-
VIRUS DAN JAMUR PENYEBAB PENYAKIT PERIAPIKAL : FAKTOR
VIRULENSI DAN PATOGENESIS
1. Latar Belakang
Lesi periapikal adalah suatu lesi yang berada di daerah
periapikal. Penyakit jaringan
periapikal dapat dikaitkan dengan penyakit pulpa dan non-pulpa
(non - odontogen atau non
edodontik). Penyakit atau kelainan periapikal odontogen adalah
proses lanjut penyakit pulpa.
Jaringan pulpa yang nekrotik akibat radang pulpa merupakan
penyebab yang paling banyak
terjadi. Sedangkan penyakit atau kelainan periapikal
non-odontogen adalah penyakit atau
kelainan tulang alveolar yang memberikan gambaran radiografi
mirip atau sama dnegan
penyakit atau kelainan periapikal odontogen.
Penyebab utama radang periapikal adalah mikroorganisme, seperti
bakteri, virus, dan
jamur. Meskipun tidak selalu mikroorganisme ditemukan pada
radang periapikal, namun
penyebabnya adalah toksin mikroorganisme tersebut terdapat pada
jaringan pulpa nekrotik.
Pada umumnya lesi periapikal disebabkan oleh bakteri, namun pada
makalah ini akan
membahas virus dan jamur yang menyebabkan penyakit
periapikal.
2. Jamur penyebab penyakit pada periapikal
Mikroorganisme dan produknya erat hubungannya dengan penyebab
penyakit pulpa
dan lesi periapikal. Mereka dapat menyebabkan nekrosis pulpa
oleh karena persistensinya di
dalam saluran akar setelah perawatan endodonti dan dapat
menginduksi reaksi inflamasi
periapikal. Mikroorganisme seperti jamur dapat ditemukan di
dalam saluran akar dengan
pulpa nekrosis. Jamur terdapat di dalam saluran akar terinfeksi
yang tidak merespon baik
terhadap perawatan konservatif saluran akar. Penelitian
menunjukkan bahwa jamur memiliki
peranan dalam menyebabkan kegagalan perawatatan endodonti
Berbeda dengan bakteri yang mana merupakan organism prokariotik,
jamur
merupakan organism eukariotik. Jamur terdiri dali filamen kecil
yang disebut hifa. Hifa
adalah tabung kecil diisi dengan sitoplasma dan nukleus.
Beberapa hifa dibagi oleh segmen
cross-section (dinding) yang disebut septa. Septa memiliki
lubang di mana sitoplasma dan
organel dapat berpindah dari segmen ke segmen. Di antara lebih
dari 300 spesies mikroba
dalam rongga mulut, terdapat banyak spesies Candida. Terdapat
150-200 spesies Candida.
Candida albicans adalah yang paling patogen diantara tujuh
spesies yang paling umum
-
ditemukan di rongga mulut (C. albicans, C. glabrata, C.
tropicalis, C. pseudotropicalis, C.
guilliermondii, C. krusei, dan C. parapsilosis).
Salah satu mikroorganisme yang dapat ditemui pada saluran akar
adalah jamur.
Candida albicans memiliki peranan yang besar dalam menyebabkan
kegagalan dibanding
jamur lainnya. Candida albicans merupakan jenis jamur yang
paling umum ditemui pada
rongga mulut terutama pada infeksi saluran akar maupun pada
perawatan saluran akar yang
gagal.
2.1 Candida albicans sebagai salah satu mikroflora yang terdapat
pada infeksi
saluran akar
2.1.1 Biologi Candida albicans
Sifat Morfologi Umum
Candida spp. merupakan mikroflora normal yang terdapat di dalam
rongga mulut
yang diisolasi dari plak, karies, mikroflora subgingival dan
kavitas periodontal yang aktif. C.
albicans dan jenis-jenis Candida adalah aerobik ragi yang dapat
bereproduksi dalam kondisi
anaerobik.
Jamur ini menunjukan dapat tumbuh dalam jumlah bentuk morfologi
seperti ragi
(blastospore), hifa sejati, pseudohyphae, dan chlamydospores.
Organisme ini dapat tumbuh
baik dalam ragi atau bentuk hifa, atau bentuk peralihan secara
fisik seperti sebagai
pseudohyphae. Dua bentuk utama Candida adalah bentuk ragi dan
bentuk pseudohifa yang
juga disebut sebagai miselium. Perubahan dari komensal menjadi
patogen merupakan
adaptasi terhadap perubahan lingkungan sekitarnya. Dalam keadaan
patogen, Candida
albicans lebih banyak ditemukan dalam bentuk miselium atau
pseudohifa atau filamen
dibandingkan bentuk spora. Sel ragi tumbuh bulat (kadang-kadang
oval). Jamur dapat
menunjukkan berbagai pertumbuhan bentuk yang disebut sebagai
pseudohyphae (Sudberyet
al . 2004).
Lingkungan Hidup
Candida spp. adalah sel ragi gram positif yang tumbuh dengan
baik pada suhu 370C dan
pada media yang sedikit asam dengan pH 5. Candida albicans dapat
bertahan pada
lingkungan yang keras di dalam saluran akar dan pH yang
tinggi.Oleh karena sifatnya yang
resisten pada beberapa medikamen setelah kontak langsung dan
kemampuannya untuk
-
tumbuh dan bertahan pada lingkungan dengan persediaan nutrisi
yang terbatas menjelaskan
mengapa jamur ini berhubungan dengan persistensi infeksi saluran
akar.
Kondisi anaerob, C. albicans mempunyai waktu generasi yang lebih
panjang yaitu
248 menit diandingkan dengan kondisi pertumbuhan aerob yang
hanya 98 menit. Walaupun
C. albicans tumbuh baik pada media padat tetapi kecepatan
pertumbuhan lebih tinggi pada
media cair pada suhu 37oC. Pertumbuhan juga lebih cepat pada
kondisi asam dibandingkan
dengan pH normal atau alkali Taksonomi Candida albicans dapat
diklasifikasikan ke dalam
Kingdom Fungi, Divisi Ascomycota, Filum Saccharomycotina, Klas
Endomycetes, dan
digolongkan ke dalam Famili Saccharomycetaceae, Genus Candida,
Spesies Candida
albicans.
Infeksi C. albicans pada infeksi saluran akar
Tabel 1. Infeksi Candida albicans pada infeksi saluran akar
primer, sekunder
dan resistant
Infeksi
Saluran
Akar
Primer Sekunder Resistant
Definisi Mikroorganisme yang
menyerang jaringan
pulpa dan saluran akar
dentin
Mikroorganisme yang
menyerang ruang
endodontik/saluran
akar selama
perawatan
Mikroorganisme yang
bertahan melawan
kondisi keras seperti
proses prosedur
intrakanal, desinfeksi,
dan obturasi
Penyebab - Bakteri
fakultatif/
obligat aerob
- Perubahan
lingkungan
mikro
- Ragi dari air liur
- Korona
terbuka
- Restorasi yang
cacat
- Bakteri fakultatif
gram +
- Streptococcus
non hemolitik
Jumlah
Jamur
Rendah Cukup banyak Tinggi
-
2.2 Faktor Virulensi dan Patogenesis
2.2.1 Pembentukan Biofilm
Kemampuan suatu mikroorganisme untuk mempengaruhi lingkungannya
diantaranya
tergantung pada kemampuannya untuk membentuk suatu komunitas
(biofilm). Biofilm dapat
digunakan sebagai penanda pertumbuhan mikroba.
Biofilm tersebut dapat berfungsi sebagai pelindung sehingga
mikroba yang
membentuk biofilm biasanya mempunyai resistensi terhadap
antimikroba biasa atau
menghindar dari sistem kekebalan sel inang. Candida albicans
juga memiliki kemampuan
membentuk biofilm pada berbagai permukaan yang berbeda dan hal
inilah yang menyebabkan
Candida albicans menjadi jenis yang paling virulent diantara
jenis Candida lainnya yang
menghasilkan sedikit biofilm seperti C glabrata, C tropikalis,
dan C parapsilosis (Haynes K.,
2001).
Pembentukan biofilm dapat dipacu dengan:
keberadaan serum
saliva dalam lingkungannya
ketersediaan udara. Ketersediaan udara akan mendukung
pembentukan biofilm.
Pada kondisi anaerob, C. albicans dapat membentuk hifa tetapi
tidak mampu
membentuk biofilm
Hasil scanning mikroskop elektron menunjukkan bahwa biofilm C.
albicans yang
matang berisi sel dalam bentuk khamir maupun hifa yang menyisip
dan terikat rapat pada
bahan ektraseluler yang biasanya berbentuk fibrous. Secara
struktur, biofilm terbentuk dari
dua lapisan yaitu:
lapisan basal yang tipis dan merupakan lapisan khamir
lapisan luar yaitu lapisan hifa yang lebih tebal tetapi lebih
renggang.
Hifa-mutant memproduksi lapisan basal saja sementara
khamir-mutant memproduksi
lapisan hifa.
-
Biofilm dari khamir-mutant yaitu lapisan hifa yang mudah
dihilangkan dari
permukaan sel membuktikan bahwa lapisan basal merupakan lapisan
biofilm yang penting
dalam perlekatan pada permukaan.
Kemampuan pembentukan hifa juga berhubungan dengan resistensi.
Isolat yang
resisten tetap dapat membentuk hifa dalam lingkungan yang
mengandung antifungi
sementara isolat yang rentan tidak mampu membentuk hifa.
Pembentukan biofilm C. albicans
Skema proses pembentukan biofilm Candida albicans
Dimulai dengan perlekatan sel C. albicans pada sel inang yang
berlangsung antara 0-
2 jam.Proses tersebut diikuti dengan germinasi dan pembentukan
mikrokoloni (2-4 jam).
Perlekatan sel C.albicans di sel inang (0-2 jam)
Germinasi dan pembentukkan mikrokoloni (2-9 jam)
pembentukan hifa (4-6 jam)
benang-benang hifa membentuk monolayer (6-8 jam)
poliferasi (8-24 jam)
maturasi (24-48 jam)
-
Yang diteruskan dengan pembentukan hifa (4-6 jam). Benang-benang
hifa tersebut
membentuk monolayer (6-8 jam) yang akan berproliferasi (8-24
jam) untuk kemudian
mengalami maturasi (24-48 jam). Ketersediaan saliva dan serum
pada masa pra-pembentukan
biofilm meningkatkan perlekatan C. albicans terhadap sel inang
tetapi kurang berpengaruh
pada pembentukan biofilm.
Gen yang bertanggungjawab terhadap pembentukan biofilm
adalah:
TEC1p. TEC1p merupakan gen regulator pembentukan hifa
BCR1p. Pembentukan hifa akan memicu ekpresi BCR1p yang
kemudian
mengaktivasi protein permukaan sel dan gen perlekatan (Adhesion
gene). Aktivasi
protein permukaan dan gen perlekatan menyebabkan differensiasi
sel hifa dan
menampilkan molekul-molekul perlekatan yang juga mendukung
integritas
biofilm.
yeast wall protein 1 (Ypw1p). Ypw1p dari C. albicans tediri dari
kurang lebih 533
asam amino yang terikat secara kovalen pada glukan yang
merupakan matrik
dinding sel. Produksi paling besar pada Ypw1p terjadi pada fase
ekponensial dan
menurun pada fase stasioner pertumbuhan dan pembentukan
hifa.
Selain itu, fenomena co-agregasi dan co-adhesi antara Candida
dan bakteri yang
berbeda dan efek modulasi faktor-faktor seperti air liur, gula,
dan pH meningkatkan
pembentukan biofilm dan kolonisasi mukosa mulut dan jaringan
gigi. Misalnya, ketika ada
jamur dalam bentuk biofilm, mereka adalah lima sampai delapan
kali lebih tahan terhadap
agen anti jamur klinis penting seperti amfoterisinB, flukonazol,
flusitosin, itraconazole, dan
ketaconazole dari pada sel planktonik.
2.2.2 Adhesi
Adhesi melibatkan interaksi antara ligand dan reseptor pada sel
inang dan proses
melekatnya sel C. albicans ke sel inang. Perubahan bentuk dari
khamir (ragi) ke filamen
diketahui berhubungan dengan patogenitas dan proses penyerangan
Candida terhadap sel
inang yang diikuti pembentukan lapisan biofilm sebagai salah
satu cara Candida spp untuk
-
mempertahankan diri dari obat-obat antifungi. Produksi enzim
hidrolitik ektraseluler seperti
aspartyl proteinase juga sering dihubungkan dengan patogenitas
C. albicans.
Tahap pertama dalam proses infeksi ke tubuh hewan atau manusia
adalah perlekatan
(adhesi).
Bagian pertama dari C. albicans yang berinteraksi dengan sel
inang adalah
dinding sel. Dinding sel Candida mengandung zat yang penting
untuk
virulensinya, antara lain turunan , mannoprotein yang mempunyai
sifat
imunosupresif sehingga mempertinggi pertahanan jamur terhadap
imunitas
penjamu. Dinding sel C. albicans terdiri dari enam lapisan dari
luar ke dalam
adalah fibrillar layer, mannoprotein, -glucan, -glucan-chitin,
mannoprotein dan
membran plasma. Perlekatan lapisan dinding sel dengan sel inang
terjadi karena
mekanisme kombinasi spesifik (interaksi antara ligand dan
reseptor) dan
nonspesifik (kutub elektrostatik dan ikatan van der walls) yang
kemudian
menyebabkan serangan C. albicans ke berbagai jenis permukaan
jaringan.
Faktor lain yang mempengaruhi interaksi C. albicans dengan sel
inang adalah
hidrofobisitas pada awal perlekatan. Diduga protein pada dinding
sel terlibat
dalam perubahan hidrofobisitas permukaan sel dengan melepaskan
glukanase
digestion dalam jumlah tertentu.
Interaksi sel C. albicans dengan sel inang (cel-cel interaction)
juga melibatkan
fisikomekanik, fisikokimia dan enzimatik materi mikroba serta
interaksi mikro
yang mengarah pada kolonisasi dan infeksi seperti perubahan
medan magnet pada
permukaan sel yang berinteraksi yang menyebabkan sel-sel saling
melekat.
Perlekatan dan kontak fisik antara C. albicans dan sel inang
selanjutnya
mengaktivasi mitogen activated protein kinase. (Map-kinase).
Protein kinase
tersebut merupakan bagian dari jalur integritas yang diaktivasi
oleh stress pada
dinding sel (tempat C. albicans dan sel host melakukan kontak).
Map-kinase juga
diperlukan untuk pertumbuhan hifa invasive dan perkembangan
biofilm pada
tahap selanjutnya. Selain aktivasi Map-kinase pada C. albicans,
dalam waktu yang
hampir bersamaan terjadi pengaturan kembali aktin pada sel
inang.
Menurut HOSTETER (1994) ada tiga macam interaksi yang mungkin
terjadi antara
sel Candida dan sel epitel inang yaitu:
-
(i) interaksi protein-protein. Interaksi protein-protein terjadi
ketika protein pada
permukaan C. albicans mengenali ligand protein atau peptida pada
sel
epitelium atau endothelium.
(ii) interaksi lectin-like. Interaksi lectin-like adalah
interaksi ketika protein pada
permukaan C. albicans mengenali karbohidrat pada sel epitelium
atau
endothelium.
(iii) interaksi yang belum diketahui. adalah ketika komponen C.
albicans
menyerang ligand permukaan epitelium atau endothelium tetapi
komponen
dan mekanismenya belum diketahui dengan pasti.
2.2.3 Switching fenotipic
Candida albicans memiliki kecendrungan untuk perubahan fenotip,
yang berperan
untuk adaptasi lingkungan. Perubahan fenotip meliputi perubahan
morfologi koloni dan
aktivitas protease. Fenomena ini dikenal sebagai switching
fenotipic, dan mungkin sering
terjadi terutama di bawah tekanan.
2.2.4 Invasi
Kemampuan untuk berubah morfologi merupakan faktor penting dalam
menentukan
infeksi dan penyebaran C. albicans pada jaringan inang. Mutan
Saccharomyces cerevisiae
dan C. albicans yang tidak pathogen tidak dapat membentuk hifa
dan menginvasi sel
endothelium sementara C. albicans yang patogen dapat membentuk
germ tube dan hifa
intraseluler.
Bentuk khamir membuat C. albicans lebih mudah melakukan
penyebaran daripada
bentuk hifa sementara bentuk hifa memudahkan C. albicans
melakukan penetrasi ke tubuh
inang. Bentuk hifa terdiri dari bagianbagian yang dipisahkan
oleh septa. Hifa C. albicans
mempunyai kepekaan untuk menyentuh sehingga akan tumbuh
sepanjang lekukan atau
lubang yang ada di sekitarnya (sifat thigmotropisme). Sifat ini
yang mungkin membantu
dalam proses infiltrasi pada permukaan epitel selama invasi
jaringan. Hifa juga bersifat
aerotropik dan dapat membentuk helix apabila mengenai permukaan
yang keras.
Ujung hifa adalah situs sekresi apikal enzim yang mampu
mendegradasi protein ,
lipid, dan lainnya komponen seluler yang semakin memudahkan
infiltrasi ke dalam jaringan,
mungkin dengan mencairkan substrat di depan sel maju. Hifa jamur
patogen juga
-
menunjukkan fenomena kontak penginderaan, atau thigmotropism ,
yang dapat
memungkinkan mereka untuk menavigasi menurut mendasari permukaan
topografi dan
sesuai menemukan poin dari melemahkan integritas permukaan ,
sehingga mendapatkan
akses ke situs rentan untuk invasi.
Tahap setelah perlekatan adalah invasi.
Hifa C. albicans melakukan penetrasi ke dalam permukaan
epitelium terutama
pada cell junction bersamaan dengan internalisasi sel
khamir.
Penetrasi pada Brain Microvascular Endothelial Cell (BMEC)
menginduksi sel
tersebut untuk melakukan vakuolasi tetapi C. albicans tidak
hanya mampu
bertahan hidup dan beradaptasi dalam BMEC tetapi juga mampu
berkembang dan
membentuk hifa.
pH optimal C. albicans yang sekitar pH 5 sangat dekat dengan pH
pada vakuola
endosom yang memungkinkan C albicans dapat bertahan bahkan
berkembang
menjadi hifa.
Invasi dan pathogenesis C. albicans juga ditandai dengan sekresi
proteinse
aspartat (Saps) yang dikode oleh 10 gen. Ekspresi gen SAP
diyakini berhubungan
dengan kerusakan pada kulit.
Salah satu penanda invasi C. albicans adalah perubahan khamir ke
dalam bentuk
hifa (filamen). Perubahan bentuk khamir ke hifa sangat
dipengaruhi oleh
lingkungan mikro sel inang yang terdeteksi oleh C. albicans
selama proses invasi.
Penetrasi permukaan sel epitel oleh hifa Candida mungkin
disebabkan oleh
enzimatik.
Proses dalam kombinasi dengan kekuatan mekanik. Proteinase
aspartil disekresikan ( SAP )
menurunkan banyak protein manusia di lokasi lesi, seperti
albumin hemoglobin, keratin, dan
sekretorik IgA.
Aktivitas proteolitik SAP telah dikaitkan dengan invasi
jaringan. Selain SAP enzim
proteolitik termasuk kolagenase, glucosaminidases, asam dan basa
fosfatase,
aminopeptidases, hyaluronidase, dan chondroitin sulfatase, yang
bertindak atas degradasi
protein matriks ekstraseluler. Protein saliva, termasuk IgA,
dapat mengalami degradasi oleh
proteinase asam Candida terutama pada kondisi pH rendah. Telah
terbukti bahwa enzim
collagenolytic diproduksi oleh C. albicans dapat mencerna dentin
kolagen manusia. Telah
-
terbukti bahwa phospholipases terkonsentrasi di ujung hifa jamur
dan lokal dalam sekitar
kompartemen selular host dimana aktif invasi terjadi.
Enzim yang terlibat dalam morfogenesis dari khamir ke bentuk
hifa diantaranya
adalah
Ras dan Rho-type GTP ase yang diketahui sebagai salah satu enzim
yang
mengatur proses morfologi pada sel eukaryote termasuk stabilitas
polaritas,
proliferasi sel dan pertumbuhan sebagi respon rangsangan
ekstraseluler.
Ras-like GTPase (Rsr1p) dan GTPase activating protein (Bud2p) C.
albicans
yang terletak pada korteks sel waktu awal pembelahan sel
berfungsi sebagai
penentu letak sel anakan dan penentu percabangan sel hifa.
C albicans mempunyai 2 cara untuk merusak jaringan keras gigi,
pertama dengan cara
melarutkan material anorganik ( kalsium) pada jaringan keras
gigi dengan sifat
asidogeniknya, kedua dengan cara menyerang kolagen dan
menghilangkan material organik
dengan enzim kolagenolitiknya. Kolonisasi dan penetrasi terhadap
dentin oleh
mikroorganisme merupakan langkah penting untuk inisiasi dan
persistensi infeksi saluran
akar. Terdapat 2 faktor: invasi pada dentin melewati tubulus
dentin, kolonisasi spesies untuk
mempertahankan infeksi dan nutrisi untuk bertahan hidup. Candida
albicans ini mendukung
proses invasi dentin.
Penghindaran C. Albicans Dari SelSel Pertahanan Tubuh
Dinding sel merupakan bagian C. albicans yang terlibat interaksi
paling awal dengan
sel inang dan berpengaruh besar terhadap aktivasi sel-sel
kekebalan inang. Aktivasi terjadi
ketika terjadi kontak antara sel inang dengan dinding sel C.
albicans sebagai akibat adanya
antigen C. albicans pada dinding sel. Sel inang memberikan
respon seluler dan antibodi
untuk mengurangi invasi dan mengeliminasi C. albicans dari
jaringan yang terinfeksi.
Sebaliknya C. albicans juga melakukan upaya pengindaran dari
sistem kekebalan dengan
menginduksi aktivitas sel T dan sel B supresif sehingga C.
albicans lebih mudah menginvasi
sel inang. Kemampuan menghindar C. albicans dari makrofag juga
dipengaruhi oleh
keberadaan phospholipomannan (PLM) sebuah glikolipid unik dengan
phytoceramid moiety
yang diekspresikan pada permukaan dan dilepaskan oleh C.
albicans. Penambahan PLM pada
-
makrofag menyebabkan disregulasi dalam makrofag dan membuat S
cerevisiae dan C.
albicans yang sensitive mampu bertahan hidup lebih lama dalam
sel.
3. Virus penyebab penyakit periapikal
3.1 Virus Herpes
Virus adalah mikroorganisme yang paling sederhana dan terkecil
yang dapat
menginfeksi manusia. Virus terdiri dari baik DNA atau RNA yang
dikelilingi oleh
lapisan protein disebut sebagai "kapsid. Virus yang paling umum
dikenal dalam rongga
mulut adalah virus herpes. Virus harpes merupakan virus DNA
terpenting yang dapat
menyebabkan penyakit mulut pada manusia. Ciri dari infeksi virus
herpes adalah
penurunan kekebalan tubuh.
Gambar 1. Mekanisme proses infeksi virus herpes
Replikasi herpesvirus dilakukan di nukleus sel host dan melalui
tahap immediate-
early, early, dan late hingga akhirnya terjadi reaktivasi
harpesvirus. Kebanyakan virus
herpes didapat sejak lahir dan biasanya menginfeksi individu
yang berasa dari daerah dan
ekonomi terbelakang (Britt and Alford 1996; Rinckinson and Kueff
1996). Transmisi virus
herpes muncul melaui kontak dengan cairan yang terinfeksi,
seperti saliva, darah, dan sekresi
genital.
Penelitian terbaru telah menyelidiki keberadaan virus herpes
pada lesi periapikal
(Sabeti et al. 2003a, b, c; Sabeti dan Slots 2004). Identifikasi
cDNA dari akhir transkipsi gen
-
selama siklus infeksi harpes virus digunakan untuk mengindikasi
infeksi aktif virus harpes
(Sabeti et al. 2003a). Pada keadaan infeksi laten, setiap jenis
harpesvirus berada diberbagai
macam sel sebagai host. Reaktivasi virus harpes yang laten
terjadi akibat trauma fisik, stres,
immunosuppression, disfungsi imun, dan radioterapi. Berikut
tabel jenis virus herpes dan
host-nya.
3.2 Virus-virus Herpes
Tabel 2. Jenis-jenis virus herpes dan host-nya
No. Jenis-Jenis Virus Letak pada fase laten Penyakit
1
Virus Herpes
Simplex tipe 1 dan
tipe 2
Ganglia saraf sensorik dan
monosit
Gingivostomatitis
herpetic
2 Virus Epstein-barr B-limfosit dan jaringan
kelenjar saliva
Mononukleosis,
nasofaringeal
karsinoma,
lymphoproliferative
disorders,
burkittslymphoma,
rheumatoid atritis,
shodgkins disease,
chronic fatigue
syndrome
3 Varicella-zoster Ganglia saraf sensorik Chickenpox
4 Human
Cytomegalovirus
Monosit, makrofag,
limfosit, dan jaringan
kelenjar saliva
Pasien terinfeksi HIV,
necrotizing netiritis
5 Human Herpervirus-
6
Limfosit dan duktus
kelenjar saliva
Periodontitis,Mononukl
eosis, tumor, pada
rongga mulut
penumonia, meningitis
-
dan encephalitis
6 Human Herpervirus-
7
Limfosit dan jaringan
kelenjar saliva Periodontal pocket
7 Human Herpervirus-
8 Limfosit dan makrofag
Kaposis sarcoma,
Castleman disease and
anti-immunoblastic
lymphadenopathy
3.3 Patogenesis
Virus Herpes mungkin menyebabkan penyakit sebagai akibat dari
infeksi dan replikasi
viral atau sebagai hasil dari penurunan ketahanan host.
Patogenensis virus herpes memiliki beberapa mekanisme, cara
kerja sendiri maupun
kombinasi, dan mungkin melibatkan seluler dan respon host:
1. Virus-virus herpes dapat menyebabkan efek-efek sitopatik
secara langsung pada
fibroblas periapikal, hasilnya yang dapat mengganggu pergantian
dan perbaikan jaringan,
bahkan kehilangan jaringan.
2. HCMV dan EBV dapat menginfeksi dan memecah fungsi monosit,
makrofag, limfosit,
dan polimorfonuklear leukosit. Terganggunya pertahanan sel host
menyebabkan
mudahnya pertumbuhan bakteri patogen endodontik. Aktivasi virus
herpes dapat
menyebabkan efek immunospuresif dam immunomodulatory pada daerah
periapikal
secara signifikan. Virus herpes dapat memicu sebuah susunan
repson host yang termasuk
disregulasi makrofag dan limfosit, dan mempunyai sebuah tujuan
untuk mengatur respon
imun host antiviral. Lemahnya host termasuk pembunuh sel secara
natural, inhibisi
apoptosis dan hancurnya jalan komponen MHC kelas I dan kelas II
dalam makrofag ,
yang nyatanya mempengaruhi peran utama host dalam penyajian
antigen. Selain itu.
HCMVmengkode sebuah intlekleukin(IL)-10 homolog yang unik,
sebuah sitokin Th2
yang antagonis dengan respon Th1, dan sifat immunosupresif dapat
membantu deteksi
dan penghancuran circumvent HCMV oleh sistem imun host. HCMV
juga memilki
kemampuan menghambat ekspresi reseptor permukaan makrofag untuk
lipopolisakarida
yang mengganggu respon terhadapa infkesi bakteri
gram-negatif.
3. Infeksi virus herpes menimbulkan proinflamasi sitokin dan
kemokin yang dilepas dari
-
sel-sel inflamatori. Interleukin - 1 dan tumor necrosis factor -
hadir dalam tingkat
yang signifikan pada lesi periapikal , dan prostaglandin E2
(PGE2) konsentrasi lebih
tinggi pada akut dibandingkan pada lesi periapikal kronis.
Mediator inflamasi ini, yang
kemungkinan besar diproduksi secara lokal oleh makrofag
periapikal, adalah agen yang
merangsang resorpsi tulang potent. Penelitian sebelumnya telah
difokuskan pada
lipopolisakarida sebagai induktor produksi sitokin makrofag,
tetapi infeksi HCMV
mungkin memiliki potensi lebih tinggi untuk upregulate ekspresi
gen interleukin - 1 dan
tumor necrosis factor pada monosit dan makrofag. Mungkin
hubungan makrofag dan
produk mereka untuk pathosis periapikal adalah sebagian karena
HCMV-dimediasi
pelepasan sitokin dari makrofag periapikal . EBV adalah
poliklonal aktivator B - limfosit
kuat, mampu merangsang proliferasi dan diferensiasi sel-sel yang
mensekresi
imunoglobulin. Infeksi EBV periapikal mungkin sebagian
bertanggung jawab atas sering
terjadinya sel B pada lesi periapikal. Infeksi virus herpes juga
mempengaruhi jaringan
sitokin. Sitokin dan kemokin memainkan peran penting dalam baris
pertama pertahanan
terhadap infeksi virus herpes manusia dan juga memberikan
kontribusi signifikan
terhadap regulasi respon imun. Namun, dengan beragam strategi,
virus herpes dapat
mengganggu produksi sitokin atau mengalihkan respon sitokin
antivirus poten, yang
memungkinkan virus untuk bertahan hidup sepanjang masa infeksi
HCMV melalui host.
Infeksi HCMV biasanya menginduksi profil sitokin proinflamasi,
dengan produksi IL -
1 , IL - 6 , IL - 12 , tumor necrosis factor ( TNF ) - ,
interferon ( IFN ) - / , dan IFN
- , Dan PGE2 . Infeksi EBV merangsang produksi IL - 1 , IL-1
receptor antagonis ( IL -
1Ra ) , IL - 6 , IL8 , IL - 18 , TNF - , IFN - / , IFN - ,
Monokin diinduksi oleh IFN -
(MIG), IFN--Inducible protein 10 ( IP - 10 ) , dan faktor
granulosit-makrofag colony-
stimulating. Kegiatan proinflamasi biasanya melayani tujuan
biologis positif dengan
bertujuan untuk mengatasi infeksi atau invasi oleh agen infeksi,
tetapi juga dapat
memberi efek merugikan ketika tantangan menjadi luar biasa atau
dengan stimulus
patofisiologi kronis. Dalam upaya untuk menangani peradangan
berkelanjutan, respon
proinflamasi awal memicu pelepasan mediator anti - inflamasi ,
seperti transforming
growth factor - dan IL-10 . Selain itu, virus menampilkan
keunikan yang besar ketika
datang untuk mengalihkan respon sitokin antivirus poten untuk
keuntungan mereka .
PGE2 yang merupakan mediator kunci dari respon inflamasi
periapikal, meningkat
dengan cepat dalam menanggapi paparan sel untuk HCMV,
lipopolisakarida bakteri , dan
sitokin IL - 1 dan TNF - , dan PGE2 , dalam kondisi tertentu
dapat mendukung
replikasi HCMV. Tidak diragukan lagi , infeksi HCMV periapikal
dapat menyebabkan
-
banyaknya reaksi imunomodulator yang saling berhubungan, dan
berbagai tahap infeksi
akan menampilkan berbagai tingkat sel-sel inflamasi spesifik dan
mediator, menggaris
bawahi kompleksitas interaksi HCMV - host penyakit
periapikal
4. Virus-virus herpes dapat memproduksi kerusakan jaringan
periapikal sebagai hasil dari
repson immunopatologi. Sel Th1, yang menonjol pada lesi
periapikal, adalah mediator
hipersensitivitas delayed-type. HCMV memiliki potensial untuk
menimbulkan
immunosupresi cell-mediated oleh ekspresi permukaan sel
downregulating dari molekul-
molekul histokompatibilitas mayor kompleks kelas I, sehingga
mengganggu pengenalan
sitotoksik limfosit T, tujuan utama yaitu untuk mengenali dan
menghancurkan sel yang
terinfeksi virus, tetapi secaara sekunder juga menghambat
berbagai aspek dari respon
imun.
Skema mekanisme patogenesis pada periapikal:
1.
2.
3.
Virus-Virus Herpes Host Menyerang
Pergantian jaringan
terganggu / hilanganya
jaringan
Efek Sitopatik pada fibroblas
periapikal, sel-sel endotel, dan
sel tulang
Menyebabkan
Menimbulkan
HCMV/ EBV
Fungsi Monosit, makrofag, limfosit,
polimononuklear
leukosit
Menginfeksi dan
memecah
Pertahanan sel host Menurun &
Bakteri patogen enodontik meningkat
Efek Immunosupresif
Efek Inmmunomodulatory
Pelepasan sitokin dan kemokin dari
sel inflamatori
-
4.
3.4 Virulensi
Identifikasi cDNA dari gen yang terlambat ditranskripsi selama
siklus penularan virus-
virus herpes digunakan untuk menunjukkan infeksi virus herpes
yang aktif. Berdasarkan
beberapa penelitian, adanya hubungan yang kuat antara virus
human cytomegalovirus dan
epstein-barr virus dengan gejala lesi periapikal. Infeksi virus
Herpes simpleks didemonstrasi
tidak memiliki hubungan dengan penyakit periapikal. Lesi-lesi
periapikal mempunyai infeksi
rangkap yaitu cytomegalovirus/epstein-barr virus cenderung
menunjukkan terjadinya
peningkatan bakteri anaerob, dilihat dari gejala, dan
menunjukkan ukuran besar kerusakan
tulang radiografi.
Cytomegalovirus dan Epstein-barr virus bekerjasama dengan
spesies bakteri tertentu
juga telah dikaitkan dengan berbagai jenis periodontitis dan
beberapa penyakit menular non-
oral. Kebanyakan bakteri anaerob diisolasi dari lesi periapikal
yang menunjukkan infeksi
rangkap HCMV/EBV adalah gejala atau yang besar. Porphyromonas
gingivalis /
Porphyromonas endodontalis ditemukan kembali hanya dari lesi
periapikal simtomatik,
mendukung gagasan bahwa kelompok organisme mampu menginduksi
infeksi endodontik
akut. Namun, sebagian besar lesi periapikal simtomatik gagal
dipelajari untuk menghasilkan
Infeksi Virus-Virus Herpes
Infeksi virus-virus
herpes
Kerusakan Jaringan
Periapikal
Immunosupresi
Menimbulkan
Pengenalan
sitotoksik limfosit T
Mengganggu
Menyebabkan
-
bakteri batang anaerob yang berpigmen hitam. Eksaserbasi akut
penyakit periapikal dapat
disebabkan oleh kumpulan bakteri patogen yang unik atau
sebaliknya, mungkin akibat dari
kombinasi penyebab virus herpes dan bakteri. Yang terakhir
kemungkinan adalah konsisten
dengan kehadiran yang seragam diamati darti infeksi herpes aktif
pada lesi periapikal
simtomatik dan potensi proinflamasi dari virus-virus herpes.
Herpesvirus memiliki beberapa faktor virulensi potensial yang
penting bagi pathosis
periapikal , termasuk kemampuan untuk menginduksi penurunan
kekebalan tubuh dan
pertumbuhan berlebih selanjutnya mikroorganisme patogen. Dalam
periodontitis, kehadiran
HCMV atau EBV subgingival terkait dengan kenaikan muatan bakteri
dan terjadinya patogen
periodontal Porphyromonas gingivalis ,Tannerella forsythensis,
Dialister pneumosintes,
Prevotella intermedia, Prevotella nigrescens, Treponema
denticola, dan Aggregatibacter
actinomycetemcomitans.
Virus herpes tampaknya juga bekerja sama dengan bakteri patogen
dalam memproduksi
berbagai penyakit medis, termasuk penyakit radang usus,
enterocolitis, esofagitis, infeksi
paru, sinusitis, otitis media akut, abses kulit, dan penyakit
radang panggul.
Selain itu, virus herpes dapat menimbulkan pathosis periapikal
dengan menginduksi
sitokin dan pelepasan kemokin dari sel inang inflamasi dan
non-inflammatory. Daerah
periapikal memiliki respon imun antiviral inadekuat yang
memungkinkan sangat rentan
terhadap kerusakan jaringan. Virus yang menginfeksi mamalia
selain HCMVand EBV,
sendiri atau bekerja sama dengan virus herpes, juga mungkin
memainkan peran dalam
patogenesis pulpa dan patosis periapikal.
-
Daftar Pustaka
Fuad, Asraf. Chapter 8&9: Endodontic Microbiology.
Department of Endodontics,
Prosthodontics and Operative Dentistry Director, Advanced
Specialty Program in
Endodontics Dental School, University of Maryland Baltimore, MD,
USA
Ingle II, Backland LK.. Endodontics. 5th
ed. Chapter 3 : Microbiology of endododontics and
asepsis in endodontic practice. Baumgartner JC, Bakland LK,
Sugita EI. London : BC Decker
Inc. Hamilton. 2002. p. 63-79
Eni Kusumaningtyas.Mekanisme Infeksi Candida Albicans Pada
Permukaan Sel. Lokakarya
Nasional Penyakit Zoonosis
Grossman , Louis. 1995. Ilmu Endodontik Dalam Praktek ed.11
.Jakarta : EGC
Walton, Richard E. 2008. Prinsip dan Praktik Ilmu Endodonsia.
Jakarta : EGC
-
MAKALAH BIOLOGI ORAL 3
VIRUS DAN JAMUR PENYEBAB PENYAKIT PERIAPIKAL : FAKTOR
VIRULENSI DAN PATOGENESIS
Disusun Oleh :
1. Repika Ayu Yulanda (04121004056)
2. Bebbi Arisya Kesumaputri (04121004058)
3. Harentya Suci Sabillah (04121004059)
4. Haritsa Budiman (04121004060)
5. Febri Rusdi (04121004061)
-
Dosen Pembimbing : drg. Shanty Chairani, M,Si
FAKULTAS KEDOKTERAN
PROGRAM STUDI KEDOKTERAN GIGI
2014