1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang selalu berusaha merefleksikan dirinya baik sebagai individu maupun sebagai makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial, manusia selalu berusaha berhubungan dengan orang lain dan berkomunikasi, hingga akhirnya menjadi bagian suatu kelompok masyarakat. Hubungan komunikasi dan sosial yang terjalin antarmanusia ini kemudian membentuk sebuah masyarakat budaya. Hingga pada akhirnya, suatu masyarakat budaya akan memiliki ciri khas masing – masing yang membedakannya dengan masyarakat budaya yang lain. Bahasa merupakan refleksi dari seluruh kebudayaan masyarakat penggunanya. Lebih lanjut lagi, bahasa adalah salah satu sarana penting bagi manusia untuk berkomunikasi dan berbudaya dalam suatu kelompok masyarakat. Oleh karena setiap budaya selalu memiliki
260
Embed
eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/47892/2/thesisrevisi.docx · Web viewpadi mulai tegak berdiri dan tumbuh subur dan menghijau lebat daunnya 5 mapak /mapak/ tinggi padi sudah
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang selalu berusaha
merefleksikan dirinya baik sebagai individu maupun sebagai makhluk sosial.
Sebagai makhluk sosial, manusia selalu berusaha berhubungan dengan orang lain
dan berkomunikasi, hingga akhirnya menjadi bagian suatu kelompok masyarakat.
Hubungan komunikasi dan sosial yang terjalin antarmanusia ini kemudian
membentuk sebuah masyarakat budaya. Hingga pada akhirnya, suatu masyarakat
budaya akan memiliki ciri khas masing – masing yang membedakannya dengan
masyarakat budaya yang lain.
Bahasa merupakan refleksi dari seluruh kebudayaan masyarakat
penggunanya. Lebih lanjut lagi, bahasa adalah salah satu sarana penting bagi
manusia untuk berkomunikasi dan berbudaya dalam suatu kelompok masyarakat.
Oleh karena setiap budaya selalu memiliki ciri khas masing – masing yang
membedakannya dengan budaya lain, maka bahasa yang digunakannya pun relatif
akan berbeda. Purwoko (2008b), dengan merujuk pada Hymes, menyatakan
bahwa bahasa merupakan petunjuk yang sifatnya simbolis terhadap budaya. Ini
bermakna bahwa kajian terhadap suatu bahasa akan bisa menuntun ke kebudayaan
para pengguna bahasa tersebut.
Setiap budaya mengandung pemaknaan masing – masing berdasar
konvensi masyarakat budayanya, demikian pula dengan bahasa. Sebagaimana
Casson (1981) menyatakan bahwa bahasa merupakan sistem makna simbolis,
2
begitu pula dengan kebudayaan. Lebih lanjut lagi ia menyatakan bahwa bahasa
adalah sistem tanda (simbol) yang berfungsi untuk mengkomunikasikan makna
dari satu konsep ke konsep lainnya. Demikian pula halnya dengan kebudayaan
yang merupakan simbol – simbol di mana di dalamnya terjadi hubungan antara
bentuk yang menandai dan makna yang ditandai.
Dari paparan di atas, tampaklah bahwa bahasa merupakan media budaya
bagi manusia. Dan oleh karenanya, bahasa berkaitan sangat erat dengan
kebudayaan. Keterkaitan ini menggelitik ahli budaya/antropolog untuk lebih
mengkaji tentang bahasa sebagai aspek kebudayaan, dan para linguis untuk lebih
memperhatikan kebudayaan para penutur bahasa sebagai faktor penentu
penggunaan bahasa. Dari pemikiran tersebut lahirlah ilmu interdisipliner antara
ilmu kebudayaan dan ilmu bahasa yang disebut sebagai linguistik antropologi.
Linguistik antropologi, atau kerap disebut juga linguistik kebudayaan
atau etnolinguistik, berfokus pada kajian bahasa untuk meyingkap budaya khas
masyarakat pengguna bahasa. Kekhasan budaya berkaitan dengan ciri khas
kelokalan suatu masyarakat. Berdasar pemikiran bahwa penelitian bahasa dapat
dimanfaatkan untuk mengungkap budaya masyarakat penggunanya tersebut, maka
penulis tertarik untuk melakukan penelitian di bidang bahasa yang digunakan
masyarakat Kecamatan Sirampog, Kabupaten Brebes, Provinsi Jawa Tengah, dan
hubungannya dengan budaya masyarakat tersebut.
1.2 Rumusan Permasalahan
Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan dan
keanekaragaman suku bangsa, bahasa, seni, dan budaya. Bahasa Jawa merupakan
3
salah satu bahasa daerah di Indonesia yang memiliki banyak ragam dialek,
termasuk dialek ‘ngapak’ yang memiliki banyak penutur di wilayah Kebumen,
Banyumas, Brebes, hingga Pemalang. Dialek ini memiliki kekhasan dalam
pengucapan vokal a yang tetap dibaca /a/, dan tidak menggunakan pengucapan
vokal a yang dibaca /o/ pada bahasa Jawa standar Solo dan Yogya. Selain itu,
pengucapan bunyi ultima bila berakhiran fonem [g] atau [k] maka akan dibaca
jelas dengan bunyi /g/ dan /k/ yang tidak diucapkan demikian dalam bahasa Jawa
standar Yogya dan Solo. Kekhasan dialek ngapak juga kian beragam di setiap
daerah. Untuk kata yang bermakna ‘kenapa’ dalam bahasa Indonesia, dialek
‘ngapak’ memiliki beberapa kata yang khas digunakan di daerah yang berbeda,
yaitu: ‘kepriwe’ di Banyumas, ‘kepriben’ di Tegal, Pemalang dan Brebes, sedang
di Bumiayu dan Sirampog (wilayah kabupaten Brebes) menggunakan kata
‘keprimen’, sedang kata ‘kepriben’ digunakan untuk menanyakan suatu hal yang
memuat makna emosi yang tinggi.
Wilayah kabupaten Brebes merupakan wilayah yang berbatasan dengan
wilayah Jawa Barat. Oleh karena itu, sebagian masyarakatnya berbahasa Sunda
dan sebagian lainnya berbahasa Jawa dengan dialek ‘ngapak’. Interaksi dengan
bahasa dan budaya Sunda ini agaknya sedikit banyak juga mempengaruhi bahasa
yang digunakan di wilayah kabupaten Brebes. Salah satu wilayah yang
terpengaruh bahasa dan budaya Sunda ini, yang diakibatkan oleh interaksi
langsung dengan masyarakat Sunda, adalah wilayah kecamatan Bumiayu,
Sirampog, Banjar Harjo, Ketanggungan, dan Losari. Banyak kosakata Sunda yang
juga digunakan sehari – hari oleh masyarakat di wilayah tersebut, misal: singkong
4
yang biasa disebut ‘telo’ atau ‘pohung’ dalam bahasa Jawa standar, maka di
wilayah ini disebut dengan ‘bodin’. Berdasar penelitian awal mengenai kosakata
khas di wilayah Sirampog yang telah peneliti lakukan sebelumnya, peneliti dpaat
menyimpulkan bahwa banyak kosakata khas yang terdapat di wilayah kecamatan
Sirampog yang jauh berbeda baik bentuk, makna, maupun penggunaannya dengan
bahasa Jawa Solo/Yogya.
Saat ini isu pencemaran dan pemanasan global menjadi perbincangan
pokok di berbagai bidang. Kondisi iklim yang berubah – ubah secara ekstrim dan
anomali cuaca yang tidak teratur serta tidak dapat diprediksi lagi menyebabkan
para petani sulit melakukan kegiatan bertani dengan metode yang biasa
diterapkan. Hal ini berakibat hasil yang dicapai petani menjadi kurang maksimal.
Permasalahan ini terjadi di hampir seluruh penjuru dunia, termasuk di Indonesia.
Indonesia merupakan negara agraris, sehingga sebagian masyarakatnya
bermata pencaharian di bidang pertanian. Beras merupakan sumber makanan
pokok sebagian masyarakat Indonesia, sehingga pertanian di Indonesia
didominasi oleh pertanian padi. Sekitar tahun 1980 – an, Indonesia berhasil
mencapai prestasi swa – sembada beras dan mampu mencukupi kebutuhan beras
dalam negeri, bahkan mampu mengekspor beras ke negara lain. Namun demikian,
akhir – akhir ini Indonesia mengalami keadaan yang cukup memprihatinkan.
Sebagaimana kita ketahui, saat ini banyak terjadi kelaparan di berbagai daerah di
Indonesia, semakin banyak masyarakat Indonesia yang mengkonsumsi nasi aking
yang seharusnya tidak layak untuk dikonsumsi, banyak masyarakat yang beralih
5
mengkonsumsi gaplek karena tidak mampu membeli beras, dan berbagai
permasalahan pangan lainnya.
Kenyataan ini menimbulkan banyak pertanyaan, antara lain: Mengapa
Indonesia yang tanahnya subur bisa mengalami keadaan seperti ini? Mengapa
Indonesia harus mengimpor beras, padahal sebelumnya merupakan negara
pengekspor beras? Bagaimana sebenarnya budaya pertanian di Indonesia saat ini
sehingga tidak bisa memenuhi kebutuhan pangan masyarakat? Apakah
masyarakat Indonesia sudah semakin enggan bertani sehingga harus impor ke
negara lain? Fakta lain menunjukkan bahwa masyarakat Kecamatan Sirampog
memiliki (dan menggunakan) bahasa yang begitu kaya dan unik (perbatasan
bahasa Jawa dan bahasa Sunda). Mungkinkah dengan kekayaan bahasa tersebut
maka budaya pertaniannya juga kaya dan unik serta memiliki karakter khas
tersendiri yang tidak dimiliki daerah lain? Bagaimanakah kekayaan lingual
masyarakat di Kecamatan Sirampog, khususnya di bidang pertanian padi?
Mungkinkah masyarakat di Kecamatan Sirampog dengan kekayaan lingualnya
tersebut memiliki kekhasan budaya yang menjadi ciri kelokalannya? Pertanyaan –
pertanyaan ini membuat penulis semakin tertarik untuk mencari jawabannya
melalui penelitian bahasa dan hubungannya dengan budaya dan kearifan lokal
masyarakat.
Secara umum padi memerlukan waktu tumbuh ± 100 (seratus) hari atau
sekitar 3,5 bulan sejak masa tanam hingga panen. Pasca panen petani biasanya
memerlukan sekitar 3 minggu untuk pengolahan tanah dan penyemaian benih
padi. Pola tanam seperti ini biasanya terdapat di areal sawah yang memiliki irigasi
6
teknis yang menjadi sumber air untuk mengairi sawah. Sedang para petani yang
bertani di sawah tadah hujan secara umum hanya dapat panen 1 kali dalam
setahun, dan sisa waktunya akan digunakan untuk menanam tanaman lading,
seperti jagung, ketela, dan sebagainya.
Wilayah Kecamatan Sirampog, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah
merupakan wilayah yang sangat subur. Wilayah ini terletak di lereng gunung
Selamet. Iklim sejuk dan kondisi sumber perairan yang lancar dan jernih dari
berbagai mata air dan sungai membuat wilayah ini memiliki kekayaan di bidang
pertanian, baik pertanian padi, sayur mayur (sawi hijau, sawi putih, daun bawang,
kacang panjang, buncis, bawang merah, bawang putih, cabai, dan lain
sebagainya), palawija (kentang, ubi, ketela, dan lain – lain). Lahan pertanian,
termasuk sawah, di Kecamatan Sirampog termasuk lahan pertanian tadah hujan
karena hanya mengandalkan air sungai dan mata air kecil yang berasal dari curah
hujan, sehingga debit airnya hanya tergantung curah hujan yang turun di wilayah
tersebut. Meski lahan pertanian miring dan rawan longsor, namun metode
terasering dan teknik pertanian yang digunakan mampu mempertahankan
produktivitas pertanian di wilayah ini hingga meskipun letaknya sangat jauh dari
ibukota kabupaten Kecamatan Sirampog menjadi salah satu wilayah unggulan dan
paling berpotensi di Kabupaten Brebes [website resmi Pemkab Brebes].
Demikian pula dengan budaya padi di wilayah tersebut, sawah tadah hujan yang
lazimnya hanya bisa panen setahun 1 – 2 kali, namun di Kecamatan Sirampog
padi dapat dipanen 3 kali dalam 1 tahun atau 13 (tiga belas) bulan. Kemajuan di
bidang pertanian yang dimiliki Kecamatan sirampog ini tentunya tidak terlepas
7
dari kearifan yang dimiliki masyarakat Kecamatan Sirampog ini. Sebagaimana
telah dibahas sebelumnya bahwa kecamatan Sirampog merupakan wilayah yang
berada di wilayah Jawa Tengah dan berbatasan langsung dengan wilayah Jawa
Barat. Lebih lanjut lagi, bahasa yang digunakan oleh masyarakat di wilayah
Kecamatan Sirampog adalah bahasa Jawa, dialek ‘ngapak’. Namun demikian,
pada kenyataannya, banyak kosakata di wilayah tersebut yang merupakan bahasa
Sunda, misal: bodin (ketela pohon). Oleh karena itu, bahasa Jawa dialek ‘ngapak’
yang digunakan di Sirampog agak berbeda dengan dialek ‘ngapak’ yang
digunakan di daerah Tegal atau Banyumas. Oleh karena kekayaan kosakata yang
dimiliki wilayah inilah maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian
mengenai kekayaan khasanah lingual, terutama kosakata atau leksikon, dan
kaitannya dengan budaya dan kearifan lokal. Dengan kata lain, kearifan lokal dan
budaya pertanian yang tercermin melalui kekayaan lingual, metafora maupun
ungkapan budaya yang ada di wilayah Kecamatan Sirampog menjadi bahasan
pokok dalam penelitian di tesis ini.
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1 Tujuan Penelitian
Penelitian mengenai leksikal pertanian yang ada di komunitas
masyarakat Kecamatan Sirampog, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah ini bertujuan
untuk mendeskripsikan konsep budaya dan kearifan lokal di ranah pertanian yang
ada dan tumbuh dalam masyarakat tersebut melalui kekayaan lingual, ungkapan
maupun metafora yang terdapat di wilayah tersebut.
8
1.3.2 Manfaat Penelitian
Penelitian ini merupakan kajian studi Penelitian ini bermanfaat secara
teoritis maupun praktis. Teoritis dalam dimensi keilmuan, dan manfaat praktis
dalam ranah sosial kemasyarakatan.
Manfaat teoritis penelitian ini adalah untuk:
1) Memperkaya kajian linguistik antropologi dan kaitannya dengan kearifan
lokal,
2) Menambah wacana pada kajian antropologi inguistik dan etnolinguistik
termasuk kajian ekolinguistik,
3) mengetahui kekhasan budaya dan kearifan lokal suatu masyarakat melalui
kajian leksikal khas masyarakat budaya tersebut.
Sedang manfaat praktis penelitian ini adalah untuk:
1) menjadi salah satu wacana acuan terhadap kebijakan pemerintah dalam
upaya pelestarian budaya tradisional untuk meningkatkan produktivitas
suatu daerah,
2) menguak hakikat pertanian Indonesia secara alami agar rakyat Indonesia
kembali ke alam dan bertani dengan ramah lingkungan untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya,
3) menjadi alternatif pendekatan multikultural dalam pengambilan kebijakan
pemerintah agar Indonesia kaya dengan bahan pangan dan menjadi negara
swasembada beras tanpa mengimpor beras dari negara lain.
1.4 Ruang Lingkup Penelitian
9
Penelitian ini berjudul “Kearifan Lokal Pertanian Masyarakat Kecamatan
Sirampog Kabupaten Brebes Melalui Khazanah Lingual Khas (Sebuah Kajian
Linguistik Antropologi)” yang berfokus pada kajian budaya yang berupaya
menemukan kearifan lokal masyarakat setempat, terutama di bidang pertanian,
melalui leksikon – leksikon yang berhubungan dengan pertanian padi di
Kecamatan Sirampog, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah. Penelitian ini merupakan
kajian linguistik antropologi yang diterapkan untuk mendeskripsikan nilai – nlai
budaya dan kearifan lokal yang ada di Kecamatan Sirampog melalui penelitian
leksikon khas masyarakat di wilayah penelitian dalam bidang pertanian, terutama
pertanian padi.
1.5 Metode dan Langkah Kerja Penelitian
Penelitian ini secara umum dilaksanakan di Desa Mendala, Desa
Plompong, dan Desa Benda, Kecamatan Sirampog, Kabupaten Brebes, Provinsi
Jawa Tengah. Sirampog adalah sebuah Kecamatan di Kabupaten Brebes Jawa
Tengah Indonesia. Kecamatan Sirampog terletak di ujung tenggara wilayah
Kabupaten Brebes, dan berbatasan langsung dengan Kabupaten Tegal. Wilayah
penelitian meliputi seluruh dusun yang masih mengalami panen padi 3 kali dalam
satu tahun. Wilayah Kecamatan Sirampog terdiri atas 13 desa, yaitu: Desa
Mendala, Mlayang, Plompong, Sridadi, dan Wanareja. Desa Benda, Desa
Plompong dan Desa Mendala merupakan wilayah yang paling produktif di bidang
pertanian padi. Ketiga desa tersebut yang masih mengalami panen sebanyak 3 kali
10
dalam 1 tahun, atau lebih tepatnya 3 kali dalam 13 bulan karena dihitung dengan
masa pengolahan tanah sebelum tanam padi berikutnya.
Objek penelitian ini meliputi dua sumber, yaitu sumber data lisan dan
sumber data tertulis. Data lisan diperoleh dari pelaku pertanian, baik pemilik
maupun petani penggarap pertanian, para pekerja, dan dari tokoh – tokoh
masyarakat yang mengetahui metode dan teknik pertanian khas di wilayah
penelitian. Sedang data tertulis diperoleh dari dokumen – dokumen yang dimiliki
oleh pihak pemerintah di wilayah objek penelitian.
Metode penyediaan data dalam penelitian ini menggunakan metode
penelitian linguistic partisipatif dan non partisipatif, yaitu: teknik pengamatan,
simak libat cakap, pancing, catat dan simak bebas libat cakap, sebagaimana
diajukan oleh Sudaryanto (1993) sekaligus menggunakan metode etnografi
(Spradley, 1979).
Lebih lanjut lagi, penelitian ini menggunakan teknik wawancara
mendalam dan teknik rekam. Teknik ini dilakukan untuk mendukung keabsahan
data yang diperoleh dalam penelitian. Setelah teknik simak libat cakap, catat,
wawancara dan teknik rekam dilakukan, selanjutnya peneliti melakukan teknik
catat (ketik computer) dalam membuat transkrip rekaman.
Data penelitian yang telah diperoleh diolah menggunakan teknik
deskriptif kualitatif, padan referensial (semantis), dan teknik inferensial
(triangulasi data). Pemilihan teknik ini karena penelitian ini tidak
menggantungkan pada kuantitas data penelitian, melainkan pada deskripsi dan
interpretasi data secara mendalam. Lebih spesifik lagi data yang diperoleh akan
11
diolah menggunakan metode yang biasa digunakan dalam penelitian antropologi,
yaitu analisis mengenai bentuk dan makna (semantis) yang digunakan untuk
mengungkap pola – pola kebudayaan di wilayah objek penelitian, sekaligus untuk
mendeskripsikan makna serta nilai – nilai budaya kearifan lokal masyarakat objek
penelitian. Metode deskripsi digunakan karena peneliti berupaya mengungkap
sesuatu secara apa adanya.
Hasil penelitian akan disajikan dengan metode informal (Sudaryanto,
1993). Metode ini tidak menggunakan angka ataupun rumus – rumus matematis
seperti yang diharuskan pada metode penyajian data formal. Penggunaan metode
penyajian informal dipilih karena penelitian ini merupakan penelitian deskriptif
kualitatif yang berusaha menjelaskan kenyataan yang ada di wilayah penelitian
melalui kata – kata. Penjelasan lebih dalam mengenai metode penelitian ini akan
dibahas dalam bab III tentang metode penelitian.
1.6 Landasan Teori
Penelitian ini berlandaskan pada teori linguistik yaitu kajian linguistik
antropologi. Kajian linguistik antropologi dimanfaatkan untuk mempolakan
kerangka budaya dan nilai – nilai lokal yang bermuara pada unsur – unsur
kearifan lokal dari masyarakat di wilayah penelitian. Linguistik antropologi pada
hakikatnya berfokus pada kajian untuk mengungkap hakikat bahasa yang terdiri
atas bentuk dan makna di balik bentuk yang ada tersebut. Oleh karenanya, kajian
semantik juga dijadikan teori dasar sekaligus pijakan dalam pengolahan data
penelitian. Kajian semantik digunakan untuk mendeskripsikan makna leksikon
khas yang ada di wilayah penelitian.
12
Sapir dan whorf (1921/1949) mengajukan teori relativitas bahasa. Teori
ini menyatakan bahwa di balik sifat kesemestaan bahasa, ada fenomena bahasa
yang khas yang hanya di miliki oleh bahasa – bahasa tertentu dan tidak dimiliki
oleh bahasa lain. Kekhasan ini terjadi karena perbedaan kekhasan budaya
masyarakat pengguna suatu bahasa tersebut. Dengan merujuk pada sifat relativitas
bahasa ini, maka dapat diambil suatu simpulan bahwa bahasa yang dimiliki oleh
suatu masyarakat akan mencerminkan pandangan hidup (budaya) masyarakat
penggunanya. Jadi, bahasa dapat diibaratkan sebagai cermin budaya masyarakat
penggunanya (Fernandes, 2008).
Kebudayaan secara umum tercermin dalam tiga hal yaitu, perilaku, pola
pikir/ideologi, dan artefak. Ketiganya mencerminkan kelokalan atau kekhasan
budaya masyarakatnya. Kearifan lokal merupakan suatu gagasan konseptual yang
hidup dalam masyarakat, tumbuh dan berkembang secara terus-menerus dalam
kesadaran masyarakat, berfungsi dalam mengatur kehidupan masyarakat dari yang
sifatnya berkaitan dengan kehidupan yang sakral sampai yang profan. Dengan
demikian, kearifan lokal merupakan salah satu cerminan budaya yang memuat
ketiga unsur budaya tersebut (Koentjaraningrat, 1983).
Secara singkat, penelitian ini berpijak pada pemikiran bahwa bahasa
merupakan salah satu unsur penting dari budaya. Budaya akan mencerminkan
kekhasan masyarakat pelakunya. Oleh karena itu, budaya suatu masyarakat akan
mencerminkan kearifan lokal masyarakatnya. Dengan demikian, penelitian bahasa
suatu masyarakat dapat dimanfaatkan untuk mengungkap budaya sekaligus
13
kearifan lokal masyarakat tersebut. Penjelasan lebih lanjut mengenai landasan
teori dalam penelitian ini akan dibahas pada Bab Tinjauan Pustaka.
1.7 Definisi Operasional
Berikut akan dijelaskan beberapa definisi operasional yang digunakan
untuk keperluan penulisan tesis ini.
1) Linguistik
Ilmu tentang bahasa; penyelidikan bahasa secara ilmiah. Istilah ini
muncul pertama kali pada tahun 1808 dalam majalah ilmiah yang
disunting oleh Johann Severin Vater dan Friedrich Justin Bertuch.
(Kridalaksana, 2001: 128).
2) Kebudayaan
Sebuah pengetahuan bersama yang dimiliki, tumbuh dan
berkembang dalam suatu kelompok masyarakat dan kemudian
pengetahuan tersebut secara sosial diwariskan dari satu generasi ke
generasi berikutnya (Koentjaraningrat, 1992: 1).
3) Antropologi
Ilmu yang mempelajari tentang makhluk manusia atau anthropos
(Koentjaraningrat, 1992: 1)
4) Linguistik Antropologi
Linguistik antropologi merupakan salah satu cabang linguistik
yang menelaah hubungan antara bahasa dan budaya terutama untuk
mengamati bagai mana bahasa itu digunakan sehari-hari sebagai alat
dalam tindakan bermasyarakat (Lauder, 2005: 81).
14
5) Performansi
Keterampilan berbahasa seseorang yang ditunjukkan melalui
kemampuan nyata berupa ujaran yang dihasilkan, misalnya berbicara,
mendengar, menulis, dan lain sebagainya. (Kridalaksana: 2001)
6) Kompetensi
Kemampuan berbahasa yang bersifat abstrak, berada di dalam otak
dan/atau pikiran manusia. (Kridalaksana: 2001)
7) Ikon, Indeks, Simbol
Ketiga istilah ini merupakan klasifikasi tanda yang diajukan oleh
Peirce (1965). Icon merupakan suatu tanda yang menunjukkan adanya
kedekatan dan kemiripan yang tampak jelas antara bentuk dan makna
yang digambarkan oleh tanda tersebut. Indeks adalah suatu tanda yang
digunakan untuk mengidentifikasi suatu objek, bukan karena kesamaan
atau analoginya, akan tetapi karena beberapa hubungan spasial maupun
temporal dengan objek yang diacunya. Sedang simbol merupakan tanda
yang memiliki hubungan dengan yang ditandainya sebagai suatu
konvensi atau kesepakatan yang diwariskan secara turun – temurun
dalam suatu masyarakat budaya, bukan karena kesamaan fisik maupun
kesamaan kontekstual. (Foley: 1997)
8) Partisipasi
Budaya merupakan suatu sistem partisipasi. Dengan demikian,
budaya selalu menuntut partisipasi aktif dan perilaku komunikatif para
pelaku budaya tersebut. (Foley: 1997)
15
9) Etik dan Emik
Istilah ini mengacu pada teori fonetik (bunyi/bentuk) dan fonemik
(pembeda makna) yang diajukan oleh Kenneth L. Pike, seorang linguis
aliran tagmemik. Etik merupakan kajian makna yang diperoleh dari
pandangan orang di luar komunitas budaya tersebut. Emik, sebaliknya,
merupakan nilai – nilai makna yang diperoleh melalui pandangan orang
yang berada dalam komunitas budaya tersebut (Kridalaksana, 2001: 52).
10) Etnografi
Etnografi berasal dari dua kata, yaitu: etno yang berarti suku
bangsa atau etnis dan grafi (graph) yang bermakna catatan atau tulisan.
Jadi etnografi merupakan tulisan atau catatan tentang kehidupan dan
kebudayaan suatu masyarakat atau etnik, misalnya tentang adat-istiadat,
kebiasaan, hukum, seni, religi, bahasa, dan seterusnya . (Troike: 1982).
11) Kearifan lokal (local wisdom)
Pandangan hidup dan ilmu pengetahuan serta berbagai strategi
kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat
lokal dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan
mereka (Irianto, 2009).
12) Kecerdasan lokal (local genious)
Identitas/kepribadian budaya suatu etnik atau suku bangsa yang
menyebabkan komunitas tersebut mampu menyerap dan mengolah
kebudayaan asing sesuai watak dan kemampuan sendiri (Irianto, 2009).
16
13) Pengetahuan lokal (local/folk knowledge)
Suatu pengetahuan lokal yang diperoleh dari pengalaman adaptasi
secara aktif pada lingkungannya yang diwariskan secara turun temurun
serta terbukti efektif dalam melestarikan fungsi lingkungan dan
menciptakan keserasian lingkungan. (Irianto, 2009).
14) Persepsi
Cara pandang terhadap sesuatu atau cara mengutarakan
pemahaman hasil olahan daya pikir. Persepsi berkaitan dengan faktor –
fakor eksternal yang direspons melalui panca indera, daya ingat dan
daya jiwa (Marliany dalam Siswadi, 2010).
15) Sikap
Sikap berkaitan dengan suatu bentuk evaluasi atau reaksi perasaan
baik positif maupun negatif terhadap suatu objek (Sobur dalam Siswadi,
2010).
16) Perilaku
Proses interaksi antara kepribadian dan lingkungan yang
mengandung rangsangan (stimulus), kemudian ditanggapi dalam bentuk
respon. (Marliany dalam Siswadi, 2010).
1.8 Sistematika Penulisan
Tesis ini terdiri atas 5 (lima) bab dan masing – masing bab akan dibagi
lagi menjadi sub – sub bab sesuai dengan keperluan penulisan. Berikut merupakan
garis besar dari setiap bab:
17
Bab I (satu) merupakan pendahuluan. Bab ini dibagi menjadi 8 (delapan)
sub bab yang membahas: latar belakang penulisan tesis, rumusan permasalahan,
tujuan dan manfaat penelitian, ruang lingkup penelitian, metode dan langkah kerja
penelitian, landasan teori, definisi operasional, dan sistematika penulisan.
Bab II (dua) merupakan tinjauan pustaka. Bab ini tersusun atas 3 (tiga)
sub bab, yang masing – masing sub bab akan membahas beberapa pokok bahasan.
Sub bab A (pertama) akan membicarakan mengenai penelitian – penelitian
sebelumnya. Sub bab B (kedua) akan membahas tentang linguistik antropologi.
Sub bab ini dibagi lagi menjadi beberapa pokok bahasan, yaitu: pengertian, bahasa
dan budaya, ruang lingkup, dan pendekatan dalam penelitian linguistik
antropologi.
Bab III (tiga) berisi tentang metode yang digunakan dalam penelitian di
tesis ini. Bab ini dibagi lagi menjadi beberapa sub bab, yaitu: gambaran lokasi
penelitian (yang berisi sejarah, keadaan demografi, keadaan monografi dan situasi
kebahasaan di wilayah penelitian), sasaran penelitian, subjek dan objek penelitian,
asumsi penelitian dan metode penelitian; yang membahas metode penyediaan
data, metode pengolahan data dan metode penyajian hasil analisis data.
Bab IV (keempat) merupakan bab pembahasan hasil penelitian. Bab ini
terbagi atas 6 (enam) sub bab, yaitu: kajian terhadap kekayaan leksikon tentang
pertanian padi di wilayah pertanian, deskripsi budaya pertanian padi di wilayah
penelitian, kategori semantis leksikon khas pertanian padi di wilayah penelitian,
analisis indeksikalitas, kearifan lokal masyarakat, dan upaya pelestarian kearifan
lokal yang dilakukan oleh masyarakat di wilayah penelitian.
18
Bab V (kelima) merupakan penutup tesis ini. Bab ini berisi dua sub bab,
yaitu: sub bab simpulan dan sub bab saran. Setelah bab V (kelima), akan
disertakan daftar pustaka yang dijadikan rujukan saat penulisan tesis ini, dan
lampiran – lampiran yang diperlukan untuk mendukung reliabilitas dan validitas
penelitian ini.
19
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Penelitian – penelitian Sebelumnya
Sebelum abad XX, para ahli linguistik menyatakan kemungkinan adanya
hubungan antara bahasa dan budaya. Bahkan, Thomas Jefferson, presiden
Amerika yang ketiga (berkuasa pada 1801-1809), menganjurkan agar para ahli
linguistik Amerika mulai meneliti bahasa-bahasa orang Indian dengan tujuan
untuk mengungkap budaya dan tradisi mereka. Hingga akhirnya seorang tokoh
antropolog Amerika kelahiran Jerman, Franz Boas (1858 – 1942), berhasil
melakukan beberapa penelitian mengenai budaya dan bahasa masyarakat Eskimo
yang disajikan dalam karyanya On Alternating Sounds pada tahun 1888. Karya
brilian Boas yang menjadikannya pelopor linguistik antropologi adalah kajian
filologi bahasa Indian Amerika yang terangkum apik dalam bukunya Handbook of
American Indian Languages (1911/1941). Buku ini berisi tentang uraian lengkap
di bidang fonetik, kategori makna dan proses gramatikal yang digunakan untuk
mengungkapkan makna dari bahasa – bahasa Indian Amerika. Penelitian –
penelitian Boas ini berhasil mengungkap wilayah kajian yang lebih luas di bidang
linguistik dan dapat membuka kemungkinan dilakukannya penelitian yang
mengkaji hubungan antara bahasa, budaya, dan pikiran. Peneliti lain yang
mengkaji hubungan bahasa, budaya dan pikiran antara kain Sapir – Whorf
(1921/1956), Hymes (1964), dan seterusnya. Berikut ini akan dibahas beberapa
penelitian bahasa yang berhubungan dengan budaya dan kearifan lokal.
20
Pertama, Ni Wayan Sartini menulis artikel berjudul Menggali Kearifan
Lokal Nusantara: Sebuah Kajian Filsafati. Tulisan ini dimuat di jurnal Filsafat
Universitas Gadjah Mada pada halaman 111–120 yang terbit bulan Agustus 2004,
Jilid 37, Nomor 2. Tulisan Sartini berisi pemikiran – pemikiran filsafati yang
menjelaskan tentang pentingnya eksplorasi terhadap kekayaan luhur budaya
bangsa. Sartini juga berpendapat bahwa perlu ada upaya – upaya kritis terhadap
eksistensi kekayaan luhur bangsa itu terkait dengan adanya perubahan budaya.
Lebih lanjut lagi, Sartini memberikan pelbagai pemikirannya mengenai konsep,
contoh, dan kemungkinan perubahan kearifan lokal sebagai pengaruh lintas
budaya dan globalisasi.
Kedua, Dwi Haryanti dan Agus Budi Wahyudi, dari Universitas
Muhammadiyah Surakarta menulis artikel berjudul Ungkapan Etnis Petani Jawa
di Desa Japanan, Kecamatan Cawas, Kabupaten Klaten: Kajian Etnolinguistik.
Artikel ini dimuat dalam Kajian Linguistik dan Sastra (yang diterbitkan oleh
Fakultas Ilmu Budaya Universitas gadjah Mada), Volume 19, No.1, Juni 2007, di
halaman 35–50. Tulisan Haryanti dan Wahyudi tersebut merupakan laporan hasil
penelitian mereka di Kecamatan Cawas, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Subjek
dalam penelitian mereka adalah para petani di tujuh desa di wilayah Kecamatan
Klaten, sedang objek penelitiannya adalah ungkapan para petani di wilayah
tersebut. Metode penelitian yang digunakan kedua peneliti ini adalah metode
deskriptif kualitatif dengan teknik wawancara, observasi, dan simak catat untuk
memperoleh data. Data yang telah diperoleh dianalisis dengan menggunakan
metode analisis etnografi yang diajukan Spradley dan metode padan referensial.
21
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ungkapan para petani di Kecamatan
Cawas terdiri atas dua bentuk, yaitu: satuan lingual kata dan frasa. Satuan lingual
kata yang diperoleh dalam penelitian tersebut berjumlah 170 kata, 10 ungkapan
berbentuk kata majemuk, dan 73 ungkapan berupa frasa. Lebih lanjut lagi, kedua
peneliti tersebut menjelaskan maksud atau makna berbagai ungkapan tersebut
yang terangkum dalam 8 (delapan) budaya pertanian.
Ketiga, Inyo Yos Fernandes menulis hasil penelitiannya di jurnal terbitan
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada, yaitu: Kajian Linguistik dan
Sastra Volume 20, No. 2, terbit bulan Desember 2008, pada halaman 166 – 177.
Tulisannya yang berjudul Kategori dan Ekspresi Linguistik dalam Bahasa Jawa
sebagai Cermin Kearifan Lokal Penuturnya: Kajian Etnolinguistik pada
Masyarakat Petani dan Nelayan ini merupakan laporan hasil penelitiannya
tentang pertanian dan nelayan tradisional di Jawa Tengah, Daerah Istimewa
Yogyakarta dan Jawa Timur. Penelitian tersebut bertujuan untuk mengkaji dan
mendalami serta memahami pengetahuan tradisional yang mengutamakan
ekologi, hubungan serasi yang terjalin antarmanusia, manusia dengan Pencipta,
dan manusia dengan alam. Inti penelitian Fernandes ini adalah tentang manusia
dan nilai – nilai kemanusiaan (humanity values). Subjek penelitian Fernandes ini
adalah para petani dan nelayan, sedang objek penelitiannya adalah ungkapan dan
kategori linguistik bahasa Jawa yang dihasilkan oleh masyarakat di daerah
penelitian. Sampel penelitian Fernandes terdiri atas para petani di desa Wonosari
(daerah perbukitan Gunung Kawi, Malang, Jawa Timur), desa Kemuning Sari
(Jember, Jawa Timur), dan para petani di desa Petung Kriyana (Pekalongan, Jawa
22
Tengah). Selain itu, Fernandes memilih para nelayan di desa Puger (Jember, Jawa
Timur), dan para nelayan di desa Kemadang (Gunung KIdul, DIY). Lebih lanjut
lagi, Fernandes menggunakan metode etnografi dan metode ethno – science dalam
kerangka kerja etnolinguistik.
Dalam laporan penelitiannya, Fernandes menyatakan bahwa berdasar
ekspresi dan kategori linguistik bahasa Jawa, masih ada sebuah mitos yang
diyakini oleh para petani Jawa yang ditunjukkan dalam upacara ritual sebelum
masa tanam padi. Upacara ini merupakan refleksi rasa syukur kepada Tuhan,
dalam hal ini ‘Dewi Sri’. Lebih lanjut lagi, Fernandes menyatakan bahwa kearifan
lokal masyarakat Jawa, khususnya di Jawa tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta,
dan Jawa Timur dapat diketahui melalui ranah bahasa yang diperlihatkan melalui
kategori dan ekspresi linguistiknya, dan dengan keanekaragaman bentuk bahasa
yang dapat diamati. Fernandes menutup laporan penelitiannya dengan sebuah
simpulan bahwa pola pikir dan pandangan hidup petani dan nelayan yang tampak
dan terekam dalam makna yang terjalin secara tersirat maupun tersurat (dalam
ekspresi dan kategori linguistik) dapat digunakan untuk mengklarifikasi
kemampuan pemilik budaya akan sistem pengetahuan (kognisi) yang terekam
dalam bahasa sebagai bagian integral dari kebudayaan.
2.2 Perihal Linguistik Antropologi
2.2.1 Pengertian
Linguistik merupakan ilmu yang dinamis dan terus bermetamorfose.
Dikatakan demikian karena linguistik, sebagai ilmu, terus berkembang dan
bercabang menjadi berbagai macam ilmu, sebagai misal psikolinguistik
23
sosiolinguistik, linguistik antropologi, pragmatik, analisis wacana, dan seterusnya.
Sebagaimana Koentjaraningrat (1983) menyatakan bahwa linguistik merupakan
salah satu dari pelbagai ilmu sosial dasar yang dapat terus berkembang dan
menghasilkan banyak ilmu turunannya. Kajian ilmu linguistik dan kaitannya
dengan budaya (yang bersifat anakronik) melahirkan ilmu linguistik antropologi
atau linguistik kebudayaan. Boas telah mempelopori kajian linguistik kebudayaan
sejak tahun 1888. Tokoh linguistik budaya yang lain adalah Sapir dan Whorf
(1921/1956), Hymes (1964), dan sebagainya. Saat ini, hasil kajian Boas menjadi
acuan bagi perkembangan linguistik antropologi, baik dalam bidang linguistik
struktural maupun dalam studi kognisi manusia.
Pengertian linguistik antropologi berikut diajukan oleh Foley (1997: 3)
sebagai berikut:
Anthropological linguistics is that sub – field of linguistics which is
concerned with the place of language in its wider social and cultural
context, its role in forging and sustaining cultural practices and social
structures.
Foley memandang bahwa linguistik antropologi adalah sub ilmu
linguistik yang berfokus pada kajian bahasa dalam konteks sosial dan budaya.
Selain William A. Foley, seorang ilmuwan linguistik budaya adalah Duranti
dengan karyanya Linguistic Anthropology (1997); ia mendefinisikan ilmu
antropologi linguistik dengan singkat sebagai berikut: “Linguistic anthropology
will be presented as the study of language as cultural resource and speaking as a
cultural practice” (Duranti, 1997:2). Dari pernyataan tersebut tampak bahwa
Duranti mengacu pada pengertian antropologi linguistik yang dikutipnya dari
24
Hymes sebagai berikut: Linguistic anthropology is a study of speech and
language within the context of anthropology. (Hymes, 1963 dalam Duranti, 1997).
Dengan demikian, baik Foley, Duranti maupun Hymes memandang bahwa
linguistik antropologi merupakan kajian bahasa sebagai sumber budaya dan
tuturan sebagai praktik budaya.
Definisi lain diajukan oleh Lauder (2005:81) yang menyatakan bahwa
linguistik antropologi merupakan salah satu cabang linguistik yang menelaah
hubungan antara bahasa dan budaya terutama untuk mengamati bagaimana bahasa
itu digunakan sehari-hari sebagai alat dalam tindakan bermasyarakat. Ilmu
linguistik antropologi terkadang disebut sebagai antropologi linguistik dan
etnolinguistik yang menelaah bahasa bukan hanya dari struktur semata, tapi lebih
pada fungsi dan pemakaiannya dalam konteks situasi sosial budaya. Dari pelbagai
definisi linguistik antropologi tersebut dapat disimpulkan bahwa ilmu linguistik
antropologi atau yang lazim dikenal juga sebagai linguistik kebudayaan
merupakan suatu ilmu yang mengkaji kaitan antara bahasa dan budaya.
2.2.2 Bahasa dan Budaya
Kebudayaan (culture), secara etimologi, berasal dari bahasa Latin
cultura, yang memiliki akar kata colere, yang bermakna berkembang tumbuh.
Dari akar kata colere tersebut, maka dapat diambil suatu simpulan bahwa
kebudayaan adalah sebuah pengetahuan bersama yang dimiliki, tumbuh dan
berkembang dalam suatu kelompok masyarakat dan kemudian pengetahuan
tersebut secara sosial diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Keterkaitan antara bahasa dan budaya oleh Hymes (1966), dengan
25
merujuk tulisan Sapir (dalam Hymes 1964:128), dijelaskan sebagai berikut:
People who enact different cultures do to some extent experience
distinct communicative system, not merely the same natural
communicative condition with different customs affixed. Cultural
values and beliefs are in part constitutive of linguistic reality.
(Sapir dalam Hymes, 1964:128)
Pendapat berikutnya diajukan oleh Mc Quown (1978) dalam Nyadnya
(2009) yang menyatakan bahwa bahasa adalah instrumen utama manusia dalam
mengintegrasikan dirinya baik secara internal maupun eksternal sebagai individu
yang berfungsi dan berpartisipasi aktif dalam kelompok atau masyarakat manusia.
Pendapat ini dikuatkan oleh Kridalaksana (1998) yang mengungkapkan bahwa
kajian tentang bahasa selalu menempatkan kajian itu dalam hubungannya dengan
kehidupan manusia. Oleh karena itu, bahasa tidak hanya bermanfaat sebagai
sarana komunikasi seorang individu dan/atau suatu kelompok untuk
mengungkapkan ide, pikiran, perasaan, pendapat, harapan, keluhan, dan
sebagainya kepada individu atau kelompok lain, akan tetapi bahasa juga dapat
berfungsi merepresentasikan masyarakat penuturnya. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa bahasa suatu masyarakat dapat menyingkap perilaku
berbahasa, identitas, kehidupan, hingga pelestarian budaya masyarakat
penuturnya.
Roman Jakobson, seorang linguis penting dari aliran Praha, memberikan
gagasan mengenai fungsi bahasa. Jakobson, dalam Samsuri (1988: 30),
mengatakan bahwa ada enam faktor bahasa yang sejajar kedudukannya dengan
enam fungsi bahasa. Enam faktor bahasa menurut Jakobson dipandang dari sudut
26
pembicara, pendengar, konteks, pesan, hubungan, dan kode. Jakobson
menambahkan bahwa fungsi bahasa ada enam, yaitu: fungsi ekspresif, konatif,
denotatif, fatik, metalinguistik, dan puitik.
1) Fungsi ekspresif
Fungsi ini memungkinkan bahasa dimanfaatkan untuk
menyampaikan ekspresi emosi, keinginan atau perasaan
penutur.
2) Fungsi konatif
Sebagai alat komunikasi, di sini bahasa digunakan untuk
mempengaruhi orang lain, baik secara emosional, perasaan
maupun tingkah lakunya. Oleh karenanya, orientasi bahasa
dalam fungsi ini adalah pada penerima pesan. Selain itu, bahasa
juga dapat bermanfaat untuk memberikan keterangan,
mengundang, memerintah, memberi pesan, mengingatkan,
bahkan mengancam.
3) Fungsi denotatif (informasional)
Sebagai media komunikasi, bahasa dapat digunakan untuk
menyampaikan suatu informasi. Oleh karena itu, fokus utama
fungsi ini terdapat pada makna bahasa yang sangat dekat
dengan hubungannya dengan dunia (obyek) di luar bahasa itu
sendiri.
4) Fungsi fatik (interaksional)
Dalam hal ini, bahasa berfungsi sebagai saluran. Artinya,
27
bahasa digunakan untuk mengungkapkan, mempertahankan
dan mengakhiri suatu hubungan komunikasi antara penutur
dengan mitra tuturnya.
5) Fungsi metalinguistik
Bahasa dapat berfungsi sebagai media untuk menyatakan
sesuatu tentang bahasa. Oleh karena itu, fokus fungsi ini pada
kode.
6) Fungsi puitik;
Fungsi ini berorientasi pada kode dan makna secara simultan.
Kode kebahasaan dipilih secara khusus agar dapat
memfasilitasi makna yang disampaikan penutur, sedang bentuk
dari fungsi ini adalah unsur – unsur seni, seperti rima, ritme,
metafora, dan lain sebagainya.
Malinowski, (dalam Fernandes, 2008), menyatakan bahwa bahasa
merupakan suatu anasir kebudayaan yang mampu berperan untuk memenuhi
kebutuhan sekunder manusia. Sebagaimana kita ketahui, kebutuhan manusia
terbagi menjadi dua, yaitu kebutuhan primer (pangan, sandang, papan) dan
kebutuhan sekunder (bersosialisasi, berekspresi, berbudaya, dan seterusnya).
Lebih lanjut lagi, aktivitas berbudaya merupakan salah satu kebutuhan naluri
manusia yang berhubungan dengan seluruh kehidupannya. Pendapat selaras
dengan yang Boas yang menyatakan bahwa semua bahasa mampu menjadi alat
untuk mengungkapkan gagasan, terlepas dari perbedaan kategori formal. Dan oleh
karenanya, bahasa merefleksikan perbedaan budaya. Sebagai contoh, hasil
28
penelitian Boas pada tahun 1888 menunjukkan bahwa masyarakat Eskimo yang
tempat tinggalnya dan lingkungan di sekelilingnya merupakan wilayah bersalju
memiliki beberapa kosa kata untuk mengacu ke salju, antara lain: aput mengacu
pada salju yang berada di atas tanah; qana mengacu pada salju yang turun;
piqsirpoq mengacu pada salju yang mencair, dan qimuqsuq mengacu pada cairan
salju (Sampson, 1980: 86). Fakta ini berlainan dengan leksikon yang merujuk
pada salju di masyarakat Inggris atau Amerika yang berbahasa Inggris. Meski
wilayah Eropa dan Amerika juga memiliki pengalaman dengan salju, namun
kehadiran salju tidak menjadi dominasi di kehidupan sehari – hari mereka. Oleh
karena itu, bahasa Inggris hanya memiliki satu leksikon untuk salju yaitu “snow”.
Dengan demikian, dapat diambil suatu simpulan bahwa persepsi dan pola pikir
masyarakat Eskimo terhadap sekelilingnya mempengaruhi bahasa yang mereka
produksi.
Danesi dan Perron (1999), dengan merujuk pada Peirce (1965), menyebut
manusia sebagai homo culturalis, yang bermakna manusia adalah makhluk yang
selalu ingin memahami makna dari apa yang dijumpainya (meaning – seeking
creature). Pemikiran Peirce ini tampak selaras dengan pendapat Koentjaraningrat
(1992 [1967]) yang menyatakan bahwa kebudayaan hanya dimiliki oleh manusia,
dan tumbuh bersamaan dengan tumbuh kembang kehidupan manusia.
Koentjaraningrat menambahkan bahwa pengertian ini akan lebih mudah dipahami
dengan menggunakan istilah kerangka kebudayaan yang terdiri atas dua aspek,
yaitu: (1) wujud kebudayaan dan (2) isi kebudayaan, sebagaimana tampak dalam
Gambar 2.1. berikut ini:
29
Kerangka kebudayaan
Wujud kebudayaan Isi kebudayaan
Gambar 2.1. Kerangka kebudayaan
Lebih lanjut lagi, Koentjaraningrat (1987: 9) menjelaskan bahwa wujud
kebudayaan berupa wujud gagasan atau sistem budaya yang bersifat abstrak,
perilaku atau sistem sosial yang bersifat konkret, dan wujud fisik atau benda fisik
budaya yang bersifat sangat konkret; berikut adalah wujud kebudayaan menurut
Koentjaraningrat (1987: 5):
1) wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide – ide,
gagasan, nilai – nilai, norma – norma, peraturan, dan sebagainya
(pikiran/ideel/abstrak),
2) wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan
berpola dari manusia dalam masyarakat (perilaku/kebiasaan),
3) wujud kebudayaan sebagai benda – benda hasil karya manusia
(konkret, dapat dilihat dan diraba).
Sedang isi kebudayaan terdiri atas 7 (tujuh) unsur atau komponen. Berikut
merupakan isi kebudayaan yang diajukan oleh Koentjaraningrat (1992: 7), terdiri
atas 7 (tujuh) komponen yaitu :
1) sistem religi,
2) sistem kemasyarakatan,
3) sistem peralatan,
30
4) sistem mata pencaharian hidup,
5) sistem bahasa,
6) sistem pengetahuan, dan
7) seni.
Bahasa, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, merupakan salah satu
dari 7 unsur kebudayaan (Koentjaraningrat, 1992: 7). Hymes dalam Purwoko
(2008a: 4) menyatakan bahwa bahasa adalah penuntun simbolis suatu budaya.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa bahasa merupakan aspek penting
dalam budaya. Eratnya hubungan bahasa dan budaya ini bahkan dinyatakan oleh
Bassnet (1992) dengan ungkapan “language is the heart within the body of
culture”, yang terjemahannya lebih kurang sebagai berikut: “bahasa adalah
jantung di dalam budaya sebagai raganya”. Dari beberapa definisi kebudayaan dan
uraian mengenai ciri – ciri budaya tersebut, tampaklah bahwa bahasa memegang
peranan penting sebagai sarana transmisi budaya dari suatu generasi ke generasi
berikutnya. Begitu pentingnya penyelidikan tentang bahasa untuk mengungkap
kebudayaan suatu suku bangsa dan/atau masyarakat tertentu menyebabkan banyak
ahli antropologi yang melibatkan penyelidikan bahasa dalam penelitiannya.
Kaitan erat bahasa dan budaya ini telah banyak diteliti oleh para ahli
budaya maupun bahasa yang dipelopori oleh Boas, seorang figur sentral dalam
tradisi antropologi Amerika dan linguistik antropologi (Foley, 1997: 194). Kiprah
Boas diteruskan oleh murid – muridnya Edward Sapir dan Benjamin Lee Whorf.
Pendapat keduanya sebenarnya melanjutkan pemikiran – pemikiran Boas yang
kemudian dikenal sebagai hipotesis Sapir – Whorf. Sapir dan Whorf menyatakan
31
bahwa terdapat hubungan antara bahasa dengan pikiran dan telah melahirkan
konsep yang lebih populer dengan teori relativitas bahasa (linguistic relativity).
Teori relativitas bahasa atau yang disebut sebagai hipotesis Sapir – Whorf ini pada
prinsipnya menjelaskan bahwa pandangan dunia suatu masyarakat bahasa
ditentukan oleh struktur bahasanya dan kategori semantis yang ada dalam bahasa
tersebut dan yang diwarisi bersama kebudayaannya (Kridalaksana, 2001: 187).
Pada awalnya, perhatian hipotesis ini tertuju pada hubungan antara bahasa dan
cara pandang dunia dari penuturnya dan yang kebanyakan terlihat dalam tata
bahasa (gramatikanya). Selain itu, dapat pula diamati melalui pemakaian kosa
katanya. Gagasan Sapir yang terkenal yaitu tentang analisis kosakata suatu bahasa
yang diungkapkan Sapir (1949) dalam Foley (1997: 198) berikut ini:
This brings us to the nature of language as a symbolic system, a method of referring to all possible types of experience. The natural or, at any rate, the naïve thing is to assume that when we wish to communicate a certain idea or impression, we make something like a rough and rapid inventory of the objective elements and relations involved in it, that such an inventory or analysis is quite inevitable, and that our linguistic task consists merely of finding of the particular words and groupings of words that correspond to the terms of the objective analysis.
Gagasan mengenai analisis kosakata ini juga dinyatakan oleh Whorf
sebagaimana Foley (1997: 200) menggambarkannya sebagai berikut: “Semantic
organization is the central Principle of Linguistic Relativity, because it is really in
alternative meanings or interpretations that diverse languages differ”. Dari
pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa prinsip pokok dari relativitas bahasa
adalah organisasi semantik, hal ini disebabkan bahwa dalam makna – makna dan
interpretasi – interpretasi alternatif itulah bahasa tampak benar – benar berbeda.
32
Organisasi semantik akan terlihat jelas komponen – komponennya dalam analisis
kosakata. Hal ini karena setiap leksikon atau kosakata memiliki komponen
semantiknya masing – masing.
Gagasan mengenai analisis kosakata yang diungkapkan oleh Sapir dan
Whorf ini diikuti banyak linguis untuk turut melakukan penelitian kosakata untuk
menguak lingkungan fisik dan sosial serta nilai budaya di tempat para penutur
suatu bahasa berdiam. Sebagaimana Sartini (2009) menyatakan bahwa gagasan
Sapir – Whorf mengenai analisis kosakata ini dapat dimanfaatkan untuk menguak
lingkungan fisik dan sosial tempat penutur suatu bahasa berdiam serta hubungan
antara kosakata dan nilai budaya yang bersifat multidireksional. Gagasan Sapir –
Whorf ini menguatkan kembali teori relativitas bahasa yang mereka ajukan
sebelumnya. Sapir – Whorf, dalam konsep relativitas bahasa, menyatakan bahwa
cara pandang suatu etnik terhadap dunia di sekitarnya dapat diamati melalui
bahasanya. Dengan demikian, bila suatu etnik berbeda bahasa dengan etnik lain,
dapat dipastikan bahwa etnik – etnik tersebut memiliki budaya yang berbeda.
Sebagaimana yang dinyatakan (Sapir [1929], 1949b:162, dalam Duranti, 1997:60)
sebagai berikut: “No two languages ever sufficiently similar to be considered as
representing the same social reality. The worlds in which different societies live
are distinct worlds, not merely the same world with different labels attached”
(tidak ada dua bahasa apapun yang dianggap cukup sama saat merepresentasikan
realitas sosial yang sama).
Gagasan mengenai analisis kosakata ini juga diungkapkan oleh
Fernandes (2008) yang menyatakan bahwa kategori dan ekspresi linguistik
33
khususnya tutur lisan yang masih hidup di kalangan suatu komunitas akan selalu
mengandung cara pandang dan pola pikir kolektif yang dihasilkan melalui
komunikasi masyarakat etnik seperti yang terekam dan diolah melalui sistem tata
bahasanya. Ia menambahkan bahwa wacana budaya msyarakat penutur suatu
bahasa tertentu dapat terbentuk melalui kajian mengenai relasi antar unit lingual
yang berupa kosakata (leksikon) yang ditemukan dalam bahasa tersebut. Di
samping itu, pola pikir masyarakat penutur bahasa terebut juga akan tampak
melalui leksikon maupun sistem tata bahasa di dalam mitos atau lagu khas yang
terdapat dalam masyarakat tersebut, baik yang tersirat maupun tersurat.
Pada hakikatnya linguistik antropologi merupakan penyelidikan terhadap
makna – makna dalam praktik – praktik linguistik yang tercakup dalam lingkup
praktik budaya (Foley, 1997:5). Dalam kaitannya antara budaya dan bahasa, Foley
(1997:7) berpendapat bahwa dalam proses pengungkapan makna sebenarnya
meliputi pengungkapan hubungan sejarah bahasa dan sekaligus praktik – praktik
budaya. Hal ini dikarenakan bahasa memuat banyak kata dan ungkapan yang
menunjukkan khasanah makna dan praktik – praktik linguistik konvensional
sekaligus hubungan masyarakat budaya saat ini dengan masyarakat budaya
sebelumnya. Pendapat lain diajukan oleh Geertz (1973) dalam Foley (1997:16)
yang menyatakan bahwa bahasa merupakan sebuah sistem makna dari suatu
masyarakat yang ditunjukkan dan diungkapkan melalui simbol – simbol dan
melalui perilaku yang terlihat sebagai tindakan simbolis.
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa penyelidikan mengenai
makna untuk mengungkap budaya suatu masyarakat amatlah penting untuk
34
dilakukan, mengingat bahwa praktik – praktik budaya mengandung muatan
makna.
2.2.3 Ruang Lingkup
Kajian linguistik antropologi berfokus pada tiga objek utama,
(participation) (Duranti, 1997:14–20). Berbicara mengenai ketiga fokus kajian
tersebut, paparan berikut berusaha mengulas ketiga objek linguistik antropologi
ini.
1) Performansi
Linguistik antropologi berfokus pada kajian performansi.
Kajian performansi sendiri tidak bisa dipisahkan dengan apa yang
disebut dengan kompetensi. Purwoko (2009) menyatakan bahwa
kompetensi linguistik seorang penutur asli suatu bahasa akan
tercermin melalui pengetahuan tentang tiga macam kaidah
penggunaan bahasa (‘tata bahasa’, ‘tata krama’, ‘tata interaksi’).
Dengan merujuk pada Hymes (1984), Purwoko (2009), menambahkan
bahwa setiap penutur bahasa memiliki rentang kompetensi (range of
competence); yang terdiri atas dua jenis, yaitu: short range dan long
range competencies. Short range competence (rentang kompetensi
pendek) dinyatakan Purwoko (2009) sebagai potensi atau kapasitas
seorang penutur bahasa sejak lahir (innate capacity). Sedang long
range competence (rentang kompetensi panjang) berkaitan dengan
sosialisasi dan dinamika sosial, yang berkenaan dengan language
35
usage (kaidah bahasa) dan language use (penggunaan bahasa),
sepanjang hidup seorang penutur bahasa.
Bahasa sebagai media komunikasi dan media bagi manusia
untuk berbudaya menjadi objek penelitian bila bahasa tersebut telah
diujarkan. Hal ini dikarenakan bahwa sebaik apapun pengetahuan atau
kompetensi seorang penutur, pengetahuan itu tidak akan dipahami
oleh orang lain bila tidak ditampilkan atau diujarkan (performed)
(Purwoko, 2009: 106). Purwoko (2009) menambahkan bahwa
linguistic performance yang tampak dalam ucapan seseorang menjadi
sangat krusial bagi pengamat linguistik, termasuk linguistik budaya.
Dari penjelasan tersebut, kita dapat ambil kesimpulan bahwa dalam
produksi ujaran suatu bahasa, performansi sama penting atau bahkan
lebih penting daripada kompetensi untuk diamati oleh peneliti
(Purwoko, 2009).
2) Indeksikalitas
Sebelum berbicara mengenai indeksikalitas, terlebih dahulu
akan dibahas mengenai konsep tanda. Berikut ini adalah konsep tanda
yang diajukan oleh Guiraud (1971/1978: 22):
A sign is a stimulus – that is, a perceptible substance – the mental image of which is associated in our minds with that of another stimulus. The function of the former is to evoke the latter with a view to communication.
Guriaud menambahkan bahwa ‘a sign is always marked by
an intention of communicating something meaningful’. Meskipun
demikian, intention ini mungkin tidak disadari oleh pemilik tanda
36
tersebut.
Tanda selalu berdasar hubungan konvensional (yang
mungkin lebih lemah atau lebih kuat) antara signifier dan signified.
Oleh karena itu, ada dua tipe utama hubungan, yaitu apakah hubungan
antara signifier dan signified itu motivated atau unmotivated (arbitrer).
Motivasi merupakan hubungan alami antara signifier dan signified.
Motivasi melepaskan tanda dari konvensi. Guiraud menyatakan
hubungan antara motivasi dan konvensi sebagai berikut:
The weaker the motivation, the more constraining the convention has to be; and in extreme cases it alone is able to ensure the efficacy of a sign in which there is no perceptible relation between signifier and signified. The sign is then said to be non – motivated and arbitrary (Guiraud, 1971/1978:26)
Saussure (1916) menyatakan bahwa tanda terdiri atas dua
aspek yaitu : a signifier (penanda) dan a signified (Petanda), dimana
hubungan antara keduanya memerlukan persetujuan atau konvensi
implisit dari para penggunanya. Kant (1798/1974) dalam Duranti
(1997:17) membedakan tanda menjadi dua, yaitu tanda arbitrer dan
tanda alami (natural). Tanda linguistik, misal huruf - huruf yang
mewakili bunyi linguistik; kata; dan seterusnya, merupakan salah satu
tanda arbitrer yang berdasar atas konvensi budaya suatu komunitas.
Sedang adanya asap yang menandai adanya api merupakan suatu
tanda atau fenomena alamiah (Kant [1974] dalam Duranti, 1997:17).
Konsep ini memiliki kesamaan dengan konsep tanda yang diajukan
oleh Saussure (1916).
37
Peirce (1965) dalam Foley (1997) membedakan tanda
linguistik menjadi tiga, yang masing – masing tergantung pada kadar
motivasinya, yaitu: icon, index, dan symbol. Foley (1997) menjelaskan
bahwa tanda linguistik (baik yang berupa icon, index, maupun symbol)
memiliki dua kutub: bentuk fisik (signifier) dan makna (signified).
Foley menjelaskan bahwa icon merupakan suatu tanda dimana ada
kedekatan dan kemiripan yang tampak jelas antara bentuk dan makna
yang digambarkan oleh tanda tersebut. Sebagai contoh; gambar laki –
laki atau perempuan di atas toilet merupakan representasi visual yang
disederhanakan untuk menunjukkan mana yang toilet laki – laki dan
toilet perempuan. Gambar ikonik itu sendiri berdasar konvensi
masyarakat penggunanya, yang bisa saja tidak akan dipahami oleh
orang asing, contoh: oleh suku pedalaman Papua. Senada dengan
Foley, Duranti (1997:205) menambahkan bahwa ikon adalah tanda –
tanda yang digunakan untuk menggambarkan karakter suatu benda
yang mirip dengan referent yang diwakilinya. Aspek – aspek
ikonisitas bunyi bahasa dapat berupa bahasa khusus atau universal,
kata–kata onamatopoik adalah contoh dari ikon. Contoh, bunyi kucing
di Indonesia ‘meong’, di Inggris/Amerika di tirukan dengan bunyi
‘meow’. Pada dasarnya bunyi–bunyi itu diupayakan menyerupai bunyi
aslinya.
Index dijelaskan Foley (1997) sebagai suatu tanda yang
memiliki makna yang diinterpretasikan dari konteks ujarannya.
38
Sedang Duranti (1997) menjelaskan indeks sebagai suatu tanda yang
digunakan untuk mengidentifikasi suatu objek, bukan karena
kesamaan atau analoginya, akan tetapi karena beberapa hubungan
spasial maupun temporal dengan objek yang diacunya (Duranti,
1997:207). Indeks terdiri atas dua jenis yaitu tanda non – linguistik
dan tanda linguistik. Index dapat berupa pemilihan bahasa untuk
menunjukkan solidaritas atau perbedaan sosial. Contoh index non
linguistik adalah adanya awan hitam menunjukkan akan adanya hujan
(Foley, 1997:26), sedang contoh index yang linguistik adalah
pemilihan penggunaan bahasa Indonesia dalam ranah formal dan
bahasa daerah pada ranah informal. contoh lain dari index linguistis
adalah penggunaan kata ganti orang kedua yang membedakan antara
tu dan vous (bahasa Perancis); kamu dan anda (bahasa Indonesia);
sampéyan, njenengan, kowé/ko, dan rika (bahasa Jawa); antum dan
anta (bahasa Arab).
Simbol merupakan tanda yang tidak memiliki motivasi dan
bersifat arbitrer. Oleh karena itu, simbol sebagai unmotivated sign
memiliki hubungan antara tanda dengan yang ditandainya sebagai
suatu konvensi atau kesepakatan yang diwariskan secara turun –
temurun dalam suatu masyarakat budaya, bukan karena kesamaan
fisik maupun kontekstual. Dengan kata lain, perbedaan penggunaan
atau pemilihan simbol ini bersifat arbitrer dan ditentukan oleh
konvensi budaya dari generasi ke generasi (Saussure, 1916; dalam
39
Foley, 1997). Sebagai misal, di beberapa wilayah di Jawa, kain
segitiga berwarna merah, kuning, putih, atau hitam yang dipasang (di
ujung gang/jalan) menandakan ada kematian di daerah tersebut. Akan
tetapi bendera kuning yang banyak dikibarkan saat masa kampanye
menandakan golongan partai tertentu. Konsep ini tentunya akan
berlainan dengan masyarakat budaya lain. Lebih lanjut lagi, konsep
simbol sangat sesuai dengan konsep tanda yang diajukan oleh
Saussure, dimana tanda dinyatakan memiliki hubungan yang arbitrer
antara bentuk dan maknanya. Grammar (aturan tata bahasa) juga
merupakan konvensi masyarakat, meski peraturannya terkadang
sangat ketat, namun dari aturan grammar tersebut tampaklah
bagaimana bentuk budaya masyarakat penggunanya. Sebagai contoh:
penggunaan tense dalam bahasa Inggris menunjukkan bahwa
masyarakat penggunanya memiliki disiplin waktu. Lain halnya dengan
tata bahasa Indonesia yang sistem waktunya tidak ketat maka di
Indonesia mengenal budaya jam karet. Contoh lain yang menunjukkan
tingginya konvensi masyarakat dalam pembentukan bahasa adalah
kata tree dalam bahasa Inggris, ‘pohon’ dalam bahasa Indonesia, dan
arbre merujuk pada sebuah bentuk yang sama yaitu makhluk hidup
yang memiliki akar, daun, batang, bunga, buah, dan seterusnya.
Bentuk yang sama dengan berbagai penamaan yang berbeda ini jelas
menunjukkan kuatnya konvensi masyarakat pengguna bahasa tersebut.
Penggunaan bahasa dipenuhi dengan ekspresi linguistik yang
40
berkaitan dengan aspek – aspek konteks sosiokultural. Ekspresi –
ekspresi linguistik khas ini berfungsi sebagai indeksikalitas bagi
berbagai aspek sosiokultural itu berhubungan dengan sistem atau
aturan (tata bahasa), karena apabila tidak ada sistem maka nilai – nilai
budaya masyarakat tersebut tidak dapat diketahui (Duranti (1997).
Oleh sebab itu, indeksikalitas menjadi salah satu fokus dalam kajian
linguistik antropologi.
3) Partisipasi
Linguistik antropologi memandang bahwa pembicara
(speakers) merupakan pelaku sosial. Budaya membutuhkan adanya
partisipasi, sebagaimana Duranti (1997:46) menyatakan bahwa
budaya merupakan suatu sistem partisipasi. Pemikiran ini memandang
bahwa budaya merupakan suatu sistem praktik–praktik kebiasaan dan
didasarkan pada asumsi bahwa setiap tindakan di dunia, termasuk
komunikasi verbal, memiliki kualitas sosial, kolektif dan partisipatori
dari para pelaku budaya. Duranti (1997:21) menambahkan pentingnya
kegiatan partisipasi dalam penelitian budaya sebagaimana dalam
kutipan berikut: “One of the reasons to explore the notion of
participation in the study of cultural practices has been the
differentiation that characterizes any community or group of people”
Dari penjelasan – penjelasan tersebut dapat dilihat kaitan erat
antara performansi, indeksikalitas, dan partisipasi. Dengan melakukan
kegiatan partisipasi dalam kajian budaya dan bahasa, maka akan dapat
41
menemukan data linguistik yang merupakan hasil performansi para
penutur bahasa. Dalam data linguistik itulah (biasanya) terdapat
indeksikalitas yang dapat dimanfaatkan untuk mengetahui kekhasan
sosiokultural suatu komunitas bahasa (Duranti, 1997:19–22).
2.2.4 Pendekatan
Para peneliti linguistik antropologi banyak menggunakan
berbagai pendekatan penelitian untuk mengungkap budaya dari objek
penelitiannya. Ada lima pendekatan diungkapkan oleh Ola (2010)
sebagai berikut:
a. Pendekatan struktural
b. Pendekatan semiotik
c. Pendekatan hermeneutik dan fenomenologi
d. Pendekatan etik vs emik
e. Pendekatan etnografi dan wacana
Dalam penelitian linguistik antropologi, pada dasarnya
kelima pendekatan tersebut terkait satu sama lain. Berikut ini akan
dijelaskan kelima pendekatan penelitian linguistik antropologi tersebut
masing – masing.
Ad.a Pendekatan struktural merupakan pendekatan penelitian
linguistik antropologi dengan menggunakan analisis bentuk,
makna dan fungsi bahasa untuk mengungkapkan budaya. (Ola,
2010).
Ad.b Pendekatan semiotik merupakan pendekatan yang dimanfaatkan
42
untuk penelitian linguistik antropologi yang berhubungan
dengan simbol – simbol budaya yang digunakan oleh suatu
masyarakat budaya, baik simbol verbal maupun non verbal.
(Ola, 2010).
Ad.c Pendekatan hermeneutika dan fenomenologi, menurut tulisan
Putri (2007, memiliki tiga komponen pokok, yaitu: adanya
pesan yang disampaikan (biasanya dalam bentuk teks), ada
sekelompok penerima pesan yang asing dengan pesan tersebut,
dan adanya perantara yang menjembatani kedua pihak tersebut.
Hermeneutika mengenal dua aliran pokok, yaitu aliran romantik
dan fenomenologi. Aliran romantik berfokus pada konsepsi
bahasa dan penafsirannya, sedang aliran fenomenologi berfokus
pada kontradiksi yang memandang fenomena sebagai teks yang
mengundang pertanyaan yang kemudian diinterpretasikan.
Ad.d Pendekatan Etik dan Emik merupakan kajian budaya melalui
makna bahasa yang digunakan oleh suatu masyarakat budaya.
Menurut Duranti (1997), etik merupakan kajian makna yang
diperoleh dari pandangan orang di luar komunitas budaya
tersebut. Emik, sebaliknya, merupakan nilai – nilai makna yang
diperoleh melalui pandangan orang yang berada dalam
komunitas budaya tersebut. Penelitian linguistik antropologi
mikro (semantis) secara umum menggunakan pendekatan emik,
sedang penelitian makro (non makna) menggunakan pendekatan
43
etik. Pendekatan ini memiliki prinsip bahwa yang paling
mengenal budaya suatu kelompok etnik adalah kelompok etnik
itu sendiri. Akan tetapi, terkadang pemilik budaya tidak tuntas
dalam menjelaskan isi budaya yang dimilikinya tersebut. Oleh
karena itu, pendekatan etik dan emik diperlukan sinergi dan
berkonfigurasi agar menghasilkan penelitian yang menyeluruh
dan objektif. Untuk menjembatani kedua pandangan ini, maka
penelitian observasi – partisipasi sangatlah diperlukan agar hasil
penelitian lebih objektif (Duranti, 1997).
Ad.e Pendekatan etnografi merupakan pendekatan yang berhubungan
dengan pemakaian bahasa dalam konteks. Pendekatan etnografi
memandang bahasa sebagai bagian dari ekspresi budaya. Sedang
pendekatan wacana menyatakan bahwa pemakaian bahasa
merupakan bentuk wacana. Brown dan Yule (1996) menyatakan
bahwa pemakaian bahasa selalu melibatkan pertimbangan –
pertimbangan kontekstual, baik konteks linguistik maupun
konteks non linguistik, yang didalamnya termasuk konteks
sosial budaya.
Dalam penelitian ini, secara umum peneliti menggunakan kolaborasi
kelima pendekatan tersebut. Hal ini dilakukan karena kelima pendekatan tersebut
saling berkaitan satu sama lain. Pendekatan etnografi juga dilakukan karena
pendekatan ini memiliki dua karakteristik yang dapat digunakan untuk
penyelidikikan mendalam mengenai budaya dan bahasa. Kedua jenis pendekatan
44
etnografi ini yaitu etnografi deskriptif (konvensional, interpretatif) dan etnografi
kritikal (kritis, emansipatif) seperti diungkap oleh (Poerwandari dalam
Mudjiyanto, 2010). Fokus kajian kedua jenis etnografi ini sama – sama mengenai
praktek – praktek sosial dalam kaitannya dengan sistem dan budaya makro
(Poerwandari, 2001; dalam Mudjiyanto, 2010). Penelitian mengenai budaya
pertanian suatu kelompok masyarakat ini berfokus pada etnografis deskriptif yang
berusaha mengungkap pola, tipologi dan kategori pertanian yang ada di wilayah
penelitian. Oleh karenanya, penelitian ini diharapkan mampu menghasilkan
laporan etnografi yang merupakan thick description. Geertz (1973) dalam
Mudjiyanto (2010) menyatakan bahwa deskripsi yang padat diperlukan untuk
menarik kesimpulan yang luas dan sedalam – dalamnya dari fakta – fakta yang
kecil, namun memiliki struktur yang sangat padat. Oleh karenanya, deskripsi yang
padat akan mampu melampaui hal – hal faktual yang bersifat analitis dan teoritis
mengenai suatu komunitas atau kelompok. Lebih lanjut lagi, melalui analisis,
etnografi deskriptif dapat mengungkap pola, tipologi dan kategori; sedang
etnografi kritis berusaha mengungkap faktor – faktor sosial makro dan asumsi –
asumsi tersembunyi dari komunitas tersebut.
Metode etnografi, menurut Duranti (1997: 84 – 100), merupakan metode
yang menggunakan pendekatan observasi – partisipatori dan kerja sama dengan
para penutur asli. Lebih lanjut lagi, Duranti mengungkapkan bahwa metode
etnografi komunikasi mampu melihat variabilitas komunikasi suatu komunitas,
dan memiliki kelebihan untuk mengungkap jenis identitas yang digunakan
bersama oleh anggota komunitas budaya. Identitas tersebut tercipta dalam
45
komunikasi di suatu komunitas budaya. Identitas itu sendiri pada hakekatnya
merupakan perasaan anggota budaya tentang diri mereka sebagai komunitas. Oleh
karena itu, metode etnografi dapat dimanfaatkan untuk penelitian budaya melalui
kajian bahasa masyarakat budaya itu.
Pendekatan etnografi dimaksudkan untuk memperoleh kata – kata (gloss)
interpretasi lokal dari bahan penelitian hasil komunikasi yang direkam para
peneliti saat penelitian. Teknik observasi – partisipasi, dan wawancara mendalam
sangat diperlukan untuk memperkaya data penelitian. Lebih lanjut lagi, Spradley
(1980) mengajukan beberapa langkah etnografi yang disebut sebagai alur maju
bertahap (Developmental Research Sequences). Langkah – langkah tersebut terdiri
atas dua belas langkah, yaitu:
1) menetapkan informan,
2) mewawancarai informan,
3) membuat catatan etnografis,
4) mengajukan pertanyaan deskriptif,
5) menganalisis hasil wawancara,
6) membuat analisis domain,
7) mengajukan pertanyaan struktural,
8) membuat analisis taksonomik,
9) mengajukan pertanyaan kontras,
10) membuat analisis komponen,
11) menemukan tema-tema budaya,
12) menulis laporan etnografi.
46
Dari 12 langkah dalam metode etnografis di atas tampak jelas pentingnya
data bahasa (tuturan lisan) dalam penelitian linguistik antropologi. Hal ini
diperkuat pendapat yang dikemukakan oleh Shopen (1979) dalam Purwoko
(2008) yang menyatakan bahwa data bahasa berbentuk tuturan lisan, terutama
data bahasa yang berupa rekaman dari penutur aktual sangatlah penting dalam
penelitian bahasa dan budaya. Ia menjelaskan bahwa data rekaman dari penutur
aktual jauh lebih realistis, kaya dan komplit. Oleh karenanya, banyak ahli bahasa
berkesimpulan bahwa penggunaan bahasa tidak bisa dipisahkan dari maksud dan
perilaku penutur pada interaksi yang bersifat aktual. Purwoko (2008a) dengan
merujuk pada (Gregersen, 1972:92, cf. Hymes 1964, 1970, 1972, 1972a,
Conquergood 1991) menambahkan:
Dan kini gagasan semacam itu saat ini menjadi titik tolak penting bagi
para ahli yang melakukan penelitian tentang penggunaan bahasa
dengan metode etnografi komunikasi, karena mereka semakin percaya
bahwa, ketika berbicara, para penutur diwajibkan untuk menghasilkan
tidak hanya ujaran, yang menurut tata bahasa, bisa dipahami,
melainkan juga, ujaran, yang menurut norma budaya, bisa diterima
oleh lawan bicara dan semua pihak yang terlibat dalam komunikasi
(Purwoko, 2008a: 6).
2.3 Kearifan Lokal
2.3.1 Pengertian dan Konsep
Secara umum, kearifan lokal merupakan suatu gagasan konseptual yang
hidup dalam masyarakat, tumbuh dan berkembang secara terus-menerus dalam
kesadaran masyarakat, berfungsi dalam mengatur kehidupan masyarakat dari yang
sifatnya berkaitan dengan kehidupan yang sakral sampai yang profan. Local
47
wisdom (kearifan lokal/setempat): dapat dipahami sebagai gagasan – gagasan
setempat (lokal) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang
tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya.
Menurut Irianto (2009), kearifan lokal sering dikonsepsikan sebagai
kebijakan setempat (local wisdom), pengetahuan setempat (local knowledge) atau
kecerdasan setempat (local genious). Sedang Irianto (2009: 1) mendefinisikan
kearifan lokal sebagai sikap, pandangan, dan kemampuan suatu komunitas di
dalam mengelola lingkungan rohani dan jasmaninya, yang memberikan kepada
komunitas itu daya tahan dan daya tumbuh di dalam wilayah di mana komunitas
itu berada. Kearifan lokal dapat dijadikan jembatan yang menghubungkan masa
lalu dan masa sekarang, generasi nenek moyang dan generasi sekarang, demi
menyiapkan masa depan dan generasi mendatang. Pada gilirannya, kearifan lokal
pun dapat dijadikan semacam simpul perekat dan pemersatu antar generasi. Nilai-
nilai kearifan lokal itu meniscayakan fungsi yang strategis bagi penyeleksian
budaya asing sekaligus sebagai media pembentukan karakter dan identitas etnik.
Dalam disiplin antropologi dikenal istilah local genius, yang mula
pertama dikenalkan oleh Quaritch Wales. Para antropolog membahas secara
panjang lebar pengertian local genius ini (lihat Ayatrohaedi, 1986). Antara lain
Haryati Soebadio mengatakan bahwa local genius adalah juga cultural identity,
identitas/kepribadian budaya suatu kelompok masyarakat atau suku bangsa yang
menyebabkan etnis tersebut mampu menyerap dan mengolah kebudayaan asing
sesuai watak dan kemampuan sendiri (Ayatrohaedi, 1986:18-19). Berikut
merupakan ciri-ciri local genious:
48
1. Mampu bertahan terhadap budaya luar
2. Memiliki kemampuan mengakomodasi unsur-unsur budaya luar
3. Mempunyai kemampuan mengintegrasikan unsur budaya luar ke
dalam budaya asli
4. Mempunyai kemampuan mengendalikan
5. Mampu memberi arah pada perkembangan budaya.
Sedang menurut Atmaja dalam Hadi (2009:27), kearifan lokal
mempunyai ciri–ciri, sebagai berikut:
1. Memberikan pedoman bagi manusia agar bisa menyelaraskan
hubungan antar komponen yang membangun diri individu yakni
tubuh, roh, akal budi, rasa dan hasrat.
2. Memberikan pedoman dalam menyelesaikan masalah untuk
menghindarkan konflik
3. Sebagai elemen lintas warga, agama dan kepercayaan.
4. Sebagai warna kebersamaan dan identitas bagi komunitas
penganutnya.
Local genious, juga disebut cultural identity, adalah identitas/kepribadian
budaya suatu etnik atau suku bangsa yang menyebabkan komunitas tersebut
mampu menyerap dan mengolah kebudayaan asing sesuai watak dan kemampuan
sendiri (Irianto, 2009). Sedang Soedaryono (2010) menyatakan bahwa local
genious merupakan karya kreatif yang dihasilkan oleh masyarakat lokal yang
salah satunya berupa artefak. Sedang kearifan lokal adalah sikap, pandangan, dan
kemampuan suatu komunitas di dalam mengelola lingkungan rohani dan
jasmaninya, yang memberikan kepada komunitas itu daya-tahan dan daya tumbuh
di dalam wilayah dimana komunitas itu berada. Dengan kata lain kearifan lokal
adalah jawaban kreatif terhadap situasi geografis-geopolitis, historis, dan
49
situasional yang bersifat lokal. Kearifan lokal adalah pandangan hidup dan ilmu
pengetahuan serta berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang
dilakukan oleh masyarakat lokal dalam menjawab berbagai masalah dalam
pemenuhan kebutuhan mereka (lihat Irianto, 2009). Sedang Soedaryono (2010)
menyatakan bahwa local wisdom atau kearifan lokal merupakan ajaran – ajaran
sistem nilai, yang merupakan proses budaya, yang menjadi acuan manusia
berperilaku dalam masyarakat itu.
2.3.2 Ruang Lingkup
Nilai – nilai kearifan lokal pada dasarnya tidak dapat dilepaskan dari nilai
– nilai religi yang dianut masyarakat Indonesia, sehingga nilai – nilai kearifan
lokal ini dijalankan tidak semata – mata untuk menjaga keharmonisan hubungan
antar sesama manusia, manusia dengan lingkungan nya, tetapi juga sebagai
bentuk pengabdian kepada Sang Pencipta. Purba (2005:152-153) menyatakan
bahwa pengetahuan kearifan lingkungan atau kearifan lokal dapat dikategorikan
sebagai kearifan lingkungan dan etika lingkungan. Kearifan lingkungan adalah
suatu pengetahuan lokal (folk knowledge) yang diperoleh dari pengalaman
adaptasi secara aktif pada lingkungannya yang diwariskan secara turun temurun
serta terbukti efektif dalam melestarikan fungsi lingkungan dan menciptakan
keserasian lingkungan. Pengetahuan kearifan lingkungan diwujudkan dalam
bentuk ideasional (norma, nilai, mitologi, atau cerita rakyat, dan lain – lain).
Aktivitas sosial (interaksi sosial, upacara adat/keagamaan, pola permukiman, dan
lain – lain) dan material (peralatan dan teknologi).
Etika lingkungan mengacu pada pilihan baik dan buruk, pilihan yang
50
bersifat individual dan holistik. Etika mengacu pada tindakan – tindakan yang
didasarkan pada moralitas. Menurut Keraf (2002:143 – 160) etika lingkungan
mempunyai prinsip – prinsip sebagai berikut:
a) prinsip sikap hormat terhadap alam (respect to nature),
b) prinsip tanggung jawab (responsibility to nature),
c) prinsip solidaritas kosmik (cosmic solidarity),
d) prinsip kasih sayang dan kepedulian terhadap alam (caring for
nature),
f) prinsip tidak merugikan orang lain (no harm),
g) prinsip hidup sederhana dan selaras dengan alam,
h) prinsip keadilan,
i) prinsip demokrasi, dan
j) prinsip integritas moral.
Kearifan tradisional (Lampe: 2009) adalah salah satu warisan budaya
yang ada di masyarakat (tradisional) dan secara turun temurun dilaksanakan oleh
masyarakat yang bersangkutan, di mana kearifan tradisional tersebut umumnya
berisi ajaran untuk memelihara dan memanfaatkan sumber daya alam (hutan,
tanah, dan air) secara berkelanjutan. Dalam perspektif pengelolaan lingkungan
hidup, keberadaan kearifan lokal menjadi semakin penting dan harus
diselamatkan, karena sangat membantu mencegah terjadinya kerusakan
lingkungan, walaupun menurut Witoelar (2008:1) kekayaan budaya kearifan yang
pro lingkungan ini semakin terancam hilang oleh gaya hidup yang materialis –
hedonis yang konsumtif dan mengejar kesenangan semata. Lampe (2009:2)
51
menambahkan bahwa kearifan tradisional banyak yang telah ditinggalkan dan
diganti dengan perhitungan ekonomi tanpa memperhitungkan pelestarian fungsi
lingkungan hidup, sehingga menyebabkan semakin rusaknya hutan, hilangnya
mata air, dan lain – lain.
Kearifan lokal berkaitan dengan persepsi, sikap dan perilaku. Berikut ini
penjelasan mengenai ketiga konsepsi tersebut:
1) Persepsi
Persepsi, dalam bahasa Inggris perception, merupakan cara
pandang terhadap sesuatu atau mengutarakan pemahaman hasil olahan
daya pikir, artinya persepsi berkaitan dengan faktor – fakor eksternal
yang direspons melalui panca indera, daya ingat dan daya jiwa
(Marliany dalam Siswadi, 2010). Dalam arti luas, persepsi
mengandung pergertian bagaimana seseorang memandang atau
mengartikan sesuatu. Di sini, dengan pengetahuan yang ada dalam
dirinya yang terpengaruh oleh budaya yang telah mendarah daging di
pikirannya, manusia berusaha mengakui sesuatu, mengingkarinya,
memahami, mengaitkan, memutuskan dan menarik simpulan atas
sesuatu.
2) Sikap
Sikap berkaitan dengan suatu bentuk evaluasi atau reaksi
perasaan baik positif maupun negatif terhadap suatu objek. (Sobur
dalam Siswadi, 2010). Sobur (dalam Siswadi, 2010) menambahkan
bahwa sikap memiliki ciri khas antara lain:
52
a). Mempunyai objek tertentu (dapat berupa orang, perilaku,
konsep, situasi, benda, dan sebagainya)
b). Mengandung penilaian (positif atau negatif)
3) Perilaku
Perilaku merupakan proses interaksi antara kepribadian dan
lingkungan yang mengandung rangsangan (stimulus), kemudian
ditanggapi dalam bentuk respon. Respon terhadap stimulus inilah
yang merupakan suatu perilaku (Marliany, 2004). Perilaku ini
dipengaruhi oleh persepsi, sikap dan kepribadian serta pengalaman
seseorang. Perilaku seseorang terhadap lingkungan pada dasarnya
terdapat 2 (dua) pola, yaitu:
a) Perilaku ramah lingkungan
b) Perilaku tidak ramah lingkungan
Kearifan lokal, pada dasarnya, menghendaki perilaku suatu masyarakat yang
ramah terhadap lingkungan sekitarnya (Rohadi, 2010).
2.4 Budaya dan Kearifan Lokal
Kebudayaan secara umum tercermin dalam tiga hal, yaitu: perilaku, pola
pikir/ideologi, dan artefak (Koentjaraningrat, 1983). Ketiganya mencerminkan
kelokalan atau kekhasan budaya masyarakat budayanya. Kearifan lokal
merupakan salah satu cerminan budaya yang memuat ketiga unsur budaya
tersebut. Kearifan lokal memuat baik perilaku, etika, pola pikir (persepsi) dan
sikap, serta segala sesuatu yang berada di lingkungan sekitar masyarakat lokal
tersebut (artefak). Keterkaitan antara kearifan lokal dan budaya masyarakat
53
tersebut sedemikian erat, sehingga suatu kajian mengenai kebudayaan suatu
komunitas dapat dimanfaatkan untuk mengungkap kearifan lokal yang ada dan
hidup di dalam komunitas budaya tersebut.
54
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian
3.1.1 Wilayah Geografis Kecamatan Sirampog
Penelitian ini secara umum dilaksanakan di Desa Manggis dan Desa
Benda, Kecamatan Sirampog, Kabupaten Brebes, Provinsi Jawa Tengah.
Sirampog adalah sebuah Kecamatan di Kabupaten Brebes, Jawa Tengah,
Indonesia. Kecamatan Sirampog terletak di ujung tenggara wilayah Kabupaten
Brebes, dan berbatasan langsung dengan Kabupaten Tegal. Bagian barat wilayah
Kecamatan ini merupakan dataran rendah (seperti Desa Benda, Kaliloka dan
Manggis). Di bagian timur merupakan dataran tinggi dan pegunungan, seperti
Desa Mendala, Sridadi, Kaligiri, Dawuhan, Batursari, Igir Klanceng dan
Sawangan. Sirampog merupakan produsen sayuran untuk daerah Bumiayu,
Tonjong, dan Ajibarang. Penghasil sayuran utama berada di daerah dataran tinggi.
Sirampog juga terdapat mata air Kaligiri yang menyuplai air ke Kabupaten
Brebes, Kabupaten Tegal dan Kota Tegal. Penduduk Sirampog kebanyakan
adalah petani sayuran di dataran tinggi, serta petani padi di dataran rendah.
Wilayah penelitian meliputi seluruh dusun yang masih mengalami panen padi 3
kali dalam satu tahun. Berdasar survai awal yang telah peneliti lakukan, wilayah
Kecamatan Sirampog terdiri atas 13 desa, yaitu: Batursari, Benda, Buniwah,