang berperan sebagai information variabel tidak
memerlukan hubungan struktural yang stabil dengan inflasi namun cukup memerlukan
forecasting power terhadap inflasi. Di samping itu, salah satu keuntungan penggunaan
information variable di dalam Inflation Targeting adalah dimungkinkannya untuk
memasukkan indikator nonfinansial.
Berbeda dengan intermediate targeting dimana kebijakan moneter dilakukan
secara pasif seperti misalnya Friedman’s money supply rule, pendekatan information
variables berhubungan dengan penggunaan kebijakan moneter yang aktif seperti dalam
Inflation Targeting dimana respon kebijakan moneter merupakan hasil ‘feedback’ dari
variabel indikator. Information variables ini diharapkan dapat memberikan signal kepada
5
otoritas moneter sehingga otoritas moneter dapat melakukan tindakan preventif jika
terjadi “shock” yang dapat mempengaruhi target inflasi. Atas dasar informasi tersebut,
otoritas moneter diharapkan dapat memperbaiki policy stance yang diperlukan.
Gambar 1. Faktor-faktor yang mempengaruhi Inflasi IHK
Sumber: Bank Indonesia, 2000
Jika dibreakdown, komponen dalam inflasi IHK (Indeks Harga Konsumen) terdiri
dari inflasi administrated prices, inflasi inti dan inflasi volatile foods. Inflasi administrated
price secara umum adalah inflasi yang disebabkan oleh kebijakan pemerintah semisal
kebijakan dalam kenaikkan harga BBM (Bahan Bakar Minyak), kebijakan harga angkutan
umum dll. Selanjutnya inflasi volatile foods merupakan inflasi yang disebabkan oleh
kenaikkan harga yang disebabkan di sisi penawaran semisal tata niaga, gagal panen dll.
Yang terakhir adalah inflasi inti, yaitu inflasi yang disebabkan oleh output gap dan
ekspektasi inflasi.
Berkaitan dengan volatile food, terdapat beberapa penelitian yang menekankan
pengaruh volatile food terhadap inflasi. Penelitian KBI Batam (2008), dalam kajiannya
tentang ‘’Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Inflasi Volatile Food Kota Batam”
memperoleh kesimpulan bahwa dalam jangka pendek harga volatile food sangat berperan
Inflasi Periode
Target Inflasi
BI
Ekspektasi Inflasi
Inflasi Administered
Output Gap
Inflasi Barang Impor
Nilai tukar rupiah
Inflasi luar negeri
Inflasi inti
Inflasi Volatile foods
Inflasi IHK
6
besar terhadap inflasi, sedangkan faktor seperti keterbukaan pasar, nilai tukar SGD dan
impor antar pulau sangat berpengaruh terhadap perubahan indeks harga volatile food,
sehingga untuk mengendalikan inflasi komoditi volatile food pemerintah daerah dalam
jangka pendek melakukan operasi pasar rutin secara berkala. Di samping itu, adanya shock
impor pulau dan keterbukaan pasar pangan maka dapat ditekan dengan membuka akses
yang lebih luas bagi masuknya bahan pangan dari daerah (provinsi) lain, maupun dari luar
negeri atau dapat ditempuh dengan pembentukan lembaga yang sebagai bufferuntuk
mempengaruhi perilaku pembentukan harga volatile food yang tercipta dalam struktur
pasar oligopoli.
sementara itu, penelitian Nugroho Joko Prastowo, Tri Yanuarti dan Yoni Depari
(2008) dalam papernya yang berjudul “Pengaruh Distribusi Dalam Pembentukan Harga
Komoditas Dan Implikasinya Terhadap Inflasi” memperoleh beberapa kesimpulan
diantaranya pertama, volatile food berpengaruh signifikan terhadap terbentuknya inflasi.
Kedua, faktor supply shock sangat berpengaruh terhadap tekanan gejolak harga kelompok
volatile food. Ketiga, berkurangnya peran pemerintah dalam pengendalian harga
komoditas mengakibatkan harga kelompok volatile food meningkat. Keempat,
pembentukan harga lima komoditas utama penyumbang inflasi kelompok volatile foods
berdasarkan hasil estimasi bahwa (i) semakin cepat rusak/busuk (perishable) suatu
komoditas tingkat fluktuasi harganya semakin; (ii) manajemen stok atas suatu komoditas
(seperti yang dilakukan Bulog dalam komoditas beras) dapat mengurangi tekanan gejolak
harga; (iii) pola produksi yang tidak dipengaruhi oleh faktor musiman dan pola distribusi
yang bersifat lokal (seperti komoditas daging sapi) mengurangi fluktuasi harga; (iv) harga
komoditas yang porsi ekspor-impornya cukup tinggi terkait erat dengan perkembangan
harga di pasar internasional.
Penelitian Hylda Christanty (2013) dalam jurnal ilmiahnya yang berjudul ‘’Pengaruh
Volatilitas Harga Terhadap Inflasi Di Kota Malang: Pendekatan Model ARCH/GARCH”
memperoleh kesimpulan dengan adanya volatilitas harga yang semakin besar dari
komoditas pangan (khususnya, beras dan kentang), maka akan berpengaruh signifikan
terhadap besarnya persentase inflasi, yang mana untuk membuktikan bahwa harga beras
dan kentang berpengaruh secara signifikan terhadap inflasi di Kota Malang, dapat dilihat
pergerakan harga di Giant dan Pasar Dinoyo.
7
Berdsarkan hasil-hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa volatile food sangat
berpengaruh di dalam pergerakan laju inflasi. Oleh karena itu, kebijakan yang
komprehensif perlu diberikan untuk mengendalian inflasi akibat volatile food.
C. Gambaran Inflasi Jawa Timur
Laju inflasi Jawa Timur pada triwulan I 2013 mencapai 6,75% (yoy). Tingginya inflasi
ini disepbabkan oleh adanya pelaksanaan kebijakan pemerintah yang turut mendorong
ekspektasi dan pasokan komoditas pada kelompok bahan makanan. Pertumbuhan
ekonomi yang meningkat dan masih terbatasnya kapasitas produksi pertanian untuk
memenuhi permintaan konsumsi rumah tangga dan industri sehingga harus dipenuhi
melalui impor berdampak pada mekanisme pembentukan harga di pasar.
Tabel 1
Inflasi Jawa Timur per Kelompok Barang
Sumber: Kerjatim BI Tw I, 2013
Laju inflasi pada triwulan I Jawa Timur disumbang oleh kenaikan harga pada
kelompok bahan makanan (14,98% - yoy) serta kelompok makanan jadi, minuman, rokok
dan tembakau (7,18%). Sedangkan beberapa kelompok mengalami inflasi dalam batas
normal, meliputi kelompok perumahan, air, listrik, gas dan bahan bakar (4,75%), kelompok
kesehatan (3,10%) serta kelompok pendidikan, rekreasi dan olah raga (4,50%). Dari data
tersebut nampak bahwa kelompok bahan makan merupakan penyumbang inflasi terbesar
di Jawa Timur. Sehingga, sudah seharusnya pemerintah emmperhatikan secara lebih serisu
terhadap pergerankan harga bahan makanan.
8
Gambar 2
Infalasi Jawa Timur dan Nasional
Tekanan inflasi IHK di sepanjang triwulan I-2013 mengalami tekanan cukup tinggi
sehingga secara tahunan mencapai 6,75% (yoy), lebih tinggi dibandingkan nasional (5,90%).
Secara triwulanan, inflasi di Jatim mencapai 2,87% (qtq), lebih tinggi dibandingkan triwulan
sebelumnya (0,91% - qtq) serta inflasi nasional (2,98% - qtq). Selaian kenaikan harga bahan
pangan, inflasi Jawa timur di awal 2013 ini disebakan oleh meningkatnya ekspektasi pelaku
usaha pasca penetapan Upah Minimum Kota (UMK) dan Tarif Tenaga Listrik (TTL).
Di sisi lain, meningkatnya tekanan inflasi terutama didorong oleh kenaikan harga
pada kelompok volatile food (20,32% - yoy). Melampaui rata-rata inflasi dalam 5 (lima)
tahun terakhir, sebagaimana diuraikan sebelumnya berkurangnya pasokan di tengah masih
minimnya produksi/panen dalam negeri turut mempengruhi level harga kelompok ini.
Selanjutnya, tekanan inflasi pada kelompok administered price sedikit meningkat didorong
oleh kenaikan harga padasub kelompok bahan bakar, penerangan dan air sebagai respon
ataskebijakan kenaikan Tarif Tenaga Listrik (TTL) di awal tahun. Penurunan harga emas
perhiasan turut mempengaruhi inflasi kelompok core inflation yang tertahan pada level
4,54% (yoy) (KER Jatim Tw I, KBI Surabaya 2013).
9
D. Siapa Penikmat Kenaikan Harga Pangan?
Kenaikan harga pangan yang tinggi seharusnya dinikmati pula oleh produsen
(petani), namun pada kenyataannya hal tersebut tidak terjadi. Berdasarkan penelitian
INSEF (2008), menunjukkan bahwa pembentukan harga paling besar dilakukan oleh
pedagang besar untuk setiap komoditi yang disurvey, hal ini dibuktikan dari rata-rata
margin yang mereka tetapkan. Rata-rata margin paling besar terdapat pada komoditas
cabe (53%) yang kemudian di ikuti oleh komoditas ayam potong (47%). Pada lini
berikutnya, distributor, pedagang kecil dan pengecer rata-rata margin yang mereka
tetapkan berangsur-angsur menurun dan pola ini hampir sama disemua jenis komoditas.
Dari fakta di atas dapat diambil catatan bahwa untuk kelima komoditas bahan makanan
mekanisme pembentukan harga pada harga tertinggi selalu dilakukan pada level pedagang
besar. Hal ini disebabkan pedagang besar memiliki kekuatan baik dari sisi modal, teknik
pengemasan, skala penjualan dan pemasaran yang sangat kuat.
Penelitian tersebut memberikan nformasi ini menjadi sangat penting untuk melihat
keuntungan yang didapat dari masing-masing rantai dalam tata niaga, sehingga informasi
ini dapat dijadikan bahan analisis untuk menilai kekuatan penciptaan harga oleh setiap
rantai dalam tata niaga. Adapun hasil perhitungan rata-rata margin harga tersebut dapat
disampaikan melalui Tabel 2.
Tabel 2 Rata-rata Harga dan Margin Harga di Masing-masing Lini Jalur Distribusi
Sumber: Penelitian INSEF (Data diolah)
Harga Margin Harga Margin Harga Margin Harga Margin Harga Margin