Epilepsi
Pendahuluan Epilepsi berasal dari perkataan Yunani yang berarti
"serangan" atau penyakit yang timbul secara tiba-tiba. Epilepsi
merupakan penyakit yang umum terjadi danpenting di masyarakat.
Permasalahan epilepsi tidak hanya dari segi medik tetapi juga
sosial dan ekonomi yang menimpa penderita maupun keluarganya. Dalam
kehidupan sehari-hari, epilepsi merupakan stigma bagi masyarakat.
Mereka cenderung untuk menjauhi penderita epilepsi. Akibatnya
banyak yang menderita epilepsi yang tak terdiagnosis dan mendapat
pengobatan yang tidak tepat sehingga menimbulkan dampak klinik dan
psikososial yang merugikan baik bagi penderita maupun
keluarganya.
Definisi EpilepsiEpilepsi adalah suatu kelainan di otak yang
ditandai adanya bangkitan epileptik yang berulang (lebih dari satu
episode). International League Against Epilepsy (ILAE) dan
International Bureau for Epilepsy (IBE) pada tahun 2005 merumuskan
kembali definisi epilepsi yaitu suatu kelainan otak yang ditandai
oleh adanya faktor predisposisi yang dapat mencetuskan bangkitan
epileptik, perubahan neurobiologis, kognitif, psikologis dan adanya
konsekuensi sosial yang diakibatkannya. Definisi ini membutuhkan
sedikitnya satu riwayat bangkitan epilepstik sebelumnya. Status
epileptikus merupakan kejang yang terjadi > 30 menit atau kejang
berulang tanpa disertai pemulihan kesadaran kesadaran diantara dua
serangan kejang. Sedangkan bangkitan epileptik didefinisikan
sebagai tanda dan/atau gejala yang timbul sepintas (transien)
akibat aktivitas neuron yang berlebihan atau sinkron yang terjadi
di otak.Epilepsi merupakan salah satu kelainan otak yang serius dan
umum terjadi,sekitar lima puluh juta orang di seluruh dunia
mengalami kelainan ini. Angka epilepsi lebih tinggi di negara
berkembang. Insiden epilepsi di negara maju ditemukan sekitar
50/100,000 sementara di negara berkembang mencapai 100/100,000. Di
negara berkembang sekitar 80-90% diantaranya tidak mendapatkan
pengobatan apapun. Penderita laki-laki umumnya sedikit lebih banyak
dibandingkan dengan perempuan. Insiden tertinggi terjadi pada anak
berusia di bawah 2 tahun (262/100.000 kasus) dan uisa lanjut di
atas 65 tahun (81/100.000 kasus).EpidemiologiInsiden epilepsi di
negara maju ditemukan sekitar 50/100.000 sementara di negara
berkembang mencapai 100/100.000. Pendataan secara global ditemukan
3.5 juta kasus baru per tahun diantaranya 40% adalah anak-anak dan
dewasa sekitar 40% serta 20% lainnya ditemukan pada usia lanjut.Di
Amerika Serikat, risiko terkena epilepsi mioklonik juvenile pada
populasi umum yakni 1 kasus per 1.000-2.000 orang. Dari keseluruhan
epilepsi, 5-10% orang menderita epilepsi ini. Epilepsi ini lebih
sering ditemukan pada wanita dibandingkan pria. Alasannya tidak
diketahui. Tetapi, data dari penelitian lain menyebutkan prevalensi
terkena penyakit ini sama antara wanita dan pria. Epilepsi ini
dimulai pada saat remaja. Meskipun onset umurnya dari 6-36 tahun,
gejala kejang biasanya timbul pada saat remaja umur 12-18 tahun.
Mengapa epilepsi mioklonik juvenile ini dimulai pada saat remaja
belum jelas, namun beberapa berpendapat bahwa yang mempengaruhi
tercetusnya epilepsi ini yaitu hormon.Alasannya yakni onset
kejangnya terjadi (untuk sebagian besar orang) seiring dengan
perubahan fisik yang terjadi saat pubertas yakni pertumbuhan
rambut, perubahan suara pada wanita dan payudara yang membesar pada
wanita.Etiologi Penyakit EpilepsiSeperti halnya insidensi, angka
prevalensi epilepsi dari berbagai penelitian berkisar 1,531/1000
penduduk. Estimasi prevalensi seumur hidup dari epilepsi (pasien
yang pernah mengalami epilepsi dalam suatu saat sepanjang hidupnya)
berbeda di berbagai negara. Adapun rata-rata prevalensi epilepsi
aktif (serangan dalam 2 tahun sebelumnya) yang dilaporkan oleh
banyak studi di seluruh dunia berkisar 4-6/1000. Berapa banyak
pasien epilepsi di Indonesia, sampai sekarang belum tersedia data
hasil studi berbasis populasi. Bila dibandingkan dengan negara
berkembang lain dengan tingkat ekonomi sejajar, probabilitas
penyandang epilepsi di Indonesia sekitar 0,7-1,0%, yang berarti
berjumlah 1,5-2 juta orang.Etiologi EpilepsiKejang disebabkan oleh
banyak faktor, faktor tersebut meliputi penyakit serebro vaskuler
(stroke iskemik atau stroke hemoragi), gangguan neuro degeneratif,
tumor, trauma kepala, gangguan metabolik, dan infeksi SSP (sistem
saraf pusat). Beberapa faktor lainnya adalah gangguan tidur,
stimulasi sensori atau emosi (stres) akan memicu terjadinya kejang.
Perubahan hormon, sepeti menstruasi, puberitas, atau kehamilan
dapat meningkatkan frekuensi terjadinya kejang. Penggunaan
obat-obat yang menginduksi terjadinya kejang seperti teofilin,
fenotiazin dosis tinggi, antidepresan (terutama maprotilin atau
bupropion), dan kebiasaan minum alkohol dapat meningkatkan resiko
kejang.
Ditinjau dari penyebab, epilepsi dapat dibagi menjadi 3 golongan
yaitu : Epilepsi idiopatik : penyebabnya tidak diketahui, meliputi
50% dari penderita epilepsi anak dan umumnya mempunyai predisposisi
genetik, awitan biasanya pada usia > 3 tahun. Dengan
berkembangnya ilmu pengetahuan dan ditemukannya alat alat
diagnostik yang canggih kelompok ini makin kecil. Epilepsi
simptomatik: disebabkan oleh kelainan/lesi pada susunan saraf
pusat.Misalnya : post trauma kapitis, infeksi susunan saraf pusat
(SSP), gangguan metabolik,malformasi otak kongenital, asphyxia
neonatorum, lesi desak ruang, gangguan peredaran darah otak, toksik
(alkohol,obat), kelainan neuro degeneratif. Epilepsi kriptogenik:
dianggap simtomatik tetapi penyebabnya belum diketahui, termasuk
disini adalah sindrom West, sindron Lennox-Gastaut dan epilepsi
mioklonikKlasifikasi Epilepsi
Klasifikasi internasional kejang epilepsi. Kejang
diklasifikasikan menjadi dua kategori umum yaitu : (a) kejang
parsial (kejang parsial dapat disebabkan oleh suatu lesi pada
beberapa bagian korteks, seperti tumor, malformasi perkembangan
atau stroke) dan (b) kejang umum (kejang umum sering disebabkan
oleh genetik) Klasifikasi internasional kejang epilepsi :Menurut
International League Against Epilepsy (ILAE) 1981, epilepsi
diklasifikasikan menjadi 2 yakni berdasarkan bangkitan epilepsi dan
berdasarkan sindroma epilepsiKlasifikasi berdasarkan tipe bangkitan
epilepsi :1. Bangkitan ParsialBangkitan parsial diklasifikasikan
menjadi 3 yakni:A. Parsial Sederhana (kesadaran tetap baik)a)
Dengan gejala motorik b) Dengan gejala somatosensorik atau sensorik
khususc) Dengan gejala autonomd) Dengan gejala psikisB. Parsial
Kompleks (kesadaran menurun)a) Berasal sebagai parsial sederhana
dan berekambang menjadi penurunan kesadaranb) Dengan penurunan
kesadaran sejak awaitanc) Parsial yang menjadi umum sekunderd)
Parsial sederhana yang menajdi umum tonik-konike) Parsial kompleks
menjadi umum tonik-klonikf) Parsial sederhana menjadi parsial
kompleks dan menjadi umum tonik-konikC. Parsial yang menjadi umum
sekundera) Parsial sederhana yang menajdi umum tonik-konikb)
Parsial kompleks menjadi umum tonik-klonikc) Parsial sederhana
menjadi parsial kompleks dan menjadi umum tonik-konik
2. Bangkitan Umum A. Absence / lena / petit malBangkitan ini
ditandai dengan gangguan kesadaran mendadak (absence) dalam
beberapa detik (sekitar 5-10 detik) dimana motorik terhenti dan
penderita diam tanpa reaksi. Seragan ini biasanya timbul pada
anak-anak yang berusia antara 4 sampai 8 tahun. Pada waktu
kesadaran hilang, tonus otot skeletal tidak hilang sehingga
penderita tidak jatuh. Saat serangan mata penderita akan memandang
jauh ke depan atau mata berputar ke atas dan tangan melepaskan
benda yang sedang dipegangnya. Pasca serangan, penderita akan sadar
kembali dan biasanya lupa akan peristiwa yang baru dialaminya. Pada
pemeriksaan EEG akan menunjukan gambaran yang khas yakni spike wave
yang berfrekuensi 3 siklus per detik yang bangkit secara
menyeluruh.B. KlonikKejang Klonik dapat berbentuk fokal,
unilateral, bilateral dengan pemulaan fokal dan multifokal yang
berpindah-pindah. Kejang klonik fokal berlangsung 1 3 detik,
terlokalisasi , tidak disertai gangguan kesadaran dan biasanya
tidak diikuti oleh fase tonik. Bentuk kejang ini dapat disebabkan
oleh kontusio cerebri akibat trauma fokal pada bayi besar dan cukup
bulan atau oleh ensepalopati metabolik.C. TonikBerupa pergerakan
tonik satu ekstrimitas atau pergerakan tonik umum dengan ekstensi
lengan dan tungkai yang menyerupai deserebrasi atau ekstensi
tungkai dan fleksi lengan bawah dengan bentuk dekortikasi.D.
Tonik-klonik /Grand malSecara tiba-tiba penderita akan jatuh
disertai dengan teriakan, pernafasan terhenti sejenak kemudian
diiukti oleh kekauan tubuh. Setelah itu muncul gerakan kejang
tonik-klonik (gerakan tonik yag disertai dengan relaksaki). Pada
saat serangan, penderita tidak sadar, bisa menggigit lidah atau
bibirnya sendiri, dan bisa sampai mengompol. Pasca serangan,
penderita akan sadar secara perlahan dan merasakan tubuhnya terasa
lemas dan biasanya akan tertidur setelahnya.E. MioklonikBangkitan
mioklonik muncul akibat adanya gerakan involuntar sekelompok otot
skelet yang muncul secara tiba-tiba dan biasanya hanya berlangsung
sejenak. Gambaran klinis yang terlihat adalah gerakan ekstensi dan
fleksi lengan atau keempat anggota gerak yang berulang dan
terjadinya cepat.F. AtonikBangkitan ini jarang terjadi. Biasanya
penderita akan kehilangan kekuatan otot dan terjatuh secara
tiba-tiba.3. Tak TergolongkanKlasifikasi untuk epilepsi dan sindrom
epilepsi yakni,1. Berkaitan dengan lokasi kelainannya (localized
related)a) Idiopatik (primer)b) Simtomatik (sekunder)c)
Kriptogenik2. Epilepsi umum dan berbagai sindrom epilepsi berurutan
sesuai dengan peningkatan usia.a. Idiopatik (primer)b. Kriptogenik
atau simtomatik sesuai dengan peningkatan usia (sindrom west,
syndrome lennox-gasraut, epilepsi lena mioklonik dan epilepsi
mioklonik-astatik)3. Simtomatik Epilepsi dan sindrom yang tak dapat
ditentukan fokal dan umum.1. Bangkitan umum dan fokal.2. Tanpa
gambaran tegas fokal atau umum.3. Sindrom khusus : bangkitan yang
berkaitan dengan situasi tertentu. kejang demam. status epileptikus
yang hanya timbul sekali (isolated). bangkitan yang hanya terjadi
karena alkohaol, obat-obatan, eklamsi atau hiperglikemik non
ketotik.4. Epilepsi refrektorik.Patofisiologi
Skema bab 2.1 patofisiologiMenurut para peneliti bahwa sebagian
besar kejang epilepsi berasal dari sekumpulan sel neuron yang
abnormal di otak, yang melepas muatan secara berlebihan dan
hypersinkron. Kelompok sel neuron yang abnormal ini, yang disebut
juga sebagai fokus epileptik mendasari semua jenis epilepsi, baik
yang umum maupun yang fokal (parsial). Lepas muatan listrik ini
kemudian dapat menyebar melalui jalur-jalur fisiologis-anatomis dan
melibatkan daerah disekitarnya atau daerah yang lebih jauh adalah
yang terdapar di bagian otak. Tidak semua sel neuron di susunan
saraf pusat dapat mengakibatkan kejang epilepsi klinik, walaupun ia
melepas muatan listrik berlebihan. Sel neuron diserebellum di
bagian bawah batang otak dan di medulla spinalis, walaupun mereka
dapat melepaskan muatan listrik berlebihan, namun posisi mereka
menyebabkan tidak mampu mengakibatkan kejang epilepsi. Sampai saat
ini belum terungkap dengan pasti mekanisme apa yang mencetuskan
sel-sel neuron untuk melepas muatan secara sinkron dan berlebihan.
Mekanisme terjadinya epilepsi ditandai dengan gangguan paroksimal
akibat penghambatan neuron yang tidak normal atau ketidakseimbangan
antara neurotransmiter eksitatori dan inhibitori. Defisiensi
neurotransmiter inhibitori seperti Gamma Amino Butyric Acid (GABA)
atau peningkatan neurotransmiter eksitatori seperti glutamat
menyebabkan aktivitas neuron tidak normal. Neurotransmiter
eksitatori (aktivitas pemicu kejang) yaitu, glutamat, aspartat,
asetil kolin, norepinefrin, histamin, faktor pelepas kortikotripin,
purin, peptida, sitokin dan hormon steroid. Neurotransmiter
inhibitori (aktivitas menghambat neuron) yaitu, dopamin dan Gamma
Amino Butyric Acid (GABA). Serangan kejang juga diakibatkan oleh
abnormalitas konduksi kalium, kerusakan kanal ion, dan defisiensi
ATP ase yang berkaitan dengan transport ion, dapat menyebabkan
ketidak stabilan membran neuron. Aktivitas glutamat pada
reseptornya (AMPA) dan (NMDA) dapat memicu pembukaan kanal Na+.
Pembukaan kanal Na ini diikuti oleh pembukaan kanal Ca2+, sehingga
ion-ion Na+ dan Ca2+ banyak masuk ke intrasel. Akibatnya, terjadi
pengurangan perbedaan polaritas pada membran sel atau yang disebut
juga dengan depolarisasi. Depolarisasi ini penting dalam penerusan
potensial aksi sepanjang sel syaraf. Depolarisasi berkepanjangan
akibat peningkatan glutamat pada pasien epilepsi menyebabkan
terjadinya potensial aksi yang terus menerus dan memicu aktivitas
sel-sel syaraf. Beberapa obat-obat antiepilepsi bekerja dengan cara
memblokade atau menghambat reseptor AMPA (alpha amino 3 Hidroksi 5
Methylosoxazole- 4-propionic acid) dan menghambat reseptor NMDA
(N-methil D-aspartat). Interaksi antara glutamat dan reseptornya
dapat memicu masuknya ion-ion Na+ dan Ca2+ yang pada akhirnya dapat
menyebabkan terjadinya potensial aksi. Namun felbamat (antagonis
NMDA) dan topiramat (antagonis AMPA) bekerja dengan berikatan
dengan reseptor glutamat, sehingga glutamat tidak bisa berikatan
dengan reseptornya. Efek dari kerja kedua obat ini adalah
menghambat penerusan potensial aksi dan menghambat aktivitas
sel-sel syaraf yang teraktivasi. Patofisiologi epilepsi meliputi
ketidakseimbangan kedua faktor ini yang menyebabkan instabilitas
pada sel-sel syaraf tersebut. Gajala Klinis
1. Gajala kejang yang spesifik, tergantung pada jenis kejang.
Jenis kejang pada setiap pasien dapat bervariasi, namun cenderung
sama.2. Somato sensori atau motor fokal terjadi pada kejang
kompleks parsial.3. Kejang kompleks parsial terjadi gangguan
kesadaran.4. Kejang absens mempunyai efek yang ringan dengan
gangguan kesadaran yang singkat.5. Kejang tonik-klonik umum
mempunyai episode kejang yang lama dan terjadi kehilangan
kesadaran. Kejang parsial simplek seranagan di mana pasien akan
tetap sadar. Pasien akan mengalami gejala berupa: deja vu: perasaan
di mana pernah melakukan sesuatu yang sama sebelumnya. Perasaan
senang atau takut yang muncul secara tiba-tiba dan tidak dapat
dijelaskan Perasaan seperti kebas, tersengat listrik atau
ditusuk-tusuk jarum pada bagian tubih tertentu. Gerakan yang tidak
dapat dikontrol pada bagian tubuh tertentu Halusinasi Kejang
parsial (psikomotor). kompleks Serangan yang mengenai bagian otak
yang lebih luas dan biasanya bertahan lebih lama. Pasien mungkin
hanya sadar sebagian dan kemungkinan besar tidak akan mengingat
waktu serangan. Gejalanya meliputi: Gerakan seperti mencucur atau
mengunyah Melakukan gerakan yang sama berulang-ulang atau memainkan
pakaiannya Melakukan gerakan yang tidak jelas artinya, atau
berjalan berkeliling dalam keadaan seperti sedang bingung Gerakan
menendang atau meninju yang berulang-ulang Berbicara tidak jelas
seperti menggumam.
Kejang tonik klonik (epilepsy grand mal)Merupakan tipe kejang
yang paling sering, di mana terdapat dua tahap: tahap tonik atau
kaku diikuti tahap klonik atau kelonjotan. Pada serangan jenis ini
pasien dapat hanya mengalami tahap tonik atau klonik saja. Serangan
jenis ini biasa didahului serangan berupa: merasa sakit perut,
kunang-kunang, telinga berdengung. Pada tahap tonik pasien dapat:
kehilangan kesadaran, kehilangan keseimbangan dan jatuh karena otot
yang menegang, berteriak tanpa alasan yang jelas, menggigit pipi
bagian dalam atau lidah. Pada saat fase klonik: terjaadi kontraksi
otot yang berulang dan tidak terkontrol, mengompol atau buang air
besar yang tidak dapat dikontrol, pasien tampak sangat pucat,
pasien mungkin akan merasa lemas, letih ataupun ingin tidur setelah
serangan semacam ini.Penegakan Diagnosisada 3 langkah untuk menuju
diagnosis epilepsi, yaitu:1. Memastikan apakah kejadian yang
bersifat paroksismal menuju bangkitan epilepsi atau bukan
epilepsi.2. Apabila benar bangkitan epilepsi, tentukan jenis
bangkitan3. Pastikan epilepsi apa yang diderita oleh pasien dan
tentukan etiologinya. Diagnosis epilepsi didasarkan atas anamnesis
dan pemeriksaan fisik dengan hasil pemeriksaan EEG dan radiologis.
Anamnesis harus dilakukan secara cermat, rinci dan menyeluruh.
Anamnesis menanyakan tentang riwayat trauma kepala dengan
kehilangan kesadaran, meningitis, ensefalitis, gangguan metabolik,
malformasi vaskuler dan penggunaan obat-obatan tertentu. Anamnesis
(auto dan heteroanamnesis), meliputi: Pola / bentuk serangan Lama
serangan- Gejala sebelum, selama dan paska serangan Frekuensi
serangan- Faktor pencetus- Ada / tidaknya penyakit lain yang
diderita sekarang Usia saat serangan terjadinya pertama Riwayat
kehamilan, persalinan dan perkembangan Riwayat penyakit, penyebab
dan terapi sebelumnya Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga.
Pemeriksaan fisik umum dan neurologis Melihat adanya tanda-tanda
dari gangguan yang berhubungan dengan epilepsi, seperti trauma
kepala, infeksi telinga atau sinus, gangguan kongenital, gangguan
neurologik fokal atau difus. Pemeriksaan fisik harus menepis
sebab-sebab terjadinya serangan dengan menggunakan umur dan riwayat
penyakit sebagai pegangan. Pada anak-anak pemeriksa harus
memperhatikan adanya keterlambatan perkembangan, organomegali,
perbedaan ukuran antara anggota tubuh dapat menunjukkan awal
gangguan pertumbuhan otak unilateral. Pemeriksaan penunjang a.
Elektro ensefalografi (EEG) Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada
semua pasien epilepsi dan merupakan pemeriksaan penunjang yang
paling sering dilakukan untuk rnenegakkan diagnosis epilepsi. Akan
tetapi epilepsi bukanlah gold standard untuk diagnosis. Hasil EEG
dikatakan bermakna jika didukung oleh klinis. Adanya kelainan fokal
pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya lesi struktural di otak,
sedangkan adanya kelainan umum pada EEG menunjukkan kemungkinan
adanya kelainan genetik atau metabolik. Rekaman EEG dikatakan
abnormal.b. Hiponatremia, hipoglikemia, hipomagnesia, uremia dan
hepatic encefalopati dapat mencetuskan timbulnya serangan kejang.
Pemeriksaan serum elektrolit bersama dengan glukosa, kalsium dan
magnesium. Blood urea nitrogen kreatinin dan test fungsi hepar
mungkin dapat memberikan petunjuk yang sangat berguna. Pemeriksaan
toksikologi serum dan urin juga sebaiknya dilakukan bila dicurigai
adanya drug abuse.c. Rekaman video EEG dan video secara simultan
pada seorang penderita yang sedang mengalami serangan dapat
meningkatkan ketepatan diagnosis dan lokasi sumber serangan.
Rekaman video EEG memperlihatkan hubungan antara fenomena klinis
dan EEG, serta memberi kesempatan untuk mengulang kembali gambaran
klinis yang ada. Prosedur yang mahal ini sangat bermanfaat untuk
penderita yang penyebabnya belum diketahui secara pasti, serta
bermanfaat pula untuk kasus epilepsi refrakter. Penentuan lokasi
fokus epilepsi parsial dengan prosedur ini sangat diperlukan pada
persiapan operasi.2) Asimetris irama dan voltase gelombang pada
daerah yang sama di kedua hemisfer otak.3) Irama gelombang tidak
teratur, irama gelombang lebih lambat dibanding seharusnya misal
gelombang delta.4) Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat
pada anak normal, misalnya gelombang tajam, paku (spike), dan
gelombang lambat yang timbul secara paroksimal.
c. Pemeriksaan Radiologis Pemeriksaan yang dikenal dengan
istilah neuro imaging bertujuan untuk melihat struktur otak dan
melengkapi data EEG. Bila dibandingkan dengan CT Scan maka MRl
lebih sensitif dan secara anatomik akan tampak lebih rinci. MRI
bermanfaat untuk membandingkan hipokampus kanan dan kiri serta
untuk membantu terapi pembedahan. EEG (electroencephalogram) sangat
berguna dalam diagnosis berbagai macam jenis epilepsi.
Diagnosis Banding1. Pada neonatus Jittering Apneic spell2. Pada
anak Breath holding spells Sinkope Migren Bangkitan psikogenik/
konversi Prolonged QT syndrome Night tremor Tics Hypercianotic
attack (pada tetralogi of fallot)3. Pada dewasa Sinkope TIA Vertigo
Transient global amnesia Narkolepsi Bangkitan panic Syndrome
meniere ticsTerapiJenis bangkitanOAE lini pertamaOAE lini keduaOAE
yang dipertimbangkanOAE yang dihindari
Bangkitan klonikSodium, valproate, lamotrigineClobazam,
levetiracetam, topiramatePhenobarbital, phenytoinCarbamazepine,
oxcarbazepine
Bangkitan atonikSodium valproate, lamotrigineClobazam,
levetiracetam, topiramatePhenobarbital, acetazolamideCarbamazepin,
oxcarbazepine, phenytoin
Bangkitan fokal dengan/ tanpa umum sekunderCarbamazepine,
oxcarbazepine, sodium valproat, topiramate, lamotrigine Clobazam,
gabapentin, levetiracetam, phenytoin, tiagabineClonazepam,
Phenobarbital, acetazolamide
Bangkitan umum tonik klonikSodium valproat, lamotrigine,
topiramate, carbamazepineClobazam, levetiracetam, oxcarbazepine
Clonazepam, phenobarbital, phenitoin, acetazolamide
Bangkitan lenaSodium valproat, lamotrigineClobazam,
topiramate,Carbamazepine, gabapentin, oxcarbazepine
Bangkitan mioklonikSodium valproat, lamotrigineClobazam,
topiramate, levetiracetam, lamotrigine, piracetamCarbamazepine,
gabapentin, oxcarbazepine
Terapi Status epileptikus merupakan kondisi kegawat daruratan
yang memerlukan pengobatan yang tepat untuk meminimalkan kerusakan
neurologik permanen maupun kematian . Definisi dari status
epileptikus yaitu serangan lebih dari 30 menit, akan tetapi untuk
penanganannya dilakukan bila sudah lebih dari 5-10 menit. Algoritme
manajemen status epileptikus Tujuan terapi epilepsi adalah
tercapainya kualitas hidup optimal untuk pasien.Prinsip terapi
farmakologi epilepsi yakni: OAE mulai diberikan bila diagnosis
epilepsi sudah dipastikan, terdapat minimal dua kali bangkitan
dalam setahun, pasien dan keluarga telah mengetahui tujuan
pengobatan dan kemungkinan efek sampingnya. Terapi dimulai dengan
monoterapi. Pemberian obat dimulai dari dosis rendah dan dinaikkan
bertahap sampai dosis efektif tercapai atau timbul efek samping;
kadar obat dalam plasma ditentukan bila bangkitan tidak terkontrol
dengan dosis efektif. Bila dengan penggunaan dosis maksimum OAE
tidak dapat mengontrol bangkitan, ditambahkan OAE kedua. Bila OAE
kedua telah mencapai kadar terapi, maka OAE pertama diturunkan
bertahap perlahan-lahan. Penambahan OAE ketiga baru dilakukan
setelah terbukti bangkitan tidak dapat diatasi dengan pengguanaan
dosis maksimal kedua OAE pertama. Pasien dengan bangkitan tunggal
direkomendasikan untuk dimulai terapi bila kemungkinan kekambuhan
tinggi , yaitu bila: dijumpai fokus epilepsi yang jelas pada EEG,
terdapat riwayat epilepsi saudara sekandung, riwayat trauma kepala
disertai penurunan kesadaran, bangkitan pertama merupakan status
epileptikus. Prinsip mekanisme kerja obat anti epilepsi :
Meningkatkan neurotransmiter inhibisi (GABA) Menurunkan eksitasi:
melalui modifikasi konduksi ion: Na+, Ca2+, K+, dan Cl- atau
aktivitas neurotransmiter. Penghentian pemberian OAE Pada anak-anak
penghentian OAE secara bertahap dapat dipertimbangkan setelah 2
tahun bebas serangan . Syarat umum menghentikan OAE adalah sebagai
berikut: Penghentian OAE dapat didiskusikan dengan pasien atau
keluarganya setelah minimal 2 tahun bebas bangkitan. Harus
dilakukan secara bertahap, pada umumnya 25% dari dosis semula,
setiap bulan dalam jangka waktu 3-6 bulan. Bila digunakan lebih
dari satu OAE, maka penghentian dimulai dari satu OAE yang bukan
utama Obat ezogabine merupakan obat baru dan memiliki mekanisme
kerja sebagai pembuka saluran kalium, mengaktivasi gerbang saluran
kalium di otak. Akan tetapi mekanisme unik ini memiliki beberapa
efek toksik yang biasanya tidak terdapat pada obat kejang lainnya
seperti retensi urin. Hal inilah yang menyebabkan US Food and Drug
Administrations (FDAs) masih mempertimbangkan obat ini. Pemilihan
OAE pada pasien anak berdasarkan bentuk bangkitan dan sindrom
Mekanisme kerja OAE.
Penggolongan obat antiepilepsi(1) HidantoinFenitoinFenitoin
merupakan obat pilihan pertama untuk kejang umum, kejang
tonik-klonik, dan pencegahan kejang pada pasien trauma kepala/bedah
saraf. Fenitoin memiliki range terapetik sempit sehingga pada
beberapa pasien dibutuhkan pengukuran kadar obat dalam darah.
Mekanisme aksi fenitoin adalah dengan menghambat kanal sodium (Na+)
yang mengakibatkan influk (pemasukan) ion Na+ kedalam membran sel
berkurang. dan menghambat terjadinya potensial aksi oleh
depolarisasi terus-menerus pada neuron. Dosis awal penggunaan
fenitoin 5 mg/kg/hari dan dosis pemeliharaan 20 mg/kg/hari tiap 6
jam. Efek samping yang sering terjadi pada penggunaan fenitoin
adalah depresi pada SSP, sehingga mengakibatkan lemah, kelelahan,
gangguan penglihatan (penglihatan berganda), disfungsi korteks dan
mengantuk. Pemberian fenitoin dosis tinggi dapat menyebabkan
gangguan keseimbangan tubuh dan nystagmus. Salah satu efek samping
kronis yang mungkin terjadi adalah gingival hyperplasia (pembesaran
pada gusi). Menjaga kebersihan rongga mulut dapat mengurangi resiko
gingival hyperplasia.(2) BarbituratFenobarbitalFenobarbital
merupakan obat yang efektif untuk kejang parsial dan kejang
tonik-klonik. Efikasi, toksisitas yang rendah, serta harga yang
murah menjadikan fenobarbital obat yang penting utnuk tipe-tipe
epilepsi ini. Namun, efek sedasinya serta kecenderungannya
menimbulkan gangguan perilaku pada anak-anak telah mengurangi
penggunaannya sebagai obat utama. Aksi utama fenobarbital terletak
pada kemampuannya untuk menurunkan konduktan Na dan K. Fenobarbital
menurunkan influks kalsium dan mempunyai efek langsung terhadap
reseptor GABA (aktivasi reseptor barbiturat akan meningkatkan
durasi pembukaan reseptor GABAA dan meningkatkan konduktan
post-sinap klorida). Selain itu, fenobarbital juga menekan
glutamate excitability dan meningkatkan postsynaptic GABA ergic
inhibition. Dosis awal penggunaan fenobarbital 1-3 mg/kg/hari dan
dosis pemeliharaan 10-20 mg/kg 1kali sehari. Efek samping SSP
merupakan hal yang umum terjadi pada penggunaan fenobarbital. Efek
samping lain yang mungkin terjadi adalah kelelahan, mengantuk,
sedasi, dan depresi. Penggunaan fenobarbital pada anak-anak dapat
menyebabkan hiperaktivitas. Fenobarbital juga dapat menyebabkan
kemerahan kulit, dan Stevens-Johnson syndrome.(3)
DeoksibarbituratPrimidonPrimidon digunakan untuk terapi kejang
parsial dan kejang tonik-klonik. Primidon mempunyai efek penurunan
pada neuron eksitatori. Efek anti kejang primidon hampir sama
dengan fenobarbital, namun kurang poten. Didalam tubuh primidon
dirubah menjadi metabolit aktif yaitu fenobarbital dan
feniletilmalonamid (PEMA). PEMA dapat meningkatkan aktifitas
fenobarbital. Dosis primidon 100-125 mg 3 kali sehari. Efek samping
yang sering terjadi antara lain adalah pusing, mengantuk,
kehilangan keseimbangan, perubahan perilaku, kemerahan dikulit, dan
impotensi.(4) Iminostilben(a) KarbamazepinKarbamazepin secara kimia
merupakan golongan antidepresan trisiklik. Karbamazepin digunakan
sebagai pilihan pertama pada terapi kejang parsial dan
tonik-klonik. Karbamazepin menghambat kanal Na+, yang mengakibatkan
influk (pemasukan) ion Na+ kedalam membran sel berkurang dan
menghambat terjadinya potensial aksi oleh depolarisasi
terus-menerus pada neuron. Dosis pada anak dengan usia kurang dari
6 tahun 10-20 mg/kg 3 kali sehari, anak usia 6-12 tahun dosis awal
200 mg 2 kali sehari dan dosis pemeliharaan 400-800 mg. Sedangkan
pada anak usia lebih dari 12 tahun dan dewasa 400 mg 2 kali sehari.
Efek samping yang sering terjadi pada penggunaan karbamazepin
adalah gangguan penglihatan (penglihatan berganda), pusing, lemah,
mengantuk, mual, goyah (tidak dapat berdiri tegak) dan
Hyponatremia. Resiko terjadinya efek samping tersebut akan
meningkat seiring dengan peningkatan usia.(b)
OkskarbazepinOkskarbazepin merupakan analog keto karbamazepin.
Okskarbazepin merupakan prodrug yang didalam tubuh akan segera
dirubah menjadi bentuk aktifnya, yaitu suatu turunan
10-monohidroksi dan dieliminasi melalui ekskresi ginjal.
Okskarbazepin digunakan untuk pengobatan kejang parsial. Mekanisme
aksi okskarbazepin mirip dengan mekanisme kerja karbamazepin. Dosis
penggunaan okskarbazepin pada anak usia 4-16 tahun 8-10mg/kg 2 kali
sehari sedangkan pada dewasa, 300 mg 2 kali sehari. Efek samping
penggunaan okskarbazepin adalah pusing, mual, muntah, sakit kepala,
diare, konstipasi, dispepsia, ketidak seimbangan tubuh, dan
kecemasan. Okskarbazepin memiliki efek samping lebih ringan
dibanding dengan fenitoin, asam valproat, dan karbamazepin.
Okskarbazepin dapat menginduksi enzim CYP450.(5)
SuksimidEtosuksimidEtosuksimid digunakan pada terapi kejang absens.
Kanal kalsium merupakan target dari beberapa obat antiepilepsi.
Etosuksimid menghambat pada kanal Ca2+ tipe T. Talamus berperan
dalam pembentukan ritme sentakan yang diperantarai oleh ion Ca2+
tipe T pada kejang absens, sehingga penghambatan pada kanal
tersebut akan mengurangi sentakan pada kejang absens. Dosis
etosuksimid pada anak usia 3-6 tahun 250 mg/hari untuk dosis awal
dan 20 mg/kg/hari untuk dosis pemeliharaan. Sedangkan dosis pada
anak dengan usia lebih dari 6 tahun dan dewasa 500 mg/hari. Efek
samping penggunaan etosuksimid adalah mual dan muntah, efek samping
penggunaan etosuksimid yang lain adalah ketidakseimbangan tubuh,
mengantuk, gangguan pencernaan, goyah (tidak dapat berdiri tegak),
pusing dan cegukan.(6) Asam valproatAsam valproat merupakan pilihan
pertama untuk terapi kejang parsial, kejang absens, kejang
mioklonik, dan kejang tonik-klonik. Asam valproat dapat
meningkatkan GABA dengan menghambat degradasi nya atau mengaktivasi
sintesis GABA. Asam valproat juga berpotensi terhadap respon GABA
post sinaptik yang langsung menstabilkan membran serta mempengaruhi
kanal kalium. Dosis penggunaan asam valproat 10-15 mg/kg/hari (11).
Efek samping yang sering terjadi adalah gangguan pencernaan
(>20%), termasuk mual, muntah, anorexia, dan peningkatan berat
badan. Efek samping lain yang mungkin ditimbulkan adalah pusing,
gangguan keseimbangan tubuh, tremor, dan kebotakan. Asam valproat
mempunyai efek gangguan kognitif yang ringan. Efek samping yang
berat dari penggunaan asam valproat adalah hepatotoksik.
Hyperammonemia (gangguan metabolisme yang ditandai dengan
peningkatan kadar amonia dalam darah) umumnya terjadi 50%, tetapi
tidak sampai menyebabkan kerusakan hati.Interaksi valproat dengan
obat antiepilepsi lain merupakan salah satu masalah terkait
penggunaannya pada pasien epilepsi. Penggunaan fenitoin dan
valproat secara bersamaan dapat meningkatkan kadar fenobarbital dan
dapat memperparah efek sedasi yang dihasilkan. Valproat sendiri
juga dapat menghambat metabolisme lamotrigin, fenitoin, dan
karbamazepin. Obat yang dapat menginduksi enzim dapat meningkatkan
metabolisme valproat. Hampir 1/3 pasien mengalami efek samping obat
walaupun hanya kurang dari 5% saja yang menghentikan penggunaan
obat terkait efek samping tersebut.(7) BenzodiazepinBenzodiazepin
digunakan dalam terapi kejang. Benzodiazepin merupakan agonis
GABAA, sehingga aktivasi reseptor benzodiazepin akan meningkatkan
frekuensi pembukaan reseptor GABAA. Dosis benzodiazepin untuk anak
usia 2-5 tahun 0,5 mg/kg, anak usia 6-11 tahun 0,3 mg/kg, anak usia
12 tahun atau lebih 0,2 mg/kg, dan dewasa 4-40 mg/hari. Efek
samping yang mungkin terjadi pada penggunaan benzodiazepin adalah
cemas, kehilangan kesadaran, pusing, depresi, mengantuk, kemerahan
dikulit, konstipasi, dan mual.(8) Obat antiepilepsi lain(a)
GabapentinGabapentin merupakan obat pilihan kedua untuk penanganan
parsial epilepsi walaupun kegunaan utamanya adalah untuk pengobatan
nyeri neuropati Uji double-blind dengan kontrol plasebo pada
penderita seizure parsial yang sulit diobati menunjukkan bahwa
penambahan gabapentin pada obat antiseizure lain leibh unggul dari
pada plasebo. Penurunan nilai median seizure yang diinduksi oleh
gabapentin sekitar 27% dibandingkan dengan 12% pada plasebo.
Penelitian double-blind monoterapi gabapentin (900 atau 1800
mg/hari) mengungkapkan bahwa efikasi gabapentin mirip dengan
efikasi karbamazepin (600 mg/hari). Gabapentin dapat meningkatkan
pelepasan GABA nonvesikel melalui mekanisme yang belum diketahui.
Gabapentin mengikat protein pada membran korteks saluran Ca2+ tipe
L. Namun gabapentin tidak mempengaruhi arus Ca2+ pada saluran Ca2+
tipe T, N, atau L. Gabapentin tidak selalu mengurangi perangsangan
potensial aksi berulang terus-menerus. Dosis gabapentin untuk anak
usia 3-4 tahun 40 mg/kg 3 kali sehari, anak usia 5-12 tahun 25-35
mg/kg 3 kali sehari, anak usia 12 tahun atau lebih dan dewasa 300
mg 3 kali sehari. Efek samping yang sering dilaporkan adalah
pusing, kelelahan, mengantuk, dan ketidakseimbangan tubuh. Perilaku
yang agresif umumnya terjadi pada anak-anak. Beberapa pasien yang
menggunakan gabapentin mengalami peningkatan berat badan.(b)
LamotriginLamotrigin merupakan obat antiepilepsi generasi baru
dengan spektrum luas yang memiliki efikasi pada parsial dan
epilepsi umum. Lamotrigin tidak menginduksi atau menghambat
metabolisme obat anti epilepsi lain. Mekanisme aksi utama
lamotrigin adalah blokade kanal Na, menghambat aktivasi arus Ca2+
serta memblok pelepasan eksitasi neurotransmiter asam amino seperti
glutamat dan aspartat. Dosis lamotrigin 25-50 mg/hari. Penggunaan
lamotrigin umumnya dapat ditoleransi pada pasien anak, dewasa,
maupun pada pasien geriatri. Efek samping yang sering dilaporkan
adalah gangguan penglihatan (penglihatan berganda), sakit kepala,
pusing, dan goyah (tidak dapat berdiri tegak). Lamotrigin dapat
menyebabkan kemerahan kulit terutama pada penggunaan awal terapi
3-4 minggu. Stevens-Johnson syndrome juga dilaporkan setelah
menggunakan lamotrigin.(c) LevetirasetamLevetiracetam mudah larut
dalam air dan merupakan derifat pyrrolidone
((S)-ethyl-2-oxo-pyrrolidine acetamide). Levetirasetam digunakan
dalam terapi kejang parsial, kejang absens, kejang mioklonik,
kejang tonik-klonik. Mekanisme levetirasetam dalam mengobati
epilepsi belum diketahui. Namun pada suatu studi penelitian
disimpulkan levetirasetam dapat menghambat kanal Ca2+ tipe N dan
mengikat protein sinaptik yang menyebabkan penurunan eksitatori
(atau meningkatkan inhibitori). Proses pengikatan levetiracetam
dengan protein sinaptik belum diketahui. Dosis levetirasetam
500-1000 mg 2 kali sehari. Efek samping yang umum terjadi adalah
sedasi, gangguan perilaku, dan efek pada SSP. Gangguan perilaku
seperti agitasi, dan depresi juga dilaporkan akibat penggunaan
levetirasetam.
(d) TopiramatTopiramat digunakan tunggal atau tambahan pada
terapi kejang parsial, kejang mioklonik, dan kejang tonik-klonik.
Topiramat mengobati kejang dengan menghambat kanal sodium (Na+),
meningkatkan aktivitas GABAA, antagonis reseptor glutamat
AMPA/kainate, dan menghambat karbonat anhidrase yang lemah. Dosis
topiramat 25-50 mg 2 kali sehari. Efek samping utama yang mungkin
terjadi adalah gangguan keseimbangan tubuh, sulit berkonsentrasi,
sulit mengingat, pusing, kelelahan, paresthesias (rasa tidak enak
atau abnormal). Topiramat dapat menyebabkan asidosis metabolik
sehingga terjadi anorexia dan penurunan berat badan.(e)
TiagabinTiagabin digunakan untuk terapi kejang parsial pada dewasa
dan anak 16 tahun. Tiagabin meningkatkan aktivitas GABA, antagonis
neuron atau menghambat reuptake GABA. Dosis tiagabin 4 mg 1-2 kali
sehari. Efek samping yang sering terjadi adalah pusing, asthenia
(kekurangan atau kehilangan energi), kecemasan, tremor, diare dan
depresi. Penggunaan tiagabin bersamaan dengan makanan dapat
mengurangi efek samping SSP.(f) FelbamatFelbamat bukan merupakan
pilihan pertama untuk terapi kejang, felbamat hanya digunakan bila
terapi sebelumnya tidak efektif dan pasien epilepsi berat yang
mempunyai resiko anemia aplastik. Mekanisme aksi felbamat
menghambat kerja NMDA dan meningkatkan respon GABA. Dosis felbamat
untuk anak usia lebih dari 14 tahun dan dewasa 1200 mg 3-4 kali
sehari . Efek samping yang sering dilaporkan terkait dengan
penggunaan felbamat adalah anorexia, mual, muntah, gangguan tidur,
sakit kepala dan penurunan berat badan. Anorexia dan penurunan
berat badan umumnya terjadi pada anak-anak dan pasien dengan
konsumsi kalori yang rendah. Resiko terjadinya anemia aplastik akan
meningkat pada wanita yang mempunyai riwayat penyakit cytopenia.(g)
ZonisamidZonisamid merupakan suatu turunan sulfonamid yang
digunakan sebagai terapi tambahan kejang parsial pada anak lebih
dari 16 tahun dan dewasa. Mekanisme aksi zonisamid adalah dengan
menghambat kanal kalsium (Ca2+) tipe T. Dosis zonisamid 100 mg 2
kali sehari. Efek samping yang umum terjadi adalah mengantuk,
pusing, anorexia, sakit kepala, mual, dan agitasi. Di United Stated
26% pasien mengalami gejala batu ginjal.Kemungkinkan kekambuhan
setelah penghentian OAE- Usia semakin tua, semakin tinggi
kemungkinan kekambuhannya.- Epilepsi simtomatik- Gambaran EEG
abnormal- Semakin lamanya bangkitan belum dapat dikendalikan.-
Penggunaan OAE lebih dari 1- Masih mendaptkan satu atau lebih
bangkitan setelah memulai terapi- Mendapat terapi 10 tahun atau
lebih.- Kekambuhan akan semakin kecil kemungkinanya bila penderita
telah bebas bangkitan selama 3-5 tahun atau lebih dari 5 tahun.
Bila bangkitan timbul kembali maka pengobatan menggunakan dosis
efektif terakhir, kemudian evaluasi.
NOTE KHUSUSPenatalaksanaan untuk status epileptikus1. Stadium I
(0-10 menit)- memperbaiki fungsi kardio dan respirasi- memperbaiki
jalan nafas, oksigenasi dan resusitasi bila diperlukan.2. Stadium
II (1-60 menit)- pemeriksaan status neurologik- pengukuran tekanan
darah, nadi dan suhu- pemeriksaan EEG- pasang infus- ambil 50-100cc
darah untuk pemeriksaan laborat- pemberian OAE cito : diazepam
0.2mg/kg dengan kecepatan pemberian 5 mg/ menit IV dapat diulang
lagi bila kejang masih berlangsung setelah 5 menit pemberian.- Beri
50cc glukosa- Pemberian tiamin 250mg intravena pada pasien
alkoholisme- Menangani asidosis dengan bikarbonat.3. Stadium III
90-60/90 menit- menentukan etiologi- bila kejang terus berkangsung
setekah pemberian lorazepam/diazepam, beri phenitoin IV 15-20mg/kg
dengan kecepatan kuranglebih 50mg/menit sambil monitoring tekanan
darah.- Atau dapat pula diberikan Phenobarbital 10mg/kg dengan
kecepatan kurang lebih 10mg/menit (monitoring pernafasan saat
pemberian)- Terapi vasopresor (dopamin) bila diperlukan.-
Mongoreksi komplikasi4. Stadium IV (30-90 menit)- Bila tetap
kejang, pindah ke ICU- Beri propofol (2mg/kgBB bolus iv, diulang
bila perlu)Tabel II. Pilihan obat untuk gangguan kejang
spesifikTipe seizure Terapi pilihan pertamaObat alternatif
Seizure parsialKarbamazepinFenitoinLamotriginAsam
valproatokskarbanzepinGabapentinTopiramatLevetiracetamZonisamidTiagabinPrimidonFenobarbitalFelbamat
kejang umum AbsensAsam
valproatEtosuksimidLamotriginLevetiracetam
MioklonikAsam valproatKlonazepamLamotrigin,topiramat,felbamat,
zonisamid,levetiracetam
Tonik-klonikFenitoinKarbamazepinAsam
valproatLamotrigin,topiramat,
primidon,fenobarbital,okskarbanzepin,Levetiracetam
Komplikasi Kerusakan otak akibat hipoksia dan retardasi mental
Timbul depresi dan keadaan cemas (Elizabeth, 2001 : 174)
1. Pada KehamilanWanita epilepsi lebih cenderung memperoleh
komplikasi obstetrik dalam masa kehamilan dari pada wanita penduduk
rata-rata. Pengaruh epilepsi terhadap kehamilan yaitu:- Melahirkan
bayi prematur, didapat 4-11%- Berat badan lahir rendah, kurang dari
2500 gr, ditemukan pada 7 10%- Mikrosefal- Apgar skor yang
rendahHiilesmaa mengikuti 138 kehamilan wanita epilepsi
dibandingkan dengan 150 orang sebagai kontrol, yang sesuai adalah
umur, paritas, sosial ekenomi dan jenis kelamin fetus. Beberapa
peneliti tak dapat membuktikan bahwa komplikasi pada kehamilan
tidak lebih besar pada wanita epilepsi.
2. Pada PersalinanNeonatus wanita epilepsi yang hamil mengalami
lebih banyak resiko karena kesukaran yang akan dialami ketika
partus berjalan. Partus prematur lebih sering terjadi pada wanita
epilepsi. Penggunaan obat anti epilepsi mengakibatkan kontraksi
uterus yang melemah, ruptur membran yang terlalu dini. Oleh karena
itu maka partus wanita epilepsi hampir selalu harus dipimpin oleh
pakar obstetrik. Penggunaan firsep atau vakum sering dilakukan dan
juga seksio saesar.
Komplikasi persalinan baik untuk ibu dan bayi adalah:- Frekuensi
bangkitan meningkat 33%Perdarahan post partum meningkat 10%- Bayi
mempunyai risiko 3% berkembang menjadi epilepsi- Apabila tanpa
profilaksis vitamin K yang diberikan pada ibu, terdapat risiko 1)%
terjadi perdarahan perinatal pada bayi.
Daftar pustaka1. Browne TR., Holmes GL., 2000, Epilepsy:
Definitions and Background. In: Handbook of Epilepsy, 2nd edition,
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, P., 1-18.2. Fisher
RS., Boas WE., Blume W., Elger C., Genton P., Lee P., et al., 2005,
Epileptic seizures and epilepsy: definition proposed by the
International League Against Epilepsy (ILAE) and the International
Bureau for Epilepsy (IBE), Epilepsia; 46 (4): 470-2.3. Annegers
JF., 2001, The Epidemiology of Epilepsy. In: Wylie E, ed. The
Treatment of Epilepsy, 3d ed, Philadelphia, Lippincott Williams
& Wilkins, 131138.4. Goodman and Gilman, 2007, Dasar
Farmakologi Terapi, vol. 1, EGC, Jakarta, 506-531.5. Commission on
Classification and Terminology of the International League Against
Epilepsy, 1981, Proposal for Revised Clinical and
Electroencephalographic Classification of Epileptic Seizures,
Epilepsia, 22: 489501.6. Commission on Classification and
Terminology of the International League Against Epilepsy, 1982,
Proposal for Revised Classification of Epilepsies and Epileptic
Syndromes, Epilepsia, 30: 389399.7. Irani, Vidia, M., 2009,
Gambaran Efektivitas Antiepilepsi Pada Pasien Epilepsi Yang
Menjalani Rawat Inap Di Rsup Dr. Sardjito Yogyakarta, Universitas
Islam Indonesia, Yogyakarta, 41-70.8. Nordli, D.R., Pedley, De
Vivo, 2006, Buku Ajar Pediatri Rudolph volume 3, EGC, Jakarta,
1023, 1034, 2135-2138.9. Wibowo, S., dan Gofir, A., 2006, Obat
Antiepilepsi, Pustaka Cendekia Press, Yogyakarta, 85.10. Gidal,
B.E., and Garnett, W.R., 2005, Epilepsy, in Pharmacotherapy: A
Phathophisiology Approach, Dipiro, J.T., et al (eds) McGraw Hill,
New York, 1023-1048.11. Lacy, Charles F., 2009, Drug Information
Handbook, American Pharmacists Association.12. Dillon and Sander,
2003, Clinical Pharmacy and Therapeutics, Third edition, Churchill
livingstone, New York, 465-468, 472-477.13. Rainer Surges, Kirill
E., Volynski and Matthew C., Walker, 2008, Is Levetiracetam
Different from Other Antiepileptic Drugs? Levetiracetam and its
Cellular Mechanism of Action in Epilepsy Revisited Rainer Surges,
Therapeutic Advances in Neurological Disorders, 1(1) 13-24.14.
Weiner WJ., 1999, The Intial Treatment of Parkinsons Disease Should
Begin With Levodopa, Mov Disord, 14: 716724.15. McNemara, J.O.,
2008, Dasar Farmakologi Terapi, Edisi 10, vol 1, diterjemahkan oleh
alih bahasa sekolah farmasi ITB, EGC, Jakarta, 1517, 522, 524.16.
Harsono, 2007, Epilepsi, edisi kedua, Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta, 7-8, 65-66, 144.17. Mijasaki JM., Martin W.,
Suchowersky O., et al., 2002, Practice parameter: Initiation of
treatment for Parkinsons disease: An evidence based review,
Neurology, 58; 1117.