Page 1
VALIDITAS HUKUM PERMENDAG NOMOR 29 TAHUN 2019
TENTANG KETENTUAN EKSPOR DAN IMPOR HEWAN DAN
PRODUK HEWAN TERHADAP EKSISTENSI UNDANG-UNDANG
JAMINAN PRODUK HALAL INDONESIA
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh :
NURUL MIFTAHUL JANNAH
NIM : 11150480000114
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1441 H/2020 M
Page 2
i
VALIDITAS HUKUM PERMENDAG NOMOR 29 TAHUN 2019
TENTANG KETENTUAN EKSPOR DAN IMPOR HEWAN DAN
PRODUK HEWAN TERHADAP EKSISTENSI UNDANG-UNDANG
JAMINAN PRODUK HALAL
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh :
NURUL MIFTAHUL JANNAH
NIM : 11150480000114
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1441 H/2020 M
Page 6
v
ABSTRAK
NURUL MIFTAHUL JANNAH, NIM 11150480000114 “VALIDITAS HUKUM
PERMENDAG NOMOR 29 TAHUN 2019 TENTANG KETENTUAN
EKSPOR DAN IMPOR HEWAN DAN PRODUK HEWAN TERHADAP
UNDANG-UNDANG JAMINAN PRODUK HALAL”. Konsentrasi Hukum
Bisnis, Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1441 H/2020 M. Isi: viii + 83 halaman +
6 halaman daftar pustaka.
Validitas hukum Permendag Nomor 29 Tahun 2019 tentang Ekspor dan
Impor Hewan dan Produk Hewan terhadap eksistensi Undang-Undang Jaminan
Produk Halal. Adapun Permasalahnya terkait dengan legalitas pencantuman
Undang-Undang Jaminan Produk Halal dalam konsiderans dan dasar hukum
Permendag Nomor 29 Tahun 2019 dan validitas hukum permendag Nomor 29
Tahun 2019 dihadapkan dengan eksistensi Undang-Undang Jaminan Produk Halal.
Metode penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dengan
menganalisis permasalahan dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan
(statute aproach) di bidang hukum perlidungan konsumen. Penelitian ini
meggunakan pendekatan dalam konsep teori validitas dan kepastian hukum yang
mencakup perlindugan hukum, keadilan hukum, kepastian hukum, akuntabilitas,
transparansi, efektivitas, dan efesiensi serta profesionalitas Peraturan Perundang-
undangan. Khususnya Undang-undang Jaminan Produk Halal dan Permendang
Nomor 29 Tahun 2019 tentang Ketentuan Ekspor dan Impor Hewan dan Produk
Hewan..
Hasil dalam penelitian ini menunjukkan bahwa dengan adanya
permasalahan (konflik) tersebut dampak filosofis yang ditimbulkan bertentangan
dengan teori perlindungan hukum dan moralitas hukum dimana suatu norma pada
dasarnya tbertujuan untuk melindungi konsumen khusunya konsumen muslim
dalam hak-haknya. Secara sosiologis dari penelitian tersebut juga berdampak pada
penurunan stabilitas moral dan kepastian dalam hukum yang berlaku terhadap
pencantuman sertifikasi halal dalam produk impor hewan dan produk hewan di
Indonesia setelah di terbitkannya Permendag Nomor 29 Tahun 2019 tentang
ketentuan Ekspor dan Impor hewan dan produk hewan sehingga dapat
menimbulkan multi tafsir dan kesalahfahaman dari berbagai kalangan termasuk
didalamnya masyarakat.
Kata Kunci : Validitas, Legalitas, Norma, Konsiderans, Dasar Hukum,
Permendag, Jaminan Produk Halal
Pembimbing Skripsi : 1. Dr. M. Bukhori Muslim, M.A.
2. Andi Syafrani, S.H.I.,M.C.C.L.
Daftar Pustaka : Tahun 1983 sampai Tahun 2019.
Page 7
vi
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkat dan rahmat-
Nya, penyusunan skripsi yang berjudul “ VALIDITAS HUKUM PERMENDAG
NOMOR 29 TAHUN 2019 TENTANG KETENTUAN EKSPOR DAN IMPOR
HEWAN DAN PRODUK HEWAN TERHADAP EKSISTENSI UNDANG-
UNDANG JAMINAN PRODUK HALAL INDONESIA” dapat diselesaikan
dengan baik, walaupun terdapat beberapa kendala yang dihadapi saat proses
penyusunan skripsi ini.
Penelitian skripsi ini tidak dapat dicapai tanpa adanya bantuan, dukungan,
dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini dengan
segala kerendahan hati dan penuh rasa hormat saya ingin mengucapkan terimakasih
sebesar-besarnya kepada yang terhormat:
1. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., M.H., M.A. Dekan Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Muhammad Ali Hanafiah Selian, S.H., M.H. Ketua Program Studi Ilmu
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Dr. M. Bukhori Muslim, M.A. dan Andi Syafrani, S.H.I., M.C.C.L,
Pembimbing Skripsi serta Ali Mansur M.A, Pembimbing Akademik yang
telah bersedia meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran dalam memberikan
bimbingan, motivasi, arahan, dan saran-saran yang sangat berharga kepada
peneliti dalam menyusun skripsi ini.
5. Kepala Urusan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, Kepala Pusat Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
Kepala Perpustakaan Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang
telah menyediakan fasilitas yang memadai guna menyelesaikan penelitian
skripsi ini.
Page 8
vii
6. Kedua orang tua saya, Bapak Hasyim As’ari dan Ibu Siti Nursidah, adik
saya tersayang Muhammad Ikhsan Nudin yang selalu memberikan
dukungan moral dan materil serta doa yang tak pernah henti untuk peneliti.
Semoga peneliti dapat selalu membahagiakan dan membanggakan keluarga
serta selalu dalam ridho Allah SWT.
7. Semua Pihak terkait yang tidak dapat peneliti sebutkan satu persatu yang
telah memberikan semangat dan doa tanpa henti kepada peneliti sehingga
skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. Akhir kata, peneliti berharap
semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat. Terima Kasih.
Jakarta, 8 Januari 2020
Peneliti
Nurul Miftahul Jannah
Page 9
viii
DAFTAR ISI
COVER ............................................................................................................. i
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................. ii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI .............................. iii
LEMBAR PERNYATAAN .............................................................................. iv
ABSTRAK ......................................................................................................... v
KATA PENGANTAR ....................................................................................... vi
DAFTAR ISI ...................................................................................................... viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .............................................................. 1
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah ..................... 9
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .................................................... 10
D. Metode Penelitian ......................................................................... 11
E. Sistematika Penulisan .................................................................. 15
BAB II TINJAUAN PEMBAHASAN TENTANG KEDUDUKAN HUKUM
PERMENDAG RI NOMOR 29 TAHUN 2019 TENTANG
KETENTUAN EKSPOR DAN IMPOR HEWAN DAN PRODUK
HEWAN
A. Kerangka Konseptual .................................................................. 17
1. Kedudukan hirarki Permendag RI Nomor 29 Tahun 2019..... 17
2. Koniderans dan Dasar Hukum Permendag RI Nomor 29 Tahun
2019 ........................................................................................ 23
3. Hukum WTO (World Trade Organization) ............................ 27
4. Penyelesaian Sengketa Impor Daging Ayam antara Indonesia
dengan Brazil ......................................................................... 30
5. Moralitas Hukum .................................................................... 33
B. Kerangka Teori ............................................................................ 35
1. Teori Validitas Hukum ........................................................... 35
2. Teori Kepastian Hukum .......................................................... 36
C. Tinjauan (review) Kajian Terdahulu ............................................ 37
Page 10
ix
BAB III KEDUDUKAN DAN EKSISTENSI UNDANG-UNDANG NOMOR
33 TAHUN 2014 TENTANG JAMINAN PRODUK HALAL
DALAM SISTEM HUKUM INDONESIA
A. Posisi dan Kedudukan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014
tentang Jaminan Produk Halal ...................................................... 42
1. Undang-Undang Jaminan Produk Halal ............................... 45
2. Tujuan dan Asas Undang-Undang Jaminan Produk Halal .... 46
3. Landasan Hukum Jaminan Produk Halal .............................. 49
B. Eksistensi Undang-Undang Jaminan Produk Halal .................... 54
1. Asas-Asas dan Teori Pembentukan Undang-Undang Jaminan
Produk Halal ........................................................................ 54
2. Penerapan Undang-Undang Jaminan Produk Halal Di
Indonesia .............................................................................. 57
BAB IV KONSTRUKSI LEGALITAS DAN VALIDITAS HUKUM
PERMENDAG NOMOR 29 TAHUN 2019 TENTANG
KETENTUAN EKSPOR DAN IMPOR HEWAN
A. Legalitas Pencantuman UU JPH dalam Konsiderans” dan Dasar
Hukum Permendag Nomor 29 Tahun 2019 tentang Ketentuan Ekspor
dan Impor Hewan dan Produk Hewan ......................................... 62
B. Validitas Hukum Permendag Nomor 29 Tahun 2019 tentang
Ketentuan Ekspor dan Impor Hewan dan Produk Hewan di Hadapkan
dengan Eksistensi UU JPH ........................................................... 74
BAB V PENUTUP ......................................................................................... 82
A. Kesimpulan .................................................................................. 82
B. Rekomendasi ............................................................................... 83
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 84
Page 11
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sejak dahulu cita-cita yang didambakan oleh bangsa Indonesia yaitu
terwujudnya masyarakat yang gemah ripah loh jinawi, tata tenterem karta
raharja, dengan penuh harapan diupayakan terealisasi dalam sikap tingkah
laku dan perbuatan setiap manusia Indonesia. Pembangunan nasional harus
dilakukan melalui perencanaan. Masa depan Indonesia harus didesain dan
strategi pembangunan harus disusun. Perencanaan pembangunan nasional
adalah imperatif, perekonomian harus disusun dan tidak dibiarkan tersusun
sendiri melalui mekanisme pasar bebas.1 Bagi Indonesia, kesejahteraan
sosial menempati posisi sentra dalam kemerdekaan Indonesia.
Kesejahteraan sosial (social welfare) merupakan kelanjutan yang lebih utuh
dari pemikiran tentang ekonomi kemakmuran (welfare economics).2
Karena itu, pangan sebagai kebutuhan dasar manusia yang
pemenuhannya merupakan hak asasi setiap rakyat Indonesia harus
senantiasa tersedia cukup setiap waktu, aman, bermutu, bergizi dan beragam
dengan harga yang terjangkau oleh daya beli masyarakat dan perlu
mendapat perlindungan dan jaminan kepastian hukum kehalalan untuk
dikonsumsi, terutama bagi umat Islam yang wajib dilindungi dan diberi hak
menjalankan ibadah sesuai dengan amanat UUD 1945 terutama Pasal 28
dan 29. Bagi masyarakat muslim, mengkonsumsi produk halal merupakan
kewajiban, sehingga negara melalui aparatur pemerintah juga berkewajiban
menjamin hal tersebut. Perintah berkewajiban mengkonsumsi dan
menggunakan produk halal dan baik diantaranya disebutkan di dalam
1 Paisol Burlian, “Reformulasi Yuridis Pengaturan Produk Pangan Halal Bagi Konsumen
Muslim DI Indonesia”, Jurnal Ahkam: Vol. VIV, No. 1, Januari 2014, h. 43. 2 Sri-Edi Swasono, Indonesia dan Doktrin Kesejahteraab Sosial: Dari Klasikal dan
Neoklasikal sampai ke The End Pf Laissez-Faire, (Jakarta: Perkumpulan PraKarsa, 2010), h. 2.
Page 12
2
firman-Nya Qs Al- Maidah Ayat 88. Halalan thayyiban atau dengan kata
lain adalah makanan yang baik untuk dikonsumsi secara syariat dan baik
bagi tubuh secara kesehatan (medis).
Laporan State of The Global Islamic Economy Report 2018/19 yang
diterbitkan oleh Thomson Reuters menempatkan Indonesia di peringkat
pertama untuk konsumen produk makanan halal yaitu sebesar $170 Miliar
atau setara dengan Rp2.412.087.50. data tersebut menunjukkan Indonesia
berada dalam posisi pertama dari 10 negara dengan jumlah pengeluaran
makanan halal terbesar di dunia. Sertifikasi dan labelisasi halal sangat
penting diterapkan oleh seluruh pelaku usaha guna untuk menentramkan
konsumen Indonesia yang mayoritas muslim, dengan demikian umat
muslim dapat dengan mudah memilih dan mengetahui mana produk yang
boleh dan mana produk yang tidak boleh dikonsumsi sesuai dengan ajaran
agama Islam. Perhatian dan keseriusan ajaran Islam dalam mengatur
makanan jelas terungkap dalam Qs ‘Abasa ayat 24 yang berbunyi “maka
hendaklah manusia memperhatikan makanannya.” Memang pandangan
Islam, makanan bukunlah tujuan hidup (ultimate goal), namun sebagai
sarana mencapai tujuan hidup. Kemudian dalam Qs Al-Mu’minun ayat 51
yang berbunyi “Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik,
dan kerjakanlah amal yang saleh.” Ayat kedua ini sesungguhnya
memberikan tata urutan; pertama, perintah memakan makanan yang baik;
lalu kedua, perintah melaksanakan perbuatan saleh. Dengan demikian
perbuatan saleh harus didukung dengan sumber makanan yang baik, bahwa
perbuatan saleh tujuan akhirnya adalah takwa sebagai tujuan hidup,
sedangkan makanan yang baik adalah sarana untuk mencapai tujuan hidup
tersebut, yakni takwa.3 Oleh karena itu, jaminan kepastian hukum terhadap
produk pangan halal dalam hukum nasional sangat diperlukan guna
memberikan jaminan kepastian hukum bagi konsumen muslim di Indonesia.
3 Zulham, Peran Negara Dalam Perlindungan Konsumen Muslim Terhadap Produk Halal,
(Jakarta: Kencana, 2018), h.159.
Page 13
3
Hal ini sejalan dengan perubahan pola konstruksi hukum dalam hubungan
produsen dan konsumen, yaitu hubungan yang dibangun atas prinsip caveat
emptor (konsumen harus berhati-hati) menjadi prinsip caveat venditor
(kesadaran produsen untuk berhati-hati guna melindungi konsumen).4
Tujuan konsumen dalam mengkonsumsi, terutama pangan, dalam
perspektif (ekonomi) Islam adalah mencari maslahat maksimum dan begitu
juga produsen.
Halal pada saat ini tidak lagi hanya murni urusan agama. Dalam
kehidupan masyarakat dunia, halal menjadi simbol global yang
mencerminkan jaminan kualitas dan pilihan gaya hidup. Karena dalam
bisnis, produk berlabel halal dapat membuat keuntungan yang signifikan
bagi produsen.5 Dalam hal ini produsen dan pedagang menggunakan
sertifikat halal dan logo sebagai cara untuk menginformasikan dan
meyakinkan konsumen bahwa produk mereka berkualitas dan layak
dikonsumsi sesuai aturan agama. Meningkatnya gaya hidup halal
masyarakat dunia berpengaruh pada permintaan produk halal. Banyak
negara berkonsentrasi pada bisnis penyediaan produk halal, yang mana
pengaturan kehalalan produk disesuaikan dengan syari’ah Islam.
Perkembangan industri produk halal di negara-negara maju,
meskipun umat Islam minoritas seperti Amerika Serikat, namun pola
belanja dan konsumsi pangan disesuaikan dengan ketentuan standar halal,
begitu juga dengan negara-negara lainnya. Tumbuhnya angka perdagangan,
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta berbagai inisiatif untuk
memperbaiki kualitas hidup masyarakat, merupakan signal penting bahwa
konsep halal dipahami sepenuhnya oleh pelaku industri. Konsep halal akan
mempengaruhi transformasi masyarakat menuju tercapainya kualitas hidup
4 Inosentius Samsul, Perlindungan Konsumen, Kemungkinan Penerapan Tanggung Jawab
Mutlak, (Jakarta: Program Pasca Sarjana Fkultas Hukum Universitas Indonesia, 2004), h. 4
5 Supriadi, Yayat, Pengaruh kebijakan labelisasi halal terhadap hasil penjual
anproduk,(Jakarta:Universitas Indonesia, 2009), h. 12.
Page 14
4
yang baik, keselamatan publik, penciptaan kembali dan tempat tinggal yang
nyaman.6 Perdagangan internasional (International Trade) adalah bentuk
kerjasama ekonomi yang dilakukan oleh suatu negara dengan negara-negara
lain, yang ada kaitannya dengan jual beli barang atau jasa sehingga bisa
membawa kemakmuran bagi suatu negara. Istilah perdagangan
internasional (International Trade) atau disebut dengan perdagangan antar
bangsa-bangsa, pertama kali dikenal di Benua Eropa yang kemudian
berkembang di Asia dan Afrika, dan negara-negara yang terhimpun dalam
kegiatan perdagangan internasional membentuk suatu persetujuan dagang
dan tarif (General Agreement on Tariff and Trade/GATT). Perdagangan
sangat penting sebagai upaya peningkatan pertumbuhan ekonomi sekaligus
guna memelihara kemantapan stabilitas nasional.
Perdagangan internasional saat ini mengacu pada konsep ekonomi
dimana perdagangan antar negara terjadi tanpa hambatan perdagangan yang
disebut dengan pasar bebas.7 Namun, walau sudah terdapat kesepakatan
bersama dalam menentukan suatu peraturan mengenai perdagangan, dalam
prakteknya hambatan-hambatan pada perdagangan itu masih tetap akan ada
dan banyak dari hambatan tersebut yang dibuat oleh negara. Merupakan
suatu hal yang wajar apabila terdapat suatu pertikaian atau konflik dalam
sebuah hubungan perdagangan, yang mana hal ini merupakan suatu bentuk
dari interaksi sosial dalam kehidupan bermasyarakat. Konflik akan
berkembang menjadi sengketa apabila pihak yang merasa dirugikan
menyatakan rasa tidak puas dan menimbulkan kerugian bagi pihak lainnya.
Kegiatan perdagangan internasional yang dilakukan oleh negara-negara
yang terhimpun dalam Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade
Organization/WTO) tentu saja tidak terlepas dari adanya permasalahan
hukum. Ada beberapa permasalahan hukum yang terdapat dalam
6 Lady Yulia, Halal Product Industry Development Strategy (Strategi Pengembangan
Industri Produk Halal), (Jurnal Bimas Islam, ISSN: 1978-90009 Vol.8 No. 1, Tahun 2015), h. 123. 7 Muhammad Sood, Hukum Perdagangan Internasional, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2012), h. 17.
Page 15
5
perdagangan internasional, seperti ekspor-impor, dumping, safeguard,
subsidi, keterlambatan pengiriman barang, dll. Di Indonesia sendiri
permasalahan hukum dalam perdagangan internasional hampir selalu
terjadi, misalnya permasalahan hukum mengenai ekspor-impor. Salah
satunya adalah indonesia yang dipersegketakan oleh Brazil mengenai impor
daging ayam.
Indonesia telah meratifikasi pembentukan World Trade
Organization (WTO) menjadi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994
tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization
(Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia). Di dalam
undang-undang tersebut dijelaskan bahwa salah satu pembahasan dalam
Putaran Uruguay 1986 sampai dengan 1994 adalah mengenai Non-Tariff
Measures (Tindakan Non-Tarif) yang bertujuan untuk mengurangi atau
menghapus berbagai hambatan perdagangan yang bersifat non-tariff,
dengan tetap memperhatikan komitmen untuk mengurangi sebanyak
mungkin hambatan perdagangan sejenis (Standstill and Rollback
Principles).8 Dengan demikian Indonesia secara yuridis terikat untuk
mengimplementasikan WTO Agreement trsebut, begitupun dengan
ketentuan-ketentuan yang berlaku didalamnya termasuk The General
Agreement on Tariffs and Trade (GATT). Indonesia sebagai negara anggota
WTO diberikan kebebasan untuk membuat dan mengaplikasikan prosedur
hukum nasionalnya sendiri yang secara otomatis harus konsisten dengan
ketentuan-ketentuan WTO. Sebagaimana dinyatakan dalam Pasal XI
GATT: "Setiap pihak dalam perjanjian, artinya negara yang telah
meratifikasi, tidak diperbolehkan untuk memberlakukan atau menegakkan
larangan atau pembatasan selain dalam bentuk bea masuk, pajak atau
pungutan lainnya, baik itu yang diberlakukan melalui kuota, lisensi impor
atau ekspor atau tindakan lainnya, dalam hal importasi produk apa pun dari
8 https://nasional.sindonews.com/read/1304189/18/sertifikasi-halal-dan-sengketa-
perdagangan-internasional-1525822382 diakses pada tanggal 15 Oktober 2019, pukul 22.07.
Page 16
6
wilayah pihak lainnya atau dalam hal eksportasi atau penjualan untuk tujuan
ekspor dari produk apa pun yang ditujukan bagi wilayah pihak lainnya."9
Kasus yang termutahir terjadi pada gugatan Brazil kepada Indonesia
dalam sengketa di WTO mengenai pengimporan daging ayam dan produk-
produk dari ayam potong ke Indonesia. Salah satu poin gugatanya yaitu
bahwa Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk
Halal dan Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor
139/Permentan/PD.410/12/2014 tentang Pemasukan Karkas, Daging,
dan/atau Olahannya ke Dalam Wilayah Negara Republik Indonesia. Brazil
menganggap bahwa kedua peraturan perundang-udangan tersebut dianggap
sebagai cara untuk melarang impor daging ayam dan produk-produk ayam,
dan bahwa persyaratan penyembelihan dan pelabelan halal bersifat
diskriminatif. Dalam rangka menjawab tuntutan ketentuan Organisasi
Perdagangan Dunia (WTO) akibat kekalahan Indonesia pada sengketa
perdagangan antara Brasil dan Indonesia, dalam Keputusan Panel Sengketa
Perdagangan Nomor DS484 Badan Penyelesaian Sengketa WTO tertanggal
22 November 2017 lalu, secara ringkas memutuskan bahwa 18 kebijakan
yang diterapkan pemerintah Indonesia dinilai tidak konsisten dengan aturan
WTO yang berlaku.10 Kementerian Perdagangan (Kemendag) menerbitkan
Peraturan Kementerian Perdagangan (Permendag) Nomor 29 Tahun 2019
tentang Ketentuan Ekspor dan Impor Hewan dan Produk Hewan. Lahirnya
Permendag Nomor 29 Tahun 2019 ini sekaligus mencabut Permendag
Nomor 59/MDAG/PER/8/2016 tentang Ketentuan Ekspor dan Impor
Hewan dan Produk Hewan. Salah satu persoalan antara Brasil dan
Indonesia adalah perihal perdagangan daging unggas terkait sertifikasi halal
terhadap produk daging hewan unggas/ayam potong dari Brazil. Putusan itu
pun kemudian berdampak pada hilangnya kewajiban sertifikasi halal
9 https://nasional.sindonews.com/read/1304189/18/sertifikasi-halal-dan-sengketa-
perdagangan-internasional-1525822382, diakses pada tanggal 19 Oktober 2019, Pukul 17.14. 10 https://nasional.sindonews.com/read/1304189/18/sertifikasi-halal-dan-sengketa-
perdagangan-internasional-1525822382, diakses pada tanggal 19 Oktober 2019, pukul 17.44.
Page 17
7
sebagai prasyarat masuknya produk tersebut ke Indonesia. Hasil putusan
dari sengketa itu kemudian terjawab dalam Permendag Nomor 29 Tahun
2019. Kemendag pun menghapus kewajiban sertifikasi halal seperti yang
tercantum dalam Permendag 59/2016.
Ada dua persoalan yang akan muncul jika putusan dari WTO itu
sepenuhnya diterapkan di Indonesia. Pertama, pemerintah harus menghapus
Pasal 4 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk
Halal (UU JPH) yang mengatur mengenai kewajiban bersertifikasi halal.
Saat ini, Indonesia tengah mempersiapkan masa kewajiban mandatori
sertifikasi halal untuk semua produk, baik produk impor maupun produk
lokal yang akan dimulai pada 17 Oktober 2019. Dalam Pasal 4 Undang-
Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal bahwa
“Produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia
wajib bersertifikat halal”. Kedua, putusan WTO tersebut melanggar hak-
hak konsumen muslim, khususnya yang saat ini menurut data statistik
berjumlah 220 juta jiwa. Warga Negara Indonesia (WNI) tersebut tidak akan
mendapatkan perlindungan negara untuk mendapatkan daging impor baik
dari daging unggas maupun dari daging merah. Karena sekalipun yang
dipersoalkan adalah produk daging ayam-unggas dalam Sengketa
Perdagangan Nomor DS484, akan tetapi Permendag Nomor 29 Tahun 2019
tentu akan berimplikasi hukum bagi semua produk hewan dan turunannya.
Namun yang menjadi pokok perhatian penelitian ini terkait polemik
peraturan tersebut adalah bagaimana konsepsi teori hukum aturan
perundang-undangan yang ditinjau dari sudut pandang hukum pelindungan
konsumen khusunya dengan kaitannya dalam undang-undang jaminan
produk halal. Setiap peraturan perundang-undangan terrmasuk di dalamnya
peraturan menteri, haruslah memuat ketentuan yang jelas. Sehingga secara
ontologis atauran ini mampu memberikan kepstian hukum di setiap pasal
dan ayat yang terkandung di dalamnya. Selanjutnya, dalam teori norma
hukum dari Hans Kelsen memuat konsepsi bahwa peraturan yang lebih
rendah haruslah selaras dan tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang
Page 18
8
lebih tinggi. Sebagaimana undang-undang perlindungan konsumen dan
undang-undang jaminan produk halal telah mewajibkan setiap produk
makanan yang beredar di indonesia agar wajib menerapkan sertifikasi dan
label halal. Namun demikian Permendag Nomor 29 Tahun 2019 tentang
Ketentuan Ekspor dan Impor Hewan tersebut secara vulgar telah
menghapuskan pasal tentang kewajiban bagi sertifikasi dan label halal, yang
mana permendag ini tidak sejalan dengan keharusan bahwa peraturan yang
lebih rendah haruslan memuat ketentuan praktis dari aturan yang lebih
tinggi mengingat undang-undang perlindungan konsumen dan undang-
undang jaminan produk halal telah menjadi landasan hukum bagi
perlindungan kosnumen di indonesia khususnya konsumen muslim. 11
Berdasarkan latar belakang di atas, maka peneliti tertarik untuk
mengangkat penelitian dengan judul “VALIDITAS HUKUM
PERMENDAG NOMOR 29 TAHUN 2019 TENTANG KETENTUAN
EKSPOR DAN IMPOR HEWAN DAN PRODUK HEWAN
TERHADAP EKSISTENSI UNDANG-UNDANG JAMINAN
PRODUK HALAL INDONESIA”
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang diajukan oleh peneliti,
maka identifikasi masalah penelitian ini sebagai berikut :
a. Penegakan hukum sertifikasi halal terhadap pengedaran produk
impor di Indonesia belum optimal.
b. Kurangnya kerjasama yang baik antara BPJPH, kementerian, LPH,
sektor industri keuangan syariah dan MUI dengan lembaga dalam
dan luar negeri di bidang penyelenggaraan Jaminan Produk Halal,
sehingga proses sertifikasi halal menjadi sangat lambat dan belum
optimal.
11 Asshiddiqie, Jimly, Ali Safa’at, M, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, (Jakarta: Setjen
& Kepaniteraan MK-RI, 2006), h. 36.
Page 19
9
c. Belum adanya analisis indikator-indikator sertifikasi halal dalam
konstruksi regulasi produk impor Indonesia.
d. Meningkatnya jumlah sengketa perdagangan internasional.
e. Validitas dan legalitas Hukum peraturan perundang-undangan
terkait jaminan produk halal indonesia masih dipertanyakan.
2. Pembatasan Masalah
Untuk mempermudah pembahasan dalam penulisan skripsi ini,
peneliti membatasi masalah yang akan dibahas sehingga
pembahasannya lebih jelas dan terarah sesuai dengan yang diharapkan
peneliti. Oleh karena itu, dalam pembatasan masalah ini peneliti
membatasi pada pembahasan mengenai validitas dan legalitas hukum
salah satu peraturan perundangan yaitu Permendag Nomor 29 Tahun
2019 tentang Ketentuan Ekspor dan Impor Hewan dan Produk Hewan
terhadap eksistensi Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang
Jaminan Produk Halal Indonesia. Sebagai bahan penelitian penulis
berfokus melakukan analisis pada pencantuman undang-undang
jaminan produk halal dalam konsiderans dan dasar hukum Permendag
Nomor 29 Tahun 2019 ditinjau dari Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dan teori
hukum yang berkaitan.
3. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan batasan masalah di atas perumusan
masalah yang diangkat ialah validitas hukum Permendag Nomor 29
Tahun 2019 tentang Ketentuaan Ekspor dan Impor Hewan dan Produk
Hewan terhadap eksistensi Undang-undang Jaminan Produk Halal. Dari
perumusan masalah tersebut peneliti pertegas dengan pertanyaan
penelitian sebagai berikut:
a. Bagaimana Legalitas pencantuman Undang-Undang Jaminan
Produk Halal dalam konsiderans ”menimbang” dan dasar hukum
“mengingat” Permendag Nomor 29 Tahun 2019 tentang Ketentuan
Ekspor dan Impor Hewan dan Produk Hewan?
Page 20
10
b. Bagaimana validitas hukum Permendag Nomor 29 Tahun 2019
tentang Ketentuan Ekspor dan Impor Hewan dan Produk Hewan
dihadapkan dengan eksistensi undang-undang jaminan produk
halal?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Dengan adanya permasalahan tersebut, maka tujuan penelitian yang
ingin dicapai adalah:
a. Untuk mengetahui gambaran yang jelas mengenai keabsahan
Permendag Nomor 29 Tahun 2019 tentang Ketentuan Ekspor dan
Impor Hewan dan Produk Hewan secara hukum.
b. Untuk mengetahui gambaran yang jelas bagaimana validitas
hukum Permendag Nomor 29 Tahun 2019 tentang Ketentuan
Ekspor dan Impor Hewan dan Produk Hewan dihadapkan dengan
eksistensi undang-undang jaminan produk halal.
2. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari adanya penelitian ini, yaitu sebagai berikut:
a. Secara teoritis, penelitian ini memberikan sebagai tambahan
dokumentasi dari segi hukum dalam membahas validitas hukum
Permendag Nomor 29 Tahun 2019 tentang Ketentuan Ekspor dan
Impor Hewan dan Produk Hewan terhadap eksistensi Undang-
undang Jaminan Produk Halal.
b. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan
kontribusi terhadap Ilmu Hukum khususnya Hukum Bisnis
berkaitan tentang validitas hukum Permendag Nomor 29 Tahun
2019 tentang Ketentuan Ekspor dan Impor Hewan dan Produk
Hewan.
c. Secara akademis, penelitian ini merupakan syarat untuk meraih
gelar Sarjana Hukum dalam Program Studi Ilmu Hukum di UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
Page 21
11
D. Metode Penelitian
Untuk dapat merampungkan penyajian skripsi ini agar dapat memenuhi
kriteria sebagai tulisan ilmiah diperlukan data yang relevan dengan skripsi
ini. Dalam upaya pengumpulan data yang diperlukan itu, maka diterapkan
metode pengumpulan data sebagai berikut :
1. Jenis Penelitian
Jenis Penelitian yang digunakan untuk menjawab permasalahan
pada penelitian ini adalah yuridis normatif. Pendekatan yuridis normatif
mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan
perundang-undangan serta norma-norma hukum yang ada dalam
masyarakat.12 Mukti Fajar dan Yulianto Achmad sebagaimana mengutip
dari Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji mengemukakan bahwa
penelitian normatif adalah penelitian hukum yang dilakukan dengan
cara meneliti bahan kepustakaan yang mencakup penelitian terhadap
asas-asas hukum, sistematika hukum, sinkronisasi vertikal dan
horizontal, perbandingan hukum antar negara, ataupun dari
perkembangan hukum positif dari kurun waktu tertentu. Penelitian yang
dilakukan mengacu pada norma hukum yang terdapat pada peraturan
perundang-undangan Pendekatan undang undang menurut Peter
Mahmud Marzuki adalah pendekatan yang dilakukan dengan menelaah
semua undang-undang dan semua regulasi yang berkaitan dengan isu
hukum yang yang sedang ditangani.13 Dalam bidang Hukum hirarki
perundang-undangan dan hukum Perlindungan Konsumen dalam hal
kepastian hukum yang menitikberatkan pada moral dan kaidah hukum
yang terdapat pada Permendag Nomor 29 Tahun 2019 tentang
Ketentuan Ekspor dan Impor Hewan dan Produk Hewan dan Undang-
Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal.
12 Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), h.105.
13 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2005), h. 93
Page 22
12
Sedangkan, sifat dari penelitian ini adalah deskriptif. Teknik deskriptif
dimaksudkan peneliti untuk memaparkan apa adanya tentang suatu
peristiwa hukum atau kondisi hukum.14
2. Pendekatan Masalah
Dalam kaitannya dengan penelitian yuridis normatif, akan
digunakan pendekatan yaitu:
a. Perundang-undangan (Stattute Approach)
Pendekatan Perundang-undangan (Statute Approach) yaitu
suatu pendekatan yang dilakukan terhadap berbagai aturan hukum
yang berkaitan dengan validitas dan legalitas hukum suatu peraturan
perundang-undangan, seperti Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan,
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk
Halal, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 dan Permendag
Nomor 29 Tahun 2019 tentang Ketentuan Ekspor dan Impor Hewan
dan Produk Hewan.
b. Penelitian Historis (Historical Research)
Pendekatan Historis (Historical Research) merupakan salah
satu tipe pendekatan dalam penelitian kualitatif yang bertujuan untuk
merekontruksi kembali secara sistematis, akurat, dan objektif
kejadian atau peristiwa yang pernah terjadi dimasa lampau dengan
menggunakan pendekatan normatif dan interpretatif.
Melalui tipe penelitian historis, peneliti membuat
rekonstruksi masa lampau dengan mengumpulkan, memverifikasi,
dan menganalisis serta menyintesiskan bukti atau fakta yang ada
dengan teliti, sehingga memungkinkan gambaran yang tepat pada
14 I Made Pasek Diantha, Metodologi Penelitian Hukum Normatif dalam Justifikasi Teori
Hukum, (Jakarta: Prenada Media Group, 2016), h. 152.
Page 23
13
masa lampau, memberikan latar masa sekarang, dan prespektif masa
datang.15
3. Sumber Data dan Bahan Hukum
Dalam penelitian ini data yang digunakan adalah data sekunder yang
artinya data sebelumnya telah diolah oleh orang lain. Data sekunder ini
antara lain : dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil-hasil penelitian
yang berbentuk laporan, buku harian, hasil interview, dan lain-lain. Data
sekunder ini meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan
bahan hukum tersier:
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer dalam penelitian ini adalah: Undang-
Undang Dasar 1945, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen, Permendag Nomor 29 Tahun 2019 tentang
ketentuan Ekspor dan Impor hewan dan produk hewan, Undang-
Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal dan
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan.
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang memberi
penjelasan mengenai bahan hukum primer.16 yang terdiri atas: (a)
bukun-buku teks yang membicarakan suatu dan/atau beberapa
permasalahan hukum termasuk skripsi, tesisi, dan disertasi hukum,
(b) kamus-kamus hukum, dan (c) jurnal-jurnal hukum.
c. Bahan Non Hukum
Bahan non hukum yaitu berupa literatur yang berasal dari
non hukum yang mempunyai relevansi dengan objek permasalahan
15 A. Muri Yusuf, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif & Penelitian Gabungan,
(Jakarta: Prenadamedia Group, 2014), h. 346. 16 Amiruddin, Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Rajawali
Pers, 2010), h. 32.
Page 24
14
yang akan diteliti berpa Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI),
majalah, koran, internet, dan lainnya.17
4. Metode dan Teknik Pengumpulan Data
Untuk memperoleh suatu kebenaran ilmiah dalam penulisan ini,
maka peneliti menggunakan prosedur pengumpulan bahan hukum
dengan cara pertama, studi kepustakaan (library research) di
perpustakaan Utama Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
jakarta dan perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum, Metode library
research adalah metode pengumpulan data dengan menggunakan
literatur baik berupa buku, catatan, maupun laporan hasil penelitian dari
penelitian terdahulu.18
Kedua, menggunakan prosedur pengumpulan data dokumen yaitu
catatan atau karya seseorang tentang sesuatu yang sudah berlalu.
Dokumen tentang orang atau sekelompok orang, peristiwa, atau
kejadian dalam situasi sosial yang sesuai dan terkait dengan fokus
penelitian adalah sumber informasi yang sangat berguna dalam
penelitian kualitatif. Dokumen itu dapat berbentuk teks tertulis,
artefacts, gambar, maupun foto.19
5. Teknik Pengolahan Data
Teknik pengolahan data yang digunakan peneliti adalah dengan
mengelola data sedemikian rupa sehingga tujuannya adalah
menyederhanakan seluruh data yang terkumpul, menyajikannya dalam
susunan yang baik dan rapi, untuk kemudian dianalisis.20 Cara
pengolahan bahan hukum dilakukan secara deduktif yakni menarik
17 Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, ... h. 57.
18 M. Iqbal Hasan, Pokok-Pokok Materi Metodologi Penelitian dan Aplikasinya, (Bogor: Ghalia, 2002), h. 11
19 A. Muri Yusuf, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif & Penelitian Gabungan, ... h.
391. 20 Hermawan Wasito, Pengantar Metodologi Penelitian: Buku Panduan Mahasiswa,
(Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1993), h. 87
Page 25
15
kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap
permasalahan kongkret yang dihadapi.
6. Teknik Analisis Data
Tujuan analisis data adalah menyederhanakan data dalam bentuk
yang mudah dibaca dan diidentifikasikan.21
Metode yang digunakan dalam menganalisis data yang terkumpul
adalah analisi kualitatif, yaitu menafsirkan data yang berupa bahan
hukum dan bahan-bahan pustaka. Dimana dideskripsikan dalam bentuk
penjelasan dan uraian-uraian kalimat, yaitu suatu cara berpikir yang
dilakukan pada fakta-fakta yang bersifat umum kemudian dilanjutkan
dengan keputusan yang bersifat khusus.
7. Teknik Penulisan
Dalam penyusunan penelitian ini peneliti menggunakan metode
penulisan sesuai dengan sistematika penulisan yang ada pada Buku
Pedoman Penulisan Skripsi, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif
Hidayatullah, Jakarta, tahun 2017.
E. Sistematika Pembahasan
Skripsi ini disusun dalam lima bab. Masing-masing bab terdiri atas
sub-sub bab guna memperjelas dan untuk mempermudah dalam memahami
penelitian ini, peneliti memaparkan dalam sistematika sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN. Pada bab ini merupakan bab
pendahuluan yang isinya antara lain memuat latar belakang
masalah, identifikasi masalah, pembatasan masalah dan
perumusan masalah, metode penelitian, dan sistematika
pmbahasane.
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM
PERMENDAG RI NOMOR 29 TAHUN 2019
TENTANG KETENTUAN EKSPOR DAN IMPOR
21 Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), h.
213.
Page 26
16
HEWAN DAN PRODUK HEWAN. Pada bab ini akan
dibahas mengenai kerangka konseptual, kerangka teori, dan
tinjauan (review) kajian terdahulu.
BAB III KEDUDUKAN DAN EKSISTENSI UNDANG-
UNDANG JAMINAN PRODUK HALAL DALAM
SISTEM HUKUM INDONESIA. Pada bab ini akan
dibahas kedudukan dan Eksistensi Undang-Undang Nomor
33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal di Indonesia
BAB IV KONSTRUKSI LEGALITAS DAN VALIDITAS
HUKUM PERMENDAG NOMOR 29 TAHUN 2019
TENTANG KETENTUAN EKSPOR DAN IMPOR
HEWAN DAN PRODUK HEWAN. Dalam bab ini akan
dibahas mengenai pencantuman undang-undang jaminan
produk halal dalam konsiderans dan dasar hukum
Permendag Nomor 29 Tahun 2019 tentang Ketentuan
Ekspor dan Impor Hewan dan Produk Hewan dam validitas
hukum Permendag Nomor 29 Tahun 2019 tentang Ketentuan
Ekspor dan Impor Hewan dan Produk Hewan dihadapkan
dengan eksistensi undang-undang jaminan produk halal.
BAB V PENUTUP.Peneliti memahas kesimpulan dan rekomendasi.
Kesimpulan hasil penelitian ,erupakan jawaban terhadap inti
masalah penelitian berdasarkan data yang diperoleh.
Sedangkan, rekomendasi dibuat berdasarkan hasil
penelitian.
Page 27
17
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG KEDUDUKAN HUKUM PERMENDAG
RI NOMOR 29 TAHUN 2019 TENTANG KETENTUAN EKSPOR DAN
IMPOR HEWAN DAN PRODUK HEWAN
A. Kerangka Konseptual
1. Kedudukan Hirarki Permendag RI Nomor 29 Tahun 2019 tentang
Ketentuan Ekspor dan Impor Hewan Dan Produk Hewan
Sesuai dengan tugas dan fungsi seorang Menteri sesuai Pasal 17 UUD
1945 Perubahan, maka salah satu fungsi dari Peraturan Menteri adalah
menyelenggarakan pengaturan secara umum dalam rangka penyelenggaraan
kekuasaan pemerintah di bidangnya. Penyelenggaraan fungsi ini adalah
berdasarkan Pasal 17 ayat (1) UUD 1945 Perubahan dan kebiasaan yang ada.
Fungsi ini dimilliki oleh setiap Menteri sesuai dengan bidang tugasnya
misalnya, Menteri Kesehatan mempunyai kekuasaan mengatur segala hal
yang menyangkut bidang kesehatan, Menteri keuangan mempunyai
kekuasaan mengatur segala hal yang menyangkut bidang keuangan dan juga
menteri lainnya.1 Begitupun Menteri Perdagangan, Peraturan Mentri
Perdagangan tentang ketentuan Ekspor dan Impor Hewan dan Produk Hewan
di tetapkan dalam upaya meningkatkan perlindungan konsumen, menjaga
kelestarian sumber daya alam hayati, memberikan kepastian berusaha,
transparansi, dan penyederhanaan proses perijinan, tertib administrasi impor,
serta menindaklanjuti paket kebijakan penyelamatan ekonomi yang dibuat
dan disetujui pada Rapat Terbatas Tingkat Menteri tanggal 23 Agustus 2013,
yang kemudian perlu mengatur kembali ketentuan impor dan ekspor hewan
dan produk hewan yang diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan
Republik Indonesia Nomor 46/M-DAG/PER/8/2013.
Selanjutanya, untuk mendorong peningkatan daya saing nasional,
perlu adanya penyederhanaan perizinan di bidang perdagangan, khususnya
1 Maria Farida Indrati S, Ilmu Perundang-undangan Jenis, Fungsi dan Menteri Muatan,
(Yogyakarta: Kanisius, 2007), h. 225.
Page 28
18
ekspor dan impor hewan dan produk hewan. Dikarenakan Peraturan Menteri
Perdagangan Republik Indonesia Nomor 46/M-DAG/PER/8/2013
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor
41/M-DAG/PER/6/2015 dinilai sudah tidak relavan lagi, peraturan ini di
cabut dan diatur kembali dalam Peraturan Menteri Perdagangan Republik
Indonesia Nomor 05/M-DAG/PER/1/2016. Yang kemudian untuk lebih
meningkatkan efektifitas pelaksanaan kebijakan ekspor dan impor hewan dan
produk hewan peraturan ini di atur kembali dalam Peraturan Menteri
Perdagangan Republik Indonesia Nomor 59/M-DAG/PER/8/2016.
Hingga dewasa ini Menteri Perdagangan Republik Indonesia
menetapkan Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 29
Tahun 2019 tentang Ketentuan Ekspor dan Impor Hewan dan Produk Hewan
sebagai upaya lebih meningkatkan efektivitas pelaksanaan kebijakan ekspor
dan impor hewan dan produk hewan, perlu melakukan pengaturan kembali
ketentuan ekspor dan impor hewan dan produk hewan. Lahirnya Permendag
Nomor 29 Tahun 2019 ini sekaligus mencabut Permendag No
59/MDAG/PER/8/2016 tentang Ketentuan Ekspor dan Impor Hewan dan
Produk Hewan.2 Selanjutnya, telah ditetapkan Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
menurut Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, peraturan
perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum
yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga
negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam
Peraturan Perundang-undangan. Sementara itu, dalam Pasal 7 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 mengatur jenis dan hierarki
peraturan perundang-undangan terdiri atas:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
2 https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5d79887736212/impor-unggas-tak-wajib-
sertifikasi-halal, diakses pada tanggal 20 Ohktober 2019, pokul 07.27.
Page 29
19
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
Peraturan menteri dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
diatur dalam ketentuan Pasal ayat (1). Namun demikian, jenis peraturan
tersebut keberadaannya diatur dalam Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2011, yang menegaskan: “Jenis Peraturan Perundang-undangan
selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan
yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah
Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia,
Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan
Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.”
Walaupun ketentuan di atas tidak menyebut secara tegas jenis
peraturan perundang-undangan berupa “Peraturan Menteri”, namun frase
“…peraturan yang ditetapkan oleh… menteri…” di atas, mencerminkan
keberadaan Peraturan Menteri sebagai salah satu jenis peraturan perundang-
undangan. Dengan demikian, Peraturan Menteri setelah berlakunya Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2011 tetap diakui keberadaannya. kmudian,
bagaimanakah kekuatan mengikat Peraturan Menteri tersebut. Pasal 8 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 menegaskan: “Peraturan Perundang-
undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan
mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh
Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan
kewenangan.” Dari ketentuan di atas, terdapat dua syarat agar peraturan-
peraturan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang
Page 30
20
Nomor 12 Tahun 2011 memiliki kekuatan mengikat sebagai peraturan
perundang-undangan, yaitu:
1. diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi; atau
2. dibentuk berdasarkan kewenangan.
Dalam doktrin, hanya dikenal dua macam peraturan perundang-
undangan dilihat dasar kewenangan pembentukannya, yaitu peraturan
perundang-undangan yang dibentuk atas dasar:
1. atribusi pembentukan peraturan perundang-undangan; dan
2. delegasi pembentukan peraturan perundan-undangan
A. Hamid S. Attamimmi,3 menegaskan Atribusi kewenangan
perundang-undangan diartikan penciptaan wewenang (baru) oleh
konstitusi/grondwet atau oleh pembentuk undang-undang (wetgever) yang
diberikan kepada suatu organ negara, baik yang sudah ada maupun yang
dibentuk baru untuk itu. Sebagai contoh, peraturan perundang-undangan
atribusian dalam UUD 1945, berupa Undang-Undang, Peraturan Pemerintah,
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) dan Peraturan
Daerah (Perda). Dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 juga dikenal
satu jenis peraturan perundang-undangan atribusian di luar UUD 1945, yaitu
Peraturan Presiden (Perpres), yang pada masa lalu dikenal sebagai Keputusan
Presiden yang bersifat mengatur yang dasarnya adalah Pasal 4 ayat (1) UUD
1945.
Sementara itu, delegasi dalam bidang perundang-undangan ialah
pemindahan/ penyerahan kewenangan untuk membentuk peraturan dari
pemegang kewenangan asal yang memberdelegasi (delegans) kepada yang
menerima delegasi (delegataris) dengan tanggungjawab pelaksanaan
kewenangan tersebut pada delegataris sendiri, sedangkan tanggungjawab
3 A. Hamid S. Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia Dalam
Penyelenggaraan Pemerintahan Negara : Suatu Studi Analisis Mengenai Keputusan Presiden Yang
Berfungsi Pengaturan Dalam Kurun Waktu Pelita I – Pelita VI, (Jakarta: Fakultas Pasca Sarjana UI,
1990), h. 352.
Page 31
21
delegans terbatas sekali.4 Contohnya dari peraturan perundang-undangan
delegasi, misalnya tergambar dalam Pasal 19 ayat (4) Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan, yang menegaskan bahwa:
”Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara menyampaikan pernyataan untuk
menjadi Warga Negara Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.” Peraturan menteri yang dibentuk
atas dasar perintah dari undang-undang tersebut dikategorikan sebagai
peraturan perundang-undangan atas dasar delegasi (delegated legislation).
Dengan demikian, secara umum peraturan perundang-undangan delegasi
adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk atas dasar perintah
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Kembali pada persoalan keberadaan dan kekuatan mengikat peraturan
perundang-undangan yang diatur dalam Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011, termasuk Peraturan Menteri, Pasal 8 ayat (2) Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2011 tidak hanya mengatur keberadaan peraturan
perundang-undangan atas dasar delegasi (peraturan yang diperintahkan oleh
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi). Pasal 8 ayat (2) Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2011 juga menegaskan adanya peraturan
perundang-undangan “yang dibentuk atas dasar kewenangan”. Istilah
“kewenangan” dalam ketentuan tersebut, tentu saja bukan kewenangan
membentuk peraturan melainkan kewenangan pada ranah lain. Misalnya,
Menteri melaksanakan kewenangan atas urusan pemerintahan tertentu yang
merupakan kekuasaan Presiden. Artinya, apabila Menteri membentuk
Peraturan Menteri tanpa adanya “perintah dari peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi”, Peraturan Menteri tersebut tetap dikategorikan
sebagai peraturan perundang-undangan. Padahal dalam doktrin tidak dikenal
jenis peraturan perundang-undangan demikian. Hal ini perlu dikaji lebih
lanjut dari perspektif Ilmu Perundang-undangan terutama dalam kaitannya
4 A. Hamid S. Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia Dalam
Penyelenggaraan Pemerintahan Negara : Suatu Studi Analisis Mengenai Keputusan Presiden Yang
Berfungsi Pengaturan Dalam Kurun Waktu Pelita I – Pelita VI,... h. 347.
Page 32
22
peraturan perundang-undangan sebagai norma hukum yang bersifat hierarkis
dimana norma hukum yang lebih rendah mencari validitasnya pada norma
hukum yang lebih tinggi sebagaimana dikemukakan Hans Kelsen atau yang
disebut oleh Joseph Raz sebagai chain of validity.5
Dalam undang-undang sebelumnya, Undang-Undang Nomor 10
Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, tidak
dikenal peraturan perundang-undangan yang dibentuk atas dasar
kewenangan, termasuk dalam hal peraturan menteri. Peraturan Menteri yang
dibentuk tanpa adanya pendelegasian dari peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi sebelum berlaku Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011,
dikenal secara teoritik sebagai peraturan kebijakan (beleidregels).Yaitu suatu
keputusan pejabat administrasi negara yang bersifat mengatur dan secara
tidak langsung bersifat mengikat umum, namun bukan peraturan perundang-
undangan.6 Karena bukan peraturan perundang-undangan, peraturan
kebijakan tidak dapat diuji oleh Mahkamah Agung yang memiliki
kewenangan menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-
undang terhadap undang-undang. Dengan adanya ketentuan Pasal 8 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, maka tidak lagi perbedaan antara
Peraturan Menteri yang merupakan peraturan perundang-undangan dengan
Peraturan Menteri yang merupakan Aturan Kebijakan.
Kedudukan Peraturan Menteri yang telah dibentuk sebelum
berlakunya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, tetap berlaku sepanjang
tidak dicabut atau dibatalkan. Namun demikian, terdapat dua jenis kedudukan
Peraturan Menteri yang dibentuk sebelum berlakunya Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011. Pertama, Peraturan Menteri yang dibentuk atas dasar
perintah peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, berkualifikasi
sebagai peraturan perundang-undangan. Kedua, Peraturan Menteri yang
5 Jimly Asshiddiqie & M. Ali Safa’at, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, (Jakarta:
Kompress, 2006), h. 157.
6 Bagir Manan dan Kuntana Magnar, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara, (Banung:
Alumni, 1997), h. 169.
Page 33
23
dibentuk bukan atas dasar perintah peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi (atas dasar kewenangan), berkualifikasi sebagai Aturan Kebijakan. Hal
ini disebabkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 berlaku sejak tanggal
diundangkan, sehingga adanya Peraturan Menteri yang dibentuk sebelum
tanggal diundangkannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 masih
tunduk berdasarkan ketentuan undang-undang yang lama (Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011). Konsekuensinya, hanya Peraturan Menteri kategori
pertama di atas, yang dapat dijadikan objek pengujian Mahkamah Agung.
Selanjutnya, kedudukan Peraturan Menteri yang dibentuk setelah berlakunya
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, baik yang dibentuk atas dasar
perintah peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi maupun yang
dibentuk atas dasar kewenangan di bidang urusan pemerintahan tertentu yang
ada pada menteri, berkualifikasi sebagai peraturan perundang-undangan.
Dengan demikian, Peraturan Menteri tersebut memiliki kekuatan hukum yang
bersifat mengikat umum dan dapat dijadikan objek pengujian pada
Mahkamah Agung, apabila dianggap bertentangan dengan undang-undang.
Sekedar menegaskan kembali, kedudukan Peraturan Menteri yang dibentuk
tanpa delegasi/ atas kewenangan di bidang administrasi negara perlu dikaji
lebih lanjut.7
2. Konsiderans dan Dasar Hukum Peraturan Menteri Perdagangan
Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2019 tentang Ketentuan Ekspor
dan Impor Hewan dan Produk Hewan
Dalam Lampiran B.3 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dijelaskan bahwa Konsiderans
diawali dengan kata “menimbang”, kemudian konsiderans memuat uraian
singkat mengenai pokok pikiran yang menjadi pertimbangan dan alasan
pembentukan Perundang-undangan. Menimbang atau Konsiderans dalam
7 https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5264d6b08c174/kedudukan-
peraturan-menteri-dalam-hierarki-peraturan-perundang-undangan/, diakses pada tanggal 03
Desember 2019, pukul 14:38.
Page 34
24
suatu peraturan perundang-undangan memuat uraian singkat mengenai
pokok-pokok pikiran yang menjadi latar belakang dan alasan pembuatan
peraturan perundang-undangan tersebut. pokok-pokok pikiran pada
konsiderans Undang-Undang atau Peraturan Daerah memuat unsur-unsur
filosofis, juridis, dan sosiologis yang menjadi latar belakang pembuatannya.8
Sebagaimana tercantum pada Angka 19 Lampiran Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2011 dijelaskan yang menjadi pertimbangan dan alasan
pembentukannya yang penulisannya ditempatkan secara berurutan dari
filosofis, sosiologis, dan yuridis.
1. Unsur filosofis, menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk
mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum yang
meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia yang
bersumber dari Pancasila dan Pembukaan Undang- Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2. Unsur sosiologis, menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk
untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek.
3. Unsur yuridis, menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk
mengatasi permasalahan hukum atau mengisi kekosongan hukum
dengan mempertimbangkan aturan yang telah ada, yang akan diubah,
atau yang akan dicabut guna menjamin kepastian hukum dan rasa
keadilan m asyarakat.
Dalam Permendag Nomor 29 Tahun 2019 tentang Ketentuan Ekspor
dan Impor Hewan dan Produk Hewan, terdapat dua point konsideras yaitu: a.
bahwa untuk lebih meningkatkan efektivitas pelaksanaan kebijakan ekspor
dan impor hewan dan produk hewan, perlu melakukan pengaturan kembali
ketentuan ekspor dan impor hewan dan produk hewan; b. bahwa berdasarkan
pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan
Peraturan Menteri Perdagangan tentang Ketentuan Ekspor dan Impor Hewan
8 Maria Farida Indarti S, Ilmu Perundang-Undangan 2 (Proses dan Teknik
Pembentukannya), (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2007), h. 108.
Page 35
25
dan Produk Hewan;. Dapat dilihat dalam konsiderans tersebut tidak
disebutkan bahwasanya permendag tersebut diterbitkan atas pokok-pokok
pikiran yang menjadi latar belakang dan alasan pembuatannya yang dilandasi
atas menjawab tuntutan ketentuan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO)
akibat kekalahan Indonesia pada sengketa perdangan antara Brazil dan
Indonesia, yang mana dalam Keputusan Panel Sengketa Perdagangan Nomor
DS484 Badan Penyelesaian Sengketa WTO tertanggal 22 November 2017
lalu. Melainkan atas dasar melakukan pengaturan kembali ketentuan ekspor
dan impor hewan dan produk hewan yang menyangkut peredaran barang di
dalam negeri dan berfokus untuk mengatur tata niaga impor hewan dan
produk hewan9, sehingga kehalalan suatu produk pun tidak perlu
dicantumkan dalam konsiderans, sebagai bentuk pembaruan peraturan
tersebut. Selanjutnya, mengingat atau yang dikenal sebagai dasar hukum
merupakan landasan yang bersifat yuridis bagi pembentukan peraturan
perundang-undangan tersebut.10 Angka 28 Lampiran Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2011, dasar hukum memuat diantaranya:
1. Dasar hukum diawali dengan kata Mengingat.
Dasar hukum memuat:
a. Dasar kewenangan pembentukan Peraturan Perundang-
undangan;dan
b. Peraturan Perundang-undangan yang memerintahkan pembentukan
Peraturan Perundang-undangan.
2. Peraturan Perundang–undangan yang digunakan sebagai dasar hukum
hanya Peraturan Perundang–undangan yang tingkatannya sama atau
lebih tinggi.
9 https://bisnis.tempo.co/read/1248410/permendag-direvisi-ada-satu-pasal-khusus-
wajibkan-label-halal, diakses pada tanggal 18 Desember 2019, pukul 23.15.
10 Maria Farida Indrati S, Ilmu Perundang-undangan Proses dan Teknik Pembentukannya,
... h. 109.
Page 36
26
3. Peraturan Perundang-undangan yang akan dicabut dengan Peraturan
Perundang-undangan yang akan dibentuk, Peraturan Perundang–
undangan yang sudah diundangkan tetapi belum resmi berlaku, tidak
dicantumkan dalam dasar hukum.
4. Jika jumlah Peraturan Perundang–undangan yang dijadikan dasar hukum
lebih dari satu, urutan pencantuman perlu memperhatikan tata urutan
Peraturan Perundang–undangan dan jika tingkatannya sama disusun
secara kronologis berdasarkan saat pengundangan atau penetapannya.
Kemudian, dasar hukum suatu perundang-undangan dapat terdiri atas
hal-hal sebagai berikut:
a) Peraturan yang memberikan kewenangan bagi terbentuknya peraturan
perundang-undangan tersebut, yaitu ketentuan dalam Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
b) Peraturan yang memerintahkan secara langsung pembentukan
peraturan perundang-undangan tersebut.
c) Peraturan perundang-undangan lainnya yang setingkat dan erat
kaitannya (berhubungan langsung) dengan peraturan perundang-
undangan yang dibentuk.
d) Ketentuan MPR dapat dipakai sebagai dasar hukum apabila mempunyai
kaitan yang sangat erat dengan peraturan perundang-undangan yang
akan dibentuk, yaitu ketetapan MPR yang menyebutkan secara tegas-
tegas perlunya dibentuk peraturan perundang-undangan tersebut.
e) Dasar hukum tersebut dirumuskan secara kronologis sesuai dengan
hierarkhi peraturan perundang-undangan, dan apabila peraturan
perundang-undangan tersebut sama tingkatannya, maka dituliskan
berdasarkan nomor urutan pembentukan peraturan perundang-
undangan tersebut.11
11 Maria Farida Indarti S, Ilmu Perundang-Undangan 2 (Proses dan Teknik
Pembentukannya), ... h. 96.
Page 37
27
Suatu keputusan (keputusan presiden, keputusan menteri, keputusan
kepala badan negara atau keputusan lembaga-lembaga lain), dapat saja
dimasukan dalam bagian “mengingat” atau dengan kata lain menjadi dasar
hukum bagi suatu peraturan lain jika memiliki tingkatan yang sama atau lebih
tinggi dari peraturan yang akan diterbitkan.
3. Hukum WTO (World Trade Organization)
Organisasi perdagangan dunia atau yang lebih dikenal dengan nama
The World Trade Organization (WTO) telah tumbuh dan berkembang
menjadi salah satu organisasi internasional yang paling penting dan
berpengaruh dalam hubungan ekonomi dan pembangunan antar bangsa.
Organisasi yeng berangotakan sebagianbesar negara di dunia ini berperan
dalam hubungan perdagangan internasional dalam rangka peningkatan
pembangunan ekonomi dan standar hidup bagi negara-negara anggotanya.
Sistem perdgangan dalam kerangka WTO ini merupakan suatu rule-
based system dengan perjanjian-perjanjian multilateral yang disepakati
bersama yang sifatnya terintegritasi dan single undertaking. Termasuk di
dalamnya adalah adanya suatu kesatuan dalam sistem penyelesaian sengketa
dengan tingkat efektivitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan kebnyakan
organisasi internasional lainnya.
Sistem perdagangan multilateral dengan kompleksitas aturan-aturan
dan disiplin yang temuat dalam perjanjian WTO tersebut memerlukan suatu
pemahaman yang benar dan komprehensif, tidak saja untuk tujuan
peningkatan pengetahuan intelektualitas tetapi untuk menghadapi persoalan-
persoalan yang muncul dan semakin meningkat dalam hubungan
internasional terutama yang terkait dengan indonesia. Termasuk dalam
hubungan ini adalah upaya untuk menciptakan suatu sistem perdagangan
yang lebih fair dan berimbang dalam hubungan perdagangan antarbangsa di
dunia ini. 12 WTO didirikan pada tanggal 1 Januari 1995, oleh Marrakesh
12 Peter van den Bossche, Daniar Natakusumah dan Joseph Wira Koesnaidi, Pengantar
Hukum WTO (World Trade Organization), (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2010), h. Xi.
Page 38
28
Agreement Establishing The World Trade Organization. Hukum dasar WTO
dapat dibagi dalam 5 kategori:
1. Pertauran mengenai non-diskriminasi;
2. Peraturan mengenai akses pasar;
3. Peraturan mengenai perdagangan yang tidak adil;
4. Peraturan mengenai hubungan antara liberalisasi perdagangan dan
nilai-nilai serta kepentingan sosial lainnya; dan
5. Peraturan mengenai harmonisasi perangkata hukum nasional dalam
bidang-bidang khusus.
Selanjutnya hukum WTO terdidi daru peraturan-peraturan yang
bersifat kelembagaan dan yang bersifat prosedural, termsuk peraturan-
peraturan dalam penentuan keputusan dan penyelesaian sengketa. Semua
peraturan WTO ini membentuk sistem perdagangan multirateral. Sumber
utama hukum WTO adalah WTO Agreement. WTO Agreement berisi hanya
16 pasal dan menjelaskan secara lengkap fungsi-fungsi WTO, perangkat-
perangkatnya, keanggotaannya dan prosedur pengambilan keputusan. Tetapi
dalam perjanjian singkat ini juga terlampir sembilan belas perjanjian
internasional yang merupakan satu kesatuan dan menjadi bagian dari WTO
Agreement. Perjanjian-perjanjian ini terdiri dari: 13
1. Perjanian-perjanjian multilateral atas perdagangan barang (Lampiran
1A), terdiri dari:
1) General Agreement on Tariffs and Trade 1994) Perjanjian Umum
mengenai Tarif dan Perdagangan 1994, yang selanjutnya disebut
GATT 1994);
2) Dua belas perjanjian mengenai aspek-aspek khusus dalam
perdagngan barang , seperti:
a. Agreement on Agriculture (Perjanjian dalam Bidang Pertanian);
13 Peter van den Bossche, Daniar Natakusumah dan Joseph Wira Koesnaidi, Pengantar
Hukum WTO (World Trade Organization, ... h.3.
Page 39
29
b. Agreement on the Application of Sanitary and Phytosanitary
Measures (Perjanjian mengenai Penerapan TindakanSanitasi
dan Phystosanitasi)nyang selanjutanya disebut SPS Agreement;
c. Agreement on Technical Barriers to Trade (Perjanjian
mengenai Hambatan-hambatan Teknis dalam Perdagangan)
selanjutanya disebut TBT Agreement;
d. Agreement on Implementation of Article VI of the General
Agreement on Tariffs and Trade 1994 (Perjanjian mengenai
Penerapan Pasal VI GATT 1994) selanjutnya disebut Anti-
Dumping Agreement;
e. Agreement on Subsidies and Countervailing Measures
(Perjanjian mengenai Subsidi dan Tindakan Imbalan)
selanjutnya disebut SCM Agreement;
f. Agreement on Safeguards (Perjanjian Mengenai Safeguards);
g. General Agreement on Trade in Services(Perjanjian mengenai
Perdagangan di bidang Jasa, selanjutnya disebut GATS;
3) Agreement on Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights
(Perjanjian mengenai Aspek-aspek yang berhubungan dengan
Perdagangan Hak Kekayaan Intelektual), selanjutnya disebut TRIPS
Agreement;
4) Understanding on Rules and Procedures Governing the Sattlement
of Disputes (Pengertian mengenai Peraturan dan Prosedur yang
mengatur Penyelesaian Sengketa), selanjutnya disebut DSU;
5) Trade Policy Review Mechanism (Mekanisme Penilaian Kebijakan
Perdagangan), selanjutnya disebut TPRM, Annex 3;
6) Dua perjanjian Plurilateral mengenai pengadaan pemerintah
(government procurement) dan perdagangan pesawat sipil ( trade in
civil aircraft.
Perjanjian-perjanjian tersebut adalah perjanjian multilateral dan
mengikat seluruh anggota WTO. Dan perjanian berisi Plurilateral yang hanya
Page 40
30
mengikat anggota WTO yang secara tegas telah menyetujuinya. WTO
Agreement terdiri lebih dari 25.000 halaman, termasuk lampiran-
lampirannya. 95% dari itu berisi Schedules of Concessions (Jadwal Konsesi
dalam perdagngan barang) dan Schedules of Specific Commitments (Jadwal
Komitmen-komitmen khusus dalam perdagangan jasa).
WTO Agreement bukanlah sumber hukum satu-satunya bagi hukum
WTO. Sumber hukum lainnya yang penting adalah kasus-kasus yang pernah
diputus di WTO melalui sistim penyelesaian sengketanya (yang selanjutnya
disebut sebagai “WTO Case Law” yang berkaitan dengan sengketa
perdagngan internasional dan kasusnya laporan penyelesaian sengketa WTO
oleh panels dan Apellate Body WTO pada dasarnya hanya mengikat secara
hukum kepada pihak-pihak yang bersengketa.
Tetapi khususnya keputusan Apellate Body mempunya pengaruh yang
sangat besar dan pada praktiknya selalu diikuti dalam penyelesaian sengketa
berikutnyauntuk kasus serupa. Sebagai tambahan, tindakan dari aparat WTO,
perjanjian-perjanjian yang berhubungan dengan WTO, hukum internasional
yang berdasarkan kebiasaan dan prinsip-prinsip hukum secara umum juga
digunakan sebagai sumber dalam hukum WTO.14
4. Penyelesaian Sengketa Impor Daging Ayam antara Indonesia dengan
Brazil
Indonesia tidak berupaya untuk melarang atau membatasi impor
daging ayam atau produk ayam dari negara manapun, termasuk Brasil.
Indonesia hanya memastikan bahwa daging ayam dan produk ayam aman,
sehat, dan halal. Upaya Indonesia untuk memastikan kesehatan dan keamanan
produk lebih lanjut telah mengakibatkan penghentian beberapa langkah yang
ditentang oleh Brasil dalam proses ini. Berikut adalah langkah-langkah
Indonesia menghentikan impor daging ayam Brasil ke Indonesia:
14 Peter van den Bossche, Daniar Natakusumah dan Joseph Wira Koesnaidi, Pengantar
Hukum WTO (World Trade Organization), ... h.5.
Page 41
31
1. Larangan Umum pada Impor Daging Ayam dan Produk Ayam
2. Larangan Impor Potongan Daging Ayam dan Daging Ayam yang
Disiapkan atau Diawetkan Lainnya (Daftar Positif)
3. Batasan Penggunaan Produk Impor
4. Prosedur Perizinan Impor Ketat Indonesia
5. Penundaan yang Tidak Semestinya Sehubungan dengan Persetujuan
Persyaratan Sanitasi
6. Batasan Pada Transportasi Produk Impor
7. Penerapan Diskriminatif Persyaratan Pelabelan Halal
Dari langkah-langkah penghentian tersebut telah melanggar
ketentuan-ketentuan WTO dengan klaim-klaim hukum sebagai berikut:
a. Klaim yang Terkait dengan Tindakan Perbatasan yang Menciptakan
Pembatasan Perdagangan. Indonesia memberlakukan larangan umum
terhadap produk Brasil yang melanggar Pasal XI: 1 GATT 1994 dan
Pasal 4.2 Agreement on Agriculture (selanjutnya disebut AoA).
Prosedur perizinan impor Indonesia juga merupakan bagian dari rezim
lisensi non-otomatis yang penerapan dan administrasinya
menyebabkan efek pembatasan perdagangan pada impor yang
melanggar Pasal 3.2 Agreement on Import Licensing Procedures
(selanjutnya disebut ILA).
b. Klaim yang Terkait dengan Perlakuan Diskriminatif. Perlakuan yang
berbeda terhadap produk impor, Brasil tidak dapat mencapai saluran
distribusi yang paling penting di negara itu, di mana sebagian besar
pembelian makanan terjadi. Kiriman dari Brasil untuk digunakan di
restoran di Jakarta tidak dapat diarahkan ke pasar tradisional (atau
bahkan ke tujuan lain yang dimaksudkan, seperti hotel). Oleh karena
itu, persyaratan penggunaan yang dimaksud memiliki efek yang
berbeda dan melanggar kedua Pasal X1: 1 dan III: 4.
c. Klaim Terkait dengan Hambatan Sanitas. Dalam perselisihan ini,
ketiadaan respons sepenuhnya setelah tujuh tahun proposal pertama
Page 42
32
adalah bukti yang jelas bahwa pihak berwenang Indonesia telah secara
tidak adil menunda prosedur untuk memeriksa dan memastikan
pemenuhan persyaratan sanitasi yang akan memungkinkan untuk
ekspor produk Brasil. Dengan tidak menjawab, pihak berwenang
Indonesia melanggar Lampiran C (1) (a) dari Perjanjian SPS.15
Dispute Settlement Body (DSB) sebagai badan penyelesaian sengketa
WTO dalam memberikan rekomendasi dan merumuskan aturan tidak
diperkenankan menambah atau mengurangi hak dan kewajiban dari negara
anggota yang tercantum dalam perjanjian tercakup dalam daftar sebagai
perjanjian yang dapat diajukan menggunakan mekanisme penyelesaian
sengketa Pasal 3 DSU yang terdiri dari konsultasi, penyelesaian sengketa
berdasarkan Pasal XXIII (Panel), proses Panel, hasil keputusan WTO, naik
banding melalui Appelatte Body, implementasi keputusan, retaliasi sebagai
pelaksanaan keputusan. Keputusan Akhir untuk sengketa impor daging ayam
yakni sebagaimana yang telah dirilis Kementrian Pertanian Republik
Indonesia, terdapat 3 (tiga) ketentuan yang dimenangkan Indonesia karena
Brasil dianggap gagal membuktikan ketentuan tersebut bertentangan dengan
perjanjian WTO, yaitu Diskriminasi persyaratan pelabelan halal, persyaratan
pengangkutan langsung, pelarangan umum terhadap impor daging ayam dan
produk ayam. Sedangkan 4 (empat) ketentuan yang dimenangkan oleh Brasil
karena dianggap bertentangan dengan Perjanjian WTO, yaitu Daftar produk
yang dapat diimpor (positif list), persyaratan penggunaan produk impor
(itendeduse), prosedur perizinan impor, penundaan proses persetujuan
sertifikat kesehatan veteriner (unduedelay).
Atas keputusan kemenangan Brasil di WTO, Indonesia dan Brasil
bersepakat untuk tidak melakukan banding. Implikasi dengan tidak
dilakukannya banding maka Indonesia harus menyesuaikan atau
15 Luh Made Junita Dwi Jayanti & I Gede Putra Ariana, Penyelesaian Sengketa Impor
Daging Ayam Antara Brazil Dengan Indonesia Melali Disputte Settlement Body World Trade
Organization, Bagian Hukum Internasional dan Hukum Bisnis Internasional, Fakultas Hukum,
Universitas Udayana, h. 6.
Page 43
33
mengimplementasikan putusan final Panel WTO yang akan dilakukan dengan
perubahan dan penyederhanaan sebagaimana dalam Peraturan Menteri
Pertanian No. 34 Tahun 2016. Dengan demikian dalam negosiasi tersebut
Brasil menerima tawaran Indonesia untuk tidak mengimpor daging ayam ke
Indonesia karena Indonesia dalam kondisi kelebihan produksi dan mengambil
kesempatan untuk mengekspor daging sapi ke Indonesia dan kerja sama
lainnya yang menguntungkan kedua belah pihak.16
5. Moralitas Hukum
Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum berdasarkan
Ketetapan MPR RI No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata
Urutan Peraturan Perundang-undangan, merupakan pandangan hidup,
kesadaran dan cita-cita hukum, serta cita-cita moral yang meliputi suasana
kejiwaan dan watak bangsa Indonesia yaitu cita-cita moral tentang kehidupan
kemasyarakatan dan keagamaan sebagai pengejawantahan budi nurani
manusia. Dalam kaitan ini menurut kansil, bahwa pandangan hidup,
kesadaran dan cita-cita hukum serta cita-cita moral luhur yang meliputi
suasana kejiwaan serta watak bangsa Indonesia itu pada tanggal 18 Agustus
1945, telah dimurnikan dan dipadatkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia atas nama rakyat Indoneia menjadi dasar negara Republik
Indonesia.
Dengan rumusan: Ketuhanan Yang Maha Esa; Kemanusiaan yang
Adil dan Beradap; Persatuan Indonesia; Kerakyatan yang Dipimpin oleh
Hikmat Kebijaksanaan dan Permusyawaratan/ Perwakilan Rakyat; Keadilan
Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. 17 Sedangkan menurut A. Hamid S.
16 Luh Made Junita Dwi Jayanti & I Gede Putra Ariana, Penyelesaian Sengketa Impor
Daging Ayam Antara Brazil Dengan Indonesia Melali Disputte Settlement Body World Trade
Organization, ... h. 8
17 Kansil,C.S.T, Sekelumit Tentang Ketetapan MPR 1960-1983. Dalam FH UKI (ed)
Membangun dan Menegakkan Hukum Dalam Era Pembangunan Berdasarkan Pancasila dan UUD
1945, (Jakarta: Erlangga, 1983), h. 15.
Page 44
34
Attamimi, bahwa menurut UUD 1945 dalam tata hukum yang berlaku bagi
bangsa Indonesia, Pancasila berada dalam dua kedudukan yaitu sebagai Cita
Hukum (Rechtsidee) maka Pancaila berada dalam tata hukum Indonesia
namun terletak diluar sistem norma hukum; dan dalam kedudukan yang
demikian itu Pancasila berfungsi secara konstitutif dan secara regulatif
terhadap norma-norma yang ada dalam sistem norma hukum. Selanjutnya
sebagai norma tertinggi dalam sistem norma hukum Indonesia yang berasal
dari pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945,
Pancasila merupakan Norma Dasar (Grundnom) menciptakan semua norma-
norma yang lebih rendah dalam sistem norma hukum tersebut, serta
menentukan berlaku atau tidaknya norma-norma dimaksud.18 Mengingat di
dalam tata susunan norma hukum tidak dibenarkan adanya kontradiksi antara
norma hukum yang rendah dan norma hukum yang lebih tinggi, maka
penentuan Pancasila sebagai norma hukum yang menggariskan pokok-pokok
pikiran pembukaan hukum dasar merupakan jaminan tentang adanya
keserasian dan tidak adanya pertentangan antara Pancasila dengan norma
hukum dalam peraturam perunang-unangan. Ketidakserasian dan
pertentangan antara suatu norma dan norma hukum yang lebih tinggi
menyebabkan terjadinya ketidakkonstitusionalan dan ketidaklegalan norma
tersebut dan karena itu tidak berlaku.19
Perwujudan Pancasila dalam sistem hukum Nasional akan tercipta
hukum nasional yang berkarakteristik sebagai berikut: (1) bernuansa nilai-
nilai moral religius yang beradap, bukan hanya berdasarkan hukum agama
dari suatu agama tertentu; (2) menjunjung tinggi hak-hak asasi rakyat
Indonesia dalam penyusunannya; (5) konsep keadilan yang digunakan bukan
hanya berlingkup induividu, melainkan juga keadilan sosial untuk
18 A. Hamid S. Attamimi, Pancasila Cita Hukum Dalam Kehidupan Hukum Bangsa
Indonesia, Dalam Pancasila Sebagai Ideologi: Dalam Berbagai Bidang Kehidupan Bermasyarakat,
Berbangsa, dan Bernegara, (BP7Pusat, 1991), h. 70.
19 C.F.G. Sunaryati Hartono, Politik Hukum dan Pembangunan Hukum Dalam
Pembangunan Jangka Panjang Tahap II, (Bandung: Pro Justitia Majalah Hukum Unpar, 1993), h.
32.
Page 45
35
kesejahteraan bersama. Salah satu pilar Grand Design Sistem dan Politik
Hukum Nasional adalah prinsip bahwa hukum mengabdi pada kepentingan
bangsa untuk memajukan negara dan menjadi pilar demokrasi dan
tercapainya kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu produk hukum yang
dihasilkan adalah hukum yang konsisten dengan falsafah Negara, mengalir
dari landasan konstitusi UUD 1945 dan secara sosioogis menjadi sarana untuk
tercapainya keadilan dan ketertiban masyarakat.20
B. Kerangka Teori
1. Teori Validitas Hukum
Validitas adalah Kepastian Hukum eksistensi norma secara
spesifik. Suatu norma adalah valid merupakan suatu pernyataan yang
mengasumsikan eksistensi norma tersebut dan mengasumsikan bahwa
norma itu memiliki kekuatan mengikat (binding force) terhadap orang
yang prilakunya diatur. Atuuran adalah hukum, dan hukum yang jika
valid adalah norma. Jadi hukum adalah norma yang memberikan
sanksi.21 Validitas sebuah norma, menurut kelsen, harus memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut: pertama, norma tersebut harus merupakan
bagian dari sebuah sistem norma. Kedua, sistem norma tersebut harus
berjalan secara efektif. Validitas norma pada gilirannya akan
menciptakan apa yang disebut sebagai hirarki norma yang dalam
pemikiran Kelsen disebut sebagai “Stufenbau theory”.
Setiap norma agar menjadi sebagai sebuah norma yang valid harus
dinyatakan valid dan tidak boleh betentangan dengan norma yang di
atasnya. Norma yang paling tinggi adalah grundnrom. Kelsen
menggambarkan suatu sistem hukum sebagai sebuah sistem norma yang
20 Maroni, Eksistensi Nilai Moral Dan Nilai Hukum Dalam Sistem Hukum Nasional, MMH.
Jilid 41 No.2, (Bandar Lampung: Fakultas Hukum Universitas Lampung, 2012), h. 308.
21 Asshiddiqie, Jimly, Ali Safa’at, M, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, (Jakarta: Setjen
& Kepaniteraan MK-RI, 2006), h. 36.
Page 46
36
saling terkait satu sama lain (interlock norms) yang bergerak dari suatu
norma yang umum (the most general ought) menuju ke norma yang lebih
konkret (the most perticular or concret). Validitas semua norma tersebut
pada akhirnya akan bermuara dan mendapat validasi dari grundnorm –
norms – sub-norms. Bagi Kelsen, hirarki norma hanya mengenal
superordinasi dan subordinasi, tidak mengakui adanya koordinasi.22
Menurut Kelsen, efektifitas keseluruhan tertib hukum merupakan
prasyarat bagi validitas atau legalitas setiap norma yang ada dalam tertib
hukum tersebut. Dengan perkataan lain, eksistensi sebuah hukum akan
ditentukan sampai sejauh mana hukum tersebut dipatuhi. Dalam hal ini
Kelsen mengatakan sebagai berikut: “it cannot be maintained that,
legally, men have to behave in conformity with a certain norm, if the total
legal order, of which that norm is an integral part, has lost its efficacy.
The principle of legitimacy is restricted by the principle of effectiveness.”
Apabila validitas suatu tata tertib hukum bergantung kepada
evektifitas norma dasarnya (grundnorm-nya), maka konsekuensinya
ketika sebuah norma dasar itu tidak lagi efektif, maka norma dasar
tersebut akan diganti oleh norma dasar yang lain.
Validitas dan efektifitas hukum adalah dua konsep yang berbeda.
Efektivitas, menurut kelsen adalah sesuatu yang ditentukan atas dasar
kausalitas (causation), sedangkan validitas adalah sesuatu yang terkait
dan merupakan wilayah sosiologi, sedangkan validitas merupakan area
hukum. Suatu tertib hukum tidak akan kehilangan validitasnya ketika
sebuah norma tidak berjalan efektif. Sebuah norma tidak dikatakan
kehilangan validitasnya, apabila memang norma tersebut tidak pernah
dapat dilaksanakan. 23
22 Atip Latipulhidayat, Hans Kelsen, Padjadjaran Jurnal Ilmu Hukum, Volume 1- No.1 –
Tahun 2014, h. 204.
23
Atip Latipulhidayat, Hans Kelsen, ... h. 205.
Page 47
37
2. Teori Kepastian Hukum
Kepastian adalah perihal (keadaan) yang pasti, ketentuan atau
ketetapan. Hukum secara hakiki harus pasti dan adil. Pasti sebagai
pedoman kelakukan dan adil karena pedoman kelakuan itu harus
menunjang suatu tatanan yang dinilai wajar. Hanya karena bersifat adil
dan dilaksanakan dengan pasti hukum dapat menjalankan fungsinya.
Kepastian hukum merupakan pertanyaan yang hanya bisa dijawab secara
normatif, bukan sosiologi.24 Kepastian hukum secara normatif adalah
ketika suatu peraturan dibuat dan diundangkan secara pasti karena
mengatur secara jelas dan logis. Jelas dalam artian tidak menimbulkan
keragu-raguan (multi tafsir) dan logis. Jelas dalam artian ia menjadi suatu
sistem norma dengan norma lain sehingga tidak berbenturan atau
menimbulkan konflik norma. Kepastian hukum menunjuk kepada
pemberlakuan hukum yang jelas, tetap, konsisten dan konsekuen yang
pelaksanaannya tidak dapat dipengaruhi oleh keadaan-keadaan yang
sifatnya subjektif. Kepastian dan keadilan bukanlah sekedar tuntutan
moral, melainkan secara factual mencirikan hukum. Suatu hukum yang
tidak pasti dan tidak mau adil bukan sekedar hukum yang buruk.25
Menurut Utrecht, kepastian hukum mengandung dua pengertian, yaitu
pertama, adanya aturan yang bersifat umum membuat individu
mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan
kedua, berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan
pemerintah karena dengan adanya aturan yang bersifat umum itu
individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau
dilakukan oleh Negara terhadap individu.26
24Dominikus Rato, Filsafat Hukum Mencari: Memahami dan Memahami Hukum,
(Yogyakarta: Laksbang Pressindo, 2010), h. 59.
25 Cst Kansil, Christine , S.T Kansil, Engelien R, Palandeng dan Godlieb N Mamahit,
Kamus Istilah Hukum, (Jakarta, 2009), h. 385.
26Riduan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, (Bandung: Penerbit Citra Aditya
Bakti, 1999), h. 23.
Page 48
38
C. Tinjauan (review) Kajian Terdahulu
Tinjauan (review) kajian terdahulu terdiri dari tinjauan yang berisi
terkait penelitian yang sudah pernah dilakukan sebelumnya oleh orang lain,
baik dalam bentuk buku, skripsi, maupun jurnal. Hal tersebut diperlukan
untuk membuktikan originalitas dari penelitian ini, peneliti perlu untuk
melakukan tinjauan kajian studi terdahulu. Berikut ini beberapa penelitian
dan perbedaan dari penelitian sebelumnya.
1. Skripsi
a. Skripsi ditulis oleh Ikhsan Maulana, skripsi tersebut meneliti
Tentang perturan perundang-undangan yang mengatur sertifikasi
halal untuk mengetahui kepastian hukum dan perlindungan hukum
bagi konsumen, khususnya konsumen yang beragama Islam
terhadap produk pangan yang tidak bersertifikat halal.
Perbedaaan skripsi tersebut dengan penelitian yang akan dilakukan
oleh peneliti adalah, skripsi tersebut meneliti terkait perlindungan
hukum bagi konsumen Muslim terhadap produk pangan yang tidak
bersertifikat halal menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014
tentang Jaminan Produk Halal, sedangkan penelitian yang akan
dilakukan peneliti adalah penelitian mengenai validitas hukum
Permendag Nomor 29 Tahun 2019 Tentang Ketentuan Ekspor dan
Impor Hewan dan Produk Hewan terhadap eksistensi Undang-
undang Jaminan Produk Halal.27
b. Skripsi ditulis oleh Euis Nur Atikah, dalam skripsi ini menjelaskan
mengenai pengawasan terhadap produk impor tanpa label bahasa
Indonesia di DKI Jakarta tahun 2016-2018 oleh Direktorat Jendral
Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga Kementerian
Perdagangan Republik Indonesia. Studi ini menjelaskan apa dan
27 Ikhsan Maulana, Perlindungan Hukum Bagi Konsumen muslim Terhadap Produk
Pangan Yang Tidak Bersertifikat Halal Menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang
Jaminan Produk Halal, Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2018.
Page 49
39
bagaimana mengenai pengawasan yang diberikan oleh Direktorat
Jenderal Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga Kementrian
Perdagangan Republik Indonesia. Perbedaannya dengan skripsi
yang akan ditulis oleh peneliti adalah dalam skripsi yang akan ditulis
oleh peneliti, tidak lagi membahas tentang penetapan standarisasi
produk makanan halal melainkan akan membahas tentang validitas
hukum Permendag Nomor 29 Tahun 2019 Tentang Ketentuan
Ekspor dan Impor Hewan dan Produk Hewan terhadap eksistensi
Undang-undang Jaminan Produk Halal.28
2. Buku
a. Buku ditulis oleh H. Mashudin Buku tersebut menjelaskan terkait
pentingnya sertifikasi produk halal bagi keselamatan kehidupan
umat dan bangsa dari gelombang produk pangan, obat-obatan dan
kosmetika yang tidak bisa dipertanggungjawabkan. Perbedaannya
dengan penelitian yang akan diteliti oleh peneliti adalah buku
tersebut menjabarkan lebih rinci terkait sertifikasi produk halal,
sedangkan penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti hanya
berfokus terhadap validitas hukum Permendag Nomor 29 Tahun
2019 Tentang Ketentuan Ekspor dan Impor Hewan dan Produk
Hewan terhadap eksistensi Undang-undang Jaminan Produk Halal.29
3. Jurnal
a. Artikel jurnal ditulis oleh Asep Syarifuddin Hidayat & Mustolih
Siradj, jurnal tersebut membahas Tentang Faaktor yang mendasari,
tujuan jaminan produk haal hingga tata cara sertifikat halal agi
pelaku usaha sebagaimana di jelaskan dalm undang- undang jaminan
produk halal begitupun sebaliknya dengan sertifikasi pada pangan
28 Euis Nnur Atikah, Pengawasan Pemerintah Terhadap Peredaran Produk Impor Tanpa
Label Bahasa Indonesia Pada Barang Di DKI Jakarta, Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2019.
29 H. Mashudin, Konstruksi Hukum & Respons Masyarakat Terhadap Sertifikasi Produk
Halal, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 20115).
Page 50
40
non halal di Indonesia. Perbedaannya dengan skripsi yang akan
ditulis oleh peneliti adalah Skripsi yang akan ditulis oleh peneliti
lebih berfokus kepada validitas hukum Permendag Nomor 29 Tahun
2019 Tentang Ketentuan Ekspor dan Impor Hewan dan Produk
Hewan terhadap eksistensi Undang-undang Jaminan Produk Halal.30
30 Asep Syarifuddin Hidayat & Mustolih Siradj, Sertifikasi Halal dan Sertifikasi Non Halal
Pada Produk Pangan Industri, Jurnal Ahkam, Volume XV Nomor 2 Juli 2015.
Page 51
41
BAB III
KEDUDUKAN DAN EKSISTENSI UNDANG-UNDANG NOMOR 33
TAHUN 2014 TENTANG JAMINAN PRODUK HALAL DALAM SISTEM
HUKUM INDONESIA
A. Kedudukan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan
Produk Halal
1. Undang-Undang Jaminan Produk Halal
Doktrin halalan thoyyiban (halal dan baik) sangat perlu untuk
diinformasikan secara efektif dan operasional kepada masyarakat
disertai dengan tercukupinya sarana dan prasarana. Salah satu sarana
penting untuk mengawal doktrin halalan thayyiban adalah dengan
hadirnya pranata hukum yang mapan, sentral, humanis, progresif,
akamodatif dan tidak diskriminatif yakni dengan hadirnya Undang-
Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal.1
Beberapa faktor yang mendasari pentingnya Undang-Undang Jaminan
Produk Halal antara lain, pertama berbagai peraturan perundang-
undangan yang telah ada yang mengatur atau yang berkaitan dengan
produk halal belum memberikan kepastian hukum dan jaminan hukum
bagi konsumen untuk dapat mengkonsumsi produk halal, sehingga
masyarakat mengalami kesulitan dalam membedakan antara produk
yang halal dan produk yang haram. Selain itu, pengaturan produknya
masih sangat terbatas hanya soal pangan dan belum mecakup obat-
obatan, kosmetika, produk kimia biologis, maupun rekayasa genetik.
Kedua, tidak ada kepastian hukum kepada institusi mana
keterlibatan negara secara jelas di dalam jaminan produk halal. Sistem
yang ada belum secara jelas memberikan kepastian wewenang, tugas,
dan fungsi dalam kaitan implementasi Jaminan Produk Halal, termasuk
1 Sofyan Hasan, Sertifikasi Halal dalam Hukum Positif, Regulasi dan Implementasinya di
Indonesia, (Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2014), h. 351.
Page 52
42
koordinasinya. Ketiga, peredaran produk di pasar domestik makin sulit
dikontrol akibat meningkatnya teknologi pangan, rekayasa teknologi,
bioteknologi, dan proses kimia biologis. Keempat, produk halal
Indonesia belum memiliki standar dan tanda halal resmi (standar halal
nasional) yang ditetapkan oleh pemerintah sebagaimana di Singapura,
Amerika Serikat, dan Malaysia. Kelima, sistem informasi produk halal
belum sesuai dengan tingkat pengetahuan dan kebutuhan masyarakat
tentang produk-produk yang halal.
Setelah melewati proses yang panjang akhirnya DPR
mengesahkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan
Produk Halal Undang-Undang Jaminan Produk Halal. Undang-undang
tersebut digagas oleh DPR RI periode tahun 2004-2009 dan kemudian
dibahas oleh DPR RI bersama pemerintah pada periode 2009-2014.
Yang cukup menarik adalah semua fraksi di DPR yang merupakan
perwakilan dan perpanjangan tangan dari partai politik secara aklamasi
memberikan persetujuan terhadap Undang-Undang Jaminan Produk
Halal. RUU Jaminan Produk Halal (RUU-JPH) sempat mendapatkan
penolakan dari Fraksi Partai Damai Sejahtera (PDS). Melalui
anggotanya PDS menolak jaminan produk halal ini diatur undang-
undang. Pemahaman tentang halal tidaknya sebuah produk atau
makanan menurut partai tersebut cukup diserahkan kepada agamanya
sendiri untuk memberikan aturan. 2
RUU ini hal positif bagi umat Islam, tetapi di sisi lain mungkin
sebaliknya untuk umat agama lain. Seperti halnya daging babi, untuk
umat Islam daging babi sebuah makanan yang haram, tapi sebaliknya
untuk umat Kristen mengkonsumsi babi diperbolehkan. Artinya,
haramnya umat Islam belum tentu haram untuk umat beragama lainnya.
Hal ini menunjukan bahwa haram atau tidaknya sebuah makanan tidak
2 May Lim Charity, Jaminan Produk Halal Di Indonesia ( Halal Product Guarantee In
Indonesia), (Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 14, No. 99, 01 Maret 2017), h. 104.
Page 53
43
bisa dimonopoli oleh agama. Meski begitu, PDS tidak meminta RUU-
JPH dihentikan dibahas. Mereka ingin melihat substansi dari undang-
undang tersebut yang harus meliputi prinsip keadilan dan kesetaraan,
sehingga diperlukan adanya perubahan-perubahan dalam RUU tersebut
agar dapat diterima oleh seluruh warga negara Indonesia. Dalam proses
berikutnya, RUU-JPH terus melaju dan kekhawatiran PDS tersebut
pelan-pelan mulai terjawab. Perdebatan demi perdebatan yang menjadi
ciri khas di dalam perumusan perundang-undangan menjadi bumbu
penyedap. Semua itu menggambarkan dinamika perumusan perundang-
undangan yang terjadi. Melalui jalan berliku yang seperti itu, akhirnya
RUU-JPH ini disepakati dan disahkan DPR.
Undang-Undang Jaminan Produk Halal dapat disebut sebagai
formalisasi syariat Islam yang masuk dan meresap ke dalam hukum
nasional melalui proses legislasi sebagaimana halnya undang-undang
yang lebih dahulu dikondifikasi karena ‘terinspirasi’ oleh syariat Islam
seperti Undang-Undang Zakat, Undang-Undang Perkawinan, Undang-
Undang Wakaf, Undang-Undang Penyelenggaran Ibadah Haji,
Undang-Undang Peradilan Agama, Undang- Undang Perbankan
Syariah dan sebagainya, meskipun tidak secara langsung disebutkan
syariat Islam sebagai hukum Islam. Hal semacam ini dapat dipahami
mengingat persoalan yang terus berkembang dan semakin kompleks
sesuai dengan perkembangan zaman.3
Indonesia sebagai negara dengan ciri masyarakat yang relegius
dan memiliki kayakinan agama yang kuat sehingga mempengaruhi
norma, nilai, budaya dan perilaku pemeluknya. Konstitusi Negara
Republik Indonesia mengakui relegiusitas tersebut sebagaimana
tertuang dalam Pasal 29 UUD 1945 yang yang berdasarkan Ketuhanan.4
3 Ija Suntana, Politik Hukum Islam, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2014), h. 83.
4 Masdar Farid Masudi, Syarah Konstitusi UUD 1945 dalam Perspektif Islam, (Jakarta:
Pustaka Alvabet, 2010), h. XIII.
Page 54
44
Kehalalan suatu produk menjadi kebutuhan wajib bagi setiap
konsumen, terutama konsumen muslim. Dalam sistem perdagangan
internasional masalah sertifikasi dan penandaan kehalalan produk
mendapat perhatian baik dalam rangka memberikan perlindungan
terhadap konsumen umat Islam di seluruh dunia sekaligus sebagai
strategi menghadapi tantangan globalisasi. Di Indonesia, sudah
dibentuk peraturan perundang-undangan jauh sebelum lahirnya
Undang-Undang Nomor 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal.
Sebagai wujud nyata kehadiran negara dalam melindungi konsumen
dari produk yang tidak halal, ada banyak perundang-undangan yang
sejak lama digunakan untuk mengatur peredaran produk halal.
Peraturan-peraturan tersebut bahkan jauh sebelum Rancangan Undang-
Undang Jaminan Produk Halal (RUU JPH) dibahas di DPR. Hal ini
menandakan bahwa persoalan pengaturan produk halal sesungguhnya
sudah sejak lama diperlukan baik dalam konteks peredaran barang
dalam skala domestik maupun peredaran barang dalam perdagangan
global terutama yang terkait dengan kegiatan ekspor impor.5
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan
Produk Halal memperkuat dan mengatur berbagai regulasi halal yang
selama ini tersebar di berbagai peraturan perundang-undangan, di sisi
lain Undang-Undang Jaminan Produk Halal dapat disebut sebagai
payung hukum (umbrella act) bagi pengaturan produk halal.
Jaminan Produk Halal dalam undang-undang ini mencakup
berbagai aspek tidak hanya obat, makanan dan kosmetik akan tetapi
lebih luas dari itu menjangkau produk kimiawi, produk biologi, produk
rekayasa genetik, serta barang gunaan yang dipakai, digunakan, atau
dimanfaatkan oleh masyarakat. Pengaturannya pun menjangkau
kehalalan produk dari hulu sampai hilir. Proses Produk Halal (PPH)
5 May Lim Charity, Jaminan Produk Halal Di Indonesia ( Halal Product Guarantee In
Indonesia), ... h. 101.
Page 55
45
didefinisikan sebagai rangkaian kegiatan untuk menjamin kehalalan
produk mencakup penyediaan bahan, pengolahan, penyimpanan,
pengemasan, pendistribusian, penjualan, dan penyajian Produk.
Jaminan produk halal secara teknis kemudian dijabatkan melalui proses
sertifikasi.
Sebelumnya sertifikasi halal bersifat voluntary (sukarela),
dalam Undang-Undang Jaminan Produk Halal menjadi mandatory
(keharusan). Karena itu, semua produk yang masuk, beredar, dan
diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal. Hal
inilah yang menjadi pembeda utama dengan produk perundang-
undangan sebelumnya yang lebih dahulu terbit. Nantinya sebagai
penanggung jawab sistem jaminan halal dilakukan oleh pemerintah
yang diselenggarakan Menteri dengan membentuk Badan
Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) yang berkedudukan di
bawah dan bertanggung jawab kepada Menteri. Apabila diperlukan
BPJPH dapat membentuk perwakilan di daerah.6
2. Tujuan dan Asas Undang-Undang Jaminan Produk Halal
Pada akhir tahun 2014, tepatnya pada tanggal 17 Oktober 2014
Undang-Undang Jaminan Produk Halal resmi disahkan. Tujuan dari
Undang-undang jaminan produk halal ini disebutkan di dalam Pasal 3
yang berbunyi: 7 Penyelenggaraan Jaminan Produk Halal bertujuan:
a. Memberikan kenyamanan, keamanan, keselamatan, dan kepastian
ketersediaan Produk Halal bagi masyarakat dalam mengonsumsi
dan menggunakan Produk; dan
6 Asep Syarifuddin Hidayat & Mustolih Siradj, Sertifikasi Halal dan Sertifikasi Non Halal
Pada Produk Pangan Industri, (Jurnal Ahkam: Vol.XV, No. 2, Juli 2015), h. 206.
7 Zumroh Najiah, Implementasi Kewajiban Pendaftaran Sertifikasi Halal Dalam Pasal 4
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal (Studi Pada LPPOM-MUI
Jatim dan Industri Makanan Minuman Kota Pasuruan), (Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri
Maulana Malik Ibrahim Malang, 2016), h. 21.
Page 56
46
b. Meningkatkan nilai tambah bagi Pelaku Usaha untuk memproduksi
dan menjual Produk Halal.
Pasal 3 diatas dirumuskan berdasarkan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang mengamanatkan negara
menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya
masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan
kepercayaannya. Mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam,
sehingga kebutuhan atas produk halal sangat bersifat mendesak.
Dalam rangka menjamin kehalalan sebuah produk yang beredar
di wilayah Indonesia pemerintah bertanggungjawab dalam
menyelenggarakan Jaminan Produk Halal sejak diterbitkannya
Undang-Undang Jaminan Produk Halal, yang pelaksanaannya
dilakukan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal yang
bekerjasama dengan kementerian dan/atau lembaga terkait, MUI dan
Lembaga Pemeriksa Halal (LPH). Pada Paal 3 ayat (b) Undang-Undang
Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal juga disebutkan,
tujuan dari pelaksanaan Jaminan Produk Halal adalah meningkatkan
nilai tambah bagi Palaku Usaha untuk memproduksi dan menjual
produk halal. Melihat pada bunyi pasal tersebut diatas, maka
keberadaan sertifikasi halal selain bertujuan untuk memberikan
perlindungan bagi konsumen muslim, juga memiliki tujuan yang
bersifat ekonomis. Diantaranya tujuan tersebut yang menguntungkan
dunia industri adalah:8
1. Jumlah penduduk Indonesia yang lebih dari 200 juta dan sekitar
87% beragama Islam merupakan potensi pasar yang sangat besar
bagi produk-produk halal. Apabila produk dalam negeri belum
mampu menerapkan sistem produksi halal, maka akan dimafaatkan
8 Zumroh Najiah, Implementasi Kewajiban Pendaftaran Sertifikasi Halal Dalam Pasal 4
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal (Studi Pada LPPOM-MUI
Jatim dan Industri Makanan Minuman Kota Pasuruan), ... h. 23.
Page 57
47
oleh produk negara lain yang telah menerapkan sistem produksi
halal.
Pada saat ini konsumen muslim di beberapa daerah
berkecenderungan tertarik pada produk luar negeri karena sudah
diproduksi dengan menggunakan label dan sertifikasi halal yang
terakreditasi dengan baik dan dapat dipertanggungjawabkan;
2. Karena belum memasyarakatnya sistem produksi halal di dalam
negeri, maka produk impor seperti makanan, minuman, obat,
kosmetik dan produk halal lainnya akan menjadi ancaman bagi
daya saing produk dalam negeri, baik di pasar lokal, nasional
maupun pasar bebas;
3. Meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya
mengkonsumsi dan menggunakan produk halal merupakan
tantangan yang harus direspon oleh pemerintah dan pelaku usaha
Indonesia.
Sebagai contoh, pasar dalam negeri kini telah dibanjiri produk luar
negeri yang berlabel halal, sementara produk Indonesia yang
diekspor ke beberapa negara yang mayoritas muslim tidak dapat
diterima hanya karena tidak mencantumkan label halal;
4. Di samping itu dengan mulai diberlakukannya era persaingan
bebas seperti AFTA pada tahun 2003 dan telah dicantumkannya
ketentuan halal dalam KODEX yang didukung oleh WHO dan
WTO (The World Trade Organization), maka produk-produk
nasional harus meningkatkan, daya saingnya pada pasar dalam
negeri maupun luar negeri (internasional);
5. Dari sekitar 1,5 juta produsen makanan, minuman, obat-obatan,
kosmetika dan produk lainnya, kurang dari seribu yang
menggunakan label halal dan sertifikasi halal.9
9 Zumroh Najiah, Implementasi Kewajiban Pendaftaran Sertifikasi Halal Dalam Pasal 4
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal (Studi Pada LPPOM-MUI
Jatim dan Industri Makanan Minuman Kota Pasuruan), ... h. 24.
Page 58
48
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa pemberlakuan
sertifikasi dan labelisasi halal selain memberikan jaminan dan
perlindungan terhadap konsumen muslim, juga bertujuan untuk
memenuhi tuntutanpasar secara universal, sehingga produsen Indonesia
dapat bersaing di dunia perdagangan internasional terlebih setelah
diberlakukannya Masyarakat Ekonomi Asia (MEA). Selanjutnya, Asas
adalah dasar sesuatu yang menjadi tumpuan berpikir atau berpendapat).
Adapun asas penyelenggaraan Jaminan Produk Halal adalah:10
a. Perlindungan, yang dimaksud dengan asas “perlindungan” adalah
bahwa dalam menyelenggarakan Jaminan Produk Halal bertujuan
melindungi masyarakat muslim.
b. Keadilan, yang dimaksud dengan asas “keadilan” adalah bahwa
dalam penyelanggaraan Jaminan Produk Halal harus
mencerminkan keadilan secara proposional bagi setiap warga
negara.
c. Kepastian hukum, yang dimaksud asas “kepastian hukum” adalah
bahwa penyelenggaraan Jaminan Produk Halal bertujuan
memberikan kepastian hukum mengenai kehalalan suatu produk
yang dibuktikan denga Sertifikat Halal.
d. Akuntabilitas dan transparansi, yang dimaksud dengan asas
“akuntabilitas dan transparansi” adalah bahwa setiap kegiatan dan
hasil akhir dari kegiatan penyelenggaraan Jaminan Produk Halal
harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat sebagai
pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
e. Efektivitas dan efisiensi, yang dimaksud dengan asas “efektivitas
dan efisiensi” adalah bahwa penyelenggaraan Jaminan Produk
Halal dilakukan dengan berorientasi pada tujuan yang tepat guna
10 Zumroh Najiah, Implementasi Kewajiban Pendaftaran Sertifikasi Halal Dalam Pasal 4
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal (Studi Pada LPPOM-MUI
Jatim dan Industri Makanan Minuman Kota Pasuruan), ... h. 25.
Page 59
49
dan berdaya guna serta meminimalisir penggunaan sumber daya
yang dilakukan dengan cara cepat, sederhana, dan biaya ringan atau
terjangkau.
f. Profesionalitas, yang dimaksud dengan “profesionalitas” adalah
bahwa penyelenggaraan Jaminan Produk Halal dilakukan dengan
mengutamakan keahlian yang berdasarkan kompetensi dan kode
etik.
3. Landasan Hukum Jaminan Produk Halal
Menurut Syariat Islam, Landasan hukum produk halal sesuai
Syariat Islam antara lain terdapat dalam QS. Al-Baqarah: 168 artinya,
“Wahai manusia Makanlah dari (makanan) yang halal dan baik yang
terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah
setan, sungguh setan musuh yang nyata bagimu.orang-orang yang
beriman”. QS. al –Baqarah: 172 artinya, “Wahai orang orang yang
beriman makanlah dari rezeki yang baik yang Kami berikan kepada
kamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika kamu hanya menyembah
kepada-Nya”.
QS. Al-Baqarah:173 artinya “Sesunguhnya Dia hanya
mengharamkan atasmu bangkai, darah, daging babi dan (daging) hewan
yang disembelih dengan (menyebut nama) selain Allah”. Tetapi barang
siapa terpaksa (memakannya) bukan karena menginginkannya dan
tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sungguh
Allah Maha Pengampun.11 Berdasarkan surat Al-Baqarah tersebut di
atas, Allah memerintahkan kepada orang yang beriman untuk memakan
makan yang halal dan mengharamkan bangkai, darah, daging babi,
daging hewan yang disembelih tidak menyebut nama Allah, kecuali jika
terpaksa dan tidak melampaui batas. Untuk menentukan produk
makanan dan minuman yang beredar dimasyarakat itu halal harus ada
11 Syafrida, Sertifikasi Halal Pada Produk Makanan dan Minuman Memberi Perlindungan
dan Kepastian Hukum Hak-Hak Komsumen Muslim, Adil: Jurnal Hukum Vol.7, No. 2, h. 162.
Page 60
50
logo sertifikat halal yang dikeluarkan oleh LPPOM MUI pada
kemasannya.12
Pengaturan tentang produk halal di Indonesia dapat ditemukan
di dalam instrumen berikut, yang dibagi ke dalam dua periode, pertama,
periode sebelum Undang-Undang Jaminan Produk Halal:
1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
konsumen
2. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan
Kesehatan Hewan
3. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan
4. Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan
Iklan Pangan
5. Keputusan Menteri Agama Nomor 518 Tahun 2001 tentang
Pedoman dan Tata Cara Pemeriksaan dan Penetapan Panganan
Halal
6. Keputusan Menteri Agama Nomor 519 Tahun 2001 tentang
Lembaga Pelaksana Pemeriksaan Pangan Halal.
Kedua, setelah UU JPH:
7. Undang Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk
Halal
8. Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2019 tentang Peraturan
Pelaksanaan Undang Undang Nomor 31 Tahun 2019 tentang
Jaminan Produk Halal.
Pengaturan tentang produk halal dalam Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK)
hanya diatur dalam Pasal 8 ayat (1) huruf h yang berbunyi “Pelaku
usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang
dan/atau jasa yang: tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara
12 Syafrida, Sertifikasi Halal Pada Produk Makanan dan Minuman Memberi Perlindungan
dan Kepastian Hukum Hak-Hak Komsumen Muslim, ... h. 162.
Page 61
51
halal, sebagaimana pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam label.
Dalam Undang-Undang Peternakan dan Kesehatan Hewan juga diatur
tentang sertifikasi halal. Dalam ketentuan Pasal 56 huruf b yang
menyatakan, “Kesehatan masyarakat veteriner merupakan
penyelenggaraan kesehatan hewan dalam bentuk: penjaminan
keamanan, kesehatan, keutuhan, dan kehalalan produk hewan.
Undang-Undang Peternakan dan Kesehatan Hewan juga
menyinggung tentang jaminan kehalalan produk hewan dalam pasal
58 ayat (4) yang berbunyi “Produk hewan yang diproduksi di dan/atau
dimasukkan ke wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk
diedarkan wajib disertai sertifikat veteriner dan sertifikat halal.13
Undang-undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan,
mengatur tentang labelisasi produk halal. Beberapa ketentuan
pengaturan produk pangan halal dalam Pasal 37 ayat (1) yang
berbunyi Undang-Undang Pangan diantaranya yang berbunyi “Impor
pangan yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dalam
negeri wajib memenuhi persyaratan keamanan, mutu, gizi, dan tidak
bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat”.
Penjelasannya Pasal 37 ayat (1) ini menyebutkan “tidak bertentangan
dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, antara lain pangan
yang memenuhi persyaratan halal bagi umat Islam atau pangan yang
dilarang dikonsumsi menurut agama, keyakinan, dan budaya
masyarakat di Indonesia. Selanjutnya Pasal 69 huruf g menyebutkan
“Penyelenggaraan Keamanan Pangan dilakukan melalui: jaminan
produk halal bagi yang dipersyaratkan. Zulham menerangkan bahwa
norma yang terkandung dalam Pasal 69 huruf g tersebut menyatakan
bahwa “jaminan halal bagi yang dipersyaratkan” termasuk dalam
“keamanan pangan”. Pasal 97 ayat (1) menyatakan bahwa “setiap
13 Moh. Kusnadi, Problematika Penerapan Undang-Undang Jaminan Produk Halal Di
Indonesia, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Islamika: Jurnal Keislaman dan Ilmu Pendidikan,
Volume 1, Nomor 2, Juli 2019, h. 120.
Page 62
52
orang yang memproduksi pangan di dalam negeri untuk
diperdagangkan wajib mencantumkan label di dalam dan/atau pada
kemasan pangan.”
Pada Pasal 97 ayat (2) disebutkan “setiap orang yang
mengimpor pangan untuk diperdagangkan wajib mencantumkan label
di dalam dan/atau pada kemasan pangan pada saat memasuki wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia.” Serta Pasal 97 ayat (3) huruf e
menyebutkan “Pencantuman label di dalam dan/atau pada kemasan
pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditulis atau
dicetak dengan menggunakan Bahasa Indonesia serta memuat paling
sedikit keterangan mengenai: halal bagi yang dipersyaratkan.
Selanjutnya ketentuan Pasal 101 ayat (1) menyebutkan bahwa “setiap
orang yang menyatakan dalam label bahwa pangan yang
diperdagangkan adalah halal sesuai dengan yang dipersyaratkan
bertanggung jawab atas kebenarannya.” Serta ketentuan dalam Pasal
105 ayat (1) menyebutkan bahwa “Setiap orang yang menyatakan
dalam iklan bahwa pangan yang diperdagangkan adalah halal sesuai
dengan yang dipersyaratkan wajib bertanggung jawab atas
kebenarannya.”14
Setelah keluarnya Undang Undang Nomor 33 tahun 2014
tentang Jaminan Produk Halal. Jika dibandingkan dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan sebelumnya, Undang-Undang
Jaminan Produk Halal memang mengatur secara khusus dan lebih
detail tentang produk halal, karena memang Undang-Undang Jaminan
Produk Halal diperuntukkan khusus untuk itu, berbeda dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan sebelumnya yang hanya
membahas sedikit ketentuan halal. Ketentuan tentang produk halal
diatur sedemikian rupa, dari hulu hingga ke hilir di dalam Undang-
14 Moh. Kusnadi, Problematika Penerapan Undang-Undang Jaminan Produk Halal Di
Indonesia, ... h. 121.
Page 63
53
Undang Jaminan Produk Halal. Pada pokoknya Undang-Undang
Jaminan Produk Halal terbagi ke dalam beberapa bab, yaitu:
1. Ketentuan umum;
2. Penyelenggaraan jaminan produk halal;
3. Bahan dan proses produk halal;
4. Pelaku usaha;
5. Tata cara memperoleh sertifikat halal;
6. Kerja sama internasional;
7. Pengawasan;
8. Peran serta masyarakat; dan
9. Ketentuan pidana.
Pasal 1 angka 5 menyebutkan “Jaminan Produk Halal yang
selanjutnya disingkat JPH adalah kepastian hukum terhadap kehalalan
suatu produk yang dibuktikan dengan sertifikat halal.” Kemudian
yang dimaksud dengan produk halal adalah produk yang telah
dinyatakan halal sesuai dengan syariat Islam. Salah satu karateristik
yang paling menonjol dalam Undang-Undang Jaminan Produk Halal
adalah sifatnya yang mandatory atau wajib. Hal ini terlihat dari bunyi
Pasal 4 “Produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah
Indonesia wajib bersertifikat halal.” Dengan demikian dapat dipahami
bahwa pengaturan sertifikasi dan labelisasi produk halal bersifat wajib
(Mandatory) karena setiap produk yang diperdagangkan di Indonesia
wajib bersertifikat halal. Namun ada pengecualian bagi ketentuan
mandatory Undang-Undang Jaminan Produk Halal. Hal ini bisa
dilihat dari Pasal 26 ayat (1) yang menyebutkan “Pelaku usaha yang
memproduksi produk dari bahan yang berasal dari bahan yang
diharamkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 dan Pasal 20
dikecualikan dari mengajukan permohonan sertifikat halal”. Bagi
pelaku usaha sebagaimana disebutkan di atas wajib mencantumkan
keterangan tidak halal pada produknya. Hal penting lainnya yang
Page 64
54
dibahas dalam Undang-Undang Jaminan Produk Halal dan
membedakan Undang-Undang Jaminan Produk Halal dengan
peraturan perundang-undangan sebelumnya adalah dibentuk dan
diaturnya tentang Lembaga BPJPH (Badan Penyelenggara Jaminan
Produk Halal). Pasal 5 ayat (1) menyebutkan “Pemerintah
bertanggung jawab dalam menyelenggarakan Jaminan Produk Halal.”
Kemudian ayat (2) menyatakan “Penyelenggaraan JPH sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Menteri.”Kemudian pada
ayat (3) menyebutkan “Untuk melaksanakan penyelenggaraan JPH
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dibentuk BPJPH yang
berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Menteri”.
B. Eksistensi Undang-Undang Jaminan Produk Halal
1. Asas-Asas dan Teori Pembentukan Undang-Undang Jaminan
Produk Halal
Dalam pembentukan Peraturan Perundang-undangan,
memperhatikan asas hukum sangatlah penting. Sebab asas hukum
adalah aturan dasar dan prinsip-prinsip hukum yang abstrak dan pada
umumnya melatarbelakangi peraturan konkret dan pelaksanaan hukum.
Beberapa sarjana memberikan definisi atau pengertian dari asas hukum
sebagai berikut:
a. Van Der Velden. Asas hukum adalah tipe putusan yang dapat
digunakan sebagai tolak ukur untuk menilai situasi atau digunakan
sebagai pedoman berperilaku. Asas hukum didasarkan atas nilai atau
lebih yang menentukan situasi yang bernilai yang harus direalisasi.
b. Bellefroid, menyatakan asas hukum adalah norma dasar yang
dijabarkan dari hukum positif dan yang oleh ilmu hukum tidak
dianggap berasal dari aturan-aturan yang lebih umum. Asas hukum
umum merupakan pengendapan dari hukum positif.
c. P. Sholten. Asas hukum adalah kecendrungan-kecendrungan yang
disaratkan oleh pandangan kesusilaan kita pada hukum dan
Page 65
55
merupakan sifat-sifat umum dengan keterbatasannya sebagai
pembawaan yang umum itu, tetapi harus ada.15
d. Eikema Hommes. Asas hukum bukanlah norma-norma hukum
konkret, tetapi ia adalalah landasan yang kuat dan paling luas bagi
lahirnya.
e. peraturan hukum yang berlaku. Asas hukum adalah dasar-dasar atau
petunjuk arah dalam pembentukan hukum positif.
f. Satjipto Rahardjo, menyatakan bahwa asas hukum adalah unsur
yang penting dan pokok dari peraturan hukum. Asas hukum adalah
jantungnya peraturan hukum karena ia merupakan landasan yang
paling luas bagi lahirnya peraturan hukum.16
Dari beberapa rumusan pengertian asas hukum di atas, ternyata
asas hukum adalah dasar-dasar yang terkandung dalam peraturan
hukum. Berikut akan dikemukakan beberapa asas hukum khusus dalam
bidang perundang-undangan dikutip dari Boma, Irwan & rekan:
a. Asas setiap orang dianggap telah mengetahui undang-undang
setelah diundangkan dalam lembaran Negara.
b. Asas Non Retro aktif. Suatu undang-undang tidak boleh berlaku
surut.
c. Lex spesialis derogat lex generalis. Undang-undang yang bersifat
khusus mengesampingkan undang-undang yang bersifat umum.
d. Lex posteriori derogate legi priori. Undang-undang yang lama
dinyatakan tidak berlaku apabila ada undang-undang yang baru
yang mengatur hal yang sama.
e. Lex Superior derogate legi inforiori. Hukum yang lebih tinggi
derajatnya mengesampingkan hukum/peraturan yang derajatnya
dibawahnya.
15 Ishak, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), h. 75.
16 H.Zaeni Asyhadie Dan Arief Rahman, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2013), h. 135.
Page 66
56
f. Undang-undang tidak dapat diganggu gugat, artinya siapapun tidak
boleh melakukan uji materiil atas isi undang-undang, kecuali oleh
mahkamah konstitusi.
Namun yang penulis soroti secara khusus disini adalah asas Lex
Superior derogate legi inforiori, dikarenakan asas ini yang sangat
diperlukan untuk penelitian yang dilakukan oleh penulis. Asas Lex
Superior derogate legi inforiori jika dilihat dalam Pasal 5 huruf c
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan terdapat dalam yang mengatakan salah
satu asas dalam pembentukan peraturan perundang-undangan adalah
“kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan”. Penjelasan dari
Pasal 5 huruf c tersebut berbunyi: Yang dimaksud dengan “asas
kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan” adalah bahwa
dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus benar-benar
memperhatikan materi muatan yang tepat sesuai dengan jenis dan
hierarki Peraturan Perundang-undangan”.
Adapun hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia
menurut Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
sebagai berikut:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.17
Jika ditelusuri sumber asas Lex Superior derogate legi inforiori,
asas tersebut sangat identik dengan teori stufenbau yang dikemukakan
17 H. Zaeni Asyhadie Dan Arief Rahman, Pengantar Ilmu Hukum, ... h. 136.
Page 67
57
oleh Hans Kelsen. Dalam teorinya Hans Kelsen Mengatakan norma
yang lebih rendah ditentukan oleh norma yang lebih tinggi, demikian
seterusnya dan bahwa ini regresus diakhiri oleh suatu paling tinggi,
norma dasar, menjadi pertimbangan bagi kebenaran keseluruhan tata
hukum. Teori stufenbau atau teori hierarki norma hukum dari Hans
Kelsen diilhami oleh muridnya yang bernama Adolf Merkl yeng
mengemukakan bahwa suatu norma hukum itu selalu mempunyai dua
wajah . Menurut Adolf Merkl, suatu norma hukum itu ke atas ia
bersumber dan berdasar pada norma yang diatasnya, tetapi kebawah ia
juga menjadi dasar dan menjadi sumber bagi norma hukum di
bawahnya sehingga suatu norma hukum itu mempunyai masa berlaku
yang relatif oleh karena masa berlakunya suatu norma hukum itu
tergantung pada norma hukum yang ada diatasnya sehingga apabila
norma hukum yang berada diatasnya dicabut atau dihapus, maka
norma-norma hukum yang berada dibawahnya tercabut atau terhapus.18
2. Penerapan Undang-Undang Jaminan Produk Halal di Indonesia
Menurut Laporan Global Islamic Finance Report 2013, ada
empat fase evolusi halal. Fase halal yang pertama adalah jaminan
kehalalan suatu produk didasari atas kepercayaan semata. Fase kedua
jaminan kehalalan didasarkan pada sertifikasi halal yang ditempelkan
pada produk tersebut. Indonesia telah melalui kedua fase tersebut.19
Pada fase ketiga, kepercayaan diperoleh dengan memberikan jaminan
bahwa seluruh rantai pasokan produk halal telah sesuai dengan syariah
Islam yang diaudit dan disertifikasi oleh otoritas sertifikasi yang
berwenang. Fase keempat adalah terkait dengan rantai nilai (value
chain) halal di mana perusahaan makanan multinasional Islam dapat
18 Ni’matul Huda, Kedudukan Peraturan Daerah Dalam Hierarki Peraturan Perundang-
undangan, Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, No. 1 Vol. 13, Januari, Issn: 2527-502, h.32.
19 Moh. Kusnadi, Problematika Penerapan Undang-Undang Jaminan Produk Halal Di
Indonesia, ... h. 117.
Page 68
58
mengendalikan seluruh rantai pasokan dari pertanian ke meja makan.
Jika dilihat dari situasi pengaturan halal, Indonesia saat ini sedang
berusaha untuk memasuki fase ketiga berdasarkan tahapan evolusi halal
yang telah dipaparkan di atas.
Dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014
tentang Jaminan Produk Halal menjadi indikator untuk mengatakan
bahwa Indonesia kini tengah memasuki fase ketiga. Undang-Undang
Jaminan Produk Halal mengatur tentang jaminan produk halal kepada
konsumen dengan memastikan bahwa seluruh proses produk halal
tersebut telah terjamin kehalalannya. Saat ini Undang-Undang Jaminan
Produk Halal sudah memasuki tahun ke 5 semenjak diundangkan pada
tahun 2014 lalu, hal ini menimbulkan konsekuensi hukum bahwa
Undang-Undang Jaminan Produk Halal akan berlaku secara penuh pada
tahun ini. Namun sejumlah pekerjaan rumah masih membebani terkait
dengan kesiapan implementasi dari Undang-Undang Jaminan Produk
Halal.
Sebelum Undang-Undang Jaminan Produk Halal berlaku
mulai tahun 2019 pengurusan sertifikasi halal masih menjadi ranah LP-
POM MUI dan setelah Undang-Undang Jaminan Produk Halal berlaku
pada tahun 2019 maka semua pengurusan sertifikasi halal akan beralih
ke Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) yang berada
di bawah Kementerian Agama. BPJPH merupakan badan yang
dibentuk dari mandat Undang-Undang Jaminan Produk Halal untuk
menyelenggarakan jaminan produk halal. BPJPH nantinya
direncanakan akan mengambil peran yang dulunya dijalankan oleh
LPPOM MUI.20 Problematika yang menarik untuk dibahas adalah
terkait dengan kesiapan Undang-Undang Jaminan Produk Halal untuk
berlaku secara penuh pada bulan Oktober 2019 nanti. Mengingat sesuai
20 Moh. Kusnadi, Problematika Penerapan Undang-Undang Jaminan Produk Halal Di
Indonesia, ... h. 118.
Page 69
59
dengan Pasal 67 ayat (1) yang berbunyi “Kewajiban bersertifikat halal
bagi produk yang beredar dan diperdagangkan di wilayah Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 mulai berlaku 5 (lima) tahun
terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.” Undang-Undang
Jaminan Produk Halal diundangkan pada tanggal 17 Oktober 2014,
dengan demikian Oktober 2019 menjadi titik waktu mulainya Undang-
Undang Jaminan Produk Halal berlaku secara penuh. Apakah Undang-
Undang Jaminan Produk Halal akan dapat berjalan dengan efektif
sebagaimana dicita-citakan oleh pembuat Undang-Undang, atau justru
akan menjadi tidak efektif mengingat ketidaksiapan dari Undang-
Undang Jaminan Produk Halal itu sendiri.
Hal pertama yang menjadi kesiapan Undang-Undang Jaminan
Produk Halal ini adalah terkait dengan kerangka peraturan penunjang
Undang-Undang Jaminan Produk Halal yang memainkan peran besar
terkait efektivitas Undang-Undang Jaminan Produk Halal. Dalam hal
ini ada banyak sekali ketentuan derivatif di dalam Undang-Undang
Jaminan Produk Halal yang semuanya dapat dirangkum dalam 2 bentuk
ketentuan, yaitu Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri. Pertama,
Peraturan Pemerintah. Ketentuan turunan dari Undang-Undang
Jaminan Produk Halal yang berbentuk Peraturan Pemerintah telah
diamanatkan dalam Pasal 11, Pasal 16, Pasal 21 ayat (3), Pasal 44 ayat
(3), pasal 46 ayat (3), Pasal 47 ayat (4), Pasal 52, Pasal 67 ayat (3). Pasal
65 Undang-Undang Jaminan Produk Halal menyebutkan bahwa
“Peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini harus ditetapkan paling
lama 2 (dua) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.”
yang berarti seharusnya pada tahun 2016 sudah dikeluarkan Peraturan
Pemerintah dimaksud. Namun, faktanya Peraturan Pemerintah yang
dimaksud baru keluar pada tanggal 3 Mei 2019, Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2019 tentang Peraturan
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan
Produk Halal ditetapkan di Jakarta pada tanggal 29 April 2019 dan
Page 70
60
diundangkan di Jakarta pada tanggal 3 Mei 2019.21 Dengan demikian
dapat ditarik kesimpulan bahwa Peraturan Pemerintah Undang-Undang
Jaminan Produk Halal keluar terlambat jauh mundur 3 tahun dari
amanat Pasal 65 Undang-Undang Jaminan Produk Halal.
Hal ini berarti pemerintah dalam hal ini telah tidak tertib
hukum atau melanggar asas tertib hukum penyelenggaraan
pemerintahan yang baik. Padahal apabila Peraturan Pemerintah
Undang-Undang Jaminan Produk Halal dapat keluar pada tahun 2016
maka pemerintah punya lebih banyak waktu yaitu sekitar 3 tahun untuk
menyelesaikan persiapan lain yang dibutuhkan. Peraturan Pemerintah
Undang-Undang Jaminan Produk Halal faktanya keluar pada tanggal 3
Mei 2019, sedangkan Undang-Undang Jaminan Produk Halal memberi
batas per Oktober 2019 untuk implementasi jaminan produk halal.
Hanya 5 bulan waktu tersisa untuk melakukan persiapan. Memang
Peraturan Pemerintah Undang-Undang Jaminan Produk Halal keluar
sebelum kewajiban implementasi halal berlaku pada 17 Oktober 2019.
Namun, bukan berarti Peraturan Pemerintah Undang-Undang Jaminan
Produk Halal dalam sendirinya kemudian otomatis paripurna, siap, dan
sempurna.
Kedua, Peraturan Menteri. Undang-Undang Jaminan Produk
Halal juga mengamanatkan agar peraturan Menteri dikeluarkan untuk
menunjang implementasi jaminan produk halal, hal ini terlihat dalam
Pasal 22 ayat (2), Pasal 28 ayat (4), Pasal 29 ayat (3), Pasal 30 ayat (3),
Pasal 40, Pasal 41 ayat (2), Pasal 42 ayat (3), Pasal 45 ayat (2), Pasal
48 ayat (2), Pasal 55. Bahkan Peraturan Pemerintah Undang-Undang
Jaminan Produk Halal pun juga masih memerlukan Peraturan Menteri
sebagai peraturan turunan untuk menunjang Peraturan Pemerintah
Undang-Undang Jaminan Produk Halal. Berikut adalah daftar peraturan
21 Moh. Kusnadi, Problematika Penerapan Undang-Undang Jaminan Produk Halal Di
Indonesia, ... h. 125.
Page 71
61
Menteri yang sampai saat ini masih belum dikeluarkan padahal Oktober
2019 implementasi jaminan produk halal sudah berlaku:
1. Peraturan Menteri Agama. Dari Menteri Agama sendiri setidaknya
ada empat regulasi yang tengah disiapkan dan akan segera
disahkan. Pertama, Rancangan Peraturan Menteri Agama (RPMA)
tentang penyelenggaraan jaminan produk halal. Kedua, RPMA
tentang produk yang belum bersertifikat halal pada 17 Oktober
2019 dan penahapan jenis produk yang wajib bersertifikat. Ketiga,
Rancangan Keputusan Menteri Agama (RKMA) tentang bahwa
yang berasal dari tumbuhan, hewa, mikroba, dan bahan yang
dihasilkan melalui proses kimiawi, proses bilolgi, atau proses
rekayasa genetika yang diharamkan berdasarkan fatwa MUI.
Keempat, RKMA tentang jenis produk wajib bersertifikat halal.
2. Peraturan Menteri Keuangan. Harus ada peraturan dari Menteri
Keuangan tentang biaya atau sertifikasi halal.
Dari segi substansi hukum dapat dikatakan bahwa kerangkan
normatif jaminan produk halal masih belum sempurna. Banyak
ketentuan-ketentuan turunan dari Undang-Undang Jaminan Produk
Halal yang belum dikeluarkan oleh pihak terkait. Padahal kepentingan
dari penyelenggaraan jaminan produk halal adalah kepentingan
banyak pihak, yaitu kepentingan antar sektoral. Dengan masih
banyaknya pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh pemerintah
maka kesiapan Peraturan Pemerintah Undang-Undang Jaminan
Produk Halal untuk berlaku secara penuh pada 17 Oktober 2019 ini
menjadi dipertanyakan.22
22 Moh. Kusnadi, Problematika Penerapan Undang-Undang Jaminan Produk Halal Di
Indonesia, ... h. 127.
Page 72
62
BAB IV
KONSTRUKSI LEGALITAS DAN VALIDIATAS HUKUM PERMENDAG
NOMOR 29 TAHUN 2019 TENTANG KETENTUAN EKSPOR DAN
IMPOR HEWAN DAN PRODUK HEWAN
A. Legalitas Pencantuman UU JPH Dalam Konsiderans “Menimbang” dan
Dasar Hukum “Mengingat” Permendag Nomor 29 Tahun 2019 tentang
Ketentuan Ekspor dan Impor Hewan dan Produk Hewan
Pembentukan peraturan perundang-undangan merupakan syarat
dalam rangka pembangunan hukum nasional yang hanya dapat terwujud
apabila didukung oleh metode yang baik, yang mengikat semua lembaga yang
berwenang membuat peraturan perundang-undangan. Indonesia merupakan
negara hukum yang mempunyai kewajiban melaksanakan pembangunan
hukum nasional yang baik, yang dilakukan secara terencana, terpadu, dan
berkelanjutan dalam sistem hukum nasional. Asas dan landasan peraturan
perundang-undangan merupakan dasar untuk menentukan sikap dan perilaku
bagi pembentukan peraturan perundang-undangan dan penentu kebijakan
dalam membentuk peraturan perundang-undangan, peraturan perundang-
undangan yang baik harus mengedepankan asas equality before the law.1
Salah satu tiang utama dalam penyelenggaraan pemerintahan sesuatu
negara adalah pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik,
harmonis, dan mudah diterapkan dalam masyarakat. Sebagai suatu wacana
untuk melaksanakan pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik
diperlukan adanya suatu peraturan yang dapat dijadikan pedoman dan acuan
bagi para pihak yang berhubungan dalam pembentukan peraturan perundang-
undangan, baik di tingkat pusat maupun di tingkat Daerah. Peraturan yang
memberikan pedoman tentang pembentukan peraturan perundang-undangan
1 Nanda Novia Putri, Rahmat Hidayat, dan Winda Oktavia, Landasan Dan Asas-Asas
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Yang Baik, (Fakultas Universitas Lampung:
Preprint, May 2018, h. 1.
Page 73
63
tersebut selama ini selalu ditunggu dan diharapkan dapat memberikan suatu
arahan dan panduan, sehingga proses pembentukan peraturan peraturan
perundang-undangan yang meliputi tahap perencanaan, persiapan,
perumusan, pembahasan, pengesahan atau penetapan dan pengundangannya
menjadi lebih jelas.2 Memahami Ilmu Perundang-undangan sangatlah
penting, seperti salah satunya memahami tentang asas-asas pembentukan
peraturan perundang-undangan, karena di dalamnya terdapat acuan
bagaimana cara melahirkan sebuah produk hukum yang dalam hal ini undang-
undang yang sesuai dengan kebutuhan publik pada saat itu. Jika kita tidak
berpedoman kepada asas-asas tersebut maka kemungkinan besar kita akan
mendapatkan banyak kekeliruan dalam penetapan sebuah hukum, seperti
halnya salah satu asasnya adalah peraturan yang bersifat khusus
menyampingkan peraturan yang bersifat umum. Dan sesungguhnya orang-
orang yang telah melahirkan asas-asas tersebut sangat membantu sekali
dalam penetapan peraturan hukum dikemudian hari. Banyak pakar
melahirkan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan, yang
pada hakikatnya tujuannya sama. Intinya walaupun banyak pakar yang
memikirkan tetang asas-asas pembentukkan ini adalah sama. Menginginkan
melahirkan produk hukum yang efisien dan efektif.
Peraturan perundang-undangan sebagai suatu sistem atau sub sitem
dari sistem yang lebih besar atau sama lain yang saling keterkaitan dan saling
ketergantungan sehingga merupakan suatu kedaulatan yang utuh, oleh
karenanya materi muatan rancangan peraturan perundang-undangan harus
diselaraskan, bila tidak akan terjadi disharmonisasi peraturan perundang-
undangan baik secara vertical maupun secara horizontal yang saling tumpang
tindih satu sama lain, bila hal ini terjadi maka tidak ada jalan lain kecuali
melakukan pengujian peraturan perundang-undangan baik melalu yudicial
riview, ekscutive riview, maupun melalui legislative riview. Untuk
2 Maria Farida Indarti S, Ilmu Perundang-Undangan 2 (Proses dan Teknik Penyusunan),
(Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2007), h. 1.
Page 74
64
membentuk peraturan perundangan-undangan yang baik diperlukan berbagai
ketentuan yang salah satunya berkaitan dengan landasan dan asas
pembentukan peraturan perundangan-undangan.
Secara umum Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, memuat materi-materi pokok
yang disusun secara sistematis sebagai berikut: asas pembentukan Peraturan
Perundang-undangan; jenis, hierarki, dan materi muatan Peraturan
Perundang-undangan; perencanaan Peraturan Perundang-undangan;
penyusunan Peraturan Perundang-undangan; teknik penyusunan Peraturan
Perundang-undangan; pembahasan dan pengesahan Rancangan Undang-
Undang; pembahasan dan penetapan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi
dan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota; pengundangan Peraturan
Perundang-undangan; penyebarluasan; partisipasi masyarakat dalam
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan; dan ketentuan lain-lain yang
memuat mengenai pembentukan Keputusan Presiden dan lembaga negara
serta pemerintah lainnya.3
Indonesia adalah Negara berdasarkan atas hukum, berarti semua
peraturan perundang-undangan harus bersumberkan kepada UUD 1945
sebagai hukum dasar tertinggi. Semua peraturan perundang-undangan
dibawah UUD 1945 merupakan penjelasan dari asas-asas ideology, politik,
ekonomi, sosial, budaya, dan hukum yang adalah UUD 1945, oleh sebab itu
maka peraturan perundang-undangan mempunyai aspek formil dan aspek
materil. Landasan formal konstitusional dimaksud untuk memberikan
legitimasi prosedural terhadap pembentukan peraturan perundang-undangan.
Sedangkan landasan materil konstitusional dimaksudkan untuk memberikan
sinyal bahwa peraturan perundang-undangan yang dibentuk merupakan
penjabaran dari pasal-pasal UUD 1945. Pembentukan peraturan perundang-
undangan haruslah memperhatikan kaidah-kaidah pembentukannya, yaitu:
3 Nanda Novia Putri, Rahmat Hidayat, dan Winda Oktavia, Landasan Dan Asas-Asas
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Yang Baik, ... h. 2.
Page 75
65
a. Landasan Filosofis , Landasan filosofis dalam pembentukan peraturan
perundang-undangan yaitu apabila rumusannya ataupun normanya
mendapatkan pembenaran setelah dikaji secara filosofis.
b. Landasan Sosiologis, Landasan sosiologis dalam pembentukan
peraturan perundang-undangan yaitu bila sesuai dengan keyakinan
umum, kesadaran hukum masyarakat, tata nilai dan hukum yang hidup
di masyarakat.
c. Landasan Yuridis, Landasan yuridis dalam pembentukan peraturan
perundang-undangan yaitu bila terdapat dasar hukum, legalitas atau
landasan yang terdapat dalam ketentuan hukum yang lebih tinggi
derajatnya.
d. Landasan Politis, Landasan politik merupakan garis kebijakan politik
yang menjadi dasar selanjutnya bagi kebijaksanaan dan pengarahan
ketatalaksanaan pemerintah Negara.4
Pada umumnya terdapat berbagai asas-asas hukum umum atau prinsip
hukum (general printciples of law) harus diperhatikan dan diperlukan dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan yaitu:
1. Asas lex superiot derogate legi inferiori, yaitu peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi tingkatannya didahulukan berlakunya
daripada peraturan perundang-undangan yang lebih rendah dan
sebaliknya.
2. Asas lex specialis derogate legi generali, yaitu peraturan
perundangan-undangan khusus didahulukan berlakunya daripada
peraturan perundang-undangan yang umum.
3. Asas lex posterior derogate legi priori, peraturan perundang-
undangan yang baru didahulukan berlakunya daripada yag terdahulu.
4. Asas lex neminem cogit ade impossobilia, yaitu peraturan perundang-
undangan yang tidak memaksa seseorang untuk melakukan sesuatu
4 Nanda Novia Putri, Rahmat Hidayat, dan Winda Oktavia, Landasan Dan Asas-Asas
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Yang Baik, ... h. 3.
Page 76
66
yang tidak mungkin dilakukan atau sering disebut sebagai asas
kepatutan.
5. Asas lex perfecta, yaitu peraturan perundang-undangan tidak saja
melarang suatu tindakan tetapi juga menyatakan tindakan terlarang itu
batal.
6. Asas non retroactive, yaitu peraturan perundang-undangan tidak
dimaksudkan untuk berlaku surut karena akan menimbulkan kepastian
hukum.5
Dewasa ini rakyat Indonesia dikejutkan dengan terbitnya Peraturan
Menteri Perdagangan Nomor 29 Tahun 2019 tentang Ketentuan Ekspor dan
Impor Hewan dan Produk Hewan. Peraturan baru yang merevisi Permendag
Nomor 59 Tahun 2016 tersebut telah memicu respons penolakan dikarenakan
ketiadaan pasal kewajiban untuk mencantumkan label kehalalan bagi daging
impor. Jika dalam peraturan yang sebelumnya yaitu pada pasal 16 ayat (2)
huruf e, Permendag Nomor 59 Tahun 2016 tentang Ketentuan Ekspor dan
Impor Hewan dan Produk Hewan, terdapat kewajiban untuk mencantumkan
label kehalalan. Hal yang kontras terjadi pada Permendag Nomor 29 Tahun
2019 tentang Ketentaun Ekspor dan Impor Hewan ini yang tidak memuat
kewajiban sertifikasi dan label kehalalan bagi daging impor. Sedangkan
menurut keterangan pihak Kemendag menyatakan bahwasanya tetap
memberlakukan pencantuman label dan sertifikat halal pada setiap produk
yang masuk ke Indonesia. Pencantuman label dan sertifikat tersebut telah
sesuai dengan sejumlah aturan perundangan yang berlaku. “Kewajiban
pencantuman label dan sertifikat halal sudah diatur berdasarkan Undang-
Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. Jadi setiap
produk yang masuk ke Indonesia wajib bersertifikat halal," kata Direktur
Jenderal Perdagangan Luar Negeri Indrasari Wisnu Wardhana.6
5 Nanda Novia Putri, Rahmat Hidayat, dan Winda Oktavia, Landasan Dan Asas-Asas
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Yang Baik, ... h. 4.
6 https://www.qureta.com/post/ironi-permendag-terhadap-perlindungan-konsumen-
muslim-indonesia diakses pada tanggal 26 November 2019, pukul 15.24.
Page 77
67
Selain itu, Peraturan Menteri Perdagangan yang baru diterbitkan ini
pun diisukan diterbitkan dalam rangka menjawab tuntutan ketentuan
Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) akibat kekalahan Indonesia pada
sengketa perdangan antara Brazil dan Indonesia, yang mana dalam Keputusan
Panel Sengketa Perdagangan Nomor DS484 Badang Penyelesaian Sengketa
WTO tertanggal 22 November 2017 lalu, secara ringkas memutuskan bahwa
18 kebijakan yang diterapkan pemerintah Indonesia dinilai tidak konsisten
dengan aturan WTO yang berlaku.
Salah satu persoalan antara Brasil dan Indonesia adalah perihal
perdagangan daging unggas terkait sertifikasi halal terhadap produk daging
hewan unggas/ayam potong dari Brasil. Putusan itu pun kemudian berdampak
pada hilangnya kewajiban sertifikasi halal sebagai prasyarat masuknya
produk tersebut ke Indonesia. Hasil putusan dari sengketa itu kemudian
terjawab dalam Permendag Nomor 29 Tahun 2019 tentang Ketentuan Ekspor
dan Impor Hewan dan Produk Hewan. Kemendag pun menghapus kewajiban
sertifikasi halal seperti yang tercantum dalam Permendag sebelumnya yaitu
Permendag Nomor 59 Tahun 2016 tentang Ketentuan Ekspor dan Impor
Hewan dan Produk Hewan.7 Hingga kemudian Direktur Jenderal
Perdagangan Luar Negeri, Indrasari Wisnu Wardana menegaskan tidak
dicantumkannya ketentuan label halal dalam Peraturan Menteri Perdagangan
(Permendag) Nomor 29 Tahun 2019 tentang Ketentuan Ekspor dan Impor
Hewan, tidak ada kaitannya dengan keputusan Organisasi Perdagangan Dunia
(WTO) yang memenangkan Brazil atas Indonesia dalam sengketa DS484
mengenai impor ayam Indonesia.
Dikatakan, Permendag Nomor 29 Tahun 2019 merupakan revisi dari
Permendag 59 tahun 2016. Dalam permendag sebelumnya, kewajiban
pencantuman label halal peoduk hewan tertuang jelas dalam Pasal 16. "Poin
ini yang harus diubah di Permendag, jangan dikaitkan dengan halal. Ini yang
7 https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5d79887736212/impor-unggas-tak-wajib-
sertifikasi-halal/ diakses pada tanggal 26 November 2019, pukul 16:14.
Page 78
68
berkembang. Tidak ada kaitannya halal dengan kalahnya kita dari Brazil,"
katanya di Jakarta, Senin (16/9).
Wisnu menambahkan putusan panel sengketa DS484 yang diputus
Badan Penyelesaian Sengketa WTO terkait dengan positive list (daftar
positif), fixed license term (ketentuan lisensi tetap), intended use
(penggunaan yang dimaksudkan), dan undue delay (penundaan yang tidak
semestinya).8 Mengutip pasal 20 GATT (General Agreement on Tariffs and
Trade), produk halal merupakan bentuk general exception (pengecualian
umum) karena mayoritas masyarakat Indonesia beragama Islam. "Public
moral (moral yang berlaku umum) semua produk yang beredar harus halal.
Ini diperbolehkan aturan WTO," tuturnya. Wisnu menjelaskan revisi
Permendag 29 tersebut dikarenakan ketentuan mengenai produk halal sudah
tercantum dalam peraturan lainnya seperti Undang-Undang Nomor 33 Tahun
2014 tentang Jaminan Produk Halal, Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun
1999 tentang Label dan Iklan Pangan, Peraturan Badan POM Nomor 31
Tahun 2018 tentang Label Produk Olahan. Ada juga dan Peraturan Menteri
Pertanian Nomor 34 Tahun 2016 tentang Pemasukan Karkas, Daging, Jeroan,
dan/atau Olahannya ke dalam Wilayah Negara Republik Indonesia.
Namun yang menjadi pokok perhatian Peneliti terkait polemik
peraturan ini adalah bagaimana keberadaan Permendag ini dalam konsepsi
teori hukum serta bagaimana Legalitas Pencantuman Undang-Undang
Jaminan Produk Halal dalam Konsiderans “Menimbang” dan Dasar Hukum
“Mengingat” Permendag Nomor 29 Tahun 2019 tentang Ketentuan Ekspor
dan Impor Hewan dan Produk Hewan. Dalam Lampiran B.3 Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,
dijelaskan bahwa Konsiderans diawali dengan kata “menimbang”, kemudian
konsiderans memuat uraian singkat mengenai pokok pikiran yang menjadi
pertimbangan dan alasan pembentukan Perundang-undangan. Menimbang
atau Konsiderans dalam suatu peraturan perundang-undangan memuat uraian
8 https://www.gatra.com/detail/news/444737/ekonomi/ketentuan-halal-permendag-no-29-
tidak-terkait-wto diakses pada tanggal, 27 November 2019, pukul 20:45.
Page 79
69
singkat mengenai pokok-pokok pikiran yang menjadi latar belakang dan
alasan pembuatan peraturan perundang-undangan tersebut. pokok-pokok
pikiran pada konsiderans Undang-Undang atau Peraturan Daerah memuat
unsur-unsur filosofis, juridis, dan sosiologis yang menjadi latar belakang
pembuatannya.9 Sebagaimana tercantum pada Angka 19 Lampiran Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan dijelaskan yang menjadi pertimbangan dan alasan
pembentukannya yang penulisannya ditempatkan secara berurutan dari
filosofis, sosiologis, dan yuridis.
1. Unsur filosofis menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk
mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum yang
meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia yang
bersumber dari Pancasila dan Pembukaan Undang- Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2. Unsur sosiologis menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk
untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek.
3. Unsur yuridis menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk
mengatasi permasalahan hukum atau mengisi kekosongan hukum
dengan mempertimbangkan aturan yang telah ada, yang akan diubah,
atau yang akan dicabut guna menjamin kepastian hukum dan rasa
keadilan masyarakat.
Dalam Permendag Nomor 29 Tahun 2019 tentang Ketentuan Ekspor
dan Impor Hewan dan Produk Hewan, terdapat dua point konsideras yaitu: a.
bahwa untuk lebih meningkatkan efektivitas pelaksanaan kebijakan ekspor
dan impor hewan dan produk hewan, perlu melakukan pengaturan kembali
ketentuan ekspor dan impor hewan dan produk hewan; b. bahwa berdasarkan
pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan
Peraturan Menteri Perdagangan tentang Ketentuan Ekspor dan Impor Hewan
9 Maria Farida Indarti S, Ilmu Perundang-Undangan 2 (Proses dan Teknik
Pembentukannya), (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2007), h. 108.
Page 80
70
dan Produk Hewan;. Dapat dilihat dalam konsiderans tersebut tidak
disebutkan bahwasanya permendag tersebut diterbitkan atas pokok-pokok
pikiran yang menjadi latar belakang dan alasan pembuatannya yang dilandasi
atas menjawab tuntutan ketentuan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO)
akibat kekalahan Indonesia pada sengketa perdangan antara Brazil dan
Indonesia, yang mana dalam Keputusan Panel Sengketa Perdagangan Nomor
DS484 Badan Penyelesaian Sengketa WTO tertanggal 22 November 2017
lalu. Melainkan atas dasar melakukan pengaturan kembali ketentuan ekspor
dan impor hewan dan produk hewan yang menyangkut peredaran barang di
dalam negeri dan berfokus untuk mengatur tata niaga impor hewan dan
produk hewan10, sehingga kehalalan suatu produk pun tidak perlu
dicantumkan dalam konsiderans, sebagai bentuk pembaruan peraturan
tersebut.
Sebagaimana telah diuraikan pada bab sebelumnya bahwa, Dasar
Hukum suatu perundang-undangan merupakan landasan yang bersifat yuridis
bagi pembentukan peraturan perundang-undangan. Selanjutnya, dalam angka
28 Lampiran Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan, dasar hukum memuat: a. Dasar kewenangan
pembentukan Peraturan Perundang-undangan; dan b. Peraturan Perundang-
undangan yang memerintahkan pembentukan Peraturan Perundang-
undangan.
Kemudian, dasar hukum suatu perundang-undangan dapat terdiri atas
hal-hal sebagai berikut:
a) Peraturan yang memberikan kewenangan bagi terbentuknya peraturan
perundang-undangan tersebut, yaitu ketentuan dalam Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
b) Peraturan yang memerintahkan secara langsung pembentukan
peraturan perundang-undangan tersebut.
10 https://bisnis.tempo.co/read/1248410/permendag-direvisi-ada-satu-pasal-khusus-
wajibkan-label-halal, diakses pada tanggal 18 Desember 2019, pukul 23.15.
Page 81
71
c) Peraturan perundang-undangan lainnya yang setingkat dan erat
kaitannya (berhubungan langsung) dengan peraturan perundang-
undangan yang dibentuk.
d) Ketentuan MPR dapat dipakai sebagai dasar hukum apabila mempunyai
kaitan yang sangat erat dengan peraturan perundang-undangan yang
akan dibentuk, yaitu ketetapan MPR yang menyebutkan secara tegas-
tegas perlunya dibentuk peraturan perundang-undangan tersebut.
e) Dasar hukum tersebut dirumuskan secara kronologis sesuai dengan
hierarkhi peraturan perundang-undangan, dan apabila peraturan
perundang-undangan tersebut sama tingkatannya, maka dituliskan
berdasarkan nomor urutan pembentukan peraturan perundang-
undangan tersebut.11
Namun pada Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia
Nomor 29 Tahun 2019 tentang Ketentuan Ekspor Dan Impor Hewan dan
Produk Hewan, tidaklah mencantumkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun
2019 tentang Jaminan Produk Halal dalam dasar hukum Peraturan tersebut.
Dilihat dari konsepsi dasar aturan Perundang-undangan bahwasanya Setiap
peraturan perundang-undangan termasuk di dalamnya seperti peraturan
menteri haruslah memuat ketentuan yang jelas. Sehingga secara ontologis,
aturan ini mampu memberikan kepastian hukum (rechts zekerheid) di setiap
pasal dan ayat yang terkandung di dalamnya. Jika kembali merujuk kepada
argumentasi pihak Kemendag yang menyebutkan bahwa walaupun
Permendag Nomor 29 Tahun 2019 tentang Ketentuan Ekspor dan Impor
Hewan dan Produk Hewan ini tidak menyertakan ketentuan kehalalan, namun
pada dasarnya tetap menjalankan sertifikasi halal yang merujuk pada
Undang-Undang Perlindungan Konsumen dan Undang-Undang Jaminan
Produk Halal hal tersebut menjadi argumentasi yang bias dan rancu secara
hukum. Karena jika aturan yang lebih tinggi dalam hal ini Undang-Undang
11 Maria Farida Indarti S, Ilmu Perundang-Undangan 2 (Proses dan Teknik
Pembentukannya), ... h. 96.
Page 82
72
Perlindungan Konsumen dan Undang-Undang Jaminan Produk Halal telah
mewajibkan setiap produk makanan yang beredar di Indonesia agar wajib
menerapkan sertifikasi dan label halal namun dalam regulasi yang lebih
rendah ini Permendag Nomor 29 Tahun 2019 justru tidak mencantumkan
ketentuan yang telah diamanatkan oleh undang-undang lebih tinggi.
Suatu keputusan (keputusan presiden, keputusan menteri, keputusan
kepala badan negara atau keputusan lembaga-lembaga lain), dapat saja
dimasukan dalam bagian “mengingat” atau dengan kata lain menjadi dasar
hukum bagi suatu peraturan lain jika memiliki tingkatan yang sama atau lebih
tinggi dari peraturan yang akan diterbitkan. Sebagaimana yang sudah di
paparkan sebelumnya, bahwa dasar hukum suatu perundang-undangan dapat
terdiri atas “Peraturan perundang-undangan lainnya yang setingkat dan erat
kaitannya (berhubungan langsung) dengan peraturan perundang-undangan
yang dibentuk”. Undang-Undang Jaminan Produk Halal tidak hanya
ditujukan untuk memberikan perlindungan dan jaminan kepada konsumen
semata, dengan pemberian sertifikasi halal, produsen juga menuai manfaat
dari undang-undang ini yakni adanya kepastian hukum terhadap seluruh
barang yang diproduksi. Sehingga Undang-Undang Jaminan Produk Halal
akan berdampak positif bagi dunia usaha. Meningkatkan nilai tambah dan
daya saing produk halal Indonesia di dalam dan di luar negeri, memberikan
keuntungan timbal balik dalam perdagngan produk halal internasional dan
menumbuhkan kerjasama internasional dalam perdagangan produk halal.
Dalam hal ini undang-undang jaminan produk halal sangatlah
berkaitan erat dan saling berhubungan dengan Permendag Nomor 29 Tahun
2019 meski pada dasarnya permendag ini ditujukan untuk lebih
meningkatkan efektivitas pelaksanaan kebijakan ekspor dan impor hewan dan
produk hewan, dan bukan mengatur mengenai pemasukan produk ke
Indonesia. Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kemendag Indrasari Wisnu
Wardhana mengatakan, terjadi simpang-siur di publik yang mengira aturan
ini tak mewajibkan impor hewan dan produk hewan tak wajib berlabel halal.
Page 83
73
Itu pun memunculkan pertentangan. Kesimpangsiuran tersebut karena
membandingkan aturan baru tersebut dengan Permendag Nomor 59 Tahun
2016. Di Permendag ini diatur kewajiban label halal. Tapi ada kesalahan tafsir
di mana yang diatur di Permendag 59 adalah peredarannya di dalam negeri
bukan saat produk masuk ke Indonesia. "Menjadi ramai karena ada teman-
teman yang bandingkan Permendag 59/2016, disandingkan lah. Di sini
memang ada satu pasal yang pasal 16. Padahal pasal ini hanya mengatur pada
saat diperdagangkan di wilayah Indonesia. Jadi bukan pada saat pemasukan,"
kata dia di kantornya, Senin (16/9/2019). Dia menjelaskan, kewajiban label
halal tak diatur dalam Permendag 29, sebenarnya ada persyaratan
rekomendasi dari Peraturan Menteri Pertanian (Permentan). Permentan ini
mewajibkan ketentuan halal. Artinya, lanjut dia sebenarnya tak ada perbedaan
pada kedua aturan tersebut. Intinya label halal tidak dihilangkan. "Kalau
masuk harus sudah ada label halal. (Untuk produk) yang diwajibkan halal
harus (berlabel) halal," tambahnya.12
Namun meski demikian, seharusnya Permendag Nomor 29 Tahun
2019 memuat kembali aturan tentang kewajiban sertifikasi dan label halal,
guna mengokohkan dan mempertegas kembali asas kepastian hukum yang
telah dititahkan dalam undang-undang perlindungan konsumen dan undang-
undang jaminan produk halal. Karena keduanya telah menjadi landasan
hukum bagi Perlindungan kosnumen terutama konsumen muslim di
Indonesia. Agar dalam praktiknya tidak terdapat celah hukum yang akan
merugikan. Selajutnya, tidak seperti Undang-undang Perlindungan konsumen
mengapa Undang-undang Jaminan Produk Halal dalam hal ini tidak di
cantumkan dalam Dasar Hukum “Mengingat” Permendag nomor 29 Tahun
2019 tersebut. Peraturan Perundang-undangan yang digunakan sebagai dasar
hukum hanya Perundang-undangan yang tingkatannya sama atau lebih tinggi.
Pada dsarnya Undang-undang Jaminan Produk halal tentu merupakan
12 https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-4707934/benarkah-impor-hewan-
kini-tak-perlu-label-halal, diakses pada tanggal 01 Desember 2019, pukul 23.09.
Page 84
74
Peraturan perundang-undangan yang tingkatannya lebih tinggi, namun dapat
dijelaskan lebih lanjut bahwa Peraturan Perundang-undangan yang akan
dicabut dengan Peraturan Perundang-undangan yang akan dibentuk atau
Peraturan Perundang-undangan yang sudah diundangkan tetapi belum resmi
berlaku, tidak dicantumkan sebagai dasar hukum.
Dalam hal ini Undang-Undang Jaminan Produk Halal semenjak
diundangkan pada tahun 2014 lalu, belum berlaku secara penuh dikarenakan
masih ada beberapa ketentuan dalam undang-undang tersebut yang diatur
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2019 tentang Peraturan
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk
Halal yang baru saja disahkan pada tanggal 17 Oktober 2019 lalu. Status dari
Undang-undang Jaminan Produk Halal ketika Permendag ini terbit adalah
Peraturan Perundang-undangan yang sudah diundangkan tetapi belum resmi
berlaku, sehingga tidak dicantumkan sebagai dasar hukum. Sehingga dengan
latar belakang tersebut Permendag Nomor 29 Tahun 2019 dalam hal tidak
mencantumkan Undang-Undang Jaminan Produk Halal dalam Dasar
humunya adalah legal berdasarkan ketentuan peraturan perundangan yang
berlaku.
B. Validitas Hukum Permendag Nomor 29 Tahun 2019 tentang Ketentuan
Ekspor dan Impor Hewan dan Produk Hewan Di Hadapkan Dengan
Eksistensi Undang-Undang Jaminan Produk Halal
Berdasarkan uraian di atas, terdapat beberapa indikator validitas
hukum antara Permendag Nomor 29 Tahun 2019 tentang Ketentuan Ekspor
dan Impor Produk Hewan dan Prduk Hewan dan Undang-Undang Nomor 33
Tahun 2014 tentang Jaminan Produk halal. Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia validitas adalah sifat benar menurut bahan bukti yang ada, logika
berpikir, atau kekuatan hukum; sifat valid; kesahihan. Validitas adalah
Kepastian Hukum eksistensi norma secara spesifik. Suatu norma adalah valid
merupakan suatu pernyataan yang mengasumsikan eksistensi norma tersebut
dan mengasumsikan bahwa norma itu memiliki kekuatan mengikat (binding
Page 85
75
force) terhadap orang yang prilakunya diatur. Aturan adalah hukum, dan
hukum yang jika valid adalah norma. Jadi hukum adalah norma yang
memberikan sanksi.13 Validitas sebuah norma, menurut kelsen, harus
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: pertama, norma tersebut harus
merupakan bagian dari sebuah sistem norma. Kedua, sistem norma tersebut
harus berjalan secara efektif. Validitas norma pada gilirannya akan
menciptakan apa yang disebut sebagai hirarki norma yang dalam pemikiran
Kelsen disebut sebagai “Stufenbau theory”. Setiap norma agar menjadi
sebagai sebuah norma yang valid harus dinyatakan valid dan tidak boleh
betentangan dengan norma yang di atasnya.
Dewasa ini, Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 29
Tahun 2019 tentang Ketentuan Ekspor dan Impor Hewan dan Produk Hewan,
menimbulkan polemik di masyarakat. Pasalnya, Permendag itu menghapus
keharusan adanya sertifikasi atau label halal seperti yang tertuang dalam
aturan sebelumnya, yakni Permendag Nomor 59 Tahun 2016 tentang
Ketentuan Ekspor dan Impor Hewan dan Produk Hewan. Penghapusan
tersebut yang kemudian dinilai melanggar tiga ketentuan perundang-
undangan yang berlaku. Ketiga undang-undang itu adalah Undang-Undang
Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dan Undang-Undang
Nomor 41 Tahun 2014 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 18 Tahun
2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Kewajiban pencantuman
label dan sertifikat halal sudah diatur dalam Pasal 4 Undang-Undang Jaminan
Produk Halal dan Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun
2019 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang No. 33 Tahun 2014
tentang Jaminan Produk Halal. Pasal 4 Undang-Undang Nomor 33 Tahun
2014 tentang Jaminan Produk Halal menyebutkan bahwa: “Produk yang
masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat
13 Asshiddiqie, Jimly, Ali Safa’at, M, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, (Jakarta: Setjen
& Kepaniteraan MK-RI, 2006), h. 36.
Page 86
76
halal.” Kemudian Pasal 2 PP Nomor 31 Tahun 2019 pun menyebutkan
bahwa: “ Produk yang masuk, beredar, dan diperdagangakan di wilayah
Indonesia wajib bersertifikat halal.
Berdasarkan Undang-Undang Jaminan Produk Hala, setiap produk
yang masuk ke dalam wilayah Negara Republik Indonesia wajib bersertifikat
halal. Sertifikat halal tersebut diterbitkan oleh lembaga halal dari luar negeri
dan wajib diregistrasi oleh Badan Penyelenggara Jaminan Halal sebelum
produk tersebut diedarkan di Indonesia,” kata Direktur Jenderal Perdagangan
Luar Negeri, Indrasari Wisnu Wardhana, seperti dikutip dari
laman Kemendag, Kamis (12/9).14 Menurut Wisnu, pemenuhan jaminan halal
juga dipersyaratkan ketika produk hewan akan diperdagangkan di dalam
wilayah NKRI melalui kewajiban pencantuman label halal, sebagaimana
diatur dalam Pasal 10 PP Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan
Pangan dan Pasal 2 Peraturan BPOM Nomor 31 Tahun 2018 tentang Label
Pangan Olahan.
Selanjutnya, Kementerian Perdagangan juga mempersyaratkan
rekomendasi dari Kementerian Pertanian yang mewajibkan pemasukan
daging yang memenuhi persyaratan halal. Hal ini diatur dalam Pasal 13 ayat
(1), ayat (2) dan ayat (3) Permendag Nomor 29 Tahun 2019 tentang
Ketentuan Ekspor dan Impor Hewan dan Produk Hewan menyebutkan,
importir dalam mengajukan permohonan Persetujuan Impor harus
melampirkan persyaratan Rekomendasi dari Kementerian Pertanian.
Penerbitan rekomendasi pemasukan karkas, daging, dan atau olahannya ke
dalam wilayah Negara Republik Indonesia diatur di dalam Permentan Nomor
34 Tahun 2016 sebagaimana diubah terakhir kali dengan Permentan Nomor
23 Tahun 2018, yang mempersyaratkan pemenuhan halal (untuk produk yang
dipersyaratkan) untuk penerbitan rekomendasinya. “Meskipun tidak
mencantumkan ketentuan label dan sertifikat halal, Permendag Nomor 29
14 https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5d Dese,821087a18e6/tak-ada-kewajiban-
label-halal--permendag-29-2019-dinilai-cacat-hukum/, diakses pada tanggal 03 Desember 2019,
pukul 20:57.
Page 87
77
Tahun 2019 tetap mengatur persyaratan halal melalui persyaratan
rekomendasi.
Permendag Nomor 29 Tahun 2019 nantinya fokus mengatur tata niaga
impor hewan dan produk hewan. Ketentuan ini sama sekali tidak terkait
dengan sengketa yang dilayangkan oleh Brasil (DSS 484)," pungkas Wisnu
dengan tegas.15 Terkait polemik Permendag Nomor 29 Tahun 2019 tentang
Ketentuan Ekspor dan Impor Hewan dan Produk Hewan, Menteri
Perdagangan Enggartiasto Lukita mengatakan pihaknya tidak bermaksud
memberi peluang produk luar negeri tanpa label halal masuk ke
Indonesia. Menurutnya, dalam Permendag yang belum lama ia sahkan
tersebut, telah mewajibkan importir untuk menyertakan rekomendasi sesuai
Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) yang mewajibkan label halal. Maka
itu, Enggartiasto beranggapan bahwa Permendag-nya tidak memerlukan lagi
syarat label halal. “Kalau mencantumkan lagi (label halal), ada duplikasi atau
overburden kan. Ini sudah diatur di sini (Permentan), di atur di sini juga
(Permendag), itu membingungkan,” kata Enggartiasto seperti dikutip Antara.
Permendag Nomor 29 Tahun 2019 tersebut merupakan aturan baru untuk
mengganti Permendag Nomor 59 Tahun 2016 yang mencantumkan
kewajiban label halal dalam tiap produk hewan yang masuk ke Indonesia.
Selanjutnya penulis akan menguraikan lebih terperinci tentang
validitas Permendag Nomor 29 Tahun 2019 tentang Ketentuan Ekspor dan
Impor Hewan dan Produk Hewan dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun
2014 tentang Jaminan Produk Halal yang dikaji dengan indikator teori-teori
validitas hukum yang sebelumnya telah penulis paparkan. Yang pertama,
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Prouk Halal
merupakan bagian dari sebuah sistem norma, dalam hierarki peraturan
perundang-undangan di Indonesia menurut Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,
undang-undang merupakan peraturan perundangan yang lebih tinggi
15 https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5d7b88143c44b/label-dan-sertifikat-halal-
tetap-wajib-dalam-importasi-hewan, dikases pada tanggal 03 Desember 2019, pukul 21:28.
Page 88
78
tingaktannya setelah Undang-Undang Dasar 1945 dan Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat, yang artinya Undang-Undang Jaminan Produk
Halal adalah peraturan Perundangan yang lebih tinggi daripada Permendag
yang terletak pada urutan ke empat setelah undang-undang dalam hirarki
peraturan perundangan Indonesia. Selanjutnya dalam asas Undang-Undang
Jaminan Produk Halal diantaranya adalah perlindungan yang bertujuan
melindungi masyarakat muslim, berkeadilan yang harus mencerminkan
secara proporsional bagi setiap warga negara, sebagai kepastian hukum dalam
hal kehalalan suatu produk, transparan, efektif dan profesional. Undang-
Undang Jaminan Produk Halal digagas oleh DPR RI pada periode tahun
1004-2009 hingga kemudia dibahas dan di sahkan pada periode tahun 2009-
2014.
Saat ini Undang-Undang Jaminan Produk Halal sudah memasuki
tahun ke 5 semenjak diundangkan pada tahun 2014 lalu, hal ini menimbulkan
konsekuensi hukum bahwa Undang-Undang Jaminan Produk Halal akan
berlaku secara penuh pada tahun ini. Namun sejumlah pekerjaan rumah masih
membebani terkait dengan kesiapan implementasi dari Undang-Undang
Jaminan Produk Halal. Sebelum Undang-Undang Jaminan Produk Halal
berlaku mulai tahun 2019 pengurusan sertifikasi halal masih menjadi ranah
LP-POM MUI dan setelah Undang-Undang Jaminan Produk Halal berlaku
pada tahun 2019 maka semua pengurusan sertifikasi halal akan beralih ke
Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) yang berada di bawah
Kementerian Agama. BPJPH merupakan badan yang dibentuk dari mandat
Undang-Undang Jaminan Produk Halal untuk menyelenggarakan jaminan
produk halal. BPJPH nantinya direncanakan akan mengambil peran yang
dulunya dijalankan oleh LPPOM MUI.16 kesiapan Undang-Undang Jaminan
Produk Halal untuk berlaku secara penuh pada bulan Oktober 2019.
Mengingat sesuai dengan Pasal 67 ayat (1) yang berbunyi “Kewajiban
bersertifikat halal bagi produk yang beredar dan diperdagangkan di wilayah
16 Moh. Kusnadi, Problematika Penerapan Undang-Undang Jaminan Produk Halal Di
Indonesia, ... h. 118.
Page 89
79
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 mulai berlaku 5 (lima) tahun
terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.” Undang-Undang Jaminan
Produk Halal diundangkan pada tanggal 17 Oktober 2014, dengan demikian
Oktober 2019 menjadi titik waktu mulainya Undang-Undang Jaminan Produk
Halal berlaku secara penuh. Hal pertama yang menjadi kesiapan Undang-
Undang Jaminan Produk Halal ini adalah terkait dengan kerangka peraturan
penunjang Undang-Undang Jaminan Produk Halal yang memainkan peran
besar terkait efektivitas Undang-Undang Jaminan Produk Halal. Dalam hal
ini ada banyak sekali ketentuan derivatif di dalam Undang-Undang Jaminan
Produk Halal yang semuanya dapat dirangkum dalam 2 bentuk ketentuan,
yaitu Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri. Pertama, Peraturan
Pemerintah.
Ketentuan turunan dari Undang-Undang Jaminan Produk Halal yang
berbentuk Peraturan Pemerintah telah diamanatkan dalam Pasal 11, Pasal 16,
Pasal 21 ayat (3), Pasal 44 ayat (3), pasal 46 ayat (3), Pasal 47 ayat (4), Pasal
52, Pasal 67 ayat (3). Pasal 65 UU JPH menyebutkan bahwa “Peraturan
pelaksanaan Undang-Undang ini harus ditetapkan paling lama 2 (dua) tahun
terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.” yang berarti seharusnya
pada tahun 2016 sudah dikeluarkan Peraturan Pemerintah dimaksud. Namun,
faktanya Peraturan Pemerintah yang dimaksud baru keluar pada tanggal 3
Mei 2019, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2019
tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014
tentang Jaminan Produk Halal ditetapkan di Jakarta pada tanggal 29 April
2019 dan diundangkan di Jakarta pada tanggal 3 Mei 2019.17 Dengan
demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa Peraturan Pemerintah Undang-
Undang Jaminan Produk Halal keluar terlambat jauh mundur 3 tahun dari
amanat Pasal 65 Undang-Undang Jaminan Produk Halal. Hal ini berarti
pemerintah dalam hal ini telah tidak tertib hukum atau melanggar asas tertib
hukum penyelenggaraan pemerintahan yang baik. Padahal apabila Peraturan
17 Moh. Kusnadi, Problematika Penerapan Undang-Undang Jaminan Produk Halal Di
Indonesia, ... h. 125.
Page 90
80
Pemerintah Undang-Undang Jaminan Produk Halal dapat keluar pada tahun
2016 maka pemerintah punya lebih banyak waktu yaitu sekitar 3 tahun untuk
menyelesaikan persiapan lain yang dibutuhkan.
Peraturan Pemerintah Undang-Undang Jaminan Produk Halal
faktanya keluar pada tanggal 3 Mei 2019, sedangkan Undang-Undang
Jaminan Produk Halal H memberi batas per Oktober 2019 untuk
implementasi jaminan produk halal. Hanya 5 bulan waktu tersisa untuk
melakukan persiapan. Memang Peraturan Pemerintah Undang-Undang
Jaminan Produk Halal keluar sebelum kewajiban implementasi halal berlaku
pada 17 Oktober 2019. Namun, bukan berarti Peraturan Pemerintah Undang-
Undang Jaminan Produk Halal dalam sendirinya kemudian otomatis
paripurna, siap, dan sempurna. Dalam hal ini maka dapat disimpulkan dalam
teori validitas hukum menurut Hans Kelsen, sebagai bagian dari sebuah
sistem norma dan tidak bertentangan dengan norma yang di atasnya, Undang-
Undang Jaminan Produk Halal belum berjalan secara efektif karena baru akan
berlaku secara penuh pada 17 Oktober 2019 lalu. Ke dua, validitas dari
Permendag Nomor 29 Tahun 2019 tentang Ketentuan Ekspor dan Impor
Hewan dan Produk Hewan, dalam hirarki peraturan perundang-undangan
dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tidak
disebutkan peraturan menteri.
Namun demikian, jenis peraturan tersebut keberadaannya diatur
dalam Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, yang
menegaskan: “Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh
Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan
Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank I ndonesia, Menteri, badan,
lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang
atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.”
Page 91
81
Walaupun ketentuan di atas tidak menyebut secara tegas jenis peraturan
perundang-undangan berupa “Peraturan Menteri”, namun frase “…peraturan
yang ditetapkan oleh… menteri…” di atas, mencerminkan keberadaan
Peraturan Menteri sebagai salah satu jenis peraturan perundang-undangan.
Dengan demikian, Peraturan Menteri setelah berlakunya Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2011 tetap diakui keberadaannya. kmudian,
kekuatan mengikat Peraturan Menteri tersebut. Pasal 8 ayat (2) Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2011 menegaskan: “Peraturan Perundang-
undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan
mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh
Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan
kewenangan.” Dengan demikian, Peraturan Menteri tersebut memiliki
kekuatan hukum yang bersifat mengikat umum dan dapat dijadikan objek
pengujian pada Mahkamah Agung, apabila dianggap bertentangan dengan
undang-undang. Kemudian dalam hal efektifitas, Permendag Nomor 29
Tahun 2019 baru di terbitkan pada hari Rabu, tanggal 24 April 2019 lalu, telah
memicu respons penolakan dikarenakan ketiadaan kewajiban untuk
mencantumkan label kehalalan bagi daging impor. Jika dalam peraturan yang
sebelumnya yaitu Permendag Nomor 59 Tahun 2016 tentang Ketentuan
Ekspor dan Impor Hewan dan Produk Hewan, pada pasal 16 ayat (2) huruf e,
terdapat kewajiban untuk mencantumkan label kehalalan.
Hal yang kontras terjadi pada Permendag Nomor 29 Tahun 2019 ini
yang tidak memuat kewajiban sertifikasi dan label kehalalan bagi daging
impor. Dalam tata susunan norma hukum tidak dibenarkan adanya
kontradiksi antara norma hukum yang rendah dan norma hukum yang lebih
tinggi, Ketidakserasian dan pertentangan antara suatu norma dan norma
hukum yang lebih tinggi menyebabkan terjadinya ketidak konstitusionalan
dan ketidak legalan norma tersebut dan karena itu tidak berlaku.18.
18 C.F.G. Sunaryati Hartono, Politik Hukum dan Pembangunan Hukum Dalam
Pembangunan Jangka Panjang Tahap II, (Bandung: Pro Justitia Majalah Hukum Unpar, 1993), h.
32.
Page 92
82
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pemaparan bab-bab yang telah diuraikan sebelumnya dan
berdasarkan hasil pembahasan pada analisa peneliti tersebut, maka dapat
ditarik kesimppulan atas beberapa hal, yaitu:
1. Permendag Nomor 29 Tahun 2019 tentang Ketentuan Ekspor dan
Impor Hewan dan Produk Hewan legal secara hukum berdasarkan
ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Undang-Undang
Jaminan Produk Halal dalam hal ini tidak di cantumkan dalam
konsierans karena berdasarkan keterangan Indrasari Wisnu Wardhana
Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri bahwa Permendag Nomor
29 Tahun 2019 lantaran menyangkut peredaran barang di dalam negeri
dan berfokus untuk mengatur tata niaga impor hewan dan produk
hewan, sehingga kehalalan suatu produk tidak perlu dicantumkan
dalam konsiderans. Selanjutnya Dasar Hukum “Mengingat” dalam Poin
3 Lampiran Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, Undang-undang
Jaminan Produk Halal semenjak diundangkan pada tahun 2014 lalu,
belum berlaku secara penuh dikarenakan masih ada beberapa ketentuan
dalam undang-undang tersebut yang diatur dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 31 Tahun 2019 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang
Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk halal yang baru saja
disahkan pada tanggal 17 Oktober 2019 lalu. Status dari Undang-
Undang Jaminan Produk Halal ketika Permendag ini terbit adalah
Peraturan Perundang-undangan yang sudah diundangkan tetapi belum
resmi berlaku, sehingga tidak dicantumkan sebagai dasar hukum.
2. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal
disimpulkan Tidak valid berdasarkan teori validitas hukum menurut
Hans Kelsen, bahwa Undang-Undang Jaminan Produk Halal belum
Page 93
83
berjalan secara efektif karena baru akan berlaku secara penuh pada 17
Oktober 2019 lalu. Begitupun Permendag Nomor 29 Tahun 2019
tentang Ketentuan Ekspor dan Impor Hewan dan Produk Hewan
bertentangan dengan disimpulkan tidak valid berdasarkan tata susunan
norma hukum bahwa tidak dibenarkan adanya kontradiksi antara norma
hukum yang rendah dan norma hukum yang lebih tinggi,
Ketidakserasian dan pertentangan antara suatu norma dan norma
hukum yang lebih tinggi menyebabkan terjadinya ketidak
konstitusionalan dan ketidak legalan norma tersebut dan karena itu
tidak berlaku.
B. Rekomendasi
Berdasarkan yang telah diuraikan dalam pembahasan yang telah di
bahas dan telah di simpulkan, rekomendasi yang diberikan oleh peneliti
diantaranya, sebagai berikut:
1. Direkomendasikan agar Menteri Perdagangan RI merevisi Permendag
Nomor 29 Tahun 2019 tentang Ketentuan Ekspor dan Impor Hewan dan
Produk Hewan juga lebih teliti dalam membentuk suatu peraturan
perundang-undangan. Diaharapkan mampu memberikan sosialisasi dan
penjelasan lebih masif lagi kepada seluruh masyarakat dan lembaga
negara lainnya sehingga tidak mengakibatkan kesalahfahaman
implementasi dan multi tafsir.
2. Direkomendasikan agar tetap terjaganya harmonisasi perundang-
undangan, dan terciptanya kepastian hukum terhadap peraturan
perundang-undangan terutama undang-undang. Agar tidak adanya
keterlambatan pemberlakuan undang-undang agar suatu tertib hukum
tidak akan kehilangan validitasnya dan berjalan efektif.
Page 94
84
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Asshiddiqie, Jimly, Ali Safa’at, M, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Jakarta:
Setjen & Kepaniteraan MK-RI, 2006.
_______________, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta: Sinar
Grafika, 2011.
Attamimi A. Hamid S., Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia Dalam
Penyelenggaraan Pemerintahan Negara : Suatu Studi Analisis Mengenai
Keputusan Presiden Yang Berfungsi Pengaturan Dalam Kurun Waktu
Pelita I – Pelita VI, Jakarta: Fakultas Pasca Sarjana UI, 1990.
___________________, Pancasila Cita Hukum Dalam Kehidupan Hukum Bangsa
Indonesia, Dalam Pancasila Sebagai Ideologi: Dalam Berbagai Bidang
Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa, dan Bernegara, BP7Pusat, 1991.
Waluyo Bambang, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Jakarta: Sinar Grafika, 2008.
Bossche Peter van den, Daniar Natakusumah dan Joseph Wira Koesnaidi,
Pengantar Hukum WTO (World Trade Organization), Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia, 2010.
Hasan Sofyan, Sertifikasi Halal dalam Hukum Positif, Regulasi dan
Implementasinya di Indonesia, Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2014.
I Made Pasek Diantha, Metodologi Penelitian Hukum Normatif dalam Justifikasi
Teori Hukum, Jakarta: Prenada Media Group, 2016.
Kansil C.S.T, Sekelumit Tentang Ketetapan MPR 1960-1983. Dalam FH UKI (ed)
Membangun dan Menegakkan Hukum Dalam Era Pembangunan
Berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, Jakarta: Erlangga, 1983.
___________, dkk, Kamus Istilah Hukum, Jakarta, 2009
Page 95
85
Kristiyanti Celina Tri Siwi, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: Sinar
Grafika, 2011.
Lubis Suhrawardi K, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: Sinar Grafika,
2012.
Manan Bagir dan Kuntana Magnar, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara,
Bandung: Alumni, 1997.
Masudi Masdar Farid, Syarah Konstitusi UUD 1945 dalam Perspektif Islam,
Jakarta:Pustaka Alvabet, 2010.
Mashudi, Konstruksi Hukum & Respons Masyarakat Terhebat Sertifikasi Produk
Halal Studi Socio-Legal Terhadap Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-
Obatan, Dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia, Jakarta: Pustaka
Pelajar, 2015.
Ngani Nico, Metodologi Penelitian Hukum dan Penulisan Hukum, Jakarta : Pustaka
Yustitia, 2012.
Pelu Muhammad Ibnu Elmi As, Label Halal, Malang: Madani, 2009.
Rangkuti Siti Sundari, Hukum Linkungan dan Kebijakan Lingkungan Nasional
(Edisi Ketiga), Surabaya: Airlangga Univerity Press, 2005.
Rato Dominikus, Filsafat Hukum Mencari: Memahami dan Memahami Hukum,
Yogyakarta: Laksbang Pressindo, 2010.
S. Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-undangan Jenis, Fungsi dan Menteri
Muatan, Yogyakarta: Kanisius, 2007.
____________________, Ilmu Perundang-undangan Proses dan Teknik
Pembentukannya, Yogyakarta: Kanisius, 2007.
Samsul Inosentius, Perlindungan Konsumen, Kemungkinan Penerapan Tanggung
Jawab Mutlak, Jakarta: Program Pasca Sarjana Fkultas Hukum Universitas
Indonesia, 2004.
Page 96
86
Sood Muhammad, Hukum Perdagangan Internasional, Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2012.
Suntana Ija, Politik Hukum Islam, Bandung: CV Pustaka Setia, 2014.
Supriadi, Yayat, Pengaruh kebijakan labelisasi halal terhadap hasil penjual
anproduk, Jakarta:Universitas Indonesia, 2009.
Swasono Sri-Edi, Indonesia dan Doktrin Kesejahteraab Sosial: Dari Klasikal dan
Neoklasikal sampai ke The End Pf Laissez-Faire, Jakarta: Perkumpulan
PraKarsa, 2010.
Syahrani Riduan, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Bandung: Penerbit Citra Aditya
Bakti, 1999.
Wasito Hermawan, Pengantar Metodologi Penelitian: Buku Panduan Mahasiswa,
Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1993.
Yuliandri, Asas-asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Yang Baik:
Gagasan Pembentukan Undang-Undang Berkelanjutan, Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2009.
Yusuf A. Muri, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif & Penelitian Gabungan,
Jakarta: Prenadamedia Group, 2014.
Zainal Asikin, Zulham, Peran Negara Dalam Perlindungan Konsumen Muslim
Terhadap Produk Halal, Jakarta: Kencana, 2018.
Ali Zainuddin, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2010.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan
Page 97
87
Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2019 Tentang Peraturan Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal
Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 Tentang Label dan Iklan Pangan
Peraturan BPOM Nomor 31 Tahun 2018 Tentang Label Pangan Olahan
Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 29 Tahun 2019 Tentang Ketentuan Ekspor
dan Impor Hewan Dan Produk Hewan
Peraturan Menteri Pertanian Nomor 23 Tahun 2018 Tentang Pemasukan Karkas,
Daging, Jeroan, dan/ Olahannya ke Dalam Wilayah Negara Republik
Indonesia
JURNAL
Adiwijaya Achmad Jaka Santos, Menyongsong Pemberlakuan Kewajiban
Sertifikasi Halal Di Indonesia, Jurnal Living Law, Vol. 11, No. 1, 2019.
Burlian Paisol, Reformulasi Yuridis Pengaturan Produk Pangan Halal Bagi
Konsumen Muslim DI Indonesia, Jurnal Ahkam: Vol. VIV, No. 1, Januari
2014.
Charity May Lim, Jaminan Produk Halal Di Indonesia ( Halal Product Guarantee
In Indonesia), Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 14, No. 99, 01 Maret 2017.
Hidayat Asep Syarifuddin & Siradj Mustolih, Sertifikasi Halal dan Sertifikasi Non
Halal Pada Produk Pangan Industri, Jurnal Ahkam: Vol.XV, No. 2, Juli
2015.
Hosanna Melissa Aulia Hosanna, Nugroho Susanti Adi Nugroho, Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal
Terhadap Pendaftaran Sertifikat Halal Pada Produk Makanan, Jurnal
Hukum Adigama.
Jayanti Luh Made Junita Dwi & Ariana I Gede Putra, Penyelesaian Sengketa Impor
Daging Ayam Antara Brazil Dengan Indonesia Melali Disputte Settlement
Page 98
88
Body World Trade Organization, Bagian Hukum Internasional dan
Hukum Bisnis Internasional, Fakultas Hukum, Universitas Udayana.
Kusnadi Moh., Problematika Penerapan Undang-Undang Jaminan Produk Halal
Di Indonesia, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Islamika: Jurnal
Keislaman dan Ilmu Pendidikan, Volume 1, Nomor 2, Juli 2019.
Latipulhidayat Atip, Hans Kelsen, Padjadjaran Jurnal Ilmu Hukum, Volume 1-
No.1 – Tahun 2014.
Maroni, Eksistensi Nilai Moral Dan Nilai Hukum Dalam Sistem Hukum Nasional,
MMH. Jilid 41 No.2, Bandar Lampung: Fakultas Hukum Universitas
Lampung, 2012.
Najiah Zumroh, Implementasi Kewajiban Pendaftaran Sertifikasi Halal Dalam
Pasal 4 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk
Halal (Studi Pada LPPOM-MUI Jatim dan Industri Makanan Minuman
Kota Pasuruan), Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri Maulana
Malik Ibrahim Malang, 2016.
Putri Nanda Novia, dkk, Landasan Dan Asas-Asas Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan Yang Baik, Fakultas Universitas Lampung:
Preprint, May 2018.
Syafrida, Sertifikasi Halal Pada Produk Makanan dan Minuman Memberi
Perlindungan dan Kepastian Hukum Hak-Hak Komsumen Muslim, Adil:
Jurnal Hukum Vol.7, No. 2.
Triyanto Witanti Astuti, Sertifikasi Jaminan Produk Halal Menurut Undang-
Undang Nomor 33 Tahun 2014 (Prespektif Hukum Perlindungan
Konsumen), Jurnal Lex Administratum, Vol. V/No. 1/, Januari-Februari,
2017.
Yulia Lady, Halal Product Industry Development Strategy (Strategi
Pengembangan Industri Produk Halal), Jurnal Bimas Islam, ISSN: 1978-
90009 Vol.8 No. 1, Tahun 2015.
Page 99
89
MAJALAH
Hartono C.F.G. Sunaryati, Politik Hukum dan Pembangunan Hukum Dalam
Pembangunan Jangka Panjang Tahap II, Bandung: Pro Justitia Majalah
Hukum Unpar, 1993
WEBSITE
https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-4707934/benarkah-impor-
hewankini- tak-perlu-label-halal
https://www.gatra.com/detail/news/444737/ekonomi/ketentuan-halal-permendag-
no-29-tidak-terkait-wto
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5d79887736212/
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5264d6b08c174/kedudukanp
eraturan-menteri-dalam-hierarki-peraturan-perundang-undangan/
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5dDese,821087a18e6/tak-ada-
kewajibanlabel-halal--permendag-29-2019-dinilai-cacat-hukum/
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5d7b88143c44b/label-dan-sertifikat-
halaltetap-wajib-dalam-importasi-hewan.
https://nasional.sindonews.com/read/1304189/18/sertifikasi-halal-dan
sengketaperdagangan-internasional-1525822382
https://www.pikiran-rakyat.com/pendidikan/pr-01300919/masih-ada-34-juta-
orangbuta-huruf-di-indonesia-429732
https://www.qureta.com/post/ironi-permendag-terhadap-perlindungan-
konsumenmuslim-indonesia